Anda di halaman 1dari 80

PENGENDALIAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI DI NAD-NIAS

DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN GREEN PROVINCE

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-979-25-2222-8 Judul: PENGENDALIAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI DI NAD-NIAS DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN GREEN PROVINCE Penanggung Jawab Kegiatan: Eddy Purwanto (Deputy Operasi BRR NAD Nias) R. Pamekas (Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan dan Konservasi BRR NAD-Nias) Husaini Syamaun,MM (Wakil Kepala Dinas Kehutanan Propinsi NAD) Direksi Teknis: Saodah Lubis (Manager Konservasi) Stepi Hakim (Technical Assistance UNDP untuk BRR) Editor: Saodah Lubis (BRR NAD-Nias), Husaini Syamaun (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Sofyan (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), T. Iwan Kesuma ((Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Andi Basrul (BKSDA), Darmawi (BP DAS Propinsi NAD), Hudaya (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Syahyadi (Bappeda Propinsi NAD), Taqwaddin (Unsyiah), Stepi Hakim (UNDP), dan Yusdinur Usman (CENTRALs). Foto-foto isi diambil oleh: Saodah Lubis, Andi Nurbani, Dede Adam. Foto Cover: Arif Ariadi Cetakan ke -1 Maret 2008 Desain dan Layout: Asep Firman Diterbitkan oleh: PUSAT PENGENDALIAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI Kedeputian Operasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Leung Bata, Banda Aceh Telp. : 0651 63 66 66 Fax : 0651 63 77 77 Desain Cover: Surya Mediana

Penerbitan Buku Didukung oleh :

KATA PENGANTAR

Dari Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Atas nama Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), saya ucapkan selamat sekaligus menyambut gembira terbitnya buku PENGENDALIAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI DI NAD-NIAS DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN GREEN PROVINCE. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam terutama hutan di Propinsi NAD masih berlimpah. Walaupun begitu, pemanfaatan sumber daya hutan tanpa diikuti dengan azas kelestarian akan membuat dampak kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat. Banjir dan tanah longsor yang kerap terjadi belakangan ini merupakan salah satu contoh dari akibat perbuatan manusia tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar keseimbangan alam. Untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang terjadi, suatu perencanaan kelola alam yang baik bergantung kepada ketersediaan data dan informasi yang akurat. Buku ini memberikan informasi yang berkaitan dengan sumber-sumber hasil hutan kayu dan non kayu yang berasal dari informasi masyarakat setempat yang tersebar di 17 kabupaten. Disamping itu, buku ini juga memberikan informasi terhadap keadaan hutan dan lahan di Propinsi NAD pasca bencana alam tsunami dan gempa bumi tahun 2004 yang lalu. Saya berharap agar para pengambil kebijakan di Propinsi NAD dapat memanfaatkan buku ini dalam pelaksanaan kebijakan moratorium logging. Akhir kata, sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Mudah-mudahan tujuan kita bersama yakni Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera dapat segera terwujud.

Banda Aceh, 24 Maret 2008 G ernur Nanggroe Aceh Darussa m Gubernur Darussalam

Irwandi Yusuf u Yusuf

iii

KATA PENGANTAR

Dari Kepala BRR NAD-Nias

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan gempa 28 Maret 2005 di kepulauan Nias yang dilaksanakan BRR NAD-Nias untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam dan kepulauan Nias juga memperhatikan aspek lingkungan. Selama masa tugasnya, BRR telah melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan di wilayah kerjanya dan berperan aktif dalam berbagai forum lingkungan global maupun lokal, bersama mitra rehabilitasi dan rekonstruksi internasional, nasional dan yang berasal dari kedua wilayah, termasuk dengan pemerintah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan di provinsi Sumatera Utara. Komitmen BRR pada lingkungan, di antaranya juga diwujudkan bersama Dinas Kehutanan Provinsi NAD dengan menerbitkan buku berjudul Pengendalian Pembangunan Lingkungan

dan Konservasi di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Buku yang berisi hasil pelaksanaan identifikasi beberapa kayu kampung diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi pemenuhan kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan dan dukungan pelestarian hutan alam di provinsi NAD. BRR juga berharap agar dengan membaca buku ini banyak pihak dapat mengetahui dan mengupayakan potensi hasil hutan non-kayu yang dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar hutan serta kondisi kepemilikan lahan agar dapat menjadi bahan pertimbangan untuk merencanakan pengelolaan Hutan Rakyat dengan komoditi spesies tanaman yang memiliki banyak kegunaan (Multi Purpose Tree Species-MPTS). Dengan demikian kebijakan moratorium logging dapat terlaksana dan mendapatkan makna karena pemerintah daerah dengan dukungan masyarakat mampu menjaga hutan di wilayahnya agar tetap lestari. Kami mengucapkan terima kasih kepada tim Dinas Kehutanan Provinsi NAD dan semua pihak yang telah mencurahkan segala tenaga dan pikiran untuk menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dalam pembangunan berwawasan lingkungan, sehingga citacita Green Province Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat segera terwujud. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Banda Aceh, 24 Maret 2008 Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD Nias Kepala, p Kepala,

Kuntoro Mangkusubroto or r oto Kuntoro


iv

KATA PENGANTAR

Dari Penyusun

Kegiatan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias merupakan salah satu upaya nyata dalam mendukung kebijakan Green Province di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung arah kebijakan terhadap pembangunan dan pengelolaan sumber daya hutan terkait erat dengan tujuan dari Green Province. Kegiatan pengendalian dan pembangunan lingkungan dan konservasi ini meliputi pengumpulan informasi dan data yang berhubungan dengan potensi hutan terutama jenisjenis kayu berasal dari masyarakat, penyebaran hasil hutan bukan kayu (HHBK) jenis-jenis kayu kampung, model-model pengelolaan hutan, serta kodisi masyarakat sekitar dan dalam hutan terutama kearifan tradisional dan kelembagaan masyarakat yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan. Kegiatan ini juga meliputi pengumpulan informasi yang berkaitan dengan kegiatan perambahan, pembukaan lahan dan kegiatan pembangunan yang berdampak pada keberadaan sumberdaya hutan. Buku ini menjelaskan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, hasil yang diharapkan, metodologi pelaksanaan kegiatan, hasil pelaksanaan kegiatan, struktur dan organisasi pelaksana kegiatan, dan kesimpulan dan rekomendasi terhadap arah kebijakan terhadap pembangunan dan pengelolaan sumber daya hutan di Nanggroe Aceh Darrussalam. Terimakasih kepada semua pihak, semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan mejadikan pedoman dalam pelaksanan kegiatan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam rangka mendukung kebijakan Green Province

Banda Aceh, 24 Maret 2008 Kerjasama antara, Dinas Kehutanan Propinsi NAD dan BRR NAD - Nias

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan 1.3 Ruang Lingkup 1.4 Hasil yang Diharapkan 1.5 Struktur Organisasi 1.6 Waktu dan Tahapan Kegiatan 2 METODE 2.1 Pengumpulan Data 2.2 Metode Pemilihan Desa/Gampong 3 PELAKSANAAN KEGIATAN 3.1 Pra Pelaksanaan 3.2 Pelaksanan 3.3 Analisa Data 3.4 Presentasi Hasil 3.5 Pelaporan 4 KONDISI UMUM KEHUTANAN 4.1 Kondisi Hutan Aceh 4.2 Pemanfaatan Sumber Daya Hutan 4.3 Permasalahan Hutan Aceh 4.4 Rehabilitasi Hutan & Lahan (Gerhan) 4.5 Kebijakan Umum Kehutanan di Aceh 5 HASIL dan PEMBAHASAN 5.1 Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di Aceh 5.2 Kelembagaan dan Kearifan local 5.3 Industri dan Perizinan Kehutanan 6 KESIMPULAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 iii - v vi 1 1 1 2 2 2 2 4 4 4 5 5 5 5 6 6 7 7 9 13 16 20 22 22 56 59 62 64 65 67 68

vi

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2006 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menyebabkan kerusakan yang cukup dahsyat terutama di seluruh kawasan pantai (pesisir) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan pulau-pulau kecil lainnya seperti P Simelue, Pulau Nasi dan Pulau Weh . Sabang. Kemudian pada Maret 2005 terjadi gempa bumi yang sangat besar di P Nias yang juga mengakibatkan . terjadinya kerusakan pada ekosistem pantai di P Nias. . Kerusakan yang terjadi bukan saja menyangkut alam yaitu ekosistem di kawasan pesisir, akan tetapi juga pada ekosistem buatan seperti infrastruktur, perumahan, bangunan sekolah, dan tempat peribadahan yang membuat kejadian tersebut menjadi perhatian dunia sehingga banyak negara yang ingin berpartisipasi dalam membantu pemulihan kembali Aceh dan Nias. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah yang besar, terutama kebutuhan terhadap bahan materi seperti kayu, pasir, batu gunung, kerikil dan lain sebagainya. Ada aktivitas yang dilakukan harus membuka hutan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, ada pula yang harus melakukan pembebasan lahan atau bahkan merubah bentang alam yang ada. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan harus didasarkan kepada kebijakan green reconstruction, yaitu meminimalis kerusakan alam yang ada akibat dari pembangunan tersebut. Untuk mencegah kerusakan sumber daya alam khususnya hutan yang lebih parah serta untuk mempersiapkan pengelolaan hutan yang lestari, maka Gubernur Provinsi NAD pada tanggal 6 Juni 2007 telah mendeklarasikan Moratorium Logging, yaitu penghentian sementara seluruh kegiatan penebangan hutan yang berasal dari Hutan Alam dan diutamakan yang berada di dalam kawasan hutan (Instruksi Gubernur NAD No. 05/ INSTR/2007). Selanjutnya telah diadakan workshop lingkungan pada tanggal 2-3 Juli 2007 untuk mendukung kebijakan moratorium logging tersebut. Untuk menyusun suatu konsep pengelolaan hutan lestari dan moratorium logging tersebut, maka perlu pendataan informasi terhadap hutan misalnya tentang potensi kayu kampung, luasannya, kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan termasuk peranan kelembagaankelembagaan yang ada baik yang ada di Pemerintahan maupun yang ada di Masyarakat. Melalui kegiatan pengendalian pembangunan lingkungan dan konservasi di NAD Nias dalam rangka perwujudan kebijakan Green Province maka diharapkan BRR NADNias, selaku instistusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan NAD-Nias pasca gempa dan tsunami, mampu memberikan kontribusi dalam pengelolaan hutan lestari terutama di Propinsi NAD. Hal ini juga didukung oleh banyaknya pemanfaatan sumber daya hutan terutama kayu yang digunakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya lain untuk mewujudkan Green Province adalah dengan melakukan rehabilitasi baik dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan (lahan milik masyarakat) dengan berbagai jenis tanaman. Hal ini juga sebagai salah satu upaya untuk mendukung kebijakan gelobal tentang perubahan iklim yang sudah didekelarasikan oleh berbagai negara dalam konferensi COP 13 (Conference of Parties) di Bali Khususnya tentang REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Destruction). Disamping itu juga sebagai bahan masukan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan sekaligus pencapaian terhadap misi BRR NAD Nias yaitu memberikan kehidupan yang lebih baik pada masyarakat dari sebelumnya. Diharapkan akhir dari kegiatan ini dapat memberikan data dan informasi potensi kayu kampung, potensi hasil hutan non kayu, kelembagaan yang ada di masyarakat serta kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Informasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusunan konsep pengelolaan hutan lestari di Propinsi NAD.

1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dilaksanakannya kegiatan ini dalam lingkup kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias adalah untuk mengetahui potensi kayu kampung dan hasil hutan non kayu, kelembagaan dan kearifan tradisional serta memberikan informasi terhadap kebijakan moratorium logging menuju Green Province. Tujuan dari kegiatan ini adalah 1. Agar pembangunan (rehabilitasi dan rekonstruksi) NAD-Nias dapat memberikan suatu kontribusi terhadap potensi sumber daya alam yang ada khususnya hutan. Memberikan informasi tentang kondisi kayu kampung sebagai bahan alternative pemenuhan kebutuhan kayu untuk mendukung moratorium logging. Memberikan infomasi tentang hasil hutan non kayu sebagai salah satu potensi ekonomi local yang bisa dikembangkan kedepan sebagai sember pemdapatan daerah dan masyarakat. Memberikan informasi tentang kelembagaan dan kearifan local sebagai bahan menyusun suatu konsep pengelolaan hutan yang lestari.

2.

3.

4.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

1.3 Ruang Lingkup 1. Pengumpulan data sekunder sehubungan dengan potensi hutan dan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Inventarisasi dan identifkasi potensi hutan berupa jenis kayu rakyat dan hasil hutan non kayu (HHNK) yang ada di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Melakukan lokakarya desa untuk mendapatkan informasi tentang kearifan lokal yang ada di desa dalam pengololaan hutan. Melakukan analisa terhadap hasil survey lapangan. Melakukan rapat-rapat pembahasan hasil analisa survey lapangan. Menyerahkan laporan untuk dilakukan analisa lebih lanjut oleh tim ahli/pakar. Melakukan rapat konsinyasi untuk menyusun draft laporan akhir. Melakukan pertemuan dengan stakeholder terkait untuk mendapatkan tambahan analisa. Melakukan lokakarya akhir untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terhadap rencana pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management) dalam rangka mewujudkan suatu Aceh Baru sebagai Green Province dan untuk penyempurnaan laporan.

PENANGGUNG JAWAB (Plh. Dinas Kehutanan Propinsi NAD)

2.

DIREKSI TEKNIS Manajer KSDA BRR & TA UNDP

3.

KOORDINATOR/ TIM AHLI/ PAKAR

4. 5. 6. 7. 8. 9.

ADM/ Keuangan

SURVEYOR

ENUMERATOR

TENAGA BANTU LAPANGAN

Gambar 1. Bagan Organisasi Pelaksana Kegiatan Alamat Kantor Jl Jend. Sudirman No 21 Tlp (0651) 4227-44186 Fax 43628. Banda Aceh, 23239 Penanggung jawab Kegiatan Ir. Husaini Syamaun,MM Agar diperoleh output pekerjaan yang baik maka pekerjaan ini memerlukan suatu organisasi pelaksanan pekerjaan yang kuat, efisiensi, dan efektif yaitu untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang tepat waktu (right time), tepat output (right output), tepat kualitas (right quality), tepat proses (right process) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Tim pelaksana kegiatan Pengendalian Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam Rangka Perwujudan kebujakan Green Province secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan (team work) yang terdiri dari Direksi teknis, Tenaga Ahli, tim surveyor, pendamping lapangan dan tenaga administrasi yang terdiri dari sekretaris dan operasi computer untuk entry data. Secara keseluruhan tim bertanggung jawab atas terselenggaranya kelancaran pekerjaan dengan kualitas hasil sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi pekerjaan.

1.4 Hasil yang Diharapkan 1. Tersedianya data dan informasi tentang potensi kayu rakyat, hasil hutan non kayu (HHNK), dan potensi jasa lainnnya. Tersedianya informasi tentang kearifan tradisional yang ada di masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tersedianya data bentuk-bentuk pengelolaan hutan sebagai bahan untuk melakukan pengelolaan hutan yang lestari. Tersedianya data dan informasi potensi lahan kritis yang perlu segera dilakukan upaya rehabilitasi, sebagai pengganti kayu-kayu yang dipakai dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

2. 3.

4.

1.5 Struktur Organisasi Organisasi Pelaksana kegiatan adalah sebagai berikut: Nama Instansi Pelaksana DINAS KEHUTANAN PROPINSI NAD

1.6 Waktu dan Tahapan Kegiatan Secara keseluruhan dari sejak panandatanganan MoU pada bulan Juni 2007, pelaksanan kegiatan adalah selama 6 (enam) bulan. Akan tetapi berhubung adanya kebijakan Pemda dengan dikeluarkannya deklarasi moratorium

logging dan adanya workshop lingkungan dengan tema membangun Aceh hijau bersama pada tanggal 2- 3 Juli di Banda Aceh, maka kegiatan baru efektif dilaksanakan pada bulan Agustus 2007. Selanjutnya rapat konsinyasi yang sedianya akan dilaksanakan bulan Agustus, harus ditunda karena adanya pengumuman dari Menteri Keuangan bahwa perjalanan dinas tidak boleh dilakukan, karenanya tenaga surveyor tidak dapat datang ke Banda Aceh untuk mengikuti rapat konsinyasi awal. Rapat Konsinyasi awal baru dapat dilaksanakan pada tanggal 28 29 September 2007. Setelah rapat konsinyasi tim surveyor kelapangan untuk pengumpulan data berdasarkan questioner yang sudah dipersiapkan dan melaksanakan lokakarya desa untuk mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Ramadhan dan dilanjutkan setelah Idul Fitri. Setelah data terkumpul diadakan rapat konsinyasi akhir, dimana tenaga surveyor mempresentasikan hasilnya, serta menyampaikan laporan tertulis, juga menyampaikan questioner yang telah diisi. Data lapangan dikompilasi oleh tenaga entry data dan berhubung responden yang demikian besar maka perlu bantuan tenaga untuk entry data. Kompilasi data dalam

bentuk table dan selanjutnya disajikan dalam berbagai bentuk grafik, dan dapat dibaca pada lampiran. Hasil dari data ini akan disusun menjadi laporan antara yang akan dibahas pada rapat konsinyasi direksi teknis dan tanga ahli. lokakarya regional untuk mendapat masukan dari stakeholder terkait. Rapat konsinyasi tersebut juga sekaligus menyusun dan membahas draft laporan akhir. Draft laporan akhir akan dipersentasikan pada stakeholder terkait pada rapat koordinasi. Masukan yang diterima akan dimasukkan pada draft laporan akhir serta di lokakaryakan dengan berbagai stakeholder terkait yang lebih luas. Masukanmasukan yang didapat akan dimasukkan dalam perbaikan dan akhirnya akan muncul laporan akhir dan executive summary. Agar pelaksanaan terencana dengan baik, maka disusun workplan, namun sesuai dengan kendala yang ada, maka workplan ini tentunya dapat berubah atau disesuaikan. Laporan antara dan laporan akhir yang sedianya akan selesai pada bulan Desember 2007, ternyata baru dapat diselesaikan pada bulan February 2008. Keterlambatan ini dikarenakan antara lain adanya kegiatan internasional UNFCCC yang berlangsung dari tanggal 3 14 Desember 2007 di Bali. Selain itu juga, bertepatan dengan adanya libur Hari Raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

2 METODE
2.1 Pengumpulan Data Data Primer Metode yang digunakan dalam rangka kegiatan pengumpulan data primer adalah melalui interview/ wawancara (metode questioner), pertemuan, dan lokakarya. Interview atau wawancara dilakukan kepada target group/masyarakat (petani hutan) pada tiap desa (gampong) yang dipilih, terutama gampong yang terletak di sekitar dan dalam hutan, dan gampong yang memiliki akses keluar masuknya produksi hasil hutan (jalan atau sungai/laut). Bahan interview dipersiapkan berdasarkan hasil dari lokakarya Aceh Hijau Bersama yang dilaksanakan pada tanggal 2 3 Juli 2007. Lokakarya dilakukan pada Gampong/Desa yang terpilih dengan melakukan diskusi-diskusi kelompok (Focus Group Discussion). Peserta dari lokakarya diharapkan mencakup unsur-unsur Pemerintahan, Petani, Pelaku Usaha, dan Masyarakat Umum. Data primer yang dikumpulkan melalui interview dan lokakarya adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi kayu rakyat 2. Identifikasi lahan/kebun/hutan milik masyarakat 3. Identifikasi hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan 4. Model-model kearifan lokal dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat 5. Struktur kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam 6. Industri-industri primer kehutanan yang dimiliki oleh masyarakat 7. Izin-izin pemanfaatan hutan oleh masyarakat 8. Peraturan-peraturan daerah yang masih digunakan 9. dan berlaku yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Jumlah rumah-rumah bantuan yang telah selesai dibangun oleh lembaga-lembaga donor, BRR, dan LSM-LSM national dan internasional

Data Sekunder Pengumpulan data sekunder meliputi: 1. Peta Vegetasi atau tutupan lahan hutan 2. Peta jalan dan sungai 3. Peta Administrative Desa/Gampong 4. Profil Desa/Gampong 5. Laporan-laporan dari instansi terkait yang berhubungan dengan kegiatan kehutanan di kabupaten

2.2 Metode Pemilihan desa/gampong Jumlah desa/gampong yang disurvey adalah berdasarkan pada lokasi (pinggir/sekitar dan atau dalam hutan) dan akses keluar masukknya hasil hutan (jalan/sungai). Dari jumlah desa/gampong yang telah dipilih dalam satu kabupaten (M), maka jumlah desa/gampong yang akan disurvey adalah m = 10% M. Jika jumlah desa/gampong per kabupaten sama atau kurang dari 20 (atau M 20), maka jumlah desa yang disurvey adalah 2 (minimum). Hal ini dilakukan agar tiap kabupaten memiliki perwakilan desa/gampong yang dipilih untuk disurvey.

