Anda di halaman 1dari 294

Otobiografi

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM

KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampun kepada Nya. Kami juga berlindung kepada Nya dari segala kejelekan nafsu dan amalan diri. Siapa saja yang dianugerahi Nya petunjuk, maka tidak ada kesesatan baginya, dan barang siapa yang disesatkan Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah, tuhan yang tiada sekutu bagi Nya. Dan saya bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Nya. Disalah satu pagi dalam bulan Oktober 2003 salah seorang anak dan menantu sedang berada di Bandung. Pada waktu minum pagi bersama, kami ngobrol kanan kiri tanpa arah, dan kebetulan pembicaraan menyasar ke masa kecil saya. Masa kecil saya tidaklah seperti masa kecil anak-anak umumnya di masa itu atau anak-anak di masa sekarang. Kalau dapat disimpulkan dalam kata-kata yang pendek adalah seperti anak yatim yang bukan yatim. Dalam pembicaraan itu ada yang mengusulkan agar saya membuat sedikit tulisan tentang Riwayat Hidup saya yang dianggap unik dan baik untuk diketahui oleh anak-anak dan cucucucu dikemudian hari. Setelah berpikir agak lama dan pertimbangan yang mendalam, (takut akan masuk kedalam golongan ria yang dilarang oleh agama). Akhirnya saya sampai pada keputusan, bahwa lebih banyak positif dibanding negatifnya bila permintaan tersebut saya penuhi. Dengan memohon perlindungan dan petujuk kepada Allah Swt, saya mulai menyusun tulisan ini walupun dengan bahasa dan kata-kata yang jauh dari sempurna. Pertimbangan-pertimbangan positif yang saya maksudkan ialah, rasa syukur dan terima kasih saya atas besarnya Rahmat dan Nikmat yang diberikan Allah Swt, kepada saya dalam segala bidang seperti: Untuk diri dan keluarga: Pengetahuan agama, yang semula hanya pandai membaca Al Quran, sampai pandai membaca sebagian besar arti Al-Quran. Pendekatan diri kepada Allah Swt, yang semula hanya rutin shalat, puasa, dan yang wajib lain-lainnya. Sekarang banyak mengerjakan yang sunat-sunat. Sejak April 1992 Insya Allah rutin mengerjakan puasa Senin & Kamis, dan beberapa tahun terakhir menjaga diri selalu dalam keadaan berudhu. Pendidikan, dari yang tidak tamat Sekolah Dasar, sampai mencapai Sarjana dalam dua jurusan, yaitu Jurusan Ekonomi Perusahaan dan Jurusan Akuntansi. 2

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

Sumber Daya Manusia, yang semula hanya dua orang (suami istri), sekarang bertambah dengan 8 orang anak ditambah 8 orang menantu dan 13 orang cucu. Alhamdillah semuanya dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kesehatan, yang semula sering menderita sakit yang cukup berbahaya, Alhamdullah di usia menjalani 77 tahun belum mempunyai keluhan-keluhan yang berarti. Rezeki materi yang diberikan Allah Swt, yang hanya dengan modal mesin tik tua berangkat dari kampung pertama kali, Alhamdulillah sampai mempunyai beberapa asset di tiga Kota Jakarta, Bandung, dan Bukittinggi yang Insya Allah dapat diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu. Dan lain-lain terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Allah Swt lah yang mengetahui

Untuk Kecamatan dan Desa: Bersama perantau Jakarta dan Bandung mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung berkantor di Tanjung Alam, Bukittinggi. Bersama ibunda Hj. Saeran binti Datuk Sati mendirikan Taman Pengajian Al Qur`an di Parit Putus berlantai dua dengan nama Baitul Rahim.

Untuk Bangsa dan Negara: Ikut berjuang menegakkan dan membela Kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda selama masa revolusi.

Tulisan ini juga dimaksudkan memenuhi perintah Allah di dalam Al-Quran Surat ke 93 Ayat 11, yang artinya berbunyi: Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya Dengan penuh rasa syukur dan berdoa apabila ada yang saya lakukan selama ini berfaedah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, semoga diikuti oleh anak-anak dan cucu-cucu dibelakang hari. Sehingga misi kita dilahirkan ke dunia untuk mengabdi kepada Nya mendapat Ridha dari Nya. DI DUNIA HASANAH, DI AKHIRAT HASANAH DAN TERHINDAR DARI API NERAKA. Saya merasa berutang budi dan beterima kasih kepada isteri saya Hj. Lisma Binti Ginam yang dengan sabar dan tabah mendampingi saya dengan segala suka dukanya, sejak mula pernikahan tidak henti-hentinya ikut memikul beban ekonomi, selaku orang Minagkabau dengan motto anak dipangku, keponakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

Saya bersyukur kepada Allah Swt, yang telah mempercayakan kepada saya 8 orang anak-anak. Relatif semuanya patuh dan tidak ada yang merepotkan orang tuanya, ditambah dengan 8 orang menantu yang kesemuanya baik-baik dan penuh pengertian. Kepada kalian Bapak berpesan, di atas pundak kalian terletak amanah untuk memimpin bahtera hidup ini sesuai dengan keinginan Allah Swt, semoga kamu semua menjadi manusia yang saleh dan salehah, berguna bagi agamanya, berguna bagi bangsanya, minimal berguna bagi keluarganya. Amin ! Kepada almarhum ayahanda Marahimin gelar Pakih Sinaro dan kepada ibunda almarhumah Hj. Saeran binti Datuk Sati. Ananda sungguh berutang budi kepada bapak berdua, dan tidak mungkin dapat dibalas. Ananda yakin seyakin-yakinya bahwa bapak berdua telah bebuat maksimal untuk memenuhi kewajiban bapak berdua kepada ananda, hanya kondisi bapak berdua waktu itu sampai di situ. Semoga Allah membalasnya dan ananda tetap mendoakan bapak dan bunda, karena tanpa bimbingan bapak berdua tak mungkin ananda menikmati kehidupan seperti sekarang ini. Amin. Ya Allah, maafkanlah segala kesalahan ayah bunda kami, dan kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihi hambamu ini selagi kecil. Amin ! Mungkin didalam tulisan ini terdapat uraian, atau penjelasan kejadian yang tidak persis seperti yang sebenarya diwaktu itu, maka itu bukanlah suatu kebohongan yang disengaja, tetapi adalah suatu ke alpaan dan kekhilafan selaku manusia. Hal tersebut terjadi karena antara kejadian dan penulisan ini, telah berjarak berpuluh dan belasan tahun yang lalu. Mohon dimaklumi dan di maafkan, agar tidak menjadi beban bagi penulis dibelakang hari. Akhinya kepada Allah kita bertawakkal dan kepadanya kita akan kembali. Hidup di dunia hanya persinggahan sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan abadi. Saya berterima kasih kepada anak-anak yang memberikan ide dan dorongan beserta memberikan sebuah lap top untuk memepersiapkan tulisan ini. Terima kasih saya juga kepada adinda Satriadi yang telah mendesign cover yang tidak terpikirkan tadinya. Saya juga berterima kssih kepada Hery Guswara yang telah malakukan edit dan print awal tulisan ini. Semoga semunya itu diterima Allah Swt, sebagai amal saleh yang akan mendapat ganjaran di belakang hari. Amin.

Bandung, Februari 2005/Muharam 1426.

*****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

KATA SAMBUTAN
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Taala, shalawat serta salam kepada manusia paling sempurna nabi kita Muhammad Salallahu Allaihi Wassalam junjungan seluruh manusia serta keluarga, sahabat, dan keturunannya. Wa badu. Alhamdulillah, kami pun turut bersyukur kehadirat Allah Subhanahu wa Taala dengan rampungnya karya tulis dengan jangka waktu kurang dari dua belas bulan. Insya Allah, buku ini dapat menjadi salah satu pengingat kami untuk terus memegang teguh akidah agama Islam seperti yang selalu ayahanda ingatkan dan contohkan kepada kita semua. Buku ini, selain mengingatkan kami putra-putranya kepada kejadian-kejadian dimasa kecil, juga mengungkapkan banyak lagi hal-hal lain yang kami sendiri belum mengetahuinya. Setelah membaca buku ini, kami semakin sadar bahwa perjuangan orang tua kami sangatlah penuh dengan suka, duka, dan cobaan. Hanya keyakinan beliau terhadap luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Taala lah yang membuatnya tetap giat beribadah, tegar dalam menghadapi segala cobaan, dan terus menimba ilmu serta tidak mau membuang-buang waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Semua hal tersebut tetap beliau laksanakan sampai sekarang. Subhanallah. Yang paling berkesan bagi kami setelah membaca buku ini adalah bahwa ayahanda selalu memberikan pendidikan dan contoh untuk mencintai dan menghormati orang tua dalam kondisi apapun, pola pikir beliau yang senantiasa konstruktif dan inovatif terhadap perkembangan umat dan tidak pernah rentan terhadap cita-cita beliau untuk berkarya karena beliau yakin akan kebesaran Allah Subhanahu wa Taala dan senantiasa menolong niat baik umatnya, dan terbukti dengan berdirinya TPA Baitul Rahim, Kantor Akuntan Publik, dan BPRS Ampek Angkek Candung. Pada saat ini yang kami tau masih ada lagi beberapa rencana besar berskala nasional yang beliau akan beliau jalankan. Ayahanda juga selalu mencoba untuk menjalin tali silaturahmi dengan siapa pun. Selain itu, yang paling utama, ayahanda selalu ajarkan kepada kami agar senantiasa membantu orang yang memerlukan kemudian lupakan apa telah dilakukan, terakhir disiplin dengan waktu merupakan pedoman beliau, terutama dengan sholat lima waktu, seperti yang diajarkan oleh Rasullulah Salallahu Allaihi Wassalam. Beliaupun dengan konsisten menjalankan himbauan beliau dengan cara selalu sholat magrib berjamaah di rumah walaupun sesibuk apapun beliau. Kebiasaan kami sewaktu kecil inipun beliau anjurkan agar diterapkan di keluarga kami, bukan hanya untuk melatih kami berdisiplin dengan waktu tetapi juga untuk melatih kita menjadi imam bagi keluarga dan mempererat hubungan emosional antara sesama anggota keluarga. Subhanallah. Selain dari pengalaman-pengalaman yang ayahanda ungkapkan dalam buku ini, kami pun sangat terkesan dengan proses pembuatan buku ini. Dalam usianya yang sudah terbilang senja (76 tahun ketika beliau memulai menulis buku ini), beliau masih mau belajar menggunakan komputer, menggunakan saluran internet serta peralatan teknologi informasi lainnya yang diperlukan untuk merampungkan buku ini. Kegiatan ini dilakukan disela-sela
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

aktifitas rutin beliau merawat kekasih setianya ibunda kami, yang kami yakin perjuangan ayahanda tidak luput dari pengorbanan ibunda yang setia sejak awal perkawinan sampai sekarang, dimana kondisisi kesehatan beliau yang mulai menurun. Rasanya kami sebagai anak-anaknya tidak mungkin dapat membalas kasih sayang dan perhatian beliau. Kami juga merasa malu kalau tidak dapat membahagiakan dan memberikan kasih sayang pada saat sekarang terhadap pasangan yang kami hormati, anak-anak dan keturunan kami sampai akhir hayat, insya Allah. Amien ya Allah. Akhir kata, kami mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Kami yakin bahwa ayahanda menulis buku ini tidak bermaksud untuk riya atau niat buruk lainnya tetapi hanya untuk beramar maruf nahi munkar - mengingatkan kita semua terus berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Taala. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini tidak hanya bermanfaat bagi kami, tetapi yang terpenting para pembaca pun dapat mengambil suri tauladan dari perjalanan hidup ayahanda dalam menjalani hidup ini. Billahi taufik wal hidayah. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Ananda: Herry Bustaman Hermen Bustaman Herdadi Bustaman Hersamsi Bustaman Herlambang Bustaman Herawan Bustaman Herwin Bustaman Herlan Bustaman

Menantu:

Novia Reswita Elviana Ezeddin Nuzlianti Fitri Santi Setiawati K. Alfa Camrilla Intan Dwi Rahmianti Teti Kurniati Aisha Sylvia S.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

Sambutan Chaerman Raeman Membaca perjalanan hidup kakanda mulai dari masa kanak-kanak sampai mempensiunkan diri, yang begitu berliku-liku dan penuh tantangan dan halangan, tentu setiap pembacanya sampai pada kesimpulan, bahwa semua sukses dan keberhasilan yang kakanda peroleh tidak lain berkat keuletan, kejujuran dan kerja keras dengan selalu memohon rahmat dan pertolongan Allah SWT. Sebagai self-made man, kakanda telah berhasil membuktikannya dengan bermodalkan : 1. Keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan mematuhi dan melaksanakan perintah dan ajarannya serta menjauhi segala laranganNya; 2. Menjalin dan memelihara silaturrahmi diantara ummat, terutama antara ummat seiman baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam dunia usaha yang pada gilirannya akan menimbulkan rasa kebersamaan dan saling membantu terutama dalam keadaan yang sulit; 3. Menghormati dan mengabdi pada kedua orang tua serta menghormati orang tua dan atau orang yang dituakan dalam lingkungan kerja dan masyarakat serta mengasihi dan membantu dalam lingkungan kerja dan masyarakat serta mengasihi dan membantu yang muda dimana perlu; 4. Berkeyakinan akan pertolongan Allah SWT. dengan bekerja keras, penuh disiplin dan kejujuran sambil memanjatkan doa kepada Allah SWT; 5. Kepedulian yang tinggi terhadap pentingnya ilmu pengetahuan melalui pendidikan sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Semoga suri tauladan yang kakanda berikan diatas dapat diamalkan dan ditingkatkan oleh anak-anak dan cucu-cucu kakanda serta generasi penerus lainnya.

Wassalam adinda

Chaerman Raeman

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

PAK BUS MERUPAKAN SOSOK PRIBADI YANG MENARIK DAN MENGESANKAN.

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat serta inayah-Nya, pada saat ini kita masih diberi kesempatan menyaksikan hasil karya beliau pada usia yang ke 76 tahun. Pak Bus (begitu panggilan sehari-hari beliau) mengesankan, dengan bobot keilmuan yang keluarga dan masyarakat tidak diragukan lagi kepada anak-anak, keponakan, saudara dekat organisasi daerah dan organisasi lainnya.. merupakan sosok pribadi yang menarik dan cukup tinggi. Kehadiran beliau di tengah lewat perhatian dan bakti sosial yang tinggi dan jauh, lingkungan kecil dan besar serta

Pak Bus adalah seorang tokoh yang memiliki kharisma dan senantiasa komitmen dengan perjuangan di dalam mengembangkan syiar Islam dan cenderung bersikap tegas berdasarkan prinsip yang diyakini serta menyatakan pendapatnya tentang berbagai persoalan pelik dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keterus-terangan. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Pak Bus merupakan figur yang dikenal dalam bahasa adat yang berbunyi : Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, artinya Tempat meminta nasehat dan pertimbangan ketika akan meminta pekerjaan dan tempat memberi laporan tatkala pekerjaan selesai. Pengabdian Pak Bus terhadap pengembangan agama dan kehidupan bangsa dalam mewujudkan insan-insan berkualitas yang bertakwa kepada Allah SWT. Semoga menjadi suri tauladan bagi kita bersama. Bandung, Mei 2005 Adinda Satriadi

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

Daftar Isi
K A T A P E N G A N T A R ................................................................................................. 2 KATA SAMBUTAN ................................................................................................................ 5 1. MASA PENJAJAHAN BELANDA ................................................................................... 12 Umum ................................................................................................................................. 12 Keadaan Kampung dan Keluarga Kita. .............................................................................. 13 2. SILSILAH KETURUNAN ................................................................................................. 14 Pihak Ayah. ......................................................................................................................... 15 Pihak Ibu ............................................................................................................................. 16 3. MASA KANAK-KANAK .................................................................................................. 20 Di Parit Putus ...................................................................................................................... 21 Sekolah Melayu di Batu Empat Kota Tinggi Malaysia. ..................................................... 23 Sekolah Inggris Di Johore Baharu Malaysia ...................................................................... 23 Penjajahan Jepang ............................................................................................................... 26 4. PULANG KE BUKITTINGGI (1943) ............................................................................... 27 Sekolah di STOPIO............................................................................................................. 27 Belajar Agama Islam di Ampang Gadang .......................................................................... 29 Mengaji di Surau Tinggi. .................................................................................................... 29 5. ZAMAN KEMERDEKAAN (17 Agustus 1945) ............................................................... 31 Proklamasi Kemerdekaan RI .............................................................................................. 32 Menjadi Angkatan Laut di Pariaman .................................................................................. 34 Pindah Menjadi Anggota Badan Penyelidik di Bukittinggi. ............................................... 35 Kenang-kenangan yang tidak dapat dilupakan ................................................................... 36 Bumi Hangus di Bukittinggi, terkenal dengan istilah Clash ke Dua/agresi militer kedua 37 6. BERGERILIA DI GUNUNG MERAPI (MASA CLASH KEDUA 1948-1949) ............. 39 Menyelamatkan Orang Tua Mengungsi ke Kamang Hilir.................................................. 39 Menderita Penyakit Kulit Muka di Bonjol Alam................................................................ 42 Memimpin Pasukan Selaku Wakil Komandan Seksi di Ampek Angkek Candung............ 44 Menghadang Konvoi Belanda di Labuh Luruih (Padang Tarok) ....................................... 49 Pembunuhan Masal di Simpang Parit Putus oleh Tentara Belanda .................................... 50 Diangkat sebagai Komandan Front Penyerangan Pos Belanda di Baso dan Batu Taba ..... 52 7. MASA CEASE FIRE (Awal l950) .................................................................................... 55 Diserang oleh Seksi lain karena salah faham ...................................................................... 59 Ditarik ke Markas Kompi Guntur di Sungai Puar langsung dibawah Yusuf Black Cat dan Aga Kartanagara. ................................................................................................................ 60 8. MASA PENYERAHAN KEDAULATAN RI (27 Desember l949) ................................ 63 Dari Gunung Merapi pindah ke Bukittinggi ....................................................................... 63 Kesempatan untuk pergi latihan ke Cimahi sebagai salah seorang Wakil dari Brigade Banteng ............................................................................................................................... 64 Menjual Mesin Tik untuk modal ke Malaysia. ................................................................... 66 9. BELAJAR MANDIRI TUJUAN MALAYSIA (Pertengahan l950) ................................. 68 Nasehat dari Residen Riau Djamin Datuk Bagindo. .......................................................... 69 Putar Haluan ke Jakarta. ..................................................................................................... 71 Menompang di Gang 101 Tanjung Priok............................................................................ 74 Diterima Bekerja Sebagai Pegawai Sipil di Perhubungan Angkatan Laut ......................... 76
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

10. BEKERJA DI PERUSAHAAN SWASTA SAMBIL BELAJAR (Awal 1952) .............. 79 Sekolah di SMA Demobilisan. ........................................................................................... 80 Ujian Tata Buku Bond A. ................................................................................................... 82 Ibunda Datang dari Kampung Membawa Adik Untuk di Sekolahkan ............................... 86 11. PINDAH KE BANDUNG (AWAL l953 PERTENGAHAN 1954) .............................. 88 Mengurus Pensiun Bekas-Bekas Pejuang Sesuai Dengan Peratuan Pemerintah ................ 90 Membuka Foto Studio......................................................................................................... 97 Mendirikan Perusahaan Konpeksi. ..................................................................................... 99 Melangsungkan Pernikahan Oktober l953 ........................................................................ 106 Dirawat di Rumah Sakit Sanatorium Cipaganti ................................................................ 118 Pulang Kampung Bersama Adik ....................................................................................... 121 12. BEKERJA DI BUKITTINGGI ( 1954 Pertengahan 1956) ......................................... 122 Pengalaman Sebagai Juru Buku (Boekhouder) di PT Nusantara...................................... 124 Kepala Cabang PT Nusantara di Rengat ........................................................................... 128 Ikut Kampanye Dalam Pemilu Pertama (1955) ................................................................ 129 Gagal Total Sebagai Suatu Hikmah .................................................................................. 134 13. BERANGKAT KE JAKARTA DENGAN SATU TEKAD (SEPTEMBER 1956)....... 137 Bekerja di PT Tritunggal (Distributor Ban Goodyear) ..................................................... 141 Bekerja di PT Teknik Umum di Bagian Pembukuan........................................................ 143 Pindah ke Cabang PT Teknik Umum Bandung di Bagian Pembukuan........................... 144 Mengikuti Kursus Tata Buku B dan Lulus Ujian Bond .................................................... 147 Pindah ke PT Teknik Umum Jakarta di Unit Siemens (Bagian Keuangan) ..................... 149 Kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia Business Administration (1959-1961) ........... 150 Pindah ke Bagian Perdagangan PT Teknik Umum Pusat ................................................. 153 14. PINDAH KE PT.TEKNIK UMUM CABANG BANDUNG SEBAGAI KEPALA PERDAGANGAN (1962 1970) ........................................................................................ 155 Kuliah di Universitas Pajajaran Jurusan Business Adminisration ................................... 158 Pindah ke Extension Karena Konflik dengan Dosen (Selesai 1965) ................................ 160 Diangkat Menjadi Direktur Muda PT Teknik Umum Cabang Bandung ......................... 164 Berkebun Cabe dan Bawang di Cisandaan Garut ............................................................. 165 Menjajaki Untuk Berimigrasi ke Malaysia ....................................................................... 168 Kembali Kuliah di Unversitas Pajajaran Jurusan Akuntansi (1969 1971) .................... 181 Pindah Rumah Dari Gempol Wetan ke Jl. Wastukancana Bandung (1968)..................... 184 Berhenti dari PT Teknik Umum (Akhir l970) .................................................................. 185 Mendapat Tawaran dari Kodam VI Untuk Kembali Aktif di Angkatan Darat Sebagai Tenaga Akuntan ................................................................................................................ 186 15. USAHA SENDIRI DENGAN NAMA PT PAGARMAS .............................................. 189 Order Pertama dari Balai Penelitian Tanaman Industri IPB Bogor ................................. 190 Bergerak Dalam Bidang Kontraktor Termasuk Instalatur Listrik .................................... 193 Order Terakhir Micro Wave Dari Telkom di Tanjung Gadang Sumbar .......................... 208 16. IZIN MEMBUKA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DARI DEPARTEMEN KEUANGAN (APRIL 1973)................................................................................................ 212 Membuka Kantor Cabang KAP di Jakarta (1974). ........................................................... 214 Menunaikan Ibadah Haji Bersama Ibunda (1975) ............................................................ 217 Membuka Kantor Cabang KAP di Padang (1978) ........................................................... 226 Menunaikan Ibadah Haji Bersama Isteri (1980) ............................................................... 228
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

10

Mendirikan PT. Cipta Daya Guna Mandiri bergerak dalam bidang Konsultan(1984) ..... 232 Mendirikan Mushola di Kampung yang dipakai TPA (Taman Pengajian Al Quran -1985) ........................................................................................................................................... 235 Menunggu Ibunda Sakit Sampai Melepas Beliau Berpulang ke Rahmatullah ................. 238 di Bukittinggi (22 April 1992) .......................................................................................... 238 Bermukim di Mekah Selama 101 Hari Bersama Istri dan Bako (Awal Puasa sampai selesai ibadah Haji 1993)........................................................................................................... 242 17. MEMPENSIUNKAN DIRI DARI KANTOR AKUNTAN PUBLIK (l993) ................. 254 Belajar Bahasa Arab Privat, Sambil Membimbing Generasi Penerus di Kantor Akuntan Publik dan Konsultan. ....................................................................................................... 255 Dipercaya oleh para Perantau Empat Angkat Candung di Jakarta dan Bandung Selaku Ketua Pendiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung (1996) ........ 259 Memperoleh Izin Operasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung dari Bank Indonesia (Mei l999) ........................................................................................ 261 18. P E N U T U P................................................................................................................. 264

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

11

1. MASA PENJAJAHAN BELANDA


Pengaruh Belanda sudah mulai masuk ke Sumatra Barat sejak akhir abad ke 17, yang mulai dari beberapa pelabuhan pantai terutama di Padang. Dari sana VOC bisa mendapatkan emas dan lada yang ditukarkan dengan kain dari India. Inilah awal cikal bakal penjajahan Belanda di Sumatra Barat. Sekalipun sejak itu terus menerus mendapat perlawanan keras dari pemuka-pemuka agama yang terkenal dengan perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol 1772-1864, perlawanan Tuanku nan Renceh di Kamang, Tuanku Pariaman di daerah Maninjau, Lawang, Andalas dan lain-lain. Penjajahan ini berlangsung terus sampai akhir tahun l941. Jepang mengusir Belanda dari Indonesia. Namun, Indonesia masih tetap menjadi negara jajahan hanya saja dari Pemerintah Belanda pindah ke pemerintah Jepang yang lebih kejam dari penjajahan Belanda. Umum Selama tiga setengah abad penjajahan Belanda khususnya di Sumatra Barat tidak banyak kemajuan yang diperdapat masyarakat. Kesempatan sekolah sangat susah kalau bukan dari keturunan pejabat/pegawai Belanda. Pada tahun l920, dari jumlah penduduk Sumatra Barat 1,7 juta orang yang pernah mendapat pendidikan di sekolah hanya berkisar antara 2 3 persen saja. Alternatif lainnya yang terbuka adalah mengaji di surau-surau yang mengarahkan tulis baca huruf arab. Tidak aneh kalau pada generasi ayah dan ibu saya umumnya orang buta huruf latin dan umunya mereka mahir menulis tulisan dan membaca tulisan Arab berbahasa Indonesia Melayu. Penghidupan masyarakat waktu itu umumnya bertani, khusus padi, palawija, dan tanaman muda lainya. Di beberapa daerah seperti di Pasaman, Lubuk Basung, Sijunjung dan lain-lain ada tanaman paksa seperti kopi yang diwajibkan oleh Pemerintah Belanda yang hasilnya dijual murah ke Pemerintah Belanda untuk dikirim ke negaranya. Kecuali pertanian kehidupan masyarakat lainnya bidang kerajinan yang terkelompok di desa masing-masing. Sebagai contoh di daerah Sungai Puar umumnya kerajinan bidang pandai besi, di Lawang dan Bukit Batabuh kerajinan gula tebu (saka), di Ampek Angkek Candung konpeksi dan sulam-sulaman, dan lain-lain. Tingkat kehidupan masyarakat sangat rendah. Umumnya mereka memenuhi kehidupan sandang pangan yang primer saja. Gaji seorang guru sekolah rendah 15 Rupiah Belanda (gulden). Dengan gaji sebesar itu mereka sudah cukup untuk hidup mewah di waktu itu. Yang dimaksud hidup mewah adalah punya sepeda 1 buah, ada radio di rumahnya, bisa makan dengan lauk daging atau daging ayam 2-3 kali seminggu. Belum ada motor, atau vespa waktu itu, apalagi mobil. Mobil pribadi waktu itu dimonopoli oleh para pejabat tinggi pemerintah belanda, yang jumlahnya untuk Sumbar hanya ada 1 2 orang. Bagi rakyat biasa termasuk keluarga kita cukup hidup dengan sebenggol atau dua setengah sen sehari. Dengan sebenggol sudah dapat membeli beras, lauk pauk, dan perlengkapan dapur seperlunya untuk hidup sehari.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

12

Keadaan Kampung dan Keluarga Kita. Masyarakat kampung kitiga waktu itu umumnya bertani, khusus padi, sayur-sayuran, dan tanaman muda lainnya. Kebetulan di kampung kita tidak ada tanaman paksa seperti kopi yang diwajibkan oleh Pemerintah Belanda. Kegiatan masyarakat lainnya di kampung kita bagi laki-laki adalah kerajinan membuat terompa kayu yang disebut tangkelek. Di waktu itu alas kaki kecuali sepatu dan sendal kulit, tangkelek adalah alternatif yang disenangi, karena murah dan praktis untuk keperluan sehari-hari. Sendal jepit belum ada waktu itu. Setiap pengrajin rata-rata dapat menghasilkan 4 kodi tangkelek seminggu, yang dijual di pasar Bukittingi setiap hari Sabtu dan hari Rabu, karena dua hari itu merupakan hari pasar di kota Bukittinggi. Hari pasar adalah hari orang ramai jual beli di pasar. Kecuali dua hari itu relatif Bukittinggi sepi dari pembeli dan penjual, walaupun toko-toko dan kedai-kedai tetap dibuka. Setiap Jumat sore sampai malam kalau kita berdiri di simpang Parit Putus maka kita akan melihat ratusan kodi tangkelek diangkut dengan gerobak roda tiga yang didorong oleh manusia menuju Pasar Bukittinggi.Paling sedikit ada 60% laki-laki di Parit Putus yang menggantungkan kehidupannya dalam kerajinan tangkelek ini. Bagi wanita dan ibu-ibu kita di kampung umumnya membuat dan menjual karupuk baguak. Proses pembuatan karupuk baguak ini melalui beberapa langkah. Langkah pertama ialah tepung ubi itu diaduk dengan air dan diberi bumbu yang diperlukan. Digulung dalam bentuk lemang dimasukkan ke dalam blek minyak tanah yang bersih dan direbus sampai matang. Setelah matang lemang-lemang tersebut di iris-iris dan dijemur dengan meng atai di atas tikar di lapangan yang kena cahaya matahari. Menjemur itu kalau sedang panas terik bisa sehari kering siap di goreng, jika tidak ada panas terik biasanya memerlukan waktu dua hari. Langkah berikutnya adalah menggoreng dan memasukkannya ke dalam katiding berukuran bundar diameter 1 meter dengan tinggi juga 1 meter yang tiap-tiap hari Sabtu dan hari Rabu subuh-subuh dijunjung di kepala dengan jalan kaki menuju pasar Bukittinggi berjarak 4 km. Pulang sore-sore mendekati magrib dengan tetap jalan kaki dengan katiding di kepala masing-masing, yang sudah diisi dengan bahan makanan mentah untuk dimasak sampai hari pasar berikutnya. Kira-kira 20% dari ibu-ibu kita yang ikut membantu kehidupan keluarganya memilih profesi ini, sedangkan yang lainnya ada juga yang memilih profesi menerima upah jahitan yang diterima dari para pengusaha konpeksi yang umumnya berada di luar kampung kita. Ini semuanya saya ceritakan dengan maksud agar anak-anak dan cucu-cucu mengetahui bagaimana sulitnya masyarakat kita mencari kehidupan di masa penjajahan. Alahamdulillah sekarang sudah agak membaik, tetapi masih ketinggalan dari daerah-daerah lain. Insya Allah anak-anak dan cucu-cucu saya di belakang hari diberi kekuatan oleh Allah untuk ikut memikirkan kemajuan masyarakat di kampung kita.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

13

2. SILSILAH KETURUNAN
Allah mentakdirkan kami (Bapak dan Mamah) lahir di alam Minangkabau. Ada sastrawan yang berpendapat bahwa luas alam Minangkabau itu identik dengan wilayah Propinsi Sumatra Barat, dengan inti tiga Kabupaten. Ketiga Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Agam dengan Ibu kotanya Bukittinggi (dulu). Kabupaten Limapuluh Kota dengan ibu kotanya Payakumbuh, dan Kabupaten Tanah Datar dengan ibu kotanya Batu Sangkar. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa alam Minangkabau itu hanya tiga kabupaten inti itu saja. Biarkanlah perbedaan itu tetap menjadi perbedaan karena tidak diperlukan dalam silsilah kita ini. Yang perlu kita perhatikan bahwa di alam Minangkabau tradisional menyimpan beberapa keunikan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun di dunia umumnya. Di antara keunikan itu adalah: Bidang keturunan; Keturunan di Minangkabau berdasarkan garis ibu, bukan berdasarkan garis bapak, matrineal bukan patrineal. Keunikan ini pernah saya tanyakan kepada Dr. Jamil di Bukittinggi. Beliau menjawab, karena laki-laki Minangkabau itu pada umumnya perantau, dan kadang-kadang meninggalkan isterinya di kampung bertahun-tahun, hanya sekali-sekali saja pulang kekampung. Setelah dia berhasil di rantau baru membawa istrinya ke rantau. Bila dalam kondisi demikian si suami yang sedang dirantau mendapat fitnah, yang mengatakan bahwa isterinya kelihatan berselingkuh dengan laki-laki lain, maka bisa saja si suami membantah bahwa anak yang dikandung atau yang dilahirkan isterinya bukan anaknya. Tetapi si istri dalam hal bagaimanapun tidak mungkin memungkiri bahwa anak yang dia lahirkan itu bukan anaknya. Bidang warisan; Yang berhak menerima warisan dari harta pusaka tinggi adalah anak wanita 100%. Anak laki-laki tidak berhak sedikit pun. Hak laki-laki terhadap harta tinggi adalah memelihara dan mengambil hasilnya sekadar yang diperlukan untuk kehidupannya. Yang dimakud dengan harta tinggi adalah harta pusaka yang diterima turun temurun yang berasal dari harta pasukuan. Bukan harta yang dapat dihasilkan oleh ibu dan bapak dalam perkawinan yang disebut harta pusaka rendah. Untuk harta pusaka rendah ini berlaku hukum waris menurut Islam. Kedua jenis keunikan ini terlihat bagaimana masyarakat Minangkabau menempatkan kaum perempuan pada tempat yang paling aman secara ekonomis. Oleh sebab itu seorang wanita di Minangkabau jarang sekali yang tidak punya tanah dan rumah untuk tempat tinggal, karena kepentingan papan dijamin oleh adat sejak dahulu. Sekarang sudah mulai berubah sesuai dengan kemajuan pendidikan dan pemikiran dan lain-lain. Tiap-tiap wanita asli di Minangkabau pasti mempunyai suku. Jika dia tidak dapat menyebut sukunya berarti dia bukan wanita berasal dari Minangkabau. Suku atau pasukuan menunjukkan identitas asal turunan yang satu nenek dulunya, mungkin beberapa lapis ke atas. Bila satu pasukuan dan berada dalam Datuk yang sama dianggap masih saudara dekat
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

14

dan tidak boleh saling mengawini, sekali pun tidak dapat memperlihatkan silsilah keturunan yang meyakinkan. Demikian itu sebagian dari adat Minangkabau yang berlaku dizaman saya. Di kampung kita ada 6 buah suku yaitu suku Koto, (suku saya), suku Guci (suku mamah), suku Simabur (suku Bapak saya), suku Piliang (suku bapak mamah), suku Jambak (suku datok saya dari pihak bapak), dan suku Pisang yang di kampung kita hanya sedikit, dan kebetulan kita tidak ada ikatan perkawinan dengan suku Pisang ini. Jenis suku ini tidak selalu sama di tiap-tiap kampung, kadang-kadang di kampung kita ada, di kampung lain tidak ada, dan dikampung lain ada, di kampung kita tidak ada. Pihak Ayah. Ayah saya bernama Marahimin gelar Pakih Sinaro. Beliau adalah guru mengaji di desa kita Parit Putus. Kedisiplinan yang diajarkan dan diterapkan kepada kami sangat berpengaruh dan mendukung kehidupan dan karir saya. Insya Allah sampai ke akhir hayat. Bila beliau tidak senang dengan sesuatu pekerjaan kami, beliau menegur dengan tiga langkah. Pertama beliau memperhatikan saja pekerjaan kami itu tanpa berbicara sedikit pun. Beliau mengharapkan kita mengerti bahwa pekerjaan itu tidak beliau sukai dan kita berhenti dari pekerjaan itu. Beliau tidak menjelaskan dan memberikan argumentasi kenapa pekerjaan itu tidak beliau senangi, kita harus bisa mencari dan menduga-duga sendiri kenapa beliau tidak senang dengan pekerjaan itu. Bila kita masih belum menghentikan pekerjaan itu. Langkah berikutnya ialah dengan menyindir. Pada satu ketika semasa penjajahan Jepang (sebelum kemerdekaan) di kampung kita sedang musim orang memelihara anjing untuk berburu babi di gunung merapi dan di tempat lain. Sayapun ikut-ikutan memelihara anjing seperti teman-teman seangkatan waktu itu. Salah satu sore anjing itu, saya bawa jalan-jalan ke simpang Parit Putus seakan-akan ingin pamer ke teman-teman bahwa saya punya anjing bagus. Ayah saya waktu itu sedang berdagang rokok di salah satu petak kedai kepunyaan beliau di simpang Parit Putus. Melihat saya memegang tali anjing, beliau panggil saya dan suruh saya menunggu karena ada yang mau dikatakan. Bukan saya yang dipanggil ke tempat beliau tetapi beliau yang mendatangi saya, karena di kedai beliau waktu itu sedang banyak orang. Setelah beliau sampai dekat saya, lama beliau memperhatikan anjing saya. Saya sudah merasakan bahwa masalahnya adalah masalah anjing yang mungkin beliau tidak senang. Badan saya sudah mulai panas dingin dan siap-siap menerima amarah beliau. Dalam keheningan itu beliau berkata. Lain kali kalau mau membeli sapi sebaiknya kasih tahu saya dahulu, jangan pandaipandai saja membeli sendiri. Setelah mengatakan itu beliau langsung pergi. Rasanya berat sekali kaki ini dilangkahkan. Dengan rasa penuh penyesalan saya sampai juga ke rumah membawa anjing itu. Besoknya anjing itu saya berikan kepada orang lain. Jika kedua langkah tersebut tidak mempan, maka langkah terakhir ialah beliau tidak lagi menegur-negur, kalau disapa beliau diam saja dan ini biasanya memakan waktu berbulanbulan. Beliau jarang sekali memukul baik dengan tangan maupun dengan rotan. Selama saya tahu, saya hanya sekali kena tampar di paha saya, karena bermain sepeda dipagi hari semasa saya berumur lebih kurang 10 tahun.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

15

Tidak lama setelah itu, saya ceritakan ke abang Ahmad Tadjuddin tentang kejadian itu, beliau mendengar langsung tertawa dan bercerita bahwa beliau pun pernah mendapat sindiran yang hampir sama. Cerita beliau begini. Abang Ahmad Tadjuddin memang tidak senang merokok, hanya saja pada satu ketika beliau iseng diberi teman rokok, langsung beliau bakar dan menghisap rokok itu. Kebetulan bapak lewat di situ dan beliau melihat abang merokok. Beliau pura-pura minta api dari rokok abang tersebut. Abang menyangka bahwa bapak betul-betul akan merokok dan tidak membawa korek api. Memang di kampung kita biasa orang meminta api dari api rokok orang yang sedang dihisap. Setelah menyalakan rokoknya sendiri, rokok orang tersebut dikembalikan lagi ke pemiliknya Apa yang terjadi, ternyata setelah bapak menyalakan api rokok bapak, rokok abang yang dipinjam tadi tidak dikembalikan kepada abang, tetapi rokok itu beliau injakinjak di hadapan abang tanpa bicara sepatah pun, dan langsung pergi. Demikian sedikit pengenalan tentang bapak kami. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau dan mengampuni segala dosa beliau. Amin !. Suku bapak Simabur, nama ibunda beliau adalah Kambeh dan nama bapak beliau adalah Khalid dari suku Jambak. Beliau berempat bersaudara, yang paling tua wanita nama Leha yaitu nenek maktuo Nurbeiti sekarang. Nomor dua laki-laki nama Kari Ayat yaitu ayahnya abang Ismail Hasan yang di Kuala Lumpur. Nomor tiga laki-laki nama Sakban ayahnya pak Toni, dan yang nomor empat atau yang bungsu adalah ayah saya Marahimin gelar Pakih Sinaro. Tidak ada catatan tentang kelahiran dan kematian beliau, hanya saja yang mendekati kebenaran adalah kematian beliau pada bulan Desember l950 dalam umur lebih kurang 60 tahun. Jika dihitung mundur maka kira-kira beliau lahir tahun 1890. Dari satu ayah, saya bertiga bersaudara yang hidup sampai besar. Yang paling tua adalah kakanda Ahmad Tadjuddin almarhum yaitu bapaknya Herawarti dan lain-lain. Nomor dua adalah saya dan yang bungsu adalah wanita nama Djamilah yang sekarang ada di Duri Riau. Pihak Ibu Saya dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Saeran. Saya bangga, bahagia, dan bersyukur dilahirkan oleh seorang ibu yang berbudi mulia, walaupun buta huruf latin tetapi tidak tulisan dan bacaan Arab. Kami anak-anak memanggil beliau dengan sebutan biai. Menurut perkiraan, beliau lahir tahun 1907 dan meninggal pada tanggal 12 April l992 lebih kurang jam 5.00 pagi sedang berkumandang azan Subuh di mesjid dekat Rumah Sakit Yarsi Bukittinggi. Kalau tanggal meninggal beliau saya tahu pasti karena saya ikut melepas beliau waktu itu, dan saya catat tanggal tersebut. Beliau dilahirkan sebagai anak tunggal (tidak punya saudara sejak lahir) dari seorang ibu bernama Siti Urai dan seorang ayah bergelar Datuk Sati suku Piliang berasal dari Desa Ampang Gadang.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

16

1 Nenek Siti Urai 1968 Menjelang umur menjelang sembilan tahun saya sudah berpisah dengan beliau pergi mengikuti ayah saya di Kota Tinggi Malaysia dan sekolah di Johore Bahru. Seumur itu tidak banyak yang dapat terekam oleh otak yang dapat diceritakan dalam buku ini. Ketemu lagi dengan beliau menjelang umur lima belas tahun setelah pulang dari Johore Bahru tahun 1943. Sejak itulah saya kembali dekat dan mengenal beliau. Tidak berlebihan kalau di atas saya mengatakan beliau adalah seorang ibu yang berbudi mulia, minimal menurut pandangan saya dengan kesan-kesan sebagai berikut: 1. Beliau adalah seorang pekerja sosial tingkat kampung dan kenagarian khusus bidang keagamaan, walaupun beliau tidak pernah sekolah agama kecuali mengaji di surausurau. Bacaan Al-Quran beliau bagus oleh karena itu banyak anak-anak gadis di zaman itu belajar mengaji ke rumah beliau malam-malam hari (sebelum ada taman bacaan Al-Quran diadakan). Waktu itu mengajar mengaji ikhlas karena Allah semata. Setiap kegiatan mesjid yang dapat dilakukan oleh wanita beliau selalu berada di depan semampu beliau baik tenaga maupun materi. Bila pengurus mesjid mengundang mubalig-mubalig mengaji ke Kampung, beliau selalu menjamu mubalig tersebut beserta panitia untuk makan dirumah. Alhamdulillah sejak kemerdekaan keluarga kami tidak lagi membeli beras dari tahun ke tahun, sudah terpenuhi dari hasil sawah pusaka yang disebut harta tinggi.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

17

2. Beliau adalah seorang penyabar. Sejak saya berumur limabelas tahun sampai beliau meninggal belum pernah saya mendengar atau melihat beliau marah kepada kami atau kepada siapa pun. Kalau ada sesuatu perbuatan kami yang salah paling-paling beliau menasehati dengan baik dan mengatakan (kalau tidak percaya lihat saja nanti yang akan merasakan akibatnya kalian juga) Pernah sekali saya melihat beliau berselisih dengan pemilik tanah sebelah jalan raya rumah beliau di kampung. Menurut beliau terlalu lebar di patok oleh pihak sebelah sehingga mengambil tanah beliau sekitar satu meter ke dalam dengan panjang lebih kurang 30 meter. Akhirnya beliau mengalah dan mengatakan patok sajalah seberapa menurut kamu, karena tanah ini kan milik Allah yang nanti akan kita pertanggungjawabkan. Redalah perselisihan waktu itu sekali pun orang itu sudah mengeluarkan kata-kata kasar, tetapi tidak beliau ladeni. Orang itu mematok yang menurut beliau telah dirugikan lebih kurang 30 M2. Setelah orang itu pergi saya tanyakan kepada beliau kenapa biai diam saja. Beliau menjawab singkat, kalau orang sudah gila, masa kita menjadi gila pula. Setelah saya tua sekarang baru saya tahu bahwa yang beliau amalkan adalah ayat Al-Quran S.3.134 yang mengatakan ciri-ciri orang bertakwa adalah antara lain menahan diri dari amarah. 3. Suka memberi dan tidak kikir. Beliau sering mengatakan kepada kami bahwa dunia ini enaknya hanya sampai di kerongkongan saja, setelah itu habis. Sedangkan yang untuk kita adalah apa yang kita berikan atau kita sedekahkan itu. Ini beliau buktikan sampai akhir hayat beliau masih menampung seorang anak yatim tetangga di depan rumah beliau di kampung, sekali pun untuk biaya pakainnya dan uang sekolahnya beliau mintakan dari anak-anak beliau. 4. Yang paling tidak dapat saya lupakan dari kepribadian beliau adalah penggunaan waktu. Tidak pernah saya melihat beliau duduk bermenung, tanpa sesuatu yang beliau kerjakan, minimal Al-Quran berikut tafsirnya ada di tangan beliau. Pada salah satu kunjungan beliau ke Jakarta waktu itu ada tafsir Al-Quran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama terdiri dari 4 jilid dengan huruf latin, saya belikan untuk beliau. Dari tafsir itulah beliau belajar membaca huruf latin dengan Indra di Kampung sampai pandai. Tafsir itu yang beliau bawa ke mana-mana dan membaca berkali-kali sampai lusuh. Mungkin sekarang masih ada tafsir itu di kampung, mudah-mudahan masih dibaca oleh anak-cucu beliau.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

18

2. Tafsir yang digunakan

Saya berdoa semoga teladan-teladan yang positif yang beliau tinggalkan kepada saya dapat pula diikuti oleh anak-anak dan cucu-cucu saya dibelakang hari. Selaku manusia beliau tentu banyak juga kesalahan dan kelemahan, tetapi untuk itu saya berdoa semoga kesalahan dan kelemahan beliau Allah mengampuni dan menempatkan arwah beliau bersama-sama dengan orang-orang yang di ridhai Nya. Amin.!

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

19

3. MASA KANAK-KANAK
Menurut ibunda saya, saya lahir tanggal 15 Agustus l928, hari Selasa tengah malam. Penentuan tanggal tersebut bukan atas dasar catatan tertulis yang dikenal waktu itu dengan istilah hijrat atau berdasarkan akte kelahiran seperti zaman sekarang. Tetapi ibunda mengatakan bahwa kamu lahir 11 hari setelah si Agusman lahir. Agusman adalah tetangga kami di kampung, anak seorang guru Sekolah Sambungan (Sekolah Dasar sekarang). Setelah saya telusuri dan melihat hijrat sdr Agusman diketahui bahwa dia lahir tanggal 4 Agustus l928. Dengan menghitung 11 hari kedepan setelah tanggal 4 Agustus maka ketemulah tanggal 15 Agustus l928 sebagai tanggal yang diyakni sebagai tanggal kelahiran saya. Tanggal yang pasti Allah lah yang maha mengetahui. Saya baru mengetahui bahwa saya lahir tanggal 15 Agustus l928, seperti diatas setalah saya pulang dari Malaysia pada tahun l942. Setelah saya berumur 14 tahun, waktu sekolah di Malaysia, tanggal kelahiran saya dikatakan tanggal 8 Agustus l928. Nama asal yang diberikan oleh orang tua saya waktu lahir adalah Bustamam, bukan Bustaman. Waktu sekolah di Malaysia nama saya tercatat, Bustamam bin Pakih Sinaro, karena nama orang tua saya di dalam Kartu Penduduk disana adalah Paikih Sinaro. Sekolah di Bukittinggi dan di SMA I Jalan Budi Utomo Jakarta (yang hanyaa beberapa bulan saja) menggunakan nama Bustamam saja, tanpa embel-embel dibelakangnya. Tambahan Rahim dibelakang adalah potongan akhir nama orang tua saya dari asal Marahimin, dengan menghilangkan dua huruf awal dan dua huruf akhir, yang berarti penyayang. Itu baru dimulai pada saat kursus tata buku Bond A di Jakarta tahun 1952, setelah berumur 23 tahun. Lengkapnya adalah Bustamam Rahim. Nama ini tetap sampai pada ijazah Fakultas Sosial Politik di UNPAD jurusan Adiministrasi Niaga, tahun 1966. Karena jurusan Administrasi Niaga di Fakultas Sosial Polotik di bekukan tahun l969, maka semua ijazah Administrasi Niaga yang pernah di terbitkan di konversi menjadi ijazah Jurusan Ekonomi Perusahaan dalam Fakultas Ekonomi UNPAD. Nama saya berobah menjadi Bustaman Rahim, pada saat menerima ijazah Jurusan Akuntansi, akibat salah tulis oleh sekretariat Fakultas Ekonomi UNPAD. Pada waktu menerima ijazah tersebut tidak saya perhatikan. Diketahui salah tulis pada saat mendaftar di Departemen Keuangan untuk mendapatkan registrasi negara. Disana dipertanyakan, mana yang benar, Bustamam atau Bustaman?. Saya pikir kalau akan diperbaiki akan memakan waktu lama lagi, karena harus di urus ke Sekretariat Fakultas Ekonomi UNPAD. Saya katakan yang benar adalah Bustamam, tetapi karena sudah terlanjur, biar saja di lanjutkan dengan nama Bustaman Rahim, mungkin ada hikmahnya.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

20

Di Parit Putus Menurut ibunda, ayah saya meninggalkan ibu sewaktu saya masih berumur beberapa bulan. Saya termasuk salah seorang di antara sekian banyak anak-anak di kampung kita yang tidak sempat merasakan kasih sayang dari seorang bapak dimasa kecil. Pertama kali saya bertemu dan mengenal ayah setelah saya menjelang umur 9 tahun di tahun l937 di Kota Tinggi, Johore Baharu. Alhamdulillah saya merasakan kasih sayang yang luar biasa dari nenek saya, mungkin karena saya adalah cucu pertama beliau waktu itu, sedangkan ibu saya sibuk dengan mencari nafkah sebagai pembuat dan penjual kerupuk baguak. Kerupuk baguak adalah kerupuk yang dibuat dari tepung ubi kayu. Bahan bakunya dapat dibeli di pasar Bukittinggi. Pembuat dan penjual karupuak baguak sudah menjadi profesi ibu-ibu maupun gadis-gadis di kampung kita dizaman itu. Begitu sayangnya nenek kepada saya, sampai saya berumur 8 tahun. Kalau makan masih disuapin, bahkan beliau telaten menyuapi saya, sekali pun saya sedang tidur. Saya pun terlatih makan sedang terlalap tidur. Di luar sadar mulut terbuka setelah habis nasi yang dikunyah yang berada di dalam mulut, dan menutup kembali setelah nasi masuk ke mulut. Demikian seterusnya sampai kenyang, dan setelah kenyang saya pun terbangun. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau dan mengampuni segala kesalahan beliau. Amin ! Saya tidak sempat membalas jasa beliau walaupun agak sedikit. Hanya ada satu kenangkenangan manis yang mengobati penasaran saya itu. Dalam tahun l966, kebetulan beliau menderita penyakit kulit di leher dan tengkuk. Penyakit kulit tersebut begitu menyakitkan dan merasa sangat tersiksa sampai beliau menceritakan kepada ibunda, kalau si Tamam mau membawa saya ke Bandung untuk mengobati penyakit saya ini mau saya pergi berobat ke sana. Oleh ibunda permintaan nenek ini beliau sampaikan kepada saya. Mendengar perkataan nenek tersebut alangkah gembiranya hati saya, karena nenek sejak gadis beliau tidak pernah pergi ke mana-mana jangankan ke Bandung, ke pasar Bukittinggi saja beliau jarang sekali pergi. Kalau pergi ke pasar Bukittinggi beliau memilih jalan kaki tidak pernah naik bendi (delman). Kendaraan di kampung kita paling top waktu iti baru tingkat bendi, tidak ada oplet seperti sekarang. Begitgu mendapat berita itu segera saya kirimkan uang untuk ticket dan lain-lain. Ibunda yang mengantarkan beliau naik Garuda. Pesawat Garuda pun hanya dua kali dalam seminggu, tidak seperti sekarang. Setelah sampai di Bandung keesokan harinya saya bawa beliau ke Dokter spesialis penyakit kulit di Jalan Pungkur. Menurut Dokter tersebut beliau menderita penyhakit TBC kulit. Alhamdulillah tidak sampai 2 minggu berobat banyak sekali kemajuan, beliau tidak merasakan sakit lagi. Tidak sampai satu bulan penyakit beliau sudah sembuh dan menurut Dokter sudah boleh pulang ke Bukittinggi dengan dibekali obat-obat cadangan. Sejak itu beliau sudah tidak betah lagi tinggal di Bandung. Setiap hari beliau minta pulang dan akhirnya saya siapkan ticket Garuda untuk berdua dengan ibunda, dan saya antarkan sampai ke air port Kemayoran Jakarta.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

21

Umur 6 tahun saya dimasukkan ke sekolah oleh paktuo saya yang bernama pak Sakban (bapaknya Sartuni) bersama-sama dengan anaknya bernama Nawawi di Sekolah Standar kepunyaan .Muhammadiah. Jarak antara sekolah dengan rumah kita di Kampung kira-kira 2 km, yaitu di desa Pinang Baririk Liwat Tanjung Alam ke arah Payakumbuh. Saya kebetulan satu kelas dengan Proff. DR Zakiah Drajat, hanya saja otak yang berbeda. Dia sampai mencapai gelar Prof. Dr, sedangkan saya begini-begini saja. Namun demikian saya bersyukur kepada Allah Swt, bila saya bandingkan dengan teman-teman saya seangkatan yang lain. Alhamdulillah kakak bapak saya sungguh memperhatikan keperluan sekolah saya di waktu itu. Kalau pada saat menghadapi hari lebaran beliau membawa saya bersama-sama dengan anak-anaknya (Nawawi dan Sartuni) ke pasar Bukittinggi membeli baju, sepatu, dan kopiah baru. Dalam memilih kopiah dan sepatu beliau menyarankan untuk memilih ukuran yang lebih besar supaya satu atau dua tahun ke depan masih dapat dipergunakan dan tidak perlu membeli kopiah dan sepatu baru. Kaki dan kepala anak-anak akan cepat bertambah besar dan akan pas di tahun mendatang kata beliau. Kami sebagai anak-anak menerima saja alasan beliau itu tanpa berani memprotes sedikitpun. Kami pun tidak merasa malu bahkan merasa bangga memakai sepatu dan kopiah yang lebih besar dari ukuran sebenarnya pada hari lebaran. Pola pemikiran dan kehidupan demikian tidak hanya pada keluarga kita saja tetapi sudah menyeluruh, karena kehidupan yang serba susah. Saya sekolah di Sekolah Standar tidak sampai tamat, karena dalam tahun l937 umur 9 tahun, sedang duduk di kelas tiga saya di bawa ke Malaysia oleh ibu tiri saya. Ibu tiri saya adalah ibunda dari kakanda Ahmad Tajudin (ayah Herawati Taman Sari) bernama Raiyah. Beliau pulang ke Bukitinggi dari Kota Tinggi (Johore Baharu) untuk menjemput kakanda Jaraniah yang akan di djodohkan dengan kakanda Ahmad Tadjuddin yang waktu itu menunggu di Kota Tinggi. Ibu saya tidak keberatan melepas saya pergi merantau, karena beliau mengharapkan Insya Allah saya menjadi anak yang berguna di belakang hari. Hanya saja nenek saya yang sedih berpisah. Konon kabarnya setiap kali beliau ingat saya beliau menangis sedih,dan setiap mendengar ada orang yang akan berangkat ke Malaysia beliau selalu membuatkan rendang itik untuk saya, karena itulah makanan favorit saya. Kami berangkat ke Malaysia berempat orang, yaitu bunda Raiyah, kakanda Jaraniah, adik ibunda Basir namanya dan saya sendiri. Waktu itu perjalanan dari Bukittinggi ke Kota Tinggi memakan waktu 7 hari karena transportasi belum seperti sekarang. Contohnya dari Bukittinggi ke Pekanbaru saja memakan waktu 2 hari. Di Pekanbaru menunggu dulu perahu layar yang akan berangkat ke Bengkalis, karena di Bengkalis ada adik ibunda Raiyah yang bekerja di Bea Cukai, mamanda Darwis nama beliau. Di sana kami bermalam 2 malam, setelah itu baru berangkat ke Singapore juga dengan perahu kecil, yang hanya dapat memuat belasan orang. Dari Singapore kami terus ke Johore Baharu di Kampung Wadi Hasan rumah kakanda Dasima (ibunda M.Noor Jamil). Suami beliau adalah Mohamad Jamil, guru sekolah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

22

keterampilan di Johore Baharu. Di Johore Baharu kami menginap semalam. Waktu bangun pagi keesokan harinya saya teringat kampung, teringat nenek dan ibunda di kampung, langsung menangis dan tersedu-sedu. Saya pun dipujuk ibunda Raiyah dan diajak main-main oleh mamanda Basir yang sama-sama baru datang dari Kampung. Besoknya kami langsung ke Kota Tinggi. Jarak antara Johore Bahru dan Batu Empat Kota Tinggi lebih kurang 40 mile. Sekolah Melayu di Batu Empat Kota Tinggi Malaysia. Itulah pertemuan dan perkenalan saya pertama kali dengan ayah. Ayah saya orangnya pendiam. Beliau berbicara sekadar yang perlu saja. Tidak ada canda dan guyon seperti bapak-bapak zaman sekarang dengan anak-anaknya. Saya lebih banyak berkomunikasi dengan ibunda Raiyah, kakanda Ahmad Tadjudddin. Dari ibunda Raiyah saya merasakan kasih sayang seperti ibu kandung sendiri. Kepada beliaulah saya mengadu segala sesuatu dan tempat meminta apa-apa yang diperlukan..Tidak demikian halnya dengan ayah saya. Ayah saya waktu itu berjualan buku-buku agama yang beliau bawa dari Bukittinggi. Beliau mempunyai seorang teman bernama Moh. Zen yang menjadi guru di sekolah Melayu di Lukut Batu Empat. Moh. Zen juga berasal dari Sumatra Barat. Jarak antara Batu Empat ke Lukut lebih kurang 1 mile, hanya saja jalannya menuju sekolah masih hutan belukar. Kalau mau berangkat atau pulang sekolah mesti menunggu rombongan empat atau lima orang, karena masih ada binatang-binatang buas di sana. Atas bantuan Moh. Zen saya lansung di terima sekolah, kalau tidak salah waktu itu pertengahan tahun ajaran. Pada kenaikan kelas saya di pindahkan ke sekolah Inggeris di Johore Bahru dikenal dengan Ngeheng Primary School. Saya di titipkan di rumah kakanda Dasima di Kampung Wadi Hasan. Jarak antara Kampung Wadi Hasan dan Ngeheng Primary School hanya lebih kurang 1 mile. Sekolah Inggris Di Johore Baharu Malaysia Ngeheng Primary School adalah tingkat pertama dari sembilan tingkat yang harus diliwati untuk mendapatkan ijazah English College School yang bergengsi di masa itu. Datok Husen Onn Mantan Perdana Menteri Malaysia adalah salah seorang almamater English College School. Lanjutan dari English College School adalah Stanford University di England atau setingkatnya. Untuk di Malaysia waktu itu belum ada yang lebih tinggi dari itu. Sekolah ini khusus untuk pria saja dan disediakan untuk warga Negara Malaysia, atau dapat juga melalui bersumpah bahwa yang bersangkutan benar kelahiran Malaysia. Sebelum saya masuk sekolah di situ kebetulan anak tiri dari kakanda Dasima nama Anwar bin Jamil telah lebih dahulu sekolah di situ dengan cara yang sama. Dia satu kelas di atas saya dan lokasi sekolahnya di Bukit Zahrah. Untuk kelas 2 sampai kelas 4 lokasi sekolahnya di Bukit Zahrah. Kelas 5 sampai 9 lokasinya di English College School di pinggir pantai Johore Baharu. Di Ngeheng Primary School ada ketentuan bagi pelajar yang mendapatkan ranking 1 sampai 3 ujian akhir langsung naik kelas 3. Tidak melalui kelas 2 dulu. Alhamdulillah saya termasuk dalam ranking yang tiga itu sehingga saya langsung naik ke kelas 3 dan saya pun
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

23

pindah ke Bukit Zahrah School. Di sana saya sudah bersama-sama satu sekolah dengan Anwar Jamil yang waktu itu duduk di kelas 4. Lokasi Bukit Zahrah ini lebih jauh dari Ngeheng Primary School. Lebih kurang 2 mile dari Kampong Wadi Hasan. Tetapi karena sudah ada teman untuk sama-sama pergi dan pulang maka jauhnya itu tidak kami rasakan. Uang sekolah di Bukit Zahrah 1 Ringgit 10 sen Malaysia dengan rincian 1 Ringgit untuk uang sekolah dan buku-buku pelajaran, buku-buku tulis, dan alat-alat tulis lengkap untuk satu tahun pelajaran, sehingga tidak ada yang perlu dibeli. Sedangkan yang 10 sen, adalah untuk uang olah raga termasuk pakaian olah raga. Murid-murid di sekolah dibagi empat kelompok yang ditandai dengan warna hijau, kuning, biru, dan merah. Setiap tahun dari keempat kelompok ini di perlombakan dan mencari juara ditiap-tiap jenis oleh raga. Yang menang mendapat piala bergilir merupakan suatu kebanggaan. Saya termasuk kelompok kuning yang kadang-kadang kalah dan kadang-kadang menang. Setiap Jumat kira-kira jam 5 pagi saya dan Anwar sudah pergi mengunjungi 3 buah rumah Syekh keturunan Arab yang tempatnya berjauhan. Rumah syekh ini adalah rumah panggung. Jadi kita menaiki tangga dulu baru sampai ke rumah syekh tersebut. Di tengahtengah rumah, syekh duduk di kursi sambil membagi-bagi uang sebesar 10 sen ringgit per anak. Anak-anak setelah menerima duit mencium tangan syekh tersebut dengan ucapan terima kasih langsung pulang untuk pergi lagi ke rumah syekh yang lain. Di tangga sudah ratusan anak-anak yang antri menunggu giliran untuk menerima sedekah sebesar 10 sen setiap anak. Tidak ada pikiran untuk kembali antri di belakang untuk mendapatkan pembagian 10 sen berikutnya. Anak-anak takut konon syekh itu adalah orang keramat yang setelah membagikan uang-uang tersebut, kabarnya dia kembali ke mekah dan nanti hari Jumat depan datang lagi untuk membagi-bagikan sedekah kepada anak-anak. Wallahu Aklam (Allah yang Maha Tahu). Rumah kakanda Dasima tidak begitu besar, hanya terdiri dari satu ruangan depan ukuran lebih kurang 6 x 8 mt dan satu kamar tidur ukuran lebih kurang 6 x 6 mt, dapur, dan kamar mandi. Yang tinggal di rumah tersebut terdiri dari ibunda Sawiyah (ibunda kakanda Dasima) sekali sekali pak tuo saya bernama Kari Hayat (Bapaknya kakanda Ismail Hassan dan kakanda Dasima) kakanda Ismail Hassan, Anwar Jamil, dan saya. Anak kakanda Dasima waktu itu baru ada seorang yaitu M.Noor Jamil yang masih bayi. Ibunda Sawiyah dan lainnya mengambil tempat tidur di ruang depan dengan mengembangkan kasur waktu mau tidur dan menggulungnya di pagi hari. Saya dan Anwar mengambil tempat di gang antara ruang depan dan dapur dengan bekal tikar dan bantal. Malam di kembangkan dan pagi di gulung dan di simpan dikamar kakanda Dasima. Waktu itu orang-orang belum mengenal istilah pembantu rumah tangga. Kakanda Dasima hanya dibantu oleh seorang perempuan Cina khusus mencuci dan menstrika pakaian. Kecuali itu, pekerjaan rumah tangga lainnya dikerjakan bersama, kami ikut mengambil bagian seperti menyapu rumah dan pekarangan, menggiling cabe, mencuci
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

24

piring, mamarut kelapa dan lain-lain. Latihan di rumah kakanda Dasima tersebut bermanfaat untuk kehidupan kami di kemudian hari, menjadi lebih rapi dan lebih mandiri. Setiap liburan panjang sekali setahun pada bulan Desember saya pergi ke Batu Empat Kota Tinggi ke tempat Ayah dan Bunda Raiyah dengan menumpang mobil kantor pos yang sudah dititipkan oleh ayah. Waktu itu ayah sudah membuka kedai kopiah di Kota Tinggi. Alhamdulillah kedai kopiah beliau termasuk yang dikenal di Kota Tinggi, tempat pejabatpejabat setingkat kota kecil itu memesan kopiah. Liburan pendek pertengahan tahun l940 saya tidak pulang ke Kota Tinggi. Waktu itu saya sudah berumur 12 tahun dan belum disunat. Kawan-kawan di sekolah sering bercerita bahwa mereka sudah disunat, sedangkan saya belum dan tidak ada yang mengingatkan. Pada kesempatan libur pendek itu, dengan membawa surat dari sekolah, saya pergi sendiri ke rumah sakit dan minta disunat.. Dirumah sakit saya ditanya dan diperiksa seperlunya, langsung disuruh masuk ke ruangan operasi. Saya waktu itu masih memakai celana sekolah dan disuruh tidur di meja operasi, diatasnya ada kaca besar dapat melihat apa yang dikerjakan oleh dokter yang menyunat. Saya hanya merasakan sakit pada saat injeksi pertama dan setelah itu saya dapat melihat dokter melakukan pekejaannya sampai selesai. Setelah selesai saya disuruh kembali memakai celana, tanpa membayar satu sen pun. Saya disuruh pulang dengan dibekali obat untuk dipakai besok setelah dibersihkan pagi hari. Saya pulang naik beca yang ditarik oleh manusia. Sesampai di rumah kakanda Dasima menggeleng-geleng dan marah karena tidak memberitahukan lebih dahulu. Saya minta maaf karena tidak mau menyusahkan dan besok paginya saya besihkan sendiri dan saya beri obat dan diverban sendiri. Alhamdulillah selamat dan setelah 3 hari sembuh total. Liburan Desember l940 saya juga pulang ke Batu Empat Kota Tinggi. Kalau di tahuntahun sebelumnya, liburan di Kota Tinggi saya nikmati dengan bekerja membantu ayah di kedai songkok di Kota Tinggi atau ikut memotong getah di Lukut Batu Empat. Memotong getah adalah menakik kulit pohon getah supaya keluar getahnya yang dinamakan latex. Pekerjaan ini harus dilakukan sebelum matahari terbit supaya banyak getahnya keluar. Jika dilakukan setelah matahari terbit maka getahnya tidak banyak keluar. Latex getah itu sesudah dicampur dengan cuka didiamkan sampai jam 2.00 sore setelah itu siap digiling menjadi lempengan-lempengan berukuran 40 x 60 cm. Seperti pepatah orang mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, maka pada tahun itu saya mendapat musibah berupa penyakit malaria tropika. Setelah berobat di Kota Tinggi tidak banyak kemajuan bahkan lebih parah sudah sampai pada tingkat bicara-bicara sendiri. Kebetulan masa sekolah sudah hampir tiba, maka saya diantarkan ke Johore Bahru dan langsung dimasukkan ke rumah sakit. Kira-kira sebulan saya dirawat di rumah sakit baru boleh pulang dan terus menerus memakan obat karena memang penyakit malaria tropica sangat ditakuti orang waktu itu. Akibatnya bisa mati atau bisa menjadi gila. Namun demikian, saya sudah dapat pergi sekolah sebagaimana anak-anak sehat lainnya dengan terus memakan obat. Alhamdulillah segala kigiatan sekolah dapat saya ikuti sampai ujian akhir tahun pelajaran l941. Waktu itu saya duduk di klas 5 English College School
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

25

Liburan Desember l941 saya pulang ke Batu Empat Kota Tinggi. Dalam masa liburan panjang ini tentara Jepang menyerang dan memasuki Malaysia. Banyak orang-orang Cina dibunuh` oleh tentara Jepang. Asal ketemu bangsa Cina tidak pandang laki-laki atau perempuan, besar atau kecil langsung di bunuh. Banyak sekali kita menemukan mayatmayat Cina di piggir-pinggir jalan, atau di pinggir-pinggir sungai. Rakyat terpaksa bergotong-royong menguburkan mayat-mayat Cina tersebut. Penyakit kolera pun merambah dibanyak daerah, bahkan di Batu Empat itu tiap-tiap hari menguburkan orang mati akibat penyakit kolera. Bahkan seseorang yang paginya menguburkan orang mati karena kolera, sorenya yang mengantarkan orang itu yang dikuburkan karena mati akibat kolera. Begitu cepat penyakit itu membunuh mangsanya. Di waktu itulah kakanda Dasima bersama 2 orang anak beliau meninggal di Johore Bahru. Alhamdulillah kami sekeluarga di Batu Empat selamat dari malapetaka itu. Sejak itu English College School di tutup dan kami bertahan tinggal di Batu Empat. Saya tidak sempat melihat hasil ujian kelas 5, karena biasanya hasil ujian diumumkan setelah masuk tahun ajaran baru. Sampai saat kami pulang ke Bukittinggi kegiatan English College belum dibuka kembali. Sampai sekarang saya tidak tahu hasil ujian naik kelas tersebut. Penjajahan Jepang Beberapa bulan setelah penyerangan Jepang tersebut keadaan masih kacau. Kehidupan rakyat sangat susah, penyakit kolera merajalela tanpa obat-obat. Untuk menjamin kehidupan keluarga, abang dan saya berjaja keliling dengan menggunakan sepeda ke kampongkampong. Dari pedalaman kami membeli durian, petai atau hasil pertanian lainnya dibawa dengan sepeda ke Kota Tinggi. Jarak antara tempat membeli hasil petanian ke Kota Tinggi kira-kira 6 mile melalui jalan mendaki dan menurun. Pulangnya kami membawa minyak kelapa atau keperluan dapur lainnya untuk dijajakan ke kampong-kampong di pedalaman. Malamnya saya belajar mengaji dengan ayah. Inilah saat saya merasakan belajar mengaji yang intensif, walaupun tiap-tiap mengaji biasanya menangis karena dimarahi setiap ada kesalahan. Kehidupan begini kami jalani beberapa bulan sampai akhnirnya ayah memutuskan untuk pulang kampong. Waktu itu saya minta kepada ayah dan abang, biarlah saya tinggal di situ menunggu keadaan normal untuk terus melanjutkan sekolah. Tetapi usul ini tidak disetujui oleh ayah dengan alasan sekarang kita sama-sama pulang dulu, dan sekiranya nanti keadaan sudah normal kita sama-sama kembali ke sini. Akhirnya pada kwartal pertama tahun l943, kami pulang ke Kampong dengan meninggalkan beberapa acre kebon getah. Ayah saya menitipkan kebon getah itu kepada teman beliau bernama Arifin bin Saleh berasal dari Pariaman yang tetap bermukim disana. Good by Batu Empat Kota Tinggi, kampung halaman saya kedua.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

26

4. PULANG KE BUKITTINGGI (1943)


Di Bukittinggi saya menjadi orang baru lagi. Teman-teman lama suka mentertawakan saya, karena bahasa saya sudah berubah dibanding dengan waktu berangkat dulu. Bahkan menjadi ejekan. Kecuali bahasa saya yang menjadi perhatian mereka, yang lain adalah potongan celana pendek sekolah saya, berbeda dengan potongan celana pendek anak-anak sekolah di kampong kita masa itu. Potongan celana pendek anak-anak sekolah disana di bagian pahanya agak melebar, sedangkan potongan celana pendek anak-anak sekolah di kampung kita menyempit. Menurut mereka celana anak-anak sekolah disana adalah celana panjang bapaknya saja yang dipotong yang dijadikan celana sekolahnya. Sedangkan kita di sini memang sengaja dibuat untuk celana sekolah katanya. Kata-kata begini mula-mula menyakitkan hati, tetapi sekalian lucu. Alhamdulillah, suasana demikian tidak berlangsung lama, dan dalam beberapa bulan sudah reda dan biasa lagi. Sekolah di STOPIO Di Bukittinggi kegiatan pemerintahan Jepang sudah mulai bergerak. Sekolah-sekolah umum pemerintah, sekolah-sekolah agama, dan sekolah-sekolah kejuruan sudah mulai dibuka. Ibu kandung saya menyarankan supaya masuk sekolah agama di Parabek. Yaitu bekas sekolah mantan wakil Presiden RI. Adam Malik. Bapak saya tidak menyetujui. Menurut beliau kalau sekolah di sana kamu akan menjadi tukang pidato dan tidak banyak ilmu agama yang akan kamu peroleh. Kalau memang akan belajar ilmu agama nanti saya bawa kepada kakak saya H. Djalal di Ampang Gadang. Di situlah tempat kamu belajar agama. H. Djalal adalah ulama terkenal di sekitar Bukittinggi masa itu, dan beliau adalah satu pasukuan Simabur dari satu nenek beberapa lapis ke atas dengan bapak saya. Pak H. Djalal adalah ayah Prof. DR Hasjim Djalal bekas Dubes RI di Jerman dan sekarang menjabat sebagai salah seorang anggota Komisi Konsititusi RI. Sekolah pilihan lain adalah Cugakko. Cugakko adalah sekolah menegah umum sama dengan MULO di zaman Belanda atau SMP sekarang. Setelah saya sampaikan ke ibunda niat saya akan memasuki sekolah tersebut, beliau tidak segera menjawab. Terlihat dari raut wajah beliau kesedihan, dan setelah saya tanyakan lagi, beliau menjawab, sekolah itu kan sekolah lama baru dapat bekerja, sedangkan kita kan orang miskin dan tidak akan sanggup membiayai selama itu. Lebih baik cari saja sekolah yang akan segera dapat bekerja supaya bisa membantu ibu Mendengar jawaban ibunda tersebut niat akan masuk Cugakko tidak saya sampaikan ke bapak, karena yakin bahwa bapak juga akan menjawab demikian. Kebetulan tetangga saya di kampung Agusman, yang dijadikan rujukan oleh ibunda tentang penentuan tanggal kelahiran saya sudah masuk sekolah STOPIO STOPIO adalah kependekan dari Sekolah Toekang Oekoer Pemoeda Indonesia Oemoem. Lama sekolah hanya 2 tahun. Tamat sekolah diharapkan bisa menjadi tukang ukur seperti mengukur dan membuat peta-peta hutan, jalan, jembatan, dan lain-lain. Pelajaran lebih banyak praktikum di lapangan, dibanding dengan di kelas dengan perbandingan 75% di lapangan dan 25% di kelas. Atas pertimbangan diatas akhirnya saya masuk STOPIO akhir tahun l944.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

27

Kehidupan rakyat di zaman penjajahan Jepang sangat susah. Tidak ada kegiatan ekonomi. .Semua orang bertani. Orang yang tadinya pegawai, pedagang, bahkan anak-anak sekolah pun separoh dari jam belajarnya disuruh bertani. Yang ditanam adalah bahan makanan dan sayur-sayuran, seperti padi, ketela-ketela kayu maupun ketela jalar. Hasilnya separoh diambil paksa oleh tentara Jepang. Kehidupan rakyat dalam kemiskinan dan ketakutan. Tentara Jepang memang terkenal kejam, contohnya, bila kita jalan meliwati pos penjagaan tentara Jepang tidak membungkuk/sayokere, kita langsung di panggil dan ditampar/bagero neh. Bila kita mencoba mengelak maka pukulan akan bertambah-tambah dan jika ada indikasi akan melawan yang bersangkutan dapat dibawa ketempat pembunuhan dan langsung dipancung dengan pedang samurai. Tempat pembunuhan waktu itu dikenal di Gadut dekat dengan lapangan pacuan kuda, kira-kira 4 km. dari Bukittinggi. Cara mereka membunuh, kita disuruh menggali lobang terlebih dahulu. Setelah lobang digali dengan kedalaman yang cukup, kita disuruh duduk dipinggir lobang tersebut dan dengan satu kali pancung, terlepaslah kepala dari leher. Setelah itu kita ditendang ke dalam lobang yang kita gali sendiri. Tidak ada pengadilan waktu itu apalagi pengadilan Hak Asasi Manusia. Hukum berada di tangan tentara fasis yaitu tentara Jepang dan tentara Jerman pada perang dunia kedua. Hasil padi rakyat diambil paksa oleh tentara Jepang. Umumnya rakyat makan nasi sekali sehari, yang sekali lagi rakyat makan ketela atau umbi-umbian. Bahkan kalau orang memakan durian, tidak saja daging duriannya yang dimakan, tetapi biji-bijinya pun di rebus untuk di makan. Penyakit busung lapar menjadi pemandangan sehari-hari dan berada di mana-mana, yaitu badan kurus, perut buncit, kaki kecil, mata cekung, muka sembab dan pandangan layu. Pakaian pun menyedihkan. Jarang orang berpakain 4-5 stel kalau bukan pegawai pemerintah Belanda sebelumnya. Umumnya rakyat biasa di masa itu hanya berpakain 2 3 stel. Untuk menghemat pemakaian (supaya tidak cepat kotor), maka bila memakai kemeja lehernya dilapisi dengan sapu tangan supaya tidak lekas kotor. Demikian juga dengan celana supaya tidak lekas robek dibagian pantatnya dilapisi dengan kain yang hampir sewarna, dibentuk seperti bundaran dibagian pantat celana. Ini sudah menjadi pandangan umum, dan tidak ada yang merasa malu waktu itu. Bahkan sudah banyak orang-orang yang membuat karung goni atau kulit kayu dijadikan celana. Tikar rumput pun dijadikan selimut. Demikian penderitaan rakyat selama penjajahan Jepang tiga setengah tahun. Keluarga kita tidak terlepas dari penderitaan seperti diatas, tetapi belum sampai membuat karung goni atau kulit kayu menjadi pakaian dan tikar rumput menjadi selimut. Dalam masa penderitaan seperti itu saya bersekolah di STOPIO, di mana kegiatannya banyak di lapangan dibanding di dalam kelas. Oleh ibu saya, kalau mau berangkat sekolah saya di bekali dengan sepotong gula saka yang dibuat dari air tebu yang biasa digunakan orang untuk membuat kolak. Fungsi gula saka ini adalah untuk menahan perut dari kelaparan. Berfungsi seperti gula-gula atau permen sekarang. Bila perut terasa lapar, maka digigitlah gula saka itu sedikit demi sedikit.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

28

Tempat praktek atau belajar mengukur adalah di daerah Kota Gadang sampai ke Sianok. Untuk mencapai kedua tempat tersebut jalan kaki melalui ngarai Sianok yang terkenal curam dan dalam dengan jarak lebih kurang 4 km dari kota Bukittinggi. Sedangkan jarak dari Kampung kita ke Bukittinggi juga 4 km. Berarti rata-rata kami kalau mau pergi sekolah harus berjalan kaki minimal 8 km sehari. Empat hari dalam seminggu pada hari-hari praktek kami berjalan 16 km. pulang pergi naik turun Ngarai yang dalam. Pulang sekolah sudah sore kirakira jam 4.00 baru makan nasi, sekalian sebagai makan siang dan makan malam. Waktu itu tidak ada pilihan lain. Alhamdulillah, Allah memberi kekuatan kepada umatnya jika umatnya bersungguhsungguh dan istiqamah. Akhirnya saya tamat dari STOPIO akhir tahun 1944. Ijazah STOPIO lah merupakan ijazah pertama yang saya peroleh di samping ijazah mengetik yang telah saya dapat melalui kursus 3 bulan di balai kursus ASAHI Bukittinggi sebelumnya. Belajar Agama Islam di Ampang Gadang Sesuai dengan janji ayah akan membawa saya belajar agama di surau (musolla) Bapak H. Jalal di Ampang Gadang, beliau tepati. Tidak lama setelah saya bersekolah di STOPIO, di salah satu sore beliau mengajak saya ke sana dengan berjalan kaki. Jarak Parit Putus dengan Ampang Gadang tidak begitu jauh, kira-kira 2 km. Sesampai di sana saya melihat ada kirakira 15 orang murid yang sedang duduk membuat bundaran sedang mengaji. Umumnya yang belajar mengaji di situ lebih tua dari saya sekitar 3 4 tahun. Setelah selesai pengajian beliau pun berbasa basi dengan ayah seperlunya. Ayah mengatakan kepada Bapak H. Djalal bahwa saya ingin ikut belajar mengaji di surau beliau. Bapak H. Djalal menerima dan menasihati saya supaya rajin datang dan rajin mengulang-ulang pelajaran, seperti pepatah orang, hafal kaji karena di ulang-ulang, hafal jalan karena sering di tempuh. Allah menentukan lain. Tidak sampai sebulan saya berulang-ulang belajar ke surau beliau tiga kali seminggu. Murid-murid yang semula ada 15 orang ternyata satu persatu mengundurkan diri dengan berbagai alasan dan tinggal 3 orang saja dengan saya. Tambahan murid baru tidak ada. Akhirnya kami pun hilang semangat dan pengajian itu bubar. Mengaji di Surau Tinggi. Waktu saya pulang dari Malaysia, saya sudah berumur 15 tahun dan belum lancar membaca Alquran. Memang tragis, Ibu kandung saya adalah seorang guru mengaji Alquran di kampung, khusus perempuan. Ibu anak-anak (isteri saya) salah seorang murid beliau diwaktu itu. Beliau mengajar Alquran di malam hari. Jadi umumnya murid-murid beliau menginap di rumah, karena untuk pulang ke rumah masing-masing di malam hari takut karena gelap dan tidak ada lampu jalan dan beresiko. Bapak saya juga seorang guru agama di kampung, sebelum beliau berangkat ke Malaysia. Yang beliau ajarkan tidak saja membaca Alquran, tetapi juga akidah, fikih dan lain-lain.Beliau tidak pernah masuk sekolah agama seperti pesantren seperti sekarang. Karena belum ada pesantren di zaman iu. Orang belajar agama di mesjid-mesjid atau di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

29

surau-surau oleh ulama-ulama yang terkenal. Menurut kakanda Ahmad Tajuddin bapak pergi mengaji di beberapa tempat di Batusangkar, dan beberapa tempat di Payakumbuh, dimana beliau dengar ada ulama yang terkenal beliau pergi ke sana. Untuk bekal hidup beliau kabarnya pak etek beliau yang membelanjai. Pak etek beliau termasuk orang kaya di waktu itu. Bahkan sampai membuatkan surau/musola yang dikenal dengan surau tinggi untuk beliau tempati mengajar agama di kampung. Dinamakan surau tinggi, karena surau itu belantai dua, dibuat sebagian badan surau tersebut berada di atas kolam ikan dan separoh lagi di atas daratan. Dilantai atas merupakan ruangan lepas tempat anak-anak muda laki-laki tidur malam. Di Minangkabau waktu itu ada satu tradisi di mana anak-anak laki-laki kalau sudah bermur 8 tahun ke atas dianjurkan tidak lagi tidur malam di rumah orang tuanya. Dia diungsikan ke surau-surau, mesjid-mesjid atau dangau/pondok di ladang-ladang. Mereka dibekali dengan sehelai tikar rumput, sebuah bantal, dan sehelai selimut terbuat dari kain marekan/grey sekarang. Bagi yang tidak mau tidur di surau, dia akan diejek oleh teman-teman sebayanya dengan mengatakan tidak punya malu karena sudah besar masih tidur sama ibu juga. Mereka berangkat ke surau biasanya sudah makan malam sebelum magrib. Masingmasing patungan dulu membeli minyak tanah untuk bahan bakar lampu tempel di surau. Disurau sesudah Magrib belajar mengaji berkelompok-kelompok sesuai dengan tingkatnya. Belajar mengaji tidak membayar dan tidak ada kewajiban apa-apa asal membawa perlengkapannya. Guru-guru mengaji sukarela tidak dibayar dan tidak ada kewajiban apa-apa asal mau belajar. Selesai mengaji masing-masing melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan keperluannya. Bagi yang masih sekolah mereka menghafal pelajaran, menyelesaikan pekerjaan rumah dan lain-lain. Bagi yang tidak sekolah membaca buku-buku cerita legenda lama, seperti Cindur Mato, Bujang Pamenan dan lain-lain. Membaca legenda lama itu dengan dilagukan, bagi yang pandai melagukan sangat mengasyikkan dan biasanya sampai pagi. Mirip cerita wayang kalau di Jawa. Bagi yang menganggur mereka menghabiskan waktu dengan bermain catur, remi dan lain-lain. Di musim terang bulan ada juga yang berkreatif belajar bela diri yaitu bersilat. Kehidupan di surau berlanjut sampai seseorang melangsungkan pernikahan atau merantau. Bila seseorang bercerai dengan istrinya, biasanya dia kembali lagi tidur disurau, seperti sebelumnya. Saya adalah salah seorang anak penghuni surau tinggi waktu itu bersama dengan Agusman, Zainal Zen yang dikenal dengan panggilan Tuo Ancak, Sartuni, dan ada 3 orang lainnya. Sambil sekolah di STOPIO pagi hari, saya dan Agusman malamnya mengaji di surau tinggi dengan mamanda Ilyas gelar Pakih Mangkuto. Yang kami pelajari tidak saja membaca Alquran tetapi juga fikih dan perkenalan bahasa Arab. Di surau tinggilah saya lancar membaca Alquran setelah dalam bulan Ramadhan tahun 1944 saya sampai 2 kali khatam. Setelah tahun l944 itu selama saya tinggal di Surau Tinggi selalu saya usahakan khatam Alquran minimal 1 kali selama Ramadhan.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

30

5. ZAMAN KEMERDEKAAN (17 Agustus 1945)


Awal tahun 1944 Pemerintahan Jepang mengumumkan akan mencari pemuda-pemuda berumur antara 16 tahun sampai 22 tahun untuk dilatih menjadi tentara Hei-ho. Tentara Heiho adalah tentara yang dipersiapkan mendampingi tentara Jepang untuk menyerang negaranegara lain yang belum ditaklukkan oleh tentara Jepang seperti Bangkok, Vietnam dan lainlain. Para pendaftar akan di test dan bila diterima akan dilatih sebagai Hei-ho di Padang. Pada masa latihan masih diberi kesempatan pulang ke kampung bertemu dengan orang tua sekali dalam sebulan. Pada saat mereka pulang dengan pakaian seragam tentara Jepang, kepala digunduli kelihatan gagah dan menarik. Pelatihan berlangsung selama 6 bulan, dan pada bulan terakhir mereka diperbolehkan pulang kampung memakai pedang samurai di pinggangnya. Pemandangan seperti itu menambah keinginan banyak anak-anak muda untuk mengikutinya menjadi tentara Jepang. Selesai pelatihan mereka ditugaskan bersama-sama dengan tentara Jepang asli untuk tujuan penyerangan ke negara-negara lain dan akhirnya banyak yang tidak pulang dan tidak tentu rimbanya. Penugasan ini tidak pernah dibertitahukan kepada keluarga di kampung. Dari kampung kita saja ada 4 orang yang diterima sebagai Hei-ho, tidak seorang pun yang pulang dengan selamat dan tidak diketahui di mana meninggalnya sampai sekarang. Pada awal tahun l945, ada lagi pengumuman bahwa Pemerintahan Jepang akan menerima pemuda-pemuda yang berminat untuk menjadi tentara dengan sebutan Giu-gun. Giu-gun adalah tentara yang dipersiapkan untuk bertugas di dalam negeri. Pengumuman itu di sebar luaskan melalui mesjid-mesjid pada saat shalat Jumat. Bagi yang berminat supaya mendaftarkan diri di kantor Camat di Biaro. Pada waktu yang ditentukan para peminat akan ditest kesehatan, semangat dan lain-lain. Bagi yang lulus test, akan segera di panggil untuk dilatih selama 4 bulan. Latihan Giu-gun cukup di Bukittinggi saja sedangkan latihan Hei-ho dilakukan di Padang. Latihan Hei-ho relatif lebih keras dibandingkan dengan latihan yang diberikan kepada Giu-gun. Waktu itu saya belum tamat sekolah di STOPIO. Tidak mudah untuk mencari pekerjaan sambil sekolah di masa itu, praktis masih banyak waktu lowong. Sambil menunggu kesempatan dan peluang yang ada, saya ikut-ikut berjualan kacang goreng dengan Nawawi, sepupu saya dari pihak bapak dan kakak sebapak dengan Sartuni. Nawawi lebih tua dari saya 1 tahun dan dia sudah lama berdagang kacang goreng di kampung kita. Dia beli kacang goreng mentah dan dia goreng sendiri. Setelah mengetahui bahwa ada kesempatan untuk menjadi tentara Giu-Gun, langsung niat tersebut saya sampaikan ke Bapak saya. Mendengar niat saya untuk menjadi tentara GiuGun tersebut beliau diam saja tidak menjawab, setuju atau tidak. Biasanya bila beliau diam berarti beliau tidak setuju. Beliau takut untuk melarang, karena kalau melarang orang masuk tentara Jepang bisa dianggap anti Jepang dan itu akibatnya sangat buruk. Orang tersebut bisa ditangkap dan di masukkan penjara tanpa proses pengadilan.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

31

Lama saya berpikir antara mendaftar atau tidak, tetapi hati ini ingin sekali, dan dari ibu sudah mendapat persetujuan. Akhirnya saya mendaftar juga dan bapak saya pun tahu bahwa saya sudah mendaftar. Allah rupanya tidak mengizinkan dan saya tidak lulus test karena tinggi badan saya waktu itu tidak memenuhi syarat. Penghidupan masyarakat di kampung kita pada waktu itu umumnya pengrajin terompa kayu dengan nama tangkelek. Untuk memperluas pemasaran tangkelek masyarakat mendirikan koperasi dengan nama Koperasi Pengrajin Tangkelek Parit Putus(KPTP) Bapak saya waktu itu memegang agen penjualan KPTP untuk kota Padang Panjang dan sekitarnya. Di Padang Panjang beliau menyewa sebuah kiosk ukuran 3 x 3 mt2 untuk penjualan tangkelek. Setelah beliau mendengar bahwa saya tidak lulus test masuk Giu-gun, beliau menyuruh saya menjaga kiosk tersebut dan aktif menjajakan tangkelek ke pasar-pasar kecil di sekeliling Padang Panjang pada tiap-tiap hari pasar. Seperti Padang Panjang ramainya hanya sekali dalam seminggu yaitu tiap-tiap hari Senin saja, sedangkan Pasar Solok ramainya hari Selasa dan pasar Pitalah ramainya hari Rabu dan seterusnya. Di situlah pertama kali saya belajar hidup mandiri jauh dari orang tua dan keluarga. Tidur di dalam kiosk disela-sela tangkelek. Kalau mau mandi atau ke WC, kiosk dikunci dan berjalan kaki dulu beberapa puluh meter ke WC umum atau ke mesjid yang terdekat. Walaupun demikian hati dan perasaan saya senang karena dipercaya oleh Bapak. Saya pun aktif menjajakan tangkelek ke pasar-pasar kecil disekitar Padang Panjang. Pagi-pagi bangun, selesai shalat Subuh mempersiapkan beberapa kodi tangkelek rupa-rupa ukuran yang akan dibawa ke pasar yang ramai pada hari itu. Tangkelek tersebut dipikul ke bahu dan dibawa ke stasion kereta api, karena umumnya pasar-pasar kecil yang gampang di datangi hanya menggunakan jasa kereta api. Di salah satu pagi sewaktu saya pergi ke pasar Pitalah sebagaimana biasa naik kereta api. Dalam perjalanan saya mendapat musibah, yaitu secara tidak disengaja saya meletakkan tangan saya di jendela kereta api, tiba-tiba pintu jendelanya jatuh dari atas dan menimpa ujung jari manis saya sebelah kanan. Sehingga kuku jari manis saya pecah dan menjadi kenang-kenangan sampai hari tua. Proklamasi Kemerdekaan RI Kalau tidak salah bulan puasa pada tahun 1945, jatuh pada bulan Agustus. Setelah shalat tarawih di mesjid pada tanggal 17 malam orang-orang heboh memberitakan bahwa Jepang telah kalah perang dan Indonesia sudah merdeka. Sukarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan tadi pagi kata orang yang mendengar radio tadi sore. Waktu itu belum banyak orang yang mempunyai radio di rumahnya. Seperti di Parit Putus hanya beberapa orang saja yang mempunyai pesawat radio di rumahnya. Keluarga kita termasuk salah seorang yang tidak mempunyai pesawat radio di rumah. Kalau dihitung di seluruh Parit Putus tidak lebih dari 5 rumah, orang yang mempunyai radio di rumahnya. Radio waktu itu masih dianggap langka dan mewah. Berita tersebut ditanggapi bermacam-macam ragam. Bagi orang-orang tua yang selalu berhati-hati mengatakan, janganlah berita itu diterima dulu dengan gembira. Mungkin ini
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

32

provokasi dari Jepang untuk mencari musuh-musuhnya yang anti Jepang. Setiap malam setelah berita tersebut tersebar, maka rumah orang-orang yang mempunyai radio selalu di padati oleh masyarakat muda dan tua untuk mengetahui tindak lanjutnya dari proklamasi kemerdekaan itu. Setelah yakin bahwa betul-betul Indonesia sudah merdeka, dan sesuai dengan instruksiinstruksi dari Pemerintah Pusat melalui radio, maka beberapa pemuka masyarakat berinisiatif menggalang kekuatan dari segi keamanan. Mula-mula dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR belum berbentuk organisasi, masih dalam bentuk kelompok ronda yang bersenjatakan bambu runcing, parang, pisau dan lain-lain, tetapi sudah berani menahan dan memeriksa kendaraan lewat untuk mengetahui apa saja bawaan mereka. Kondisi ini tidak berlangsung lama hanya beberapa bulan saja setelah kemerdekaan. Setelah itu ada instruksi dari pusat agar kegiatan tersebut dikordinir dan dilebur menjadi Tentara Keamanan .Rakyat (TKR) melalui seleksi. Organisasi TKR juga belum teratur rapi, orang bisa masuk dan keluar seenaknya belum ada ikatan dalam bentuk hak dan kewajiban seperti gaji dan lain-lain. Dari TKR dilebur lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). TRI inilah yang menjadi cikal bakal TNI sekarang. Sejak awal puasa suplay tangkelek ke Padang Panjang sudah mulai menurun. Saya praktis lebih banyak tinggal di kampung dibanding dengan di Padang Panjang. Di kampung saya selalu ikut aktif dalam kegiatan masyarakat seperti BKR, dan TKR sebagai tenaga juniornya. Administrasi pemerintahan waktu itu masih dalam transisi. Yaitu tentara sekutu yang menang perang dunia kedua masuk Indonesia untuk melucuti persenjataan tentara Jepang yang ada di Indonesia. Pada awal tentara sekutu masuk ke Indonesia cukup mendapat penghormatan dan simpati dari masyarakat, karena yakin setelah tentara sekutu selesai dengan tugasnya, dia akan keluar dari Indonesia. Setelah perang dunia kedua usai, maka tentara Inggeris sebagai salah satu sekutu yang menang perang mengembalikan tentara-tentaranya yang berasal dari beberapa negara jajahannya seperti India, Malaya (sekarang Malaysia) dan lain-lain ke negara masingmasing. Setelah dikembalikan ke negaranya mereka diberi cuti panjang untuk dan melapor kembali ke kesatuannya setelah kembali. Termasuk dalam rombongan tersebut kakak sepupu saya dari pihak bapak bernama Ismail Hassan warga Malaya yang menjadi Angkatan Laut Inggeris dan ikut perang dunia kedua. Beliau pulang ke Malaya untuk bertemu dengan bapak dan ibundanya serta kakak dan kemanakan-kemanakannya. Ternyata tidak seorang pun yang ada di Johore Baharu. Beliau sejak meletus perang dunia kedua ikut angkatan laut Inggeris berperang dan tidak pernah berkirim surat maupun menerima surat. Ternyata kakaknya beserta dua orang kemenakannya telah mendahuluinya berpulang ke rahmatullah di Johore Baharu sedangkan bapaknya dan ibundanya beserta dua orang kemenakan lainnya sudah pulang ke Bukittingi. Kira-kira dua tahun sampai di Bukittinggi ayahanda beliau pun pulang ke ramatullah dengan cara mendadak setelah selesai shalat Subuh di mushola Lurah. Setelah sampai di Johore Baharu tidak seorang pun yang beliau temui, maka beliau berinisiatif untuk pulang ke Bukittinggi dengan menggunakan fasilitas tentara sekutu yang kebetulan bertugas di Indonesia. Di tiap-tiap pos penjagaan sekutu yang beliau lewati, beliau
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

33

mendapat penghormatan selaku bawahan ke atasan. Saya tidak tahu apa pangkat beliau di Angkatan Laut Inggeris waktu itu. Selama di kampung kira-kira 15 hari beliau melihat dan merasakan bagaimana semangat kemerdekaan melanda bangsa Indonesia. Beliau kembali ke Malaya juga menggunakan fasilitas tentara sekutu. Tidak sampai 3 bulan setelah itu, kakanda Ismail Hassan pulang lagi ke Bukittinggi, tetapi sebagai seorang sipil, tanpa pakaian dinas angkatan laut Inggeris. Beliau pun pulang melalui jalan laut ke Pekanbaru dan dari Pekanbaru menggunakan bus umum ke Bukittinggi. Setelah beberapa hari beliau di Kampung beliau pergi ke Pariaman menghubungi komandan Angkatan Laut untuk Sumatra Barat. Beliau diangkat menjadi Komandan Pendidikan dengan pangkat Kapten. Pangkat tertinggi di Angkatan Laut Pariaman waktu itu baru sampai Mayor. Setelah beliau bertugas beberapa bulan di Pariaman, mulailah ikut mamanda Yubhar, diterima menjadi anggota Angkatan Laut dan tidak lama setelah itu menyusul Sartuni dan Nawawi yang masih sepupu beliau dari pihak bapak. Hanya saja Nawawi dan Sartuni tidak bertahan lama di sana. Tidak sampai 3 hari sudah pulang kembali, karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan tentara di asrama. Misi tentara sekutu mula-mula murni untuk melucuti persenjataan tentara Jepang di Indonesia, tetapi selang beberapa lama berubah menjadi antek-antek pemerintah Belanda. Kenyataannya tentara sekutu tersebut membawa tentara Belanda ke Indonesia untuk kembali menjajah Indonesia. Akal bulus sekutu ini tercium oleh para pemimpin Indonesia, maka terjadilah perlawanan yang keras antara geriliawan Indonesia melawan tentara sekutu di mana di dalamnya ada tentara Belanda dengan sebutan NICA. Menjadi Angkatan Laut di Pariaman Sekali dalam sebulan biasanya kakanda Ismail Hassan pulang kampung. Satu ketika pernah saya kemukakan kepada beliau bahwa saya berminat untuk menjadi Angkatan Laut. Beliau melarang, nanti seperti Sartuni dan Nawawi pula nanti, tetapi kalau mau mencoba boleh, nanti saya tempatkan dulu sebagai staf Pendidikan. Setelah beberapa bulan dan ternyata sanggup, baru masuk latihan kadet Angkatan Laut. Kadet adalah sejenis akademi tetapi hanya 1 tahun. Penerimaan kadet hanya sekali dalam setahun. Saran tersebut saya terima dan mulailah saya menjadi anggota Angkatan Laut pada awal tahun 1947. Semangat juang waktu itu sedang bergelora, sehingga tidak pernah menanyakan gaji dan tidak pernah minta gaji. Saya lupa apakah saya digaji waktu itu atau tidak, yang jelas kalau makan dan minum pagi dikasih sebagaimana tentara lainnya. Pertengahan tahun 1947 tentara NICA yang tadinya masih berada di Kota Padang mulai masuk ke pedalaman beberapa puluh kilometer dari kota Padang. Perluasan kekuasaan tersebut terkenal dengan istilah clash pertama. Kota Pariaman praktis terisolir karena jalan raya yang menghubungkan Bukittinggi ke Pariaman tidak aman lagi akibat gangguan keamanan dari tentara NICA. Akhirnya berakhirlah karir saya di Angkatan Laut Pariaman dan cita-cita untuk menjadi kadet Angkatan Laut kandas oleh situasi yang tidak mengizinkan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

34

Moto yang selalu lengket dibenak saya Joint the navy to see the world terpaksa gone with the wind. Waktu itu kakanda Ismail Hassan sedang berangkat ke Singapore mencari senjata untuk dibarter dengan kina dari Indonesia. Saya tidak mengetahui kesulitan apa yang beliau hadapi di Singapore sehingga beliau tidak dapat kembali ke Indonesia. Tidak lama setelah itu Angkatan Laut Pariaman tidak kedengaran lagi bagaimana kesudahannya. Yang pasti adalah setelah penyerahan kemerdekaan setiap anggota Angkatan Laut Pariaman yang melapor ke Markas Besar Angkatan Laut Jakarta pasti diterima kembali dengan pangkat yang sama. Pindah Menjadi Anggota Badan Penyelidik di Bukittinggi. Kembali saya menganggur tinggal di kampung bergabung dengan penghuni surau tinggi. Agusman waktu itu sudah bekerja di Badan Penyelidik. Badan Penyelidik adalah badan intelligen salah satu organ dari TRI Brigade Banteng yang dikomandani oleh Ismail Lengah. Kepala Badan Penyelidik waktu itu adalah Leon Salim dan wakilnya adalah Mansur Thaib (kakak satu bapak dengan Amir Thaib SH). Melihat saya menganggur saya diajak oleh Agusman untuk sama-sama bekerja di Badan Penyelidik di Bagian Administrasi. Kebetulan saya diterima karena saya dianggap mahir dalam hal ketik mengetik. Di sinilah baru pertama kali saya merasa menerima gaji dan pembagian beras sebanyak 18 kg. setiap bulan untuk yang bujang. Besarnya gaji saya lupa tetapi yang jelas tidak lagi meminta kepada orang tua untuk ongkos pulang pergi ke kantor. Pembagian beras yang 18 kg itu saya pikul sampai ke pemberhentian bendi untuk di bawa pulang dan diserahkan kepada ibunda. Alangkah senangnya hati beliau melihat anaknya sudah bekerja dan sudah menghasilkan untuk keluarga walaupun sedikit. Banyak juga orang kampung kita bekerja di Badan Penyelidik waktu itu. Yang seangkatan dengan saya ada tiga orang, yaitu Agusman, Syamsulbahri, dan saya. Sedangkan angkatan di atas kami banyak, mungkin ada 6 orang termasuk mamanda Ginam Gelar Kari Pamuncak, yang pada clash kedua menjadi komandan saya. Jam kerja di Badan Penyelidik biasanya teratur kecuali lembur, yaitu masuk jam 7.00 pagi pulang jam 14.00 siang. Petangnya saya manfaatkan untuk ikut sekolah di KSM. di SMP 1 sekarang. KSM adalah kependekan dari Kursus Sekolah Menengah. KSM adalah sejenis kursus yang akan mempersiapkan siswa-siswanya dapat mengikuti ujian ekstranai di SMP negeri. Alhamdulillah berkat mengikuti kursus tersebut saya diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ekstranei di SMP I sebelah kantor Pos Bukittingi awal Desember l948. Kebetulan waktu ujian saya satu kelas dengan bako saya Almarhum Ir Zukirna Dahlan. Saya duduk di bagian depan kelas dan dia duduk di bagian belakang. Kira-kira setengah waktu ujian terpakai di mana saya sedang pikir-pikir mencari jawaban soal Zukirna sudah keluar ruangan. Saya pikir dia akan pergi ke toilet, ternyata dia tidak kembali lagi, rupanya dia sudah selesai mengerjakan seluruh soal. Memang Zukirna anak yang pintar dan cerdas. Dia mengikuti sekolah reguler dan tidak sambilan seperti saya. Malangnya, akhir Desember l948. tentara NICA menduduki kota Bukittinggi, dan terjadilah bumi hangus dan pengungsian besar-besaran ke daerah pegunungan seperti ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

35

gunung Merapi atau kedaerah Bukit Barisan di Kamang. Saya tidak sempat melihat hasil ujian tersebut, apakah lulus atau tidak. Kejadian ujian standard V di English College School berulang kembali, di mana hasil ujiannya tidak diketahui sampai sekarang. Allah lah yang maha tahu. Kenang-kenangan yang tidak dapat dilupakan Selama saya bekerja di Badan Penyelidik (BP), banyak pengalaman yang saya timba, seperti membuat surat menyurat, mengatur tata letak kalimat dan lain-lain. Kantor Badan Penyelidik lokasinya di Jalan Ujung Karang yaitu jalan raya menuju Benteng Fort de Kok yang terkenal dengan pemandangan yang indah di Bukittinggi. Anggota Badan Penyelidik yang di lapangan biasanya dipilih orang-orang pintar, pemberani, dan kasar. Bila ditemukan indikasi dan ada bukti awal seseorang yang pro Belanda yang waktu itu dikenal Kooperatif dan non kooperatif (pro kemerdekaan) orang tersebut ditangkap dan di bawa ke kantor BP di Ujung Karang. Bila itu terjadi berarti sudah menghadapi malapetaka besar, karena jarang orang yang keluar dari sana utuh seperti masuk pertama kali atau tidak kembali sama sekali. Waktu itu nyawa tidak begitu berharga seperti sekarang di mana ada pengadilan Negeri, pengadilan HAM, pengadilan militer, pengadilan ad-hoc dan lain-lain, untuk memelihara martabat manusia. Soal culik menculik sudah biasa dan tidak ada tempat mengadu. Kantor Badan Penyelidik Ujung Karang terkenal untuk yang demikian dan ditakuti masyarakat sekitar Sumbar. Pada suatu hari saya menerima surat dari Bapak saya yang sedang berada di Pekan baru bersama abang Ahmad Tadjuddin. Belum pernah beliau mengirim surat kepada saya selama ini , karena memang surat-menyurat waktu itu masih belum membudaya seperti sekarang. Isi surat tersebut mengatakan bahwa di Pekanbaru sekarang susah mendapatkan beras untuk makan, kalau dapat usahakan mengirim beras dari kampung. Memang kebutuhan beras dan sayur-sayuran selama ini untuk Pekanbaru dikirim dari Sumbar, karena daerah Riau umumnya tidak cocok untuk persawahan. Waktu itu sedang ada larangan orang mengangkut beras dari Sumbar ke Pakanbaru dan dijaga ketat diperbatasan Sumbar dan Riau. Bila kedapatan membawa beras tanpa surat izin dari yang berwajib walaupun hanya sekarung saja sudah cukup untuk ditangkap dan berasnya disita. Dalam kondisi yang demikian saya memberanikan diri mengirim beras sekarung ke Pekanbaru. Saya titipkan melalui sopir bus yang akan berangkat disertai surat keterangan dari kantor Badan Penyelidik. Surat keterangan ini asli tetapi palsu, yaitu pakai kop surat Badan Penyelidik dan stempel Badan Penyelidik tetapi tanda tangan wakil kepala Badan Penyelidik (Mansur Thaib) saya palsukan. Setelah beras tersebut diterima dan dibawa oleh sopir bus, sejak itu saya dihantu-hantui ketakutan bila pemalsuan tersebut sampai ketahuan oleh atasan saya yang tanda tangannya saya tiru. Ketakutan dan penyesalan timbul karena sadar jika perbuatan saya tersebut diketahui oleh atasan saya, yang tanda tangannya saya tiru, saya tidak dapat membayangkan siksaan yang akan saya terima. Kejadian ini menjadi trauma yang mendalam dan bertahun-tahun. Bahkan dalam tahun l961 rasa penyesalan dan ketakutan itu masih ada dan saya pergi ke ahli jiwa di Bandung yang terkenal yaitu Dr. Sumantri praktek dekat Gedung Sate. Di sana saya lama di intervew dan diberi penjelasan bahwa masing-masing kita mempunyai jiwa yang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

36

berbeda-beda. Beliau memberi nasehat supaya jadikanlah kejadian ini sebagai pelajaran yang sangat berharga dan terakhir supaya tidak tersiksa terus menerus. Ada beberapa kali saya konsultasi dengan Dr. Sumantri dan Alhamdulillah penderitaan tersebut banyak berkurang tetapi tidak habis sama sekali. Saya bersyukur bahwa dalam tahun l988 pak Mansur Thaib yang tanda tangan beliau saya tiru tersebut kebetulan datang ke Bandung berobat ke Dr. Handi ahli saraf yang praktek di Wastukancana No.23. Pak Mansur Thaib mampir ke rumah kita dan pada suatu kesempatan saya ceritakan kejadian sekian puluh tahun yang lalu dan saya minta maaf, beliaupun memaafkan. Semoga Allah mengampuni saya dan beliau. Amin.!. Bumi Hangus di Bukittinggi, terkenal dengan istilah Clash ke Dua/agresi militer kedua Pada akhir bulan Desember l948, siang harinya telah banyak dibicarakan orang bahwa tentara Belanda sudah sampai di Padang Panjang. Tentara kita dan geriliawan sudah di tarik mundur sebagian ke Batusangkar, sebagian ke Sijunjung, dan sebagian lagi ke arah gunung merapi yang menghadap ke Padang Panjang Sore harinya kami mendapat instruksi lisan dari masing-masing komandan kesatuan, agar masing-masing berusaha menyelamatkan diri ke daerah pedalaman dan sambil menunggu instruksi lebih lanjut agar tetap dalam semangat perjuangan sesuai dengan kemampuan dan keadaan masing-masing. Malam harinya sudah banyak berbondongbondong masyarakat dari Bukittinggi menyelamatkan diri dan memikul barang-barang yang berharga bersama anak-anak mereka menyelamatkan diri ke pedalaman. Tujuan umumnya waktu itu Gunung Merapi di kewalian Lasi, atau kewalian Bukit Batabuh, sedangkan arah ke Bukit Barisan dengan tujuan kewalian Kamang Mudik, dan Kamang Hilir. Keadaan waktu itu sangat kacau dan serangan mendadak ini tidak saja dilakukan di Sumbar tetapi juga di Jogyakarta. Disitu dwitunggal Soekarno Hatta, (Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia waktu itu) ditawan dan diasingkan ke Bengkulu. Untuk menyelamatkan pemerintahan RI dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Darurat dengan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi dan Sumatra Barat secara mobil / berpindah-pindah. Untuk mengenang dan mengetahui keadaan sebenarnya waktu itu dan untuk diketahui oleh generasi mendatang, bersama ini saya kutip 4 alinea yang saya kutip dari buku PERJUANGAN KEMERDEKAAN SUMATRA BARAT DALAM REVOLUSI NASIONAL INDONESIA 1945 1950, Karangan DR.Andrey Kahin New York l979. halaman 254. sebagai berikut. Pagi Subuh Minggu tanggal 19 Desember l948, bersamaan dengan serangan terhadap kota Yogyakarta. Belanda melancarkan serangan aksi polisionilnya yang kedua di Sumatra Barat. Sasaran utamanya mula-mula adalah menduduki pusat Pemerintahan sipil dan militer Republik di Padang Panjang dan di Bukittinggi. Dengan mengepung garis pertahanan Indonesia di Lembah Anai antara Kayu Tanam dan Padang Panjang, Belanda mendaratkan empat pesawat Catalinanya di Danau Singkarak pukul 6,30 pagi, 19 Desember l948 dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

37

pantai timur danau menjadi batu loncatan untuk gerakan pasukan mereka selanjutnya yaitu kearah utara menuju Padang Panjang dan arah selatan melewati daerah yang relatif datar menuju Solok. Pada saat yang sama pasukan Belanda melintasi garis gencatan senjata dengan Indarung ke arah Timur dan Lubuk Alung di Utara. Kompi terbesar mereka maju kearah Solok via Celah Subang, dan hanya menghadapi sedikit rintangan perlawanan. Meskipun perusakan sejumlah jembatan-jembatan kecil di sepanjang jalan, mereka dapat bergerak dengan cepat, dan menduduki Solok. Senin sore tanggal 20 Desember. Sore itu juga pasukan yang bergerak ke Utara dapat mencapai Kayu Tanam. Namun antara daerah itu dan Padang Panjang mereka menghadapi perlawanan sengit. Pihak Republik telah memusatkan kekuatan utamanya di sepanjang Lembah Anai yang sempit untuk mengantisipasi bahwa serangan utama Belanda ke arah Bukittinggi mestilah melalui Lembah Anai ini. Seluruh gerak maju Belanda dirintangi dengan perusakan jembatan dan tebangan pohon-pohon kayu yang dibelintangkan di jalan, serta gangguan tembakan senjata Republik sambil bergerak mundur. Dengan menggunakan pesawat P.51 buatan Amerika, Belanda menembaki dan membom pertahanan Republik dan pasukan-pasukannya yang sedang mundur, juga Bukittinggi dan kota-kota utama lainnya, dalam rangka mempersiapkan serangan darat. Selasa pagi 21 Desember, Belanda telah berhasil mendaratkan pasukan mereka di pantai Timur Singkarak untuk menggerakkan satuan militernya ke Utara untuk menduduki Padang Panjang, dan kesatuan yang lebih kecil ke arah Selatan untuk menduduki Solok. Kesatuan yang di Utara telah meninggalkan Padang Panjang Subuh 22 Desember menuju Bukittinggi, dan menduduki ibu kota Republik itu dalam beberapa jam. Mereka mengambil alih kota yang telah ditinggalkan itu, di mana hampir semua penduduknya telah mengungsi ke daerah pedalaman sekitarnya, dan kebanyakan bangunan penting dan strategis telah dihancurkan. Serangan Belanda menimbulkan shock bagi tentara Republik yang sedang disibukkan oleh pertikaian-pertikaian internal, komandan-komandan militer benar-benar terperanjat dan kebingungan mereka jadi bertumpuk-tumpuk dengan serangan udara Belanda. Terutama sekali gerakan pengepungan via Danau Singkarak itu. Karena kurangnya kepemimpinan yang andal, kebanyakan tentara menjadi panik, satuan-satuan mereka jadi bercerai-berai oleh serangan Belanda dan melarikan diri kucar-kacir dari tentara Belanda yang terus menerus bergerak maju. Banyak yang benar-benar kehilangan kontak dengan satuan-satuan dan Komandan-komandan mereka, dan di beberapa daerah keadaan ini terjadi berminggu-minggu sebelum struktur militer dapat dipulihkan kembali ****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

38

6. BERGERILIA DI GUNUNG MERAPI (MASA CLASH KEDUA 1948-1949)


Setelah penyerangan Belanda tanggal 20 Desember 1948, keadaan benar-benar kacau. Negara seakan-akan tidak ada Pemerintahan. Gedung-gedung penting seperti hotel Arau satu-satunya hotel yang terbagus di Bukittinggi, dan gedung-gedung lainnya di bumi hanguskan sebelum mereka meninggalkan kota Bukittinggi. Tidak ada kontak antara atasan dan bawahan baik sipil maupun tentara, apalagi yang tidak tinggal di asrama. Bagi tentara yang tinggal di asrama mereka mundur dalam kesatuan yang terpecah-pecah dengan persenjataan dan mesiu ala kadarnya. Masing-masing menyelamatkan diri mengungsi ke tempat yang lebih aman. Waktu itu Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Menteri Urusan Ekonomi beserta rombongan sedang berada di Bukittingi, terpaksa mundur ke Halaban sekitar 16 km dari kota Payakumbuh. Setelah mengetahui bahwa bersamaan dengan serangan Belanda ke Sumatra Barat itu Bung Karno dan Bung Hatta beserta beberapa pemimpin lainnya di Jogya di tawan oleh Belanda. Untuk menyelamatkan Negara RI dan supaya Pemerintahan tidak vacum, di bentuklah Pemerintahan Darurat yang di umumkan dan di ketuai oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Kedudukan Pemerintah Darurat ini mobil dan tidak tetap. Jadi di mana saja perintah atau instruksi dapat dikeluarkan, supaya tidak diketahui oleh Belanda. Menyelamatkan Orang Tua Mengungsi ke Kamang Hilir. Sejak siang tanggal 20/12 itu di jalan raya di kampung kita sudah terlihat gelombang pengungsi dengan jalan kaki dan kendaraan paling tinggi sepeda dan gerobak dorong bergerak ke arah Gunung Merapi atau arah Bukit Barisan/Kamang. Mereka terdiri dari lakilaki dan perempuan, tua dan muda, besar dan kecil tidak ada yang kecuali dengan membawa perbekalan sekuat tenaga memikul. Dalam keluarga kita yang agak dewasa waktu itu adalah saya, sedangkan mamanda Anwar yang lebih tua dari saya 5 tahun (mantan Giu-gun) masih berada dalam kesatuannya di Angkatan Darat. Ada dua orang lagi kakek saya masing-masing bernama Muin gelar Malin Sutan (kakek si Kiar) dan Saimin gelar Malin Maradjo (ayah Adnan) yang sudah agak berumur. Beliau menyelamatkan istri dan anak-anak beliau. Saya dan biai mengambil inisiatif untuk menyelamatkan keluarga kita mengungsi ke arah Bukit Barisan dengan tujuan Kewalian Kamang Hilir. Kami berangkat petang hari dua keluarga yaitu nenek beserta ibunda dan adik-adik saya, serta Nenek Upik Itam (nenek Indra) beserta anak beliau Nursiam (ibu Indra). Barang-barang yang dibawa adalah pakaian seperlunya, beras agak banyak untuk persiapan 10 hari serta perlengkapan masak yang perlu saja. Barang-barang yang berat di ikat di atas sepeda, sepeda di dorong dan berjalan kaki bersama seluruh rombongan menuju Kamang Hilir yang berjarak kira-kira 5 km dari kampung kita Parit Putus. Kami sampai di Kamang Hilir mendekati Magrib dan di terima baik oleh keluarga Pak H. Bustamam beserta anak beliau Fatimah Elma.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

