Anda di halaman 1dari 129

ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHIWABAROKATUH

MATA KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA


SEMESTER III PRAJA MUDA IPDN KAMPUS NTB
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

O
L
E
H
Drs. H. Abdul Wahab, SH., MH.

DOSEN INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


KAMPUS NTB
.
CPMK: Mampu memahami Sejarah tata hukum
Indonesia dan Politik hukum Indonesia
Materi Kajian (Materi Pembelajaran) :
1. Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum
Indonesia sebelum dan sesudah Kemerdekaan.
2. Pra Kemerdekaan :
a. Masa VOC
3. Pasca Kemerdekaan :
b. Masa 1945-1949
c. Masa 1949-1950
d. Masa 1950-1959
e. Masa 1959-Sekarang.
1. Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum Indonesia sebelum dan sesudah Kemerdekaan

Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang


waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak
zaman prasejarah berdasarkan penemuan
"Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun
yang lalu. Periode sejarah Indonesia dapat
dibagi menjadi lima (5) era:
1.Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha danIslam di Jawa, Sumatra, dan
Kalimantan yang terutama mengandalkan
perdagangan;
2.Era Kolonial , masuknya orang-orang Eropa (terutama
Belanda, Portugis, dan Spanyol) yang menginginkan
rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh
Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17
hingga pertengahan abad ke-20;
3. Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966);
4. Era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto
(1966–1998);
5. Era Orde Reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
1. Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia modern
(untuk kemudahan, selanjutnya disebut
Nusantara) merupakan pertemuan antara tiga
lempeng benua utama: Lempeng Eurasia,
Lempeng Indo-Austrial, dan Lempeng Pasifik
(lihat artikel Geologi Indonesia). Kepulauan
Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk
pada saat melelehnya es setelah berakhirnya
Zaman Es, sekitar 10.000 tahun yang lalu.
2. Era Kerajaan-Kerajaan di Nusantara
Sejarah awal
Sejarah Nusantara
Para cendekiawan India telah menulis tentang
Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di
Pulau Jawa dan Sumatra atau Swarna Dwipa
sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan
mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme
pada abad ke-5, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang
menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir
Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425
ajaran Buddhisme telah mencapai wilayah tersebut.
3. Kerajaan Hindu-Buddha
Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Bara
terdapat kerajaan bercorak Hindu-Buddha, yaitu Kerajaan
Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda
sampai abad ke-16. Pada abad ke-7 hingga abad ke-14,
kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.
Penjelajah Tiongkok, I Ching, mengunjungi ibu kota
Sriwijaya, Palembang, sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa
Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi
saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur,
Majapahit.
Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga
1364, Gajah Mada berhasil memperoleh
kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian
besarnya adalah Indonesia beserta hampir
seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari
masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum
dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang
terlihat dalam wiracarita Ramayana.
4 . Kerajaan & Kesultanan Islam
Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam
Kesultanan sebagai sebuah pemerintahan oleh
penguasa Muslim hadir di Indonesia sekitar abad
ke-12 dan membangung tamadun. Namun,
sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada
abad ke-7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional
melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti
Tang di Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan
Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7.
Menurut sumber-sumber Cina zaman Dinasti
Tang, menjelang akhir perempatan ketiga abad
7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin
permukiman Arab Muslim di pesisir pantai
Sumatra. Islam pun memberikan pengaruh
kepada institusi politik yang ada. Hal ini tampak
pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi
yang bernama Srindravarman mengirim surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Bani Umayyah meminta
dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam
kepadanya.
Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah
keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu
seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya
terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya
terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu,
bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus
yang semerbak wanginya hingga menjangkau
jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah.
Ini Belasan Raja Srindravarman
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah,
yang sebenarnya merupakan hadiah yang
takbegitu banyak, tetapi sekadar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan
kepada saya seseorang yang dapat
mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-
hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun
720 M, Raja Srindravarman, yang semula
Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun
dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'.
2. Era kolonial
Kolonisasi Portugis dan Spanyol
Sejarah Nusantara Zaman Portugis dan Spanyol
Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de
Albuquerque. Karena tokoh inilah, yang membuat
kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang
Eropa dan dimulainya kolonisasi berabad-abad oleh
Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama
Britania dan Belanda—juga Spanyol dalam waktu
yang singkat.
Dari Sungai Tajo yang bermuara ke Samudra
Atlantik itulah armada Portugis mengarungi
Samudra Atlantik, yang mungkin memakan
waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati
Tanjung Harapan di Afrika, menuju Selat
Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke
Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-
rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
” Pada abad ke-16 saat petualangan itu dimulai
biasanya para pelaut negeri Katolik itu
diberkati oleh pastor dan raja sebelum
berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa.
Biara St Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos
dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja
Manuel pada tahun 1502 di tempat saat Vasco
da Gama memulai petualangan ke timur.
Museum Maritim atau orang Portugis
menyebut Musem de Marinha itu didirikan
oleh Raja Luis pada 22 Juli 1863 untuk
menghormati sejarah maritim Portugis.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis
memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan
arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku
Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of
Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip
sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya
ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke
Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam
tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza,
dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan,
dan gereja atau perdagangan, dominasi militer,
dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis
Kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di
Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis
ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung
ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli
1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta
600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan
Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis
menguasai perdagangan rempah-rempah dari
Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka,
ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de
Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Periode Kolonisasai Portugis di Nusantara
Periode 1511-1526, selama 15 tahun,
Nusantara menjadi pelabuhan maritim
penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara
reguler menjadi rute maritim untuk menuju
Pulau Sumatra, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan
Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi
dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani
perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang
tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21
Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang
dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda
dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang
sama dibangun sebuah prasasti yang disebut
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat
yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan
Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian
ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang
atau benteng di Sunda Kelapa.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis,
dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan
kakinya di Maluku.
Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa
Portugis untuk menyerahkan pertahanannya
di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di
Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian
pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram,
dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu
Belanda berhasil menguasai sebagian besar
wilayah Maluku.
Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat
dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan
sejak saat itu Belanda menjadi penguasa
tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan
Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional
VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh
di bawah kendali VOC selama hampir 350
tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-
segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol,
dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang
Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
kemudian mereka membangun benteng di Ternate
tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun
Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah
perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi
Utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560
hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian
dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca
buku:Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh
David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada
dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil
mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian
Portugis mundur dan menguasai Timor timur (sejak
1515).
Bangkitnya Perlawanan Rakyat dibeberapa daerah :

