Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Shalat adalah pekerjaan hamba yang beriman dalam situasi menghadapkan wajah dan sukmanya kepada Dzat Yang Maha Suci. Bila shalat dilakukan secara tekun dan kontinu, menjadi alat pendidikan rohani manusia yang efektif, memperbarui dan memelihara jiwa serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran bukan dengan paksaan dan tekanan apapun, berarti sebanyak itu rohani dan jasmani dilatih berhadapan dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Efeknya membawa kepada kesucian rohani dan jasmani. Seperti kata seorang ahli hikmah: "Ceritakanlah kepadaku dengan siapa engkau berhubungan dan bergaul, nanti akan kukatakan padamu siapa engkau." Kesucian rohani dan jasmani akan memancarkan akhlak yang mulia, sikap hidup yang dinamis penuh amal saleh. Sebaliknya akan terhindar dari bebagai perbuatan dosa, jahat dan keji1 Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.2 (QS. AlAnkabuut: 45)

Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT.Al-Maarif, 1987, hlm. 232. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Depag, 1978, hlm. 635.
2

Salah satu syarat shalat adalah suci dari hadas besar dan kecil. Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan shalat, sementara orang tadi tidak mendapatkan air untuk mandi atau untuk wudlu, maka sebagai ganti guna menghilangkan hadas besar atau kecil dengan melakukan tayammum. Sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Zainuddin al-Malibari bahwa tayammum bisa dilakukan karena hadas besar atau kecil, bila tidak air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya maka dapat memakai debu yang suci mensucikan.3 Tayammum menurut bahasa sama dengan qasad artinya menuju. Menurut pengertian istilah, tayammum ialah menuju kepada tanah untuk menyapukan dua tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat dan yang sepertinya.4 Kata tayammum dalam kamus Idris al-Marbawy demikian pula dalam al-Munjid diartikan menyengaja.5 Sedang menurut syara ialah menyengaja tanah untuk penghapus wajah dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat dan lain-lain.6 Menurut Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, tayamum menurut bahasa berarti menuju debu. Sedangkan menurut pengertian syariat adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk mendirikan

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Muin Bi Sarkh Qurrah al-Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, Karya Toha Putera , tth, hlm.8. DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Jilid I, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Jakarta, Cet. 2, 1982, hlm. 71 Idris al-Marbawy, Kamus Idris al-Marbawy, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, tt, hlm. 121. Luwice Maluf, al-Munjid, Beirut Libanon: al-Ijtimaiyah, tt, hlm. 118. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1,Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm.76.
5 4

3 shalat atau lainnya.7 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, tayamum adalah menyapu wajah dan kedua tangan hingga dua siku dengan menggunakan tanah atau debu yang suci menurut cara tertentu, sebagai pengganti wudlu atau mandi bagi orang-orang yang tidak dapat menggunakan air karena halanganhalangan tertentu.8 Adapun dasar disyariatkannya tayammum ialah al-Quran dan asSunnah. Al-Quran Surat (al Maidah ayat 6)

Artinya : dan jika kamu dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat9 Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Maidah: 6) Dasar as-Sunnah dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami Fii Fiqhi An-Nisa, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1996, hlm. 10. 8 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Anggota IKAPI, Djambatan, 1992, hlm. 939. 9 DEPAG RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 158.

10

Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ra katanya sesungguhnya Nabi SAW bersabda: saya telah diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelum saya yaitu: saya ditolong dengan ketakutan musuh sejauh perjalanan sebulan, dijadikan bagi saya bumi sebagai tempat sujud (shalat) dan sebagai alat bersuci, maka siapa yang sudah sampai padanya waktu shalat, hendaklah ia bersembahyang. Dalam ayat dan hadits di atas ada kata tayammum. Perkataan itu mengisyaratkan bahwa dalam Islam, manusia diberi keringanan dalam merealisasikan atau mengimplementasikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Keringanan itu tentunya dengan syarat antara lain telah datang waktu shalat; tidak mendapatkan air setelah berupaya maksimal mencarinya; berhalangan menggunakan air, misalnya karena sakit, apabila menggunakan air bertambah parah penyakitnya dan dengan tanah suci dan berdebu.
11

Yang menjadi masalah, apakah sah melakukan tayammum sebelum datangnya waktu shalat. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat pertama misalnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa melakukan tayammum
Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Min Adillati al-Ahkam, Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, Bairut, tt, hlm. 25. Lihat Sayid al-Iman Muhammad ibn Ismail asSanani , Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam , Juz 3, Kairo: Dar Ikhya al-Turas al-Islami, 1960 hlm. 93. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 77.; Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafii, al-Umm, Juz 1, Beirut: Daar al-Fikr, tt, hlm. 62-63.; Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 1, Semarang: Usaha Keluarga, tt, hlm. 46.
11 10

sebelum datang waktu shalat, maka tayammum yang demikian hukumnya tidak sah.12 Menurut Abu Hanifah dibolehkan tayamum sebelum datang waktu shalat.13 Dari pendapat Abu Hanifah di atas, timbul masalah, apakah yang menjadi alasan sehingga ia berpendapat seperti itu? Kemudian apakah yang menjadi metode istinbathnya? Bertolak pada paparan sebelumnya, dan seiring dengan kemajuan zaman, umat Islam membutuhkan respon fiqih yang praktis tetapi tetap bermuara pada tuntunan Al-Quran dan Hadits. Dalam hubungan ini patut diketengahkan pendapat salah seorang ahli hukum positif di Indonesia yaitu Satjipto Rahardjo Salah satu masalah penting yang dihadapi oleh setiap sistem hukum adalah bagaimana bisa mempertahankan kelangsungan hidup di tengah-tengah tarikan perubahan-perubahan masyarakat. Tantangan ini bisa dijawab dengan memberikan jawaban atau mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut sehingga bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa harus bertentangan dengan sumber hukum yang tertinggi.14

Atas dasar itu menjadi penting masalah ini diteliti guna dicari solusinya, mana pendapat yang sesuai dengan perubahan masyarakat. Di samping itu masalah tersebut menarik minat peneliti, karena dari pengalamannya peneliti mendapat kesan bahwa hal itu sangat menarik. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pendapat Abu Hanifah tentang dibolehkannya tayamum sebelum datangnya waktu shalat. Sebagai
12

Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafii, al-Umm, Juz 1, Bairut: Daar alFikr, tt, hlm. 62. Muhammad Amin al-Maruf ibn Abidin, Hasyiyah Rod Al-Muhtar fi Fiqh Mazhab Madzhab Hanafi an- Numan, juz 2, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, tth, 229-245. 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 201
13

kegunaannya secara teoritis, untuk memperluas dan memperkaya khazanah kepustakaan hukum Islam; secara praktisnya agar masyarakat memperoleh jawaban yang obyektif terhadap masalah tersebut. Dalam hubungannya dengan judul di atas sebabnya peneliti memilih tokoh Abu Hanifah, karena ia adalah seorang ulama besar dan ahli ilmu agama yang tidak ada tara di zamannya. Ia juga seorang yang amat berjasa bagi Islam dan umatnya, seorang pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai ujian yang besar. Hal itu antara lain dapat dilihat dari karya-karyanya di bidang ilmu pengetahuan agama, khususnya fikih. Hasil karya Abu hanifah yang hingga kini masih dapat dijumpai antara lain: Al-Mabsut; Al-Jamius Sagir; al-Jamiul Kabir. Masih banyak kitab yang berisikan buah pikiran Abu Hanifah yang ditulis dan diriwayatkan oleh para muridnya.15 Bertolak dari uraian di atas mendorong peneliti untuk mengangkat tema ini dengan judul: Analisis Pendapat Abu Hanifah Tentang di Bolehkannya Tayamum Sebelum Masuk Waktu Shalat B. Permasalahan Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya. 16 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan :

Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Mazhab, terj. Abd.Aziz MR, Yogyakarta: Mitra Pustaka, hlm. 3-45. Lihat juga Mahmud Syaltut, Muqaaranatul Mazahib Fil Fiqhi, Cairo Mesir: Muhammad Ali Shabih Al-Azhar, 1393 H/1973 M, hlm. 13. 16 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.

15

1. Bagaimana pendapat Abu Hanifah tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuknya waktu shalat? 2. Apakah yang menjadi metode istinbath hukum Abu Hanifah?

Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi sebagai berikut: 3. Untuk mengetahui pendapat Abu hanifah tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuknya waktu shalat 4. Untuk mengetahui yang menjadi metode istinbath hukum Abu Hanifah C. Telaah Pustaka Berdasarkan penelitian di fakultas Syariah ditemukan adanya skripsi yang berhubungan dengan judul penelitian ini yaitu: karya ilmiah yang disusun oleh Mukhamad Hasanudin 2198044/AS berjudul: Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardu Dengan Satu Kali Tayamum. Dalam kesimpulannya diterangkan: Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy satu kali tayammum dapat digunakan untuk melakukan lebih dari satu shalat fardu. Dasar hukum dalam masalah ini adalah tanah dan air merupakan dua bagian yang tak terpisahkan. Hal ini berarti air dan tanah memiliki fungsi yang sama yaitu dapat dijadikan sebagai alat bersuci. Apabila seseorang berwudlu, maka boleh shalat seberapa yang dikehendakinya. Maka demikian pula dengan tayamum sebelum datangnya hadas. Selanjutnya TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan, satu kali tayamum bisa digunakan untuk dua shalat fardu adalah pendapat yang diamalkan oleh

sebagian ahli-ahli hadits, dan inilah yang lebih kuat. Demikian pula pendapat madzhab Abu Hanafiah, al-Laits, dan Daud. Dengan demikian TM. Hasbi Ash Shiddieqy, termasuk ulama yang menganggap satu kali tayamum bisa digunakan untuk shalat fardu. Dari keterangan di atas dapat ditegaskan bahwa penelitian terdahulu kajiannya adalah tentang kedudukan tayamum dalam hubungannya dengan boleh tidaknya satu kali tayamum digunakan untuk dua shalat fardu. Sementara tokoh yang dikaji adalah TM.Hasbi Ash-Shiddieqy. Sedangkan penelitian saat ini hendak mengkaji boleh tidaknya mengerjakan tayamum sebelum masuknya waktu shalat, dan tokohnya adalah Abu Hanifah. Dengan demikian sangat berbeda antara penulisan sebelumnya dengan yang ada sekarang. Hal ini mengandung arti jauh dari upaya adanya penjiplakan atau pengulangan. Dalam hubungannya dengan telaah pustaka, di bawah ini dikemukakan berbagai pendapat para ulama secara garis besar yang dikelompokkan menjadi dua bagian. Kelompok pertama menyatakan telah datangnya waktu shalat sebagai syarat sahnya tayamum dengan berpijak pada Sabda Rasulullah SAW:

9
17

Artinya : Amer Ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah SAW bersabda: Telah dijadikan bumi untukku tempat bersujud dan alat bersuci. Di mana saja aku dapati oleh waktu shalat, aku menyapu dengan bumi (bertayammum) dan lalu aku shalat. (HR Ahmad)

Sebagian ahli fiqih menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy berpandangan bahwa Hadits ini menunjukkan kepada disyaratkannya tayamum sesudah datangnya waktu shalat.18 Misalnya Imam Syafi'i dalam kitabnya

mengatakan: Allah Taala menetapkan waktu-waktu bagi shalat. Maka tidaklah bagi seseorang bershalat sebelum waktu-waktu itu. Sesungguhnya kita disuruh shalat, apabila telah datang waktunya. Begitu juga disuruh dengan tayammum, ketika mau berdiri kepada shalat dan memerlukan kepada air. Maka siapa yang bertayammum untuk shalat sebelum datang waktunya dan mencari air, niscaya tidak boleh baginya shalat dengan tayammum itu. Sesunguhnya boleh mengerjakan shalat apabila telah datang waktu shalat, yang apabila dikerjakan shalat itu padanya, niscaya memadailah baginya. Pendapat sama dikemukakan Syeikh Abu Syujak yang menerangkan, disyariatkan tayammum itu sesudah datang waktu shalat. Namun dalam hal ini harus mencari air lebih dahulu dan adanya kesulitan dalam
Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Kairo: Tijariyah Kubra, tt, hlm. 187. Cf. Ibnu Qudamah, al-Mughny, Juz 1, Kairo: Daar al-Manar, 1367, hlm. 239. al-Imam Ibnu Hazm, al-Muhalla al-Mujalla, Juz 2, Bairut: Daar al-Fikr, tt, hlm. 133.; Al-Imam Alamah Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad as-Syaukani, Nail alautar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, Juz 1, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm. 326-328.; Al Iman Ibnu Taimiyah al-Harrani, Al-Muntaqa al-akhbar, Juz 1, Mesir, Dar al-Fikr al-Arabi, 1954, hlm. 165. Abdul Ghani al-Maqdisi, Umdatul Ahkam, Juz 1, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954, hlm. 114. 18 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, Cet 5, 1994, hlm. 320.
17

10

penggunaannya. Karenanya jelaslah tayammum bisa dianggap sah jika dikerjakan sesudah datang waktu shalat.19 Sementara Muhammad ibn Qasim menganggap bahwa datangnya waktu shalat merupakan syarat sahnya tayammum.20 Demikian pula Abu Ishaq al-Syiroozi dalam bukunya mengatakan tidak boleh bertayammum untuk melakukan shalat fardu kecuali setelah datang waktu shalat, misalnya karena ketiadaan air atau karena takut menggunakannya.21 Sebuah buku yang diperuntukkan sebagai tingkat dasar yang dikarang Sulaiman Rasjid dalam pandangannya ia menganggap tayammum

disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Karena itu sebelum datang waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.22 Seiring dengan pendapat di atas adalah pendapat Diibul Bigha, bahwa syarat tayammum itu yang pertama adalah adanya udzur karena bepergian atau sakit; kedua, sudah datang waktu shalat sementara air yang dicari tidak didapatkan, ketiga, terhalangnya memakai air dan diperlukannya air tersebut (untuk diminum misalnya) sesudah berhasil mencarinya, dan keempat, memakai tanah suci yang berdebu.23 Syekh Muhammad Ibn Qasim menjelaskan syarat-syarat tayammum ada lima macam yaitu:
Taqi al-Din abu Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-akhyar Fi hall Ghayah alkhtishar, Semarang: Maktabah Alawiyyah, tt, hlm. 59-60. 20 Syehk Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar alIhya al-Kitab, al-Arabiah, tt, hlm. 9. 21 Al-Imam Abu Ishaq al-Syirazi, Kunci Fiqih Syafii, terj. Hafid abdullah, Semarang: CV. Asy Syifa, 1992, hlm. 11. 22 H. Sulaman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. 22, 1989, hlm. 51. 23 Musthafa Diibul Bigha, Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, terj. H. Uthman Mahrus dan Zainus Sholihin, Semarang: CV. asy-Syifa, 1994, hlm. 54-55.
19

11

1) Adanya halangan (udzur) karena bepergian atau sakit. 2) Masuk shalat. Menurutnya tidak sah tayammum karena untuk shalat sebelum masuk waktunya. 3) Harus mencari air sesudah datang waktu shalat yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau dengan orang yang telah mendapatkan izin untuk mencarikan air. Maka hendaknya mencari air dari upayanya sendiri dan dari temanya. Menurutnya jika orang tersebut sendirian, maka hendaknya melihat kanan kirinya dari empat arah bila berada di tempat yang buminya datar. Sedang jika berada di tempat yang naik turun, maka hendaklah memperkirakan berdasarkan penglihatannya. 4) Terhalang memakai air. Seperti takut memakai air yang menyebabkan hilangnya nyawa atau hilangnya manfaat anggota. Termasuk juga terhalang memakai air yaitu bila ada air didekatnya, ia takut akan dirinya jika menuju tempat air itu seperti adanya binatang buas, musuh, takut hartanya dicuri orang atau takut kepada orang yang pemarah. 5) Harus dengan debu yang suci yang tidak dibasahi. Perkataan athThahiru ( ) artinya yang suci itu sejalan dengan pengertian debu yang diperoleh dengan ghashab dan debu kuburan yang belum digali.24

Seorang ulama pengarang kitab fiqih empat mazhab yaitu Abd alRahman al-Jaziri mengungkapkan bahwa tayammun sah apabila telah memenuhi beberapa syarat yaitu: 1) telah masuk waktu shalat. Tidak sah tayammum sebelum masuknya waktu shalat. Akan tetapi madzhab Hanafi (al-Hanafiyyah) beranggapan bahwa boleh bertayammum sebelum datang waktu. 2) Niat. Dalam kaitannya dengan niat, madzhab Maliki (al-Malikiyyah) dan madzhab Syafii (asy-Syafiiyyah) mereka berkata bahwa niat adalah rukun, bukan syarat. Sedang madzhab Hanafi dan madzhab Hambali beranggapan bahwa niat adalah syarat dalam tayammum dan juga syarat dalam wudlu; dan niat ini bukan sebagai rukun.25

Sedangkan pendapat yang berbeda dengan yang di atas dapat dikemukakan oleh kelompok kedua yang diwakili antara lain: Menurut Ibnu Rusyd, pendapat yang menjadikan masuk waktu shalat

24 25

Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, loc. cit. Abd al-Rahman al-Jaziri, op. cit., hlm. 151.

12

sebagai syarat sahnya tayammum dan menganggap tayammum sebagai ibadah yang berlaku sementara, itu pendapat yang lemah. Sebab, pengaitan waktu dalam ibadah tidak dapat diterima kecuali ada dalil sami. Selanjutnya Ibnu Rusyd menyatakan masalah penetapan waktu ini bisa diterima jika di dasarkan pada kemungkinan ditemukannya air sebelum masuk waktu shalat. Dengan demikian, bukan berarti tayammum itu ibadah sementara, tapi harus bertitik tolak dari seseorang yang dapat dinyatakan tidak menemukan air setelah masuk waktu shalat, sebab selama waktu shalat belum tiba, masih bisa dan masih mungkin untuk memperoleh air.26 Tidak berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat Sayyid Sabiq, menurutnya tayammum itu adalah pengganti wudlu dan mandi ketika tidak ada air, maka dibolehkan dengan tayammum itu apa yang dibolehkan dengan wudlu dan mandi seperti shalat, menyentuh al-Quran dan lain-lain. Sedang untuk sahnya tidaklah disyaratkan masuknya waktu.27 Demikian pula pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu Hanifah, menurutnya sah bertayammum sebelum datangnya waktu shalat.28 Karena itu TM. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan pendapat Abu Hanifahlah sangat tegas dan itulah yang dipahamkan dari lahir ayat. Keterangan yang hanya mensahkan tayammum sesudah datangnya waktu shalat tidak diperoleh. Tegasnya bertayammum sah

Al-Faqih abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat alMujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, 1409H/1989M, hlm. 48-49. 27 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 78-79. 28 Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ala-Madzahib al-Arbaah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 151-152.

26

13 sesudah datang waktu shalat dan sah juga sebelum datang waktu shalat.29 D. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu. Maka dalam hal ini peneliti menggunakan metode sebagai berikut: 1. Sumber data. Sebagai rujukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kitab atau buku antara lain: sumber primer: Al-Mabsut; Al-Jamius Sagir; al-Jamiul Kabir; Hasyiyah Rod Al-Muhtar fi Fiqh Mazhab Madzhab Hanafi an-Numan, juz 2. Sumber sekunder: Sejarah Hukum Dalam Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih; Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafiiy, Hambaly; Ensiklopedi Hukum Islam, Bulug al-Marram Fi Adillati alAhkam; Sahih al-BukharI; Fath al-Qarib al-Mujib; Al-Muntaqa; Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisart; Fiqhul Marah al-Muslimah; Kitab al-Fiqh ala-Madzahib al-Arbaah; Fath al-Muin Bi Sarkh Qurrah alUyun; Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati alAhkam, dan kitab lain yang ada relevansinya langsung dengan judul di

Ibnu Qudamah, al-Mughny, Juz 1, Kairo: Daar al-Manar, 1367, hlm. 240. al-Imam Ibnu Hazm, al-Muhalla Sarh al-mujalla, Juz 2, Bairut: Daar al-Fikr, tt, hlm. 134.; Al Iman Ibnu Taimiyah al-Harrani, Al-Muntaqa al-akhbar, Juz 1, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954, hlm. 166.; Abdul Ghani al-Maqdisi, Umdatul Ahkam, Juz 1, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954, hlm. 115.

29

14

atas. Dengan demikian peneliti menggunakan teknik liberary research yaitu suatu riset kepustakaan.30 2. Teknik pengumpulan data. Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.31 Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data berupa teknik librari research yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan, maka dalam hal ini menggunakan content analysis yaitu menganalisis isi buku dengan menggunakan tehnik hermeunetik. Secara terminologis hermeneutika diartikan sebagai penafsiran ungkapanungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya yang berbeda jauh dari rentang sejarah. Dewasa ini hermeneutika sering dipersempit menjadi penafsiran teks tertulis yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dari lingkungan dunia pembaca. Dengan demikian hermeneutika mengarahkan agar teks yang sedang dipelajari mempunyai arti sekarang dan di sini, sehinga teks tersebut mengarah secara terbuka menuju yang sekarang dan di sini.32 3. Teknik analisis data. Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.33 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data kualitatif. Yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, Cet. 32, Yogyakarta: Andi, 2001, hlm. 9. Lihat juga. Winarno Surakhmad, Paper, Skripsi, Tesis, Disertasi, Cet. 4, Bandung: Tarsito, 1981, hlm. 17., Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial, Cet. 5, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 28. 31 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. 11, PT. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.84. 32 Musahadi HAM, Evolosi Konsep Sunnah Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 140-141. 33 H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 102.
30

15 secara langsung.34 Sebagai pendekatannya, peneliti menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa sekarang.35 E. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka skripsi ini disusun sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakkan karakteristik yang berbeda namun dalam satu kesatuan tak terpisah (inhaerent). Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara ijmali namun holistik dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan Bab kedua berisi tinjauan umum tentang tayamum yang meliputi: pengertian tayamum dan dalil-dalilnya, syarat dan rukun tayammum, bendabenda yang dapat digunakan untuk tayamum, tayamum sebagai pengganti wudlu. Bab dua ini berisi introduksi teori guna memperjelas isi bab tiga . Bab ketiga berisi meliputi: pendapat Madzhab Hanafi tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuk waktu shalat yang meliputi Biografi, perjuangan dan karya ilmiah Madzhab Hanafi (biografi, perjuangan Madzhab Hanafi dan karya ilmiah Madzhab Hanafi), pendapat Madzhab Hanafi tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuk waktu shalat dan metode istimbath
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134. 35 Winarno Surakhmad, Pengantar Penellitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung: Tarsito 1989, hlm. 139.
34

16

hukum Madzhab Hanafi tentang tayamum sebelum masuk waktu shalat. Dengan adanya uraian bab tiga diharapkan dapat menjadi landasan untuk menganalisis isi bab empat. Bab keempat berisi analisis pendapat Madzhab Hanafi tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuk waktu shalat yang meliputi: analisis pendapat Madzhab Hanafi tentang dibolehkannya tayamum sebelum masuk waktu shalat, analisis metode istimbath hukum Madzhab Hanafi tentang tayamum sebelum masuk shalat dan implikasi hukum pendapat Madzhab Hanafi terhadap aktualisasi hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya uraian bab empat diharapkan dapat menjawab apa yang menjadi tujuan dan pokok masalah penulisan skripsi. Bab kelima merupakan penutup meliputi: kesimpulan; saran-saran; penutup .

DAPATKAN SKRIPSI LENGKAP DENGAN SMS KE 08970465065

17

KIRIM JUDUL DAN ALAMAT EMAIL SERTA KESIAPAN ANDA UNTUK MEMBANTU OPRASIONAL KAMI GANTI OPRASIONAL KAMI 50rb SETELAH FILE TERKIRIM SITUS: http://www.lib4online.com/p/bentuk-file.html

Anda mungkin juga menyukai