Contoh perhitungan untuk memilih desa/gampong yang akan disurvey

Jumlah Desa/Gampong dalam satu kabupaten = 100 desa/gampong Dari 100 desa/gampong tersebut, ternyata hanya ditemukan jumlah Desa/Gampong yang terdapat di dalam atau sekitar hutan = 50 desa/gampong (M). Sehingga jumlah desa/gampong yang disurvey adalah 5 desa/gampong (m = 10% x 50)

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

3 PELAKSANAAN KEGIATAN
Secara keseluruhan pekerjaan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam rangka perwujudan Green Province, terdiri dari 5 (lima) tahapan utama, yaitu Pra-pelaksanaan, Pelaksanaan, Analisa Data, Presentasi, dan Pelaporan. 3.1 Pra Pelaksanaan Pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang berhubungan dengan rencana Green Province dilakukan secara berkala baik di Dinas kehutanan NAD maupun di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias. Rapat terdiri dari rapat koordinasi untuk membahas tentang data-data yang diperlukan untuk melakukan survey lapangan, serta keperluan koordinasi lainnya yang telah dilaksanakan pada tanggal 31 Juli 2007 bertempat di Training Center Universitas Syiah Kuala dan ditindaklanjuti dengan rapat-rapat berikutnya, antara lain rapat-rapat untuk menentukan tenaga ahli, tenaga pendukung dan tenaga surveyor. Pada bulan Agustus 2007, rekrutment tenaga ahli sebanyak 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari instansi kehutanan (Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai TNGL, BPDAS, dan Stakeholder lainnya). Selanjutnya dilakukan rekruitmen tenaga surveyor sebanyak 17 (tujuh belas) orang yang telah dilaksanakan pada bulan September 2007 berdasarkan SK Kepala Satker No. S.KEP 0078/ . BRR.889999/VII/2007. Tenaga surveyor yang terpilih berasal dari staf Dinas Kehutanan kabupaten setempat dan juga freelance dimana lokasi survey akan dilaksanakan. Rapatrapat juga menghasilkan workplan, rencana rapat konsinyasi awal dan akhir, rencana kunjungan lapangan dan sosialisasi hasil kepada stakeholder terkait. gampong dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dengan intensitas survey lapangan maksimum 18 kali. Secara lengkap jadwal kegiatan survey tertera pada lampiran. Para tenaga ahli melaksanakan perjalanan ke lapangan untuk mengetahui permasalahan yang ada di lapangan, sekaligus sebagai bahan penyempurnaan laporan. Monitoring ke lapangan dilaksanakan setelah disusun perencanaan berdasarkan informasi permasalahan yang muncul disektor kehutanan yang perlu dilakukan peninjauan. Selanjutnya tim monitoring akan menyampaikan laporan tertulis. Rapat konsinyasi akhir dilaksanakan pada tanggal 18 s/ d 21 Nopember 2007 di Pusat Pelatihan Unsyiah yang bertujuan untuk : 1. Mendapatkan informasi langsung tentang kondisi lapangan dari tenaga surveyor sekaligus memberikan masukan atau pengayaan kepada para tenaga ahli. 2. Sebagai pertanggung jawaban dari tenaga surveyor terhadap kontrak yang telah dilaksanakan selama satu bulan untuk pengumpulan data lapangan baik melalui questioner maupun lokakarya desa. 3. Memberikan kesempatan kepada tenaga surveyor untuk menyampaikan hasil temuan di lapangan sehingga dapat langsung didiskusikan dan para tenaga ahli dapat menyimpulkan hal-hal yang perlu menjadi rekomendasi untuk laporan akhir.

3.2 Pelaksanan Pelatihan dan pembekalan untuk surveyor dalam bentuk rapat konsinyasi dilakukan pada tanggal 28-29 September 2007 di Hotel Madinah, Banda Aceh. Rapat konsinyasi bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang maksud dan tujuan survey agar diperoleh hasil yang lebih baik. Pada rapat konsinyasi diberikan pembekalan untuk surveyor tentang data lapangan yang akan diambil, penyusunan laporan, metode pengumpulan data, termasuk cara atau metode penggunaan GPS. Setelah rapat konsinyasi para surveyor bergerak ke lapangan untuk pengumpulan data. Pengumpulan data dimulai dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi pengumpulan peta-peta (vegetasi atau tutupan lahan, jalan dan sungai, dan administratif desa/gampong), profil desa/gampong, dan laporan-laporan dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan kehutanan di kabupaten setempat. Pelaksanaan survey lapangan dan lokakarya desa/ 3.3 Analisa Data Hasil pengumpulan data lapangan dikompilasi dalam bentuk tabel dan selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik menjadi suatu tampilan yang mudah untuk dibaca atau dipelajari. Selama melakukan survey, jumlah responden yang disurvey mencapai 876 responden dari 17 kabupaten. Sehingga proses pemasukan data memerlukan waktu. Setelah data diperoleh maka dilakukan rapat-rapat untuk membahas hasil survey lapangan melalui rapat dan konsultasi dengan para pihak-pihak terkait guna memperkaya hasil yang telah diperoleh sekaligus memberi gambaran tentang hutan Aceh berdasarkan persepsi dari masyarakat. Hasil tampilan data tersebut dianalisa oleh tim ahli/pakar. Kegiatan analisa ini memerlukan waktu yang agak lama, karena itu dilakukan pembagian tugas untuk memudahkan pekerjaan.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

3.4 Presentasi Hasil Berhubung karena keterbatasan waktu maka persentasi hasil dilaksanakan pada lingkup terbatas di lingkungan instansi kehutanan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan terhadap hasil yang diperoleh di lapangan. Masukan ini menjadi bahan penyempurnaan bagi draft laporan akhir. Presentasi hasil akhir dilakukan pada lokakarya akhir di ibukota propinsi pada tanggal 11 Maret 2008.

3.5 Pelaporan Hasil akhir dalam bentuk laporan kegiatan/analisa disampaikan kepada pihak-pihak terkait. Hasil analisa yang diperoleh disampaikan kepada media, LSM, pemerintah daerah, BRR, dan pihak lembaga-lembaga bantuan luar negeri yang telah membantu kegiatan pelaksanaan ini.

4 KONDISI UMUM KEHUTANAN


4.1 Kondisi Hutan Aceh Hutan Aceh terbentang dari ujung Pulau Weh hingga wilayah selatan Aceh di Kabupaten Singkil termasuk Pulau Siemeulue. Kondisi hutan Aceh berbeda-beda di tiap kabupaten, baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Wilayah pesisir Aceh umumnya merupakan dataran rendah yang datar dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan mempunyai wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas yang terbentang dari wilayah Ulu Masen di utara dan barat hingga Kawasan Ekosistem Leuser di selatan dan tenggara Aceh. Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati kawasan Leuser, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser telah diakui dunia, sehingga Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage atau dikenal sebagai warisan dunia. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Disamping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat memberikan kontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Karena itulah, banyak lembaga donor yang berlomba-lomba memberikan dukungan dana untuk menjamin kelestarian kawasan-kawasan lindung di Aceh, khususnya kawasan ekosistem Leuser dan Ulu Masen. Namun, fungsi jasa lingkungan yang dimiliki hutan Aceh hingga kini belum dikembangkan secara maksimal. Selama berpuluh-puluh tahun sejak Orde Baru, hasil hutan kayu masih menjadi prioritas utama sebagai produk hutan yang dikomersilkan. Sehingga hal ini berdampak pada kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Pola pendekatan yang hanya melihat kayu sebagai produk hutan sebetulnya merupakan bentuk paradigma konvensional dari pola pengelolaan hutan di dunia. Pengelolaan hutan tanpa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian hanya akan menimbulkan dampak buruk antara lain terjadi berbagai kerusakan dan degradasi hutan yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber nabati lainnya. Hingga saat ini, panduan kebijakan yang bisa dijadikan rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan adalah SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, kemudian diikuti dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 yang berisi arahan fungsi hutan Aceh, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 ha. Secara lebih detail pembagian kawasan hutan Aceh atau arahan fungsi hutan Aceh menurut SK Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Secara keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (5.539.000 ha).
Tabel 4.1 Luas Hutan Aceh Berdasarkan Arahan Fungsi Hutan

No 1

Fungsi Hutan Kawasan Lindung Hutan Konservasi a. CA Pinus Janthoe b. CA Serbajadi c. SM Rawa Singkil d. Tahura Pocut Meurah Intan e. TN Gunung Leuser f. TWA Iboih g. TWA Kepulauan Banyak h. TWA Lhok Asan (PLG) i. TB Lingga Isak Hutan Lindung

Luas (Ha) 2.697.033 852.533 16.640 300 102.370 6.220 623.987 1.200 15.000 112 86.704 1.844.500 638.580 638.580 37.300 601.280 3.335.613

Kawasan Budidaya Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Total Luas Hutan Aceh

Kebutuhan Kayu per Kabupaten/Kota Setelah berlakunya Instruksi Gubernur No. 5/Instr/ 2007 tentang Moratorium Logging (Penghentian Sementara Penebangan Hutan) di Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah Propinsi NAD melalui Gubernur menginstruksikan kepada pimpinan-pimpinan kepala daerah pemerintahan kabupaten/kota untuk menyusun rencana kebutuhan kayu per tahun dalam wilayah kerjanya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kesimbangan suplai dan demand untuk hasil hutan kayu yang diperlukan sehingga pemerintah Propinsi dapat melakukan kebijakan yang tepat terhadap pengelolaan hutan lestari berkelanjutan. Berdasarkan laporan dari tiap-tiap kabupaten/kota terhadap kabutuhan kayu per tahunnya adalah 394.511 m3 kayu olahan atau sekitar 732.941 m3 kayu bulat. Kebutuhan tersebut di luar dari kebutuhan kayu untuk kayu bakar untuk pabrik bata. Kebutuhan kayu terbesar berasal dari kabupaten Banda Aceh (75.000 m3 kayu olahan) kemudian diikuti kabupaten Aceh Utara dan Aceh Tamiang (54.000 m3 dan 30.000 m3 kayu olahan). Kabupaten yang memerlukan kayu dalam jumlah terkecil adalah kabupaten Langsa (2.500 m3 kayu olahan) dan diikuti oleh Aceh Barat Daya dan Sabang (3.250 m3 dan 3.500 m3 kayu olahan) (lihat Tabel 4.2).

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Tabel 4.2 Rekap Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008 Kebutuhan Kayu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Kabupaten/ Kota Banda Aceh Sabang Aceh Besar Pidie Bireun Aceh Utara Lhokseumawe Langsa Aceh Timur Aceh Tamiang Bener Meriah Aceh Tengah Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Simeulue Kayu Olahan (m3) 75.000 3.500 7.500 11.950 20.581 54.000 13.500 2.500 27.633 30.000 7.000 13.334 15.000 18.000 16.023 28.800 10.500 3.250 13.440 10.500 12.500 394.511 Kayu Bulat (m3) 150.000 7.000 15.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 23.900 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 41.162 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 90.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 22.500 5.000 46.088,33 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 60.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 14.000 26.668 Bahan rapat Bupati A.Tengah 30.000 34.000 32.046 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 41.400 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 21.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 6.500 20.677 21.000 25.000 732.941,33 Keterangan

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

4.2 Pemanfaatan Sumber Daya Hutan a) Pengelolaan & Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh HPH dan HTI dan HTI Trans Sejak tahun 2000, aktivitas kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh HPH dan HTI di NAD lebih banyak tidak beroperasi karena alasan keamanan di lapangan. Berdasarkan laporan statistik kehutanan Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam tahun 2001 2006, kegiataan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kawasan hutan dari 11 unit HPH dan 8 unit HTI dan HTI Trans yang izin operasinya masih berlaku sampai pada periode tersebut hanya 1 (satu) unit HPH (Kopontren Najussalam) dan 2 (dua) unit HTI (PT. Tusam Hutan Lestari dan PT. Acehnusa Indrapuri) yang masih beroperasi di Propinsi NAD (lihat Tabel 4.3).

Menurut data dari Departemen Kehutanan, selama tahun 2007 Propinsi NAD tidak memproduksi kayu bulat yang berasal dari Hutan Alam. Hal ini berbeda dengan kondisi pada tahun 2006, dimana NAD memproduksi kayu bulat sebanyak 4.700 m3 dari total 500.000 m3 yang dialokasikan oleh Departemen Kehutanan sebagai Jatah Produksi Tahunan (JPT) untuk propinsi NAD (lihat Tabel 4.4). Jumlah volume kayu bulat tersebut (sekitar 4.700 m3) pada tahun 2006 diproduksi oleh Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam. Adanya kebijakan jeda tebang atau Moratorium Logging oleh Pemerintah Propinsi NAD terhadap hasil hutan kayu dari hutan alam (Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007) memberikan signal kuat bahwa pada tahun tersebut (2007) khususnya HPH/IUPHHK untuk sementara waktu melakukan penghentian penebangan di NAD.

Tabel 4.3 HPH/HTI yang Beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam (2001 2006) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Nama Perusahaan PT. Kruing Sakti PT. Aceh Inti Timber PT. Alas Aceh Perkasa Timber PT. Raja Garuda Mas Unit II PT. Gruti PT. Hargas Industri Indonesia PT. Lamuri Timber PT. Medan Remaja Timber PT. Trijamas Karya Inti PT. Wiralanao Kopotren Najmussalam Berakhirnya Ijin 29 Februari 2008 7 Juli 2049 1 Februari 2011 6 Juni 2014 28 Juni 2011 6 Juni 2014 14 November 2034 26 Juni 2012 7 Juli 2010 22 Januari 2011 14 Oktober 2054 Luas (Ha) Aktif/ Belum Aktif Keterangan HPH HPH HPH HPH HPH HPH HPH HPH HPH HPH HPH

115.000 Belum Aktif 80.804 Belum Aktif 56.500 Belum Aktif 96.500 Belum Aktif 118.000 Belum Aktif 64.640 Belum Aktif 44.400 Belum Aktif 39.300 Belum Aktif 55.925 Belum Aktif 41.000 Belum Aktif 30.846 Aktif

HTI & HTI Trans No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Perusahaan Lokasi Luas (Ha) Aktif/ Belum Aktif Realisasi Tanaman s.d 2006 (Ha) 3.507 13.600 23.651 1.712 2.474,65 2.509 1.739,90

PT. Gunung Medang Utama Raya Timber Aceh Timur PT. Tusam Hutan Lestari PT. Acehnusa Indrapuri PT. Rimba Wawasan Permai PT. Rimba Penyangga Utama PT. Rimba Timur Sentosa PT. Aceh Swaka Wana Nusa Prima PT. Mandum Payah Tamita Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Utara, Bireuen Aceh Besar dan Pidie Aceh Timur Aceh Timur Aceh Timur Aceh Utara Aceh Utara

7.300 Belum Aktif 97.300 Aktif 110.000 Aktif 5.200 Belum Aktif 6.150 Belum Aktif 6.250 Belum Aktif 7.050 Belum Aktif 8.015 Belum Aktif

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 2006 (2007)

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

10

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Tabel 4.4 Rencana dan Realisasi Kayu Bulat dari Hutan Alam Propinsi NAD tahun 2006 dan 2007 RKT 2006 JPT 2006 (m3) 500.000 Rencana
3

RKT 2007 Realisasi Vol (m ) 4.700 100.000


3

JPT 2007 (m3) -

Rencana Luas (Ha)


3

Realisasi

Luas (Ha) Vol (m ) Luas (Ha) 120 4.100 130,33

Vol (m ) Luas (Ha) Vol (m3) -

Sumber: Adopsi dari Manurung (Personal Komunikasi, 2008) Jumlah volume kayu bulat tersebut (sekitar 4.700 m3) pada tahun 2006 diproduksi oleh Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam. Adanya kebijakan jeda tebang atau Moratorium Logging oleh Pemerintah Propinsi NAD terhadap hasil hutan kayu dari hutan alam (Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007) memberikan signal kuat bahwa pada tahun tersebut (2007) khususnya HPH/ IUPHHK untuk sementara waktu melakukan penghentian penebangan di NAD. Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik Selain pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam, propinsi NAD juga memproduksi hasil hutan kayu dari hutan rakyat atau tanah milik. Izin pemanfaatan ini dinamakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) yang dikeluarkan oleh Gubernur dengan pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Tingkat Propinsi. Masyarakat atau badan swasta dapat memperoleh izin tersebut (misalnya CV. Tri Maju di Bener Meriah yang beroperasi pada tahun 2006). Izin tersebut diberikan maksimum 500 m3 per tahun. Dibawah ini adalah data sementara IPKTM yang ada untuk tahun 2007 (lihat Tabel 4.5). Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) (Koperasi & Perkebunan) Selain pemanfaatan hasil hutan kayu, propinsi NAD juga memproduksi hasil hutan bukan kayu. Produksi hasil hutan bukan kayu lebih didominasi dari Rotan. Hasil yang diperoleh bisa mencapai 10 20 ton per tahun. Izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu ini diperoleh dari Pemerintah Propinsi dan diberikan kepada badan swasta atau koperasi. Tabel di bawah adalah daftar izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) untuk tahun 2007 (lihat Tabel 4.6).