a. Perlawanan Rakyat terhadap Portugis


Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka
dan ke Kepulauan Maluku merupakan perintah dari
negaranya untuk berdagang.
b. Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap Portugis
Perjuangan perlawanan Rakyat Perserikatan Minahasa
melawan Portugis telah berlangsung dari tahun 1512-
1560, dengan gabungan perserikatan suku-suku di
Minahasa maka mereka dapat mengusir Portugis.
Portugis membangun beberapa Benteng pertahanan di
Minahasa di antaranya di Amurang dan Kema.
c. Perlawanan Rakyat Malaka terhadap Portugis
Pada tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin
oleh Albuquerque menyerang Kerajaan Malaka.
Usaha perlawanan kolonial Portugis di Malaka yang
terjadi pada tahun 1513 mengalami kegagalan karena
kekuatan dan persenjataan Portugis lebih kuat. Pada
tahun 1527, armada Demak di bawah pimpinan
Fatahillah/Falatehan dapat menguasai Banten,Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Armada Portugis dapat
dihancurkan oleh Fatahillah/Falatehan dan ia
kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta yang artinya kemenangan besar, yang
kemudian menjadi Jakarta.
d. Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis
Mulai tahun 1554 hingga tahun 1555, upaya
Portugis tersebut gagal karena Portugis
mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh.
Pada saat Sultan Iskandar Muda berkuasa,
Kerajaan Aceh pernah menyerang Portugis di
Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
e. Perlawanan Rakyat Maluku terhadap
Portugis
Bangsa Portugis pertama kali mendarat di
Maluku pada tahun 1511. Kedatangan Portugis
berikutnya pada tahun 1513. Akan tetapi,
Ternate merasa dirugikan oleh Portugis karena
keserakahannya dalam memperoleh
keuntungan melalui usaha monopoli
perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan
kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengusir
Portugis di Maluku.
Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh
Sultan Hairun dapat kembali melakukan perlawanan
terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya
oleh Portugis hingga akhirnya tewas terbunuh di
dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin
oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Portugis
diusir yang kemudian bermukim di Pulau Timor.
2. Pra Kemerdekaan :

Masa VOC
Mulai tahun 1602 Kongsi dagang VOC yang
didirikan di Republik Persekutuan Tujuh Provinsi
bersaing dengan kerajaan Portugal dan Kerajaan
Spanyol dalam dominasi perdagangan rempah di
Hindia Timur (Nusantara), secara perlahan-lahan
menjadi penguasa wilayah yang kini adalah
Indonesia, dengan memanfaatkan Perselisihan
dan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil
yang telah menggantikan Majapahit.
VOC berhasil mengeliminasi Kongsi dagang EIC
yang didirikan oleh kerajaan Inggris yang
bertahan di bengkulu hingga 1824, satu-
satunya koloni Portugal yang masih bertahan
hingga abad 20 adalah Timor Portugis, yang
tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika
berintegrasi menjadi provinsi Indonesia
bernama Timor Timur
Tata Hukum di Indonesia pada Masa VOC
(1602-1799)

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di


Nusantara, hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum
yang tidak tertulis atau dikenal dengan sebutan hukum adat.
Setelah orang-orang Belanda ada di Indonesia dan mendirikan
perserikatan dagang yang dikenal dengan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC), di Nusantara mulai terjadi dualisme tata hukum
yang berlaku, yaitu :
1.Hukum Adat
2. Hukum Belanda
Hukum Belanda dalam hal ini adalah hukum yang berlaku
bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat
dagang VOC. Pada awalnya hukum Belanda yang
diterapkan di daerah kekuasaannya adalah hukum yang
berlaku bagi kapal-kapal VOC. Bagian terbesar hukum
kapal tersebut adalah hukum disiplin (tucht recht). Namun
pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan kepada
pribumi dalam beberapa hal.
Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku di daerah
kekuasaan VOC terdiri dari :
1.Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van
Batavia)
2.Hukum Belanda yang kuno
3. Asas-asas hukum Romawi
VOC dan Pemberlakuan Hukum Belanda
Masuknya hukum Belanda diawali dengan
diberikannya hak octrooi kepada VOC oleh Staten
Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-
negara Belanda. Dengan hak istimewa tersebut, VOC
mulai mendominasi dengan melakukan monopoli
pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.
Setelah menguasai beberapa daerah dengan
dukungan hak octrooi ini, tatanan hukum asing yang
awalnya hanya berlaku dalam kapal VOC, mulai
diberlakukan secara konkordansi bagi orang Belanda
dan bagi pribumi yang mengikatkan diri dalam
sebuah perjanjian dengan orang Belanda.
• Pada saat Pieter Both ditunjuk menjadi Gubernur
Jenderal pertama (1610-1614), VOC diberi wewenang
untuk membuat peraturan yang diperlukan di daerah
yang dikuasainya. Peraturan yang dibuat tersebut
diumumkan berlakunya melalui "plakaat". Karena
tidak dikelola dan disusun dengan baik, terlebih pada
periode tahun 1635-1946 terjadi pergolakan rakyat
menentang monopoli perdagangan VOC. Karena itu,
timbul kebingungan terkait plakaat yang masih
berlaku dan mana yang sudah dicabut.
• Untuk merapikan plakaat tersebut, Gubernur Jenderal Van
Diemen (1636-1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker,
seorang pensiunan dari Hof Van Justitie (setingkat MA) untuk
mengumpulkan dan menyusun plakaat yang telah diterbitkan.
Pada tahun 1642, seluruh plakaat berhasil dihimpun,
kemudian diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia
(Statuta Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai hukum
positif dan memiliki kekuatan berlaku yang sama sebagaimana
peraturan lain yang telah ada. Mengenai pemberlakuannya,
Statuta Betawi ditujukan kepada orang pribumi maupun orang
pendatang. Selanjutnya Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan
plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara
Berlakunya peraturan VOC secara langsung tidaklah
menghapus kaedah hukum adat yang berlaku.
Untuk kepentingan orang pribumi, VOC tetap
memberlakukan hukum adat, akan tetapi dengan
melakukan campur tangan di jenjang peradilan
adat. Campurtangan tersebut dilandasi dengan
alasan-alasan, bahwa :
Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai
untuk memaksakan rakyat menaati peraturan-
peraturan;
Hukum adat kalanya tidak mampu
menyelesaikan suatu perkara, karena
persoalan alat-alat bukti; adanya tindakan-
tindakan tertentu yang menurut hukum adat
bukan merupakan kejahatan, sedangkan
menurut hukum positif merupakan tindakan
pidana yang harus diberikan suatu sanksi.
Lahirnya Pakem Cirebon untuk dijadikan pegangan bagi
hakim peradilan adat merupakan bentuk campur tangan
VOC terhadap peradilan adat. Pakem Cirebon memuat
sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dan
dirantai. Pada zaman ini daerah Nusantara, misalnya
Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam
seperti hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan
perzinahan, hukum potong tangan bagi orang mencuri,
hukuman menumbuk kepala dengan alu lesung bagi
orang yang membunuh tanpa hak.
Sebagaimana diketahui, VOC dinyatakan pailit dan
dibubarkan pada 31 Desember 1799. Pailitnya VOC
menjadi babak baru dimana Indonesia jatuh ke tangan
inggris, di bawah kendali Gubernur jenderal
Ad. B. Masa BR

