Anda di halaman 1dari 8

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,
pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem
pembiayaan, serta peran masyarakat. 2. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. 3.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. 4. Lingkungan hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan
permukiman. 5. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. 6. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan
pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang
terkoordinasi dan terpadu.
www.djpp.depkumham.go.id
depkumham.go
7. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan
harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. 8. Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan
mendapatkan keuntungan. 9. Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat. 10. Rumah umum
adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 11. Rumah khusus
adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. 12. Rumah Negara adalah rumah yang dimiliki negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau
pegawai negeri. 13. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. 14. Perumahan
kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. 15. Kawasan siap bangun yang
selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk
pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang.
16. Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut Lisiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai
dengan rencana rinci tata ruang. 17. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan
dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan. 18. Konsolidasi tanah
adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha
penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan
sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat. 19. Pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang berasal dari anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 20. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat, tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya. 21. Prasarana adalah kelengkapan dasar
fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman. 22. Sarana
adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi.
www.djpp.depkumham.go.id
depkumham.go
23. Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian. 24. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya
disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh
rumah. 25. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 26. Badan hukum adalah badan hukum yang didirikan oleh warga negara
Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. 27. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 28. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 29. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perumahan dan kawasan permukiman.
TIPE RUMAH

JENIS BANGUNAN JUMLAH PRESENTASE


RUMAH
-kecil 32
- Sedang 44
- besar 13

RUKO 4
KOST 3

KETERANGAN
KELAS JALAN
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan
penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan
dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan
kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas
ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500
(tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10
(sepuluh) ton.
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu
terberat kurang dari 8 (delapan) ton.
(4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan
pemerintah.
KELAS JALAN

Pasal 20
(1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan
dilakukan oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan nasional; b. pemerintah
provinsi, untuk jalan provinsi; c. pemerintah
kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d.
pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan
kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan
tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
KELAS SIMBOL LEBAR KETEBALAN
Keterangan : II 2,5 m 4,5 cm
: Jalan Kelas II III 2,1 m 3,5 cm

: Jalan Kelas III


Kelas Jalan Di Gp. Pineung, Kec. Syiah Kuala terbagi
menjadi 2 yaitu
• Kelas II lebar 2,5 m dan tebal 4,5 cm
• Kelas III lebar 2,1 m dan tebal 3,5 cm
Bagian Kelima
Fasilitas Parkir

Pasal 43
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan
sesuai dengan izin yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada
jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau
Marka Jalan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata
cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan:
a. rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan
c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.
AREA PARKIR

Rencana Penataan Parkir Pasal 28

(1) Rencana pengembangan parkir di luar badan


jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2) huruf c meliputi: a. penyediaan
parkir diluar badan jalan, untuk kegiatan
perdagangan dan jasa, perkantoran, industri
dan pergudangan dan kegiatan pelayanan
umum di PK; b. pembatasan dan penataan
parkir pada jalan kawasan-kawasan tertentu
diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Walikota; dan c. penyediaan lokasi parkir
truk di luar badan jalan di kawasan
perdagangan dan jasa.
(2) Penyediaan parkir diluar badan jalan
Keterangan : sebagamana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a meliputi area parkir, taman parkir dan
: Area Parkir penunjang usaha pokok
gedung parkir.
: Area Parkir mesjid (3) Jumlah minimal parkir yang harus
disediakan pada setiap jenis kegiatan yang
menimbulkan bangkitan perjalanan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Solusi pada pemukiman gp. Pineung

Anda mungkin juga menyukai