Tabel 4.5 Data Sementara Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) Tahun 2007 SK Izin No Nama Perusahaan Lokasi No 1 UD Karya Usaha Sejati KSU Alas Makmur Ir. T. Zainul Arifin, Panglima Polem LISIK KATI ARA Kec. Bubon, Kab. Aceh Barat Kec. Bukit Tusam, Kab. Aceh Tengah Kec. Seulimum, Kab. Aceh Besar Kec. Linge, Kab. Aceh Tengah Tanggal Luas (Ha) 23,85 Target Volume (m3) 350,33 SK Diproses P2TSP SK Diproses P2TSP SK Diproses P2TSP SK Diproses P2TSP SK Diproses P2TSP Keterangan

No.P2TSP . 522.56/ 14 Agus 07 977/2007 No.P2TSP . 522.56/ 29 Okt 07 2108/2007 No.P2TSP . 522.56/ No.P2TSP . 522.56/ 13 Des 07 4291/2007 No.P2TSP . 522.56/ 13 Des 07 4292/2007

2 3 4

17,50 2 22

347,06 458,13 307,15

PT. ILHAM PRIMA Kec. Linge Kab. NUSANTARA Aceh Tengah

23

300,05

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

Tabel 4.6 Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) Tahun 2007 No Nama Perusahaan Koperasi Perkebunan Aneuk Nanggroe Desa Bdang Sizli Kec. Beutong Kab. Nagan Raya KSU Lhok Kuala Jl. Pasar Geumpang Kec. Geumpang Kab. Pidie KSU AL-Afghani Jl. Prof. A. Majid Ibrahim, Gampong Tijue, Kec. Mane. Kab. Pidie CV. Bintang Ayu Perkasa Jl. Simpang Kelaping Kec. Pepaing Kab. Aceh Tengah Koperasi Rimba Rotan Lestari Kampung Pondok Gajah Kec. Bandar Kab. Bener Meriah Izin Berakhir Lokasi Target Produksi Rotan Manau: 10 ton Rotan Getah: 8 ton Rotan Sega: 1 ton Rotan Cacing: 1 ton 5 ton Rotan Manau: 10 ton Rotan Semambu: 7 ton Rotan Sega: 1.5 ton Rotan Cacing: 1.5 ton Status Areal

Dalam wilayah Dinas Kehutanan 20 Januari 2008 Kab. Nagan Raya Kec. Beutong Dalam wilayah Dinas Kehutanan Kab. Pidie Ca. 26 Desember 2007 Dishut II Kota Bakti Kec. Geumpang Dalam wilayah Dinas Kehutanan 26 Desember 2007 Kab. Pidie Ca. Dishut II Kota Bakti Kec. Mane Dalam wilayah Dishut Kab. Aceh 25 Oktober 2007 Tengah Kec. Linge Kampong Delung Sekinel Dalam wilayah Dishutbun Kab. Bener Meriah Kec. Syiah Utama 25 Oktober 2007 Kelompok Pelestarian Rotan: Tawar Bengi Tombolon Dalam wilayah Dishut Kab. Singkil 25 Oktober 2007 Kec. Simang Kiri Desa Sarkez Dalam wilayah Dishut Kab. 25 Oktober 2007 Aceh Singkil Kec. Runding Desa Law Mate Dalam wilayah Disbunhut Kab. 16 Agustus 2007 Simeulue Kec. Teluk Dalam

Areal Penggunaan Lain (APL) Luas: 100 ha

Hutan Lindung Seluas 100 ha

Rotan Manau: 10 ton Rotan Semambu: 7 ton Rotan Sega: 1.5 ton Rotan Cacing: 1.5 ton

Hutan Produksi seluas 100 ha

Rotan lilin: 10 ton Rotan Manau: 10 ton

Areal Penggunaan Lain seluas 100 ha

Rotan Sega: 5 ton Rotan lilin: 5 ton Rotan Manau: 10 ton

Hutan Produksi (HP) seluas 100 ha

CV Pohon Kelapa Kab. Aceh Singkil

Sige-sige: 20 ton Rotan Sega: 5 ton Rotan lilin: 10 ton Rotan Getah: 5 ton Rotan Sambutan: 5 ton Rotan Manau: 10 ton Rotan Cacing: 5 ton Sige-sige: 15 ton Rotan Manau: 10 ton Rotan Sibalio: 5 ton Rotan jenis lainnya:

Hutan Produksi seluas 100 ha

CV. Elvo Belia

Areal Penggunaan Lain 100 ha

CV Karya Agung Kab. Simeulue

Hutan Produksi 100 ha

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

11

12

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Budidaya Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil hutan kayu dan non kayu di NAD, pemerintah propinsi melalui Dinas Kehutanan terkait melakukan budidaya terhadap hasil-hasil hutan tersebut. Kegiatan ini meliputi penanaman terhadap jenis-jenis pohon kayu dan non kayu. Sampai saat ini, kegiatan penanaman yang diinisiasi oleh masyarakat telah mencapai 22 ha, diharapkan pada tahun-tahun mendatang jumlah luasan semakin bertambah. Tabel 4.7 Budidaya Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu
No Kegiatan Lokasi Luas (ha) Jml Pelaksana

industri. Jenis Industri sawmill meningkat dari 59 menjadi 61 industri, sedangkan industri kertas tumbuh menjadi satu inudstri pada tahun 2006. Tabel 4.8 Jenis IUIPHHK yang Beredar di NAD dari Tahun 2004 - 2006 No 1 2 3 4 Jenis IUIPHHK Plywood Moulding Kertas Sawmill 59 60 1 61 Tahun 2004 2005 2006

Sare, Penanaman Kab. Aceh Sentang Besar Penanaman Beuah, Rotan Kab. Pidie Penanaman Beuah, Sentang Kab. Pidie

10 12.221

Masyarakat

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 2006 (2007) Pada tahun 2007, pemerintah Propinsi NAD melakukan penilaian terhadap perencanaan bahan baku untuk industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas sampai dengan 6.000 m3/tahun. Berdasarkan dari penilaian tersebut, maka pemerintah Propinsi NAD melakukan pembaharuan izin industri bersangkutan dan melakukan pengesahaan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) atau revisi per kabupaten dalam wilayah Propinsi NAD tahun 2007. Dari data Dinas Kehutanan Propinsi NAD, izin usaha industri yang di daftar ulang dari tahun 2004 s/d 2007 berjumlah 168 unit. Pengesahan RPPBI untuk tahun 2007 adalah menjadi 33 unit industri (lihat tabel 4.9).

2 3

5 7

6.110

Masyarakat Masyarakat

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008) b) Pengolahan & Peredaran Hasil Hutan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) Berdasarkan statistik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001 2006, jumlah izin usaha industri primer hasil hutan kayu dari tahun 2004 2006 meningkat dari 59 menjadi 62

Tabel 4.9 Data Pembaharuan Izin Usaha Industri Promer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan Kapasitas s/d 6000 m3/tahun dan Pengesahaan RPBBI/Revisi Per Kabupaten Dalam Wilayah NAD No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Kabupaten Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Tengah Bener Meriah Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Simeulue Aceh Selatan Aceh Singkil Izin Usaha Industri yang didaftar ulang tahun 2004 s/d 2007 11 18 8 3 4 5 2 5 12 12 1 8 16 11 7 3 3 39 168 Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008) Pengesahan RPBBI tahun 2007 1 4 4 3 1 1 6 12 1 33 Persetujuan Revisi RPBBI tahun 2007 (unit) 0

4.3 Permasalahan Hutan Aceh Kondisi hutan sebetulnya berkaitan dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh pemangku kepentingan. Pengelolaan hutan yang bersifat komersil dan dalam skala besar selama ini dilakukan di kawasan budidaya kehutanan. Menurut arahan fungsi hutan seperti yang terlihat dalam table di atas, Aceh mempunyai kawasan budidaya kehutanan seluas 638.580 ha, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 601.280 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 37.300 ha. Sampai dengan tahun 2007, jumlah HPH/HPHTI yang izinnya masih berlaku di Aceh sebanyak 11 unit HPH dan 8 unit HTI dan HTI Trans, tetapi HPH/HPHTI tersebut tidak semua melakukan operasi semenjak awal tahun 2000. Kondisi aktual hutan Aceh hingga kini masih diwarnai oleh berbagai tindakan yang mengarah pada terjadinya kerusakan dan degradasi hutan. Memang belum ada data resmi berapa kerusakan hutan Aceh yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kerusakan hutan di Aceh tidak hanya terjadi di kawasan budidaya (Hutan Produksi) namun juga di kawasan lindung. Sayangnya, seperti disebutkan Tabel 4.10 Jumlah Kayu Temuan dan Tangkapan Hasil Operasi Pengamanan Hutan (PAMHUT) di Propinsi NAD dari tahun 2004 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Lokasi 2004 Banda Aceh Sabang Aceh Besar Pidie Aceh Utara Aceh Timur Aceh Tenggara Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Selatan Simeulue Singkil Bireun Lhokseumawe Langsa Aceh Jaya Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang 92,62 60 18 Tahun (m3) 2005 20 12 38 2 221,74 24,90 193,35 51,41 24,38 768,79 1,96
1930 *)

di awal, luas kerusakan total hutan Aceh belum diketahui secara resmi. Barangkali dibutuhkan analisis citra satelit untuk mengetahui berapa kerusakan hutan Aceh saat ini. CI (2007) memperkirakan bahwa kerusakan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencapai 12.500 ha, baik di propinsi Aceh maupun Sumatera Utara.

a) Kerusakan Hutan Penebangan Liar Penebangan liar masih menjadi salah satu kontribusi terjadinya kerusakan hutan di NAD. Berdasarkan statisitik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001-2006, ada kecendrungan meningkat kegiatan penebangan liar di kawasan hutan NAD. Dari tahun 2005 sampai dengan 2006, terjadi peningkatan jumlah kayu temuan dan tangkapan hasil dari operasi pengamanan hutan (PAMHUT) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi NAD (lihat table 4.10).

2006

20 Nagan Raya 170,62

3.288,53 8.836,89

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 2006 (2007)


*) Data kayu hasil temuan/tangkapan yang belum diproses.
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

13

14

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Disamping itu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami membutuhkan kayu yang sangat banyak, baik yang dilakukan oleh BRR NAD-Nias, NGO internasional dan lokal maupun lembaga-lembaga donor. BRR (2006) memperkirakan bahwa untuk kebutuhan rehab-rekon Aceh dibutuhkan 520.000 meter kubik kayu untuk pembangunan rumah bagi korban tsunami. Selama ini, kebutuhan kayu untuk rehab-rekon Aceh didatangkan dari berbagai sumber, baik dari IPK yang masih ada di Aceh, didatangkan dari luar daerah maupun diimport dari luar negeri. Karena izin resmi IPK di Aceh banyak yang sudah berakhir, menyebabkan meningkatnya aktivitas illegal logging di lapangan. Permintaan kayu untuk rehab-rekon yang sangat tinggi dan berbagai upaya telah dilakukan oleh BRR untuk melakukan pengadaan kayu yang legal dan berkualitas dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Hal ini antara lain dilakukan dengan mengadakan Timber Trade Show pada bulan Juni 2006 di Hotel Tiara Medan. Timber Trade Show ini dihadiri oleh Menteri Kehutanan dan para Dirjen, pengusaha industri kehutanan yang telah direkom oleh Menteri, Gubernur Aceh, dan institusi lainnya yang bertujuan untuk menjembatani kebutuhan kayu antara supply dan demand terhadap rehab-rekon Aceh pasca tsunami. Namun hasilnya kurang menggembirakan. Selain itu, dibentuk pula Timber Help Desk yang memfasilitasi informasi tentang sumber kayu yang legal dan tata usaha

kayu agar kayu untuk rehab-rekon legal dan berkualitas. Timber Help Desk juga membuat guideline tentang penatausahaan kayu untuk memudahkan para stakeholder mendapatkan kayu yang legal dan berkualitas. Sebagai rasa tanggung jawab, perlu ada upaya khusus untuk menanam kembali kawasan hutan yang rusak akibat kebutuhan kayu untuk rehab-rekon di Aceh. Pihak-pihak yang terlibat dalam rehab-rekon Aceh perlu bertanggung jawab untuk memikirkan kembali bagaimana melakukan rehabilitasi hutan Aceh yang rusak akibat rehab-rekon dengan menyediakan dana rehabilitasi hutan Aceh, atau bentuk lainnya.

Perambahan (skala kecil dan besar) Kerusakan hutan di Aceh disebabkan oleh berbagai kondisi di masa lalu masih berdampak hingga saat ini. Umumnya bekas tebangan dari HPH yang dibuka dipinggiran kawasan dan terdapat akses jalan menjadi tempat yang mudah oleh masyarakat untuk perladangan berpindah. Belum tersedianya data resmi berapa kerusakan sebenarnya yang terjadi di NAD baik akibat dari praktek HPH dan HTI maupun perambahan dalam skala kecil dan besar menimbulkan kesukaran dalam mengambil kebijakan yang tepat dari Pemerintah Pusat maupun Propinsi terhadap pengamanan dan pemeliharaan hutan.

Kebakaran Hutan Persoalan kehutanan lain yang dihadapi di Aceh adalah kebakaran hutan yang belum bisa ditangani dengan baik, seperti yang terjadi setiap tahun di Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Besar, dengan intensitas dan luas yang berbeda-beda. Penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain karena kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan hutan mudah terbakar, disamping itu juga ada kesalahan manusia dimana kemungkinan secara sengaja atau tidak sengaja membuang puntung rokok di

b) Pengelolaan Kawasan (Kelembagaan) Pengelolaan kawasan hutan di Aceh terjadi perubahan yang sangat signifikan setelah disahkannya UndangUndang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006. UUPA memberikan kewenangan sangat besar kepada Pemerintah Aceh dalam mengelola kawasan hutan di Aceh. Secara khusus, UUPA juga memberi kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah kabupaten/kota di Aceh untuk mengelola dan menjamin kelestarian Kawasan Ekosistem

Tabel 4.11 Luas Kebakaran Hutan di Propinsi NAD dariTahun 2003 - 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Lokasi 2003 Banda Aceh Sabang Aceh Besar Pidie Aceh Utara Aceh Timur Aceh Tenggara Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Selatan Simeulue Singkil Bireun Lhokseumawe Langsa Aceh Jaya Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang 60 60 2004 166 166 Tahun 2005 0,67 0,67 2006 19 19

20 Nagan Raya

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 2006 (2007) kawasan hutan yang mudah terbakar. Di kawasan gambut, juga ditemukan banyak titik-titik api (hot spot) yang sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan. Berdasarkan statistik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001 2006, kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 2004 di daerah Aceh Besar seluas 166 ha. Hal ini disebabkan kondisi alam berupa kekeringan yang berkepanjangan di Propinsi tersebut dan juga didukung dengan kondisi hutan terbuka akibat aktivitas pembukaan lahan (lihat Tabel 4.11). Leuser (KEL). Namun demikian, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan mengelola kawasan konservasi melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi NAD. Saat ini Balai TNGL telah meningkat eselonnya dari eselon III/a menjadi eselon II/b untuk memudahkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah. UPT pusat lainnya adalah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah I. Namun demikian, kelembagaan pengelolaan kawasan-kawasan hutan di Aceh sesuai dengan UUPA masih belum selesai karena masih menunggu pembahasan revisi Qanun tentang Kehutanan Aceh.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

15

16

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4.4 Rehabilitasi Hutan & Lahan (Gerhan) a) Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Pengertian, Tujuan dan Sasaran Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/ GERHAN) di Provinsi NAD telah dilaksanakan selama 4 tahun, yang dimulai sejak tahun 2004 (sebelum tsunami terjadi). Kegiatan ini adalah program Departemen Kehutanan secara nasional, yang berlangsung secara bersamaan untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan di seluruh Provinsi di Indonesia. Kegiatan GN-RHL pada umumnya berupa kegiatan pembuatan tanaman mangrove, pembuatan tanaman hutan rakyat, kegiatan reboisasi kawasan lindung dan hutan produksi serta pembuatan bangunan konservsi tanah, pengkayaan hutan rakyat, dan pengkayaan reboisasi (enrichment planting). Salah satu kegiatan GNRHL di Provinsi NAD pada tahun 2004 adalah penanaman mangrove di desa Lam Ujung. Tujuan GN-RHL adalah untuk mempercepat upaya rehabilitasi/reboisasi hutan dan lahan yang diarahkan untuk penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor, terjadinya kerusakan pantai baik karena tsunami maupun karena kekeringan. Adapun sasaran GN RHL adalah tercapainya upaya perbaikan dan pembaharuan lingkungan. Sasaran lokasi secara umum dapat di bedakan atas beberapa kriteria: 1. DAS bagian hulu dan DAS Hilir 2. Hutan dan lahan kritis yang diindikasikan tanpa penutupan lahan 3. Areal rawan banjir, tanah longsor dan ancaman kekeringan. 4. Perlindungan bangunan vital, waduk, bendungan dan danau. 5. Pesisir pantai dan estuaria Jenis Kegiatan GN-RHL yang dilaksanakan di propinsi NAD yaitu:

1. 2. 3. 4. 5.

Penaman Hutan Rakyat Penanaman Reboisasi Penghijauan Lingkungan Pembuatan bangunan konservasi tanah Pengembangn Kelembagaan

Kegiatan GN RHL di Provinsi NAD Pembuatan tanaman reboisasi dan hutan rakyat dimulai pada tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007, dan kegiatan penanaman rehabilitasi wilayah pantai dimulai sebelum tsunami, akan tetapi lebih difokuskan lagi paska tsunami pada tahun 2005 degan rehabilitasi coastal pada umumnya. Sampai tahun 2007, telah dilakukan penanaman seluas 3.496 ha (lihat Tabel 4.12). Adapun jumlah bibit yang dibutuhkan dengan adanya kegiatan ini pada tahun 2004 sebanyak 6.822.627 pada tahun 2005 dan 2006 sebanyak 31.784.000 batang dan pada tahun 2007 sebanyak 5.181.550 batang. Jenis bibit sesuai dengan kebutuhan permintaan di tiap-tiap Kabupaten/Kota, meliputi jenis bibit berupa mahoni, sentang, pinus mescusii, meranti, sengon, asam jawa, durian, kemiri, advokat, mangga, pela, petai dan jengkol. Pengadaan bibit dilakukan secara pelelangan yang dilaksanakan oleh BP-DAS Krueng Aceh Prov NAD. Realisasi Kegiatan GN - RHL Realisasai kegiat Gerakan NAsional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Provinsi NAD telah silaksanakan selama 4 tahun pada alokasi anggaran DIPA 2004 yang fisiknya direalisasikan pada tahun 2005, dan telah dilaksanakan kegiatan yang tersebar di daerah wilayah daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas meliputi 18 Kabupaten/ Kota. Untuk tahun 2005 fisik kegiatan direalisasikan pada tahun 2006, telah dilaksanakan kegiatan yang tersebar pada 21 Kabupaten/Kota dan pada tahun 2006 yang fisiknya direalisasikan pada tahun 2007, pada tahun 2007 lunsuran 2006 ada penambahan kegiatan yaitu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) daerah bencana/ Rawan bencana alam yang dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Barat Daya. Pada tahun 2007 telah direalisasikan kegiatan fisiknya pada pertengahan 2007 (terlampir).

Tabel 4.12 Luas Lahan yang Telah Dilakukan Penanaman dari Kegiatan GN-RHL di NAD No 1 2 Tahun 2004 2005 Jenis Kegiatan Tanaman Hutan Rakyat Tanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi Tanaman Hutan Rakyat Tanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove Tanaman Hutan Rakyat Tanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove Tanaman Hutan Rakyat Panaggulangan bencana Tanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi Reboisasi pengaulangn bencana luncura 2006 Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove Luas (Ha) 1.876 1.163 5.560 4.085 5.903 730 775 605 1.051 200 920 550 775

2006

2007

Sumber: BP DAS Propinsi NAD (2008)

Grafik 4.1 Luas kegiatan GERHAN di Propinsi NAD

7000 5903

6000

5000 4085

4000

Luas Lahan (Ha)

3000

2000 775 605

1876 1051 730 200

1163

1000

920 550

556

775

THR

THR

THR

THR

PTHM

PTHM

TRHL/H P

TRHL/H P

TRHL/H P

Panaggulangan bencana

2004 2005 2006 1. THR : Taman Hutan Rakyat 2. TRHL/HP : Tanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi 3. PTHM : Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove 4. Reboisasi 2006 : Reboisasi penanggaulangan Bencana (Dana Luncuran 2006)

2007

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

TRHL/H P

Reboisasi 2006

17

PTHM

31,784,000 35,000,000 30,000,000 25,000,000

Jumlah Bibit

20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 2004 2005 - 2006 Tahun


Grafik 4.2 Realisasi Penyaluran Bibit GERHAN di Propinsi NAD

6,822,627

5,181,550

2007

2,500,000

2,375,198.60

2,000,000

Luas (Ha)

1,500,000

1,262,284.46 1,132,466.69

1,000,000

500,000

376,157.52 65,292.02 52,714.78 4,506.71

Tidak Kritis Potensi Kritis Agak Kritis Kritis Kondisi Lahan Sangat Kritis Tubuh Air Tdk Terdata

Grafik 4.3 Kondisi Lahan Kritis di Propinsi NAD Tahun 2007

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

19

20

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Kelembagaan GN-RHL/GERHAN Kelembagaan GN-RHL/GERHAN Provinsi NAD selama 4 tahun perjalanan gerhan telah diwujudkan di Tingkat Provinsi dalam bentuk Tim Pengendali TK Provinsi dengan penanggung jawab Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tingkat Daerah telah di bentuk Tim Pengendali TK Kabupaten/Kota dengan penanggung jawab Bupati. Dalam penguatan kelembagaan masyarakat telah dilaksanakan berbagai bentuk pelatihan-pelatihan kader GN-RHL/GERHAN diseluruh Kabupaten/Kota. Penilaian /Pengawasan GN-RHL/GERHAN Kegiatan penilaian GN-RHL dilakukan oleh tim independent yang ditunjuk oleh instansi terkait, yang dilakukan oleh lembaga/Perguruan Tinggi terhadap Badan/Perusahaan pengadaan bibit GERHAN dan Kinerjanya. Instansi yang menangani pengadaan dan pengendalian kegiatan penilaian pengadaan bibit adalah BPTH atau BPDAS. Permasalahan Kegiatan ini memiliki beberapa permasalahan khusus dan permasalahan umum yang berpengaruh bagi kurang optimalnya hasil kegitan GN-RHL. Permasalahan tersebut dapat berasal dari aspek perencanaan, aspek pelaksanaan, aspek pengawasan dan pengendalian. Dari aspek perencanaan permasalahan yang timbul antara lain disebabkan karena masih kurang optimalnya pembuatan rancangan teknis, penetapan lokasi, pemilihan jenis tanaman, pemetaan dan penyuluhan. Aspek pelaksanan disebabkan karena kurang optimalnya kegiatan persiapan lapangan, persiapan penanaman, pemeliharaan bibit dan seleksi bibit, serta teknik pananaman dan kegiatn pemeliharaan. Dari aspek pengawasan dan pengendalian masih belum dilakukan secara optimal, hal ini terlihat dari permasalahan pelaksanan GN-RHL dari tahun ke tahun belum diperoleh solusi dan realisasi rencana tindak lanjut dari suatu permasalahan secara nyata.