Tata Hukum pada Masa Besluiten Regerings (1814-1855)


SUDUT HUKUM Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja
mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-
daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap
harta benda milik negara bagian lain.(menurut Pasal 36
UUD Negeri Belanda 1814). Kekuasaan mutlak raja itu
diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan
peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene
Verordening atau Peraturan Pusat. Peraturan pusat
berupa keputusan raja, maka dinamakan Keninklijk
besluit. Pengundangannya lewat selebaran yang
dilakukan oleh Gubernur Jenderal.
Ada 2 (dua) macam keputusan raja sesuai
dengan kebutuhannya:
1. Ketetapan raja yaitu besluit sebagai tindakan
eksekutif raja, misalnya ketetapan
pengangkatan gubernur jenderal.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif,
misalnya berbentuk Algemene Verordening
atau Algemene Maatregel van Bestuur
(AMVB) di negeri Belanda.
• Raja mangangkat para Komisaris Jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan Pemerintahan di
”Nederlands Indie” (Hindia Belanda). Mereka yang
diangkat adalah Elout, Buyskes dan Van de
Capellen. Para komisaris jenderal itu tidak membuat
peraturan baru untuk mengatur Pemerintahannya.
Mereka tetap memberlakukan Undang-undang dan
peraturan-peraturan yang berlaku pada masa
Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenai
Landrente dan susunan pengadilan buatan Raffles.
Sejak para komisaris jenderal memegang Pemerintahan di
daerah-daerah jajahan (wilayah Hindia Belanda), baik raja
maupun gubernur jenderal tidak mengadakan perubahan
peraturan maupun undang-undang karena mereka
menunggu terwujudnya kodifikasi hukum yang direncanakan
oleh Pemerintah Belanda.
Lembaga peradilan yang diperuntukan bagi orang-orang
pribumi tetap sama digunakan peradilan Inggris begitu pula
pelaksanaannya. Dalam usaha untuk memenuhi kekosongan
kas negara Belanda Gubernur Jenderal Du Bus dengan
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara
mempekerjakan orang-orang pribumi yang sedang
menjalankan hukuman, yang dikenal dengan kerja paksa
(dwangs arbeid).

Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada
tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil
mengkodifikasikan hukum perdata. Pengundangan
hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat
terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.
Setelah itu timbul pemikiran tentang pengkodifikasian
hukum perdata bagi orang-orang Belanda yang berada
di Hindia Belanda. Pemikiran itu akan diwujudkan
sehingga pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri
jajahan Belanda mengangkat Komisi Undang-undang
bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van
Out Haarlem (ketua) dan Mr. Mr. J. Schneither serta
Mr. J.F.H van Nes sebagai anggota.
Beberapa peraturan yang berhasil ditangani oleh
Komisi itu dan disempurnakan oleh Mr. H.L. Wicher
adalah:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau
Peraturan Oranisasi Pengadilan (POP).
2. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketntuan-ketentuan umum tentang perundang-
undangan.
3. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata).
4. Wetboek van Koophandel (WvK) atau KUHD
5. Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau
peraturan tentang acara perdata (AP).
Semua peraturan tersebut setelah
disempurnakan oleh Mr. H.L. Wicher
diundangkan berlakunya di Hindia Belanda
sejak tanggal 1 Mei 1848 malalui S.1847:57.
Dari kenyataan sejarah tersebut di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa tata hukum pada
masa Besluiten Regerings (BR) terdiri dari
peraturan-peraturan tertulis yang
dikodofikasikan, peraturan-peraturan tidak
tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi
orang bukan golongan Eropa.
Ad. C. Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)

