Anda di halaman 1dari 93

Pekerjaan Kefarmasian

di Industri dan PBF


Kelompok 2
• Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik Kefarmasian adalah
istilah ’Praktek Peracikan Obat’, yang mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan Praktek Peracikan
Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah apotek. 
• Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi yang
mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan
bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. 
• Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat
tradisional.
• Namun, pada saat PP 51 diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan juga sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
• Dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut, istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak didefinisikan.
Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang definisinya tidak dijumpai dalam
Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Praktik
Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.
Definisi (berdasarkan PP no.51 tahun 2009)

Pekerjaan Kefarmasian
• Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Industri
• Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk
memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.

PBF
• Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah
besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
PP no. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Pekerjaan Kefarmasian di Industri


• Permenkes Nomor 1799/Menkes/per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
• Permenkes Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi

Pekerjaan Kefarmasian di PBF


• Permenkes Nomor 1148/Menkes/per/VI/2011 tentang PBF
• Permenkes Nomor 34 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi
• Permenkes Nomor 30 tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar
Farmasi
PEKERJAAN KEFARMASIAN

PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian
PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

• Ditetapkan Tanggal : 01 September 2009


• Diundangkan Tanggal : 01 September 2009
• Berlaku Tanggal : 01 September 2009
• Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan
sediaan farmasi.
• BAB I. KETENTUAN UMUM
• BAB II. PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
ISI – Bagian Kesatu : Umum
– Bagian Kedua : Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan Sediaan
Farmasi
– Bagian Ketiga : Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan
Farmasi (Pasal 7 – Pasal 13)
– Bagian Keempat : Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi (Pasal 14 – Pasal 18)
– Bagian Kelima : Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian
– Bagian Keenam : Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian
– Bagian Ketujuh : Kendali Mutu dan Kendali Biaya
• BAB III. TENAGA KEFARMASIAN
• BAB IV. DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN
• BAB V. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
• BAB VI. KETENTUAN PERALIHAN
• BAB VII. KETENTUAN PENUTUP
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan
Farmasi
• Dalam Produksi Sediaan • Industri Sediaan Farmasi harus
Farmasi harus memiliki Apoteker memiliki 3 Apoketer sebagai
Penanggung Jawab, yang mana penanggung jawab:
dalam pekerjaannya dapat
1. Pemastian Mutu
dibantu oleh Apoteker
2. Produksi
Pendamping dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian. 3. Pemastian Mutu
• Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi • Industri obat tradisional dan
yang dimaksud: pabrik kosmetika: harus
– Industri Farmasi Obat memiliki sekurang-kurangnya
– Industri Bahan Baku Obat 1 Apoteker sebagai
– Industri Obat Tradisional, dan
– Pabrik Kosmetika
penanggung jawab
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Penyaluran Sediaan Farmasi

• Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan


Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker
sebagai penanggung jawab, dan dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi dan
Penyaluran Sediaan Farmasi
• Harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan
oleh Menteri.
• Apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional (SOP).
• SOP  harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Proses produksi dan penyaluran Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi
Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
• Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Produksi dan Penyaluran
Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang produksi atau penyaluran.
Permenkes Nomor 1799 Tahun 2010

Perubahan Atas Peraturan Menteri


Kesehatan
Nomor 245/Men.Kes/SK/V/1990
IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI
Sebelum Sesudah
• (1) Proses pembuatan obat
• Tidak dijelaskan dan/atau bahan obat hanya dapat
pada ayat namun dilakukan oleh Industri Farmasi.
dapat ditarik • (2) Selain Industri Farmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat
kesimpulan bahwa (1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit
industri farmasi dapat melakukan proses
pembuatan obat untuk keperluan
berwenang dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
di rumah sakit yang bersangkutan.
melakukan
• (3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit
pembuatan obat sebagaimana dimaksud pada ayat
maupun bahan obat (2) harus terlebih dahulu
memenuhi persyaratan CPOB
yang dibuktikan dengan sertifikat
Bagian Kesatu Pasal 2 CPOB
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI
Sesudah
• (1) Industri Farmasi dapat melakukan
kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk: a. semua
Penegasan fungsi tahapan; dan/atau b. sebagian tahapan.
• (2) Industri Farmasi yang melakukan
dari pada industry kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk sebagian
farmasi yang tahapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus berdasarkan
sebelumnya tidak penelitian dan pengembangan yang
tertera dalam menyangkut produk sebagai hasil
kemajuan ilmu pengetahuan dan
Permenkes Nomor teknologi.
• (3) Produk hasil penelitian dan
245 Tahun 1990 pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan proses
pembuatan sebagian tahapan oleh
Bagian Kesatu Industri Farmasi di Indonesia.
Pasal 3
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI

• Semua industri Farmasi


Sesudah
yang berdiri wajib • ((1) Setiap pendirian Industri
mendapatkan perizinan
Farmasi wajib memperoleh
dari Direktur Jendral dari
Kementerian Kesehatan,
izin industri farmasi dari
termasuk industri farmasi
Direktur Jenderal.
yang berfokus pada • (2) Industri Farmasi yang
pembuatan obat membuat obat dan/atau
narkotika, wajib memiliki bahan obat yang termasuk
izin khusus untuk dalam golongan narkotika
memproduksi bahan wajib memperoleh izin
narkotika. khusus untuk memproduksi
Bagian Kesatu narkotika sesuai dengan
Pasal 4 ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI
Sesudah (Pasal 5)
Sebelum (Pasal 9) • a. berbadan usaha berupa perseroan
terbatas;
• usaha Industri Farmasi • b. memiliki rencana investasi dan
kegiatan pembuatan obat;
wajib memenuhi
persyaratan sebagai • c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
berikut : • d. memiliki secara tetap paling sedikit
a. Dilakukan oleh'PERUM, 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai
Badan Fiukum berbentuk penanggung jawab pemastian mutu,
Perseroan Terbatas atau produksi, dan pengawasan mutu; dan
KoPerasi; • e. komisaris dan direksi tidak pernah
b. Memiliki Rencana terlibat, baik langsung atau tidak
Investasi; langsung dalam pelanggaran
peraturan perundang-undangan di
Bagianc.Kesatu
Memiliki Nomor Pokok bidang kefarmasian.
Pasal 5 Wajib Paiak (NPWP).
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI
Sesudah (Pasal 6)
Sebelum (Pasal 4)
• (1) Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan
prinsip.
• (1) Untuk memperoleh lzin Usaha Industri
Farmasi diperlukan tahap Persetujuan Prinsio. • (2) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada
• (2) Persetujuan Prinsip diberikan kepada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
pemohon untuk dapat langsung melakukan • (3) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh
persiapan-persiapan dan usaha pembangunan, industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam
pengadaan, pemasangan instalasi peralatan, Negeri, pemohon harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman
dan lain-lain yang diperlukan termasuk Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman
produksi percobaan dengan memperhatikan modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
ketentuan perundang-undangan di bidang obat. • (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
• (3) lzin Usaha lndustri Farmasi diberikan diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh
kepada pemohon yang telah siap berproduksi persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
sesuai persyaratan cPoB sebagaimana
dimaksudalam pasal 10 ayat (1)dan (2). • (5) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon
dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan,
• (4) Industri Farmasi yang melakukan pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan
penambahan kapasitas produksi atau dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
penambahan bentuk sediaan tidak memerlukan
lzin perluasan
Bagian Kesatu
Pasal 6
BAB II IZIN INDUSTRI FARMASI

Sesudah (Pasal 7)
• Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang tata ruang dan
lingkungan hidup

Bagian Kesatu
Pasal 7
BAB II Izin Industri Farmasi

Pasal 8
Industri Farmasi wajib memenuhi:
Bagian persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
1 yang dibuktikan dengan Sertifikat CPOB.
Umum Sertifikat ini dikeluarkan oleh kepala Badan yang berlaku
selama 5 tahun selama industri memenuhi syarat.

18
BAB II Izin Industri Farmasi

Pasal 9
Industri Farmasi wajib:
melakukan farmakovigilans, yaitu : aktifitas deteksi,
Bagian assessment,pencegahan, pemahaman terkait efek samping
1 obat, dan permasalahan lain dalam penggunaan suatu obat.
Umum Jika produk obat atau bahan obat dari indutri tidak
memenuhi standar keamanan, khasiat dan mutu. Maka
indsutri tersebut wajib melaporkan ke kepala Badan.

19
BAB II Izin Industri Farmasi

Pasal 10
Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat
Bagian diproduksi oleh industri farmasi dan atau lembaga setelah
1 mendapat izin dari lembaga berwenang di bidang atom
Umum dan harus memenuhi syarat CPOB.

20
BAB II Izin Industri Farmasi

Bagian 2 Tata cara


Pemberian Persetujuan
prinsip

Persetujuan prinsip adalah persetujuan tertulis yang diberikan


penjabat atas rencana untuk melakukan usaha dengan adanya
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat izin
melaksanakan usaha tersebut.

21
Bagian 2 Tata cara
Pemberian Persetujuan
prinsip

Pasal 11
- Permohonan Persetujuan Prinsip di ajukan
kepada Direktur Jendral dengan tebusan ke kepala
badan dan dinkes provinsi .
- Sebelum mengajukan permohonan persetujan prinsip,
pemohon wajib mengajukan permohonan persetujuan
Rencana Induk Pembangunan (RIP) ke kepala
Badan. Persetujuan diberikan paling lama 14 hari setelah
pengjuan permohonan.

22
Bagian 2 Tata cara
Pemberian Persetujuan asli surat pernyataan
prinsip kesediaan bekerja

Pasal 11
penuh dari masing–
masing apoteker
penanggung jawab
- Permohonan persetujuan Prinsip diajukan dengan kelengkapan sbb: produksi, apoteker
penanggung jawab
pengawasan mutu,
persetujuan Rencana
dan apoteker
fotokopi akta fotokopi sertifikat Induk Pembangunan
penanggung jawab
pendirian badan susunan direksi dan tanah/bukti fotokopi Surat Tanda fotokopi Nomor Pokok (RIP) dari Kepala
pemastian mutu;
hukum yang sah komisaris; kepemilikan tanah; Daftar Perusahaan Wajib Pajak Badan;

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n.

fotokopi Kartu Tanda pernyataan direksi fotokopi Surat Izin fotokopi Surat Izin persetujuan lokasi rencana investasi
Penduduk/identitas dan komisaris tidak Tempat Usaha Usaha Perdagangan; dari pemerintah dan kegiatan
direksi dan komisaris pernah terlibat berdasarkan Undang- daerah provinsi; pembuatan obat
perusahaan pelanggaran Undang Gangguan
peraturan perundang- (HO);
undangan di bidang
farmasi
. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
23
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mu
dari pimpinan perusahaan.
Bagian 2 Tata cara
Pemberian Persetujuan
prinsip

Pasal 11
- Pesetujuan Permohonan - Pemohon izin industri Farmasi
prinsip akan dikeluarkan baik Penanam Modal Asing
paling lama 14 hari kerja oleh ataupun Modal Dalam Negri wajib
mengajukan Permohonan
Direktur Jendral.
Persetujuan Prinsip.