4.5 Kebijakan Umum Kehutanan di Aceh Setelah terbentuknya pemerintah Aceh yang baru dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, kebijakan umum kehutanan di Aceh berubah sangat signifikan. Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam perencanaan, implementasi, pemanfaataan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber alamnya dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan pembangunan berkelanjutan (Pasal 156, ayat 2 dan 3, UU PA No. 11/2006). Selain itu juga, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berhak memberikan izin konversi kawasan hutan dan izin yang berkiatan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan (Pasal 165 Ayat 3 huruf b dan f). Walaupun begitu, terutama untuk izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh tidak diperkenankan untuk dikeluarkan izinnya (Pasal 150 Ayat 2). Setelah berlakunya UU PA No. 11/2006, sepatutnya dilannjutkan dengan penerbitan peraturan perundangan pendukung misalnya Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Gubernur (PerGub) agar pelaksanaan UU PA dapat lebih diimplementasikan di lapangan, khususnya pengaturan terhadap pemanfaatan sumber daya alam hutan. Sampai saat ini, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan adalah mengenai kebijakan penghentian sementara penebangan hutan (moratorium logging) melalui Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007. Beberapa pertimbangan mengapa moratorium logging perlu diterapkan di Aceh adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Untuk memberikan waktu bagi penyusunan strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan. Memberikan kesempatan untuk menyusun data yang akurat tentang hutan Aceh. Melakukan evaluasi dan menata kembali status dan luas arahan fungsi hutan serta konsesi perizinan yang ada.

b) Penanaman 1 juta pohon Di penghujung tahun 2007, gerakan penanaman 1 juta pohon dilakukan oleh Pemerintah Propinsi NAD dalam rangka menyambut COP 13 (Congress of Parties) di Bali. Kegiatan ini serentak dilakukan di NAD yang mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan, swasta, dan LSM termasuk unsur-unsur Darma Wanita yang turut aktif melakukan kegiatan penanaman di lapangan. Kegiatan ini dinamakan GERAKAN PEREMPUAN TANAM & PELIHARA POHON. Realisasi kegiatan ini sampai dengan tanggal 3 Desember 2007 dapat dilihat pada lampiran 3.

Kebijakan moratorium logging ini meliputi tiga program utama yakni melakukan penataan kembali hutan Aceh (redesign), menghutankan kembali kawasan hutan yang rusak (reforestasi), dan pengurangan laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi). a) Program Redesign Menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Revisi tata ruang sesuai kebutuhan pembangunan

2. 3. 4. 5. 6.

berimbang (ekologi, ekonomi dan sosial) Evaluasi status, fungsi dan luas konsesi hutan Rasionalisasi industri kayu sesuai ketersediaan bahan baku Pengembangan hasil hutan non kayu Optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi Penataan kembali kelembagaan dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan

b) Program Reforestasi Melakukan peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan pelibatan masyarakat lebih optimal. 1. 2. 3. Reorientasi prioritas lokasi-lokasi penanaman RHL. Mengupayakan berbagai sumber dana untuk RHL (donor, carbon market, dll). Mengembangkan hutan tanaman (HTI, HTR, Hutan rakyat,dsb).

Hal lain yang menyangkut dalam Instruksi Gubernur adalah peran lembaga pemerintahan. Disebutkan ada terdapat 8 (delapan) institusi/instansi pemerintahan tingkat propinsi yang memperoleh arahan dari Gubenur untuk menindaklanjuti dari pelaksanaan moratorium logging. Salah satu yang diinstruksikan oleh Gubernur kepada Dinas Kehutanan adalah rasionalisasi jumlah industri kayu sesuai dengan ketersediaan bahan baku. Rasionaliasi ini perlu didasarkan tidak hanya pada kapasitas produksi dan terpasang pada industri bersangkutan saja, tetapi juga bisa membuktikan bahwa bahan-baku untuk industri tersebut berasal dari hasil penebangan yang legal. Sistem informasi dan pendataan terhadap asal-usul bahan baku untuk pemenuhan bahan baku industri perlu segera dibuat sehingga secara dini dapat mengurangi jumlah industriindustri yang menggunakan bahan baku illegal. Pada Bab selanjutnya akan dijelaskan lebih terinci terhadap hasil survey lapangan pada 17 kabupaten di NAD terhadap identifikasi kayu kampong, hasil hutan bukan kayu, termasuk kecendrungan pasar terhadap hasil hutan tersebut, serta identifikasi kearifan lokal terutama pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan di NAD.

c) Program Reduksi Deforestasi Menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih efektif dan penegakan hukum secara konsisten. 1. 2. 3. 4. Penegakan hukum. Efektivitas sistem pengamanan hutan. Penambahan jumlah personil tenaga pengamanan hutan, dan Penertiban penggunaan peralatan eksploitasi hutan.

Dalam Instruksi Gubernur dijelaskan juga bahwa izin penebangan pohon hanya diperbolehkan terhadap pohon yang berasal dari kebun masyarakat/tanah milik yang tergolong jenis-jenis kayu kampung. Dengan kata lain, jenis-jenis kayu lain diluar jenis kampung tidak dapat diberikan izin penebangan. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pendataan terhadap jenis-jenis kampong harus segera dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan jenisjenis kayu kampong. Pendataan terhadap tanah-tanah atau kebun-kebun masyarakat perlu juga dilakukan, mengingat banyak terjadi tumpang tindih lahan antara hutan Negara dan tanah milik masyarakat. Aturan terhadap pemanfaatan jenis-jenis kayu kampong di lahan tanah milik harus segara dibuat dan perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat dan penegak hukum. Pada umumnya tumpang tindih lahan sering terjadi di sektor kehutanan dan dapat memicu konflik sosial, sehingga perlu adanya badan/komisi khusus yang bisa dibentuk oleh Gubernur untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

21

5 HASIL & PEMBAHASAN


5.1 Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di Aceh Pengembangan kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Aceh di pedesaan secara umum dan desa-desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Selama ini karena konflik berkepanjangan di Aceh, kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu masih belum dikembangkan secara optimal sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Disamping itu, akses pasar terhadap kedua produk masyarakat tersebut belum begitu menggembirakan di Aceh. Pasca penandatanganan MoU Damai di Helsinki antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005, memberikan peluang pemberdayaan ekonomi lokal melalui pengembangan kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu semakin besar. Melalui pengembangan kedua komoditas tersebut diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan dan di pinggir hutan dapat meningkat sehingga akan berdampak pada penurunan kemiskinan masyarakat lokal di Aceh. Pemerintah Aceh pada awal tahun 2007 sudah mendeklarasikan kebijakan moratorium logging melalui Instruksi Gubernur No. 5/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007, sebagai bagian dari komitmen Pemerintah Aceh untuk mendukung kebijakan sustainable forest management dan sustainable development, yang disebut kebijakan mendukung propinsi hijau (green province). Kebijakan ini secara langsung berdampak pada larangan penebangan kayu di kawasan hutan negara. Karena itu, penggunaan kayu-kayu kampung menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat Aceh, termasuk untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Kayu kampung adalah sebutan untuk kayu-kayu yang dibudidayakan masyarakat atau tumbuh di lahan milik masyarakat seperti pekarangan rumah dan kebun/ladang. Kayu-kayu kampung biasanya hanya tumbuh di kawasan pemukiman dan ladang. Pohon sentang, bayur, atau pohon buah seperti mangga, rambutan, dan sebagainya adalah contoh kayu-kayu yang tumbuh di pemukiman penduduk. Walaupun demikian, istilah kayu kampung yang dimaksud dalam survey ini adalah kayu-kayu yang dibudidayakan di lahan milik masyarakat, bukan di kawasan hutan. Sementara hasil hutan bukan kayu (HHBK) menurut FAO/1995 adalah segala bentuk produk dari ekstraksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan, baik tumbuhan, hewan dan jasa hutan selain kayu. Pengertian yang disepakati di tingkat Departemen Kehutanan bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati, maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan, kecuali kayu (Litbang Hasil Hutan, 2007). Berbagai jenis HHBK dapat dan mudah ditemukan di berbagai daerah di Aceh seperti getah pinus, damar, aren, rotan, serta tanaman obat, dan lainnya. Prospek pengembangannya masih cukup besar mengingat peluang pasar masih sedang berkembang di Aceh hingga saat ini. a) Analisa Data Tiap Kabupaten Hasil survey yang dilakukan oleh tim survey Green Province Aceh memperlihatkan hasil yang sangat menarik tentang potensi kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu yang dibudidayakan/dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan di pinggir hutan di Aceh. Antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya mempunyai dinamika jenis kayu kampung yang berbeda-beda. Demikian juga dengan hasil hutan bukan kayu yang ada. Keragaman potensi ini tentu saja bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi keanekaraganam kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu di Aceh. Hal ini dapat di lihat dari potensi ekonomi dalam rangka mengurangi angka kemiskinan di pedesaan di pinggiran hutan. Disamping itu, juga bisa dilihat dari perspektif menciptakan sustainable forest management melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Keragaman potensi ini pada akhirnya memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa banyak sekali potensi ekonomi hijau yang bisa dikembangkan di Aceh dalam rangka mewujudkan green province seperti yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah Aceh. Untuk itu, perlu sekali pemetaan yang sudah ada ini bisa ditindaklanjuti menjadi kebijakan publik Pemerintah Aceh dalam rangka melestarikan hutan di satu sisi dan mensejahterakan masyarakat lokal di sisi lain.

1. Aceh Besar Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang berada paling dekat dengan ibukota provinsi NAD. Masyarakat kabupaten ini khususnya yang di pedesaan banyak menggunakan kayu kampung untuk berbagai keperluan. Jenis kayu-kayu yang sering dipakai antara lain (lihat grafik 1) kayu kampung dari jenis-jenis mangga, nangka, bak trom, kelapa, rambutan durian, bayur, kemiri, randu, jati, eucalyptus, bak tho, laban, asam jawa, dan angsana. Jenis kayu kampung yang paling banyak digunakan responden adalah nangka (66%), mangga (88%), kelapa (67%), bayur (62%), serta kemiri yang dibudidayakan oleh sekitar 54% responden.

22

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Jumlah responden = 115

88%

66%

67% 62% 54%

45% 37%

20% 11% 10% 10% 10%

19%

21%

20% 11% 4% 13% 8%

23%

12% 9% 7% 7% 1%

8% 1%

3%

3%

1% 2%

Jati

Sawo

Laban

Pala

Batok

Sentul

Sukun

Rubek

Bayur Kurmek Jengkol Kapok Randu Rembayan

Kelapa

Durian

Nangka

Langsat

Mangga

Bak Hiu

Mahoni

Advokat

Bak Trong

Eucalyptus

Gucalyptus

Bak Peunu

Rambutan

Cendana

Geulempang

Grafik 5.1 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Besar
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Asam Jawa

Angsana

23

Kemiri

24

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%

41% Jumlah responden = 115

0%

0%

0%

Rotan

Getah

Karet

Tumbuhan obat

Grafik 5.2 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Besar

Sebagian besar dari kayu-kayu yang dimanfaatkan masyarakat tersebut digunakan untuk bahan bangunan (99% responden) dan kayu bakar (99%). Hanya sedikit sekali yang digunakan untuk bahan perabot (6% responden). Sebagian besar kayu-kayu yang dihasilkan tersebut digunakan untuk kebutuhan sendiri oleh 97% responden, walaupun banyak juga yang dijual kepada konsumen lain yang dilakukan oleh 81% responden. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pedesaan di Aceh besar menggunakan bahan baku kayu untuk pembuatan rumah mereka. Kebutuhan energi rumah tangga, sebagian besar responden (99%) menggunakan kayu bakar untuk memasak. Penjualan kayu kepada masyarakat meningkat karena kebutuhannya pada masa rehab rekon sangat besar di daerah khususnya Aceh Besar. Kebutuhan kayu bakar juga meningkat seiring dengan berdirinya berbagai pabrik batu bata di wilayah ini. Terhadap penggunaan lahan, lahan pertanian umumnya digunakan untuk menanam palawija (52%), dan hanya 2% responden yang menanami padi. Lahan kebun sebagian digunakan untuk jenis tanaman pisang (2% responden), serta tanaman lainnya (23%). Hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan adalah rotan oleh 40% responden. Hal ini semakin meneguhkan kedudukan rotan sebagai hasil hutan non kayu yang dihasilkan Aceh Besar. Yang menarik adalah semua hasil hutan bukan kayu

rotan tersebut dihasilkan dari lahan hutan bukan milik. Sayangnya, untuk wilayah Aceh Besar tidak diperoleh data tentang tingkat pendapatan masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, yakni rotan yang dibudidayakan masyarakat maupun yang tumbuh di alam bebas.

2. Aceh Jaya Kabupaten Aceh Jaya mempunyai desa-desa yang mayoritas terletak di pinggir hutan. Ketergantungan masyarakat desa dengan hutan sangat tinggi di daerah ini. Untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat juga menggunakan beberapa jenis kayu yang dibudidayakan di perkampungan seperti yang umumnya digunakan, yakni mancang, trueng, damar, cengal, kelundung, durango, langin dan gemong. Kayu-kayu kampung yang paling banyak digunakan antara lain mancang yang digunakan oleh 36% responden, kelundong (20%) dan trueng (17%). Mayoritas kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk kebutuhan bahan bangunan (86%), dan umumnya dipakai sendiri yang mencapai 68% dan hanya 2% responden yang menjual kayu-kayu tersebut. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kebutuhan kayu untuk bahan bangunan di Aceh Jaya sangat tinggi mengingat kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten terparah dilanda tsunami. Untuk kebutuhan non bangunan seperti

36%

Jumlah responden = 59

20%

17%

7% 5%

7%

5%

3% 2% 0% Cengal Kelundong Duranyo Lanngin Petai Gernon 0% Damar Spon 0% Mane

Mancang

Trueng

Damar

Jambu Hutan

Grafik 5.3 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Jaya
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

25

26

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

kayu bakar, kemungkinan masyarakat pedesaan di kabupaten ini menggunakan ranting-ranting kayu yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Sementara kegunaan lahan yang dimiliki masyarakat memperlihatkan bahwa lahan pertanian umumnya ditanami padi oleh 14% responden dan 15% responden menanam palawija. Lahan kebun belum banyak dikembangkan komoditi unggul karena masyarakat baru bangun dari keterpurukannya akibat tsunami dan konflik berkepanjangan. Sedangkan lahan hutan di sekitar mereka belum dimanfaatkan secara optimal dalam pengembangan hasil hutan non kayu. Dengan kata lain, hasil hutan non kayu belum dikembangkan sama sekali di daerah ini. Aceh Jaya sebenarnya merupakan daerah penghasil buahbuahan seperti durian, mangga, dan sebagainya, baik yang dikembangkan di lahan milik maupun bukan milik.

Namun data terhadap jumlah serta pemasaran dari buahbuahan tersebut tidak termasuk dalam kegiatan survey di lapangan. 3. Aceh Barat Kabupaten ini juga merupakan wilayah yang dilanda tsunami, sehingga kayu kampung yang tingkat permintaannya tinggi adalah kayu mane yang dimanfaatkan oleh 56% responden, dan banyak digunakan untuk pembuatan boat dan perumahan. Selain itu, kayu-kayu kampung yang banyak digunakan oleh penduduk pedesaaan adalah tampe siron, kit putih, panga anak, pulai, tampu, durian, rambutan, mangga, dan karet. Sesuai dengan kondisi, kualitas dan kegunaannya, kayukayu kampung tersebut ada yang digunakan untuk bahan bangunan (81%), perabot (44%) dan pembuatan perahu

56% Jumlah responden = 16

38%

25% 19% 13% 6% 6% 13% 13% 6% 19%

19%

19%

19%

pulai

Mane

Tampu

Durian

Nangka

Kit Putih

Mangga

Rambutan

Bak Mang

Tampe Siron

Panga Anak

Grafik 5.4 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Barat
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Medang Getah

Bak Sipijut

27

Karet

Untuk lahan yang dimiliki masyarakat, semua responden (100%) memanfaatkan lahan pertanian untuk menanam padi dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Lahan kebun banyak digunakan untuk membudidayakan tanaman kopi (6% responden), karet (31%), durian (6%) dan nilam (25%). Sedangkan kawasan hutan banyak menghasilkan hasil hutan non kayu berupa rotan yang dimanfaatkan oleh 31% responden. Belum ada hasil hutan non kayu lainnya yang dikembangkan oleh masyarakat di wilayah ini. Tanaman rotan tidak ada yang ditanam di lahan milik, melainkan tumbuh bebas di kawasan hutan negara. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan ada upaya budidaya rotan yang perlu dikembangkan agar produksi rotan bisa berkelanjutan.

4. Nagan Raya Nagan Raya adalah kabupaten pemekaran dari Aceh Barat. Masyarakat pedesaan di wilayah ini menggunakan berbagai jenis kayu kampung untuk berbagai kebutuhan. Kayu kampung yang banyak digunakan adalah berangkah oleh 64% responden, cempedak hutan (64%), balek angina (64%), durian hutan (100%), rambutan hutan (45%), tiengkeum (45%), dan mane yang juga dikembangkan oleh 45% responden. Sesuai dengan kualitas kayunya, mayoritas responden menyebutkan bahwa kayu-kayu kampung di wilayah ini digunakan untuk bahan bangunan (45%), pembuatan perahu (36%) dan kayu bakar (45%). Hanya sebagian kecil responden yang mengatakan bahwa kayu tersebut digunakan untuk perabot (9%). Kayu-kayu kampung tersebut sebagian dipakai sendiri oleh 55% responden dan sebagian lagi dijual (45%).

1 00%

Jumlah responden = 11

64%

64%

64%

45%

45%

45%

B erangkah

C empedak hut an

B alek A ngin

D urian H ut an

R ambut an H ut an

Tieng Keum

M ane

Grafik 5.5 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Nagan Raya

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

29

30

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

50%

Juml ah r esponden = 1 1

45%

45%

40%

35% 27%

30%

25%

20%

1 5%

1 0%

5%

0%

0%

0%

0% Rot an Get ah Kar et T umbuhan Obat Lai n-Lai n

Grafik 5.6 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Nagan Raya

Masyarakat pedesaan di Nagan Raya umumnya memungut hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, dimana 27% responden memanfaatkan rotan. Hasil hutan bukan kayu lainnya belum banyak dikembangkan. Di wilayah ini, lahan pertanian dan lahan kebun yang dimiliki masyarakat sangat kecil, komoditas yang dikembangkan pun sangat minim.

Mayoritas dari kayu-kayu tersebut digunakan untuk kebutuhan bahan bangunan oleh 85% responden dan 42% responden menggunakannya untuk perabot. Selebihnya baru digunakan untuk pembuatan perahu (14%) dan kayu bakar (34%). Mayoritas kayu-kayu kampung tersebut dijual ke pasar oleh 86% responden, hanya sebagian kecil yang digunakan sendiri (32%). Yang menarik adalah tingkat pemakaian untuk perabot cukup tinggi yang menunjukkan bahwa kabupaten ini potensial untuk dikembangkan sentral perabotan untuk wilayah pantai barat-selatan Aceh. Agar usaha perabot tersebut dapat berkelanjutan, maka perlu upaya rehabilitasi lahan yang dimulai dengan perencanaan yang mantap.