Di negeri Belanda terjadi perubahan Grond Wet (UUD) pada tahun


1848 sebagai akibat dari pertentangan Staten General (Parlemen)
dan raja yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang
mengelola kehidupan bernegara. Adanya perubahan Grondwet itu
mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan
pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di
Indonesia.
Hal ini dicantumkannya Pasal 59 ayat I, II dan IV Grontwet yang
menyatakan bahwa :
a. Ayat I raja mempunyai kekuasaan tertinggi atau daerah jajahan
dan harta kerajaan di bagian dari dunia.
b. Ayat II dan IV aturan tentang kebijasanaan pemerintah ditetapkan
melalui undang-undang sistem keuangan ditetapkan melalui
undang-undang.
c. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan
Menurut ketentuan Pasal 59 ayat I, II, IV di
atas, kekuasaan raja terhadap daerah jajahan
menjadi berkurang. Peraturan yang menata
daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan
oleh raja dengan Koninklijk Besluit-nya, tetapi
ditetapkan bersama oleh raja dengan
parlemen, sehingga sistem pemerintahannya
berubah dari monarki konstitusional menjadi
monarki parlementer.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh
raja dengan parlemen untuk mengatur
pemerintahan daerah jajahan di Indonesia
adalah Regerings Reglement (RR).
RR ini berbentuk undang-undang yang
diundangkan melalui Staatsblad 1855 Nomor
2 yang isinya terdiri atas 8 bab dan 130 pasal
yang mengatur tentang pemerintahan di
Hindia Belanda, sehingga RR ini dianggap
sebagai undang-undang dasar pemerintahan
jajahan Belanda.
Politik hukum pemerintahan Belanda yang
mengatur tentang tata hukum dicantumkan
dalam pasal 75 RR dan asasnya sama
sebagaimana termuat dalam Pasal 11 AB,
yaitu dalam menyelesaikan perkara perdata
hakim diperintahkan untuk menggunakan
hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa
dan hukum perdata adat bagi orang bukan
Eropa.
Selanjutnya RR mengalami perubahan pada
tahun 1920 pada pasal tertentu, sehingga
dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal
1 Januari 1920 sampai tahun 1926. Golongan
penduduk dalam pasal 75 RR itu diubah dari
dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu
golongan Eropa, golongan Timur Asing dan
golongan Bumiputera (pribumi).
Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-
kitab hukum, yaitu :
1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui
Staadsblad 1866 Nomor 55 sebagai hasil saduran dari Code
Penal yang berlaku di Belanda pada waktu itu;
2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab
hukum pidana untuk golongan Eropa tahun 1872 Nomor 85
yang isinya hampir sama dengan Kitab Hukum Pidana Eropa
tahun 1866;
3. Politie Stafreglement bagi orang bukan eropa melalui
Staatsblad 1872 Nomor 111;
4. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915
dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda
dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi semua
golonganpenduduk mulai tanggal 1 Januari 1918.
Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi (bumi putera)
adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika
Pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum adat
dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya
(Pasal 131 ayat (6) IS). Dengan demikian berlakunya hukum
adat tidak mutlak. Keadaan demikian telah dibuktikan
dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang
diberlakukan lagi bagi semua golongan:
1. 933:48 jo S.1938:2 tentang Peraturan Pembukuan Kapal.
2. S.1933:108 tentang Peraturan Umum Perhimpunan
Koperasi.
3. S.1938:523 ordonansi tentang Orang Yang Meminjamkan
Uang.
4. S.1938:524 Ordonansi tentang Riba.
Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi:
1. S. 1927:91 tentang Koperasi Pribumi.
2. S. 1931:33 Peraturan tentang Pengangkatan Wali
di Jawa dan Madura.
3. S.1933:74 tentang Perkawinan Orang Kristen di
Jawa, Minahasa, dan Ambon.
4. S.1933:75 Peraturan tentang Pencatatan Jiwa
Bagi Orang Indonesia di Jawa, Madura,
Minahasa, Ambon, Saparua, dan Banda.
5. S.1939:569 Ordonansi tentang Maskapai Andil.
6. S.1939:570 Ordonansi tentang Perhimpunan
Pribumi.
Hukum yang berlaku pada Golongan Timur Asing:
1. Hukum Perdata dan Hukum Pidana Adat mereka menurut
ketentuan Pasal 11 AB, berdasarkan S.1855:79 (untuk
semua golongan Timur Asing).
2. Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan
Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui
S.1924:557, dan untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya
BW tanggal 1 September 1925 melalui S.1925:92.
3. WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum
pidana material.
4. Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa dan hukum
acara yang berlaku bagi golongan pribumi karena dalam
praktek kedua hukum acara tersebut digunakan untuk
peradilan bagi golongan Timur Asing.
Dalam proses penyelenggaraan peradilan di
samping susunan peradilan yang telah disebut
di atas masih ada lembaga-lembaga
pengadilan lain yang melaksanakan peradilan
sendiri. Lembaga pengadilan itu adalah:
a. Pengadilan Swapraja
b. Pengadilan Agama
c. Pengadilan Militer
Ad.D.Masa Indische Straatsregeling/IS (1926-1942)
Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR)
diubah menjadi Indische Staatsregeling (IS) atau peraturan
ketatanegaraan Hindia Belanda yang termuat dalam
Staatsblad (1925) Nomor 415 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1926.
Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia
Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak
tertulis (Hukum adat) dan sifatnya masih pluralistis
khususnya hukum perdata. Hal ini tampak pada ketentuan
pasal 131 IS yang juga menjelaskan bahwa pemerintah
Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha
untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk
Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing dan Bumiputra
(Pribumi) yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS.
1. Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS
adalah tunduk kepada hukum perdata, yaitu Burgelijk
Wetboek (BW) dan Wetboek van Kopphandel (WvK) yang
diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848, dengan asas
konkordansi. Untuk hukum pidana materiil,
berlaku Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732.
Sedangkan untuk Hukum acara yang dilaksanakan dalam
proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura
diatur dalam Reglement op de Burgerlijk Rechts Vordering
untuk perkara perdata dan Reglement op de Straf Vordering
untuk proses perkara pidana, yang keduanya mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1918.
Mengenai susunan peradilan yang dipergunakan
untuk golongan Eropa di Jawa dan Madura adalah :
– Residentte Gerecht;
– Raad van Justitie;
– Hoogerechtchof.
Sedangkan acara peradilan di luar Jawa dan Madura
diatur dalam Rechts Reglement Buitengewesten
(RBg) berdasarkan Staatsblad 1927 Nomor 227
untuk daerah hukumnya masing-masing.
2. Bagi golongan bumiputra (pribumi)
1.Dalam hal keperdataan, hukum yag digunakan adalah hukum perdata
adat dalam bentuk tidak tertulis. Tetapi dengan adanya pasal 131 ayat
(6) IS kedudukan berlakunya hukum perdata adat itu tidak mutlak,
dan dapat diganti dengan ordonansi jika dikehendaki oleh pemerintah
Hindia Belanda. Keadaan demikian telah dibuktikan dengan
dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan untuk semua
golongan yaitu :
1. Staatsblad 1933 Nomor 48 jo. Staatsblad 1939 Nomor 2 tentang peraturan
pembukuan kapal;
2. Staatsblad 1933 Nomor 108 tentang peraturan umum untuk perhimpunan
koperasi;
3. Staatsblad 1938 Nomor 523 tentang ordonansi orang yang meminjamkan
uang
4. Staatsblad 1938 Nomor 524 tentang ordonansi riba
Adapun hukum yang berlaku bagi golongan bumiputera,
yaitu :
1. Staatsblad 1927 Nomor 91 tentang koperasi bumiputera;
2. Staatsblad 1931 Nomor 53 tentang pengangkatan wali di Jawa dan
Madura;
3. Staatsblad 1933 Nomor 74 tentang perkawinan orang kristen Jawa,
Minahasa dan Ambon;
4. Staatsblad 1933 Nomor 75 pencatatan jiwa bagi orang Indonesia di Jawa,
Madura, Minahasa. Amboina, Saparua, dan Banda;
5. Staatsblad 1939 Nomor 569 tentang Maskapai Andil;
6. Staatsblad 1939 Nomor 570 tentang perhimpunan pribumi.
Semua Staatsblad di atas adalah ordonansi yang
berkaitan dengan bidang hukum perdata.
Hukum yang berlaku pada Golongan Timur Asing:
1. Hukum Perdata dan Hukum Pidana Adat mereka menurut ketentuan
Pasal 11 AB, berdasarkan S.1855:79 (untuk semua golongan Timur
Asing).
2. Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui S.1924:557, dan
untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September
1925 melalui S.1925:92.
3. WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana material.
4. Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa dan hukum acara yang
berlaku bagi golongan pribumi karena dalam praktek kedua hukum
acara tersebut digunakan untuk peradilan bagi golongan Timur Asing
Terima Kasih
L a n j u t a n
Selamat pada Pertemuan ke 3
3. PASCA KEMERDEKAAN