39

Kami memilih Kamang Hilir dengan alasan karena di sana ada seseorang yang akan kita temui benama H. Bustamam, guru mengaji wiridan di kampung kita, bahkan atas prakarsa beliaulah Mesjid Parit Putus yang sekarang di bangun menggantikan mesjid lama yang sudah rusak waktu itu. Beliau menitipkan dua orang anak gadis beliau di rumah ibunda masingmasing bernana Fatimah Elma dan Chaerani yang sedang bersekolah Schakel di Tanjung Alam. Jadi. kami sudah merasa bersaudara dengan beliau. Bapak H. Bustamam adalah pegawai Kantor Agama di Bukittinggi. Selesai mengantarkan orang tua mengungsi ke Kamang Hilir, besok paginya saya pulang ke kampung dengan kendaraan sepeda sendirian. Di jalan sangat sepi karena pesawat terbang sekali-sekali terbang melakukan pengintaian, dan kabarnya tentara Belanda sudah masuk Bukittinggi. Bila kedengaran bunyi pesawat terbang saya terpaksa mencari tempat berlindung, biasanya di bawah-bawah pohon bambu atau pohon kayu besar. Alhamdulillah saya sampai di kampung dengan selamat dan saya tepati kampung sepi. Orang-orang pergi mengungsi sesuai daerah pilihan masing-masing yang mungkin bisa menampung mereka. Saya mencoba berkeliling di sekitar kampung untuk mencari siapa saja yang tidak mengungsi. Rumah-rumah hampir semuanya kosong dengan pintu dan jendela tertutup rapat. Setelah saya berkeliling ternyata masih ada kira-kira 20 orang tua muda laki-laki yang tidak ikut mengungsi. Anak-anak mudanya ada 7 orang termasuk saya. Kepala kampung sebagai pimpinan masyarakat di kampung waktu itu pergi mengungsi sehingga pimpinan kampung vacum. Oleh masyarakat yang tinggal 20 orang itu sepakat mengangkat saya sebagai care taker kepala kampung. Untuk tidak kesepian kami buat kelompok-kelompok empat atau lima orang bergabung dalam satu kelompok masak bersama, tidur bersama, dan anggota kelompok kami ronda malam hari sampai jam 9.00, juga bersama dan bergilir. Tentara Belanda waktu itu sudah ada di Bukittinggi dan telah melakukan patroli, tapi masih terbatas di jalan-jalan raya dan belum masuk ke padalaman. Kami di Kampung belum merasakan bahaya dan saya masih bebas melakukan aktivitas menjemur padi dan mengupahkan menumbuk ke kincir air yang masih ada di tengah-tengah sawah antara Surau Pinang dengan Kurai. Petang-petang memberi makan itik yang ada kira-kira 20 ekor, dan pagi-pagi mengambil serta mengumpulkan telurnya. Rencana saya, sekali seminggu akan mengunjungi ibunda ke Kamang sambil membawa perbekalan beliau. Sebelum berangkat saya panjat dulu pohon kelapa untuk mengambil buahnya yang sudah tua yang akan dibawa. Kami masih mempunyai 8 batang pohon kelapa sedang berbuah dekat simpang Parit Putus; yang sekarang lahannya di pakai untuk toko bahan bangunan. Seminggu sudah berlalu sejak hari pertama mengungsi, sudah waktunya saya pergi mengantarkan bahan-bahan makanan ke Kamang Hilir. Barang-barang yang sudah di persiapkan di letakkan dan diikat di atas sepeda. Selesai diikat dan sepeda pun di kayuh ke arah Kamang Hilir, karena jalan ke sana menurun, maka tidak sampai setengah jam saya sudah sampai di tempat tujuan. Begitu sampai, barangbarang bawaan diserahkan kepada ibunda. Saya ceritakan keadaan kampung kita yang sudah sepi itu. Beliau banyak bertanya tentang si anu itu atau si anu itu ke mana mereka mengungsi. Mana yang saya ketahui, saya jawab apa adanya. Setelah makan siang dan setelah sembahyang Lohor, saya pun pamit untuk pulang ke kampung kembali. Beliau berpesan hati-hati menjaga keselamatan diri dan rumah jangan di tinggalkan, takut di bakar orang. Itik jangan lupa melepaskan pagi-pagi dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

40

memberi makan petang hari. Beliau berpesan, bila keadaan sudah aman dan memungkinkan kita pulang, segera kami di jemput ke sini. Dalam perjalanan pulang saya bertemu dengan beberapa pengungsi yang akan kembali ke kampung asal mereka, bahkan ada yang akan kembali ke kota Bukittinggi. Setelah saya tanyakan, mengapa mereka kembali apakah tidak takut di tangkap oleh tentara Belanda? Mereka menjawab, yang ditangkap tentara Belanda adalah tentara RI atau extrimis yang anti Belanda. Rakyat biasa seperti kami ini tidak diapa-apakan katanya. Informasi ini sangat berharga buat saya dan saya akan mengamati dalam beberapa hari ini, bila keadaan aman saya akan menjemput keluarga ke Kamang Hilir dan membawa pulang sebagaimana dipesankan oleh ibunda saya dan seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain. Sesampai saya di kampung belum banyak perubahan, masih seperti minggu lalu, yaitu kampung masih sepi, belum ada orang yang pergi mengungsi pulang ke kampung. Hari itu kami jalani seperti hari-hari sebelumnya, yaitu masak nasi bersama dengan lauk pauk serba rebus dan goreng dalam kelompok itu, bermain kartu remi bila senggang. Kebetulan giliran ronda waktu itu adalah kelompok kami, setelah Magrib kami keliling kampung sampai jam 9.00 malam. Malam itu saya tidur sendirian di surau kecil kepunyaan keluarga kita tempat anak-anak belajar mengaji Al-Quran. Surau itu surau panggung ukurannya kira-kira 5 X 5 meter dan ada kandang di bawahnya. Di kandang itulah itik-itik kami tempatkan. Sebagaimana biasa sekitar jam 7.00 pagi saya masuk kandang untuk mengambil telur-telur itik yang biasanya dapat antara 10 12 buah. Di tangan saya ada kunci rumah dengan maksud setelah mengambil telur itik langsung menyimpannya di dalam rumah sekalian membuka jendela-jendela rumah. Alangkah kagetnya saya begitu turun dari tangga surau dan membelok ke pintu kandang ada teriakan dari arah jalan raya angkat tangan jangan lari setelah saya lihat rupanya tentara Belanda sedang mengacungkan bedilnya kepada saya. Dia perintahkan mari sini, sambil saya datang ke arah tentara Belanda itu, dia pun mendekati saya dengan senapang tetap tertuju kepada saya. Dia bertanya extrimis? Saya jawab bukan tuan, saya tani. Dia melihat ada kunci rumah di tangan saya langsung mengambil konci itu dan mengajak saya membuka rumah. Setelah rumah di buka dia periksa isi rumah bersama saya dan Alhamdulillah tidak ditemukan hal-hal yang berbau tentara dan mencurigakan dia, lantas saya dibawa kembali keluar rumah dengan membiarkan rumah tidak terkunci, dan membawa saya ke jalan raya. Di jalan raya saya kaget karena banyak pohon-pohon di tumbangkan termasuk pohon-pohon kelapa kami oleh orang-orang tidak di kenal yang datang dari luar kampung kita tengah malam. Saya tidak tahu karena lelap tidur, mungkin terlalu penat siang harinya. Saya digiring dengan senjata tertodong ke punggung, dan dibawa ke arah lurah. Sebelum sampai di lurah, sudah ada beberapa orang tawanan, seperti saya di antaranya Agusman dan kakek saya Muin Gelar Malin Sutan (kakek si Kiar) menunggu nasib selanjutnya. Kami disuruh duduk di atas tanah menghadap ke lurah dengan tangan di kepala dan dikawal. Tidak lama kemudian bermunculan anggota tentara Belanda lainnya lebih kurang 30 orang. Mereka membawa tawanan yang membawa gergaji dan golok (lading) yang biasa dipakai untuk menggergaji kayu tangkelek dan golok yang biasa dipakai untuk membuat tangkelek.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

41

Sebagian kami diberi gergaji dan sebagian diberi golok supaya kami memotong pohonpohon yang menghalangi jalan raya dan di buang ke pinggir. Kebetulan saya dan Agusman kebagian golok satu seorang. Kami mulai memotong pohon-pohon yang membelintang jalan raya. Kami memilih tempat yang di pinggir jalan yang agak gelap dan banyak pohon pisang. Mereka mengawasi kami bekerja dalam jarak 7 atau 8 meter. Kepada Agusman saya katakan kita kan memegang parang satu seorang, bagaimana kalau kita bacok saja mereka yang dekat kita ini, setelah itu kita lari ketengah-tengah pohon pisang dan terus lari ke Pilubang. Mereka tentu tidak bisa mengejar kita. Agusman tidak setuju, dia takut nanti kampung kita dibakar oleh tentara Belanda. Kebiasaan mereka memang begitu, di daerahdaerah lain bila mereka terganggu disuatu tempat, mereka melakukan pembakaran di tempat itu, jadi orang takut menganggu mereka di sekitar perkampungan. Mendengar pendapat Agusman tersebut, saya mencari akal untuk bekerja berpisah dengan Agusman. Saya memilih lokasi yang lebih sepi untuk mencari kesempatan menyelinap di tengah-tengah pohon pisang dan lari ke tengah-tengah semak sendirian. Begitu saya sampai di tempat yang ideal, dan kebetulan pengawal yang mengawasi kami lengah, saya lansung masuk ke tengah pohon pisang dan semak, lari ke arah Batangbuo. Sampai di Batangbuo saya keluar ke jalan dan terus jalan ke arah Pilubang. Di Pilubang saya istirahat sampai petang. Setelah saya mendengar bahwa tentara Belanda tidak ada lagi di Parit Putus, baru saya pulang ke Parit Putus. Di Parit Putus saya mendengar bahwa tidak berapa lama sesudah saya lari, rupanya pengawal tadi mengetahui bahwa saya sudah lari, maka pengawal tadi menanyakan kepada Agusman ke mana saya. Agusman menjawab dalam bahasa Belanda saya tidak tahu, maka pengawal itu marah dan menampar Agusman sekali. Alhamdulillah, begitu semua pohon-pohon selesai di potong dan disingkirkan ke pinggir jalan, semua tawanan di bebaskan tanpa disakiti sedikit pun, kecuali Agusman yang kena tampar gara-gara saya. Saya minta maaf kepada Agusman waktu itu, saya tidak menyangka akan berakibat buruk kepada Agusman, mudah-mudahan dia memaafkan saya. Saya bersyukur kepada Allah Swt, bahwa pada saat tentara Belanda menggeledah rumah kami, dia tidak menemukan 2 buah granat tangan yang saya simpan di tempat ayam yang sedang mengerami telurnya. Seandainya dia menemukan granat itu habislah saya di situ dan kita tentu tidak seperti sekarang ini. Sejak hari itu sudah banyak keluarga yang pulang kampung dari pengungsian. Sesuai dengan pesan ibunda yang mengatakan kalau sudah aman dan memungkinkan, supaya beliau segera dijemput ke Kamang Hilir. Saya pikir sudah waktunya untuk menjemput beliau. Tiga hari setelah kejadian itu saya pagi-pagi berangkat ke Kamang Hilir dengan sepeda menjemput semua keluarga kita yang ada di sana. Selesai makan siang dan salat Lohor, kami pamit pada keluarga Bapak H.Bustamam dengan ucapan terima kasih atas segala kebaikan beliau. Kami berangkat pulang ke Parit Putus berjalan kaki. Sampai di Parit Putus sudah sore. Menderita Penyakit Kulit Muka di Bonjol Alam Ibunda kami adalah sekalian kepala keluarga kami waktu itu. Semua keperluan keuangan bersumber dari beliau, sedangkan saya belum siap untuk menggantikan posisi beliau itu. Begitu beliau sampai di kampung, besoknya beliau sudah mulai berusaha dengan membuka
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

42

warung nasi di simpang Parit Putus seperti sebelum mengungsi dulu. Sebelum Belanda masuk kota Bukittinggi, warung nasi beliau dapat dikatakan yang teramai di sekitar kampung kita. Yang terkenal masakan beliau adalah dendeng balado dengan gilingan cabe yang kasarkasar. Dulu yang meramaikan adalah kusir-kusir bendi dan pedagang-pedagang yang pulang pergi ke pasar, bukan orang Parit Putus saja. Waktu itu perekonomian masyarakat belum bergerak, belum ada orang yang pergi ke kota Bukittinggi untuk berdagang karena takut. Setelah beliau coba beberapa hari tetap sepi, maka warung tersebut di tutup lagi. Besoknya beliau berjalan-jalan ke rumah saudara beliau sebapak di Bondjol Alam, Rasidah namanya. Rasidah adalah guru Sekolah Dasar di Bonjol Alam (ibu Wilmar isrtri Chairman). Rupanya anak-anak sekolah dasar sudah mulai sekolah di sana. Kampung Bonjol Alam relatif lebih ramai di banding dengan kampung Parit Putus dan lebih jarang diliwati oleh tentara Belanda. Berarti lebih aman dibanding dengan Parit Putus. Demi menyelamatkan diri dan untuk mendapatkan sedikit uang keperluan sehari-hari, ibunda mengajak kami mengungsi ke Bonjol Alam ke rumah etek Rasidah. Di sana beliau membuat kue mangkok dan dijual di sekolah Bonjol Alam. Belum ada orang lain yang menjual jajan di sekolah waktu itu. Alhamdulillah, usaha ibunda dapat menutup sebagian dari kebutuhan keuangan keluarga kami. Selaku care taker Kepala Kampung, saya sering berhubungan dengan Wali Perang dan Camat Perang. Di situ saya mengikuti perkembangan perjuangan kemerdekaan di kecamatan dan sekitarnya. Dari situ saya mendapat informasi bahwa waktu itu sedang dibentuk kesatuan perjuangan berlindung di bawah kompi Guntur pimpinan Mayor Yusuf Black Cat, bermarkas di Sungai Puar. Kesatuan yang akan dibentuk sebanyak 3 seksi dengan nama Sektor IIIB di pimpin oleh Pak Nurdin Usman. Pak Nurdin Usman adalah kakak kandung dari Syarif Usman Komandan Divisi IX yang bermarkas di Bukittinggi, membawahi resimen-resimen yang ada di Sumatera Barat dan Riau. Sejak mendapat informasi itu saya pun merekrut tenaga-tenaga yang mungkin dan mau bergabung. Langkah pertama adalah mendekati pemuda-pemuda yang tidak bersekolah dan susah hidupnya di kampung. Bagi pemuda-pemuda yang bersekolah tentu banyak penghalangnya, seperti izin orang tua. Biasanya mereka hidup manja dan susah untuk diajak bersusah-susah dan menderita, apalagi diajak untuk berperang dan tidak digaji. Langkah ini rupanya berhasil, dan mulailah pemuda-pemuda di Parit Putus, Surau Pinang, Bonjol Alam, Ampang Gadang, Surau Kamba, dan Tanjung Alam, mendaftarkan diri. Sudah terkumpul 35 orang. Setelah terkumpul nama orang-orang tersebut, sekarang masalah timbul, orang yang akan menjadi Komandan Seksinya. Saya belum berani tampil karena masih terlalu kecil, waktu itu baru berumur sekitar 20-21 tahun, sedangkan di 2 Komandan Seksi lainnya umumnya berumur di atas 26 tahun. Tidak lama setelah itu kebetulan mamanda Ginam pulang dari pengungsian. Ke pada beliau saya ceritakan kegiatan yang sudah saya lakukan dan minta beliau menjadi Komandan Seksi dan saya sebagai Wakil Komandan Seksi. Usul ini beliau terima dengan pembagian tugas, saya bertanggung jawab penuh masalah di lapangan dan operasionel, dan beliau bertanggung jawab masalah logistik,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

43

termasuk persenjataan. Pembagian tugas ini kami sesuaikan dengan umur. Relasi beliau yang luas di kalangan militer dan pemuka masyarakat di Bukitinggi dan sekitarnya. Dalam kesibukan mengkonkritkan pembentukan satu seksi gerilia di sektor III/B itu saya ditimpa musibah penyakit kulit muka pedih dan berair. Kata orang di kampung mendapat penyakit biring basah. Hampir seluruh permukaan muka saya kena, seperti kudis kecuali sekitar mata, sekitar mulut dan hidung. Masih untung pemuda-pemuda yang sudah mendaftar itu belum dibawa ke Lasi Tuo melapor ke markas Sektor III/B. Waktu itu kami sudah tinggal di Bonjol Alam di rumah etek Rasidah. Tetapi saya menginap di mesjid Bonjol Alam malam dan kalau siang saya memanjat ke gobahnya karena takut patroli tentara Belanda. Waktu itu dokter tidak ada, terpaksa saya berobat ke dukun kampung ibu Siti Raiyah (maktuo si Dasril) di Parit Putus. Beliau memberikan ramuan yang harus dicampur dengan minyak goreng dalam ukuran tertentu dan dipanaskan sampai mendidih. Pada saat mendidih itu, dengan menggunakan bulu ayam dioleskan ke seluruh permukaan muka yang sakit. Alhamdulillah, berkat izin Allah setelah seminggu menggunakan obat itu, muka saya yang tadinya berair, sudah mulai mengering. Tidak sampai sebulan sudah sembuh, tinggal bekas-bekas hitamnya saja lagi. Untuk menghilangkan hitam-hitamnya beliau menyuruh saya rajin-rajin membedaki dengan air jagung muda. Dalam keadaan muka hitam itu saya bersama lebih kurang 35 orang calon geriliawan bergabung dengan pasukan di Sektor III/B. Perbekalan yang kami bawa hanya beberapa potong pakaian, sedangkan persenjataan tidak ada sama sekali kecuali 2 buah granat tangan yang saya simpan di rumah dulu. Kedatangan kami ini adalah sebagai tindak lanjut dari pembicaraan mamanda Ginam dengan pak Nurdin Usman sebelumnya. Kami diterima dan dikukuhkan menjadi Seksi II yang berasrama di kampung Kubu antara Balai Gurah dan Candung. Pak Nurdin Usman meminta kepada kami supaya mencari tambahan orang sehingga mencapai 60 orang lengkap menjadi 4 regu, 1 regu adalah 15 orang. Memimpin Pasukan Selaku Wakil Komandan Seksi di Ampek Angkek Candung Sejak kami resmi menjadi anggota Sektor III/B mulai berdatangan pemuda-pemuda ingin bergabung, tidak saja dari kampung kita dan sekitarnya, tetapi juga dari kampung-kampung lain seperti Candung, Bukit Batabuh, Gaduik, dan lain-lain, bahkan dari Batu Sangkar juga ada yang datang. Pada umumnya yang datang itu orang-orang tidak tamat sekolah dasar bahkan banyak yang buta huruf. Anggota Sektor III/B seluruhnya sukarela tidak di gaji. Hanya saja kalau makan disediakan oleh Camat Militer melalui dapur umum, sebagai salah satu unit dari organisasi wanita dengan nama BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perang) termasuk palang merah dan lain-lain. Tentang persenjataan masing-masing seksi usaha sendiri. Bulan-bulan pertama kegiatan kami adalah latihan baris berbaris dengan menggunakan bambu runcing sebagai senapan. Dalam hal kemiliteran anggota kami nol sama sekali, jangankan menggunakan senjata api melihat senjata saja baru sekarang. Kira-kira satu bulan kami di sana mulailah Komandan Seksi (mamanda Ginam) berhasil mendapatkan dan membawa beberapa pucuk (empat atau lima) senjata api berbagai jenis untuk kesatuan kami berikut beberapa puluh amunisi. Waktu itu baru anggota kami belajar
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

44

membuka dan memasukkan peluru dan belajar membidik. Tidak boleh menembak karena latihan menembak nanti lansung bila berhadapan dengan musuh demi menghemat peluru. Setelah senjata api kami cukup sepuluh pucuk barulah kami berani menghadang patroli tentara Belanda di tempat-tempat yang bertebing-tebing dan berlurah-lurah yang gampang mundur kalau diserang balik. Sektor III/B waktu itu mempunyai tiga seksi masing-masing seksi 60 orang anggota. Komandan Seksi I (satu) adalah Nazar yang anggotanya kebanyakan pemuda-pemuda dari Bukit Batabuh, Batu Taba, dan Lasi. Umumnya pemuda-pemuda elit dan sebagian dari anakanak orang kaya. Komandan Seksi II (dua) adalah Ginam yang anggotanya campuran dari berbagai kampung dan kecamatan, umumnya tidak tamat Sekolah Dasar dan beberapa orang buta huruf, bahkan ada tiga orang yang punya ilmu kasar kebal dipukul. Tidak kebal kena peluru, karena ada salah seorang pernah luka kena tembak dalam salah satu pertempuran di pos Baso. Komanda Seksi III (tiga) adalah Ali Amran yang anggotanya kebanyakan berasal dari Candung dan Baso. Di antara ketiga seksi itu yang mempunyai senjata agak banyak adalah seksi kami terakhir sekitar 16 pucuk berbagai jenis, ada 1 buah sten-gun, 2 buah pistol dan 13 senapan rupa-rupa jenis. Seksi-seksi lain tidak sebanyak itu. Ini adalah berkat jasa Komandan Seksi kami yang khusus berusaha melengkapi seksinya dengan berbagai usaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-pelurunya. Waktu itu seksi kami dibanding dengan seksi-seksi lain termasuk seksi elit. Setelah komandan Sektor III/B mengetahui bahwa seksi kami unggul dibidang disiplin dan persenjataan dibanding dengan seksi-seksi lain, maka seksi kami ditarik mendekati markas Sektor III/B di kampung Guguk Pili Bukit Batabuh. Waktu itu belum ada jalan mobil kedaerah itu, walaupun badan jalan sudah dibuat lebar dari tanah sepanjang 3 km dan 1 km lagi jalan setapak. Untuk mencapai kampung itu harus jalan kaki kira-kira 4 km. Jalan mendaki dan menurun dipinggir kiri lurah yang curam dan di sebelah kanan tebing yang tinggi. Di sana kami ditempatkan di sebuah musola berdampingan dengan mesjid di kampung itu, dan berdekatan pula dengan dapur umum. Saya masih ingat yang menjadi kepala dapur umum waktu itu adalah etek Lombok. Tempat baru ini memberikan nilai tambah bagi Seksi kami. Sebagian dari anggota kami taat sembahyang dan kami membiasakan diri sembahyang berjemaah di mesjid, membaur dengan masyarakat kampung itu. Cepat sekali kami mendapat simpati dari masyarakat. Apalagi setelah mereka melihat disiplin anggota kami cukup keras. Bila ada di antara mereka yang berbuat salah atau melanggar disiplin, hukuman pertama adalah tampar satu atau dua kali seperti disiplin yang dilakukan oleh tentara Jepang sebelumnya. Bila ada yang berkelahi maka kedua-duanya mendapat hukuman tamparan. Kalau sudah keterlaluan maka yang bersangkutan di perhentikan dan disuruh pulang ke kampung halamannya tanpa ada apa-apa. Alhamdulillah, walaupun hampir seluruh anggota yang 60 orang itu pernah mendapat hukuman tamparan dari saya, tetapi tidak satupun yang pernah melawan dan sampai akhir tugas kami tidak ada yang dipulangkan karena hukuman. Di tempat ini saya merasakan nikmatnya berjuang di tengah-tengah masyarakat tanpa pamrih dan ikhlas. Semoga Allah menerima bakti kami yang tidak berarti ini untuk nusa dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

45

bangsa menjadi amal yang saleh. Amin ! Ini rupanya apa yang dikatakan oleh para pemimpin waktu itu tanamkan jiwa empat lima dan pelihara jiwa empat lima. Saya tidak tahu apakah masa seperti itu akan kembali lagi atau tidak?. Apakah generasi yang akan datang akan mempunyai kesempatan berbakti kepada nusa dan bangsa seperti yang kami alami waktu itu atau tidak? Mudah-mudahan Allah memberi kesempatan kepada mereka untuk berbakti kepada bangsa, agama, dan negaranya dalam bentuk yang lain. Ada beberapa kenangan indah yang tidak dapat saya lupakan ditempat ini. Pertama. Seksi kami dipercaya oleh pimpinan berasrama di sekitar markas Sektor III/B yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat tinggal dan sekalian menjadi kantor komandan sektor III/B. Ini berarti walaupun tidak secara spesifik ditugaskan oleh komandan sektor, kami telah mendapat tugas untuk menjaga keamanan markas dari segala macam gangguan dari luar maupun dari dalam Sedangkan dua seksi yang lain ditempatkan di kampung yang berbeda dengan kampung seksi kami, dan berjarak lebih kurang 1 km. masing-masing seksi. Kedua. Saya merasa dekat dengan masyarakat, seperti masyarakat kampung saya sendiri. Apalagi kalau bulan Ramadhan tiba saya selalu ikut kegiatan di mesjid seperti tarawih, dan tadarus serta kebetulan komandan sektor kami termasuk ulama yang sering memberikan ceramah-ceramah agama di mesjid itu maupun di mesjid-mesjid lain di kecamatan Ampek Angkek Candung. Jarang saya berbuka puasa di asrama, kebanyakan diundang berbuka ke rumah-rumah penduduk. Kalau sedang terang bulan, bahkan untuk makan saur mereka jemput saya ke asrama untuk makan saur di rumah mereka. Pernah sekali saya di undang berbuka ke Candung yang berjarak kira-kira 3 km dari asrama kami. Untuk tidak memenuhi undangan itu tidak tega juga karena orang yang mengundang itu bersungguh-sungguh dengan kata-kata jangan tidak datang pak kalau bapak tidak datang hiba hati kami; Kendaraan waktu tidak ada, namanya masa perang, apalagi Honda seperti sekarang, jangankan Honda sepeda pun tidak ada. Tetapi benar kata orang iff there is a will there is a way Di kampung itu ada titipan 2 ekor bapak kuda milik pemerintah yang akan disewasewakan kepada masyarakat pekuda yang ingin mendapatkan keturunan kuda yang bagus untuk pacuan. Kuda-kuda tersebut di bawah pengawasan Wali Perang setingkat dengan lurah sekarang. Kuda-kuda tersebut sering kami pinjam untuk latihan naik kuda jalan-jalan di sekitar kampung. Untuk memenuhi undangan di Candung tersebut saya pinjam kedua kuda itu dan membawa seorang komandan regu menemani saya berbuka puasa di sana. Selesai berbuka dan mengobrol ala kadarnya, kami pamit untuk pulang ke asrama kira-kira pukul 8.00 malam. Dari wajah Tuan rumah kelihatan ada suatu kepuasan karena kami dapat memenuhi undangan mereka walaupun dengan bersusah payah. Di kampung Guguk Pili itu saya mempunyai ibu angkat dan bapak angkat, nama beliau masing-masing etek Andam Suri dan bapak H. Rasjid. Rumah beliau inilah yang dipakai oleh pak Nurdin Usman Komandan Sektor III/B sebagai kantor dan tempat tinggal. Beliau mempunyai seorang anak perempuan namanya Yulinar, waktu itu umurnya sekitar 9 tahun. Yulinar menganggap saya sebagai kakaknya dan sangat manja dengan saya. Yulinarlah yang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

46

sering disuruh etek Andam memanggil saya untuk makan ke rumah beliau siang atau sore. Masih terngiang-ngiang di telinga saya suara Yulinar berkata waktu itu tuan, amai menyuruh pulang makan sambil memegang dan menarik tangan saya, sampai saya ikut bersama dia pulang. Yulinar memanggil ibunya dengan sebutan amai. Etek Andam mempunyai seorang adik laki-laki bernama Ilyas Sutan Sati. Ilyas Sutan Sati adalah bapak Lis Darwis guru SMA PGII teman Hj.Lisma dalam arisan Ampek Angkek Candung, yang tinggal di Jl. Jakarta Bandung. Tidak sempat saya membalas jasa bapak/ibu angkat saya ini. Pernah sekali etek Andam ke Bandung ke rumah Lis Darwis dan sempat saya undang dan menginap di rumah 1-2 malam. Waktu itu masih tinggal di Jalan Gempol Wetan No.28. Hanya sampai di situ, tidak sempat membawa jalan-jalan dan membelikan oleh-oleh yang berarti sebagai tanda mata, karena kehidupan saya waktu itu masih pas-pasan. Semoga Allah membalas jasa baik beliau berdua yang setimpal, Amin. Waktu saya pulang bulan Desember 2002, sempat saya berjalan kaki pagi-pagi dari Pait Putus ke Guguk Pili, sebagai tapak tilas. Jarak kira-kira 7 km jalan mendaki bersama saudara Hendri Direktur BPRS AAC ingin melihat perkembangan kampung itu. Rupanya tidak banyak berubah, mesjid dulu tempat saya sembahyang berjamaah dan bertadarus masih ada dan asrama tempat kami tinggal dulu sudah menjadi rumah tinggal. Rumah etek Andam yang lama, sudah diganti dengan yang baru. Saya bertemu dengan Yulinar yang kebetulan waktu itu sedang sakit, dan saya dikenalkan dengan suaminya. Yulinar mempunyai dua orang anak laki-laki dan keduanya dagang di Jakarta. Saya tinggalkan nomor telepon saya di Jakarta dan di Bandung, dengan harapan bila satu waktu dia ke Jakarta mau menghubungi saya untuk sedikit membalas jasa baik mereka kepada saya 56 tahun yang lalu. Ketiga. Pada bulan Ramadhan pertama kami pindah ke kampung itu, di mesjid dekat asrama kami itu diadakan tablig akbar. Yang diundang memberikan pengajian adalah ibu Rasidah Djalal (kakak Hasjim Djalal, atau ibu Satria Jambek). Mesjid penuh oleh pengunjung termasuk komandan sektor pak Nurdin Usman dan dua seksi lainnya juga. Kebetulan waktu itu tentara Belanda baru saja membuka pos jaga di Batu Taba yang menimbulkan kemarahan masyarakat di sekitarnya, karena dengan adanya pos tentara Belanda di sana berarti mangkin sempit ruang gerak masyarakat di sekitarnya. Jarak Batu Taba dengan asrama kami lebih kurang 3 kilo meter. Oleh ibu Rasidah Djalal kejadian ini dijadikan topik ceramah malam itu seakanakan membakar semangat masyarakat untuk melawan. Pada sesi tanya jawab dengan penceramah ada yang mengusulkan agar komandan sektor III/B berusaha mengusir tentara Belanda dari Batu Taba. Usul ini ditanggapi positif oleh pak Nurdin Usman dan memerintahkan Seksi II sebagai pelaksana dan saya sebagai Komandan front. Mendengar perintah itu masyarakat spontan bertepuk tangan dan serempak mengucapkan setujuuuuuuuu. Saya sebetulnya wakil komandan seksi, sedangkan komandan seksi yang sesungguhnya adalah mamanda Ginam. Tetapi antara kami sudah ada pembagian tugas, maka masyarakat menganggap sayalah yang menjadi komandan seksi, karena yang selalu tampak di lapangan adalah saya.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

47

Besoknya saya dan 4 orang komandan regu mulai menyusun rencana penyerangan. Waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan adalah malam hari, untuk melakukan penyerangan di siang hari tidak mungkin, karena mobilitas dan persenjataan mereka lebih dari kita. Walaupun di bulan puasa maka perintah ini tidak menganggu jadwal puasa kami. Kami putuskan untuk melakukan penyerangan besok malam, berangkat setelah buka puasa. Kebetulan salah seorang kepala Regu kami adalah orang kampung Batu Taba sendiri yang mengetahui liku-liku jalan menuju rumah yang dijadikan pos penjagaan tentara Belanda di sana. Berdasarkan peta jalan sederhana yang kami buat kami atur tenaga dan senjata yang akan digunakan serta jumlah peluru yang akan dibawa. Karena kami hanya mempunyai senjata 16 pucuk maka anggota yang ditugaskan 2 regu atau 30 orang. Berarti dua orang dengan satu senjata dengan peluru masing-masing senjata sebanyak 5 buah. Saya menggunakan pistol merek Vickers otomatis buatan Jerman pemberian mamanda Ginam. Rombongan dipimpin oleh komandan regu masing-masing yang berada disayap kiri dan disayap kanan saya. Saya yang akan memulai penembakan dan setelah itu baru diikuti oleh yang lain-lain. Kami sampai di lokasi kira-kira jam 9.30 malam. Saya mulai menyusup masuk semaksemak dan pinggir-pinggir rumah orang lain. Pos tersebut diterangi dengan lampu yang terang sekali, sehinga kami takut lebih mendekat lagi. Kira-kira jarak 30 meter sudah kelihatan tentara belanda sedang berjaga-jaga di posnya. Saya beri kode ke pasukan yang berada di sebelah kanan dan kiri saya supaya bersiap-siap karena tembakan pertama akan dimulai. Di belakang sebatang pohon yang agak besar dengan bertiarap saya mulai menembak penjaga yang sedang berdiri di posnya itu. Belum sempat tembakan dari pihak kami sebelah kanan dan kiri, tembakan balasan telah kami terima beruntun dengan senapan mesin otomatis dan dengan tembakan granat yang mengeluarkan cahaya terang. Setelah tembakan dari pihak mereka reda saya perintahkan rombongan kami sayap kanan dan kiri melepaskan tembakan ke arah datangnya tembakan. Mereka mendengar balasan dari beberapa penjuru, kembali mereka memuntahkan pelurunya ke berbagai arah secara membabi buta. Setelah reda, saya perintahkan anggota kami untuk mundur dan berkumpul di satu tempat yang telah ditentukan, untuk mengecek apakah ada yang kena tembakan atau tidak. Alhamdulilllah semuanya selamat dan kami putuskan untuk pulang kepangkalan, hanya sekian kemampuan kami. Keempat. Pada suatu hari Sabtu pagi kira-kira jam 9.00 ada berita mengabarkan bahwa tentara Belanda sudah berada kira-kira 1 kilo meter, dari asrama kami dan sedang menuju ke tempat kami. Di atas udara pesawat capung Belanda sudah keliling sedang mengintai posisi kami. Begitu mendengar ancaman itu, kami siap dengan senjata dan topi baja segera mengatur steling memilih tempat yang strategis di atas tebing-tebing yang tinggi dan banyak pohon-pohonan besar, yaitu kita mudah melihat gerak gerik musuh didepan. Sedangkan kita tidak gampang terlihat oleh musuh dan ada pelindung didepan berupa batu besar atau pohon besar dan ada tempat mudur kebelakang bila terdesak. Lambat gerak maju mereka karena lapangan yang mereka tempuh berjalan kaki memang sulit. Kecuali jalan yang ditempuh hanya jalan setapak di sebelah kanan jalan tebing dan tinggi dan di sebelah kiri lembah landai terdiri dari sawah-sawah sehingga terang tidak dapat bersembunyi untuk maju. Kira-kira jam
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

48

10.00 kami sudah mulai melihat mereka dari kejauhan lebih kurang 500 meter dengan berjalan mengendap-ngendap menuju ke arah kami dipinggir tebing. Makin lama semangkin dekat dan pada jarak layak tembak mereka mulai memancing dengan beberapa tembakan ke arah semak di tebing tempat kami bertahan. Untuk sementara tembakan mereka tidak kami ladeni karena peluru kami sangat terbatas, dengan harapan mereka semangkin mendekat baru kami balas dari segala penjuru. Perkiraan kami benar, kira-kira setengah jam kemudian mereka sudah dekat sejangkauan tembak dengan senapan Jepang. Tembak menembak terjadi dengan mereka selama lebih kurang 3 jam. Tidak hentihentinya mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin sedangkan dipihak kami hanya sekali-sekali saja tetapi dari banyak penjuru. Mereka ragu-ragu untuk maju, karena tembakan dari kami datang dari banyak penjuru, mereka menyangka bahwa jumlah kami tentu banyak. Akhirnya mereka mundur. Alhamdulillah anggota kami selamat semuanya tidak kurang suatu apa pun. Komandan sektor III/B hari itu sedang berada di Candung, sorenya beliau mengirim kurir membawa surat perintah supaya Seksi II malam itu juga mundur ke Candung dan tinggalkan kampung Guguk Pili. Menurut perhitungan beliau besoknya tentara Balanda akan datang dengan jumlah yang lebih besar untuk menyerang dan menghancurkan kami. Masyarakat mengetahui perintah ini, dan mereka ibu-ibu berdemonstrasi sambil menangisnangis ke asrama kami minta supaya kampung mereka jangan ditinggalkan. Sebab kalau kampung mereka ditinggalkan akan habis dibakar oleh tentara Belanda. Saya berada dalam posisi yang sulit, satu segi adalah perintah dari atasan, segi lain kepentingan masyarkat perlu juga diutamakan. Dalam posisi yang demikian Allah memberi petunjuk dengan memilih jalan tengah. Dua regu yang berani-berani saya tinggalkan dibekali dengan persenjataan yang ada pada kami berikut pelurunya, dengan perintah supaya mereka mempertahankan kampung Guguk Pili sehabis tenaga. Dua regu lainnya bersama saya mundur ke Candung memenuhi perintah pak Nurdin Usman Komandan Sektor III/B. Dugaan Komandan Sektor III/B menjadi kenyataan. Besoknya tentara Belanda datang dengan jumlah yang lebih besar dari yang kemarin, mereka mencoba lagi menaklukkan pertahanan kami. Pertempuran tak dapat dihindari, bahkan lebih sengit dari kemarin, seorang anggota kami kena tembak di kepala, beruntung dia memakai topi baja. Alhamdulillah hanya topi bajanya saja yang peot dan dia selamat dari tembusan peluru. Seminggu setelah itu tidak ada lagi penyerangan dari tentara Belanda, kami pun kembali ke Guguk Pili beserta dua regu lainnya sebagaimana biasa. Menghadang Konvoi Belanda di Labuh Luruih (Padang Tarok) Kemajuan tentara Belanda rupanya tidak terbendung. Tentara kita mangkin lari jauh kepedalaman, karena kelemahan organisasi dan persenjataan yang minimal. Yang tinggal dipinggir kota hanya geriliawan yang seperti kami. Itupun fungsinya tidak mungkin menghancurkan tentara Belanda, tetapi hanya sekadar menganggu ketenteraman mereka saja. Waktu itu pertengahan tahun l949. Konvoi Belanda sudah leluasa hilir mudik Bukittinggi dan Payakumbuh pulang pergi tanpa terganggu sedikit pun. Freqwensi penyerangan ke posMengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

49

pos belanda pun sudah mulai berkurang, sejalan dengan perundingan-perundingan yang diadakan oleh Pemerinah Pusat. Begitu perundingan tidak menguntungkan kita gangguan kepada tentara Belanda digiatkan kembali. Saya melihat lokasi di jembatan titih liwat labuh lurus kira-kira 15 km dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Di situ ada tempat yang strategis untuk menghadapi konvoi tentara Belanda. Di sebelah kiri jalan ada tebing batu yang tingggi memanjang ke arah Bukit Barisan sedangkan di bawahnya ada sungai yang dalam memanjang ke arah gunung Merapi. Dari tempat ini memungkinkan untuk melakukan penyerangan dari kanan dan dari kiri jalan karena alam berpihak kepada kita. Perkampungan rakyat juga jauh dari situ, kita tidak takut tentara Belanda akan membakar rumah-rumah rakyat akibat dari gangguan ini. Ide ini saya sampaikan ke atasan dan beliau setuju. Karena penyerangan akan dilakukan di siang hari dan tempatnya sempit maka tenaga yang akan dikerahkan tidak perlu banyak-banyak cukup 15 orang saja. Setelah mendapat persetujuan dari atasan besok harinya pagi-pagi kami sudah pergi ke lokasi bersama beberapa orang anggota lengkap dengan senjata seadanya untuk melaksanakan tugas penghadangan. Jarak antara lokasi penghadangan dari asrama kami cukup jauh, kira-kira 10 km. Sudah siang kami baru sampai di sana langsung mengatur posisi masing-masing di tempat yang menguntungkan dan aman. Kira-kira dua jam kami mengatur posisi dan sambil menunggu mulai kedengaran bunji kendaraan dari arah Bukittinggi. Dari kejauhan sudah mulai kelihatan ada 4 buah truk membawa tentara Belanda melaju menuju Payakumbuh yang akan meliwati tempat yang kami tunggu-tunggu. Begitu truk pertama meliwati jembatan maka 2 buah granat tangan sudah siap melempari mereka. Setelah itu diikuti dengan tembakantembakan lainnya. Ternyata dari 2 buah granat yang dilemparkan hanya satu buah yang meletus. Tidak banyak tembakan yang dapat kita lepaskan karena dari pihak mereka tidak hentihentinya menghujani posisi kami dengan tembakan senapan mesin, sehingga untuk mundur saja pun sudah sulit. Tidak diketahui berapa orang dari pihak mereka mati atau luka-luka karena tidak sempat lagi memperhatikan hasilnya karena kami sudah berangsur-angsur mundur, sedangkan dari pihak kami Alhamdulillah tidak satu pun yang kena atau luka-luka. Sudah hampir Magrib kami berkumpul kembali di tempat yang sudah ditentukan semula untuk bersama-sama pulang ke asrama. Pembunuhan Masal di Simpang Parit Putus oleh Tentara Belanda Waktu itu kehidupan di kampung kita sudah dapat dikatakan hampir normal. Pedagangpedagang sudah mulai berani pergi ke pasar membuka usahanya. Warung kopi di kampung kita sebagian sudah mulai dibuka walaupun belum banyak dikunjungi pelanggannya. Orang pun sudah tidak takut-takut lagi duduk-duduk di simpang Parit Putus menghabiskan waktu mengobrol dan bermain damino dan lain-lain. Kami anggota gerilia di sektor III/B dilonggarkan disiplinnya, tidak harus selalu berada di asrama siang dan malam asal bila diperlukan siap berada di asrama. Bagi kami di Seksi II, kami atur pulang bergelombang, dengan demikikan asrama tidak boleh kosong dan senjatasenjata selalu harus terjaga dan terawat. Umpamanya minggu ini regu 1 dan regu 3 boleh pulang cuti ke kampung seminggu. Minggu depan regu 1 dan regu 3 kembali ke asrama,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

50

minggu berikutnya regu 2 dan regu 4 mengambil cuti seminggu demikian seterusnya. Keadaan begini berjalan beberapa lama sampai ada perkembangan perundingan antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia Pusat. Setelah kondisi aman ini berlalu beberapa bulan, tiba-tiba situasi memanas kembali. Kami gerialawan di Sektor III/B masih belum berreaksi, tetapi gerialawan dari kampung Kurai di bawah pimpinan Udin Karayau mengambil inisiatif penyerangan. Kampung kita Parit Putus termasuk wilayah di bawah Sektor III/B. Kampung tetangga kita kearah kota Bukittinggi namanya Garegeh yang berada di wilayah pejuang Sektor Kurai. Diperbatasan kampung Parit Putus dengan Kampung Garegeh ada tebing kanan kiri jalan sepanjang lebih kurang 700 meter memanjang ke arah Bukittinggi, tinggi kira-kira 3 meter. Dari tebingtebing itu mereka melempari konvoi Belanda dengan granat tangan yang sedang bergerak ke arah Payakumbuh. Kejadian tersebut kira-kira jam 16.00 sore. Penyerangan ini tanpa berkonsultasi dengan kampung kita sebagai kampung tetangga yang akan menerima akibat dari sabotase mereka. Waktu itu orang di simpang Parit Putus sedang ramai-ramainya. Ada yang bermain damino, ada yang sedang minum kopi di warung dan banyak juga yang mengobrol-ngobrol saja. Mendengar letusan itu beberapa kali dan diikuti dengan tembakan beruntun sebagai balasan dari tentara Belanda. Sebagian orang yang bergerombolan sempat melarikan diri dan sebagian besar kepergok oleh tentara belanda yang dengan cepat membrondong orang-orang yang ditemuinya di simpang Parit Putus. Dalam setengah jam 23 orang tua muda mati di petang hari itu. Ada yang tewas seketika ada yang tewas setelah melalui perawatan beberapa waktu setelah petang itu. Salah seorang yang tewas setelah melalui perawatan beberapa lama adalah Radjab (adik mamanda Ginam) Saya waktu itu kebetulan sedang berada di rumah ibunda di Kampung. Waktu tentara Belanda menembaki orang-orang di simpang Parit Putus saya sempat melihat dari kejauhan melalui pintu angin rumah kami. Setelah tembakan usai dan truk konvoi tentara Belanda melanjutkan perjalanannya ke arah Payakumbuh, saya pun keluar rumah melihat apa yang telah terjadi di simpang Parit Putus. Ternyata mayat sudah bergelimpangan dan masyarakat mulai keluar dari persembunjiannya sambil meratapi anggota keluarga mereka yang tewas petang itu. Mamanda Syukur ayahnya Syukbar ikut menjadi korban waktu itu. Melihat situasi demikian saya mengambil inisiatif mengajak kepada orang-orang yang ada waktu itu untuk segera menguburkan mayat-mayat itu di pekuburan masing-masing. Waktu magrib sudah dekat dan sebentar lagi malam pun akan tiba. Tidak banyak orang waktu itu, mungkin tidak lebih dari 10 orang, yang akan menggali kuburan, membawa jenazah ke kuburan dan menutup kuburan kembali untuk 23 jenazah. Umumnya mereka kena tembak dibagian kepala dan dibagian dada. Rupanya akibat tembakan senapan dari jarak dekat bila kena di kepala didepannya berbentuk lobang kecil sedangkan di belakangnya membesar, sehingga otaknya bertebaran keluar. Jenazah-jenazah itu tanpa dimandikan dan disembahyangkan dikuburkan dengan baju yang dipakainya. Bagi jenazah yang otaknya bertebaran, maka otaknya itu dimasukkan dulu ke dalam tempurung kelapa dan dibawa kekuburan untuk sama-sama dikuburkan bersama jenazahnya. Kami selesaikan penguburan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

51

jenazah yang 23 itu malam itu juga dan sudah dekat subuh baru selesai. Sebab kalau tidak diselesaikan malam itu besoknya akan berbau dan lebih merepotkan lagi menguburkannya. Yang aneh, yang kami rasakan waktu itu tidak ada rasa jijik dan tidak ada rasa takut sedikit pun. Bahkan saya memikul sendirian malam-malam jenazah mamanda Malin Menan yang ditembak Belanda petang itu di rumah saudaranya (di depan rumah kita di kampung) dan membawanya ke kuburan jarak lebih kurang 60 meter. Di antara yang tewas waktu itu ada seorang yang dikenal masyarakat sebagai orang pintar yang banyak mempunyai ilmu kebal. Tetapi kepalanya tetap saja ditebus peluru yang bediameter sebesar telunjuk itu. Setelah penyerahan kemerdekaan, orang-orang korban pembunuhan masal tersebut, oleh mamanda Ginam didaftarkan kepada Pemerintah RI sebagai pejuang perang dan keluarganya mendapat tunjangan seperti tunjangan pensiun. Diangkat sebagai Komandan Front Penyerangan Pos Belanda di Baso dan Batu Taba Tidak lama setelah itu, komandan sektor III/B mengumpulkan kami komandan-komandan seksi di kantor beliau. Beliau menjelaskan bahwa perundingan dengan Pemerintah Belanda menemui jalan buntu. Ini berarti kita mesti lebih gigih berjuang dibanding dengan masa-masa lalu. Target pertama kita adalah mengusir pos tentara Belanda yang ada di daerah kita yaitu di Baso dan Batu Taba. Kepada kami diminta mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencapai target perjuangan tersebut. Sejak hari itu semua cuti anggota kami dibatalkan, dan disiplin kami tegakkan kembali. Latihan kami diintensifkan pada setiap kesempatan yang ada, Demikian juga persiapan persenjataan dengan menambah pesediaan amunisi untuk masing-masing jenis senjata sambil menunggu perintah lebih lanjut dari komandan sektor Penyerbuan kali ini dilakukan secara terpadu ketiga seksi yang berada di bawah Sektor III/B. Komandan front penyerangan digilir antarketiga seksi untuk masa seminggu. Di lihat dari segi persenjataan maka seksi kami yang lebih banyak dibanding dengan seksi-seksi lainnya. Atas pertimbangan itu Komandan Sektor III/B memberi kesempatan pertama kepada Seksi II menjadi Komandan Front penyerangan pos Belanda di Baso dan di Batu Taba. Minggu depan giliran seksi I yang menjadi Komandan Front disusul Seksi III yang menjadi Komandan Front. Penunjukan ini men jadikan saya risih, karena dilihat dari segi umur saya lebih muda dibanding dengan umur kedua Komandan Seksi yang lain. Untuk menghindari kecemburuan di antara kami, maka semua langkah-langkah yang akan saya lakukan selalu saya rundingkan terlebih dahulu dengan Komandan-komandan Seksi 1 dan 3. Tenaga yang akan dikerahkan dalam tiap-tiap penyerbuan sebanyak dua kali sebanyak senjata yang dipunyai. Berarti tiap-tiap Seksi berkewajiban menyerahkan anggotanya berikut persenjataan yang mereka punyai. Jumlah anggota adalah sebanyak dua kali jumlah senjata yang akan mereka pegang sediri. Penyerangan biasanya dilakukan pada malam hari. Pagi harinya anggota yang sudah ditunjuk oleh Komandan Seksinya untuk bertugas. Penyerbuan berikut persenjataannya diserahkan kepada Komandan Front untuk diarahkan agar antara anggota di ketiga Seksi ada suatu kerja sama yang kompak. Jarak antara asrama kami ke Baso kira-kira 7 km atau satu setengah jam dengan jalan kaki. Pada hari yang ditentukan, kami berangkat dari asrama pukul 5.00 petang bersama 60
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

52

orang anggota dan 30 pucuk senjata berbagai jenis. Dalam perjalanan kami istirahat sebentar sambil shalat Magrib dan makan di salah satu dapur umum.di daerah Candung. Selesai shalat Isya kami berdoa langsung melangkah ketempat penyerangan yang sudah ditentukan. Penyerangan kami rencanakan dari tiga penjuru, yaitu dari arah Biaro dengan kekuatan 20 orang, dari arah Candung juga 20 orang, dan dari arah Sungai Janih 20 orang. Masingmasing penjuru kami angkat seorang pimpinan sebagai penanggung jawab yang akan mengatur posisi penyerangan anggotanya. Kami beri kesempatan kepada masing-masing penjuru mempersiapkan diri satu jam sehingga jam 9.00 penyerangan sudah bisa dimulai. Saya sebagai Komandan Front bertanggung jawab atas penyerangan ini dan mengambil posisi dari arah Biaro. Tembakan pertama sebagai komando tetap dari saya. Dengan berjongkok dan bertiarap saya maju ke depan melalui celah-celah pohon pisang dan pohon-pohon kayu lainnya mendekati pos Belanda di Baso bersama 20 orang anggota. Alhamdulillah tidak ada anjing yang menggonggong yang menyebabkan mereka curiga bahwa akan ada serangan dari extrimis, sehingga saya bisa mendekat ke pos Belanda sampai jarak kira-kira 20 meter. Untuk mendekat lagi saya tidak berani karena lampu di sekeliling rumah itu sangat terang. Saya lihat jam belum sampai jam 9.00 jadi kami istirahat sambil bertiarap ditempat menunggu jam 9.00 sesuai kesepakatan dengan rombongan dari penjurupenjuru lain.Tepat jam sembilan sten-gun saya arahkan pada penjaga yang sedang bediri di rumah jaga di seberang jalan tempat saya menembak. Tembakan ini diikuti oleh tembakantembakan lainnya dari dua penjuru lainnya. Mendengar tembakan pertama dari pihak kita mereka berhamburan keluar rumah sambil melepaskan tembakan dengan senjata otomatis ke arah suara letusan datang. Mereka membuat steling disekeliling rumah mempertahankan diri. Dalam keadaan mereka siap demikian, tidak mungkin kita menyerang mereka, berarti kita bunuh diri. Dengan kode tertentu saya memberi perintah kepada anggota lainnya supaya mundur ketempat yang sudah ditentukan. Bersamaan dengan itu saya mendengar rintihan dari anak buah saya di belakang (Rusli) mengatakan, pak Tamam saya kena. Setelah saya dekati baru diketahui bahwa perutnya sebelah kanan ditembus pelor Belanda dan banyak mengeluarkan darah. Segera kami papah dan minta bantuan palang merah di kampung terdekat sebagai pertolongan pertama. Rusli tidak mematuhi perintah saya, supaya bila terjadi kontak senjata selalu dalam keadaan tiarap. Rupanya sewaktu saya melakukan tembakan pertama dia beridiri membidik ke arah pengawal yang dia lihat sedang berdiri di rumah jaga yang saya bidik pertama kali itu. Rusli setelah mendapat pertolongan dari palang merah setempat kami tinggalkan dia di situ untuk beristirahat beberapa hari sampai dia mampu berjalan kaki keasrama di Guguk Pili. Tidak lama kemudian kami berangkat menuju tempat berkumpul dengan rombongan dari penjuru Candung dan dari penjuru Sungai Janih. Alhamdulillah yang lain selamat hanya Rusli saja yang luka. Kami langsung pulang dan liwat jam 2.00 pagi kami sampai di asrama. Minggu depan giliran seksi I yang menjadi Komandan Front melaksanakan tugas penyerangan ke pos tentara Belanda di Batu Taba. Seksi kami yang menyiapkan anggota dan persenjataan dan menyerahkan di bawah kordinator Seksi I sampai tugas selesai. Demikian seterusnya kami Komandan Seksi masing-masing menjadi Komandan Front di dua pos tentara Belanda di daerah kami. Dapat kepercayaan menjadi Komandan Front waktu itu
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

53

menjadi suatu kebanggaan tersendiri, walaupun akibatnya tidak begitu dirasakan oleh musuh. Satu-satunya hasil yang dirasakaan ialah bahwa kehadiran tentara Belanda tidak disenangi di negara kita. Karena ketidak nyamanannya itulah mungkin salah satu sebab mereka membuka pintu berunding dengan Pemerintah Indonesia, di samping desakan dunia internasional.

*****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

54

7. MASA CEASE FIRE (Awal l950)


Pada kwartal ketiga tahun 1949 ada perkembangan baru dari Pemerintah Pusat, yaitu di mulainya perundingan antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia yang di kenal dengan perundingan Meja Bundar. Perundingan ini diadakan di negeri Belanda. Juru runding dari pihak Indonesia dipimpin oleh pak Hatta, sedangkan dari pihak Belanda dipimpin oleh ..(saya lupa) Sifat perjuangan mulai berubah dari perjuangan bersenjata ke perjuangan propoganda. Pemerintah Pusat mengantisipasi bahwa perundingan akan mengarah pada plebisit. Komandan sektor III/B menyesuaikan perjuangannya dengan membentuk satu seksi baru yaitu seksi Penerangan. Yang diangkat menjadi Kepala Seksi Penerangan ini adalah Anwar Wahid berasal dari luar Sektor III/B. Saya diangkat sebagi Wakil Kepala. Tugas Seksi Penerangan adalah meyakinkan masyarakat bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan satu-satunya pintu gerbang untuk mencapai kehidupan rakyat yang adil dan makmur. Sedangkan penjajahan adalah penindasan dan perampasan kekayaan negara dan bangsa Indonesia. Sarana penerangan waktu itu belum seluas seperti sekarang dengan sarana elektronika seperti TV, Radio, internet SMS dan lain-lain. Atau melalui sarana tulis seperti koran, majalah, brosur dan lain-lain. Satu-satunya sarana adalah berhadapan di mesjidmesjid, di lapangan, dan lain-lain. Pak Anwar Wahid lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun dan dia sudah berpengalaman dalam bidang penerangan. Ini terbukti setelah saya mengikuti perjalananya ke beberapa mesjid-mesjid di Kecamatan Ampek Angkek Candung. Sedangkan bagi saya tugas tersebut merupakan tugas yang baru sama sekali. Jangankan untuk memberi penerangan kepada masyarakat, berdiri di hadapan umum saja saya grogi waktu itu, karena belum pernah dilatih untuk itu. Alhamdulillah berkat dorongan dan bimbingan pak Anwar Wahid lama-lama saya mulai bisa juga, dan sekali-sekali saya sudah dilepas pergi sendiri ketiap-tiap ada pertemuan dengan masyarakat. Saya bersyukur kehadirat Allah Swt yang telah memberi kesempatan kepada saya menimba pengalaman berbicara dihadapan umum walaupun pada tahap awal. Dan bersyukur lagi karena prakatek ini dilakukan dihadapan masyarakat yang waktu itu umumnya belum begitu maju dan masih terbelakang. Jadi tidak banyak kritik atau ejekan. Tugas sebagai wakil kepala seksi penerangan merupakan tugas sampingan, sedangkan tanggung jawab sebagai wakil komandan seksi II masih tetap. Kira-kira 2 bulan tugas rangkap tersebut saya laksanakan, Alhamdulillah perundingan meja bundar di negeri Belanda berhasil menyepakati untuk mengadakan cease fire sampai masa yang akan ditentukan kemudian. Cease fire adalah kesepakatan di mana pihak-pihak yang bermusuhan meletakkan senjata masing-masing dan mengehentikan tembak menembak walaupun belum menghentikan permusuhan. Berita ini diterima oleh rakyat Indonesia pada umumnya dengan rasa syukur dan gembira karena sudah terlalu lama hidup dalam kebodohan, ketakutan, kesusahan, dan permusuhan. Tidak lama setelah berita itu tersebar di masyarakat, kami Seksi II Sektor III/B menerima surat dari Komandan Kompi Guntur di Sungai Puar. Isinya supaya kami menyampaikan daftar nama anggota gerilia di Seksi II lengkap dengan penjelasan pendidikan, umur, dan kepangkatannya. Di samping daftar nama tersebut juga diminta
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

55

menyampaikan daftar senjata dan jenisnya serta amunisi dan bahan peledak yang dimiliki pada saat itu. Surat itu saya sampaikan kepada Komandan Seksi II, mamanda Ginam, setelah beliau baca, langsung memberikan pengarahan sebagai berikut. Supaya saya menyiapkan daftar yang diminta sesuai dengan isi surat. Tentang pangkat jangan dibuat terlalu tinggi, dan tentang senjata jangan didaftarkan semua. Yang jelek-jelek saja daftarkan sedangkan yang bagus-bagus kita simpan untuk bersiap-siap bila kesepakatan ini diingkari lagi oleh pihak Belanda di belakakang hari. Saya siapkan 2 jenis daftar, yaitu daftar anggota dan daftar senjata. Dalam daftar anggota saya buat Komandan Seksi dengan pangkat Letnan Dua, Wakil Komandan Seksi dengan pangkat Pembantu Letnan, Komandan Regu dengan pangkat Sersan Mayor, di bawahnya adalah Sersan, Prajurit Satu atau Prajurit Dua. Setelah konsep daftar anggota dan daftar senjata saya siapkan saya perlihatkan kepada mamanda Ginam. Daftar senjata dapat beliau setujui karena 2 pucuk sejata genggam, 1 sten-gun dan 4 senjata laras panjang tidak saya masukan dalam daftar yang diajukan. Tujuh pucuk senjata tersebut akan disimpan untuk berjaga-jaga dibelakang hari. Hanya saja daftar anggota beliau komentari tentang kepangkatan supaya diturunkan satu tingkat, alasannya adalah malu. Sesuai dengan instruksi beliau, akhirnya kepangkatan dalam daftar tersebut saya ubah menjadi, Komandan Seksi menjadi Pembantu Letnan, Wakil Komandan Seksi menjadi Sersan Mayor, Komandan Regu yang senior menjadi Sersan dan junior hanya Kopral, sedangkan di bawahnya adalah Prajurit Satu atau Prajurit Dua sesuai dengan umur dan pendidikan masing-masing. Setelah kedua daftar tersebut ditanda tangani oleh Komandan Seksi II Sektor III/B, besoknya saya antarkan ke markas Kompi Guntur di Sungai Puar. Jarak Guguk Pili dengan Sungai Puar kira-kira 5 km, jalan mendaki menuju Gunung Merapi menghadap ke Koto Baru Batas Padang Panjang Bukittinggi. Tidak ada kendaraan kecuali jalan kaki pulang pergi. Waktu itu tidak ada rasa cape dan letih dan saya pergi ditemani oleh seorang Komandan Regu yang banyak guyon, sehingga kami dalam perjalanan lebih banyak ketawa dibanding mengeluh. Sesampai di markas Kompi Guntur di Sungai Puar, Komandan Kompi Guntur Mayor Yusuf Black Cat tidak ditempat. Kami diterima oleh Wakil Komandan Kompi yaitu Bapak Aga Kartanagara. Bapak Aga Kartanagara adalah asli Malaysia dengan nama asli Abdul Gani. Anak seorang sekretaris negara bagian Pahang, dan kakak dari Abdul Samad bekas Menteri Perdagangan Malaysia di tahun enampuluhan. Sewaktu Jepang memasuki Malaysia beliau masuk tentara Jepang sampai mencapai pangkat tertinggi untuk orang Malaysia waktu itu. Pada saat Jepang kalah dan tentara Inggers memasuki Malaysia kembali. Beliau bersama seorang istri dan seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama Bukhari datang ke Bukittinggi untuk menghindari balas dendam dari tentara Inggeris. Di Bukittinggi beliau ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan orang pertama yang menyiarkan teks proklamasi ke seluruh dunia dalam bahasa Inggeris di RRI Bukittinggi pada tanggal 18 Agustus l945. Waktu clash kedua akhir tahun l948 beliau mengungsi ke daerah Bukit Batabuh. Saya pernah menemui beliau waktu itu dan beliau senang setelah mengetahui bahwa saya dulu bersekolah di English College School Johore Bahru, dan berkeinginan akan kembali sekolah ke sana bila situasi mengizinkan. Antara kami seakan-akan ada suatu ikatan batin seperti sedaerah.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

56

Selesai menyerahkan daftar nama anggota dan daftar persenjataan kami beramah tamah sebentar, setelah itu kami pamit dan langsung pulang ke asrama di Guguk Pili. Dari beliau saya mendapat informasi bahwa sudah tercapai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda untuk mengadakan cease fire. Kompi Guntur dalam waktu tidak begitu lama akan pindah ke kota Bukittinggi. Sampai di asrama sudah sore. Selesai salat Asar saya kumpulkan seluruh anggota Seksi II, untuk memberi penjelasan tentang telah berlakunya cease fire yang berakibat langsung pada kegiatan anggota di masa depan. Yang jelas waktu kita tidak terikat lagi 24 jam tetapi sudah bebas dan aman untuk pulang kampung atau masuk kota Bukittinggi sekalipun dan lain-lain. Yang penting asrama tidak boleh kosong dan senjata mesti di jaga paling sedikit oleh 10 orang setiap saat, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Sore itu juga kami siapkan nama-nama yang bertugas piket seminggu ke depan. Minggu depan semua berkumpul kembali untuk menyusun daftar nama anggota yang akan piket minggu berikutnya. Setelah selesai memberi penjelasan dan masing-masing sudah memahami, maka kami yang tidak bertugas piket minggu itu, pulang kampung berkelompok sesuai dengan kampung masing-masing. Kami yang berasal dari Parit Putus sampai di kampung sudah agak malam. Sesampai di rumah, ibunda saya memberitahukan bahwa bapak saya sakit keras, sudah 4 hari tidak mau makan. Karena hari sudah larut malam saya katakan kepada ibunda, besok pagi saya pergi menemui beliau. Besoknya kira-kira jam 7.00 saya datang ke rumah kakanda Nurbeiti (bako saya) tempat beliau terbaring. Memang sejak pulang dari Malaysia beliau tinggal dibagian belakang rumah kakanda Nurbeiti yang kita sebut rumah kecil. Karena beliau sakit keras maka beliau dibaringkan di rumah depan. Saya temui bapak terbaring lemas, beliau melihat saya, sambil menanyakan kapan pulang? Saya jawab, malam tadi, untuk ke sini sudah agak larut. Saya pijit-pijit tangan dan kaki beliau sambil menanyakan keluhan-keluhan beliau. Saya tidak menawarkan kepada beliau untuk pergi ke dokter karena memang tidak ada dokter waktu itu. Tidak banyak kata-kata keluar dari mulut saya. Saya larut dengan penyesalan terhadap diri saya, karena sadar dan insyaf bahwa saya sudah berlaku tidak adil selama ini terhadap bapak saya dibanding dengan ke ibunda saya. Saya pun tidak pernah tahu dan menjenguk ke mana beliau mengungsi selama ini. Semoga arwah bapak memaafkan saya dan semoga Allah menghampuni segala dosa kami dan menerima segala amal ibadah kami. Amin ! Kakanda A.Tadjuddin masih di Pekanbaru bersama keluarga dan anak-anak beliau waktu itu. Jadi yang ada di kampung anak-anak beliau hanya saya dan adinda Djamilah yang masih gadis waktu itu. Hampir dua jam saya menemani bapak yang sedang sakit dan saya melihat beliau tertidur. Saya pamit sebentar kepada ibunda Raiyah untuk pergi ke Bukittinggi karena ada keperluan. Pulang dari Bukittinggi saya berjanji akan datang lagi. Saya pulang dari Bukittinggi kira-kira jam 2.00 petang. Dari kusir bendi yang saya tompangi mengatakan bahwa Bapak saya sudah meninggal siang tadi sebelum Lohor. Alangkah kagetnya saya mendengar berita itu seperti ditembak petir tengah hari. Lagi-lagi penyesalan kepada diri saya, kenapa saya tinggalkan beliau yang kelihatan sedang tidur. Seandainya saya tunda keperluan saya pergi ke Bukittiggi menjadi besok harinya tentu saya berkesempatan melepas
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

57

beliau pergi selama-lamanya. Sesampai saya di rumah, saya dapati adinda Djamilah dan ibunda Raiyah sedang menangis. Pelayat-pelayat sudah banyak laki-laki dan perempuan. Ada yang membawa beras, ada yang membawa kain kafan, dan perlengkapan jenazah lainnya. Saya pun tidak mampu membendung air mata sedih dan penyesalan. Tetapi saya sadar, bahwa saya adalah anak laki-laki yang tertua yang ada di sisi beliau. Saya tidak boleh larut dalam kesedihan dan penyesalan. Dalam situasi seperti itu saya harus berbuat sesuatu yang perlu dilakukan. Pertama-tama adalah saya minta izin ke ibunda Raiyah untuk pergi ke kantor pos Bukittinggi mengirim telegram kepada kakanda A. Tadjuddin yang berada di Pekanbaru, menyampaikan berita duka ini. Waktu itu komunikasi yang tercepat hanya telegram, sedangkan telepon, telex, fax, internet, SMS dan lain-lain seperti sekarang belum ada. Sekembali saya dari mengirim telegram, orang-orang di rumah duka sedang membicarakan tentang pemakaman beliau. Untuk menunggu kedatangan kakanda A.,Tadjuddin dari Pekanbaru tidak mungkin, karena akan memakan waktu sehari semalam lagi. Kesimpulan ialah pihak kemanakan, anak-anak, dan keluarga dekat lainnya sepakaat untuk memakamkan besok pagi di pemakaman suku beliau Simabur dekat dengan rumah kakanda Nurbeiti. Malam itu saya, Nawawi dan Sartuni ikut menginap di rumah itu sambil membaca AlQuran seperti keluarga lainnya. Besok pagi sekitar jam 7.00 kami berangkat ke pemakaman dengan membawa peralatan yang diperlukan. Kira-kira jam 9.00 pagi pekerjaan penggalian pemakaman selesai dan bersamaan dengan itu di dalam rumah, jenazah juga sudah diselamatkan, di kafani, dan di sembahyangkan yang biasanya dilakukan secara bergotong royong oleh pengurus mesjid bersama dengan keluarga terdekat. Setelah diberitahukan bahwa penggalian pemakaman sudah selesai, jenazah segera digotong ketempat pemakaman. Tanpa upacara apapun, jenazah dimasukkan kelobang lahat. Saya hanya membantu pekerjaan kasar saja dengan memegang cangkul di tangan, membantu pekerjaan menggali dan menimbun pemakaman kembali. Belum ada ilmu dan pengertian saya bagaimana semestinya seorang anak bertindak dalam situasi yang seperti itu menurut ajaran agama Islam. Selesai pemakaman kami pulang ke rumah masing-masing, untuk kembali ke pamakaman 3 hari mendatang guna merapikan pemakaman sesuai dengan adat kebiasaan di kampung kita dengan istilah mandakian pasaro. Setiap malam setelah bapak meninggal saya selalu datang ke rumah itu sambil mengaji dan mendampingi ibunda Raiyah rata-rata sampai jam 8.30 malam. Setelah empat malam saya di kampung dan berturut-turut ke rumah ibunda Raiyah, saya ingat lagi asrama di Guguk Pili yang sudah beberapa hari ditinggalkan. Saya merencanakan besok pagi akan kembali ke sana, dan rencana itu saya sampaikan dan sekalian pamit ke ibunda Raiyah malam itu. Alangkah kagetnya saya pagi-pagi besok sudah datang seorang anggota yang tugas piket di asrama itu terburu-buru menjemput saya. Dia melapor kejadian di asrama malam tadi. Mendapat laporan yang tidak disangka-sangka itu saya segera ingin menemui mamanda Ginam selaku Komandan Seksi, untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kebetulan mamanda Ginam tidak berada di Parit Putus, mungkin beliau ada di rumah istri beliau yang kedua yaitu di Sitapung (ibunda Emilia isteri Syukbar). Kampung Sitapung terletak antara Parit Putus dengan Guguk Pili. Mudah-mudahan beliau ada di sana dapat diajak sekalian ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

58

asrama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ternyata di Sitapung beliau pun tidak ada. Diserang oleh Seksi lain karena salah faham Kronologis peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Malam itu kira-kira jam 9.00 asrama kami didatangi oleh beberapa orang tak dikenal dan mengetok-ngetok pintu mintak dibuka. Asrama kami adalah rumah panggung terbuat dari kayu dengan 6 buah anak tangga. Setelah ditanya siapa dan mau apa, mereka tidak menjawab dengan benar dan jelas, karena itu pintu tetap tidak dibuka. Dari dalam asrama meminta supaya mereka datang besok saja, sekarang hari sudah malam. Mendengar jawaban itu rupanya mereka sudah putus asa dan mencoba menakut-nakuti dengan melepaskan tembakan dengan pistol ke udara beberapa kali. Mendengar tembakan itu anak-anak yang piket, sejak tadi sudah siap dengan senjata di tangan masing-masing. Lampu-lampu yang ada di dalam rumah dimatikan. Jendela-jendela yang menghadap ke mesjid dibuka pelan-pelan dan langsung membalas tembakan dengan sten-gun ke arah bunyi letusan tadi. Mendengar balasan itu terdengar dari bunyi langkah kaki mereka berlarian menyebar ke berbagai penjuru. Kepala piket waktu itu adalah Mohamad Nur orang Batu Sangkar. Dia mengambil inisiatif bersama 3 orang anggota turun ke dapur yang menyatu dengan rumah di belakang. Di situ ada pintu keluar. Melalui pintu keluar itu dia bermaksud untuk menyerang balik tamu-tamu tidak diundang tersebut. Ternyata mereka sudah menghilang di kegelapan malam. Besok paginya masyarakat banyak berdatangan menanyakan kejadian malam tadi. Dari kesaksian masyarakat dapat diketahui bahwa tamu-tamu malam itu adalah salah satu Regu dari salah satu Seksi lain, mengetahui bahwa asrama kami sedang sepi, dengan maksud untuk mengambil senjata-senjata kami. Soal curi mencuri senjata, dan lucut-melucuti sering terjadi di masa revolusi. Senjata adalah barang langka dan sangat lux waktu itu. Seksi II memang agak berbeda dibanding dengan seksi-seksi lain. Dibidang anggota kami yang berjumlah 60 orang itu terdiri dari beberapa kecamatan bahkan ada antara Kabupaten, jadi ada keberagaman dan mempunyai unsur kompetesi, sedangkan pada dua seksi lainnya, anggotanya hanya intern kewalian paling-paling intern kecamatan. Dalam bidang managemen, kami mempunyai Komandan Seksi dan Wakil Komandan Seksi, yang masing-masing mempunyai job description yang jelas. Saya sebagai orang yang diserahi tugas dan tanggung jawab di lapangan saya laksanakaan tugas tsb, dengan penuh tanggung jawab dan konsentrasi. Tidak pernah diintervensi bahkan tiap-tiap kebijakan dan tindakan saya selalu dipertanggung jawabkan keatasan kami maupun kepihak luar sebagai tindakan Komandan Seksi sendiri. Demikian juga Komanda Seksi, sebagai yang bertanggung jawab bidang logistik memang cocok dengan bakat beliau sebagai orang yang sudah berumur waktu itu. Beliau orang yang cukup dikenal luas ditingkat Kabupaten memudahkan beliau melaksanakan tugas dalam melengkapi kebutuhan logistik kami dalam persenjataan dan konsumsi tambahan seperti lauk-pauk, rokok, dan lain-lain, sesuai kondisi waktu itu. Sedangkan seksi-seksi lain tidak ada yang mengusahakan logistik, sehingga hanya mengharapkan tetesan dari Wali Perang atau Camat Perang saja. Dalam kesejahteraan mereka masih di bawah kami Seksi II. Ukuran kesejahteraan waktu itu adalah rokok. Bila anggota-anggota selalu mendapat pasokan rokok putih (Escort atau Kansas) itu berarati
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

59

sejahtera. Bagi yang tidak sejahtera adalah bila masih menghisap rokok dari daun anau diplintir dengan tembakau. Mungkin motif mereka melakukan itu selain dari ingin mendapatkan senjata juga ada faktor cemburu, tetapi sayang caranya tidak terpuji dan memalukan. Sesampai saya di asrama dan setelah mendapat laporan lengkap dari kepala piket, saya dengan ditemani kepala piket dan seorang anggota dengan senjata pergi melapor kepada Komandan Sektor III/B yang waktu itu sedang berada di Candung. Komandan Sektor prihatin dengan kejadian itu, dan beliau minta kami bersabar, dan menyerahkan penyelesaian peristiwa tersebut kepada Komandan Sektor dan jajarannya. Permintaan ini kami anggap sebagai perintah. Kami tidak melakukan langkah-langkah pembalasan karena, untuk tidak mangkin melebar dan merugikan semua pihak. Beberapa hari kemudian mamanda Ginam datang ke asrama, rupanya beliau mendengar dari orang lain peristiwa itu. Saya laporkan kepada beliau kronologis kejadian sampai pada laporan kami kepada Komandan Sektor dan saran Komandan Sektor kepada kami. Beliau dapat menyetujui langkah-langkah yang telah kami ambil, hanya saja beliau bersyukur bahwa beliau tahu kemudian. Bila pada hari-hari pertama sebelum melapor kepada Komandan Sektor beliau mengetahui keadaan akan lain. Mamanda Ginam mempunyai temperamen yang tinggi dan kejadian seperti itu adalah pantangan beliau. Ditarik ke Markas Kompi Guntur di Sungai Puar langsung dibawah Yusuf Black Cat dan Aga Kartanagara. Allah telah menentukan segala sesuatu sesuai dengan kemauan Nya. Setiap kejadian ada hikmahnya, bergantung kita memanfaatkan hikmahnya atau mengingkarinya. Beberapa hari setelah melapor ke Komandan Sektor, tiba-tiba kami menerima surat perintah dari komandan Kompi Guntur supaya kami sedapat surat perintah itu segera melapor bersama anggotanya dan persenjataannya sesuai dengan daftar-daftar yang disampaikan. Sedapat surat itu saya langsung mencari mamanda Ginam selaku Komandan Seksi untuk minta persetujuannya dan setelah itu kepada Komandan Sekor III/B untuk mendapatkan pertimbangannya. Dari Komandan Sektror saya mendapat penjelasan bahwa latar belakang keluarnya surat perintah itu adalah hasil pertemuan Komandan Sektor III/B dengan Komandan Kompi Guntur beberapa hari yang lalu sewaktu melaporkan kejadian yang menimpa Seksi II di Guguk Pili. Surat perintah itu adalah jalan terbaik untuk Seksi II beserta anggota-anggotanya dibelakang hari. Dengan diterimanya surat pertintah itu secara intern organisasi rasanya sudah tidak ada masalah dan prosedurnya sudah saya lalui. Yang belum dilakukan adalah pemberitahuan/pamit kepada masyarakat yang banyak jasanya selama perjuangan fisik sejak clash kedua awal l949. Untuk menghemat waktu, saya segera pergi menemui pemukapemuka masyarakat khususnya di Guguk Pili melalui mamanda Ilyas St. Sati dan etek Andam (ibu angkat saya) yang sangat dekat dengan saya waktu itu. Setelah saya mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat di Guguk Pili mewakili seluruh anggota Seksi II. Pada hari yang dijadwalkan semula dimana
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

60

seluruh anggota harus hadir untuk menentukan anggota piket minggu berikutnya saya jelaskan peristiwa yang baru saja terjadi dikesatuan kami. Bagi anggota yang baru pulang dari kampung dan tidak mendengar peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu, emosi dan ingin mengadakan perhitungan kepada para penyerang. Setelah dijelaskan bahwa masalahnya sudah diselesaikan oleh Komandan Sektor III/B dan perkembangan status Seksi II selanjutnya, mereka umumnya merasa lega. Setelah pertemuan itu kami masing-masing menyiapkan segala sesuatunya untuk segera berangkat ke Sungai Puar melapor dan bergabung dengan Kompi Guntur. Senjata yang tidak masuk dalam laporan telah diamankan sebelumnya oleh mamanda Ginam di Parit Putus di rumah ibunda saya. Setelah segala sesuatunya siap, kami bersama-sama pamit dengan masyarakat yang telah menampung kami selama beberapa bulan. Ada yang meneteskan airmata kesedihan berpisah dan ada juga menyempatkan diri mengantarkan beberapa kilometer perjalanan menuju Sungai Puar. Saya sangat terharu melihat partisipasi masyarakat yang lugu kepada perjuangan kami yang saya anggap tidak seberapa itu. Insya Allah satu ketika ada kesempatan untuk berterima kasih kepada mereka dengan suatu karya nyata. Amin !.

3. Foto Veteran tahun 1996

Sesampai kami di markas Kompi Guntur di Sungai Puar, saya melapor ke piket jaga. Dari piket jaga kami mendapat kabar bahwa sudah ada pesan dari Komandan Kompi, bila kami sudah datang supaya dibawa langsung ke asrama yang sudah disiapkan. Kami ditempatkan disebuah rumah penduduk dipinggir jalan lurus lebih kurang 1 km arah Gunung Merapi dari Simpang pasar Sungai Puar. Dari piket jaga saya mendapat informasi bahwa Komandan Kompi Guntur pak Yusuf Black Cat sejak beberapa hari lalu sedang berada di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

61

Padang, jadi tidak ada ditempat. Malamnya saya datang ke rumah pak Aga Kartanagara Wakil Komandan Kompi Guntur melaporkan kedatangan kami sekalian minta pengarahan selanjutnya. Dari pak Aga Kartanagara saya mendapat penjelasan bahwa Seksi II tadinya di bawah organisasi Sektor III/B, maka sejak hari itu dimasukkan kedalam struktur Kompi Guntur. Dalam waktu dekat anggota kami akan diseleksi dan akan disesuaikan dengan standar Kompi Guntur yang sedang dipersiapkan. Salah satu syaratnya adalah harus bisa tulis baca. Bagi anggota yang tidak lulus test akan dikembalikan ke masyarakat. Bagi anggota yang ragu-ragu untuk berkarir di ketentaraan dapat mengundurkan diri sebelum dibuat laporan ke kesatuan yang lebih tinggi yaitu Batalion. Kepada saya disuruh menginventarisir kembali. Bagi anggota yang sudah mantap akan meneruskan karirnya di ketentaraan diperintahkan untuk terus berlatih, sambil menunggu perekembangan selanjutnya. Informasi ini saya sampaikan kepada anggota-anggota yang sudah tidak utuh lagi sebanyak 60 orang. Waktu masih berada di Guguk Pili sebagian sudah menyatakan mengundurkan diri dan ingin kembali ke profesi mereka sebelumnya.

Semenjak mendengar informasi dan persyaratan itu, maka bagi mereka yang buta huruf dan merasa tidak akan lulus test satu persatu mengundurkan diri. Sisa terakhir tinggal sekitar 40 orang. Hampir 2 bulan kami di sana bergabung dengan Kompi Guntur kami tidak mendengar lagi perkembangan dua seksi lainnya yang sebelumnya berada di bawah Sektor III/B, bersama-sama seksi kami. Yang pasti mereka tidak ada dalam kesatuan Kompi Guntur, kabarnya mereka diarahkan untuk dibubarkan.

xxxxx

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

62

8. MASA PENYERAHAN KEDAULATAN RI (27 Desember l949)


Perundingan perdamaian yang digelar di Negeri Belanda dikenal dengan Perundingan Meja Bundar berjalan lancar. Pada tanggal 27 Desember l949 dicapai kesepakatan bahwa Pemerintah Belanda setuju menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia sepenuhnya yang teknis pelaksanaanya dilakukan secara berangsur-angsur mulai tanggal disepakati tersebut. Dengan tercapainya persetujuan itu, berakhirlah perjuangan fisik yang selama lebih empat tahun saya ikut aktif. Saya mulai berpikir masa depan, karena ada dua jalan yang bisa saya tempuh. Jalan pertama ialah tetap di ketentaraan seperti yang sedang dijalani dengan resiko tidak akan ada dinamika kehidupan pribadi yang bisa dikembangkan. Jalan lain ialah meninggalkan ketentaraan kembali ke Johore Bahru meneruskan sekolah yang terhenti karena gejolak yang terjadi selama lebih kurang 5 tahun. Resikonya adalah harus berani menghadapi tantangan hidup di negeri orang. Dua masalah ini lama menggantung dalam pikiran saya tidak terselesaikan. Dari Gunung Merapi pindah ke Bukittinggi Selama di Sungai Puar kehidupan ketentaraan terasa sekali khusus dalam bidang disiplin. Berbeda dengan kehidupan sewaktu masih di Sektor III/B dulu. Pagi-pagi jam 6.00 mesti apel pagi. Setelah apel pagi, olah raga biasanya tiga hari dalam semiggu lari pagi sampai ke Koto Baru pulang pergi. Jarak dari asrama ke Kota Baru kira-kira 3 km. Tiga hari lagi dengan bersenam di tempat, dan satu hari untuk pekerjaan kebersihan seperti mencuci pakaian masing-masing, membersihkan asrama, dan lain-lain. Sore jam 5.30 apel sore namanya. Bagi yang tidak hadir dalam apel sebanyak 3 kali sangsinya adalah dapat tamparan sekali. Kehidupan seperti itu rutin kami jalani lebih kurang sebulan, setelah itu kami mendapat perintah untuk pindah ke Bukittinggi. Di Bukittinggi kami ditempatkan di kampung Tarok, kira-kira 500 meter dari Simpang Tarok ke arah kampung Tigobaleh. Jumlah kami waktu itu tinggal 40 orang saja lagi, sedangkan yang lain sudah mengundurkan diri dengan kesadaran sendiri. Tidak ada uang pesangon, maupun uang jasa waktu itu sebagaimana yang banyak dituntut orang sekarang. Paling-paling mereka hanya mendapat sepucuk surat keterangan bahwa yang bersangkutan adalah anggota Seksi II Sektor III/B sejak tanggal sekian sampai tanggal sekian, dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya. Hanya itu saja, tidak ada pikiran waktu itu mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun, tidak juga mengharapkan bintang jasa dan lain-lain, betul-betul Lillaahi Taala. Setelah beberapa hari kami masuk kota Bukittinggi, saya dipanggil oleh pak Aga Kartanagara ke rumah beliau yang hanya berjarak kira-kira 700 meter dari asrama kami. Sesudah Magrib, malam itu saya datang ke rumah beliau sendirian, menanyakan barangkali ada hal-hal yang akan beliau katakan kepada saya. Rupanya beliau ingat pembicaraan kami sewaktu beliau masih tinggal di Bukit Batabuh dulu, bahwa saya ingin kembali ke Johore Bahru meneruskan sekolah saya yang terhenti bila situasi mengizinkan. Tidak ada pembicaraan khusus malam itu kecuali obrolan biasa. Rupanya beliau rindu kampung halaman, tidak ada orang yang akan diajak bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Kami
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

63

mengobrol dalam bahasa Melayu, jadi banyak sedikit mengobati kerinduan beliau ke kampung halaman beliau di Pahang yang sudah hampir 6 tahun beliau tinggalkan. Waktu itu saya ulangi kembali keinginan saya untuk pulang ke Johore Bahru, dengan harapan sebentar lagi negara kita Insya Allah sudah aman. Beliau menjawab, sabarlah dulu nanti kalau sudah datang waktunya kita sama-sama pulang, abang juga sudah rindu mau pulang. Alangkah senangnya hati saya mendengar kata-kata beliau menyebut diri beliau sebagai abang kepada saya. Ini memperlihatkan bahwa beliau sudah menganggap saya sebagai adik. Keinginan bersekolah dalam pikiran saya tidak pernah hilang. Saya kalau melihat anakanak pulang sekolah sambil bercanda ria, hati saya terenyuh, karena saya tidak mendapat kesempatan bersekolah seperti anak-anak yang saya lihat itu. Tidak lama setelah itu dari seorang teman saya mendapat kabar bahwa di SMA Birugo ( SMA I sekarang ) sedang membuka pendaftaran untuk murid-murid yang ingin sekolah di SMA sore. Setelah mendengar kabar itu saya segera mendaftar dan Alhamdulillah saya diterima dikelas I. Saya sudah senang dapat diterima sekolah disitu disamping tugas ketentaraan saya tidak terganggu. Kesempatan untuk pergi latihan ke Cimahi sebagai salah seorang Wakil dari Brigade Banteng Setelah beberapa bulan sekolah disitu dan sedang senang-senangnya belajar saya diminta datang lagi oleh pak Aga Kartanagara ke rumah beliau. Beliau menceritakan bawa sekarang ada kesempatan mengirim beberapa anggota untuk dilatih di Cimahi Bandung. Kompi Guntur mendapat jatah 2 orang dari 24 orang jatah untuk Brigade Banteng. Beliau tidak secara tegas menawarkan kesempatan itu kepada saya dengan maksud ada reaksi positif dari saya. Tetapi saya tidak tertarik dengan informasi tersebut, bahkan saya sampaikan lagi maksud saya akan pergi ke Johore Baharu untuk sekolah. Mendengar reaksi saya itu beliau hanya senyum dan mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain-lain saja. Beberapa hari setelah itu kakanda A. Tadjuddin pulang dari Pekanbaru bersama seluruh keluarga. Ini berarti beliau akan berada di kampung untuk masa yang agak lama. Hubungan saya dengan kakanda A. Tadjuddin sangat dekat sekali. Beliau memperhatikan saya dari yang sekecil-kecilnya sampai yang besar. Sewaktu kami masih di Batu Empat Kota Tinggi beliaulah yang banyak menghibur dan memberikan pedoman hidup kepada saya. Kalau membangunkan saya tidur untuk salat Subuh beliau lakukan dengan lemah lembut dan dengan ciuman sayang. Tidak pernah marah apalagi memaki-maki. Kalau saya berbuat kesalahan atau ada yang tidak sesuai dengan beliau selalu dilakukan dengan nasihat dan perbandingan buruk dan baiknya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan bapak saya. Sampai dihari tua kami, kami tetap dekat bahkan tidak terasa bahwa antara kami hanya saudara satu bapak. Sakit beliau terasa sakit saya, senang beliau pun terasa senang saya, demikian sebaliknya. Tidak pernah ada konflik antara kami sampai pada saat kami berpisah untuk selama-lamanya. Semoga Allah menghampuni segala dosa beliau dan menerima segala amal ibadahnya. Amin ! Sehari setelah beliau sampai di kampung, saya datang menemui beliau di Parit Putus. Waktu itu saya masih tinggal di asrama di Tarok Sepulang saya dari sekolah kira-kira pukul 6.00 petang kami bertemu dan bicara-bicara sebentar. Waktu Magrib tiba, kami pergi ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

64

mesjid untuk bersembahyang berjemaah. Selesai sembahyang pembicaraan kami yang tadinya terputus kami lanjutkan lagi duduk di atas rel kereta api yang terbentang panjang di kampung kita. Mengobrol di atas rel kereta api sudah menjadi model di kampung kita waktu itu, biasanya antara jam 4.00 sore sampai kira-kira jam 8.00 malam sambil makan kacang goreng. Pembicaraan kami berkisar cerita pengalaman selama tidak bertemu dan tentang kepergian bapak meninggalkan kami selama-lamanya. Akhirnya beliau menyatakan kebanggaan beliau bahwa saya dalam umur yang relatif muda/kecil dapat berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara di kampung kita. Selanjutnya beliau bertanya rencana saya untuk masa depan, apakah akan tetap di ketentaraan atau ada rencana lain? Kepada beliau saya sampaikan keluhan saya bahwa sampai hari itu saya belum menemukan jawaban antara dua pilihan yang mungkin terbuka. Yaitu tetap di ketentaraan dengan karir yang sudah jelas dan terukur, tetapi tidak punya dinamika, atau keluar dari ketentaraan dengan penuh dinamika dan tantangan dengan hasil juga tidak terduga. Beliau menjawab, syukurlah sudah dipikirkan, mudah-mudahan Allah Swt menunjuki jalan yang terbaik menurut Nya. Tetapi menurut saya kata beliau, saya tidak melihat persoalan ini dari dinamika dan resiko karena segala sesuatu sudah ditentukan Allah Swt. Saya melihat, kata beliau, dari segi senjata yang kamu pegang sekarang. Kalau dulu diwaktu perjuangan fisik melawan penjajah senjatamu ini dihadapkan ke arah Belanda yang jelas-jelas musuh kita, tetapi sekarang Belanda sudah pulang ke negerinya, kepada siapa senjatamu ini akan kamu hadapkan, bukankah kepada bangsa sendiri? Tersentak saya mendengar kata-kata yang tidak saya duga dari kakanda A.Tadjuddin. Lama saya termenung sambil mencari jawaban. Akhirnya saya katakan benar kata-kata abang itu dan dalam sekali artinya. Insya Allah akan saya pikirkan dan dalam waktu singkat mudahmudahan ketemu jawabannya. Sejak pembicaraan malam itu ingatan saya kembali kepengalaman selama clash kedua, bagaimana rakyat yang lugu dan miskin membantu perjuangan kemerdekaan tanpa mengharapkan sesuatu kecuali kemerdekaan. Alangkah sadisnya saya kalau senjata yang dibiayai dengan uang rakyat itu harus dihadapkan kepada mereka. Tidak sampai sebulan setelah pertemuan dengan kakanda A.Tadjuddin itu, saya sudah sampai pada satu keputusan yaitu meninggalkan ketentaraan secepatnya. Keputusan ini saya sampaikan kepada mamanda Ginam selaku Komandan Seksi. Dari wajah beliau kelihatan kecewa. Setelah saya jelaskan maksud saya akan pergi sekolah ke Malaysia, beliau dengan berat hati melepas dan menerima keberhentian saya. Untuk menggantikan posisi saya sebagai Wakil Komandan Seksi, saya usulkan kepada beliau supaya mengangkat Rujai bekas Giu Gun yang pada waktu clash kedua tidak ikut bergerilia. Usul ini beliau setujui dan segera saya serah terima dengan Rujai, dengan pangkat yang sama dengan saya yaitu Sersan Mayor. Keputusan saya ini saya sampaikan kepada pak Aga Kartanagara di rumah beliau. Langkah-langkah penggantian saya dengan Rujai dapat beliau setujui. Mendengar keputusan saya ini beliau juga kecewa, tapi mendukung dan mendoakan saya berhasil dengan pesan nanti kalau sudah sampai di sana segera mengirim surat. Keesokan harinya saya bawa Rujai ke rumah beliau untuk perkenalan dan memudahkan proses administrasi selanjutnya. Kelihatannya begitu mudah proses pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian di ketentaraan waktu itu. Memang itu adalah kenyataan,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

65

karena waktu itu belum ada NRP (nomor pokok), belum ada penggajian, uang lauk-pauk, fasilitas pakaian, dan lain-lain. Proses pemberhentian dan penggantian saya dengan Rujai kelihatan sudah selesai. Tetapi hubungan saya dengan mamanda Ginam yang terbina sejak lama menjadi retak. Dari teman-teman, saya mendengar bahwa beliau mengatakan, si Tamam berhenti karena mau menjadi duta di Malaysia. Ejekan ini saya terima dengan lapang dada tanpa memberikan reaksi sedikitpun, setiap kali saya bertemu dengan beliau saya tetap hormat dan menegur seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Sambil menunggu kepastian keberangkatan saya ke Malaysia, saya masih tetap bersekolah di SMA Petang Birugo. Untuk menutupi belanja saya, saya aktif membantu ibunda di warung nasi beliau di simpang Parit Putus. Alhamdulillah warung nasi beliau termasuk yang ramai. Pelanggan beliau tidak saja orang Parit Putus, tetapi juga orang dari kampung-kampung sekitarnya seperti Surau Pinang, Batang Buo, Garegeh, dan lain-lain. Waktu itu saya mempunyai sebuah mesin tik antik. Dari mana asal mesin tik itu saya sudah lupa, rasanya diberi oleh seseorang. Mesin tik itu ukurannya sebesar mesin tik portable, hanya saja mesin tik sekarang ada empat garis tutsnya, sedangkan yang itu hanya tiga. Mesin tik itu saya tawar-tawarkan untuk didjual untuk bekal ongkos pergi ke Malaysia. Hanya ada seorang yang menawar murah, saya masih bertahan dengan harapan ada penawar yang lebih tinggi dari itu. Menjual Mesin Tik untuk modal ke Malaysia. Sejak berhenti dari ketentaraan saya menganggur di kampung kira-kira 2 bulan lamanya. Pagi-pagi sampai jam 1.00 siang membantu ibunda dagang di warung nasi beliau. Setelah itu saya pergi sekolah di SMA petang di Birugo. Banyak teman-teman dan orang tua menyesali saya, kenapa saya berhenti dari tentara, sekarang dagang nasi di kampung, kan menyesal sendiri. Ocehan-ocehan begitu di kampung kita sudah menjadi makanan sehari-hari, sampai ada pemeo kereta api yang mendaki napasnya yang sesak Maksudnya, dia sibuk mengurusi urusan orang lain yang tidak ada hubungan dengan urusan dia. Lama-lama panas juga kuping saya mendengar ocehan seperti itu. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke Malaysia melalui Pekanbaru. Saya sampaikan maksud saya ini kepada ibunda. Ibunda sudah tahu bahwa saya sejak lama ingin pergi ke Malaysia, ingin bersekolah di sana. Mesin tik ditawar-tawarkan belum juga laku terpaksa saya menanyakan uang kepada ibunda seberapa ada. Kebetulan beliau menabung uang dalam tabungan bambu yang disisihkan dari penjualan setiap hari untuk menutupi keperluan mendadak. Beliau ambil tabungan bambu itu lalu dibelah dihadapan saya dan dihitung bersama berapa uang yang ada di dalamnya. Beliau sisihkan sedikit, selebihnya beliau berikan kepada saya. Cara demikian umumnya orang-orang dulu menabung, tidak seperti sekarang, ada bermacam-macam tabungan disediakan di Bank-bank. Setelah dapat uang tersebut, jumlahnya saya lupa, tetapi saya yakin dengan uang sebesar itu paling-paling cukup untuk sampai ke Malaysia saja. Belum ada bekal untuk hidup sebulan di rantau orang. Mau tidak mau mesin tik harus dijual walaupun ditawar murah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

66

orang penawar satu-satunya itu. Besoknya saya datangi lagi orang yang menawar mesin tik beberapa waktu yang lalu, menanyakan apakah dia masih ada minat untuk membeli mesin tik yang saya tawarkan dulu. Alhamdulillah kebetulan dia masih berminat dengan harga yang telah ditawarnya, dan tidak mau menambah lagi. Saya setujui penawarannya dan saya jemput mesin tik itu ke kampung dan saya antarkan ketempatnya. Uang pun saya terima, saya ucapkan terima kasih dan bergegas pulang ke kampung. Malamnya saya pamit dan mohon doa kepada ibunda Raiyah, kakanda A. Tadjuddin, nenek kandung, dan ibu kandung saya sendiri, bahwa saya besok akan pergi ke Malaysia melalui Pekanbaru. Nenek hanya tertunduk sedih, dan ibunda tegar sambil memberi nasihat-nasihat, terutama mengenai sembahyang jangan sekali-kali dilupakan, kata beliau. Pagi-pagi sekali nenek sudah bangun memasak nasi untuk dibungkus dengan lauk telur goreng balado guna bekal di jalan, kata beliau. Beliau siapkan empat bungkus untuk persiapan dua hari makan.

*****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

67

9. BELAJAR MANDIRI TUJUAN MALAYSIA (Pertengahan l950)


Pagi-pagi kira jam 7.00 saya sudah pergi ke Bukittinggi ke loket bus yang akan berangkat ke Pekanbaru. Di sana sudah ada beberapa orang yang akan berangkat ke Pekanbaru sedang sibuk mengurus barang-barang daganganya. Saya mengobrol dengan salah seorang pedagang sayur yang sudah biasa pulang pergi ke Pekanbaru. Ke sana dia membawa sayur-mayur, dan pulangnya membawa barang-barang tekstil. Tekstil di Pekanbaru jauh lebih murah dibanding dengan Bukittinggi, yang berasal selundupan dari Singapore. Dia juga menceritakan laba yang akan dia peroleh dari transaksi itu. Biasanya orang-orang yang datang ke loket pagi-pagi itu adalah pedagang yang mengurus barang dagangannya sedangkan penumpang biasa datangnya siang-siang, karena bus baru berangkat sore. Khusus untuk para pedagang disediakan tempat dalam bus di kursi bagian belakang dengan tarif yang lebih murah dibanding dengan penumpang biasa. Dia menanyakan saya membawa barang dagangan apa ke Pekanbaru, saya bilang saya akan mencari pekerjaan di Pekanbaru atau kalau ada peluang mau pergi ke Singapore. Dia bilang kenapa tidak bawa barang dagangan sedikit untuk menutup-nutup ongkos jalan. Saran ini masuk akal juga, saya katakan saya tidak bisa dagang dan tidak tahu beli barang apa disini untuk dijual di Pekanbaru? Kalau mau, beli saja sayur-mayur disini seperti saya, nanti disana sama-sama kita jual di tempat langganan saya. Setelah bicara begitu, dia minta izin pergi karena masih ada keperluan lain, nanti kembali jam 2.00 petang pada saat bus akan berangkat. Mendengar cerita teman baru tadi, tergiur juga hati saya untuk mencoba, siapa tahu bisa menambah-nambah bekal. Kebetulan hari itu hari Sabtu yaitu pasar Bukittinggi sedang ramai. Seperti diketahui bahwa di Bukittinggi hanya ramai pada hari Sabtu dan hari Rabu. Saya lihat jam masih pagi kira-kira pukul 9.00 masih ada waktu untuk pergi membeli sayur ke pasar bawah tempat khusus orang menjual sayur dalam partai besar. Tanpa pikir panjang saya beli rupa-rupa sayur sebanyak 4 keranjang dengan berat kira-kira yang 100 kg. menghabiskan lebih kurang 40% dari uang bekal yang ada disaku saya. Selesai membayar sayur tersebut saya upahkan ke tukang gerobak untuk membawanya ke terminal bus, dan menaikkannya ke atas atap bus bersatu dengan barang-barang dagangan orang lain Dalam pikiran saya sudah mulai menghitung-hitung laba. Kalau bisa berlaba 40% saja seperti yang diceritakan teman baru tadi maka uang saya akan menjadi sekian. Setelah sayur ini terjual di Pekanbaru langsung beli lagi tekstil untuk dibawa ke Bukittinggi, dapat lagi laba sekian puluh persen. Angan-angan ini akan merobah rencana ingin sekolah selanjutnya. Kalau benar seperti itu maka sebelum berangkat ke Malaysia baik juga ini dikerjakan dulu agak beberapa trip untuk mendapatkan bekal yang lebih banyak. Waktu itu perjalanan ke Pekanbaru memerlukan waktu dua malam dan sehari. Berangkat dari Bukittinggi sore, sampai disana baru lusa paginya subuh-subuh. Perjalanan ke Pekanbaru melalui tiga pelayangan. Pelayangan adalah cara untuk menyeberangkan bus atau kendaraan lainnya ke seberang sungai yang relatif lebar. Waktu itu belum ada jembatan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendaraan-kendaraan dinaikkan ke atas rakit besar terbuat dari balok-balok kayu besar dan papan- papan tebal sebagai lantainya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

68

dengan kapasitas dua buah bus. Rakit ini diikatkan menggunakan kabel baja melintasi sungai dari arah hulu jarak dengan rakit kira-kira 20 meter. Dengan bantuan arus air sungai, dan bantuan penjaga rakit mengunakan kayu galah, mendorong rakit ke dasar sungai. Rakit berjalan perlahan-lahan menyeberangi sungai. Antara Bukittingi dan Pekanbaru ada tiga penyeberangan sungai yang menggunakan jasa rakit ini. Ditiap-tiap penyeberangan biasanya bus-bus antri menunggu gilirannya antara 2 sampai 3 jam. Sampai di Pekanbaru masing-masing pedagang berdiri di sebelah bus, menunggu barang dagangannya diturunkan oleh knek bus satu persatu dari atap bus. Barang-barang dagangan teman baru saya sudah diturunkan. Dia ikut menunggu barang dagangan saya untuk bersamasama pergi ke langganannya menjual bawaan kami. Giliran barang dagangan saya yang diturunkan, terdiri dari 4 keranjang bambu. Alangkah terperanjatnya saya waktu melihat sayur-mayur dagangan saya didalam keranjang sudah penyet dan rusak berat, akibat dihimpit-himpit dengan barang-barang orang yang naik dan datang kemudian. Teman baru saya mencoba meng claim kepada sopir bus, akibat kecerobohan knek bus mereka saya dirugikan cukup besar. Tetapi apalah artinya soal claim waktu itu tidak akan ada artinya kecuali menambah sakit hati saja. Akhirnya saya bawa juga sayur-mayur yang sudah rusak itu ke langganan teman baru saya itu. Kasihan kepada saya dan menimbang perasaan teman baru saya sebagai langganan lamanya sayur-mayur yang sudah penyet dan rusak berat itu dibelinya juga dengan separoh harga dari semestinya. Setelah uang saya terima dan saya hitung-hitung, ternyata saya menderita kerugian kira-kira 20% dari harga beli semula. Ini adalah pengalaman pahit pertama yang harus saya jadikan pelajaran dalam hidup ini. Bukannya untung yang diperoleh tetapi buntung jadinya. Saya melupakan pepatah Inggeris yang mengatakan think before you speak, look before you leap. Di Pekanbaru saya menompang di rumah orang kampung kita yang membuat terompa kayu disana. Dia sudah lama dan hidup membujang disana sedangkan keluarganya tinggal di kampung. Soal makan tidak begitu susah dan saya pun tahu diri untuk ikut share dalam pembelian bahan baku makanan sedangkan pekerjaan dapur dikerjakan bersama. Sudah seminggu saya disana, belum ada titik harapan yang bisa ditindak lanjuti. Uang belanja semangkin hari semangkin berkurang, dan tidak lama lagi akan habis. Saya selalu berdoa semoga mendapat petunjuk dari Allah Swt. Nasehat dari Residen Riau Djamin Datuk Bagindo. Waktu masih di Bukittinggi saya mendengar bahwa Zahar Murad orang Tanjung Alam bekerja di PT Malindo Pekanbaru. Pada suatu hari saya berjalan-jalan di Pasar Bawah, Pekanbaru, tempat banyak perusahaan-perusahaan berkantor waktu itu. Kebetulan saya melihat ada merek PT. Malindo Importir dan Eksportir di salah satu toko bertingkat dua.. Saya masuk kantor itu dan menanyakan nama Zahar Murad. Alhamdulillah benar dia ada, dan bekerja di situ. Zahar adalah teman sekolah saya di KSM sore (Kursus Sekolah Menengah) di Lambah Bukittinggi, dan kampung kami bersebelahan. Kami sering mainmain dan jalan-jalan bersama sebelum clash kedua. Setelah clash kedua kami berpisah, saya pergi bergerilia ke gunung Merapi dan dia masuk kota untuk melanjutkan sekolahnya.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

69

Dia pun kaget melihat saya, dan dia menyangka saya sudah menjadi tentara benaran. Lama kami curahan hati masing-masing selama tidak bertemu, dan tidak lupa saya menanyakan kalau-kalau di kantornya ada lowongan kerja yang cocok untuk seorang bekas geriliawan seperti saya. Dia bercerita, bahwa PT Malindo sekarang sedang krisis dengan saudaranya, dan kemungkinan waktu dekat mereka akan pisah dan assetnya akan dibagi antara dua bersaudara. Zahar menyuruh saya bersabar, karena sekarang waktunya tidak tepat untuk melamar. Dia menyarankan supaya saya menemui pak Djamin Datuk Bagindo yang menjadi Residen di Riau waktu itu. Dia tunjukan rumah pak Djamin Datuk Bagindo yang tidak jauh dari kantornya. Saran itu saya jadikan informasi yang Insya Allah akan saya tindak lanjuti. Setelah kami lama mengobrol kami pun pisah. Djamin Datuk Bagindo adalah orang Koto Tuo paman Krisna Dahlan (adik sebapak Nurbeiti) Saya belum pernah kenal beliau sebelumnya, tetapi saya tahu bahwa beliau adalah paman Krisna Dahlan. Salah satu sore saya beranikan diri datang ke rumah beliau di Pekanbaru untuk berkenalan dan sekalian minta saran sebagai orang berasal dari satu kecamatan. Tidak disangka setelah saya memperkenalkan diri saya dan sedikit riwayat sekolah dan perjuangan saya selama clash ke dua di Bukit Batabuh. Kelihatannya beliau respek. Saya katakan bahwa saya bermaksud akan kembali ke Johore Bahru untuk melanjutkan sekolah di English College School. Mendengar rencana saya itu beliau termenung sebentar. Beliau menjawab itu bagus, hanya saja beliau mendengar dari radio bahwa Singapore sejak 2 hari lalu sedang bergolak. Banyak mobil-mobil dan rumah-rumah dibakar oleh masyarakat. Yang memicu pergolakan tersebut adalah, ada seorang bayi anak orang Melayu yang kurang mampu diambil menjadi anak angkat oleh orang Inggeris dan di Baptis menjadi kristen. Perlakuan ini menyebabkan orang-orang Melayu dan agamanya merasa dihina oleh orang Inggeris. Mungkin ini hanya penyebab saja, sedangkan pemicu utama mungkin sentimen terhadap bangsa Inggeris sebagai bangsa penjajah. Waktu itu Pemerintah Singapore dan Pemerintah Malaysia masih satu. Kalau sekarang kamu kesana, kamu akan terlibat kedalam pemberontakan yang tidak tahu kapan selesainya. Nasihat beliau ialah kalau kamu benar-benar mau sekolah pergilah ke Jawa, disitulah tempat yang tepat untuk belajar, boleh memilih bidang apa saja ada di sana. Mendengar nasihat beliau itu, datang dari seorang Residen yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas di Pemerintahan patut sekali diperhatikan dan diindahkan. Akhirnya 3 hari setelah itu saya putuskan untuk mengikuti nasihat beliau untuk pergi ke Jawa. Sebelum berangkat pulang saya ingat lagi pada teman baru saya di terminal bus Bukittinggi dulu, bahwa dia kalau pulang ke Bukittinggi membawa tekstil sebagai barang dagangan dengan keuntungan menggiurkan. Timbul lagi keinginan untuk mencoba membawa tekstil agak sedikit dengan harapan mudah-mudahan dapat menutup sebagian kerugian sayur-mayur yang lalu.

PT. Malindo tempat Zahar Murad bekerja adalah salah satu perusahaan importir tekstil dari Singapore. Sebelum saya berangkat pulang ke Bukittingi, saya mampir dulu ke Kantor PT Malindo untuk sekalian pamit dan memberitahukan hasil pertemuan saya dengan pak Djamin Datuk Bagindo. Saya katakan bahwa nasihat pak Djamin Datuk Bagindo telah merobah total rencana saya dan saya segera akan pulang ke Bukittinggi untuk terus ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

70

Jakarta. Sambil mengobrol dengan Zahar mata saya tertuju ke persediaan tekstil yang tersusun rapi di lemari-lemari etalase yang ada disitu. Keinginan untuk mencoba membawa beberapa piece ke Bukittinggi sebagai barang dagangan timbul lagi. Kerugian beberapa hari yang lalu seakan-akan sudah terlupakan. Persediaan uang sudah menipis. Dengan membeli beberapa piece saja, uang sudah hampir habis, tinggal untuk ongkos bus dan makan di jalan saja lagi. Akhirnya saya beli juga beberapa piece dan minta dipak dengan baik supaya tidak rusak dalam perjalanan. Selesai membayar invoice yang diajukan saya pamit kepada Zahar dan menggendong tekstil yang sudah dipak rapi terus ke terminal bus yang akan berangkat ke Bukittinggi. Putar Haluan ke Jakarta. Pagi-pagi lusanya saya sampai di Bukittinggi. Sebelum pulang ke kampung, saya mampir dulu ke toko teman saya orang Bonjol Alam di pasar Atas Bukittinggi membawa kain yang saya beli dari Pekanbaru itu. Saya titipkan disana harga pokok saya sebutkan 20% diatas harga beli sesungguhnya. Berapa lebihnya laku dari harga pokok itu, nanti kita bagi dua. Pembungkus tekstil tersebut saya buka dan saya serahkan kepada teman tersebut, setelah itu saya pun pulang ke kampung. Sesampai di kampung banyak mata tertuju ke saya. Ada mata bertanya-tanya ada juga mata mengejek. Semua itu saya abaikan dan sesampai di rumah saya sampaikan kepada ibu saya, nasihat dari Residen Riau itu. Kepada beliau saya katakan bahwa saya tidak akan lama di kampung dan akan segera berangkat menuju Jakarta. Saya tidak menceritakan kepada beliau tentang kerugian yang saya derita akibat perdagangan sayur yang saya lakukan, takut akan menganggu pikiran beliau. Malamnya saya menemui ibunda Raiyah dan Abang A. Tadjuddin. Saya menceritakan perjalanan saya ke Pekanbaru hampir 2 minggu, dan nasehat pak Djamin Datuk Bagindo kepada saya. Beliau mendukung nasehat itu, dan menyarankan kepada saya supaya melaksanakannya dengan tabah. Nasehat Datuk Bagindo itu merupakan rencana jangka panjang. Beliau hanya membantu dengan doa, tidak dapat membantu dengan keuangan karena beliau sendiri waktu dalam keadaan menganggur. Waktu saya pamit akan pulang beliau masuk ke dalam kamar dan keluar membawa sepasang sepatu baru merek barret warna kuning. Sepatu barret waktu itu adalah yang termahal dan kebetulan sesuai dengan kaki saya. Besoknya saya pergi ke toko teman saya di Bukittinggi tempat saya menitipkan tekstil yang saya bawa dari Pekanbaru dua hari yang lalu. Di sana lagi-lagi saya menelan pil pahit. Menurut teman saya itu, kain tekstil yang saya bawa tidak ada yang menawar karena motifnya sudah ketinggalan. Dia minta saya mengambil kembali tekstil itu dan menawarkan ke empat lain, mungkin ada yang mau. Mendengar keterangan teman saya itu saya betulbetul terperangah. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya. Melihat saya terperangah itu dia menanyakan, kenapa saya seperti terpukul betul, ada apa ? katanya kepada saya. Saya terpaksa berterus terang kepadanya. Bahwa uang hasil penjualan tekstil ini adalah untuk ongkos saya pergi ke Jakarta mengadu nasib. Dia adalah teman baik saya, rasanya tidak mungkin dia membohongi saya dan dia sejak kecil berdagang tekstil mengikuti orang tuanya. Untuk mengambil kain itu dan menawarkan ke tempat lain saya agak pesimis, karena
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

71

biasanya orang dagang di Bukittinggi mau mengambil barangnya dan bayarnya kemudian, dana itu bisa berbulan-bulan. Lebih susah lagi nanti. Akhirnya saya minta tolong kepada teman saya itu untuk meminjami saya uang separoh dari harga pokok saya untuk ongkos saya ke Jakarta, nanti kalau sudah terjual kita perhitungkan lebihnya. Lama dia berpikir dan akhirnya dia bilang akan bicarakan dulu dengan bapaknya, kalau bisa besok kembali lagi bisa atau tidaknya. Malam itu tidak hentihentinya saya menyesali diri saya atas kebodohan saya dan selalu berdoa semoga saya sabar menghadapi tantangan dan cobaan ini. Besoknya saya datang lagi, kebetulan ada bapaknya di toko itu. Kepada bapaknya saya ulangi lagi maksud saya minta tolong seperti yang saya kemukakan kepada teman saya kemarin. Alhamdulillah bapaknya setuju dan langsung memberikan uang kepada saya yang jumlahnya saya lupa. Kalau saya hitung-hitung waktu itu kira-kira dua kali harga ticket kapal dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok di kelas deck. Sampai sekarang saya tidak tahu berapa sebetulnya kain itu dia jual dan tidak pernah ada perhitungan. Mudah-mudahan saja dia tidak rugi dengan meminjamkan uang kepada saya separoh dari harga beli saya. Kalau seandainya berlebih saya relakan dunia akhirat karena saya merasa sudah dibantu pada saat saya perlu kan. Waktu itu orang kampung kita yang ada di Jakarta baru ada satu orang, yaitu mamanda Yubhar (masih famili mamanda Ginam). Saya datangi keluarga beliau di kampung menanyakan apakah ada titipan untuk di bawakan karena saya besok akan pergi ke Jakarta. Malamnya saya mempersiapkan barang-barang yang akan saya bawa. Pakaian saya seluruh Nya hanya tiga stel, baik pakaian luar maupun pakaian dalam. Dua stel saya masukkan ke dalam tas kulit jinjing yang sudah robek sedikit. Saya bawa selimut dari kain marekan / grey yang sampai di Padang saya sulap menjadi baju kemeja, dan sebuah topi ala topi spy dizaman dulu. Sebagaimana biasa, saya pamit kepada ibunda Raiyah, abang A. Tadjuddin dan keluarga, ibu kandung dan nenek kandung saya, nenek Upik Itam, dan etek Nursiam (nenek dan ibu Indra). Diantara semua orang yang saya pamiti, tetap saja nenek kandung saya yang sedih melepas saya pergi. Walaupun begitu beliau semua mendoakan saya semoga selamat dan pesan beliau baik-baik dirantau orang, sembahyang jangan lupa. Nenek malam itu bergadang membuat rendang itik untuk bekal saya pergi. Pagi-pagi sudah siap rendang di dalam kaleng dan nasi empat bungkus berisi telur itik goreng balado untuk bekal di jalan.

Saya pun sudah siap berangkat dengan sepatu barret, baju dan celana stelan dari bahan linen yang tipis dan goyang warna pink, itulah pakaian yang sedang model waktu itu, dilengkapi dengan topi spy di kepala. Bawaan saya terdiri dari 1 buah tas kulit jinjing, berisi pakaian, dan satu buah jinjingan terbuat dari daun anau berisi kiriman-kiriman untuk mamanda Yubhar, kaleng rendang dan 4 bungkus nasi. Di Padang saya menompang di rumah teman tempat anak-anak muda dan para penganggur berkumpul. Waktu itu ada lima orang penghuni kamar itu menjadi berenam
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

72

dengan saya. Jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal masih menunggu lima hari lagi. Kami semua makan keluar, tidak masak dirumah, karena teman-teman itu hanya menyewa kamar tanpa dapur. Jadi rendang itik yang disiapkan nenek saya, kami nikmati dengan teman-teman di Padang. Diantara teman-teman yang berlima itu hanya bertiga yang bekerja sedangkan yang dua lagi adalah menganggur. Dalam situasi demikian selaku teman tidak tega juga melihat teman lain tidak merokok dan tidak jajan kalau kita pergi jajan. Tanpa disadari uang yang ada dalam saku tahu-tahu sudah sangat menipis, sehingga untuk pembeli ticket kapal saja sudah tidak cukup. Besok pagi kapal akan datang dan senjanya kapal akan berangkat lagi ke Jakarta sedangkan ticket belum di beli. Kebetulan mamanda Ginam beserta ibu si Epi waktu itu bertugas dan tinggal di Teluk Bayur. Siang itu saya pamit dengan teman-teman dan berangkat menuju Teluk Bayur menompang di rumah mamanda Ginam. Kebetulan Lisma anak gadis beliau sedang ada disitu. Saya ceritakan bahwa saya bertemu dengan pak Djamin Datuk Bagindo di Pekanbaru dan beliau menyarankan kepada saya lebih baik kalau mau sekolah ke Jakarta. Saran ini masuk akal saya, Insya Allah saya besok mau pergi ke Jakarta. Saya mengatakan itu dalam keragu-raguan karena uang untuk pembeli ticket saja belum ada. Saya mengharapkan dapat bertemu dengan bekas anak-anak buah di Seksi II Sektor III/B dulu, untuk meminjam uang mereka pembeli ticket. Saya tanyakan kepada mamanda Ginam dimana asrama mereka. Mamanda Ginam berjanji akan menyuruh mereka datang nanti malam. Waktu itu kira-kira pukul 5.00 sore, dan saya dengar di pasar Teluk Bayur sudah beberapa hari diadakan pasar malam. Sesudah minum teh dan mengobrol sebentar, saya tompangkan barang-barang tentengan saya dirumah mamanda Ginam dan saya permisi mau jalan-jalan melihat pasar malam. Di salah satu stand saya tertarik melihat orang-orang sedang bermain dadu. Permainan dadu adalah sejenis judi dengan tebakan nomor berapa yang menghadap ke permukaan. Bila nomor yang kita tebak yang menghadap ke permukaan, kita dapat bayaran sekian kali lipat dari uang yang kita taro di nomor itu. Waktu itu ada tiga orang yang sedang bermain disitu. Diantara tiga orang tersebut ada seorang dengan tarohan yang tidak begitu besar selalu menang. Setelah saya perhatikan beberapa kali, kali berikutnya saya ikut memasang di nomor yang dipasang orang itu dengan nilai uang lebih kecil dari orang tersebut. Kebetulan saya menang juga. Saya ikut berjudi di stand dadu itu sampai enam atau tujuh kali menang terus. Sudah cukup untuk pembeli ticket kapal dan sedikit buat jajan saya berhenti dan terus pulang ke rumah, karena waktu Magrib sudah tiba. Selesai Shalat Magrib, beberapa orang bekas anak buah di Seksi II datang menemui saya dirumah mamanda Ginam. Sebagian besar mereka masih berpangkat seperti yang saya berikan dulu, belum ada yang naik pangkat. Dari obrolan dengan mereka saya menilai bahwa mereka sudah puas dengan keadaan mereka sekarang. Saya tidak jadi meminjam uang mereka untuk membeli ticket, karena sudah saya peroleh dari pasar malam sore tadi. Mereka masih hormat kepada saya, dan kami mengobrol ke masa lalu dan kira-kira jam 9.00 malam kami berpisah dan saling bersalaman. Semoga Allah memaafkan saya atas uang haram sebagai modal awal saya merantau ke negeri orang. Mudah-mudahan Allah dapat memasukan perbuatan saya ini kedalam kelompok terpaksa atau darurat. Setelah sore itu tidak pernah lagi saya ikut berjudi dalam bentuk bermain dadu atau bentuk judi lainnya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

73

Menompang di Gang 101 Tanjung Priok Malam itu saya pamit dan mengucapkan terima kasih kepada mamanda Ginam dan keluarga. Saya katakan saya besok subuh-subuh akan pergi antri membeli ticket di loket KPM. Seandainya saya tidak kembali lagi berarti saya sudah berangkat langsung ke Jakarta. Jinjingan saya, saya bawa sekalian, dan tidak ada yang berat. KPM adalah satu-satunya perusahaan Belanda yang mengelola transportasi laut seperti PELNI sekarang. Saya sampai di loket KPM orang sudah banyak yang antre. Rupanya mereka antre sejak malam, sedangkan loket, baru dibuka jam 8.00 pagi. Akhirnya sampai giliran saya mendapatkan ticket, kira-kira jam 10.00. Dari situ saya langsung pergi ke pelabuhan yang tidak begitu jauh dari situ. Di pelabuhan, kapal yang akan ditompangi sedang bongkar muatan, diperkirakan selesai jam 4.00 sore. Setelah itu baru penumpang bisa naik ke atas kapal. Para penumpang menunggu di ruangan tunggu. Saya melihat yang menunggu disitu lebih banyak pengantar dari penumpang sendiri. Ada anak sekolah yang akan berangkat seorang sedangkan yang mengantarnya ada 5-6 orang. Di tangga kapal mereka bertangistangisan melepas anaknya atau kerabatnya berlayar ke negeri orang. Di ruang tunggu banyak penumpang yang membawa tikar, bantal dan piring. Saya tanyakan kepada mereka untuk apa tikar, bantal, dan piring itu?, mereka menjawab untuk alas tidur diatas dek kapal, dan piring untuk mengambil makanan bagi penumpang yang membeli ticket dek. Berarti saya juga harus membeli tikar, dan piring dulu untuk alas tidur nanti, sedangkan untuk bantal saya bisa menggunakan tas kulit saya saja untuk tiga malam. Kurang lebih jam empat sore penumpang sudah mulai antre di hadapan tangga kapal untuk bersiap-siap naik ke kapal. Sambil memperlihatkan ticket kepada petugas untuk di robek sedikit, sebagai tanda kontrol. Masing-masing penumpang berangsur-angsur naik tangga dan langsung masuk ke dalam kapal dan mencari tempat yang disenanginya. Saya kebetulan antre dekat orang yang sudah biasa naik kapal dari Teluk Bayur ke Jakarta. Dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Saya ikut saja dia, dimana dia, dekat itu saya, sambil mencari pengalaman. Demikian juga pada saat mengambil makanan pagi, siang dan malam. Kira-kira jam 7.00 malam setelah pluit panjang berbunyi tiga kali kapal mulai bergerak. Kami mulai membentangkan tikar, masing-masing. Panggilan untuk mengambil makanan sudah terdengar. Sebagian penumpang dek sudah menyiapkan piring, kaleng, dan cangkir kaleng/mok siap-siap antre ke dapur mengambil makanan. Perut saya sudah terasa lapar, tetapi saya lihat teman yang lebih tua dari saya itu masih membenahi tikarnya dan barangbarang bawaannya yang lebih banyak dari bawaan saya. Rupanya dia membawa barang dagangan ke Jakarta. Selesai dia merapikan barang-barangnya saya ajak dia mengambil makanan. Dia setuju dan sambil membawa piring dan gelas minum saya ikuti dia di belakang. Lama juga antre mengambil makanan itu, karena seluruh penumpang dek diladeni disatu tempat walaupun disediakan beberapa loket. Selesai mengambil makanan, masingmasing membawa makanannya ke tempat tidurnya masing-masing. Diatas tikar tempat tidur itulah tempat makan kami. Selesai makan, piring dicuci sendiri dan disimpan untuk dipergunakan lagi makan berikutnya. Selesai makan kami mengobrol sebentar dan setelah itu saya pergi ke kamar mandi untuk mengambil uduk shalat Magrib dan Isya dijamak takkhir. Karena sudah terlalu capek kami langsung tidur yang tempatnya tidurnya bersebelahan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

74

dengan saya. Saya lihat orang-orang meletakkan sendal dan sepatunya di ujung kakinya, saya pun meletakkan sepatu baru saya di ujung kaki saya. Nyenyak sekali tidur saya malam itu, ombak pun tidak begitu terasa, bangun-bangun pagi sudah terang. Saya buru-buru mau kekamar mandi. Saya mau mengambil sepatu saya ternyata sudah tidak ada ditempat semula. Saya mencoba mencari disekitar itu barangkali ada yang meminjam, ternyata tetap tidak ada. Saya ceritakan kepada teman di sebelah saya, diapun prihatin dan berusaha mencari agak jauh dari tempat tidur kami, ternyata tetap tidak ada, berarti sepatu baru sudah hilang. Sejak itu saya praktis berkaki ayam selama di kapal sampai turun ke darat. Perjalanan memakan waktu tiga hari empat malam. Kapal mampir dulu selama lebih kurang 4 jam di Pelabuhan Bengkulu untuk membongkar dan memuat muatan dan penumpang. Di pelabuhan Bengkulu kapal tidak bisa rapat ke dermaga, karena pantainya dangkal. Untuk pekerjaan bongkar dan muat menggunakan jasa perahu terlebih dahulu, barang-barang dimasukkan dulu ke dalam perahu dibawa ke sisi kapal, baru dinaikan ke atas kapal. Demikian juga dengan penumpang. Penumpang naik dulu ke dalam perahu dibawa ke tengah dari perahu itu baru naik ke atas kapal seperti orang memanjat. Kalau kita perhatikan penumpang yang turun dan naik kapal dari pelabuhan Bengkulu beresiko, bahkan sering terjadi kecelakaan sampai jatuh dan lain-lain. Setelah empat malam perjalanan maka subuh Nya kira-kira jam 5.00 pagi kapal sudah sampai di Tanjung Priok. Penumpang baru bisa turun ke darat jam 7.00 pagi. Setelah mendengar pluit kapal beberapa kali tanda kapal akan berhenti, saya pun siapsiap menggulung tikar dan mempersiapkan barang bawaan. Saya mulai berjalan menuju pintu dan tangga tempat turun kapal dan menunggu di situ. Tepat jam 7.00 penumpang diizinkan turun melalui tangga yang sudah disiapkan. Rupanya penumpang tidak sabar ingin cepatcepat sampai di bawah, sehingga mereka turun berdesak-desakan, bahkan banyak ibu-ibu yang mengeluh. Akhirnya saya berkaki ayam sudah sampai di luar bangunan pelabuhan tempat mobil-mobil parkir. Dari kampung sebelum berangkat saya sudah mendapat alamat mamanda Yubhar yang akan dituju, yaitu: Peltu Yubhar, Staf Operasionel Angkatan Laut. Jalan Gunung Sari 67. Jakarta. Dalam deretan mobil parkir saya melihat ada satu buah truck Angkatan Laut bertutup dilengkapi bangku-bangku tempat duduk. Saya dekati truck tersebut dan menanyakan kepada sopirnya; Apakah mobil ini liwat Jalan Gunung Sari.?. Dia menjawab, benar dan mobil ini tujuannya ke sana. Sopir mobil memperhatikan saya mulai dari topi sampai ke kaki tanpa sepatu atau sandal, dia menanyakan mau bertemu siapa ? saya jawab Peltu Yubhar Staf Operasionel Angkatan Laut, Dengan ragu-ragu dia menawarkan kepada saya, naiklah.! Saya segera naik dengan tas kulit kecil di tangan kanan dan jinjingan yang terbuat dari daun anau disebelah kiri menaiki truck itu. Saya memilih tempat duduk di bangkubangku sebelah ujung mendekati sopir. Saya pilih tempat disitu supaya mudah melihat kekanan dan ke kiri, karena ini lah pertama kali saya melihat kota besar seperti Jakarta. Dalam mobil itu sudah ada beberapa penumpang lainnya, ada yang berpakaian kelasi, ada juga yang berpakaian preman. Setelah menunggu kira-kira setengah jam mobil disitu, tidak ada lagi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

75

penumpang yang akan naik, maka mobil Angkatan Laut itu pun mulai berjalan. Kira-kira satu jam perjalanan sampailah kami di Markas Besar Angkatan Laut Jalan Gunung Sari No. 67. Setelah saya ucapkan terima kasih kepada sopir, saya langsung menuju piket diruang depan. Sejak saya memasuki pintu markas itu , piket yang duduk di belakang counter memperhatikan saya dengan tajam. Sudah mendekat saya hormat ala tentara, dan memberitahukan, ingin bertemu dengan pak Yubhar. Mendengar itu saya dipersilakan, menunggu sebentar sambil mempersilakan duduk di bangku tamu. Tidak lama kemudian mamanda Yubhar datang dalam pakaian dinas Angkatan Laut. Beliau pun tercengang melihat keadaan saya, bertopi spy, pakaian dari bahan tipis dan bergoyang tanpa sepatu. Ada beberapa detik beliau memandang saya seakan-akan tidak percaya. Kata-kata pertama yang keluar dari mulut beliau adalah, Kenapa kamu jadi begini Tamam? Setelah saya ceritakan serba sedikit dari kegagalan-kegagalan yang saya hadapi dan hilangnya sepatu saya di atas kapal beliau mulai mengerti. Beliau mengatakan jalan-jalan saja dulu nanti jam 2.00 siang ke sini lagi, supaya kita sama-sama pulang ke Tanjung Priok, tas dan jinjingan ini titipkan saja dulu di pos piket. Waktu itu baru jam 10.00 pagi, masih ada waktu beberapa jam lagi menjelang jam 2.00 siang. Dari markas Angkatan Laut itu saya ke luar menuju arah Gedung Kesenian sekarang dengan maksud melihat-lihat situasi keliling. Sebelum menyeberang jalan kebetulan di pojok itu ada jongkok-jongkok orang menjual kopi, teh dan goreng-gorengan. Kebetulan saya sejak pagi belum mendapatkan makanan apa-apa. Saya mampir untuk minum kopi dan makan goreng pisang sekedar bisa menahan lapar sampai siang nanti. Selesai minum kopi saya belok ke kanan menuju pertokoan Pasarbaru. Disana pandangan saya tertuju ke etalaseetalase penuh kagum, melihat barang-barang mewah yang belum pernah saya lihat selama ini. Betul-betul saya waktu itu adalah orang gunung masuk kota. Ditambah lagi dengan masyarakat berkomunikasi dalam bahasa Belanda yang buat saya sangat aneh, karena latar belakang saya adalah Bahasa Inggeris, walaupun baru pada tingkat awal. Dari apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar, timbul perasaan pesimis dalam pikiran saya. Apakah saya bisa hidup dan bersaing ditengah-tengah masyarakat yang begitu maju di Jakarta ini?. Jam 2.00. siang kurang lima menit saya sudah sampai di kantor mamada Yubhar, kembali dan duduk menunggu di kursi tamu, setelah mengambil kembali barang yang di titipkan di pos piket tadi. Tepat jam 2.00 sirine tanda waktu pulang sudah tiba. Orang-orang keluar menuju truk pengangkutan masing-masing dan saya diajak oleh mamanda Yubhar ke truk yang menuju ke Tanjung Priok. Dihadapan Gang 101 truk itu berhenti dan kami turun untuk berjalan kaki beberapa puluh meter ke rumah mamanda Yubhar. Diterima Bekerja Sebagai Pegawai Sipil di Perhubungan Angkatan Laut Di rumah itu tinggal mamanda Yubhar bersama isteri bernama Daeram, juga dari kampung Parit Putus. Disamping itu ada lagi tamu-tamu beliau. Wahid, masih famili beliau di kampung dan lebih tua dari beliau sedikit. Djamaris, orang Painan teman Wahid sama-sama bekerja di bagian dapur asrama Angkatan Laut di Tanjung Priok. Ada lagi Anas, seangkatan dengan saya orang Bonjol Alam, masih saudara degan Wilmar. Ditambah dengan saya yang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

76

akan menambah ramai isi di rumah itu. Saya ditempatkan sekamar dengan si Anas, yang bekerja di Bea Cukai Tanjung Priok. Sudah makan malam saya ajak si Anas berjalan-jalan ke pasar mencari sepatu bekas, karena untuk mencari sepatu baru uang sudah tidak mencukupi lagi. Anas bilang kalau hanya untuk mencari sepatu tidak usah, pakai saja sepatu saya, sudah lama tidak saya pakai dan masih bagus katanya, sambil mengambil sepatu yang dimaksud. Ternyata sepatu itu masih bagus dan diberikan sekalian semir sepatu, supaya saya semir dulu sebelum dipakai. Pucuk di cinta ulam tiba kata orang. Dengan ucapan terima kasih saya ambil sepatu itu dan kebetulan cocok dengan kaki saya dan langsung saya semir ketika itu juga. Malam itu kami lama mengobrol. Mamanda Yubhar berangkat ke Jakarta segera setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia bersama dengan anggota Angkatan Laut lainnya yang berasal dari Pariaman. Sedangkan Anas baru saja beberapa bulan datang dan diterima bekerja di Kantor Bea Cukai Tanjung Priok. Saya katakan kepada mamanda Yubhar bahwa saya datang ke Jakarta untuk mencari kerja dan kalau bisa sekolah petang hari. Cobalah besok kita sama-sama ke kantor saya, mudah-mudahan bisa diterima kerja di sana karena si Tamam kan bekas Angkatan Laut Pariaman juga. Besok pagi-pagi saya sudah bangun bersiap-siap pergi ke markas Angkatan Laut bersama mamanda Yubhar. Waktu akan mengambil pakaian saya termenung, karena tidak ada pakaian yang sesuai dengan suasana Jakarta. Anas melihat saya termenung dan mencaricari pakaian yang akan dipakai. Rupanya dia merasa saya menghadapi masalah dengan pakaian. Anas tahu bahwa saya akan pergi bersama mamanda Yubhar ke kantor untuk melamar pekerjaan. Anas bangun dari tempat tidurnya sambil mengambil satu stel pakaian yang cocok untuk memasuki kantor orang, apalagi maksud melamar pekerjaan. Pakai saja baju dan celana ini katanya, mudah-mudahan berhasil katanya. Memang badan saya dengan badan Anas hampir sama, jadi soal ukuran tidak ada masalah. Lagi-lagi saya ucapkan terima kasih kepada Anas. Semoga Allah membalas nya dengan pahala yang berlimpah-limpah. Amin !. Selesai memakai pakaian hasil pemberian dan pinjaman, dengan percaya diri saya baca Bismillaahirrahmaanirrahim. Kami berjalan kaki ke luar gang menunggu mobil angkutan yang akan liwat sebentar lagi. Tidak sampai sepuluh menit kami menunggu, angkutan itu pun datang. Kami naik dengan mengucapkan selamat pagi kepada semua penumpang yang sudah dulu berada di mobil itu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Banyak guyon yang menyebabkan tertawa antar penumpang selama perjalanan, kadangkadang saya ikut senyum-senyum saja. Tidak terasa kami sudah sampai di kantor Staf Operasional. Saya dikenalkan dengan Kepala Perhubungan di Staf Operasional Letkol Sukeswo. Alhamdulillah, tidak ada testing, dan lain-lain. Saya langsung diterima, dan bisa mulai bekerja besok. Pada waktu itu langsung diperkenalkan dengan staf lainnya bahwa saya sebagai teman baru mereka, dan sementara ditempatkan di bagian ekspedisi. Maha besar Allah yang telah memberi petunjuk kepada umatnya. Dengan diterimanya saya bekerja di situ timbul lagi semangat saya untuk meraih cita-cita saya. Sejak berhenti dari ketentaraan sampai waktu terakhir selalu dalam kegagalan. Baru hari itu saya menerima rachmat luar biasa dengan diterimanya bekerja di Bagian Perhubungan Angkatan Laut.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

77

Besoknya saya akan mulai bekerja, terpaksa dengan pakaian apa adanya, tanpa topi. Untuk membeli pakaian baru belum memungkinkan, karena keuangan saya betul-betul minim. Untuk membeli baju bekas tidak ada orang menjual baju bekas waktu itu. Apa boleh buat saya tidak begitu memperhatikan lagi, sampai akhir bulan saya tetap berpakaian apa adanya. Setelah menerima gaji, segera saya pergi membeli baju yang sesuai dengan keuangan saya untuk pakaian kerja. Setelah saya masuk bekerja beberapa hari, saya berkenalan dengan salah seorang yang sebaya dengan saya berasal dari kampung Baso. Kampung Baso dekat dengan kampung Parit Putus. Dia juga bekerja sebagai tenaga sipil di Angkatn Laut, cuma di bagian lain. Dia mengatakan bahwa dia tinggal di mess Angkatan Laut di Manggarai, setelah dia mengetahui bahwa saya menompang di rumah saudara di Tanjung Priok, dia mengajak saya sama-sama tinggal di mess Angkatan Laut. Kita hanya membayar sekian persen dari gaji yang kita terima. Kalau mau nanti kita urus izinnya bersama-sama. Saya belum menjawab waktu itu karena akan membicarakan dulu dengan mamanda Yubar. Dia rupanya kenal juga dengan mamanda Yubhar, namun demikian, dalam hati saya sudah ada keputusan setuju untuk pindah ke mess, dari pada memberati mamanda Yubhar terus menerus. Setelah saya ceritakan kepada mamanda Yubhar bahwa saya bertemu dengan Ali Amran orang Baso di kantor. Dia mengajak saya tinggal di mess Angkatan Laut Manggarai bersama dia, supaya dekat ke kantor dan bisa sekolah petang hari. Mamanda Yubhar mendukung, sebab kalau tinggal di Tanjung Priok waktu habis di jalan dan sore praktis tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena berjauhan dari pusat kota. Besoknya saya sampaikan saran mamanda Yubhar tersebut kepada Ali Amran, dan hari itu juga kami pergi mengurus surat izin tinggal di mess kepada instansi terkait, dan selesai hari itu juga. Pulang kantor hari itu saya ikut Ali Amran pulang ke mess. Maksudnya ialah untuk menyerahkan surat persetujuan tinggal di mess kepada pengurus mess setempat dari kantor Pusat. Sebelumnya saya belum pernah ke sana. Ternyata mess itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah untuk berbagai fasilitas seperti dapur, ruangan makan, lapangan badminton, tempat parkir dan lain-lain. Kamar penghuni dan kamar mandi semuanya ada di lantai atas dan ruangan rapat. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak betah tinggal di tempat yang sebersih itu. Saya katakan kepada pengurus mess, bahwa saya besok malam akan mulai tinggal disitu.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

78

10. BEKERJA DI PERUSAHAAN SWASTA SAMBIL BELAJAR (Awal 1952)


Setelah mendapat surat izin untuk tinggal di mess saya peroleh, malamnya saya beritahukan kepada mamanda Yubhar, bahwa sudah boleh tinggal di mess sekalian pamit dan terima kasih kepada etek Daeram, Anas dan lain-lain. Besok pagi, waktu berangkat pergi kerja, saya bawa sekalian jinjingan saya yang tinggal satu saja lagi, yaitu tas kulit kecil. Malam itu saya sudah mulai tinggal di mess Angkatan Laut di Manggarai. Tinggal di asrama buat saya bukanlah suatu hal yang baru. Pertama kali saya tinggal di asrama waktu di Angkatan Laut di Pariaman. Setelah itu, waktu menjadi Wakil Komandan Seksi II Sektor III/B di Gunung Merapi dan ketiga adalah waktu sekarang di mess Angkatan Laut Manggarai. Saya cepat membaur dengan teman-teman dari berbagai suku yang tinggal disitu seperti, dari Ternate, Makasar, Bali, Batak dan lain-lain. Pertemanan saya dengan Ali Amran mangkin dekat, dan kebetulan kami ditempatkan sekamar. Bila ada teman-temannya datang selalu di perkenalkannya dengan saya. Sejak itu saya sudah mulai banyak teman di Jakarta. Bulan pertama berlalu biasa-biasa saja, tidak ada perkembangan yang menggembirakan Pekerjaan saya di kantor semangkin mantap. Pergaulan antara teman sekerja berjalan baik-baik saja dan saling menghormati. Bulan berikutnya, pada suatu hari ada teman Ali Amran sekampung datang bertamu dan diperkenalkan dengan saya, kebetulan kami sebaya. Dia adalah bekas Tentara Pelajar semasa Revolusi. Kami bercerita banyak tentang perjuangan fisik Dari dia saya mendapat informasi bahwa anak-anak sekolah yang ikut berjuang apakah sebagai Tentara Pelajar atau sebagai anggota gerilia, ditampung dalam organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah disebut Kantor Demobilisan Pelajar berkantor di Jalan Cikini Raya. Bila sudah tercatat disitu akan mendapat uang tunjangan setiap bulan sampai waktu yang ditentukan. Bila mau sekolah akan diusahakan ke jurusan yang diinginkan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Informasi berharga itu tidak saya sia-sia kan. Besoknya saya bawa Surat Keputusan Berhenti dari Kompi Guntur pergi mencari Kantor Demobilisan Pelajar di Jalan Cikini Raya. Alhamdulillah, saya menemukan Kantor Demobilisan Pelajar itu dekat bioskop Megaria sekarang. Di situ saya diberi formulir disuruh isi dan melengkapi persyaratan yang ada di dalamnya. Setelah saya pelajari, semua persyaratan yang diminta dalam formulir itu sudah ada pada saya. Hanya saja memerlukan waktu mempersiapkan seperti pas-foto, salinan Surat Keputusan Berhenti dari kesatuan selama revolusi fisik yang diketahui oleh pimpinan tempat bekerja sekarang. Belum ada foto copy waktu itu. Saya memerlukan waktu tiga hari mempersiapkan persyaratan itu. Yang lama adalah menungu pas-foto, karena waktu itu paling cepat selesai tiga hari. Begitu selesai formulir tersebut saya isi dan dilengkapi dengan syarat-syarat nya saya serahkan kembali ketempat pendaftaran semula. Setelah diperiksa kelengkapan nya saya diberi resu tanda terima dan disuruh kembali lagi 3 hari kemudian. Setelah tiga hari saya datang kembali dengan menyerahkan resu tanda terima keloket penerimaan. Tidak lama saya diberi Kartu Demobilisan dengan penjelasan bahwa Kartu Demobilisan ini berguna untuk mendapatkan tunjangan bulanan karena dibelakangnya ada kolom bulan sebagai bukti penerimaan. Dapat juga untuk mendaftar di sekolah yang diinginkan untuk tingkat SMA di SMA Demobilisan (
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

79

SMA I sekarang ) Bila seseorang sedang kuliah disalah satu perguruan tinggi, dan karena proklamasi kemerdekaan dia tinggalkan kuliahnya dan dia ikut berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Kepada orang bersangkutan juga diterima sebagai mahasiswa demobilisan dan akan disalurkan ke Universitas yang di minati melanjutkan pendidikannya dengan biaya dari Pemerintah. Tiap-tiap akhir bulan setelah itu saya mengambil uang tunjangan dari loket kasir di Kantor Demobilisan Pelajar. Alhamdulillah sejak itu kondisi keuangan saya sudah agak lumayan dibanding sebelumnya, karena berasal dari dua sumber, pertama dari gaji di Perhubungan Angkatan Laut dan kedua tunjangan dari Kantor Demobilisan Pelajar. Karena kondisi keuangan sudah memungkinkan maka saya mulai berpikir untuk masuk sekolah di SMA Demobilisan di Jalan Budi Utomo, dekat Kas Negara sekarang, di Lapangan Banteng dan berdekatan dengan kantor Perhubungan Angkatan Laut di Gunung Sahari. Sekolah di SMA Demobilisan. Jam sekolah di SMA Demobilisan sore, antara jam 3.00 sampai 7.00 malam. Saya mendaftar dengan memeperlihatkan kartu Demobilisan Pelajar dan saya ditest untuk menetapkan di kelas berapa. Setelah saya katakan bahwa saya terakhir duduk di kelas I di SMA Bukittinggi, maka saya ditempatkan di kelas I juga. Mulailah kehidupan baru itu saya nikmati, yaitu pagi bekerja dan siangnya bersekolah. Pada satu ketika saya bertemu dengan salah seorang teman lama, sama-sama bekerja di Badan Penyelidik di Bukittinggi dulu. Namanya saya lupa kita sebut saja namanya Rauf. Dia juga sekolah di SMA Demobilisan, kelas II. Dia bekerja di PERSDI Limited (Ltd) adalah singkatan dari ( Perusahaan Dagang Indonesia ). Bergerak dalam bidang Import, Ekspor dan agen Pelayaran dari beberapa negara asing. Perusahaan tersebut kepunyaan orang Silungkang bernama Harmon dan kawan-kawan, berkantor di Jalan Asemka, Jakarta Kota. Yang menjadi Kepala Personalia disitu adalah pak Aga Kartanagara. Mendengar nama Aga Kartanagara, simpati saya timbul lagi, dan saya tanyakan alamat rumah beliau. Rupanya Rauf ini tinggal di rumah pak Aga Kartanagara di Jalan Tanah Abang IV No. 17. Informasi berharga ini tidak saya sia-siakan. Saya ceritakan kepada Rauf, bahwa saya bekas anak buah beliau di Kompi Guntur, sampai penyerahan kedaulatan. Tolong sampaikan salam saya, Insya Allah hari minggu depan saya akan datang ke rumah beliau kira-kira jam 10.00 pagi. Besoknya di sekolah saya bertemu lagi dengan Rauf. Dia mengatakan, bahwa salam saya sudah disampaikan dan pak Aga Kartanagara senang saya ada di Jakarta dan ditunggu minggu depan ini. Untuk mencari alamat yang begitu jelas tidak susah, apalagi saya sudah ada di Jakarta beberapa bulan, sudah tahu liku-liku kendaraan menuju ke sana. Tepat jam 10.00 pagi saya sudah berada dirumah pak Aga Kartanagara. Bertemu juga dengan isteri dan anak beliau satu-satunya Bukhari. Kami bergembira dan kangen-kangenan. Waktu saya bertemu beliau saya kaget sekali. Kira-kira satu tahun setengah tidak bertemu, ternyata kesehatan beliau merosot sekali. Badan kurus dan sering batuk-batuk. Rupanya beliau menderita penyakit TBC akibat banyak merokok dan kurang memperhatikan kesehatan selama revolusi. Dokter satu-satuya kepercayaan beliau adalah Dokter Ali Akbar yang kebetulan waktu itu diangkat
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

80

menjadi Duta Besar di Arab Saudi. Beliau tidak mau konsultasi dengan dokter yang lain dengan alasan yang kurang jelas. Beliau bercerita bahwa beliau mendapat tugas dari Bung Karno melalui Zulkifli Lubis untuk menerjemahkan buku karangan Bung Karno berjudul Sarinah kedalam bahasa Inggeris. Zulkifli Lubis adalah Kepala Intelijen waktu itu, seperti Hendropriono sekarang Kepala BIN Badan Intelijen Nasional. Saya pun bercerita pengalaman saya sejak berhenti dari Kompi Guntur, tentang kegagalan saya pergi ke Johore Baharu dan nasehat dari Residen Riau. Saya katakan, sekarang bekerja di Perhubungan Angkatan Laut, dan tinggal di mess Angkatan Laut Manggarai. Mendengar itu spontan beliau menawarkan, buat apa bekerja disitu tidak banyak pengalaman, pindah saja ke tempat saya di Persdi Ltd. menjadi staf saya di Personalia. Besok saya disuruh datang ke kantor supaya saya perkenalkan dengan pak Harmon Direktur Utama Perusahaan. Saya pikir, mungkin ini peluang baik buat saya, karena tidak mungkin pak Aga Kartanagara menawarkan sesuatu yang tidak baik buat saya. Tawaran ini langsung saya iyakan dan besoknya saya pergi ke kantor yang telah beliau tunjukkan yaitu di Jalan Asemka, Jakarta Kota berseberangan dengan Chartered Bank waktu itu. Besok jam 10.00 pagi saya sudah ada di kantor Persdi Ltd. Kantor itu di salah satu pertokoan berlantai 3 dan Persdi Ltd menempati lantai dua dan tiga. Saya menemui pak Aga Kartanagara di lantai II yang duduk di salah satu pojok, dekat ke jendela. Begitu saya datang kami berbicara-bicara sebentar dan tidak lama, beliau berjalan menuju kamar Direkur Utama. Kebetulan Direktur Utama ada di tempat, dan saya langsung diajak masuk ke kamar Direktur Utama ( pak Harmon ) dan berkenalan. Pak Harmon menanyakan kampung saya dimana. Saya jawab di Ampek Angkek Candung. Beliau menanyakan lagi, kenal tidak dengan Djohar, orang KotoTuo. Saya katakan, kenal beliau adalah suami bako saya Nurbeiti. Rupanya kakanda Djohar pernah bekerja dengan beliau waktu Persdi Ltd. masih berkantor pusat di Bukittinggi sebelum clash kedua. Hari itu saya langsung diterima bekerja dan saya janjikan mulai masuk bekerja tanggal 1 bulan depan. Jadi ada beberapa hari untuk saya mengajukan permohonan berhenti di Perhubungan Angkatan Laut sambil menyelesaikan pekerjaan saya. Beliau pun setuju dan mengatakan, kamu nanti ditempatkan di bagian Personalia, membantu pak Aga Kartanagara, hal lainnya bicarakan saja dengan pak Aga Kartanagara. Rauf bekas teman saya di Badan Penyelidik dulu bekerja di Persdi Ltd. bagian Import. Sebelum pulang saya mampir dulu di bagian Import di lantai tiga. Ingin menyampaikan hasil pembicaraan dengan pak Harmon dan sekalian pamit. Dia mengantarkan saya ke lantai bawah, sambil menunjuk ke kantor Chatered Bank di depan kami. Dia menanyakan apakah saya masih ingat Arifuddin orang Batusangkar yang sama-sama kita dulu di Badan Penyelidik. Saya katakan masih, dimana dia sekarang. Rauf menjawab dia bekerja di Chartered Bank itu. Mari kita mampir sebentar supaya tahu katanya. Saya diajak ke kantor Arifuddin. Kami lapor pada penerima tamu, bahwa kami ingin bertemu dengan Arifuddin. Kami dipersilakan menunggu di ruangan tamu. Tidak lama menunggu Arifuddin keluar menemui kami. Melihat saya, langsung merangkul menanyakan kapan datang. Karena disiplin di Bank berbeda dengan disiplin perusahaan swasta pribumi maka kami tidak lama mengobrol disana. Saya disuruh datang ke tempat kos nya di Gang Chase dekat Jalan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

81

Alaydrus sekitar Ketapang. Sebetulnya sewaktu bekerja di Badan Penyelidik saya lebih intim dengan Arifuddin dibanding dengan Rauf. Hari Minggu pertama setelah kami bertemu di Chartered Bank dengan Arifuddin, saya cari dia ke tempat kosnya di Gang Chase. Ada dua maksud saya mencari dia, yaitu kecuali sudah kangen karena sudah lama tidak bertemu kedua mencari tempat pondokan. Kalau sudah berhenti dari Perhubungan Angkatan Laut, berarti pondokan baru mesti dipersiapkan. Alhamdulillah kedua tujuan itu tercapai. Dia kos dirumah keluarga orang Silungkang beristerikan orang Jakarta. Cuma dia sendirian yang kos disana, dan masih ada kamar satu lagi yang kosong. Setelah menanyakan uang kos dan lain-lain, saya menyetujui dan diperkenalkan dengan pemilik rumah. Pemilik rumah pun setuju dan saya janjikan akan masuk tanggal 1 bulan berikutnya. Ujian Tata Buku Bond A. Saya sudah berada di persimpangan jalan, dan saya sudah memilih jalan yang Insya Allah akan memberi harapan di masa depan. Saya ceritakan dulu kepada mamanda Yubhar tentang keberhasilan saya mendapatkan Kartu Demobilisan dan pertemuan saya dengan pak Aga Kartanagara. Saya ceritakan juga rencana saya untuk berhenti dari Perhubungan Angkatan Laut dan pindah bekerja di Persdi Ltd. Prinsipnya beliau mendukung asal sekolah jangan ditinggalkan, karena disitulah terletak sukses jangka panjang. Setelah konsultasi dengan mamanda Yubhar, bulatlah hati saya untuk mengundurkan diri dari Perhubungan Angkatan Laut. Sebelum saya membuat permohonan berhenti, saya menghadap dulu kepada Bapak Letkol Laut Soekiswo, menyampaikan maksud saya men gundurkan diri, dengan alasan ingin mencari pengalaman dibidang swasta. Setelah mendapat lampu hijau dari beliau baru saya membuat surat resmi permohonan berhenti terhitung mulai akhir bulan berjalan. Tembusan surat itu saya kirimkan juga ke bagian pengelola mess di Manggarai. Tanggal satu bulan berikutnya saya mulai bekerja di Persdi Ltd. Bagian Personalia. Hari pertama pak Aga Kartanagara memperkenalkan saya ke masing-masing staf di setiap bagian yang ada di lantai II dan lantai III. Setelah itu kepada saya di berikan buku-buku peraturan dan perundang-undangan perburuhan supaya dipelajari. Praktis dua minggu petama kerja saya hanya membaca saja. Baik mengenai peraturan Pemerintah maupun peraturan intern perusahaan yang masih berlaku. Disitu saya banyak belajar dan mengetahui tentang perundang-undangan perburuhan secara garis besar. Waktu itu sudah tiga bulan saya sekolah di SMA Demobilisan. Selama tiga bulan itu saya perhatikan kurang sekali disiplin dalam pelajaran maupun kehadiran siswa maupun guru. Siswa kurang disiplin karena dia yakin akan lulus, kalau tidak, guru di intimidasi. Tidak jarang siswa meletakkan pistolnya di atas meja sewaktu ulangan. Demikian juga guru, tidak berani menerapkan disiplin kepada siswa karena umumnya guru-guru itu tidak ikut berjuang semasa revolusi, dengan isitilah bukan republiken. Dalam kondisi demikian, sebetulnya hati saya sudah tidak mantap lagi sekolah di situ, tetapi belum menemukan alternatif pengganti.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

82

Ruangan Personalia di kantor Persdi Ltd, bersebelahan dengan ruangan Pembukuan. Kepala Pembukuannya orang Padang, dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Orangnya pintar sekali, bahasa Belandanya mantap dan dipercaya oleh Direktur Utama, serta disegani oleh teman-teman di kantor itu. Berwibawa dan tidak banyak bicara. Setelah bekerja kira-kira satu bulan disitu, saya lihat dia agak santai dan saya betandang ke ruangan nya. Sejak di perkenalkan pertama kali oleh pak Aga Kartanagara, baru sekarang saya sempat berbicarabicara saling mengenal agak lebih detail. Dia rupanya tamatan MULO zaman Belanda setingkat dengan SMP sekarang. Nilai lebih tamatan MULO dulu dibanding dengan SMP sekarang adalah segi bahasa. Tamatan MULO bahasa Belanda nya sudah tidak diragukan lagi, sebab sejak mereka masuk dikelas 1 sampai kelas 3, sudah wajib berbahasa Belanda di sekolah. Kalau ketahuan tidak berbahasa Belanda di sekolah didenda atau dihukum Tamat dari sekolah Mulo dia mengambil kursus tata-buku yang diadakan oleh Bond yang berpusat di Negeri Belanda. Tingkatan kursus itu ada tiga yaitu Tata-buku A, Tata-buku B dan APM. Dia hanya sampai Tata-buku B saja. Saya ceritakan bahwa saya sekarang sedang sekolah di SMA Demobilisan kelas 1, tetapi saya kurang puas sekolah disitu karena kurang disiplin belajar dan kehadiran guru-guru, bahkan sering tidak belajar. Dia tidak raguragu menyarankan kepada saya mengingat umur dan efektivitas belajar. Dia menyarankan supaya saya mengambil kursus tata-buku saja seperti yang dia lakukan dulu. Kebetulan temannya Amran Bustam membuka kursus tata-buku yang sudah terdaftar di Bond. Sebab kalau tidak terdaftar tidak boleh ikut ujian yang diadakan oleh Bond. Dia berikan alamat kursus itu yaitu di Jalan Kramat Raya, pojok jalan Sentiong. Pagi dipakai sekolah Kristen dan sore sampai malam sebagian lokal dipakai buat kursus Tata-buku A dan B Amran Bustam. Hari itu juga, pulang sekolah dari SMA Demobilisan, saya pergi ketempat kursus Tatabuku Amran Bustam di Kramat Raya. Dari kantor administrasi saya mendapat informasi bahwa rombongan yang baru sudah berjalan 5 kali pelajaran. Apakah akan mengikuti rombongan yang baru sekarang atau akan menunggu rombongan berikut nya tiga bulan kedepan ?. Untuk menghemat waktu saya beranikan diri mengambil rombongan yang sekarang saja. Padahal buat saya ilmu tata-buku masih buta sama sekali. Hari kursus tiga hari dalam seminggu, Senin, Rabu dan Jumat. Disarankan supaya membeli buku Bowhoff & Lagerwerf atau Amani Uli untuk tata-buku dan untuk Hitung Dagang disarankan membeli buku Efendi Harahap sebagai pegangan. Lamanya kursus enam bulan bagi yang merasa sudah siap atau 9 bulan bagi yang masih merasa belum siap. Jadwal ujian Bond adalah Maret dan September tiap-tiap tahun. Besoknya saya beli buku buku yang disarankan. Saya coba mempelajari dan memahami sejak dari bab pertama. Untuk meyakinkan bahwa saya sudah mengerti saya coba juga membuat soal-soal yang ada dibelakang bab tersebut. Pada hari kursus pertama saya mengikuti pelajaran yang diberikan langsung oleh pak Amran Bustam. Insya Allah saya dapat mengikuti pelajaran-pelajaran berikutnya, karena merasa tidak terlalu ketinggalan dari kawan-kawan yang terlebih dahulu belajar dari saya. Setiap selesai kursus kami diberi soalsoal yang harus dibuat di rumah sebagai pekerjaan rumah. Hasilnya harus diserahkan untuk diperika oleh guru pada hari kursus yang akan datang. Hasil temuan guru, dari kesalahan umum yang dibuat oleh peserta kursus dibahas bersama pada hari kursus berikutnya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

83

Pelajaran di Amran Bustam intensif sekali, karena beliau mempunyai target supaya lembaga kursus yang beliau dirikan itu menjadi yang terbaik di Jakarta. Ukuran yang terbaik ialah, bagi lembaga kursus yang paling banyak meluluskan pesertanya dalam ujian Bond A atau B. Diharapkan para peserta kursus juga harus bekerja keras untuk mencapai itu. Pengalaman menunjukkan jarang sekali orang yang bisa lulus ujian Bond A atau B.sekaligus. Biasanya beberapa kali baru lulus. Waktu itu soal ujian masih menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia disebelah kiri dan bahasa Belanda di sebelah kanan. Kertas ujian tidak diperiksa di Indonesia tetapi diperiksa di negeri Belanda. Karena itu hasil ujian baru dapat diketahui 2-3 bulan setelah ujian dilaksanakan. Jadi tidak ada celah-celah untuk main-maia dengan pemeriksa ujian waktu itu. Mengingat system yang diterapkan dalam ujian Bond begitu ketat maka ijazah yang dikeluarkannya juga bergengsi waktu itu. Saya bersemangat dan bersungguh-sungguh belajar disitu, sehingga SMA Demobilisan terpaksa saya tinggalkan. Saya konsentrasi penuh di kursus pak Amran Bustam. Tidak ada pekerjaan rumah yang diberikan yang tidak saya kerjakan, bahkan bulan terakhir menjelang ujian saya berusaha mendapatkan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya sebagai latihan. Halangan yang saya rasakan waktu itu hanya tempat tinggal yang relatif jauh dari tempat kursus. Kadang-kadang keluar kursus baru jam 9.00 malam, sampai dirumah sudah jam 10.00 malam. Saya terpaksa mencari pondokan lain sekitar Jalan Sentiong untuk menghemat waktu. Saya mulai bertanya-tanya ke teman-teman sesama kursus, barangkali ada yang tahu tempat kos disekitar Sentiong atau Gang Lontar. Ternyata ada teman kursus perempuan namanya Goezaimah orang Bengkulu, Dia tinggal di Gang Lontar agak kedalam, tempat Hasjim Djalal kos dulu sewaktu masih kuliah di Akademi Luar Negeri yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri. Dia menawarkan rumah saudaranya di Jl. Sentiong Gang I, kirakira 30 meter dari Jalan Sentiong. Nama saudaranya itu Nuraini suaminya orang Padang bernama Chairuddin. Pak Chairuddin bekas wartawan angkatan pak Adam Malik. Sejak beberapa tahun terakhir beliau membuka usaha penerbitan dengan nama Pemandangan. Pulang dari kursus saya diperkenalkan Goezaimah dengan ibu Nuraini di Gang I Jalan Sentiong. Setelah bicara-bicara sebentar, dan melihat lihat kamar yang akan saya tempati dan lain-lain, akhirnya tercapai kesepakatan bahwa saya dirterima kos disitu mulai awal bulan berikutnya. Hal ini saya sampaikan juga ke tempat kos saya yang lama di Gang Chase yang sudah menampung saya beberapa bulan disitu. Tidak terasa hari berjalan terus, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, sudah sampai pada bulan Agustus 1952. Jadwal ujian Bond adalah bulan September. Pak Amran sudah mulai memperingatkan kami supaya mempersiapkan diri sungguh-sungguh menghadapi ujian yang tidak lama lagi. Kepada yang akan ikut ujian sekarang supaya mendaftarkan diri di sekretariat dan menyetor sejumlah uang pendaftaran. Sejak itu saya bersama beberapa orang teman yang mau diajak, lebih rajin lagi mencari-cari soal tahuntahun lalu untuk latihan. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang. Surat pemberitahuan ujian berikut tempat ujian kami terima. Saya kebetulan di tempatkan di sekolah Kristen Jalan Salemba depan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

84

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ujian diadakan dua hari berturut-turut, hari Sabtu dan hari Minggu dari jam 8.30 sampai jam 4.00 sore dengan istirahat antara jam 12.00 sampai jam 1.00 siang. Kepada para peserta dianjurkan membawa makanan dan minuman seperlunya. Setengah jam sebelum waktu ujian dimulai, saya sudah stand by di tempat ujian, sambil melihat situasi dan menentukan ruangan ujian. Di situ sudah mulai banyak orang-orang yang akan ikut ujian Bond A, tidak saja dari lembaga kursus Amran Bustam, tetapi juga banyak dari lembaga-lembaga kursus lainnya. Meja dan kursi di susun jarak dua meter antar satu meja dengan meja lainnya, ke kanan dan ke kiri, ke muka dan ke belakang, sehingga tidak memungkinkan mencontek antara satu dengan lainnya. Tepat jam 8.30 pagi kertas ujian dibagikan kepada seluruh peserta. Suasana hening, sedangkan pengawas ujian setelah selesai membagikan kertas ujian, hanya sekali-sekali berjalan dari muka ke belakang dan dari kanan ke kiri mengawasi peserta ujian, memperhatikan kalau-kalau ada yang berbisik-bisik dan lain lain. Tepat jam 12.00 siang kertas jawaban dikumpulkan di depan. Kepada peserta ujian diminta kembali ke tempat masing-masing jam 1.00 siang untuk mata pelajaran yang lain. Akhirnya 2 hari masa ujian telah saya lalui, sekarang tinggal menunggu hasilnya 2 bulan ke depan. Sebagian teman-teman selesai ujian Bond A. langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus Bond B. Alasan mereka adalah menghemat waktu. Tetapi saya akan menunggu hasil ujian Bond A dulu baru mendaftar ke tingkat lanjutan. Selesai ujian, saya konsentrasi bekerja di Bagian Personalia Persdi Ltd. Kebetulan penyakit pak Aga Kartanagara semangkin berat. Sering beliau tidak masuk kantor dan sebagian besar tugas beliau sudah diserahkan kepada saya, termasuk menghadiri rapat-rapat direksi dan lain-lain. Tidak lama setelah itu pak Aga Kartanagara masuk dan dirawat di Rumah Sakit Angkatan Darat. Saya datang menjenguk beliau, waktu itu beliau masih sadar dan beliau berpesan kepada saya, bila terjadi apa-apa terhadap diri saya, kakak kamu tolong antarkan ke Pahang. Amanat itu sampai sekarang tidak pernah saya laksanakan, disebabkan halangan hukum yang mempunyai kekuatan lebih tinggi dari sekedar amanat. Akhirnya beliau meninggal, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali-bata Jakarta. Semoga Allah memaafkan segala kesalahan beliau dan menerima amal ibadah beliau serta memaafkan saya karena amanat beliau tidak dapat saya tunaikan. Amin !. Salah satu bidang usaha Persdi Ltd, adalah keagenan dari beberapa perusahaan pelayaran luar negeri. Salah satunya ialah dari perusahaan pelayaran dari Bangkok. Tiap-tiap ada kapal asing berlabuh di Tanjung Priok, Direksi menugaskan saya membawa jalan-jalan kapten dan crew kapal melihat-lihat Jakarta dan sekitarnya. Tugas ini diserahkan kepada saya, karena diantara sekian banyak pegawai hanya saya salah seorang yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggeris yang agak lumayan, sedangkan teman-teman lainnya mahir berbahasa Belanda. Diantara sekian banyak kapal yang berlabuh di Tanjung Priok ada satu kapal dari Bangkok yang sering sekali berlabuh di Tanjung Priok. Karena saya sering bergaul dengan Kapten kapal tersebut dan sudah merasa intim. Pada satu ketika dia menawarkan kepada saya untuk pindah saja bekerja ke perusahaannya di Bangkok. Kalau setuju dia akan bicarakan dengan Direksi Persdi Ltd, minta persetujuannya. Tawaran ini tidak segera saya iakan tetapi saya akan pikir-pikir dan minta persetujuan orang tua lebih dahulu.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

85

Ibunda Datang dari Kampung Membawa Adik Untuk di Sekolahkan Sejak pak Aga Kartanagara meninggal saya secara tidak resmi sudah menggantikan posisi beliau sebagai Kepala Personalia. Disamping itu saya juga dipercaya meladeni tamu-tamu asing yang berkunjung ke perusahan tempat saya bekerja, bila kepala-kepala bagian Import dan Ekspor berhalangan. Kepercayaan Direksi kepada saya ini menyebabkan suasana sesama teman sekerja yang sudah lama bekerja disitu merasa iri. Umumnya mereka lebih senior dari saya, baik dari masa kerja maupun dari segi umur. Dalam suasana demikian, saya terpaksa berpikir untuk mencari lapangan kerja dan suasana kerja yang lebih baik. Salah satunya menerima tawaran dari Kapten kapal dari Bangkok itu. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saya menerima surat dari Ibunda di Kampung, mengatakan bahwa tahun ini Chairman akan tamat sekolah SMP di Tanjung Alam. Dia akan dibawa oleh ibunda ke Jakarta supaya di sekolahkan, karena kalau di kampung tidak ada kemampuan untuk itu, atau akan dibiarkan saja hanya sampai tamat SMP saja ?. Alhamdulillah beriringan dengan surat ibunda tersebut kira-kira akhir Nopember 1952 saya juga menerima surat dari Pengurus Ujian Bond menyatakan bahwa saya lulus ujian Bond A. yang diadakan bulan September yang lalu. Saya perlihatkan surat tanda lulus saya itu kepada Kepala Pembukuan Persdi Ltd, orang yang dulu menyarankan saya memasuki kursus Tata-buku A. pada Amran Bustam. Dia gembira dan dia mengatakan jarang orang yang bisa lulus sekali ujian mengambil Bond A. katanya. Dia menganjurkan supaya teruskan mengambil Bond B, kalau bisa sampai ke MBA (Moderne Bedsrijfs Administratie).. pak Amran Bustam itu tamatan MBA katanya. Dengan diterimanya surat dari ibunda tersebut, pikiran untuk ke Bangkok sudah harus dijauhkan. Kebetulan waktu itu Anwar Jamil baru beberapa hari pulang dari Singapore. Dia datang ke kantor saya untuk bertamu,karena sejak pisah dulu di Johore Baharu tidak pernah lagi bertemu. Dia menceritakan bahwa dia sedang melamar pekerjaan di Jakarta Loyd, salah satu perusahaan perkapalan Negara yang terbesar waktu itu. Mudah-mudahan diterima katanya. Dia menyuruh saya mencarikan tempat kos karena sampai hari itu dia masih tinggal menompang di rumah keluarga nya. Kebetulan saya juga mencari rumah, karena ibu saya akan datang membawa adik laki-laki akan sekolah disini. Sebaiknya kita cari rumah kecil, kita sewa bersama, dan kita cari pembantu untuk mencuci, masak dan lain-lain. Usul itu bagus katanya, mari kita cari besama-sama kalau sudah dapat kita lihat bersama dan disitu kita tinggal bersama dengan biaya patungan. Tidak lama setelah itu dia yang mendapatkan informasi pertama yaitu di Pisangan Lama sebuah rumah petak, terdiri dari 2 kamar tidur, dapur, kamar mandi di luar, air dari sumur. Setelah kami tinjau dan tawar-menawar harga sewanya, akhirnya kami putuskan setuju, karena sesuai dengan keuangan kami waktu itu. Awal Desember 1952, kami pindah ke sana dengan persiapan perabot seadanya. Saya ceritakan juga pada Anwar Jamil bahwa saya mendapat tawaran bekerja di Bangkok, ternyata dia tidak melihat ada keuntungan bagi saya jika tawaran itu saya terima dengan alasan, Bangkok itu negara terbelakang sama seperti Indonesia. Tidak banyak pengalaman yang akan diperdapat di situ katanya, lebih baik di sini saja.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

86

Masih dalam bulan Desember l952, saya menerima telegram dari ibunda, mengatakan beliau berangkat tanggal sekian dengan kapal KPM minta ditunggu di Tanjung Priok. Pada hari jadwal kedatangan kapal KPM saya sudah siap menunggu di Tanjung Priok. Ada dua tangga tempat penumpang turun dari kapal. Saya perhatikan di tangga pertama dengan hatihati, sampai sudah sepi penumpang turun, beliau tidak kelihatan. Saya kejar ketangga yang satu lagi, di situ pun sudah sepi dan beliau tidak juga kelihatan. Saya pikir mungkin beliau menunggu dekat pintu keluar juga tidak ada di situ. Sampai habis semua penumpang turun dari kapal dan keluar pelabuhan beliau tetap tidak berjumpa. Waktu itu saya betul-betul panik, kemana mesti dicari. Ada pikiran untuk melapor ke Polisi menyatakan ada seorang ibu tua bersama seorang anak laki-laki hilang turun dari kapal KPM pagi tadi. Dalam situasi panik demikian sedangkan hari sudah siang sedangkan kapal masuk pagi jam 7.00 berarti sudah setengah hari ibunda hilang tidak tahu dimana rimbanya. Dalam Keadaan putus asa demikian saya ingat mamanda Yubhar ingin minta saran dari beliau bagaimana baiknya. Saya pergi ke rumah mamanda Yubhar yang waktu itu tinggal di Tanah Tinggi. Alangkah gembiranya saya, ternyata beliau dan adinda Chairman sudah ada di sana. Rupanya beliau berangkat dari kampung bersamaan dengan salah seorang famili mamanda Yubhar yang tidak beliau ceritakan dalam telegram itu. Mamanda Yubhar pun marah kepada saya beliau menganggap saya tidak menjemput ibunda ke Tanjung Priok, padahal saya sudah panik, gara-gara miss comunication. Setelah saya jelaskan duduk persoalannya baru beliau mengerti. Setelah berbasa basi sebentar saya pamit kepada mamanda Yubhar dan seisi rumah. Saya bawa ibunda dan Chairman ke Pisangan Lama tempat kami tinggal.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

87

11. PINDAH KE BANDUNG (AWAL l953 PERTENGAHAN 1954)


Sejak beberapa bulan terakhir suasana kerja di kantor sudah tidak nyaman lagi. Hubungan dengan teman se kerja tidak harmonis, suka sindir menyindir yang menyakitkan hati. Suasana ini rupanya tercium oleh Kepala Bagian Pembukuan, dan dia menasehati saya supaya bersabar. Nanti lama kelamaan mereka akan sadar sendri katanya. Dalam hati saya sudah bertekad untuk mencari pekerjaan ditempat lain. Mudah-mudahan dengan modal ijazah tata-buku Bond A akan lebih memudahkan mencari pekerjaan, karena sudah ada keterampilan yang sifatnya khusus. Saya tidak berani berhenti dulu baru mencari pekerjaan, karena saya hidup sekarang tidak sendiri lagi, tetapi sudah berdua dengan adik. Untuk mengurangi stress di kantor, saya ambil cuti. Waktu cuti saya, saya gunakan untuk membawa jalan-jalan ibunda dan adik ke beberapa tempat di Jakarta, khusus ke tempattempat keluarga ke rumah kakanda Nurbeiti yang waktu itu tinggal di kawasan Jatinegara. Tidak lama ibunda di Jakarta, kira-kira seminggu beliau sudah ingin pulang, kasihan nenek tinggal kata beliau. Kabetulan waktu itu pendaftaran murid baru di SMA sudah mulai dibuka. Untuk menyenangkan hati beliau saya daftarkan dulu adik di SMA Budi Utomo yang pagi, karena kalau sore dipakai SMA Demobilisan dan Alhamdulilah dia diterima sekolah di situ. Setelah itu baru saya urus ticket kapal untuk ibunda pulang ke Padang. Tunjangan dari Kantor Demobilisan Pelajar masih berjalan terus. Di sana sudah banyak juga teman-teman se daerah berkenalan, ada yang bekas Tentara Pelajar ada juga yang bekas geriliawan seperti saya. Pada saat pengambilan tunjangan bulan Desember 1952, itu saya berkenalan dengan Lukman orang kampung Salo, kenagarian Kamang Mudik, bersebelahan dengan kampung baso arah ke Bukit Barisan. Dia bekas geriliawan Sektor III/A Kamang, tempat keluarga kami mengungsi dulu. Dari dia saya mendapat informasi bahwa ada Peraturan Pemerintah No. 6 tahun l950. yang memberikan uang tunggu (onderstand) kepada bekas-bekas pejuang, sesuai dengan lama masanya berjuang. Untuk mendapatkan tunjangan itu diurus di Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Dia sendiri bermaksud akan ke Bandung mengurus tunjangan itu. Karena masa cuti saya masih ada seminggu lagi, maka saya ajak dia bersama-sama mengurusnya di Ajudan Jenderal di Bandung. Lukman sejak berhenti dari geriliawan dia berdagang, dan tidak terikat dengan waktu. Begitu mendapat ajakan dari saya dia langsung setuju, karena dia sendiri sudah lama ingin mengurus tetapi tidak ada teman untuk sama-sama ke sana sehingga belum jadi. Karena hari masih pagi, kira-kira jam 10.00 saya sarankan berangkat sekarang saja. Kita pulang dulu ke rumah saya mengambil surat-surat dan pakaian seperlunya dan sudah itu ke rumah dia mengambil hal yang sama. Setelah itu kita langsung berangkat dengan bus ke Bandung. Nanti disana kita menginap di losmen yang ada disekitar perhentian bus. Besok paginya langsung kita ke Ajudan Jenderal. Kalau selesai hari itu sorenya kita bisa pulang lagi ke Jakarta. Kalau tidak selesai kita menginap semalam lagi, setelah itu baru kita pulang ke Jakarta. Usul ini pun dia setujui, rupanya dia mendengar dari teman-temannya yang sudah mendapat tunjangan ini jumlahnya cukup besar, dan bisa untuk tambah-tambah modal dagangnya. Usul itu saya kemukakan mengingat masa cuti saya tinggal beberapa hari lagi,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

88

kalau tidak sekarang, saya harus menunggu kesempatan lain, yang belum tentu kapan waktunya. Saya ingat lagi proverb Inggeris mengatakan Strike the iron while it is hot. Dengan membaca Bismillaahirrahmaanirrahiim, dari Kantor Demobilisan Pelajar kami berangkat sesuai dengan jadwal yang disepakati untuk langsung ke Bandung. Dalam perjalanan kami banyak bercerita dan bertanya. Sebagai teman baru rasanya saya ingin mengenal lebih dekat, barangkali ada di antara teman-teman saya yang dia juga kenal dan sebaliknya. Rupanya dia kenal juga dengan Ali Amran teman saya di sipil Angkatan Laut yang mengajak saya tinggal di mess Manggarai. Lukman lebih tua dari saya kira-kira 2 tahun, dan sebagai orang Minangkabau saya panggil dia tuan atau kakak. Akhirnya kami intim bahkan seperti saudara, dan dia menganggap Chairman juga sebagai adiknya. Kalau dia pulang kampung selalu mampir ke ibunda di Parit Putus. Kami sampai di Bandung sudah malam. Dalam perjalanan saya sudah mulai bertanyatanya kepada penumpang yang duduk dekat dengan saya, losmen yang dekat dengan pemberhentian bus. Dia mengatakan ada banyak dan dia menyebut salah satu nama losmen yang dekat ke terminal bus. Jadi kami tidak perlu kawatir. Losmen adalah hotel murahan tempat orang-orang pedagang keliling menginap untuk satu atau dua malam menunggu dagangannya laku habis. Turun dari bus kami langsung mencari losmen terdekat, dan kami pilih satu kamar untuk dua orang. Besok pagi-pagi kami sudah bangun, mandi dan sebagainya. Rupanya di losmen itu pagi-pagi sebagai service diberi segelas kopi atau teh sesuai dengan permintaan. Kepada room boy yang mengantarkan kopi pagi itu kami bertanya dimana kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Dia juga tidak tahu, tetapi dia akan menanyakan dulu kepada yang penerima tamu didepan. Tidak lama kemudian dia kembali dan mengatakan dekat lapangan Siliwangi. Jam 6.00 pagi kami sudah mulai keluar kamar, siap-siap pergi ke kantor Ajudan Jenderal. Waktu itu di Bandung masih bebas beca, boleh kemana saja, belum ada larangan seperti sekarang. Supaya tidak kemahalan menawarnya, kami tanyakan dulu kepada penerima tamu didepan, kalau ke lapangan Siliwangi, berapa sewa beca kesana?. Dia menjawab kira-kira sekian. Dengan jawaban itu kami sudah punya ancar-ancar untuk menawar nanti yang pantas dan tidak kemahalan. Jam kantor waktu itu, hari Senin s/d Kamis dari jam 7.00 pagi sampai jam 2.00 siang, hari Jumat dari jam 7.00 pagi sampai sampai jam 11.00 siang dan hari Sabtu dari jam 7.00 pagi sampai jam 1.00 siang. Tepat jam 7.00 kami sudah sampai di depan piket Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Kepada piket kami menanyakan bagian yang mengurus onderstand bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Dia menunjuk ke lantai atas, salah satu kamar yang ada loketnya. Kami naik menuju arah yang di tunjuk dan kami melihat ada papan pengumuman, kami baca satu persatu. Ternyata di salah satu pengumuman ada petunjuk cara-cara dan syarat-syarat mengurus onderstand. Syarat-syaratnya hampir sama dengan mengurus Demobilisan Pelajar dulu. Kebetulan saya masih punya satu set arsipnya. Sedangkan Lukman tidak punya salinan Surat Keputusan Berhenti yang di syahkan oleh Camat atau instansi pemerintah tempat yang bersangkutan bekerja. Waktu itu belum ada foto copy. Surat Keputusan Berhenti itu disalin dulu dengan mesin tik, setelah itu di bawa ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

89

kantor Kecamatan dinyatakan Sesuai dengan aslinya dan dibubuhi tanda tangan Camat atau pejabat yang berwenang dan distempel. Karena saya merasa syarat-syaratnya sudah lengkap, maka saya ajak Lukman pergi ke loket minta formulir untuk diisi. Kami minta dua set formulir untuk saya dan Lukman. Formulir saya, langsung saya isi disitu, dilengkapi dengan syarat-syaratnya ditanda tangani dan diserahkan ke petugas loket. Oleh petugas loket, diperiksa dan dicocokkan dengan aslinya, langsung dibuat resu penerimaan. Saya diminta kembali seminggu ke depan, sesuai dengan tanggal kembali yang tercantum dalam resu penerimaan. Formulir Lukman di bawa dulu ke Jakarta untuk dilengkapi dengan Salinan Surat Pemberhentian yang di ketahui oleh Camat, dan pas foto. Selesai dari Ajudan Jenderal kami langsung ke losmen untuk kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang kami tidak banyak berbicara, karena masing-masing sudah capek, dan saya mulai berangan-angan. Bila ini berhasil maka banyak bekas anak-anak buah saya di Sektor III/B yang akan saya bantu mendapatkan onderstand ini. Tanpa disadari kami sudah sampai di Jakarta. Kami berjanji dengan Lukman untuk bersama-sama lagi ke Bandung minggu depan dengan kereta api. Berangkat pagi-pagi dari Jakarta langsung ke Bandung, dan dari stasiun Bandung langsung ke Ajudan Jenderal. Mengurus Pensiun Bekas-Bekas Pejuang Sesuai Dengan Peratuan Pemerintah Beberapa hari lagi saya sudah mesti masuk kantor lagi, yaitu awal Januari 1953, karena masa cuti sudah habis. Saya berdoa, mudah-mudahan urusan dengan Ajudan Jenderal ini berhasil. Kalau berhasil saya sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Persdi Ltd, Mungkin bulan ini adalah bulan terakhir saya bertemu dengan teman-teman di Persdi Ltd, Sementara waktu saya akan konsentarsi dalam pengurusan onderstand bekas-bekas pejuang khusus bekas Sektor III/B. Mungkin ini adalah jalan keluar yang terbaik dari problem yang saya hadapi. Setelah masa cuti saya habis, saya masuk kantor lagi seperti biasa. Saya berusaha memperlihatkan sikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa antara saya dengan teman sekerja lainnya, dengan harapan suasana akan berobah setelah saya cuti. Ternyata keadaan lebih buruk dari apa yang saya duga. Sekarang tidak saja sikap teman-teman sekerja yang kurang baik dengan saya tetapi Direktur Utama sendiri sudah tidak senang dengan saya. Caranya adalah dengan mencopot sebagian tugas dan wewenang saya sebelumnya dilimpahkan ke bagian lain . Tenaga di bagian Personalia itu semasa pak Aga Kartanagara masih hidup hanya kami berdua saja. Setelah pak Aga Kartanagara meninggal tinggal saya sendiri. Sewaktu saya cuti, untuk pekerjaan yang mesti dikerjakan rutin mingguan saya limpahkan sementara ke bagian Umum, sedangkan tugas yang harus dikerjakan bulanan tidak saya limpahkan ke bagian lain. Melihat suasana demikian, tidak ada jalan lain kecuali hari itu saya siapkan surat permohonan berhenti mulai tanggal satu bulan berikutnya. Dalam surat tersebut saya ajukan sekalian permohonan cuti yang masih menjadi hak saya tersisa beberapa hari. Sebelum pulang kantor, saya sampaikan surat permohonan berhenti itu langsung kepada Direktur utama, dengan alasan akan pindah ke Bandung. Besoknya saya dipanggil ke kamar Direktur
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

90

Utama. Di dalam kamar sudah ada kepala Bagian Pembukuan dan Kepala Bagian Umum. Beliau mengatakan, karena saya akan berhenti akhir bulan supaya tugas dan wewenang saya selama ini di timbang terimakan sebagian ke Bagian Umum dan sebagian ke Bagian Pembukuan. Dari pembicaraan Direktur Utama tersebut sudah tersirat bahwa permohonan berhenti saya sudah disetujui. Saya katakan bahwa akan saya selesaikan seluruh tugas yang menjadi beban saya sampai akhir bulan ini, dan setelah itu baru akan saya serahkan sesuai dengan perintah Direktur Utama. Saya mohon diizinkan mengambil cuti beberapa hari yang tersisa secara tidak berurut, sesuai dengan keperluan saya. Beberapa hari ke depan, tiba jadwal kami mendatangai Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Sesuai dengan kesepakatan dengan Lukman, bahwa pada hari itu kami akan bertemu di Stasion Jatinegara jam 6.00 pagi untuk bersama-sama berangkat ke Bandung. Waktu itu hubungan telpon masih langka, tidak ada istilah konfirmasi lebih dahulu untuk tiap-tiap janji yang dibuat. Saya berusaha untuk menepati tiap-tiap janji yang saya buat. Karena itu saya datang pada hari dan jam yang telah ditentukan dan berharap juga Lukman demikian. Lima menit setelah saya menunggu, Lukman pun datang tergesa-gesa. Kami langsung membeli karcis kereta api dan naik. Tidak lama kemudian kereta api pun berangkat menuju Stasion Bandung. Kira-kira jam 10,30 pagi kami sampai di stasion Bandung. Dengan menaiki beca kami diantarkan ke kantor Ajudan Jenderal dekat lapangan Siliwangi Bandung. Di situ sudah ada beberapa orang yang antre menunggu giliran. Kami baru kebagian kira-kira jam 1.00 siang. Di hadapan saya antre adalah Lukman yang hanya menyerahkan formulir berikut syaratsyaratnya. Setelah menerima resu penerimaan dia keluar dan sekarang giliran saya yang diladeni. Saya menyerahkan resu penerimaan yang mereka berikan minggu lalu. Setelah menerima resu tersebut dia berdiri sebentar mencari-cari emplop yang tersusun di dalam lemari di belakang petugas yang bersangkutan. Tidak lama dia mengambil sebuah emplop dan menyerahkan kepada saya, supaya membawa emplop itu pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal yang berlokasi di Jalan Aceh Bandung. Saya melihat jam sudah menunjukkan 1,15 Masih ada waktu 45 menit lagi sebelum kantor tutup. Kami segera ke Jalan Aceh dengan beca dan Alhamdulillah loket bagian Keuangan masih bersedia menerima amplop yang saya bawa dari Ajudan Jenderal. Mereka buka dan periksa kelengkapannya dan membuat tanda terima, menyuruh saya kembali minggu depan untuk mengambil mandat ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika. Sungguh padat tugas kami hari itu, tapi kami puas segala sesuatu berjalan sebagaimana diharapkan. Sore itu kami akan pulang ke Jakarta, dan akan kembali seminggu ke depan. Sampai di Jakarta kami berpisah kembali dan berjanji untuk bertemu lagi di Stasion Jatinegara seperti tadi pagi. Sesampai saya dirumah saya mendapat kabar bahwa hari itu merupakan hari pertama bagi Chairman mulai sekolah di SMA Budi Utomo. Saya tanyakan apa-apa kebutuhan sekolahnya. Dia menyodorkan satu daftar kebutuhan yang perlu dipersiapkan. Mumpung masih ada waktu dan mungkin masih ada beberapa toko yang buka malam itu, kami segera pergi ke pasar Jatinegara untuk mencari perlengkapan sekolah yang diperlukan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

91

Besoknya, sebagaimana biasa saya pergi ke kantor Persdi Ltd, untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang akan diserah terimakan akhir bulan ke bagian-bagian yang ditunjuk Direktur Utama. Saya ingin meniggalkan perusahaan tempat saya bekerja dalam keadaan tidak punya utang pekerjaan maupun utang lainnya. Suasana kantor agak berbeda dengan sebelumnya. Ada teman-teman yang tadinya ikut-ikutan sinis melihat saya, sekarang mendekat dan bertanya nanti kalau sudah berhenti dari sini mau bekerja dimana ? katanya. Sedangkan Kepala Bagian Pembkuan minta alamat saya, yang nanti akan menghubungi bila ada teman yang mencari tenaga yang mempunyai ijazah Bond A.dia akan beri tahukan kepada saya. Tepat pada hari dan jam yang kami sepakati, saya dan Lukman bertemu lagi di staion Kereta Api Jatinegara, untuk berangkat ke Bandung. Sesampai di Bandung, sebagai tanda setia kawan kami pergi dulu ke Kantor Ajudan Jenderal untuk urusan Lukman, setelah itu baru kami pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan untuk urusan saya dan urusan Lukman. Lukman menyerahkan surat pengantar dari Ajudan Jenderal, sedangkan saya menunggu keluarnya mandat untuk dibawa ke Kas Negara. Mandat adalah Surat Perintah Bayar ke Kas Negara. Kas Negaralah yang berhak mengeluarkan uang negara berdasarkan mandat yang dikeluarkan oleh instansi-instasni yang berwenang. Setelah saya serahkan resu yang saya terima minggu yang lalu, saya disuruh tunggu sebentar. Tidak lama setelah itu saya di panggil dan menerima dua buah emplop, yang satu emplop dengan alamat Kepala Kantor Kas Negara di Bandung, yang satu lagi emplop alamat ke saya sebagai tembusan. . Setelah saya buka emplop yang dialamatkan kepada saya, alangkah surprisenya saya melihat angka rupiah tunjangan yang akan saya terima. Menurut ukuran saya adalah suatu jumlah yang besar waktu itu, mungkin karena sifat tunjangan ini adalah sekaligus. Seterima surat itu kami langsung pergi ke Kantor Kas Negara dengan menggunakan beca untuk mencairkan mandat yang baru saja saya terima. Sekarang sudah bulat keputusan saya untuk pindah ke Bandung sesuai dengan angan-angan saya waktu pertama kali mengurus onderstand ini untuk membantu teman-teman bekas pejuang di Sektor III/B. Setelah uang saya terima saya ajak Lukman pergi makan dulu ketempat kami makan selama di Bandung, yaitu di rumah makan Padang mak Itam di Banceuy. Tempat toko-toko bursa elektronika sekarang. Kebetulan disitu bertemu dengan Hasan Basri, orang Bukit Batabuh, bekas teman di Sektor III/B dulu Seksi I. Dia masih berpakaian tentara dengan pangkat Sersan Mayor. Saya tanyakan dimana dia tinggal, dia mengatakan dia kos di Jalan Ciateul, dirumah orang KotoTuo bernama Saemar. Saya tanyakan, apakah masih ada tempat disana, dia mengatakan masih ada, kalau mau tinggal disana dia mengajak saya melihat dan bertemu dengan pak Saemar. Saya pikir, karena tekad sudah bulat untuk pindah ke Bandung, dari pada menyewa di losmen terus menerus lebih baik kos saja disana sambil mendapat tempat yang lebih sesui untuk berdua dengan adik. Kami naik beca bertiga ke Jalan Ciateul melihat tempat kos dan berkenalan dengan pak Saemar pemilik rumah. Setelah melihat kamar yang akan saya tempati, dan berkenalan dengan pak Saemar, saya langsung setujui dan membayar uang kos untuk 1 bulan kedepan. Saya katakan bahwa saya nanti masuk minggu depan, sesuai dengan hari Lukman akan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

92

mengambil mandatnya dari Bagian Keuangan Ajudan Jenderal dan mecairkannya di Kantor Kas Negara. Selesai basa-basi dengan pak Saemar dan Hasan Basri, kami pamit untuk kembali ke Jakarta. Pada saat pertama kali saya datang ke Kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung, saya sudah mulai yakin bahwa memang ada tunjangan Pemerintah bagi pejuang kemerdekaan RI. Seperti yang diinformasikan oleh Lukman kepada saya pada waktu bertemu pertama kali di Kantor Demobilisan dua minggu yang lalu. Sejak itu saya sudah mulai menulis surat kepada teman-teman dekat menginformasikan mengenai Peraturan Pemerintah tersebut berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila ada yang berminat untuk mengurusnya sendiri, saya akan membantu menemaninya. Kepada yang berhalangan mengurusnya sendiri dapat memberi kuasa kepada saya untuk mengurusnya sampai selesai, dengan memberikan Surat Kuasa yang ditanda tangani diatas kertas meterai. Nanti datang ke Bandung kalau sudah akan mencairkan mandatnya di Kantor Kas Negara, yang harus dilakukan sendiri oleh orang yang namanya tercantum dalam mandat tersebut, tidak dapat dikuasakan. Kami sampai di Jakarta sudah agak malam. Dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta saya sangat hati-hati sekali menjaga uang yang baru saya terima dari Kas Negara Bandung. Kami berjanji dengan Lukman bahwa minggu depan bersama-sama lagi ke Bandung, dengan tujuan yang berbeda. Lukman ke Bandung untuk mencairkan mandat yang akan diterimanya di Kas Negara, setelah itu dia pulang lagi ke Jakarta, sedangkan saya pergi ke Bandung dengan pakaian dan perlengkapan lainnya untuk mempersiapkan diri pindah dan domisili di Bandung untuk waktu yang tidak ditentukan. Malam itu dari Anwar Jamil yang serumah dengan kami, memberitahukan bahwa sore tadi ada seorang tamu ingin bertemu dengan saya. Katanya dia bermaksud minta bantuan saya untuk mengurus onderstand di Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Dia berjanji besok sore akan datang lagi, dan harap ditunggu. Besok kira-kira jam 5.00 sore datang seseorang yang mengaku dia adalah teman dari teman saya yang saya kirimi surat tentang pencairan tunjangan onderstand dari Ajudan Jenederal Angkatan Darat di Bandung. Dia perlihatkan Surat Keputusan Berhenti dengan pangkat Pembantu Letnan dari Komandan Kompi yang bemarkas di Payakumbuh. Saya panggil dia Datuk, gelar umum untuk orang Payakumbuh Dia mengatakan Insya Allah nanti kalau berhasil dia akan memberikan jasa kebaikan saya sebesar 10% dari jumlah yang akan dia terima. Setelah saya teliti ternyata masih ada syarat yang belum lengkap, yaitu salinan Surat Keputusan Berhenti yang diketahui oleh Camat dan pas-foto ukuran 4 x 6 sebanyak 3 lembar. Saya minta dia meyiapkan kekurangannya dalam beberapa hari dan minggu depan hari yang ditentukan, saya ajak dia bersama-sama kami ke Bandung dan bertemu di Stasion Kereta Api Jatinegara jam 6.00 pagi. Malam itu kepada Anwar Jamil saya katakan bahwa saya akan berhenti dari Persdi Ltd, akhir bulan, dan bermaksud akan pindah ke Bandung. Chairman sementara biar tetap disini dulu sampai ada kepastian lapangan hidup di Bandung. Saya ceritakan penderitaan batin saya di kantor Persdi Ltd, bulan-bulan terakhir, dan keberhasilan saya mendapatkan onderstand dari Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Sambil menunggu pekerjaan tetap maka saya akan membantu teman-teman bekas pejuang menguruskan onderstand nya di Bandung.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

93

Alhamdulillah, Allah memang berpihak kepada umatnya yang dizalimi. Di Persdi Ltd, terakhir saya merasa di zalimi, dalam waktu tidak begitu lama, Allah menunjuki jalan yang lebih memberi harapan dimasa depan. Kedatangan Datuk meminta bantuan saya mengurus onderstandnya merupakan awal dari kegiatan saya dalam pengurusan onderstand temanteman lain. Mudah-mudahan jalan ini merupakan pintu rezki baru buat saya setelah berhenti dari Persdi Ltd, Sesuai pada hari dan jam yang direncanakan kami bertiga beremu di stasion Kereta Api Jatinegara. Saya perkenalkan Datuk kepada Lukman sesama bekas pejuang berasal dari Payakumbuh, dengan maksud yang sama dengan kita. Sampai di Bandung sebagaimana biasa, kami naik beca bertiga, masih muat karena sama-sama kurus waktu itu. Lukman saya tingggalkan di Jalan Kalimantan di Kantor Bagian Keuangan Ajudan Jenderal untuk mengambil mandat ke Kas Negara, sedangkan saya terus ke Kantor Ajudan Jenderal bersama Datuk. Saya katakan pada Lukman kalau cepat dapat mandat supaya langsung saja pergi ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika, nanti kita bertemu disana saja. Sampai di Kantor Ajudan Jenderal saya langsung ke loket lantai dua dengan membawa berkas Datuk. Saya yang antrikan buat dia. Surat Pemberhentian Datuk diperiksa oleh penerima pendaftaran di loket dan dianggap sudah lengkap, langsung dia serahkan formulir isian kepada saya. Waktu itu saya tanyakan sekalian alamat rumahnya, supaya dapat berkenalan lebih lanjut.. Nama dan alamat rumahnya dia tulis diatas sepotong kertas dan diserahkan kepada saya. Datuk saya suruh mengisi sekalian formulir isian itu dan ditanda tangani. Setelah ditanda tangani saya suruh Datuk yang antri di loket untuk menyerahkannya. Tidak lama dia sudah keluar membawa resu tanda terima untuk kembali miggu depan. Selesai dari Ajudan Jenderal, kami naik beca untuk terus ke Kantor Kas Negara di Jalan Asia Afrika. Sampai disana, kami dapati Lukman sedang menghitung uang disalah satu loket yang banyak disana. Selesai Lukman menerima uang yang sejak lama dia idam-idamkan, kami naik beca lagi bertiga pergi makan ke Rumah Makan mak Itam di Banceuy yang menjadi langganan kami selama di Bandung. Selesai makan, saya ajak mereka berdua mampir dulu ketempat kos saya di Jalan Ciateul. Maksud saya ialah, supaya Datuk mengetahui bila sewaktu-waktu dia datang ke Bandung dapat mampir ke tempat kos saya itu. Di tempat kos saya, kami mengobrol sebentar dan setelah itu pisah, Datuk dan Lukman langsung ke Stasion Bandung untuk kembali ke Jakarta, sedangkan saya tinggal di Bandung. Hari minggu saya mencari alamat pegawai bagian loket di Kantor Ajudan Jenderal yang saya peroleh beberapa hari lalu. Alhamdulillah, saya bertemu dengan alamat tersebut dan saya katakan berterus terang bahwa saya dulu adalah Komandan Seksi disalah satu kesatuan gerilia di Bukittinggi. Pada saat penyerahan kedaulatan sebagian dari kami ada yang meneruskan profesinya sebagai tentara aktif, sebagian lain hanya sampai masuk kota saja setelah itu mengundurkan diri. Dari yang mengundurkan diri ada sebagian yang mendapatkan Surat Keputusan Berhenti dan sebagian tanpa Surat Keputusan Berhenti. Saya tanyakan apakah mereka-mereka itu berhak atas onderstand menurut Peraturan Pemerintah tersebut? Dia tidak dapat memberikan penjelasan, tetapi dia sarankan agar saya hari Senin datang ke kantor dan bertemu dengan atasannya, untuk mendapat penjelasan yang lebih detail.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

94

Hari Senin pagi-pagi saya sudah datang ke Kantor Ajudan Jenderal untuk bertemu dengan pejabat yang berwenang memberikan beberapa penjelasan yang saya perlukan. Dari situ saya mendapat penjelasan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan onderstand, prosedur dan syarat-syarat pengurusannya. Bagi orang yang berhak mendapatkan onderstand, tatapi tidak dapat datang mengurusnya dapat juga memberi kuasa kepada seseorang dengan membuat Surat Kuasa seperti contoh yang diberikan kepada saya. Bagi orang-orang yang betul-betul ikut berjuang tetapi oleh sesuatu sebab tidak mendapatkan Surat Keputusan Pemberhentian dapat juga menggunakan Surat Kesaksian yang ditanda tangani oleh dua orang pejabat terdiri dari, seorang dari instansi Pemeritanh seperti Camat, dan seorang lagi dari dari instansi tentara yang mengetahui bahwa benar yang bersangkutan adalah pejuang dimasa kemerdekaan. Dari penjelasan tersebut saya puas dan merasa sudah punya bekal untuk menginformasikan kepada teman-teman lama, bahwa mereka punya hak yang disediakan oleh Pemerintah sebagai terima kasih atas jasa-jasa mereka dizaman revolusi dulu. Selesai Konsultasi dengan pejabat dari Kantor Ajudan Jenderal hari itu, saya kembali ke Jakarta karena dua hari lagi saya harus serah terimakan tugas dan wewenang saya kepada bagian-bagian yang ditunjuk oleh Direktur Utama Persdi Ltd. Permohonan berhenti saya efektif berlaku akhir bulan itu, sambil pamit dengan Direksi dan seluruh pegawai Persdi Ltd. Sebelum saya melakukan serah terima, saya sempatkan membuat dua buah surat pribadi ke kampung. Yang pertama untuk Sofyan, dan kedua untuk Ali Amran menginformasikan tentang hak para pejuang yang selama ini belum diketahui dan diurus oleh para pejuang di negeri kita. Supaya informasi ini disebar luaskan kepada teman-teman yang lain. Saya katakan saya menyediakan diri untuk membantu mengurusnya sebagai wakil mereka untuk di Bandung. Pulang dari kantor setelah selesai timbang terima, saya mampir sebentar ke rumah Goezaimah yang sama-sama kursus Tata-buku dulu di Amran Bustam. Dulu dia pernah bercerita bahwa ada saudaranya tinggal di Bandung. Saya menanyakan alamat saudaranya tersebut, barangkali ada tempat kos di sana untuk 2 orang. Dia memberikan alamat Sjarifah Jalan Astana Anyar No. 114. Bandung. Besoknya saya kembali ke Bandung. Dari uang onderstand yang saya terima saya belikan sebuah mesin tik standard bekas di Bandung. Mesin tik ini saya perlukan untuk membuat surat menyurat dan untuk mengisi formulir isian pengurusan onderstand teman-teman di Ajudan Jenderal nanti. Surat pertama yang saya buat dengan mesin tik itu adalah untuk ibunda, mengatakan bahwa saya sudah berhenti bekerja di tempat lama dan sudah dapat pekerjaan di tempat baru di Bandung. Karena itu kami akan pindah ke Bandung dalam waktu pendek. Sore itu saya jalan-jalan ke Jalan Astana Anyar. Jarak antara Jalan Ciateul dengan Astana Anyar tidak begitu jauh, kira-kira 1 km dapat ditempuh dengan jalan kaki. Tidak susah menemukan No 114. Rumah itu besar bercat biru muda, dan kelihatannya kurang terurus. Saya ketok-ketok pintunya, tidak lama keluar anak gadis umur kira-kira 6 tahun. Saya tanyakan, apakah ini rumah ibu Sjarifah ?. Dia bilang, Ya sambil berlari-lari memanggil ibunya ke belakang. Tidak lama Ibu Sjarifah keluar menemui saya. Saya katakan saya adalah teman Goezaimah yang tinggal dirumah kak Nuraini di Gang I. Jalan Sentiong Jakarta. Mendengar itu langsung dia katakan, memang Goezaimah sering becerita tentang saya. Dia
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

95

persilakan saya duduk sebentar, sambil mengambil air teh ke belakang, dia beritahukan pada suaminya bahwa ada tamu dari Jakarta. Suaminya keluar, kami saling berkenalan, namanya mas Sunarjan, beliau bekerja di kantor PTT (Perusahaan Telepon dan Telegram) bagian dokumentasi, sebagai fotografer. Saya katakan, bahwa saya pindah ke Bandung, sementara menompang di Jalan Ciateul dan mencari tempat kos untuk dua orang yaitu unuk saya dan adik yang sedang sekolah di SMA. Mendengar itu kak Sjarifah langsung menawarkan, tinggal disini saja, ini ada kamar depan cukup untuk dua orang katanya. Setelah saya lihat kamar yang dimaksud, memang cukup untuk dua orang. Untuk dapat ditempati mesti dilengkapi dulu dengan dipan, kasur, bantal dan lain-lain, karena kamar tersebut dalam keadaan kosong. Saya langsung setujui, sedangkan berapa sewanya tidak saya tanyakan, maksud saya akan memberikan saja yang pantas tiap-tiap akhir bulan. Besoknya saya lengkapi dengan perabotan yang diperlukan untuk dua orang, termasuk satu buah meja tulis dan satu lemari pakaian. Selesai berbicara-bicara dengan kak Sjarifah dan mas Sunarjan saya pamit, dan sebelum pulang ke tempat kos, saya pergi dulu makan ke rumah makan mak Itam di Banceuy. Sedang enak-enak makan masuk seorang tamu yang umurnya agak lebih tua dari saya sedikit. Sejak dia masuk selalu memperhatikan saya. Dalam hati, saya berpikir siapa kira-kira orang ini, sedangkan saya merasa tidak kenal dia. Saya teruskan saja makan saya seakan akan saya tidak memperhatikan dia. Selesai makan saya merokok seperti biasa. Sebelum rokok saya habis dia mendekat kemeja tempat duduk saya, sambil menyebut nama saya, Bustamam ya ?, katanya kepada saya. Saya jawab ya. Dia jawab langsung dalam bahasa Padang, Saya Djamaluddin orang Ampang Gadang, kakak si Basir. Mendengar itu kami langsung intim, karena kami se kampung, dan saya kenal baik dengan Basir yang disebut-sebut. Saya panggil dia Jamal dan saya suruh dia duduk di sebelah saya sambil menawarkan makan. Saya sudah makan katanya. Panggilan tuan adalah istilah kakak bagi orang kampung kita. Dia menceritakan bahwa dia baru datang dari kampung, bersama adiknya perempuan yang kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Islam. Di Cibangkong, Bandung. Jamal di Bukittinggi terkenal sebagai juru foto amatir. Dia menanyakan di mana saya tinggal, saya katakan sekarang saya kos di Jalan Ciateul tapi akan pindah ke Jalan Astana Anyar. Dia akan mecari rumah sewaan untuk dia dan adiknya itu, kalau bisa dekat-dekat dengan saya. Karena itu dia akan ikut ke tempat kos saya di Jalan Ciateul dan sudah itu ke Astana Anyar, kalau-kalau ada rumah yang akan disewakan dekat di situ. Karena hari sudah menjelang magrib, saya hanya membawa dia ke Jalan Ciateul, dan besok kira-kira jam 9.00 kita pergi ke Jalan Astana Anyar, sambil saya mebeli perabot yang diperlukan untuk disana. Besok pagi Jamal sudah datang ke tempat kos saya, karena hari itu adalah hari saya akan membeli perabot unuk mengisi kamar yang akan disewa di Jalan Astana Anyar. Saya ajak beliau sekalian mencari dipan, kasur, lemari, meja tulis dan lain-lain dan membawanya ke Jalan Astana Anyar. Secara tidak langsung saya mendapat bantuan tenaga mengangkatangkat perabotan menurunkan dari gerobak membawanya masuk ke kamar yang akan diisi. Selesai barang-barang di letakkan di tempatnya, saya perkenalkan Jamal dengan mas Sunarjan, bahwa beliau berdua sama-sama satu profesi, yaitu sebagai fotografer. Saya katakan sama mas Sunarjan bahwa pak Djamal akan mencari rumah kecil yang akan disewa untuk beliau dan 2 orang adik-adik perempuan yang masih kuliah. Mas Sunarjan menjawab,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

96

kebetulan sebagian dari rumah bagian belakang disebelah kanan rumah ini akan disewakan. Coba ditanyakan, mungkin belum ada yang menyewa. Mendapat informasi itu, selesai mengobrol sebentar dengan mas Sunarjan kami langsung pergi ke rumah itu untuk menanyakan rumah yang akan disewakan. Kebetulan masih ada dan setelah dilihat oleh Jamal, dan menanyakan berapa sewanya, Jamal berjanji membawa adik-adiknya untuk melihat besok sore, setelah itu baru diputuskan. Besok kira-kira jam11.00 pagi Datuk sudah sampai di tempat kos saya Jalan Ciateul. Kami naik beca ke Kantor Ajudan Jenderal untuk mengambil surat pengantar dan menyerahkannya ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan. Selesai dari sana, kami sama-sama pulang ke Jakarta, dan berjanji dengan Datuk ketemu lagi di Jalan Ciateul minggu depan seperti hari ini juga. Saya ke Jakarta untuk mengurus kepindahan sekolah adik ke Bandung dan pamit pada Anwar Jamil, sekalian berterima kasih kepada Goezaimah yang sudah memberikan alamat kakaknya di Bandung. Sampai di Jakarta ada beberapa surat untuk saya, antara lain dari Sofyan sebagai balasan surat saya dua miggu lalu, menanyakan tentang pengurusan onderestand. Setelah membaca surat-surat tersebut saya berkesimpulan, saya perlu pulang ke Bukittinggi agak sebentar menjelaskan kepada temanteman dan sekalian membawa berkas-berkasnya untuk di urus di Bandung. Supaya pulang kampung tidak terburu-buru saya rencanakan untuk pulang setelah urusan Datuk selesai minggu depan. Untuk itu perlu memesan ticket pesawat sekarang untuk keberangkatan minggu depan. Saya pamit juga kerumah kakanda Nurbeiti yang waktu itu tinggal di Kawasan Jatinegara. Kepada kakanda Johar saya ceritakan bahwa saya sudah berhenti dari Persdi Ltd, dan berencana pindah ke Bandung bersama adik Beliau mengatakan ada kakak beliau di Bandung. Nama beliau Ramli, tinggal di Jalan Pajagalan dan membuka toko jamu di Alun-alun Bandung dengan nama Karuhun. Kalau dapat temui beliau dan bila perlu apaapa bicarakan dengan beliau, mungkn bisa beliau membantu. Saya catat alamat pak Ramli dan akan saya temui sebagai orang tua tempat bertanya di Bandung nanti. Membuka Foto Studio. Besoknya saya dan adik berangkat ke Bandung, dengan membawa semua peralatan yang ada. Di Bandung kami langsung ke Jalan Astana Anyar No. 114. rumah kak Syarifah. Waktu kami sedang mengatur-atur barang ke tempatnya, tiba-tiba datang Jamal, seakan-akan dia sudah mengetahui bahwa kami sudah datang dari Jakarta. Rupanya sepeninggal saya ke Jakarta dia sudah melihat rumah yang akan disewanya itu bersama adik-adiknya dan sudah nenyetujui, kemarin mereka sudah pindah ke rumah itu. Sorenya kami pergi makan ke Rumah Makan Padang di Jalan Dalam Kaum, yaitu sebuah rumah makan di Bandung yang melayani pesanan makanan rantang diantar ke rumah masing-masing, dengan pembayaran bulanan. Sejak itu kami menerima kiriman rantang siang dan sore. Tinggal kami mempersiapkan untuk makan pagi. Untuk itu kami perlu mempersiapkan perlengkapannya seperti kompor, cerek, cangkir dan lain-lain. Selesai makan kami mampir dulu ke toko pecah belah untuk melengkapi segala sesuatu yang kami butuhkan. Malam itu adalah malam pertama kami tinggal di Jalan Astana Anyar, sedangkan tempat kos saya di Jalan Ciateul belum saya lepaskan, pakaian saya masih ada di sana dan saya belum pamit dengan pak Saemar. Besok pagi saya antarkan adik mendaftar di SMA Jalan Jawa,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

97

lokasinya di SMP V sekarang. Dengan membawa surat pindah dari SMA Budi Utomo Jakarta, adik segera dapat diterima sekolah di situ, dan besok boleh mulai belajar. Pulang dari rumah sekolah kami pulang ke Astana Anyar. Saya tinggalkan adik di rumah, saya suruh dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi sekolah besok. Setelah itu saya jalan kaki ke Jalan Ciateul, menunggu Datuk datang untuk pergi ke Ajudan Jenderal mengambil surat pengantar ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan. Sambil menunggu Datuk saya menyiapkan pakaian saya untuk pindah ke Astana Anyar hari itu. Tidak lama menunggu, Datuk pun datang, dengan membawa tas pakaian. Saya tanyakan kenapa membawa pakaian?, dia bilang dia akan menompang seminggu disini menunggu mandat dari Bagian Keuangan Ajudan Jenderal dan setelah itu dia akan langsung pulang ke Payakumbuh katanya. Saya suruh dia meletakkan tasnya dan kami langsung naik beca menuju Kantor Ajudan Jenderal. Alhamdulillah tidak lama antre disitu, Datuk sudah dipanggil untuk menerima surat pengantar ke Bagian Keuangan di Jalan Kalimantan. Kami antarkan surat itu, dan sesudah itu kami pulang ke Jalan Ciateul. Saya katakan bahwa saya sudah pindah ke Jalan Astana Anyar dengan adik saya, sedangkan disini masih ada waktu seminggu lagi untuk mencapai waktu sebulan. Jadi Datuk seminggu ini tinggal di Astana Anyar dengan adik saya, dan saya biar malam di sini selama seminggu ini. Dia pun setuju, jadi saya tidak perlu pamit dulu pada pak Saemar. Sampai di Jalan Ciateul, Datuk mengambil tasnya dan kami jalan kaki ke Jalan Astana Anyar, karena dekat. Saya minta izin sama kak Syarifah, bahwa saya ada tamu untuk seminggu, dan beliau pun tidak keberatan.Sorenya saya ajak Datuk jalan-jalan di Kota Bandung bersama adik, sambil mampir di toko sepeda, membeli sepeda untuk keperluan adik sekolah. Setelah mendapat sepeda adik saya suruh pulang dulu, sedangkan kami jalan-jalan ke Alun-alun. Waktu jalan-jalan di Alun-alun saya ingat nama kakak kakanda Johar Ramli yang punya toko Karuhun. Alun-alun adalah pusat keramaian Kota Bandung di waktu malam. Di salah satu petak kios saya lihat ada toko menjual jamu-jamuan dan merek tokonya memang Karuhun. Disitu ada seseorang yang sudah agak berumur, mungkin orang ini yang dimaksud oleh kakanda Johar. Saya masuk, mengucapkan Assalamualikum, langsung mengajukan tangan untuk bersalaman. Beliau jawab salam saya sambil bertanya, siapa saya. Saya katakan bahwa saya mendapat alamat ini dari kakanda Johar, suami kakanda Nurbeiti. Kakanda Nurbeiti adalah bako saya. Mendengar itu beliau langsung akrab, dan saya katakan bahwa saya tinggal di Jalan Astana Anyar. Tidak lama kami di situ, karena sedang banyak pembeli, saya pamit dulu, besok saya main-main lagi ke sini, saya bilang. Sejak tinggal di Jalan Astana Anyar Jamal boleh dikatakan tiap sore datang ke rumah. Beliau bercerita pengalaman beliau dalam bidang fotografer di Bukittinggi selama ini, yang beliau lakukan ke sekolah-sekolah dan pesta-pesta. Beliau juga menceritakan bahwa usaha foto studio itu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda, dengan modal yang relatif kecil. Cerita Jamal ini saya confirmasikan pada mas Sunarjan sebagai seorang fotografer juga. Mas Sunarjan membenarkan dan mendukung, bahkan beliau menawarkan kalau mau membuat studio pakai saja kamar yang satu itu untuk dijadikan kamar gelap. Dari cerita yang memberi harapan itu saya pun tertarik, sambil membantu Jamal mencarikan lapangan hidupnya di Bandung sesuai dengan kemampuannya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

98

Mulailah dibuat rencana kerja dan rencana anggaran biaya bersama mas Sunarjan. Dapat kata sepakat, bahwa permodalan seluruhnya dari saya, keahlian dan tenaga dari mas Sunarjan dan Jamal. Keuntungan 50% untuk pemodal dan 25% untuk masing-masing peserta dengan keahliannya, yaitu mas Sunarjan dan Jamal. Saya tidak pikir panjang, dalam waktu beberapa hari semua rencana sudah terealisir. Kami beri nama Buana Studio tanpa perjanjian dan tanpa akte pendirian. Tustel foto tahap pertama adalah yang bisa dibawa kemana-mana dulu, belum standar untk di dalam ruangan. Merk yang terbaik waktu itu adalah Record. Kamar gelap berikut perlengkapannya sudah jadi. Jamal dan mas Sunarjan pun sudah senang. Hari rasanya cepat sekali berlalu jika diisi dengan kesibukan. Besok sudah datang hari yang dinanti-nanti oleh Datuk dan saya untuk pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal mengambil mandat dan ke Kas Negara mencairkan mandat. Besok pagi kami sudah siap-siap dengan Datuk. Bila hari itu segala sesuatu berjalan lancar, Datuk akan terus ke Jakarta langsung pulang ke Payakumbuh. Saya besok baru ke Jakarta dan terus ke Bukittinggi untuk menjaring teman-teman yang akan mengurus onderstandnya, dan saya sebagai konsultannya. Segala bentuk contoh dan formulir sudah saya siapkan. Jam 8.00 pagi saya dan Datuk naik beca menuju ke Jalan Kalimantan, selesai dari situ langsung ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika. Selesai dia menghitung uang di loket, dia mendekati saya yang sedang menunggu dibangku-bangku panjang yang banyak disediakan di situ. Dia menyerahkan sejumlah uang kepada saya, dan mengaturkan terima kasih atas bantuan saya. Setelah saya hitung Alhamdulillah jumlahnya hampir menutup seluruh investasi di foto studio Buana yang telah saya keluarkan. Belum pernah saya mendapat rezki semudah dan sebesar ini, mudahmudahan halal, karena tidak ada orang yang dirugikan dari rezki yang saya terima itu. Selesai di situ kami terus ke Jalan Astana Anyar, karena Datuk akan mengambil tasnya dan langsung ke Jakarta. Mendirikan Perusahaan Konpeksi. Saya antarkan Datuk sampai ke stasion Bandung, dalam perjalanan saya katakan, bila ada teman-teman pejuang yang ingin mengurus onderstandnya dapat menghubungi saya nanti, kira-kira pertengahan bulan ini ada di Parit Putus Bukittinggi. Selesai melepas Datuk naik kereta api saya pergi ke Jalan Ciateul untuk pamit dengan pak Saemar sekalian mengambil pakaian saya yang masih tersimpan disana, untuk dibawa ke Jalan Astana Anyar. Sorenya saya berangkat ke Jakarta, menginap di rumah yang kami sewa dengan Anwar Jamil di Pisangan Baru, untuk besok pagi akan berangkat ke Bukittinggi dengan pesawat Garuda pertama. Besoknya tepat jam 7.00 pagi pesawat take off, dan sampai di Tabing Padang lebih kurang jam 9.00. Keluar dari air-port, berjalan kaki sedikit ke Jalan Raya Padang Bukittinggi, saya menunggu bus liwat ke arah Bukittinggi, yang biasanya setiap 30 menit sekali. Perjalanan Padang Bukittingi memakan waktu rata-rata dua setengah jam. Sampai di Parit Putus sudah hampir waktu Asar. Ibunda kaget, melihat saya tiba-tiba muncul di warung nasi beliau. Untuk menyenangkan hati beliau saya langsung mengambil nasi berikut lauknya, seakan-akan saya lapar betul, padahal di pesawat kan dapat makan. Saya katakan saya pulang untuk membantu teman-teman yang akan mengurus uang tunjangan dari pemerintah bagi yang tidak sanggup mengurus sendiri. Beliau juga bertanya mengenai Chairman, saya katakan dia sudah pindah sekolah ke Bandung dan sudah pakai sepeda pulang pergi sekolah.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

99

Syukurlah kata beliau, suruh dia rajin-rajin belajar. Dari wajah beliau kelihatan berseri-seri karena saya pulang. Selesai makan saya terus ke rumah menemui nenek yang sedang menunggu jemuran padi. Kebetulan pemuda-pemuda di Parit Putus tidak ada yang berhak untuk mendapatkan onderstand. Untuk menghemat waktu, saya pergi menemui Sofyan dan Ali Amran, masingmasing dari Pasir dan Ampang Gadang. Saya pinjam sepeda teman dan pergi ke kedua desa tersebut, yang kebetulan sejalan dan berdekatan. Yang bertemu hanya Ali Amran sedangkan Sofyan belum pulang dari pasar Bukittinggi. Kepada Ali Amran saya ceritakan pertemuan saya dengan pejabat Kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung beberapa waktu lalu. Bahwa bagi para pejuang kemerdekaan yang betul-betul berjuang dengan masa dinas minimal 3 tahun tidak terputus yang mempunyai Surat Keputusn Berhenti dan yang tidak mempunyai Surat Keputusan Berhenti. Bagi yang tidak mempunyai Surat Keputusan Berhenti sebagai pengganti menyiapkan Surat Pernyataan Kesaksian yang ditanda tangani oleh dua pejabat, seorang dari Sipil setingkat Camat dan seorang lagi dari pejabat militer setingkat Komandan Kompi. Surat-surat tersebut disalin dan salinannya harus diketahui sesuai dengan aslinya oleh Lurah tempat si pemohon berdomisili. Masing-masing pemohon membuat pas foto ukuran 4 x 6 sebayak 3 lembar. Bagi yang tidak berkesempatan mengurus dapat membuat Surat Kuasa yang isinya seperti contoh yang diberikan oleh Kantor Ajudan Jenderal beberapa hari yang lalu. Dengan Ali Amran, demikian juga dengan Sofyan nanti kita akan membuat perjanjian kerja sama pengurusan onderstand ini, dimana mereka berdua mencari anggota yang memenuhi syarat di Bukittinggi, setelah berkasnya lengkap mengirimkannya kepada saya untuk diselesaikan di Bandung. Kita akan bebankan kepada mereka yang minta bantuan jasa kita dalam dua cara dengan fee yang berebeda. Cara pertama ialah dengan menggunakan Surat Kuasa sebesar 15% dari hasil yang mereka terima. Untuk cara ini mereka tidak perlu datang ke Bandung mengurusnya, kecuali pada saat mengambil uang nanti di Kantor Kas Negara. Cara kedua bagi mereka yang akan mengurus sendiri tapi minta pengarahan dari kita mereka kita bebani uang jasa sebesar 5 % dari hasil yang mereka terima. Lamanya pengurusan antara tiga minggu sampai satu bulan. Sedangkan pembagian antara kita masingmasing separoh. Yaitu bagi peserta yang diperoleh Ali Amran, saya mendapat separoh dan Ali Amran mendapat separoh, demikian juga bagi anggota yang diperoleh Sofyan. Azan Magrib sudah kedengaran, kami salat Magrib dulu di mesjid Ampang Gadang dan setelah itu kami bersama-sama pergi ke Pasir mudah-mudahan Sofyan sudah kembali dari pasar Bukittinggi. Alhamdulillah, Sofyan sudah ada di rumah, dan kami ulangi lagi ancarancar kerja sama yang sudah dibicarakan tadi dengan Ali Amran. Sofyan menanyakan berapa kira-kira jumlah uang yang akan diterima nantinya. Saya jawab tergantung dari pangkat dan lama masa dinas. Seperti saya, pangkat Sersan Mayor dengan dinas 5 tahun lebih tidak terputus mendapat sekian belas ribu. Mendengar jumlah uang tersebut mereka berdua bersemangat juga untuk mengurus dan mencari teman-teman lain yang akan diurus onderstand mereka nanti. Yang sudah siap sekarang ada tiga orang setuju menyerahkan kepada saya yaitu, Ali Amran sendiri, Sofyan dan seorang teman lainnya, yang besok akan bertemu dengan orangnya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

100

Saya minta surat-surat ketiga orang tersebut besok disiapkan untuk saya periksa kelengkapannya, jika masih ada yang kurang bisa dilengkapi dalam beberapa hari mendatang, karena saya akan kembali ke Bandung 5 hari lagi. Mudah-mudahan bisa saya bawa sekalian, syukur-syukur kalau ada tambahan yang lain. Besok kami janji bertemu di toko Sofyan di Kampung Cina Bukittinggi jam 10.00 pagi. Sampai di rumah nenek marah-marah, kemana saja malam begini baru pulang, kami menunggu-nunggu untuk makan bersama. Saya minta maaf, karena bertemu dengan teman lama dan diajak pergi ke Pasir dan disana juga lama. Saya langsung duduk untuk makan karena sudah sejak tadi dipersiapkan nenek dan ibunda. Melihat saya sudah duduk untuk makan, marah nenek pun mereda. Malam itu saya katakan bahwa saya tidak lama di kampung, mungkin minggu depan akan kembali ke Bandung, setelah urusan di Bukittinggi selesai. Mendengar saya akan kembali ke Banddung, beliau sudah berbisik-bisik dengan ibunda akan memotong dua ekor itik untuk dibawa ka Bandung. Saya katakan bahwa saya pulang pakai pesawat Garuda jadi nasi bungkus tidak perlu dibuat lagi. Pagi besok saya pergi menemui ibunda Raiyah dan kakanda A. Tadjuddin. Saya ceritakan kepada beliau bahwa sepatu barret baru yang beliau berikan dulu hilang dicuri orang di atas kapal. Saya ceritakan kalau saya turun dari kapal masuk Jakarta dengan kaki telanjang. Beliau hanya tertawa dan bersyukur kepada Allah, bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama, sudah bisa pulang kampung menggunakan pesawat Garuda. Saya katakan juga bahwa saya tidak akan lama di kampung dan minggu depan kembali ke Bandung. Ada satu jam saya dirumah ibunda Raiyah dan mengobrol dengan kakanda A.Tadjuddin, saya ingat ada janji di Pasar Bukittinggi. Sebelum saya pergi ke Bukittinggi, saya pulang dulu kerumah memberi tahu nenek bahwa saya akan pergi ke Bukittinggi mungkin pulang petang hari. Ini perlu saya lakukan, kalau tidak nanti nenek bertanya-tanya ke mana si Tamam ini ?. Setelah itu baru saya berangkat ke Pasar Bukittinggi, sekalian memesan ticket Garuda untuk minggu depan ke Jakarta. Sebelum saya pergi ke toko Sofyan, saya mampir dulu ke kantor Penerangan Sumatra Barat di Jalan Lurus Bukittiggi. Ingin bertemu Agusman yang sudah lebih kurang dua tahun tidak bertemu. Kantor Penerangan Sumatera Barat adalah kelanjutan dari Badan Penyelidik sebelum penyerahan Kedaulatan dulu. Kepalanya juga masih kepala Badan Penyelidik dulu yaitu pak Leon Salim. Saya dibawa ke kamar pak Leon Salim, dan beliau senang melihat saya berkunjung ke beliau. Setelah basa basi sebentar beliau menawarkan kepada saya akan menerbitkan Surat Keputusn Pemberhentian dari Badan Penyelidik sebagaimana beliau berikan kepada bekas-bekas anak buah beliau yang tidak meneruskan ke Penerangan Sumatra Barat. Tawaran ini saya sambut dengan gembira, bahkan saya katakan salah satu tujuan kedatangan saya adalah untuk meminta Surat Keputusan Pemberhentian tersebut. Alhamdulillah tidak lama surat itu sudah saya terima karena formulirnya sudah siap, tinggal mengetik nama dan alamat saja. Sejaka itu saya mempunyai dua surat Keputusn Pemberhentian, yaitu dari Kompi Guntur yang diterbitkan oleh Brigade Banteng yang ditanda tangani oleh Dahlan Djambek. Satu lagi dari Badan Penyelidik yang ditanda tangani oleh Kepala Badan Penyelidik Brigade Banteng yang di tanda tangani oleh Leon Salim. Selesai dari situ saya langsung ke Kampung Cina ke toko Sofyan. Sampai disana sudah ada Sofyan, Ali Amran dan seorang lagi saya belum kenal. Setelah dikenalkan namanya adalah Harun. Setelah bicara-bicara sebentar, kami
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

101

langsung ke pokok tujuan yaitu tentang pengurusan onderstand. Masing-masing mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentiannya untuk di periksa apakah sudah memenuhi syarat atau belum. Setelah saya perhatikan satu persatu, umumnya sudah dapat diterima, tinggal salinannya yang disyahkan oleh Lurah, dan pas-foto. Karena ketiga orang ini akan menguasakan kepada saya, maka saya akan mempersiapkan Surat Kuasa yang harus mereka tanda tangani diatas kertas meterai. Setelah masing-masing sudah jelas apa yang harus dipersiapkannya, maka kami berjanji akan bertemu lagi setelah tiga hari lagi. Untuk menanda tangani Surat Kuasa dan menyerahkan berkas-berkasnya secara lengkap kepada saya untuk sekalian saya bawa dan urus di Bandung. Setelah selesai, saya ajak mereka makan siang di restoran Bahagia yang terkenal di Kampung Cina itu. Selesai makan kami pun bubar, kembali ke tempat masing-masing. Sebelum pulang ke kampung saya mampir dulu ke toko tempat saya meninggalkan tekstil sewaktu mau berangkat dulu. Bila ada kelebihan penjualan dari uang yang saya ambil dulu akan saya ambil dan bila ada kekurangan akan saya tambah. Ternyata dari teman yang punya toko itu mengatakan tekstil itu sudah terjual tapi dia lupa berapa harga jualnya dan tidak mencatatnya. Mendengar penjelasan itu saya pun maklum, dan saya katakan supaya kita saling merelakan saja, dan tidak menjadi beban di akhirat nanti. Sudah sore saya sampai di kampung. Selesai salat Asar, saya pergi ke pondok Agusman di seberang jalan rumah ibunda. Pondok adalah istilah yang digunakannya di mana terdapat ruangan belajar sambil beristirahat. Biasanya ruangan ini dibuka antara waktu Asar dan Magrib. Saya dan Agusman berteman sejak kecil, walaupun latar belakang orang tua kami bebeda. Dia anak seorang guru sekolah dasar, sedangkan saya seorang ulama desa. Profesi guru dizaman itu termasuk salah satu profesi yang dihormati orang dengan penghasilan yang lumayan. Sedangkan bapak saya tidak mempunyai penghasilan tetap, bahkan sebagian besar dari kehidupan beliau disubsidi oleh pak etek beliau. Waktu beliau banyak digunakan untuk belajar mengaji ke surau-surau di luar Kabupaten kita seperti Batusangkar dan Payakumbuh. Sekalipun waktu itu beliau sudah beristeri dan mempunyai anak Agusman adalah salah seorang teman yang sejak kecil kami tidak pernah bertengkar apalagi berkelahi. Kami saling menjaga perasaan masing-masing. Sebagaimana biasa kalau bertemu dengan Agusman, pertama kali kata-kata yang keluar dari mulut kami kecuali salam adalah saling memuji walau pun itu hanya basa basi. Sudah itu saling tertawa. Diwaktu saya menjadi Kepala Seksi II di Sektor III/B, pernah dia datang kesana ingin bergabung dengan kami. Saya katakan saya senang sekali kalau memang mau bergabung, dan akan saya angkat menjadi staf seksi II. Mula-mula dia sudah berteguh hati, setelah pada satu malam dia kami ajak pergi menyerang pos Belanda di Batu Taba, besoknya dia katakana kepada saya, dia akan pulang kampung saja. Tidak sanggup harus pergi malammalam, apalagi pergi meyerang pos Belanda katanya. Hanya sanggup bergabung dengan kami sekitar tiga hari saja. Maksud saya bertemu dengan dia sore iu kecuali kangen-kangenan, adalah untuk menompang mengetik di kantornya besok sore-sore setelah kantor tutup. Dia bilang tidak perlu sore-sore, pagi juga bisa, ada banyak mesin tik yang bisa dipakai, tidak akan mengganggu katanya. Saya percaya dengan kata-katanya, karena dia adalah kepala Bagian Umum di situ. Besok pagi saya pergi dulu ke Kantor Pos membeli kertas meterai beberapa
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

102

lembar untuk membuat Surat Kuasa dari tiga orang yang akan mengurus onderstandnya. Selesai mengetik Surat Kuasa tersebut saya pamit dengan Agusman dan teman-teman yang ada di situ, langsung saya pergi ke Kampung Cina ke toko Sofyan meninggakan Surat Kuasa untuk ditanda tangani yang bersangkutan. Kebetulan di situ sudah ada beberapa orang teman Sofyan yang juga akan minta tolong diuruskan onderstandnya. Dalam hati saya, ini adalah teman baru yang kami belum saling kenal. Saya harus bicara bisnis dengan mereka dan harus ada hitam diatas putih, supaya nereka tidak ingkar janji di belakang hari. Setelah saya jelaskan kepada mereka kondisinya antara saya dengan mereka, bila mereka menyetujui kita akan membuat Surat Perjanjian. Setelah itu baru saya periksa berkas-berkas mereka, dan melengkapi kekurangannya. Bila mungkin selesai dalam beberapa hari ini supaya bisa dibawa sekalian, kalau tidak, bisa disusulkan ke alamat saya di Bandung. Alhamdulillah, mereka setuju, maka sejak itu saya boleh dikatakan tiap hari menompang mengetik di kantor Agusman, mempersiapkan segala sesuatu yang perlu ditanda tangani oleh para peserta baru. Untuk meringankan pekerjaan saya, Agusman memperkenalkan saya dengan salah seorang juru ketiknya untuk membantu saya. Sebagai tanda terima kasih saya tidak lupa memberi suatu jumlah uang kepadanya. Pada hari terakhir saya ada di Bukittinggi, saya ajak dia ke toko Sofyan dan memperkenalkannya, dengan maksud sepeninggal saya nanti dia membantu Sofyan dan Ali Amran untuk pekerjaan yang sejenis dengan apa yang saya kerjakan dengan imbalan tertentu. Setiap hari, selesai saya mengerjakan pengetikan di Kantor Penerangan, saya selalu mampir ke toko Sofyan. Ada saja calon peserta baru menunggu di situ. Rupanya oleh Sofyan dan Ali Amran berita ini sudah disebar luaskan kepada teman-temannya yang ada di Bukittinggi. Setiap ada peserta baru yang datang, umumnya setuju dengan syarat-syarat yang kami tentukan. Bagi yang setuju saya selesaikan hal-hal yang perlu saya ketik seperti Surat Kuasa, Surat Perjanjian. Kadang-kadang menyiapkan salinan Surat Keputusan Pemberhentian mereka untuk diketahui oleh kelurahan tempat tinggal mereka. Sampai hari terakhir saya di Bukittinggi, saya hitung sudah ada duabelas berkas yang sudah siap untuk diajukan. Disamping itu ada beberapa lagi yang baru siap sebagian, dan kekurangannya akan disusulkan kemudian oleh Sofyan dan Ali Amran. Jumlah ini diluar dugaan saya sama sekali dan kepada Allah saya bersyukur, mendapatkan kepercayaan dari kawan-kawan, mudah-mudahan tidak mengecewakan mereka. Malam itu, sebagaimana biasa tiap-tiap saya akan bepergian saya selalu pamit kepada ibunda Raiyah dan kakanda A.Tajuddin, terakhir baru kepada ibunda, nenek dan seisi rumah lainnya. Tidak biasa-biasanya Ibunda dan nenek mengajak saya berbicara di dalam kamar tidur beliau enam mata. Ibunda mulai buka bicara dengan menanyakan umur saya. Karena saya belum menangkap kemana arah pembicaraan beliau saya katakan, hampir 25 tahun. Nenek melanjutkan, kata beliau, nenek sudah tua dan sakit-sakitan, kalau boleh nenek meminta selagi masih hidup ini dapat juga nenek melihat kamu berumah tangga. Kebetulan baru-baru ini ada orang datang melamar kamu, kalau dari pihak kami orang tua, sudah cocok sekarang terserah kamu saja. Atau kalau kamu ada pilihan lain coba dikemukakan supaya dapat kami tinjau-tinjau di Kampung. Beliau tambahkan teman-teman kamu yang sebaya sudah berumah tangga, bahkan sudah punya anak dua dan tiga. Kadang- kadang kami di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

103

kampung ini merasa malu juga seakan-akan kita ini jual mahal atau orang yang tidak laku. Akibatnya nanti kepada adik kamu yang perempuan, akan dijauhi orang nanti. Mendengar itu saya terperangah, untuk berdiskusi agak lama waktu sudah sempit, karena saya besok pagi-pagi sudah berangkat lagi ke Bandung. Saya katakan kepada nenek dan ibunda, biarlah pembicaraan ini akan saya pikirkan dulu, mudah-mudahan besok pagi mendapat petunjuk dari Allah siapa yang terbaik buat kita. Agak larut malam saya baru tidur, karena memikirkan kata-kata nenek dan ibunda tadi, disamping itu ingin cepat-cepat sampai di Bandung, supaya berkas yang ada ini masuk ke Kantor Ajudan Jendral. Saya pikir mungkin sekaranglah waktunya untuk menyerahkan persoalan ini kepada orang-orang yang sangat saya hormati. Ada dua pertimbangan saya, pertama tentang waktu, saya pikir di umur 25 tahun adalah umur yang ideal, sebab kalau terlalu tua juga tidak baik untuk masa pembimbingan anak-anak, Kedua mengenai personalia. Lebih baik saya serahkan kepada pilihan ibunda dan nenek, siapapun yang beliau pilih saya akan patuh. Saya sendiri tidak punya pilihan, karena waktu itu pacar-pacaran adalah hal yang tabu. Hanya saja untuk memudahkan beliau saya mengajukan beberapa nama gadis yang menjadi kembang waktu itu di Kampung. Pagi besok sambil makan pagi saya sampaikan kepada beliau hasil pemikiran saya tersebut di atas. Beliau paham dan akan membicarakannya dengan keluarga lainnya. Apapun hasil pembicaraan keluarga tersebut akan disampaikan melalui surat ke Bandung. Selesai makan pagi, saya pamit kepada beliau dan saya berangkat menuju Tabing Padang. Tepat jam 2.00 siang pesawat take off, dan sampai di Kemayoran Jakarta kira-kira jam 4.00 sore. Dari situ saya langsung ke stasion Gambir, untuk terus ke Bandung, dengan harapan besoknya saya sudah bisa datang ke Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Alhamdulillah, saya selamat sampai di Bandung sudah agak malam, tanpa kurang suatu apa Besok pagi jam 9.00 saya sudah berada di Kantor Ajudan Jenderal. Saya tidak langsung ke loket sebagaimana biasa, tetapi memasuki ruangan kepala bagian pendaftaran, yang memberikan penjelasan kepada saya beberapa hari yang lalu. Saya perlihatkan kepada beliau berkas-berkas teman seperjuangan saya di Bukittinggi dulu. Beliau lihat-lihat sebentar, dan mengatakan supaya dimasukkan saja ke loket supaya dapat diproses sebagai mana biasa. Pada kesempatan itu tidak lupa saya minta alamat rumah beliau, dan beliau tidak keberatan memberikan alamatnya. Selesai menyerahkan berkas-berkas di loket, saya langsung pulang ke rumah. Di rumah kebetulan ada Jamaluddin, yang sedang bekerja di kamar gelap sedang mencuci dan memperbesar foto anak-anak sekolah. Saya masuk dan mencoba belajar mencuci film dan mencetaknya. Dasar tidak punya bakat, walaupun saya sudah belajar beberapa kali tetap saja tidak bisa, kalau bisa tetapi hasilnya tidak sebaik yang dilakukan oleh Jamal. Selesai Jamal dari kamar gelap, kami mengobrol mengenai jalannya usaha foto studio selama beberapa hari ini. Saya minta dia mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran uang dan sekali sebulan kita adakan perhitungan. Bersamaan dengan itu saya beli sebuah buku tulis dan memberi contoh bagaimana mencatatnya. Waktu itu dia mengatakan akan mengikuti saran saya tersebut.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

104

Dia menceritakan waktu dia keliling mencari objek foto, dia berkenalan dengan seorang yang bernama Mohamad Nur, orang Sungai Puar. Dia mengaku kenal saya dan dia berkirim salam kepada saya. Saya terima salam itu dan salam kembali. Setelah saya ingat-ingat, apakah yang dimaksud oleh Jamal, Mohamad Nur, yang rumahnya kami pakai untuk asrama Sektor III/B dulu di Jalan Lurus Sungai Puar. Ingat itu saya rasa alangkah sombongnya saya kalau saya tidak datang menemuinya sekalian menyatakan terima kasih, atas kebaikannya dulu. Saya ajak Jamal pergi ke rumahnya yang tinggal di Gang Aleng dan tidak begitu jauh dari Astana Anyar tempat kami tinggal. Dari jauh saya sudah melihat dia yang sedang berada di hadapan rumahnya. Dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Orangnya agak pendek dari saya, kulit kuning langsat, kepala agak sedikit botak. Memang itulah orangnya yang punya rumah yang kami pakai dulu selama beberapa bulan tanpa sewa. Dia juga melihat kami datang, mungkin sudah merasa juga bahwa, inilah orang yang menempati rumahnya dulu di Sungai Puar, sebelum penyerahan kedaulatan. Kami semangkin mendekat dan dia pun mulai berdiri dihadapan pintunya sambil tersenyum menunggu kami. Dia waktu itu membuka konpeksi khusus topi anak-anak sekolah dan topi pet lainnya. Saya lihat di rumahnya ada beberapa orang tukang jahit lakilaki dan perempuan. Setelah berbasa basi sebentar, menanyakan kapan dia datang ke Bandung, berapa orang putra putri dan lain-lain Dia menanyakan apakah saya masih di tentara, dan apa pangkat saya sekarang. Saya jawab apa adanya. Saya katakan sekarang swasta, sementara menolong mengurus bekas-bekas tentara atau bekas gerilia mendapatkan haknya di Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Disamping itu membuka foto studio dengan nama Buana Studio bersama Jamal dan mas Sunarjan di Jalan Astana Anyar. Dia menceritakan bahwa sekarang dia sedang menerima banyak pesanan dari berbagai toko di Bandung dan Cimahi, tapi tidak bisa meladeni karena kekurangan modal. Dia minta bantuan saya mencarikan orang yang dapat meminjamkan uang atau bekerja sama dengan keuntungan bagi dua. Rata-rata keuntungan usaha ini sekitar 30%-40% Saya tanyakan berapa modal diperlukan. Dia bilang tidak banyak hanya sekian. Mendengar jumlah yang dikemukakannya, rasanya keuangan saya masih sanggup meladeni permintaannya itu. Saya tidak buru-buru mengemukakannya kepada dia apa-apa yang terpikir dalam kepala saya waktu itu. Saya hanya menjawab, Insya Allah, saya akan tanya-tanyakan, kalau ada nanti saya kasi kabar. Pulang dari rumah Mohamad Nur, timbul lagi satu ide yang waktu itu saya anggap muluk. Yaitu mendirikan perusahaan yng bergerak dalam bidang konpeksi secara luas tidak saja terbatas topi untuk anak-anak, tetapi konpeksi dalam arti yang luas. Tahap pertama memenuhi kebutuhan modal kerja yang diperlukan oleh Mohamad Nur. Nanti dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Badan Hukumnya dalam bentuk Firma Namanya pun sudah saya pilih yaitu Fa. Nirwana. Nama itu saya pilih supaya sepasang dengan Buana. Dalam bahasa Sanskerta kalau tidak salah Buana artinya dunia sedangkan Nirwana artinya sorga. Kalau disetujui saya sebagai Direktur Utama dan Mohamad Nur sebagai Direktur Produksi.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

105

Setelah saya tuangkan rencana itu diatas kertas, saya ajukan kepada Mohamad Nur untuk didiskusikan. Ternyata dari pihak dia tidak banyak komentar, apa saja yang saya ajukan dia selalu setuju, mungkin ini karena kurangnya pengetahuannya dalam bidang teori dan hukum dagang, sesuai dengan kapasitasnya sebagai pedagang sejak kecil dan tidak mengenal teori dan hukum dagang. Teknisnya adalah assetnya waktu itu dinilai dalam rupiah. Jumlah itu dijadikan penyertaanya dalam Fa, Nirwana. Sedangkan modal saya dalam Fa Nirwana adalah sebesar modal kerja yang diperlukan. Perhitungannya akan disiapkan dalam waktu seminggu kedepan, setelah itu kami akan pergi ke Notaris untuk mendirikan Fa. Nirwana, dimana pesertanya adalah kami berdua. Setelah assetnya selesai dihitung, dibandingkan dengan modal kerja yang diperlukan, dapat perbandingan 25% modal Mohamad Nur dan 75% modal saya. Setelah disepakati, kami pergi ke Notaris untuk membuat akte pendirian Fa. Nirwana. Dua bulan setelah penanda tanganan akte pendirian Fa. Nirwana, kontrak rumah Mohamad Nur yang di Gang Aleng sudah habis masanya, jadi dia harus mencari rumah kontrakan baru. Sesuai dengan kesibukan usaha waktu itu, kami mencari rumah kontrakan di Jalan Sindang Palai yang lebih luas dari rumah yang di Gang Aleng. Melangsungkan Pernikahan Oktober l953 Tidak mudah menjalankan perusahaan, tidak semudah mendirikannya. Dalam waktu pendek dua perusahaan dapat didirikan, tetapi untuk menjalankannya sudah mulai keteteran. Seperti di foto studio, pertanggung jawaban keuangan yang saya suruh buat tidak pernah dilaksnakan. Tiap ditanyakan ada saja alasannya. Akhirnya baru saya ketahui bahwa Jamal tidak lancar menulis, apalagi disuruh membuat laporan keuangan yang demikian. Waktu itu di Jawa Barat sedang tidak aman, karena adanya DII (Daarul Islam Indonesia) dan TII (Tentara Islam Indonesia) di pedalaman. Kebetulan waktu itu ada tawaran kepada mas Sunarjan, untuk membuat pas foto di pedalaman Kabupaten Ciamis untuk keperluan Kartu Penduduk. Mas Sunarjan tidak dapat melaksanakan karena terikat tugas di PTT yang tidak bisa ditinggal begitu lama. Kalau Buana Studio sanggup mengerjakannya akan diperkenalkan dengan orang tersebut. Orang tersebut rupanya kurir dari Camat Kawali, Kabupaten Ciamis. Tawaran tersebut saya rundingkan dengan Jamal, walaupun ada resiko keamanan tetapi inilah salah satu kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Jamal setuju dan tawaran tersebut kami terima. Sejak itu kami siapkan segala peralatan yang diperlukan. Dengan didampingi oleh kurir Camat tersebut kami berangkat menuju Ciamis sebagai pos kami. Di Ciamis kami dapat menyewa sabagian rumah di Jalan Sudirman bersebelahan dengan Sekolah Dasar. Kurir ini adalah pemandu kami disana. Pertama-tama kami diperkenalkan dengan pak Camat di Kawali. Hubungan ke Kecamatan Kawali harus ditempuh dengan naik kendaraan umum agak setengah jam, setelah itu berjalan kaki sekitar satu setengah jam. Kami berangkat kesana sudah lengkap dengan cadangan pakaian, peralatan foto dan persiapan film untuk seminggu kerja. Daerah itu sudah termasuk daerah operasi militer, siang hari daerah patroli tentara RI, kalau malam daerah patroli DII dan TII . Sering terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Posisi Camat di daerah itu harus pandai-pandai menghadapi kedua kekuatan itu. Saya ikut ke sana hanya untuk bertemu dengan pak Camat untuk membicarakan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

106

segala sesuatu mengenai penugasan tersebut, termasuk cara pembayarannya. Didapat kata sepakat sebagai berikut; Pihak Camat mengumpulkan orang-orang yang akan di foto, dan menerima pembayaran dari masyarkat, untuk nanti disalurkan kepada kami. Tugas kita adalah memotret orang secara berkelompok 2-3 orang mencetak menjadi pasfoto ukuran 4 x 6 cm dengan tarif yang disetujui bersama. Persetujuan tersebut tidak dalam bentuk Surat Perjanjian, tetapi hanya dalam bentuk coret-coretan dan Gentle Agreement saja. Setelah dicapai kesepakatan tersebut saya tinggalkan Jamal disana untuk pelaksanaannya bersama kurir Camat, saya kembali ke Ciamis dan terus ke Bandung. Urusan dengan Ajudan Jenderal Angkatan Darat saya kerjakan secara sambilan, sesuai dengan jadwalnya. Waktu saya kembali ke Bandung prosesnya sudah berada di Bagian Keuangan Ajudan Jenderal. Saya sudah mengirim telegram kepada Sofyan, Ali Amran dan kawan-kawan supaya berangkat ke Bandung untuk mengambil mandat dan mencairkannya di Kas Negara. Serta membawa berkas-berkas baru yang akan diurus berikutnya. Beberapa hari setelah itu datanglah rombongan dari Bukittinggi sebanyak 12 orang termasuk Sofyan dan Ali Amran. Mereka terpaksa saya tempatkan di losmen tempat kami pertama kali ke sini dulu. Hari itu kami hanya jalan-jalan lihat kota Bandung yang terkenal dengan Paris van Java. Semuanya belum pernah datang ke Bandung , mungkin juga tidak pernah mimpi akan datang ke Bandung. Setelah makan malam, saya antarkan mereka kembali ke losmen untuk beristirahat dan saya kembali ke Jalan Astana Anyar. Besok pagi saya datang lagi dengan membawa bukti tanda terima dari Bagian Keuangan. Saya katakan, kalau memperhatikan jadwal kembali, yang tertulis dalam bukti penerimaan, jatuhnya adalah lusa. Namun demikian kita coba saja hari ini kesana, mudah-mudahan mereka bisa membantu kita, karena kita kan datang dari jauh. Seandainya mereka tidak bisa membantu hari ini, terpaksa kita kembali lagi ke sana besok sesuai dengan tanggal yang tercantum dalam tanda terima. Semua setuju dengan langkah-langkah yang saya usulkan itu. Kami berangkat ke Jalan Kalimantan dengan menggunakan 6 buah beca. Sampai di loket saya katakan kepada yang menerima surat tanda terima di loket itu, bahwa mestinya kami datang besok, tetapi karena sudah datang dari Sumatra apakah bisa dibantu hari ini. Yang menerima tanda terima tersebut menanyakan kepada atasannya, tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa banyak emplop masing-masing orang mendapat 2 emplop. Alhamdulillah permohonan kami dikabulkan. Dia langsung memanggil orang per orang dan menyerahkan emplop itu langsung kepada yang bersangkutan. Kami ucapkan terima kasih dan langsung naik beca ke Kantor Kas Negara di Jalan Asia Afrika, untuk mencairkan mandat teresebut. Sedapat uang tersebut, kami langsung ke losmen, disitu kami menyelesaikan perhitungan keuangan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditanda tangani. Yang pertama kami selesaikan dulu adalah dengan 10 orang yang datang belakangan, kecuali Sofyan dan Ali Amran. Setelah selesai pehitungan dengan mereka, sebagian mereka mengatakan akan langsung ke Jakarta dan sebagian lagi akan mencari familinya dulu di Bandung. Setelah itu baru kami selesaikan antara saya dengan Sofyan dan Ali Amran. Alhamdulillah, benar Firman Allah, dalam Q.S Dia lapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan dia sempitkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki. Setelah saya hitung uang bagian saya cukup besar. Kebetulan waktu itu di Jalan Banceuy (sekarang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

107

dipakai kios-kios onderdil) sedang dibangun kios-kios berukuan 3 x 3 mt. Saya ambil satu petak dengan maksud untuk dijadikan tempat berjualan, bila kegiatan pengurusan onderstand sudah tidak ada lagi. Untuk sementara kios tersebut dilengkapai dengan sebuah meja dan beberapa buah kursi seakan-akan kantor tempat kumpul-kumpul bila ada tamu. Sudah seminggu Jamal saya tinggalkan di Ciamis, sudah waktunya saya lihat perkembangan di sana. Saya langsung ke rumah di Jalan Sudirman, dan saya dapati Jamal sudah disitu sedang mencetak pas foto penduduk di salah satu desa Kecamatan Kawali. Sudah ada beberapa puluh pas foto yang selesai, dan masih memerlukan beberapa hari lagi untuk menyelesaikan seluruhnya. Setelah selesai seluruhnya baru dia kembali ke sana untuk menyerahkan foto yang sudah selesai dan untuk memotret penduduk di desa lain dalam kecamatan itu. Saya juga ikut membantu memotong-motong foto yang sudah jadi sesuai dengan ukurannya. Tiga hari setelah itu seluruh foto selesai dicetak, dan sudah dimasukkan ke dalam amplop kecil-kecil diberi nama dan siap untuk diserahkan. Yang memasukkan ke dalam amplop dan memberi nama adalah tugas kurir pak Camat. Sesuai dengan persetujuan, yang menyerahkan dan menerima pembayaran adalah tugas kurir pak Camat. Besok pagi kami bertiga berangkat lagi ke Kecamatan Kawali. Sebelum kami pergi ke desa yang sudah di foto, dan menyerahkan pas fotonya, kami mampir dulu di desa yang akan dipotret oleh Jamal, supaya dia mulai dengan pekerjaannya. Dia memberitahukan kepada Kepala Desa supaya mengumpulkan penduduk di kantor desa untuk membuat pasfoto keperluan Kartu Penduduk. Setelah orang mulai berkumpul, kami pergi menuju desa yang penduduknya sebagian besar telah dipotret minggu lalu. Disitu kurir Camat menemui kepala desanya memberitahukan bahwa foto mereka sudah selesai. Minta mereka berkumpul di kantor desa untuk mengambil pasfoto mereka masing-masing dan membawa uang sekalian. Tidak segera penduduk datang memenuhi panggilan Kepala Desa tersebut. Setelah menunggu kira-kira setengah jam di Kantor Desa belum cukup sepuluh orang penduduk yang datang mengambil pasfoto dan membayarnya. Kami menunggu didesa itu sampai sore, setelah itu kami pergi ke desa di tempat Jamal kami tinggalkan pagi tadi. Kami ditampung di rumah Kepala Desa, makan dan minum disitu, tidak ada warung di desa itu, karena daerah itu daerah operasi militer, hampir sama dengan zaman clash ke dua di zaman revolusi dulu. Malam itu saya sudah mulai bicara dengan kurir Camat dan Kepala Desa tentang pengalaman pembayaran yang tidak begitu lancar. Kurir Camat beralasan desa yang tadi kita kunjungi tidak dapat didjadikan patokan umum, karena kemampuan penduduk di desa itu memang agak lemah dibanding dengan desa-desa yang lain. Dia yakin bahwa di desa lain akan lebih lancar. Saya hanya berdoa mudah-mudahan apa yang dikatakannya itu benar, karena untuk mundur sekarang rasanya tidak etis, sebagai orang yang dapat kepercayaan dari seorang Camat. Besok pagi kami menyaksikan dulu cara Jamal memotret penduduk untuk membuat pasfoto mereka. Orang yang akan di potret disuruh duduk diatas bangku-bangku dua-dua orang sekali potret. Nanti dipisah pada waktu mencetaknya. Pada saat mau dipotret penduduk segera dan banyak yang datang, tidak demikian pada saat mengambil pasfotonya dan membayarnya. Sudah agak siang kami pergi lagi ke desa pertama untuk mengambil uang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

108

yang sudah dikumpulkan oleh Kepala Desa. Ternyata keadaan tidak banyak berbeda dibanding dengan hari kemarin. Saya bertekad untuk menunggu sehari lagi, bila besok, keadaan seperti hari ini tidak berobah, saya harus berbicara dengan pak Camat, bagaimana jalan keluarnya. Ternyata di hari ketiga kami di desa itu keadaan tetap sama. Saya katakan kepada kurir Camat untuk membuat catatan jumlah tagihan kami semua dan jumlah uang yang sudah saya terima sampai dengan hari itu. Saya terima uang tersebut dan dengan catatan itu kami bermaksud menemui pak Camat besok di kantornya. Besok pagi kami pergi ke kantor pak Camat. Kebetulan beliau belum datang, kami tunggu sebentar, tidak lama kemudian beliau datang. Setelah kami berbasa basi sebentar saya langsung melapor kepada beliau perkembangan penugasan yang beliau berikan kepada kami. Satu desa sudah selesai dengan jumlah penduduk yang dipotret sekian orang. Saya perlihatkan catatan saya, bahwa dari sekian banyak pasfotonya yang sudah diserahkan melalui Kepala Desa. Dari tagihan yang semestinya sekian, baru menerima uang pembayaran sekian, atau sama dengan 20% peren dari jumlah tagihan. Sekarang petugas kami sedang melakukan pemotretan di desa anu dan akan selesai 4 hari mendatang. Mendengar laporan saya tersebut beliau termenung sebentar, lantas beliau mengatakan, agar saya melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai. Dalam waktu dekat beliau akan mengumpulkan semua kepala desa, supaya memperhatikan keluhan-keluhan saya tersebut untuk diperbaiki. Saya katakan juga, bahwa kalau keadaan begini berlangsung lama, maka permodalan kami tidak kuat untuk medukung tagihan yang relatif besar nantinya. Selesai kami berkonsultasi dengan pak Camat kami pun pamit dan pergi ke desa tempat Djamal sedang berugas untuk pamit mengatakan saya akan langsung menuju Ciamis untuk terus ke Bandung. Jamal berpesan kalau minggu depan ke sini minta dibawakan beberapa bahan pembantu yang diperlukan untuk pekerjaan dan sudah habis, seperti film, obat-obatan dan lain-lain. Dalam perjalanan ke Bandung saya mulai pesimis, apakah kerja sama dengan Camat Kawali ini akan memberikan harapan untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan atau akan menjadi beban kerugian baru bagi Buana Studio, yang sudah mengecewakan saya. Akhirnya saya serahkan kepada keputusan Allah, apa yang terbaik menurut Nya. Tanpa disadari saya sampai di Bandung menjelang Magrib. Sampai di rumah saya lihat di atas meja sudah ada surat dari ibunda dari kampung. Dalam hati saya, ini tentu masalah yang pernah beliau kemukakan waktu mau berangkat dari kampung dulu. Surat tersebut tidak segera saya baca, lebih baik saya selesaikan salat Magrib dan makan malam dahulu, setelah selesai baru surat itu dibaca.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

109

4. Foto sewaktu muda

Benar apa yang saya duga. Isi surat tersebut mengatakan bahwa sepeninggal saya dulu, oleh keluarga sudah dibicarkan secara mendalam. Setelah melihat ke kanan dan ke kiri, bahkan dengan pihak bako juga sudah dirundingkan, akhirnya keluarga di kampung sepakat menunjuk salah seorang dari 3 orang gadis yang saya sebutkan namanya dulu. Dalam surat itu, beliau mengatakan, kalau dapat permintaan kami ini jangan ditolak, bahkan ancar-ancar bulannya pun telah beliau kemukakan dalam surat itu, yaitu Oktober tahun ini. Mula-mula saya merasa di fait a compli atau di pojokkan oleh keluarga di kampung. Tapi perasaan ini tidak lama mengganggu pikiran saya, segera hilang dikalahkan oleh perasaan hormat dan takut durhaka saya kepada ibunda dan nenek. Tidak lama saya memikirkan isi surat itu segera saya ambil keputusan dan membalasnya. Saya katakan, apa yang sudah diperbuat oleh keluarga di kampung, setelah saya pikirkan matang-matang dapat saya terima. Jika tidak ada halangan Insya Allah pertengahan bulan Oktober 1953, saya akan pulang, tidak lupa saya mohon doa beliau di kampung. Ada pepatah orang mengatakan Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Pepatah ini betul-betul menimpa diri saya dari segi negatifnya. Dalam waktu relatif pendek dua perusahaan berhasil didirikan. Yang satu bergerak dalam bidang foto studio dan yang lain bergerak dalam bidang konpeksi dan perdagangan. Kedua jenis usaha tersebut buat saya adalah asing sama sekali. Tetapi tergoda oleh cerita-cerita muluk dan iming-iming laba yang besar, dan kebetulan uang yang didapat secara mudah sedang banyak, menyebabkan saya cepat sekali tergoda dan terjerumus. Atau mungkin uang yang saya dapat dengan muduh tersebut diragukan kehalalannya?. Allah lah yang maha tahu. Fa. Nirwana yang baru beberapa bulan didirikan sudah kelihatan belangnya. Pesanan yang banyak dari beberapa toko di Bandung dan Cimahi dulu, ternyata bohong. Uang kontan yang saya drop untuk memenuhi pesanan ternyata digunakan untuk membayar hutanghutangnya di beberapa toko tekstil di Bandung. Setelah mengetahui pribadi Mohamad Nur yang tidak jujur demikian, saya katakan saya sudah dibohongi. Mulai sekarang saya tidak mau tahu-menahu lagi dengan Fa. Nirwana ini. Makanlah uang saya itu, mudah mudahan ada berkahnya. Sudah bicara begitu saya langsung pergi dan tidak pernah lagi ingin bertemu
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

110

dengan dia. Tidak lama setelah itu kabarnya dia pindah ke Yogjakarta. Kira-kira 15 tahun kemudian saya bertemu dia di Pasar Bukittinggi, sepintas lalu kelihatannya masih tetap seperti dulu, tidak menjadi kaya dari uang hasil tipuannya itu. Buana Studio lain lagi bentuk kerugian yang akan dihadapi, gambarannya sudah terlihat, tinggal menunggu waktunya. Dugaan saya menjadi kenyataan. Belum sampai seminggu saya di Bandung, Djamal sudah tiba di rumah Jalan Astana Anyar, dengan peralatan foto seperti yang dulu pertama kali dibawa. Belum saya bertanya dia sudah mengeluh, bahwa dia tidak tahan lagi disana. Hampir tiap malam terjadi kontak senjata di sekitar kampung tempat dia menginap itu antara TII dan TNI. Camat pun menganjurkan supaya pulang dulu ke Bandung, nanti kalau sudah agak aman akan diberitahu kembali. Terpaksa saya pulang dengan dibekali hanya untuk ongkos saja katanya. Mungkin inilah waktunya untuk mengubur dalam-dalam angan-angan laba besar selama ini. Untuk tidak menajdi beban bagi saya dan Djamal begitu juga mas Sunarjan, saya katakan, bahwa fotografer bukanlah hoby dan bisnis saya. Karena itu sejak hari ini saya hibahkan saja isi kamar gelap kepada mas Sunarjan dan foto tustel kepada Djamal. Silakan dimanfaatkan mudah-mudahan berfaedah dibelakang hari. Saya tidak ikut lagi memikirkan buana studio ini. Kami bersalaman dan saling merelakan dan memaafkan. Ringan beban pikiran saya waktu itu, sekali pun saya menderita kerugian materi yang cukup lumayan, tetapi cukup sampai disitu. Saya pikir, kalau saya tidak mengambil keputusan demikian maka saya akan menderita kerugian tiga kali. Pertama kerugian materi sudah pasti, untuk kembali tidak mungkin, bahkan mungkin akan lebih besar dari apa yang sudah dikeluarkan. Kedua, kerugian pikiran, yang selalu membebani, alangkah lebih baik pikiran itu digunakan untuk yang lebih produktif, jadi tidak mubazir. Ketiga kerugian perasaan yang selalu berhubungan dengan orang-orang yang omongannya dan tindakannya suka merugikan orang lain. Alangkah lebih baik saya mencari orang yang omongannya dan tindakannya saling menguntungkan dengan orang lain. Rupanya sudah demikian Takdir Ilahi, semoga Allah mengganti dengan yang lain. Amin !. Sejak dua beban berat itu saya lepaskan, saya mempunyai cukup waktu untuk berkunjung ke rumah teman untuk menghibur pikiran dan mencari peluang-peluang baru. Satu ketika saya mmengunjungi Hasan Basri di Jalan Ciateul tempat saya kos dulu. Pangkatnya sudah naik sekarang menjadi Pembantu Letnan. Di rumah itu ada juga teman kos lain namanya Rusli, orang dari Lintau, Batusangkar lama tinggal di Palembang. Dia membuka perusahaan pengolahan belerang untuk bahan ekspor. Dia tinggal di Ciateul sendirian sejak pisah dengan isterinya yang pulang kampung bersama dua orang anak. Sudah lama dia tinggal di situ, lebih dari satu tahun. Dia bermaksud akan pindah ke Jalan Mangga dengan mengambil alih VB (Surat Izin Tinggal) kepunyaan orang Belanda yang akan pulang ke negeri Belanda. VB adalah singkatan bahasa Belanda untuk arti Surat Izin Tinggal yang dikeluarkan oleh Kantor Kotapraja. Waktu itu rumah-rumah Belanda yang ditinggalkan pemiliknya dikuasai oleh Pemerintah. Pemerintahlah yang berhak menentukan siapa orang yang berhak menempati rumah itu. VB itu dapat diperjual belikan seizin Kantor Kotapraja walaupun tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Pemilik VB tidak dapat diusir oleh pemilik rumah atau warisnya.tanpa ganti rugi yang jumlahnya atas persetujuan kedua belah pihak. Bangunan kita di Jalan Wastukancana No. 5 yang disewa Interlink juga berasal dari VB.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

111

Karena uangnya kurang dia mengajak saya untuk mengambil alih VB itu berdua. VB nya pun atas nama berdua dengan membagi ruangan-ruangan yang akan kita sepakati. Bila dia sudah punya uang dia akan mengembalikan uang saya sesuai dengan nilai VB waktu itu. Atau kalau saya perlu uang, VB itu dapat dialihkan lagi kepada orang lain. Waktu itu dia tidak minta jawaban segera, sekarang mari kita lihat dulu rurmah itu, kalau nanti tertarik kita bicarakan lagi katanya. Karena saya tidak ada kegiatan maka saya pun setuju untuk melihat rumah itu di Jalan Mangga. Rumah itu, terbuat dari batu, mempunyai 4 kamar tidur ukuran masing-masing 4 x 4 meter, ruangan tamu, dua kamar mandi, satu dapur. Cuma halaman yang agak sempit. Dengan nilai ambil alih VB yang dikatakan kepada saya, cukup murah, namun demikian saya tidak segera menjawab ajakannya itu. Dalam hati saya, akan bertanya dulu kepada temanteman lain yang mengetahui pasaran VB di daerah itu. Dalam pikiran saya, ajakan ini mungkin ada hubungannya dengan rencana ibunda bulan Oktober nanti. Saya mulai bertanya-tanya kepada teman-teman yang sering berurusan denganVB itu. Biasanya mereka kumpul di kedai nasi mak Itam di Banceuy. Pada satu hari saya pergi makan ke situ, dan bertanya kepada mak Itam siapa yang mengetahui pasaran VB di daerah Jalan Mangga. Beliau menyebut satu nama yang nanti sebentar lagi biasa datang makan di sini katanya. Tidak lama orang tersebut datang, dan diperkenalkan dengan saya. Dia mengatakan, kalau memang ada rumah empat kamar tidur berukuran kira-kira sekian meter persegi seharga sekian, itu cukup murah. Tidak cukup saya bertanya kepada satu orang saja, saya tanyakan lagi kepada temanteman lain yang mungkin tahu. Umumnya mereka mengatakan murah. Setelah yakin, dan saya pikir-pikir, saya hitung-hitung uang yang masih ada serta biaya untuk pernikahan nanti, akhirnya saya putuskan untuk mengambil alih VB rumah itu berdua dengan Rusli. Pertimbangan lain yang mendorong saya mengambil keputusan itu ialah agar saya lepas dari suasana foto studio, yang menyatu dengan rumah tempat kami tinggal sekarang, dan berjauhan dengan tempat tinggal Djamal. Di Jalan Mangga nantinya saya akan mendapatkan suasana baru, dengan lingkungan baru. Di salah satu sore saya datang lagi ke tempat kos Rusli di Jalan Ciateul. Kebetulan dia baru pulang dari kantor. Saya tanyakan mengenai rumah di Jalan Mangga, apakah sudah diambil orang atau belum. Dia menjawab, masih ada, orang itu menunggu keputusan dari saya, katanya. Kalau jadi kita mengambil berdua, mari kita temui orangnya sekarang, mudahmudahan bisa kita tawar lagi agak sedikit. Tanpa menunggu waktu, kami naik beca ke Jalan Mangga menemui penghuni dan pemilik VB rumah tersebut. Begitu kami sampai di rumah itu, kami lihat mereka sudah mulai mengepak-ngepak barangnya. Dalam hati saya bertanya-tanya, mungkin sudah jadi sama orang lain. Rusli langsung menanyakan kepada tuan rumah apakah VB nya sudah diambil orang lain, karena sudah siap-siap mengepak barang?. Tuan rumah mengatakan, barang-barang ini dipak karena akan dikirim melalui ekspedisi ke negeri Belanda, sedangkan kami nanti naik pewawat, katanya. Mendengar jawaban itu, Rusli langsung ke pokok persoalan yaitu mengenai VB
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

112

apakah masih bisa turun lagi agak sedikit, kira-kira 10%. Harga yang saya berikan itu sudah harga murah, katanya. Rusli tetap menawar sampai potongan 5%, kalau setuju besok kami bayar dulu 50% dan setelah selesai balik nama, kami lunasi sisanya. Pemilik VB berpikir sebentar dan berunding dengan isterinya di belakang, dia kembali, mengatakan setuju, mungkin sudah milik tuan-tuan katanya. Besok pagi kami berjanji akan datang dengan membawa uang separohnya, setelah itu kita sama-sama pergi ke Kantor Kotapraja untuk mengurus balik nama VB nya. Dia setuju, kami pun pamit untuk pulang. Sesuai dengan janji, besok pagi kami sudah sampai di Jalan Mangga membawa uang yang disepakati. Sebelum kami berangkat ke Kantor Kotapraja, kami minta izin dulu untuk membuat denah rumah untuk menentukan bagian masing-masing antara saya dan Rusli. Pembagian ini diperlukan nanti di Kantor Kotapraja dan akan dilampirkan pada VB yang akan diterbitkan. Selesai kami membuat denah rumah itu, kami bertiga pergi ke Kantor Kotapraja di Bagian Perumahan. Di sana kami diladeni dengan cepat, kepada kami disodorkan beberapa formulir yang harus ditanda tangani, dan satu set Bukti Pembayaran Restitusi, untuk disetorkan sejumlah uang ke kasir Kantor Kotapraja. Setelah uang disetor, kami kembali lagi ke Bagian Perumahan, dari sana kami diberi Tanda Terima untuk kembali 10 hari lagi. Selesai dari sana kami pisah, pemilik VB kembali ke Jalan Mangga sedangkan kami ke Jalan Ciateul dan saya terus ke Jalan Astana Anyar. Malam itu saya mulai membicarakan dengan kak Syarifah dan mas Sunarjan, bahwa saya dengan teman mengambil alih VB orang Belanda yang akan kembali ke negeri Belanda di Jalan Mangga. Dia akan berangkat kira-kira dua minggu lagi, nanti kalau dia sudah berangkat kami akan pindah ke sana. Kalau begitu sepi lagi kami disini, kata kak Syarifah. Saya dengan keluarga kak Syarifah rasanya seperti saudara sendiri, termasuk kakanda Anwar Sulaiman pemilik rumah di Jalan Kramat VI No. 39 sekarang, adalah kakak ipar dari kak Syarifah bernama Fatimah. Beberapa hari setelah itu, saya sedang duduk-duduk dengan mas Sunarjan di rumah, tibatiba Chairman datang tergesa-gesa memberitahukan sepedanya hilang di sekolah dalam keadaan terkunci. Mendengar berita itu saya tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengucapkan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Saya suruh dia bersabar saja, mau diapakan lagi, kalau musibah mau menimpa kita dia datang dalam sekejap mata. Saya pikir tidak perlu membeli sepeda baru, karena beberapa hari lagi kami akan pindah ke Jalan Mangga. Jarak antara Jalan Mangga dengan jalan Jawa tidak begitu jauh, dapat ditempuh dengan jalan kaki. Sepuluh hari sudah berlalu sejak pertama kali kami pergi ke Kantor Kotapraja mengurus balik nama VB dari nama pemilik lama ke nama kami berdua dengan Rusli. Besok pagi saya datang lagi ke tempat kos Rusli di Jalan Ciateul, untuk bersama-sama ke Kantor Kotapraja. Sesuai dengan janji sebelumnya, bahwa pelunasan dilakukan setelah VB dibalik nama atas nama kami. Jadi kami sepakat untuk membawa uang sisa pembayaran. Bila VB atas nama kami, telah kami terima nanti. Kami akan terus ke Jalan Mangga untuk melunasi pembayaran kepada pemilik lama. Alhamdulillah, kami sampai di Kantor Kotapraja hari masih pagi, tamu-tamu masih sepi, jadi kami bisa langsung diterima oleh petugas di Bagian Perumahan. Begitu kami serahkan tanda terima, yang diberikannya kepada kami sepuluh hari yang lalu, dia mengambil buku ekspedisi yang di dalamnya sudah ada dua lembar VB baru atas nama kami masing-masing. VB itu kami ambil dengan menanda tangani tanda terima pada ekspedisi tersebut.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

113

Setelah itu kami langsung ke Jalan Mangga untuk memenuhi janji kami. Tuan rumah sudah menunggu di ruangan tamu. Rusli membuka pembicaraan, mengatakan bahwa VB baru, telah kami terima. Sekarang kami akan menyelesaikan sisa pembayaran seperti yang kita sepakati dulu. Tuan rumah juga mengatakan bahwa dia sudah booking ticket pesawat ke negeri Belanda dan sudah disetujui untuk hari Senin, dua hari ke depan. Dia minta waktu untuk timbang terima dan mengosongkan rumah ini besok siang hari Minggu jam 1.00. Karena dia akan pergi ke Jakarta dan menginap semalam di Jakarta. Permintaan ini adalah wajar sekali dan kami tidak keberatan. Besok kami akan datang sekitar jam 12.00 dengan membawa barang-barang sekalian, siap untuk pindah. Tidak terpikirkan waktu itu untuk renovasi dan pebaikan lainnya, karena rumah tersebut siap di tempati. Malam itu saya ulangi lagi mengatakan kepada kak Syarifah bahwa hari Minggu jam 11.00 kami akan menempati rumah di Jalan Mangga. Tidak lupa saya meyampaikan terima kasih atas kebaikan selama ini. Beliau pun memahami dan mendoakan semoga selamat dan betah di rumah baru, katanya. Hari Minggu Chairman libur sekolah., pagi-pagi kami sudah siap-siap, untuk nanti jam 11.00 berangkat ke tempat yang baru. Alat angkut waktu itu masih dengan menggunakan beca yang di gerakkan dengan tenaga manusia. Untuk membawa dua buah dipan, satu meja tulis, satu lemari pakaian kecil dan lain-lain, memerlukan empat buah beca sudah termasuk kami berdua. Jam 12.00 kami baru sampai di Jalan Mangga. Rumah praktis sudah kosong. Barang-barang pemilik VB lama terdiri dari beberapa buah koper sudah di pool di kamar tamu. Kamar-kamar tidur sudah kosong semua dalam keadaan bersih. Namun demikian kami ulang kembali membersihkan dan mengepel kamar-kamar yang akan kami tempati. Setelah itu baru barang-barang kami, kami masukkan. Sejak tinggal di Jalan Mangga, kami berdua sudah masak sendiri, tidak lagi merantang seperti di Jalan Astana Anyar. Keputusan ini kami ambil karena kondisi dapur memungkinkan, disamping keuangan juga tidak selancar dulu lagi. Apalagi pengurusan onderstand boleh dikatakan sudah lama tidak ada, sedangkan dua usaha yang diharapkan produktif, dua-duanya gagal. Rumah itu sejak kami tempati hanya diisi empat jiwa, yaitu Rusli dengan seorang anak laki-lakinya, dan saya dengan adik laki-laki yang masih sekolah. Segala sesuatu kami kerjakan sendiri tanpa dibantu oleh seorang pembantu. Setelah kira-kira sebulan kami disana, secara tidak disengaja perhatian saya tertuju pada kalender yang tergantung di dinding kamar tamu. Kalender tersebut sudah memperlihatkan akhir September l953. Sejak itu saya sudah menghitung hari, dan mencari informasi tanggal keberangkatan kapal laut dari Tanjung Priok ke Teluk Bayur di Padang. Saya ingat janji dengan ibunda dan keluarga di Kampung bahwa saya akan pulang pertengahan bulan Oktober tahun itu. Dari agen KPM di Bandung saya mendapat informasi bahwa tanggal keberangkatan kapal terakhir yang mendekati ke pertengahan Oktober adalah tanggal 10 Oktober. Tidak ada pilihan lain, saya langsung pesan ticket dek untuk tanggal 10 Oktober tersebut sendirian. Saya mencoba menghitung-hitung saldo uang yang ada, dan membuat anggaran untuk pernikahan, serta biaya hidup bertiga beberapa bulan ke depan, ternyata defisit dalam jumlah yang cukup besar. Dari angka-angka defisit tersebut saya harus menekan anggaran pada pospos yang mungkin. Seperti kalau tadinya dianggarkan setelah menikah, isteri dibawa kesini dan tinggal bersama disini dengan tiga jiwa, sekarang dirubah menjadi, isteri tetap di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

114

kampung dulu, nanti kalau sudah stabil, baru dijemput untuk dibawa kesini. Langkah lain ialah mendapatkan sumber dana baru, dengan menjual kios yang di Pasar Banceuy seluas 3 x 3 meter, yang dibeli beberapa bulan yang lalu. Saya ambil kunci kios dan saya berangkat ke sana membawa adik. Maksudnya membawa adik adalah bila ada peminat sepeniggal saya pulang kampung dia bisa memberitahukan kepada saya segera dengan telegram. Saya sudah beberapa bulan terakhir tidak pernah mampir ke sana, jadi tidak tahu perkembangan daerah itu. Saya berharap tempat itu sudah ramai dibuka oleh pedagang-pedagang untuk tempat usaha. Bila sudah ramai berarti nilai jualnya akan lebih tinggi, dibanding dengan nilai belinya. Alangkah kecewanya saya, setelah sampai di situ, saya lihat tempat itu dan lingkungannya bukannya lebih maju dan ramai, bahkan lebih sepi dan lebih kumuh dibanding dengan sebelumnya. Saya buka pintunya, saya sedih melihat meja dan kursi penuh debu, demikian juga lantainya. Kami bersihkan, dan duduk-duduk sebentar di situ. Setelah itu saya temui pemilik salah satu kios yang dibuka berdagang onderdil mobil bekas. Saya katakan bahwa saya adalah pemilik kios itu. Saya maksud akan menjualnya, bila ada peminat tolong beritahukan ke alamat kami di Jalan Mangga. Kalau jadi, nanti saya tidak lupa memberi uang jasanya. sambil meninggalkan nama dan alamat saya. Setelah itu kios kami tutup dan kunci kembali, kami pun pulang dengan penuh kecewa. Tanggal 9 Oktober pagi saya berangkat ke Jakarta. Saya sengaja berangkat pagi supaya sorenya saya sempat mampir ke rumah kakanda Nurbeiti dan mamanda Yubhar. Untuk memberitahukan bahwa saya akan pulang kampung untuk melangsungkan pernikahan, sekalian mohon restu. Setelah saya sebut calonnya, kedua orang tersebut, menyambut nya dengan Alhamdulillah. Karena bagi mamanda Yubhar calon saya itu adalah anak saudara beliau dan bagi kakanda Nurbeiti dan kakanda Johar, calon saya itu adalah bekas murid beliau. Malam itu saya menginap di rumah mamanda Yubhar, di Jalan Geneng Tanjung Priok. Saya pilih menginap di situ, adalah untuk memudahkan besok pagi berangkat ke pelabuhan, karena kapal berangkat pagi. Saya sampai di pelabuhan kira-kira satu jam sebelum penumpang dipersilakan naik kapal, penumpang pun belum banyak yang datang, Tidak lama setelah itu penumpang berangsur-angsur ramai dan memadati ruang tamu. Dari kejauhan saya melihat seakan-akan ada Zahar dengan ibunya datang. Zahar adalah orang Tanjung Alam tetangga desa kita di Parit Putus, teman sekolah di Kursus Sekolah Menengah (KSM) dulu. Rupanya ibunya yang akan pulang kampung. Saya juga kenal dekat dengan ibunya, karena kami satu pasukuan sama-sama orang dari suku koto. Dia bertanya siapa yang mau pulang, saya katakan saya sendiri, untuk menikah dengan anak mamanda Ginam. Syukurlah katanya saya titip ibu, beliau tidak ada teman untuk sama-sama pulang. Saya bersyukur juga bertemu dengan ibunya Zahar, karena saya tidak membawa tikar dan lauk untuk makan di atas kapal. Biasanya kalau ibu-ibu yang naik kapal selalu dibekali dengan lauk oleh anak-anaknya untuk makan di atas kapal, karena lauk pembagian di atas kapal kurang enak untuk lidah kita. Begitu juga tikar, tidak ada orang membawa tikar sepas badannya, pasti lebih lebar dari itu. Penumpang di atas dek itu campur baur saja antara laki-laki dan perempuan, hanya dibatasi dengan tas-tas bawaan masing-masing saja.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

115

Tidak lama setelah itu penumpang sudah boleh naik ke atas kapal. Kami pun naik dan Zahar ikut mengantarkan ibunya ke atas kapal, mencarikan tempat dan mengembangkan tikar tempat tidur. Dia bilang supaya di samping beliau saja, dari pada nanti di tempati oleh orang lain, katanya. Insya Allah saya bilang, ibunya Zahar kan ibu saya juga, karena antara ibunya Zahar dengan ibunda saya, juga kenal dekat seperti kakak dan adik. Tidak lama setelah itu, Zahar pun turun dari kapal disusul dengan pluit panjang tiga kali menandakan kapal akan segera berlayar. Perjalanan Tanjung Periok Teluk Bayur waktu itu memakan waktu tiga hari dan tiga malam. Alhamdulillah, setelah tiga hari dan tiga malam berlayar kami selamat sampai di Teluk Bayur. Perjalanan kami lanjutkan ke Bukittinggi dengan menggunakan minibus charteran bayar patungan beramai-ramai. Sore hari itu kami sudah sampai di Bukittinggi, di kampung masing-masing. Ibunda dan nenek gembira melihat saya sudah datang. Alhamdulillah, kata beliau, kami sudah bertanya-tanya apakah jadi si Tamam pulang atau tidak? Pihak sana sudah beberapa kali menanyakan tentang kedatanganmu ini. Nanti malam mamak-mamak kita akan datang menentukan tanggal pernikahan. Setelah saya letakkan tas yang saya bawa ke kamar belakang, saya minta izin dulu untuk pergi salat Asar dan Lohor jamak takhir di mesjid yang berdekatan dengan rumah kami. Selesai salat, baru saya meminum air teh yang dihidangkan sejak tadi oleh adik perempuan saya satu-satunya bernama Nurjalis, kakak Chairman. Selesai salat Magrib, mamak-mamak sudah mulai berdatangan, ada kira-kira 5 orang. Biasanya tiap-tiap pembicaraan yang menyangkut dengan perkawinan, sejak mulai mencari jodoh, sampai pernikahan memang mamak-mamak yang jauh maupun yang dekat berdatangan sebagai partisipasi dan gotong royong. Umumnya mamak-mamak itu menanyakan jam berapa sampai, saya katakan waktu Asar tadi. Tidak sampai setengah jam, makanan pun sudah selesai dihidangkan oleh ibu-ibu yang sejak sore tadi sibuk di dapur. Selesai makan baru pembicaraan dimulai oleh yang dituakan, biasanya yang menjadi mamak rumah atau ketua dari mamak-mamak dalam pasukuan itu. Saya banyak mendengarkan beliau-beliau itu saling berargumentsi dan saling mengusul. Akhirnya jatuh pilihan ke tanggal 30 Oktober l953, sesudah magrib di mesjid dekat rumah kami. Berarti tinggal 17 hari dari hari ini. Oleh karena itu kita sudah mulai bekerja, seperti memberitahukan kaum famili yang jauh maupun yang dekat, termasuk bako, ipar dan besan. Satu-satunya usul saya ialah, agar perhelatan ini diadakan sederhana saja. Mungkin mamak-mamak ini memahami arah pembicaraan saya, beliau setuju dan akan dibicarakan dengan pihak perempuan, mudahmudahan disetujui. Selesai pembicaraan yang prinsip pertemuan itu pun bubar, masingmasing mamak sudah tahu yang menjadi kewajibannya. Malam itu sebelum tidur, kami mengobrol dengan ibunda dan nenek, tentang berbagai hal, seperti keadaan sawah, kedai nasi beliau dan lain-lain. Pembicaraan sampai pada calon pilihan beliau. Saya tanyakan apa yang menjadi dasar pertimbangan keluarga di kampung, sampai pilihan jatuh pada si Lisma ini ? Ibunda menjawab sederhana saja, kata beliau. Pertama, Lisma adalah bekas murid beliau mengaji dulu. Kedua, beliau melihat hubungan saya yang dekat dengan bapaknya Ginam Kari Pamuncak, supaya hubungan itu dikukuhkan sebagai mertua dan menantu. Mendengar dasar pertimbangan yang sederhana itu saya berpikir, ini adalah ketetapan dari Allah Swt. Saya setujui dengan bertawakkal kepada Nya Untuk tidak menjadikan beban pikiran beliau, malam itu saya serahkan kepada beliau, sejumlah uang untuk segala macam keperluan menghadapi hajat ini.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

116

Kebetulan waktu itu ibunda Raiyah dan kakanda A. Tadjuddin sudah merantau ke Sungai Pakning dan bekerja di Caltex. Saya pergi kerumah bako saya. Kebetulan kakanda Nurbeiti waktu itu sedang di kampung bersama seorang putri beliau yang masih bayi. Berita in beliau terima dengan gembira dan berjanji Insya Allah akan datang pada waktunya nanti. Selain beliau tidak ada lagi orang lain yang patut saya datangi yang ada di kampung kita.untuk minta izin dan menyampaikan berita yang penting ini Tidak ada yang patut saya kerjakan di kampung waktu itu, selain menunggu hari yang ditentukan . Tidak ada undangan yang dicetak dan dikirimi. Untuk mengisi waktu sekalisekali saya berkunjung ke kantor Agusman, mengobrol sampai siang, kadang-kadang pulang bersama dia Yang sibuk hanya ibu-ibu tua dan ibu-ibu muda. Ibu-ibu tua sibuk ke pasar dan ke dapur, ibu-ibu muda sibuk mendatangi memberitahukan dan mengundang secara lisan ke rumah-rumah famili yang jauh dan yang dekat, dengan istilah memanggil sambil membawa daun sirih, berikut kapur dan gambir. Waktu yang ditentukan akhirnya tiba. Hari Jumat tanggal 30 Oktober l953, setelah salat Asar kira-kira jam 5.00 saya disuruh bersiap-siap menjadi raja sehariatau pengantin pria. Pakaian sederhana bagi seorang pengantin pria waktu itu adalah sarung dan baju jas. Saya pun mulai memakai sarung bugis dapat meminjam dari mamanda Anwar sedangkan jas minjam dari Agusman. Kopiah dan sandal kulit memang sudah dipersiapkan sejak beberapa hari yang lalu. Sudah menjadi adat di kampung kita setiap pengantin pria bila akan melangsungkan pernikahan dia diantar hanya oleh teman-teman sejawat sebanyak seorang tiap-tiap suku, dengan pakaian hitam-hitam seperti pakaian tukang silat. Pengantin pria di apit dan diarak berjalan menuju mesjid melalui jalan yang agak berbelit tidak langsung. Maksudnya supaya masyarakat kampung mengetahui bahwa hari itu ada hajatan yang diadakan oleh si anu. Pengantin wanita hanya menunggu di rumahnya saja. Setelah saya rapi sebagai pengantin pria, teman-teman sejawat mulai berdatangan mewakili sukunya masing-masing. Keluarga besar pihak pria hanya melepas saja di rumah. Khusus untuk keluarga besar pengantin pria ada lagi satu hari khusus diundang ke rumah pengantin wanita, biasanya sehari setelah hari pernikahan. Selesai makan bersama, kami dipersilakan berangkat menuju mesjid, melalui simpang Parit Putus. Setiap bertemu dengan orang laki-laki atau perempuan selalu ditegur dengan menawarkan rokok atau sirih yang dibawa oleh seorang anak kecil umur kira-kira 8 tahun sebagai ajudan. Sampai di Mesjid, kadi dengan perangkatnya serta wali dari pihak wanita sudah siap menunggu rombongan salat Magrib berjamaah, karena upacara akad nikah biasanya dilaksanakan setelah salat Magrib. Selesai salat Magrib dan salat sunatnya, pengurus mesjid mempersiapkan tempat duduk buat kadi, pengantin pria, wali, saksi, dan rombongan lainnya. Saya duduk berhadapan dengan kadi, sebelah kanan duduk wali pengantin wanita, sebelah kiri duduk saksi-saksi. Kadi mulai dengan tugasnya yaitu dengan menanyakan kepada wali pengantin wanita tentang persetujuan penganten wanita untuk dinikahkan kepada Bustamam. Setelah ada jawaban setuju, baru kadi mengucapkan ijab kabul yang harus dijawab langsung oleh penganten pria. Bila jawabannya lancar, itu dianggap pernikahan tersebut sudah sah menurut syariat. Selesai mengucapkan ijab kabul kadi memberikan kotbah nikah dan nasehat-nasehat perkawinan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

117

Setelah itu rombongan penganten pria bersama dengan kadi dan pengurus mesjid bersamasama datang ke rumah penganten wanita untuk menyerahkan penganten pria kepada keluarga penganten wanita. Serah terima dilakukan setelah selesai makan dan minum, dan setelah itu para tamu pamit untuk pulang. Tinggal penganten pria bersama ajudan, keluarga besar penganten wanita. Tidak lama setelah itu oleh ibu mertua dan saudara lainnya menjemput penganten wanita yang sejak tadi menuggu di kamar dengan pakaian penganten tanpa sunting dan lain-lain. Penganten wanita di persandingkan dengan penganten pria yang didahului dengan bersalaman. Acara itu hanya beramah tamah selama kira-kira setengah jam. Setelah itu penganten wanita disuruh masuk kamar dengan mengajak penganten pria dan dilepas oleh ibu dan bapak mertua sampai di pintu kamar. Acara puncak dalam hajat saya, selaku penganten pria sudah selesai, tinggal sehari lagi, yaitu hadir dalam upacara undangan dari keluarga penganten wanita kepada keluarga besar penganten pria sesudah salat Magrib besok. Sekarang saya sudah menjadi seorang suami, dan menantu dengan gelar Sutan Tunaro. Sudah menjadi kebiasan di kampung kita, bagi seseorang yang baru menikah, membawa isterinya berjalan berdua naik bendi ke Pasar Bukittinggi, berjalan-jalan ke Panorama dan lain-lain. Demikian juga kami, kami menikah hari Jumat, maka hari Sabtu, pada hari pasar di Bukittinggi kami pergi ke pasar Bukittinggi berdua naik bendi, sebagai pengganti honeymoon orang sekarang. Seminggu setelah hari pernikahan, di kampung tanpa kerja, rasanya membosankan juga. Pikiran saya sudah ke Bandung lagi, ingat kerja belum ada, keuangan sudah sangat menipis, sedangkan beban bertambah seorang lagi. Rencana untuk kembali ke Bandung dulu sendirian, saya rundingkan dengan isteri, mertua, ibunda dan nenek. Umumnya mereka menyetujui, karena sangat lazim di kampung kita setelah menikah, istri ditinggal dulu di kampung, nanti setelah beberapa bulan baru dijemput, untuk dibawa bersama ke rantau. Dirawat di Rumah Sakit Sanatorium Cipaganti Dua hari setelah itu, kebetulan ada kapal laut yang akan berangkat ke Tanjung Priok. Saya menumpang kapal itu, dan empat hari sesudah itu saya sudah sampai di Bandung tanpa menginap dulu di Jakarta. Sebagaimana biasa nenek tidak lupa mengirimkan rendang itik untuk si Chairman kata beliau. Di Bandung waktu itu musim hujan, wabah influenza sedang menjadi-jadi. Saya kena flu berat, diiringi dengan batuk-batuk yang susah sembuh. Akhirnya saya disuruh konsultasi ke Dokter Rotinsulu spesialis paru-paru, praktek d Jalan Dago Bandung. Setelah di rontgen, ketahuan bahwa paru-paru saya sebelah kanan atas ada vlek. Kalau tidak segera di obati secara sungguh-sungguh, bisa bahaya dan susah untuk diobati nanti. Kalau mau diopname saja di Sanatorium Cipaganti supaya cepat sembuh, nanti saya kasi surat pengantar katanya. Mendengar saran itu saya tidak pikir panjang, langsung saya setujui, soal pembayaran bagaimana nanti saja pikir saya. Setelah mendapat surat pengantar dari Dr. Rotinsulu saya jalan-jalan ke kantor Pusat Sejarah Militer Jalan Kalimantan, depan Taman Lalu Lintas sekarang. Kantor ini juga mengelola perpustakaan, saya sering meminjam buku di situ atas jaminan pak Tobri yang menjadi Komandan Pusat Sejarah Militer, pangkat Letnan Kolonel. Pak Tobri asal Cirebon
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

118

beristerikan keponakan Sutan Syahrir, bekas salah seorang Perdana Menteri di zaman Presiden Soekarno. Pak Tobri pernah bertugas di Bukittinggi sebagai salah seorang staf pak Aga Kartanagara. Saya kenal beliau selagi masih di Bukittinggi pada awal-awal masuk kota setelah penyerahan kedaulatan RI.

5. Foto sesudah sakit

Saya temui pak Tobri, saya katakan bahwa saya menderita penyakit paru-paru. Dr. Rotinsulu menyarankan supaya dirawat di Sanatorium Cipaganti, sedangkan saya tidak punya uang dan saya sedang tidak bekerja, bagaimana pertimbangan bapak. Saya perlihatkan surat pengantar dari Dr. Rotinsulu kepada beliau. Beliau terkejut mendengar saya mendapat penyakit TBC, karena dari segi penglihatan biasa tidak ada tanda-tanda kata beliau. Setelah beliau hening sejenak, beliau mengatakan, nanti saya buatkan surat ke Direktur Sanatorium, supaya mendapat keringanan dan kemudahan, besok saja mampir lagi kesini kira-kira jam 9.00 pagi mengambil surat itu, kata beliau. Saya berterima kasih kepada beliau, dan saya pamit. Sampai saya di rumah, Chairman mengatakan kepada saya, tadi pak Rusli ingin bertemu tuan katanya. Saya ketuk kamar Rusli, menanyakan barangkali ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Rusli keluar dari kamarnya dan mengajak saya berbicara di ruangan tamu. Dia mengatakan bahwa tagihannya pada pihak ketiga sudah diterimanya. Dia ingin mengembalikan uang saya yang telah saya keluarkan untuk balik nama VB dulu, dengan sedikit laba katanya. Dalam hati saya, Allahu Akbar, pucuk dicinta ulam tiba. Saya setuju, hanya minta waktu untuk mencari rumah lain sewaan atau VB lagi. Dari Rusli juga saya mendapat informasi bahwa ada orang yang ingin melepas VB nya di jalan Riau No. 234, pojok Jalan Gandapura dengan Jalan Riau. Dia menyebut nama orang di Jalan Riau tersebut dan saya ajak Chairman menemuinya sambil melihat rumah dimaksud. Kami bertemu dengan pemilik VB dan diperlihatkan yang akan di alihkan adalah sebuah ruangan muka, diantara banyak kamar dari sebuah rumah besar. Ruangan itu berukuran 8 x 8 meter, sehingga bisa memasak di situ, hanya saja kamar mandi ada di belakang. Mengingat saya harus segera masuk ke Sanatorium, tidak banyak waktu untuk memilih-milih. Selisih uang yang akan saya terima dari Rusli dibanding dengan uang yang akan dikeluarkan mengambil alih VB baru cukup lumayan, untuk hidup beberapa bulan ke depan. Waktu itu kami putuskan setuju mengambil ruangan itu.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

119

Kami kembali ke Jalan Mangga dan menyampaikan kepada Rusli hasil pembicaraan kami dengan pemilik VB di Jalan Riau itu. Besok kami akan pergi ke Kantor Kotapraja mengurus baliknama VB baik dengan Rusli maupun dengan orang di Jalan Riau. Malam itu juga Rusli mengembalikan uang saya dengan ditambah sedikit sebagai labanya. Setelah penanda tanganan berkas-berkas di Kantor Kotapraja, kami segera pindah ke Jalan Riau. Saya katakan kepada Chairman bahwa saya sakit dan harus masuk rumah sakit, tetapi jangan beritahukan kepada ibunda di kampung, nanti beliau resah memikirkan kita. Ini ada uang untuk belanja, supaya berhemat-hemat, mungkin saya lama di rumah sakit. Saya tinggalkan uang belanjanya.untuk sebulan, nanti bulan muka ambil lagi ke rumah sakit tempat saya dirawat. Besok pagi saya kemasi pakaian saya beberapa potong, lengkap dengan piama, anduk, perlengkapan mandi dan lain-lain, berangkat ke Sanatorium Cipaganti. Saya suruh Chairman minta izin tidak sekolah satu hari, ikut saya supaya dia tahu di mana saya dirawat. Sampai di Sanatorium Cipaganti saya serahkan surat dari Dr. Rotinsulu dan surat dari Pusat Sejarah Militer yang diberikan oleh pak Tobri. Surat-surat itu dibawa oleh mantri kepada Direktur Sanatorium Dr. Wisnu Husodo. Tidak lama saya dipanggil, dan ditanyakan sudah berapa lama sakit ini. Saya jawab baru ketahuan minggu kemarin saja. Dia panggil mantri yang tadi, suruh membawa saya ke ruangan nginap yang tidak jauh dari ruangan periksa. Di ruangan itu ada enam tempat tidur. Lima diantaranya sudah di tempati tinggal satu tempat tidur yang kosong dekat ke dinding. Saya ditempatkan disitu. Di sebelah kanan saya pegawai Pekerjaan Umum namanya Samsi, orang dari Jawa Tengah, sudah berkeluarga. Saya diberitahu oleh mantri tadi, supaya besok pakai piama pergi ke tempat periksa tadi jam 8.00 untuk diperiksa. Selesai saya ditempatkan diruangan itu, Chairman saya suruh pulang. Alhamdulillah, di Sanatorium itu serba lengkap. Alat-alat rontgen, laboratorium dan lainlain, sehingga tidak satu pemeriksaan pun yang harus pergi ke luar kecuali pemeriksaan di luar penyakit paru-paru, seperti sakit gigi, sakit mata dan lain-lain. Demikian juga obat-obat utama semuanya lengkap, tidak ada yang harus dibeli di luar, kecuali obat-obat tambahan seperti vitamin atau suplemen lainnya. Namun demikian, persaingan antar teman menggoda keuangan saya, seperti jajan sebagai extra fooding, rupa-rupa vitamin dan lain-lain. Sehingga baru tiga bulan dirawat di sana persediaan uang mangkin menipis. Tiap kali Chairman datang menjenguk saya, selalu saya ingatkan supaya jalan-jalan juga ke Pasar Banceuy, barangkali ada orang yang mau mengambil kios kita disana, sekalipun dengan harga murah asal bisa dijadikan uang. Pada kunjungannya bulan muka dia mengatakan ada yang menawar tetapi murah kirakira separoh harga beli kita dulu, katanya. Saya pikir, mumpung ada yang menawar jual sajalah, karena keuangan kita sudah hampir habis. Kalau bisa diselesaikan sendiri selesaikan saja disana, kalau tidak, bawa pembelinya ke sini beserta kwitansi pembelian kita dulu dan kuncinya, di sini kita lakukan timbang terima, kata saya. Kebetulan bisa diselesaikan di Pasar Banceuy oleh Chairman, karena waktu kunjungan minggu depan Chairman sudah membawa uangnya saja dan diserahkan kepada saya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

120

Tidak lama bertahan uang sebesar itu, sehingga dua bulan ke muka ada berita dari Chairman ada orang yang berminat mengambil alih VB ruangan yang ditempati sekarang di Jalan Riau, dengan harga lebih besar dari harga beli kita dulu. Saya katakan suruh tambah sedikit lagi, kalau dia mau, jual saja, dan untuk tempat tinggal kita, sementara kita sewa saja rumah nanti. Setelah di sampaikan kepada peminat ternyata dia mau menaikan tawarannya menjadi sekian. Sebelum ruangan itu diserahkan cari tempat kos saja dulu menunggu saya keluar dari Sanatorium ini. Rupanya sekembali dari tempat saya, Chairman bertanya-tanya sama temannya tempat kos. Dia dapat di Gang I Jalan Sederhana dekat Rumah Sakit Rancabadak, dihadapan rumah itu ada kali kecil. Sudah ada tempat kos untuk Chairman, maka saya sudah mantap untuk menjual VB ruangan di Jalan Riau itu kepada peminat yang menawar itu. Alhamdulillah, kepada saya tidak pernah ditagih satu sen pun sejak awal sampai saya sembuh selama lebih kurang 6 bulan dirawat di sana. Selama dirawat, pernah kakanda Nurbeiti bersama kakanda Johar dan anak-anak beliau menjenguk saya. Setelah sembuh saya dibekali obat lagi untuk persiapan 3 bulan, yaitu tablet INH dan tablet PAS. Pulang Kampung Bersama Adik Waktu itu timbangan badan saya sudah naik menjadi 60 kg, dari 48 kg pada saat masuk Sanatorium dulu. Sekarang merasa lebih segar dan sudah lama saya tidak batuk-batuk. Begitu saya diizinkan keluar dari Sanatorium, saya nompang dulu di tempat kos Chairman. Di situ saya berpikir apakah tidak lebih baik kami pulang dulu sambil merehabilitasi jiwa dan jasmani saya yang sekian lama menghadapi cobaan yang tidak disangka-sangka. Kalau kami tetap disini saya harus bekerja keras lagi untuk mencari lapangan hidup baru yang belum tentu dapat segera. Kalau sekarang pulang, mumpung masih ada cadangan uang agak sedikit, untuk bekal belanja di kampung beberapa hari nanti. Saya runding dengan adik bagaimana baiknya, dia pun setuju demi menyelamatkan sekolahnya. Sebab kalau dia tinggal sekolah di sini siapa yang akan memikul biayanya. Kalau sekolah di kampung, paling-paling mengusahakan biaya hanya untuk transpor pulang pergi disamping uang sekolah dan buku, sedangkan untuk makan tidak usah dipikirkan. Kami pikir ulang seminggu lagi, mudah-mudahan ada pikiran baru yang lebih baik dari pada pulang kampung. Saya pergi menemui pak Tobri, memberitahukan bahwa saya sudah sembuh dan berterima kasih atas bantuan beliau sambil minta nasihat. Beliau setuju dengan keputusan saya untuk pulang kampung dulu dalam rangka rehabilitasi jiwa dan penyesuaian diri. Waktu itu saya belum mengenal nikmatnya salat Istikarah dalam kondisi yang seperti itu. Tidak ada pilihan lain, lebih baik mundur selangkah sekarang untuk maju sepuluh langkah di masa depan. Sejak itu kami mulai siap-siap menyelesaikan barang-barang yang tidak dapat dibawa diberikan kepada siapa saja yang memerlukan, dan menemui orang-orang yang patut ditemui untuk pamit seperti kak Syarifah, Rusli dan lain-lain. Di hari yang dientukan kami meninggalkan Bandung menuju Jakarta dan menompang di rumah mamanda Yubhar lagi, di Jalan Geneng Tanjung Priok.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

121

12. BEKERJA DI BUKITTINGGI ( 1954 Pertengahan 1956)


Kami sampai di kampung sore-sore. Ibunda dan nenek kaget melihat kami tiba-tiba sudah ada dihadapan beliau, tanpa memberi tahu sebelumnya, Apalagi, saya yang dulu kurus sekarang telihat berisi dan gemuk. Tentu oleh beliau tidak terpikirkan bahwa kepulangan kami kali ini adalah kepulangan penuh kegagalan, dan pesimis yang akan merehabilitasi phisis dan fisiknya. Berangkat dengan modal nol kecil, pulang dengan nol besar. Sebagaimana biasa setiap perantau pulang, saudara, mamak dan tetangga lainnya berbasa basi datang menanyakan mulai dari kesehatan dan lain sebagainya. Rupanya famili di kampung telah mengetahui bahwa saya lama dirawat di rumah sakit. Supaya tidak bertanyatanya, saya jelaskan sekalian tentang penyakit yang saya derita, yang berdasarkan ilmu kedokteran, pengobatannya harus tuntas. Jenis penyakit ini jika tidak diobati secara tuntas akan cepat sekali kembali lagi dan akan menjadi beban seumur hidup. Ibunda rupanya membaca kegundahan saya menghadapi masa depan saya. Beliau pun menghibur dengan mangatakan dirumah sajalah dulu, ada sama kita makan, tidak ada sama berhenti, tidak mungkin Tuhan tidak memberi rezki sama umatnya. Kata-kata beliau ini membesarkan hati saya. Waktu itu beliau masih berjualan nasi di Simpang Parit Putus. Ada kira-kira setengah jam saya bicara-bicara dengan ibunda dirumah, saya permisi untuk pulang ke rumah istri yang hanya berjarak lebih kurang dua ratus meter. Di rumah isteri pun demikian juga. Begitu saya sampai, keluarga pihak isteri pun datang sebagai perhatian dan basa-basi kepada menantu yang baru pulang dari rantau. Sejak itu saya menjadi penganggur penuh. Kerja, hanya makan, minum, main, mengobrol, tidur, makan, minum, main mengobrol, tidur selama lebih kurang 4 bulan. Kebutuhan beras disuply dari ibunda. Saya masih ingat, kata-kata adinda Nurjalis kepada ibunda kita jemur padi itu untuk kakanda Lisma, tuan Tamam kan tidak bekerja. Sekali limabelas hari di bawakan beras setengah karung, untuk kami. Untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk Lisma menerima upah jahit dari Sutan Makmur (ayah Dasnir) yang membuka usaha konpeksi waktu itu. Belum puas cobaan datang kepada saya. Dalam kondisi yang demikian, saya mendapat penyakit kuning (hepatitis A) Gejalanya ialah, sesudah makan perut merasa tidak enak seakan-akan mau muntah, badan lemas, biji mata kuning. Ibunda cemas melihat kesehatan saya. Beliau memberi saya uang, dan menyuruh saya pergi berobat kepada Dokter Jamil di Jalan Atas Ngarai. Dr. Jamil ini yang terbaik di Bukittinggi waktu itu dan terkenal mahal dan disiplin. Bila nasehat-nasehat beliau tidak diikuti lain kali beliau tidak mau meladeni lagi, dan disuruh mencari Dokter lain saja katanya. Sore itu saya pergi menompang bendi sampai di Aur Tajungkang. Dari Aur Tajungkang ke sana berjalan kaki jarak satu kilometer. Pemeriksaan disitu sudah lengkap berikut pemeriksaan laboratorium yang dikerjakan oleh Dokter Jamil sendiri. Saya menunggu di ruangan tamu sampai beliau memeriksa darah dan urine saya. Selesai pemeriksaan, saya dipanggil, sambil memberi resep, beliau mengatakan, supaya banyak istirahat di tempat tidur, tidak boleh makan yang berminyak-minyak, sekali seminggu harus datang untuk diberi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

122

suntikan. Pulang dari sana saya terus ke rumah ibunda menyampaikan nasehat Dr.Jamil kepada saya. Beliau berpesan, supaya saya ikuti semua nasehat Dr. Jamil itu kalau mau sembuh, kata beliau. Kepada Lisma juga saya sampaikan nasehat Dr.Jamil itu. Dia juga membantu dengan menyiapkan makanan tanpa minyak, hanya dengan bakar-membakar saja. Alhamdulillah dalam sebulan sudah terlihat kemajuannya. Bola mata yang tadinya kuning sekarang sudah mulai agak bening. Rasa mau muntah sesudah makan sekarang tidak ada lagi. Melihat kemajuan kesehatan saya sedemikian rupa, Dr. Jamil kembali memeriksa darah dan urine saya. Sejak itu tidak perlu lagi tiap minggu ke sini cukup sekali limabelas hari saja untuk disuntik kata beliau. Saya bersyukur menerima kabar ini, karena saya sendiri sudah kasihan pada ibunda. Tabungan beliau sudah habis, bahkan saya mendengar beliau sudah mulai pinjam kanan kiri untuk kepentingan pengobatan saya. Pada salah satu malam, tanpa sebab mata saya tidak bisa tidur. Walau pun sudah bolak balik berusaha untuk tidur tetap tidak bisa. Pikiran saya tercurah pada arti hidup saya. Saya sudah mulai merasa bahwa hidup saya ini tidak ada artinya, hanya menjadi beban keluarga saya maupun keluarga isteri. Pikiran ini mutar-mutar sekitar persoalan itu saja. Sudah sampai jam 2.30 malam saya belum juga bisa tidur. Tengah malam itu saya bangun pergi mengambil uduk untuk sembahyang tahjud. Rasanya sembahyang malam itu khusyuk sekali. Kepada Allah saya mengadukan penderitaan batin saya, menangis dengan permohonan. Bila Allah menganggap bahwa hidup saya ini tidak akan ada artinya untuk diri saya, keluarga, dan masyarakat, bahkan sebaliknya, saya rela disudahi sampai disini saja bila itu menurut Allah terbaik untuk saya. Ada kira-kira 2 jam saya diatas sajadah, untung isteri saya tidak bangun melihat saya duduk menangis. Kalau dia bangun mungkin dia ikut menangis untuk menyabar-nyabarkan saya. Sejak Dokter Jamil mengatakan bahwa saya sudah boleh sekali dua minggu datang untuk disuntik, saya sudah main-main ke simpang Parit Putus, mengobrol dengan teman-teman yang biasanya ada di simpang, minimal dengan pedagang-pedagang disitu. Tidak lama setelah saya menangis tengah malam itu, kebetulan pada suatu sore ada teman lama yang sama-sama kursus tata-buku Bond A di Jakarta dulu mencari saya ke kampung. Dia adalah orang Tengah Sawah Bukittinggi, sejak setahun lalu sudah menetap di Bukittinggi dan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Bukittinggi. Dia mendengar dari salah seorang teman bahwa saya sejak beberapa bulan lalu sudah menetap di Kampung, dan sekarang sedang tidak bekerja. Kami bertemu di simpang Parit Putus, dan saya ajak dia kerumah, sekalian memperkenalkan dengan istri saya. Dia prihatin mendengar saya menganggur sekian lama. Dia mengajak saya bekerja di suatu perusahaan swasta yang kebetulan memerlukan tenaga yang mempunyai ijazah tata-buku Bond A. Mula-mula saya minder menerima tawarannya itu, dan dia berusaha meyakinkan saya supaya saya mau menerima. Dia bilang bahwa dia mengajak saya bekerja bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan, tetapi yang penting dan lebih utama ialah mengembalikan kepercayaan diri saya yang sudah mulai melorot, akibat cobaan yang bertubi-tubi. Akhirnya saya mau dan besok kami berjanji bertemu dibawah jam gadang di Bukittinggi, jam 7.30.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

123

Pengalaman Sebagai Juru Buku (Boekhouder) di PT Nusantara Malamnya saya siapkan ijazah tata-buku Bond A yang saya peroleh tahun 1952 untuk dibawa besok melamar pekerjaan. Pagi-pagi saya sudah bangun, mandi dan memilih pakaian yang terbaik yang saya miliki. Jam 7.15 saya sudah ada dibawah jam gadang Bukittinggi. Tidak lama teman lama ini pun datang berjalan kaki. Dia mengajak saya ke Kampung Cina arah ke Jalan Lurus. Dalam perjalanan dia ceritakan, perusahaan yang mencari tenaga pembukuan itu adalah PT Nusantara, beralamat di Jalan Kampung Cina bersebelahan dengan kantor Bank Nasional. Tidak lama, kami sudah sampai di Kantor PT Nusantara. Ruangan Direksi dan administrasi ada di ruangan atas, sedangkan ruangan bawah dipakai untuk operasionel. Saya diajak menemui Kepala Bagian Pembukuan. Nama beliau adalah pak Syarif Johan, lebih tua dari saya kira-kira 10 tahun. Teman lama itu setelah memperkenalkan saya dengan pak Syarif Johan dia langsung pamit, karena harus masuk kerja. Pak Syarif Johan, menanyakan, apakah sejak mendapat ijazah Bond A sudah berpengalaman di bidang pembukuan?. Saya mengaku, belum. Pertanyaan ini rupanya beliau maksudkan untuk menentukan posisi saya dan besarnya gaji yang akan ditawarkan. Beliau mengatakan, prinsipnya dapat diterima bekerja disini, karena belum berpengalaman, standar gaji permulaan adalah sekian. Kalau setuju, hal ini akan saya sampaikan kepada Direksi untuk disetujui. Kalau disetujui oleh Direksi, besok bisa mulai bekerja kata pak Syarif Johan. Saya ingat nasihat teman lama di rumah kemarin, anggaplah ini sebagai usaha pengembalian kepercayaan diri katanya. Saya pikir sebentar setelah itu saya jawab, setuju pak, saya ingin mendapatkan pengalaman dari bapak kata saya. Saya disuruh menunggu sebentar, ijazah saya dibawa oleh pak Syarif Johan menuju kamar Direksi yang berada di pojok ruangan itu. Kira-kira 15 menit beliau keluar dari kamar direksi dan kembali ke meja beliau. Beliau mengatakan Direksi setuju, dan besok pagi bisa mulai bekerja. Jam kerja disini adalah masuk jam 7.00 pagi pulang jam 2.30 siang. Beliau berpesan supaya besok menyiapkan lamaran kerja untuk kepentingan administrasi. Sampai di rumah, saya ceritakan kepada ibunda, Alhamdulillah saya sudah diterima bekerja di PT Nusantara, dan mulai bekerja besok. Berlinang air mata beliau mendengar kabar gembira itu. Syukurlah kata beliau, rusuh kami melihat kamu seperti ini, terus menerus. Baik-baiklah bekerja di situ, jangan melawan-lawan sama atasan, pesan beliau. Kepada isteri juga saya beritahukan hal yang sama, dan kebetulan dia mempunyai sebuah sepeda. Dia bilang, kita perbaiki saja sepeda kita itu untuk pulang pergi kerja. Besoknya pukul tujuh kurang lima menit saya sudah ada di kantor PT Nusantara. Pak Syarif Johan sudah ada di kantor, dan saya lihat di sebelah kiri meja beliau sudah ada satu buah meja kosong berikut kursi. Saya langsung menuju meja beliau, menyerahkan surat lamaran yang kemarin beliau pesankan. Beliau menunjuk meja yang disebelah kiri beliau itu untuk saya. Sebelum saya duduk di kursi yang disediakan untuk saya, pak Syarif Johan mengajak saya keliling dulu berkenalan dengan semua staf yang ada di ruang atas. Pertamatama saya di bawa ke kamar Direksi yaitu pak Anwar Sutan Saidi. Setelah itu dengan Kepala Bagian Penerbitan pak Osman Hasibuan, sesudah itu kepada Kepala Bagian Percetakan pak Makmur. Setelah itu baru kepada staf lainnya termasuk staf keuangan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

124

Hari pertama itu saya belum dikasih pekerjaan. Kepada saya hanya dikasih struktur organisasi dengan job description, serta kumpulan peraturan-peraturan intern untuk dipelajari. Dari struktur organisasi dan job description itu saya ketahui bahwa PT. Nusantara bergerak dalam bidang Penerbitan, Percetakan dan Perdagangan. Hasil membaca struktur organisasi dan job description itu saya berkesimpulan bahwa PT. Nusantara waktu itu sedang berkembang pesat. Tidak tertangani oleh tenaga-tenaga yang ada. Waktu saya masuk, tenaga di bagian pembukuan hanya pak Syarif Johan dibantu oleh seorang ibu-ibu bernama Rosmi, berarti bertiga dengan saya. Wajar kalau pak Syarif Johan kewalahan, banyak pekerjaan pembukuan tidak sempat dikerjakan seperti buku-buku pembantu dan lain-lain. Tidak sempat saya membaca kumpulan peraturan-peraturan intern di kantor karena jam sudah mendekati jam 2.30. Saya minta izin ke pak Syarif Johan untuk membawa kumpulan peraturanperaturan intern itu pulang supaya saya sempat membaca di rumah. Beliau menyetujui, supaya besok sudah boleh diberi pekerjaan pembukuan yang tertinggal. Hari kedua saya masuk kantor seperti kemarin. Berkas-berkas yang kemarin diserahkan pak Syarif Johan untuk saya pelajari sudah selesai saya baca semua. Pagi itu saya kembalikan semua, dengan harapan supaya dapat pekerjaan yang langsung menyangkut dengan pembukuan sesuai dengan ijazah yang saya miliki. Harapan itu menjadi kenyataan. Pak Syarif Johan minta saya memasukkan bon-bon penerimaan dan bon-bon pengeluaran ke kartu persediaan yang sejak bulan Januari tidak dikerjakan. Saya dibawa ke lemari tempat menyimpan bon-bon penerimaan dan bon-bon pengeluaran yang masih bertumpuk. Itulah pertama kali saya melihat bagaimana bentuknya kartu persediaan, dan bagaimana membukukannya dan apa fungsinya dalam pembukuan secara keseluruhan. Pertama-tama pak Syarif Johan mengajarkan kepada saya cara pengisiannya, untuk saya lanjutkan. Tetapi sebelum saya lanjutkan, saya periksa dan susun dulu semua bon-bon itu menurut tanggalnya, baik untuk bon penerimaan maupun bon pengeluaran. Setelah itu baru saya bukukan ke masing-masing kartunya. Sejak itu saya terbenam dengan pekerjaan itu, selama lebih dari dua minggu, baru selesai sampai ke tanggal terakhir. Pak Syarif Johan memeriksa pekerjaan saya, beliau menanyakan apakah sudah selesai ?. saya bilang, sudah pak. Kelihatannya beliau puas dengan pekerjaan saya. Beliau minta saya menyusun kembali ke tempatnya masing-masing, yaitu bon-bon ke gudang arsip khusus untuk menyimpan bonbon penerimaan dan pengeluaran, sedangkan kartu persediaan di lemari khusus untuk menyimpan kartu-kartu persediaan. Belum cukup sebulan saya bekerja di PT Nusantara, terjadi ketegangan dalam rumah tangga. Ketegangan bukan antara saya dengan isteri, tetapi antara saya dengan bapak tiri isteri bernama Ajam yang berprofesi sebagai kusir bendi. Satu ketika saya emosi, tidak tahu apa sebabnya, sampai saya tendang pintu kamar saya yang bersebelahan dengan kamar bapak tiri itu, sambil mengatakan saya disuruh berlaku kurang ajar di rumah ini Waktu itu ibu mertua dan bapak tiri istri sedang ada di dalam kamarnya. Saya menunggu reaksi dia, ternyata tidak ada. Besok pagi sambil pergi kerja saya bawa pakaian saya untuk pengganti beberapa hari. Saya katakan sama isteri, biarlah saya tinggal dulu di losmen Merapi di Aur Tajungkang sambil mencari rumah sewaan di Bukittinggi. Kalau saya tetap di kampung mungkin terjadi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

125

hal-hal yang tidak diingini antara saya dengan mak Ajam nanti. Sejak itu saya tidak pakai sepeda lagi pergi ke kantor. Sebelum saya ke kantor saya mampir dulu di losmen Merapi memesan kamar untuk beberapa hari. Di kantor, konsentrasi kerja saya terganggu. Saya mulai bertanya-tanya barangkali ada diantara teman-teman mengetahui orang yang akan menyewakan rumahnya untuk satu keluarga kecil. Salah seorang teman tempat saya bertanya adalah Rustam pegawai bagian Penerbitan. Dia bilang ada orang kampungnya tinggal di Jalan Atas Ngarai, menyewa sebuah rumah yang mempunyai dua kamar tidur. Sedangkan dia hanya memerlukan satu kamar tidur saja, mungkin dia mau menyewakan satu kamar lagi. Kalau mau nanti pulang kantor kita sama-sama ke sana melihat rumah itu, katanya. Pulang kantor kami pergi melihat rumah itu, saya dikenalkan dengan penyewa sekarang namanya Muli. Lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun, dan isterinya Ana. Pak Muli dan etek Ana keduanya berdagang sepatu di Pasar Atas Bukittinggi, mereka berasal dari Desa Sungaipuar. Rustam mengatakan maksud kedatangan kami menanyakan apakah kamar yang satu lagi akan disewakan, dan saya sedang memerlukan satu kamar katanya. Pak Muli dan etek Ana setuju kami tinggal di situ, karena rumah ini kalau siang kosong saja, sedangkan mereka dua-duanya ada di kedai sepatunya, dan baru pulang pukul empat sore. Besok sore Lisma datang ke Losmen Merapi mengantarkan pakaian untuk pengganti pakaian yang kotor untuk dicuci di kampung. Saya ajak dia sekalian melihat rumah itu. dan kebetulan pak Muli dan etek Ana sudah pulang dari kedainya. Alhamdulillah kami sepakat untuk tinggal serumah, mudah-mudahan menjadi saudara nantinya. Kami janji hari Minggu akan masuk ke rumah itu. Saya minta Lisma menyampaikan dulu kepada ibunda dan keluarga lainnya yang patut diberitahu, bahwa kita akan tinggal dulu di Bukittinggi, supaya lebih dekat ke kantor tempat saya bekerja. Nanti setelah saya menemui ibunda dan nenek minta izin pindah ke Bukittinggi, saya juga akan menemui famili-famili pihak isteri di kampung sebagai basa basi. Hari minggu kami pindah, ibunda mertua ikut mengantar kami ke tempat yang baru. Kira-kira sebulan kami tinggal di sana Lisma mulai merasa mual-mual. Kami periksakan ke klinik Gereja yang berdekatan dengan rumah kami, ternyata dia positif hamil. Tetapi kehamilan pertama ini tidak bertahan lama, hanya lebih kurang tiga bulan, setelah itu dia keguguran, dan dirawat di klinik gereja itu beberapa hari. Alhamdulillah beberapa bulan kemudian, Allah mengganti dengan yang lain, dan selamat lahir pada tanggal 24 Januari l956, yang merupakan anak kami yang pertama diberi nama Herry Bustaman. Sejak kami tinggal di Jalan Atas Ngarai, Chairman sering mampir ke rumah. Saya arif, mungkin perlu sedikit uang untuk jajan dan lain-lain, karena ia sejak SMP sudah mulai merokok. Saya katakan, kalau sudah dapat uang jajan dari saya kepada ibunda jangan diminta lagi, kasihan beliau. Bulan depan dia datang lagi sebagaimana biasa, dan mengatakan dia sudah kos di Tangahsawah dekat mesjid. Uang kosnya sekian sebulan katanya. Saya diam, sambil kesal, akan membiarkan ibunda mencarikan uang untuk membayar kosnya, saya betul-betul tidak sampai hati. Ibunda sudah banyak mengeluarkan uang biaya berobat saya di Dr. Jamil, bahkan sampai berutang, mungkin utang tersebut belum lunas, sekarang sudah ada beban baru lagi untuk kos bulanan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

126

Saya sudah merasa betah bekerja di PT Nusantara. Besok pagi, pak Syarif Johan mendekati meja saya, mengatakan, hari ini saya minta tolong mengerjakan kartu utang dan piutang, yang sejak bulan Januari tidak dikerjakan. Beliau mengambil sendiri berkas-berkas yang akan dikerjakan itu, dan membawa ke meja saya. Pekerjaan ini lebih sulit dibanding dengan mengisi kartu-kartu persediaan, dan memerlukan ketelitian. Inipun beliau tunjukkan beberapa buah transaksi, setelah itu baru saya lanjutkan. Pak Syarif Johan adalah orang baik, diantara orangorang yang baik yang saya kenal. Beliau tahu bahwa saya belum berpengalaman dalam praktek pembukuan, beliau ajar dan tunjuki dari yang sekecil-kecilnya dengan sabar. Saya sadar dan respek kepada beliau, oleh karena itu tiap tugas yang beliau berikan kepada saya, selalu saya kerjakan dengan hati-hati dan selesaikan pada waktunya.. Begitu juga cara beliau memberikan tugas kepada saya, tidak pernah beliau memberi tugas itu dalam bentuk perintah, selalu dengan menggunakan katakata tolong. Sikap ini tidak saja kepada saya, tetapi juga kepada Rosmi yang sudah lebih dahulu masuk beberapa bulan dari saya. Tugas yang baru saya terima, mulai saya kerjakan sambil merenungkan kembali petunjuk-petunjuk pak Syarif Johan. Kartu utang piutang yang sedang saya kerjakan sangat erat hubungannya dengan buku besar yang dikerjakan oleh Rosmi. Sejak itu saya banyak berhubungan dengan Rosmi. Dari teman lain saya mendapat informasi bahwa Rosmi baru saja mendapat musibah, ditinggal meninggal suaminya dan meninggalkan seorang bayi perempuan berumur bulanan. Jadi setiap satu atau dua jam dia pulang kerumah dulu untuk menyusukan anaknya. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan kantor. Rosmi jarang berkomunikasi dengan teman-teman di kantor kalau tidak perlu, mungkin belum lepas dari kesedihan yang menimpanya. Tidak lama setelah itu, saya membaca iklan di koran Haluan bahwa PT Nusantara menerima pelamar-pelamar untuk di tempatkan di bagian percetakan, pembukuan, dan perdagangan. Sejak hari itu setiap hari ada saja lamaran yang masuk untuk berbagai peluang yang terbuka. Pak Syarif Johan memerintahkan kepada saya untuk mengumpulkan pelamarpelamar untuk bagian pembukuan yang memenuhi syarat. Dari sekian banyak yang memenuhi syarat, beliau pilih enam pelamar yang terbaik. Beliau minta saya menyiapkan surat panggilan untuk test dan intervew pada hari yang ditetukan. Beliau mengatakan yang diperlukan hanya tiga orang, sengaja dipanggil enam orang untuk mencari yang terbaik dari yang enam orang tersebut. Pada hari yang ditentukan para pelamar sudah datang. Pak Syarif Johan sudah menyiapkan test tertulis yang sederhana, karena beliau megharapkan hasil intervew akan memberikan hasil yang maksimal. Test tertulis maupun intervew dilakukan sendiri oleh pak Syarif Johan, saya hanya membantu sesuai dengan permintaan beliau. Setelah test dan intervew selesai, beliau menyerahkan kepada saya tiga lamaran yang dianggap memenuhi syarat untuk dipanggil dan diterima bekerja mulai tanggal 1 bulan depan. Setelah saya perhatikan, ketiga pelamar yang lulus tersebut berasal dari tiga kota, yaitu Kota Padang, Kota Payakumbuh dan Kota Bukittinggi masing-masing seorang. Dari Kota Bukittingi adalah Sofyan Ponda, yang sekarang pemilik Hotel Sofyan yang banyak tersebar di Jakarta. Sejak
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

127

diterima tiga orang tenaga di Bagian Pembukuan itu tugas, saya sehari-hari mulai dikurangi. Kepada saya sudah banyak ditugaskan pekerjaan-pekerjaan di luar tugas pembukuan.

Kepala Cabang PT Nusantara di Rengat Waktu itu PT Nusantara memang sedang berkembang pesat. Direksi bermaksud mengembangkan pemasarannya kedaerah Rengat, dengan membuka kantor cabang disana. Untuk menjadi Kepala Cabang sudah ditunjuk pak Sutan Mantari, masih saudara Direktur Utama. Hanya saja pak Sutan Mantari berlatar belakang pedagang tekstil biasa, tanpa ada pengalaman administrasi keuangan. Untuk mendampingi beliau saya diangkat sebagai wakil Kepala Cabang. Pak Sutan Mantari mempunyai postur tubuh tinggi besar dan gemuk dan lebih tua dari saya kira-kira 8 tahun. Dengan kondisi demikian maka mobilitas beliau agak berkurang. Untuk kepentingan pengurusan yang memerlukan perjalanan selalu menyuruh saya, seperti bolak balik ke Bukittinggi dan lain-lain. Kantor di Rengat menempati salah satu petak toko berlantai dua. Terletak di pinggir jalan menghadap ke sungai yang sering dilewati kapal-kapal kecil dan berdekatan dengan pelabuhan. Kota Rengat diwaktu itu termasuk kota yang dibanjiri oleh barang-barang smokel dari Singapore, tempat para penyelundup dari pedalaman membeli barang-barang, seperti barang-barang elektronik, tekstil, rokok, dan barang lux lainnya. Kesempataan bolak balik Rengat - Bukittinggi ini saya manfaatkan juga membawa rokok sebanyak satu atau dua koper ukuran sedang, untuk dijual di Bukittinggi. Lumayan keuntungannya, selama bertugas di Rengat dapat membelikan isteri sebentuk gelang emas berat 20 gram, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Setelah berjalan beberapa bulan, belum kelihatan kemajuan Kantor Cabang Rengat yang berarti. Untuk keperluan biaya overhead masih sepenuhnya di subsidi dari kantor pusat. Pak Sutan Mantari pun kelihatannya tidak begitu bergairah lagi bekerja di situ, dan sering sakitsakitan. Akhirnya beliau mengundurkan diri selaku kepala Cabang di PT Nusantara. Kepada saya ditawarkan posisi tersebut. Saya jawab Insya Allah saya terima, dan untuk itu saya akan membuat program kerja selama tiga bulan ke depan. Jika program kerja saya itu diterima dan saya gagal maka saya juga akan mengudurkan diri. Direksi setuju dan terbitlah Surat Keputusan Pengangkatan saya selaku Kepala Cabang PT Nusantara di Rengat dengan gaji lebih tinggi dari sebelumnya dan fasilitas lainnya. Dalam beberapa hari program kerja saya sudah siap. Garis besarnya ialah dalam masa tiga bulan pertama, kantor cabang Rengat sudah bisa membiayai diri sendiri tanpa di subsidi dari kantor pusat. Pada saat saya akan menyerahkan program kerja tersebut kebetulan Direktur Utama sedang ke Jakarta, baru minggu depan kembali. Saya tinggalkan program kerja tersebut ke pak Syarif Johan, karena sekretaris Direktur Utama waktu itu belum ada. Saya kembali lagi ke Rengat untuk melaksanakan tugas-tugas rutin saya selaku kepala Cabang. Sekalipun saya sudah menjadi kepala cabang, namun hubungan saya dengan pak Syarif Johan tetap saya pelihara. Saya anggap beliau banyak berjasa kepada saya dalam mengembalikan kepercayaan diri saya yang dulu sudah hampir hilang.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

128

Ikut Kampanye Dalam Pemilu Pertama (1955) Minggu depan saya kembali lagi ke Bukittinggi, dan pak Anwar Sutan Saidi, Direktur Utama PT Nusantara sudah kembali dari Jakarta, dan saya diminta masuk ke kamar beliau. Beliau mengatakan bahwa program kerja saya sudah beliau baca dan prinsipnya menyetujui program kerja tersebut. Hanya saja sebentar lagi akan ada Pemilihan Umum, untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu beliau meminta kepada saya untuk konsentrasi penuh mensukseskan Pemilihan Umum dalam masa yang tinggal beberapa bulan ini. Seluruh pegawai tidak ada kecualinya diperintahkan untuk memilih dan mensukseskan Partai Murba dengan tanda gambar Sibinuang (kepala kerbau) sebagai simbol keberanian orang Minangkabau. Beliau mengatakan bahwa nanti jam 2.00 siang para juru kampanye akan kumpul di sini, saudara akan saya panggil nanti dan berkenalan, sambil memberikan pengarahan. Partai Murba didirikan oleh Prof. Mr. Mohamad Yamin dan kawan-kawan, sebagai penjelmaan dari partai Komunis tahun l926, yang didirikan oleh Tan Malaka. Tan Malaka adalah salah seorang Pahlawan Nasional berasal dari Payakumbuh. Terkenal gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri khususnya di Asia Tenggara. Beliau menggunakan ajaran Karl Marx sebagai penggerak masa, sama seperti ajaran komunis di Rusia. Sebagian besar dari masa perjuangan beliau, berada di luar negeri, mencari dukungan dan simpati dari masyarakat internasoinal, termasuk ke Eropa dan Rusia. Sampai sekarang sejarah belum menemukan bukti tentang kematian Tan Malaka apakah didalam negeri atau diluar negeri. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan pun nama Tan Malaka tidak pernah terdengar lagi, sedangkan beliau itu sangat ditakuti dan dibenci oleh penjajah Belanda waktu itu. Prof. Mr Mohamad Yamin adalah salah seorang pengikut setia beliau, ingin mengabadikan ide-ide dan perjuangan Tan Malaka melalui Partai Murba. Mulai jam 1.30 sudah mulai banyak tamu muka-muka baru ingin bertemu dengan pak Anwar Sutan Saidi. Setelah berkumpul kira-kira 8 orang, kami pun ada 4 orang pegawai yang ditunjuk sebagai pendamping, dipanggil ke kamar beliau untuk diperkenalkan dengan team kampanye dan pengarahan. Rupanya kami dibagi ke dalam empat rombongan, yang terdiri dari dua orang team kampanye didampingi oleh seorang pegawai selaku pemegang dana. Masing-masing rombongan mempunyai daerah operasi sendiri-sendiri. Satu rombongan ke daerah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan dan sekitarnya. Rombongan kedua ke daerah Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Rengat dan sekitarnya. Rombongan ketiga kedaerah Kabupaten Limapuluhkota, Kabupaten Tanahdatar dan sekitarnya. Rombongan keempat ke daerah Kabupaten Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman dan sekitarnya. Tiap-tiap rombongan diberi anggaran yang sama dan tertentu. Bila ada halhal yang luar biasa supaya mengajukan anggaran tambahan tersendiri dikemudian hari. Saya termasuk ke dalam rombongan kedua, yaitu untuk daerah Kabupaten SawahluntoSijunjung, Kabupaten Rengat dan sekitarnya. Tugas kami, selain dari pemegang dana juga sebagai orang yang bertanggung jawab penempelan tanda-tanda gambar di tembok-tembok
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

129

pagar, di tiang-tiang listrik dan lain-lain yang mungkin dan jumlahnya ribuan di tiap-tiap kota. Untuk biaya penempelan ini mempunyai anggaran tersendiri. Posisi saya sungguh sulit waktu itu. Saya sebagai pegawai PT Nusantara harus patuh pada instruksi atasan yang memberi saya gaji, dimana saya dituntut untuk memberikan loyalitas serta kesetiaan, sekalipun bertentangan dengan idiologi yang saya anut selaku hakhak asasi pribadi. Teman-teman di Bukittinggi mengetahui bahwa, bekas Badan Penyelidik umumnya adalah penganut paham sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan Partai Sosialis Indonesia. Paham ini termasuk saya didalamnya. Dua hari sebelum berangkat, saya dititipi oleh Kepala Cabang Partai Sosialis Indonesia Bukittinggi, kakanda Miral Manan beberapa ribu lembar lambang Partai Sosialis Indonesia untuk ditempelkan dimana-mana saya berhenti nanti. Secara etika titipan ini tidak boleh saya terima, tetapi secara moril juga saya tidak dapat menolak permintaan ini. Akhirnya saya terima juga, walaupun nanti konsekwensinya terletak pada pundak saya. Pelaksanaan kampanye berjalan sesuai dengan rencana semula, baik mengenai jadwalnya maupun mengenai materinya. Termasuk penyebaran dan penempelan lambanglambang Partai Murba, semuanya tepat waktu. Satu-satunya yang tidak tercapai adalah perolehan suara yang sangat minim yang menyebabkan pak Anwar Sutan Saidi uringuringan. Begitu selesai Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen ternyata beliau tidak terpilih duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyebabkan beliau frustrasi. Ditambah lagi beliau mengetahui bahwa saya menerima titipan dari Partai Sosialis Indonesia untuk ditempelkan pada kesempatan saya dalam perjalanan, bertambah amarah beliau. Karena kesalahan saya nyata-nyata terlihat, seakan-akan saya bermuka dua, yang satu bermuka Partai Murba disegi lain bermuka Partai Sosialis Indonesia. Pak Anwar Sutan Saidi lupa bahwa kekalahan Partai Murba bukanlah satu-satunya disebabkan oleh ketidak setiaan saya, tetapi kekurangan persiapan dan pengalaman dibanding dengan partai-partai yang lebih tua dan lebih terkenal misi dan visinya. Terakhir saya mengetahui bahwa antara Partai Murba dan Partai Sosialis Indonesia ini terjadi persaingan yang kurang sehat. Selang beberapa hari setelah pengumuman hasil Pemilihan Umum untuk anggota legislatif itu saya dipanggil oleh pak Anwar Sutan Saidi ke kamarnya. Di situ beliau melampiaskan kekesalan beliau dan menganggap saya mengkhianati beliau. Saya jelaskan bahwa saya sebagai seorang pegawai sudah melaksanakan tugas saya dengan baik dan tidak kurang suatu apapun. Ini dapat ditanyakan kepada anggota team yang saya dampingi dulu. Sebaliknya saya sebagai manusia merdeka juga berhak menentukan sikap dan waktu senggang saya untuk melaksanakan tugas pribadi saya sesuai dengan keinginan saya dan tidak melanggar hukum. Mendengar jawaban saya itu, saya lihat beliau kecewa sekali, dan mengatakan bahwa, saya sebetulnya mengharapkan saudara bekerja lebih lama dengan saya, tetapi antara kita rupanya terdapat perbedaan ideologi yang tajam, maka sebaiknya hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja disudahi sampai bulan ini saja. Dengan kata lain bahwa saudara diberhentikan dengan hormat terhitung tanggal satu bulan depan. Saya katakan, jika itu sudah menjadi keputusan bapak saya tidak dapat berbuat lain, kecuali menerimanya, dan berterima kasih atas kesempatan kepada saya selama ini. Saya pun salaman dan pamit. Saya mampir ke
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

130

meja pak Syarif Johan memberitahukan bahwa saya diberhentikan. Pak Syarif Johan juga sudah tidak betah lagi bekerja di situ, dan mungkin hanya dua bulan lagi, beliau akan pergi ke Jakarta, nanti kita bertemu di Jakarta saja kata beliau. Kembali saya menjadi seorang penganggur. Bedanya penganggur sebelumnya tanpa harapan dan tidak punya kepercayaan diri. Alhamdulillah penganggur sekarang ada mempunyai sedikit pegangan yaitu pengalaman sebagai penyelundup kecil-kecilan membawa rokok dari Rengat ke Bukittinggi. Untuk hidup sederhana boleh diharapkan sambil mendapat peluang lain yang lebih baik. Beberapa bulan setelah Pemilihan Umum di Sumatra Barat sedang wabah penyakit ternak dengan nama penyakit mulut dan kuku. Banyak ternak rakyat mati sehingga untuk ternak potong saja harus didatangkan dari Bali. Untuk memenuhi kebutuhan daging potong harus didatangkan dari importir ternak yang ada di Padang. Untuk mendatangkan ternak dari Padang ke Bukittinggi, harus ada Izin khusus dari Jawatan Peternakan di Bukittinggi. Salah seorang langganan ibunda pedagang daging di Bukittinggi namanya Datuk Jiun, minta bantuan saya untuk mengurus izin dari Jawatan Peternakan di Bukittinggi untuk membawa sapi sebanyak 40 ekor seminggu dari Padang ke Bukittinggi. Bila saya berhasil mendapatkan izin itu saya akan diberi uang jasa sebesar duapuluh lima sen setiap kilo timbang hidup. Seperti diketahui bahwa harga sapi ditentukan dari beratnya sewaktu masih hidup dikalikan harga per kilonya. Alhamdulillah saya berhasil mendapatkan Surat Izin tersebut, langsung dari Kepala Jawatan Peternakan, nama beliau Dr. Asun orang Banuhampu Bukittinggi. Beliau tinggal di Jalan Panorama, di perlintasan ke rumah kami di Jalan Atas Ngarai. Perkenalan kami hanya karena saya sering menyapa beliau bila saya liwat dan kebetulan beliau sedang berada di hadapan rumah. Beliau jauh lebih tua dari saya. Sedapat surat izin tersebut, Datuk Jiun minta bantuan saya mencarikan importir ternak di Padang tempat membeli ternak yang akan dibawa ke Bukittinggi. Salah satu importir ternak yang terbesar adalah Datuk Makudum, pemilik Hotel Makudum di Padang sebagai usaha sampingannya. Saya kenal Datuk Makudum, sewaktu beliau menjadi intendan di Divisi IX Banteng di Bukittinggi. Sejak itu keperluan daging untuk di dapur tidak pernah membeli lagi, setiap kali istri ke pasar selalu membawa daging gratis agak satu atau dua kilo pulang. Sedangkan uang jasa yang dijanjikan tidak pernah saya minta dengan harapan biar banyak dulu, nanti diminta sekaligus kalau perlu saja. Oleh pedagang-pedagang daging di Bukittinggi menganggap saya berhasil menanggulangi kesulitan mereka, karena dengan masuknya 40 ekor sapi ke Bukittinggi seminggu harga daging menjadi stabil. Salah seorang pedagang daging, dan sekaligus pemilik restoran Simpang Ampek dekat Stasion Bukittinggi, mengajak saya pergi ke Bali untuk membeli sapi, tentu jauh lebih murah jika dibanding dengan membeli dari importir di Padang. Karena saya seorang penganggur, dan senang jalan-jalan dan ada yang membiayai, ajakan ini saya terima saja. Kami berangkat berdua menggunakan kapal laut ke Jakarta. Dari Jakarta ke Bali dengan kereta api, ferry dan bus. Sampai di Denpasar sudah hampir subuh, setelah menempuh perjalanan selama 7 hari.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

131

Kebetulan di Denpasar ada teman, orang Tanjung Alam kampung tetangga kita di Parit Putus namanya Amir Husen. Dia kawin dengan orang Bali dan bermukim di sana sudah satu tahun. Dialah yang menjadi penunjuk jalan kami selama disana, mencari eksportir ternak yang dapat mengirim ternak secara kontinu dengan harga yang bersaing. Kami mencari sampai ke Singaraja, tetapi tidak ada yang meyakinkan. Setelah dikalkulasi antara harga beli di Bali ditambah ongkos-ongkos dan resiko dibandingkan dengan di beli di Padang tidak banyak bedanya. Akhirnya kami kembali ke Bukittinggi dengan tangan hampa. Sampai di Bukittinggi dari pada menganggur lebih baik saya pergi lagi ke Rengat membeli rokok luar negeri untuk dijual di Bukittinggi. Kebetulan di Rengat juga menghadapi kesulitan daging potong. Sudah hampir dua bulan orang Rengat dan sekitarnya tidak mendapat pasokan daging potong. Hal ini disebabkan Pemerintah Kabupaten Rengat melarang setiap ternak yang akan dibawa ke dalam Kabupaten, takut ketularan wabah penyakit mulut dan kuku dari Kabupaten tetangganya. Saya melihat ada peluang untuk digarap, dengan mendatangkan daging sapi dari Padang dengan menggunakan pesawat udara sekali seminggu dari Tabing ke Air Molek. Saya temui beberapa pedagang daging di kota Rengat dan beberapa Koperasi Pegawai Negeri untuk menjajaki apakah mereka mau menerima pasokan daging sapi dari saya bila saya berhasil membawanya dari Padang ke Rengat dengan pesawat udara?. Ternyata, umumnya mereka mau, karena sudah terlalu lama tidak memakan daging katanya. Saya kembali ke Bukittinggi mencoba mematangkan rencana ini. Saya datang lagi ke Jawatan Peternakan menemui Dr Asun. Kebetulan sedang ada wartawan Haluan Padang menanyakan mengenai penyakit mulut dan kuku yang sedang mewabah di Sumatra Barat. Kedatangan saya merupakan sumber informasi bagi wartawan bahwa di Rengat sudah hampir dua bulan orang tidak menkonsumsi daging, akibat penyakit mulut dan kuku di Sumbar. Saya katakan saya bermaksud akan membawa daging sapi dari Padang ke Rengat dengan pesawat terbang. Saya minta saran beliau bagaimana caranya membawa daging sapi mentah dari Padang ke Rengat dengan pesawat udara supaya tidak rusak. Dr. Asun menyarankan supaya dibuat peti ukuran cukup untuk berat 40 50 kg didalamnya dilapisi dengan plat almunium, dan di lobangi diameter 2 3 cm dengan jarak 20 30 cm. Maksudnya lobang-lobang itu berfungsi menjadi fentilasi memasukan udara ke dalam peti yang berisi daging. Pembicaraan saya dengan Dr. Asun itu oleh wartawan Haluan dijadikan berita yang terbit besoknya. Bahwa untuk mengatasi kelangkaan daging sapi di Rengat, maka ada pengusaha akan mendatangkannya dari Padang dengan pesawat udara. Dalam berita tersebut menyebut nama saya sebagai pengusaha dimaksud. Sejak mendapat saran itu, saya mulai menghitung-hitung modal yang diperlukan, baik yang berupa investasi berupa pembuatan peti-peti, maupun modal kerja untuk 3 ekor sapi tahap pertama dan biaya transport. Biaya untuk membuat peti-peti sebanyak 10 buah mudah diperoleh dari tukang kayu di Bukittinggi. Sedangkan harga sapi dan biaya transport harus diperoleh dari Padang. Besoknya saya pergi ke kantor Perwakilan Garuda di Muaro Padang dan mengenai harga ternak saya pergi ke rumah potong ternak di Sawahan di Padang. Di perwakilan Garuda saya diterima dengan baik, karena mereka menganggap bahwa saya akan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

132

menjadi langganan tetap mereka tiap minggu dari Tabing ke Air Molek yang masih langka waktu itu. Di rumah potong di Sawahan Padang saya diterima antusias oleh beberapa pedagang, setelah mengetahui bahwa saya adalah orang yang pernah disebut koran Haluan pengusaha yang akan membawa daging sapi ke Rengat dengan pesawat terbang. Diantara sekian banyak pedagang ternak, ada seorang yang serius mengajak kerja sama, yaitu dia menyediakan ternak siap dipotong dan diterima di Tabing tiap-tiap minggu maksimal 5 ekor dengan pembayaran seminggu pada saat akan melakukan pemotongan berikutnya. Namanya kalau tidak salah Panduko dengan tawaran yang sangat menarik itu. Setelah kami bicara prospek selanjutnya, kami masing-masing punya harapan bahwa kerja sama ini dapat ditingkatkan dengan harapan keuntungan yang lumayan. Dalam pembicaraan tersebut sudah terdapat kata sepakat, tinggal menunggu waktu pelaksanaannya dari saya, karena pembuatan peti memerlukan waktu beberapa hari Dengan kesepakatan tersebut, maka saya sudah terhindar dari penyediaan modal kerja yang lumayan besarnya. Tinggal saya menyiapkan modal kerja untuk pembuatan peti dan biaya transpor saja. Kesibukan saya dalam mengurus dagangan daging sapi ke Rengat ini didengar oleh pak H. Rasyid, suami etek Andam, ibu angkat saya di Guguk Pili, Bukit Batabuh dulu semasa revolusi. Beliau datang ke rumah kami di Jalan Atas Ngarai, minta diajak sebagai pelaksana. Beliau memang berprofesi selaku pedagang daging di Pasar Bukittinggi dan Payakumbuh. Saya merasa dapat bantuan tenaga yang memang ahli dalam bidang yang saya geluti. Nama beliau cukup dikenal oleh para pedagang sapi di Padang, menambah kepercayaan mereka kepada kami. Bersama pak H. Rasyid kami pergi melihat peti yang sedang dibuat dan diperkirakan akan selesai 2 hari lagi. Peti-peti tersebut kami ambil setelah disesuaikan dengan jadwal keberangkatan pesawat ke Air Molek, yaitu sehari sebelum hari keberangkatan. Peti-peti tersebut di bawa sore hari diserahkan ke rumah potong Sawahan Padang. Pagi-pagi besoknya dilakukan pemotongan sapi dan dimasukkan kedalam peti yang sudah disiapkan dan dibawa ke Tabing langsung ke Airmolek, dengan menggunakan pesawat dakota. Kami ikut bersama peti-peti tersebut. Pesawat berangkat dari Tabing Padang jam 9.00 pagi dan sampai di pelabuhan udara Airmolek kira-kira jam 11.00 siang. Untuk menurunkan peti-peti itu dan membawanya keluar airport dan menunggu bis yang akan mengangkut peti-peti tersebut memakan waktu lebih kurang dua jam. Berarti jam 1.00 siang baru meninggalkan pelabuhan Airmolek. Jarak antara Airmolek ke Rengat lebih kurang 60 km melalui tiga buah pelayangan. Dalam keadaan normal biasanya ditempuh dalam waktu empat sampai lima jam. Baru satu jam perjalanan, tiba-tiba hujan turun mendadak dan lebat, sedangkan peti-peti daging tersimpan diatas atap bus yang belum ditutup dengan terpal. Bus segera berhenti dan knek cepat turun, untuk naik keatas atap memasang terpal penutup barang-barang yang tersimpan disitu. Sampai di pelayangan pertama, telihat bus-bus banyak yang antri menunggu giliran untuk menyeberang, karena air sungai meluap. Biasanya dalam keadaan demikian, terpaksa menunggu air surut dulu baru dapat menyeberang. Di pelayangan pertama saja
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

133

hampir dua jam menunggu baru bisa menyeberang untuk dapat meneruskan perjalanan selanjutnya. Kami mengharapkan paling lambat jam 5.00 sore sudah sampai di kota Rengat, karena hujan dan air sungai meluap baru sampai di Rengat hampir jam 9.00 malam. Rencana semula daging-daging itu sudah dapat di bagi-bagikan sebagian besar petang itu, ternyata gagal dilakukan, dan terpaksa baru pagi besok akan dibagi-bagikan sesuai dengan permintaan masing-masing pemesan. Allah menentukan lain, pagi besok waktu peti-peti kami buka, sudah mulai tercium bau tidak enak. Rupanya, daging yang ada di dalam peti sebagian besar sudah mulai rusak akibat kena hujan yang mendadak dalam perjalanan diatas bus semalam. Seandainya bus semalam sampai di Rengat masih sore, maka sebagian besar daging-daging tersebut sudah dapat dibagikan sesuai dengan pesanan seperti ke koperasi-koperasi dan pedagang-pedagang daging di kota Rengat. Kenyataan lain, setelah kami pisahkan mana yang masih layak dimakan dan mana yang tidak layak. Mangkin lama daging-daging yang rusak dan tidak layak dimakan itu di biarkan disitu mangkin merebak bau tidak enak ke seantero kota. Oleh karena itu saya ambil tindakan cepat dengan membuangnya langsung ke sungai yang terbentang panjang sampai ke laut. Tidak sampai 10% yang bisa diselamatkan. Dari hasil yang bisa diselamatkan itu, biaya transpor saja tidak bisa tertutupi, jangankan untuk harga dagingnya sendiri dan investasi yang telah dikeluarkan untuk peti-peti dan lain-lain. Tidak tahan kami berlama-lama tinggal di Rengat, karena malu. Peti-peti yang dibuat dengan biaya yang lumayan besar itu tidak saya perhatikan lagi. Mungkin Allah tidak mengizinkan saya menjadi pedagang daging, karena tidak ada turunan di profesi itu. Kami selesaikan segala sesuatu yang menyangkut utang piutang di Rengat, setelah itu saya dan pak H. Rasyid pulang penuh dengan kekecewaan dan penyesalan. Untunglah keimanan masih ada di dalam dada, bahwa nasib baik dan buruk itu semuanya di tangan Allah Swt. Pasti ada hikmahnya. Gagal Total Sebagai Suatu Hikmah Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya pikiran saya tertuju bagaimana menyelesaikan dengan Panduko sipemilik ternak di Padang, yang barangnya belum dibayar satu sen pun. Apakah orang lain harus korban karena inisiatif saya yang kurang cermat ?.Akhirnya saya sampai pada satu keputusan, yaitu bersama dengan pak H. Rasyid mendatangi si pemilik ternak di Padang itu dan mengatakan apa adanya. Saya mengaku terus terang, bahwa keadaan yang menimpa saya adalah musibah yang bisa menimpa siapa saja. Saya minta pengertian, dan saya berjanji namanya hutang tetap harus dibayar, hanya tidak bisa sekaligus dalam waktu singkat, karena modal sendiri juga habis di dalam transaksi itu. Alhamdulillah dia juga memahami keadaan kami, dan minta saya menepati janji saya. Janji ini sampai sekarang menjadi beban pikiran saya, karena alamat orang tersebut tidak bisa di telusuri lagi, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Kalau sudah meninggal siapa ahli warisnya. Pernah dua kali bertemu di Jakarta. Yang pertama, sama-sama makan sate di Senen dalam tahun enam puluhan, kebetulan saya ada membawa uang sedikit, saya bayar sebagian kecil waktu itu. Setelah itu dalam restoran sama-sama makan dalam perjalanan saya ke Dumai menemui kakanda A Tajuddin, waktu itu pun ada saya cicil sebagian kecil dari utang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

134

tersebut sebagai tanda itikad baik saya. Setelah Allah memberi saya rezki yang lumayan ingin menyelesaikan utang tersebut tetapi saya kehilangan jejak. Semoga Allah mengampuni saya atas hutang tersebut. Kepada Ahli waris Panduko saya mohon di relakan dunia akhirat, jangan sampai membebani saya di akhirat nanti. Amin ! Berita kegagalan saya ini cepat beredar di Bukittinggi, yang tidak begitu luas itu. Ada yang bersimpati banyak juga yang mentertawakan. Salah seorang yang bersimpati adalah Nawi Sutan Bandaro. Dia orang Pasir, sama-sama di Badan Penyelidik dulu, dan lebih tua dari saya kira-kira 10 tahun. Dia menyabar-nyabarkan saya, dengan kata-kata memberi harapan dan jangan putus asa. Dia bilang, orang kalau berdagang salah satu kejadian pasti dia temui, yaitu rugi, pulang pokok, atau untung. Kalau sekarang merugi siapa tahu besok beruntung atau lusa atau tahun depan. Yang penting jangan putus asa dan jangan berhenti berdagang katanya. Kalau sudah berhenti berdagang kapan akan untungnya. Besoknya Nawi Sutan Bandaro datang lagi, mengajak saya pergi ke Medan. Di situ ada adiknya berpangkat Komisaris besar Polisi bernama Marjohan. Siapa tahu di sana ada pekerjaan yang cocok, katanya. Saya katakan saya tidak ada uang untuk ongkos kesana. Soal ongkos gampanglah itu katanya. Sebelum berangkat, saya pergi ke tempat Kari Jiun berjualan daging di pasar Teleng Bukittinggi, minta uang jasa yang dia janjikan mengurus surat izin membawa ternak dari Padang ke Bukittinggi dulu. Belum pernah saya minta uang itu. Ternyata dia hanya memberikan cukup untuk sewa bis saja. Kami berangkat sore dengan bus ke Medan, sampai di sana lusa subuh. Jadi perjalanan memakan waktu dua malam sehari. Saya diantarkan oleh Nawi Sutan Bandaro ke hotel terdekat dengan terminal bus. Dia mengatakan nanti sore dia akan datang lagi dan membawa saya ke rumah adiknya, seorang pejabat di Kepolisian Kota Medan. Saya belum pernah pergi ke Medan sebelumnya, berarti kota Medan masih asing buat saya. Sambil menunggu hari sore saya bejalan-jalan di daerah pertokoan disekitar hotel itu. Di hadapan saya ada seorang pemuda berjalan kaki, dan dari arah sana ada lagi seorang laki-laki setengah umur berjalan kearah kami. Sepintas lalu orang itu seperti pegawai, karena berpakaian rapi dengan pena terselip disaku bajunya. Pada saat mereka bepapasan saya melihat pemuda yang berjalan di hadapan saya menjambret pena yang ada di saku orang yang berjalan ke arah kami tadi, tanpa merasa bersalah dan ragu-ragu. Orang itu hanya kebingungan tanpa berbuat sesuatu apapun kecuali melihat saja ke pemuda itu berjalan dari belakang. Sepanjang pengetahuan saya orang-orang mencopet di Bukittinggi atau dimana saja sembunyi-sembunyi supaya yang di copet tidak merasa dia sudah di copet, rupanya di kota Medan pencopet berterus terang seperti itu, yang hampir sama dengan merampok. Sore itu Nawi Sutan Bandaro datang menjemput saya untuk bersama-sama pergi ke rumah Komisaris Besar Polisi Marjohan. Kecuali berkenalan, sekalian menjajaki bila ada kemungkinan mendapatkan pekerjaan di Kota Medan. Sebetulnya untuk mencari pekerjaan di Kota Medan, hati saya tidak sreg lagi setelah menyaksikan kejadian siang tadi pencopet yang dihadapan pertokoan yang sekasar dan seberani itu. Walaupun demikian saya tetap pergi untuk menjajaki, siapa tahu ada rezki. Sesampai di rumah adik Nawi Sutan Bandaro, saya terperangah. Rumahnya besar, dilengkapi dengan perabotan yang mewah, ada anjing herder besar, berkeliaran di dalam rumah itu. Tidak lama, tuan rumah keluar dan berkenalan. Nawi Sutan Bandaro mengatakan bahwa saya dulu bekerja di PT Nusantara Bukittinggi,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

135

berhenti gara-gara Pemilihan Umum. Disuruh berkampanye untuk Partai Murba ternyata juga berkampanye untuk Partai Sosialis Indonesia. Barangkali di Medan ini ada perusahaan anggota Partai Sosialis Indonesia yang memerlukan tenaga pembukuan, karena dia mempunyai ijazah Tata Buku A dari Bond. Rupanya pak Marjohan ini simpatisan Partai Sosialis Indonesia juga, sama dengan Nawi Sutan Bandaro. Pak Marjohan akan berusaha mencarikan, tetapi namanya mencari kerja, tentu tidak bisa segera, nanti kalau sudah ada, saya kabari melalui kakanda Nawi Sutan Bandaro, katanya. Tidak lama saya di situ, dan saya pamit, saya katakan kepada pak Marjohan dan Nawi Sutan Bandaro bahwa besok saya akan kembali ke Bukittinggi. Tidak mungkin saya berlama-lama di Medan, karena kondisi keuangan tidak memungkinkan, juga saya tidak senang hidup di tengah-tengah masyarakat kasar dan menganggap harta orang adalah harta dia, seperti yang saya saksikan kemarin.

*****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

136

13. BERANGKAT KE JAKARTA DENGAN SATU TEKAD (SEPTEMBER 1956)


Pulang dari rumah pak Marjohan sudah Magrib, karena saya mampir untuk makan malam dulu, di tempat yang biasa. Waktu membayar di kasir saya baru ingat bahwa uang untuk membayar sewa hotel selama dua malam sudah tidak cukup. Bahkan untuk makan di jalan juga sudah pas-pasan. Saya lupa minta uang pada Nawi Sutan Bandaro waktu pamit sore tadi. Sampai di hotel, saya kaget melihat isi koper kecil berisikan pakaian saya sudah acak-acakan. Saya periksa isinya, tidak ada yang hilang, karena memang tidak ada barang berharga di dalamnya. Hanya saja pena parker saya yang terselip di saku baju saya yang tergantung yang hilang. Saya melapor ke kantor hotel, tentang kejadian di kamar saya, selama beberapa jam saya tinggalkan keluar. Kejadian itu disesalkan oleh yang menerima laporan dan mencatatnya, setelah itu meninjau kekamar saya. Kejadian ini akan disampaikannya kepada pimpinan, untuk diselidiki dan ditindak lanjuti, katanya. Pada kesempatan itu saya sampaikan sekalian bahwa saya akan check out besok pagi, kembali ke Bukittinggi. Saya kehabisan uang dan mohon keringanan untuk membayar sewa kamar, setelah saya sampai di Bukittinggi, akan mengirimkannya dengan pos wesel ke alamat hotel ini di Medan. Permohonan ini mereka setujui, mungkin sebagai kompensasi atas kekecewaan saya kehilangan pena di hotelnya. Besok jam 9.00 pagi bus berangkat dari Medan menuju Bukittinggi. Dalam perjalanan selama lebih kurang 34 jam, saya hanya makan nasi ramas saja dalam perjalanan, karena keuangan hanya cukup sampai di situ. Besok sore kami sudah sampai di Bukittinggi, saya turun di jalan karena bus akan melanjutkan perjalanannya ke Padang. Besok pagi saya pergi lagi ke tempat Kari Jiun berdagang daging di pasar Teleng Bukittinggi, menagih uang jasa saya sesuai dengan janji semula kepada saya. Kebetulan waktu itu dia belum datang, saya tunggu sebentar. Setelah dia datang saya lihat dari raut mukanya, kelihatan tidak senang dengan kedatangan saya, seakan-akan saya mengemis kepadanya. Saya katakan, bahwa saya ini datang menagih hak saya sesuai dengan kewajiban saya yang sudah berhasil mendapatkan surat izin membawa ternak dari Padang ke Bukittinggi sebanyak 40 ekor setiap minggu. Keuntungannya sudah saudara nikmati dan hak saya belum saudara berikan. Apakah saudara mau bayar apa tidak, saya mengharapkan hak saya itu dibayar dengan ikhlas supaya ada berkahnya. Saya datang tidak untuk minta-minta atau mengemis. Dia minta maaf, karena dia menghadapi kesulitan keuangan di kampung, sehingga uang untuk saya terpakai kesana, katanya. Di waktu itu dia hanya memberikan satu jumlah yang masih jauh kurang dari perhitungan saya. Sisanya dia minta direlakan, karena dia tidak sanggup lagi membayarnya. Uang itu saya ambil dan permintaannya tidak saya jawab saya langsung pergi tanpa pamit sedikit pun. Begitu dapat uang itu saya langsung ke kantor Pos untuk mengirim pos wesel ke hotel tempat saya menginap selama dua hari di Medan. Sisa nya saya hitung, lumayan cukup untuk tiket kapal laut seorang ke Jakarta dan uang belanja untuk jajan ala kadarnya Selesai mengirim pos wesel ke Medan, saya langsung pulang ke kampung menemui ibunda, karena sudah hampir lima belas hari saya tidak mengunjungi beliau. Saya katakan mungkin saya akan ke Jakarta lagi, karena setelah saya coba hidup dan berusaha di Bukittinggi selama
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

137

hampir dua tahun ternyata tidak banyak kemajuan yang bisa dicapai. Kalau saya di Jakarta mungkin sore atau malamnya saya bisa belajar apa saja untuk menambah ilmu pengetahuan yang akan didjadikan bekal hidup yang masih panjang ini. Beliau menyetujui bila itu dianggap terbaik untuk saya, namun demikian sebaiknya rundingkan juga dengan Ahmad Tadjuddin yang baru pulang dua hari lalu. Dari beliau saya ketahui bahwa kakanda A. Tadjuddin ada di kampung waktu itu. Selesai makan siang bersama nenek dan ibunda, saya pergi menemui kakanda A.Tadjuddin di rumah isteri beliau. Lama kami ber bincang-bincang, karena sudah beberapa tahun tidak bertemu. Saya ceritakan masa-masa sukses yang saya lalui dan masa-masa gagal yang saya hadapi. Saya katakan, sekarang ini saya berada pada taraf yang sangat rendah dalam hidup saya, akibat kegagalan membawa daging sapi dari Padang ke Rengat baru-baru ini. Dari pen galaman selama ini saya berkesimpulan, bahwa saya harus meninggalkan Bukittinggi, dan berangkat ke Jakarta. Sebab kalau saya teruskan cara mencari uang seperti sekarang ini, maka uang yang dicari Insya Allah akan dapat, tetapi di waktu yang bersamaan dia akan hilang kembali. Umur saya akan habis dan mutar-mutar di situ saja. Oleh karena itu saya putuskan untuk berangkat ke Jakarta mencari sesuatu yang bila telah dapat tidak akan hilang bahkan akan bertambah yaitu ilmu Mendengar tekad saya demikian maka beliau bertanya. Apakah rencana ini sudah dibicarakan dengan isteri kata beliau. Saya katakan sudah dan kami sudah sepakat untuk sama-sama pergi ke Jakarta. Selanjutnya beliau berkomentar, memang tidak ada orang yang kaya karena berspekulasi seperti yang kamu kerjakan selama ini. Dengan spekulasi bisa mendapatkan uang dengan mudah tetapi dapat juga menderita kerugian dengan mudah, tidak obahnya seperti orang berjudi. Ada pepatah Inggeris yang perlu diingat kata beliau Rolling stone gather no moss. Saya mendukung rencana kamu pergi ke Jakarta di situlah tempat berjuang hidup yang sesungguhnya. Tempat berkumpul orang-orang pintar dan orang-orang yang ulet-ulet penuh dengan tantangan. Anggaplah ke sana itu pergi hijrah. Nabi Besar Muhammad Saw, telah memberi contoh kepada kita, bahwa beliau baru sukses setelah hijrah dari Mekah ke Madinah. Kata-kata beliau ini saya pegang teguh-teguh. Sore baru kami berpisah, dan beliau pamit, karena besok akan kembali lagi ke Pekanbaru, belum tentu kapan bisa bertemu lagi. Sampai di rumah isteri bertanya-tanya, karena saya pulang kampung tidak memberi tahu lebih dahulu, takut ada sesuatu kejadian yang menimpa saya. Saya ceritakan bahwa saya dikecewakan oleh Kari Jiun yang tidak membayar hak saya yang saya harap-harapkan untuk ongkos kita bertiga ke Jakarta, ternyata hanya diberi sedikit seperti kita menjadi pengemis saja. Saya takut kalau saya terus menerus meminta kepadanya akan terjadi hal-hal yang tidak diingini, yang merugikan kedua belah pihak. Selesai mengirim uang pembayar sewa hotel di Medan saya terus pulang kampung memberitahu ibunda dan nenek tentang rencana kepergian kita ke Jakarta. Kebetulan ada kakanda A. Tadjuddin, kami mengobrol lama, dan beliau akan kembali lagi ke Pekanbaru besok. Malam itu kami berunding dengan istri, karena ada perobahan rencana. Semula bila uang tagihan dari Kari Jiun berhasil semuanya kami akan berangkat bertiga beranak. Tetapi buktinya, tagihan hanya berhasil sebagian kecil sekali sehingga mampu untuk membiayai
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

138

keberangkatan seorang saja. Saya katakan kepada istri, karena uang tidak cukup biarlah saya saja yang berangkat dulu ke Jakarta. Nanti kalau sudah dapat pekerjaan, saya jemput pulang atau saya kirimkan uang, biar ibunda yang mengantarkan ke Jakarta, bersama anak. Kalau sekarang kita paksakan berangkat bersama, dengan meminjam uang kanan kiri, sedangkan di sana pun belum tentu dapat pekerjaan, nanti sama-sama terlantar kita dengan anak. Alhamdulillah isteri cukup mengerti dari apa yang saya kemukakan dan dia setuju melepas saya berangkat sendiri. Pagi besok saya sampaikan kepada pak Muli dan etek Ana tempat kami menyewa rumah di Jalan Atas Ngarai, bahwa kami akan ke Jakarta beberapa hari lagi. Besok kami akan pulang ke kampung dengan membawa barang-barang sekalian. Kami lunasi uang sewa untuk bulan itu dan menyampaikan terima kasih selama ini dan maaf bila selama ini ada kelakuan kami yang tidak berkenan di hati beliau berdua. Siang itu kami pulang kampung bertiga beranak, untuk memberitahukan kepada ibu mertua dan keluarga lainnya bahwa saya akan berangkat ke Jakarta sendirian. Sedangkan isteri dan anak menunggu di kampung dulu sampai mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Setelah mendapatkan pekerjaan akan segera di jemput untuk bersama-sama merantau ke Jakarta. Mendengar ini ibu mertua kelihatannya senang karena beliau tidak segera berpisah dengan cucu pertama beliau waktu itu. Sorenya kami kembali ke Jalan Atas Ngarai, untuk berkemas-kemas karena besok pagi akan pindah lagi ke Kampung, setelah satu setengah tahun mengungsi dari Parit Putus ke Jalan Atas Ngarai. Setelah minum pagi, isteri, saya suruh pulang duluan pakai bendi sedangkan saya menunggu datang gerobak roda tiga, menjemput barang-barang kami yang terdiri dari satu tempat tidur besi dan kasur serta perlengkapannya. Tidak ada meja maupun kursi, atau lemari pakaian dan lain-lain, karena memang tidak punya perabot yang demikian. Malam itu saya merasa asing lagi bermalam di rumah itu, ingat kejadian satu setengah tahun lalu, sewaktu saya menendang pintu kamar itu dengan kata-kata kasar yang dihadapkan kearah bapak tiri isteri yang selalu beranti pati kepada saya. Alhamdulillah, malam itu kelihatannya bapak tiri isteri sudah banyak berobah dibanding dengan tahun-tahun lalu. Mungkin sadar atau mungkin taktik sementara, karena mengetahui, bahwa kami toch, tidak akan lama tinggal di kampung. Malam itu kami lalui dalam suasana gembira dengan banyak canda dan tawa dengan famili isteri yang berkunjung ke rumah waktu itu. Malam berikutnya merupakan malam terakhir bagi saya tinggal di rumah itu, karena besok siangnya saya akan berangkat ke Padang terus ke Jakarta sendirian. Sesuai dengan kesepakatan semula, isteri dan anak tinggal dulu di kampung, menunggu sampai dijemput setelah mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Tanpa sebab, isteri berobah pikiran, dia menangis mengatakan, dia tidak mau ditinggal dan akan pergi bersama dengan saya, walaupun apa yang akan terjadi di sana nanti, kita hadapi bersama katanya. Tekadnya ini saya hargai, dan berarti dia mempunyai percaya diri dan percaya kepada saya selaku suaminya bahwa dia tidak akan disia-siakan. Untuk menenangkan istri, saya setuju kita pergi bersama-sama. Jadwal kapal masih ada beberapa hari lagi. Untuk ongkos kapal saya pinjam dulu gelang emas yang dibeli waktu pulang pergi ke Rengat dulu untuk dijual dan nanti kalau sudah ada uang kita beli lagi. Dia setuju, dan malam itu juga dia mengambil gelang emas itu dan menyerahkannya kepada
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

139

saya. Saya katakan, sebaiknya kita berangkat ke Padang tidak bersamaan, karena kalau kita berangkat bersamaan, famili saya dan famili isteri akan beramai-ramai mengantarkan ke Padang dan melepas sampai ke Teluk Bayur. Semua biaya untuk itu, lazimnya kita yang menyiapkannya, sedangkan uang kita sangat terbatas sekali. Sebaiknya saya berangkat duluan setelah satu atau dua hari baru menyusul diantar ibu mertua, dan langsung ke rumah mamanda Jurid di Parak Laweh Padang. Mamanda Jurid adalah adik dari ibunda mertua satu ibu, beda ayah. Sementara itu saya bisa menjual gelang ini dan sekalian membeli ticket kapal. Jika demikian, saya hanya meninggalkan uang ongkos bus untuk tiga orang saja. Biasanya kalau ada anak kecil yang dibawa ibunya merantau, pihak bako memberikan uang jajan untuk beli air minum di jalan katanya. Sebelum berangkat ke Padang besoknya, saya mampir dulu ke rumah ibunda dan nenek untuk pamit dan mohon doa semoga saya selamat dan ditunjuki Allah jalan yang diridhai Nya. Saya katakan si Lisma tidak jadi tinggal dia berangkat sekalian, tapi saya duluan ke Padang untuk membeli ticket. Beliau berpesan supaya kami suami isteri berdamai-damai saja dirantau orang, karena dalam rumah tangga yang damai, Insya Allah rezki akan datang kata beliau. Tidak lupa beliau mengatakan, nanti si Chairman kalau sudah lulus SMA saya suruh dia ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya. Doakan ibunda semoga Allah memberikan rezki kepada kami, untuk melanjutkan sekolah Chairman nanti, kata saya. Sampai di Padang saya mulai menawar-nawarkan gelang mas yang saya bawa dari Bukittinggi. Umumnya toko emas itu menanyakan surat pembeliannya dulu. Kalau tidak dapat memperlihatkan surat pembelian mereka takut membelinya kalau-kalau gelang yang ditawarkan itu dapat curian. Ada yang berani membeli, tetapi dengan harga tawaran yang murah sekali. Saya tidak berani memutuskan untuk menjualnya, sebaiknya saya tunggu isteri datang, mudah-mudahan masih ada surat pembelian dulu. Dua hari setelah itu, isteri dan anak pun datang bersama ibunda mertua ke rumah mamanda Jurid. Saya katakan bahwa gelang emas itu hanya ditawar sekian oleh toko emas. Tetapi bila ada surat pembelian dulu dia berani menambah menjadi sekian. Istri mengatakan sudah lupa dimana surat pembelian dulu disimpan, kalau begitu terpaksa dijual saja berapa ditawar orang supaya kita bisa berangkat, katanya. Dengan keterangan itu berati isteri sudah ikhlas barang emasnya dijual untuk ongkos ke Jakarta. Saya bawa gelang emas itu kembali ke toko emas di Padang yang pernah menawar dulu. Dalam perjalan ke toko emas itu, saya liwat Hotel Makudun. Saya pikir sekalian mampir untuk pamit dengan Datuk Makudun yang saya pernah kenal dulu di Bukittinggi dan pernah membawa Kari Jiun membeli ternak dari dia sebanyak 40 ekor tiap-tiap minggu. Begitu saya masuk ruangan kerjanya, dan melihat saya, dia langsung menyapa saya, kemana saja Naro katanya, kenapa tidak pernah mampir-mampir lagi. Saya katakan, saya mampir kesini sekalian mau pamit dengan pak Datuk, saya mau ke Jakarta dengan keluarga, mungkin lama lagi kita bertemu. Rupanya mau pindah habis ini katanya. Sambil berbicara itu dia membuka laci mejanya, sambil menunduk-nunduk, tidak lama setelah itu ditangannya ada emplop dan mengatakan, kalau begitu ini ada uang sedikit untuk beli air di jalan dengan anak-anak nanti, katanya. Saya menolak sedikit berbasa-basi, walaupun dalam hati sangat butuh. Akhirnya saya terima emplop itu. Tidak lama kami berbincang-bincang, saya pamit sambil mengucapkan terima kasih dan maaf, kalau ada
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

140

kesalahan di masa lalu.Dia pun mengucapkan, mudah-mudahan selamat dan sukses di rantau orang, katanya. Di tempat yang agak sepi dan jauh dari Hotel Makudun saya buka emplop itu dan hitung uang yang ada di dalamnya. Allaahu Akbar, ternyata isinya lebih besar dari nilai gelang emas yang ditawar toko emas beberapa hari yang lalu. Memang rezki, kalau sudah ditentukan Allah tidak kemana. Kalau bukan rezki sekalipun sudah dijanjikan oleh Kari Jiun untuk memberikan uang jasa buat saya, tenyata dia berbelit-belit untuk ingkar janji. Sedangkan dengan Datuk Makudun tidak pernah dia berjanji tetapi dia sisihkan juga rezki buat saya akibat transaksinya dengan Kari Jiun yang saya perkenalkan beberapa bulan yang lalu. Setelah mengetahui isi emplop itu saya tidak jadi pergi ke toko emas untuk menjual gelang isteri, tapi langsung ke Teluk Bayur membeli tiga buah ticket ke Jakarta yang akan berangkat dua hari lagi. Setelah ticket dibeli, ternyata uang sisanya masih cukup untuk membeli susu anak dan keperluan dapur beberapa hari di Jakarta. Setelah sampai di rumah saya ceritakan kepada isteri, tentang Rachmat Allah yang diberikan Nya kepada kami sambil mengembalikan gelang emasnya, kelihatan berkaca-kaca matanya tanda bersyukur kepada Allah Swt, yang telah melepaskan kami dari satu kesulitan yang rumit itu. Bekerja di PT Tritunggal (Distributor Ban Goodyear) Dengan membaca Bismillaahirahmaanirrahiim, kami berangkat ke Jakarta tiga beranak. Beban yang kami bawa adalah sebuah kasur bujang ukuran kecil, sebuah koper besi kecil berisi pakaian kami bertiga, dan sebuah tentengan berisi pakaian anak yang masih berumur 9 bulan. Kasur dan koper besi kecil menjadi beban saya sedangkan beban isteri adalah menggendong anak beserta satu tentengan. Alhamdulillah, setelah berlayar selama tiga malam dan tiga hari, kami selamat sampai di Tanjung Priok. Kebetulan isteri tidak mabukmabuk dan sikecil pun tidak cengeng di atas kapal,. walupun itu baru pertama kali mereka berlayar. Waktu turun kapal kami pilih belakangan menunggu orang sepi dulu, karena jika turun buru-buru orang berdesak-desakan sedangkan kami membawa bayi dan beban yang dipikul sendiri. Tidak terpikirkan untuk mengupahkan membawa barang-barang itu kepada kuli angkut yang banyak berdatangan ke atas kapal. Setelah sepi penumpang turun, kami mulai berjalan pelahan-lahan menuruni tangga kapal yang agak goyang itu. Sampai di bawah tangga, kebetulan saya bertemu dengan seorang teman, orang kecamatan kita juga, dengan kunci mobil di tangannya sedang menunggu orang tuanya dari kampung. Rupanya orang tuanya tidak jadi datang, dan permisi duluan pulang ke Jakarta katanya. Saya tadinya berpikiran dan berharap dia menawarkan kepada kami, yang sedang repot membawa barang-barang beserta seorang bayi untuk ikut mobilnya dan mengantarkan ke alamat yang kami tuju. Ternyata tidak, dan sayapun tidak berkeinginan pula meminta bantuan kepada orang yang kurang berbudi demikian. Allah Swt memperlihatkan kebesarannya. Berpuluh tahun kemudian orang itu datang kepada saya minta tolong agar anaknya, seorang gadis diterima bekerja di Kantor Akuntan yang saya pimpin. Tanpa pikir panjang dengan senang hati dia saya terima bekerja sampai dia mengudurkan diri, karena
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

141

mau menikah. Saya ingat pepatah melayu berbunyi Berbuat baiklah bila ada kesempatan, berbuat jahat sekali jangan. Di dalam pelabuhan tidak ada kendaraan umum, kecuali taksi dan bus-bus instansi yang sedang menunggu anggotanya, seperti bus Angkatan Laut, bus Angkatan Darat dan lain-lain. Terpaksa kami berjalan kaki menuju kendaraan umum yang jaraknya kira-kira 2 kilo meter dari pelabuhan tempat kami turun tadi. Alhamdulillah, setelah berjalan kira-kira 5 menit ada truk berhenti dekat kami. Sopirnya menawarkan kepada kami, agar isteri dan anak beserta kasur dan koper dititipkan saja di atas truknya, sedangkan saya sendiri berjalan kaki. Nanti saya turunkan isteri bapak dan barang-barang di hadapan stasiun Tanjung Priok katanya. Kasihan anak kecil, nanti sakit kalau diajak jalan kaki di panas panas begini katanya. Sampai sekarang, di umur senja begini saya masih ingat budi baik seorang sopir truk, yang tidak mempunyai pendidikan yang lumayan. Semoga Allah menerima amal baiknya dan membalasnya berlipat ganda khusus kepada kami beberapa puluh tahun lalu. Amin! Ada kira-kira setengah jam saya berjalan kaki menuju stasiun Tanjungpriok, dari jauh sudah kelihatan isteri dan anak sedang menunggu. Di hadapan stasiun Tanjungpriok sudah banyak kendaraan umum, seperti beca, delman dan lain-lain. Kami naik delman menuju Jalan Geneng ke rumah mamanda Yubhar. Rumah mamanda Yubhar, selalu terbuka menerima tumpangan orang-orang dari kampung, tidak saja dari Parit Putus bahkan dari kampung lain sekalipun. Apalagi Lisma adalah anak dari kakak beliau Ginam yang tidak mungkin beliau tolak. Sampai d irumah, mamanda Yubhar belum pulang dari kantor. Isteri beliau etek Jalisah menyediakan kamar untuk kami.Waktu kami sedang minum teh, etek Jalisah mengatakan, beberapa hari yang lalu ada tamu datang mencari saya kerumah ini namanya Syarif Johan. Dia berpesan kalau Bustaman sudah datang supaya menghubungi dia di PT Tritunggal Jalan Cikini Raya dekat pintu masuk Dewan Kesenian sekarang. Besok pagi saya pergi menemui pak Syarif Johan dengan menompang kereta api listrik, turun di perhentian Gondangdia. Berjalan kaki agak satu kilometer, kira-kira duapuluh menit sudah sampai di kantor pak Syarif Johan. Alhamdulilah beliau ada, dan gembira saya sudah datang. Berbasa basi sebentar, langsung beliau mengatakan bahwa di kantor itu ada lowongan untuk di bagian pembukuan dan lain-lain. Beliau tidak menyebut gaji, kalau mau besok boleh mulai bekerja kata beliau. Pucuk dicinta ulam tiba, kata orang. Saya katakan, memang saya ke Jakarta untuk mencari kerja, kalau bisa sore mau belajar lagi. Saya senang sekali kembali menjadi pembantu pak Syarif Johan, karena sudah berpengalaman selama lebih kurang satu tahun di PT Nusantara Bukittinggi. Insya Allah, mulai besok saya sudah menjadi pegawai PT Tritunggal. Selesai bertemu dengan pak Syarif Johan saya mampir dulu ke toko dan hotel kakanda Nurbeiti yaitu di Jalan Cikini Raya No. 31 Pojok antara Jalan Cikini Raya dengan Jalan Raden Saleh. Beliau beri nama toko dan hotel itu Toko Ende dan Hotel Ende, mungkin kependekan dari Nurbeiti Djohar, Allah aklam. Yang ada di toko waktu itu kakanda Nurbeiti sedangkan kakanda Johar sedang ke luar. Beliau senang mendengar bahwa kami sudah kembali ke Jakarta dan sudah dapat pekerjaan. Beliau minta supaya sering-sering mampir ke toko beliau, dan kebetulan berdekatan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

142

Sudah makan siang di situ, saya pamit untuk kembali lagi ke Tanjung Priok. Sebelum pulang ke rumah, saya mampir dulu di toko pecah belah membeli satu kotak-kotak untuk pembawa nasi ke kantor, persiapan makan siang. Sesampai dirumah, mamanda Yubhar juga baru datang dari kantor beliau di Jalan Gunung Sari. Saya ceritakan bahwa saya disuruh datang oleh pak Syarif Johan bekas atasan saya dulu di Bukittinggi, dan kebetulan di kantornya yang sekarang ada lowongan kerja, dan saya diterima bekerja di situ. Akhir bulan saya dipanggil oleh pak Syarif Johan ke meja beliau. Dengan sedih beliau mengatakan, bahwa direksi hanya menyetujui gaji saya sekian, sedangkan yang saya ajukan adalah sekian, kata beliau, sambil menyerahkan uang tersebut kepada saya. Saya katakan tidak apa-apa pak, siapa tahu bulan depan beliau bersedia menaikkan, kata saya. Namun demikan pak Syarif Johan menyuruh saya mencari pekerjaan di tempat lain, karena beliau tidak rela saya mendapat gaji sebesar itu. Bekerja di PT Teknik Umum di Bagian Pembukuan Kebetulan waktu itu baru kira-kira jam 11.00 siang. Saya ingat PT Teknik Umum tempat pak Ibrahim Sati bekerja, di Jalan Asem Lama. Saya permisi sebentar kepada pak Syarif Johan untuk pergi ke luar, dan beliau izinkan. Saya naik beca ke Jalan Asemlama yang tidak begitu jauh dari Jalan Cikini Raya. Sebetulnya yang ingin saya temui di situ adalah Ibrahim Sati, orang Pasir satu kecamatan dengan kita. Tidak disengaja bertemu juga dengan Hasan Sukardi yang menjadi atasan Ibrahim Sati di Bagian Pembukuan. Hasan Sukardi adalah teman lama waktu kursus tata-buku A dengan Amran Bustam dulu tahun 1952. Dia menawarkan bekerja di PT Teknik Umum dengan gaji hampir tiga kali lipat dari gaji yang diberikan di PT Tritunggal. Kalau mau, sekarang mari kita pergi menemui kepala Pembukuan dan Keuangan pak Darono katanya. Lagi-lagi Allah memperlihatkan kebesaran Nya, kata saya di dalam hati. Tentu saja tawaran emas ini saya terima, dan kami menemui pak Darono yang baru saja kembali dari istirahat makan siang. Hasan Sukardi memperkenalkan saya kepada pak Darono, bahwa saya teman kursusnya dulu di Amran Bustam, sekarang bekerja di PT Tritunggal. Saya ajak dia bekerja disini dan dia mau. Makanya dia saya perkenalkan kepada Bapak. Pak Darono tidak banyak tanya, hanya mengatakan, memang kita memerlukan beberapa orang juru buku yang akan di tempatkan di kantorkantor cabang PT Teknik Umum. Kalau memang mau, nanti bekerja disini satu atau dua bulan setelah itu dipindahkan ke cabang Bandung atau cabang Surabaya. Gaji disini menggunakan sistem angka index yang diadakan penyesuaian sekali tiap enam bulan, di luar kenaikan berkala yang diadakan setahun sekali. Standar gaji permulaan untuk juru buku adalah sekian, sama dengan jumlah yang dikatakan Hasan Sukardi kepada saya sebelumnya. Kalau bersedia, besok bisa mulai bekerja dan bawa lamaran sekalian. Saya katakan, saya terima pak dan saya berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Bapak, setelah itu saya pamit. Hasan Sukardi masih berbicara dengan pak Darono di kamar nya. Saya menunggu Hasan Sukardi di luar sambil mengobrol dengan Ibrahim Sati yang sudah lama tidak bertemu. Tidak lama Hasan Sukardi ke luar ruangan pak Darono dan saya pamit kepadanya, mengatakan saya besok pagi datang membawa lamaran sekalian. Dari situ
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

143

saya kembali ke kantor PT Tritunggal dan melapor kepada pak Syarif Johan, hasil saya pergi ke PT Teknik Umum tadi. Syukurlah kata beliau mungkin itu yang terbaik, karena disini adalah perusahaan kecil, belum mempunyai sistem organisasi dan penggajian yang akan dijadikan pedoman, kata beliau. Sekalian saya mohon mengundurkan diri dan terima kasih atas perhatian beliau kepada saya selama ini. Sampai saya di rumah mamanda Yubhar, ternyata Chairman sudah datang dari Kampung. Dia baru lulus SMA dan akan melanjutkan sekolahnya di Jakarta, sesuai dengan pesan ibunda waktu mau berangkat dulu. Pindah ke Cabang PT Teknik Umum Bandung di Bagian Pembukuan PT Teknik Umum adalah salah satu perusahaan Nasional Pribumi yang terbesar di waktu itu. Pemiliknya terdiri dari beberapa orang tokoh, dan pengusaha berasal dari Jawa Barat dan seorang dari Sumatra Barat. Diantara tokoh tokoh dari Jabar Barat, seperti pak Ir, Ukar Bratakusumah mantan Rektor Institut Teknologi Bandung tahun enampuluhan, dan pak Dr Ateng, anggota Dewan Konsituante dalam tahun limapuluhan. Sedangkan dari pihak pengusaha seperti, pak Eddy Kowara, mantan besan pak Harto, dan pak Harlan Bekti mantan ketua International Labour Organisation di tahun enam puluhan. Pak Suwarma pengusaha terkenal di Jawa Barat dan pemegang keagenan tunggal mobil merk Mersedez waktu itu, dan pak Agus satu-satunya pengusaha yang berasal dari Sumatera Barat. Bidang usaha PT Teknik Umum yang utama adalah instalatur listrik, air, lift. air con dition, dan lain-lain. Tiap-tiap ada bangunan yang besar-besar dan bertingkat di situ terlihat papan nama betuliskan, Instalatur listrik, air, dan lift oleh PT Teknik Umum Selain bidang instalatur, PT Teknik Umum juga agen tunggal Pabrik Siemens dari Jerman Barat untuk alat-alat listrik arus kuat dan alat-alat kedokteran. Bidang Perdagangan PT Teknik Umum juga aktif dalam importir maupun untuk barang-barang yang diperdagangkan sendiri, maupun melakukan import untuk kepentingan pesanan pihak ketiga. PT Teknik Umum telah mempunyai cabang di kota-kota besar di dalam negeri dan mempunyai perwakilan di Jerman Barat. Kantor Cabang yang ada waktu itu adalah di Bandung, Surabaya, Jogyakarta, Banjarmasin, Palembang dan Medan. Tanggal 1 Nopember 1956, saya mulai bekerja di PT Teknik Umum Pusat, yang berkantor di Jalan Asemlama No. 76 Jakarta Pusat. Sesuai dengan pesan pak Darono, kepala Pembukuan dan Keuangan Pusat, bahwa saya akan dipersiapkan untuk di tempatkan di PT Teknik Umum Cabang Bandung. Dengan demikian, saya di kantor Pusat adalah untuk magang dan menguasai system pembukuan yang telah dirancang di kantor Pusat untuk nanti diseragamkan dengan kantor-kantor Cabang yang tersebar diseluruh Indonesia. Hasan Sukardi minta kepada Ibrahim Sati, untuk melatih saya dan memberi petunjuk-petunjuk pelaksanaan pembukuan dengan menggunakan kode rekening (rekening stelsel) berikut buku-buku pembantunya. Ibrahim Sati waktu itu telah mempunyai ijazah Tata Buku B dari Bond dan sedang mengambil kursus APM di Koster Jalan Cikini Raya. Setelah dua bulan saya magang di kantor Pusat, saya ditugaskan oleh pak Darono bersama Ibrahim Sati meninjau pelaksanaan pembukuan di Cabang Bandung, sekalian memperkenalkan saya dengan Kepala Cabang dan Kepala Pembukuan disitu.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

144

Besoknya kami berangkat ke Bandung dengan kereta api. Dalam perjalanan, Ibrahim Sati menasehati saya, nanti kalau sudah tetap di Bandung, usahakan untuk mengambil kursus tata-buku B dan ikut ujian Bond. Walaupun bagaimana ijazah Bond B itu sangat perlu untuk mendukung karir kita, tidak saja di PT Teknik Umum, tetapi juga di perusahan-perusahaan lain nanti. Beliau memberi contoh, ibarat orang berpakaian, kalau kita hanya mempunyai satu stel pakaian, kalau yang satu stel itu kotor, tentu kita tunggu dulu kering baru kita bisa berpakaian lagi. Tetapi kalau kita mempunyai dua atau tiga stel pakaian, bila yang satu di cuci, masih ada pakaian lain yang bisa dipakai. Demikian juga ilmu, bila kita mempunyai beberapa keterampilan, bila yang satu tidak diperlukan orang mungkin yang lain diperlukan orang, jadi kita masih bisa bekerja dengan ilmu yang lain.. Kami sampai di Bandung sudah sore, dan kami naik beca ke Alun-alun dan menginap di hotel Indra. Kami pilih hotel Indra karena lokasinya di pusat keramaian Kota Bandung, dekat tempat makan dan pertokoan. Besoknya kami naik beca ke Kantor Cabang PT Teknik Umum Bandung di Jalan Dr. Otten. Kantor Cabang Bandung termasuk salah satu kantor cabang yang terbesar, dan dipimpin oleh seorang Direktur, dan seorang Kepala Cabang. Sedangkan di cabang-cabang lain hanya dipimpin oleh seorang Kepala Cabang saja. Sampai di kantor saya dikenalkan dengan pak Agus, salah seorang Direktur di PT Teknik Umum. Pak Agus berasal dari Matur, Sumatera Barat dan beristerikan, orang dari Jawa Barat. Dengan pak Agus kami bicara-bicara sebentar, beliau menanyakan kampung saya dan lain-lain. Beliau memperhatikan pakaian saya dari atas sampai ke bawah yang masih lusuh dan kurang rapi dibanding dengan pegawai-pegawai lain. Maklum, karena masih belum mampu dan belum sempat untuk memperbaiki diri, setelah menderita kegagalan di Bukittinggi. Penilaian ini dapat saya baca dari cara beliau memandang saya sejak mulai dari berkenalan sampai pamit untuk berkenalan dengan Kepala Cabang. Dari ruangan pak Agus kami menuju ruangan pak Handiamihardja yang menjadi kepala Cabang Bandung waktu itu. Di ruangan pak Handiamiharja ini kami dikenalkan dengan Husein Yusuf yang menjadi Kepala Bagian Pembukuan dan Keuangan Cabang Bandung. Rupanya tentang kepindahan saya ke Cabang Bandung ini sudah dibicarakan tingkat pimpinan di Bandung, karena HuseinYusuf langsung saja menanyakan kepada saya, kapan akan mulai bertugas di Bandung katanya. Rumah untuk ditempati sudah disediakan, yaitu bekas rumah pribadi pak Handiamihardja di Cigereleng, atau Mohamad Toha sekarang, kirakira 3 kilometer dari kantor. Besok kita sama-sama melihat rumah itu katanya. Kami mengharapkan dapat segera pindah ke Bandung, karena sedang mempersiapkan penutupan tahun buku l956 katanya. Saya katakan bahwa saya akan melaporkan hasil kunjungan ini ke pak Darono di Jakarta, dan terserah pada putusan beliau. Saya sendiri sudah siap kapan saja ditugaskan, saya berangkat, kata saya. Selesai berkenalan dan berbasa basi sebentar di kamar pak Handiamiharja, saya diajak ke tempat kerja Husein Yusuf, dia menjelaskan pekerjaan yang akan diserahkan kepada saya nanti, bila sudah berada di Bandung. Kami perhatikan satu persatu bersama dengan Ibrahim Sati. Dari hasil peninjauan tersebut kami sudah mengambil kesimpulan bahwa banyak pekerjaan selama ini yang ditunda-tunda, sehingga menumpuk, karena kurangnya tenaga di bagian Pembukuan. Ibrahim Sati ikut ke Bandung bukan hanya untuk memperkenalkan saya tetapi ada tugas khusus, yaitu mencocokkan angka-angka rekening koran antara Cabang Bandung dengan Kantor Pusat.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

145

Kami ada di kantor sampai jam 2.30 siang, dan pulang ke hotel dengan diantar dengan mobil kantor, bersamaan dengan pegawai-pegawai lainnya. Besok pagi kami disuruh menunggu saja di hotel, karena akan dijemput dengan mobil kantor, setelah mengantarkan pegawai-pegawai kira-kira jam 8.30 pagi. Secara umum, ada sedikit perbedaan suasana antara kantor Cabang Bandung dengan kantor Pusat Jakarta adalah dalam segi bahasa. Umumnya komunikasi antara pegawai, biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Belanda, karena kebanyakan pegawai di kantor Bandung berasal dari Indo Belanda, sedangkan yang bukan Indo Belanda mereka menggunakan bahasa Sunda. Bagi saya, kedua bahasa tersebut masih pasif. Mengenai masalah ini saya jadikan tantangan untuk memicu diri supaya bisa aktif dalam beberapa tahun mendatang. Besoknya kami sampai di kantor. Ibrahim Sati melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Sedangkan saya pergi dengan Husein Yusuf melihat rumah yang sudah disediakan untuk saya tempati, bila jadi dipindahkan ke Bandung nanti. Rumah itu, rumah panggung, terbuat dari kayu dan papan, mempunyai dua kamar tidur, satu ruangan tengah dan ruangan tamu, serta dapur dengan air dari sumur. Halaman cukup luas, kanan dan kiri rumah. Untuk kami, keluarga kecil cukup memuaskan, sekalipun terletak didalam gang, kira-kira 60 meter masuk dari Jalan Cigereleng, sebelum Gardu Induk PLN. Sekembali dari melihat rumah itu saya langsung menghadap pak Handiamiharja, mengatakan bahwa kami sudah pergi melihat rumah di Jalan Cigereleng itu, dan saya akan sampaikan kepada pak Darono bahwa kepala cabang Bandung sudah menyiapkan rumah untuk kami tempati. Bersamaan dengan itu, Ibrahim Sati sudah selesai dengan tugasnya, berarti kami sudah bisa pamit untuk kembali ke Jakarta siang itu. Sampai di Jakarta, saya melapor kepada pak Darono, bahwa sudah disediakan rumah untuk saya. Kepala cabang Bandung mengharapkan saya dapat bertugas di Bandung dalam waktu pendek, karena untuk menghadapi penutupan tahun buku l956. Sebelum beliau menjawab laporan saya, beliau memanggil Hasan Sukardi, menanyakan bagaimana pandangan Hasan Sukardi terhadap kesiapan saya untuk dipindahkan ke Bandung dari segi teknis pekerjaan. Kalau belum siap nanti di sana akan menghadapi kesulitan. Hasan Sukardi menilai saya sudah siap, melihat dari keseriusan saya selama dua bulan di kantor Pusat. Pak Darono menyuruh Hasan Sukardi menyiapkan Surat Keputusan kepindahan saya ke cabang Bandung terhitung tanggal 5 hari kedepan, karena saya diberi waktu 5 hari untuk meneyelesaikan segala sesuatu di Jakarta. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengunjungi orang-orang yang patut saya temui, memberitahukan tentang kepindahan saya ini, khusus kepada kakanda Nurbeiti di Cikini Raya 31. Selama 5 hari itu saya tetap datang ke kantor, hanya saja tidak sampai sore, sambil menunggu surat Keputusan saya terima. Waktu itu Chairman, baru saja mulai kuliah di Unversitas Indonesia jurusan Sastra Inggeris. Selama kuliah Chairman mendapat tugas, pulang kuliah setiap hari mampir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil susu untuk anak yang waktu itu dianggap kekurangan gizi. Satu ketika Chairman saya suruh mengirim uang ke Koperasi di Kampung untuk melunasi utang kami yang masih bersisa. Ternyata, mungkin sedang sial, uang yang akan dikirim itu dicopet orang di atas bus, jadi dia pulang hanya membawa sebotol susu saja dari Rumah Sakit. Setelah Chairman tahu bahwa saya akan pindah ke Bandung, maka
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

146

diapun minta surat pindah kuliah dari Unirversitas Indonsia ke IKIP di Bandung, Setelah segala urusan di Jakarta selesai, kami pamit dan berterima kasih kepada mamanda Yubhar dan etek Jalisah, yang telah menampung kami hampir tiga bulan di rumah beliau. Besok pagi-pagi kami berempat berangkat ke Bandung, dengan beban yang sama seperti dari Bukittinggi dulu, yaitu satu kasur kecil dan koper kecil serta beberapa jinjingan. Mengikuti Kursus Tata Buku B dan Lulus Ujian Bond Sampai di Bandung, kami langsung ke rumah yang sudah disediakan untuk kami, di Jalan Cigereleng. Kunci rumah dititipkan di rumah pak Pakih yang juga pegawai PT Teknik Umum di bagian instalasi, yang bersebelahan dengan rumah yang akan kami tempati. Selesai masuk ke rumah, saya keluar dulu untuk membeli beberapa lembar tikar dan beberapa buah bantal untuk tempat duduk dan untuk tidur sampai akhir bulan. Besoknya isteri pergi membeli perlengkapan dapur ala kadarnya. Akhir bulan, baru mampu membeli kursi tamu dari rotan, dan beberapa buah kasur untuk kami bertiga. Besoknya saya pergi ke kantor naik beca dan menyerahkan surat kepindahan saya, kepada pak Handiamiharja. Pak Handiamiharja memanggil HuseinYusuf sambil menyerahkan Surat Kepindahan saya, yang nantinya akan berada langsung dibawah Husein Yusuf di bagian pembukuan. Rupanya meja kerja untuk saya juga sudah disiapkan yaitu bersebelahan dengan meja kerja HuseinYusuf. Hari itu kami banyak berbincang-bincang tentang pekerjaan, dan saya juga belum mulai bekerja kecuali melihat-lihat dan mempelajari semua berkas-berkas yang diserahkan kepada saya. Besok saya baru mulai bekerja dengan tekun, sampai beberapa bulan kedepan untuk mengejar ketinggalan pekerjaan selama ini. Alhamdulillah untuk pulang pergi ke kantor ada jemputan, ini juga menguntungkan saya untuk lebih cepat membaur dengan teman sekerja lainnya. Dalam waktu pendek saya sudah intim dengan sebagian besar pegawai di cabang Bandung. Setelah selesai pekerjaan yang tertinggal, dan setelah selesai penutupan buku tahun buku 1956, maka saya sudah agak lega, sudah banyak waktu senggang, baik di waktu jam kerja maupun di luar jam kerja. Apalagi saya sudah diberi pinjam inventaris kendaraan roda dua merk Dukati, sejenis Honda sekarang. Berarti mobilitas saya sudah mulai tinggi. Salah satu hari Minggu, saya bertamu ke tempat tinggal pak Munar, yang dikenal oleh anak-anak dengan panggilan paktuo Samiaji, karena sekarang beliau tinggal di Jalan Samiaji No. 28. Dulu waktu itu beliau tinggal di salah satu hotel di jalan Pungkur. Beliau bekerja di Perusahaan Telepon dan Telegram (PTT) atau Perum Telekomunikasi sekarang. Beliau pindahan dari PTT Bukittinggi ke Bandung, karena belum ada rumah dinas, maka untuk sementara PTT menyediakan hotel tempat tinggal beliau sekeluarga. Saya tahu beliau tinggal di situ, karena dulu sewaktu masih mengurus tunjangan onderstand pejuang kemerdekaan pernah mengantarkan kiriman ibu mertua beliau ke hotel itu. Kebetulan beliau ada, dan kaget saya sudah ada di Bandung lagi. Saya ceritakan jalan hidup saya selama 2 -3 tahun tidak bertemu beliau. Beliau bersyukur sekarang sudah bekerja di PT Teknik Umum yang juga adalah salah satu langganan dari PTT baik dalam bidang instalatur maupun supply barang-barang teknik. Dari pak Munar saya mengetahui bahwa Syafri Yacob, salah seorang saudara satu Datok dengan saya. Dia orang dari desa Pasir di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

147

kecamatan kita, juga bekerja di PTT, menjadi salah seorang bawahan beliau. Ibunya Syafri Yacob adalah saudara satu bapak, lain ibu dengan ibunda saya. Dari pak Munar saya mendapatkan nomor telepon kantor Syafri Yacob, dan sejak itu kami saling kunjung mengunjungi dengan Syafri Yacob yang waktu itu masih bujangan. Pak Munar senang sekali bercerita tentang politik yang terjadi dan hangat dibicarakan waktu itu. Kebetulan awal tahun 1957, yang menjadi berita hangat adalah peristiwa Dewan Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dari Sumatera Barat, dan Kolonel Simbolon dari Sumatera Utara. Dewan Banteng semula adalah merupakan gerakan koreksi terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang menganak tirikan daerah-daerah, tetapi akhirya mengarah kepada gerakan separatis yang terkenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI telah merobah peta kekuatan dan kepemimpinan di negara kita. Banyak mahasiswa dan pemuda yang berasal dari Sumatera Barat di Bandung waktu itu pulang kampung untuk membantu perjuangan PRRI menjadi tentara sukarela yang direkruit oleh PRRI. Saya dan Syafri Yacob sudah sepakat akan pulang bergabung dengan tentara sukarela PRRI, tetapi gagal. Waktu rencana itu disampaikan kepada isteri, dia menolak. Kalau mau pulang silakan saja pulang, biar dia bersama anak tinggal saja di Bandung, katanya. Semangat kedaerahan ini yang menyebabkan Pemerintah Pusat bertindak keras terhadap gerakan PRRI, dengan mengirim Brigjen Ahmad Yani dengan pasukannya ke Sumatera Barat. Selain itu, Pemerintah Pusat juga meggeser posisi-posisi penting yang dipegang oleh orang berasal dari Sumatera Barat diganti oleh orang-orang lain, baik di pemerintahan maupun di kalangan militer, karena menganggap orang Sumatera Barat itu adalah pemberontak semua. Sejak itu posisi orang Sumatera Barat terpuruk dan belum tentu kapan bisa bangkit kembali seperti sebelumnya. Setelah kami gagal pulang kampung untuk membantu perjuangan PRRI menuju citacitanya, maka saya dan Syafri Yacob merencanakan memproduktifkan waktu-waktu senggang dengan ikut kursus tata-buku B di Bandung Handelsche School (BHS). Hari itu juga kami pergi ke sekretariat BHS yang berlokasi di Alun-alun Bandung mencari informasi kapan pendaftaran untuk gelombang baru dibuka. Ternyata sudah membuka pendaftaran baru sejak sebulan yang lalu, dan tinggal hanya beberapa orang saja lagi. Bila cukup tigapuluh orang maka pendaftaran baru disediakan untuk gelombang berikutnya. Pendaftaran sekarang adalah untuk kursus gelombang mulai sebulan lagi. Tanpa pikir panjang kami langsung mendaftarkan diri untuk ikut dalam rombongan itu. Pulang dari mendaftarkan diri, kami mampir di toko buku membeli buku-buku tata-buku yang standar dipakai waktu itu, seperti Tata-buku terjemahan Amani Uli. Karena saya sudah lama tidak membaca buku-buku tata buku dan hitung dagang, sebagai literatur dan untuk mengingat kembali, saya juga membeli lengkap buku-buku karangan Effendi Harahap baik mengenai tata buku maupun hitung dagang berikut dengan jawabannya. Sejak itu saya konsentrasi belajar dan bekerja, dengan menghilangkan pemikiran-pemikiran membantu perjuangan PRRI yang semangkin hari semangkin hangat. Caranya adalah dengan tidak menyetel lagi siaran-siaran Radio dari PRRI yang selalu membakar semangat pemudaMengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

148

pemuda orang-orang Sumatera Barat di rantau dan di kampung sendiri, karena televisi waktu itu belum ada. Jam kerja kantor adalah dari jam 7,30 pagi sampai jam 2.30 siang. Karena saya sudah mendapat motor inpentaris maka saya sampai di kantor jam 7.00 pagi dengan membawa buku yang akan saya pelajari hari itu. Lumayan di kantor dapat dimanfaatkan tigapuluh menit untuk membuat soal-soal yang dimuat dalam buku-buku tata-buku maupun hitung dagang, sejak jilid pertama sampai jilid terakhir. Pada saat kursus dimulai maka ingatan saya terhadap materi pelajaran sudah kembali lagi seperti dulu, karena sudah 5 tahun ditinggalkan. Dengan demikian saya merasa tidak begitu ketinggalan dibanding dengan teman-teman yang masih fresh ingatannya waktu itu. Dalam hal hitung dagang, saya banyak bertanya dan belajar kepada Syafri Yacob, sebab dia memecahkan setiap soal hitung dagang menggunakan rumus persamaan tersamar dalam aljabar. Sekalian saya belajar aljabar dengan dia khusus persamaan tersamar. Syafri Yacob memang sejak di Sekolah Menengah Atas tempat teman-teman seangkatannya bertanya aljabar Sebaliknya kalau tata-buku Syafri Yacob yang banyak bertanya kepada saya, karena dia anggap saya jago dalam hal jurnal menjurnal. Tidak terasa, hari mulai kursus sudah datang, dan kami mangkin sering bertemu. Syafri Yacob memanggil saya tuan dengan maksud kakak, tetapi teman-teman di tempat kursus mengaggap tuan dalam arti meneer atau sir, sehingga ada beberapa teman memanggil saya meneer sebagai penghormatan. Saya dan Syafri Yacob belajar all out. Tidak ada hari tanpa belajar, akhirnya sampai pada hari pendaftaran ujian. Kami mendaftar pun bersama-sama sehingga nomor ujian kami juga berurutan. Waktu mendaftar sudah diberitahu tempat ujian kami adalah di Sekolah Menengah Atas Kristen Jalan Dago, bersebelahan dengan Sekolah Menengah Atas Satu sekarang. Ujian diadakan selama dua hari, yaitu hari Sabtu dan Minggu dari jam 8.00 pagi sampai jam 4.00 sore. Oleh karena itu, panitia ujian memilih waktu ujian di hari libur sekolah. Guru kami adalah orang Belanda. Sewaktu kami akan mengahadapi ujian dia menasehati kami, agar berangkat dari rumah menanamkan rasa percaya diri dihadapan cermin, sambil optimis bahwa akan lulus dalam ujian itu, disamping berdoa menurut agama masing-masing. Hari ujian datang dan saya gonceng Syafri Yacob ke tempat ujian. Kami hadapi ujian itu dengan penuh guyon, seperti biasa, bila kami bertemu selalu saja ada bahan guyon yang membangkitkan tawa kami masing-masing. Pindah ke PT Teknik Umum Jakarta di Unit Siemens (Bagian Keuangan) Kira-kira sebulan sesudah ujian, saya di panggil pak Darono menghadap ke Jakarta. Belum pernah saya dipanggil seperti itu. Dalam pikiran saya bertanya-tanya, mungkin ada sesuatu pekerjaan saya yang tidak beres. Setelah saya menghadap, Alhamdulillah rupanya saya akan di promosikan dengan menarik saya kembali ke Jakarta, diangkat menjadi kepala bagian keuangan Unit Siemens, berkantor di Jalan Kebon Sirih No.4. PT Teknik Umum Unit Siemens adalah satu unit baru, sebagai pengembangan dari bagian perdagangan. Maksud mendirikan unit ini, adalah untuk mengintensifkan pemasaran produk-produk dari pabrik Siemens dari Jerman, khusus barang-barang elektrik arus kuat dan alat-alat kedokteran. Unit
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

149

ini dipimpin olek pak Natakusumah mantan pimpinan Perwakilan PT Teknik Umum di Jerman. Pak Natakusumah, berasal dari Bengkulu, beristerikan wanita Belanda. dan lama tinggal di negeri Belanda dan Jerman. Orangnya sangat disiplin dan jarang pegawai yang sanggup berada dibawahnya. Sebelum pulang ke Bandung, saya mampir dulu ke Jalan Cikini Raya 31, menemui kakanda Nurbeiti. Kakanda Johar kebetulan sedang ada disitu. Saya ceritakan bahwa saya akan ditarik kembali ke Jakarta, dan diberi uang pindah dan uang perumahan ala kadarnya. Kakanda Johar spontan mengatakan, sambil mendapat rumah yang diingini, disini saja tinggal dulu, karena kami sudah tiga bulan pindah ke Matraman Raya No. 48 kata beliau. Alangkah mulianya tawaran ini dibanding dengan mencari-cari rumah sewaan di tempat-tempat yang jauh dari kantor, dan sangat prestisius. Tawaran ini saya sambut dengan ucapan terima kasih. Waktu itu saya betul-betul merasakan, kebaikan dan penuh perhatian dari bako saya sekalipun hal tersebut, sedikit sekali saya terima dari bapak saya. Saya hanya sehari pulang pergi ke Jakarta, besoknya saya sudah masuk kantor lagi di Bandung, dan melapor kepada pak Handiamiharja, tentang pembicaraan saya kemarin dengan pak Darono. Pak Handiamiharja memanggil Husein Yusuf dan memberitahukan bahwa saya akan ditarik ke Jakarta lagi, apakah akan berpengaruh ke pekerjaan bagian pembukuan atau tidak. Menurut Husein Yusuf, tidak banyak berpengaruh karena sekarang sudah ada Suyono yang akan melanjutkan pekerjaan saya. Pak Handiamiharja menanyakan kapan definitifnya berangkat ke Jakarta, nanti akan disediakan satu mobil pick-up untuk mengantarkan ke Jakarta, katanya. Saya katakan akan saya laporkan dulu kepada pak Darono hasil pembicaraan kita ini, dan menunggu Surat Keputusan Kepindahan dari kantor Pusat, kata saya. Seminggu setelah itu, saya sudah menerima Surat Keputusan Pindah ke Jakarta dengan tembusan ke Kepala Cabang Bandung. Sesuai dengan janji pak Handiamiharja, maka pada hari Sabtu berikutnya disedikan satu mobil pick up dengan sopir dan ditemani oleh pak Pakih tetangga kami di Jalan Cigereleng, yang kami anggap sudah seperti saudara. Chairman tinggal kos di Bandung karena masih kuliah di IKIP jurusan Sastra Inggeris. Kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia Business Administration (1959-1961) Sampai di Jakarta kami langsung ke Jalan Cikini Raya No. 31, hotel Ende kepunyaan kakanda Nurbeiti Johar. Pak Pakih ikut menurunkan barang-barang yang tidak seberapa. Tidak ada tempat tidur, tidak ada lemari pakaian maupun lemari makan, apalagi meja tulis atau meja makan. Paling-paling yang ada hanya kasur, bantal dan koper pakaian kami bertiga beranak, sedangkan alat-alat dapur dan alat-alat makan di simpan dalam peti-peti kecil dan kardus-kardus, supaya tidak rusak dan pecah. Ruangan yang akan kami tempati sudah disiapkan oleh kakanda Nurbeiti, yaitu satu kamar tidur, satu ruang makan plus dapur dan satu ruangan tamu. Sedangkan kamar mandi, dipakai bersama dengan satu keluarga lainnya orang Payakumbuh yang bertugas di Angkatan Udara. Setelah selesai barang-barang diturunkan semua dan beristirahat sebentar pak Pakih bersama sopir kembali ke Bandung, dan saya berterima kasih kepada mereka yang telah membantu kepindahan saya ke Jakarta.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

150

Besok pagi saya melapor kepada pak Darono bahwa saya sudah siap dengan tugas baru, dan beliau menyuruh saya langsung melapor kepada pak Natakusumah di Jalan Kebon Sirih No.4. Dengan pak Natakusumah sebelumnya, saya sudah kenal tetapi tidak selaku bawahan dan atasan, sedangkan sekarang adalah sebagai bawahan dan atasan. Pak Natakusumah orangnya disiplin dan pendiam, tidak banyak bicara apalagi bercanda dengan bawahan. Beliau berbicara seperlunya saja, seperti menjelaskan tugas saya selaku Kepala Keuangan tetapi juga mengerjakan pembukuan unit Siemens. Karena Unit Siemens secara adminsitratif adalah otonom, mempunyai neraca dan rugi laba sendiri. Dari penjelasan beliau tersebut, dapat saya jabarkan bahwa saya harus membuat neraca awal terlebih dahulu. Untuk membuat neraca awal tersebut beliau minta saya berkonsultasi dengan pak Darono, apa saja asset dan liabilities Unit Siemens waktu permulaan dulu, sebagai bagian dari PT Teknik Umum. Selain dari penjelesan tersebut di atas pak Natakusumah juga menyerahkan berkasberkas rekening koran beberapa bank, dan buku-buku bank, berikut buku-buku cheque dan giro kepada saya. Beliau juga menyerahkan sebuah cash box dengan beberapa uang kontan sebagai kas kecil. Selesai menerima penjelasan dan berkas-berkas itu, saya berusaha menguasai saldo kas dan Bank terlebih dahulu, karena kedua hal tersebut sangat sensitif dan berlanjut dikemudian hari. Setelah saya ketahui saya buat suatu catatan khusus, saya tanda tangani dan saya minta juga ditanda tangani oleh pak Natakusumah. Besoknya pak Natakusumah menyuruh saya membuat surat perkenalan ke bank-bank langganan Unit Siemens, bahwa saya selaku Kepala Keuangan dapat mewakili pak Natakusumah untuk segala keperluan dengan Bank, seperti menanyakan saldo, dan lain-lain, kecuali penanda tanganan surat-surat berharga yang masih oleh pak Natakusumah. Sejak itu, saya sering disuruh oleh pak Natakusumah berurusan dengan bank-bank tersebut seperti dalam hal pembukaan Letter of Credit (L.C), menanyakan saldo rekening dan lain-lain. Belum sebulan saya bertugas di Jakarta saya sudah diberikan inpentaris roda dua merk Jawa . Waktu itu saya sudah dua bulan pindah ke Jakarta, atau tiga bulan setelah ujian tata-buku Bond yang kami ikuti di Bandung dulu. Lazimnya hasil ujan tersebut sudah dapat diketahui tiga bulan setelah waktu ujian. Saya tanyakan kepada Ibrahim Sati kantor perwakilan Bond yang mengadakan ujian tata-buku di Jakarta. Dia memberi tahukan di Jalan Cikini Raya, di daerah pertokoan, berderetan dengan Kantor Pos Pembantu Cikini. Nomornya dia lupa, tanyakan saja di salah satu pertokoan disana, katanya. Saya langsung ke sana dengan motor Jawa, mencari alamat yang ditunjukkan oleh Ibrahim Sati. Alhamdulillah, saya bertemu alamat itu, dan saya masuk menanyakan hasil ujian saya, dengan menunjukkan nomor ujian saya dari Bandung tiga bulan yang lalu. Pegawai disitu mencari-cari dalam tumpukan suratsurat yang siap dikirim ke alamat masing-masing. Dia tidak bicara apa-apa, hanya menyerahkan amplop yang akan dikirim ke alamat saya di Bandung, tinggal memberi prangko, dan saya disuruh menanda tanganai tanda terima di suatua buku ekspedisi. Sebelum saya keluar ruangan mereka, saya buka dulu amplop tersebut dan alangkah gembiranya saya bahwa saya dinyatakan lulus. Kakanda Nurbeiti dan kakanda Johar biasanya pulang ke rumah beliau dari Toko Ende di Jalan Cikini Raya 31 ke Matraman Raya No. 48 jam 8.00 malam. Salah satu senja ada tamu beliau di toko, orang Painan namanya Badatan. Dia baru saja tamat dan diwisuda
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

151

sebagai Sarjana Muda Business Administration di Akademi Perniagaan Indonesia. Kakanda Johar memanggil saya ke toko beliau dan memperkenalkan saya dengan Badatan teman beliau itu. Dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Saya tanyakan kepada Badatan apa syarat-syarat untuk dapat masuk kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia (API) tersebut. Dia menjelaskan, ijazah SMA, dan berpengalaman paling sedikit 2 tahun di perusahaanperusahaan yang mempunyai hubungan dengan luar negeri, dan lulus test masuk yang diadakan oleh API. Mendengar itu saya mula-mula pesimis bahwa saya dapat diterima kuliah di situ, karena saya tidak mempunyai ijazah SMA. Tetapi keinginan akan kuliah di situ bertambah besar. Karena waktu pendaftaran sudah hampir tutup, maka pada salah satu sore saya beranikan diri mencari informasi ke sekretariat API di Kampus Universitas Indoensia Jalan Salemba No. 4. Dari sekretariat API saya mendapat informasi bahwa syarat SMA, atau sederjat. Saya tanyakan yang dikatakan sederajat itu yang bagaimana? Mereka mengatakan yang dimaksud sederajat adalah mempunyai ijazah tata-buku A dan B dari Bond, ditambah pengalaman kerja dua tahun. Saya katakan bahwa saya mempunyai syarat-syarat itu tanpa ijazah SMA apakah dapat diterima disini?. Dia mengatakan dapat asal lulus tes yang akan diadakan dua minggu lagi, katanya. Mendengar keterangan itu saya langsung membeli formulir pendaftaran dan berjanji akan melengkapinya dan menyerahkannya besok. Besok sore, janji tersebut saya tepati, dan diterima oleh sekretariat, dengan pesan supaya saya mepersiapkan diri untuk test bahasa Inggeris saja, katanya. Alhamdulillah, pada saat test diadakan selama dua jam, semua soal dapat saya kerjakan semua. Hasil test ini sudah dapat dilihat di papan pengumuman sekretariat sepuluh hari kedepan. Alhamdulillah, sepuluh hari kemudian waktu saya lihat di papan pengumuman, ternyata saya lulus test dan saya segera mendaftar ulang di sekretariat, dan membayar uang kuliah untuk semester pertama. Hari pertama saya masuk kuliah, saya merasakan betul bagaimana besarnya dan pengasih sayangnya Allah yang menyampaikan keinginan saya kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia. Orang seperti saya tidak punya ijazah Sekolah Dasar apalagi Sekolah Menengah Atas, bisa kuliah di Akademi Perniagan Indonesia yang cukup prestesius waktu itu. Kalau bukan kasih sayang Allah tidak mungkin itu saya capai. Rahmat yang luar biasa ini, Insya Allah akan saya jadikan titik awal dari kebangkitan saya sekeluarga di belakang hari. API adalah satu-satunya akademi swasta yang statusnya disamakan dengan Negeri waktu itu. Tempat kuliahnya juga di kampus Universitas Indonesia Salemba No. 4 Dosen kami ada 7 orang yang terdiri dari satu orang Inggeris, satu orang Belanda, dua orang turunan Tionghoa, dan 3 orang Indonesia.. Dosen dari Belanda ini adalah Akuntan Yan, memberikan kuliah menggunakan bahasa Belanda dan menggunakan buku wajibnya, buku-buku berbahasa Belanda antara lain Bedrijfs Economie karangan Y.L.Mey. Tidak semua siswa pandai berbahasa Belanda secara aktif, masih banyak juga yang pasif seperti saya. Mula-mula saya bersusah payah memahami isi buku-buku, dan sering-sering membuka kamus. Pada suatu hari, salah satu buku berbahasa Belanda itu saya bawa ke kantor dan membaca-bacanya. Kebetulan dilihat oleh salah seorang teman yang ahli bahasa Belanda, bahasa Jeman dan bahasa Inggeris. Dia adalah orang Pariaman dan pegawai Siemens sebagai
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

152

translator. Saya ceritakan kepada dia, bahwa saya sedang kuliah di API, dosennya orang Belanda dan menggunakan buku-buku berbahasa Belanda sebagai buku wajib. Mula-mula saya minta bantuan dia untuk menerjemahkan dan meringkas bab-bab yang dibahas di ruangan kuliah. Ternyata dia bisa mengerjakannya dan cepat. Dari hasil terjemahannya itu, saya perbanyak dengan menggunakan stensilan, dan saya bawa kuliah, memperlihatkan kepada teman-teman yang bahasa Belandanya agak payah seperti saya. Ternyata banyak yang berminat dan membelinya dengan harga yang relatif mahal, karena honor terjemahan dan stensilan serta keuntungan sudah dikalkulasikan di dalamnya. Akhirnya ide ini, memudahkan saya mempelajari mata kuliah yang diberikan oleh Akuntan Yan, disamping itu merupakan tambahan penghasilan saya dan teman di kantor Siemens secara rutin. Dari kegiatan ini saya sempat investasi satu buah mesin stensil bekas dan dikerjakan sendiri. Mesin foto copy waktu itu belum ada. Tidak terasa, masa berlalu terlalu cepat, semester demi semester telah dilalui, ada yang lulus dengan mulus, ada juga yang diulang lagi baru lulus. Akhirnya tiga tahun telah berlalu. Sebentar lagi ujian akhir, untuk menghadapi ujian akhir itu, saya terpaksa minta cuti dari kantor, supaya persiapan lebih mantap. Alhamdulillah, berkat kasih sayang Allah juga saya lulus dari ujian itu, yang saya jadikan pijakan untuk mendaftar di Universitas Pajajaran di Bandung. Pindah ke Bagian Perdagangan PT Teknik Umum Pusat Selama lebih kurang dua tahun saya bekerja di bawah pak Natakusumah, segala sesuatu berjalan lancar. Banyak teman-teman menduga bahwa saya tidak sanggup berlama-lama berada di bawah pak Natakusumah, karena kedisiplinan dan sikap keras beliau terhadap bawahan. Keadaan yang tidak diingini itu, akhirnya datang juga. Beberapa bulan yang lalu pak Natakusumah menerima staf baru, yaitu bekas teman beliau dari negeri Belanda bernama Iwan Madong Simatupang yang beristrikan juga orang Belanda. Karena Iwan Madong Simatupang adalah teman pak Natakusumah maka kami pegawai lain juga menghormati dia sebagai teman pimpinan, yang posisinya di kantor belum ditentukan waktu itu. Isteri Iwan Madong Simatupang ini, sejak datang di Indonesia selalu sakit-sakitan. Pada suatu hari penyakitnya semangkin parah sehingga harus dirawat di Rumah Sakit St Carolous. Tidak lama dia dirawat disitu akhirnya dia meninggal malam hari. Pagi hari saya masuk kantor, Iwan Madong Simatupang sudah menunggu saya, menyampaikan berita duka yang sedang dihadapinya itu. Bersamaan dengan itu dia mengajukan pinjaman uang untuk pembeli peti mati. Saya katakan, sebaiknya kita tunggu pak Natakusumah dahulu, mudah-mudahan beliau sudah kembali dari Surabaya. Kami tunggu sampai jam 9.00 pagi pak Natakusumah belum juga datang, mungkin belum kembali dari Surabaya. Saya mencoba menghubungi beliau ke kantor Cabang Surabaya, tenyata tidak dapat sambungan, karena waktu hubungan telepon belum selancar seperti sekarang. Saya coba menghubungi sampai jam 12.00 siang, tetap tidak dapat sambungan. Saya hitung jumlah pinjamannya tidak melebihi tiga bulan gajinya, saya beranikan diri untuk memberikan pinjamannya pembeli peti mati dan pengurusan jenazah isterinya. Uang tersebut saya keluarkan dari kas kecil dan saya antarkan ke rumah Sakit St. Carolous. Saya katakan bahwa saya belum dapat kontak dengan pak Natakusumah, tetapi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

153

karena ini mendesak dan tidak dapat ditunda, maka saya keluarkan saja dari kas kecil. Iwan Madong Simatupang berterima kasih kepada saya dan merasa sangat tertolong dengan uang tersebut. Besok pagi pak Natakusumah masuk kantor, dan terus masuk ke ruangan beliau. Kirakira 5 menit beliau di ruangan, saya masuk ke ruangan beliau memberitahukan bahwa isteri pak Iwan Madong Simatupang meninggal malam kemarin, dan telah dikuburkan hari itu juga. Mendengar itu, beliau terlihat ikut berduka cita. Saya katakan bahwa Iwan Madong Simatupang meminjam uang untuk keperluan peti mati dan biaya pengurusan jenazah. Saya berusaha menelpon bapak ke Cabang Surabaya untuk minta persetujuan mengeluarkan uang pinjaman tersebut, tetapi tidak mendapat sambungan. Saya terpaksa mengeluarkan uang tersebut, karena tidak tega melihat jenazah isterinya yang tidak terurus. Mendengar itu Pak Natakusumah langsung marah dan merah mukanya, mengeluarkan kata-kata saudara sudah melakukan kesalahan fatal, ini adalah uang perusahaan bukan uang nenek moyang saudara yang dapat dikeluarkan seenaknya saja Saya katakan, memang bukan uang nenek moyang saya, dan selaku seorang pegawai saya memang salah, tetapi sebagai manusia, rasa kemanusiaan saya tidak dapat membiarkan saya untuk tidak membantu orang sedang kesusahan sedemikian rupa, dan jumlahnya juga tidak melebihi tiga bulan gajinya, kata saya. Setelah saya berbicara begitu, pak Natakusumah diam, dan saya permisi keluar ruangan beliau, dengan muka merah. Teman-teman di luar sudah menduga bahwa saya baru saja kena marah. Kena marah dari pak Natakusumah, bukanlah hal yang aneh, kalau tidak pernah kena marah baru itu dikatakan aneh. Sejak kejadian itu, hati saya sudah tidak tenang lagi bekerja di situ, bahkan saya berpikir untuk berhenti saja dari PT Teknik Umum. Seminggu setelah itu, saya jalan-jalan ke kantor Pusat di Jalan Asemlama. Disana saya bertemu dengan pak Salimin kepala perdagangan Kantor Pusat. Saya dipanggil keuangannya, dan menanyakan kasus saya kena marah dari pak Natakusumah beberapa hari yang lalu. Saya jelaskan apa adanya, bahkan saya lagi berpikir untuk mencari pekerjaan lain saja, saya bilang kepada pak Salimin. Mendengar itu pak Salimin menawarkan kepada saya untuk pindah saja ke Bagian Perdagangan Pusat sebagai salah seorang salesman disana. Kalau mau nanti pak Salimin akan membicarakan dengan pak Darono mencari orang mengganti posisi saya di Unit Siemens. Tawaran ini saya terima dengan baik, karena yang penting bagi saya adalah jauh dari pak Natakusumah. Apalagi bidang ini buat saya baru sama sekali, dan saya akan belajar dalam bidang sales ini. Alhamdulillah, tidak lama setelah itu, saya menerima Surat Keputusan Pindah ke Bagian Perdagangan di Kantor Pusat.

******

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

154

14. PINDAH KE PT.TEKNIK UMUM CABANG BANDUNG SEBAGAI KEPALA PERDAGANGAN (1962 1970)
Satu ketika ada teman kakanda Johar, yang bertugas di Angkatan Udara, akan dipindahkan ke Bandung. Dia mempunyai rumah di Jalan Petojo VIJ yang akan dijualnya dengan harga relatif murah. Oleh kakanda Johar di sarankan agar saya membeli rumah tersebut. Karena uang tidak cukup beliau akan menjamin supaya sisanya dapat dicicil. Mungkin ini adalah kesempatan pertama buat kami mempunyai rumah sendiri, dan kami memberanikan diri untuk mengambilnya. Sejak itu, kami sudah pindah ke rumah sendiri dari Jalan Cikini Raya ke Jalan Petojo VIJ Setelah menerima Surat Keputusan Pindah dari Unit Siemens ke Bagian Perdagangan Pusat, saya timbang terima pekerjaan dengan pengganti saya. Selesai timbang terima, saya pamit kepada pak Natakusumah dan mohon maaf serta terima kasih atas bimbingan selama ini. Beliau mengatakan bahwa saya minta pindah karena tidak menerima teguran beliau tempo hari. Saya katakan memang ia, karena saya ini tidak cocok untuk menjadi seorang kasir yang baik, makanya saya senang dapat pindah ke bagian yang tidak memegang uang, kata saya. Setelah itu kami bersalaman, dan saya pun pergi, sambil membawa berkas-berkas yang ada dalam laci meja saya, untuk dibawa ke kantor Pusat ketempat kerja saya yang baru. Besoknya saya melapor kepada pak Salimin, kepala Perdagangan Pusat, bahwa saya sudah siap menerima tugas baru, dan mohon dibimbing karena tugas sebagai salesman bagi saya adalah baru sama sekali. Beliau mengatakan, belajar sambil jalan saja, nanti juga akan tahu sendiri. Sebagai latihan, sekarang kita mempunyai stock beberapa ton skrup kuningan terdiri dalam beberapa ukuran yang dulu salah import, coba di cari pasarannya. Sudah lebih dari satu tahun barang tersebut tidak bisa terjual. Saya katakan, baik pak saya akan coba, mudah-mudahan saya dapat menjualnya. Mendengar itu saya pergi ke gudang dan mengambil beberapa contoh untuk dasar saya menjualnya. Saya pelajari juga data-data teknisnya. Saya tanyakan kepada orang-orang teknik, biasanya skrup ini dipergunakan oleh industri apa. Dari orang-orang teknik saya mendapat informasi bahwa yang menggunakan sekrup ini adalah perusahaan-perusahaan galangan kapal dari kayu. Dari hasil penilitian dan informasi-informasi yang saya peroleh beberapa hari itu, saya mulai merencanakan penjualan sekrup, dan menyampaikan rencana itu secara lisan kepada pak Salimin. Beliau menyetujui, dan saya mulai keluar untuk menjajakan sekrup itu. Untuk keperluan tugas saya, saya diberi inpentaris scooter, bekas petugas lama yang mendapat promosi dengan mendapat inpentaris mobil. Langkah pertama yang saya lakukan ialah, membawa contoh-contoh sekrup dan menawarkannya ke toko-toko besi yang besar-besar yang banyak tersebar di Glodok Jakarta Kota. Umumnya mereka menolak, karena tidak banyak dibutuhkan atau susah lakunya. Pemakaian sekrup ini terbatas pada perusahaan galangan kapal kayu, karena tidak termakan karat air asin. Lebih kurang tiga hari saya menjajaki penjualan melalui toko-toko besi di Jakarta, hasilnya nihil. Akhirnya saya akan mencoba untuk menjual langsung kepada pemakai.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

155

Sebagai laporan kegiatan saya kepada atasan, saya siapkan laporan kunjungan harian, dan tanggapan dari toko-toko yang saya kunjungi. Keesokan harinya saya mulai mencari alamat perusahaan-perusahaan galangan kapal kayu yang ada di Jakarta, melalui buku telepon di yellow page. Saya catat nama-nama perusahaan itu dengan alamatnya masingmasing, yang akan saya kunjungi di hari-hari berikutnya. Ternyata ada beberapa puluh perusahaan galangan kapal kayu yang terdaftar dalam yellow page di Jakarta. Dari alamatalamat yang sudah saya catat saya mencoba membuat rute kunjungan yang kira-kira searah, untuk mengefisienkan kunjungan dan waktu. Rencana kunjungan saya ini juga saya laporkan kepada atasan supaya beliau mengetahui, bahwa saya sungguh-sungguh berusaha menjual persediaan yang sudah lebih satu tahun. mengendap dalam gudang. Dengan tidak terjualnya persediaan dalam gudang, merupakan kerugian terselubung perusahaan dilihat dari segi perputaran uang. Saya siapkan surat penawaran sekalian, dengan harapan bila pada saat kunjungan saya belum ada pesanan, mungkin setelah beberapa hari kemudian mereka memerlukan, dapat menghubungi kantor sewaktu-waktu. Setelah siap semua, saya mulai mengunjungi perusahaan galangan kapal dari kayu sesuai dengan rute yang saya buat sendiri, mulai dari yang terdekat dari kantor, yaitu di sekitar Ancol sampai yang terjauh arah Tanjung Priok dan Tanggerang. Kunjungan hari pertama dan kedua belum ada pesanan. Umumnya mereka menjawab akan membicarakan dulu dengan pimpinan yang sedang tidak di tempat. Hari ketiga, disalah satu perusahaan galangan kapal agak besar di Ancol, mulai memesan beberapa kwintal dari berbagai ukuran. Dari pesanan pertama ini saya dan pak Salimin mulai optimis bahwa dengan cara pemasaran langsung begini, stok lama ini akan habis terjual. Untuk menghemat waktu, saya siapkan surat penawaran yang sama ke seluruh alamat perusahaan galangan perkapalan yang ada di Jakarta dan sekitarnya, dan mengirimnya dengan pos, disamping melakukan kunjungan seperti sebelumnya. Alhamdulillah sejak itu pesanan mulai mengalir dalam berbagai jumlah dan ukuran, baik hasil dari kunjungan sendiri maupun dari surat dikirim melalui pos. Hasilnya dalam waktu tidak sampai 3 bulan stock yang tadinya beberapa ton, habis terjual. Prestasi saya ini mendapat penghargaan dari pak Salimin dengan menempatkan saya di bawah seksi yang akan meladeni tender dari Jawatan Pembelian Pusat JAPP. Waktu itu segala kebutuhan barang-barang yang diperlukan oleh Perusahaan Negara seperti Perusahaan Kereta Api, Perusahaan Listrik Negara, Perusahaan Telekomunikasi dan Perusahaan Negara lainnya, melakukan pembeliannya melalui satu pintu, yaitu Jawatan Pembelian Pusat JAPP. JAPP inilah yang melakukan tender dengan mengundang semua rekan-rekan pengusaha atau perwakilan pabrik-pabrik produsen di luar negeri, yang mempunyai perwakilan di dalam negeri. Dalam undangan tender itu di sebutkan Perusahaan Negara yang memerlukan barang tersebut, dengan maksud bila ada keragu-raguan rincian teknis barang yang diperlukan dapat menghubungi Perusahaan Negara yang memerlukannya. Bagi saya di tempat yang baru ini, merupakan suatu peluang untuk menimba pengalaman dalam bidang suplier dan pengenalan barang-barang teknik. Disamping itu akan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

156

memperluas relasi dan kenalan di kalangan pejabat-pejabat maupun pengusaha-pengusaha lainnya. Tantangan baru ini dengan prospek yang lebih menjanjikan di masa depan, harus saya hadapi dengan doa dan bekerja keras. Insya Allah saya mampu dan tidak mengecewakan pimpinan saya. Setiap hari, ada saja undangan tender diterima, atau rata rata ada tiga atau empat buah undangan. Kepala seksi memilih diantara undangan-undangan tersebut, mana yang akan diikuti dan mana yang tidak. Undangan yang akan diikuti, kepada kami disuruh siapkan segala sesuatunya, termasuk uraian teknis berikut brosur, atau leaflet, masa penyerahan, termasuk data harga pokok dan harga penawaran yang akan diajukan dalam penawaran. Untuk barang-barang yang harus diimport, mengirmkan surat permintaan harga penawaran, dan masa penyerahan ke pabrik diluar negeri. Sedangkan undangan yang tidak akan diikuti di file saja tanpa membalas atau tindakan lainnya. Bulan-bulan awal, saya baru diberi tugas menyiapkan surat-menyurat saja, baik dalam negeri maupun ke luar negeri. Saya banyak belajar bagaimana membuat surat yang baik dan benar. Setiap konsep surat yang saya buat selalu saja ada koreksi yang dilakukan oleh atasan saya. Apalagi surat dalam bahasa Inggeris yang ditujukan ke pabrik-pabrik di luar negeri. Setelah empat bulan berlalu, baru saya diberi kesempatan untuk ikut menghadiri pembukaan tender yang diadakan oleh JAPP, dan konsultasi dengan Perusahaan Negara yang memerlukan barang yang kami tawarkan dalam tender yang diadakan oleh JAPP. Jam kantor waktu itu adalah dari jam 7.30 pagi sampai jam 2.30 siang. Jam 4.00 sore saya pergi kuliah sampai jam 8.00 malam. Saya sebagai salesman di bagian perdagangan mempunyai target kunjungan harian dan mingguan. Bila target kunjunan itu sudah terpenuhi dan masih ada waktu senggang, maka waktu senggang itu saya manfaatkan untuk kepentingan mendapatkan tambahan sebagai side income. Waktu itu ada dua kegiatan yang saya lakukan untuk mendapatkan side income. Pertama adalah mengerjakan pembukuan Hotel Andalas yang dibawakan oleh Rudolf, adik kakanda Nurbeiti satu bapak lain ibu, yang sudah rutin sejak saya pindah ke Jakarta. Kedua, kami mendirikan Perseroan Terbatas dengan nama PT Seribudaya yang bergerak dalam bidang jasa. Pemegang sahamnya tiga orang yaitu kakanda Johar, Ibrahim Sati dan saya. Saya diangkat menjadi Direktur sebagai orang yang mempunyai gagasan, dan kebetulan bisa mengatur-ngatur waktu untuk mengurusnya. Diantara jasa-jasa yang ditawarkan, antara lain pengurusan kewarga negaraan Indonesia yang sedang ramai di waktu itu, pengurusan pasport, pembuatan spanduk dan billboard, pekerjaan stensilan dan lain-lain. Dari sekian banyak jasa yang ditawarkan, hanya ada dua jenis jasa yang laku, yaitu pekerjaan stensil membuat buletin perfileman yang di terbitkan oleh Gabungan Pengusaha Film Indonesia yang terbit satu kali sebulan. Selain dari itu adalah pembuatan poster Keluarga Berencana yang diterima dari BKKBN. Pekerjaan ini hanya sekali saja, tapi jumlahnya agak lumayan. Sekalipun saya mempunyai kegiatan di luar, namun kewajiban utama saya di kantor PT Teknik Umum tidak terganggu. Pada satu hari saya bertemu dengan pak Handiamiharja
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

157

Kepala Cabang Bandung yang sedang rapat di kantor Pusat. Beliau bercerita, bahwa kepala Perdagangan Bandung mengajukan permohonan berhenti. Beliau menawarkan kepada saya kalau saya mau pindah ke Bandung menjadi Kepala Perdagangan. Kalau saya bersedia, beliau akan membicarakannya dengan pak Salimin atasan saya sekarang, mudah-mudahan pak Salimin mau melepas. Saya pikir mungkin ini yang terbaik untuk saya, dan kuliah saya di Jakarta sudah selesai. Tawaran tersebut saya terima. Alhamdulillah, pak Salimin pun mau melepas saya pindah ke Bandung, untuk kemajuan saya kata beliau. Tidak lama setelah itu Surat Keputusan Pindah ke Bandung sebagai Kepala Perdagangan saya terima. Kuliah di Universitas Pajajaran Jurusan Business Adminisration Di Bandung kami ditampung di paviliun rumah Pieters, pegawai bagian Perdagangan Cabang Bandung, di Jalan Centeh. Ada tiga bulan kami tinggal disana, setelah itu saya mendapat uang pindah dari Perusahaan. Dari uang itu, kami dapat membeli sebuah rumah kecil berdekatan dengan rumah pak Handiamiharja di Jalan Mohamad Toha. Untuk mendukung tugas saya, saya diberi inpentaris mobil merk Fiat tahun 1955. Minggu pertama, saya berusaha menguasai masalah-masalah perdagangan melalui datadata yang ada beberapa bulan ke belakang. Saya buat catatan client-client lama berikut nama pejabat yang berwenang di instansi tersebut. Bagian Perdagangan Cabang Bandung tidak pernah menyimpan stock untuk dijual, tetapi berusaha menjual dulu, setelah ada pesanan, baru barang barang itu dibeli. Jadi kita harus aktif mengunjungi client khususnya Perusahaan Negara seperti TELKOM, PLN, PINDAD, dan lain-lain menanyakan barang apa yang mereka perlukan, atau yang akan mereka tenderkan dalam waktu singkat. Cara perdagangan demikian adalah akibat sukarnya barang-barang teknik dan barang-barang lainnya dicari di pasaran bebas, karena terbatasnya import barang-barang waktu itu, disebabkan devisa negara yang sangat terbatas. Pada saat penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri Pajajaran (UNPAD), saya mencoba mencari informasi di sekretariat UNPAD apakah tamatan dari Akademi Perniagaan Indonesia bisa melanjutkan ke tingkat Sarjana nya di UNPAD atau tidak. Alangkah gembiranya saya bahwa, ternyata sebelum saya sudah ada beberapa orang dari Akademi Perniagaan Indonesia yang melanjutkan kuliahnya di UNPAD antara lain pak Sumita Adikusumah, juga berasal dari API. Namun demikian ada beberapa mata pelajaran tambahan yang harus diselesaikan dalam masa satu tahun. Mendapat informasi itu saya segera mengajukan permohonan untuk diterima sebagai mahasiswa tingkat empat Jurusan Business Administration. Dalam permohonan tersebut saya lampirkan salinan ijazah saya dari API beserta penjelasan mata-mata kuliah yang pernah saya selesaikan serta buku-buku wajib yang digunakan. Informasi ini diperlukan oleh Sekretariat untuk menentukan mata pelajaran apa saja yang diwajibkan sebagai tambahan. Setelah permohonan saya serahkan, saya diminta kembali seminggu lagi untuk mengambil surat pemberitahuan diterima dan penentuan mata pelajaran tambahan yang harus dipenuhi. Sekembali dari UNPAD saya beritahukan kepada pak Handiamiaharja, bahwa saya baru kembali dari mendaftarkan diri untuk kuliah lagi tingkat empat di UNPAD jurusan Administrasi Niaga, Bila saya diterima, saya mohon diberi dispensasi untuk mengkuti kuliah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

158

di jam-jam kerja. Saya berjanji untuk tidak melalaikan tugas saya di perusahaan, dan kalau perlu saya akan kerjakan di luar jam kantor tanpa mendapat uang lembur. Pada prinsipnya beliau tidak keberatan, asal saja tidak diketahui oleh teman-teman lain, supaya tidak diikuti oleh pegawai lainnya. Dari jawaban pak Handiamiharja tersebut, saya artikan dukungan secara diam-diam, yang harus saya jawab dengan belajar sungguh-sungguh dan bekerja keras dengan meperlihatkan prestasi kerja saya untuk perusahaan. Seminggu setelah itu saya datang kembali ke sekretriat UNPAD menanyakan balasan surat permohonan saya seminggu yang lalu. Alhamdulillah ternyata saya diterima di tingkat empat dengan dua mata pelajaran tambahan, yang harus diselesaikan dalam masa satu tahun. Teknisnya supaya berhubungan langsung dengan dosen-dosen yang bersangkutan, nanti setelah kuliah dimulai. Pada hari pertama kuliah, saya merasa canggung, karena saya sendirian mahasiswa yang berumur waktu itu lebih kurang 35 tahun, sedangkan mahasiswa lainnya masih muda muda, berumur sekitar 23 dan 24 tahun. Tapi itu tidak menyebabkan saya minder, karena yang menentukan adalah ujian akhir. Saya selalu berdoa, mudah-mudahan saya tidak tertinggal dari mereka, sekalipun saya belajar sambil bekerja. Setelah kuliah berjalan beberapa hari, kebetulan ada dosen baru dan masih muda yang bersikap kurang simpatik, dan suka menyindir para mahasiswa. Mahasiswa juga kurang begitu hormat kepada dosen yang satu ini. Pada satu ketika dia menjelaskan suatu mata pelajaran yang berbeda dengan apa yang pernah saya pelajari di Akademi Perniagaan Indonesia. Saya memberanikan diri mengoreksi keterangannya itu dalam bentuk pertanyaan. Rupanya dia tersinggung dengan pertanyaan saya itu, sehingga antara kami terjadi soal jawab seakan-akan seperti debat, yang belum pernah ada sebelumnya. Kejadian ini menjadi suatu isue yang ramai dibicarakan antar dosen, dan sampai kepada pak Sumita Adikusumah, yang juga salah satu dosen di situ. Satu ketika, saya diminta datang oleh pak Sumita Adikusumah keruangan dosen, karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Saya datang dan kebetulan di ruangan dosen, hanya beliau sendiri saja yang ada waktu itu. Beliau mengatakan bahwa beliau juga tamatan API tahun l958 atau satu tahun sebelum saya masuk, beliau sudah tamat dari sana. Beliau mendengar bahwa antara saya dengan dosen tertentu terdapat suatu perbedaan pandangan mengenai satu mata pelajaran. Menurut beliau kalau sudah demikian sebaiknya saya pindah saja ke Extension UNPAD yang kuliahnya sore hari, sedangkan statusnya sama dengan yang reguler. Kalau masih bertahan di sini kemungkinan susah lulusnya nanti, karena rasa anti pati telah tertanam oleh dosen yang bersangkutan. Kalau mau kata beliau, nanti sore kita bertemu di sekretariat Extension di Jalan Surapati, untuk mengurus kepindahan dari reguler ke Extension. Tanpa pikir panjang, karena statusnya sama kenapa saya tidak pilih yang sore saja, yang tidak mengganggu pekerjaan saya di kantor. Saya katakan saya mau, dan nanti sore saya akan datang ke alamat yang diberikan pak Sumita Adikusumah.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

159

Pindah ke Extension Karena Konflik dengan Dosen (Selesai 1965) Sore itu saya bertemu dengan pak Sumita Adikusumah di sekretariat Extension. Beliau memperkenalkan saya bahwa saya dari mahasiswa reguler ingin pindah ke Extension, mohon dibantu proses kepindahannya. Sambil prosedur administrasi diselesaikan saya sudah boleh masuk kuliah sore itu juga di Extension, yang waktu itu hanya ada satu jurusan yaitu Jurusan Administrasi Niaga. Berbeda sekali dengan mahasiswa reguler. Di Extension. Kebanyakan mahasiswanya sudah berumur. Tidak ada yang berumur dibawah 30 tahun, bahkan ada beberapa yang diatas umur saya. Saya kaget waktu saya melihat Suyono ada disana. Suyono adalah pegawai PT Teknik Umum yang menggantikan posisi saya kepala pembukuan Cabang Bandung, waktu saya dipindahkan ke Jakarta tiga tahun lalu. Umumnya yang kuliah disitu adalah pejabat tinggi di Pemerintahan atau di kemiliteran sudah berpangkat perwira menengah atau perwira tinggi. Kalau di perusahaan Negara atau swasta umumnya tingkat staf atau tingkat direksi. Angkatan yang akan saya ikuti ini adalah angkatan pertama di Extension UNPAD Saya berterima kasih kepada pak Sumita Adikusumah yang menasehati saya utuk pindah ke Extension ini, yang sesuai dengan lingkungan yang saya inginkan, seperti di Akademi Perniagaan Indonesia dulu. Selain mendapatkan ilmu pengetahuan, pergaulan juga memberi keuntungan tersendiri. Tidak lama kuliah disitu, saya sudah membaur dengan teman-teman lainnya, dan sudah ikut dalam kelompok belajar bersama. Kelompok kami ada enam orang yang terdiri pak Abdullah Kantaprawira, dan pak Elia, masing-masing adalah Kepala dan wakil Kepala Wilayah Perburuhan Jawa Barat, pak Padmakusumah Sekretaris Walikota Bandung. Letnan Kolonel Rudolf Panjaitan, Suyono, dan saya. Biasanya, diluar jam kantor, kami belajar bersama di ruangan kerja Sekretaris Walikota Bandung di Kantor Walikota, atau di ruangan kerja Kanwil Perburuhan Jawa Barat di Jalan Riau. Alhamdulillah, diantara kami berenam, ilmunya hampir seimbang semua tidak ada yang menonjol. Tiap ujian tidak ada yang mulus semua, ada saja satu atau dua mata pelajaran yang di ulang. Tanpa disadari kami sudah sampai di semester terakhir perkuliahan, Kami sudah disuruh bersiap-siap mencari judul dan outline untuk skripsi, dengan tebal minimal 150 halaman. Kepada kami disarankan untuk membeli buku pedoman penyusunan skripsi dan thesis, dan boleh meminjam contoh-contoh skripsi dari sekretarait UNPAD. Dosen pembimbing juga sudah ditunjuk waktu itu yaitu pak Sumita Adikusumah. Sejak mendapat pengarahan tersebut saya mulai kasak-kusuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Sambil memilih judul yang tepat, saya siapkan buku pedoman pembuatan skripsi dan tesis, setelah itu meminjam beberapa contoh skripsi tingkat sarjana di Sekretariat UNPAD. Pada waktu saya masih di Bagian Perdagangan Pusat PT Teknik Umum, kami banyak menerima penawaran beserta brosure hand tractor dari Jepang. Bersamaan dengan itu, di Lampung sedang ditemukan bibit jagung dengan produktifitas tinggi, yang dikenal dengan jagung Metro. Pemerintah sedang mensosialisasikan agar para petani pindah dari bibit jagung biasa ke bibit jagung Metro.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

160

Dari isue yang ramai dibicarakana waktu itu timbul ide saya untuk membuat skripsi dengan judul Masalah Ekspsor Jagung di Indonesia . Inti dari skripsi ini, agar para petani diberi kredit hand traktor, untuk meningkatkan produksi jagung Metro yang unggul. Dari kelebihan produksinya dia mencicil kredit traktor yang diterimanya. Produksi yang berlipat ganda itu Pemerintah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kelebihannya dapat diekspor. Jadi beralih dari selama ini mengimpor jagung, sekarang menjadi pengekspor. Dengan menggunakan hand traktor, tidak banyak lagi tanah petani yang menganggur, dan bisa memperluas area pertaniannya ke daerah pedalaman, ke areal tanah negara yang menganggur. Setelah saya mantap dengan judul tersebut, saya konsultasikan dengan dosen pembimbing, untuk mendapatkan komentar beliau. Dosen pembimbing kaget, karena saya begitu cepat bereaksi atas anjuran beliau untuk bersiap-siap membuat skripsi beberapa hari yang lalu, dan saya adalah orang pertama menyampaikan judul skripsi kepada beliau. Pada prinsipnya, beliau setuju dengan judul tersebut, hanya saja beliau mengatakan Skripsi ini membahas masalah mikro untuk tujuan makro yang lebih luas. Untuk itu diperlukan kelengkapan data-data dilapangan sehingga skripsi ini dapat nemberikan sumbangan pikiran bagi para pengambil kebijakan dalam pemerintahan. Mendengar komentar dosen pembimbing ini, saya lebih bersemangat lagi menyiapkannya, karena merupakan suatu tantangan, walaupuan harus bekerja keras untuk mencari data-data lapangan di instansiinstansi lain. Kalau mengenai data-data teknis hand traktor, seperti kapasitas garapan luas perhari, pemakaian bahan bakar, biaya maintenance per periodik dan lain-lain sudah ada pada saya, karena data-data itu di berikan dari pabrik hand traktor sendiri. Data-data produksi saya harus cari di Kementerian Pertanian, sedangkan data-data perdagangan saya harus cari di Badan Pusat Statistik dan laporan tahunan Bank Indonesia. Sambil melengkapi data-data tersebut saya sudah mulai membuat outlinenya. Persiapan outline ini memakan waktu agak lama, karena beberapa kali dikembalikan oleh dosen pembimbing dengan komentar perbaikannya. Beliau mengatakan, kalau sekiranya outline ini tidak sistematis dan terarah, maka nanti dalam menyiapkan materinya akan banyak mendapat kesulitan. Tetapi kalau outline nya sudah bagus, itu akan mempercepat pembuatan materi isinya nanti. Setelah semua data-data yang saya perlukan sudah terkumpul, dan out line skripsi saya disetujui oleh dosen pembimbing, tinggal mempersiapkan materinya. Untuk mempersiapkan materinya itu, perlu dipikirkan caranya. Tidak mungkin untuk mengerjakan skripsi itu di rumah, karena waktu itu saya sudah mempunyai 5 orang anak dan beberapa orang tamu tetap. Kondisi politik dalam negeri waktu itu sedang bergolak, karena baru saja terjadi peristiwa tigapuluh September l965. atau dengan kata lain awal-awal dari masa transisi dari orde lama ke orde baru. Karena kondisi di rumah sedemikian ramainya, maka saya terpaksa mencari tempat yang tenang dan memungkinkan saya menyiapkan skripsi tersebut. Alhamdulillah akhirnya tempat itu saya temukan yaitu Tempat pertama di kantor, setelah jam tiga siang, dimana seluruh pegawai sudah pulang. Kerja di kantor ini terbatas paling lambat sampai jam 8.00 malam dan bisa menggunakan mesin tik kantor. Tempat kedua adalah di mess PT Teknik
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

161

Umum di Jalan Ciumbuleuit, bila sedang tidak ada tamu. Kalau bekerja di mess, menggunakan mesin tik standard merek Adler, milik sendiri bekas inpentaris PT Seribudaya dulu. Untungnya, kalau bekerja di mess, bisa menginap disitu, dan sudah mendapat izin dari Direksi. Kalau kebetulan malam minggu bisa membawa anak-anak 1 2 orang menginap di situ. Setiap selesai satu bab, selalu saya serahkan kepada dosen pembimbing, dan dosen pembimibing juga banyak membantu saya. Waktu saya menyerahkan bab berikutnya, bab yang saya serahkan sebelumnya sudah dibaca, dan sudah dikoreksi, dan sudah diberi komentar. Koreksi dan komentar dari dosen pembimbing itu saya jadikan dasar perbaikan, siap untuk di tik net nantinya. Waktu itu komputer belum ada. Alhamdulillah, berkat bimbingan Allah Swt, dengan sistem kerja demikian pembuatan skripsi saya lancar. Sebelum ujian semester akhir selesai, skripsi saya sudah diperbanyak dan sudah ditanda tangani oleh dosen pembimbing, dan diserahkan kepada sekretariat. Waktu menyerahkan itu, sekretariat Extension mengatakan bahwa skripsi saya itu adalah yang pertama mereka terima sejak Extension diresmikan dan yang pertama pula nanti akan disidangkan. Dia mengatakan bahwa sidang nantinya akan diadakan di ruangan sidang kampus UNPAD. Waktu itu ujian akhir tinggal tiga miggu lagi, sedangkan pemberitahuan sidang akan diberitahukan setelah hasil ujian akhir diumumkan. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Untuk menghadapi ujian akhir saya sudah mengajukan permohonan cuti selama lima belas hari. Selama masa ujian saya lebih banyak menginap di mess PT Teknik Umum, bila di mess sedang tidak ada tamu. Alhamdulillah hasilnya, saya dinyatakan lulus semua mata pelajaran, tanpa ada yang harus di ulang, dan sudah memenuhi syarat untuk menghadapi sidang. Saya datang lagi ke sekretariat, menyatakan bahwa saya sudah lulus semua mata pelajaran, dan tinggal menunggu pembertiahuan waktu sidang. Sekretariat menjanjikan akan memberitahukan kepada saya secepatnya, bila sudah ada kesiapan dari semua dosen penguji nanti. Teman-teman kuliah kaget, mendengar skripsi saya sudah selesai dan sudah siap menghadapi sidang. Mereka tidak menyangka bahwa saya jauh sebelumnya diam-diam sudah mepersiapkan skripsi, sedangkan kebanyakan mereka, menunggu selesai ujian akhir, baru siap-siap membuat skripsi. Tidak sampai sebulan saya menunggu, sudah datang pemberitahuan kepada saya tanggal ujian sidang, beserta tempat dan dosen-dosen pengujinya. Pada saat menerima pemberitahuan tersebut, mula-mula saya senang dan gembira. Tetapi semangkin mendekati hari sidang, semangkin berdebar-debar jantung saya, karena nervous. Untuk mengatasi itu, saya berserah diri kepada Allah Swt, dengan banyak berdoa, berzikir dan sembahyang tahjud, sesuai dengan firman Nya dalam Q.S 13. 28 yang artinya Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram. Pelan-pelan rasa gelisah saya mulai berkurang, walaupun tidak habis sama sekali.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

162

Pada hari yang ditentukan, sebagaimana biasa saya selalu meniggalkan rumah membaca Bismillaahirrahmaanirrahim. Untuk mengurangi stress, saya mencoba menghibur diri dengan membayangkan bahwa, Insya Allah saya pulang dari sidang nanti sudah dapat menggunakan gelar Doktorandus dihadapan nama saya, yang waktu itu masih langka. Gelar Drs, waktu itu jika dibandingkan dengan gelar kesarjanaan sekarang sama dengan Sarjana II, bila ingin melanjutkan ke Sarjana III tinggal menambah rata-rata 2 tahun lagi Sampai saya di kampus UNPAD, saya langsung ke ruangan sidang. Sebelum masuk ke ruangan sidang ada ruang tamu, tempat para kandidat yang akan sidang menuggu giliran dipanggil. Rupanya saya disidang bersamaan dengan mahasiswa reguler, karena sesampai saya disana, sudah ada dua orang kandidat yang sedang menunggu panggilan. Kebetulan saya mendapat giliran kedua yang akan mendapat panggilan kira-kira jam 10.00 pagi. Jam 7,45 pagi para dosen penguji sudah mulai memasuki ruangan sidang. Diantara dosen itu ada pak Sumita Adikusumah dan pak Dudi Singadilaga. Kedua dosen itu adalah dosen senior UNPAD diantara dosen-dosen senior lainnya waktu itu. Tepat jam 8.00 pagi kandidat sidang pertama, dipersilakan masuk ruangan. Lamanya sidang sekitar dua jam. Sambil menunggu giliran saya, saya buka-buka buku skripsi saya, khusus halaman yang menyangkut angka-angka yang saya sajikan. Mungkin pertanyaan terfokus pada angka-angka tersebut. Bila sewaktu-waktu, darah saya berdebar-debar lagi saya cepat berzikir, dan bertawakkal kepada Allah Swt, sampai tenang kembali. Belum sampai dua jam, ternyata kandidat pertama sudah keluar dari ruang sidang, tanpa mengetahui lulus atau tidak. Dosen penguji masih rapat didalam ruangan untuk menentukan yang bersangkutan lulus atau tidak. Tepat jam 10.00 pagi saya dipersilakan masuk ruangan sidang. Saya masuk dengan mengucapkan Selamat pagi dan dijawab oleh para dosen penguji. Maksud saya mengucapkan selamat pagi itu adalah untuk mengurangi nervous saya. Pertanyaan pertama diarahkan kepada materi skripsi saya. Mulai dari alasan saya memilih judul itu dan pesan tersembunyi dalam skripsi itu. Alhamdulliah, karena skripsi itu dibuat berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan dan diolah sendiri, maka semua pertanyaan dapat saya jawab dengan tuntas. Pertanyaan yang menyangkut skripsi itu berlangsung sekitar satu jam. Jam berikutnya pertanyaan ditujukan sekitar Pancasila, sebagai salah satu mata pelajaran wajib waktu itu. Pertanyaan sekitar pancasila ini, saya jawab dengan tidak kepastian, bahkan banyak dibantu oleh pak Dudi Singadilaga, yang waktu itu adalah dekan Fakultas Sosial Politik UNPAD. Tidak terasa, waktu satu setengah jam sudah berlalu, dan salah seorang dosen penguji mengatakan, ujian sudah selesai. Saya disuruh menunggu diruangan tamu diluar, untuk mengetahui lulus atau tidak, karena dosen penguji akan merapatkan terlebih dahulu. Tidak lama saya menunggu, panitia penguji keluar memberitahukan bahwa saya lulus. Dengan ucapan Alhamdulillah, saya segera pulang ke rumah untuk memberitahu keluarga, tetapi sambil pulang saya mampir dulu ke kantor pos untuk mengirim telegram kepada ibunda di kampung dan kakanda Nurbeiti di Jakarta, menyampaikan berita gembira ini.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

163

Diangkat Menjadi Direktur Muda PT Teknik Umum Cabang Bandung Ujian sidang waktu itu diadakan pada hari Sabtu. Jadi, hari kerja pertama berikutnya adalah hari Senin. Waktu masuk kerja hari Senin itu saya menemui pak Handiamiharja, mengatakan, bahwa saya hari Sabtu lalu sudah lulus ujian sidang di UNPAD. Sekalian saya berterima kasih atas fasilitas dan dispensasi yang diberikan kepada saya selama ini, karena keberhasilan saya ini tidak terlepas dari kebaikan pak Handiamiharja. Beliau juga.menyuruh saya membuat surat pemberitahuan kepada Direksi, mudah-mudahan ada penyesuaian gaji dan lain-lain. Saran itu saya ikuti setelah saya diwisuda dan ijazah sudah saya terima sebagai bukti. Dalam kesibukan kuliah dan persiapan skripsi, Alhamdulillah tugas saya di kantor tidak berkurang. Target omzet tahunan saya dari tahun ke tahun meningkat dan terlampaui Pada rapat kerja tahunan, tahun buku l965, kepala Cabang Bandung mengusulkan agar saya diangkat menjadi Direktur Muda di PT Teknik Umum cabang Bandung. Usul ni mungkin karena akhir-akhir ini saya tidak saja menghadapi persoalan perdagangan saja tetapi sudah banyak ditugasi persoalan-persoalan proyek yang sulit-sulit. Usul itu sebelum penutupan rapat kereja sudah diputuskan menerima usul pak Handiamiharja tersebut, mengangkat saya sebagai Direktur Muda di PT Teknik Umum cabang Bandung Seingat saya, ada beberapa prestasi saya yang memuaskan pak Handiamiharja. Yang pertama, adalah masalah tagihan proyek instalasi di Angkatan Udara Tasikmalaya, yang sudah beberapa bulan jatuh tempo, tetapi belum dibayar. Oleh pak Handiamiharja diserahkan kepada saya mengurusnya, dan Alhamdulillah dapat saya atasi beberapa hari setelah terjadinya GESTAPU. Yang kedua, proyek penerangan pantai Padang, antara PT Teknik Umum dengan Walikota Padang. Kontrak sudah ditanda tangani, ternyata beberapa puluh lampu mercury yang harus dipasang di pantai Padang tersebut sedang kosong di Jakarta. Untuk mengatasi hal tersebut saya di perintahkan mencari lampu mercury itu ke Singapore dan Alhamdulillah berhasil saya bawa ke Padang dengan kapal kecil melalui Pekanbaru. Dengan membeli lampu mercury tersebut di Singapore saya menyelamatkan uang Teknik Umum beberapa belas juta karena berhasil bebas membayar bea masuk yang seharusnya tinggi, karena dianggap barang lux. Yang ketiga, adalah proyek kantor Bank Indonesia di Pekanbaru yang hampir macet, karena jadwal pembayaran tidak sesuai dengan kontrak. Sudah hampir dead lock, akhirnya diserahkan kepada saya dan penyelesaiannnya tidak cukup di kantor Bank Indonesia Pekanbaru, tetapi harus ke Bank Indoenesia Pusat di Jakarta. Alhamdulillah juga dapat teratasi, sehingga proyek tersebut selesai pada waktunya. Bahkan waktu peresmian Direksi PT Teknik Umum sendiri yang hadir di Pekanbaru berdampingan dengan Direksi Bank Indonesia. Tugas-tugas tersebut di atas saya laksanakan disamping tugas utama saya di bagian perdagangan dan kesibukan perkuliahan saya di Extension UNPAD tetap berjalan. Tugas saya di bagian perdagangan saya agak ringan karena saya dibantu penuh oleh Pieters yang gesit menghubungi client tetap kami seperti pabrik kertas Padalarang, Perusahan Air Minum
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

164

Kotamadya Bandung. PINDAD, TELKOM dan lain-lain. Pieters senang bekerja sama dengan saya, karena antara kami ada kerja sama formil antara atasan dan bawahan. Disamping itu ada kerja sama yang tidak formil yaitu antara partner untuk transaksi-transaksi yang tidak dapat dilakukan oleh PT Teknik Umum. Untuk kerjasama antara partner ini hasilnya kami bagi dua, sama besar. Salah satu transaksi yang tidak dapat dilakukan atas nama PT Teknik Umum adalah, pesanan yang beresiko tinggi, dimana nama baik perusahaan dipertaruhkan. Pada satu ketika pabrik kertas Padalarang, sangat memerlukan vlampijp ukuran 3 inch dalam jumlah besar. Vlampijp adalah satu jenis pipa tahan tekanan tinggi, untuk pemeliharaan mesin-mesin ketel. Kami telah mencari vlampijp itu ke langganan-langganan biasa di Jakarta maupun di Bandung ternyata tidak ada. Akhirnya Pieters menemukan di salah satu gudang langganan tetapi tidak baru. Vlampijp tersebut bekas pabrik gula ukuran 3 inch, tetapi masih layak untuk dipakai bila dalam keadan terdesak. Informasi ini kami sampaikan kepada kepala teknik pabrik kertas Padalarang apakah bisa dipakai atau tidak?. Setelah diperiksa, ternyata bisa dipakai, tinggal dipikirkan bagaimana cara realisasinya. Menggunakan nama PT Teknik Umum saya tidak berani, mengingat resikonya nanti, bila ada claim dari pabrik kertas Padalarang maka nama baik PT Teknik Umum terbawa-bawa nantinya. Untuk mengatasi kebuntuan itu kami buat kertas surat C.V Buana Sakti alamat di Jalan Centeh, rumahnya Pieters dan Pieters sendiri menjadi direktur C.V bayangan itu. Kami lengkapi juga dengan stempel. Dengan kertas surat bayangan tersebut, kami siapkan surat penawaran kepada pabrik kertas Padalarang. Atas dasar surat penawaran tersebut terbitlah order vlampijp ukuran 3 inch sebanyak 1000 meter atas nama C.V Buana Sakti. Kebetulan yang mempunyai vlampijp bekas itu adalah salah seorang langganan baik kami, dimana kita bisa mengambil barang dulu tanpa bayar, nanti kalau sudah dapat uang baru dibayar. Begitu mendapat order, barang tersebut segera kami kirimkan beserta kwitansi penagihan. Biasanya pembayaran dilakukan dua minggu setelah barang diserahkan. Begitu mendapat cheaque pembayaran dari pabrik kertas Padalarang, segera kami uangkan. Utang ke toko pemilik vlampijp kami lunasi, dan lebihnya kami bagi dua. Alhamdulillah bagian saya jumlahnya lumayan, cukup untuk membayar utang kepada mamanda Zainal Zen yang saya pinjam sebulan lalu untuk membeli rumah di Jalan Gempol Wetan No. 28. Uang yang dipinjamkan mamanda Zainal Zen itu adalah uang untuk gajian perajurit yang akan pulang dari Irian Barat dua bulan lagi. Jadi pasti dapat dilunasi sebelum mereka pulang kata mamanda Zainal Zen. Dengan adanya bagian laba vlampijp, maka utang kepada mamanda Zainal Zen sudah dapat dilunasi sebelum jatuh tempo.

Berkebun Cabe dan Bawang di Cisandaan Garut Sejak selesai kuliah, praktis waktu saya banyak senggang. Saya sering main-main ke Jalan Wastukancana No. 5 ke rumah kakanda Amir Syafni. Amir Syafni adalah adik kandung dari Ibrahim Sati yang sama-sama di PT Teknik Umum Pusat. Pada suatu hari kebetulan Amir Syafni kedatangan tamu dari kampung, bernama Busmar. Nama aslinya adalah Bustamam Umar. Dia adalah teman baik Amir Syafni di Kampung dulu, berasal dari desa Kapau, dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

165

mereka sudah seperti saudara. Busmar adalah bekas tentara dengan pangkat Kapten yang menjadi tentara PRRI semasa Pemerintahan Revolusioner, atau yang disebut oleh Pemerintah Pusat dengan sebutan pemberontakan PRRI. Kedatangan Busmar ke Bandung, kecuali silaturrahmi, juga untuk mencari peluang kerja yang cocok untuk dia. Waktu saya datang mereka sedang merencanakan perkebunan cabe di tanah Amir Syafni yang ada di Cisandaan seluas 33,5 hektar. Tanah tersebut adalah hasil investasi Amir Syafni beberapa tahun lalu sewaku DII dan TII sedang merajalela di daerah Garut. Tanah tersebut oleh pemiliknya dijual murah kepada Amir Syafni, karena mereka perlu uang untuk biaya mengungsi ke Bandung. Amir Syafni sendiri belum pernah melihat tanah-tanah tersebut sampai saat mereka merencanakan perkebunan cabe tersebut. Waktu itu situasi Garut, sampai ke daerah pedalaman sudah aman dari DII dan TII. Kita merencanakan untuk melihat tanah tersebut hari minggu depan, menggunakan jeep inpentaris kantor yang diserahkan kepada saya. Kami pergi berempat, yaitu Amir Syafni, Busmar, bekas pemilik tanah yang di Garut, dan saya. Sesuai dengan janji, bahwa kita akan berangkat pagi-pagi jam 7.00 dari Wastukancana, supaya bisa pulang hari itu juga ke Bandung. Menurut informasi dari si pemilik lama, tanah tersebut terletak di Desa Cisandaan. Jarak kira kira 40 km dari kota Garut arah ke Bungbulang, liwat perkebunan Sumadera. Sebelum saya ke Wastukancana, tank bensin saya isi penuh dulu, supaya tidak banyak berhenti dalam perjalanan nanti Saya sampai di Jalan Wastukancana team yang akan berangkat sudah lengkap. Kami minum teh sebentar, sudah itu langsung berangkat menuju Garut untuk terus ke desa Cisandaan. Perjalanan dari Bandung ke kota Garut boleh dikatakan lancar, dan kebetulan jalan juga mulus menurut ukuran waktu itu. Hanya saja dari kota Garut sampai ke Perkebunan Sumadera, yang berjarak kira-kira 25 km. banyak berlobang-lobang sehingga jeep hanya dapat berjalan dengan kecepatan sekitar 40 km per jam. Jalan antara perkebunan Sumadera sampai ke desa Cisandaan berjarak lebih kurang 15 km, masih jalan tanah. Belum diaspal, dan banyak terdapat batu-batu besar dan kecil di tengah jalan, sehingga jeep harus pandai-pandai memilih jalan untuk tidak kena gardan jeep yang akan menyebabkan fatal. Kami sampai disana sudah hampir lohor, sedangkan kami dalam perjalanan belum mampir untuk makan siang, di sana tidak ada rumah makan atau warteg, untuk mengganjal sementara, menunggu pulang nanti di kota Garut baru ada restoran. Untung Amir Syafni merasakan hal yang sama, langsung berbisik-bisik dengan manan pemilik tanah, menanyakan tempat makan. Karena tidak ada tempat makan, maka mantan pemilik tanah akan minta bantuan kepala desa untuk menyiapkan makan siang ala kadarnya. Untuk itu Amir Syafni memberikan sejumlah uang untuk diberikan kepada kepala desa tersebut, sekalian berkenalan dan menjalin hubungan kerjasama di masa mendatang. Sambil menunggu masakan siap, kami melihat-lihat lokasi terlebih dahulu. Rupanya tanah tersebut adalah tanah lereng dan tebing-tebing, bekas perkebunan teh yang tidak terurus selama pergolakan DII dan TII. Luasnya menurut surat menyurat jual beli seluruhnya 33,5 hektar yang tersebar di tiga desa dan untungnya satu blok, tidak terpencar-pencar. Kami tidak sanggup menjalaninya sekeliling, karena begitu luas dan naik turun lereng dan tebing. Pemilik lama hanya menjelaskan batas-batasnya dengan menunjuk-nunjuk batasnya dari jauh seperti pohon-pohon tinggi yang terlihat dari jauh. Umumnya tanah tersebut ditumbuhi oleh
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

166

semak-semak dan di beberapa tempat masih terlihat bekas tanaman teh yang tidak terurus dan merana, jarang sekali kita melihat pohon-pohon besar dan tinggi. Tidak terasa, saya melihat jam sudah menunjukkan jam 2.00 siang. Salat lohor belum, dan saya kasi kode pada Amir Syafni sebaiknya kita salat lohor saja dulu. Amir Syafni purapura menanyakan mesjid kepada mantan pemilik tanah itu, karena lebih kurang dua jam kami disitu tidak pernah melihat menara mesjid, baik yang jauh maupun dekat. Dia bilang mesjid jauh di lembah sebelah sana, kalau mau salat kita menompang saja salat di rumah kepala desa, sekalian makan siang, mungkin sudah siap katanya. Kami pun setuju dengan usul itu, dan kami berjalan menuju rumah kepala desa. Alhamadulillah, sesampai di rumah kepala desa, makanan sudah terhidang menurut ukuran desa yang jauh dari pasar. Melihat itu kami putuskan untuk makan setelah salat lohor, karena takut waktu lohor akan habis nanti setelah makan. Setelah salat lohor baru kami makan dengan lahapnya, sekalipun dengan lauk pauk seadanya, tetapi suasana desa dan kondisi perut sedang lapar menyebabkan makan betul-betul nikmat. Selesai makan, Amir Syafni mulai berbicara kepada kepala desa, tentang rencana memanfaatkan tanah seluas itu dengan tanaman cabe. Bibit cabenya didatangkan dari Padang yang disebut dengan cabe tali, sekarang disebut cabe tersebut dengan nama cabe keriting. Perbedaan cabe tali dibanding dengan cabe besar yang umum ditanam para petani di Jawa Barat waktu itu, dari segi umur tanamannya dan pedasnya. Umur tanaman cabe tali bisa mencapai dua tahun dan bisa di panen beberapa kali asal dilakukan pemupukan secara teratur. Sedangkan cabe besar hanya berumur sekali panen sesudah itu dia mati dan harus ditanam baru kembali. Dari segi pedasnya, cabe tali lebih pedas dari pada cabe besar. Kadar pedasnya adalah antara cabe besar dengan cabe rawit. Kecuali itu cabe tali lebih tahan lama di luar setelah dipanen dalam keadan tidak rusak dibanding dengan cabe besar. Amir Syafni minta kepala desa mengumpulkan dan mengkordinir orang yang mau bekerja dengan gaji harian sesuai dengan standar gaji di daerah itu antara 25 sampai 30 orang sehari. Tugas utama mula-mula adalah membersihkan lahan dari segala macam tumbuhan dan semak untuk siap membuat lobang tanaman. Peralatan untuk pembersihan itu diharapkan menggunakan peralatan yang dimiliki oleh para petani yang bekerja tersebut. Investor mempersiapkan peralatan-peralatan seperlunya, khususnya yang tidak dimiliki oleh para petani, yang jumlah dan jenisnya akan ditentukan nanti setelah pekerjaan pembersihan sudah dimulai. Untuk memulai dan pengarahan pekerjaan dijanjikan minggu depan akan datang lagi. Diharapkan waktu itu sudah terkumpul orang-orang yang akan bekerja tersebut, sambil memilih lokasi yang akan diprioritaskan lebih dahulu. Proyek ini adalah proyek Amir Syafni dan Busmar, sedangkan saya hanya sebagai supporter aktif, dengan menyumbangkan fasilitas kendaraan yang ada pada saya. Amir Syafni dan Busmar yakin betul, bahwa proyeknya ini akan berhasil dan dengan hasilnya nanti bisa mendirikan bank dengan modal sendiri. Kalkulasinya sederhana dan masuk akal, seperti masak satu meter persegi tanah tidak bisa menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 100.-dalam enam bulan?. Jadi untuk tanah seluas 35,5 hektar berarti 3.550.000 meter persegi kali Rp. 100.- sama dengan Rp. 355.000.000.- Perbandingan dengan nilai
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

167

uang sekarang adalah nilai dollar US$ 1.- sama dengan Rp. 1.400.- atau senilai US$ 296.357.20 setiap enam bulan. Melihat angka-angka itu semua orang akan ngiler. Minggu depan kami siap lagi untuk pergi ke desa Cisandaan dengan membawa peralatan pertanian yang kira-kira diperlukan, seperti cangkul, parang, sabit dan lain-lain. Bersama kami akan ikut juga kesana Bushar Muhamad SH dosen senior IKIP Bandung. Bushar Muhamad adalah teman dekat Amir Syafni tertarik dengan proyek yang memberikan harapan ini, dan kebetulan juga mempunyai jeep inpentaris dari IKIP. Akhirnya Bushar Muhamad juga menjadi supporter aktif seperti saya dalam proyek ini, dan sekalian sabagai cadangan bila saya berhalangan berangkat ke sana bila diperlukan di masa depan. Hanya saja Bushar Muhamad tidak bisa menyetir sendiri, jadi kalau pakai jeep dia selalu harus pakai sopir. Menjajaki Untuk Berimigrasi ke Malaysia Setelah proyek berjalan beberapa bulan, sistuasi politik banyak perubahan. Sejak Presiden Sukarno lengser, maka kepemimpinan nasional di pegang oleh Suharto. Hubungan diplomatik dengan negara tetangga Malaysia, sebelumnya dalam posisi konfrontasi, oleh pemerintahan Suharto sudah dicapai perdamaian, dan hubungan diplomatik sudah dibuka kembali. Bagi saya, dengan dibukanya kembali hubungan diplomatik dengan Malaysia merupakan berita gembira, karena bagi saya Malaysia merupakan negeri saya yang kedua, yang banyak menyimpan kenang-kenangan dan tidak bisa saya lupakan. Sejak saya meninggalkan Malaysia tahun 1941, belum pernah ke sana lagi. Pernah merencanakan untuk kembali ke sana dalam tahun 1950, tetapi gagal, karena disana sedang tidak aman, sejak itu saya robah haluan ke Jakarta, dan terakhir menetap di Bandung sampai sekarang. Dengan adanya berita gembira itu, semangat saya akan kembali ke sana timbul lagi. Kebetulan di PT Teknik Umum ada peraturan cuti besar bagi pegawai-pegawai yang sudah 10 tahun bekerja terus menerus diberi hak cuti besar selama 3 bulan. Waktu itu tahun l968, dimana saya sudah 12 tahun bekerja di PT Teknik Umum, berarti saya sudah mempunyai hak untuk mendapatkan cuti besar tersebut. Kesempatan itu mulai saya jajaki melalui pak Handiamiharja. Dari beliau ada green light, hanya saja waktunya supaya di pilih di waktuwaktu yang tidak begitu sibuk, yaitu pada awal-awal tahun anggaran. Tahun anggaran waktu itu adalah dari Januari ke Desember. Bila waktu yang disarankan oleh pak Handiamiharja saya sesuaikan dengan masa cuti besar saya berarti jatuhnya Januari s/d Maret 1969. Karena cuti besar ini harus seizin direksi, maka saya segera membuat surat permohonan cuti besar kepada direksi di Jakarta, beberapa bulan sebelumnya. Alhamdulillah, permohonan tersebut disetujui direksi, dan saya mulai membuat rencana di sana dan persediaan dana untuk hidup tiga bulan dinegeri orang. Karena dana kontan tidak tersedia, terpaksa saya berusaha menjual sawah yang ada di desa Cimareme, sebelum Padalarang seluas satu setengah hektar. Sawah ini tadinya adalah sawah tadah hujan dengan hasil panen padi lebih kurang satu setengah ton setiap panen. Sejak beberapa tahun lalu dirobah menjadi kebun jeruk Tetapi tanaman jeruk ini gagal, karena tumbuhnya tidak sesuai dengan harapan semula. Terpaksa dikembalikan fungsinya menjadi sawah kembali.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

168

Bila hasil penjualan sawah tersebut masih dianggap belum cukup, ada sebuah rumah kecil lagi dekat pasar Gempol ditawar-tawarkan untuk dijual. Alhamdulillah, kedua-duanya dapat dijual sebelum berangkat, walaupun dengan harga yang agak murah, tetapi masih ada untung jika dibanding dengan harga belinya dulu. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk melakukan investasi bidang apa saja, bila satu ketika ada dana agak berlebih dari kebutuhan. Kebijakan ini saya ambil, setelah memperhatikan bahwa investasi dalam harta tetap tidak pernah rugi, karena harga harta tetap selalu naik dari tahun ke tahun. Atas petunjuk Allah Swt, prinsip ini pulalah yang mengantarkan saya, sempat mempunyai asset di Bukittinggi, Jakarta dan Bandung. Alhamdulillah semua asset itu termasuk asset yang produktif, bahkan sebagai pendukung utama dana kuliah beberapa anak-anak ke luar negeri mengambil S 2. Ada beberapa pertimbangan saya yang mendorong saya mengambil cuti besar ke Malaysia. Pertama, adalah rindu kepada negeri dimana saya menghabiskan sebagian besar masa kanak-kanak saya, dengan segala suka dukanya. Rindu melihat kembali rumah sekolah dimana saya menimba ilmu dulu. Rindu tapak tilas jalan-jalan yang saya lalui dulu sambil belari-lari kecil pulang sekolah ingin cepat-cepat sampai di rumah dua puluh tujuh tahun lalu. Rindu melihat kembali jembatan di Batu Empat, Kota Tinggi tempat kami melompat-lompat ke sungai, mandi dengan teman-teman dulu. Banyak lagi rindu-rindu lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Kedua, adalah ingin menyelesaikan amanat almarhum ayahanda dalam bentuk warisan. Waktu almarhum ayahanda pulang ke kampung dulu tahun l941, beliau mempunyai dua petak kebun getah masing-masing terletak di Batu Empat, Kota Tinggi dan kedua adalah di daerah Budau, berjarak lebih kurang 15 kilometer dari Kota Tinggi arah ke Mersing. Luasnya masing-masing 3,5 acre atau sama dengan kurang dari 2 hektar. Waktu akan pulang kampung dulu, kabarnya beliau kuasakan kepada Arifin bin Saleh teman beliau berasal dari Pariaman Sumatera Barat untuk mengurus dan membayar cukai-cukai tanah tersebut. Kuasa tersebut tanpa tertulis, tidak jelas hak dan kewajiban pemberi kuasa dan penerima kuasa. Namun demikian menurut pendapat saya adalah dosa, bila peninggalan almarhum tersebut tidak diselesaikan dalam bentuk masing-masing tidak dirugikan. lepas dari berapapun nilai ekonomisnya. Ketiga, adalah ingin menjajaki dan menjalin silaturahmi kembali dengan beberapa sepupu-sepupu dari pihak ayahanda saya, beberapa orang diantara mereka bermukim di Malaysia, seperti kakanda Ismail Hasan, kakanda Kimin dan lain-lain. Tujuan jangka panjang adalah, jangan sampai terputus hubungan silaturahmi dengan saudara-saudara yang mempunyai hubungan darah baik dari pihak ayah mauapun dari pihak ibu. Saya menganggap alangkah senangnya nanti bila anak-anak atau cucu-cucu dapat bebas memilih hidup di salah satu di antara dua negara tetangga yang seiman, sebudaya dan mempunyai hubungan darah, jauh maupun dekat, satu sama lain Keempat, adalah saya ingin mendapatkan pekerjaan dan tinggal di Malaysia. Sebetulnya karir saya di PT Teknik Umum selama ini boleh dikatakan baik. Banyak kemajuan yang saya peroleh selama lebih kurang dua belas tahun bekerja di PT Teknik Umum. Diantara hasilhasil yang saya peroleh adalah, lulus ujian tata-buku Bond B.tahun l958 lulus Akademi Perniagaan Indonesia tahun 1961, lulus ujian sarjana Jurusan Administrasi Niaga dari UNPAD tahun 1966. Jabatan terakhir adalah Direktur Muda Cabang Bandung. Saya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

169

merasakan, sejak saya diangkat menjadi Direktur Muda, ada saja teman sekerja yang tidak begitu senang dengan karir saya ini. Kebetulan teman tersebut adalah keluarga dari salah seorang direksi di kantor Pusat. Bekerja dalam kondisi seperti itu, saya sudah tidak nyaman lagi, yang menyebabkan saya melihat-lihat peluang lain. Alhamdulillah pada waktunya, saya berangkat ke Malaysia melalui Singapore. Sebelum saya berangkat, saya sudah siapakan ijazah-ijazah saya yang tidak seberapa itu, dengan harapan di sana dapat dimanfaatkan. Disamping itu saya membawa surat perkenalan dari Krisna Dahlan, (adik satu bapak dengan kakanda Nurbeiti) yang ditujukan untuk saudaranya di Kuala Lumpur bernama H. Hamdan bin Syekh Taher. H. Hamdan bin Syekh Taher adalah salah seorang anak dari Syekh Taher. Syekh Taher adalah orang Kota Gadang yang kawin dengan wanita dari Koto Tuo. Beliau adalah ulama besar bermukim di Mekah dan menjadi imam Mesjidil Haram pertama yang bukan berasal dari orang Arab. Waktu itu H. Hamdan bin Syekh Taher adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Malaysia. Sebelum saya berangkat, saya menulis surat kepada kakanda Ismail Hasan yang waktu masih aktif dalam Angkatan Laut dan ditugaskan di Singapore. Dalam surat tersebut saya katakan bahwa saya akan datang ke Malaysia untuk melihat-lihat peluang yang mungkin dapat saya lakukan untuk masa depan kami sekeluarga. Saya berangkat dari Jakarta dengan pesawat sore. Sampai di air port Singapore sudah Magrib. Dari air port Singapore saya telepon kakanda Ismail Hassan, dan beliau jemput saya ke air port. Malam itu kami mengobrol sampai jauh malam, karena sudah lama tidak bertemu. Saya katakan, besok akan ke Johore Bahru, dan terus ke Kota Tinggi menemui Arifin, menanyakan kebon getah almarhum bapak yang ditinggalkan dulu. Saya katakan juga bahwa selesai dari Kota Tingggi terus ke Kuala Lumpur, untuk melihat-lihat peluang kerja yang mungkin ada. Mendengar saya akan ke Kuala Lumpur, beliau memberi alamat Siti Har yaitu kakak dari kakanda Siti Zen (isteri Ismail Hasan) yang tinggal di Kajang dengan sedikit surat pengantar, sebagai tepatan sementara. Besok pagi, saya ikut mobil kakanda Ismail Hasan sambil beliau pergi ke kantor, saya diturunkan di terminal bus yang akan ke Johore Bahru. Dari Johore Baharu saya pindah ke bus yang akan ke Kota Tinggi, dan dari Kota Tinggi saya menunggu bus yang liwat Batu Empat. Saya sampai di Batu Empat sebelum Lohor, dan terus mencari rumah Arifin bin Saleh yang kebetulan menempati ruko di simpang tiga ke kampung Lukut. Dia kaget dan senang melihat saya datang. Dia adalah angkatan kakanda A.Tajuddin, dia lama memperhatikan saya, karena kami berpisah sejak tahun 1941 atau 28 tahun lalu. Saya perhatikan selama itu situasi Batu Empat seakan-akan tidak ada yang berobah. Tanpa saya sadari saya menangis sampai tersedu-sedu, ingat masa kecil saya, yang seakan-akan baru seperti kemarin dulu saja. Ingat almarhum ayahanda, ibunda Raiyah, kakanda A.Tajuddin dan kawan-kawan sepermainan dulu. Sorenya kami berjalan-jalan ke perkampungan tempat kami tinggal dulu. Banyak bertemu dengan teman-taman lama yang kami masih kenal roman tetapi sudah lupa nama masing-masing. Kami sempat meliwati kebun almarhum ayahanda di Batu Empat, yang sedang di re-planting waktu itu. Saya bermalam di sana, dan malamnya beliau menceritakan kebun yang dititipkan almarhum ayahanda kepada beliau dulu. Beliau banyak menceritakan pengeluaran-pengeluaran yang telah beliau keluarkan selama sekian tahun untuk cukai tanah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

170

dan lain-lain. Beliau tidak menceritakan hasil kebon karet yang waktu ditinggalkan dulu masih berproduksi setiap harinya rata-rata 6 lempeng getah. Sedangkan kebon getah yang ada di Budau, menurut beliau tidak pernah diperhatikan karena jauh dan tidak ada orang yang akan mengurus. Bahkan lokasi kebon itu sendiri beliau tidak tahu dan belum pernah ke sana. Saya katakan bahwa kedatangan saya bukanlah untuk mengusut dan mengambil kebon warisan almarhum itu, tetapi yang utama adalah untuk mendudukkan status kebon itu. Bila masih ada bernilai dan ada hak beliau, mumpung ibunda Raiyah dan kakanda A.Tajuddin masih ada, mungkin bisa beliau nikmati pencarian beliau dulu. Untuk tahap pertama, kita balik nama saja dulu garantnya dari nama almarhum Pakih Sinaro ke nama kita berdua. Setelah itu baru kita selesaikan nanti apakah bagian kami dibeli oleh Arifin bin Saleh, atau kita jual bersama uangnya kita bagi dua. Sebab kalau mau dihitung betul berapa banyak uang yang sudah di keluarkan dan berapa uang penghasilan getah selama ini, mungkin tidak akan selesai, karena masing-masing tidak mempunyai catatan. Oleh karena itu, kita saling menyerahkan saja kepada Allah, Swt. Lebih kurangnya kita saling merelakan saja. Arifin bin Saleh setuju dengan usul penyelesaian saya itu. Besoknya kami bersama-sama pergi ke pejabat tanah di Kota Tinggi, menanyakan bagaimana prosedur balik namanya untuk kami persiapkan. Pejabat tanah di Kota Tinggi memeriksa garant dua keping kebon getah itu langsung memberitahukan syarat-syaratnya antara lain. Surat pernyataan dari notaris di Indonesia mengatakan bahwa nama yang tercantum dalam garant itu betul-betul sudah meninggal dunia dan mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang lain setuju menguasakan pengurusan tanah tersebut kepada saya selaku waris yang syah. Setelah itu ada, baru bisa di proses dan penyelesainnya melalui kantor pengadilan di Johore Baharu. Selesai mendapat informasi dari pejabat tanah di Kota Tinggi, saya foto copy masing-masing garant itu untuk dibwa ke Bandung dan mempersiapkan Surat Pernyataan dari Notaris sesuai dengan isi yang dimaksud oleh pejabat tanah tadi. Hanya semalam saya di Batu Empat, setelah itu saya terus ke stasiun kereta api di Johore Baharu untuk pergi ke Kuala Lumpur besok pagi. Perjalanan kereta api dari Johore Baharu ke Kuala Lumpur memakan waktu lebih kurang 5 jam. Saya akan turun di stasiun Kajang yang merupakan stasiun terakhir sebelum sampai di Kuala Lumpur. Saya sampai di Kajang kira-kira jam 2.00 siang. Keluar dari stasiun, tidak jauh dari situ sudah nampak orang berjualan sate, seperti pujasera di kita. Saya duduk di salah satu kursi dan meja yang kosong. Lebih baik saya makan dulu, baru mencari alamat kakanda Siti Har yang ditunjukkan oleh kakanda Ismail Hasan. Selesai makan sate sambil membayar, saya tanyakan kepada penjual sate, alamat yang saya cari. Dia bilang, naik saja bus yang ke Kuala Lumpur nanti turun di Batu 6, disana tanyakan alamat itu, katanya. Tidak susah mencari alamat itu, karena terletak di pinggir jalan raya antara Kajang ke Kuala Lumpur. Rumah itu rumah panggung dan besar di tengah-tengah kebun yang luas. Jarak antara satu rumah dengan rumah tetangga lainnya tidak kurang dari 100 meter. Di rumah yang besar itu hanya dihuni oleh seorang ibu-ibu yaitu kakak Siti Har yang waktu itu berumur kira-kira 45 tahun bersama seorang anak laki-laki tunggal beliau masih bujang bernama Zainudin, yang sudah bekerja. Melihat kondisi demikian, saya pikir kasihan, kalau saya sampai berlama-lama disitu, tentu akan merepotkan beliau.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

171

Malam itu saya siapkan surat surat yang akan saya bawa ke Kuala Lumpur, antara lain surat perkenalan dari Krisna Dahlan yang ditujukan kepada pak H. Hamdan bin Syekh Taher. Saya bermaksud akan membawa ijazah-ijazah saya sekalian, siapa tahu kalau-kalau pembicaraan nanti mengarah ke pekerjaan yang mungkin ada buat saya. Alangkah kagetnya saya, setelah saya cari-cari ijazah tersebut di dalam tas saya tidak ada lagi. Waktu berangkat, saya yakin betul bahwa ijazah-ijazah itu saya masukan sendiri ke dalam tas, sekarang sudah tidak ada. Lama saya berpikir, hilang dimana ijazah-ijazah tersebut? Hari itu saya berangkat ke Kuala Lumpur mencari-cari tempat penginapan, sedangkan surat untuk pak H. Hamdan bin Syekh Taher akan saya serahkan nanti setelah saya mendapat penginapan, dan kondisi saya sudah tenang, akibat ijazah saya tidak diketemukan itu. Kebetulan bus yang saya tompangi itu, melalui Jalan Tengku Abdul Rahman yang penuh dengan toko-toko bertingkat empat sampai lima lantai, terletak di Pusat Kota. Disalah satu perhentian bus saya turun tanpa ada tujuan. Tidak jauh dari situ saya lihat ada kedai kopi Cina dan di situ ada etalase tinggi, penuh dengan bermacam-macam masakan Padang. Waktu itu sudah jam 10.00 pagi, perut pun sudah mulai lapar. Saya mampir di kedai kopi itu untuk makan. Selesai makan, saya bicara-bicara dengan pemilik rumah makan itu. Rupanya dia berasal dari desa Koto Marapak satu kecamatan dengan kita. Namanya Munaf lebih muda dari saya kira-kira 5 tahun. Setelah saya katakan bahwa saya dari desa Parit Putus, maka antara kami cepat intim. Dia mengatakan lantai dua sampai lantai empat dari rumah makan ini adalah hotel dengan tarif sewa yang sesuai dengan kondisi saya. Dia mengajak saya melihat kondisi hotel tersebut ke atas dan memperkenalkan saya kepada pengurusnya. Setelah saya perhatikan kondisi sekelilingnya, kelihatan bersih dan sebandinglah dengan tarifnya. Akhirnya saya putuskan untuk tinggal di hotel itu saja, dan dekat dengan tempat makan. Setelah saya pilih kamar yang saya senangi, saya kembali lagi ke Kajang untuk mengambil tas dan memberitahukan kepada kakak Siti Har, bahwa saya akan tinggal di Kuala Lumpur. Alasannya, adalah dekat dengan kantor-kantor yang akan dihubungi, sekalian pamit dan berterima kasih, karena sudah merepotkan beliau. Sebelum Magrib saya sudah datang lagi ke hotel yang akan saya tempati. Beberapa hari setelah itu praktis saya tidak ada kegiatan apa-apa, karena pikiran saya tertuju pada ijazah saya yang tidak ketemu. Bahkan surat untuk pak H. Hamdan bin Syekh Taher pun belum saya berikan. Saya bermaksud setelah pikiran agak tenang, baru saya akan pergi menemui pak H. Hamdan bin Syekh Taher di Kementerian Pendidikan Malaysia membawa surat perkenalan dari Krisna Dahlan. Beberapa hari setelah itu, saya pergi ke Kementerian Pendidikan. Saya pikir untuk menemui pejabat tinggi di Malaysia, seperti di Indonesia, yaitu harus mendaftar dulu dan setelah itu baru ditentukan hari dan tanggal berapa baru bisa diterima. Berbeda sekali dari apa yang saya duga. Begitu saya sampai di kantor Kementerian Pendidikan dan melapor ke piket yang sedang jaga. Saya katakan bahwa saya dari Indonesia, membawa surat untuk Pak H. Hamdan bin Syekh Taher, apakah kantor beliau disini?, sambil menyerahkan surat dari Krisna Dahlan. Sambil menjawab Ya, piket tersebut mengambil dan melihat surat yang saya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

172

sodorkan. Saya di ajak ke lantai empat, dan saya disuruh menunggu sebentar, karena surat ini akan diserahkan kepada sekretaris pak H. Hamdan bin Syekh Taher. Tidak sampai sepuluh menit saya menunggu, keluar sekretaris pak H.Hamdan bin Syekh Taher, mempersilakan saya masuk ke ruangan yang cukup luas dan beliau ada di salah satu sisi di belakang meja tulis besar. Melihat saya masuk, beliau berdiri sambil senyum,dan menyapa Bila datang kata beliau. Saya bilang dari Indonesia sudah beberapa hari tapi saya singgah dulu di Kota Tinggi. Pak H. Hamdan orangnya rendah hati, ada kira-kira setengah jam kami berbincang-bincang, dan saya ceritakan bahwa saya sekolah di English College School dulu semasa penjajahan Inggeris sampai standar enam, sudah itu pergi ke Indonesia sampai sekarang. Beliau menanyakan saya menginap, karena nanti hari Sabtu pulang kantor akan menjemput saya dan mengundang makan di rumah beliau. Saya disuruh menunggu beliau didepan hotel itu hari Sabtu jam 12.30 siang, untuk bersama-sama ke rumah beliau. Saya merasa risih atas kebaikan beliau, selaku seorang pejabat tinggi yang memberikan perhatian kepada saya, yang susah untuk ditemukan di Indonesia seperti itu. Pada hari dan jam di sepakati, sopir beliau berhenti di hadapan hotel, dan saya sudah menunggu di hadapan hotel. Begitu mobil berhenti, saya melihat ada beliau duduk di belakang, saya berjalan menuju mobil tersebut, dan beliau menyuruh saya duduk disamping beliau di belakang. Sampai di rumah beliau, ternyata hanya di sebuah rumah sederhana, rumah panggung yang sebagian masih dari papan. Isteri beliau adalah seorang guru di salah satu sekolah pemerintah di Kuala Lumpur. Waktu kami sampai dirumah itu, isteri beliau belum sampai di rumah, sepuluh menit kemudian baru datang. Setelah isteri beliau datang saya di perkenalkan dan diajak makan bersama-sama dengan istri beliau. Di rumah beliau saya banyak bercerita masa kecil, masa revolusi, dan perkenalan saya dengan pak Abdul Gani atau dikenal dengan Aga Kartanagara. Saya kemukakan kepada beliau kerinduan saya untuk menetap kembali di Malaysia. Untuk mendukung keinginan saya itu, beliau menjanjikan membuat surat rekomendasi, yang dalam surat itu, mengatakan bahwa beliau sewaktu kunjungan ke Indonesia berkenalan dengan saya, mempunjai pendidikan degree dan kwalifikasi baik. Nanti surat itu dapat dipergunakan, bila diperlukukan oleh instansi yang akan menerima bekerja kata beliau. Surat itu disuruh ambil di kantor beliau hari Selasa pagi. Lebih dari satu jam saya di rumah beliau dan setelah itu saya pamit dan beterima kasih kepada beliau dan isteri beliau. Besoknya saya ingat bahwa saya berjanji dengan Ade Sule teman dari Bandung, yang sama-sama mau berangkat ke Malaysia. Dia akan menemui saudaranya, yang memegang perwakilan Garuda Indonesian Airlines di Kuala Lumpur. Tetapi dia berangkat belakangan, karena waktu itu surat-menyuratnya belum selesai. Dia juga alumni UNPAD jurusan Ekonomi Perusahaan, lulus dua tahun setelah saya. Setelah beberapa hari saya tinggal di hotel, saya pergi ke kantor perwakilan Garuda Indonesian Airlines, untuk menanyakan apakah Ade Sule sudah datang atau belum. Waktu itu GIA berkantor di gedung MARA tidak jauh dari hotel tempat saya tinggal. Menurut saudaranya yang di GIA Ade Sule baru akan datang dua hari lagi. Sebelum pergi, saya di persilahkan duduk dan diajak bicara-bicara sambil berkenalan. Saya katakan, bahwa saya dulu di zaman penjajahan Inggeris saya bersekolah di Johore Baharu sampai standar enam. Waktu Jepang masuk kami sekeluarga pulang ke Bukittinggi,
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

173

dan tahun l952 menetap di Bandung. Sekarang bermaksud kembali lagi dan mencari kerja di Malaysia. Dari dia saya mendapat alamat Des Alwi, salah seorang tokoh PRRI yang sudah lama menetap di Malaysia, seperti Sumitro Djojohadikusumo. Des Alwi adalah salah seorang tokoh Indonesia yang dekat dengan Perdana Menteri Malaysia yang waktu itu dijabat oleh Datok Husein Onn. Saudara Ade Sule menyarankan saya bertemu dengan Des Alwi mungkin ada peluang yang cocok katanya. Saya berterima kasih atas saran itu dan saya pamit sambil titip pesan bahwa saya akan datang dua hari lagi.. Besok sore saya beranikan diri pergi ke rumah pak Des Alwi sekalipun belum kenal. Beliau berasal dari Banda Neire dan menjadi salah seorang murid pak Hatta semasa dibuang ke sana. Kebetulan beliau ada dirumah, dan menerima saya dengan baik, mungkin karena saya berasal dari Bukittinggi dimana beliau merasa berutang budi kepada pak Hatta, adalah guru beliau yang beliau sebut dengan nama oom kaca mata. Saya katakan bahwa saya ingin menetap lagi di Malaysia dan mencari kerja di sini. Dalam pembicaraan yang hampir satu setengah jam, kelihatan beliau ingin membantu saya. Sampai pembicaraan pada pendidikan, saya katakan bahwa saya tamatan UNPAD jurusan Administrasi Niaga, dan mempunyai ijazah tata-buku A dan B dari Bond. Beliau tidak menjanjikan sesuatu, tetapi akan mencoba dulu ke beberapa teman beliau, mudah-mudahan berhasil. Beliau menyuruh saya membawa ijazah-ijazah itu besok untuk dibawa dan diperlihatkan kepada teman-teman beliau. Mendengar permitaan ini hati saya tersayat-sayat lagi, karena ijazah itu memang ada, tetapi tidak tahu dimana tinggalnya. Saya terpaksa menjelaskan apa adanya. Mungkin beliau mendengar itu, menilai saya berbohong, tetapi apa boleh buat, memang begitu kejadiannya. Pak Des Alwi orangnya bijaksana, melihat raut muka saya penuh penyesalan, beliau menyarankan, kita coba urus izin tinggal saja dulu. Bila nanti izin tinggal sudah dapat baru dipikirkan pekerjaan, mudah-mudahan ijazahnya sudah ada, kata beliau. Untuk itu beliau minta saya membuat surat permohonan yang di alamatkan ke kementerian dalam negeri di Malaysia dengan mencantumkan riwayat hidup, dan alasan untuk tinggal di Malaysia. Kalau surat itu sudah ada, serahkan kepada beliau, biar beliau nanti membawa surat itu ke Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Tapi balasannya tidak bisa diharapkan cepat-cepat, bisa berbulan-bulan kata beliau. Besoknya saya pinjam mesin tik hotel, dan membuat surat yang dimaksud. Dalam surat tersebut, saya katakan bahwa saya lahir di Batu Empat, Kota Tinggi, sekolah di Ngeheng Primary school sampai di English College School standard six. Waktu penjajahan Jepang pergi ke Bukittinggi. Setelah Indonesia merdeka, pergi ke Bandung dan terakhir belajar di Universitas Padjadjaran tamat 1965, Master Degree mayor in Business Administration. Mengajukan pemohonan menetap di Melaysia, karena rindu sebagai warga negara Malaysia. Sambil mengurus dua petak kebon pusaka orang tua masing-masing terletak di Batu Empat Kota Tinggi dan di Budau. Tiga hari setelah kedatangan saya pertama kali dulu, surat tersebut sudah selesai dan saya antarkan ke rumah pak Des Alwi, tanpa di lem, dengan maksud, supaya beliau baca terlebih dahulu. Setelah beliau baca, beliau mengatakan, ini sudah cukup, tinggalkan saja, nanti bila ada kesempatan saya langsung serahkan ke tangan Datok Husein Onn. Balasannya lama, bisa enam bulan atau lebih. Kalau mau pulang ke Indonesia pulang saja dulu, nanti kembali ke sini jangan lupa membawa ijazah sarjana dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

174

tata-bukunya kata beliau. Saya pamit dan berterima kasih atas bantuan beliau mudahmudahan berhasil, kata saya. Di atas bus sambil pulang, saya berpikir apakah pak Des Alwi tadi menyindir saya tentang ijazah, supaya tidak lupa lagi membawa nanti bila kembali ke Malaysia. Tapi biarlah saya berbaik sangka, mungkin beliau benar, menyuruh saya lebih berhati-hati di masa depan. Besok pagi sambil minum teh dan makan roti bakar di kedai kopi Cina di bawah hotel tempat saya menginap, saya baca di koran ada iklan bahwa Perguruan MARA mencari beberapa dosen bidang ekonomi dan lain-lain. Saya coba membuat surat lamaran, dengan mengatakan pak H. Hamdan bin Syekh Taher sebagai sponsor. Tidak sampai seminggu, datang surat penggilan untk intervew. Saya di intervew oleh beberapa orang, ada orang India dan Melayu, yang umumnya lebih tua dari saya. Mengajar adalah salah satu pekerjaan yang belum pernah saya lakukan, kecuali mengajar mengaji Alquran di kampung dulu sebentar. Intervew belum sampai disuruh berdiri di muka kelas, baru beberapa pertanyaan saja, para penguji sudah mengatakan bahwa saya tidak punya bakat untuk menjadi pengajar, katanya. Tanpa disadari, saya sudah lebih dua bulan meninggalkan Bandung. Berarti masa cuti saya tinggal sebentar lagi. Usaha terakhir saya adalah melihat-lihat dalam buku telepon di Yellow Page alamat Chartered Accountant. Barangkali saja ijazah tata-buku Bond saya dapat dimanfaatkan sebagai batu loncatan mencari pekerjaan. Umumnya nama-nama Cina saja, ada satu nama Hamzah & Hamzah Associate. Saya siapkan juga lamaran ke sana, dan saya antarkan langsung ke kantornya, tidak melalui pos. Saya disuruh langsung menemui personalianya, dan langsung di intervew, mungkin mereka sedang perlu waktu itu barangkali. Ada setengah jam saya ditanya tentang jurnal, dan membaca Neraca & Rugi Laba, akhirnya dikatakan saya bisa diterima bekerja di sana, tetapi saya harus mengurus izin tinggal di Malaysia. Kalau izin tinggal sudah dapat bisa datang lagi dan diterima bekerja di situ. Handicapnya adalah, untuk mengurus izin tinggal itu yang memerlukan waktu lebih enam bulan seperti yang dikatakan oleh pak Des Alwi, sedangkan masa cuti saya di Bandung tinggal beberapa hari saja lagi. Munaf pemilik restoran itu sudah kasihan melihat saya. Sudah hampir dua bulan menginap di hotel itu belum juga dapat kerja. Pada salah satu hari minggu saya diajak pergi ke Kajang, ke kampung yang banyak orang Ampek Angkek katanya. Pagi-pagi kami pergi dengan mobilnya. Sampai di situ dia berhenti di salah satu warung kopi. Orang disitu umumnya sudah kenal dengan Munaf. Dia mengajak saya masuk, dan mengatakan kepada beberapa orang yang ada di dalam warung itu, ini ada orang kita baru datang dari kampung, dulu semasa Inggeris dia sekolah di Johore Baharu, sekarang mau mencari kerja di sini katanya . Mendengar itu ada salah seorang bertanya, kampung di mana ?. Saya katakan saya dari Parit Putus. Mendengar itu, orang itu langsung berdiri dan mengajak saya pergi ke rumahnya jarak kira-kira 50 meter dari situ. Ternyata orang itu adalah Abdul Aziz bin H Yusuf.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

175

6. Foto dengan A. Aziz tahun 1969

Sampai di rumah, saya dikenalkan dengan ayah dan ibundanya. Ayahnya bertanya apakah saya kenal dengan kak Pelam katanya. Saya katakan enek Pelam itu adalah nenek istri saya. Mendengar itu kami langsung intim, apalagi beliau tahu bahwa saya adalah anak dari adik teman beliau Kari Ayat, ayahnya kakanda Ismail Hassan. Sejak itu saya tidak boleh lagi tinggal di hotel, dan diajak tinggal di rumah Aziz di Datok Kramat, Kuala Lumpur. Waktu itu Aziz baru dapat pembagian pakaian beberapa stel dari kantor. Saya di kasi satu stel, dengan pakaian yang diberikan itu kami berfoto bersama untuk kenang-kenangan, mendapat rachmat dari pertemuan yang tidak disengaja itu Setiap ada waktu senggang saya selalu dibawa ke rumah saudara-saudaranya, karena merasa satu nenek dengan isteri saya dari suku Guci. Kecuali ke rumah saudara-saudaranya, juga di bawa kepada orang-orang yang ada hubungana darah dengan Parit Putusnya, seperti pakcik Syamsuddin bin Khalik, ke rumah saudara-saudara isteri kakanda Ismail Hasan dan kerumah saudara Hasbiah (istri Aziz ) sendiri dan lain-lain. Yang agak berkesan adalah pertemuan saya dengan pakcik Syamsuddin bin Khalik. Ibu pakcik Syamsuddin berasal dari Boyan salah satu kota kecil di kepulauan Madura. Ayah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

176

beliau dari Parit Putus suku Koto, yaitu satu persukuan dengan saya bernama Khalik. Selama ini pakcik Syamsuddin banyak bercerita tentang kampung halaman ayah beliau yang indahindah, tetapi belum pernah sekali juga beliau diajak melihat kampung ayahanda beliau itu. Di hari tua beliau waktu berjumpa dengan saya, beliau sudah berumur enampuluh dua tahun, beliau mengajak saya pulang ke kampung bersama isteri beliau yang berasal dari Tabing di pinggir kota Padang. Setelah dari Padang baru kita terus ke Bandung kata beliau. Waktu itu sisa cuti saya masih ada seminggu lagi. Mengingat desakan beliau yang tulus, dan ingin menjalin hubungan silaturahmi di masa datang maka saya bersedia untuk menemani beliau pulang ke kampung dan setelah itu terus ke Bandung. Di kampung cukup enam hari dan setelah itu langsung ke Bandung. Tepat di hari cuti saya habis saya sudah bisa masuk kerja lagi, tepat waktu. Ajakan pakcik Syamsuddin ini saya bicarakan dengan Aziz, dan saya rasa lebih baik saya pulang sekarang saja, disamping masa tinggal saya di Malaysia sudah tidak bisa diperpanjang lagi, karena sudah tiga bulan tinggal di sana. Hari itu kami beli ticket ke Pekanbaru, dari Pekanbaru kami jalan darat ke Bukittinggi. Waktu itu belum ada pesawat langsung dari Kuala Lumpur ke Padang. Kami berangkat ke Pekanbaru dengan pesawat pagi. Lamanya perjalanan kira-kira dua jam. Dari Pekanbaru kami pakai taxi ke Bukittinggi, yang juga memerlukan waktu lebih kurang 6 jam. Kami sampai di Parit Putus sudah dekat Magrib, dan menginap di rumah ibunda, yang waktu itu masih rumah kayu. Waktu itu belum ada kamar mandi dan W.C di rumah. Jadi kalau mau mandi, mandi di kolam umum, atau bila mau ke W.C harus antre di W.C mesjid berdekatan dengan rumah ibunda. Keadaan demikian, hampir sama dengan di Malaysia waktu itu, hanya bedanya kamar mandi sudah ada di rumah masing-masing. Sedangkan W.C memang harus berjalan kaki ke luar rumah beberapa meter sambil membawa air dengan ember. Malam itu kami tidak ke mana-mana, karena orang di kampung, bila mendengar ada orang dari Malaysia datang, cepat sekali berita itu menyebar ke seluruh kampung. Bagi orang-orang yang merasa ada keluarga di sana mereka datang mencari informasi keadaan keluarga mereka disana. Salah seorang yang datang adalah keturunan dekat dari almarhum pak Khalik ayahanda pakcik Syamsuddin, namanya Samsir Sutan Bagindo. Almarhum Khalik adalah kakeknya Samsir Sutan Bagindo. Mengetahui bahwa pakcik Syamsuddin adalah anak dari kakeknya, dia mengundang makan malam besok ke rumahnya. Isteri pakcik Syamsuddin dulu waktu kecil, sebelum berangkat ke Malaysia pernah tinggal di Padang Panjang. Seharian besok adalah acara isteri pakcik Syamsuddin, menemui keluarga beliau yang ada di Padang Panjang. Untuk menghemat waktu, beliau minta dicarikan taksi yang bisa dibayar harian. Sudah selesai minum pagi di rumah, saya suruh beliau menunggu di rumah dan saya sendirian pergi ke pasar Bukittinggi mencari taksi harian di Aur Tajungkang, dan dibawa pulang menjemput beliau berdua ke Parit Putus. Kami berangkat ke Padang Panjang kira-kira jam 9.00 pagi, mengarah ke Padang dekat bioskop. Di sebelah kanan ada rumah petak bercat biru muda. Sampai di petak paling ujung, isteri pakcik Syamsuddin menyuruh taksi berhenti, beliau turun dan saya menemani, mengetok pintu rumah itu. Beliau menanyakan seseorang yang tinggal di situ sekian tahun yang lalu, apakah masih di situ atau sudah pindah ?. Yang punya rumah mengatakan sudah kira-kira 10
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

177

tahun yang lalu pindah ke Danau Singkarak, ada rumah sebelah kanan sebelum sampai di mesjid, bisa ditanyakan di situ katanya. Kami naik taksi kembali dan langsung ke Danau Singkarak, sambil memberitahu sopir taksi, nanti kalau sudah dekat mesjid pelan-pelan, kita akan berhenti disana. Lebih kurang setengah jam kami sudah sampai disana. Isteri pakcik Syamsuddin selalu memperhatikan rumah sebelum mesjid di sebelah kanan jalan. Kebetulan ada rumah panggung tua, dua rumah sebelum sampai ke mesjid. Kami turun disitu, dan menanyakan seseorang. Orang itu menjawab benar disini, tetapi sudah meninggal dua tahun lalu. Isteri pakcik Syamsuddin mengatakan bahwa beliau dari Malaysia adalah bersaudara dengan nama yang ditanyakan tadi. Orang tersebut tanpa ragu-ragu lagi mempersilahkan kami naik ke rumah, dan mengatakan bahwa ibunya masih ada. Begitu kami naik ke rumah, kami melihat dua orang ibu-ibu yang sudah berumur kangenkangenan. Saya dan pakcik Syamsuddin hanya melihat saja kejadian itu. Untuk memberi kesempatan beliau berdua bernostalgia, saya ajak pakcik Syamsuddin turun rumah melihatlihat indahnya Danau Singkarak yang tidak begitu jauh dari rumah itu. Kira-kira satu jam kami jalan-jalan di pinggir danau yang landai. Sebelum kami kembali ke rumah, kami salat Lohor dulu di mesjid tadi. Sampai di rumah, rupanya sudah tersedia makanan untuk makan siang, sedangkan isteri pakcik Syamsuddin masih asyik berbicara dengan keluarga beliau yang sudah puluhan tahun berpisah. Selesai beliau kangen-kangenan, lantas kami semua dipersilakan makan, karena selesai makan, isteri pakcik Syamsuddin bersama famili beliau akan pergi ke Padang Panjang untuk menemui beberapa orang famili, yang tinggal di Padang Panjang. Kira-kira jam 3.00 sore kami baru turun dari rumah di Danau Singkarak, menuju Padang Panjang. Ada dua atau tiga buah rumah yang beliau kunjungi di Padang Panjang, masing-masing selama setengah jam, hanya minum teh tanpa makan. Selesai bertemu dengan famili-famili beliau di Padang Panjang kami antarkan kembali ke rumah di Danau Singkarak. Setelah itu, kami langsung pulang ke Bukittinggi, dan sampai di Parit Putus sudah dekat Magrib. Selesai salat Magrib, Samsir Sutan Bagindo sudah datang menjemput untuk makan kerumah ibunya. Nama ibunya Railah adalah keponakan dari almarhum Khalik, yang ayahandanya pakcik Syamsuddin. Kebetulan antara beliau berdua hampir seumur. Railah pernah bertemu dengan almarhum Khalik sewaktu beliau pulang kampung semasa Railah masih berumur sekitar 10 tahun dulu. Almarhum sempat membeli sebidang tanah dekat simpang Parit Putus, dengan niat untuk membuat rumah bila ada diantara anak-anak beliau pulang kampung nanti. Setelah itu beliau tidak pernah pulang kampung lagi. Setelah selesai makan malam, dan bicara-bicara sebentar, saya lihat pakcik Syamsuddin mengeluarkan uang dan memberikannya kepada Railah, sambil bersalaman pamit pulang. Malam itu kami membuat rencana untuk besoknya. Pakcik Syamsuddin, merasa sudah mengetahui kampung halaman ayahanda beliau dan puas sudah bertemu dengan famili pihak bapak beliau, walaupun hanya sebentar. Beliau mengatakan besok, kita jalan-jalan di kota Bukittinggi saja, beli sedikit oleh-oleh untuk dibawa ke Kuala Lumpur. Lusa kita ke Padang, untuk melihat kampung isteri beliau, dan menemui famili yang masih ada di Tabing. Bila
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

178

selesai hari itu, petangnya kita pulang ke Jakarta dan terus ke Bandung. Saya katakan kalau memang begitu, kita berangkat saja dari kampung sesudah salat Subuh. Untuk itu, nanti kita ke Bukittiggi sekalian pesan taksi suruh jemput ke kampung subuh lusa pagi. Ticket pesawat kita beli di Tabing saja, biasanya tidak begitu penuh, kalau bukan saat libur sekolah. Sesuai dengan rencana, selesai salat Subuh, taksi yang dipesan sudah sampai di kampung. Kami pun selesai minum pagi. Saya pamit kepada ibunda, dan berangkat menuju Tabing, mudah-mudahan selesai sebelum jam 2.00 siang. Kalau tidak, berarti kami harus menginap di Padang semalam, besoknya baru berangkat ke Jakarta. Kami sampai di Tabing kira-kira jam 8.30 pagi, langsung ke kampung isteri pakcik Syamsuddin. Rupanya beliau masih ingat bekas rumah ibunda beliau dulu. Tanpa ragu-ragu beliau menuju rumah panggung tua, dengan semua jendela dan pintu tertutup rapi, yang sedang ditinggalkan penghuni itu. Satu-satunya orang yang ingin beliau temui adalah salah seorang sepupu beliau paling kecil yang meghuni rumah itu, tetapi kebetulan sedang dibawa oleh anaknya pergi ke Medan beberapa hari yang lalu. Yang tinggal di kampung itu kebanyakan orang-orang pendatang, sedangkan penduduk asli sudah pindah umumnya ke kota Padang, atau sebagian merantau ke Jakarta. Tidak sampai sejam kami keliling-keliling di kampung itu, akhirnya pakcik Syamsuddin memutuskan untuk membeli ticket pesawat, kembali ke Jakarta. Kami beli ticket yang berangkat terakhir dari Tabing Padang ke Jakarta. Karena taksi kami sewa untuk satu hari, maka sisa waktu kami gunakan melihat-lihat pantai Padang dan keliling kota mencari oleholeh sebagai tanda mata. Setengah jam sebelum berangkat, baru kami tiba di Airport Tabing. Ternyata pesawat terlambat datang dari Jakarta kira-kira setengah jam, dengan sendirinya juga telat berangkat dari Tabing setengah jam. Sudah Magrib kami sampai di air port Kemayoran Jakarta. Malam itu terpaksa kami menginap di hotel. Besok pagi baru kami meneruskan perjalan ke Bandung menggunakan kereta api. Sampai di Bandung sudah siang. Malamnya saya katakan kepada pakcik Syamsuddin, bahwa besok saya mulai masuk kerja setelah mengambil cuti panjang selama tiga bulan. Insya Allah petangnya kita boleh pergi jalan jalan melihat indahnya kota Bandung. Saya katakan indahnya kota Bandung, memang di waktu itu kota-kota di Indonesia memang lebih indah dari kota-kota di Malaysia, belum ketinggalan seperti sekarang. Bahkan banyak mahasiswa Malaysia menimba ilmu di perguruan tinggi di Indonesia waktu itu seperti di Bandung, Jogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Tidak saja itu, dosen-dosen dan guru-guru dalam bidang ilmu tertentu banyak yang di kontrak oleh Pemerintah Malaysia mengajar di sana. Tidak sedikit guru-guru dan dosendosen tersebut beralih kewarganegaraan dari Indonesia menjadi warga negara Malaysia, karena penggajian yang lebih besar di sana, dan kehidupan yang lebih teratur. Besok pagi saya naik beca ke kantor, karena jarak dari Gempol Wetan No. 28 ke Jalan Dr. Otten No 7. tidak begitu jauh. Sampai di kantor saya berbasa basi sebentar dengan atasan saya pak Handiamiharja. Dari pembicaraan yang sebentar itu saya merasakan ada sedikit perobahan sikap pak Handiamiharja kepada saya dibanding dengan sebelum cuti dulu. Rupanya beliau sudah terpengaruh dari orang yang tidak begitu senang dengan karir saya yang cepat naik dibanding dengan yang lain-lain. Selesai berbasa basi saya pergi ke ruangan kerja saya, dan saya dapati Pieters sudah lebih dulu datang dari saya. Dari Pieters satusatunya anak buah saya di bagian perdagangan, banyak bercerita kepada saya tentang situasi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

179

di kantor selama saya cuti. Kesimpulan saya adalah, bahwa situasi bukan lebih baik dari sebelumnya, bahkan saya merasakan lebih tidak kondusif. Melihat situasi tersebut saya berusaha menahan diri, seakan-akan tidak terjadi apa-apa terhadap saya. Hari itu praktis saya belum mulai bekerja, hanya berkelling saja ke meja-meja teman-teman yang besimpati dan yang berantipati terhadap saya. Pulang kantor, saya menerima kunci mobil jeep yang saya pakai dulu, diserahkan oleh Koko sopir saya sebelumnya. Rupanya fasilitas mobil yang diserahkan kepada saya belum dicabut oleh pimpinan perusahaan. Dengan diserahkannya kembali mobil jeep itu kepada saya, terobat juga hati saya sedikit, karena dapat membawa pakcik Syamsuddin dan isteri beliau yang menjadi tamu saya, berjalan-jalan di kota Bandung dan sekitarnya. Yang menjadi kebanggaan kota Bandung waktu itu adalah gedung sate, kampus Institut Teknologi Bandung, kebun binatang, puncak Dago dan lain-lain Hari minggu kami pergi berjalan-jalan ke gunung Tangkuban Parahu. Sebagaimana biasa, setiap kali kami pergi berjalan-jalan selalu membawa bekal nasi dengan berbagai lauk pauknya. Ikan asin dan telur bulat goreng balado tidak pernah ketinggalan, berikut selembar tikar untuk duduk nanti ditempat tujuan. Pakcik Syamsuddin sangat mengagumi pemandangan di puncak gunung Tangkuban Parahu yang indah. Apa lagi melihat kawah gunung yang selalu mengeluarkan air mendidih terus menerus. sambil mengeluarkan bau belerang. Tidak ada pemandangan seindah itu di Malaysia. Ada kira-kira satu jam kami disana, setelah itu kami turun menuju Ciater yang mempunyai khas air panasnya. Sewaktu pakcik Syamsuddin menikamti pemandangan yang indah di Ciater itu, saya mulai mencari tempat yang teduh untuk mengembangkan tikar, karena jam watu itu sudah memperlihatkan angka sebelas lebih, dan perut pun sudah terasa lapar. Selesai makan, anak-anak pun mandi di air panas bergembira ria. Jam empat sore kami pulang. Malamnya pakcik Syamsuddin mengatakan, bahwa beliau sudah seminggu meninggalkan Kuala Lumpur dan bermaksud akan pulang. Beliau minta saya menanyakan jadwal pesawat pada kesempatan pertama ke Kuala Lumpur dan memesan ticketnya sekalian. untuk dua orang. Untuk keperluan pembelian ticket tersebut, beliau menyerahkan paspor beliau berdua. Waktu itu hubungan diplomatik antara Malaysia dan Republik Indonesia baru saja pulih. Jadi tidak tiap hari ada pesawat berangkat Jakarta - Kuala Lumpur. Besok pagi saya masuk kantor seperti biasa. Yang pertama kali saya lakukan adalah menelpon agen Garuda Indonesian Airways (Garuda) di Bandung menanyakan, jadwal keberangkatan Garuda ke Kuala Lumpur. Dari agen Garuda saya mendapat informasi bahwa kesempatan pertama adalah hari Kamis ini. Saya lihat kalender, kebetulan hari Rabo adalah hari libur nasional, sedangkan untuk hari Kamis saya minta izin satu hari tidak masuk kantor. Saya langsung berangkat menuju agen Garuda yang waktu itu berkantor di Jalan Asia Afrika, didepan hotel Homan dengan membawa paspor pakcik Syamsuddin dan isteri untuk memesan dua buah ticket ke Kuala Lumpur. Pulang dari membeli ticket saya mampir ke rumah, memberitahukan bahwa ticket sudah ada untuk hari Kamis. Saya katakan kepada pakcik Syamsuddin, kalau pakcik akan melihat-lihat kota Jakarta lebih dahulu selama sehari, kita berangkat saja ke Jakarta, besok sore. Hari Rabu kita bisa keliling kota Jakarta, dan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

180

malamnya kita bisa mampir ke rumah ibunda Sawiyah (nenek M, Noor Jamil). Beliau kenal ibunda Sawiyah, karena ibunda Sawiyah pernah tinggal di Kajang bersama suami beliau ayahnda Kariayat, (kakak dari ayah saya). Pakcik Syamsuddin setuju dengan jadwal yang saya ajukan, dan beliau minta supaya nanti petang kita pergi ke pasar, mencari buah tangan dari Bandung untuk dibawa ke Malaysia. Kembali Kuliah di Unversitas Pajajaran Jurusan Akuntansi (1969 1971) Bekerja di kantor PT Teknik Umum sudah tidak bergairah dan nyaman lagi. Sekalipun posisi saya sudah ditempatkan pada posisi Direksi, namun suasana kerja antara satu - dua orang teman sekerja yang sama-sama pada posisi Direksi, selalu mencari-cari kesalahan saya dan mengeluarkan isu-isu yang tidak menyenangkan. Kondisi ini sudah mulai tercium oleh Direktur Utama pak Herlan Bekti, yang saya anggap selalu bersikap dan bertindak adil dan bijaksana. Pada satu ketika saya di panggil ke ruangan kerja beliau. Beliau tidak meyinggung atau menanyakan tentang isue-isue negatif diri saya yang sedang bekembang di kantor waktu itu, tetapi beliau bercerita tentang program kerja satu atau dua tahun kedepan. Antara lain akan membuka kantor Cabang PT Teknik Umum di Medan. Saya salah seorang calon kepala cabang nanti, bila rencana tersebut akan direalisir. Beliau minta saya mempersiapkan diri untuk itu. Lebih kurang setengah jam beliau mengajak saya bicara-bicara di ruangan kerja beliau, yang saya anggap dan rasakan sebagai obat yang mendinginkan ketidak nyamanan saya beberapa bulan terakhir. Tidak semua petinggi di PT Teknik Umum termakan oleh isueisue negatif tentang diri saya yang dihembuskan oleh orang yang tidak senang kepada saya. Sejak itu semangat kerja saya mulai timbul kembali, karena pimpinan tertinggi di PT Teknik Umum masih menilai saya potensial untuk diberi kesempatan dan tanggung jawab yang lebih besar di masa depan. Saya berusaha untuk melupakan dan menjauhkan perasaan negatif yang selalu menggangu pikiran positif saya selama beberapa bulan terakhir, dengan menyibukkan diri kepada hal-hal yang bermanfaat. Alhamdulillah waktu itu saya mendapat informasi bahwa Universitas Padjadjaran membuka jurusan Akuntansi Extension. Informasi ini saya sampaikan kepada Suyono, dan dia pun menyambut gembira, sehingga kami mendaftar bersama. Suyono adalah orang yang menggantikan posisi saya sebagai Kepala bagian Pembukuan beberapa tahun lalu, dan masih sebagai kepala bagian Pembukuan sampai terakhir. Pak Soemita Adikoesoemah, juga mengajar di jurusan akuntansi. Di situ ada dua orang dosen senior yang terkenal killer, yaitu pak Soemantri dan pak Tjoe Kim Giok. Pak Soemantri bermukim di Jakarta dan datang ke Bandung hanya pada jadwal-jadwal memberi kuliah saja, sedangkan pak Tjoe Kim Giok bermukim di Bandung. Beliau berdua adalah akuntan tamatan semasa Pemerintahan Belanda. Tidak heran kalau sistem mengajar dan materi pelajaran mirip dengan sistem Belanda atau NIVA. NIVA adalah persekutuan akuntan-akuntan Belanda sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk di Indonesia. Setelah perkuliahan berjalan beberapa bulan, kepada kami diserahkan dua set soal. Set pertama terdiri dari soal-soal mengenai sistem akuntansi dari berbagai jenis bidang usaha
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

181

sejak dari usaha jasa seperti jasa angkutan, jasa expedisi dan lain lain. Bidang industri sejak dari industri ringan sampai industri berat dan multi years dan lain lain. Bidang perdagangan interinsuler, import, export, future trading dan lain lain. Seluruhnya ada delapan belas soal. Satu set lagi adalah soal-soal menyangkut controle juga sebanyak itu untuk berbagai jenis usaha sama seperti di atas. Kepada seluruh mahasiswa diwajibkan membuat jawaban semua soal-soal tersebut sebelum diizinkan membuat skripsi akhir. Tiap-tiap jawaban akan diperiksa dan diberi nilai oleh dosen dan nilai ini juga menentukan kelulusan seseorang. Dengan sistem pelajaran seperti itu, maka mahasiwa dituntut aktif mencari literatur menyangkut dengan standar oraganisasi setiap jenis usaha. Juga dituntut untuk mengetahui seluk beluk operasionil jenis usaha tersebut, serta flow of goods untuk menentukan flow of document nya. Sistem akuntansi waktu itu seluruhnya dikerjakan secara manual. Maka pengetahuan hal-hal tersebut di atas diperlukan untuk`menentukan jenis-jenis buku yang diperlukan, bentuk-bentuk formulir yang diperlukan serta jenis dan bentuk-bentuk kartukartu yang perlu dipersiapkan. Alhamdulillah sekarang semua pekerjaan tersebut di atas telah dipermudah dengan teknologi komputer yang tinggal mengoperasikannya saja lagi. Segala sesuatu sudah terprogram dengan rapi dan hasilnya juga lebih akurat dibanding dengan manual. Dari pengalaman menyelesaikan kuliah di jurusan Administrasi Niaga beberapa tahun lalu, belajar dalam satu grup cukup efektif dibanding dengan belajar sendiri-sendiri. Oleh karena itu sekarang juga kami membuat grup belajar yang terdiri dari 6 orang yaitu Suyono (teman di PT Teknik Umum), Hidayat Pegawai Pos Giro yang pernah menjadi menteri Pariwisata semasa Abdul Rahman Wahid menjadi Presiden RI.. Dadang Pegawai Pemda Jabar terakhir sebagai Inspektorat Daerah Tingkat I Jabar, Martha Hadimargono pegawai Kimia Pharma, Iriani mahasiswa tamatan Gajah mada yang megambil jurusan akuntansi di Unpad, dan saya sendiri. Jadwal perkuliahan kami berjalan lancar, dan rumah kita di Jalan Wastukancana dijadikan tempat teman-teman kumpul untuk belajar bersama. Tiap-tiap soal wajib yang telah diserahkan kepada kami, sebelum kami membuat jawabannya, kami diskusikan dulu sampai matang dan setelah itu baru kami buat jawabannya dengan bahasa kami masingmasing. Kebetulan kami berenam dapat menyelesaikan tugas dan lulus semua mata pelajaran hampir bersaman dalam masa dua tahun. Pada saat menyelesaikan skripsi, saya tertinggal lebih satu tahun dibanding dengan lima orang teman lainnya. Hampir saja saya tidak jadi menyelesaikan skripsi saya karena pertimbangan takut terlibat main kongkalingkong dengan petugas pajak atau dengan pihak lainnya dengan cara merekayasa angka-angka yang disajikan. Seperti diketahui bahwa profesi akuntan sangat mungkin bekerja sama dengan petugas pajak untuk menghindari atau manipulasi pajak yang merugikan negara. Takut akan tergoda mendapatkan rezki yang tidak halal, juga takut setiap pekerjaan yang melanggar hukum negara pasti satu ketika akan ketahuan dan akan berurusan dengan penegak hukum. Jika itu terjadi, berarti saya mewariskan sesuatu yang memalukan kepada anak cucu saya. Nauzubillahi min zaalik.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

182

Dalam situasi keragu-raguan itu, pada satu senja pertengahan tahun 1972 Martha bersama dengan Iriani datang ke rumah menanyakan skripsi saya sampai dimana. Karena mereka ini adalah sama-sama satu grup belajar, saya kemukakan keragu-raguan saya untuk menyelesaikan skripsi saya tersebut karena takut tergoda untuk berbuat curang dibelakang hari dengan profesi akuntan ini. Mereka mengatakan itu adalah cara berpikir yang salah dan takut yang berlebih-lebihan. Kalau kita mau berbuat curang dimanapun bisa berbuat curang, tidak saja di profesi akuntan. Itu kan tergantung kita sendiri, yang penting usaha yang sudah dirintis dengan susah payah itu sayang jika tidak diselesaikan. Setelah diselesaikan, itu terserah natinya, apakah akan diteruskan profesi ini atau tidak, tetapi yang jelas kita sudah punya tambahan spesialisasi dalam bidang yang diperlukan oleh masyarakat usaha.

7. Wisuda Sarjana tahun 1976

Lama-lama saya pikir nasihat teman-teman berdua ini ada benarnya. Mereka berbicara secara tulus dan ikhlas selaku teman yang sama-sama susah meneyelesaikan semua mata pelajaran dan sudah sampai di finish kenapa berhenti dan tidak diselesaikan. Bukankah ini suatu kesia-siaan dan mubazir. Akhirnya saya bertekad untuk secepatnya menyelesaikan skripsi. Dalam memilih objek skripsi, saya memilih objek yang akan mempunyai nilai manfaat bagi orang yang membacanya, khusus bagi orangorang yang terkait dengan objek yang diteliti tersebut. Karena PT Teknik Umum, lama menjadi suplier barang-barang teknik dari Perum Telkom, di mana saya sebagai salah seorang yang sering berhubungan dengan Direktorat Perlengkapan di Perum Telkom. Saya mencoba mengadakan evaluasi dengan

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

183

mengambil judul Tinjauan selayang pandang mengenai organisasi dan administrasi pembelian di Perum Telekomunkasi

Pindah Rumah Dari Gempol Wetan ke Jl. Wastukancana Bandung (1968) Kira-kira setahun lalu kakanda A.Tadjuddin baru pensiun dari PT Caltex Dumai dan ingin bermukim di Bandung. Pertimbangan ini beliau ambil demi pendidikan anak-anak dan cucucucu beliau di belakang hari. Kebetulan waktu itu pak Syafni sedang ada proyek pemecahan batu di Lembang sebagai objek sampingan. Beliau sebetulnya adalah pimpinan PT Baru Ajak (perusahaan susu murni) yang juga berlokasi di Lembang berdampingan dengan proyek pemecahan batu. Di proyek pemecahan batu ini tidak ada orang yang dapat beliau percayai. Mendengar kakanda A Tadjuddin pensiun dari PT Caltex dan akan menetap di Bandung, pak Syafni menawarkan kepada kakanda A Tadjuddin untuk menjadi pengawas lapangan. Untuk tempat tinggal, beliau menawarkan untuk menempati bangunan yang sudah dikerangka di belakang rumah beliau, yaitu rumah yang kita tempati sekarang, asal saja diteruskan pembangunannya sehingga layak ditempati. Setelah setahun kerja sama itu berjalan, saya sudah mulai mendengar bahwa antara beliau berdua, tidak ada kejelasan tentang penghasilan. Salah satu sebabnya ialah produksi tidak sesuai dengan harapan semula. Akhirnya kakanda A Tadjuddin mengundurkan diri dari proyek pemecahan batu pak Syafni, sejak itu beliau tidak nyaman lagi tinggal di belakang rumah pak Syafni dengan fasilitas air dan listrik gratis. Ketidak nyamanan ini terungkap oleh beliau dengan sindirian, bahwa beliau minta tolong mencarikan rumah kontrakan, biarlah di dalam gang sekalipun. Ketidak nyamanan beliau ini merupakan ketidak nyamanan saya dan sekaligus juga ketidak nyamanan pak Syafni. Dalam kondisi demikian ada saja pertolongan Allah datang. Pada satu kesempatan saya bertemu dengan pak Sabar Sudirman, kepala bagian kesejahteraan Perum Telkom. Beliau menanyakan apakah saya mengetahui orang yang akan mengontrakkan rumah di sekitar gedung sate minimal untuk tiga tahun. Beliau mengatakan ada pegawai Perum Telkom dari daerah akan pindah kantor Pusat. Mendengar itu saya langsung menawarkan rumah yang sedang saya tempati, Jalan Gempol Wetan No. 28. Mendapat informasi itu langsung beliau mengajak saya melihat rumah itu. Sampai di rumah beliau melihat pekarangan yang cukup luas, ada garasi, fasilitas listrik yang cukup , air minum dari Perusahana Air Minum dan pompa sumur sebagai cadangan. Sambil melihat-lihat sekeliling, beliau membuat sketsnya berikut ukuran denah dan ruangan-ruangan dalam rumah tersebut. Setelah puas melihat-lihat, beliau menanyakan harga kontraknya untuk tiga tahun sekaligus. Setelah saya beritahukan harganya, beliau minta waktu seminggu untuk konsultasi dengan pemakai dan akan dibawa ke dalam rapat team kecil intern untuk mendapat persetujuan dan keputusan. Dalam masa itu saya konsultasi dengan isteri di rumah, dan menginformasikan kepada kakanda A Tadjuddin agar beliau bersabar untuk tidak mencari rumah kontrakan dulu. Jika Allah mengizinkan kita cari saja rumah yang sesuai dengan dana yang tersedia dan cukup menampung satu keluarga besar dengan 7 orang anak yang masih kecil-kecil. Baru dua orang puteri beliau yang sudah berkeluarga waktu itu. Sejak saya informasikan itu beliau kelihatan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

184

agak tenang. Kepada pak Syafni juga saya sampaikan rencana saya mengontarakkan rumah saya yang di Jalan Gempol dan akan pindah ke Wastukancana menggantikan posisi kakanda A.Tadjuddin. Beliau sangat setuju, karena selalu akan berdekatan dengan saya untuk bertukar pikiran baik dalam bidang kebun cabe di Garut maupun rencana kebun kol di Lembang. Tepat seminggu setelah pak Sabar Sudirman melihat rumah di Jalan Gempol itu beliau menelepon saya memberitahukan bahwa team kecil telah setuju mengontrak rumah tersebut dan menanyakan kapan bisa dikosongkan. Surat perjanjian sewa menyewa sudah bisa disiapkan minggu depan dan uang sewanya bisa diterima setelah perjanjian ditanda tangani. Beliau minta pengosongan tidak meliwati 15 hari setelah menerima uang kontrak. Untuk menjawab pertanyaan itu secara konkrit, saya minta waktu seminggu untuk persiapan segala sesuatunya. Saya menghubungai kakanda A Tadjuddin, menyampaikan berita tersebut, dan kebetulan beliau sudah menemukan rumah yang akan dibeli, bahkan rumah tersebut sudah beliau lihat dan sudah dikosongkan pemiliknya, karena pindah ke kota lain. Harganya juga sesuai dengan dana yang tersedia. Rupanya Allah telah menentukan demikian. Tidak lama setelah itu kepindahan kakanda A Tadjuddin ke Tamansari dan kepindahan saya ke Wastukancana berjalan mulus. Rumah kami ditempati oleh pegawai Perum Telkom untuk tiga tahun, dan kebetulan tiap-tiap tiga tahun mereka perpanjang sampai beberapa kali. Kepindahan Insya Allah membawa Rahmat dan Berkah. Amin.

8. Foto Bersama tahun 1980

Berhenti dari PT Teknik Umum (Akhir l970) Suasana kerja kantor tidak berubah, bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Pada pertengahan tahun 1970 saya dipanggil Direktur Utama pak Herlan Bekti ke Jakarta. Beliau kembali mengulangi tawaran beliau beberapa tahun lalu untuk mengangkat saya menjadi kepala
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

185

cabang PT Teknik Umum di Medan. Saya katakan bahwa saya sangat menyesal, tawaran tersebut tidak dapat saya terima karena alasan, saya mempunyai keluarga besar, jadi tidak mudah untuk dibawa pindah-pindah. Beliau kelihatan kecewa, tetapi dapat memahami alasan saya tersebut, memang masuk akal. Akhir tahun l970 saya mengajukan permohonan berhenti dari PT Teknik Umum. Saya mengucapkan terima kasih kepada pimpinan PT Teknik Umum, karena selama di PT Teknik Umum saya banyak mencapai sukses dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang materiel. Semoga Allah membalasnya setimpal. Amin Mendapat Tawaran dari Kodam VI Untuk Kembali Aktif di Angkatan Darat Sebagai Tenaga Akuntan Semangat dan tekad saya untuk menyelesaikan studi jurusan akuntansi ini sudah pulih kembali. Sejak itu saya aktif menemui dosen pembimbing untuk konsultasi tentang judul dan outline skripsi. Setelah judul dan outline disetujui, saya giat mengumpulkan bahan dan datadata yang diperlukan termasuk mempelajari peraturan-peraturan intern yang masih berlaku di direktorat perlengkapan. Setelah bahan-bahan dan data-data terkumpul, saya mulai menyusun skripsi. Supaya saya dapat bekerja dengan konsentrasi penuh, maka saya terpaksa menyewa satu kamar di Hotel Suti yang terletak di Jalan Riau tidak berjauhan dengan rumah tempat tinggal. Waktu makan siang dan makan malam saya tetap pulang ke rumah, hanya dengan jalan kaki, karena tidak begitu jauh. Alhamdulillah berkat bimbingan Nya lebih kurang sebulan saya tinggal di hotel Suti konsep skripsi itu sudah selesai, dan akhir tahun 1972 skripsi tersebut sudah boleh dinet untuk ditanda tangani oleh pembimbing, ketua jurusan, dan dekan Fakultas Ekonomi Unpad. Pada saat menyerahkan skripsi ke sekretariat Fakultas Ekonomi untuk dijadwalkan pada kesempatan sidang yang akan datang. Sekretariat setelah memperhatikan jadwal sidang maka diputuskan bahwa saya mendapat giliran sidang pada tanggal 9 Maret l973. Alhamdulillah saya dinyatakan lulus. Begitu saya mengetahui bahwa saya sudah lulus sebagai akuntan, saya minta surat keterangan lulus dari Falkultas untuk mendapatkan nomor registrasi di Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pengawsan Keuangan Negara (DJPKN). Hari itu juga saya sudah diberitahu bahwa nomor registrasi saya adalah D 738, sedangkan surat resminya menyusul. Setelah saya diberitahu nomor register, kepada saya juga diserahkan formulir isian untuk mengikuti wajib kerja sarjana sabagai pengabdian kepada Negara, sesuai dengan ketentuan Pemerintah untuk para mahasiswa profesi termasuk sebagai akuntan. Kepada pejabat yang meladeni saya, saya katakan bahwa saya senang sekali menjalankan tugas wajib kerja sarjana selama tiga tahun. Saya mohon kepada DJPKN agar dapat menempatkan saya di perusahaan negara yang memberikan penghasilan cukup untuk saya sekeluarga dengan delapan orang anak. Sebab jika tidak maka salah satu akan menjadi korban. Yaitu keluarga saya hidup berkekurangan atau profesi saya bisa menjadi korban, disebabkan kebutuhan hidup yang tidak dapat dihindarkan. Mendengar komentar saya tersebut, pejabat yang bersangkutan terhening sejenak, setelah itu dia permisi untuk menyampaikan permohonan saya tersebut kepada atasannya yaitu pak Yusuf Sujud. Tidak lama kemudian dia keluar dari ruangan pak Yusuf Sujud, dan mempersilakan saya masuk supaya saya bicara langsung dengan pak Yusuf Sujud sebagai
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

186

pejabat yang menentukan. Setelah bersalaman, mungkin pak Yusuf Sujud melihat saya yang waktu itu sudah berumur 45 tahun, tidak mungkin lagi ditempatkan seperti anak-anak tamat belajar yang masih fresh dengan umur sekitar duapuluhan. Beliau memanggil saya dengan sebutan bapak bukan saudara, meminta saya sedikit bercerita tentang riwayat hidup saya. Saya ceritakan bahwa saya sekolah rendah di Malaysia, waktu Jepang masuk kembali ke Bukittinggi. Sejak proklamasi sampai tahun l950, ikut bergerilia di Gunung Merapi di Sumatera Barat. Sampai disitu beliau memotong cerita saya, dengan mengatakan, kalau begitu bapak ikut berjuang selama revolusi. Saya katakan, bahwa saya waktu itu adalah komandan seksi dengan pangkat sersan mayor. Karena bapak sudah pernah berbakti kepada negara, maka kepada bapak dapat pengecualian untuk tidak perlu mengikuti wajib kerja sarjana. Untuk itu saya minta bapak membuat surat permohonan dispensasi untuk dibebaskan dari wajib kerja sarjana dengan melampirkan riwayat hidup berikut foto copy surat pemberhentian dari Angkatan Darat. Permintaan tersebut saya sanggupi dan akan menyerahkannya minggu depan. Minggu depan sesuai dengan janji saya, saya menyerahkan kepada pak Yusuf Sujud surat yang diminta dan setelah dilihat-lihat sebentar, waktu itu secara lisan beliau mengatakan bahwa saya sudah mendapat kepastian bebas dari wajib kerja sarjana, tinggal menunggu surat resminya. Nanti kalau surat bebas wajib kerja sarjana sudah diterima, bapak dapat mengajukan surat permohonan izin membuka kantor akuntan publik, kalau bermaksud untuk membuka praktek sendiri. Beberapa bulan setelah itu ada pemberitahuan dari fakultas tanggal dan hari wisuda para sarjana baru. Untuk keperluan itu diminta agar yang bersangkutan datang mengambil pakaian wisuda dan undangan untuk keluarga yang akan mengadiri wisuda tersebut. Sekembali dari mengambil pakaian toga dan undangan saya serahkan undangan kepada pak Syafni sebagai keluarga. Beliau senang menerima undangan tersebut dan menawarkan pergi bersama-sama dengan mobil beliau menggunakan Cheverolet hitam buatan tahun l948 yang antik. Alhamdulillah, tawaran itu saya syukuri, karena saya sendiri tidak punya mobil waktu itu. Kira-kira seminggu setelah hari wisuda, saya menerima surat dari Kodam VI Siliwangi. Setelah dibuka dan dibaca, ternyata isinya minta kesediaan saya untuk bergabung di Angkatan Darat, khususnya dalam lingkungan Kodam VI Siliwangi yang akan ditempatkan di bagian pemeriksaan. Isi surat tersebut saya rundingkan dengan isteri, dan isteri bercerita kepada anak-anak. Anak-anak setelah membaca surat tersebut menyambut dengan gembira dan minta supaya saya menerima tawaran tersebut. Dalam pikiran mereka, kalau tawaran tersebut saya terima tentu saya akan mendapat mobil Toyota hard-top dengan nomor plat Angkatan Darat yang sangat bergengsi waktu itu. Ada beberapa hari saya pikirkan tawaran tersebut dari segi untung dan ruginya. Saya minta pendapat pak Syafni sebagai orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan banyak memberikan pandangan-pandangan dan nasehat-nasehat yang positif kepada kami sekeluarga selama ini. Beliau menyarankan agar saya mendatangi Kodam VI Siliwangi membicarakan isi surat tersebut lebih mendalam, termasuk pangkat dan penghasilan yang akan diterima. Pertimbangan beliau adalah kalau saya tidak berhenti dulu dari tentara tahun 1951 mungkin
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

187

sekarang sudah berpangkat Letnan Kolonel. Selain dari itu yang perlu dipertimbangkan adalah, bila sudah masuk ke dalam lingkungan Angkatan Bersenjata, berarti sudah siap fisik dan mental untuk diatur oleh suatu sistem, yang tidak mudah untuk keluar dari sistem itu. Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah semua orang yang diwisuda dikirimi surat yang sama kepada saya. Saya coba menelepon Suyono dan beberapa teman lainnya, ternyata tidak ada yang menerima surat seperti kepada saya itu. Saya tambah penasaran, dan sesuai dengan saran pak Syafni, besoknya saya pergi menemui markas Kodam VI Siliwangi ingin membicarakan isi surat tersebut. Ternyata saya diterima oleh seorang yang masih muda berpangkat Kapten, yang mukanya saya ingat adalah senior saya di jurusan akuntansi, kalau tidak salah dua tahun diatas saya. Dari Kapten itu saya mendapat penjelasan bahwa nama dan alamat saya didapat dari dua sumber. Pertama dari daftar nama sarjana veteran, dimana nama bapak tercantum di situ dan kedua dari daftar wisuda Unpad jurusan akuntansi yang sengaja diminta. Hal itu dilakukan oleh Kodam VI Siliwangi karena Kodam akan merekrut tiga orang tenaga akuntan. Prioritas pertama diberikan kepada anggota veteran dan setelah itu baru kepada umum. Bersamaan dengan bapak ada lima orang lainya yang kami undang untuk bergabung, katanya. Tanpa saya tanyakan, sang kapten terus memberikan informasi yang saya perlukan. Bagi para sarjana yang diundang bila telah memenuhi syarat dan telah diterima, statusnya adalah wajib militer untuk masa tiga tahun dengan pangkat kapten. Setelah tiga tahun bila yang bersangkutan ingin meneruskan karirnya di Angkatan Darat, maka dia akan ditetapkan sebagai tentara reguler yang diperlakukan sama seperti sarjana-sarjana lainnya di Angkatan Darat. Bila yang bersangkutan tidak akan melanjutkan karirnya di Angkatan Darat, maka dia dapat mengundurkan diri dengan suatu surat ucapan terima kasih atas jasa-jasanya dari Panglima Kodam VI Siliwangi. Khusus bagi peserta wajib militer yang sudah pernah berbakti kepada negara, seperti veteran dan sejenisnya, maka pangkat pertama adalah mayor. Mengenai penggajian tunduk pada peraturan penggajian tentara sesuai dengan pangkat dan tanggungan keluarga. Demikian juga mengenai uang lauk pauk dan lain-lain. Setelah semua informasi yang saya perlukan sudah saya ketahui, saya sampai pada kesimpulan, tidak tertarik untuk bergabung dalam wajib mliter yang ditawarkan, sekalipun kepada saya diberikan pangkat mayor. Saya tahu bahwa keputusan saya ini akan mengecewakan anak-anak, tetapi pertimbangan ini adalah untuk masa depan mereka juga. Kepada kapten yang meladeni saya sejak tadi, saya katakan, terima kasih saya atas surat yang saya terima ini, juga merupakan penghormatan kepada saya, Tetapi kondisi dan tanggung jawab saya dalam keluarga tidak memungkinkan saya ikut serta dalam wajib militer ini. Saya juga berterima kasih kepada kapten yang telah memberikan penjelasan yang lengkap dan jelas, setelah itu sayapun pamit, sambil mengembalikan surat panggilan yang saya terima beberapa hari yang lalu.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

188

15. USAHA SENDIRI DENGAN NAMA PT PAGARMAS


Saya mengajukan permohonan berhenti tidak lama setelah pindah ke Jalan Wasukancana No 5 Bandung. Saya sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan-ucapan sinis teman-teman sekerja yang anti pati kepada saya. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa tawaran untuk pindah ke Medan saya tolak. Pada saat mengajukan permohonan berhenti itu, saya tidak mempunyai persiapan sama sekali. Baik persiapan pekerjaan di tempat lain setelah berhenti dari PT Teknik Umum, maupun persiapan deposito untuk menjamin hidup beberapa bulan. Yang memberanikan saya mengambil keputusan itu adalah, masih mempunyai sawah di Ciranjang seluas lebih kurang tiga hektar. Dengan adanya sawah tersebut, minimal untuk kebutuhan beras tidak memikirkan lagi. Pak Syafni sewaktu mengetahui saya sudah berhenti dari PT Teknik Umum, beliau kaget, apalagi setelah mengetahui bahwa saya mengajukan berhenti sebelum mempunyai cadangan pekerjaan di tempat lain. Kata beliau, ini namanya nekad, sambil mengeluarkan pepatah berbahasa Belanda yang artinya Sebelum ada sepatu baru, sepatu lama jangan dibuang dulu. Kalau sepatu lama sudah dibuang dan sepatu baru tidak segera dapat, berarti kita harus berjalan tanpa sepatu, resikonya kepanasan dan lain-lain. Saya katakan, bahwa saya sudah tidak nyaman lagi bekerja di situ sejak saudara salah seorang Direktur masuk di Cabang Bandung. Dia selalu menghembuskan isu-isu yang menyakitkan hati. Daripada saya nanti bentrok secara terbuka dengan dia lebih baik saya mengundurkan diri. Saya yakin Allah menjamin rezki umatnya asal saja umatnya berusaha dan berdoa. Mendengar tekad saya itu, beliau termenung sejenak. Saya lihat beliau ikut rusuh melihat saya mulai menganggur, dengan anak-anak banyak dan masih kecil-kecil bahkan ada yang masih bayi. Saya katakan, bila beberapa bulan mendatang saya belum dapat pekerjaan, saya minta izin sama pak tuo (panggilan kami kepada pak Syafni) meletakkan gerobak dibawah pohon lengkeng itu, sambil menunjuk ke pohon lengkeng, untuk berjualan nasi padang. Beliau pun tertawa, bahwa saya dari posisi selaku Direktur Muda di PT Teknik Umum sekarang mau menjual nasi padang dengan gerobak di pinggir jalan protokol seperti Jalan Wastukancana. Waktu itu perkuliahan di jurusan akuntansi sedang sibuk dan asyik-asyiknya. Rumah saya di jadikan teman-teman tempat belajar bersama, rata-rata dua kali seminggu. Karena kesibukan tersebut tidak terasa bahwa saya adalah penganggur. Saya belajar lebih intensif, selain dari menghalau stress, tetapi juga sebagai persiapan bila nanti ada kesibukan baru mungkin tidak se intensif seperti sekarang belajarnya. Pada suatu hari, Hasanuddin, teman kuliah di jurusan Administrsi Niaga dulu datang menemui saya. Dia sekarang menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Parahiangan. Dia mengatakan bahwa dia disuruh oleh dekan Fakultas mencari orang yang sanggup mengajar Administrasi Perusahaan Modern (APM). Hasanudddin yakin, bahwa saya adalah orang yang cocok untuk tugas itu. Kalau saya berminat saya disuruh menyiapkan Curiculum Vitae yang akan diserahkan ke dekan Fakultas, untuk diproses. Saya katakan bahwa tawaran ini adalah menarik, dan saya berterima kasih. Hanya saja profesi mengajar belum pernah saya coba.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

189

Saya pikir untuk menjadi dosen yang baik, dia harus benar-benar menguasai materi yang akan diajarkan, kalau tidak menguasai, maka mahasiswa akan menjadi korban. Tahap pertama dia mengajar, dia mesti siap menyediakan waktu tiga kali jam dia mengajar, untuk menyiapkan materi yang akan di ajarkannya. Saya beri contoh, dosen yang ideal adalah seperti pak Soemita Adi Koesoemah yang begitu menguasai materi yang diajarkan, bahkan beliau hafal sampai pada nomor halaman dalam buku yang menjelaskan materi yang diajarkannya. Saya katakan, saya bukanlah orang yang ideal untuk itu. Kira-kira seminggu setelah kami berbicara dengan pak Syafni, bahwa saya berhenti dari PT Teknik Umum, beliau datang ke rumah membawa beberapa lembar kop surat PT Pagarmas yang sudah lama tidak jalan. PT Pagarmaas dulunya adalah perusahaan pembuat mebel-mebel meladeni pesanan instansi Pemerintah. Tetapi karena sesuatu hal sudah lama berhenti. Kop surat itu sebagian sudah kekuning-kuningan karena tidak tersimpan rapi. Mulamula saya tidak mengerti maksud beliau membawa kop surat itu untuk apa. Begini buya kata beliau, (buya adalah panggilan kelompok pengajian Wastukancana kepada saya). Buya di PT Teknik Umum di bagian Perdagangan, berarti banyak relasi di instansi-instansi pemerintah. Supaya relasi-relasi tersebut tidak terputus, jalankanlah PT Pagarmas ini. Nanti kalau ada green light bahwa bisa jalan, nanti aktenya kita robah, disesuaikan dengan bidang usahanya dan kepemilikannya dan lain-lain. Waktu beliau bicara itu saya baru mendengarkan saja, belum ada ide waktu itu bagaimana menjalankan perusahaan yang sudah lama tidak jalan ini. Saya katakan, baiklah paktuo (paktuo adalah panggilan kami kelompok pengajian untuk pak Syafni) nanti kita coba jalankan siapa tahu bisa. Order Pertama dari Balai Penelitian Tanaman Industri IPB Bogor Pak Syafni orangnya baik. Rasa sosialnya tinggi. Beliau akan berbuat dan berusaha maksimal untuk menolong teman-teman yang sudah beliau kenal bila menghadapi kesulitan. Bukti terakhir adalah beliau membantu Busmar dengan proyek pertanian cabe dan bawangnya di Cisandaan, Garut yang gagal total. Tidak sedikit dana beliau tersedot ke proyek itu, yang berasal dari simpanan maupun penghasilan beliau sebagai pimpinan PT Baruajak. PT Baruajak adalah perusahaan susu murni kepunyaan Doktor Orzone orang Itali yang menjadi warga negara Belanda yang sudah kembali ke negeri Belanda tahun 1950. PT Baruajak sudah di hibahkan Doktor Orzone kepada Yayasan Kristen yang membawahi Universitas Parahiangan, dan mengangkat pak Syafni sebagai pimpinannya. Pak Syafni, dulunya adalah kepala Bagian Pembukuan di PT Baruajak. Tawaran pak Syafni dua hari yang lalu, menyuruh saya mengatifkan perusahaan beliau PT Pagarmas saya pikirkan secara serius. Kebetulan saya ingat, bahwa saat terakhir saya akan mengajukan berhenti dari PT Teknik Umum, ada permintaan penawaran pembuatan alat penyulingan daun cengkeh menjadi minyak cengkeh yang belum sempat saya ladeni dari Balai Tanaman Industri, Institut Pertanian Bogor (IPB). Kebetulan kepalanya adalah seorang Insinyur Pertanian berasal dari Koto Gadang, masih famili dengan Fazar teman sekerja saya di PT Teknik Umum. Saya pikir kalau belum ada perusahan lain yang meladeni, saya akan coba meladeninya atas nama PT Pagarmas.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

190

Besoknya dengan naik bus, saya berangkat ke Bogor menghubungi Balai Tanaman Industri terebut, sambil memberitahukan bahwa saya sudah tidak di PT Teknik Umum lagi, tetapi sudah pindah ke PT Pagarmas. Saya menanyakan apakah instalasi untuk destilasi daun cengkeh menjadi minyak cengkeh yang Bapak minta dulu sudah direalisir atau belum ?. Pejabat tersebut mengatakan belum, apakah PT Pagarmas sanggup membuatnya ?, sambil mengambil gambar destilasi tersebut dan memperlihatkan kepada saya.. Gambar tersebut sudah dilengkapi dengan uraian teknisnya. Saya katakan, mudah-mudahan bisa, dan saya pinjam gambar tersebut dan minggu depan akan saya kembalikan sambil mengajukan penawarannya. Karena saya sudah kenal baik dengan pejabat tersebut dan saya pun dizinkan meminjam gambar itu dengan janji minggu depan dikembalikan berikut surat penawarannya. Dalam perjalanan pulang ke Bandung, saya ingat, yang bisa mengerjakan pekerjaan rumit ini adalah bengkel Margono yang terletak di belakang lapangan bola bekas lapangan bola Siliwangi di Jalan Ahmad Yani, Bandung. Dulu sewaktu saya masih di PT Teknik Umum sering bekerja sama dengan bengkel Margono untuk pekerjaan yang sulit dan selalu berhasil. Besoknya saya datang ke bengkel Margono sambil membawa gambar destilasi. Saya katakan bahwa saya dapat order pembuatan destilasi penyulingan daun cengkeh menjadi minyak cengkeh seperti gambar ini. Kalau sanggup kita jadikan pesanan ini pesanan bersama, dimana PT Pagarmas yang maju sebagai penerima order dan bengkel Margono sebagai pelaksana. Keuntungan kita bagi dua, setelah dikurangi pajak 10 %. Dia mengatakan akan mempelajari lebih dulu dan besok akan memberi kabar. Saya sengaja menawarkan dengan kondisi demikian supaya saya bebas dari resiko pembayaran uang muka dari pesanan, dan bebas dari resiko bila ada kegagalan dari segi teknis dibelakang hari. Sekembali dari bengkel Margono saya menemui pak Syafni, memberitahukan bahwa saya sudah pikirkan saran untuk mengaktifkan kembali PT Pagarmas yang sudah lama tidak jalan. Saya katakan Insya Allah saya akan mencoba mengaktifkan PT Pagarmas, bahkan kemarin saya sudah mulai menemui salah satu relasi lama saya sewaktu saya masih di PT Teknik Umum, yaitu Balai Penelitian Tanaman Industri IPB di Bogor. Dari sana Pagarmas diminta mengajukan penawaran pembuatan alat untuk penyulingan daun cengkeh menjadi minyak cengkeh. Saya katakan juga, bahwa saya sudah menemukan bengkel yang sanggup membuat alat tersebut dan minggu depan akan mengajukan penawaran ke Balai Penelitain Tanaman Industri di Bogor. Saya tanyakan, apakah masih ada sisa kop surat, empelop serta stempel PT Pagarmas. Pak Syafni langsung mencari-cari yang saya tanyakan itu, dan kembali membawa beberapa lembar kop surat, empelop dan 1 bh. stempel PT Pagarmas. Hanya saja kasur stempelnya sudah kering, tintanya mesti dibeli dulu, kata beliau. Saya terima barangbarang tersebut dan saya katakan, biarlah tinta stempel saya beli nanti. Saya pamit dan minta pak Syafni mendoakan semoga penawaran yang pertama ini berhasil untuk menentukan langkah-langkah berikutnya. Seminggu setelah kedatangan saya ke bengkel Margono minggu yang lalu, saya datang lagi kesana. Dia juga menunggu kedatangan saya, karena dua hari yang lalu dia sudah siap dengan kalkulasi harga serta masa pengerjaan alat tersebut. Dia mengatakan, bahwa dia sanggup mengerjakan alat tersebut dalam waktu lima belas hari kerja. Harga pokoknya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

191

adalah sekian, berapa yang akan kita ajukan ?, dia menanyakan kepada saya. Saya katakan karena pekerjaan ini rumit dan tidak ada uang muka, bagaimana kalau kita naikkan 70% dari harga pokok ini, termasuk pajak 10%. Dia menyetujui saran saya itu, dan saya katakan, besok akan saya siapkan penawarannya, lusa saya antarkan ke Bogor, mudah-mudahan dalam waktu tidak begitu lama kita sudah menerima jawabannya. Baiklah katanya, mudahmudahan berhasil. Saya bawa kembali gambar kepunyaan Balai Penelitian Tanaman Industri beserta perhitungan kalkulasinya. Sewaktu saya menyiapkan surat penawaran, saya tanyakan kepada pak Syafni, apakah beliau bersedia menanda tanganinya selaku direktur. Beliau mengatakan supaya saya saja menanda tanganinya selaku Wakil Direktur. Nanti kalau sudah disetujui kita buat saja surat pengangkatan selaku Wakil Direktur, sambil menunggu perobahan akte pendirian, kata beliau. Baiklah kata saya. Surat penawaran tersebut saya buat sedetail mungkin, sesuai dengan analisa teknis termasuk bahan-bahan yang digunakan, yang sudah disiapkan oleh Margono. Maksudnya adalah untuk memudahkan bagi orang teknik membacanya, sehingga dia mengetahui dan meyakini bahwa orang yang akan mebuat alat ini betul-betul menguasai secara teknis apa yang di maksud dengan alat penyuling yang ditawarkan. Selesai penawaran dibuat, besoknya saya pergi ke Bogor mengantarkan Penawaran tersebut sambil mengembalikan gambar peyulingan yang saya pinjam minggu lalu. Surat penawaran tersebut saya serahkan langsung kepada pimpinan. Waktu menyerahkan penawaran tersebut saya katakan kepada pimpinan Balai Penelitian Tanaman Industri, bila memerlukan tambahan penjelasan teknis dari penawaran kami ini, teknisi kami akan bersedia datang untuk menjelaskannya. Dia menjawab, bahwa penawaran ini akan dipelajari oleh suatu team yang akan membahas dari segi teknis dan harganya termasuk masa penyerahannya. Setelah ada kesepakatan baru diputuskan atau meminta tambahan penjelasan kepada penawar. Oleh karena itu dia minta agar penawar bersabar menunggu keputusan antara tiga minggu sampai satu bulan. Kalau ada hal-hal yang diperlukan antara waktu itu kami akan telpon, katanya. Kira-kira dua minggu setelah penyerahan penawaran tersebut ada telepon dari Balai Penelitian Tanaman Industri. Minta saya datang menghadap ke sana bersama dengan teknisi yang akan membuat penyulingan tersebut, karena ada hal-hal yang akan dibicarakan dengan team sebelum mengeluarkan keputusan. Permintaan tersebut saya sanggupi dan pada hari dan jam yang ditentukan saya dan Margono sudah ada di Balai Penelitian Tanaman Industri memenuhi undangan mereka. Kedatangan kami tersebut sudah ditunggu oleh satu team yang akan memberikan keputusan atas penawaran yang kami ajukan. Mereka mangajukan beberapa petanyaan yang menyangkut aspek teknis. Semua pertanyaan tersebut dijawab oleh Margono dengan lancar dan meyakinkan. Ada kira-kira tiga jam kami berdiskusi di sana, akhirnya mereka mengatakan bahwa penawaran kami, dapat mereka setujui dan kontraknya akan mereka persiapkan dan dapat ditanda tangani seminggu lagi. Alhamdulillah kami ucapkan, mendengar keputusan itu, dan saya katakan kepada Margono, sekarang sudah bisa mulai persiapan pekerjaan sambil
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

192

menunggu penanda tanganan kontrak pesanan. Minggu depan saya sendiri yang datang ke sana untuk menanda tangani kontrak pesanan atas nama PT Pagarmas. Saya pelajari isi kontrak tersebut, saya bersyukur ternyata dalam pasal syarat pembayaran dilakukan dua termin. Termin pertama pada saat penanda tanganan kontrak pembelian, dan termin kedua setelah barang diserahkan dan diterima baik oleh pemesan. Sekembali dari Bogor saya langsung memberitahukan kepada pak Syafni, bahwa Allah telah mengabulkan doa kita semua. Penawaran kita ke Balai Penelitian Tanaman Industri disetujui dan minggu depan kontrak pembeliannya sudah dapat ditanda tangani. Saya katakan, mungkin ini adalah isyarat dari Allah, bahwa PT Pagarmas Insya Allah dapat dikembangkan asal kita mau berusaha dan bekerja. Pak Syafni mengatakan, syukurlah, mudah-mudahan dibawah kepemilikan dan kendali buya PT Pagarmas dapat dimanfaatkan. Mulai sekarang pikirlah rencana perbaikan akte pendirian, khusus dalam bidang usahanya, sedangkan kepemilikannya saya serahkan semua saham saya kepada buya. Jadi buya adalah pemilik tunggal dari PT Pagarmas ini. Bila sudah siap, sewaktu-waktu kita pergi ke Notaris untuk perbaikan akte pendirian tersebut. Mendengar tawaran yang tulus itu, saya sungguh terharu, dan alangkah egoisnya saya jika tawaran tersebut saya terima begitu saja. Dari situ saya menilai pak Syafni bukanlah tipe orang materialis tetapi idealis. Sudah jelas terlihat keuntungan di hadapan mata, bahwa dengan pesanan pertama saja PT Pagarmas sudah mendapat keuntungan yang lumayan menurut ukuran waktu itu, tetapi beliau tidak minta bagian sedikit pun. Bahkan beliau memberikan perusahaannya kepada saya untuk dikembangkan, tanpa meminta kompensasi sedikitpun, sekarang maupun nanti. Alangkah mulianya hati pak Syafni, semoga arwah beliau dilapangkan Allah di dalam kuburnya. Saya bersyukur bahwa budi baik pak Syafni tersebut dapat saya balas walaupun tidak seimbang dengan jasa-jasa beliau kepada kami selama itu. Caranya ialah pada saat beliau dalam kesulitan keuangan untuk menebus rumah yang di Jalan Wastukancana no.5 (foto copy sekarang) Saya diberi Allah rezki cukup untuk menebus rumah tersebut atas nama beliau, sehingga beliau tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun. Atas kebaikan pak Syafni jugalah kita dapat menempati tiga persil di Wastukancana yang cukup strategis ini. Semoga bermanfaat dunia akhirat buat kita dan keturunan kita di belakang hari, Amin. Semoga kebaikan pak Syafni mendapat ganjaran yang berlipat ganda di sisi Allah, Swt. Amin. Berkat rahmat dan petunjuk Allah Swt, segala sesuatu berjalan lancar, baik dari pelaksanaan pesanan Balai Penelitian Tanam Industri Bogor, maupun pengalihan PT Pagarmas dari pak Syafni ke saya, dengan kepemilikan dan bidang usaha yang berbeda dengan sebelumnya.

Bergerak Dalam Bidang Kontraktor Termasuk Instalatur Listrik Berita tentang saya mendapat pesanan dari Balai Penelitian Tanaman Industri di Bogor dengan mengggunakan nama PT Pagarmas, mulai merambah ke teman-teman di PT Teknik Umum. Bagi teman-teman yang tadinya bersimpati kepada saya sudah mulai berdatangan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

193

bertamu ke kantor PT Pagarmas di Jalan Watukancana No.5. Mula-mula kedatangan mereka hanya mengobrol-ngobrol, belakangan satu persatu, minta bergabung, karena suasana kerja di PT Teknik Umum sudah tidak senyaman seperti dahulu lagi katanya. Saya katakan Insya Allah kita akan bergabung lagi, tetapi tentu disesuaikan dengan pekembangan. Doakan saja PT Pagarmas ini berkembang sehingga memungkinkan kita bergabung dalam waktu yang tidak begitu lama. Tahap pertama saya menerima Pieters, yaitu bawahan saya langsung sejak saya diangkat sebagai kepala bagian perdagangan di PT Teknik Umum cabang Bandung sejak beberapa tahun lalu yang saya anggap setia kepada saya selama ini. Pieters lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun dan dia bekas tentara Belanda (KNIL) dengan pangkat sersan. Dia lincah untuk menerobos ke kantor-kantor pemerintah, apalagi ke bekas-bekas relasi kita di PT Teknik Umum dulu. Sejak Pieters bergabung dengan PT Pagarmas, praktis perdagangan di PT Teknik Umum lumpuh, karena tidak ada pengganti kami, setelah kami berhenti. Enam bulan pertama kami hanya hidup dari order-order perdagangan saja dari Pabrik Kertas Padalarang, Perusahaan Jawatan Kereta Api, PN Telkom dan lain-lain. Untuk menata pembukuan dan keuangan, saya serahkan kepada Adang yang sudah lama berhenti dari PT Teknik Umum. Di Teknik Umum dia adalah asistennya Suyono sebagai kepala Pembukuan. Alhamdulillah, selama enam bulan pertama, modal kerja sudah mulai terkumpul sedikit demi sedikit. Karena sudah punya modal kerja walupun sedikit, kami mulai memberanikan diri menggerakkan bidang kontraktor. Langkah pertama yang kami lakukan untuk menggerakkan bagian kontraktor adalah mengurus izin-izin yang diperlukan. Ada tiga kelas izin waktu itu, yaitu klas C, adalah bagi kontraktor yang sanggup melaksanakan proyek-proyek senilai sampai Rp. 50 juta. Klas B, adalah untuk kontraktor yang sanggup melaksanakan pekerjaan antara Rp.50 juta sampai Rp. 500 juta, sedangkan klas A, adalah kontraktor yang sanggup melaksanakan pekerjaan diatas Rp.500 juta. Kami mengurus izin untuk kelas C saja dulu yaitu yang paling rendah. Setelah izin keluar kami mulai membuat surat pemberitahuan kepada semua client PT Pagarmas, bahwa PT Pagarmas sudah memiliki izin kontraktor klas C, dan dapat meladeni pekerjaan sipil dan sejenisnya. Dengan adanya izin tersebut kami minta agar setiap undangan tender pekerjaan sipil atau sejenisnya untuk klas C, kami minta diundang. Surat pemberitahuan tersebut, selain dikirimkan ke instansi-instansi pemerintah, perusahaan-perusahaan negara, juga ke pimpinan proyek pembangunan lima tahun (pelita). Salah satu surat pemberitahuan tersebut dikirimkan ke proyek cable duct Telkom di Jakarta. Alamat proyek ini saya peroleh dari seorang teman bernama Syarifuddin, pegawai telkom, orang Bukittinggi, tinggal di Jalan Pasang yang menjadi bendahara di proyek tersebut. Kebetulan waktu itu adalah awal tahun anggaran, dimana sedang banyak tendertender yang diadakan oleh pimpinan proyek. Diantara sekian banyak tender yang diikuti oleh PT Pagarmas, kami kebagian proyek pembuatan mebel untuk mengisi salah satu mess telkom di Jakarta. Dalam mempersiapkan dokumen tender-tender tersebut, seperti pembuatan proposal teknis dan proposal biaya adalah dengan cara bekerja sama dengan tenaga-tenaga ahlinya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

194

Seperti untuk mempersiapkan tender mebel proyek cable duct telkom tersebut adalah bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak dalam pembuatan mebel. Bila PT Pagarmas menang dalam proyek tersebut, maka kepada perusahaan yang menyiapkan dokumen tender tersebut sebagai pelaksananya. Cara ini sama dengan yang dilakukan terhadap pesanan Balai Penelitian Tanaman Industri, di Bogor beberapa bulan yang lalu. Bedanya hanya dari segi pembagian laba. Proyek pertama ini kami selesaikan tepat waktu, dengan hasil memuaskan, sehingga pimpinan proyek memuji pekerjaan PT Pagarmas, selaku pendatang baru. Tahun anggaran berikutnya kami diundang lagi untuk pekerjaan dengan nilai jauh lebih besar dari proyek penyiapan mebel. Yaitu penggalian cable duct antara kantor pusat Telkom di Gambir sampai ke simpang Harmoni meliwati bina graha (di samping istana) sejauh hampir tiga kilometer. Karena pekerjaan ini adalah pekerjaan sipil, maka dalam menyiapkan tendernya tidak dapat disamakan dengan proyek-proyek sebelumnya. Untuk itu kami minta bantuan tenaga kepada salah seorang yang sudah biasa menghitung anggaran biaya proyek sipil dari Pekerjaan Umum, Direkrorat Perumahan dan Gedung-gedung. Dia dibantu oleh seorang temannya yang sudah pensiun dari Pekerjaan Umum. Orangnya banyak berpengalaman di proyek-proyek, dengan harapan, bila proyek ini dapat dimenangkan, dia akan menjadi pengawas lapangan nanti. Saya menyetujui keinginan mereka ini, karena PT Pagarmas sendiri tidak mempunyai orang yang berpengalaman mengawasi proyek tersebut. Setelah mendapatkan teman yang notabene sebagai teknisi dan tenaga ahli PT Pagarmas, maka saya memberanikan diri untuk ikut serta tender dengan membeli dokumen tender tersebut. Kami (saya dan tenaga ahli dari Pekerjaan Umum) mengikuti rapat penjelasanpenjelasan teknis dan administratif yang diadakan oleh pimpinan proyek, untuk menyatukan pengertian dan keseragaman yang harus dipenuhi oleh para peserta tender nantinya. Sekembali dari rapat penjelasan (aanwijzing) yang diadakan oleh pimpinan proyek tersebut, antara kami membagi tugas. Tugas saya adalah melengkapi semua syarat-syarat administratif, sedangkan teman yang dari Pekerjaan umum mempersiapkan perhitungan biaya dan syarat-syarat teknis lainya. Salah satu syarat yang harus dilengkapi dalam tender tersebut adalah para peserta diwajibkan menyetor pada bank yang ditentukan sejumlah uang yang disebut dengan tender bond. Tender bond tersebut adalah sebagai jaminan, bila yang bersangkutan ditunjuk nanti sebagai pemenang tetapi yang bersangkutan mundur, maka tender bondnya menjadi jaminan. Penyiapan tender bond ini adalah kewajiban saya. Waktu untuk penyiapan dokumen tender kepada peserta hanya seminggu setelah hari rapat pemberian penjelasan diberikan oleh pimpinan proyek. Penerimaan dokumen tender ditetapkan pada hari yang ditentukan tepat jam 9.00 pagi. Bagi yang terlambat memasukkan dokumen tendernya dari jam 9.00 walaupun satu menit dinyatakan gugur. Kepada semua peserta diharapkan hadir untuk menyaksikan pembukaan dokumen tender tersebut, untuk menghindari protes-protes yang tidak berdasar di belakang hari. Pada saat rapat pembukaan tender dimulai, ternyata ada limabelas peserta yang memasukkan dokumen tendernya tepat waktu. Yang pertama diperiksa oleh panitia tender
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

195

adalah kelengkapan administrasi. ternyata ada tiga peserta yang gugur karena syarat-syarat administrasinya tidak lengkap, dan dinyatakan gugur. Dari duabelas peserta yang lengkap satu persatu dibuka usulan teknis dan usulan biayanya dibuka di tulis di papan tulis, kelengkapannya dan harga yang ditawarkan. Maksudnya supaya para peserta dapat melihat harga yang ditawarkan oleh para pesaingnya. Setelah semua dokumen tender dibuka, ternyata PT Pagarmas termasuk peserta yang lengkap syarat-syaratnya. Dalam hal harga penawaran PT Pagarmas menempati nomor lima terendah dari bawah. Setelah semuanya selesai, panitia tender mengumumkan kepada peserta tender, bahwa keputusan pemenang akan diumumkan lima hari mendatang. Dari Syarifuddin, bendaharawan proyek yang ditenderkan itu, bercerita kepada saya, biasanya waktu lima hari itulah kesempatan bagi para kontrakor peserta tender melakukan loby-loby dan servis kepada panitia supaya proyek tersebut jatuh kepadanya. Mendengar cerita yang jarang saya dengar itu, dalam hati saya berkata, saya tidak pandai berbuat sejauh itu dan mudah-mudahan tidak akan mau untuk selama-lamanya. Waktu lima hari sudah tiba. Besok adalah hari pengumuman pemenang tender yang dibuka lima hari lalu. Alhamdulillah PT Pagarmas dinyatakan sebagai pemenang dengan penjelasan dan alasan panitia tentang keunggulannya dibanding dengan peserta lainnya. Mendengar keputusan itu, para peserta lain, sekalipun belum kenal mengucapkan selamat kepada saya. Di antara teman-teman yang mengucapkan selamat kepada saya ada seorang yang memberikan kartu namanya kepada saya dan minta kartu nama saya, sambil mengatakan kapan-kapan kita ketemu katanya. Setelah dia pergi saya perhatikan kartu namanya, rupanya dia Direktur Utama dari PT Portanigra. Namanya Ir. Purwanto Rahmat, alamat kantor Jalan Tanah Abang III No.4 Jakarta Pusat. Dua hari setelah itu dia menelpon saya, yang kebetulan sedang ada di Bandung. Dia mengatakan ingin bertemu dengan saya, dan minta saya menunggu dia sebentar lagi akan datang, karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan, katanya. Baiklah saya tunggu, kebetulan saya tidak ke mana-mana kata saya. Kira-kira setengah jam setelah itu dia datang dengan mobil mercedez baru. Waktu kita berkenalan berbasa basi, dia mengatakan bahwa, baru datang dari rumah orang tuanya di Jalan Papandayan No. 4. Saya katakan Jalan Papandayan No.4 itu kan rumah pak Oei. Dia bilang ia, itu ayah saya katanya. Saya kenal dengan pak Oei karena beliau adalah sebagai pengusaha barang-barang teknik. Sejak masih menjadi kepala perdagangan di PT Teknik Umum sering memesan barang dari beliau. Dia mengajak saya kerjasama dalam proyek cable duct yang baru saya menangkan itu. Alasannya adalah dia mempunyai alat-alat dan tenaga yang cukup, untuk menyelesaikan proyek tersebut sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam proyek tersebut berakhir. Sebagai kompensasinya bapak menerima dari saya bersih senilai satu buah mersedez baru katanya. Mendapat tawaran tersebut yang datang dari seorang yang saya kenal baik dengan bapaknya, pikiran saya mulai bimbang, apakah akan di subkan saja kepada Purwanto dan menerima untung bersih saja tanpa resiko. Dari pikiran lain mengatakan, kalau Purwanto berani mengerjakan proyek tersebut dengan mengeluarkan uang senilai satu mersedez, tentu dia akan beruntung paling sedikit dua buah mersedez dari proyek tersebut. Saya katakan, tawaran kerja sama saya sambut dengan baik, apalagi dengan putranya orang yang saya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

196

sudah kenal lama, tetapi untuk pelaksanaan proyek ini akan saya bicarakan dulu dengan teman-teman. Untuk itu saya mohon waktu dua atau tiga hari ini, nanti akan saya beri kabar. Setelah dia pergi, saya pikir adalah tidak etis kalau saya harus ingkar janji dengan teman dari Pekerjaan Umum yang telah susah payah menyiapkan dokumen tender itu sampai berhasil memenangkannya secara murni. Sambil mencari pengalaman untuk pertama kali lebih baik proyek itu dikerjakan sendiri, sesuai dengan pembicaraan semula dengan teman dari Pekerjaan Umum dan teman yang membantunya. Kesimpulan ini saya sampaikan kepada Purwanto, dengan janji kerja sama akan dilanjutkan untuk proyek-proyek lainnya, karena untuk proryek ini saya sudah ada komitmen dengan teman-teman, tidak enak untuk memungkirinya. Sambil menunggu penyelesaian kontrak dan pembayaran termin pertama, kami sudah menyiapkan direksi kit (bedeng kerja) sesuai dengan bestek yang berlokasi di pinggir jalan silang monas. Karena daerah itu adalah daerah rentan kejahatan, maka pengamanannya harus orang yang dapat menguasai daerah itu. Kebetulan melalui rekomendasi Rujai, ada seorang bekas RPKAD yang terakhir bertugas sebagai anggota Team Pemberantas Kejahatan di wilayah Jakarta Pusat, yang sudah pensiun dengan pangkat terakhir sersan. Yang akan memegang administrasi dan keuangan diberi kesempatan kepada Yudistira, anak kakanda Johar. Bahan-bahan utama dalam proyek ini di sediakan oleh pimpinan proyek seperti pipa plastik dan semen. Kontraktor hanya menyiapkan bahan-bahan pembantu saja seperti koral, pasir, besi beton dan lain-lain termasuk tenaga kerja. Pengawas lapangan adalah pensiunan Pekerjaan Umum yang membantu menyiapkan tender tempo hari. Saya hanya dua atau tiga hari di akhir minggu ada di proyek, untuk membayar upah dan membayar hutang kepada suplier.. Awal-awal proyek, sampai prestasi kerja mencapai 70% segala sesuatu berjalan lancar. Sejak termin pertama, kedua dan ketiga diterima, pembayaran upah buruh termasuk pembayaran bahan-bahan kepada suplier selalu tepat waktu. Sesungguhnya bila proyek itu beruntung dan managemen keuangan baik, nilai uang dari termin pertama, kedua. ketiga dan seterusnya itu cukup untuk menjamin proyek berjalan lancar sampai selesai, tanpa injeksi modal sendiri. Termin terakhir merupakan keuntungan. Kenyataannya, tidak demikian. Untuk menyelesaikan sisa prestasi yang 30% saya selalu berkeluh kesah, karena kekurangan likwiditas. Laba-laba dari proyek-proyek lain tersedot untuk menutupi kekurangan likwiditas menyelesaikan proyek ini. Ini sudah merupakan sinyal, bahwa proyek ini sudah merugi sejak awal, tetapi terlambat mengetahuinya, sehingga tidak dapat mengontrol dari pos-pos mana yang menyebabkan kerugian kerugian itu. Fakta akhir menunjukkan bahwa dari proyek ini, PT Pagarmas merugi senilai sebuah mersedez baru. Benar kata orang bijak, bahwa guru yang paling pintar adalah pengalaman, selama mau menjadikan pengalaman itu sebagai koreksi di masa datang. Bila tidak, maka yang bersangkutan menjadi lebih bodoh dari keledai, karena keledai sendiri tidak mau tersandung di tempat yang sama. Sewaktu saya sedang sibuk-sibuknya menghadapi proyek cable duct dari Telkom, datang menemui saya Basari yang sudah lebih dahulu berhenti beberapa tahun dari PT Teknik Umum dari pada saya. Basari lebih tua dari saya beberapa tahun, dan selama di PT Teknik
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

197

Umum dia adalah kepala bagian perencanaan proyek-proyek listrik. Dia datang dengan membawa usul agar PT Pagarmas membuka unit instalatur. Usul ini dia ajukan karena dia mempunyai hubungan dekat dengan beberapa pejabat PLN di Jawa Barat, Dia menjanjikan Insya Allah bisa mendapat proyek kelistrikan, tetapi tidak mempunyai wadah untuk itu. Dia mengharapkan PT Pagarmas menjadi wadahnya, dimana dia bisa ikut hidup di situ, katanya. Sarannya itu dapat saya pahami, dan saya setujui, supaya dipersiapkan segala sesuatunya kearah pengaktifkan unit instalatur listrik tersebut. Setelah proyek cable duct selesai dengan hasil babak-belur, dimana PT Pagarmas menderita kerugian riel senilai sebuah mesedez baru, atau imaginer dua buah mersedez baru. Saya bertekad untuk memusatkan perhatian pada unit instalatir, yang disarankan oleh Basari. Bidang instalatir listrik dan air, tidak begitu asing bagi saya, karena bergaul dengan banyak teknisi listrik plumbing di PT Teknik Umum. Main bisnis PT Teknik Umum adalah bidang kelistrikan dan plumbing bukan pekerjaan sipil. Waktu saya masuk kantor di Bandung, kebetulan Basari sudah dua hari masuk kantor sambil mengerjakan sesuatu dan menunggu kedatangan saya. Dia mengatakan bahwa dia sedang merencanakan instalasi listirik untuk kantor Areal Survey, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pemetaan dan pengukuran melalui pemotretan dari udara. Kami sudah berteguh hati untuk mengaktifkan unit instalasi listrik dan instalasi air minum dalam PT Pagarmas. Untuk itu persyaratan adminstratifnya harus dipersiapkan mulai sekarang, kata saya. Salah satu syarat untuk bergerak dalam bidang instalatir listrik, adalah izin dari Perusahaan Listrik Negara. Untuk mendapatkan izin instalatir, di dalam perusahaan tersebut mesti ada seorang insinyur listrik yang lulus ujian dari PLN sebagai penanggung jawab teknisnya di belakang hari. Waktu itu orang yang bergelar insinyur belum banyak, apalagi orang Parit Putus belum ada, lebih-lebih jurusan listrik. Saya ingat salah seorang teman. Namanya Ir. Han Hoe Go dan nama Indonesianya Hanjaya, dulu sekantor dengan saya. Dia bekerja di Siemens dan saya bekerja di PT Teknik Umum bagian Siemens. Berkantor di satu atap di Jalan Kebon Sirih No. 4 Jakarta. Dia sudah berhenti dari Siemens beberapa tahun yang lalu. Saya datang ke rumahnya di Jalan Lembong, di belakang hotel Panghegar, untuk menanyakan kesediaannya menjadi tenaga ahli di PT Pagarmas. Dia berkewajiban melakukan supervisi proyek-proyek kelistrikan yang dilaksanakan oleh PT Pagarmas. Statusnya adalah sebagai pegawai lepas dengan kondisi sekian persen dari nilai proyekproyek yang selesai, di mana dia bertanggung jawab secara teknis kepada PLN. Ir Hanjaya menyetujui hak dan kewajiban kerja sama dengan PT Pagarmas, yang kebetulan dia baru saja pisah kerja sama dengan temannya dalam bidang perencanaan. Begitu dicapai persetujuan, kami segera mengurus surat menyurat dan persyaratan lainnya yang akan diajukan ke PLN untuk mendapatkan izin instalatir. Tidak lama setelah pengajuan izin tersebut Hanjaya dipanggil untuk di test di PLN. Alhamdulillah sebulan kemudian, izin instalatir dari PLN sudah diperoleh dimana Ir. Hanjaya sebagai penanggung jawab teknisnya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

198

Sementara kami mengurus izin instalatir dengan Hanjaya, rupanya Basari melanjutkan perencanaan instalasi listrik untuk kantor Areal Survey yang berlokasi di Jalan Setiabudi Bandung. Basari mengatakan bahwa gambar rencana instalasi listrik untuk kantor Areal Survey sudah disetujui oleh Direktur Utama Areal Survey, tinggal mengajukan ke PLN. Mendengar bahwa izin instalasi kita sudah keluar, jadi kita tidak perlu lagi mencari instalatur lain untuk diajukan ke PLN katanya. Insya Allah ini adalah proyek instalasi listrik pertama PT Pagarmas. Pada kesempatan itu Basari menyerahkan gambar rencana instalasi yang dia siapkan berikut anggaran biayanya kepada Hanjaya untuk di supervisi. Bila tidak ada perbaikan supaya ditanda tangani, gambar rencananya untuk diajukan ke PLN. Sedangkan anggaran biayanya akan diajukan kepada Areal Survey, untuk mendapat persetujuan dan dituangkan dalam Kontrak. Hanjaya mengerjakan pekerjaan supervisi di rumahnya. Dua hari setelah itu dia datang ke kantor, menyerahkan gambar instalasi tersebut dengan beberapa catatan yang akan di diskusikan dengan Basari. Setelah disepakati perbaikan yang disarankan oleh Hanjaya maka gambar-gambar tersebut ditanda tangani dan diserahkan ke PLN. Bersamaan dengan itu surat penawaran pun diajukan kepada Areal Survey, untuk minta persetujuan. Alhamdulillah dalam waktu dua minggu persetujuan anggaran biaya disetujui oleh Direksi Areal Survey yang dilanjutkan menjadi Kontrak Kerja. Setelah itu disusul dengan persetujuan dari PLN untuk menyediakan daya listrik sebesar yang diminta. Melihat lancarnya urusan selama hampir dua bulan ini, dalam hati saya berkata, mungkin Allah akan mengganti sebagian dari kerugian yang saya derita dari proyek cable duct yang rugi beberapa waktu yang lalu. Atau mungkin juga Allah menunjuki bahwa instalasi listrik yang lebih cocok untuk didjadikan main bisnis PT Pagarmas dibanding dengan pekerjaan sipil. Allah lah yang Maha Mengetahui. Sebelum kontrak ditanda tangani, kami sudah menyiapkan rencana kerja supaya proyek ini selesai sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak berakhir. Basari mengatakan bahwa sekarang kita sudah memerlukan seorang pengawas lapangan yang berpengalaman dan bisa bekerja keras dan cepat. Kebetulan beberapa waktu yang lalu Fazar, salah seorang pengawas lapangan senior di PT Teknik Umum menelepon saya, mengatakan, bahwa sekarang dia banyak menganggur karena tidak ada proyek katanya. Kalau di Pagarmas sudah ada pekerjaan supaya dia diberi tahu untuk bergabung. Informasi ini saya sampaikan kepada Basari dan Hanjaya, mereka setuju untuk menerima Fazar sebagai pengawas lapangan di proyek Areal Survey. Sedangkan tenaga kasar di lapangan, Fazar sudah mengetahui sumbernya dan kemampuannya masing-masing, dan mudah di peroleh. Satu hari setelah kontrak ditanda tangani, kami sudah siap dengan tenaga dan barangbarang yang diperlukan di lapangan. Dalam waktu yang tidak begitu lama perkembangan pekerjaan sudah mengikuti perkembangan pekerjaan sipil, penagihan juga lancar sesuai dengan prestasi pekerjaan yang tercantum dalam kontrak. Akhirnya proyek selesai dengan mendapat pujian dari Areal Survey dalam bentuk piagam

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

199

Sejak itu percaya diri kami bidang instalatir mulai tumbuh, dan Basari juga lebih giat meloby pejabat-pejabat PLN di tingkat Wilayah maupun di tingkat Cabang. Satu persatu pekerjaan instalasi listrik kami peroleh dari PLN, Kotamadya Bandung, Perusahan Negara Kereta Api (PNKA) dan lain-lain. Dari Kotamadya Bandung, pekerjaan pertama kami laksanakan adalah pemasangan lampu jalan di Jalan Wastukancana, mulai dari simpang Braga sampai ke ujung Jalan Purnawarman. Walikota waktu itu adalah Kolonel Otje Djundjunan. Beliau puas dengan hasil pekerjaan kami, yang dianggap rapi dan selesai tepat waktu. Beliau mengetahui bahwa saya adalah anggota legiun veteran Kotamadya melalui riwayat hidup Direktur Perusahaan yang dilampirkan sewaktu mengirim surat perkenalan pertama kali. Beliau meneyebut PT Pagarmas sebagai kontraktor veteran. Dari PLN , pekerjaan pertama adalah pendirian tiang listrik dan penarikan kabel di salah satu kecamatan di Purwakarta. Dari PNKA pekerjaan pertama adalah pemasangan instalasi listrik dari gardu induk yang berlokasi di dalam Stasion Bandung ke beberapa titik sinyal, dalam rangka peralihan sistem operasi sinyal dari manual ke sistem elektronik. Proyek-proyek tersebut umumnya memberi sumbangan yang cukup berarti dalam menutupi kerugian yang lalu dan membentuk modal kerja yang baru, sehingga sempat mempunyai mobil sedan merk consul untuk kerja dan sebuah truk untuk mengangkut barang ke proyek-proyek. Unit perdagangan yang di kelola oleh Pieters tetap berjalan sebagaimana biasa. Beda antara unit perdagangan dengan unit kontraktor ialah, dalam unit perdagangan laba atau ruginya sudah dapat diukur dengan hampir pasti sebelumnya, sedangkan dalam unit kontraktor sewaktu-waktu bisa untung besar dan diwaktu yang lain bisa rugi besar. Banyak faktor-faktor extern yang mempengaruhinya. Pada suatu hari ada berita di harian Pikiran Rakyat, bahwa Walikota akan melakukan rehabilitasi pipa-pipa air minum baik saluran induk maupun saluran distribusi secara bertahap. Untuk tahap pertama akan dimulai di 53 lokasi yang tersebar di seluruh kotamadya Bandung. Rencana ini adalah dalam rangka meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam bidang air minum. Karena anggaran biaya untuk proyek tersebut tidak tersedia, maka kepada kontraktor diminta ikut berpartisipasi dengan cara pre financing. Pembayaran kepada kontraktor akan dilakukan dari kenaikan pendapatan hasil instalasi yang di rehabilitir tersebut. Diperkirakan proyek tersebut akan selesai paling lambat 6 bulan. Pembayaran kepada kontraktor akan dilakukan setelah proyek tersebut selesai seratus persen, dalam duapuluh kali cicilan bulanan. Kepada kontraktor yang berminat, dipersilakan mengajukan surat penyataan berminat dengan kesanggupan menerima syarat pembayaran seperti yang di beritakan. Penjelasan lebih detail dapat menghubungi pejabat yang ditunjuk di Kotamadya Bandung. Setelah membaca berita tersebut saya dan Basari pergi mencari informasi ke pejabat yang ditunjuk. Kami adalah kontraktor pertama yang menghubungi mereka dan berminat, karena kebetulan kantor kami dengan Kotamadya berdekatan. Pejabat yang menemui kami, membawa gambar dan peta lokasi daerah-daerah yang akan diadakan rehabilitasi tersebut. Dia mengatakan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

200

bahwa nanti semua peminat akan diundang untuk mendapat penjelasan yang lebih detail sambil meninjau lapangan, katanya. Sekembali dari sana, Basari sangat berminat dengan proyek ini, karena menurut dia instalasi air minum jauh lebih gampang dibanding dengan instalasi listrik. Lebih-lebih proyek ini adalah jaringan distribusi, boleh dikatakan tidak ada resikonya, katanya. Dari uraian Basari tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa dari segi teknis kita sanggup mengerjakannya. Sekarang bagian saya yang akan memikirkan dari segi pembiayaannya. Dengan dana sendiri, sudah pasti PT Pagarmas tidak akan sanggup membiayainya. Oleh karena itu, sebelum kami membuat surat kesediaan ke Kotamadya, saya hubungi dulu Bank Negara Indonesia, menanyakan apakah mereka mau ikut membiayai pekerjaan dengan syarat pembayaran yang seperti demikian. Dari Bank Negara Indonesia, saya mendapat informasi mereka dapat membiayai maksimal sebesar 60% dari nilai proyek. Mendapat penjelasan itu, kami memberanikan diri untuk mengikuti tender proyek rehabilitasi instalasi air minum dengan mengajukan harga senilai dua kali lipat dari harga pokok riel. Jika disetujui, berarti dana untuk membiayai proyek tersebut seluruhnya bisa berasal dari pinjaman Bank Negara Indonesia. Karena kami sudah berketetapan hati untuk mengikuti tender proyek tersebut, maka besoknya kami menyiapkan dan mengantarkan surat kesediaan PT Pagarmas kepada Pimpinan Proyek Rehabilitasi Instalasi Air Minum, di Kotamadya Bandung. Pada tanda terima yang kami terima di situ sudah termuat jadwal kegiatan, seperti undangan untuk rapat penjelasan, peninjauan di lapangan, tanggal pemasukan penawaran, tanggal pembukaan tender dan tanggal pengumuman pemenang. Sambil menunggu jadwal, waktu kami manfaatkan mencari harga barang-barang yang diperlukan, dan sumber-sumber yang lebih murah, untuk dihubungi bila waktunya sudah tiba nanti. Seluruh kegiatan yang tercantum dalam jadwal, kami ikuti dengan seksama, terakhir adalah pemasukan dokumen penawaran. Pada saat memasukkan dokumen penawaran, kami merasa pesimis akan dapat menang dalam tender tersebut, karena pesaing kami terdiri dari perusahaan-perusahaan besar dan mempunyai hubungan yang relatif dekat dengan pejabatpejabat di Kotamadya. Ada delapan peserta tender yang mengajukan penawaran diantara sebelas yang mengajukan surat sebagai peminat. Jadi berarti ada tiga perusahaan yang mengundurkan diri. Rasa pesimis itulah yang menyebabkan saya tidak begitu memperhatikan lagi atas penawaran yang diajukan. Dalam hati sudah pasrah, dapat syukur, tidak dapat juga tidak apa. Saya pikir harga yang diajukan, terlalu tinggi dibanding dengan pesaing lainnya, yaitu dua kali lipat dari harga pokok riel. Disamping itu perkuliahan saya jurusan Akuntansi juga minta perhatian yang lebih intensif, karena tidak lama lagi ujian tertulis akan mulai untuk semester terakhir. Alangkah kagetnya saya, karena satu hari sebelum tanggal pengumuman pemenang ada seorang pegawai Kotamadya datang ke kantor menemui saya. Dia menanyakan, kenapa dari PT Pagarmas tidak ada yang hadir pada saat pembukaan tender. Saya beralasan kami sedang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

201

ke luar kota pada hari itu. Dia mengucapkan selamat kepada saya, atas keberuntungan PT Pagarmas memenangkan tender rehabilitasi instalasi air minum tersebar di 53 lokasi dalam Kotamadya Bandung. Orang itu bercerita, bahwa berdasarkan penilaian panitia lelang, yang menang adalah perusahaan lain yang menawarkan paling rendah, sedangkan PT Pagarmas terendah nomor dua. Pada saat panitia melaporkan hasil penilaian ini kepada pak Walikota, beliau merekomendasikan supaya serahkan saja kepada perusahaan veteran yang nomor dua saja. Perusahaan pemenang pertama, kita belum kenal hasil kerjanya, sedangkan perusahaan veteran kita sudah tahu prestasi kerjanya, kata beliau. Bedasarkan rekomendasi pak Walikota tersebut panitia memutuskan pemenangnya adalah PT Pagarmas. Informasi itu saya anggap sebagai suatu isue saja, karena pengumumannya baru besok. Untuk tidak mengecewakan orang tersebut, saya katakan terima kasih atas informasinya, dan saya katakan sesuai dengan jadwal, maka saya akan hadir besok menunggu pengumuman resmi dari panitia lelang. Pegawai Kotamadya yang datang bertamu tersebut, sepintas lalu bukanlah termasuk pegawai golongan atas, dan tidak mungkin orang tersebut termasuk anggota panitia lelang. Sepanjang pengetahuan saya, panitia lelang dalam mengadakan rapat-rapat untuk memilih pemenang dari suatu proyek selalu dilakukan secara rahasia. Tidak mudah untuk mengetahui isi pembicaraan dalam rapat tersebut. Kesimpulan saya menilai informasi tersebut adalah dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, berita tersebut adalah berita bohong dan rekayasa, bisa betul bisa tidak. Kemungkinan kedua adalah, bila berita tersebut adalah benar, alangkah cerobohnya panitia bekerja, sehingga tidak ada lagi rahasia untuk yang patut dirahasiakan. Pada saat saya hadir dalam pertemuan pengumuman pemenang lelang, alangkah kagetnya saya, karena memang PT Pagarmas memenangkan tender tersebut. Saya bersyukur karena telah memenangkan tender, sebaliknya kecewa melihat cara kerja pejabatpejabat pemerintah di waktu itu. Yang saya perlihatkan di hadapan umum hanya kegembiraan saja, sedangkan kekecewaan saya, saya simpan sebagai bekal untuk setiap berurusan dengan pejabat pemerintah dibelakang hari. Sudah menjadi tradisi di antara kontraktor yang ikut tender, dimana yang tidak beruntung memenangkan tender, memberi ucapan selamat kepada pemenang sambil menanyakan kapan makan-makannya. Pemenang tender biasanya langsung mengajak panitia lelang dan rekan-rekan peserta tender makan-makan setelah selesai pengumuman. Undangan makan tersebut biasanya diadakan di restoran-restoran ternama di kota itu. Tradisi itu pun saya ikuti, dari pihak PT Pagarmas ikut Hanjaya, Basari dan Fazar, sekalian memperkenalkan mereka yang akan sering berada di proyek nantinya. Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasangan, ada laki-laki ada perempuan, ada siang ada malam, ada gembira ada sedih dan seterusnya. Saya telah diberi kegembiraan oleh Allah dengan memenangkan pekerjaan rehabilitasi instalasi air minum, tetapi ini pula yang menjadikan malapetaka, sampai menyedot seluruh laba yang saya kumpulkan selama di PT Pagarmas, bahkan hampir-hampir rumah di Jalan Gempol Wetan disita oleh Bank Perniagaan Indonesia. Jalan ceritanya adalah begini. Pada saat pengumuman pemenang, oleh ketua panitia mengimbau kepada pemenang untuk segera mulai bekerja sambil menunggu proses penanda
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

202

tanganan kontrak. Dalam pelaksanaan pekerjaan supaya selalu berkonsultasi dengan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota sebagai pengawas lapangan mewakili pihak Walikota. Imbauan tersebut kami tanggapi positif dan berprasangka baik, oleh sebab itu kami siapkan rencana kerja bidang tenaga kerja, dan logistik jangan sampai pekerjaan terganggu di tengah jalan. Untuk mencapai target waktu, kami menyiapkan tiga kelompok kerja yang akan bekerja secara simultan dilokasi yang berdekatan, dibawah seorang pengawas lapangan. Kepada Fazar selaku pengawas lapangan kami minta untuk menyiapkan tenaga untuk tiga lokasi yang akan dierjakan secara simultan sekaligus. Tiap-tiap lokasi terdiri dari dua orang tenaga yang terampil pemasangan pipa, empat orang tukang gali. Masing-masing berdasarkan upah harian. Penyediaan logistik dan persiapan upah adalah kewajiban Basari dan saya. Untuk menyiapkan tenaga kerja, peralatan kerja dan barang-barang yang diperlukan memakan waktu lima hari. Hari keenam sejak penunjukan kami sudah mulai bekerja sesuai dengan imbauan ketua panitia lelang, tanpa menunggu penanda tanganan kontrak terlebih dahulu. Kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun bahwa Kotamadya akan ingkar janji. Alhamdulillah saya waktu itu dipercaya oleh banyak toko-toko besi yang menjual pipa air dan alat-alat perlegkapannya. Begitu juga toko-toko alat-alat listrik yang besar di Bandung. Untuk mendapatkan kredit sampai satu bulan tidak begitu susah. Untuk kebutuhan proyek PT Pagarmas selama ini saya tinggal telepon dan menentukan harganya, bila saya setuju barang mereka kirim. Pembayarannya biasanya saya lakukan bila keuangan sudah memungkinkan, sebelum mereka menagih. Bila keuangan kami belum memungkinkan saya telepon mereka untuk minta waktu beberapa hari lagi. Demikian juga yang kami lakukan dalam menghadapi proyek rehabilitasi instalasi air minum yang sedang kami hadapi. Sudah lima belas hari proyek berjalan, sudah enam lokasi yang sudah selesai dikerjakan, tetapi kontrak belum juga ditanda tangani. Saya menghubungi sekretaris Walikota di Kotamadya. Dari yang bersangkutan saya mendapat jawaban bahwa sudah disiapkan dan sudah ada diatas meja pak Walikota untuk ditanda tangani. Saya katakan, sebelum ditanda tangani oleh pak Walikota, apakah saya boleh membaca sebentar. Dia bilang, boleh sambil berdiri dan menuju ruang pak Walikota, karena pak Walikota sedang tidak ada dalam ruangannya. Setelah saya baca pasal-pasal yang penting dalam kontrak tersebut, ternyata dalam pasal syarat pembayaran ada beberapa kalimat yang dapat diartikan bermacam-macam interpretasi. Kalimat yang dimaksud adalah Sumber dana untuk membayar kepada Pihak kedua (kontraktor) berasal dari kenaikan volume air yang dijual sebagai hasil dari rehabilitasi. Saya katakan, kalimat ini tidak relevan dengan materi kontrak kerja yang akan ditanda tangani. Itu adalah masalah intern Kotamadya, bukan konsumsi pihak luar. Keberatan saya tersebut akan dikonsultasikan kembali dengan anggota panitia lainnya, Saya diminta bersabar agak seminggu lagi. Saya katakan bahwa sesuai dengan anjuran Ketua Panitia pada saat penunjukan pemenang, agar kami mulai bekerja sambil menunggu kontrak dipersiapkan. Himbauan tersebut sudah kami laksanakan sepenuh hati. Sampai hari ini sekalipun kontrak belum ditanda tagani, tetapi proyek sudah selesai sebanyak enam lokasi atau sekitar 10%. Saya katakan, agar pihak Kotamadya juga membantu kami untuk kelancaran proyek ini.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

203

Kondisi likwiditas PT Pagarmas waktu sudah berada ada pada posisi yang sulit. Plafond kredit yang diperoleh dari Bank Perniagaan Indonesia sudah habis terpakai, bahkan hari jatuh temponya juga sudah dekat. Semuanya tersedot untuk menggenjot proyek ini supaya cepat selesai. Diharapkan kontrak sudah ditanda tangani. Dengan ditanda tanganinya kontrak tersebut saya sudah bisa pergi ke Bank Negara Indonesia untuk mendapatkan kredit dari BNI yang pernah dijanjikan dulu bisa di realisir. Kenyataannya sebaliknya, bahkan kontrak saja sampai hari itu belum ditanda tangani. Saldo kas waktu itu hanya cukup untuk gaji dan upah tukang selama sebulan mendatang, sedangkan untuk keperluan logistik masih bisa diambil dari toko-toko langganan, dengan pembayaran kemudian. Dengan demikian, kesulitan keuangan yang dihadapi oleh manajemen belum terasa sampai ke pelaksanaan di proyek. Dalam situasi hampir panik demikian, saya datang lagi menemui sekretaris Walikota menanyakan sampai dimana proses Kontrak yang dijanjikan beberapa hari yang lalu. Rupanya baru pagi itu kontrak ditanda tangani oleh bapak Walikota, tinggal giliran saya menanda tangani kontrak tersebut. Setelah saya tanda tangani, satu set diserahkan kepada saya. Dengan diterimanya kontrak tersebut saya pikir kesulitan likwiditas perusahaan Insya Allah akan teratasi. Besoknya saya pergi ke BNI membawa kontrak tersebut, ingin bertemu dengan kepala Cabang yang saya temui lebih kurang dua bulan lalu. Alangkah kagetnya saya bahwa waktu itu kepala cabang BNI yang lama sudah pindah dan digantikan dengan kepala cabang yang baru.. Kepada kepala cabang yang baru saya katakan bahwa saya sudah konsultasi dengan kepala cabang yang lama, bahwa saya akan mendapatkan proyek rehabilitasi pipa air minum dari Kotamadya Bandung. Waktu itu beliau mengatakan, nanti bila proyek itu sudah menjadi kenyataan, BNI dapat memberikan kredit sebesar maksimal 60% dari nilai proyek. Sekarang proyek itu sudah berjalan, ingin mengajukan kredit ke BNI untuk menyelesaikannya. Kepala cabang BNI yang baru, melihat-lihat isi kontrak tersebut, setelah itu, dan memperkenalkan saya dengan bagian kredit. Bagian kredit minta supaya saya mengajukan surat permohonan, Nanti kami bahas, katanya. Besoknya saya kembali lagi dengan membawa surat permohonan kredit sebesar 60% dari nilai kontrak. Dalam pikiran saya bila permohonan kredit ini disetujui separohnya saja sudah cukup untuk menyelesaikan poyek ini 100%. Bahkan sudah ada lebihnya untuk mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan. Selanjutnya tinggal menagih tiap bulan sebesar 5% dari nilai proyek untuk masa dua puluh bulan. Demikian syarat pembayaran dalam kontrak. Sewaktu mengantarkan surat permohonan tersebut, saya diminta kembali dua hari lagi. Saya berdoa semoga Allah memudahkan urusan saya ini, karena ini merupakan penyelamat dari usaha yang sudah saya rintis beberapa tahun yang lalu. Di hari yang ditentukan saya datang lagi menghadap bagian ktedit BNI. Dari sana saya mendapat penjelasan, bahwa permohonan PT Pagarmas sudah kami bahas. Kesimpulannya adalah, bila proyek ini dibiayai dari anggaran Perencanaan Lima Tahun (Pelita) permohonan tersebut segera dapat kami kabulkan. Tetapi karena proyek ini dibiayai dari anggaran rutin Kotamadya, maka kami menghendaki satu syarat lagi. Yaitu Surat jaminan dari Walikota
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

204

yang menyatakan, bila PT Pagarmas tidak melakukan pembayaran kepada BNI sesuai dengan syarat yang tercantum dalam Perjanjian Kredit maka Walikota akan menjamin pembayaran utang tersebut kepada BNI. Bila ini sudah ada maka permohonan bapak dapat kami realisir, katanya. Mendengar permintaan tersebut saya merasakan seperti petir di siang hari. Syarat itu mudah tapi sulit. Apakah Walikota mau membuat surat jaminan tersebut?. Bukankah itu tumpang tindih dengan kontrak yang ditanda tanganinya sendiri?. Sekalipun demikian akan saya coba membicarakannya melalui pak Sekretaris Walikota. Siapa tahu beliau mau mengerti kesulitan saya menyelesaikan proyek ini. Kepada Sekretaris Walikota saya kemukakan masalah yang saya hadapi dalam menyelesaikan proyek ini selaku pengusaha peribumi dengan modal lemah. Sampai sekarang prestasi kerja kami sudah mencapai lebih kurang 50% atau 27 lokasi dari 53 lokasi yang tercantum dalam kontrak. Seluruh dana kami sudah tersedot ke dalam proyek tersebut, sedangkan untuk menyelesaikan sisanya kami sudah mengajukan permohonan kredit ke BNI. Pada prinsipnya BNI akan memberikan kredit untuk proyek ini, hanya saja karena anggaran biaya untuk proyek ini bukan berasal dari anggaran Pelita, tetapi dari anggaran rutin. Untuk merealisir kredit tersebut diperlukan surat jaminan dari pak Walikota, yang menyatakan, bila saya nanti mungkir janji dalam membayar kembali kredit tersebut maka Walikota Bandung akan membayarnya. Saya berikan argumentasi sebagai berikut; Jaminan bagi pak Walikota, bahwa saya tidak akan ingkar janji, saya akan membuat surat kuasa kepada Bagian Keuangan Kotamadya untuk mentransfer seluruh tagihan saya nanti ke BNI, jadi tidak melalui tangan PT Pagarmas. Menurut pikiran saya sistem saling terikat demikian tiga pihak berada dalam posisi aman. BNI aman dan ada kepastian bahwa kredit yang diberikan akan dibayar langsung oleh pemberi pekerjaan. Kotamadya aman dari resiko surat jaminan yang dia keluarkan karena dia mempunyai kewajiban membayar kepada PT Pagarmas atas prestasi yang dia kerjakan. PT Pagarmas juga aman karena mendapat kepastian bahwa Kotamadya akan malakukan pembayaran sesuai dengan isi kontrak yang ditanda tangani bersama. Selain dari itu Pagarmas lepas dari kesulitan keuangan dan proyek bejalan lancar. BNI juga mendapat laba dari kredit yang dia keluarkan. Win-win solution. Allah menentukan lain, sekalipun selaku manusia sudah berusaha memilih jalan yang terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah, bila tidak ada izin Allah, pasti hal tersebut tidak akan terjadi. Sewaktu sekretaris Walikota menyampaikan permohonan saya tersebut kepada pak Walikota, beliau merasa tersinggung. Beliau mengatakan, dia yang mau meminjam uang kenapa saya mesti menjamin, katanya. Kalau tidak cukup modal jangan saja menjadi kontraktor dan menyatakan sanggup membiayai terlebih dahulu proyek sampai selesai. Jawaban singkat itu disampaikan oleh Sekretaris Walikota kepada saya setelah beberapa hari kemudian. Saya menilai jawaban itu memperlihatkan ketidak tahuan seorang kolonel tentang seluk beluk bisnis, bahwa bisnis itu dimana saja di dunia ini, tidak mungkin terlepas dari utang dan piutang. Bisa juga jawaban itu di dorong oleh rasa otoriter yang selalu merasa diri selalu
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

205

benar, karena pernah saya melihat beliau datang ke kantor dikawal oleh seorang pengawal dengan senjata stengun di tangan. Walikota pada awalnya menilai kepada PT Pagarmas positif dan bersimpati dengan panggilan kontraktor veteran, sekarang berbalik menjadi negatif dan curiga.. Putus sudah harapan untuk mendapatkan kredit dari BNI, jadi saya mesti mencari dari sumber lain atau dengan bekerja sama dengan kontraktor lain yang berminat. Mula-mula ada Hasan Basri Direktur PT Pertisa di Pekanbaru yang mempunyai isteri di Bandung beminat untuk bekerja sama dengan PT Pagarmas menyelesaikan proyek ini, tetapi menunggu permohonan kreditnya di Bank Bumi Daya cair. Saya coba menghubungi beberapa kontraktor lainnya, mereka umumnya menanyakan sumber dananya dari mana ?, saya katakan dari anggaran rutin Kotamadya. Mendengar dari anggaran rutin tersebut mereka mundur karena pengalaman banyak kontraktor kecewa dengan cara pembayaran dari anggaran rutin Kotamadya. Menagih ke Kotamadya bisa bertahun-tahun dan dicicil sedikitsedikit sampai kesal katanya. Mendengar informasi negatif ini, hati saya bertambah kecut. Rupanya saya sudah masuk perangkap. Maju salah, mundur juga salah. Saya rundingkan dengan Basari dan Fazar bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya. Saya sudah buntu untuk mendapatkan kredit dari Bank, maupun mencari partner untuk meyelesaikan pekerjaan ini tidak ada yang mau, dengan alasan pembayaran dari Kotamadya tidak lancar. Sudah hampir dua bulan upah tukang belum dibayar, dana untuk membayar upah pekerja belum tersedia, sampai isteri-isteri tukang tersebut setiap hari Sabtu demonstrasi ke rumah menagih upah. yang tertunggak. Utang dari toko-toko sudah mendesak Kredit dari Bank Perniagaan Indonesia sudah sampai pada dead line setelah perpanjangan dua kali. Truk dan mobil sudah terjual. Belum pernah saya menghadapi kesulitan yang sesulit ini. Uang yang tertanam dalam proyek rehabilitasi intalasi air minum belum tentu kapan bisa diterima. Alhamdulillah, dalam kondisi yang sulit tersebut, saya berusaha kembali dan mengadu kepada yang Maha Pencipta, dengan mendekatkan diri kepada Nya. Melalui sembahyang tahajud, puasa Senin-Kemis, zikir, dan lain-lain, Tidak lama setelah itu, petunjuk Allah datang dengan langkah-langkah sebagai berikut : Penyebab utama kesulitan ini berasal dari pekerjaan rehabilitasi instalasi air minum, karenanya harus di hentikan, dengan resiko membayar denda. Saya menemui Sekretaris Walikota selaku ketua panitia, menyampaikan bahwa PT Pagarmas tidak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan ini. Saya minta supaya diadakan pemeriksaan prestasi pekerjaan, karena menurut kami prestasi pekerjaan sudah mencapai 60% , yaitu yang sudah selesai 35 lokasi diantara 53 lokasi yang harus dikerjakan. Sekretaris Walikota memahami, bahwa kami menghadapi kesulitan keuangan, karena pinjaman dari BNI tidak dapat dikabulkan karena Walikota tidak mau memberikan jaminan atas kredit tersebut. Dia mengatakan, bila PT Pagarmas menghentikan pekerjaan berarti PT Pagarms mengundurkan diri dengan kewajiban membayar denda yang akan diperhitungkan dari tagihan nanti. Bila tidak keberatan, harap PT Pagarmas membuat surat tertulis bahwa tidak sanggup meneruskan pekerjaan dengan alasannya. Nanti kami bersama petugas dari PT Pagarmas memeriksa di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

206

lapangan untuk menentukan prestasi pekerjaan. Setelah itu kita buatkan berita acara Serah terima pekerjaan untuk bahan penagihan nanti. Sejak pekerjaan rehabilitasi instalasi air minum itu dihentikan, tidak ada lagi beban baru bertambah. Beban lama dalam bentuk upah tukang yang belum dibayar dan hutang ke toko-toko satu persatu saya selesaikan dari hasil proyek-proyek dari PJKA dan kegiatan dari unit perdagangan lainnya. Sejak saya disibukkan dengan proyek Kotamadya itu, semua undangan tender atas nama PT Pagarmas yang diadakan oleh Telkom Jakarta, saya kerja samakan dengan Ir Purwanto Rahmat, Direktur Utama PT Portanigra. Purwanto Rahmat adalah putra pak Oei kenalan saya di PT Teknik Umum dulu, dan kemenakan pak Surya pemilik PT Astra Internsional. Dia mempunyai permodalan yang kuat dan kami sudah komit untuk bekerja sama dalam proyekproyek yang diadakan di Telkom dimasa datang. Kebetulan waktu itu sudah ada satu proyek yang dimenangkan atas nama PT Pagarmas yaitu proyek Microwave di Gunung Kundur, Lampung. Kerja sama tersebut dalam bentuk frenchise dimana PT Portanigra berhak menggunakan nama PT Pagarmas dalam memperluas pangsa pasarnya dengan kewajiban membayar royalty kepada pemilik PT Pagarmas. Besarnya royalty disepakati sebesar tujuh setengah persen dari nilai kontrak. Segala beban yang menjadi kewajiban PT Pagarmas yang terikat dengan proyek kerja sama itu termasuk beban pajak menjadi beban PT Portanigra. Pada suatu hari saya jalan-jalan ke rumah Pak Oei (ayah Purwanto Rahmat) di Jalan Papandayan Bandung. Saya bawa surat-surat teguran dan ancaman penyitaan dari Bank Perniagaan Indonesia, bila kredit tersebut tidak dilunasi pada waktu yang ditentukan. Kepada pak Oei saya ceritakan bahwa saya bekerja sama dengan Purwanto Rahmat dalam proyek Microwave dari Telkom di Gunung Kundur, Lampung. Dalam kerja sama tersebut saya mendapat royalty sebesar tujuh setengah persen dari nilai kontrak, dibayarkan tiap-tiap penerimaan termin. Saya konsisten dengan komitmen itu. Hanya saja saya sekarang sedang menghadapi masalah dengan Bank Perniagaan Indonesia. Bila saya tidak dapat melunasi kredit saya akhir bulan ini, maka rumah saya yang dijaminkan akan disita oleh Bank Perniagaan Indonesia. Saya perlihatkan surat-surat dari Bank Perniagaan Indonesia yang saya bawa waktu itu. Pak Oei melihat-lihat surat itu dan menggeleng-gelengkan kepala. Beliau rupanya prihatin juga melihat kondisi saya, yang selama ini mengenal saya selalu ceria dan gembira. Saya mohon bantuan pak Oei, menyampaikan kepada Purwanto Rahmat untuk kali ini saya dibantu dulu sebesar kewajiban saya kepada bank yang nanti akan diperhitungkan dengan royalty saya sampai lunas. Pak Oei mengatakan kepada saya, pak Bus jangan panik benar, ini kan soal kecil, nanti akan saya telepon Purwanto mudah-mudahan bisa dia bantu. Saya ucapkan terima kasih dengan jawaban yang simpatik tersebut, terobat rasanya kegelisahan saya sejak beberapa hari lalu, dan saya pun pamit. Beberapa hari setelah itu, pak Oei mampir ke kantor PT Pagarmas. Beliau mengatakan bahwa kemarin Purwanto datang ke Bandung. Saya sampaikan kapadanya pesan pak Bus Dia dapat memahami dan untuk membantu pak Bus dia meninggalkan cheque ini, sambil menyerahkan cheque dari Bank di Jakarta yang ditanda tangani oleh Purwanto Rahmat kepada saya. Saya terima cheque tersebut dan mengucapkan terima kasih, saya mohon beliau
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

207

menunggu sebentar, saya akan membuat kwitansi penerimaan, supaya tidak lupa dibelakang hari. Hari itu juga cheque tersebut saya setorkan ke Bank Perniagaan Indonesia untuk melunasi kredit yang pernah saya terima. Itulah merupakan beban terakhir yang lepas dari pundak saya. Kepada Allah saya ucapkan terima kasih yang telah menunjuki jalan keluar dari kesulitan yang menjadi beban berat selama ini. Sebetulnya kredit di Bank Perniagaan Indonesia itu tidak begitu besar. Kalau dihitung dengan royalty yang akan saya terima dari Purwanto Rahmat cukup untuk melunasi kredit tersebut bahkan ada lebihnya, hanya saja kredit tersebut tidak dapat diperpanjang lagi. Dalam kesulitan bagaimanapun, kuliah saya jurusan akuntansi tetap saya prioritaskan, bahkan sudah dilantik dan tinggal menunggu izin buka kantor akuntan publik. Saya yakin dengan ilmulah kehidupan ini bisa diperbaiki. Saya ingat salah satu hadis Rasul Muhammad Saw, yang artinya lebih kurang Bila ingin senang hidup di dunia, carilah ilmu, dan bila ingin senang hidup di akhirat carilah ilmu, dan bila ingin senang hidup di dunia dan di akhirat carilah ilmu. Akhirnya menagih uang yang tertanam di proyek rehabilitasi instalasi air minum di Kotamadya Bandung sangat sulit, dan dicicil dalam jumlah yang tidak signifikan, bahkan seperti mengemis. Sejak itu saya berpikir ulang, apakah hidup sebagai pengusaha bidang kontraktor cocok untuk diteruskan dan diwariskan kepada anak, cucu di belakang hari. Ada beberapa kriteria yang menyebabkan usaha bidang kontraktor waktu itu yang menyebabkan saya harus meninggalkan bidang itu yaitu; Banyak bohongnya, pada waktu mengajukan anggaran biaya sudah mulai berbohong dalam volume dan harga barang dan jasa yang akan digunakan. Setelah anggaran biaya disetujui, dalam pelaksanaannya diusahakan volumenya dikurang-kurangi dari yang seharusnya. Waktu proyek selesai, menagihnya seperti mengemis dan tidak ada kepastian bahwa uang itu akan diterima secara utuh sebesar tagihan. Banyak lagi perilaku-perilaku yang nagatif yang menyebabkan saya berdoa semoga anak cucu saya di belakang hari tidak memilih kontraktor sebagai lapangan hidupnya. Menurut pengalaman saya, profesi itu bukanlah profesi terhormat, sekalipun kelihatannya bergelimang dengan uang, tetapi itu semua seperti fatamorgana, yang berkahnya meragukan. Order Terakhir Micro Wave Dari Telkom di Tanjung Gadang Sumbar Sejak itu praktis PT Pagarmas tidak aktif lagi ikut tender proyek-proyek di PLN,PJKA dan lain lain, kecuali di Telkom yang sesungguhnya dilaksanakan oleh PT Portanigra. Kerja sama dengan PT Portanigra, boleh dikatakan memuaskan. Dari proyek pertama saja sudah dapat membebaskan saya dari utang kepada Bank Perniagaan Indonesia. Sebenarnya kerjasama dengan PT Portanigra secara finansil menguntungkan kedua belah pihak. Keuntungan buat saya adalah tanpa kerja apa-apa dapat royalty sebesar tujuh setengah persen dari nilai kontrak. Keuntungan Portanigra adalah selain keuntungan finansil yang ditaksir sekitar duabelas setengah persen dari nilai kontrak. Sepanjang tahun dia tidak putusMengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

208

putusnya ada pekerjaan, berarti tenaga-tenaga trampil dapat dipertahankan terus. Disamping itu, alat-alat, mesin-mesin dan prasarana proyek lainya tidak pernah menganggur. Kewajiban saya dalam kerja sama ini hanya menyerahkan kop surat dan stempel PT Pagarmas kepada PT Portanigra, menanda tangani surat penawaran, bila menang dalam tender menanda tangani kontrak. Bila sudah mencapai prestasi tertentu menanda tangani berita acara penagihan, kwitansi dan kelengkapan lainnya. Selesai proyek micro wave di Gunung Kundur Lampung, datang lagi undangan dari Telkom untuk ikut tender micro wave di Muaro Bungo, Propinsi Jambi. Satu lagi di Tanjung Gadang, Propinsi Sumatera Barat. Kebetulan kami kebagian yang di Tanjung Gadang. Karena saya berasal dari Sumatera Barat, maka Purwanto Rahmat minta bantuan saya untuk mengurus segala sesuatu keperluan proyek yang berhubungan dengan pemerintah daerah, seperti izin dari Bupati setempat, termasuk keamanan di lapangan.seperti pemberitahuan di Kepolisian dan Koramil. Kebetulan Bupati nya waktu itu adalah Kolonel Maramis, dan Komandan Kodimnya adalah Kolonel Syahbuddin. Kedua-duanya saya kenal sama-sama berpangkat sersan mayor di Bukittinggi tahun l951. Kepala kepolisian Kabupaten Sijunjung saya belum kenal. Sewaktu peresmian permulaan proyek, ketiga petinggi di Kabupaten Sijunjung, termasuk camat, kepala desa dan pemuka masyarakat kami undang. Saya atas nama PT Pagarmas selaku pelaksana proyek micro wave tersebut memberikan sedikit penjelasan kepada masyarakat tentang apa dan untuk apa proyek micro wave itu dibangun oleh Telkom dan manfaatnya untuk masyarakat. Pada kesempatan itu. bapak Bupati dan Bapak Komandan Kodim juga menyampaikan sambutan pendek. Antara lain beliau mengatakan bahwa pimpinan PT Pagarmas adalah teman seperjuangan beliau dulu di Bukittinggi semasa revolusi fisik melawan tentara Belanda. Kepada pimpinan PT Pagarmas beliau meminta agar sebanyak mungkin melibatkan penduduk disini dan sekitarnya dalam pelaksanaan proyek ini. Kepada masyarakat sekitar beliau titip supaya ikut mensukseskan proyek ini demi kebutuhan kita bersama. Alhamdulillah, proyek tersebut berjalan lancar, dan ada beberapa pemuda-pemuda kita dari Parit Putus bekerja di proyek tersebut, tetapi sayang umumya tidak kuat bertahan dan berhenti di tengah jalan. Pada saat proyek sudah berjalan kira-kira 50% dimasa libur sekolah, kami pulang bersama anak-anak sekeluarga jalan darat. Kami menggunakan dua buah mobil jeep PT Portanigra. Waktu itu jalan Lintas Sumatra belum ada, masih jalan lama, kecil dan banyak jembatan yang rusak, sehingga perjalanan memakan waktu 4 hari dan 5 malam. Pernah pada satu senja ada bus yang mogok di tengah-tengah hutan lebat. Menyebabkan mobil di belakang tidak bisa meliwatinya karena jalan sempit. Bus yang mogok itu harus dipinggirkan dulu baru mobil lain bisa liwat. Orang-orang sedang bergotong royong meminggirkannya. Karena hari sudah malam dan ditaksir baru besok pagi bisa liwat maka kami melihat ada sebuah rumah panggung yang kosong dan gelap. Kami pergi ke sana kebetulan pintu tidak terkunci. Saya ajak anak-anak menginap di rumah kosong itu. Mereka tidur di atas lantai papan beralas beberapa lembar kain panjang. Saya sendiri tidak bisa tidur, sambil mengawal anak-anak dan menghalau nyamuk yang besar-besar dengan mengipas-ngipaskan kain sarung ke atas mereka. Kira-kira jam 2.00 malam saya mendengar beberapa kali ngaung harimau
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

209

dari kejauhan. Saya pikir di sini masih banyak harimau, makanya rumah orang di sini tinggitinggi. Bangun pagi, kami pergi ke pinggir sungai yang tidak begitu jauh dari situ. Selesai cuci muka kami minum di warung kopi yang ada dekat situ. Sambil minum orang warung menanyakan apakah bapak yang bermalam di rumah itu semalam. Saya bilang ia, karena kami lihat rumah itu kosong dan tidak dikunci, kami masuk saja. Orang itu mengatakan memang, rumah itu kalau malam kosong tidak ada yang berani tinggal di situ, suka ada makhluk halus yang mengganggu. Tetapi kalau siang ada yang tinggal sambil berkebun di sekitar sana, katanya. Mendengar itu berdiri bulu roma saya, dan bersyukur kepada Allah Swt, semalam tidak ada gangguan. Jam 7,15 pagi mobil kami baru bisa liwat, dan setelah itu tidak ada gangguan lagi, dan bila malam tiba kami mencari warung-warung untuk bermalam yang biasanya disediakan oleh pemilik warung. Sampai di lokasi proyek di Tanjung Gadang kami menginap disana semalam sambil melihat perkembangan proyek. Dari situ kami langsung ke kampung dan sampai di kampung sudah senja Waktu itu keluarga kita masih menempati rumah lama, tanpa fasilitas kamar mandi dan lan-lain. Kalau mau mandi harus berjalan kaki sekitar 150 meter atau ke W.C mesti nongkrong di atas kali kecil atau di atas balong dengan penutup seadanya. Ada seminggu kami di kampung setelah itu kami kembali ke Bandung dengan pesawat melalui Jakarta. Sesampai di Bandung ada surat dari Direkorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN). Surat tersebut saya buka, ternyata isinya adalah Surat Izin Membuka Kantor Akuntan Publik atas nama saya. Sebetulnya sejak dua bulan lalu saya sudah mulai praktek sebagai auditor mewakili Kantor Akuntan Publik atas nama Muchlis Adnan Cabang Bandung. Clientnya yang ada di Bandung dan sekitarnya diserahkan kepada saya mengerjakannya. Dari pengalaman saya selama dua bulan itu sebagai auditor dibandingkan dengan pengalaman hampir tiga tahun sebagai kontraktor nyata sekali bedanya. Rasanya sebagai auditor lebih terhormat dibanding sebagai kontraktor. Sejak itu tekad saya sudah bulat untuk meninggalkan PT Pagarmas dan beralih ke profesi Akuntan Publik Insya Allah profesi baru ini akan saya hadapi sepenuh hati dan doa, mudah-mudahan bisa dilanjutkan oleh generasi penerus dibelakang hari. Amin. Waktu saya sedang membaca surat dari DJPKN tersebut kebetulan Ir. Bernard Sadhani wakil direktur PT Portanigra datang untuk minta saya menanda tangani dokumen tagihan proyek micro wave Tanjung Gadang ke Telkom atas nama PT Pagarmas. Sambil menanda tangani berkas tersebut saya ceritakan kepada Bernard bahwa izin praktek saya sebagai Akuntan Publik sudah keluar dari Kementerian Keuangan. Untuk masa datang saya akan focus dalam profesi saya itu. Belum selesai saya berbicara dia sudah menyelingi. Kalau begitu biarlah saya yang melanjutkan nama PT Pagarmas itu dengan kompensasi yang wajar, katanya. Saya katakan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

210

apakah ini serius ?, kalau serius ini menarik untuk dipikirkan dan dibicarakan lebih lanjut. Nanti kita cari waktu membicarakan hal itu pada kesempatan yang akan datang. Rupanya Ir Bernard Sadhani memang serius. Minggu depan dia datang lagi untuk mem folow up pembicaraan minggu lalu, bahkan dia datang dengan usul lebih konkrit yaitu mengajukan angka kompensasi yang menurut dia wajar. Karena saya sudah bertekad bulat untuk tidak ikut lagi dalam bisnis kontraktor, jadi saya tinggal melakukan negosiasi dari angka awal yang diajukannya. Akhirnya dapat kata sepakat dan tidak lama setelah itu kami pergi ke Notaris untuk timbang terima secara hukum PT Pagarmas dari tangan saya ke tangan Ir Bernard Sadhani. Itulah akhir dari petualangan saya selama lebih kurang tiga tahun dibawah payung PT Pagarmas yang dihibahkan oleh pak Syafni kepada saya, mulai dari nol minus dan berakhir dengan nol plus. Sejak saya berhenti dari PT Teknik Umum, saya sudah mulai membaca-baca buku agama Islam dan sudah mulai ikut pengajian di mesjid Istiqamah, walaupun sebelumnya juga tidak terlalu jauh dari ajaran Allah Swt. Setelah mengalami kesulitan demi kesulitan hidup, di hari tua saya ini saya bertambah yakin janji Allah dalam firman Nya Surat 65, akhir ayat 2 dan ayat 3 berbunyi Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka sangkanya, Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu . (Ibnu Katsir Buku IV hal.733) Saya belumlah termasuk golongan orang yang bertaqwa, tetapi saya berusaha menuju kearah itu, dengan melaksanakan segala perintah-perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya, serta banyak berzikir dan mengerjakan yang sunat-sunat. semoga Allah memudahkan saya mencapai tingkat taqwa tersebut, Amin !. SEMOGA ALLAH SELALU MELIMPAHKAN RAHMAT DAN TAUFIK NYA KEPADA KAMI DAN KETURUNAN KAMI SEMUA, AMIN ..

******

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

211

16. IZIN MEMBUKA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DARI DEPARTEMEN KEUANGAN (APRIL 1973)
Beberapa bulan sebelum saya menerima Izin Membuka Kantor Akuntan Publik dari Departemen Keuangan Republik Indonesia No. 050/1-00438, tanggal, 18 April 1973. Muchlis Adnan datang bertamu ke rumah saya di Bandung. Dia datang mengajak saya bekerja sama dalam bidang profesi akuntan publik. Dia mengetahui bahwa saya sudah selesai kuliah, dan sedang menunggu proses permohonan izin membuka kantor Akutan Publik Kebetulan Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan waktu itu mendapat penugasan audit beberapa perusahaan tekstil yang ada di Bandung. Dia minta saya membantu dia selaku kepala cabang kantornya di Bandung, mencari asisten beberapa orang dan mengawasi pelaksanaan audit tersebut. Alamat kantor cabang kalau dapat di Jalan Wastukancan No.5 saja. Untuk tahap pertama selaku asisten senior akan dikirim 1 orang dari Jakarta. Mendengar permintaan itu, saya tidak dapat mengatakan tidak, karena antara saya dan Muchlis Adnan selama ini sudah seperti saudara. Saya tidak sempat menanyakan kondisi dan lain-lain, karena saya yakin dia adalah orang yang penuh pengertian. Dia banyak membantu saya dalam menjelaskan mata pelajaran Ilmu Perhitungan Keuangan semasa kuliah jurusan akuntansi dulu. Dia lebih senior dari saya beberapa tahun sekalipun umurnya lebih muda dari saya belasan tahun. Dia mengatakan Insya Allah, pekerjaan audit akan dimulai awal bulan depan, kalau dapat dalam bulan ini sudah ada assisten agak tiga orang dengan kwalifikasi Sarjana Muda Jurusan Akuntansi yang akan kita tempatkan di objek audit tersebut, kalau perlu di iklankan saja di koran Bandung. Sebelum diiklankan saya akan minta saran dari pak Soemita Adikoesoema terlebih dahulu, karena beliau adalah Direktur Akademi Akuntansi Bandung yang telah banyak menelorkan sarjana muda akuntansi. Kepada pak Soemita Adikoesoema, saya katakan bahwa saya ditunjuk mejadi kepala Cabang Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan di Bandung, dan sekarang mencari tenaga 3 orang asisten yang sudah berpengalaman. Pak Soemita Adikoesoema senang mendengar berita itu dan beliau mengatakan, kebetulan ada dua orang bekas mahasiswa beliau yang agak menonjol, dan sering beliau ajak mengerjakan audit bila ada pekerjaan. Seorang pria dan seorang lagi wanita, nanti akan beliau suruh datang menemui saya. Saya berterima kasih kepada pak Soemita Adikoesoema yang selalu membantu saya bila saya ada kesulitan, semoga arwah beliau diterima di sisi Allah Swt dan dimaafkan segala dosanya, Amin. Beberapa hari setelah pertemuan saya dengan pak Soemita Adikoesoema, kebetulan datang Faesal Leboe, mantan aktivis Pemuda Muhamadiah. Dia mengatakan dia mendapat informasi dari salah seorang temannya sama-sama aktivis Muhamadiah, bahwa saya sudah membuka kantor Akuntan di Bandung. Bila informasi tersebut benar, dia ingin melamar. Dia sudah berpengalaman bekerja di kantor Akuntan Publik Mustafa di Jakarta selama lebih kurang empat tahun. Dia mengundurkan diri sebulan lalu karena keluarganya tidak betah
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

212

tinggal di Jakarta, dan ingin pindah ke Bandung. Karena itu saya terpaksa mencari pekerjaan di Bandung, katanya. Dalam hati saya berkata pucuk di cinta, ulam tiba, kata orang mungkin ini sudah jodoh. Saya katakan, benar saya sekarang mewakili kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan untuk di Bandung, dan memerlukan tenaga asisten yang sudah berpengalaman. Bila memang berminat bergabung dengan kami silakan buat surat lamaran supaya dapat saya bicarakan dengan pak Muchlis Adnan, mudah-mudahan disetujui dan bisa mulai bekerja awal bulan depan. Di hari yang sama datang pula Anggiat Mangonsong, teman saya di PT Teknik Umum dulu, membawa keponakannya, yang baru beberapa hari datang dari Medan, namanya Sabam Pohan. Dia mendapat informasi dari teman-teman di Teknik Umum bahwa saya sudah membuka kantor Akuntan Publik, karena itu dia datang membawa keponakannya melamar di kantor yang saya pimpin, sambil menyerahkan surat lamaran. Setelah saya buka surat lamaran tersebut, ternyata Sabam Pohan mempunyai ijazah Tata Buku Bond A dan B dan pernah kuliah di Universitas Nomensen Sumatera Utara selama 2 tahun. Saya katakan kepada Anggiat Mangonsong, bahwa saya tidak dapat memberi keputusan segera, harus menunggu Muchlis Adnan yang akan datang pada akhir bulan ini. Saya harapakan Sabam Pohan datang lagi akhir bulan nanti. Keesokan harinya datang dua orang yang dijanjkan oleh pak Soemita Adikoesoema menemui saya dengan membawa surat lamaran. Mereka mengatakan bahwa mereka disuruh oleh Pak Soemita Adikoesoema menemui saya. Saya berbasa basi sebentar dan mengatakan bahwa akhir bulan ini pak Muchlis Adnan akan datang ke Bandung. Saya minta mereka datang lagi akhir bulan, sambil berkenalan dengan pak Muchlis Adnan sekalian mendapatkan penjelasan, keputusan dan penugasan. Pada hari yang ditentukan, Muchlis Adnan datang dari Jakarta bersama seorang asisten seniornya. Saya serahkan berkas para pelamar berikut orang orangnya untuk diintervew, dan dijelaskan tentang penggajian mereka, berikut tugas mereka masing-masing. Diputuskan oleh Muchlis Adnan bahwa mereka berempat diterima sebagai asisten. Hari itu juga langsung dibawa ke objek-objek pemeriksan di dua perusahaan tekstil, satu di Majalaya, dan satu lagi di Bandung, untuk diperkenalkan pada object yang akan diperiksa. Komposisi asisten adalah dua orang di satu object, yaitu Faesal Leboe bersama dengan Sabam Pohan pada Perusahaan tekstil di Majalaya, dan Bambang bersama Wati di Perusahaan tekstil yang di kota Bandung. Asisten senior yang dari Jakarta mondar-mandir di kedua perusahaan tersebut, dengan tugas mengarahkan dan mengawasi pekerjaan para asisten dan mempersiapkan draft laporan. Alhamdulillah kesempatan ini sangat berharga buat saya menggali pengalaman bagaimana realisasi tugas Akuntan Publik dalam praktek di lapangan. Setelah pekerjaan berjalan dua bulan, kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan mendapat tugas audit lagi di perusahaan tekstil yang lain berloksi di Cimahi. Kebetulan waktu itu Ibrahim Sati yang sedang bekerja di PT Kasta Timbul, minta diikut sertakan sebagai asisten part time, karena tugas di PT Kasta Timbul dapat dikerjakan sebagai part time juga. Tugas
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

213

asisten di dua persusahaan sebelumnya sudah hampir selesai, maka seorang asisten di masing-masing perusahan sudah dapat ditarik untuk mengaudit perusahaan yang di Cimahi. Dengan masuknya Ibrahim Sati ke dalam team audit, maka pekerjaan asisten senior dari Jakarta sudah mulai berkurang dan diambil alih oleh Ibrahim Sati, karena Ibrahim sati mempunyai ijazah Administrsi Perusahaan Modern (APM). Tidak banyak kesulitan baginya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang auditor Alhamdulillah, tugas audit atas nama kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan yang ada di Bandung selesai pada waktunya. Pada saat membahas draft laporan tersebut saya diminta datang ke Jakarta dan diperkenalkan dengan salah seorang pejabat dari Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Pusat Ahmad Rivai. Bersamaan dengan itu, lamaran Muchlis Adnan ke Bank Indonesia yang diajukannya beberapa bulan lalu di terima dan diminta mulai masuk bekerja awal bulan depan. Dengan ditrimanya dia menjadi pegawai Bank Indonesia, berarti dia harus meninggalkan profesinya sebagai Akuntan Publik, karena tidak boleh merangkap jabatan. Membuka Kantor Cabang KAP di Jakarta (1974). Muchlis Adnan harus memilih salah satu diantara dua, yaitu tetap sebagai Akuntan Publik atau menerima tawaran sebagai pegawai Bank Indonesia. Dia memilih sebagai pegawai Bank Indonesia. Oleh karena itu, atas persetujuan Ahmad Rivai selaku pejabat Bapindo yang mengeluarkan penugasan audit, yang tadinya atas nama Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan, di alihkan atas nama Kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim, baik yang ada di Jakarta maupun yang ada Bandung. Sungguh suatu rakhmat dari Allah Swt yang luar biasa. Begitu Surat Izin membuka kantor Akuntan Publik di terima dari Departemen Keuangan, sudah mendapat client tidak kurang dari sepuluh perusahaan. Diantara perusahaan tersebut yang di Jakarta antara lain Bank Patriot, perusahaan angkutan umum PT Mayasari Bhakti, pabrik tekstil PT Lansano dan lain-lain. Karena sebagian besar dari client tersebut berada di Jakarta, maka terpaksa membuka kantor cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta. Untuk menyewa ruangan kantor belum mampu. Untuk menompang alamat saja di rumah famili atau teman yang pantas, waktu itu belum ada, kecuali rumah kakanda Nurbeiti Johar di Jalan Maraman Raya no. 48. Jakarta Pusat. Pada suatu sore saya datang menemui kakanda Nurbeity, menyampaikan maksud saya untuk menompang alamat di rumah beliau, sedangkan pelaksanaan pekerjaan bisa di kantor objek yang sedang diaudit. Kebetulan waktu itu ada kakanda Johar dirumah dan beliau senang mendengar perkembangan pendidikan dan usaha saya, dan setuju menjadikan rumah beliau di Jalan Matraman Raya 48 alamat sementara kantor cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta. Bahkan beliau menawarkan menempatkan satu atau dua buah meja kerja disitu. Waktu itu belum ada kewajiban mendapatkan izin dari Departemen Keuangan, bila suatu kantor akuntan publik akan membuka kantor cabang di mana saja. Yang diperlukan adalah surat pemberitahuan ke Departemen Keuangan. Untuk memenuhi syarat tersebut saya buat surat ke Departemen Keuangan bahwa kantor Akuntan Publik berkantor Pusat di Bandung
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

214

telah membuka kantor Cabang di Jakarta dengan alamat Jalan Matraman Raya No.48 berikut nomor teleponnya. Sejak itu saya atur hari kerja saya yaitu tiga hari di Jakarta dan tiga hari di Bandung. Selama di Jakarta saya tinggal di hotel Famili Jalan Kramat Raya No.101 sekalian menjadi tempat kerja. Cara kerja seperti ini berlangsung sampai tahun 1978, setelah mendapatkan kantor di Jalan Kramat VI/39. Karena tugas audit di Jakarta, sudah harus ditangani secara penuh, maka Ibrahim Sati memilih untuk bekerja secara full time di kantor cabang Jakarta dan meninggalkan PT Kasta Timbul, tempat beliau bekerja sebelumnya. Tenaga asisten pun mulai di rekrut sesuai dengan kebutuhan. Sejak Ibrahim Sati kembali ke Jakarta, tugas saya mulai ringan. Semua kesulitan masalah yang bersifat teknis dapat diatasi oleh Ibrahim Sati, sedangkan saya lebih banyak pada kordinator serta pembinaan client lama yang berasal kantor Akuntan Muchlis Adnan dan mendapatkan client baru. Kira-kira 4 bulan setelah resmi membuka kantor cabang di Jakarta, dengan alamat Jalan Matraman Raya 48, ada tawaran sebuah ruangan kantor lokasi di Jalan Pintu Air Jakarta.Pusat. Luas ruangan tersebut lebih kurang 24 meter persegi di lantai dua dari sebuah kantor travel biro dengan harga sewa relatif murah. Setelah berunding dengan Ibrahaim Sati, akhirnya tawaran tersebut saya setujui. Saya beritahukan kepada kakanda Johar dan Nurbeiti, bahwa saya sudah mendapat ruangan kantor di Jalan Pintu Air. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan menggunakan alamat rumah beliau, menjadi batu loncatan kantor Cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta. Bersamaan dengan itu saya buat surat pemberitahuan ke Departemen Keuangan tentang perubahan alamat kantor. Sejak itu kami mulai melengkapi peralatan kantor seperti meja tulis berikut kursi kerja, lemari arsip, mesin ketik serta mesin hitung, dan peralatan lainnya yang diperlukan. Tenaga asisten juga mulai direkrut, sesuai dengan meningkatnya tugas audit baik di Jakarta mau pun di Bandung. Pada suatu hari saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan Edwardly Pamuncak. Dia adalah Direktur Utama dari Avedeco Consultant, berkantor di Jalan Nusantara. Dia mengajak saya bekerja sama dalam proyek audit, yang sebelumnya di audit oleh Kantor Akuntan Publik Johni Marsini. Karena Johni Marsini pindah ke Padang sebagai dosen Univesitas Andalas maka dia mencadangkan saya sebagai peggantinya, dengan kodisi bagi hasil. Seluruh pembaiyaan yang bersifat langsung dipikul oleh Avedeco Consultant. Dari hasil kotor dikurangi pajak-pajak yang terutang dan overhead 10% serta biaya-biaya langsung, sisanya dibagi dua, sama besar. Karena dengan Akuntan Johni Marsini juga kondisinya seperti demikian, maka saya setuju dengan kondisi tersebut. Objek pertama yang siap untuk diaudit adalah sebuah Perusahaan Loging milik anggota Veteran Philipina lokasi di Kalimantan. Pelaksanaan audit tahun lalu di sub kan kepada salah seorang pejabat dari Direktorat Jendral Pemeriksaan Keuangan Negara (DJPKN) yang bernama Untung Margono beserta dua orang temannya. Audit tahun berjalan juga kami ikuti saja cara tersebut. Dengan demikian tugas saya hanya merevew laporan hasil audit yang dilakukan oleh Untung Margono dan menanda tangani laporan tersebut.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

215

Di kantor Avedeco Consusltant disediakan buat saya satu meja kerja bersatu dengan ruangan Direktur Utama. Papan nama Kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim juga di pajang dibawah papan nama Avedeco Consultant. Sejak itu di Jakarta, kami mempunyai dua kantor cabang, yang satu di Jalan Pintu Air dan satu lagi di Jalan Nusantara. Dua-duanya berlokasi di Jakarta Pusat. Yang tercatat di Departemen keuangan hanya yang di Jalan Pintu Air saja. Selama saya berada di Jakarta, kedua kantor tersebut saya datangi, kadang-kadang di Jalan Pintu air pagi sampai siang, dan siang sampai sore saya ada di Jalan Nusantara, dan sebaliknya. Setelah kerja sama berjalan beberapa bulan, kebetulan kira-kira jam 1.00 siang saya sedang berada di kantor Jalan Nusantara. Waktu itu ada tamu bernama Hasanuddin, teman kuliah di UNPAD jurusan Akuntansi tahun lalu. Dia mampir karena melihat ada nama saya di depan. Maksudnya ialah minta bantuan saya atas masalah yang sedang dihadapinya. Dia mengatakan bahwa dia bekerja di DJPKN Pusat. Beberapa bulan yang lalu dia membantu menyusunkan laporan keuangan Proyek Peningkatan Air dan Tanah (P2AT) di bawah Direktorat Pengairan di bawah Departemen Pekerjaan Umum atas nama Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution. Draft laporan tersebut sudah selesai, hanya saja Azwar Nasution tiba-tiba dapat serangan jantung dan meninggal dunia minggu lalu. Dia minta bantuan saya untuk melanjutkan tugas kantor Akuntan Publik Azwar Nasution tersebut supaya laporan tersebut bisa selesai dan feenya dapat ditagih. Fee untuk saya dapat di bicarakan nanti, katanya. Saya katakan, niat saya adalah menolong, tentang fee untuk saya, tidak saya permasalahkan. Untuk itu, sebaiknya besok kita menemui Pemimpin Proyek P2AT bagaimana caranya memindahkan Surat Perintah Kerja dari Azwar Nasution ke kantor Bustaman Rahim, sebab Laporan Keuangan akan diterbitkan atas nama Bustaman Rahim. Hasanudin setuju dengan usul saya dan besoknya jam 10.00 pagi, kami bertemu di tempat yang ditentukan di Departeman Pekerjaan Umum Pemimpin Proyek P2AT sepakat memindahkan penugasan Penyusnan Laporan Keuangan Proyek P2AT tahun buku 1973/1974 yang semula kepada Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution ke kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim. Tanggal undangan tender, tanggal pemasukan penawaran dan tanggal Surat Perintah Kerja disesuaikan dengan tanggal dari Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution. Dengan demikian draft laporan yang ada sudah dapat segera di net dan diterbitkan laporannya. Pada saat menyerahkan kwitansi penagihan saya katakan kepada Hasanudin, silahkan atur saja pembagiannya dan jika ada bagian saya, saya harap bagian saya tersebut diserahkan kepada keluarga Azwar Nasution saja, sebagai tanda ikut berduka cita saya. Saya sudah senang, dapat menolong orang dalam kesulitan, karena Allah berjanji didalam Al Qur,an S 47.7 berbunyi Hai orang-orang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kamu dan menguatkan kedudukanmu Pekerjaan ini lepas dari kerja sama dengan Avedeco, berarti saya bebas menentukan keuangannya. Allah Swt, membuktikan janjinya. Sejak itu kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim dipercaya oleh Pemimpin Proyek P2AT menyusun Laporan Tahun Anggaran berikutnya. Waktu itu saya baru mengetahui bahwa tiap-tiap proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana besumber dari Lembaga Keuangan International seperti IBRD, ADB, OECF dan lainlain, wajib membuat laporan keuangan tiap akhir tahun anggaran. Laporan tahunan yang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

216

disusun ini akan di audit oleh DJPKN Direktorat Jenderal Pemeriksa Keuangan Negara, sekarang (BPKP). Laporan yang telah diaudit DJPKN tersebut disampaikan kepada Lembaga Keuangan International yang membiayai proyek tersebut sebagi pertanggung jawaban pemimpin proyek. Sejak itu kantor kita mulai dikenal tidak saja di lingkungan Direktorat Pengairan, tetapi sudah meluas ke Direktorat lainnya seperti Direktorat Air Bersih, Direktorat Bina Marga dan lain-lain yang berada dibawah Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan penyusunan laporan keuangan proyek ini berlanjut sampai berakhir setelah masing-masing proyek dapat menyusun laporan keuangan sendiri. Berkat Rakhmat Allah, hasil kerja dari Departemen Pekrjaan Umum tersebut sampai tahun l992 dapat dirasakan dalam bentuk investasi fisik yang saya lakukan di kampung, di Bandung, dan di Jakarta. Sedangkan dalam bentuk human investment, dapat membiayai empat orang anak belajar mengambil S1 dan S2 di Australia dan di Amerika. Subhanallah, Rahmat Allah yang luar biasa ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Allahu Akbar, La Haulawalaquwwatailla Billah. Menunaikan Ibadah Haji Bersama Ibunda (1975) Dalam tahun 1968 dan tahun 1969 sudah ada niat untuk memberangkatkan ibunda bersama ibunda Raiyah menunaikan ibadah haji. Waktu itu umat islam yang hendak menunaikan ibadah haji menggunakan sistem kuota atau jatah, karena biaya untuk melaksanakan haji sebagian di subsidi oleh Pemerintah. Tiap-tiap propinsi ditentukan jatahnya sekian prosen dari jumlah penduduk masing-masing propinsi. Untuk mendapatkan quota dari Propinsi Jawa Barat dan Sumatra Barat sangat susah karena prosentasi yang berminat di kedua propinsi itu lebih banyak dibanding dengan jatah yang tersedia. Untuk mendapatkan quoto di kedua Propinsi tersebut harus menunggu beberapa tahun. Waktu itu kakanda A. Tadjuddin bekerja di Caltex Dumai, dan ibunda Raiyah ikut beliau tinggal di situ. Saya buat surat kepada kakanda A. Tadjuddin bahwa saya Alhamdulillah diberi Allah rezki dan berniat memberangkatkan ibunda Saeran dan ibunda Raiyah menunaikan ibadah haji, selagi beliau berdua masih sehat dan kuat. Karena untuk mendapatkan quota di Sumatra Barat atau di Jawa Barat tempat saya bermukim sulit, supaya beliau mendaftarkan di kantor agama Dumai yang relatif lebih mudah. Sudah beliau coba mendaftarkan di sana ternyata sama saja, harus menunggu dua atau tiga tahun ke depan. Namun demikian tetap beliau daftarkan di kantor agama Dumai. Mungkin belum diizinkan Allah, ibunda berdua itu berangkat bersama, ternyata setelah pendaftarana berjalan dua tahun, kakanda A. Tadjuddin pensiun dari Caltex dan sama-sama bermukim di Bandung. Dengan demikian nama ibunda berdua yang didaftarkan di kantor agama Dumai otomatis gugur. Bersamaan dengan itu, rezki saya juga agak mundur, disamping kesehatan ibunda Raiyah tidak memungkinkan karena selama di Bandung sesak nafas beliau kambuh.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

217

9. Bersama Ibunda tahun 1984

Alhamdulillah, sejak membuka kantor cabang di Jakarta, Allah memberi rezki dengan tidak putus-putusnya pekerjaan sepanjang tahun. Saya teringat kembali, niat untuk membawa ibunda ketanah suci. Saya buat surat kepada ibunda di kampung tentang niat tersebut, beliau bergembira mudah-mudahan di sampaikan Allah kata beliau. Bersamaan dengan balasan surat tersebut beliau mengirimkan Kartu Tanda Penduduk beliau sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan di Kantor Agama Bandung. Waktu itu untuk menunaikan ibadah haji tidak lagi menggunakan quota dan tidak lagi di subsidi oleh Pemerintah. Hanya saja biaya menunaikan ibadah haji jauh lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya sewaktu menggunakan quota. Kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan, saya menerima surat dari Kantor Agama di Bandung bahwa kami sudah dapat dipastikan berangkat tahun itu kira-kira akhir tahun 1975. Setelah mendapat surat tersebut saya beritahukan kepada ibunda untuk bersiap-siap datang ke Bandung, karena sebelum berangkat ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi seperti pemeriksaan kesehatan, membuat pasfoto dan mengikuti bimbingan haji yang disebut manasik haji. Alhamdulillah semua syarat-syarat itu dapat kami ikuti dengan sungguhsungguh, karena ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, dan kesempatan itu tidak kami sia-siakan. Seminggu sebelum keberangkatan, semua jemaah Kotamadya Bandung yang berada dalam satu kelompok terbang di kumpulkan di aula Kotamadya Bandung. Di situ dibagikan paspor haji, gelang yang diberi nama masing-masing jemaah, dan nomor kursi di dalam bus
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

218

yang akan membawa ke asrama haji di Tulodong Cibinong. Bersamaan dengan itu jemaah dibagi ke dalam empat regu. Masing-masing regu terdiri dari 15 orang Empat regu di ketuai oleh seorang ketua kelompok. Dalam pembentukkan regu dan kelompok tersebut, saya ditunjuk sebagai ketua regu. Bapak Oemar Bakry ditunjuk sebagai ketua kelompok. Bapak Oemar Bakry adalah yang membuat tafsir Alquran Arrahmat. Didalam regu kami, termasuk Bapak Oemar Bakry beserta isteri, sedangkan Bapak Oemar Bakry adalah ketua kelompok dari empat regu dimana regu kami termasuk didalamnya. Regu kami berjumlah 15 orang antara lain Bapak Oemar Bakry beserta isteri, Bapak Abdul Fatah mantan kepala RRI Bandung beserta isteri dan iparnya, Marwan beserta ibu dan kakak perempuannya, saya bersama ibunda, dan beberapa orang lainnya. Di hari yang ditentukan seluruh jemaah disuruh berkumpul di halaman Kotamadya jam 5.00 pagi, dengan membawa barang-barang bawaannya sekalian. Setelah barang-barang bawaan diserahkan kepada petugas, jemaah disuruh mencari tempat duduk didalam bus, sesuai dengan nomor tempat duduk yang sudah dibagikan sebelumnya. Di samping isteri dan anak-anak ikut melepas keberangkatan kami Bapak Amir Syafni dan kakanda A. Tadjuddin. Tepat jam 6.00 pagi, bus berangkat meninggalkan Bandung menuju asrama haji di Tulodong, Bogor. Di sana, kami diistirahatkan selama dua malam dua hari, menunggu hari naik pesawat terbang, menuju Jedah. Selama menunggu, kami diberi suntikan anti penyakit menular yang mungkin terbawa oleh jemaah-jemaah dari berbagai negara. Udara di Tulodong sangat segar. Pagi-pagi setelah salat Subuh ada pengajian yang diberikan oleh ustaz yang berbeda-beda. Setelah pengajian minum pagi sudah tersedia. Kebanyakan kami setelah minum pagi, berjalan-jalan sekeliling lapangan olah raga yang ada di hadapan asrama. Waktu berjalanjalan pagi itulah saya merasakan sangat dekat dengan ibunda, banyak nasihat dan cerita yang beliau sampaikan kepada saya. Waktu itu beliau berpesan, mudah-mudahan kamu masih di beri rezki oleh Allah sepulang dari Mekah ini. Niatkanlah membuat surau tempat anak-anak belajar mengaji, pengganti surau tinggi dulu. Pesan beliau itu saya pegang teguh dan Alhamdulillah, sepuluh tahun kemudian pesan beliau tersebut dapat saya penuhi. Di atas tanah pusaka beliau seluas lebih kurang 600 meter persegi, diwakafkan dan di bangun di atasnya musalla berlantai dua diberi nama Baitul Rahim. Sekarang dijadikan Taman Pengajian Anak-anak (TPA) di Parit Putus Setelah dua hari dua malam kami di asrama haji, sudah ada pemberi tahuan bahwa besok pagi setelah salat Subuh dan minum pagi, kami diberangkatkan ke air-port Halim Perdana Kusuma untuk diterbangkan langsung ke Jedah. Malam itu barang-barang bawaan sudah diserahkan kepada petugas haji untuk dibawa dengan truk terpisah ke Halim Perdana Kusuma, dan langsung dimasukkan ke dalam pesawat. Kami berangkat dari asrama haji Tulodong kira-kira jam 7.00 pagi dan sampai di Halim Perdana Kusumah kira-kira jam 9.15. Sesampai di air-port, kami disuruh berbaris untuk pemeriksaan ticket dan pasport, dan langsung naik pesawat.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

219

Sampai di Jedah hari masih siang. Untuk pengambilan barang, pemeriksaan imigrasi dan pabean disana, memakan waktu kira-kira 3 jam. Setelah itu kami dibawa beristirahat semalam diasrama haji di Jedah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari airport. Besok pagi kami diberangkatkan ke Medinah. Setelah sampai di Medinah kami dibawa oleh wakil syekh ke asrama yang sudah disediakan. Umumnya asrama waktu itu tidak memuaskan. Udaranya pengap dan tidak ada fsilitas dapur dan air juga serba kurang. Jalan menuju asrama tersebut meliwati kandang-kandang kambing dan mendaki. Regu kami sepakat untuk mencari tempat lain yang memadai dengan biaya tambahan. Waktu itu belum ada Ongkos Naik Haji Plus seperti sekarang. Udara di Medinah waktu itu sangat dingin menurut ukuran kita dari Indonesia. Suhu berkisar dibawah 20 derajat celsius, dengan udara yang menghisap air. Kalau kita mencuci anduk tanpa di jemur diluar ruangan pun, sorenya akan kering di hisap oleh udara yang dingin tersebut. Banyak jemaah yang sampai keluar darah dari hidungnya, karena tidak tahan dingin. Ibunda mulai sakit-sakitan dan beberapa hari tidak kuat pergi ke mesjid Nabawi untuk salat berjamaah. Berkat bantuan pegawai hotel Haramain, kami mendapatkan sebuah flat yang tidak begitu jauh dari Mesjid Nabawi. Setelah kami meninjau flat tersebut terdiri beberapa kamar dengan fasilitas cukup. Di dalamnya lengkap dengan perabot rumah tangga, air cukup dan dapurnya pun terpelihara rapi. Akhirnya kami setujui menyewanya, walau pun sedikit mahal. Kami sepakat untuk menjadikan flat tersebut seperti rumah tangga sendiri, yaitu ibu-ibu masak bergiliran sedangkan bapak-bapak bertugas mempersiapkan yang akan dimasak juga secara bergiliran. Seluruh biaya dipikul bersama sebanding dengan jumlah keluarga masingmasing, dihitung beban per kapita. Pada satu kesempatan Bapak Oemar Bakry bertemu dengan Bapak Emil Salim, Bapak Harun Zein dan Bapak Sutami di Mesjid Nabawi. Rupanya beliau sudah lama tidak bertemu, dan sekaligus mengundang makan siang besok bersama isteri di flat kami. Undangan tersebut diterima oleh beliau-beliau itu, dan sepulang kami salat Lohor di mesjid Nabawi, kami mampir dulu ke pasar membeli bahan-bahan yang akan dimasak oleh ibu-ibu besoknya. Alhamdulillah, besoknya selesai salat Lohor di mesjid Nabawi kami bersama-sama pulang ke flat beserta tamu. Masakan Padang disiapkan oleh isteri Bapak Oemar Bakry dan masakan Sunda disiapkan oleh isteri Bapak Abdul Fatah. Selesai makan Bapak Harun Zein mengatakan bahwa sudah beberapa hari beliau tidak bertemu dengan masakan Padang. Makan disini berkilat perut karena kekenyangan,sekalian melepaskan rindu, kata beliau. Selesai makan siang dan mengobrol sebentar, kami kembali lagi ke mesjid Nabawi untuk salat Asar berjamaah. Setelah kami menunaikan salat fardu berjemaah di mesjid Nabawi sebanyak 40 kali dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, kami siap-siap berangkat ke Mekah. Kami berangkat ke Mekah jam 11.00 pagi. Naik bus baru dan bagus, sama barunya dengan bus yang kami tompangi dari Jedah ke Medinah tempo hari. Alhamdulillah kesehatan ibunda sudah agak lumayan. Jarak Medinah ke Mekah lebih kurang 500 kilometer. Kami berhenti dulu di Miqat Bir Ali untuk melaksanakan mandi dan salat sunat. Mengganti pakain biasa dengan pakaian ihram, karena kita akan memasuki tanah suci. Sejak itu berlaku hukum ihram dengan segala macam larangan dan bermacam-macam anjuran yang patut dilakukan.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

220

Saya antarkan ibunda terlebih dahulu untuk mandi dan salat sunat dua rakaat, setelah beliau selesai saya antarkan beliau kembali ke bus yang kami tompangi. Setelah itu baru saya mempersiapkan diri untuk mandi dan salat sunat dan berpakaian ihram. Ada kira-kira satu jam bus yang kami tompangi itu berhenti di Bir Ali, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekah. Sopir bus banyak berhenti di jalan dengan alasan capek dan mengantuk, padahal yang sesungguhnya dia meminta bakhsis atau tip sebagai tambahan penghasilan. Setelah terkumpul beberapa puluh real dia berangkat lagi. Ada beberapa dia berlaku demikian. Jika tidak dikasi bakhsis, dia hanya duduk-duduk saja di kedai kopi yang banyak terdapat di pinggir jalan. Kami sampai di Mekah besok paginya. Sebelum pergi ke asrama kami menunaikan tawaf selamat datang terlebih dahulu. Setelah selesai tawaf, sa`i dan tahlul, baru kami di antarkan ke asrama yang sudah disediakan oleh syekh. Sama seperti di Medinah asrama yang disediakan jauh dibawah kondisi yang memadai. Regu kami ditempatkan di lantai empat, Sama seperti di Medinah jalan menuju asrama tersebut melalui tempat pemeliharaan biri-biri. Kamar-kamarnya pengap dan tidak mempunyai fasilitas lainnya seperti dapur dan kamar mandi hanya ada satu untuk berpuluh-puluh orang. Bangunan tersebut hanya di tempati sekali setahun yaitu hanya dimusim haji saja. Bapak Oemar Bakry berusaha mencari tempat lain untuk kami tempati selama berada di Mekah. Akhirnya kami menyewa rumah syekh yang mengurus kami. Syekh ini berasal dari Malaysia yang sudah menjadi warga negara Arab. Jadi kami berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Rumahnya agak jauh dari Mesjidil Haram dengan harga sewa termasuk menyediakn mobil metro mini untuk antar jemput dari rumah ke Mesjidil Haram dua kali sehari semalam. Yaitu waktu subuh mengantarkan pulang pergi, sedangkan untuk Lohor hanya mengantarkan saja dan dijemput nanti setelah salat Isya Setelah sepakat dengan syarat tersebut maka regu kami pindah dari asrama ke rumah syekh yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari Mesjidil Haram. Sayang, kesepakatan yang disetujui bersama tidak sesuai dengan realisasinya. Setelah uang sewa diterima oleh syekh, pada awal-awal masih konsisten dengan janji itu, setelah dua minggu kemudian bermacam-macam alasan shekh untuk tidak memenuhi janji semula. Menghadapi kondisi demikian kami hanya bersabar, agar nilai ibadah haji kami tidak rusak karenanya.. Udara di di Mekah agak lumayan, jika dibanding dengan di Medinah. Namun demikian ibunda masih sering sakit. Mula-mula selama masih ada mobil mengantar dan menjemput sesuai dengan kewajiban syekh, beliau sering pergi ke Mesjidil Haram. Tetapi setelah tidak ada mobil mengantar dan menjemput beliau jarang pergi salat berjemaah dan tawaf, ke Mesjidil Haram karena tidak kuat berjalan dan berdesak-desakan. Bahkan selama beliau sakit, saya sempat berbakti kepada beliau dengan mencuci pakaian beliau dan memijit-mijit tangan dan kaki beliau. Semoga nilai ibadah beliau tidak bekurang, Amin!. Ada satu keanehan yang saya rasakan selama berada di Mesjid Nabawi dan di Mesjidil Haram di Mekah. Sewaktu saya duduk berzikir setelah salat Lohor menunggu waktu Asar tiba, terasa di bahu saya ada orang yang mencuil seakan-akan ada teman di belakang. Setelah saya menoleh ke belakang, ternyata tidak ada siapa-siapa. Kejadian ini ada beberapa kali di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

221

Medinah maupun di Mekah. Hal ini tidak lagi saya rasakan sewaktu saya menunaikan ibadah haji tahun1980 maupun tahun l993. Pada satu hari, saya bertanya kepada syekh berasal dari Malaysia itu, tentang Jabbal Noor. Beliau mengatakan Jabbal Noor dekat dari sini, cukup dengan naik bus dan bayar satu real, sudah sampai disana. Saya katakan bahwa saya ingin sekali melihat gua tempat ayat pertama diturunkan kepada Rasulullah Saw. Saya coba mengajak Marwan untuk pergi ke sana sebab yang mungkin mau ikut adalah dia, mengingat umurnya masih muda dibanding dengan anggota kami yang lainnya. Ternyata dia berhalangan karena akan membawa ibundanya berobat. Saya putuskan untuk pergi sendiri, dan malamnya saya minta izin kepada ibunda untuk pergi ke Jabbal Noor melihat gua tempat ayat pertama diturunkan Allah melalui Jibril kepada nabi Muhammad Saw. Kata beliau pergilah, hati-hati di jalan dan cepat pulang. Kepada anggota lainnya saya beritahukan bahwa saya besok akan pergi ke Jabbal Noor sendirian. Selesai salat Subuh di Mesjidil Haram, saya langsung pergi kesana menumpang bis umum. Besok pagi-pagi, sebagaimana biasa, saya bangun setelah azan pertama di kumandangkan. Di Mekah ada dua kali azan. Azan pertama kira-kira satu jam sebelum waktu subuh datang, sedangkan azan kedua adalah azan untuk memangggil Salat Subuh. Di pagi kelam itu sudah banyak orang berjalan kaki menuju Mesjidil Haram, baik jemaah dai luar Arab maupun jemaah lokal. Rasanya di Mekah dan di Medinah tidak pernah sepi selama 24 jam dari orang-orang berjalan kaki menuju Mesjid maupun yang pulang. Sampai di Mesjidil Haram, masih ada waktu untuk salat sunat tahyatul mesjid dan tahjud sebelum waktu subuh datang. Selesai salat Subuh saya tunggu sebentar sampai hari sedikit terang, baru saya pergi ke tempat pemberhentian bus.. Saya tanyakan kepada salah seorang knek yang ada disitu, mana bus yang akan berangkat menuju Jabal Noor. Dia menujukkan bus yang akan berangkat kesana. Saya naiki bus tersebut, ternyata diatas bus sudah ada beberapa orang penumpang duduk diatas bus. Saya pilih tempat duduk yang berdekatan dengan orang yang berkulit sawo matang seperti saya, supaya dapat berkomunikasi dalam perjalanan. Kira-kira setengah jam perjalanan kami sampai di kaki bukit Jabbal Noor. Sudah banyak orang dari berbagai bangsa di situ yang akan berangkat ke atas. Saya bergabung dengan mereka, karena kami mempunyai maksud yang sama. Dalam perjalanan saya berpikir bagaimana kesulitan yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw dizaman itu menaiki bukit yang begitu terjal dan sepi seorang diri. Kalau bukanlah bimbingan dari Allah Swt, rasanya tidak ada orang mau dan berani berjalan kesana. Di tahun 1975 saja, itu sudah banyak tempat yang di perbaiki oleh Pemerintah Arab Saudi untuk mempermudah bagi umat yang akan berziarah kesana sudah sulit mencapai gua, apalagi dizaman itu. Di beberapa tempat demikian curamnya sehingga orang seperti memanjat tangga untuk sampai ke gua tersebut Jarak antara kaki gua dengan gua ada kira-kira 3 kilometer.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

222

Yang aneh adalah di dalam perjalanan kira-kira 1 kilometer lagi akan sampai ke gua, di situ ada seekor onta yang sedang makan rumput dijaga oleh seorang pengembala. Ada beberapa menit saya terpaku melihat onta tersebut. Dalam hati saya bertanya bagaimana dia bisa naik sampai ke tempat itu dan untuk apa dia disitu. Setelah saya tanyakan dengan bahasa isyarat kepada pengembala, rupanya onta dibawa kesitu melalui bukit dari arah sebelah yang lebih landai. Maksudnya adalah, jika ada penziarah yang sakit atau takut menurun di jalan semula bisa menyewa ontanya untuk dibawa turun melalui jalan yang lebih landai dan lebih jauh. Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga di gua yang bersejarah itu. Di pintu gua sudah ada beberapa orang sedang antri yang akan memasuki gua. Gua itu tidak begitu besar, hanya muat dua orang didalam. Setelah dua orang di dalam salat sunat dua rakaat, dia keluar dan masuk lagi dua orang yang sedang antri. Demikian selanjutnya. Setelah saya sampai di dalam gua saya melihat keluar di arah kiblat ada seperti jendela selebar lebih kuang 40 senti meter persegi, bersudut-sudut seperti pecahan batu. Saya arahkan pandangan saya ke arah kiblat ternyata padangan langsung ke arah kaabah tanpa ada sesuatu yang menghambat. Bila kita melihat ke bawah ternyata curam. Tidak mungkin ada orang berdiri atau duduk di hadapan jendela, atau ada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hadapannya. Subhanallah, ada seorang manusia berada di dalam gua yang seram dan sulit itu sendirian, menunggu wahyu dari Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw. Selesai saya salat sunat dua rakaat, saya keluar dari gua memberi kesempatan pada penziarah lainya masuk ke dalam gua. Saya keluar tidak langsung pulang, tetapi saya mencari tempat duduk di samping gua dan melihat ke arah kaabah, sambil merenung akan kebesaran Allah Swt, dan mengingat beratnya perjuangan nabi Muhammad Saw, menghimbau umat kepada tauhid. Ada kira-kira setengah jam saya duduk di situ, hanyut dengan bermacam-macam pikiran untuk mendekatkan diri kepada Nya. Setelah itu saya langsung pulang dengan menggunakan bus umum. Sampai di pemberhentian bus yang dekat tempat tinggal, saya turun dengan rasa puas yang tidak mungkin saya ulangi lagi. Di rumah saya ceritakan kepada anggota regu yang lain, pengalaman saya ziarah ke Jabbal Noor sendirian. Akhirnya, hari yang di tunggu-tunggu oleh seluruh jemaah haji tiba, yaitu hari arafah. Alhamdulillah, kesehatan ibunda sudah agak lumayan, sehingga beliau tidak perlu di bawa dengan ambulans atau dipapah. Beliau kuat berjalan walaupun agak pelan-pelan. Rombongan kami berangkat ke Arafah satu hari sebelumnya. Jalan-jalan raya belum begitu macet. Sesampai kami di Padang Arafah, masuk ke dalam tenda masing-masing. Saya dan Bapak Oemar Bakry pergi ziarah ke Jabbal Rahmah tempat Nabi Adam dengan Siti Hawa dipertemukan kembali oleh Allah Swt setelah terpisah sejak di turunkan dari Sorga ke Alam Dunia. Sekembali dari Jabbal Rahmah, sambil pulang, kami sempat berjalan-jalan ke atas bukit-bukit batu yang ada disekitar padang Arafah. Wukuf di Arafah adalah termasuk salah satu rukun haji. Tidak syah haji seseorang bila tidak wukuf di Arafah. Semua jemaah dibawa ke Arafah, sekalipun sakit dibawa dengan ambulans atau di atas tandu. Pada hari wukuf di Arafah warga Arab yang bermukim dikotakota lain sekitar Mekah banyak yang datang dengan mobil sendiri. Membawa isteri dan anakMengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

223

anaknya seperti piknik saja. Mereka membawa tenda-tenda kecil serta makanan secukupnya, karena ingin mendapatkan Rachmat Allah di hari yang mulia itu. Demikian mulianya hari itu, bagi umat Islam yang tidak sempat datang ke Arafah sunat takqid berpuasa pada hari Arafah, yang jatuh pada tanggal 9 Zulhijjah. Di hari Arafah itu kita di suruh meminta maaf dan berdoa se khusuk-khusuknya, dan sebanyak-banyaknya.. Tidak ada tempat lain di dunia yang memberikan ketenangan dan keinsafan seperti di tempat dan di hari Arafah itu. Wukuf di Arafah tidak dapat di wakili oleh siapapun. Keluar dari padang Arafah sesudah salat Magrib, menuju Mina dan mampir mabid di Muzdalifah untuk mengambil batu pelempar syaitan di Mina besoknya. Perjalanan dari Arafah sampai ke Mina itu betul-betul menghendaki kesabaran yang mendalam, karena macetnya. Bayangkan, mobil dan manusia datang ke Arafah berangsur-angsur selama dua atau sehari sebelum hari Arafah, sekarang mereka keluar dari Arafah di detik dan jam yang bersamaan. Bagi jemaah yang masih kuat fisiknya lebih memilih berjalan kaki daripada naik bus, akan lebih cepat sampai di Muzdalifah. dan Mina. Resikonya ialah dia tidak akan bertemu lagi dengan bus atau mobil yang ditompanginya semula. Alhamdulillah sampai di Muzdalifah ibunda kuat turun mencari batu, yang akan digunakan untuk melempar syaitan di Mina nanti. Selesai mencari batu, kami naik bus kembali. Setelah seluruh jemaah lengkap naik ke atas bus, maka bus pun berjalan pelan-pelan karena macet. Tidak lama setelah itu kami sampai di Mina dan diantarkan oleh sopir bus ke tenda yang disiapkan untk rombongan kami, berdekatan dengan tempat penyembelihan qorban, tetapi jauh dari tempat melempar Jumrah. Di Mina kami tinggal selama tiga hari tetap dalam keadaan ihram, sampai selesai melempar jumrah. Melempar jumrah kami memilih waktu petang hari, karena di waktu petang orang tidak begitu padat dibanding dengan di pagi hari. Setelah itu baru kami ke Mekah untuk tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Di hari kedua kami di Mina terjadi kebakaran besar yang tidak jauh dari tenda kami. Kabarnya kebakaran terjadi berasal dari sebuah kompor meledak langsung menyambar tenda jemaah. Karena angin kencang maka api tersebut menjalar kemana-mana. Untuk memadamkan api, tidak mungkin menggunakan brand wir, karena tenda sangat rapat. Kerajaan Arab Saudi menggunakan beberapa helikopter di udara dengan menyemprotkan bahan kimia ke api yang sedang manyala. Rombongan kami pun panik dan bersiap-siap dengan barang bawaannya untuk mencari tempat yang lebih aman. Tapi maksud terebut di halangi oleh Bapak Oemar Bakry. Beliau sangat tenang menghadapi kejadian itu. Bahkan beliau membawa foto tustel untuk memotret kejadian disekeliling. Tidak ada rasa cemas dan panik sedikitkan dalam pikiran beliau menghadapi situasi yang demikian. Ada kira-kira dua jam api berkobar, setelah itu mulai mengecil. Tidak lama setelah itu turun hujan lebat, sehingga tenda kami kebanjiran. Untuk mempercepat kering terpaksa kain terpal yang dijadikan untuk alas tidur, kami robek-robek dengan pisau supaya air cepat turun ke pasir dibawah terpal. Kondisi fisik ibunda tidak mungkin beliau melempar jumrah yang berdesak-desakan di tiga tempat. Tugas melempar jumrah dapat diwakilkan kepada siapa saja. Tetapi karena anak
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

224

beliau ada disitu, tentu lebih afdal kalau saya yang mewakili beliau melempar jumrah. Selesai melempar jumrah, kami berangkat menuju Mesjidil Haram untuk tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Karena kondisi fisik ibunda tidak memungkinkan, maka untuk tawaf beliau menggunakan tandu yang di gotong oleh dua orang, sedangkan untuk sa,i saya menyewa kursi dorong, yang saya dorong sendiri sampai selesai, sambil berdoa bersama beliau. Selesai tawaf ifadah, berarti seluruh rukun haji sudah kami kerjakan, kecuali tawaf wada atau tawaf perpisahan. Kami tinggal menunggu hari pulang ke tanah air. Sambil menunggu hari kepulangan, saya dan ibunda pergunakan waktu mencari sedikit oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ibunda membeli beberapa lembar karpet pajangan di dinding dan saya membeli karpet panjang untuk salat, cukup untuk 8 orang. Selain itu kami juga membeli gambar mesjidil Haram dan Mesjid Nabawi serta beberapa barang kecil lainnya. Beberapa hari setelah melaksakan tawaf ifadah, sudah ada pemberitahuan, bahwa besok pagi secara berombongan melaksanakan tawaf wada. Seluruh jemaah diminta mempersiapkan barang-barang bawaannya, untuk dimassukkan kedalam bus. Selesai tawaf wada, jemaah langsung naik ke dalam bus terus berangkat ke Jedah dan tidak boleh lagi kembali ke Mesjidil Haram atau melihat ke Kabah. Waktu melaksanakan tawaf wada tersebut tidak ada jemaah yang tidak mengeluarkan air mata sedih, bahkan menangis tersedusedu. Kami menangis karena akan berpisah dengan Kaabah, tempat semua umat islam diseluruh dunia menghadapkan mukanya diwaktu salat. Entah sempat lagi bertemu dimasa datang entah tidak. Semoga ibadah haji kami semua di terima sebagai haji yang mabrur, Amin !. Selesai tawaf wada kami di anjurkan untuk keluar dari Mesjidil Haram dengan jalan mundur ke belakang, karena tawaf wada adalah salah satu rukun haji, bila melihat kembali ke Kaabah maka tawaf wadanya batal. Bus yang akan kami tompangi diparkir dekat dengan Masjidil Haram, sedangkan barang bawaan kami sudah ada di dalamnya. Setelah rombongan kami lengkap berada didalam bus, maka bus pun bergerak menuju kota Jedah. Di Jedah kami di tampung dalam asrama haji untuk semalam. Kota Jedah adalah kota internasional dengan segala macam godaan duniawi. Nyata sekali bedanya, jika dibanding dengan kota Medinah dan kota Mekah, cermin dari dua kota haram yang disebut Haramain. Sudah nampak di jalan-jalan orang asing dengan pakaian yang memperlihatkan aurat, menjadi pandangan lumrah. Pandangan itu tidak pernah kita temukan di kedua kota terakhir Malam itu ada pengumuman supaya seluruh jemaah yang termasuk dalam kelompok terbang kami bersiap-siap jam 6.00 pagi untuk kembali ke tanah air. Pengumuman itu memberikan kegembiraan tersendiri. Memang setelah selesai tawaf wada, pikiran sudah ingin cepat-cepat pulang ke tanah air, rindu dengan anak-anak dan tugas yang tertinggal selama menunaikan ibadah haji. Besok pagi jam 5.00 bus yang akan mengangkut kami ke air-port sudah datang. Bagi yang sudah siap, di persilahkan memasukkan barang-barangnya ke dalam bus berikut orangnya untuk dibawa ke air-port secara mencicil. Kebijakan ini adalah untuk mempersingkat waktu menunggu di air-port. Biasanya penyelesaian bagasi memakan waktu berjam-jam, karena waktu datang, mungkin tidak sebanyak itu barang yang dibawa.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

225

Sedangkan pulangnya barang bawaan bertambah dengan oleh-oleh dan tanda mata, sehingga melebihi berat yang diizinkan (over weight). Lama kami menunggu di air port. Penyelesaian imigrasi dan doane memakan waktu hampir empat jam. Kami baru bisa naik ke pesawat sudah hampir jam 10.00 pagi, Dan 10,30 baru pesawat take off. Diatas pesawat pikiran seakan-akan sudah sampai di Bandung. Pikiran menerawang kemana-mana. Rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang sudah tersusun dalam benak saya. Kadang-kadang sudah sampai kepada yang disebut angan-angan. Rencana jangka pedek, adalah bila sampai di Bandung beristirahat agak dua hari sambil meng inventarisir pekerjaan yang ada di Bandung. Setelah itu ke Jakarta me inventarisir pekerjaan di Jakarta, bila tidak ada hal-hal yang urgent diselesaikan pergi ke Padang mengantarkan ibunda pulang kampung. Membuka Kantor Cabang KAP di Padang (1978) Alhamdulillah, kami selamat sampai di Halim Perdana Kusumah malam hari,setelah menempuh perjalanan selama 11 jam tanpa stop over. Di air port sudah menunggu anak-anak menggunakan mobil kesayangan kami Bell Air buatan tahun lima puluhan. Mereka menungu kami kira-kira 1 jam untuk penyelesaian pabean dan imigrasi. Setelah selesai memasukkan barang bawaan kami ke dalam mobil, dan langsung berangkat menuju Bandung. Hampir subuh kami baru sampai di Bandung. Selesai salat Subuh kami tidur sebentar, karena hampir dua malam tidak tidur dengan baik. Jam 8.00 saya terbangun, Amir Syafni bersama isteri sudah ada dirumah. Maksudnya menjenguk orang yang baru pulang dari Mekah. Sudah menjadi tradisi, bahwa bila ada keluarga atau teman dekat pulang atau pergi dari/ ke Mekah di jenguk dan mengucapkan selamat mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur. Hidangan yang lazim adalah air zamzam dan buah korma. Tidak lama kemudian kakanda A.Tadjuddin bersama kakanda Jaraniah juga datang dengan maksud yang sama. Besoknya saya mulai membicarakan pekerjaan dengan Faesal Leboe, sebagai asisten senior saya untuk pekerjaan yang ada di Bandung. Dua hari setelah itu saya pergi ke Jakarta dengan maksud yang sama. Alhamdulillah tidak ada pekerjaan yang mendesak yang perlu saya selesaikan. Karena saya merencanakn akan ke Bukittingi mengantarkan ibunda pulang, maka saya berniat akan menemui Akuntan Johny Marsini yang sudah bermukim di Padang. Johny Marsini adalah partner Avedeco consultant sebelum saya. Maksudnya adalah untuk berkenalan dan berbasa basi bahwa clientnya di Avedeco selama ini saya yang melanjutkan Saya minta alamatnya di Padang kepada Edwardly Pamuncak Direkur Utama Avedeco. Setelah mendapat alamatnya saya pesan ticket pesawat untuk dua orang ke Padang 3 hari kemudian. Saya jemput ibunda ke Bandung dan pada hari yang ditentukan kami berangkat ke Bukittinggi mengantarkan ibunda pulang kampung setelah menunaikan ibadah haji. Hari berikutnya saya ke Padang menemui Johny Marsini yang waktu itu menjadi Keuangan di Pabrik Semen Indarung. Dia senang saya kunjungi, bahkan dia menganjurkan supaya saya membuka kantor cabang di Padang dan melanjutkan client-clientnya yang ada di Sumatra
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

226

Barat. Dia menyerahkan clietnya itu, karena sebagai seorang Direktur Keuangan pada suata perusahaan Negara tidak boleh rangkap jabatan di luar, kecuali sebagai dosen. Sebagai kompensasinya dia menitipkan temannya, beberapa orang dosen dari Universitas Andalas (UNAND) dilibatkan dalam pemeriksaan pada objek-objek yang diaudit. Anjurannya itu saya sambut dengan gembira dan ucapan terima kasih atas kepercayaannya kepada saya, sekalipun baru berkenalan. Untuk konkritnya dia minta saya datang lagi besok untuk diperkenalkan dengan teman-temanya di Lembaga Manajemen Unand yang kantornya berada di dalam kampus Unand. Ada 5 buah clientnya yang akan di alihkan ke saya, antara lain Bank Nasional di Bukittinggi, Bank Pembangunan Daerah Sumatra Barat (BPD), PT Pembangunan Sumatra Barat dan ada dua buah lagi anak perusahaan BPD Sumbar. Johny Marsini adalah orang yang merintis pembukaan jurusan Akuntansi di Unand yang sebelumnya belum ada jurusan Akuntansi dengan berafiliasi dengan Universitas Indonesia di Jakarta sampai sekarang. Saya juga ditawari untuk menjadi dosen terbang di Unand. Tawaran tersebut saya tolak dengan halus, dengan alasan saya ingin berkonsentrasi dalam profesi akuntan. Di Lembaga Manajemen UNAND saya di perkenalkan dengan Drs. Chairil Anwar MBA selaku direktur lembaga, Drs. Syiar Isin selaku wakil Direktur dan Agus Saan selaku sekretaris. Kami sepakat bekerja sama dengan pribadi-pribadi, bukan dengan Lembaga Manajemen UNAND. Karena kerja sama sudah konkrit, maka saya harus menyiapkan kantor dengan kelengkapannya, disamping orang yang akan duduk sebagai kepala cabang sebagai kordinator untuk daerah Sumatera Barat. Pertama-tama saya cari dulu orang yang akan dijadikan kepala Cabang, karena kalau sudah dapat orang yang akan menjadi kepala cabang, berarti sudah ada teman untuk mencari kantor dan lain-lain. Alhamdulillah, dalam waktu semiggu saya dapat menuntaskan pembentukan cabang Padang dengan Taswir Yusi selaku Kepala Cabang, dan berkantor di salah satu paviliun rumah teman Taswir Yusi di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi. Setelah lengkap semua, saya bawa Taswir Yusi berkenalan dengan teman-teman di Lembaga Manajemen UNAND, supaya di follow up kesepakatan yang sudah di capai. Disamping itu, karena waktu audit di Bank Nasional sudah siap untuk di mulai, berarti asisten di lapangan sudah harus di persiapkan. Untuk pertama kali perlu mengirim Ibrahim Sati ke Padang sambil mencari orang yang akan dilatih untuk melanjutkannya di belakang hari. Kebetulan ada pelamar baru bernama Aldini Arifin, yang baru saja berhenti dari Bank Negara Indonesia. Pada saat audit di Bank Nasional dimulai Aldini Airifin sudah mulai dilibatkan sebagi calon asisten senior di Sumatra Barat dibelakang hari, disamping dosen UNAND selaku part timer. Di luar dugaan saya, bahwa perkenalan saya dengan Johny Marsini akan berlanjut dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Semula direncanakan saya di kampung hanya dua atau tiga hari, ternyata molor menjadi sepuluh hari. Alhamdulillah, maha benar janji Allah, bahwa biaya untuk ibadah haji akan di ganti oleh Allah dalam bentuk lain.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

227

Menunaikan Ibadah Haji Bersama Isteri (1980) Saya kembali lagi ke Jakarta sendirian dan ibunda saya tinggalkan di kampung, karena sudah lebih tiga bulan beliau meninggalkan kampung. Belum pernah beliau meninggalkan kampung selama itu. Pesan beliau untuk membuat musalla tidak pernah lupa dari ingatan saya. Mungkin beliau terus berdoa. Saya merasakan bahwa sekembali saya dari ibadah haji membawa ibunda, pekerjaan terus mengalir, terutama dari Direktorat Jenderal Pengairan dan Diektorat Air Bersih. Dengan demikian sepanjang tahun tidak ada waktu yang kosong. Biasanya pekerjaan audit untuk perusahaan swasta sibuknya hanya dari bulan Nopember sampai bulan April tahun berikutnya Karena tahun buku perusahaan adalah dari Januari sampai dengan Desember. Umumnya mereka minta laporan audit sudah dapat mereka terima bulan February dan Maret untuk kepentingan Bank pemberi dana dan untuk kepentingan pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Sedangkan tahun anggaran proyek pemerintah adalah dari bulan April sampai dengan bulan Maret tahun berikutnya. Umumnya pemimpin proyek mengharapkan penyusunan laporan keuangan proyek sudah dapat mereka terima antara bulan Mei sampai dengan Oktober, untuk memberi kesempatan kepada BPKP melaksanakan audit. Hasil audit dari BPKP mereka kirimkan kepada Bank dunia yang ikut membiayai proyek tersebut. Saya bersyukur kepada Allah Swt, bahwa kerja keras dan doa dari ibunda tersebut ada berkahnya dalam bentuk investasi fisik seperti; membuat rumah untuk ibunda, bersama adinda Chairman dalam tahun 1976. Membuat rumah untuk anak-anak di kampung Januari 1977. Membeli tanah dan rumah di Jalan Kramat VI No. 39 Desember 1979. Kecuali itu sebagai insentif kepada assisten yang sudah bekerja selama 5 tahun, memberangkatkan mereka menunaikan ibadah haji dengan biaya dari kantor akuntan sebesar Ongkos Naik Haji (ONH). Bila yang bersangkutan belum mempunyai rumah, atau asisten yang bersangkutan non muslim uang senilai ONH tersebut dapat diambil kontan untuk uang muka perumahan Yang sempat memanfaatkan fasilitas bonus tersebut untuk naik haji adalah Ibrahim Sati dan Faesal Leboe, sedangkan yang memanfaatkan untuk perumahan adalah Sabam Pohan. dan Herry Guswara. Rekrutmen tenaga waktu itu asal ada dasar pembukuan saja sudah cukup. Banyak anak-anak tamatan SMEA yang diterima dengan catatan mereka setelah bekerja dua tahun, mereka aktif mencari kerja ditempat lain dengan janji kantor Akuntan akan mengeluarkan surat keterangan pengalaman seakan-akan mereka telah bekerja melebihi yang sesungguhnya. Tidak aneh bila di kantor Bandung dan di Jakarta jumlah asisten waktu itu selalu diatas 10 orang dan kebanyakan dari mereka adalah numpang mencari pengalaman, beberapa tahun setelah itu pergi mencari pekerjaan di perusahaan lain. Pada suatu hari, waktu saya berkaca sambil menyisir rambut, saya perhatikan rambut saya sudah banyak yang putih. Saya ingat bahwa masih ada satu kewajiban lagi kepada isteri saya, yang belum saya laksanakan, yaitu memberangkatkan dia menunaikan ibadah haji sebagai rukun islam yang ke lima. Beban itu terletak di pundak saya selaku suami. Sedangkan Allah telah memberi rezki cukup untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Saya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

228

ingat pada hadis yang mengatakan, bila seseorang sudah mampu fisik dan rezki untuk menunaikan ibadah haji, tetapi dia tidak menunaikannya, bila dia mati maka matinya itu sama dengan matinya orang Yahudi.Alangkah beratnya sangsi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, kepada umatnya. Bila itu terjadi tentu saya selaku suami tidak dapat berlepas diri memikul beban tersebut. Saya waktu sudah berumur 52 tahun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap diri kita besok, bulan depan, atau tahun depan. Oleh karena itu mumpung badan masih sehat rezki ada, alangkah baiknya kewajiban itu ditunaikan sekarang saja. Anak yang sulung waktu itu berumur 24 tahun diharapkan sudah bisa mengawasi adik-adiknya. Saya sampaikan niat ini kepada isteri dengan menjelaskan bahwa sekaranglah waktu yang terbaik kita menunaikan ibadah haji selagi badan sehat dan rezki ada. Sedangkan untuk menjaga anak-anak kita minta tolong ibunda Samsiar datang ke Bandung. Kebetulan Syarifuddin beserta isterinya juga berangkat ke tanah suci tahun itu juga. Alhamdulillah ternyata isteri setuju dan mulailah saya dan Syarifuddin mempersiapkan bersama, seperti mendaftar ke kantor Agama Bndung, mengikuti manasik dan lain-lain bersama-sama. Rencana menunaikan ibadah haji ini kami sampaikan kepada ibunda Samsiar di kampung, supaya beliau siap-siap datang ke Bandung pada waktunya nanti.

10. Santai dengan Istri tahun 1979

Alhamdulillah, segala sesuatu berjalan lancar, datanglah waktunya akan berangkat. Saya tetap di tunjuk sebagai ketua kelompok yang membawahi 15 orang jemaah, dan Syarifuddin sebagai sekretaris. Jemaah yang berasal dari Kotamdya Bandung, tetap berkumpul di halaman Kotamadya supaya berombongan memakai bus berangkat ke asrama haji dekat taman mini Jakarta. Waktu itu asrama haji sudah khusus untuk menampung jemaah yang akan berangkat, sedangkan sebelumnya asrama haji di Tulodong, meminjam asrama Mobil Brigade. Dalam rombongan kami yang 15 orang ada salah seorang sebaya dengan kami yang berangkat sendirian tanpa disertai oleh isterinya. Dia berasal dari Pariaman, orangnya kocak dan suka membuat lelucon. Segala sesuatu yang dilihatnya dapat dijadikan bahan tertawa.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

229

Kami tidak begitu senang dengan kelakuan orang ini, menyebabkan kepergian kita untuk beribadah yang menghendaki kekhusyukan .Oleh karena itu kami selalu berusaha berjauhan dengan orang tersebut. Sama seperti jemaah haji tahun 1975, kita di tampung di asrama haji selama dua hari dan dua malam untuk pemeriksan kesehatan dan mendapatkan suntikan anti penyakit menular. Di asrama haji itu juga kita diberi bekal uang real dan gelang dari besi putih dengan nama masing-masing jemaah, sebagai tanda pengenal bila terjadi apa-apa pada jemaah yang bersangkutan dalam perjalanan. Kami diberangkatkan di malam hari menggunakan pesawat charter dari Arab yang besar dan berlantai dua. Pilotnya orang Arab hanya pramugarinya orang Indonesia. Pesawat terbang langsung ke Jedah dan memakana waktu 9 jam. Di Jedah kami menunggu semalam dan besoknya baru diberangkatkan ke Medinah. Di Medinah kami ditampung di asrama yang baru selesai di bangun. Fasilitasnya lebih baik dibanding dengan asrama kami tahun 1975 dulu. Kami kebagian di lantai empat Di Medinah kami di beri tikar yang ada busa tipis untuk tidur, beras, minyak goreng, dan lain lain serba sedikit. Sejak itu kami beli kompor gas untuk masak, seklian untuk oleh-oleh pulang. Waktu itu seluruh jemaah haji adalah jemaah reguler, belum ada jemaah plus. Jemaah yang berangkat dengan keluarga terpaksa masak sendiri atau makan di restoran yang banyak ditemui di dalam perjalan ke Mesjid Nabawi maupun ke Mesjidil Haram. Dalam rombongan kami ada bapak Adnan bersama isteri. Beliau orang Solok dan pensiunan Telkom, Beliau pernah kena stroke ringan, sehingga jalan beliau belum begitu sempurna. Untuk merukuk mengambil sendal saja beliau kesulitan Saya lah yang membawa dan menyimpan sendal beliau bila akan masuk dan keluar dari Mesjid Nabawi. Kelihatan ini pekerjaan hina jika dilihat dari kaca mata normal. Isteri beliau tidak dapat melakukan itu karena tempat salat laki-laki dan perempuan di Mesjid Nabawi berpisah jauh. Tetapi saya bersyukur dapat mendampingi beliau pergi dan pulang Mesjid Nabawi, karena saya yakin betul bahwa bila kita meringankan orang dalam kesusahan maka Allah akan meringankan kita dalam kesusahan. Sembilan hari kami di Medinah untuk mendapatkan arba,in, yaitu salat fardu berjamaah tanpa putus di Mesjid Nabawi selama 40 kali mendapat ganjaran yang lebih besar disisi Allah, menurut sebuah hadis. Ada juga ulama yang memperdebatkan ke sahihan hadis ini. Dihari-hari tertentu rombongan kami dibawa syekh pergi ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti ke mesjid kiblatain, bukit uhud dan lain-lain. Setelah itu rombongan kami berangkat menuju Mekah Mukarramah dan mampir di Bir Ali untuk berganti pakaian dari pakaian biasa dengan pakaian ihram. Di Mekah, kami ditempatkan juga di asrama yang tidak begitu jauh dari Mesjidil Haram. Kebetulan kami kebagian di lantai 3 diantara 5 lantai seluruhnya. Waktu itu belum ada lift, jadi harus dinaiki melalui tangga dengan jalan kaki. Fasilitas di asrama cukup memadai seperti halnya asrama di Medinah. Keperluan akan air Alhamdulillah tidak berkurang walupun tidak berlebih-lebihan. Kami selalu satu ruangan dengan Syarifuddin dan isteri, pak Adnan dan isteri, hanya kami masak sendiri-sendiri.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

230

Cuaca di Medinah dan di Mekah Mukarramah, tidak jauh beda dengan cuaca di Indonesia waktu itu, hanya angin saja yang kencang. Kadang-kadang angin tersebut membawa pasir-pasir halus. Umumnya kami menderita penyakit batuk-batuk. Syarifuddin sering sakit dan sering tidak pergi ke Mesjidil Haram untuk salat berjamaah. Berbeda dengan kami. Walaupun batuk-batuk tetap pergi dan berusaha sedapat mungkin ikut salat berjemaah di Mesjidil Haram, karena pahalanya yang sangat besar. Belum tentu kapan lagi dapat berkunjung kesana. Saya merasakan sekali perbedaan nilai ibadah saya yang kedua kali ini, dibanding dengan keberangkatan saya yang pertama kali dulu bersama dengan ibunda. Pada keberangkatan pertama dulu, dari segi fisik dulu lebih manja dibanding sekarang. Dulu tinggal di flat di lantai dua yang lebih bagus dari sekarang, yang tinggal di asrama dengan manaiki bangunan berlantai tiga atau empat dengan menaiki tangga berjalan kaki. Dulu dari rumah sewaan ke Mesjidil Haram sering menggunakan mobil, sekarang selalu berjalan kaki. Dulu tidak pernah pergi umrah sendiri di luar rombongan, sekarang boleh dikatakan pergi umrah ke Tan Im sendirian satu sampai tiga kali sehari. Menurut perhitungan manusia kepergian saya yang kedua ini lebih baik, dibanding dengan yang pertama. Mungkin yang pertama dulu sebagai penjajakan sedangkan yang kedua ini sebagai pengamalan. Alhamdulillah semua rukun haji dapat kami selesaikan sesuai dengan petunjuk dalam manasik, bahkan isteri saya dapat melaksanakan melempar jumrah sendirian, di Mina. Hanya saja beberapa orang dari rombongan kami mendapat musibah mendapat penyakit diare waktu pulang dari Padang Arafah. Selama di Arafah kami diberi makan oleh syekh yang mengurus perjalanan kami. Mungkin dalam makanan tersebut ada yang kurang cocok atau kurang bersih sehingga beberapa orang mendapat penyakit diare. Saya termasuk salah seorang yang kena penyakit diare terebut. Perasaan mulas sudah mulai terasa sejak meninggalkan Padang Arafah menuju Mina. Setelah mabid di Muzdalifah, rasa mulas bertambah-tambah, dan tidak tertahankan lagi untuk pergi mencari toilet. Kebetulan bus berjalan sangat pelan sehingga dapat turun dan mencari tempat yang mungkin digunakan untuk buang hajat. Untuk menemui toilet tidak mungkin ada, karena jalan itu hanya ditempuh orang atau mobil, hanya sekali setahun di musim haji saja. Tidak ada jalan lain, kecuali saya nekad turun dari bus dan buang hajat di pinggir jalan di tempat yang gelap. Resikonya ialah saya berpisah dengan bus yang saya tompangi semula. Saya coba mengejar dengan berjalan kaki cepat-cepat, tetap tidak bertemu lagi. Saya berpisah dengan isteri dan rombongan. Saya baru bertemu dengan air sudah sampai di Mina untuk beristinjak secara sempurna, dan sekalian salat subuh. Setelah salat Subuh saya baru berusaha mencari isteri dan rombongan dengan cara bertanya-tanya, kepada orang-orang Indonesia yang berjumpa. Akhirnya saya bertemu dengan salah seorang panitia haji orang Indonesia dan kami cari berdua. Kira-kira jam 9.00 pagi baru bertemu. Masing-masing kami sudah cemas, takut sudah terjadi apa-apa. Kebetulan di situ sudah ada tim kesehatan dan saya minta obat diare sekalian.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

231

Saya dan Syarifuddin beserta keluarga tetap tinggal di Mina selama tiga hari untuk menyelesaikan pelemparan jumrah Setelah itu baru pergi ke Mesjidil Haram untuk melakukan tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Di Mina jalan-jalan tidak penuh lagi dengan kendaraan mau pun jemaah haji, karena di hari pertama banyak jemaah langsung ke Mekkah melakukan tawaf ifadah. Jalan-jalan sudah agak sepi. Kami sempat jalan-jalan melihat orang melakukan qurban menyembelih domba, sapi dan ada juga onta. Bangkaibangkai binatang qurban tersebut menggunung sampai membusuk. Tidak banyak diambil orang, kecuali ada beberapa orang Nigeria menjemur dan membuat daging tersebut.menjadi dendeng. Sepintas lalu kelihatan seperti melakukan sesuatu yang mubazir, sedangkan pekerjaan mubazir dilarang oleh Allah, di golongkan sebagai saudara dari Syaitan. Semoga Allah menunjuki umatnya jalan keluar, dan tidak menjadikan daging-daging korban itu menjadi mubazir, karena di sebelah bumi lainnya masih banyak umat islam yang serba kekurangan, dan kelaparan. Setelah tiga hari kami melempar jumrah di Mina, kami berangkat ke Mesjdil Haram untuk melakukan tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Selesai tawaf ifadah, kami kembali ke asrama semula. Rasanya seluruh rukun haji telah kami selesaikan, sekarang menunggu pemberitahuan untuk melakukan tawaf wada, atau tawaf perpisahan. Setelah itu langsung berangkat ke Jedah, untuk berangkat kembali ke tanah air. Alhamdulillah, Syarifuddin waktu itu sudah sehat, dan banyak keluar sambil membawa foto tustel, memotret objek objek yang penting sambil membeli banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang. Kami juga membeli oleholeh untuk anak-anak dan ibunda mertua sekadarnya. Mendirikan PT. Cipta Daya Guna Mandiri bergerak dalam bidang Konsultan(1984) Akhirnya kami selamat sampai di tanah air, semoga ibadah haji kami diterima oleh Allah Swt, sebagai haji yang mabrur, Amin ! Kami sampai di Halim Perdanakusumah, anak-anak sudah menunggu di luar. Dari Halim Perdanakusumah kami mampir sebentar ke Jalan Kramat VI, setelah itu langsung berangkat ke Bandung, karena sudah 44 hari anak-anak ditinggalkan. Dalam perjalanan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan terbayang lagi di hadapan. Lebih dari lima hari saya istirahat di rumah, mencoba menghilangkan batuk yang saya bawa dari Medinah belum juga sembuh-sembuh. Kebetulan Dr. Agusni mampir ke rumah, beliau menyarankan supaya saya segera pergi ke dokter spesialis tuberclos, takut-takut ada kelainan di paru-paru saya, seperti pernah saya derita dulu dalam tahun 1955. Alhamdulillah setelah saya pergi ke Dr. Rivai di Jalan Merdeka, ternyata paru-paru saya bersih, tidak ada apa-apa. Saya diberi resep obat untuk di beli. Alhamdulillah beberapa hari kemudian batuk saya sembuh, dan saya mulai beraktivitas kembali sebagai mana biasa. Waktu itu kantor Jakarta sudah pindah ke Jalan Kramat VI No. 39 Jakarta Pusat, bekas rumah kakanda Anwar Suleiman. Maha benar Allah, dengan firman Nya di dalam Al-quran, bahwa beliau melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasi rezki kepada siapa yang Dia kehendaki. Rumah yang di Jala Kramat VI No. 39 itu seakan-akan hadiah dari kakanda Anwar Suleiman, ceritanya adalah begini.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

232

Kakanda Anwar Suleiman adalah orang Bengkulu, kakak ipar dari Nuraini tempat saya kos di Gang I, Jalan Sentiong, dulu tahun 1952. Hubungan antara saya dengan keluarga Nuraini sudah seperti keluarga sendiri. Waktu saya pindah ke Bandung juga, tinggal di rumah keluarga mereka, di Jalan Astana Anyar, di rumah Syarifah, sampai tahun 1954. Sejak saya menikah, tidak pernah lagi bertemu dengan keluarga Nuraini, baik yang ada di Jakarta maupun dengan yang di Bandung. Semenjak kantor cabang akuntan dibuka di Jakarta saya menginap di Hotel Famili, Jalan Kramat Raya No. 101. Sebetulnya tempat itu tidak cocok di beri nama Hotel, karena kelasnya adalah kelas penginapan biasa. Kalau pergi Jumat, saya pergi ke Mesjid Dewan Dakwah yang bersebelahan dengan kantor Astra, dekat bioskop Rivoli, Jalan Kramat Raya. Pada satu ketika, di pertengahan tahun 1979 saya bertemu dengan kakanda Anwar Suleiman sesama pulang dari Jumat. Sebagaimana biasa orang yang sudah lama tidak bertemu, saya menanyakan keadaan isteri beliau kakanda Fatimah. Saya tidak menanyakan anak-anak beliau, karena saya tahu bahwa beliau tidak diberi Allah seorang anak pun. Beliau mengatakan sudah beberapa tahun lalu meninggal. Saya kaget sambil menyebut Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raajiuun. Beliau terus bercerita bahwa beliau sudah menikah lagi, dengan orang Bengkulu. Beliau menyuruh saya datang ke rumah nanti jam 5.00 sore ada yang mau dibicarakan, kata nya. Sore itu saya datang, sekalian kangen-kangenan dengan keluarga yang baik hati itu, dan sudah lama tidak bertemu, seakan-akan saya melupakan jasa baik mereka selama ini. Saya lihat rumah itu tidak berobah setelah sekian tahun saya tidak kesana. Bahkan kelihatan suram dan berkesan kurang terurus.Terakhir saya ke sana sewaktu memasukkan Chairman bekerja di Departemen Perhubungan. Sewaktu itu beliau adalah Sekretaris Jenderal di Direktorat Jenderal Pariwisata, sekitar tahun 1960. Setelah bercerita bermacam-macam hal, selama tidak bertemu. Saya katakan bahwa selama tidak bertemu, saya gunakan banyak waktu saya untuk kuliah. Terakhir saya berhasil lulus akuntan dari UNPAD Bandung. Sekarang membuka kantor akuntan di Bandung dan Jakarta. Beliau menceritakan bahwa terakhir sebelum pensiun diangkat menjadi kepala perwakilan Pariwisata di Perancis. Akhirnya beliau mengatakan, bahwa beliau bermaksud menjual rumah itu, dan bermaksud membeli rumah kecil di Depok. Rumah ini sudah ditawar orang Cina dari Semarang senilai Rp. 25 juta kontan. Sekarang kamu saja yang membeli rumah ini dari pada lepas ke orang lain. Ini merupakan hadiah dari saya. Tentang pembayarannya tidak perlu segera, boleh diangsur seberapa ada uang, kata beliau. Mendengar itu terenyuh hati saya, orang yang saya hormati dan saya kagumi selama ini sebagai orang besar, jujur, berbudi, dan baik hati, akan pindah ke rumah kecil di Depok, seakan-akan mau mengucilkan diri. Beberapa menit saya termenung, dan saya katakan, saya belum bisa menjawab sekarang karena belum nampak gambaran dari mana uang sebanyak itu akan di kumpulkan. Saya berjanji akan memberi kabar dalam tempo seminggu.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

233

Beliau mengatakan yang perlu segera, adalah untuk membeli rumah di Depok sebesar Rp. 5 juta, setelah itu di musim haji nanti sebesar ONH untuk dua orang, sisanya boleh kapan saja. Mendengar itu benar-benar beliau ingin menghadiahkan rumah tersebut kepada saya dengan harga yang relatif murah dan syarat pembayaran yang sangat ringan. Saya katakan, Insya Allah, kesempatan yang kakanda berikan kepada saya ini, mudah-mudah Allah menunjuki saya jalan keluarnya yang terbaik. Minggu depan saya beri kabar dan.saya pun pamit kembali ke hotel tempat saya bermalam. Malam itu pikiran saya melayang keman-mana. Terutama, kepada kakanda Anwar Suleiman, bagaimana meringankan beban beliau dan bagimana kesempatan baik itu dapat saya raih. Terlintas dalam pikiran bahwa, kredit yang saya peroleh dua tahun lalu dari Bank Rakyat Indonesia Bukittingi untuk membuat rumah di Parit Putus sudah hampir lunas. Bila sisa utang tersebut dilunasi, mungkin bisa mendapatkan kredit baru sebesar Rp 5.juta, sedangkan untuk melunasi sisa kredit tersebut uang cukup. Besoknya saya telepon adinda Bujang Raswin di BRI bukittinggi, menyampaikan maksud saya tersebut. Alangkah gembiranya saya mendengar jawabannya yang sangat positif. Dia mengatakan bahwa kami termasuk salah seorang nasabah yang tidak pernah menunggak dan punya nama baik di BRI Bukittingi. Biarlah kakanda Lisma pulang kampung untuk mengurusnya,. Insya Allah dalam tempo seminggu bisa keluar, katanya. Saya sampaikan terima kasih saya, dan besok pagi saya transfer uang untuk melunasi sisa kredit lama dan Insya Allah, Lisma pulang minggu depan untuk mengurus kredit baru. Jika Allah akan memberi tidak sesuatu pun yang dapat menolak, sebaliknya jika Allah tidak akan memberi tidak sesuatu pun yang dapat memaksa. Besoknya saya pulang ke Bandung dan menceritakan semua ini kepada isteri. Dia setuju bahkan sudah merencanakan akan pulang kampung minggu depan, mengurus kredit tersebut. Alhamdulillah, setelah itu segala sesuatu berjalan lancar, bahkan jadwal pembayaran yang di kemukakan oleh kakanda Anwar Suleiman dapat terpenuhi, bahkan dalam tempo belum satu tahun rumah tersebut dapat dilunasi. Begitulah keadaannya bila Allah akan memberi rezki umatnya. Hubungan kerja dengan Direktorat Jenderal Pengairan dan Direktorat Air Bersih berjalan lancar bahkan bertambah intim dan dipercaya, sampai minta kepada kita menyediakan Terms Of Reference untuk beberapa penugasan yang akan di berikan kepada kita. Karena sudah demikian dekatnya, saya melihat ada peluang lain yang bisa di peroleh atas nama jasa konsultan teknik. Untuk itu diperlukan wadahnya. Timbullah ide untuk mendirikan PT Cipta Daya Guna Mandiri, yang pemegang sahamnya pertama kali adalah semua staf inti kantor Akuntan. Karena sulitnya mendapatkan sarjana bidang Teknik Penyehatan, maka perusahaan konsultan tersebut tidak pernah mendapat penugasan perencanaan teknik dari Direktorat Air Bersih. Allah menentukan lain, tidak semua yang kita rencanakan itu di kabulkan oleh Allah Swt. Buktinya antara lain, PT Cipta Daya Guna Mandiri direncanakan akan menjadi konsultan teknik dalam bidang teknik penyehatan, ternyata menyasar ke jasa pengukuran geodesi dari Departemen Transmigrasi, dengan bekerja sama dengan orang yang dekat dengan Departemen tersebut. Terakhir yang agak mantap dan memberi keuntungan yang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

234

lumayan adalah bidang jasa penilai, yang diperoleh secara tidak sengaja pertama kali dari Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, tahun 1990. Untuk menilai asset pacuan kuda Pulau Mas dengan nilai yang cukup lumayan. Mendirikan Mushola di Kampung yang dipakai TPA (Taman Pengajian Al Quran 1985) Pesan ibunda sewaktu akan berangkat ke Mekah tahun 1975, yang berbunyi bila nanti kamu diberi Allah rezki, dirikanlah sebuah surau untuk tempat orang tua dan anak-anak mengaji, pengganti surau bapak kamu yang di robohkan dulu. Pesan ini tidak pernah lupa dari ingatan saya. Hasil pekerjaan sampai dengan tahun 1983 sudah di invest di beberapa asset dan terakhir untuk bangunan yang sekarang disewa oleh Interlink dan rumah di Wastukancana No. 5. belakang yang ditempati sekarang. Awal tahun 1984 rasa berdosa timbul dalam pikiran saya, karena lebih mengutamakan yang lain terlebih dahulu dibanding dengan melaksanakan pesan ibunda. Sejak itu saya bertekad untuk mengabulkan pesan ibunda itu sebelum ajal menjemput. Saya bertekad, mudah-mudahan Allah Swt. memberi rezki lagi, pesan ibunda itu akan saya utamakan, sesudah itu baru yang lain-lain. Alhamdulillah, tidak lama setelah saya sadar dari kesalahan saya, kebetulan Yan Syahrial seorang arsitek tamatan Universitas Parahiyangan datang ke rumah. Dia yang membuat gambar rencana rumah, tempat tinggal kita di kampung tahun 1977. Saya langsung meminta bantuan dia untuk membuat gambar rencana, sebuah mushalla dua lantai di atas tanah lebih kurang 600 meter persegi. Lantai bawah bisa berfungsi untuk orang-orang tua dan anak-anak belajar mengaji dan lantai atas tempat berkumpul anak-anak sekolah dan mahasiswa belajar, berdisikusi sekalian ada kamar untuk tempat tidur. Di belakang disediakan kamar tidur untuk ustaz yang membina pengajian tersebut, dilengkapi dengan fasilitas dapur, kamar mandi, dan lain-lain.

11. Kliping penyerahan Mushala tahun 1986 Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

235

Dua minggu setelah itu, dia datang lagi dengan membawa gambar skets sementara, untuk minta persetujuan saya. Setelah kami diskusikan dan menerima saran-saran dari Yan Syahrial akhirnya kami setuju dengan beberapa perbaikan. Sambil menunggu Yan Syahrial mempersiapkan gambar detail dan anggaran biayanya, saya mulai konsentrasi melakukan penagihan dari pekerjaan yang sudah jatuh tempo dan patut ditagih. Pada kesempatan saya berkunjung ke kantor Cabang Padang saya sudah mulai mensosialisasikan kepada masyarakat dan pemuka-pemuka di kampung. Saya katakan, bahwa ibunda berniat untuk mendirikan musalla pengganti surau tinggi yang dibongkar beberapa tahun yang lalu. Musalla itu akan dibangun diatas tanah pusaka orang tua kami dekat mesjid sekarang. Karena saya tidak mungkin mengawasi pekerjaan tersebut dan membeli bahan-bahan yang di butuhkan, maka saya minta bantuan sahabat lama saya, sama-sama almamater surau tinggi dulu. Kami sekolah di STOPIO dulu, dan saya minta tolong sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Kepada Nazaruddin pensiunan dari pegawai Pekerjaan Umum di Batu Sangkar saya minta bantuan sebagai pengawas teknik dan mencari tukang. Kepada Agusman pensiunan dari Jawatan Penerangan Sumatra Barat saya minta bantuan sebagai logistik dan pemegang kas untuk pembayar upah tukang dan membayar bahan-bahan yang dipesan. Awal bulan Maret 1985, Yan Syahrial menyerahkan gambar detail dari musalla tersebut berikut dengan anggaran biayanya. Pada saat bersamaan, uang pun sudah terkumpul ala kadarnya, cukup untuk memulai pekerjaan. Proyek-proyek kami yang sedang berjalan masih ada, cukup untuk membayar tukang dan bahan sesuai dengan perkembangan fisik musalla nantinya. Secara cash flow Insya Allah pembangunan musalla tidak terganggu. Sebagai ancang-ancang bila terjadi hal-hal yang diluar dugaan nantinya, sehingga pekerjaan tersebut macet, masih ada usaha lain yaitu dengan menggunakan kredit dari Bank Rakyat Indonesia, yang masih terbuka. Atas pertimbangan tersebut, saya katakan kepada ibunda, bahwa pesan beliau sepuluh tahun lalu, untuk mendirikan musalla, pengganti surau tiggi yang sudah tidak ada. Insya Allah sudah dapat dimulai. Allah telah memberi rezki untuk itu, saya mohon doa ibunda, semoga pekerjaan tersebut lancar. Saya katakan kepada beliau bahwa untuk membangun ini saya minta bantuan Nazaruddin dan Agusman, Beliau setuju, karena teman-teman itu adalah sahabat saya sejak kecil. Untuk mengkonkritkan pembicaraan ini saya minta bantuan Nazaruddin mengajak tukang yang akan mengerjakan musalla tersebut untuk merundingkan biayanya, dan cara pembayarannya supaya Agusman mempuyai pegangan sepeninggal saya ke Jakarta nanti dalam mempersiapkan dananya. Besoknya Nazaruddin membawa kepala tukang dari Batu Sangkar. Kami berunding upah kerja bertiga dan tawar menawar, sehingga dapat kata sepakat dengan nilai yang pantas. Saya sudah mendapat anggaran terendah yang diberikan oleh Yan Syahrial, dan ini kebetulan lebih rendah dari itu. Setelah dapat kata sepakat, kami tentukan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

236

mulai pelaksanaan dan perletakan batu pertamanya. Setelah ditentukan hari perletakan batu pertamanya saya undang masyarakat untuk ikut menyaksikan perletakan batu pertama, dalam bulan April 1985, dengan harapan, masyarakat merasakan ikut memiliki musalla ini. Setelah itu saya berangkat ke Jakarta hanya sekali-sekali saja melihat pada waktu saya berkunjung ke kantor cabang di Padang. Pada saat pekerjaan sudah mencapai 75% selesai, ada teman baik saya Nini Karim SH (Almarhumah), seorang pengacara di Bandung. Kami sama-sama anggota Legiun Veteran Kemerdekaan Republik Indonesia. Dia bertanya kepada saya bahwa dia berniat akan berzakat sebesr Rp.500 ribu, kemana yang bagus katanya. Saya katakan bahwa saya sedang membangun musalla di kampung untuk tempat mengaji ibu-ibu dan anak anak.dengan anggaran lebih kurang Rp.40 juta. Kalau mau berzakat kesitu saya akan terima dengan senang hati, kata saya. Dia bilang Pak Bus beramal kok diam-diam saja. Kalau saya tahu dari dulu mungkin lebih banyak dari itu, katanya. Saya terima uang zakat itu dan saya masukkan kedalam anggaran pembangunan. Alhamdulillah, semoga zakatnya dari Almarhumah Nini Karim SH itu diterima oleh Allah sebagai amal saleh. Alhamdulillah berkat doa ibunda, musalla tersebut selesai pada waktunya dan diresmikan pada bulan Januari l986. Pada saat meresmikan hadir ninik mamak, cerdik pandai, dan alim ulama di kampung kita. dan dari kampung sekitarnya. Kebetulan waktu itu sebagian besar perantau orang Parit Putus dari Jakarta dan Bandung sedang pulang basamo sehingga peresmian cukup meriah. Kira-kira satu tahun sesudah diresmikan, kebetulan almarhumah Nini Karim SH pulang ke Bukittiggi dan kebetulan saya sedang di Bukittinggi pula. Dia menelpon saya dan mengajak saya melihat musalla tersebut. Dengan senang hati saya jemput dia ke Jalan Atas Ngarai tempat dia menginap, bersama temannya yang punya rumah tempat dia menginap itu ke Parit Putus melihat musalla tersebut. Kami berkeliling melihat-lihat lantai bawah dan lantai atas sebentar, setelah itu kami sempat makan malam bersama, di rumah ibunda, yang kebetulan berdekatan dengan musalla.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

237

12. Mushala siap pakai

Menunggu Ibunda Sakit Sampai Melepas Beliau Berpulang ke Rahmatullah di Bukittinggi (22 April 1992) Bulan Januari 1992, saya berbicara dengan pak Zen yang tinggal di Kramat VI di pojok ke Kramat VII. Dia biasa mengirim Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi. Saya katakan bahwa saya ingin pergi umrah dalam bulan puasa tahun ini, tetapi saya tidak mau pergi ikut dengan travel karena waktunya sangat terbatas. Kalau bisa saya ingin disana paling sedikit sebulan selama puasa, atau kalau bisa sampai selesai ibadah haji. Dia mengatakan, Pemerintah Arab Saudi hanya dapat memberikan visa paling lama 30 hari. Bila ingin bermukim melebihi tiga puluh hari, harus dengan special request melalui Departemen Luar Negeri Indonesia, dan proses nya cukup sulit. Tetapi kalau mau katanya kepada saya, nanti akan di beri alamat temannya di Mekah dan temannya itu yang akan mengatur, sehingga saya sekeluarga bisa tinggal di sana sampai selesai musim haji. Saya setuju dengan sarannya tersebut, dan di hitung-hitung biaya ticket pulang pergi, pengurusan visa dan lain lain lebih kurang US $ 1.000.00 per orang. Saya setuju dengan biaya tersebut, Insya Allah dekat-dekat bulan puasa, saya siapkan uangnya, sementara itu saya akan mengurus paspor dulu. Dalam salah satu pertemuan keluarga Ikatan Keluarga Parit Putus di Jakarta (IKPJ) saya ceritakan rencana saya tersebut. Ternyata Syukbar dan isterinya, kakanda Nurbeiti juga ingin ikut bersama, sedangkan Wijayanti dan Upik Sumarni akan menyusul. Saya katakan, Bila akan ikut bersama, mulai sekarang sudah harus siap-siap dengan paspor. Demikian juga dengan uangnya sebesar US $ 1.000.00 per orang sudah harus siap sepuluh hari sebelum mulai hari puasa. Kami sudah berketetapan hati untuk pergi umrah bersama, mudah-mudah bisa sampai haji sekalian. Setelah itu masing-masing kami sering komunikasi melalui untuk mengecek
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

238

kesiapan masing-masing, supaya tidak ada yang tertinggal di belakang hari. Kebetulan tepat pada hari kami akan mengumpulkan uang dolar tersebut, dan barang-barang bawaan kami sudah masuk ke dalam koper masing-masing, saya menerima telepon dari mamanda Anwar Sutan Marajo dari kampung. Beliau memberitahukan bahwa ibunda sakit dan minta saya pulang kampung. Mendengar berita itu, hati saya sudah tidak tenang lagi, karena jarang sekali ibunda sakit yang menyuruh saya pulang. Sedapat berita itu, saya menemui pak Zen, mengatakan bahwa saya akan melihat orang tua yang sakit ke Bukittinggi dulu. Bila keadaan beliau tidak begitu berat dan bisa saya tinggalkan kami tetap akan berangkat umrah, tapi bila keadan beliau tidak mungkin untuk ditinggalkan, mungkin kami berangkat tahun depan saja. Bersamaan dengan itu, saya beritahukan juga kepada Syukbar dan kakanda Nurbeiti. Kebetulan beliau dapat mengerti bahwa mengunjungi ibunda yang sedang sakit lebih utama dari pada pergi umrah yang memakan waktu berhari-hari. Besok pagi saya dan isteri pulang bersama dengan pesawat pagi. Sampai di Tabing kami langsung naik taksi ke Bukittinggi. Sampai di kampung sudah siang menjelang Zuhur. Saya dapati beliau sedang tertidur, dan kelihatan lemah. Saya tanyakan kepada adinda Nurjalis, sudah berapa hari beliau sakit ?. Katanya yang tertidur ini baru kemarin sampai sekarang. Saya pergi salat Zuhur dulu, dan setelah itu duduk disamping beliau menunggu beliau terbangun. Kira-kira setengah jam setelah itu mata beliau terbuka dan memandangi saya. Beliau bertanya bila datang, apa sama si Lis?. Saya jawab, baru saja dan bersama si Lis, sambil saya bertanya penyakit apa yang beliau rasakan ?.

13. Sambutan Ibunda Saeran pada Peresmian Mushala Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

239

Beliau mengatakan, tidak tentu apa yang sakit, yang terasa hanya lemah dan tidak mau makan dan minum sejak kemarin. Asal dicoba minum atau makan keluar lagi. Saya tanyakan apakah sudah ke dokter ?, beliau mengatakan belum, untuk sementara saya panggil dokter Hery yang menyewa rumah kita di simpang Parit Putus. Setelah diperiksa dan diberi resep, saya tanyakan apa sakit beliau ?. Kata Dokter Hery sakit beliau adalah sakit tua, dan sebaiknya dirawat saja di rumah sakit, dan disarankan di rumah sakit Yarsi di Belakang Balok, untuk itu diberi surat pengantar. Malam itu untuk menghibur dan mnyenangkan hati beliau, saya bercerita tentang perjalanan haji kami ke Mekah 17 tahun lalu. Sambil bercerita itu saya urut-urut kaki beliau. Tiba-tiba beliau menolak tangan saya yang sedang mengurut kaki beliau tersebut dengan kata-kata, tidak usahlah diurut-urut juga kaki saya, nanti kamu urut-urut sebentar sesudah itu kamu pergi lagi meninggalkan saya Mendengar itu saya katakan kepada beliau, tidak, saya tidak akan pergi lagi, dan akan selalu di samping ibunda. Setelah saya mengatakan itu saya keluar dari kamar beliau dan menangis sejadi-jadinya. Saya baru mengetahui dan merasa berdosa, bahwa saya merantau untuk merobah nasib selama ini, meninggalkan beliau, rupanya tidak beliau senangi. Sikap dan kata-kata beliau itu sangat bekesan dalam hati saya. Bila kata-kata beliau itu teringat oleh saya selalu keluar air mata saya, bahkan sewaktu saya mengetik ini pun sambil menangis. Semoga Allah mengampuni dosa saya, kepada ibunda. Besok pagi saya pergi ke rumah sakit Yarsi untuk mengurus kamar untuk beliau terlebih dahulu, kalau dapat diruang VIP. setelah mendapat kepastian dapat kamar, baru saya bawa beliau ke rumah sakit, karena tidak setiap saat kamar perawatan tersedia. Alhamdulillah, kebetulan ada sebuah kamar yang dapat ditempati, karena pasien di kamar itu baru pagi itu diizinkan pulang. Saya langsung book kamar tersebut dengan membayar deposit, sebagaimana biasa, walaupun waktu itu tidak diminta oleh administratur Yarsi. Saya naik taxi dan langsung menjemput ibunda ke kampung, membawa beliau masuk ke kamar yang sudah disediakan. Tidak lama setelah itu dokter spesialis penyakit dalam datang memeriksa beliau. Menurut Dokter beliau terpaksa di bantu dengan memberi makanan cair yang dimasukkan dengan slang melalui kerongkogan. Beliau tidak boleh banyak bergerak, sehingga untuk buang air kecil beliau menggunakan kateter, dan buang air besar ditampung. Sejak malam itu saya dan isteri selalu menjaga beliau di rumah sakit Yarsi. Waktu itu sudah mulai masuk bulan puasa. Pagi-pagi kami pulang mandi, selesai mandi saya kembali ke rumah sakit, sedangkan isteri tinggal di rumah masak untuk buka puasa dan membawa rantang sekali untuk makan saur. di rumah sakit. Setelah kira-kira 20 hari beliau di rumah sakit, adinda Chairman beserta isteri pulang dari Tokyo Jepang. Dia mendapat cuti dari tugasnya sebagai perwakilan Departemen Pariwisata di Jepang dan Korea Selatan. Sejak beberapa tahun terakhir dia ditugaskan di sana, dan karena mendengar ibunda dirawat di rumah sakit, dia minta izin cuti pulang. Habis masa cutinya beberapa hari, dia kembali lagi ke Tokyo. Sebelum dia kembali ke Tokyo dia menyarankan kepada saya, bagaimana kalau ibunda dibawa ke Jakarta dan di rawat di
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

240

Jakarta. Saran ini saya smpaikan kepada ibunda, beliau menjawab, tidak usahlah mungkin ini sudah datang waktunya kita berpisah kata beliau. Kebetulan hari raya Iedul Fitri tiba. Pada kesempatan salat Iedul Fitri yang diadakan di lapangan bola Parit Putus pagi itu, kepada panitia saya minta di beritahukan bahwa ibunda Hj Saeran sekarang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit Yarsi Bukittinggi. Anak beliau mohon doa kepada jemaah semoga beliau lekas sembuh, dan minta maaf atas segala kesalahan beliau disengaja maupun yang tidak disengaja, yang akan memberati beliau di akhirat nanti. Setelah adinda Chairman kembali ke Tokyo penyakit beliau tetap tidak ada perobahan, bahkan beliau bertambah lemah. Makanan yang tadinya masih bisa masuk melalui kerongkongan dengan slang, waktu itu sudah mulai serat masuknya, Dokter spesialis penyakit dalam yang merawat beliau pun frekwensi kunjungannya sudah agak sering, dan langsung meraba-raba kaki beliau. Dalam hati saya, mungkin Dokter sudah punya firasat, bahwa umur beliau tidak berapa lama lagi. Sejak itu saya pun tidak beranjak lagi berada di samping tempat tidur beliau disebelah kepala, dengan sekali-sekali menyebut kalimat Laa Ila Ha Illallah. Di salah satu subuh, kalau tidak salah di hari Kemis, sedang mu`azin mengumandangkan azan Subuh, dengan lafaz Hai ya `Alassalaah di mesjid Yarsi, beliau menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Dibawah pandangan mata saya, dengan diiringi ucapan La Ila Ha Illallah, beliau melengah sekali ke kiri dan sekali ke kanan, langsung beliau tenang. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raajiun. Ya Allah, terimalah arwah beliau di sisi Mu, maafkanlah segala kesalahan beliau, dan terimalah segala amal saleh beliau. Sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangi kami sewaktu kami kecil Amin !. perawat jaga memanggil dokter jaga dan dokter jaga membenarkan bahwa beliau sudah tia ada lagi. Saya ciumi beliau setelah itu saya menutup mata beliau, serta meletakkan tangan beliau diatas dada, seperti orang sedang salat. Si Lis, waktu kejadian itu sedang tertidur, setelah dia tahu bahwa ibunda sudah tidak ada dan dia langsung menangis. Saya pergi salat Subuh dahulu, setelah itu baru pergi ke kantor telepon memberitahukan adinda Chairman di Tokyo bahwa ibunda telah mendahului kita, jam 5,15 pagi tadi. Setelah itu memberitahukan kepada adinda Nurjalis, dan mamanda Anwar Sutan Marajo di kampung, bahwa ibunda telah tiada dan kemungkinan jenazah beliau akan dibawa pulang dengan ambulans nanti kira-kira jam 9.00 pagi. Insya Allah bila mungkin hari ini juga akan di makamkan. Saya minta tolng beliau meyuruh kemanakan-kemanakan supaya memberitahukan orang kampung, sanak keluarga yang jauh dan yang dekat, tentang musibah ini. Jenazah ibunda sampai di rumah, kira-kira jam 9.00 pagi. Orang-orang pelayat sudah banyak datang. Sudah menjadi tradisi di kampung kita, bila ada seseorang meninggal dunia kerabat-kerabat dekat yang mampu membawa perlengkapan jenazah seperti kain kafan, kapur barus, sabun dan lain-lain. Bahkan persatuan kematian yang beliau pimpin sudah lengkap menyediakan peralatan yang akan beliau bawa. Kaum ibu pun sudah siap dengan peralatan mandi berikut dengan orang-orang yang akan memandikan, selain anak-anak dan keluarga dekat almarhumah.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

241

Di pekuburan, karib-karib dekat yang laki-laki sudah bergotong royong menggali pekuburan di tempat yang saya tunjukkan. Beliau dikuburkan di pekuburan keluarga suku koto. Di pekuburan tersebut jenazah-jenazah sebelumnya di makamkan tidak beraturan dan tidak tertib susunnya. Karena itu khusus untuk ibunda dan kami anak-beranak bertiga, saya sediakan satu pojok yang bila kami meninggal di kampung di situlah tempat kami di makamkan. Setelah kira-kira dua jam jenazah ibunda di baringkan di tengah rumah, datanglah inisiatif dari mamanda Anwar Sutan Marajo bermusyawarah dengan para pelayat. Mungkin sudah waktunya untuk memandikan alamarhumah, dan mengkafani, takut-takut kalau terlalu sore memakamkan jangan-jangan nanti hari hujan. Setelah semua pelayat sepakat, maka mulailah jenazah beliau di gotong ke paviliun disebelah rumah untuk di mandikan. Disitu sudah tersedia, slang air, tempat tidur yang khusus disediakan oleh masyarakat untuk memandikan jenazah, terbuat dari besi pelat tipis, dengan saluran untuk membuang keluar air bekas pemandian dengan selang.Saya ikut memandikan jenazah ibunda, setelah selesai di uduk kan, langsung di kafani. Tandu sudah siap untuk membawa beliau ke Mesjid yang berada dekat rumah untuk di salatkan. Alhamdulillah saya sempat menjadi imam salat jenazah ibunda dengan dimakmumi banyak orang dibelakang saya,ada kira-kira 25 orang yang ikut mensalatkan beliau. Selesai salat jenazah terus digotong ke kuburan keluarga, untuk dimakamkan di pekuburan keluarga. Sampai di sisi pekuburan, saya orang yang pertama turun ke bawah untuk menyambut jenzaha beliau di bagia kepala, diikuti oleh Bujang Raswin, sekarang menjadi besan saya dan disusul oleh Taufik, kerabat sepesukuan kami. Ada kira-kira 30 menit proses pemakaman sampai menutup kembali tetapi belum sempurna. Kepada para pengantar diberitahukan, sambil mengundang 7 hari lagi untuk mandakikan pasaro yang berarti menyempurnakan kuburan dalam bentuk yang lazim. Bermukim di Mekah Selama 101 Hari Bersama Istri dan Bako (Awal Puasa sampai selesai ibadah Haji 1993) Setelah saya melepas ibunda berangkat ke Rahamtullah dan seminggu setelah itu, saya dan isteri kembali ke Jakarta dengan rasa hampa. Jika sebelumnya saya meninggalkan kampung, masih ada sesuatu yang ditinggalkan sebagai daya tarik kembali untuk di sayangi dan dikunjungi. Tapi sekarang rasanya sudah hampa, kehilangan daya tarik untuk dikunjungi dan tidak punya lagi daya tarik, kecuali sejarah. Sampai di Jakarta, orang yang pertama yang saya kunjungi memberi tahukan musibah yang menimpa saya dan minta maaf adalah tetangga sendiri yaitu pak Zen. Beliau adalah orang yang tadinya akan menolong kami mengurus visa umrah bulan puasa itu, yang tertunda. Saya sudah berpengalaman melepas beberapa orang meninggal. Sebelumnya waktu saya masih berusia belia pernah melepas adinda perempuan di bawah adinda Chairman dua orang
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

242

dalam beda waktu yang tidak lama, kurang dari sebulan. Waktu itu saya boleh dikatakan stress, sebentar-sebentar terbayang wajah mereka dan saya menangis bila teringat waktu mereka melepas nyawanya. Keadaan itu berlangsung berbulan bulan, bahkan sampai setahun baru reda. Dalam kesempatan melepas ibunda berpulang ke Rahmatullah ini, membawa kesan yang mendalam. Mungkin juga pengaruh umur, karena waktu itu umur saya sudah mencapai 64 tahun. Jadi, cara bepikir saya sudah berbeda dari sebelumnya. Di umur yang sedemikian, wajar kalau sudah waktunya untuk memikirkan hidup setelah hidup yang sekarang ini. Alhamdulillah, mudah-mudahan saya belum terlambat, tidak saja memikirkan, tetapi yang penting adalah mempersiapkan hidup di kemudian hari tersebut.. Alhamdulillah, dalam umur yang sudah melebihi umur Nabi Muhammad Saw. tersebut. Allah telah banyak memberikan Rahmat dan Taufik Nya kepada kami sekeluarga, baik materi maupun non materi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satunya yang sangat saya syukuri adalah, Allah memberi umur panjang, badan sehat, anak-anak pun tidak ada yang salah arah, mudah-mudahan tidak selamanya. Rasa syukur tidak cukup hanya dengan ucapan tetapi harus dalam bentuk usaha mendekatkan diri kepada Allah Maha Pencipta. Sejak itu saya mengingat kembali amal-amal saleh beliau, satu persatu saya mulai mengamalkan. Beliau selalu melakukan puasa sunat Senin dan Kemis, sejak itu saya amalkan juga puasa sunat Senin dan Kemis, sampai sekarang. Beliau selalu memanfaatkan waktu senggang beliau dengan membaca Al Qur`an, sejak itu saya pun berusaha membiasakan diri membaca Al Qur`an, hanya mungkin tidak se intensif beliau. Beliau senang bekerja amal untuk kepentingan umat ditingkat kampung kita, saya pun sejak itu menyediakan diri dan menyempatkan waktu dan biaya untuk bekerja kepentingan masyarakat di perantauan dalam Ikatan Keluarga Ampek Angkek Candung di Bandung. Terakhir saya menerima kepercayaan dari perantau Bandung dan Jakarta mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung di kampung. Mungkin renungan-renungan yang demikian itu yang dikatakan orang dengan keinsafan dan kesadaran atau petunjuk dari Allah Swt yang sudah datang. Mudah-mudahan demikian. Yang jelas rencana kami semula untuk menunaikan ibadah umrah bulan puasa mendatang kami intensifkan kembali. Sambil menunggu waktunya datang kehidupan saya sehari-hari saya jalani sebagaimana biasa, tetapi tidak se intensifkan seperti sebelumnya. Semangat kerja saya menurun secara signifikan. Banyak tugas-tugas yang selama ini saya sendiri yang mengerjakannya, tetapi sejak itu sudah banyak mendelegasikan kepada Hermen atau kepada asisten lainnya. Tanpa disadari, waktu berjalan terus, bulan Syaaban pun sudah datang, berarti bulan Ramadan akan menyusul. Saya sampaikan kepada rombongan yang berminat akan pergi umrah selama bulan puasa, supaya memantapkan tekatnya kembali, karena kita akan berusaha menunggu sampai selesai bulan haji. Bila masih teguh hatinya akan berangkat supaya bersiap-siap dengan pasport dan lain-lain, mumpung masih ada waktu kira-kira sebulan lagi.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

243

Yang sudah mantap akan berangkat waktu itu ada berlima orang yaitu, Syukbar dan isteri, saya dan isteri dan kakanda Nurbeiti sedirian. Saya mulai mengumpulkan paspor mereka untuk diserahkan kepada pak Zen untuk keperluan permohonan visa di kedutaan Arab Saudi. Setelah lengkap lima buah paspor dan uang pengurusan visa sebesar US$ 100.00 per orang, saya serahkan kepada pak Zen sebagai down payment dari seluruh biaya.. Sisanya sebesar US$ 900.00 setelah visa diterima dan siap untuk pembelian ticket. Saya harapkan visa dan ticket dapat segera diterima sehingga awal bulan puasa bisa berangkat. Beberapa hari setelah proses pengurusan visa diserahkan kepada pak Zen, ada telepon dari kakanda Nurbeiti Beliau mengatakan bahwa ada teman baik beliau sama-sama mengaji di mesjid Al Azhar Kebayoran Jakarta, namanya sebut saja Bunga, ingin ikut pergi bersama kita, kalau masih sempat tolong diusahakan bisa berangkat bersama kita, kata beliau. Besoknya Bunga datang menemui saya dengan membawa uang, saya bawa dia ke rumah pak Zen, supaya dia mendengar sendiri langsung dari pak Zen apakah masih bisa atau tidak. Alhamdulillah, ternyata masih bisa digabungkan dengan rombongan kami.

Beberapa hari sebelum berangkat saya sudah memberitahukan kepada anggota rombongan agar membawa barang seperlunya saja. Maksudnya tidak berlebihan sekedar untuk dipakai sehari-hari, dan sebatas terbawa oleh anggota rombongan tanpa menggunakan jasa kuli atau khadam untuk membawanya. Untuk menjadi tepatan disana, Wijayanti telah berusaha menghubungi almarhum Alhanif agar memperkenalkan kami dengan perwakilannya di Arab Saudi, sebut saja namanya Roem. Alhanif adalah teman almarhum ayahnya Djohar, mempunyai perusahaan travel yang mengurus haji plus. Alhanif langsung menilpon perwakilannya di Jedah tersebut, memberitahukan kedatangan kami, supaya di tunggu di air port Jedah. Saya juga mencatat nomor telepon Roem perwakilannya di Jedah tersebut. Pada hari keberangkatan, pagi-pagi rombongan yang akan berangkat, berkumpul di Jalan Kramat VI No. 39. Mereka datang dengan diantar oleh beberapa pengantar yang akan ikut melepas ke air port Sukarno Hatta. Dari pihak kakanda Nurbeiti ikut mengantar Krishna Dahlan dan isteri, Wijayanti dan Upik Sumarni, sedangkan dari pihak Bunga ikut mengantar anaknya seorang Insinyur jurusan Tekstil di Bandung, dan Bustmam Ibrahim, bekas mahasiswa di Medina beberapa tahun lalu. Kira-kira jam 8.30 pagi kami berangkat menuju pelabuhan Sukarno Hatta, karena pesawat akan take off jam 1.00 siang. Di pelabuhan pak Zen sudah kelihatan menunggu kami. Kecuali kami mungkin ada juga tenaga kerja yang akan beliau berangkatkan bersama kami. Para pengantar membantu membawa barang-barang bawaan sampai ke pintu masuk. Sejak dari situ meliwati pemeriksan barang melalui sinar, sampai ke check in counter, sudah menjadi beban saya, Syukbar dan dibantu oleh pak Zen. Diantara barang bawaan isteri saya, ada satu tas kain kecil, di dalamnya berisi rendang di letakkan di dalam waskom dan ditutup dengan tutup waskom saja, seperti orang yang akan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

244

pergi piknik saja. Tanpa di masukkan lagi kedalam kantong plastik yang anti bocor. Waktu duduk di pesawat dia masukkan tas kain kecil tersebut ke dalam kabin di atas tempat duduk kita. Setelah pesawat bergerak beberapa menit timbul dalam pikiran saya, jangan-jangan minyak rendang tersebut meleleh keluar membasahi tas kain dan mengotori kabin dengan minyak rendang. Pesawat bila akan take off posisinya menanjak tajam keatas. Sambil berdiri bulu roma saya, kalau sangkaan saya tersebut benar, ini bisa menimbulkan masalah serius dengan pramugari, karena merusak sarana pesawat, mungkin akan di claim dalam jumlah yang besar. Sambil menunggu pemberitahuan lampu penumpang bisa melepas seat belt, berdebar-debar jantung saya sambil berdoa semoga apa yang saya takutkan itu tidak menjadi kenyataan. Setelah lampu penumpang boleh melepas seat belt hidup, saya berdiri mengambil tas tersebut dan sambil meraba-raba tas tersebut apakah basah dengan minyak rendangnya atau tidak. Alhamdulillah ternyata tas kain tersebut masih kering. Setelah saya ambil tas tersebut saya letakkan dekat kaki saya supaya selalu dibawah kontrol saya, sehingga tidak menimbulkan masalah, demi selera.. Di dalam pesawat Arab Air Line itu sebelum menyajikan makanan, pramugari memberi kami hear phone, semacam alat untuk mendengar sajian-musik yang disajikan didalam pesawat. Setelah cokenya di masukkan di lobang yang tersedia di samping kursi kita phonenya di lekatkan di telinga, terdengarlah nyanyian Arab yang merdu dan bisa memilih lagu yang kita inginkan. Kebetulan menu makanan yang disajikan adalah menu Indonesia, bukan menu Arab. Jadi kami cukup menikmati perjalanan yang memakan waktu lebih kurang sembilan jam tersebut, dan bisa tidur karena sudah terlalu mengantuk. Kira-kira setengah jam lagi pesawat akan landing, penumpang diberitahu supaya mendirikan tempat duduk, memasang seat belt kembali. Disamping itu pramugari sibuk mengumpulkan kembali hear phone yang dibagikan sewaktu mula-mula berangkat. Daniar yang duduk disamping isteri saya, memasukkan hear phone tersebut ke dalam tasnya. Pengambilan hear phone tersebut di ikuti juga oleh isteri saya. Pada saat bersamaan pramugari yang akan memungut kembali hear phone tadi melihat bahwa hear phone tersebut dimasukkan ke dalam tas masing-masing. Dia bilang no, no sambil meminta kembali hear phone tersebut kepada isteri saya dan Bunga. Malu-maluin aje. . Alhamdulillah, tidak lama setelah itu pesawat pun landing. Waktu turun dan selanjutnya tas berisi rendang tadi tidak saya lepaskan lagi dari tangan saya. Kebetulan kami semua meliwati pemeriksaan imigrasi dan bea cukai. Untuk tidak menimbulkan masalah, dengan berbagai pertanyaan, saya letakkan tas kain terebut di lantai. Saya gerakkan tas tersebut dengan menggunakan kaki, sesuai dengan gerak jalan pemeriksaan yang saya liwati. Habis pemeriksaan, tas tersebut saya jinjing kembali, bebaslah saya dari pertanyaan yang tidak perlu. Waktu itu belum ada hand phone. Jadi kalau kita akan menelpon, terpaksa kita mencari telepon umum yang banyak tersedia di air port Jedah. Selesai pemeriksaan, saya berusaha menelpon Roem, perwakilan Alhanif di Jedah. Dari seberang saya mendapat jawaban bahwa
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

245

Roem sedang ke luar. Saya titip pesan kepada ibu-ibu yang menerima telepon disana bahwa saudara Alhanif yang dari Jakarta sudah sampai di air port Jedah dan menunggu kedatangan pak Roem.Lama kami menunggu dan mencari-cari Roem di air port Jedah, tetap tidak ada. Benar kata oang bijak, Segelap-gelap hari namun bintang satu mesti ada . Dalam keadaan yang sulit tersebut bantuan Allah datang. Melihat kami sudah menunggu lama dan air port sudah sepi dari penumpang, ada seseorang menghampiri kami, sambil menanyakan, menunggu siapa pak katanya, Saya bilang, menunggu pak Roem. Dia bilang saya kenal pak Roem, kami sekampung sama-sama dari Palembang katanya. Dia memberikan kartu namanya kepada kami. Dia bilang lebih baik tunggu di rumah saya saja, disana kita telepon dia. Bila belum pulang besok pagi saja kita hubungi lagi. Malam ini menginap di rumah saya saja, karena hari sudah larut malam katanya. Mungkin dia kasihan melihat kami melihat ibu-ibu tua seperti terlantar di negeri orang. Kami ikuti ajakan yang simpatik dan jujur ini. Di rumahnya disediakan makanan, di situlah keluar rendang yang hampir menjadi masalah di atas pesawat tadi. Selesai makan malam Bapak yang baik hati tadi mencoba menelpon pak Roem, ternyata dia sudah pulang. Bapak yang baik hati itu mengatakan bahwa dirumah beliau ada tamu bernama Bustaman Rahim, bersama lima orang lainnya. Katanya dia saudara dari pak Alhanif di Jakarta, maksudnya mau umrah. Pak Roem mengatakan, oh ya, kebetulan kemarin malam saya ada hal yang mendadak di kantor, sehingga tidak sempat menuggu di air port. Biarlah besok pagi kira-kira jam 8.00 saya datang dengan taksi yang akan membawa beliaubeliau itu ke Medinah ke alamat yang saya tunjuk disana untuk bermukim selama sembilan hari. Selesai mereka berbicara, telepon diserahkan kepada saya, kami berbicara di telepon sebentar untuk berkenalan. Mendengar itu tenanglah hati kami. Pada saat kami saling memperkenalkan diri masingmasing, ternyata Bapak yang baik hati itu adalah penyiar di Radio Arab Saudi bagian Bahasa Indonesia. Beliau tamatan dari Al Azhar di Mesir beberapa tahun lalu, dan beristerikan orang Mesir, dan bermukim di Jedah. Beliau, isteri dan anak-anak sudah menjadi warga negara Arab, sudah meninggalkan kewarga negaraan Indonesia maupun kewarga negaraan Mesir. Tidak dapat kami membalas jasa orang sebaik itu, Allah Swt lah yang akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Pagi besok datang pak Roem dengan sebuah taxi yang bisa memuat enam orang. Kami bicara-bicara sebentar, pak Roem memberikan surat kepada temannya di Medinah bernama Muksin tinggal berdekatan dengan Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di Jedah. Pak Roem mengatakan untuk biaya pemondokan kami harus membayar sekian real, dengan catatan kita memasak sendiri. Sebelum berpisah saya tanyakan berbisik kepada pak Roem, bagaimana baiknya antara kami dengan Bapak yang baik hati itu, yang sudah menampung kami semalam berikut menyediakan makanan. Pak Roem mengatakan itu adalah sadakah beliau, karena beliau bukan berbisnis disitu. Setelah itu, dengan ucapan terima kasih yang mendalam kami pamit dengan Bapak yang baik hati itu sambil memberikan kartu nama saya dan minta kartu nama
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

246

beliau. Dengan harapan semoga Allah mempertemukan kami kembali dalam posisi kami yang berbuat baik kepada beliau. Tiga belas tahun saya tidak kesana Rupanya jalan raya Jedah Medinah telah menggunakan jalan tol yang lebar. Jalan tol itu di rancang sedemikian rupa sehingga sayupsayup mata memandang lurus dan diusahakan tidak terlalu banyak mendaki dan menurun, sekalipun itu di samping pegunungan. Dalam tahun 1980 perjalanan Jedah Medinah memakan waktu lebih dari 10 jam. Tetapi dalam tahun 1993, sudah bisa ditempuh dalam enam jam saja. Kemajuan yang membanggakan dengan biaya yang tidak sedikikt, demi kenyamanan para jemaah Haji dan Umrah, selaku tamu Allah. Kami sampai di sana sudah sore. Memang alamat pak Muksin yang diberikan tidak begitu jauh dari Mesjid Nabawi. Pak Muksin tinggal di lantai dua. Untuk kami disediakan satu kamar tidur besar, satu ruang tengah, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Pak Muksin sudah dua tahun tinggal di situ, beserta isteri yang bekerja di rumah sakit Medinah sebagai perawat, sedangkan pak Muksin bekerja di kontraktor yang sedang merenovasi mesjid Nabawi. Kami tinggal disitu sembilan hari, yaitu untuk mencapai 40 salat fardu terus menerus tanpa terputus sekalipun di Mesjid Nabawi. Ada pendapat bahwa bila itu tercapai, maka Allah akan memberikan ganjaran yang besar sekali. Ada juga yang berpendapat bahwa hadis tersebut tidak kuat. Biarkanlah perbedaan itu tetap berbeda karena yang jelas, Mesjid Nabawai pasti tidak sama dengan mesjid-mesjid dimanapun di dunia ini, kecuali Mesjidil Haram di Mekah Mukarramah. Selama disana semuanya berjalan lancar, kami pun masih tetap kompak dalam segala hal, baik dalam beribadah, berbelanja untuk dapur, bergilir memasak dan lain-lain. Sehari sebelum hari terakhir kami di Medinah saya dan pak Muksin menghubungi pak Roem di Jedah, untuk mendapat petunjuk alamat siapa yang harus kami datangi di Mekah Mukaramah. Kalau dapat seperi halnya kami diperkenalkan dengan pak Muksin di Medinah. Beliau memberi alamat salah seorang temannya yang bekerja di salah satu hotel di Mekah. Sebaiknya tuju saja hotel itu, dan menginap semalam disitu sampai bertemu dengan temannya itu. Temannya itu nanti akan mencarikan pemondokan yang permanen sampai akhir ibadah haji. Tanpa ragu kami minta pak Muksin mencarikan taxi yang akan membawa kami pada hari dan jam ditentukan ke hotel yang ditunjukkan oleh pak Roem di Mekah Mukarramah.Alhamulillah taxi tersebut sudah dapat dengan biaya yang hampir sama dengan biaya tempo hari dari Jedah ke Medinah. Setelah saya berunding dengan anggota rombongan lainnya semuanya setuju. Malam terakhir setelah salat Isya berjamaah di Mesjid Nabawi, kami makan bersama dengan pak Muksin dan isteri, yang jarang kami lakukan sbelumnya. Malam itu kami saling .tukar alamat, dengan harapan bila mereka ada kesempatan ke Indonesia sempat mampir ke salah seorang dari kami. Malam itu kami pun siap-siap dengan pakaian ihram masingMengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

247

masing karena besok kami akan mampir di Miqat Bir Ali. Di Bir Ali kami mandi sunat dan salat sunat ihram dua rakaat, setelah itu berganti pakaian dengan pakaian ihram. Besoknya, sebelum pak Muksin dan isteri pergi kerja kami sudah pamit, kami menunggu taxi datang di luar rumah, karena taxi berjanji akan datang jam 8.00 pagi. Tidak lama setelah itu, taxi pun datang dan kami pun naik untuk segera berangkat. Karena kami saling tidak tahu bahasa masing-masing, maka kami berkomunikasi dengan sopir taxi tersebut dengan bahasa Inggeris yang sepotong-sepotong, sesuai dengan kemampuannya berbahasa Inggeris. Dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahim berama-sama kami berangkat meninggalkan Medinah kota Nabi Muhamad Saw, dengan harapan semoga satu ketika Allah mengizinkan kami dapat datang kembali berziarah ke makam penghulu semua umat dan kecintaan Allah ini, nabi yang pertama dan terakhir. Sampai di Bir Ali, sopir taxi tanpa di komando sudah otomatis dia berhenti, karena di sana tempat sopir-sopir taxi atau bus berhenti untuk istirahat makan. Bagi peziarah umrah atau haji di sana adalah tempat mengganti pakaian biasa dengan pakaian ihram, berikut segala rukun dan sunatnya. Saya dan Syukbar terus menuju ke tempat laki-laki sedangkan ibu-ibu menuju ke tempat perempuan. Sebelum berpisah kami berjanji untuk bertemu lagi nanti di tempat berpisah itu, dan saling menunggu bila sudah selesai, supaya tidak susah saling cari mencari nanti. Setelah kami selesai dengan pakaian ihram, kami mampir makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah Mukarramah. Setelah itu taxi langsung berangkat tanpa berhenti lagi, bila tidak ada gangguan dalam perjalanan. Setelah kami makan, kami kembali ke taxi, untuk melanjutkan perjalanan yang masih berjarak sekitar empatratus kilo meter lagi, untuk sampai ke Mekah Mukarramah. Alhamdulillah sore kami selamat sampai di hotel yang ditunjuk oleh Roem. Saya langsung ke receptionist, menanyakan kamar kosong, dan kebetulan ada, karena waktu itu jemaah masih longgar. Setelah barang-barang kami masukkan ke kamar, kami pergi tawaf, sa`i dan tahlul, supaya bisa melepas pakaian ihram. Sesudah itu baru dapat melakukan segala kegiatan lainnya tanpa ada larangan Selesai tawaf dan lain-lain, kami kembali ke hotel, untuk tukar pakaian ihram dengan pakaian biasa. Saya tanyakan kepada room boy nama seseorang yang diberikan oleh Roem, apakah dia kenal ?.ya dia bilang benar nama itu adalah pegawai di sini. Dia tugas besok pagi sampai sore. Besok jam 7.00 sudah sampai disini, nanti saya kasi beritahu katanya. Besok pagi orang tersebut datang kekamar kami. Dia bertanya, bapak yang bernama bapak Bustaman Rahim. Saya bilang ya. Dia bilang, bahwa dia mendapat telepon dari pak Roem dari Jedah minta mencarikan pondokan yang akan disewa sampai selesai musim haji.Apakah itu untuk bapak sekeluarga, tanyanya. Saya bilang, ya, untuk kami ber enam orang, apakah sudah ada, dan berapa sewanya ?.Dia bilang ada dua tempat sebagai cadangan, sebaiknya kita lihat dulu ke sana nanti sore, mana yang lebih cocok dan bisa langsung tawar menawar katanya.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

248

Sore itu saya dan Syukbar pergi bersama orang tersebut melihat rumah yang akan kami sewa sampai selesai ibadah haji. Yang pertama adalah di kampug Gararah, letaknya dekat sekali dengan Mesjidil Haram. Bila kita tempuh jalan pintas hanya berjarak tidak sampai 200 meter, sudah sampai di tangga Mesjidil Haram. Rumah tersebut masih rumah tua terdiri dari beberapa lantai, sedangkan yang ditawarkan untuk kami adalah dilantai empat terdiri dari satu rungan tengah, kamar mandi dan dapur kecil. Disini air cukup. Rumah tersebut kepunyaan orang Banjarmasin yang sudah lama bermukim di situ. Beliau tinggal di lantai enam di rumah tersebut. Kami langsung diperkenalkan dengan pemilik dan sekaligus menanyakan harga sewa yang pasti. Setelah itu kami pergi melihat rumah yang ke dua. Tempatnya agak jauh dari Mesjdil Haram, Cuma rumahnya lebih bagus dari yang pertama. Di situ ada dua ruangan agak besar, satu utuk ruangan tidur dan satu lagi untuk ruangan makan, ditambah dapur dan kamar mandi. air juga cukup. Harga sewa praktis dua kali dari sewa rumah yang pertama. Kami tidak dapat memutuskan mana diantara ke dua pilihan tersebut, nanti akan kami rundingkan dulu dengan anggota rombongan lainnya. Kami kembali ke hotel, dan menyampaikan hasil kunjungan kami ke dua rumah tersebut, dan mana yang kita pilih. Saya katakan, kalau saya pribadi lebih baik memilih yang dekat dengan mesjid, walaupun dengan serba kekurangannya. Alasan saya adalah, karena kita berangkat jauh-jauh dengan biaya yang besar hanya untuk ibadah semata, semoga di terima oleh Allah Swt, sesuai dengan niat kita. Kalau mau bersenang-senang nanti di Indonesia kita bisa bersenangsenang sepuaspuasnya. Mendengar penjelasan saya tersebut, yang lain setuju dan kita sepakat besok kita pindah ke sana, cukuplah hanya dua malam itu saja kita tinggal di hotel, perjalanan kita masih panjang, lebih kurang 90 hari lagi. Setelah dapat kata sepakat tersebut saya segera menelpon Roem menyampaikan bahwa kami sudah mendapat tempat di Gararah, kepunyaan orang Banjarmasin. Mendengar itu Roem senang, dan berjanji satu hari bila dia pergi ke Mekah Mukarramah akan mampir, melihat kami, katanya. Besok pagi kami pindah ke sana dengan harapan, ada waktu ber bersih-bersih, sehingga sempat mempersiapkan perkakas masak, bahan-bahan mentah untuk di masak dan memasak sendiri untuk makan siang. Tidak lagi makan di restoran yang harganya di luar anggaran kami. Alhamdulillah target tersebut tercapai, sehingga kami sempat salat Zuhur berjamaah di Mesjidil Haram. Sejak itu kami lebih senang berada di dalam Mesjidil Haram dari pada di rumah, karena tinggal di rumah situasinya juga tidak nyaman. Kadang-kadang kami mandi dan mencuci pakaian di kamar mandi di Mesjidil Haram. Sebagai orang Parit Putus kami anggap seperti orang pergi mandi ke lurah saja di kampung zaman dulu. Mungkin itu juga yang mendorong dan membantu saya, sehingga selama umrah sempat menamatkan 21 kali khatam Al Qur`an. Terhitung sejak saya menginjakkan kaki di Jedah sampai saya angkat kaki meninggalkan Jedah, kembali ke tanah air yang seluruhnya berjumlah 101 hari.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

249

Keberangkatan kami semula mulus, kompak, bersaudara, saling pengertian, tiba-tiba cacat oleh sikap yang mungkin tidak disengaja yang di perlihatkan oleh Bunga. Di hari kedua kami tinggal di Gararah, kebetulan kami pulang salat Subuh dari Mejidil Haram tidak bersama. Syukbar dan isteri serta saya bersama isteri pulang lebih dahulu, sedangkan kakanda Nurbeiti dan Bunga pulang belakangan dan melalui jalur lain. Beliau sampai di rumah sudah jam 9.00 pagi, sambil membawa daging kambing bercampur dengan tulangnya. Bunga dengan bangga mengatakan bahwa dia pulang bertemu dengan orang yang sedang membagi-bagikan daging kambing. Ini saya bawa dan masaklah, katanya. Kami waktu itu sedang beristirahat sambil tidur-tiduran dan berguyon diatas tikar masing-masing. Mendengar kata-kata itu, kami tersentak, tidak menyangka orang yang datang minta diikutkan dalam rombongan kami mengeluarkan perintah yang tidak sewajarnya itu. Tetapi tidak ada satu orang pun yang berani menjawab terang-terangan karena dia adalah sahabat kakanda Nurbeiti. Tidak seorang pun yang menyinggung daging kambing tersebut apalagi untuk memasaknya. Isteri Syukbar mengatakan, memang kita ke sini untuk memasak kambing, biar saja dia masak sendiri dan makan sendiri daging kambing dengan tulang-tulangnya. Sejak itu posisi saya cukup sulit, karena antara rombongan terdapat perang dingin. Sebelumnya kami kalau masak bersama dan bergilir seperti di Medinah dan makan bersama-sama. Segala perbelanjaan dibagi sesuai dengan beban per kapita. Tidak ada yang mengomel, beribadah juga tenang dan khusuk. Sejak pindah ke Gararah di Mekah Mukarramah itu boleh dikatakan tidak bertemu lagi suasana seperti di Medinah beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah Bunga membawa daging kambing kerumah pagi itu. Memasak juga sudah menjadi dua kelopok. Yaitu isteri Syukbar dan isteri saya satu kelompok, kakanda Nurbeiti dan Bunga satu kelompok juga. Alhamdulillah situasi ini tidak berlangsung lama, berobah setelah Wijayanti dan Upik Sumarni datang dan bergabung dengan rombongan kami. Merekalah yang mengambil alih tugas memasak sebagai orang-orang muda diantara kami. Waktu itu Syukbar dan isterinya sudah pulang ke Indonesia, mereka tidak sampai menunggu selesai ibadah haji, karena jadwal isterinya mengajar sudah tiba. Tidak sampai sebulan kami menyewa rumah di Gararah lantai empat, datanglah rombongan jemaah umrah dari Malaysia menyewa lantai tiga. Begitu mereka masuk, langsung bertandang kekamar kami, memperkenalkan diri. Mungkin mereka menyadari bahwa rombongan mereka jauh lebih muda dari rombongan kami yang semuanya sudah berumur diatas enam puluh tahun. Dalam perkenalan tersebut diketahui bahwa rombongan mereka berasal dari Pulau Penang. Setelah mereka mengetahui bahwa saya dulu di zaman penjajahan Inggeris bersekolah di Johore Bahru, hubungan kami agak intim. Ketua rombongan itu mengenal keluarga Datuk Anwar Ibrahim. Hubungan lebih intim lagi setelah Hermen mengirimkan fotonya bersama dengan Dato Anwar dan isteri sewaktu dia berkunjung ke Kuala Lumpur tahun 1993. Waktu itu Datok Anwar Ibarhim masih menjabat Timbalan Perdana Menteri Malaysia.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

250

14. Hermen bersama datuk Anwar Ibrahim

Waktu berjalan terus, saya pun tidak mau membuang-buang waktu yang sangat berharga di tanah suci. Waktu saya isi dengan pergi umrah sendirian dengan pergi ke Tan,im pulang, tawaf sampai selesai. Dirumah atau dimesjid selalu dengan Al Qur`an ditangan demi mencapai target antara 3 atau 4 hari khatam Al Qur`an sekali. Pada satu ketika kami mendapat informasi bahwa pemeriksaan jemaah umrah yang melebihi masa kunjungan diintensifkan. Bila bertemu, mereka akan ditangkap dan di deportasi ke negara masingmasing. Untuk mengelabui lasykar pemeriksa, saya membeli pakaian gamis dua buah sedangkan ibu-ibu membeli pakaian hitam-hitam yang biasa di pakai oleh perempuan Iran. Karena takut akan tertangkap, waktu kami lebih banyak kami habiskan di dalam mesjid. Caranya kakanda Nurbeiti beribadah, selama di Mekah Mukarramah, saya perhatikan diluar dugaan. Sering beliau pergi sendirian ke Mesjidil Haram ditengah-tengah malam kira-kira jam 12.00 atau jam 1.00 malam, beliau menunggu di Mesjid sampai subuh, setelah salat Subuh beliau baru pulang kerumah. Memang jalan dari rumah tempat kami tinggal ke mesjid selalu terang benderang. Di tengah malam itu tukang pembersih jalan sudah mulai bekerja, demikian juga jemaah sudah banyak dijalan, toko-toko juga sebagian buka 24 jam. Pada satu hari, rombongan umrah dari Malaysia yang menyewa di lantai tiga mampir ke tempat kami. Dia menceritakan bahwa sebentar lagi hari Arafah akan tiba, dia akan pergi mengurus penyewaan tenda untuk di Arafah dan di Mina, apakah kita akan bergabung ?. katanya. Setelah saya rundingkan dengan anggota yang lain, umumnya mereka menolak, dengan alasan biayanya cukup tinggi. Akhirnya kami putuskan untuk usaha sendiri, bagaimana orang lain, begitu kita berbuat. Melihat tekat kami tersebut mereka juga mengikuti kami dan kita akan bersama-sama katanya. Sehari sebelum hari Arafah tiba, kami sudah berangkat ke Arafah dengan mencharter sebuah mobil yang memuat kami 14 orang , yaitu kami 6 orang dan rombongan dari Malaysia 8 orang. Disana kami mencari tempat yang kira-kira strategis dengan peralatan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

251

yang kami miliki, tanpa tenda. Yang kami miliki hanya beberapa helai kain panjang, kain ihram yang tidak dipakai sepasang dan tali-tali untuk mengikat secukupnya, Kebetulan kami bertemu di sebuah bangunan berdekatan dengan mesjid yang ada di Arafah, tempat khotbah Arafah di kumandangkan ke seluruh dunia. Padang Arafah tahun 1993, sudah dipenuhi dengan tanaman-tanaman setinggi 5 sampai 10 meter. Berjarak tiap-tiap 40 meter ada pipa setinggi 3 meter yang sewaktu-waktu mampu menyemprotkan air ke sekelilingnya, mampu menjangkau diameter 20 meter. Terbayang oleh saya alangkah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh Kerajaan Arab Saudi untuk menanam dan menghidupkan pohon di Padang Arafah. Disana air tawar tak akan di perdapat dengan menggali tanah, yang akan keluar bukan air tetapi minyak. Air tawar di Arab Saudi adalah barang lux, sama mahalnya dengan harga mas. Air tawar di peroleh melalui sulingan air laut dengan proses dan instalasi yang rumit disamping biaya yang sangat tinggi. Air tawar dengan biaya tinggi tersebut yang mereka buang-buang untuk menyiram dan menyuburkan tanaman di Padang Arafah dan tempat-tempat lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memberi ke sejukan bagi para tamu-tamu Allah dalam melaksanakan ibadah Haji. Ditilik dari segi itu, ber bahagialah kita bangsa Indonesia di beri Allah Swt, tanah yang subur, air tawar yang melimpah limpah, musim yang seimbang antara musim hujan dan musim panas. Subhanallah, Walhamdulillaah, Allahu Akbar. Kami pilih tempat di pinggir tembok bangunan yang kebetulan dipinggirnya ada beberapa batang pohon. Dari dahan ke dahan pohon itulah kami bentangkan kain panjang dan kain ihram sebagai atap penahan panas selama di Padang Arafah. Di tempat-tempat tertentu kami perkukuh dengan menggunakan tali. Selesai wukuf di Arafah setelah Magrib kami berangkat ke Mina. Pada saat berangkat ke Mina, kami terpaksa ikut mobil tompangan dengan bersempit-sempit, bahkan yang laki-laki sampai naik diatas atap mobil untuk sampai di Mina dengan mampir di Muzdalifah. Itu adalah perjalanan yang sangat padat selama musim haji, berjalan kaki jauh lebih cepat dari pada naik mobil. Di Mina kami memilih tempat di bawah jembatan yang aman berdekatan dengan tempat jumrah. Waktu itu pelaksanaan dam dan korban, sudah ada fatwa bahwa dam dan korban dapat dilakukan dengan menyetor uang kontan ke salah satu Bank nanti Bank itu yang akan melaksanakan dam dan korban tersebut di negara-negara miskin. Tidak seperti sebelumnya, dimana daging dam dan korban itu menggunung dan membusuk terbuang menjadi makanan burung-burung buas. Kami tinggal di Mina selama tiga hari, menyelesaikan melempar jumrah dalam keadaan masih ber ihram. Waktu itu rombongan kami dan rombongan Malaysia sudah pisah. Mereka lebih dulu pergi ke Mekah, sedangkan kami belakangan. Kami berangkat ke Mekah untuk melaksanakan tawaf ifadah menggunakan kendaraan umum. Karena sekitar Mesjidil Haram masih penuh dengan umat, maka kendaraan umum terpaksa berhenti jauh dari Mesjidil Haram. Berarti kami harus berjalan kaki agak jauh juga untuk sampai ke Gararah tempat kami tinggal. Setelah kami tinggalkan barang bawaan kami di rumah, baru kami pergi tawaf ifadah hingga selesai.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

252

Selesai tawaf ifadah, saya telepon Roem di Jedah memberitahukan bahwa semua rukun haji kami sudah selesai semuanya, dan mohon bantuan untuk booking pada kesempatan pertama ke Jakarta untuk 6 orang. Yaitu kakanda Nurbeiti bersama Upik Sumarni, Wijayhanti dan Bunga, ditambah saya dan isteri.. Dia bilang akan diusahakan, dan akan memberitahukan per telepon, supaya kami bersiap-siap melakukan tawaf wada dan langsung berangkat ke Jedah. Alhamadulillah tidak lama setelah itu kami berangkat pulang dengan membawa kenang-kenangan yang disebut nekat. Semoga ibadah umrah dan haji kami diterima sebagai umrah dan haji mabrur. Amin !...

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

253

17. MEMPENSIUNKAN DIRI DARI KANTOR AKUNTAN PUBLIK (l993)


Pensiun adalah satu kata-kata sederhana bagi orang biasa atau bagi orang yang bukan menjadi pegawai. Tidak demikian bagi seorang pegawai atau pejabat, apalagi bagi pejabat yang menduduki posisi basah dan memanfaatkan posisinya itu, dalam arti yang negatif, maka kata pensiun adalah menjadi momok yang di benci dan di takuti. Banyak orang yang setelah pensiun menjadi stress, bahkan tidak sedikit yang menderita stroke, karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi keliling, dan tidak mengambil hikmah dari masa pensiun. Pada masa kecil, saya sering berangan-angan dengan membagi umur hidup menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah masa kanak-kanak yaitu sejak lahir sampai berumur 20 tahun. Bagian kedua antara umur 20 tahun sampai umur 60 tahun adalah umur produktif dan berkarya. Sedangkan bagian ketiga adalah antara 60 tahun keatas, sebagai masa istirahat dan persiapan dengan intensif yang tinggi. Alhamdulillahi Rabbil Aalamiin, ternyata apa yang telah diberikan oleh Allah kepada saya, jauh lebih baik dari apa yang saya angan-angankan di waktu kecil tersebut dalam segala hal. Sebagian kecil diantara kelebihan tersebut telah saya ungkapkan dalam Kata Pengantar awal tulisan ini. Sering saya merenung dan berbicara dari hati ke hati dengan isteri, menghitung Nikmat Allah secara kasat mata, tidak terasa, air mata keluar. Luar biasa besarnya, Maha Benar Allah dalam firmannya, Q.S 14.34 Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluan) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada Nya, dan jika kamu menghitung ni`mat Allah , tidak dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni,mat Allah). Semangkin sering saya mengingatnya semangkin takut saya kepada larangan-larangan Allah. semangkin rajin saya berusaha melakasanakan perintah-perintah Allah. Takut akan murkanya. Kebetulan sewaktu saya sedang menulis alinia ini, kejadian dahsyat di Aceh dalam bentuk musibah Tsunami baru 40 hari berlalu.. Nyata sekali manusia ini tidak ada kekuatan sedikit pun menangkis keputusan Allah. Sedikit saja diberi cobaan oleh Allah Swt, ratusan ribu jiwa melayang. Bangunan-bangunan yang tinggi-tinggi dan apa saja yang ada di atas tanah di satu ibu kota Propinsi, dan beberapa kota Kabupaten rata disapu bersih oleh air dalam satu terjangan saja. Air yang selama ini kita minum dan kita berlayar diatasnya, sepintas lalu tidak mempunyai kekuatan. Semoga kejadian ini memberi pelajaran sangat berharga bagi kita, untuk mengingatngingat ke Maha Perkasaan Allah Sang Pencipta dan Sang Pemilik dunia dan akhirat dengan segala isinya. Menurut saya, Allah Swt menurunkan petunjuk Nya kepada saya melalui dua kejadian, yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Pertama, adalah pada kesempatan saya menunggu ibunda sakit, melepas beliau menghadap sang pencipta, memandikan, mensalatkan sampai menungu jenazah beliau di lobang lahat. Kedua, adalah musibah melanda Aceh, yang selalu di tayangkan di media elektronik dengan segala ke dahsyatannya yang mengerikan, bagaimana nanti di kehidupan lain, diluar dunia yang sekarang. Saat kami bermukim di Medinah dan Mekah selama 101 hari bersama isteri dan kakanda Nurbeiti tahun 1993, Alhamdulillah saya khatam Al Qur`an sebanyak 21 kali. Suatu prestasi
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

254

yang tidak mungkin saya ulangi lagi. Pada saat saya melakukan tawaf perpisahan saya menangis sejadi-jadinya dibawah Hijr Ismail. minta petnjuk kepada Allah yang telah memberi saya umur mencapai 65 tahun, melebihi umur Nabi Muhammad Saw. Semoga Allah Swt menunjuki saya jalan apa yang patut saya lakukan yang bermanfaat pada sisa umur ini. Pada saat tahlul, saya cukur habis rambut saya sebagai tanda, perhatian dan penilaian saya terhadap dunia bukanlah segala-galanya. Saya ingat akan ceramah banyak ulama di mesjid-mesjid yang mengatakan bahwa dunia ini ibarat orang meminum air laut. Semangkin diminum semangkin haus. Bila dia telah mendapat emas sebesar gunung, maka dia akan mencari segunung yang lain, tidak ada habishabisnya. Demikian seterusnya. Batasnya adalah seperti apa yang dimaksud Allah dalam Q.S.At Takaatsur (bermegah-megahan) ayat 1 sampai dengan 8. Nauzubillahi min Zaalik. Kita harus berani menentukan kapan kita mesti berhenti mengumpulkan harta dunia ini. Alhamdulillah, Allah Swt rupanya sudah mentakdirkan bahwa bermukim di Medinah dan di Mekah selama 101 hari itu merupakan akhir dari masa produktif dan berkarya saya. Berarti terlambat selama 5 tahun dari angan-angan saya semasa kecil, yang mentargetkan masa produktif dan berkarya saya, hanya sampai umur 60 tahun. Sedangkan pada tahun 1993 saya bertekad untuk mundur dari kegiatan dunia yang bersifat komersil, umur saya sudah mencapai 65 tahun. Belajar Bahasa Arab Privat, Sambil Membimbing Generasi Penerus di Kantor Akuntan Publik dan Konsultan. Pada saat melaksanakan ibadah puasa di Medinah dan Mekah, ada dua waktu yang berkesan dalam hati saya. Yang pertama adalah saat akan berbuka puasa. Setelah selesai salat Asar berjamah, sambil kita berzikir dan berdoa, sudah ada orang yang mengembangkan kain putih selebar 1 meter, panjang rata-rata 15 meter dihadapan kita. Kain putih terebut, adalah tempat meletakkan minuman dan makanan untuk buka puasa yang disedekahkan oleh orang-orang kaya di sana. Mesjid itu seakan-akan sudah mereka kaveling, sehingga tidak ada orang yang tidak kebagian minuman dan makanan saat buka puasa tersebut. Bahkan berlebih-lebihan dan bisa dibawa pulang. Selesai buka puasa, orang yang mengembangkan kain putih tadi mengambil kembali bekas makanan dan melipat kain putih tersebut. Selesai itu semua, baru salat Magrib dilaksanakan. Yang kedua ialah saya ikut salat tarawih di kedua mesjid tersebut. Pada rakaat terakhir salat witir, imam mesjid selalu membaca doa kunut yang panjang dengan suara yang merdu. Pada waktu itu banyak jamaah yang menangis tersedu-sedu. Mereka menikmati benar arti dan maksud doa yang dimohonkan oleh imam dan menyentuh sanubari mereka yang sangat dalam. Saya hanya terdiam seribu bahasa tanpa mengerti sedikitpun permohonan apa yang dipanjatkan oleh imam waktu itu kepada Allah Swt, Maha Pencipta. Dalam situasi demikian, saya selalu menyesali diri saya, kenapa selama ini, tidak pernah terpikirkan untuk belajar bahasa Arab secara intensif sebagai bahasa agama sendiri. Bila itu saya lakukan mungkin tidak perlu saya menyesali diri dan dapat menikmati doa kunut tersebut seperti jamaah yang lain. Sekembali dari umrah dan haji itulah saya intensifkan belajar bahasa Arab.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

255

Sekembali dari umrah dan haji itu saya banyak berdiam diri. Satu dua hari kami tinggal di Jakarta, karena batuk saya belum sembuh betul maka saya pilih istirahat sambil berobat di Bandung. Ada dua minggu saya di Bandung, tanpa ada kegiatan rutin sehari-hari, kecuali mendengar perkembangan pekerjaan yang sedang di kerjakan. Waktu itu keuangan kantor masih dibawah kuasa dan kendali saya. Perhatian saya tertuju pada laporan pertanggung jawaban keuangan selama hampir empat bulan, kantor saya tinggal pergi. Karena saldo kas sudah menipis, maka saya putuskan untuk segera aktif kembali dengan membatasi kegiatan. Disamping itu memberi porsi kegiatan kepada Hermen dan Elviana lebih besar, baik untuk melaksanakan pekerjaan maupun mengambil keputusan-keputusan rutin. Bila masih ada yang diragukan dan beresiko tinggi boleh berkomunikasi dengan saya. Kepada seluruh client swasta, maupun kepada pemimpin-pemimpin proyek di Pemerintahan sudah saya perkenalkan termasuk kepada bendaharawan masing-masing proyek tersebut. Waktu itu penanda tanganan Surat Perintah Kerja (SPK) masih oleh saya, karena izin membuka kantor Akuntan atas nama Hermen maupun atas nama Elviana belum keluar. Saya katakan kepada mereka berdua, supaya mengusahakan izin membuka kantor Akuntan atas nama mereka di susul dan diurus, supaya cepat keluar. Saya katakan kepada mereka, inilah saatnya yang tepat untuk saya meninggalkan kegiatan di kantor ini, supaya saya mempunyai cukup waktu untuk menata dan mempersiapkan cita-cita saya yang bersifat ukhrawi. Mula-mula mereka tercengang dengan keputusan saya itu, akhirnya saya beri pengertian kepada mereka. Bila saya masih aktif penuh maka gerak dinamika mereka akan terhalang oleh pandangan saya yang konservatif, maka kantor ini tidak akan berkembang, sesuai dengan zamannya. Waktu itu PT Cipta Daya Guna Mandiri yang bergerak dalam bidang konsultan teknik sudah didirikan sejak 10 tahu lalu, tapi belum ada proyek yang dikerjakan dalam nilai yang berarti. Kebetulan ada teman di Departemen Dalam Negeri menawarkan pekerjaan konsultan yang bergerak dalam bidang apraisal atau penilai. Kalau PT Cipta Daya Guna Mandiri ingin mendapatkan proyek tersebut, saya diminta segera mengurus izin Apraisal dari Departemen Perdagangan. Untuk mempermudah pengurusan di Departemen Perdagangan saya diperkenalkan dengan temannya di sana. Alhamdulillah, setelah semua syarat-syarat administratif yang diperlukan sudah terpenuhi, tidak lama setelah itu izin apraisal diterima dari Departemen Perdagangan. Saya lapor lagi kepada teman yang di Departemen Dalam Negeri itu bahwa izin apraisal sudah keluar. Dengan izin apraisal tersebut, saya diminta mendaftar pada Pemerintah Daerah, Daerah Khusus Ibukota (DKI) supaya PT Cipta Daya Guna Mandiri tercatat sebagai salah satu rekanan dalam pekerjaan apraisal. Kepada pejabat di DKI juga saya diperkenalkan dengan temannya. Alhamdulillah di situpun tidak banyak menemui kesulitan. Mungkin bidang jasa Apraisal yang cocok untuk PT Cipta Daya Guna Mandiri. Setelah lengkap semua syarat-syarat formil PT Cipta Daya Guna Mandiri sebagai rekanan di Pemda DKI, Tidak lama setelah itu diadakan tender pekerjaan untuk menilai asset Pacuan Kuda Pulau Mas di Jakarta. Alhamdulillah, tender tersebut di menangkan oleh PT Cipta Daya Guna Mandiri dengan nilai yang nomor dua termurah diantara peserta tender.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

256

Nilai proyek tersebut menurut saya cukup besar, dan belum pernah PT Cipta Daya Guna Mandiri mendapat pekerjaan dengan proyek sebesar itu. Karena intern kita tidak mempunyai tenaga ahli untuk pekerjaan tersebut, terpaksa kita sub-kan kepada seorang yang di kenal sudah biasa dengan pekerjaan apraisal, namanya Tuhu Cahyono dan kawan-kawan. Nilai sub kontrak tersebut, sebagaimana jasa yang memerlukan skill, maka nilai sub-kontrak untuk tenaga ahli saja hanya berkisar 15 sampai 17,5 % dari nilai kontrak keseluruhan. Hasilnya cukup memuaskan Pemda DKI, baik dilihat dari segi waktu penyelesaian maupun dari kwalitas kerja. Laba bersih dari proyek apraisal tersebut cukup lumayan. Dapat digunakan untuk menambah-nambah kekurangan dana Down Payment untuk mengambil ruko di Sentra Kramat. Sumber dana utamanya adalah berasal dari menjual asset yang ada di Pondok Gede dan di Serpong. Cicilan selanjutnya sampai lunas asset di Sentra Kramat tersebut berasal dari generasi penerus sebagai sewa dan royalty kepada pendiri. Setelah lunas diberi bonus dengan bebas sewa selama dua tahun. Setelah itu saya tagih sewa, sekalian untuk belanja saya dan keperluan sosial, zakat dan lain yang patut menurut saya. Saya mencoba berhitung dengan semua anak-anak, untuk menjaga jangan sampai ada kecemburuan antara mereka di belakang hari. Begitu izin membuka Kantor Akuntan atas nama Hermen dan Elviana keluar, sejak itu pengelolaan keuangan kantor termasuk menanda tangani buku cheque dan giro, saya serahkan kepada mereka Demikian juga dengan kepengurusan sehari-hari sudah saya serahkan, tanpa kecuali. Saya hanya sekali-sekali saja bertanya kepada mereka. Setelah waktu berjalan satu tahun, sejak itu tidak ada lagi saya bertanya-tanya, kecuali jika mereka bertanya atau berberita kepada saya. Saya mencoba menempatkan diri sebagai orang tua yang tidak cerewet, dan menempatkan mereka penuh mandiri. Bersamaan dengan penyerahan kepemimpinan kepada generasi penerus, kebetulan waktu itu saya dapat berkenalan dengan salah seorang mahasiswa yang baru selesai kuliah S. 2 dari Al Azhar Mesir. Pada kesempatan perkenalan tersebut, saya tanyakan bila ada waktu, saya minta bantuannya untuk mengajar saya bahasa Arab secara privat. Pada prinsipnya dia senang sekali atas pemintaan dan semangat saya mencari ilmu, sebagai salah satu kewajiban bagi umat dengan moto, carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Dia mengatakan bahwa dia sudah melapor ke Departemen Agama, sebagai instansi yang memberi beasiswa kuliah ke Mesir. Belum tentu bila diterima kapan dan dimana ditempatkan. Sambil menunggu dia bersedia dan akan datang tiga kali seminggu dengan waktu belajar satu atau satu setengah jam setiap kunjungan. Tentang honorarium atau biaya transpor dia tidak mau membicarakannya dan menyerahkan kepada saya, karena kalau dia berhitung dan tawar menawar akan hilang nilai ibadahnya. Akan lebih baik bila kita masingmasing saling bersedekah saja katanya. Saya bersedekah ilmu kepada bapak dan bapak bersedekah uang kepada saya. Dengan demikian kita masing-masing mendapat nilai pahala. Kami sepakat untuk memulai besok tiap hari Senin, Rabu dan Sabtu antara jam 4,30 sore sampai selesai menjelang Magrib. Sebagai buku pegangan dia menganjurkan menggunakan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

257

buku standar untuk orang asing yang ingin belajar bahasa Arab. Nama bukunya adalah Al Arabiyatul Linnaa Syiin, Karena buku itu tidak ada dijual di sini, maka harus di foto copy. Nanti dia akan membawa buku aslinya dan dia minta saya memfoto copynya. Buku itu semuanya ada empat jilid. Jilid pertama saja di foto copy dulu katanya. Saya berdoa, mudah-mudahan belajar bahasa Arab sekarang ini hendaknya sampai pada tujuan utama saya, yaitu bisa mengerti apa artinya jika seseorang membaca Al Qur`an tanpa melihat terjemahannya. Dengan menggunakan buku pegangan ini rasanya lama sekali tujuan itu baru tercapai, karena kita diarahkan untuk belajar bahasa Arab murni, bukan bahasa arab Al Qur`an, karena bahasa Arab Al Qur`an adalah khusus. Sejak kecil, sudah beberapa gelombang saya belajar Bahasa Arab. Pertama kali di kampung dulu, menggunakan sistem madrasah yang mulai dengan nahu dan saraf setelah itu yang lain-lain. Kedua di Bandung dengan Almarhum pak Endang Saifudin putra pak Isa Ansari. Dengan pak Endang beliau menggunakan buku Arabic Langguage, karangan orang Yahudi bernama Johan Kapliwaski, dengan menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar. Ini hanya berlangsung beberapa bulan sampai tamat buku satu dari empat buku dalam satu paket. Waktu itu berhenti tahun 1975 karena peserta kursus bubar, tinggal dua atau tiga oang saja lagi. Saat itu belum juga tercapai tujuan utama saya untuk dapat mengerti arti Al Quran, tanpa melihat tafsir. Sejak itu terhenti. Tahun 1994 baru mulai lagi yang di bimbing oleh seorang S 2 dari Al Azhar. Inipun tidak berlangsung lama, hanya satu bulan karena dia sudah mendapat panggilan dari Departemen Agama untuk bertugas sesuai dengan Ikatan Dinasnya. Dengan demikian pelajaran terhenti lagi. Beberapa hari setelah berhenti belajar, kebetulan saya pulang ke Padang untuk sesuatu urusan kantor cabang Padang. Di kampung, saya bertemu dengan ustaz Masri yang tinggal di Musalla Baitul Rahim. Saya ceritakan bahwa saya ingin belajar bahasa Arab, tetapi sudah berhenti kerena tidak ada guru privat yang sabar mengajar orang tua. Bila ada temannya di Jakarta saya minta dia memberi alamatnya supaya saya coba menghubungi. Dia bilang, ada bekas muridnya di Madrasah Aliah Negeri Koto Baru, sekarang kuliah di Lembaga Bahasa Arab Indonesia di Matraman Raya Jakarta. Namanya Afwan orang dari Payakumbuh, sekarang ini sudah memasuki tahun ketiga. Mudah-mudahan dia dapat membantu katanya. Bila ditanyakan di Lembaga pendidikan tersebut Jalan Matraman Raya tentu akan bertemu katanya. Sebagai dukungannya atas cita-cita saya belajar bahasa Arab tersebut, saya diberi buku pelajaran bahasa Arab untuk orang asing yang asli sebanyak empat jilid berikut dengan jawabannya. Buku yang sama jilid satu pernah saya foto copy waktu belajar dengan tamatan Al Azhar baru-baru ini. Kembali ke Jakarta saya langsung mendatangi lembaga Bahasa Arab Indonesia di Matraman Raya. Setelah saya tanya di sekretariat, tidak lama menunggu di ruangan tamu, saya sudah dipertemukan dengan Afwan. Dengan Afwan saya lama belajar privat bahasa Arab, sampai tamat jilid dua, tetapi masih belum sampai ke tujuan utama saya untuk bisa mengerti arti Al Qur`an. Tidak gampang untuk mencapai cita-cita yang luhur, memerlukan kesabaran dan ketekunan. Akhirnya cita-cita saya tersebut saya peroleh tahun 2002 di Bandung dengan pak DR. Aminuddin Saleh dengan mengikuti kursus Bahasa Arab Al
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

258

Qur`an. Itupun tidak sampai tamat hanya kelas satu. Waktu ujian naik ke kelas dua saya kebetulan dapat rangking 4 dari 19 orang murid beliau. Adinda Satriadi juga ikut kursus waktu dan berada dibawah rangking saya. Dipercaya oleh para Perantau Empat Angkat Candung di Jakarta dan Bandung Selaku Ketua Pendiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung (1996) Salah satu kesenangan almarhumah ibunda adalah bekerja untuk kepentingan masyarakat. Tentu saja tingkat beliau adalah masyarakat di kampung, sesuai dengan zaman dan pendidikan beliau yang buta huruf. Kabarnya semasa gadis beliau di zaman penjajahan Belanda, pernah menjadi anggota Perhimpoenan Moeslimin Indonesia PERMI. Kabar ini tidak sempat saya konfirmasi kebenarannya. Setahu saya beliau adalah anggota pengurus Muhamadiah di kampung kami. Mungkin darah ini yang turun kepada saya agak sedikit, yang mula-mula tingkat kamung selama masih tinggal di di kampung. Terakhir sejak 1976 sampai dengan tahun 1988, saya ditunjuk selaku ketua perkumpulan para perantau tingkat kecamatan di Bandung selama tiga periode. Nama perkumpulan kami adalah Ikatan Keluarga Ampek Angkek Candung Bandung (IKAT). Kegiatan utamanya adalah silaturahmi antar warga secara berkala, dan sekali setahun mengadakan halal bil halal pada tiap hari raya idulfitri. IKAT ini lahir pertama kali di Jogyakarta, didirikan aleh teman-teman mahasiswa berasal dari Ampek Angkek Candung yang kuliah di Jogyakarta pada tahaun 1951. Diantara pendirinya adalah mamanda Azhari, sdr Amir Thaib SH, dan lain-lain, atas anjuran kakanda Dalalul Khairat dari Tanjung Alam yang pada waktu itu sebagai top figur di Ampek Angkek Candung. Sejak itu boleh dikatakan di semua ibu kota Propinsi ada perwakilan IKAT, hanya saja kadang-kadang ada yang aktif dan kadang-kadang pasif.

Dalam tahun 1990 sewaktu saya sedang berada di kantor Jakarta, saya kedatangan beberapa orang tamu dari pengurus IKAT Jakarta. Maksud kedatangan mereka adalah membicarakan ide untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat di kampung kita. Waktu itu sedang menjamur orang mendirikan Bank Perkreditan Rakyat terutama di pulau Jawa Paket Oktober tahun 1988 memberi kesempatan kepada masyarakat mendirikan Bank dalam skala kecil yang akan beroperasi terbatas di lingkungan kecamatan. Untuk mengkonkritkan rencana tersebut, akan diadakan rapat IKAT Jakarta, dan saya diharapkan hadir selaku perwakilan dari IKAT Bandung. Setelah mereka pergi dalam hati saya bertanya-tanya. Selama ini tidak pernah saya mendapat undangan bila IKAT Jakarta akan mengadakan rapat atau mengadakan halal bil halal. Saya yakin bahwa saya tidak begitu dikenal bagi para perantau Ampek Angkek Candung Jakarta, karena saya selama ini hanya bergerak di Bandung saja. Saya pribadi sangat mendukung ide tersebut, karena dengan adanya bank yang berskala kecil demikian, diharapkan paktek-praktek renternir dapat dibatasi ruang geraknya. Pandangan ini saya sampaikan dalam rapat tersebut, dan banyak lagi pandangan positif lainnya dari para peserta rapat. Karena seluruh peserta rapat telah sepakat untuk mendirikan
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

259

Bank Perkreditan Rakyat, akhirnya dibentuk panitia lengkap dengan sekretaris dan bendahara. Panitia di ketuai oleh kakanda Sutan Tumanggung dari Pasir, seorang pedagang sukses di Tanah Abang dan yang mendirikan Kopas Tanah Abang. Menurut ketentuan Bank Indonesia Modal disetor yang diwajibkan waktu itu hanya Rp, 50 juta. Untuk memudahkan kerja panitia, maka diminta kesediaan peserta mencantumkan jumlah saham yang akan mereka ambil masing-masing. Kesediaan ini di catat dan telah tercatat sekian nama dengan jumlah modal sebesar Rp. 50 juta. Uang tersebut akan di tagih bila diperlukan, yaitu pada saat akan membuat akte pendirian. Setelah rapat tersebut, kabarnya panitia bekerja keras, pulang pergi Jakarta Bukittingi menjajaki dan sosialisasi kepada masyarakat di kampung. Setelah sekian lama panitia bekerja tidak pernah ada berita kepada anggota, khusus kepada yang telah mendaftarkan namanya sebagai pemegang saham. Setelah sekian tahun panitia terbentuk tetap tidak ada berita secara tertulis. Dari lisan ke lisan terdengar kabar bahwa panita gagal dalam tugasnya mendirikan Bank Perkreditan Rakyat, karena tidak dapat menemukan figur yang akan di angkat menjadi Direktur sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Awal tahun 1996 saya teringat lagi rencana mulia yang pernah digagas oleh masyarakat Ampek Angkek Candung sekian tahun lalu, menghilang tidak tentu rimbanya. Waktu itu saya sering kedatangan tamu para pedagang di Bandung diajak oleh almarhum H. Bachtiar Tamin. Pada kesempatan tersebut, saya ingatkan kembali ide mulia yang sudah lama terpendam itu. Respons dari almarhum H. Bachtiar Tamin sangat positif. Dia mengatakan bahwa pada saat dia menjenguk Sutan Tumanggung sedang sakit, dia mendapat wasiat dari Sutan Tumanggung supaya meneruskan niat mendirikan Bank Perkreditan Rakyat yang direncanakan dulu. Sejak itu kami berjanji aktif mengkampanyekan kembali pendirian Bank Perkreditan Rakyat ini. Hasil sosilisasi kami sangat mengembirakan, dalam waktu tidak begitu lama isue ingin mendirikan Bank Perkreditan Rakyat menghangat kembali. Puncaknya adalah pada satu sore saya dan Satria Djambek pergi menemui pak Taufik mantan Inspektorat Departemen Keuangan dirumahnya di Jalan Pejompongan Raya. Kami sampaikan niat kami untuk mengaktifkan kembali rencana untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat yang sudah lama terpendam. Beliau menjawab sangat positif niat tersebut, tetapi kita tidak mempunyai orang yang mau berbakti kepada masyarakat, tanpa pamrih. Kalau sudah ada orang yang mempunyai niat demikian saya akan dukung kata beliau. Spontan Satria Djambek menjawab, sekarang sudah ada orang untuk itu, yaitu mak Tamam ini katanya. Setelah mendapat dukungan kuat secara informil itu harus di ujudkan dalam bentuk formil. Kami terus bekerja dengan menghubungi salah seorang pejabat Bank Muamalat Indonesia mengumpulkan informasi dan bahan-bahan serta data-data yang diperlukan untuk itu. Sampailah kami pada satu keputusan untuk mengadakan rapat terlebih dahulu, tanpa menggunakan nama IKAT. Sekarang atas nama pengambil inisiatif terdiri dari Taufik, saya dan Satria Djambek. Rapat dihadiri oleh sebagian besar pemuka-pemuka warga Ampek
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

260

Angkek Candung Jakarta dan Bandung. Dari 42 orang yang diundang hadir 36 orang. Ada tiga keputusan rapat yang sangat penting yaitu, 1. Bank Perkreditan Rakyat yang akan didirikan adalah berdasarkan prinsip Syariah. 2. Nama adalah membawa nama kecamatan kita yaitu Ampek Angkek Candung. 3. Membentuk panitia yang tediri dari seorang ketua saja. Ketualah nanti melengkapi dirinya dengan perangkat yang di perlukannya dan menunjuk orangnya sekalian. Secara aklamasi saya di tunjuk sebagai Ketua Pendiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung. Memperoleh Izin Operasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung dari Bank Indonesia (Mei l999) Dengan membaca Bismillaahirrahmaanirrahim tugas berat tersebut saya terima. Saya merasakan diri saya belum dikenal oleh masyarakat perantau yang ada di Jakarta, apakah mereka akan percaya kepada saya. Apalagi, tugas ini menyangkut dengan keuangan yang jumlahnya mungkin agak besar. Saya mohon petunjuk kepada Allah Swt, mudah-mudahan saya berhasil dalam melaksanakan misi yang sesuai dengan hati nurani saya. Saya prihatin melihat kehidupan masyarakat kita di kampung yang belum tersentuh oleh derap pembangunan. Saya bercita-cita kalau mungkin saya ikut agak sedikit membantu meringankan beban dan mengembangkan ekonomi umat tingkat bawah. Dalam menjalankan tugas saya ini tidak banyak orang yang dapat saya ajak berkomunkasi dan berkonsultasi, menurut saya beliau-beliau itu memiliki pandangan yang banyak bersamaan dengan saya. Orang-orang tersebut adalah, pak Taufik, pak Amir Thaib,Satria Djambek, Rifai Adnan dan lain-lain sesuai dengan keperluan saya. Langkah pertama yang saya lakukan adalah melengkapi pengurus formil sebagai panitia, yaitu, ketua, sekretaris dan bendahara. Kepengurusan inti ini saya pilih orang-orang yang sudah dikenal di Jakarta, dan mempunyai reputasi baik, seperti sekretaris saya cantumkan nama Almarhum Nazir Jalal berprofesi wartawan muda dan aktivis, masih menjabat Sekretaris IKAT Jakarta, Bendahara pak Djamin Sutan Mudo, pengusaha sukses di Tanah Abang dan dikukuhkan sebagai sesepuh Tanah Abang oleh Gubernur DKI. Setelah saya rancang susunan kepengurusan tersebut, baru saya konsultasikan dengan Amir Thaib, Satria Djambek dan Taufik. Setelah mereka memberikan komentarnya atau saran, baru saya hubungi yang bersangkutan. Untuk menghubungi pak Djamin Sutan Mudo saya ajak Amir Taib, karena dia ada hubungan famili dengan pak Djamin Sutan Mudo, sedangkan saya hanya kenal sepintas lalu saja. Untuk menghubungi Almarhum Nazir Jalal, saya cukup per telepon karena dia jauh lebih muda dari pada saya. Saya bermaksud akan memberitahukan kepada seluruh perantau yang berasal dari kecamatan Ampek Angkek Candung yang ada di Jakarta dan Bandung, bahwa ada niat dari perantau untuk mendirikan BPRS AAC. Untuk itu telah terbentuk panitia dengan susunan seperti diatas. Saya minta kepada Almarhum Nazir Jalal untuk mengirimkan daftar nama anggota IKAT DKI. atau kalau juga alamat orang kita dimana saja mereka berada. Alamatalamat tersebut akan menjadi dokumen penting bagi saya dalam berkomunikasi per pos di belakang hari. Saya katakan kepada Almarhum Nazir Jalal, bahwa dalam melaksanakan tugas amal ini kita harus saling percaya, dan berbaik sangka. Kita atur sisem kerja yang praktis, supaya
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

261

tidak terlalu banyak waktu kita terbuang, khusus dalam surat menyurat rutin, biarlah saya yang mempersiapkan konsepnya setelah itu saya fax kan untuk di baca. Setelah dibaca dan tidak ada koreksi, langsung saya perbanyak dan kirim ke alamat-alamat para perantau dengan menggunakan tenaga dari Kantor Akuntan, selagi ada yang menganggur. Tanda tangan sekretaris saya foto copy saja dari tanda tangan sebelumnya. Dalam melaksanakan tugas panitia, kami mendapat bantuan teknis dari konsultan manajemen yang sudah biasa mempersiapkan segala persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia. Persyaratan tersebut seperti survey daerah operasi, survey potensi masyarakat dan mempersiapkannya dalam bentuk feasibiliy study sampai izin Prinsip dan izin Operasi keluar. Disamping itu konsultan juga bertugas mempersiapkan bentuk-bentuk formulir yang akan dipakai dalam operasional nanti, memberikan pelatihan awal kepada pelaksana di belakang hari setelah izin operasi keluar. Rata-rata sekali dalam dua bulan saya membuat laporan progres kepada seluruh alamat perantau Ampek Angkek Candung yang pernah saya peroleh. Dalam laporan tersebut mencakup laporan keuangan yang diterima dan dikeluarkan. Khusus untuk biaya yang saya bebankan menjadi beban panitia hanya beli prangko, beli emplop dan biaya foto copy. Sedangkan biaya overhead panitia lainnya seperti biaya telepon, listrik, alat tulis kantor, pengetikan dan honor asisten yang membantu saya, saya bebankan menjadi beban kantor Akuntan Publik. Mudah-mudahan menjadi amal saleh buat Kantor Akuntan yang bersangkutan, Amin !. Alhamdduillah, berkat kerja keras dan doa bersama, pada tanggal 3 Oktober l997, keluar Izin Prinsip dari Departemen Keuangan Republik Indonesia. Lega sekali rasanya perasaan panitia, dengan doa agar kegagalan panitia pertama tidak terulang lagi. Biasanya paling lambat satu tahun setelah Izin Prinsip keluar, disusul dengan Izin Operasi, bila segala syaratsyarat yang ditentukan telah dipenuhi. Tidak demikian dengan kasus kita. Rasanya segala syarat sudah terpenuhi dengan sempurna, tetapi setelah setahun menunggu Izin Operasi tetap tidak keluar, sekalipun kami sudah bolak balik ke Departemen Keuangan dan ke Bank Indonesia, menanyakan hal tersebut. Alasan yang diberikan oleh kedua instansi tersebut adalah, sekarang UndangUndang perbankan yang baru sedang di godok di Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu belum ada petunjuk dan pedoman apakah izin operasi masih akan dikeluarkan oleh Departemen Keuangan atau oleh Bank Indonesia. Kami diminta bersabar, mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah ada pedoman untuk itu, katanya. Semua perkembangan tentang izin operasi ini selalu disampaikana kepada masyarakat, Alhamdulillah, masyarakat dapat mengerti. Cuma saya selaku ketua panitia merasa cemas, bahkan sudah mengambil ancang-ancang bila terjadi yang terburuk. Dengan sponsor inti yaitu Satria Djambek, almarhum Bachtiar Tamin dan saya, kami berikrar Bila sampai akhir tahun 1999 Izin Operasi tidak juga keluar, maka saya rasa pendirian BPRS AAC ini kita batalkan saja, berarti tidak ada izin dari Allah Swt, uang masyarakat yang telah kita terima kita kembalikan secara utuh. Kerugian akibat biaya-biaya yang sudah dikeluarkan selama ini kita pikul bersama seimbang antara kita bertiga.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

262

Alhamdulillah, Allahu Akbar, berkat doa para perantau dan masyarakat di Kampung, berkat sabar menunggu Izin Operasi keluar pada tanggal 14 Mei 1999, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia Pusat. Pengoperasian BPRS AAC ini diresmikan pada tanggal 12 Juli 1999. Berakhir pulalah tugas yang dibebankan masyarakat perantau kepada saya selaku Ketua Pendiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung. Semoga panjang umurnya dan bermanfaat meningkatkan taraf hidup masyarakat kita di Kampung, Amin!.

*****

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

263

18. P E N U T U P
Alhamdulillahi Rabbil aalamin, segala puji bagi Allah SWT, yang telah membimbing dan menunjuki saya, sehingga saya diberi kemampuan untuk menyelesaikan buku ini. Semula saya tidak yakin bahwa saya mampu mengingat kembali jalan hidup saya yang berliku-liku ini, tetapi yakinlah bagi Allah tidak ada yang sulit asal kita mau, sabar dan berdoa. Pernah sekali saya terhenti dan patah semangat untuk meneruskannya dan hampir putus asa karena stress. Stress, karena pada saat saya mengetik salah satu bab, beberapa kejadian didalamnya lupa dan susah mengingat kembali. Berhari-hari saya mencoba mengingatnya, tidak kunjung teringat. Setelah teringat kejadian tersebut, saya mulai menulisnya dan sudah sampai 9 halaman dan belum dipindahkan ke disket. Sedang asyik mengetik lanjutannya kebetulan saya salah tekan salah satu tuts komputer, menyebabkan layar komputer menghitam. Setelah saya buka kembali, ternyata apa yang sudah saya tulis sebanyak 9 halaman tersebut hilang semua sampai kejudul-judulnya, sedangkan itu sudah di rekam (save). Saya coba memanggilnya kembali, tetap saja tidak ketemu. Saya bawa kumputer tersebut ke Jakarta minta bantuan kepada ahlinya, tetap saja hilang apa yang sudah ditulis tersebut. Sejak kejadian itu ada kira-kira 15 hari saya menyesali diri saya, kenapa tidak segera dipindahkan ke disket. Untuk mengingat kembali apa yang sudah saya tulis itu pun tidak bersemangat kembali. Akhirnya saya sadar, bila saya berhenti ditengah jalan, dan tetap tidak mau meneruskan pekerjaan yang sudah dimulai itu, maka ini adalah preseden buruk buat anak-anak saya. Mereka sudah tahu bahwa saya sudah mulai menulis buku ini, dan tanpa sebab yang prinsip tidak menyelesaikannya, berarti saya termasuk orang yang suka meninggalkan pekerjaan yang tidak selesai (unfinished job). Ini adalah contoh yang negatif buat anak-anak dibelakang hari, bahwa kita tidak boleh meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak selesai. Pada saat saya menulis buku ini beberapa kali saya meneteskan air mata, sedih mengingat bagaimana susah payahnya orang tua membesarkan saya waktu kecil dalam ekonomi yang serba sulit. Sedih karena tidak sempat berbakti kepada beliau berdua, khusus kepada ayahnda saya. Dan sedih karena saya pernah menyakiti hati ayahnda, yang kelihatannya sudah beliau lupakan, yaitu dimasa penjajahan Jepang sya mendaftar menjadi tentara Jepang, sedangkan itu yang paling beliau benci. Semoga Allah SWT, memaafkan saya dari segala kesalahan saya kepada kedua ibu bapak saya, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja Amin! Pada saat menulis buku iji pula saya senyum-senyum bersyukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan NikmatNya yang luar biasa kepada saya sekeluarga. Sering saya katakan kepada ibu dan anak-anak pada saat senggang. Alangkah bahagianya kita sekarang. Allah SWT telah mempercayakan kepada kita 8 orang anak yang semuanya lakilaki. Allah SWT, telah memberikan kepada mereka kemapuan untuk menyelesaikan studinya sampai D3, S1, S2. Alhamdulillah, Allah SWT, juga telah memberikan rezki untuk melanjutkan studinya, sehingga 6 orang yang S2, termasuk 4 diantaranya tamanatan Amerika, Australia dan Malaysia.
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

264

Selain dari itu banyak lagi Rahmat dan Nikmat yang diberikan Allah SWT, kepada kami. Allah SWT, telah menganugerahkan kepada kami 8 orang menantu, yang semuanya S1 dan ada juga yang S2. Diantara menantu tersebut terdapat dokter umum 2 orang, dokter gigi 1 orang, sarjana teknik bidang arsitek dan bidang komputer 1 orang dan 3 orang lagi jurusan ekonomi. Yang paling mengembirakan saya dan bersyukur kepada Allah SWT, bahwa sepasang diataranya mereka (anak dan menatu), ada yang melanjutkan profesi saya sebagai akuntan publik. Berarti apa yang telah saya rintis selama 20 tahun tidak terputus. Mudah-mudahan mereka berdua dapat pula menelorkan generasi pelanjut profesi ini dibelakang hari Amin!

15. Bersama anak cucu 18 April 2003

Benar firman Allah SWT, di dalan Al-Quran 14.34 Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan Jika kamu menghitung nikmat Allah SWT, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu amat zakim dan sangat mengingkari (nimat Allah). Semua umat Nabi Muhammad SAW meyakini bahwa yang maha benar janjiNya adalah janji Allah SWT. Ingat ada dua janji Allah yang meyuruh umatnya memilih, apakah ingin hidup sedang di dunia dan akhirat, atau ingin sudah hidup di dunia dan akhirat? Buka AlQuran surat :
Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

265

1. An Nahl (16) ayat 97: Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalan keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. 2. Taaha (20) ayat 124: Dan Barang siapa berpaling dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghidupkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Terakhir, sebagai penutup tulisan ini mengingatkan kepada kita semua firman Allah SWT, di dalam Al-Quran 14.7 : Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan mu memaklumkan, sesungguhnya jika kami bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku), maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih. YA TUHAN KAMI JANGANLAH ENGKAU JADIKAN HATI KAMI CONDONG KEPADA KESESATAN SESUDAH ENGKAU BERI PETUNJUK KEPADA KAMI, DAN KAKRUNIAKANLAH KEPADA KAMI RAHMAT DARI SISI ENGKAU, KARENA ENGKAULAH MAHA PEMBERI KARUNIA.

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

266

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

267

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

268

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

269

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

270

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

271

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

272

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

273

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

274

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

275

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

276

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

277

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

278

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

279

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

280

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

281

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

282

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

283

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

284

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

285

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

286

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

287

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

288

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

289

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

290

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

291

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

292

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

293

Anda mungkin juga menyukai