5. Aceh Barat Daya Kayu-kayu kampung yang banyak dipakai masyarakat di kabupaten ini antara lain durian, seribu, kuini, kapas, karet, laban, nangka, balam, rubek, kelapa, medang dan jati. Beberapa diantaranya paling banyak digunakan seperti durian (75%), kuini (63%) dan seribu (61%).

75% Jumlah responden = 59

61%

63%

31% 24% 24%

32%

22%

20% 15% 8% 2% 3% 2% 5% 2% 2% 3% 8% 8% 14% 7%

10%

7%

3%

3%

kuini

Karet

Kapas

Bayur

Laban

song

Balam

Rubek

durian

Kemiri

Dadap

Pala

Kelapa

Selanga

Mahoni

Nangka

Kruing

Mangga

Bak Mane

seribu naik

Rambutan

Mancang

Meranti

Grafik 5.7 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Barat Daya

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Medang Jeump

31

Damar

Jati

Lahan-lahan pertanian penduduk kebanyakan ditanami padi (24%) dan palawija (10%). Untuk lahan perkebunan mayoritas ditanam tanaman campuran, dimana sebagian kecil juga dibudidayakan sawit, coklat (5%), nilam, pinang, karet (12%) dan pala. Hasil hutan bukan kayu yang dikembangkan masyarakat di Aceh Barat Daya cukup bervariasi. Masyarakat mengembangkan karet (54%), rotan (37%), jernang (31%), damar (27%), alim (10%) dan gaharu (3%). Komoditas karet, nilam, dan alim biasanya dibudidayakan di lahan milik, sementara komoditas lain banyak terdapat dilahan bukan milik.

6. Aceh Tenggara Di kawasan ini, masyarakat desa menggunakan banyak jenis kayu kampung untuk berbagai kebutuhan. Yang paling umum digunakan masyarakat antara lain intap (46%), semaram (76%), damar laut (32%), jelatung (16%), meranti (32%), durian, semantok (40%) dan mangga (32%). Kayu-kayu kampung dengan kualitas bagus banyak digunakan untuk bahan bangunan yang digunakan oleh 88% responden, sedangkan untuk kebutuhan pembuatan perabot mencapai 56%. Sementara untuk kualitas rendah digunakan untuk kayu bakar (44%). Disamping itu, kayukayu kampung tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sendiri (70%) daripada dijual (44%).

60%

54% Jumlah responden = 59

50%

37% 40% 31% 30% 27%

20% 10% 10% 3% 0% 0% Rotan Jernang Getah Karet Gaharu Alim Damar

Grafik 5.8 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Barat Daya

32

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

74%
J umlah res po nden = 50

46% 40%

32%

32%

32%

16% 12%

2% 0% 0%

0%

0%

0%

0%

0%

2%

Intap

Jati

Karet

Kemiri

Geucih

Meranti

Nangka

Durian

Kelapa

Semaram

Jelatung

Medang

Damar Laut

Grafik 5.9 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Tenggara
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Rambutan

Sementok

Peterahan

33

Mangga

34

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Untuk lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian mayoritas ditanami padi (58%) dan sebagian kecil palawija (12%). Lahan perkebunan kebanyakan dikembangkan tanaman coklat (30%), karet (28%), kemiri (14%), sawit (4%) dan kopi (4%). Sedangkan kawasan hutan banyak menghasilkan rotan yang dimanfaatkan 10% responden dan getah/karet sebanyak 8%. Hasil hutan non kayu yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah rotan yang dikembangkan oleh 50% responden, karet (36%), getah (12%) dan tanaman obat oleh 6% responden. Untuk tanaman karet, masyarakat mempunyai penghasilan rata-rata lebih dari Rp. 500 ribu perbulan. Di wilayah ini, rotan mayoritas ditanam di lahan milik oleh 22% responden, hanya sebagian kecil (4%) yang berada di hutan negara. Demikian halnya dengan getah (4%) dan karet (14%) yang juga samasama dikembangkan di lahan milik masyarakat.
50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 50%

(44%), dan karet (28%). Mayoritas kayu-kayu kampung di Aceh singkil digunakan penduduk untuk bahan bangunan (69%), perabot (62%), pembuatan perahu (26%), dan kayu bakar (15%). Masyarakat umumnya menjual kayukayu kampung yang dihasilkannya (64%), dan sebagian lainnya digunakan untuk keperluan sendiri (62%). Untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, maka banyak pohon durian yang ditebang, dengan menggunakan SKAU. Lahan pertanian masyarakat kebanyakan ditanami padi (59%) dan palawija (38%). Sementara lahan perkebunan banyak ditanam karet (51%), durian (36%) dan sawit (21%). Untuk lahan hutan yang dimiliki masyarakat banyak menghasilkan rotan (18%) yang dimanfaatkan penduduk. Selain itu, hasil hutan bukan non lainnya yang
Jumlah responden = 50

36%

12%

6%

0%

0%

0%

Terong Belanda

Jahe

Grafik 5.10 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tenggara 7. Aceh Singkil Di kabupaten ini, kayu-kayu kampung yang dimanfaatkan penduduk lebih beragam seperti durian, kapur, meranti, rengas, kruing, punak, jelutung, bacang hutan, sung, petai, mancang, kelapa dan karet. Yang paling banyak digunakan umumnya durian oleh 72% responden, petai dikembangkan di wilayah ini termasuk karet (62%), rotan (44%) , sawit (10%), damar (23%), sige-sige (23%), gambir (3%), pete (3%) dan durian (3%). Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari hasil hutan bukan kayu yang memberi prospek bagus adalah rotan dan karet dimana masyarakat bisa memperoleh rata-

Tumbuhan obat

Temulawak

Getah

Sere

Bungle

Lengkuas

Kencur

Rotan

Kunyit

Karet

72%

Jumlah responden = 39

44%

28% 23% 21% 18% 21% 21% 23%

21%

21%

21%

18%

8% 5% 3% 3%

8%

Sung

Petai

Kapur

Punak

Durian

Rengas

Kruing

Kelapa

Terep

Karet

Jati

Meranti

Jelutung

Sembarang

Bacang Hutan

Grafik 5.11 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Singkil
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Kembang Semangkok

Mancang

35

Jengkol

36

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

70% 62% 60% Jumlah responden = 39

50%

44%

40%

30%

23%

23%

20% 10% 10% 3% 3%

3%

0% Durian Pete Gambir Karet Sawit Rotan Sige-Sige Damar

Grafik 5.12 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Singkil

rata penghasilan di atas Rp 500 ribu perbulan. Hanya rotan yang banyak dikembangkan di lahan hutan negara, sementara hasil hutan bukan kayu lainnya umumnya dibudidayakan oleh masyarakat di lahan sendiri. 8. Gayo Lues Masyarakat Gayo Lues termasuk yang memanfaatkan berbagai jenis kayu kampung untuk berbagai keperluan

hidup. Kayu-kayu kampung yang umumnya digunakan masyarakat daerah ini seperti kayu arang (50%), meranti (50%), gesang (95%), medang durin (60%), kayu manis (50%), nangka (90%), asam jawa (35%), durian (80%), bayur (50%), pinus (65%), dan mangga (75%). Seperti juga di daerah lain di Aceh, umumnya kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk bahan bangunan oleh 95% responden, pembuatan perabot rumah tangga dan kantor (65%), serta untuk kebutuhan kayu bakar (95%). Kayukayu kampung yang dimiliki masyarakat selain digunakan untuk keperluan sendiri (100% responden), juga dijual ke pasar (90%) sehingga masyarakat memperoleh tambahan keuangan. Penggunaan sendiri terhadap kayu kampung oleh masyarakat bisa dilihat karena rumah-rumah masyarakat Gayo Lues umumnya terbuat dari kayu. Pada lahan-lahan milik, masyarakat daerah ini juga membudidayakan padi (50%) dan palawija (25%) di lahan pertanian. Lahan kebun umumnya ditanami kopi (20%) dan coklat (25%). Sedangkan lahan hutan banyak dikembangkan rotan (60%). Hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan masyarakat Gayo Lues sangat beragam. Selain rotan yang dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh 60% responden, masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti madu (20%), gula aren (30%), rebung (25%) dan tanaman obat (5%). Hasil hutan bukan kayu masyarakat Gayo Lues dikembangkan di lahan milik dan lahan non milik.

95% 90% Jumlah responden = 20

80% 75%

65% 60%

50% 50%

50%

50%

35%

15%

10% 5% 0% 5%

5%

Pokat

Akasia

Meranti

Gesang

Nangka

Durian

Bayur

Pinus

Kit Putih

Mangga

Kayu Arang

Medang Durin

Grafik 5.13 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Gayo Lues
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Medang Kemili

Kayu Manis

Asam Jawa

Rambutan

37

Sementok

38

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

40%

Jumlah responden = 20

35%

30%

25%

20%

15%

10%

5%

0% Rotan Getah Karet Tumbuhan obat Madu Gula Aren Jamur Rebung dll

Grafik 5.14 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Gayo Lues

Catatan: Sebetulnya, Gayo Lues adalah penghasil kemiri terbesar di Aceh. Namun, saat ini banyak yang dikonversi menjadi lahan pertanian karena harga kemiri yang rendah. Sayangnya saat survey lapangan dilakukan, data tentang kemiri tidak direspon oleh masyarakat. 9. Aceh Tengah Seperti halnya Gayo Lues, Aceh Tengah terletak di dataran tinggi Gayo yang kondisi lahannya berbukitbukit dan berhutan. Walaupun hutan di wilayah ini menghasilkan banyak kayu jenis pinus, masyarakat juga membudidayakan dan memanfaatkan kayu kampung untuk keperluan sehari-hari. Kayu-kayu kampung yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat daerah ini adalah nangka oleh 67% responden, alpokat (72%), mangga (11%), kayu manis (41%), durian (35%), kemiri (9%), temung (17%), petai (57%) dan jeruk (31%). Semua responden (100%) menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri dan 85% responden mengatakan juga menjual sebagian kayu kampung mereka. Yang menarik adalah 80% responden menggunakan kayu-kayu kampung untuk kayu bakar dan hanya 28% yang menggunakan untuk kebutuhan lainlain.

72%

Jumlah responden = 54

67%

57%

41% 35% 31%

17% 9% 2%

11%

Petai

Pokat

Durian

Kemiri

Nangka

Mangga

Langsat

Grafik 5.15 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Tengah
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Kayu Manis

Temung

39

Jeruk

40

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

60% Jumlah responden = 54 57% 50%

40%

30% 30%

20%

17%

17%

17% 11%

17% 11%

17%

10% 4% 2% 0% 0%

Terong Belanda

Jahe

Grafik 5.16 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tengah

Sementara untuk lahan-lahan milik, 30% responden menanam palawija dan 9% yang menanam padi di lahan pertanian, sedangkan untuk lahan kebun, 94% responden menanam kopi. Kopi Gayo memang sudah sangat terkenal hingga manca negara dan menjadi mata pencaharian utama mayoritas penduduk di daerah ini. Masyarakat dataran tinggi Gayo juga sudah sangat maju dengan berbagai komoditi pertanian dan hasil hutan non kayu yang mereka budidayakan. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan masyarakat antara lain rotan, kunyit, sere, jahe, lengkuwas, temulawak, kencur, bungle, terong belanda dan tanaman obat (lihat grafik 16). Pendapatan masyarakat dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut tidak menentu, kecuali pemanfaatan rotan yang rata-rata bisa diperoleh penghasilan Rp. 100 ribu hingga Rp. 500 ribu perbulan. Sebagian besar pengembangan hasil hutan bukan kayu di daerah ini dilakukan di lahan bukan milik petani.

10. Bener Meriah Kabupaten Bener Meriah merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah yang juga sama-sama terletak di dataran tinggi Gayo. Kehidupan mayoritas masyarakat daerah ini masih sangat tergantung pada sumberdaya hutan di sekitar mereka. Sebagian besar wilayah kabupaten ini justru berupa hutan dengan berbagai peruntukannya. Jenis-jenis kayu kampung yang dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat daerah ini sangat banyak jenisnya. Jenis-jenis kayu kampung yang sering digunakan seperti jeumpa oleh 65% responden, gerupel (58%), medang kersik (32%), kayu manis (52%), alpokat (42%), tampu (65%), gesing (39%), durian (35%), nangka (29%), rembek (42%), beke (48%), kemiri (42%), selon, medang getah, kayu paya, mindi, tingkem (32%), bayun (29%), pinang, pinus, rambutan, mangga, kelapa, selupik, temung (32%), sementok, kamis, gete, asam jawa dan kayu batak (lihat grafik 5.17).

Tumbuhan obat

Temulawak

Getah

Sere

Bungle

Lengkuas

Kencur

Rotan

Kunyit

Karet

65%

65%

Jumlah responden = 31

58%

52% 48%

45% 42% 42%

39% 35% 35% 32% 29% 29% 26% 23% 19% 19% 23% 19% 19%

32%

26%

19%

13%

13% 10%

13%

10% 6% 3% 3% 6%

6%

6% 6%

6% 3%

3%

Beke

Jeruk

Selon

Pinus

Pokat

Mindi

Dedep

Damar

Kemiri

Bayun

Gesing

Durian

Tampu

Pinang

Kelapa

Jeumpa

Selupik

Gerupel

Nangka

Nangka

Rembek

Tingkem

Mangga

temung

Kayu Paya

Rambutan

sementok

kamis

Gete

Asam Jawa

Lambacang

Asam Jawa

Medang Durin

Kayu Manis

Medang Kemili

Medang Kersik

Grafik 5.17 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Bener Meriah

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Medang Getah

41

Kayu batak

Rempelem

42

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

30%

Jumlah responden = 31

25%

20%

15%

10%

5%

0% Rotan Karet Madu Jamur dll

Grafik 5.18 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Bener Mariah

Sebagian besar dari kayu-kayu kampung tersebut digunakan oleh responden untuk bahan bangunan (100% responden) dan kayu bakar (100%), tergantung pada jenis dan kualitasnya. Hanya sebagian kecil yang digunakan untuk pembuatan perabot (10%). Selain digunakan untuk keperluan sendiri oleh 94% responden, kayu-kayu kampung tersebut juga dijual kepada masyarakat yang membutuhkannya (90%). Untuk lahan milik, 52% responden menanam palawija di lahan pertanian dan tidak ada yang menanam padi. Hal ini disebabkan daerah ini tidak mempunyai lahan sawah yang bagus dan subur karena konturnya yang berbukit. Sedangkan lahan kebun mayoritas ditanami kopi oleh 90% responden, dan sebagian kecil ditanami durian. Di lahan hutan, masyarakat memanfaatkan rotan, getah dan kayu. Hasil hutan non kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Bener Meriah antara lain rotan yang dimanfaatkan oleh 26% responden, getah (13%), karet (6%), gula aren (13%) dan rebung (3%) (lihat grafik

5.18). Hasil hutan non kayu tersebut sebagian besar diperoleh dari lahan bukan milik. Hasil hutan non kayu yang potensial lainnya dan sudah dikenal hdala gula aren, hanya Sangay disayangkan Belem ada pengembangan yang maksimal sehingga pembuatan gula aren dan produk aren lainnya dapat menjadi sumber mata pencaharian yang menjanjikan bagi masyarakat. 11. Aceh Tamiang Hasil survey memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh Tamiang memanfaatkan beragam jenis kayu kampung untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Kayu-kayu yang dibudidayakan dan dimanfaatkan tersebut seperti durian, jati, rembung, pulai, meku, medang, bayur, cempedak, manuang, kelapa dan legian. Yang paling sering dimanfaatkan adalah durian oleh 98% responden, rembung (100%), dan bayur yang digunakan oleh 76% responden. Kayu-kayu kampung oleh mayoritas responden

Jumlah responden = 50

98%

100%

76% 64% 56% 56% 54%

50%

34% 24% 12% 6% 2% 2% 6%

Jati

Pulai

Meku

Bayur

Damar

Durian

Kemiri

Kelapa

Medang

Meranti

Rambung

Grafik 5.19 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Tamiang
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

cempedak

manuang

Bintung

43

Legian

44

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%

Jumlah responden = 50

Tumbuhan obat

Rotan

Karet

Grafik 5.20 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tamiang

(98%) digunakan untuk bahan bangunan dan hanya 6% responden yang menggunakannya untuk pembuatan perabot. Selain itu, 98% responden menggunakan kayu-kayu kampung untuk kebutuhan sendiri, dan 84% responden yang menjual kayu-kayu tersebut. Lahan-lahan yang dimiliki masyarakat difungsikan untuk pertanian, kebun dan hutan. Lahan pertanian ditanami padi oleh 90% responden dan hanya 2% responden yang menanami palawija. Untuk lahan kebun, 98% responden membudidayakan karet dan 34% sawit. Sedangkan lahan hutan banyak dimanfaatkan untuk membudidayakan karet/getah oleh 42% responden dan rotan hanya dikembangkan oleh 4% responden. Hasil hutan non kayu yang banyak dikembangkan oleh masyarakat adalah karet oleh 96% responden. Hanya 8% responden yang memanfaatkan rotan, 6% getah dan 2% tumbuhan obat. 88% responden menanam karet di lahan milik. Tanaman karet memberikan nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat, dalam waktu satu minggu

dapat menghasilkan mencapai Rp 700.000,- sampai Rp 1.000.000,-

12.Aceh Timur Seperti halnya wilayah lain di Aceh, masyarakat kabupaten Aceh Timur juga sudah turun-temurun menggunakan kayu kampung untuk berbagai keperluan sehari-hari. Beberapa jenis kayu kampung yang banyak digunakan antara lain pohon kelapa yang digunakan oleh hampir 45% responden. Berikutnya adalah durian (43%), karet (40%), sengon (29%), nangka (18%), mangga (13%), dan beberapa jenis lain yang tingkan penggunaannya kurang banyak. Kayu-kayu tersebut sesuai dengan kualitasnya digunakan untuk bahan bangunan oleh 53% responden, pembuatan perabot 39%, kayu bakar 26% dan pembuatan perahu sebanyak 1% responden. Sebanyak 58% responden

Gula Aren

Rebung

Getah

Madu

Jamur

Dll

0%

Jumlah responden = 80
43%

45% 40%

29%

18%

11%

13%

6% 3% 1% 3% 3%

5% 1%

1%

1%

jati

kapok

Sentul

Laban

karet

kelapa

durian

Nangka

semantok

meranti

mangga

sengon

Rambutan

Grafik 5.21 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Aceh Timur
Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Kapok randu

krueng

45

kemiri

46

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

lahannya ditanami karet, 24% responden menanam coklat, dan sawit sebanyak 6%. Lahan hutan tidak banyak dimiliki dan dimanfaatkan masyarakat, hanya 6% responden yang mengatakan bahwa lahan hutan mereka rotan, getah (8%) dan kayu (3%). Demikian halnya dengan hasil hutan non kayu yang belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah ini. Dari grafik 22 dapat kita lihat bahwa beberapa jenis hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, karet, dan lain sebagainya tidak banyak dikembangkan oleh responden yang disurvey. Hanya 5% responden yang memanfaatkan getah, 4% karet dan 3% rotan. Walaupun karet sebagai hasil hutan non kayu kurang dikembangkan, namun sebagai komoditas perkebunan, karet menjadi komoditas yang banyak dikembangkan masyarakat Aceh Timur di lahan milik sendiri. 13. Bireuen menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri, dan hanya 35% responden yang mengatakan bahwa mereka juga menjual kayu-kayu tersebut. Pada lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian umumnya ditanami padi dan palawija. Namun, hanya 19% responden yang menyebutkan bahwa lahan pertanian mereka ditanami padi dan 1% palawija. Untuk lahan kebun, 39% responden mengatakan bahwa Bireuen adalah kabupaten baru yang berkembang sangat pesat di sektor perdagangan karena ia terletak pada segitiga jalur utama Banda Aceh menuju Medan dan Takengon. Hasil pertanian dan kehutanan masyarakat di Aceh Tengah banyak yang dipasarkan ke kota Bireuen. Karena itu, wilayah ini juga bisa dikembangkan menjadi pasar hasil hutan non kayu. Sebetulnya, banyak banyak sekali jenis kayu kampung yang dimanfaatkan masyarakat di wilayah ini. Diantaranya adalah seuntang yang digunakan oleh semua responden (100%). Kemudian 88% responden