Ad. A. Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945-26 Desembe


1949
1. Sejarah terbentuk UUD 1945
Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus
1945, saat itu bangsa Indonesia telah mengambil
sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur dan
menyusun negaranya serta menetapkan tata
hukumnya, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan
elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945.
 Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan
berlaku masa itu dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2
aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
Pasal 1 yang berbunyi :
Segala peraturan peundang-undangan yang telah
ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar Ini
 Pasal 2 menyebutkan :
Semua lembaga negara yang ada masih tetap
berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini
Menurut ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan
itu dapat diketahui, bahwa semua peraturan dan
lembaga yang telah ada dan berlaku pada jaman
penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan
balatentara Jepang, tetap diberlakukan dan
difungsikan.
Dengan demikian, tata hukum yang berlaku pada
masa tahun 1945-1949 adalah semua peraturan
yang telah ada dan pernah berlaku pada masa
penjajahan Belanda maupun masa Jepang
berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang
dihasilkan oleh pemerintah negara Republik
Indonesia dari tahun 1945-1949.
Ad.B. Masa UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29
April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan
UUD 1945. Pada sidang pertama yang berlangsung
dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang
diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38
anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang
terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta
yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
• Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-
pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945
dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.
Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI). Di Sumatera ada BPUPKI untuk
Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945
sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak
dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia
sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil
Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945
memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan
legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet
Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang
pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
perubahan sistem pemerintahan agar dianggap
lebih demokratis
2. Bentuk negara dan pasal
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) jadi
bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik, seperti yang di jelaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD’45.
3. Bentuk pemerintahan
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) jadi
bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik, seperti yang di jelaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD’45
4. Sistem pemerintahan
Kabinet di Periode 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949 berubah – ubah. Kabinet RI
yang pertama terdiri dari 12 menteri
memimpin departemen dan 4 menteri negara.
Namun kabinet ini dipimpin oleh Presiden
Soekarno, para mentri bertanggung jawab
kepada Presiden sehingga indonesia
menganut Presidensil.
Dalam kehidupan negara demokratis
terbentuk beberapa partai politik di Indonesia.
Ada banyaknya partai politik maka dikeluarkan
maklumat Pemerintah 14 November 1945
kabinet berubah menjadi kabinet parlementer
dengan Sultan Syahrir menjadi Perdana Mentri
I di Indonesia. Perubahan kabinet ini dimaksud
agar bangsa Indonesia mendapat dukungan
dari negara – negara barat yang menganut
paham demokrassi dan kabinet parlementer.
5. Lembaga pemerintahan
1. Presiden
2. DPR
3. BPK
4. DPA
5. MPR
6. Pelaksanaan UUD 1945
Undang-Undang dasar dari suatu negara hanyalah
merupakan sebagian saja dari Hukum dasar negara
itu dan bukanlah merupakan satu-satunya sumber
hukum.
UUD 1945 menghendaki bentuk negara kesatuan
dan bentuk pemerintahannya republik (pasal 1
ayat 1 UUD 1945) sedangkan sistem
pemerintahannya presidensial hal ini dapat
dijumpai pada pasal 4 ayat 1 yang menyatakan
“Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar”.
Sedangkan pada pasal 5 ayat 2 menyatakan
“Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”. Pada pasal 17 ayat 1
menyatakan Presiden dibantu oleh menteri-
menteri negara. Pasal 17 ayat 2 menyebutkan:
Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.
UU 1945 pada periode pertama ini, kita dapat jumpai adanya
lima lembaga negara seperti
1.Presiden (eksekutif),
2.DPR (Legislatif),
3.DPA (konsulatif),
4.BPK (eksaminatif)
5.MA (yudikatif) dan
satu lembaga tertinggi negara yaitu MPR (lembaga
pelaksana kedaulatan rakyat). Namun, pembagian
kekuasaan pada masa kurun waktu 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949 belumlah berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga
negara seperti yang dimaksudkan dalam UUD 1945.
Ad.B. Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-16 Agustus 1950)