24
Bagian 2 Tata cara
Pemberian Persetujuan
prinsip

Pasal 12
- Selama melaksanakan pembangunan fisik, pemohon wajib
menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap
6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi.
- Persetujuan prinsip batal jika dalam jangkan 3 tahun dengan
perpanjangan 1 tahun, pemohon belum menyelesaikan pembangunan
fisik.

25
BAB 2
Bagian 3
Permohonan Izin Industri Farmasi
Pasal 13-14
Permohonan Izin Industri Farmasi

- Telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip


- Permohonan harus ditandatangani oleh direktur utama dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu
- Diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat
Kelengkapan Permohonan Izin
Industri Farmasi

Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi

Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam


rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri

Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan dan Jumlah tenaga


kerja dan kualifikasinya

Fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya


Pemantauan Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Surat Rekomendasi
Kelengkapan administratif izin industri
Pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala
farmasi dari kepala dinas kesehatan
Badan
provinsi

Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir

apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan


mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu fotokopi
menyiapkan
ijazahberkas :
dan Surat
asli surat pernyataan fotokopi surat pengangkatan
Tanda Registrasi Apoteker
kesediaan bekerja penuh, dari pimpinan perusahaan,
(STRA)

Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau
tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Permohonan Izin Industri Farmasi

- Kepala Badan melakukan audit


paling lama 20 hari kerja sejak pemenuhan persyaratan CPOB
diterimanya tembusan - kepala dinas kesehatan provinsi
permohonan. melakukan verifikasi kelengkapan
persyaratan administrative

- Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi


paling lama 10 hari kerja sejak pemenuhan persyaratan CPOB kepada
dinyatakan memenuhi Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
persyaratan CPOB dan kepala dinas kesehatan provinsi dan pemohon
kelengkapan administrasi - Kepala dinas kesehatan provinsi
mengeluarkan rekomendasi pemenuhan
persyaratan administratif kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan pemohon

paling lama 10 hari kerja


- Direktur Jenderal menerbitkan izin industri
setelah menerima rekomendasi
farmasi
Permohonan Izin Industri Farmasi
• Permohonan persetujuan prinsip, pemberian persetujuan Rencana Induk Pembangunan
(RIP), dan Permohonan izin industri farmasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara
bukan pajak.

• Apabila permohonan atau persetujuan ditolak, maka biaya yang telah dibayarkan tidak
dapat ditarik kembali.
BAB III
PENYELENGGARAAN

Pasal 15
Industri Farmasi mempunyai fungsí:
a. pembuatan obat dan/atau bahan obat;
b. pendidikan dan pelatihan; dan
c. penelitian dan pengembangan.
Pasal 16
(1) Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi yang
bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Industri Farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap pemenuhan
persyaratan CPOB, baik untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi wajib
melapor dan mendapat persetujuan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,
perubahan penanggung jawab, atau nama industri harus dilakukan perubahan izin.
(2) Perubahan terhadap akte pendirian perseroan terbatas harus dilaporkan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi.
Pasal 18
(1) Industri Farmasi yang melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi wajib
mengajukan permohonan perubahan izin kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 11 terlampir.
(2) Tata cara permohonan perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 19
(1) Industri Farmasi yang melakukan perubahan penanggung jawab, alamat di
lokasi yang sama, atau nama industri, wajib mengajukan permohonan
perubahan izin kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 12 terlampir.
(2) Ketentuan mengenai permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengikuti tata cara permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8).
(3) Direktur Jenderal setelah menerima rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan provinsi mengeluarkan perubahan izin.
Pasal 20
(1) Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau
menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi,
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik,
dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Industri Farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau
menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan
baku farmasi, dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Industri Farmasi dapat membuat obat secara kontrak kepada Industri Farmasi
lain yang telah menerapkan CPOB.
(2) Industri Farmasi pemberi kontrak wajib memiliki izin industri farmasi dan
paling sedikit memiliki 1 (satu) fasilitas produksi sediaan yang telah
memenuhi persyaratan CPOB.
(3) Industri Farmasi pemberi kontrak dan Industri Farmasi penerima kontrak
bertanggung jawab terhadap keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu obat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan obat kontrak ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 22
(1) Industri Farmasi dapat melakukan perjanjian dengan perorangan atau badan
usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual di bidang obat dan/atau
bahan obat untuk membuat obat dan/atau bahan obat.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat ketentuan
bahwa izin edar obat yang diperjanjikan dimiliki oleh Industri Farmasi.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 23
• (1) Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri
secara berkala mengenai kegiatan usahanya:
• a. sekali dalam 6 (enam) bulan, meliputi jumlah dan nilai
produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
13 terlampir; dan
• b. sekali dalam 1 (satu) tahun dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 14 terlampir.
• (2) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan.
• (3) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari
dan tanggal 15 Juli.
• (4) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari.
• (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaporkan secara elektronik.
• (6) Direktur Jenderal dapat mengubah bentuk dan isi formulir
laporan sesuai kebutuhan.
• Contoh : Industri Farmasi A sedang menyampaikan
pelaporan realisasi produksi obat jadi pada periode
januari-juni 2021. Pelaporan tersebut disampaikan
kepada Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan melalui Kepala BPOM setempat pada
tanggal 10 Juli 2021.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011
TENTANG
PEDAGANG BESAR FARMASI
BAB II Perizinan
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian Pengakuan PBF Cabang

Pasal 9
(1) Untuk memperoleh pengakuan sebagai PBF Cabang, pemohon harus mengajukan permohonan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Balai
POM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir 6
sebagaimana terlampir.
(2) Permohonan harus ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker calon penanggung
jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas kepala PBF Cabang;
b. fotokopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal;
c. surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang;
d. pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan
di bidang farmasi;
e. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon penanggung jawab;
f. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
g. peta lokasi dan denah bangunan; dan
h. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab.
(3) Untuk permohonan pengakuan sebagai PBF Cabang yang akan menyalurkan Bahan obat
selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melengkapi
surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan.

Pasal 10
(1) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melakukan verifikasi kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) dan ayat (3).
(2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusanpermohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Kepala Balai POM melakukan audit
pemenuhan persyaratan CDOB.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan
administratif, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi
pemenuhan kelengkapan administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon dengan menggunakan contoh Formulir 7
sebagaimana terlampir.
(4) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi persyaratan
CDOB, Kepala Balai POM mengeluarkan rekomendasi hasil analisis pemenuhan
persyaratan CDOB kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada
pemohon dengan menggunakan contoh Formulir 8 sebagaimana terlampir.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan telah memenuhi kelengkapan administratif,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan pengakuan PBF Cabang dengan
menggunakan contoh Formulir 9 sebagaimana terlampir.
(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilaksanakan pada
waktunya, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala
Badan, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
menggunakan contoh Formulir 10 sebagaimana terlampir.
(7) Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak menerima surat pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan pengakuan PBF
Cabang dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, Kepala Balai POM dan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Bab II Bagian Empat
Tentang Peraturan Masa Berlaku Perizinan
Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Pasal 11

Izin PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila:


a. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara
kegiatan; atau
c. izin PBF dicabut.
Pasal 12

Pengakuan Cabang PBF dinyatakan tidak berlaku,


apabila:
a. masa berlaku Izin PBF habis dan tidak
diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara
kegiatan; atau
c. pengakuan dicabut.
Bab III
Tentang Penyelenggaraan Pedagang Besar
Farmasi (PBF)

Pasal 15

1) PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan pengadaan,


penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat
sesuai dengan CDOB yang ditetapkan oleh Menteri.
2) Penerapan CDOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai pedoman teknis CDOB yang ditetapkan
oleh Kepala Badan.
3) PBF dan PBF Cabang yang telah menerapkan CDOB
diberikan sertifikat CDOB oleh Kepala Badan.
Dokumentasi kegiatan PBF
Pasal 16
• Setiap PBF atau PBF Cabang wajib melaksanakan dokumentasi pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran di tempat usahanya dengan mengikuti pedoman
CDOB.
• Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik.
• Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setiap saat harus
dapat diperiks a oleh petugas yang berwenang.
Pasal 17
• Setiap PBF dan PBF Cabang dilarang menjual obat atau bahan obat secara
eceran.
• Setiap PBF dan PBF Cabang dilarang menerima dan/atau melayani resep dokter.
Pasal 18
• PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat kepada PBF atau PBF Cabang lain,
dan fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Fasilitas pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
• apotek;
• instalasi farmasi rumah sakit;
• puskesmas;
• klinik; atau
• toko obat.
• Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF dan PBF Cabang
tidak dapat menyalurkan obat keras kepada toko obat.
• Untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, PBF dan PBF Cabang dapat menyalurkan obat
dan bahan obat kepada instansi pemerintah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
• PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai
surat pengakuannya.
Pasal 20
• PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker
penanggung jawab.
Pasal 21
• PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi, PBF
dan PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan.
• Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab.
• Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat pesanan untuk
lembaga ilmu pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga.
Pasal 22
• Setiap PBF dan PBF Cabang yang melakukan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran narkotika wajib memiliki izin khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 23
• Setiap PBF atau PBF Cabang yang melakukan pengubahan kemasan bahan obat dari
kemasan atau pengemasan kembali bahan obat dari kemasan aslinya wajib melakukan
pengujian laboratorium.
• Dalam hal dilakukan pengubahan kemasan atau pengemasan kembali bahan obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PBF atau PBF Cabang wajib memiliki ruang
pengemasan ulang sesuai persyaratan CDOB.
Pasal 24
• Selain menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau
bahan obat, PBF mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan.
BAB IV.
GUDANG PBF
Pasal 25  Gudang dan Kantor PBF dapat berada di lokasi terpisah,
dengan gudang tersebut harus memiliki Apoteker.
1) Gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang dapat berada pada lokasi yang terpisah
dengan syarat tidak mengurangi efektivitas pengawasan intern oleh
direksi/pengurus dan penanggung jawab.
2) Dalam hal gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang berada dalam lokasi yang
terpisah maka pada gudang tersebut harus memiliki apoteker.