7%
J umlah res po nden = 80

6%

6% 5% 5% 4% 4%

3%

3%

2%

1 % 0% 0% Rot an Get ah Kar et Gul a A r en Jamur Rebung dl l 0% 0%

Grafik 5.22 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Timur

Jumlah responden = 111 100% 88%

70% 69%

65%

43% 31% 20% 14% 12% 9% 11% 3% 2% 31%

45%

26%

11%

4%

5%

Jati

Karet

Bayur

Meko

Mane

Kemiri

Durian

Kelapa

Kapuk

Troem

Jawardi

Sentang

Sangon

Nangka

Mangga

Mahoni

Damar
47

Rontoro Gung

Grafik 5.23 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Bireuen


Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Barat Daya

Mancang

Disamping itu, hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat Bireuen belum beragam. Beberapa jenis yang sudah dimanfaatkan seperti yang terlihat di grafik 5.24 adalah rotan yang dimanfaatkan oleh 67% responden, kemudian madu oleh 65% responden, karet (41%), jernang (34%) dan tanaman obat oleh 1% responden. Untuk tanaman rotan, 62% responden mengatakan bahwa mereka menanamnya di lahan lainnya (bukan milik), demikian juga dengan madu dimana 58% responden mengembangkannya di lahan bukan milik, jernang 35% responden yang memanfaatkannya di lahan bukan milik. Hanya karet yang dibudidayakan oleh 39% responden di lahan miliknya. menggunakan kayu bayur, 70% memanfaatkan kayu sengon, durian (69%), kemiri (65%), mancang (45%), jati (43%), jawardi (26%) dan lain sebagainya (lihat grafik 5.23). Sebanyak 99% responden mengatakan bahwa kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk bahan bangunan, 86% untuk pembuatan perabot, 72% digunakan untuk pembuatan perahu, dan untuk kayu bakar digunakan oleh 57% responden. Kayu-kayu kampung tersebut dikatakan oleh 93% responden digunakan untuk keperluan sendiri, dan 97% responden juga menjual kayu-kayu tersebut. Terhadap lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian digunakan untuk menanam palawija oleh 24% responden, dan hanya 2% responden yang menanam padi. Sedangkan lahan kebun, 75% responden menggunakannya untuk menanam tanaman keras, antara lain tanaman seuntang (100 % responden menggunakan kayu seuntang) Sedangkan lahan hutan, umumnya ditumbuhi oleh pohon-pohonan.
70%

14. Pidie Kabupaten Pidie selama ini dikenal sebagai daerah penghasil kayu kampung endemik seperti sentang, bayur, puenoe, cawardi, dan lain-lain. Kayu-kayu tersebut umumnya digunakan untuk pembuatan rumah Aceh yang 100% bahannya adalah kayu dan bisa bertahan hingga ratusan tahun. Dalam survey ini diketahui bahwa hampir semua responden (100%) memakai kayu seuntang, 81% sering menggunakan kayu bayur, 52% menggunakan cawardi, dan punoe sering dimanfaatkan oleh hampir 48% responden. Demikian juga dengan kayu-kayu kampung jenis lainnya yang tingkat penggunaannya lebih kecil (lihat grafik 5.25). Pada umumnya letak desa di Kabupaten Pidie (yang terletak di pesisir timur) tidak langsung berbatasan dengan kawasan hutan, karena itu masyarakat sudah terbiasa membudidayakan pohon seuntang di lahan milik sebagai invenstasi. Kebiasaan ini menjadi budaya yang

Jumlah responden = 111

60%

50%

40%

30%

20%

1 0%

0% R o t an Karet J ernang M adu Obat -Obat an J amur R ebung dll

Grafik 5.24 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Bireuen

48

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Jumlah responden=21 100%

81%

52%

48% 33% 29% 19% 14% 5% 5% 14% 14% 14%

33%

24%

5%

Jati

Kleu

Kuli

Pueno

Bungo

Kapuk

Bayur

Cawardi

Angsana

Sampang

Meudang Jeumpa

Labam/Mane

Simata Ulat

Georofhai

Grafik 5.25 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Pidie


Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Meuleweuk Sentul

49

Sentang

50

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

60% Jumlah responden=21 50%

40%

30%

20%

10%

Tanaman Buah-buahan

0%

Tumbuhan obat

Grafik 5.26 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Pidie

perlu dikembangkan sebagai upaya perwujudan green province, bahkan disosialisasikan pada daerah lainnya sehingga perwujudan green province akan menjadi kenyataan Sebanyak 95% responden di Pidie mengatakan bahwa mereka menggunakan kayu-kayu tersebut untuk bahan bangunan, 33% untuk perabot, dan 29% untuk membuat perahu. Tidak ada responden yang memanfaatkan kayukayu kampung tersebut untuk kayu bakar. Disamping itu, 95% responden menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri dan hanya 43% responden yang juga menjual kayu-kayu tersebut. Mengenai lahan-lahan yang dimiliki masyarakat yang disurvey, lahan pertanian ditanami padi oleh 14% responden dan 5% lainnya menanam palawija. Lahan kebun umumnya ditanami coklat (5% responden), pinang (5%), dan pisang oleh 5% responden. Sedangkan lahan hutan umumnya ditumbuhi oleh tanaman hutan. Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat

Pidie sangat beragam. Sebanyak 57% responden mengatakan membudidayakan dan memanfaatkan rotan, 48% memanfaatkan tanaman obat, 38% tanaman buah-buahan, 24% jernang, 19% gaharu, 10% madu, serta damar, bambu, punang dan gula aren yang masing-masing dikembangkan dan dimanfaatkan oleh 5% responden. Mengenai lahan yang digunakan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu tersebut, 19% responden menyebutkan bahwa mereka mendapatkan rotan di lahan bukan milik. Demikian juga hasil hutan non kayu lainnya dimana umumnya dibudidayakan di lahan bukan milik. 15. Simeulue Kabupaten Simeulu merupakan kabupaten pulau yang terpisah dari daratan Aceh di ujung Pulau Sumatera. Di wilayah ini banyak sekali jenis kayu kampung yang dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa jenis yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah seperti yang terlihat pada grafik 5.27. Beberapa

Gula Aren

Jernang

Bambu

Madu

Damar

Gaharu

Getah

Karet

Pinang

Rotan

92% 90%

94%

Jumlah responden =124

79%

65% 57% 48% 47% 38% 34% 39% 39%

31%

17% 8% 2% 9% 5% 2% 6%

10% 5% 5%

11% 10%

Uti

Bayut

Nurai

Balam

Bunot

Dak' u

Bunot

Tumoy

Basung

Mofell

Tauhan

Tuturan

Punago

Karueng

Madang

Sumarala

Umawak

Gilakhang

Simpedak

Lahapang

Bengkireng

Grafik 5.27 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Simeulue


Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Ali Fambang

Lauteneng

51

Tumoek

Katuko

52

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

diantaranya yang banyak digunakan adalah kayu ali oleh 94% responden, balam (92%), umawak (90%), karueng (79%), tauhan (65%), katuko (57%), dan lain sebagainya. Semua responden (100%) mengatakan bahwa mereka menggunakan kayu-kayu tersebut untuk bahan bangunan, 90% responden juga memanfaatkan untuk perabot dan 90% untuk perahu. Hanya 1% responden yang menyebutkan bahwa mereka menggunakan juga kayukayu tersebut untuk kayu bakar. Responden yang disurvey menggunakan kayu tersebut untuk keperluan sendiri (100%) dan tidak ada responden (0%) yang menjual kayu-kayu kampung tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dahulunya hanya ada satu HPH yang beroperasi sebagai penghasil kayu dari Simelue yaitu HPH Kruing Sakti. Mengenai lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian ditanami tanaman padi 66% responden dan 56% responden membudidayakan palawija. Untuk lahan kebun, 86% responden membudidayakan cengkeh dan 9% kelapa. Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat Simeulu umumnya adalah rotan, dimana 93% responden memaanfaatkannya. Kabupaten Simelue terkenal dengan jenis rotan manaunya. Selain itu, 30% responden memanfaatkan ijuk, 5% gula aren, serta getah, madu, jamur, dan rebung masing-masing dikembangkan oleh 2% responden. Untuk tanaman rotan, 23% responden
1 00% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 1 0% 0% R o t an Get ah Ijuk Karet

membudidayakannya di lahan milik sendiri, dan 73% memperolehnya di lahan hutan negara. Sedangkan ijuk, 56% responden membudidayakan tanaman ini di lahan milik sendiri. b) Analisa Kecendrungan 1. Kecenderungan akses pasar a. Kayu Kampung Kayu-kayu kampung yang dibudidayakan masyarakat umumnya mempunyai harga pasar yang bervariasi dan kompetitif. Namun demikian, harga terhadap kayu kampung ditentukan oleh tersedianya bahan baku dan permintaan dari pasar itu sendiri (suply-demand). Pada masa dimana kayu-kayu hutan dari perusahaan HPH maupun IPK banyak beredar di pasar, pasar cenderung kurang berminat terhadap kayu-kayu kampung. Pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap kayu-kayu hutan yang beredar di pasar. Walaupun demikian, untuk kebutuhan tertentu seperti pembuatan perahu tetap membutuhkan kayu-kayu kampung yang berkualitas tinggi dan tahan lama seperti Seuntang, Manee dan Bayur. Setelah tsunami, kebutuhan akan kayu-kayu kampung semakin besar untuk memenuhi permintaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tidak ada data valid berapa banyak kebutuhan kayu kampung di Aceh, namun secara umum diperkirakan bahwa permintaannya sangat tinggi. Apalagi setelah Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan tentang moratorium logging pada Juni 2007

Jumlah responden =124

Tumbuhan o bat

M adu

Gula A ren

J amur

R ebung

Grafik 5.27 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Simelue

yang berdampak pada berkurangnya pasokan kayu-kayu dari hutan alam Aceh. Kayu-kayu kampung menjadi salah satu pilihan disamping berbagai kayu-kayu lain yang dibolehkan oleh kebijakan moratorium logging, termasuk mengimport dari luar Aceh dan luar negeri. Dalam konteks ini, kebijakan moratorium logging bisa diasumsikan sebagai peluang pemasaran yang sangat besar untuk produk kayu-kayu kampung dengan harga yang kompetitif tentunya. Namun demikian, hasil survey memperlihatkan bahwa kebanyakan kayu-kayu kampung digunakan untuk kebutuhan sendiri oleh masyarakat desa. Hanya sebagian masyarakat yang menjual kayukayu tersebut ke pasar. b. Hasil hutan non kayu Pasar hasil hutan non kayu belum terbangun dengan bagus di Aceh. Hal ini berkaitan dengan belum berkembangnya sektor produksi, baik hulu maupun hilir secara optimal di Aceh pasca konflik dan tsunami. Hasil hutan non kayu sebetulnya termasuk bahan baku yang diproduksi pada tahap awal (hulu). Belum berkembangnya produksi hasil hutan non kayu menyebabkan industri pengolahan hasil hutan non kayu juga belum berkembang. Yang sudah terjadi saat ini adalah hasil hutan non kayu tersebut dijual ke Medan sebagai pasar utama yang menampung bahan baku dari hasil hutan non kayu dari Aceh. Seperti kemiri yang sangat banyak dihasilkan di Gayo Lues, yang hasil mentahnya dijual ke Medan dengan harga yang relatif murah dan tidak menguntungkan petani. Padahal, kalau dikembangkang industri pengolahannya, maka nilai tambah dari produk ini tentu akan menguntungkan banyak pihak, termasuk petani. Beberapa pemerintah kabupaten sebetulnya sudah mulai memikirkan tentang pengembangan hasil hutan non kayu ini berserta dengan pengembangan industri pengolahannya. Namun, sampai saat ini wujudnya belum terlihat. Seandainya, industri pengolahan hasil hutan non kayu dikembangkan oleh pemerintah bersama masyarakat, maka pasar hasil hutan non kayu pun akan berkembang dan bisa diakses hingga pasar manca negara. Misalnya pasar rotan dan berbagai produk yang terbuat dari rotan yang tingkat permintaannya di luar negeri sangat tinggi. Demikian juga dengan berbagai produk lainnya yang sangat terbuka peluang untuk ditingkatkan nilai tambahnya melalui pengembangan industri pengolahan hasil hutan non kayu di berbagai kabupaten di Aceh.

kampung yang dibudidayakan masyarakat berbeda-beda di setiap kabupaten di Aceh. Kecenderungan ini umumnya disebabkan oleh jenis-jenis endemik yang tumbuh di setiap kabupaten berbeda-beda. Misalnya Seuntang, Bayur, dan Punoe merupakan jenis endemik di kabupaten-kabupaten di pesisir utara dan timur Aceh. Demikian juga jenis-jenis lain yang banyak ditemui di wilayah pesisir barat-selatan Aceh. Namun demikian, ada beberapa kecenderungan yang bisa dilihat dari berkembangnya jenis-jenis kayu kampung tertentu di masing-masing kabupaten, yakni (1) kebiasaan masyarakat (local wisdom) yang menanam jenis-jenis pohon tertentu menurut kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Kebiasaan ini kemudian berkembang dan dilakukan secara turun-temurun. Walaupun dalam perkembangannya, penanaman jenis-jenis kayu kampung tertentu tidak lagi diwarnai oleh kepercayaan pada nilainilai lokal. (2) Kebiasaan masyarakat dalam membuat rumah atau perahu berkaitan erat dengan jenis-jenis kayu yang dibudidayakan di daerah mereka. (3) Jenis dan kesuburan tanah yang berdampak pada kemampuan hidup jenis-jenis pohon tententu. Hasil survey memperlihatkan bahwa hampir di semua kabupaten, masyarakat lebih banyak menggunakan kayu-kayu kampung untuk kebutuhan sendiri. Walaupun sebagian juga dijual ke pasar. Hal ini menunjukkan bahwa kayu-kayu kampung yang dibudidayakan di sebagian masyarakat juga dianggap sebagai tabungan yang jika dibutuhkan bisa ditebang untuk dijual atau digunakan sendiri. b. Hasil hutan non kayu Hasil survey memperlihatkan bahwa sebagian besar hasil hutan non kayu diperoleh dari lahan bukan milik. Artinya, kebanyakan hasil hutan non kayu di Aceh belum dibudidayakan secara intensif. Masyarakat memperoleh hasil hutan non kayu tersebut dengan mencarinya di hutan negara. Dengan demikian, jenis-jenis hasil hutan non kayu yang diperoleh pun tergantung pada alam. Di banyak kabupaten di Aceh berdasarkan hasil survey memperlihatkan bahwa rotan merupakan hasil hutan non kayu yang paling banyak digunakan dan umumnya diperoleh dari kawasan hutan negara. Beberapa jenis lainnya belum banyak berkembang. Melihat kondisi ini, maka bisa dikatakan bahwa jenis-jenis hasil hutan non kayu yang ada di masyarakat belum berkembang secara bagus. Hal ini tentu berkaitan dengan banyak faktor seperti pasar dan akses pasar, permodalan,

2. Kecenderungan pilihan jenis komoditas a. Kayu kampung Agak sulit menilai kecenderungan ini karena kayu-kayu kampung yang dipanen saat ini umumnya sudah ditanam selama lima belas hingga tiga puluh tahun yang lalu oleh masyarakat. Sehingga pilihan jenis komoditas yang ditanam pun mengikuti kecenderungan atau trend saat itu. Hasil survey memperlihatkan bahwa jenis-jenis kayu 3. Kecenderungan Dukungan Kebijakan Pemerintah a. Kayu Kampung Dukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun akan berpengaruh pada budidaya dan penggunaan kayu-kayu kampung oleh masyarakat. Ketika pemerintah mendorong reboisasi melalui pengembangan kayu

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

53

54

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

kampung misalnya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada semakin banyaknya kayu-kayu kampung yang dikembangkan masyarakat lokal. Demikian juga tatkala penyuluhan tentang pengembangan kayu-kayu kampung kepada masyarakat gencar dilakukan, maka ia akan berdampak pada semakin banyaknya produksi kayu-kayu kampung dalam sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan. Kebijakan moratorium logging yang dikeluarkan Pemerintah Aceh secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada penggunaan kayu-kayu kampung, walaupun tidak begitu terlihat dalam survey ini. Namun, ketika kebijakan moratorium logging diberlakukan yang kemudian diikuti dengan dukungan kepada masyarakat untuk mengembangkan kayu-kayu kampung, maka hasilnya akan terlihat dalam beberapa waktu kedepan.

hutan non kayu dan produk industri olahannya masih sangat terbuka untuk dikembangkan dan bisa diekspor ke luar negeri. Contohnya rotan yang belum banyak dikembangkan di Aceh, sangat terbuka peluang untuk dibudidayakan dan diolah menjadi berbagai barang jadi seperti furniture, dan sebagainya. Produk-produk rotan Indonesia kini diminati diberbagai negara. Karena itu, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor rotan mentah karena industri rotan di dalam negeri kekurangan bahan baku. Hal yang sama juga terbuka peluang untuk berbagai produk hasil hutan non kayu lainnya.

2. Peluang Pengembangan Komoditas Unggulan Komoditas unggulan terhadap kayu kampung sangat tergantung pada jenis-jenis yang banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga peluang pengembangan kayu kampung bisa disesuaikan dengan permintaan pasar di satu sisi, dan memperhatikan kondisi jenis endemik yang mudah tumbuh di daerah tertentu. Kayu-kayu unggulan yang bisa dibudidayakan di kampung seperti Seuntang, Bayur, Manee, dan lain-lain perlu terus didorong untuk dibudidayakan oleh masyarakat kampung. Demikian halnya untuk kayu-kayu cepat tumbuh yang bagus untuk produk tertentu seperti sengon juga bisa dibudidayakan di daerah-daerah tertentu. Hasil survey memperlihatkan bahwa komoditas unggulan yang banyak dimanfaat oleh masyarakat di setiap kabupaten berbeda-beda. Pemerintah dan semua pihak perlu mendorong masyarakat di Aceh untuk membudidayakan jenis-jenis unggulan seperti yang diperoleh dari hasil survey ini. Untuk hasil hutan non kayu, komoditas unggulan yang terlihat dari hasil survey ini juga sangat beragam dan berbeda untuk masing-masing kabupaten. Rotan adalah komoditas unggulan yang dibudidayakan dan dimanfaatkan di hampir semua kabupaten di Aceh. Namun demikian, pengembangan komoditas unggulan dari hasil hutan non kayu belum dikelola secara bagus. Budidaya HHNK masih dilakukan secara tradisional atau membiarkannya hidup bebas di hutan alam. Dengan kata lain, hasil hutan non kayu di Aceh belum dikelola secara profesional dan menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Pengelolaan HHNK sebetulnya bukan saja di level produksi bahan mentah berupa produk yang dihasilkan langsung dari hutan, tetapi bagaimana proses selanjutnya, yakni pengolahan menjadi barang jadi yang bisa dijual kepada konsumen. Misalnya rotan harus diolah menjadi berbagai peralatan perabot dan sebagainya yang akan meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat.

b. Hasil hutan non kayu Hal yang sama juga bisa dilihat dari pengembangan hasil hutan non kayu. Kebijakan pemerintah sangat berpengaruh pada kegiatan pengembangan hasil hutan non kayu di Aceh. Inisiatif masyarakat dalam pengembangan HHNK ini sebetulnya sudah berkembang, namun masih terbatas pada jenis-jenis HHNK yang sudah biasa dikembangkan masyarakat dan belum dikelola secara profesional. Hasil survey memperlihatkan bagaimana sangat sedikit jenis-jenis HHNK yang dikembangkan masyarakat di Aceh. Karena itu, dorongan dan dukungan kebijakan dan program pemerintah akan memicu kegairahan masyarakat dalam mengembangkan HHNK, dan pasar juga akan bergairah dalam membeli berbagap produk HHNK masyarakat.

c) Peluang Pengembangan Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di Aceh Peluang pengembangan kayu kampung dan hasil hutan non kayu di Aceh masih sangat besar, mengingat banyak kondisi yang mendukung proses pengembangan tersebut. Kebutuhan kayu sampai kapanpun tidak akan berhenti dan ada kecenderungan selalu meningkat. Demikian juga dengan produk hasil hutan non kayu yang sebelumnya tidak banyak dikembangkan di Aceh karena kondisi konflik yang berkepanjangan. Saat ini berbagai kondisi sudah mendukung pengembangan ekonomi rakyat melalui budidaya kayu kampung dan HHNK. Beberapa peluang yang mendukung pengembangan kayu kampung dan HHNK di Aceh adalah sebagai berikut:

1. Peluang Pasar Peluang pasar terhadap kayu-kayu kampung dan hasil hutan non kayu masih sangat besar, baik pasar lokal maupun pasar manca negara. Untuk kayu-kayu kampung umumnya terserap habis di pasar lokal. Sementara hasil

3. Tersedianya Lahan yang Luas Di Aceh, lahan hutan dan lahan milik masih sangat luas dibanding dengan jumlah penduduknya. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata di Aceh masih rendah, sehingga ketersediaan lahan untuk membudidayakan

kayu kampung dan hasil hutan non kayu masing sangat luas. Masyarakat pedesaan di Aceh rata-rata mempunyai pekarangan dan kebun yang luas yang bisa ditanami dengan kayu-kayu kampung. Sementara budidaya hasil hutan non kayu juga bisa dilakukan di hutan-hutan negara dan lahan milik. 4. Tersedianya Tenaga Kerja Lokal Yang Cukup Sebetulnya, masyarakat kampung mengembangkan kayukayu kampung dan hasil hutan non kayu secara swadaya, yakni dilakukan sendiri dengan menggunakan tenaga kerja domestik (keluarga). Pengelolaan hutan oleh masyarakat kampung dillakukan berbasis keluarga. Sehingga, seluruh anggota keluarga dewasa bisa dijadikan sebagai tenaga kerja lokal yang potensial dalam pengembangan kayukayu kampung dan hasil hutan non kayu. Penggunaan tenaga kerja berbasis keluarga juga akan mengurangi biaya produksi dalam pengembangan kayu kampung dan HHNK.

b) Aceh Tengah Saat ini kearifan lokal telah mulai pudar. Kepala Adat bersinggungan dengan kewenangan. Hal ini berkaitan dengan UU No. 5 tahun 1974 (walaupun UU ini telah tidak terpakai lagi) mengenai Desa yang masih berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Aceh Tengah. Jika mengacu pada UU No. 5 tahun 1974 tersebut, pengaruh Ketua Adat mulai terkikis dengan sendirinya karena fungsi tersebut beralih kepada Kepala Desa yang lebih berwenang pada urusan pemerintahan. Contoh peraturan dari Kepala Kampung adalah kayu boleh diambil dari kawasan dengan pohon yang telah rebah dan dimanfaatkan hanya untuk kayu bakar, rumah dan tidak untuk komersil. c) Gayo Lues Hukum adat masih ada di kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, penerapan hukum adat di dareah ini tidak begitu maksimal terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan. Bentuk struktur masyarakat yang telah heterogen membuat penerapatan hukum adat itu sendiri pada pemanfaatan hutan tidak begitu berjalan dengan baik. Salah satu kearifan tradisional yang berhubungan dengan pemanfaatan kayu adalah pelaksanaan Kenduri yang dilakukan sebelum ada pengambilan kayu dari hutan. Kenduri dilakukan dengan pawang hutan. Pawang hutan adalah orang yang memberikan kewenangan yang boleh masuk ke hutan. d) Aceh Tenggara Lain halnya dengan beberapa kabupaten lain yang pada umumnya kelembagaan masyarakat mulai terkikis dengan berkembangnya zaman. Tetapi untuk Aceh Tenggara, kearifan lokal masih dimiliki oleh 7 Desa. Sudah ada peraturan desa tentang pelarangan penangkapan ikan dengan bahan peledak, racun, listrik dari baterry (nyetrom). Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ikan sepanjang tahun. Aturan lain yang berlaku adalah dilarangnya untuk menebang pohon di tempat-tempat yang terdapat sumber mata air. Salah satu desa yang menerapkan ini adalah Desa Leunbang Indah, dimana para pelanggar dikenakan sangsinya. Sayangnya, banyak aturan-aturan tersebut tidak direkam atau didokumentasikan dengan baik, sehingga hanya orang-orang tua saja yang masih mengetahui aturanaturan tersebut. Pranata kelembagaan adat hampir tidak ada, tetapi kelembagaan desa efektif bekerja sesuai fungsinya yaitu mengatur kewenangan terhadap pemerintahan desa. Istilah untuk Pawang lebih digunakan untuk seseorang yang mampu menaklukan Hewan. Tetapi untuk hutan lebih digunakan sebagai pengulutan (orang pintar tentang hutan).

5. Dukungan Pemerintah Kebijakan moratorium logging adalah sebuah dukungan kebijakan dalam rangka memperbaiki sistem pengelolaan hutan Aceh yang rusak akibat kesalahan kebijakan masa lalu. Kebijakan moratorium logging juga membuka peluang bagi penggunaan kayu kampung dan hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh. Ketika kayu-kayu hutan melalui berbagai perizinan dilarang, maka kayu-kayu kampung adalah jenis kayu yang diizinkan penggunaannya. Disamping itu, pengembangan hasil hutan non kayu sudah mendapat dukungan kebijakan dari Pemerintah Aceh, termasuk kabupaten/kota di Aceh. Kabupaten Pidie misalnya, sudah mengalokasikan anggaran sekitar 3 miliar rupiah pada tahun 2008 untuk pengembangan industri rotan.

5.2 Kelembagaan dan Kearifan Lokal 1. Hasil Survey Berdasarkan hasil survey dan interview yang dilakukan pada 17 kabupaten, ternyata hanya didapatkan 10 kabupaten yang memberikan tanggapan terhadap kelembagaan dan kearifan lokal. Hasilnya adalah sebagai berikut: a) Bener Meriah Survey dilakukan dari rumah ke rumah. Survey dilakukan pada masyarakat yang ada di perkebunan (karena sebagian besar adalah petani kopi). Di daerah ini struktur sosial kemasyarakatan sudah plural atau dengan kata lain majemuk dengan keanekaragaman suku dan agama. Kemajemukan ini membuat semakin tipisnya kelembagaan adat Aceh pada daerah tersebut, terutama urusan adat terhadap pengelolaan hutan.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

55

56

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

e) Aceh Besar Di daerah Aceh Besar kearifan lokal masih tetap berlaku. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kayu-kayu yang sifatnya banyak fungsinya bagi masyarakat dilarang untuk ditebang. Khusus untuk penanaman lada, maka dilakukan di luar kawasan hutan. Adanya larangan penebangan di sekitar sungai. Kebun-kebun durian diberi tanda dengan beton. Masyarakat yg masuk ke hutan harus memliki ijin dari hulubalang. Masyarakat yang ingin buka ladang, selama 5 tahun tidak ditanam tanaman kayu keras, ladang akan kembali diserahkan ke desa. Dalam kawasan berlaku hukum kehutanan, di luar kawasan berlaku hukum adat.

maupun di luar kawasan adalah dianggap sebagai hutan kampung. Namun pada beberapa areal yang tidak mempunyai potensi kayu, maka pada umumnya tidak diklaim sebagai hutan kampung oleh masyarakat. Kearifan lokal secara tertulis tidak ada. Hanya pada umumnya apabila ada pembukaan hutan di suatu desa, jika dalam 5 tahun tidak digarap, maka lahan dikembalikan kepada Desa. i) Aceh Barat Kearifan lokal tidak ada. Struktur kelembagaan untuk pengelolaan hutan secara sendiri-sendiri untuk kepentingan sendiri misalnya untuk gubuk atau rumah.

7.

Masyarakat di Aceh Besar memahami terhadap manfaat dari kearifan lokal, terutama terhadap ketersediaan air. Pengalaman yang dialami masyarakat yaitu dulu air tidak pernah kering, tapi sekarang sudah mulai kering. f) Aceh Timur Di daerah Aceh Tmur, masyarakat memiliki kebiasaan dalam pemanfaatan kayu arang. Sambil menunggu panen tambak, masyarakat mengambil kayu bakau. Kemudian direndam selama 2 minggu agar kulit terlupas. Setelah itu dijual kepada dapur arang. Kearifan lokal dalam hal melestarikan hutan yang ada hampir tidak ada lagi. Yang ada hanya kekuasan. Siapa yang berkuasa, itu yang bisa menentukan pemanfaatan sumber daya hutan. Penduduk hanya pekerja, walaupun ada sebagai pemodal, tapi sangat sedikit sekali. Kearifan lokal lebih pada budaya atau adat istiadat dan bukan kepada pengelolaan hutan. Kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk menebang daripada mengikuti kearifan lokal. Kebiasaan yang sering terjadi adalah masyarakat selalu melakukan penebangan kayu di dalam hutan pada saat menunggu getah karet matang (4 tahun). Kegiatan ini berulang dengan bertambahnya anggota keluarga. g) Aceh Tamiang Kearifan lokal yang sifatnya berhubungan langsung dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan hampir nyaris tidak ada. Adat istiadat lebih banyak dikaitankan dengan budaya dan agama. Pawang oetan hanya berfungsi untuk menjaga hutan. Untuk daerah Aceh Barat, Gayo Leso, Bener Meriah pawang oetan atau disebut penghulu oetan berfungsi sebagai pembagi hutan. Tetapi mengenai bagaimana mengelola hutan itu sendiri dari masyarakat sebenarnya tidak ada. h) Simelue Penetapan hutan gampong belum ada, walaupun begitu masyarakat selalu klaim bahwa baik dalam kawasan
1

2. Melihat Lebih Jauh Kelembagaan Masyarakat Aceh Berdasarkan dari hasil survey yang telah dilakukan, maka dalam bagian ini penulis mencoba untuk melihat lebih jauh peran kelembagaan masyarakat Aceh. Hasil tulisan ini merupakan kutipan dari sumbangan pemikiran dari H. Taqwadin1 dari Universitas Syiahkuala yang telah menekuni mengenai kelembagaan dan hukum adat di Aceh. Kutipan tulisan tersebut adalah sebagai berikut: Masyarakat Aceh tempoe doeloe, paling tidak sejak masa kejayaan Sultan Iskandar Muda telah membuktikan keberadaan system manajemen pengelolaan kehidupan masyarakatnya (pemerintahan) yang ekselen (excelent). Sekalipun kalau ditilik dari perspektif waktu, bisa dikatakan sudah sangat lama, tetapi system pemerintahan masyarakat Aceh pada waktu itu dapat dikatakan masuk dalam kategori modern. Adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas diantara para fungsionarisnya merupakan salah satu indikasi dan ciri dari telah modernnya system pengelolaan pemerintahan Aceh masa lalu. Hal ini sebagaimana tergambar jelas dalam arti: 1. 2. 3. 4. Adat Bak Poe Temeuroehom (raja/pemerintah) Hukum Bak Syiah Kuala (ulama) Qanun Bak Putro Phang (perempuan) Reusam Bak Lakseumana (tentara).

Empat tokoh di atas, (Poe Temeuroehom, Syiah Kuala, Putro Phang, Lakseumana) adalah figur-figur utama dengan fungsinya masing-masing yang mengelola kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan Aceh masa lalu. Sebagai catatan tambahan, dapat pula ditengarai bahwa adanya keterlibatan peran Putro Phang sebagai simbol perempuan -- dalam proses penyusunan qanun (peraturan perundang-undangan) menunjukkan bahwa masyarakat Aceh doeloe pun telah menyediakan porsi tertentu bagi kaum perempuan untuk berkiprah di dalam

Disadur dan dikutip dari makalah Manajemen Kepemimpinan Lembaga Adat Uteun di Aceh, oleh H. Taqwaddin, SH, SE, MS, CD. Makalah tersebut disampaikan pada Pelatihan Sumber Daya Manusia dan Simulasi Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, Lembaga Hukum Adat Uteun di Kabupaten Aceh Barat, Dilaksanakan oleh BRR Ar Rijal Institute, Meulaboh, 26-29 Nopember 2007 dan 10-11 Desember 2007

masyarakatnya. Sehingga sesungguhnya, apa yang akhirakhir ini gencar diintrodusir oleh kalangan luar tentang issu kesetaraan gender dan porsi persentase peran perempuan dalam ranah public, sebenarnya bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh. Selanjutnya, pada level pemerintahan yang lebih rendah pun terdapat pembagian kekuasaan yang jelas dan saling melengkapi. Pada wilayah kemukiman dikenal adanya tiga figure utama yang menjalankan roda pemerintahan, yaitu Imum Mukim, Imum Mesjid, dan Tuha Lapan. Demikian pula pada tingkat gampong dikenal adanya tiga tokoh sentral, yaitu keuchiek, imum meunasah, dan tuha peut. Patut juga dipertanyakan mengapa angka empat dan delapan, bukan angka lima atau angka sembilan, yang dijadikan acuan simbolik lembaga musyawarah tuha peut dan tuha lapan dalam demokratisasi level gampong ataupun mukim. Angka empat dan angka delapan tersebut mengacu pada arah mata angin. Angka empat dalam terminology Tuha Peut didasarkan pada empat arah mata angin, yaitu barat, timu, tunong, dan baroeh. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat masih kecilnya wilayah area sebuah gampong, sehingga dianggap cukup akomodatif jika representasi anggota tuha peut berasal dari empat sudut (sago/jurong). Sedangkan pada level mukim yang memiliki wilayah yang lebih luas dan menghimpun beberapa gampong, dirasa tak cukup memadai lagi kalau anggota lembaga musyawarahnya hanya diwakili berasal dari empat sudut (sago) mata angin saja sebagaimana di gampong, tetapi memerlukan dua kali lipat daripadanya, yang hal ini juga sesuai dengan delapan arah mata angin, yaitu barat, timur, utara, selatan, tenggara, timur laut, barat daya, dan barat laut. Merujuk pada arah mata angin itulah, maka anggota lembaga musyawarah gampong dan mukim berasal. Mulanya, dari segi kuantitas keanggotaan, hal ini dapat dimaklumi. Namun kemudian, dari sisi kualitas personal lembaga musyawarah gampong dan mukim (tuha peut dan tuha lapan) menuntut adanya proporsional kapasitas diantara para anggotanya. Sehingga pertimbangan keterwakilan menjadi tidak saja mengacu pada sago-sago sesuai dengan arah mata angin atau jurong, tetapi juga perimbangan berdasarkan kapasitas personal. Bahkan akhir-akhir ini pertimbangan kapasitas personal malah lebih menjadi pertimbangan keterwakilan. Sehingga Tuha Peut sekarang tidak lagi mewakili sago atau jurong, tetapi mewakili unsure-unsur: tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan cerdik pandai. Berdasarkan gambaran sederhana di atas, maka dapatlah dipahami dan dijadikan bukti bahwa system pemerintahan adat masyarakat Aceh masa lalu telah bersifat federalistik. System pemerintahan federalisme ala Aceh tempoe doeloe lebih memberikan kepercayaan,

kewenangan dan otonomi yang luas kepada para fungsionaris yang membawahi suatu daerah tertentu (juroeng) atau suatu urusan tertentu (peutua adat). Kepemimpinan Lembaga Adat Uteun di Aceh Dalam masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga adat, yang masing-masingnya berfungsi sektoral mengurusi urusan tertentu. Lembaga-lembaga dimaksud telah eksis, diakui dan dipatuhi oleh masyarakatnya sejak dahulu. Bahkan sekarang, dengan diundangkannya Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, yang selanjutnya diundangkan pula Qanun 4/2003 tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong, sehingga keberadaan lembaga adat tersebut semakin mendapat pengukuhannya. Adapaun lembaga-lembaga adat dimaksud, dan yang masing-masingnya dipimpin oleh tokok-tokoh yang cakap dibidang tertentu, yang ditunjuk oleh Imum Mukim dan/ atau dengan kesepakatan anggota komunitasnya, yaitu : Tabel 5.1 Lembaga Adat Di Provinsi NAD No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lembaga Adat Adat Pemerintahan Mukim Hal Meu Ibadah Di Kemukiman Adat Musyawarah Mukim Adat Pemerintahan Gampong Hal Meu Ibadah Di Gampong Adat Musyawarah Gampong Adat Uteun/Glee Adat Sinebok Adat Blang Adat Laot Adat Peukan Adat Meuikat Jalo/Boot Pimpinan Imum Mukim Imum Meusjid Tuha Lapan Geusyik Imum Meunasah Tuha Peut Panglima Uteun/ Kejruen Glee Peutua Sineubok Kejruen Blang Panglima Laot Haria Peukan Syahbanda

Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu : 1. Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong. Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman. Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin

2.

3.

4.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

57

58

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. 5. Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong. 6. Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. 7. Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan. 8. Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot. 9. Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan. 10. Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar. 11. Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. 12. Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.

2. 3.

4.

5.

orang, tempat anak negeri mengambil hasil hutan. Uteun (Bhs Gayo : Uten) adalah hutan-hutan tertentu dan pada umumnya telah diberi nama. Tamah (Bhs Gayo dan Alas : Tamas) yaitu hutan muda pada tanah yang sudah seringkali dikerjakan untuk ladang dan di atasnya telah tumbuh tunas-tunas kayu (taro). Padang yaitu padang yang tidak ditumbuhi oleh kayukayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumputan yang belum seluruhnya digarap, dan biasanya berada di sekeliling lingkungan sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat hewanhewan merumput, atau untuk dijadikan kebun. Paya atau bueng yaitu tanah-tanah paya, ke dalam golongan ini termsuk juga hutan-hutan rawa (suwa) di daerah-daerah pesisir.

Dengan demikian, menurut Hukum Adat Aceh, semua tanah termasuk hutan -- yang berada dalam wilayah sesuatu mukim, selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanah hak ulayat atau hutan adat (tanoh poeteu Allah, hak kullah atau uteun adat). Hutan adat dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat kemukiman. Setiap warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk gampongnya. Sehubungan dengan hal ini, Snouck Hurgronje menuliskan dalam bukunya de Atjehers (1893), yaitu : Barang siapa hendak menggarap rimba ataupun hendak mengumpulkan hasil-hasil hutan (termasuk: berburu dan mencari ikan) adalah bebas seluruhnya. Satu-satunya pembatasan kebebasan tersebut itu ialah jika seseorang hendak membuka ladang, kebun atau sawah yang letaknya berdekatan dengan tanah yang telah digarap orang lain, haruslah ia meminta keizinan kepadanya atau kepala daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh izin itu tidak perlu dibayar apa-apa; hanya saja di masa dahulu dari penghasilan-penghasilan yang dikumpulkan itu harus dibayar cukai biasa (wasee) kepada ulee balang. Dalam beberapa literatur lama, diterangkan beberapa tugas utama yang harus dilakukan oleh panglima uteun atau menurut istilah orang Pidie dinamakan dengan Kejruen Glee, yaitu : 1. Menyelenggarakan adat glee yaitu menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat (meuglee), serta upaya berburu rusa (meurusa). Pawang glee (bawahan Kejruen Glee) memberi nasihat dan petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, mendapat bahaya gangguan dari jin dan binatang-binatang buas. 2. Mengawasi dan menerapkan larangan adat glee, yaitu: dilarang memotong pohon tualang, kemuning,

Tugas dan tanggung jawab Panglima Uteun / Kejruen Glee: Dari segi kepemilikan, orang Aceh membedakan tiga status tanah, yaitu tanoh dro, tanoh gob, dan tanoh poteu Allah. Adanya perbedaan semacam ini menurut van Vollenhoven (hal 195, jilid I, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie) mungkin sekali disebabkan oleh kuatnya pengaruh agama Islam. Sehingga selain tanah milik orang yaitu tanah yang telah dikerjakan atau digarap oleh orang lain, maka semuanya adalah tanah milik Allah (tanoh Poteu Allah, tanoh Hak Kullah). Kelompok tanah poteu Allah inilah yang oleh masyarakat adat diklaim sebagai hak ulayat. Yang salah satu wilayahnya adalah uteun adat. Dalam kelompok tanah yang belum dikerjakan ini, oleh Jacobe dalam kepustakaan De Atjehers (Het Familie-enkampoengleven op Groot Atjeh) termasuk : 1. Rimba (Bhs Gayo dan Alas : Rimbe) yaitu hutan belantara di pedalaman yang belum diusahakan

keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasilhasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja. Tanda larangan orang banyak. Dilarang memotong sebatang kayu dala rimba/hutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda (kode) bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. 3. Memungut wasee glee. Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri (dijual), damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk radja (negara). Menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan (musapat), kejruen terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan.

keberadaan hak ulayat atas tanah, hutan, pantai, sungai, alur, dan lain-lain, yang antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai nama yang berbeda-beda. Masalahnya, keberadaan fakta (de facto) saja tidak cukup, tetapi harus pula disertai dengan pengakuan secara hukum (de jure). Jadi harus ada aturan hukum yang menegaskan bahwa hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat tersebut memang senyatanya telah diakui. Pengakuan hukum tersebut dapat tertera dalam Qanun Provinsi atau Qanun Kabupaten atau pada peraturan yang lebih rendah. Sehingga dengan adanya pengakuan juridis ini akan menjadi jelas apa, dimana, berapa luas, dan berbatasan dengan apa wilayah hutan adat hak ulayat masyarakat gampong atau mukim. Malah sebaiknya, setiap kabupaten di Aceh memiliki peta hak ulayat atau hutan adat masyarakatnya. Pengakuan de jure ini menjadi makin penting, yaitu, misalnya, manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat. Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor. Di Aceh, pengakuan de jure tentang keberadaan Mukim dan Gampong sebagai masyarakat hukum adat telah mendapat penegasan juridis dengan telah diundangkannya qanun tentang hal ini beberapa tahun lalu (Qanun Aceh 4/2003 dan 5/2003). Sehingga, alasan pengaturan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat dalam hal pemberian izin HGU kepada para investor perkebunan, HTI atau yang lain-lainnya, dengan tanpa mempertimbangkan eksistensi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Aceh tidak boleh lagi terjadi. Idealnya, dalam Qanun Perkebunan atau Qanun Kehutanan yang akan datang mesti ditegaskan perlunya mempertimbangkan keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat terhadap tanah, sungai, alur, bukit, hutan, dan lain sebagainya sebelum izin prinsip dikeluarkan oleh pemerintah. Karenanya, saran atau rekomendasi dari Imum Mukim dan panglima uteun sebagai pimpinan masyarakat adat sekitar hutan patut didengar dalam proses pengambilan keputusan yang partisipatif. Sehingga dengan sejak dini dilibatkannya peran mukim dan panglima uteun atas nama masyarakat tempatan, maka sebenarnya tak boleh lagi ada perampasan atau kesemena-menaan terhadap hak ulayat gampong atau mukim.