Sejarah
Konstitusi Republik Indonesia Serikat disahkan sebagai undang-
undang dasar negara berkaitan dengan pembentukan Republik
Indonesia Serikat oleh hasil Konfrensi Meja Bundar, sejak 27
Desember 1949 berdasarkan poin pertama dan kedua.
Pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidak serta
merta mencabut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena
perbedaan ruang lingkup penerapan. Konstitusi Republik Indonesia
Serikat berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 di
Indonesia berlaku UUDS 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1950 pada Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR
RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Isi Konstitusi
Konstitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas
mukadimah, isi dan piagam persetujuan. Isi
Konsitusi Republik Indonesia Serikat terdiri
enam bab dan seratus sembilan puluh tujuh
pasal.
Mukadimah
Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia
Serikat berisi secara ringkas pembukaan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang
menekankan aspek kesatuan, kedaulatan,
ketuhanan dan filosofi negara (Pancasila).
Bab 1: Negara Indonesia Serikat
Bab 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat ini terdiri
atas enam bagian. Empat bagian pertama merupakan
bagian mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan,
Daerah Negara, Lambang dan Bahasa Negara serta
Kewarganegaraan dan Penduduk Negara. Empat
bagian pertama dalam bab 1 Konstitusi Republik
Indonesia Serikat menyatakan bahwa:
1. Negara Indonesia Serikat merupakan negara hukum
yang berlandaskan demokrasi dan berbentuk
federasi (pasal 1a), yang kedaulatannya dilaksanakan
oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat (pasal 1b).
2. Negara Indonesia Serikat meliputi Negara
Republik Indonesia berdasarkan Perjanjian
Renville, Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa
Timur, Negara Madura dan Negara Sumatra
Timur dan Daerah-Daerah Otonom (Jawa
Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat
(Daerah istimewa), Dajak Besar; Daerah Bandjar,
Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur)
(pasal 2).
3. Bendera kebangsaan Republik Indonesia Serikat
adalah bendera Sang Merah Putih (pasal 3 ayat
1), Lagu kebangsaan adalah lagu "Indonesia Raya"
(pasal 3, ayat 2) dan Bahasa resmi Negara
Republik Indonesia Serikat adalah Bahasa
Indonesia (pasal 4).
4. Pemerintah menetapkan meterai dan lambang
negara (pasal 3 ayat 3).
5. Kewarganegaraan dan pewarganegaraan
(naturalisasi) serta Penduduk diatur oleh undang-
undang federal (pasal 5, ayat 1 dan 2 dan pasal 6).
Sedangkan, bagian lima dari bab 1 Konstitusi Republik Indonesia
Serikat mengatur mengenai Hak dan Kebebasan Dasar Manusia
(dengan kata lain Hak Asasi Manusia). Hal-hal yang diatur dalam
bagian ini antara lain:
1. pengakuan sebagai pribadi terhadap undang-undang (7(1)).
2. perlakuan dan perlindungan yang sama atas hukum (equality
before the law) (7(2), 7(3) dan 13).
3. mendapat bantuan hukum (7(4))
4. hak membela diri (7(4))
5. perlindungan atas harta benda (8)
6. mobilitas (9)
7. larangan perbudakan dan aktivitas terkait (10)
8. memperoleh perlakuan yang layak (11)
9. penahanan dan hukuman, harus dilakukan sesuai aturan-aturan
yang berlaku (12 dan 14(b))
10. praduga tak bersalah (14(a))
Lembaga-Lembaga Negara Pada Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949 -
17 Agustus 1950)
BAB I PENDAHULUAN
Masa konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS) merupakan saat bersejarah bagi bangsa
Indonesia. Masa ini merupakan periode ke-II
dalam sejarah perubahan Undang-Undang
Dasar Indonesia. Periode ini berlangsung dari
tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus
1950, dalam periode ini Negara Indonesia
menjadi Negara Serikat.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
merupakan tindak lanjut dari Konferensi Meja
Bundar yang menghasilkan tiga buah
persetujuan, dan salah satunya adalah
mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
Pada Republik Indonesia Serikat terdapat
keistimewaan pada lembaga negaranya, yakni
dengan adanya Senat yang mewakili daerah
bagian.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat
merupakan tindak lanjut dari Konferensi Meja Bundar,
pada tanggal 2 November 1945 yang menghasilkan
tiga buah persetujuan pokok yaitu:
2. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat
3. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat.
4. Didirikan uni antara Republik Indonesia Serikat
dengan Kerajaan Belanda.
Persetujuan peralihan kedaulatan terdiri tiga persetujuan
pokok yaitu:
1. Piagam peralihan kedaulatan
2. Status uni
3. Persetujuan perpindahan