Pasal 26  PBF & PBF Cabang boleh melalukan penambahan atau


perubahan gudang, dengan persetujuan dari Direktur Jenderal atau
Kepala Dinkes Provinsi
1) PBF dan PBF Cabang dapat melakukan penambahan gudang atau perubahan gudang.
2) Setiap penambahan atau perubahan gudang PBF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal.
3) Setiap penambahan atau perubahan gudang PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperoleh persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 27  Persyaratan permohonan penambahan
gudang PBF dan PBF Cabang
1) Permohonan penambahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal dengan mencantumkan :
a. alamat kantor PBF pusat;
b. alamat gudang pusat dan gudang tambahan;
c. nama apoteker penanggung jawab pusat; dan
d. nama apoteker penanggung jawab gudang tambahan.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh direktur/ketua
dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut :
a. fotokopi izin PBF;
b. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab gudang tambahan;
c. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab;
d. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; dan
e. peta lokasi dan denah bangunan gudang tambahan
3) Permohonan penambahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 28  Permohonan perubahan gudang PBF dan PBF Cabang
1) Permohonan perubahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat;
b. alamat gudang; dan
c. nama apoteker penanggung jawab.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
direktur/ketua dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut :
a. fotokopi izin PBF; dan
b. peta lokasi dan denah bangunan gudang.
3) Permohonan perubahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis
kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 29  Gudang tambahan hanya melakukan kegiatan penyimpanan


dan penyaluran sebagai bagian dari PBF atau PBF Cabang.
BAB V.
PELAPORAN
Pasal 30
1) Setiap PBF dan cabangnya wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga)
bulan sekali meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan
obat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM.
2) Selain laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal
setiap saat dapat meminta laporan kegiatan penerimaan dan penyaluran obat
dan/atau bahan obat.
3) Setiap PBF dan PBF Cabang yang menyalurkan narkotika dan psikotropika wajib
menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.
4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setiap saat harus dapat diperiksa
oleh petugas yang berwenang.
BAB VI.
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN
Pasal 31  Pembinaan

1) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota


melakukan pembinaan secara berjenjang terhadap segala kegiatan yang
berhubungan dengan peredaran obat atau bahan obat.
2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk :
a. menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan bahan obat
untuk pelayanan kesehatan; dan
b. melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan obat atau bahan obat yang
tidak tepat dan/atau tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
3) Pedoman mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 32  Pengawasan terhadap PBF

1) Pengawasan terhadap PBF dan PBF Cabang sebagaimana diatur dalam


Peraturan Menteri ini dilaksanakan oleh Kepala Badan.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk :
a. menjamin obat dan bahan obat yang beredar memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan; dan
b. menjamin terselenggaranya penyaluran obat dan bahan obat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
3) Pedoman mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 33  Sanksi terhadap pelanggaran

1) Pelanggaran terhadap semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai
sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. pencabutan pengakuan; atau
d. pencabutan izin.
3) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
berlaku paling lama 21 hari kerja dan harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
Pasal 34  Sanksi
1) Dalam hal PBF atau PBF Cabang diberikan sanksi administratif berupa penghentian
sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b,
pengaktifan kembali izin atau pengakuan dapat dilakukan jika PBF atau PBF Cabang
telah membuktikan pemenuhan seluruh persyaratan administratif dan teknis sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
2) Direktur Jenderal berwenang mencabut Izin PBF berdasarkan rekomendasi Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan.
3) Kepala Badan berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan
berupa Peringatan dan Penghentian Sementara Kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang.
4) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi berwenang memberi sanksi administratif berupa
peringatan, penghentian sementara kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang, dan
pencabutan pengakuan PBF Cabang.
5) Kepala Badan wajib melaporkan pemberian sanksi administratif kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
6) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan pemberian sanksi administratif
kepada Direktur Jenderal.
PMK No.34 Tahun 2014

Ketentuan 1-3
Perbuhan Peraturan Mentri Kesehatan
No.1148/Menkes/Per/VI/2011
“ Tentang Pedagang Besar Farmasi”

Perbuahan terhadap peraturan Menkes No. No.1148/Menkes/Per/VI/2011tertuang


pada PERMENKES RI No.34 Tahun 2014. Diantaranya :

Ketentuan 1 :
Pada pasal 1 PERMENKES RI No.34 Tahun 2014 atas perbuahan Keten- tuan Pasal
4 ayat (1) huruf d Menkes No.1148/ Menkes/Per/ VI/ 2011 :
Sebelum perubahan : komisaris/dewan pengawas dan direksi/ pengurus tidak
pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi
Sesudah perubahan : komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah
terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.
Ketentuan 2 :
Pada pasal 1 PERMENKES RI No.34 Tahun 2014 atas perbuahan
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c Menkes
No.1148/Menkes/Per/VI/2011 :
Sebelum perubahan : pernyataan komisaris/dewan penga -was dan
direksi/pengurus tidak pernah terlibat pelang- garan peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi.
Sesudah perubahan : pernyataan komisaris/dewan pengawas dan
direksi/pengurus tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2(dua) tahun
terakhir.
Ketentuan 3
Pada pasal 1 PERMENKES RI No.34 Tahun 2014 atas perbuahan Ketentuan pasal 8 ayat (4)-(6) Menkes
No.1148/Menkes/Per/VI/2011 diubah dan di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(4a) :

