Anda di halaman 1dari 20

Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia

• Dalam perjalanan sejarah hukum nasional Indonesia, istilah hukum


adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum
berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya
yang berjudul De Atjehers. Pada awalnya tidak banyak orang yang
mengenal istilah ini, namun sejak van Vollenhoven mempopulerkan
adatrecht dalam bukunya Het Adatrech van Nederland-Indie, istilah
ini menjadi dikenal luas di kalangan akademisi.
• Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak
antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di Indonesia.
Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin
dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya
ungkapan dalam bahasa Aceh ang berbunyi: hukum ngin adat hantom
cre, lagee zat ngon sipeut, yang artinya hukum Islam dengan hukum
adat tidak dapat diceraipisahkan karena erat sekali hubungannya,
seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda.
• Hubungan demikian juga terdapat di Minangkabau yang
tercermin dalam pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda,
syara’ mangato adat memakai, yang terkenal dengan
filsafah: adat basandi syara', syara' basandi kitabullah (ABS-
SBK)
• Menurut Hamka makna pepetah ini adalah hubungan
(hukum) adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling
topang-menopang karena sesungguhnya yang dinamakan
adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.
1. Konsep Adat dalam Hukum Islam
• Islam datang ke berbagai wilayah dengan membawa seperangkat
norma syara’ yang mengatur kehidupan di dunia yang harus
dipertahankan umat Islam sebagai konsekuensi dari keimanannya
kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.
• Dalam praktiknya doktrin Islam itu ternyata tidak sepenuhnya
dijalankan oleh umat Islam itu sendiri. Ketika Islam hadir di tengah
sebuah komunitas, tidak dengan serta merta mampu mengapuskan
doktrin, ajaran, kepercayaan dan kebiasaan komunitas tersebut.
Faktanya, di tengah umat ada hukum adat yang telah lebih dahulu
hadir menghiasi setiap denyut kehidupan masyarakat.
• Dalam Islam, secara literal kata adat (‘adah) berarti
kebiasaan, adat atau praktik. Dalam bahasa Arab, kata
tersebut sinonim dengan kata ‘urf, yaitu sesuatu yang
diketahui. Dalam hukum Islam adat dikenal dengan istilah
‘urf, yang berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu. Sering diartikan
dengan al-ma’ruf yang artinya sesuatu yang dikenal atau
yang berarti “yang baik”.
• Secara terminologi menurut para ahli syara’, ‘urf dan adat kebiasaan
tidak ada perbedaan sama sekali. Definisi lain tentang ‘urf adalah
bentuk-bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang telah
menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di
tengah masyarakat
• Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu,
bukan pada individu atau kelompok tertentu.’urf bukanlah kebiasaan
alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan hukum adat,
melainkan muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, namun
demikian, beberapa pakar memahami kata adat dan ‘urf sebagai dua
kata yang tidak berlainan.
• Subhi Mahmassani misalnya mengatakan bahwa ‘urf dan
adat mempunyai pengertian yang sama, yaitu sesuatu yang
dibiasakan oleh rakyat umum dan golongan masyarakat.
Pengertian tersebut digunakan untuk memahami terma ini.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kedua kata itu
(adat dan ‘urf) diartikan sebagai adat atau kebiasaan.
• maka dalam pertimbangan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa
syariat islam sangat memerhatikan adat (‘urf) masyarakat setempat.
Argumen tersebut dipertegas oleh S. Waqar Ahmed Husaini yang
mengemukakan bahwa Islam sangat memerhatikan tradisi dan
konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi
hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.
• Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad, melalui
berbagai kebijakan yang berkaitan dengan hukum yang tertuang
dalam sunnahnya yang banyak mencerminkan kearifan beliau
terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
• Perkataan “urf dalam Alquran terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 199:

‫ِذ ٱۡل ۡف ۡأ ۡر ِبٱۡل ۡر ِف َأۡع ِرۡض ِن ٱۡل َٰج ِه ِل‬


‫َني‬ ‫َع‬ ‫ُخ َع َو َو ُم ُع َو‬
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (terkenal baik) serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.
• Peran adat dalam proses kreasi hukum Islam juga terlihat pada masa
sahabat Nabi Muhammad saw. Sebagai sahabat, mereka melanjutkan
kebijakan untuk mempertahankan adat yang dapat diterima Islam.
Kebijakan itu muncul terutama ketika penaklukan Islam telah
menyebar ke berbagai daerah baru, sehingga membawa orang-orang
Islam melakukan kontak dengan bentuk-bentuk hukum adat yang
baru.
• Umar bin Khattab, misalnya mendirikan berbagai lembaga dengan
mengadopsi praktik para Kaisar Bizantium, seperti sistem diwan atau
registrasi. Umar mendirikan lembaga-lembaga tersebut, di antaranya
untuk tentara (jund) dan untuk urusan finansial (kharaj). Para pegawai
yang menangani lembaga tersebut kebanyakan berasal dari orang-
oran Yahudi dan Persia
• Dari beberapa contoh yang dikemukakan dapat dipahami bahwa
dalam mengurusi masyarakat muslim, Nabi dan para sahabatnya tidak
mempunyai keinginan untuk menentang adat masyarakat yang
berjalan dan sesuai dengan misi dakwah yang dibawa. Alasannya,
hukum adat tersebut mampu memberikan pemecahan yang sesuai
dengan keinginan masyarakat, yaitu bertujuan untuk memelihara dan
mewujudkan kemaslahatan manusia.
• Menurut Ibn Qayyim al-Jauziah bahwa “menerima dan menjadikan
‘urf sebagai dalil syara’ dalam penetapan hukum merupakan suatu
hal yang perlu dilakukan apabila tidak ada nash yang menjelaskan
hukum atas masalah yang sedang dihadapi.
Ulama Malikiyah terhadap ‘urf atau adat kebiasaan membagi dalam 3
(tiga) bagian, yaitu:
• ‘Urf yang dapat ditetapkan sebagai hukum, karena ditunjuki oleh
nash.
• ‘Urf yang jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang
syara’ atau mengabaikan syara’. ‘Urf yang demikian tidak dapat
diterima karena tak ada harganya dalam hukum Islam.
• ‘Urf yang tidak dilarang dan diterima karena tidak dilarang.
2. Hubungan antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia

• menurut rumusan undang-undang maupun dari cendekiawan hampir


semua mengatakan bahwa adat adalah berkaitan dengan agama dan
kebiasaan-kebiasaan, dan beberapa definisi menyebutkan kaitannya
dengan lembaga rakyat. Dengan demikian faktor agama sangat
berhubungan erat dengan adat kebiasaan yang mengkaitkan juga
dengan aspek-aspek sanksi/akibat hukum, sehingga dapat dikatakan
bahwa adat adalah peraturan hukum yang tidak tertulis dan tidak
dikodifikasikan yang sebagiannya merupakan peraturan keagamaan
sebagai konvensi dari badan Hukum Negara atau peraturan hakim dan
dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya.
• Dalam hal kedudukan adat kebiasaan menurut hukum positif, maka
Sukanto mengatakan kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan
tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain bahwa meskipun adat itu
tidak tertulis akan tetapi memiliki akibat hukum.
• Hal ini apabila dikembalikan kepada pasal II aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini, maka
termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum adat yang masih berlaku.
• Apabila dilihat dari perspektif sejarah, tidak pernah ada konflik
antara hukum adat dengan hukum Islam di nusantara yang terjadi
secara alami. Pertentangan antara hukum adat dan hukum Islam
terjadi pada masa penjajahan Belanda disebabkan adanya politik
belah bambu, yang membenturkan antara pemuka hukum adat dan
ulama sebagai pembela hukum Islam.
• Munculnya teori receptie in complexu dan teori receptie, memberikan
deskripsi yang lengkap bahwa memang ada setting yang sangat rapi
yang dilakukan oleh ahli hukum Belanda untuk memarginalkan hukum
Islam melalui regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
• Paling tidak ada 2 teori yang muncul dalam membicarakan korelasi
antara hukum Islam dengan hukum adat dalam tataran sejarah hukum
di Indonesia. Teori pertama diperkenalkan oleh Lodewijk Willem
Christian Van den Berg (1845-1927) yaitu teori Receptie in Complexu.
Van den Berg adalah seorang ahli hukum Islam yang pernah tinggal di
Indonesia antara tahun 1870-1887.
• Teori Receptie in Complexu ini menyatakan bahwa bagi orang Islam
berlaku sepenuhnya hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaannya
terdapat penyimpangan-penyimpangan. Ungkapan Van den Berg ini
didasari oleh pernyataan yang mengatakan hukum Islam telah berlaku
pada masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan
adanya Regeerring Reglement, dan Compendium freijer tahun 1706
tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
• Juhaya S. Praja mengatakan bahwa tidaklah berlebihan jika pada
masa-masa awal VOC berkuasa, teori Receptie in Complexu menjadi
acuan bagi pemerintah dalam penataan hukum bagi umat Islam.
Dalam priode ini, hukum Islam diberlakukan secara penuh terhadap
orang Islam. Dasarnya adalah Pasal 75 Regeering Reglement (RR)
tahun 1855 yang antara lain menyatakan: “oleh hakim Indonesia itu
hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstiege
wetten)”.
• Teori Receptie in Complexu yang pertama kali diperkenalkan oleh
Lodewijk Willem Christian Van den Berg itu kemudian dikritik oleh
Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dengan teori Receptie dan
dimulai oleh Cornelius Van Vollenhoven sebagai penggagas pertama.
Teori resepsi sebagai suatu teori yang mempersempit ruang gerak
berlakunya hukum Islam di Indonesia, yang oleh sebagian ahli hukum
Indonesia menyebutnya sebagai teori iblis
• theorie receptie artinya bahwa hukum yang mengatur tertib
masyarakat di Indonesia adalah hukum adat asli, sedang hukum
agama (Islam) hanya berlaku pada sebahagian kecil yang telah
diterima, meresap dan sesuai dengan hukum adat
Wassalamu ‘alaikum wrwb

Anda mungkin juga menyukai