Pemulihan kedaulatan itu akan dilakukan pada tanggal 27


Desember 1949. Sebenarnya penyerahan kedaulatan itu
dilaksanakan tanggal 25 Desember 1949, akan tetapi salah
satu pemimpin Negara Indonesia terutama Drs. Moh. Hatta
sangat waspada. Pemimpin kita tidak mau sebab tanggal 25
Desember 1949 adalah hari Natal. Jangan-jangan
penyerahan kedaulatan itu dianggap sebagai hadiah Natal.
Oleh karena itu maka penyerahan kedaulatan diundur
menjadi tanggal 27 Desember 1949 ( Bibit Suprapto,
1985:106)
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat
sifatnya adalah sementara
Sifat sementara daripada Konstitusi Republik
Indonesia Serikat dapat kita lihat dari pasal
186 yang menentukan bahwa: “Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-
lekasnya menetapkan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat.”
Sifat kesementaraannya ini , kiranya adalah disebabkan
karena Pembentuk Undang-undang Dasar merasa dirinya
belum representatif untuk menetapkan sebuah Undang-
undang Dasar, selain daripada itu disadari pula bahwa
pembuatan Undang-undang Dasar ini adalah dilakukan
dengan tergesa-gesa sekedar untuk segera dapat dibentuk
memenuhi kebutuhan sehubungan akan dibentuknya
Negara Federal.
Itulah sebabnya maka menurut Konstitusi Republik
Indonesia Serikat itu sendiri, bahwa menurut rencananya
dikemudian hari akan dibentuk sebuah badan Konstituante
yang bersama-sama Pemerintah untuk menetapkan Undang-
undang Dasar yang baru sebagai Undang_undang dasar
yang tetap, yaitu sebuah badan konstituante yang
pembentukannya kecuali lebih representative tersedia pula
waktu yang cukup untuk membuat sebuah Undang-undang
Dasar yang diperkirakan lebih sempurna.
3.Bentuk Negara Federal
Bahwa Negaranya berbentuk federal, ditegaskan di
dalam Mukaddimahnya, selain itu adapula
penegasan di dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat.
Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat
dalam alenia III mengemukakan antara lain:
“Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami
itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk
republic federasi, berdasarkan dan seterusnya”
• Pasal 1 ayat (1) menentukan :Republik Indonesia
Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu
Negara hokum yang demokrasi dan berbentuk
federasi.”
4. Sistem Pemerintahan Negara Menurut KRIS 1949
Menurut Pasal 1 ayat 2 KRIS 1949 “Kekuasaan
kedaulatan Frase Serikat dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Senat.”Ketiga lembaga Negara pemegang kedaulatan
itu dalam menyelenggarakan pemerintahan
mempunyai wewengan untuk membentuk undang-
undang secara bersama-sama tersebut apabila
menyangkut hal-hal khusus, mengenai satu,
beberapa atau semua daerah bagian atau bagiannya
ataupun yang khusus mengenai hubungan antara
Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang
tersebut dalam Pasal 2 KRIS 1949.
Adapun undang-undang yang tidak termasuk hal tersebut di
atas pembentukannya cukup antara pemerintah dengan DPR
saja. Selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah menurut
KRIS adalah Presiden dengan seorang atau beberapa menteri.
Di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, presiden
tidak dapat diganggu gugat. Yang bertanggung jawab untuk
kebijaksanaan pemerintahan adalah di tangan menteri-
menteri, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Dilihat dari segi tanggung jawab menteri-menteri di atas,
dapat disimpulkan bahwa KRIS menganut sistem
pemerintahan Parlementer, yakni menteri-menteri baik
secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri
bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR). (Dasril
Radjab,1994:98)
• Yang dimaksud dengan “Pemerintah” menurut Konstitusi
Republik Indonesia Serikat ialah Presiden dengan seorang
atau beberapa atau para menteri, yakni menurut
tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum
mereka itu (pasal 68 ayat(2)).
• Tugas penyelenggaraan pemerintahan federal dijalankan
oleh Pemerintah. Pemerintah menyelenggarakan
kesejahteraan Indonesia dan teristimewa menyusun ,
supaya Konstitusi, undang-undang federal dan peraturan-
peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia
Serikat, dijalankan (pasal 117)
5. Lembaga-lembaga Negara Pada Masa Konstitusi RIS
Dalam UUD RIS pada BAB III mengenai Perlengkapan
Republik Indonesia Serikat, terdapat ketentuan umum yang
menyatakan bahwa Alat Perlengkapan federal Republik
Indonesia Serikat ialah :
1. Presiden
2. Menteri-menteri
3. Senat
4. Dewan Perwakilan Rakyat
5. Mahkamah Agung
6. Dewan Pengawas Keuangan
Berikut keterangan mengenai alat
perlengkapan negara tersebut :
Ad. 1. Presiden
Presiden ialah kepala Negara yang tidak dapat
diganggu gugat. Presiden dan menteri-menteri
bersama-sama merupakan pemerintah.
Presiden berkedudukan di tempat kedudukan
pemerintah. Jika Presiden berhalangan, maka
beliau memerintahkan perdana menteri
menjalankan pekerjan jabatan sehari-hari
(pasal 27 (1) Konstitusi RIS).
• Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya
Konstitusi RIS adalah sistem parlementer, sebagaimana diatur
dlm pasal 118 ayat 1 & 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan
bahwa 'Presiden tidak dapat diganggu gugat'. Artinya presiden
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas tugas-tugas
pemerintahan, karena presiden adalah kepala negara, bukan
kepala pemerintahan.
• Di dalam sistem parlementer pada konstitusi RIS, Kepala Negara
tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan
Negara atau Kabinet. Jadi, yang memikul segala
pertanggungjawaban adalah kabinet, atau Pemerintah;
termasuk Kepala Negara, artinya segala akibat perbuatanya atau
tindakannya itu dipikul oleh kabinet. (Soehino, 1992: 70)
Ad. 2. Menteri
• Menurut pasal 73 Konstitusi RIS, yang dapat
diangkat menjadi menteri ialah orang yang telah
berusia 25 tahun dan bukan orang yang tidak
diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak
pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya
untuk dipilih.
• Kabinet atau dewan Menteri mempunyai tugas
eksekutif, yaitu menjalankan pemerintahan.
Menteri ini bertanggung jawab atas
kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan
pemerintahan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
• Dalam sistem parlementer RIS, Kabinet bertanggung jawab
kepada Parlemen (DPR), artinya kalau pertanggungan jawab
Kabinet itu tidak dapat diterima baik oleh DPR
(pertanggungan jawab politis), maka DPR dapat
menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap
kebijaksanaan kkabinet; dan sebagai akibat dari
pertanggungan jawab politis tadi, Kabinet harus
mengundurkan diri Tetapi jika ada keragu-raguan dari pihak
Kabinet yang menganggap bahwa DPR tidak lagi bersifat
representatif, maka Kabinet mempunyai kekuasaan untuk
membubarkan DPR yang tidak representatif itu (Soehino,
1992:69).
Ad 3. Senat
• Di dalam konstitusi RIS dikenal adanya Senat. Senat
tersebut mewakili Negara-negara bagian, setiap negara
bagian mempunyai dua anggota dalam Senat. Setiap
anggota Senat mengeluarkan satu suara. Jadi dengan
demikian, Senat adalah suatu badan perwakilan negara
bagian, yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh masing-
masing pemerintah negara bagian masing-masing (Innu
Kencana, 2005: 38)
• Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-
masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian.
Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata
Tertib Senat RIS. Senat RIS diketuai oleh M A Pellaupessy,
sedangkan Wakil Ketua Senat RIS adalah Mr Teuku Hasan.
Ad. 4. Dewan Perwakilan Rakyat
• Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan
yang masing-masing mewakili seluruh rakyat Indonesia dan
terdiri dari 150 anggota (pasal 98 Konstitusi RIS) dan yang
mewakili daerah-daerah bagian (pasal 80 ayat (1) konstitusi
RIS)
• DPR-RIS berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan
presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri
bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri.
• Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak
menanya dan menyelidik. Dalam masa
kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil
mengesahkan tujuh undang-undang.Ketua
Dewan Perwakilan rakyat saat itu adalah Mr
Sartono, dengan Wakil Ketua I Mr M
Tambunan dan Wakil Ketua II Arudji
Kartawinata.
Ad. 5. Mahkamah Agung
• Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah
Agung diangkat oleh Presiden setelah
mendengarkan Senat. Pengangkatan itu
adalah untuk seumur hidup. Mereka
diberhentikan apabila mencapai usia tertentu
dan dapat diberhentikan oleh Presiden atas
permintaan sendiri.
Ad. 6. Dewan Pengawas Keuangan
• Organ dari Dewan Pengawas Keuangan dapat
dipecat atau diberhentikan menurut cara dan
dalam hal ditentukan dengan undang-undang
federal. Mereka dapat juga diberhentikan oleh
Presiden atas permintaannya.
BAB III
KESIMPULAN
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara
serikat mengharuskan adanya penggantian UUD, sehingga
disusunlah naskah UUD RIS & dibuat oleh delegasi RI serta
delegasi BFO pada KMB. UUD yang diberi nama Konstitusi RIS
tersebut mulai berlaku tanggal 27 Desember 1949. Negara
Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Federasi
Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan tersebut berdasarkan
pada Konstitusi RIS. Sedangkan sistem pemerintahannya adalah
parlementer. Periode Republik Indonesia Serikat berlangsung dari
tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
• Dalam Konstitusi RIS pada BAB III mengenai
Perlengkapan Republik Indonesia Serikat, terdapat
ketentuan umum yang menyatakan bahwa alat
perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat adalah:
1. Presiden
2. Menteri-menteri
3. Senat
4. Dewan Perwakilan Rakyat
5. Mahkamah Agung
6. Dewan Pengawas Keuangan
Ad. C.Masa UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950-4 Juli 1959)

Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,


atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang
berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus
1950 hingga dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli
1959.
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS
tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena
hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum
yang akan menyusun konstitusi baru.
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih
Konstituante secara demokratis, tetapi
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru
hingga berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret
Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi
kembali berlakunya UUD 1945.
.
Ad.D. Masa Kembali Kepada UUD 1945 (5 Juli 1959-13 Oktober 1999)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Taun