Sebelum perubahan :
(4) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi persya- ratan CDOB, Kepala
Balai POM mengeluarkan rekomendasi hasil analisis pemenuhan persyaratan CDOB kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon dengan
menggunakan contoh Formulir 3 sebagaimana terlampir.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi sebagai -mana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) serta persyaratan lainnya yang ditetapkan, Direktur Jenderal menerbitkan izin
PBF dengan menggunakan contoh Formulir 4 sebagaimana terlampir.
(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),ayat(4) , dan ayat (5) tidak dilaksanakan
pada waktunya, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dengan menggunakan contoh Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Setelah perubahan :
(4) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak melakukan audit pemenuhan
persyaratan CDOB, Kepala Balai POM melaporkan pemohon yang telah memenuhi persyaratan CDOB
kepada Kepala Badan.
(4a) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Kepala Badan POM memberikan reko mendasi pemenuhan persyaratan CDOB kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon dengan menggunakan
contoh Formulir 3 sebagaimana terlampir.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomen dasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4a) serta persyaratan lainnya yang ditetapkan, Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan
menggunakan contoh Formulir 4 sebagaimana terlampir.
(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat 4(a) dan
ayat (5) tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan
kegiatan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Balai POM dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dengan menggunakan contoh Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Analisis :
• Pada ketentuan 1 dan 2 terdapat perubahan bahwa komisaris tidak pernah
terlibat pelanggaran undang-undang di bidang farmasi dalam 2 tahun terakhir.
Dimana sebelum perubahan dinyatakan bahwa komisaris tidak pernah terlibat
pelanggaran undang-undang di bidang farmasi tanpa ada pengecualian. Hal
ini menandakan bahwa ada keringanan bagi komisaris di fasilitas distribusi
yang bisa saja atau pernah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang
pada tahun-tahun sebelumnya. Dapat juga diinterpretasikan bahwa mantan
pelanggar undang-undang bisa menjadi komisaris apabila sudah lebih 2 tahun
masanya.
• Pada ketentuan 3 atas perubahan pada pasal 8 ayat (4) dengan tambahan
ayat 4(a) bahwa persyaratan CDOB sampai ke Badan POM dimana, Dirjen
BPOM dan kepala Dinkes provinsi
Ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d diubah sebagai berikut:

Sebelum:
(2). Permohonan harus ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker calon
penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif sebagai
berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas kepala PBF Cabang;
b. fotokopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal;
c. surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang;
d. pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi;
e. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon penanggung jawab;
f. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
g. peta lokasi dan denah bangunan; dan
h. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab.
Sesudah:
(2). Permohonan harus ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker
calon penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif
sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas kepala PBF Cabang;
b. fotokopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal;
c. surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang;
d. pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2
(dua) tahun terakhir;
e. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon penanggung jawab;
f. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
g. peta lokasi dan denah bangunan; dan
h. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab.
Contoh:
Dalam memperoleh pengakuan sebagai PBF Cabang,
pemohon harus mengajukan permohonan yang harus
ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker calon
penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan
kelengkapan administratif, salah satunya yaitu pernyataan
kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir sesuai dengan
perubahan pasal 9 huruf d.
5. Di antara Pasal 12 dan Bab III disisipkan 1 (satu)
bagian baru, yakni Bagian Kelima:

Bagian Kelima Pembaharuan Izin PBF dan Pengakuan


PBF Cabang.
6. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A
yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 12A
(1) Dalam hal terjadi perubahan nama dan/atau alamat PBF
serta perubahan lingkup kegiatan penyaluran obat atau bahan
obat, wajib dilakukan pembaharuan izin PBF.
(2) Dalam hal terjadi perubahan izin PBF dan/atau alamat PBF
Cabang wajib dilakukan pembaharuan pengakuan PBF Cabang.
(3) Tata cara memperbaharui izin PBF atau pengakuan PBF
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
sampai dengan Pasal 10.
Contoh no (5) dan (6):
Pada PBF cabang Bypass pindah ke daerah Limau Manis
lalu juga mengganti namanya dan juga melakukan
perubahan lingkup kegiatan penyaluran obat dan juga
bahan obat, maka PBF cabang tersebut wajib untuk
melakukan pembaharuan pengakuan PBF cabang, sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 7 sampai Pasal 10.
7. Ketentuan Pasal 13 ditambahkan ayat (6) baru:

(6) PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan


obat atau bahan obat harus berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani apoteker penanggung jawab dengan
mencantumkan nomor SIKA.
Contoh :
PBF cabang Bypass melakukan suatu pengadaan obat
atau bahan obat sesuai surat pesanan yang disertai
tandatangan Apoteker Penanggung Jawab dengan
mencantumkan nomor SIKA.
8. Ketentuan Pasal 14 ayat (4) dihapus:

(4) Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi/pengurus


PBF atau PBF Cabang wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal
atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 6 (enam) hari kerja. (DIHAPUS)
Contoh:
Telah terjadi pergantian apoteker penanggung jawab (APJ) pada
PBF cabang Bypass. Pada permenkes sebelumnya (2011), apabila
terjadi demikian maka pengurus PBF cabang wajib melaporkan ke
Dirjen atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambatnya dalam
jangka waktu enam hari kerja. Akan tetapi pada permenkes no 34
tahun 2014, ketentuan ini telah dihapus.
Ketentuan 9

Sebelum Sesudah
Pasal 14 Pasal 14A
• (1) Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker
penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap • Dalam hal apoteker penanggung jawab
pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan tidak dapat melaksanakan tugas, apoteker
penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13. yang bersangkutan harus menunjuk
• (2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada apoteker lain sebagai pengganti
ayat (1) harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. sementara yang bertugas paling lama
• (3) Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan untuk waktu 3 (tiga) bulan. (2)
sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang. (4) Setiap
pergantian apoteker penanggung jawab, direksi/pengurus
Penggantian sebagaimana dimaksud pada
PBF atau PBF Cabang wajib melaporkan kepada Direktur ayat (1) harus mendapat persetujuan dari
Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja.
Ketentuan 9
Sesudah
Sebelum
Pasal 14B
Pasal 15 • (1) Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, pergantian
direktur/ketua PBF, wajib memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal
• (1) PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat Provinsi.
• (2) Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, pergantian
dan/atau bahan obat sesuai dengan CDOB direktur/ketua PBF Cabang, wajib memperoleh persetujuan dari Kepala
yang ditetapkan oleh Menteri. Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Kepala Badan, dan Kepala Balai POM.
• (2) Penerapan CDOB sebagaimana dimaksud • (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pada ayat (1) dilakukan sesuai pedoman teknis dan ayat (2), direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang melaporkan kepada
Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat
CDOB yang ditetapkan oleh Kepala Badan. dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja sejak terjadi perubahan.
• (3) PBF dan PBF Cabang yang telah • (4) Paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal atau
menerapkan CDOB diberikan sertifikat Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan surat persetujuan dengan
CDOB oleh Kepala Badan. tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Balai POM.
Ketentuan 10

Sebelum Sesudah
Pasal 19
Pasal 19 • (1) PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat
• PBF Cabang hanya dapat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai surat
pengakuannya.
menyalurkan obat dan/atau • (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
bahan obat di wilayah menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah
provinsi terdekat untuk dan atas nama PBF Pusat
provinsi sesuai surat yang dibuktikan dengan Surat
Penugasan/Penunjukan.
pengakuannya. • (3) Surat Penugasan/Penunjukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dimaksud.
Ketentuan 11

Sebelum Sesudah
Pasal 20 Pasal 20
• PBF dan PBF Cabang hanya
• PBF dan PBF Cabang hanya
melaksanakan penyaluran obat
melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang
berupa obat keras berdasarkan ditandatangani apoteker pengelola
surat pesanan yang apotek, apoteker penanggung jawab,
atau tenaga teknis kefarmasian
ditandatangani apoteker
penanggung jawab untuk toko obat
pengelola apotek atau apoteker dengan mencantumkan nomor SIPA,
penanggung jawab. SIKA, atau SIKTTK.
Ketentuan 12

Sebelum Sesudah
Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1)
• (1) Permohonan penambahan gudang • (1) Permohonan penambahan gudang PBF
PBF diajukan secara tertulis kepada diajukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan Kepala Dinas
Direktur Jenderal dengan
Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan
mencantumkan : a. alamat kantor PBF
Kepala Balai POM dengan mencantumkan:
pusat; b. alamat gudang pusat dan a. alamat kantor PBF pusat; b. alamat
gudang tambahan; c. nama apoteker gudang pusat dan gudang tambahan; c.
penanggung jawab pusat; dan d. nama nama apoteker penanggung jawab pusat;
apoteker penanggung jawab gudang dan d. nama apoteker penanggung jawab
tambahan. gudang tambahan.
Ketentuan 13

Sebelum Sesudah
Pasal 28 ayat (1) Pasal 28 ayat (1)
• (1) Permohonan perubahan • (1) Permohonan perubahan gudang
PBF diajukan secara tertulis kepada
gudang PBF diajukan secara Direktur Jenderal dengan tembusan
tertulis kepada Direktur Jenderal Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
dengan mencantumkan: a. Kepala Badan, dan Kepala Balai POM
alamat kantor PBF pusat; b. dengan mencantumkan: a. alamat
alamat gudang; dan c. nama kantor PBF pusat; b. alamat gudang;
dan c. nama apoteker penanggung
apoteker penanggung jawab. jawab.
Ketentuan 14

Sebelum Sesudah
• Pasal 34 ayat (6) • Pasal 34 ayat (6)
(6) Kepala Dinas (6) Kepala Dinas Kesehatan
Kesehatan Provinsi wajib Provinsi wajib melaporkan
pemberian sanksi administratif
melaporkan pemberian
kepada Direktur Jenderal
sanksi administratif kepada dengan tembusan Kepala
Direktur Jenderal Badan dan Kepala Balai POM
Ketentuan 15
Sebelum Sesudah
• Pasal 35
• Pasal 35 • 1) Permohonan Izin PBF dan PBF Cabang yang telah diajukan sebelum mulai
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan Peraturan Menteri
• (1) PBF dan PBF Cabang yang telah memiliki izin Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
dan/atau pengakuan sebelum Peraturan Menteri ini sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1191/Menkes/SK/IX/2002 atau Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
diundangkan, wajib menyesuaikan perizinan dan 287/Menkes/SK/X/1976 tentang Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran
penyelenggaraan usahanya paling lama 2 (dua) tahun Bahan Baku Obat.
sejak mulai berlakunya Peraturan Menteri ini. • (2) Izin PBF dan PBF Cabang yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri
• Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
(2) Permohonan Izin PBF dan PBF Cabang yang telah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
diajukan sebelum mulai berlakunya Peraturan Menteri 1191/Menkes/SK/IX/2002 atau Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
ini tetap diproses berdasarkan Peraturan Menteri 287/Menkes/SK/X/1976 tentang Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran
Bahan Baku Obat dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31
Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Desember 2015.
Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah• (3) Izin PBF dan PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor disesuaikan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat
1191/Menkes/SK/IX/2002 atau Keputusan Menteri tanggal 31 Desember 2015.
• (4) Penyesuaian pengakuan PBF Cabang dilakukan setelah memperoleh
Kesehatan Nomor 287/Menkes/SK/X/1976 tentang penyesuaian izin PBF pusat.
Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan• (5) Dalam hal PBF dan PBF Cabang tidak melakukan penyesuaian izin atau
Baku Obat. pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka PBF dan PBF
Cabang yang bersangkutan harus mengajukan permohonan izin atau pengakuan
sesuai ketentuan dalam Bab II Peraturan Menteri ini.
Sebelum Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan Ketentuan 16
2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B

i. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;


Sesudah j. peta lokasi dan denah bangunan;
k. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker
•Pasal 35A
penanggung jawab;
• (1) Permohonan penyesuaian izin PBF sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (3) harus diajukan oleh pemohon dengan
l. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung
kelengkapan sebagai berikut: jawab;
a. surat permohonan kepada Direktur Jenderal yang ditandatangani m. rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB dari
oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab; Kepala Badan; dan
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua; n. rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dari
c. susunan direksi/pengurus; Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
d. surat pernyataan komisaris/dewan pengawas dan (2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
direksi/pengurus tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan diterimanya permohonan penyesuaian izin PBF
perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dinyatakan
tahun terakhir;
e. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF
perundang-undangan; dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
f. surat Tanda Daftar Perusahaan; Provinsi, Kepala Badan, dan Kepala Balai POM
g. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan; dengan menggunakan contoh sebagaimana
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; tercantum dalam Formulir 11 terlampir.
Ketentuan 16

Sesudah
• Pasal 35B i. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
j. peta lokasi dan denah bangunan;
• (1) Permohonan penyesuaian pengakuan PBF Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) harus diajukan k. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker
oleh pemohon dengan kelengkapan sebagai berikut: penanggung jawab;
a. surat permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi yang l. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab;
ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab; m. rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB dari Kepala
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua; Badan; dan
c. susunan direksi/pengurus; n. rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dari Kepala
d. pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
pernah terlibat pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang
• (2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
diterimanya permohonan penyesuaian pengakuan PBF
e. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan; Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
f. surat Tanda Daftar Perusahaan; dinyatakan lengkap, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
g. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan; menerbitkan pengakuan PBF Cabang dengan tembusan
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, Kepala Balai POM,
dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 12 terlampir.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
1148/MENKES/PER/VI/2011
TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI

Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan
perundang-undangan. Dimana peranan apoteker sangat besar disini dalam kegiatan pendistribusian ke
beberapa fasilitas pelayanan kefarmasian. Ada beberapa peraturan menteri kesehatan yang mengatur
tentang kegiatan pekerjaan kefarmasian diIndustri dan PBF, salah satunya diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2017 dimana peraturan ini diubah atas pembaruan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 sebagai berikut:

 Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi bahwa dalam
kegiatan penyaluran dan pengadaan obat atau bahan obat hanya PBF pusat yang memiliki
wewenang untuk dapat menyalurkan obat/bahan obat tersebut ke PBF lainnya serta dalam
kegiatan pendistribusian pesanan obat harus didasarkan pada surat pesanan yang telah ditanda
tangani oleh apoteker penanggung jawab
 Ketentuan Pasal 14A diubah sehingga berbunyi bahwa apoteker penanggung jawab
apabila tidak dapat melaksanakan tugasnya PBF harus menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara dalam bertugas paling lama untuk 3 bulan, dimana perlunya
adanya pemberitahuan secara tertulis kepada dinas kesehatan provinsi

 Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi bahwa PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di daerah provinsi sesuai dengan surat pengakuannya dimana pemberitahuan
atas Surat Penugasan/Penunjukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan provinsi yang
dituju dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi asal PBF Cabang, Kepala Balai POM
provinsi asal PBF Cabang dan Kepala Balai POM provinsi yang dituju.

 Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi bahwa PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan
penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pemegang SIA,
apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat
dengan mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK.dan untuk pembelian secara elektronik (E-
Purchasing) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PMK 16 Tahun 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI KESEHATAN
NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010
TENTANG
INDUSTRI FARMASI

Undang-Undang dan Etika Farmasi


Pasal I
1. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 721), diubah sebagai berikut:

PMK 1799 Tahun 2010

PMK 16 Tahun 2013


2. Dalam PMK 16 Tahun 2013, Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A, yang
berbunyi sebagai berikut:

Dimana pada Permenkes 16 Tahun 2013, tidak ada penjelasan


terkait syarat-syarat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh
pemohon pembaharuan izin industri farmasi. Maka dari itu,
dibuat perubahan pasal yaitu disisipkan Pasal 30A seperti
yang tertera.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Persyaratan pengurusan izin industri farmasi dalam permenkes ini sama dengan syarat pada permenkes
sebelumnya, hanya saja waktu dan penerbitan surat izinnya lebih cepat dikeluarkan, yakni paling lama
dalam waktu 14 hari kerja sejak diterimanya pembaharuan izin industri farmasi dan telah dinyatakan
lengkap.
Thanks !

Anda mungkin juga menyukai