Anda di halaman 1dari 18

KLAUSULA BAKU, KLAUSULA EKSONERASI DAN PERJANJIAN

STANDAR DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen Pengampu:
Mustolih Siradj SHI, MH, CLA.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
M. Imaddudin Rahmatullah 11200490000067
Siti Muawiyah 11200490000080
Irma Nurmaulida 11200490000107
Taupik Ismail 11200490000123

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul
“Klausula Baku, Klausula Eksonerasi dan Perjanjian Standar dalam Perlindungan
Konsumen” ini. Shalawat serta salam senantiasa kami curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Hukum Perlindungan Konsumen. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang beretika dalam membuat Karya Ilmiah bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mustolih Siradj SHI, MH, CLA. selaku
Dosen mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya untuk membantu kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang Selatan, 6 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Standar dan Klausula Baku......................................................... 3


B. Karakteristik Perjanjian Standar .................................................................................... 5
C. Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar.............................................................. 6
D. Pengaturan Perjanjian Standar dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
Dampaknya Terhadap Konsumen .................................................................................. 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 13
B. Saran ............................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selalu
memerlukan manusia lain dan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut,
adakalanya mereka sepakat untuk membuat perjanjian.
Pada awalnya perjanjian dilakukan secara lisan, hal ini dimungkinkan karena
hal-hal yang diperjanjikan hanyalah sesuatu yang sifatnya sederhana dan tidak terlalu
kompleks dan berlaku untuk waktu yang relatif singkat. Dengan adanya kesepakatan
diantara para pihak memang sudah bisa melahirkan suatu perjanjian, hal ini sesuai
dengan salah satu asas di dalam hukum perjanjian yaitu asas konsensualitas di mana
perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Jadi untuk lahirnya suatu
perjanjian cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak tentang hal-hal yang
pokok di dalam perjanjian. Namun terhadap asas konsensualitas ini ada
pengecualiannya yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu, untuk beberapa
macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut.
Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan dua kehendak, dimana kehendak
pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lain. Kehendak
yang bisa melahirkan perjanjian haruslah merupakan perwujudan kehendak yang murni
dan bebas dari apa yang dinamakan dengan cacat kehendak yaitu kesesatan(dwaling),
paksaan (dwang), penipuan (bedrog), dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden).
Namun seiring dengan perkembangan zaman, perjanjian tidak hanya dilakukan
secara lisan, tetapi membutuhkan suatu kejelasan dan kepastian sehingga dibuatlah
perjanjian dalam bentuk tertulis.
Perkembangan selanjutnya, dengan adanya asas kebebasan berkontrak dan
dikarenakan keadaan sosial ekonomi serta tuntutan dari dunia bisnis perdagangan yang
selalu menginginkan sesuatu yang serba praktis dan efesien baik dari segi waktu, tenaga
dan biaya, sehingga memungkinkan pihak pelaku usaha menggunakan perjanjian yang
berbentuk tertulis dan di buat suatu bentuk tertentu berupa formulir yang sifatnya baku
atau yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian baku.
Berhubung klausul-klausula di dalam perjanjian baku ditetapkan secara sepihak
oleh pelaku usaha, maka pada umumnya isi perjanjian baku tersebut akan lebih banyak

1
memuat hak-hak dari pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban dari konsumen
dibandingkan hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha, bahkan
tidak jarang terjadi klausula-klausula di dalam perjanjian baku berisi pengalihan
tangung jawab yang seharusnya menjadi tanggungjawab pelaku usaha kepada
konsumen. Klausula semacam ini di dalam perjanjian baku dikenal dengan istilah
klausula eksonerasi (exoneration clause/exemption clause), yang pada umumnya
sangat memberatkan bahkan cenderung merugikan konsumen.
Disadari atau tidak, kita sering terlibat didalam perjanjian baku yang syarat-
syarat atau klausula-klausulanya sudah ditentukan oleh salah satu pihak, seperti
perjanjian dengan Perusahaan Daerah Air Minum, Perjanjian dengan PT. Perusahaan
Listrik Negara, perjanjian dengan PT. Telkom, perjanjian dengan pihak bank,
perjanjian penitipan barang, perjanjian pengiriman barang, dan banyak lagi perjanjian-
perjanjian lainnya yang berbentuk perjanjian baku.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perjanjian standar dan klausula baku?
2. Bagaimana karakteristik perjanjian standar?
3. Bagaimana klausula eksonerasi dalam perjanjian standar?
4. Bagaimana perjanjian standar dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
dampaknya terhadap konsumen?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian perjanjian standar dan klausula baku.
2. Untuk mengetahui karakteristik perjanjian standar.
3. Untuk mengetahui klausula eksonerasi dalam perjanjian standar.
4. Untuk mengetahui perjanjian standar dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan dampaknya terhadap konsumen.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Standar dan Klausula Baku


Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu Standard
contract. Standar atau baku berarti tolak ukur yang dipakai sebagai patokan, ukuran,
acuan. Jadi perjanjian bakumerupakan perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha,
adapun yang dibakukan adalah meliputi model, rumusan dan ukuran.1
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis yang telah
digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah distandarisasikan atau
dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal ini
pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki konsumen.2
Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan
perjanjian yang telah dibakukan. Adapun ciri-ciri perjanjian baku, yaitu :
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu,
4. Bentuknya tertentu (tertulis).
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.3
Sultan Remy Sjachdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku
adalah “perjanjian yang hampir seluruh klausulanya dibakukan oleh pemakaiannya, dan
pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja,
misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa
hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang

1
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan. Cet.I, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1992), hlm. 6.
2
Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas dalamAspek Hukum
Dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas,
(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.118.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat dari sudut Perjanjian Baku (Standar),
(Bandung: BiNacipta, 1986), hlm.58.

3
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausal-klausalnya.4 Oleh karena
itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan
klausal-klausal yang hanya mengambil alih saja klausal-klausal yang telah dibakukan
oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan atas klausal-klausal itu, maka perjanjian yang
dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”.
Di dalam perjanjian baku atau perjanjian standar terdapat satu atau lebih
ketentuan, dapat berupa pasal, yang disebut sebagai klausula baku atau klausula standar
(standardized clauses/standardized terms). Klausula baku adalah setiap aturan atau
ketentuan dan syarat- syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 angka 10 UU
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Klausula baku dapat berisi, sebagai berikut:
1. Klausula baku yang adil (fair contract terms)
2. Klausula baku yang tidak adil (unfair contract terms) yang disebut klausula
eksonerasi (exoneraton clauses) atau klausula eksemsi (exempton clauses).
Klausula eksonerasi atau klausula eksemsi adalah ketentuan berupa pasal
dalam perjanjian baku yang berisi penambahan, pengurangan, pembatasan
secara sepihak atas hak dan kewajiban salah satu pihak oleh pihak lain yang
menetapkan isi, bentuk, serta cara penutupan perjanjian baku.
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua
pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang
tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan,
ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Namun,
adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang,
yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi
salah satu pihak. Dalam praktik dunia usaha juga menunjukan bahwa keuntungan
kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan klausula baku dalam
setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan

4
Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia,1993), hlm.66.

4
dari pihak lainya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini
cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut.5
B. Karakteristik Perjanjian Standar
Salah satu karakteristik atau ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi
perjanjian itu, juga tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya
dibuat dengan tetap memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian
baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada
umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia
dalam perjanjian.6
Sudaryatmo menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat
dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu :7
1. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya
ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak
yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi
(ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh
kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak
majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya

5
Gunawan Wijaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003), hlm.53.
6
5Ahmad Miru. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Disertasi; Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hlm.160-161.
7
Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan, (Bandung, Alumni, 1991), hlm. 99.

5
perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah (bentuknya
tertulis).
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian- perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau
advokat yang bersangkutan (dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan
kolektif).
C. Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar
Klausula eksonerasi adalah suatu klausula dalam suatu perjanjian, dimana
ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu, yang
secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Klausula
eksonerasi dimungkinkan karena adanya asas kebebasan berkontrak. Dapat
dibayangkan dengan dimungkinkannya orang memperjanjikan suatu klausula
eksonerasi dapat membawa akibat, bahwa hak dan kewajiban dari para pihak menjadi
jauh tidak berimbang.8
Klausula eksonerasi menurut Rijken adalah klausul yang dicantumkan dalam
suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi
kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar
janji atau perbuatan melanggar hukum.9 Mariam Darus Badrulzaman menyebut
klausula eksonerasi sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban
kreditur.10 Ada beberapa ahli yang menyebut klausula eksonerasi dengan klausula
eksemsi yaitu suatu klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi
tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
bersangkutan dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.11
Adanya klausula eksonerasi ini tentunya sangat merugikan debitur, karena
debitur yang menginginkan perjanjian tersebut hanya dihadapkan pada dua pilihan
yaitu menandatangani atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya tanpa bisa

8
J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1995), hlm.120.
9
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007), hlm. 40.
10
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, dalam Beberapa Guru
Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato Pengukuhan), Bandung, Alumni,
1981. Hlm. 95.
11
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta : Institut Bank Indonesia, 1993), hlm.75.

6
merundingkan apa yang diinginkannya. Klausula eksonerasi ini terjadi karena posisi
para pihak dalam perjanjian berada dalam posisi yang tidak seimbang, sehingga salah
satu pihak yang lebih kuat yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian, sementara
di pihak lainnya dalam posisi terjepit dan sangat memerlukan perjanjian tersebut.
Kondisi seperti inilah yang rentan menimbulkan adanya penyalahgunaan keadaan dari
pihak yang menentukan syarat- syarat dalam perjanjian terhadap pihak lainnya.
Klausula Eksonerasi pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku, klausul
tersebut merupakan klausul yang sangat merugikan konsumen yang umumnya
memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen karena beban yang
seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya klausula tersebut menjadi bahan
konsumen. Sebagai contoh dalam perjanjian sewa beli, seharusnya segala risiko yang
timbul atas obyek penjanjian tersebut ditanggung oleh pihak yang menyewabelikan
karena obyek perjanjian tersebut belum menjadi milik penyewa beli sebelum harganya
dibayar lunas, namun biasanya dalam perjanjian jual beli ditambahkan klausula
eksonerasi klausula eksonerasi bahwa segala resiko yang timbul dalam perjanjian
tersebut ditanggung oleh penyewa beli.12
Beberapa contoh klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh pelaku usaha
dalam perjanjian baku, misalkan di dunia perbankan sering kita temui pencantuman
klausula seperti “Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah
(menaikkan/menurunkan) suku bunga tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari
debitur terlebih dahulu”. Klausula eksonerasi juga dapat kita lihat dalam karcis parkir
yang mencantumkan “tidak bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan/barang di
area parkir” atau “segala kehilangan dan kerugian menjadi tanggung jawab pemilik
kendaraan”. Begitu juga dalam struk pembelian barang sering juga kita jumpai klausula
eksonerasi yang menyatakan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
Pencantuman klausula eksonerasi dalam sebuah perjanjian baku biasanya
disebabkan karena adanya kedudukan yang tidak seimbang diantara para pihak,
sehingga pihak kreditur yang kedudukannya/posisinya relatif lebih kuat, hal ini
merupakan ciri dan mengindikasikan adanya penyalahgunaan keadaan.
Jika dilihat dari syarat sahnya perjanjian, maka penyalahgunaan keadaan
merupakan salah satu bentuk cacat kehendak. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) sebagai salah satu cacat kehendak berdasarkan Putuskan Mahkamah

12
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007), hlm. 41.

7
Agung Republik Indonesia Nomor 1904K/Sip/1982 tanggal 28 Januari 1984 dan
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3431K/Pdt/1985 tanggal 4
Maret 1987.
Sebagai salah satu bentuk cacat kehendak, maka penyalahgunaan keadaan yang
dilakukan oleh pihak yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian baku dan
mencantumkan klausula eksonerasi, maka dengan demikian perjanjian tersebut tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu syarat “kesepakatan para pihak”.
Kesepakatan merupakan pertemuan antara dua kehendak yang saling
bersesuaian dengan cara dinyatakan, dalam perjanjian baku yang memuat klausula
eksonerasi yang syarat-syaratnya hanya ditentukan oleh salah satu pihak, maka
kehendak dan pernyataan kehendak dari pihak lainnya terbentuk tanpa mempunyai
kesempatan untuk melakukan tawar-menawar terhadap syarat-syarat yang sudah
dibakukan. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian merupakan syarat subyektif, karena
terkait subyek atau para pihak dalam perjanjian, dan apabila dalam suatu perjanjian
tidak memenuhi syarat subyektif berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Pada
prinsipnya suatu perjanjian dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam
pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu.13
Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan maksudnya adalah, baru mempunyai
akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perjanjian tersebut. Sebelum ada
putusan hakim, maka perjanjian tersebut tetap berlaku.14 Dengan demikian perjanjian
baku yang mengandung klausula eksonerasi yang terjadi karena adanya
penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian
masih tetap berlaku, sepanjang belum ada putusan hakim mengenai pembatalan
perjanjian tersebut.
Pencantuman klausula di dalam perjanjian baku yang hanya ditentukan secara
sepihak oleh pelaku usaha, maka keadaan ini seringkali disalahgunakan oleh pelaku
usaha sehingga isi dari perjanjian tersebut lebih banyak menentukan kewajiban dari
konsumen dibandingkan dengan kewajiban dari pelaku usaha serta lebih banyak hak-
hak dari pelaku usaha dibandingkan dengan hak dari konsumen, bahkan tidak jarang di

13
Kartini Mulyadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.172.
14
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1977), hlm. 123.

8
dalam perjanjian baku disertai dengan klausula eksonerasi yang menggeser risiko-
risiko tertentu kepada pihak lain.15
Pencantuman klausula eksonerasi yang berisi pengalihan tanggung jawab
dimungkinkan karena adanya yang memberikan kebebasan kepada para pihak dalam
untuk menentukan apa saja yang mereka sepakati, bahkan bisa menyimpangi ketentuan
undang- undang yang bersifat pelengkap. Namun, pencantuman klausula eksonerasi
yang memberatkan konsumen ini dapat dikatakan merupakan pembatasan terhadap asas
kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini hanya dikuasai oleh salah satu pihak yang
posisinya relatif lebih kuat, sehingga klausula-klausula dalam perjanjian baku hanya
ditentukan oleh pihak pelaku usaha tanpa melibatkan pihak konsumen, sehingga
memungkinkan pelaku usaha dengan leluasa menyalahgunakan keadaan ini.
D. Pengaturan Perjanjian Standar dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan Dampaknya terhadap Konsumen
Sebagai konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata16, banyak ditemukan berbagai jenis dan bentuk perjanjian
dalam masyarakat. Dengan asas kebebasan kebebasan berkontrak (partiy autonomy)
tersebut, setiap orang dimungkinkan untuk membuat berbagai jenis perjanjian yang
berisi dan berbentuk apa saja. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak ini
hanyalah undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan baik (vide Pasal 1337
KUHPerdata)17. Tentunya adalah tetap terikat kepada syarat syahnya perjanjian sesuai
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan bertindak di dalam hukum.
3. Adanya hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Salah satu konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata tersebut adalah diberlakukannya perjanjian baku (Standard Contract)
dalam berbagai jenis transaksi konsumen, yaitu transaksi yang terjadi antara konsumen
dengan pelaku usaha dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

15
Sudikno Mertokusumo. Syarat-Syarat Baku dalam Hukum Kontrak. Makalah dalam penataran Hukum
Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1995), hlm. 16.
16
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa semua Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku bagi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
17
Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab adalah Dilarang apabila bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban Umum dan kesusilaan.

9
Secara sederhana, perjanjian baku dapat diartikan sebagai suatu jenis perjanjian yang
isi dan syarat- syarat perjanjiannya ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan
pihak lain atau konsumen tidak dimungkinkan untuk menawar atau menegosiasi isi dan
syarat-syaratnya, kecuali dengan pilihan mau atau tidak (take or leave it).18
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang
untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
pelanggaran hukum yang dapat merugikan kepentingan umum dapat dilakukan dengan
menegakkan aturan-aturan hukum guna menjamin perlindungan hukum tetap
berlangsung selama jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu, dalam perlindungan hukum
terkait juga masalah penegakan hukum artinya keberhasilan penegakan hukum akan
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat secara optimal.
Saat ini, perlindungan terhadap konsumen telah diatur secara khusus dalam UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Tahun 1999 No.
3821. Undang-undang ini merupakan salah satu media atau piranti hukum yang
berfungsi sebagai pedoman dan landasan bagi perekonomian Indonesia dalam
menghadapi era globalisasi, khususnya dalam kaitannya dengan kepentingan
perlindungan terhadap konsumen.
Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengemukakan bahwa dalam kondisi dan fenomena kedudukan pelaku usaha dan
konsumen yang tidak seimbang, konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk memberdayakan konsumen
dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum dan memberi perlindungan kepada konsumen melalui asas
keseimbangan. Bukan berarti undang-undang ini tidak melindungi hak dan kepentingan
produsen atau pelaku usaha. Perlindungan diberikan kepada masing-masing pihak
melalui pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

18
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mempergunakan istilah klausula baku yaitu setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.

10
Dalam kaitannya dengan perjanjian baku, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini telah mengatur secara limitatif tentang batasan-batasan yang harus
dipenuhi pelaku usaha manakala pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang diproduksinya melalui perjanjian baku. Pembatasan ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan bagi konsumen atas resiko pemberlakuan perjanjian baku
oleh pelaku usaha. Hal ini diatur dalam Pasal 18 yang isinya sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian, apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha selama masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan baik gadai atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

11
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang- Undang ini.
Pemberlakuan perjanjian baku dalam praktik kehidupan ekonomi sehari-hari
sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar dan keabsahannya
didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak yang ada dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam
pemberlakuan perjanjian baku, UU No. 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen telah mengatur sedemikian rupa syarat- syarat perjanjian baku yang dapat
diberlakukan dalam praktik dengan ancaman kebatalan bila syarat-syarat tersebut tidak
dipenuhi, diantaranya perjanjian baku dalam praktiknya tidak boleh memuat klausula
eksonerasi atau klausula yang mengalihkan dan/atau membebaskan tanggung jawab
pelaku usaha.

12
BAB III
PENIUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya mengenai
pengertian, karakteristik perjanjian standar dan juga klausula baku dan eksonerasi dalan
perjanjian standar serta peraturan yang mengatur tentang perjanjian standar dan dampak
hukum positifnya dalam UUPK, maka dapat disimpulkan:
1. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis yang telah
digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah distandarisasikan atau
dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal
ini pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal, tanpa mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Adapun ciri perjanjian baku sebagai
berikut: a) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat; b) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian; 3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian
itu; 4) Bentuknya tertentu (tertulis); 5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
2. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat- syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen
3. Klausula eksonerasi adalah suatu klausula dalam suatu perjanjian, dimana
ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu, yang
secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
4. Regulasi yang mengatur tentang perjanjian standar dan klausula baku serta hal-hal
yang berkaitan dengan Perjanjian Baku (Standar Contract), antara lain:
a) Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa semua Perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya;
b) Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab adalah Dilarang
apabila bertentangan dengan undang-undang, ketertiban Umum dan
kesusilaan;
c) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mempergunakan
istilah klausula baku yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

13
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen;
d) Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam
pemberlakuan perjanjian baku, UU No. 18 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen telah mengatur sedemikian rupa syarat- syarat
perjanjian baku yang dapat diberlakukan dalam praktik dengan ancaman
kebatalan bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi.
B. Saran

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan,
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca terkait pembahasan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus.1986. Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat dari sudut


Perjanjian Baku (Standar). Bandung: BiNacipta.

Gunawan, Johannes. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas


dalam Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas Kesiapan Hukum Indonesia
dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Mertokusumo, Sudikno. 1995. Syarat-Syarat Baku dalam Hukum Kontrak. Makalah dalam
penataran Hukum Perdata. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Miru, Ahma. 2000. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia.


Disertasi; Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Muhammad, Abdulkadir. 1992. Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Kartini. 2004. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.

Setiawan, R. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.

Sjahdeni, Sutan Remi. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia.

Yani, Ahmad dan Gunawan Wijaja. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. PT.
Gramedia Pustaka Utama.

15

Anda mungkin juga menyukai