1945, utawa disingkat UUD 1945 utawa UUD '45, kuwe
hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi
pemerentahan negara Republik Indonesia
UUD 1945 disahna dadi undang-undang dasar negara
nang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Wiwit tanggal 27
Desember 1949, yang Indonesia berlaku Konstitusi RIS,
lan wiwit tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia berlaku
UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mbalekna maning
maring UUD 1945, sing dikukuhna secara aklamasi DPR
tanggal 22 Juli 1959.
Era Orde Baru ( 1966-1998)

Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang


dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota
PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi
anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat
16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia
politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi (Pelita) sebagai
tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-
besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah
orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun
1970-an dan 1980-an
Irian Jaya
Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia
melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan Bebas) di
Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala
daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam
bahasa Indonesia.
Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung
dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB
kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada
Indonesia.
Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan
aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun
berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam
atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-
pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan
kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari Tahun 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah
sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal
sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir
utara Australia oleh Laut Timor.
Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal
secara mendadak mundur dari Timor Timur pada
1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin,
sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-
orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT,
menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya
membentuk aliansi untuk mengkampanyekan
kemerdekaan dari Portugal
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke
Timor Timur dalam sebuah operasi militer yang
disebut Operasi Seroja. Indonesia, yang mempunyai
dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan
persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan
Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur
mereka akan memperoleh tambahan cadangan
minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI)
membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur —
melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan
lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat
Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih
untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah
pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99%
penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya
memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya
diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia
melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti
merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekret 1976
yang mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah
Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil
alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur
sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002
sebagai negara Timor Leste.
Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J.
Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan
dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia),
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto.
Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan
mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian
memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden
Era reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah
kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah
kembali mendapatkan dukungan dari Dana
Moneter Internasional dan komunitas negara-
negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para
tahanan politik dan mengurangi kontrol pada
kebebasan berpendapat dan kegiatan
organisasi.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.
PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen
dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-
pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan
Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan
Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.
Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid
sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk
masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya,
Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan
melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses
demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah
situasi yang menantang.
Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan
antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua.
Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor
Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-
Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan
dan sosial yang besar.
MPR yang semakin memberikan tekanan menantang
kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan
perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden
Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29
Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta
Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya
dalam skandal korupsi.
Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan
koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-
hari kepada wakil presiden Megawati.
Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan
Kabinet Gotong Royong.
Tahun 2002, Masa pemerintahan ini mendapat pukulan besar
ketika Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari NKRI berdasarkan
keputusan Mahkamah Internasional
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia
diselenggarakan, dengan Susilo Bambang Yudhoyono
terpilih sebagai presiden pertama yang dipilih secara
langsung oleh rakyat, kemudian membentuk Kabinet
Indonesia Bersatu.
Pemerintah ini pada awal masa kerjanya telah menerima
berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa
bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang
meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi
lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik
berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
7 Catatan Kebijakan Hukum di Era Jokowi

Institute for Criminal Justice Reform


(ICJR) mencatat agenda reformasi kebijakan
hukum yang dijalankan oleh pemerintahan
Joko Widodo atau Jokowi - Jusuf Kalla saat ini,
belum memenuhi dan merealisasikan apa
yang tertuang dalam Nawacita ke-4.
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, mengatakan
ada tujuh poin yang menjadi fokus ICJR dalam
menyoroti kinerja pemerintah Jokowi - JK
1. Reformasi Kebijakan Pidana
Terkait hal ini, maka tidak dapat dipisahkan
dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP). Keberpihakan RKUHP
terhadap Hak Asasi Manusia atau HAM,
perlindungan anak, perempuan dan kelompok
marjinal, pemberantasan korupsi, sampai
dengan reformasi penegakan hukum masih
cukup jauh.
2. Penghapusan Hukuman Mati
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia, Indonesia belum menghapus hukuman mati.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah seolah
mendukung digunakannya pidana mati dengan berbagai
alasan.
Meski begitu, ICJR mengapresiasi sikap pemerintah
Jokowi - JK yang memilih untuk mendukung rekomendasi
Universal Periodic Review (UPR) 2017 tentang
moratorium eksekusi mati dan juga rekomendasi terkait
jaminan fair trial terhadap kasus hukuman mati. "Namun
hal tersebut tidak ditindaklanjuti secara konkret oleh
pemerintah," kata Anggara.
3. Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Kebebasan berpendapat dan berekspresi saat
ini masih dalam ancaman. Adanya Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) tidak membawa angin
segar bagi upaya perlindungan terhadap
kebebasan berpendapat di ranah internet.
4. Pemidanaan dengan Hukuman Badan
Di era Jokowi, masih ada yang melegitimasi
penggunaan hukuman badan/tubuh (Corporal
Punishment) di Indonesia melalui Qanun
Jinayat seperti yang diterapkan di Aceh,
Sumatera Utara
5. Kebijakan Pemasyarakatan
Gagalnya pelaksanaan alternatif pemidanaan
non-pemenjaraan serta kegagalan pemerintah
dalam mengembangkan bentuk baru dari
alternatif pemidanaan non-pemenjaraan,
menjadi salah satu penyebab utama terus
meningkatnya angka overcrowding di
Indonesia.
Pemerintahan Presiden Jokowi melalui
kebijakan Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design
Penanganan Overcrowded pada Rutan dan
Lapas menyatakan bahwa overkriminalisasi
merupakan permasalahan yang memberikan
sumbangsih terhadap overcrowding yang terjadi
di Indonesia serta mengkritik kebijakan-
kebijakan dalam RKUHP yang justru memuat
lebih banyak ketentuan pidana yang jelas akan
berdampak pada penambahan kepadatan
hunian di Lapas.
6. Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem peradilan pidana anak yang tak boleh
luput dari fokus reformasi hukum pidana.
"Peraturan pelaksana UU SPPA sampai saat ini
tak kunjung diselesaikan," ucap Anggara.
Berdasarkan UU SPPA, pemerintah wajib
membuat enam materi dalam bentuk
Peraturan Pemerintah dan dua materi dalam
bentuk Peraturan Presiden
Namun sampai saat ini peraturan pendukung
masih belum semua tersedia. Pemerintah baru
merampungkan lima dari delapan substansi
peraturan pelaksana UU tersebut. Salah satu
permasalahan yang memprihatinkan lainnya
adalah soal minimnya jumlah institusi baru
pengganti tempat penangkapan dan
penahanan anak.
7. Penguatan Kebijakan atas Perlindungan Saksi
dan Korban
Selama ini, fokus yang diberikan oleh Jokowi
dalam konteks tindak pidana kekerasan lebih
difokuskan pada kebijakan penghukuman,
bukan pada perlindungan korban.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai