Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sembahyang diartikan sebagai berikut: Pernyataan bhakti dan memuliakan Allah dengan gerakangerakan badan dan perkataan tertentu dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan taslim (Islam = shalat), Permohonan (doa) kepada Tuhan.
1

Kata sembahyang berasal dari bahasa sansekerta, berarti menyembah yang di pertuhan.2 Kata sembahyang dikenal dalam agama Islam dengan istilah shalat. Dari segi etimologi, shalat antara lain berarti doa, sedang doa adalah keinginan yang ditujukan kepada Allah SWT, atau dalam arti yang lebih umum yaitu permintaan yang diajukan oleh satu pihak kepada pihak yang lebih tinggi3 Hakikat shalat adalah hubungan vertikal antara manusia sebagai makhluk dengan pencipta, atau dengan kata lain komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Sebagai hikmatnya, shalat dapat dirasakan sebagai amalan ibadah yang bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan rasa optimis dalam meniti kehidupan.
1

Tim Penyusun KBBI, DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1988,

hlm. 806. Syamsuddin Abdullah, et al, Fenomenologi Agama, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta 1985, hlm.60. 3 H.Zaini Dahlan,et al , Filsafat Hukum Islam, Cet III, Jakarta: Bumi Aksara, 1999,hlm 183
2

Shalat dilihat dari aspek hubungan vertikal mempunyai kesamaan, meskipun perbedaanya lebih nampak dengan sesaji, doa, perbantuan, makna dan lain sebagainya. Hubungan tersebut dapat dilihat dari aspek tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk mengajukan permohonan kepada Tuhan, sehingga keinginannya dapat dikabulkan. Sedangkan perbedaannya tampak antara lain dalam hal tata cara melakukannya dan waktunya. Dari segi terminologi, TM Hasbi Ash Shiddieqy, mengemukakan : Shalat adalah berhadap hati, (jiwa) kepada Allah SWT, hadap yang mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan sepenuh khusu dan ikhlas di dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam.4 Menurut Mahmud Syaltut, dalam shalat telah terhimpun segala bentuk dan cara yang dikenal oleh umat manusia dalam menghadapkan penghormatan dan pengagungan, tetapi mereka itu hanya menggunakan salah satu cara seperti sekadar berdiri dengan penuh hormat atau sekadar tunduk, atau sujud dan sebagainya, dan Allah menghimpun segala yang dikenal itu dalam ibadah sembahyang untuk menggambarkan puncak pengagungan kepada-Nya.5 Shalat merupakan amal ibadah mahdoh yang akan dihisab lebih dahulu pada hari kiamat, sebagaimana sabda Nabi SAW:

TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, Cet II (edisi,II), 1997,hlm 64 5 Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah Wa Syariah, Dar al Qalam,Cet III, Mesir,1966, hlm 93.

Artinya: Amal yang pertama kali akan dihisab bagi seorang hamba di hari kiamat ialah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka baiklah segala amalan yang lain. Dan jika shalatnya itu buruk, maka binasalah segala amalannya yang lain. (HR. Thabrani) Hadits tersebut mengisyaratkan, betapa pentingnya shalat, sehingga tidak ada ruang dan jalan bagi seorang mukallaf meninggalkannya. Namun demikian ada orang yang meninggalkan shalat tanpa unsur kesengajaan dan ada pula dengan sengaja. Bagi orang yang meninggalkan shalat tanpa unsur kesengajaan seperti tidur (tertidur) atau lupa bukan problem. Hadits telah memberi petunjuk dengan jelas yaitu apabila seorang meninggalkan shalat karena tidur atau lupa, wajiblah ia shalat apabila ia bangun atau ingat dan ia tidak berdosa. Sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Apabila seseorang tertidur dalam waktu shalat atau lupa, maka hendaklah ia shalat apabila ia ingat, maka
6Al-Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nail alAutar Min Asyrari Muntaqa al-Akhbar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, 1973, hlm. 45. 7 Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 87

sesungguhnya Allah berfirman: kerjakanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (H.R. Muslim) A. Hanafie mengatakan orang yang meninggalkan shalat karena lalai (lupa) dan tertidur, harus mengqadha karena ada perintah qadha yaitu:

Artinya:Apabila kamu tertidur atau lupa, sehingga meninggalkan shalat, maka hendaklah shalat apabila telah bangun atau telah ingat.8 Para ulama sepakat bahwa mengqadha shalat itu wajib bagi orang yang lupa atau tertidur. Namun demikian, yang mutamad (lebih kuat), shalat orang lupa atau tidur itu bukan qadha, tetapi adaan bagi keduanya, karena dipahami dari hadits tersebut (maka hendaklah ia shalat apabila ia telah ingat), bahwa waktu shalat bagi keduanya ialah waktu ingat, dan waktu shalat yang telah ditentukan bukan waktu bagi kedua-duanya.9 Dengan demikian terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan tanpa sengaja tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah terhadap orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur Syari yaitu apakah wajib qadha Terhadap masalah ini timbul perbedaan pendapat dengan argumentasi masing-masing. Dari beragam pendapat itu, oleh peneliti dikualifikasikan sebagai berikut:

8 9

A. Hanafie, Ushul Fiqh, cet XIV, Jakarta: Widjaya, 2001, hlm. 41-42 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid II, Bandung: PT. Al-Maarif, 1976, hlm. 194

5 Pendapat ke satu mengatakan wajib qadha (Imam Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi)10 Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka menurut mazhab jumhur ia berdosa dan wajib mengqadha.11 Imam Abu Hanifah, Maliki dan SyafiI mengatakan bahwa yang ditinggal karena sengaja itu dibayar di luar waktu.12 Secara lebih terperinci Imam malik dan Abu Hanifah menerangkan bahwa siapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, satu atau lebih dilaksanakannya shalat tersebut sebelum shalat yang telah berada pada waktunya. Jika yang disengaja meninggalkan itu lima waktu atau kurang, sama saja, telah keluar waktu yang sedang berlalu atau belum. Kalau yang ketinggalan itu lebih dari lima waktu, maka shalat dimulai dengan yang sedang berlalu (dikemudiankan melakukan qadha)13 Siradjuddin Abbas, mengemukakan: Hukum dalam mazhab Syafii, pada intinya mazhab Syafii mewajibkan qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.14 Dalam buku tersebut beliau mengatakan kepercayaan yang baik itu menjadi goncang karena ada segelintir orang berfatwa : bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib qadha15 Dalam bagian lain beliau mengatakan : fatwa yang macam ini menimbulkan perangsang untuk meninggalkan sembahyang dengan cara disengaja.16

Yusuf al-Qordhowy, Taubat, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 77-78 Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 195 12 Azyumardi Azra (penyunting), Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan, Jakart: Pustaka Panjimas, 1983. hlm. 26-27 13 Ibid. 14 Siradjuddin Abbas, 40 masalah Agama, jilid II, 1976, hlm. 138 15 Ibid. 16 Ibid.
11

10

6 Pendapat kedua mengatakan tidak bisa diqadha (Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazmin, Yusuf al-Qordhawy, Daud Qasim, Nashir, Sayyid Sabiq, Ibnu Rusyd, Majlis Muzakaroh al-Azhar Panji Masyarakat).17 Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidaklah diperintahkan oleh syara mengqadha, dan jika diqadhanya juga maka tidak sah, hanya ia harus memperbanyak shalat sunnat.18 Dan oleh Ibnu Hazmin, masalah ini dikupas secara panjang lebar yang oleh Sayyid Sabiq diringkaskan sebagai berikut: Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga luput waktunya, maka tidaklah dapat diqadha buat selama-lamanya. Oleh sebab itu hendaklah ia memperbanyak perbuatan kebajikan dan mengerjakan shalat-shalat sunnat, agar beratlah timbangan amalnya pada hari kiamat. Hendaklah pula ia taubat dan beristigfar kepada Allah Azza Wajjala.19 Berdasarkan uraian di atas, maka qodho penting diteliti, karena dalam kehidupan masyarakat kerapkali adanya sikap apriori terhadap perbedaan pendapat. padahal ihtilaf merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditiadakan melainkan diambil himahnya dengan mencari titik persamaan dari perbedaan itu.

A. Permasalahan Setelah melihat dan mengkaji latar belakang masalah, maka sebagai rumusan masalah sebagai berikut:: 1. Bagaimana pendapat mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan sengaja?
17 18

Yusuf al-Qordhawy, loc. cit. lihat juga Azyumardi Azra (penyunting), hlm. 27. dan 29. Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 195 19 Ibid.

7 2. Bagaimana metode istimbath hukum mazhab Syafii tentang qadha dalam Shalat yang Ditinggal dengan Sengaja ? 3. Bagaimana pendapat para ulama yang berlawanan dengan pendapat mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan sengaja?

B. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagal berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan sengaja 2. Untuk mengetahui metode istimbath hukum mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan Sengaja 3. Untuk mengetahui pendapat para ulama yang berlawanan dengan pendapat mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan sengaja

C. Telaah Pustaka Ditinjau dari judul skripsi yang penulis teliti, maka di bawah ini terdapat beberapa kajian yang diteliti oleh peneliti lain yang relevan dengan judul yang penulis teliti. Namun demikian, penelitian yang dituangkan dalam bentuk buku atau kitab kuning masih dalam bentuk yang umum, atau dengan perkataan lain, belum ada buku atau kitab kuning yang membahas secara khusus satu judul mengenai pendapat mazhab Syafii tentang qadha dalam shalat yang ditinggal dengan sengaja.

Adapun buku atau kitab kuning yang membahas judul tulisan ini secara secara umum yaitu: 1. Beberapa kitab Mazhab Syafii, di antaranya: Al-Umm; Mukhtasar alMuzani, Al-Hawi al-Kabir, Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilayat adDiniyah, Al-Muhazzab dll. 2. Sayyid Sabiq; Fiqih Sunnah jilid II PT. Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 194-199. atau dalam kitab kuningnya hlm. 231-234 (jilid I) 3. Azyumardi Azra (penyunting); Islam dan masalah-masalah

Kemasyarakatan, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm 24-29. 4. Siradjudin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid II, Panjimas Jakarta, 1976, hlm. 138-149 5. A. Hanafie, Ushul Fiqih, cet XIV Widjaya, Jakarta 2001, hlm. 40-42. 6. Yusuf al-Qordhawy, Taubat, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2000, hlm. 77-78 Dan masih banyak lagi kepustakaan yang secara eksplisit atau implisit relevan dengan judul di atas antara lain= 1) Yas aluunaka Fiddiini wal hayat karya ahmad as-Syarbashi, 2) Bidayatul Mujtahid Wan-Nihayah karya Ibnu Rusyd, 3) Pedomana Islam Indonesia karya Hasbullah Bakry, 4) Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama karya A. Hassan, 5) Koleksi Hadits-hadits Hukum karya T.M. Hasby ash-Shiddiqi Said Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyatakan, bahwa jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, Tarbiyah,

hukumnya berdosa dan dia diwajibkan mengqadha-nya. Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i mengatakan, bahwa yang tinggal karena sengaja itu dibayar di luar waktu.20 Secara lebih terperinci Imam Malik dan Abu Hanifah menerangkan, bahwa siapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, satu atau lebih,

dilaksanakannya shalat tersebut, sebelum shalat yang telah berada pada waktunya. Jika yang disengaja meninggalkan itu lima waktu atau kurang, sama saja, telah keluar waktu yang sedang berlalu atau belum. Kalau yang ketinggalan itu lebih dari lima waktu, maka shalat dimulai dengan yang

sedang berlalu (dikemudiankan melakukan qadha). Sementara itu Imam Qurthubi di dalam kitabnya menyatakan cara tersebut di atas, dalam bagian cara mengqadha shalat bagi mereka yang lupa.21 Ibnu Rusyd menerangkan, bahwa perlainan pendapat ini, adalah dalam dua hal. Pertama: tentang bolehnya qiyas di dalam syara' dan kedua: tentang mengqiyaskan orang yang sengaja kepada orang yang lupa. Ini, tentunya, bila qiyas dalam hal ini dapat diterima. Orang yang mengatakan, bahwa bila wajib qadha atau orang yang lupa yang diberi keuzuran oleh syara' dalam bermacam-macam peristiwa, maka orang yang sengaja meninggalkan shalat itu, akan lebih pantas diwajibkan kepadanya qadha tersebut, karena tidak pernah diberi keuzuran untuk meninggalkan shalat.22 Dan dalam bagian lain disebut juga sebagai alasannya ialah: sedangkan orang yang lupa, diwajibkan
Sayyid Sabiq, op cit, hlm. 243. al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, juz 1, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera, tt, 45. 22 Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Al-Faqih, Bidayat alMujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, 1409H/1989M
21 20

10

membayar qadha, apatah lagi mereka yang sengaja meninggalkannya. Dalam hubungan ini, Majelis tidaklah mejumpai atau sekurang-kurangnya belumlah menjumpai dalil naqli yang diambil oleh golongan yang mengqiyaskan ini untuk menguatkan pendapatnya, bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat.23 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibn Hazm, Daud, Qasim, Nashir dan ashab Syafii berkata, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak ada qadha shalat baginya. Malah Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa tidak ada alasan bagi mereka yang menantang pendapatnya itu. Kebanyakan penantang itu berkata, bahwa tidak wajib qadha, melainkan dengan perintah baru, seperti disabdakan Rasul kepada mereka yang lupa, yakni..." siapa yang lupa suatu shalat, hendaklah dia shalatkan di waktu dia telah ingat...", sedangkan dalam hal kesengajaan, tidak ada sama sekali perintah baru. Malah Ibnu Taimiyah lebih lanjut berpendapat, atas tidak sahnya shalat itu, sebab dilakukannya di luar waktu yang telah ditentukan, tanpa sesuatu uzur. Pendapat Ibnu Taimiyah ini pun sesuai dengan pendapat Ibnu Hizam. Kemudian Ibnu Hazm melanjutkan dengan pertanyaannya, yakni,

apakah orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur, termasuk orang yang taat ataukah orang yang durhaka. Kalau mereka (orang yang menantang), mengatakan "taat", maka mereka itu telah menyalahi ijma' ahliahli Islam dan telah menyalahi Qur'an dan Sunnah-Sunnah yang berlaku. Dan andaikata mereka (yang menantang) mengatakan, bahwa itu adalah "maksiat",

23

Ibid

11

maka benarlah mereka itu. Dan salahlah orang yang mempertukarkan tempat maksiat dengan taat. Allah kata Ibnu Hazm selanjutnya telah menghinggakan waktu shalat itu melalui lisan RasulNya dan digariskannya bagi tiap-tiap shalat batas-batas waktunya, dengan arti, bahwa yang sebelumnya itu ataupun yang sesudahnya waktu yang telah digariskan untuk setiap shalat itu, tidak ada lagi waktu untuk menunaikannya. Ketentuan ini disepakati, dan tidak seorang pun di antara ummat ini yang punya pendapat lain. Jikalau dibolehkan juga mengerjakan shalat itu di luar waktunya, maka tidaklah ada artinya penentuan akhir waktu itu. Kata-kata atau kalimat yang percuma itu, mustahil timbul dari Allah dan RasulNya. Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan RasulNya hanyalah

diberikan kesempatan mengubah atau

mengurangi rukun-rukunnya, asal

dikerjakan pada waktunya, seperti umpamanya pada shalat Khauf, dalam perjalanan, ataupun di waktu dalam keadaan sakit yang 'bersangatan. Perhatikanlah firman Allah di dalam ayat 103 surat An Nisaa' dan 239 surat Al Baqarah. D. Metode Penelitian Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :24 1. Sumber Data Terdiri Dari

Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu yang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.

24

12 Data Primer,25 yaitu kitab-kitab karya mazhab Syafii di

antaranya: Al-Umm; Mukhtasar al-Muzani, Al-Hawi al-Kabir, Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyah, Al-Muhazzab dll. Data Sekunder: Kitab Fath al-Muin bi Syarh Qurah al-Ain (Kitab Fiqih), oleh Zaenuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (W. 982 H); 2) Fath al-Qarib al-Mujib oleh Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy. 3) Kifayah al-Akhyar fi al-Ghayah al-Ikhtishar, oleh Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini. 4) Bulug al-Maram oleh Al-Hafidz Ibn Hajar alAsqalani. 5) Nail al-Autar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar oleh al-Imam Alamah Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad as-Syaukani 6) Subul alSalam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam oleh alSanani. 7) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid oleh Al-Faqih Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd. 8) Kitab al-Fiqh ala-Madzahib al-Arbaah oleh Abd al-Rahman al-Jaziry. dan kepustakaan lainnya yang ada hubungannya dengan judul skripsi di atas baik langsung maupun tidak langsung. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi dokumenter26 yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library research), kemudian memilah-milahnya dengan memprioritaskan

keunggulan pengarang.

Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 206.

25

13

3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data,27 peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.28 Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif, yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual dimasa sekarang.29

E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah; pokok permasalahan; tujuan penelitian, telaah pustaka; metode penulisan; sistematika penulisan. Bab kedua berisi landasan teori tentang shalat yang meliputi: pengertian shalat dan landasan hukumnya; syarat dan rukun shalat; macammacam shalat dan waktunya; hukum meninggalkan shalat dan pendapat para ulama tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja

Moh. Nazir. Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hlm, 419. Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 1995, hlm. 134. CF. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm. 269. 29 Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 15., Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. 30, Yogyakarta: Andi 2001, h1m. 3. M. Subana, Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka. Setia, 2001, hlm. 89.
28

27

14 Bab ketiga berisi pendapat mazhab Syafii tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja. Dalam bab ini dikemukakan tentang biografi dan sketsa pemikiran mazhab Imam Syafii; pendapat tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja dan metode istimbath hukum mazhab Syafii tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja. Bab keempat berisi analisis terhadap pendapat mazhab Syafii tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja yang meliputi analisis pendapat mazhab Syafii tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja dan analisis metode istimbath hukum mazhab Syafii tentang qadha shalat yang ditinggal dengan sengaja Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup yang dianggap penting dan relevan dengan judul skripsi.

DAPATKAN SKRIPSI LENGKAP DENGAN SMS KE 08970465065 KIRIM JUDUL DAN ALAMAT EMAIL SERTA KESIAPAN ANDA UNTUK MEMBANTU OPRASIONAL KAMI GANTI OPRASIONAL KAMI 50rb SETELAH FILE TERKIRIM SITUS: http://www.lib4online.com/p/bentuk-file.html

Anda mungkin juga menyukai