Mekanisme Penyusunan Program Kerja Lembaga Adat Uteun Adalah suatu fakta bahwa eksistensi lembaga adat uteun akhir-akhir ini nyaris tak terdengar, terabai dan tak terpedulikan. Rusaknya hutan, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya bencana banjir di berbagai daerah kabupaten di Aceh merupakan suatu bukti betapa melemahnya atau bahkan menghilangnya peran panglima uteun dalam melakukan pengawasan terhadap hutan adat di sekitarnya. Padahal hukum nasional bidang kehutanan telah memberikan pengakuan yang tersurat jelas terhadap keberadaan hutan adat dan masyarakat hukum adatnya. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU 41/1999 disebutkan bahwa sepanjang kenyataan hutan adat dengan hak ulayatnya masih ada dan diakui keberadaannya, maka selama itu pula negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat. Jadi syaratnya adalah ada fakta, ada pengakuan, dan adanya masyarakat hukum adat. Tentu saja persyaratan ini akan semakin lengkap apabila disertai dengan adanya program kerja lembaga adat uteun. Mencermati catatan-catatan dalam literatur sebelum kemerdekaan, di Aceh telah lama ada dan diakui

5.3 Industri dan Perizinan Kehutanan Berdasarkan hasil survey dan konsultasi dengan masyarakat di 17 kabupaten, hanya masyarakat yang berada di 12 kabupaten yang memberikan informasi mengenai industri dan perizinan kehutanan yang berlaku di daerah setempat. Hasil tersebut adalah sebagai berikut:

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

59

60

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

a) Bener Meriah Di kabupaten ini masyarakat mengemukakan bahwa ada sekitar 12 meja bandsaw yang dimiliki oleh Perusahaan PT. Tusam Hutan Lestari, tetapi yang akitf hanya 5 bandsaw. Jeni pohon Pinus masih dianggap oleh masyarakat telah tumbuh dan besar sebelum masyarakat menempati daerah tersebut sehingga masyarakat meminta agar pinus dimasukan sebagai kayu gampong. b) Aceh Tengah Di daerah kabupaten Aceh Tengah, terutama di delapan (8) kampung yang dikunjungi selama kegiatan survey, diperoleh beberapa peraturan mengenai pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung. Diantaranya adalah sebagai berikut: Kayu boleh diambil dari kawasan dengan pohon yang telah rebah dan dimanfaatkan hanya untuk kayu bakar, rumah dan kayu tersebut tidak untuk dijual komersil. Dari 78 responden yang diwawancarai menyatakan bahwa masyarakat tidak begitu mengetahui kebijakankebijakan kehutanan dari Propinsi. Masyarakat dari Kabupaten Aceh Tengah mengusulkan agar Pinus dapat menjadi daftar kayu kampung. c) Gayo Lues DI kabupaten ini yaitu Gayo Lues, masyarakatnya lebih menyukai kayu-kayu pinus untuk dimanfaatkan baik untuk bangunan rumah, mebel, maupun bahan-bahan rumah tangga lainnya. Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa adalah sebagai berikut: 1. 2. Sedangkan kayu alam misalnya meranti dari hutan rimba tidak perlu pakai ijin dari Kepala Desa. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh Kepada Desa adalah Pinus untuk pembuatan rumah diijinkan untuk dimanfaatkan, akan tetapi penggunaan pinus tersebut hanya untuk 1 rumah.

e) Aceh Besar Di kabupaten Aceh Besar, ijin pemanfaatan kayu diberikan oleh para hulu balang dan kehutanan yang diberikan kepada areal di luar kawasan hutan. Jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan adalah Bayur, Batung, dan Laban. Masyarakat di Kabupaten ini masih memerlukan informasi terhadap pemakaian Dokumen SKAU. Diharapkan sosialisasi terhadap pemakaian SKAU ini secepatnya dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi NAD. Masyarakat pada umumnya mengambil kayu dari pasar (tidak jelas asal usulnya). Apabila kayu yang diambil dari hutan, maka hanya jenis-jenis yang bagus saja untuk dipergunakan sendiri. f) Aceh Timur Di kabupaten ini pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan karet lumayan luas. Kegiatan pembalakan liar semakin turun dengan beralihnya profesi masyarakat menjadi petani karet. Menurut masyarakat setempat bahwa produksi karet mampu mencapai 700,000 rupiah per minggu. Permasalahan yang muncul di masyarakat adalah bahwa tanpa disadari banyak areal perkebunan karet tersebut telah masuk ke dalam daerah kawasan hutan. Sehingga diperlukan tata ulang lahan terhadap perkebunan karet tersebut apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak. g) Aceh Tamiang Menurut hasil survey di kabupaten Aceh Tamiang, ternyata ditemukan tidak ada industri kehutanan. Masyarakat lebih menyukai terhadap pengumpulan kayu meku yang biasa ditanam setahun sekali. Harga mug susu getahnya 30,000 rupiah. Para pengumpul untuk getah pohon muke ini berasal dari Medan. Produksinya antara April May. Rantau Bintang, Pantai Jeumpa tempat produksi Kayu dan Getah Meku. h) Aceh Singkil Dikabupaten ini, pemakaian dokumen SKAU telah berlaku untuk jenis kayu Durian. Jenis-jenis kayu yang terhadap di Kabupaten ini adala Durian (Dominan), Peti, Karet, Jengkol,dan Terap. Ada kebijakan bupati yang mengeluarkan penerbitan SKAU walaupun format SKAU sebenarnya dibuat oleh Departemen Kehutanan. Hasil dari Produksi karet bisa mencapai 700,000 1,400,000 per minggu. Sawit bisa memperoleh 1 juta per ha. i) Simelue Sistem pemanfaatan hutan menggunakan landasan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kabupaten di Simuelu. Perijinan-perijinan tersebut berlandaskan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 (walaupun sebenarnya PP 34/2002 ini sudah tidak berlaku lagi, note dari Penulis). Kebijakan lain yang dikeluarkan

d) Aceh Tenggara Ijin pemanfaatan hutan secara khusus tidak ada. Hal ini dikarenakan daerah kabupaten Aceh Tenggara berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Luesuer (TNGL). Dengan demikian masyarakat tidak boleh menebang kayu di dalam TNGL. Selama ini masyarakat hanya memanfaatkan kayu yang berasal di sekitar masyarakat sendiri. Masyarakat masih bingung mana batasan antara kawasan TNGL dengan wilayah masyarakat. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa kalau kawasan tersebut tidak ada petugasnya berarti wilayah tersebut masih dianggap di luar kawasan TNGL. Di daerah Aceh Tenggara terhadap Ijin yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) di Gajah Mati dari progam Dinas Kehutanan Propinsi (P2TSP).

oleh Bupati dan telah diterapkan di Simelue adalah ijin pemanfaatakan kayu sebanyak 5 m3 per individu. Kayu-kayu yang ditebang di daerah ini sebagian besar untuk bangunan rumah dan bangunan sosial. Sebelum moratorium logging, kayu-kayu dikirim ke Sumatra dan Jawa. j). Aceh Barat Pada umumnya masyarakat memiliki lahan sendiri dengan pembuktian surat keterangan dari desa (hanya untuk 1 2 ha). Warga meminta ijin ke kepala desa untuk buka hutan dalam kawasan, kemudian lahan tersebut digarap warga dan selanjutnya menjadi milik warga. Industri ada 8 buah dalam skala kecil (sungai mas) untuk pembuatan perabot dan kusen (1 3 orang dalam keluarga). Di daerah ini juga ada ijin IPKTM yang luasnya untuk 25 ha dengan target produksi sebesar 500 m3. k) Aceh Jaya Semua jenis kayu yang berasal dari hak milik digunakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar (bak Mani). Kayu

yang diambil hanya sedikit untuk lamno, sebagian besar dijual untuk keperluan luar (Aceh Besar). Kecamatan Tenom, ada juga pengambilan kayu tapi tidak dibawa ke Aceh karena jembatan patah dan penggunungan. Dari Lamno ke Aceh Jaya, ada juga kegiatan pengambilan kayu, tetapi dengan adanya porgram Polhut, kegiatan pengambilan kayu tersebut drastis berkurang. Sertifikat hak milik lahan pada umunya menurut masyarakat tidak punya, hanya dalam bentuk ahli waris. Akte terhadap lahan tersebut pun tidak ada, karena masyarakat percaya bahwa lahan dan hutan tersebut merupakan peninggalan turun menurun. l) Nagan Raya Di kabupaten ini, pada umumnya masyarakat mengambil kayu tanpa ada hubungannya dengan kearifan lokal. Pengambilan kayu tersebut hanya berdasarkan kepada aturan hukum berlaku. Ijin pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan tidak ada ijin resmi. Masyarakat ngambil dari dalam kawasan dan di luar kawasan. Peraturan dari Gampong yang menyangkut pemanfaatan hutan tidak ada. Di lain pihak, peraturan yang dituruti hanya dari kepala Gampong yaitu tentang pasir dan batu. Beberapa

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

61

6 KESIMPULAN
Ijin yang ada di Kabupaten ini adalah: Ijin IPK (Sawit 1000 ha bantuan ADB) ada 2 untuk Cok Mei. Gunung Kong ada program dari Gubernur (2002) untuk pelestarian hutan. 6.1 Identikasi Kayu Kampung Data jenis kayu kampung diperoleh berdasarkan hasil questioner yang disampaikan. Berikut adalah gambaran tentang kayu kampung di Provinsi NAD: 1. Pada umumnya masyarakat menyatakan memiliki jenis kayu kampung, dan sebagian besar menyatakan memanfaatkan kayu tersebut untuk kebutuhan sendiri, kecuali kabupaten Aceh Singkil, Aceh Barat Daya dan Bireun yang memberikan pernyataan bahwa untuk dijual persentasinya lebih tinggi. Hasil kayu kampung tersebut dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar, perabot, perahu dan lainnya. Pada umumnya responden menjawab bahwa pemanfaatan kayu kampung tersebut yang utama adalah untuk bahan bangunan, kecuali Kabupaten Aceh Barat, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah dan Aceh Besar menyatakan lebih banyak pemakaian untuk kayu bakar. Jenis kayu kampung/ kayu rakyat yang terdata berdasarkan hasil survey ada 129 jenis, akan tetapi masih perlu konfirmasi ulang karena bisa terjadi untuk kayu yang sama memiliki nama yang berbeda antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya. Setelah melakukan konsultasi dengan Dinas Kehutanan Propinsi NAD, diperoleh 74 jenis kayu rakyat. Secara lengkap nama lokal kayu kampung dapat dibaca pada lampiran 2. Beberapa jenis secara umum adalah termasuk pada golongan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, dan kemiri. Sedangkan sebagian lainnya termasuk jenis tanaman buah-buahan seperti mangga, rambutan, nangka, kuini dan lain-lain. Terdapat perbedaan antara daerah pantai Utara Timur dan pantai Barat - Selatan, sebagai contoh di Timur sebagian besar ditemukan kayu sentang yang sudah biasa dibudidayakan masyarakat sejak dahulu. Adapun di Barat, terdapat pohon pala yang khas dan dapat di jumpai mulai dari Nagan Raya sampai ke Aceh Selatan. Bahkan pala termasuk komoditi yang pernah dikatagorikan sebagai green product, karena banyak ditemukan disepanjang bufferzone Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk daerah tengah terutama kabupaten Aceh Tenggara terdapat jenis kemiri, yang sudah lama dibudidayakan masyarakat. Ada jenis-jenis yang sudah biasa ditemukan pada lahan masyarakat, karena sudah dibudidayakan seperti: pinus, durian, meranti, kayu manis 6.2 Kepemilikan tanah 1. Pada umumnya masyarakat (> 82 %) menyatakan memiliki tanah milik, kecuali Kabupaten Aceh Jaya yang menjawab tidak memiliki tanah 80 % dan yang memiliki tanah hanya 17 % dari responden sebanyak 59 orang. Sebagian besar responden menjawab memiliki tanah seluas 2 10 ha /kk, akan tetapi di Kabupatren Nagan Raya 55 % responden menyatakan memiliki tanah seluas 10 50 ha. Sedangkan Kabupaten Aceh Timur menyatakan 75 % menjawab hanya memiliki tanah < 2 ha luasnya, dan kabupaten Aceh Tamiang menyatakan 66 % luas tanah yang dimiliki dalah < 2 ha dan Kabupaten Aceh Tengah 89 %.Aceh Besar45 %, Kabupaten aceh Barat 56 %. Sebagian besar responden menjawab bahwa kepemilikan tanah belum terdaftar. 2.

2.

3.

3.

6.3 Hasil Hutan Bukan Kayu 1. Potensi hasil hutan lainnya yang telah banyak di manfaatkan oleh masyarakat adalah hasil hutan non kayu sebanyak 31 jenis yang berbeda antara kawasan pesisir dan upland. Data ini masih sangat mentah, artinya belum juga diketahui potensinya karena data diperoleh berdasarkan informasi masyarakat. Dari jenis yang disampaikan sebagian adalah tanaman budidaya seperti kunyit, lengkuas, sere, kencur dll. Yang umum ditemukan pada setiap kabupaten adalah rotan, hanya jenis rotannya tentu berbeda antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya. Untuk jenis rotan juga belum terdata. Sebagian hasil hutan non kayu yang dimaksud adalah merupakan tanaman perkebunan seperti karet, sawit, pinang dan tanaman buah-buahan. Di daerah up land ditemukan gula aren dan ijuk sebagai hasil dari pohon aren. Namun belum ada upaya pemanfaatan secara maksimal terutama hasilnya masih diolah secara sederhana. Belum ada industri yang memproduksi, misalnya untuk buah pohon aren yang disebut kolang kaling. Padahal ditempat lain sudah ada upaya pengalengan sehingga dapat merupakan sumber mata pencaharian yang tetap bagi masyarakat. Pada umumnya banyak hasil hutan non kayu yang termasuk getah-getahan, namun belum terdeteksi berdasarkan data yang ada. Sebagai contoh apakah getah damar, getah pinus (gondorukem), getah meuku dan getah karet. Beberapa jenis hasil hutan non kayu yang spesifik adalah jernang, sige-sige, rebung, jamur, gambir, kayu alim/gaharu.

4.

2. 3.

5.

4.

6.

5.

7.

6.

8.

7.

62

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

8.

Membaca hasil survey diasumsikan bahwa ada hasil hutan non kayu yang berupa rotan, jernang, damar diperoleh dari lahan lainnya (kawasan hutan). Akan tetapi hasil hutan non kayu lainnya seperti nilam, sere wangi, karet, durian ditanam pada lahan milik sebagai lahan pertanian atau perkebunan. Adapun pengolahan hasil hutan non kayu tersebut diolah sendiri dan belum ada perizinan.

7.

6.4 Kelembagaan dan Kearifan Lokal 1. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan pada 17 Kabupaten, ternyata hanya 9 Kabupaten yang memberikan tanggapan terhadap kelembagaan masyarakat dan kearifan lokal. Dari ke-9 kabupaten tersebut, hampir semua masyarakat kabupaten yang menyatakan bahwa kearifan lokal terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan lebih berlaku kepada unsur budaya dan mulai menipis penerapan kearifan tersebut. Hal ini menurut pendapat para masyarakat disebabkan dengan bertambahnya masyarakat dan heterogenitas dalam masyarakat itu sendiri. Walaupun begitu, di daerah kabupaten Aceh Barat dan Aceh Tenggara, kearifan lokal terhadap pemanfaatan hutan masih berlaku sampai sekarang yang kemudian diterjemahkan kepada peraturan-peraturan desa. Dalam masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga adat, yang masing-masingnya berfungsi sektoral mengurusi urusan tertentu. Lembaga-lembaga dimaksud telah eksis, diakui dan dipatuhi oleh masyarakatnya sejak dahulu dan telah diundangkan pada peraturan perundangan di tingkat daerah. Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masingmasing, diantaranya adalah Keuchik atau Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong, kemudian ada Panglima Uteun/Kejruen Glee yang sebagai ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Menurut Hukum Adat Aceh, semua tanah termasuk hutan -- yang berada dalam wilayah sesuatu mukim, selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanah hak ulayat atau hutan adat (tanoh poeteu Allah, hak kullah atau uteun adat). Hutan adat dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat kemukiman. Setiap warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka

8.

2.

ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk gampongnya. Pengakuan de jure terhadap hak ulayat atas tanah ini menjadi makin penting, yaitu, misalnya, manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat. Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor. Di Aceh, pengakuan de jure tentang keberadaan Mukim dan Gampong sebagai masyarakat hukum adat telah mendapat penegasan juridis dengan telah diundangkannya qanun tentang hal ini beberapa tahun lalu (Qanun Aceh 4/2003 dan 5/2003). Sehingga, alasan pengaturan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat dalam hal pemberian izin HGU kepada para investor perkebunan, HTI atau yang lain-lainnya, dengan tanpa mempertimbangkan eksistensi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Aceh tidak boleh lagi terjadi.

3.

6.5 Industri dan Perizinan Kehutanan Berdasarkan dari hasil survey yang dilakukan beberapa kabupaten, ditemukan beberapa hal yang dapat disimpulkan untuk industri dan perizinan kehutanan adalah sebagai berikut: 1. Industri besar hanya terdapat di Bener Meriah dimana industri tersebut adalah milik PT Tusam Hutan Lestari yang dulunya memiliki 12 meja bandsaw sekarang yang aktif hanya 5 meja bandsaw. Industri kecil yang ada hanya untuk keperluan perabot rumah tangga dan kusen yang terletak di Kabupaten Aceh Barat sebanyak 8 buah (sungai mas) Untuk masalah perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu, pada umumnya izin tersebut berasal dari Kepala Desa (dengan menggunakan SKAU dimana dokumen tersebut diterbitkan oleh Bupati) yang terjadi di Aceh Singkil, kemudian ada pula izin 5 m3 per individu berdasarkan PP No. 34 2002 yang diterapkan oleh Kabupaten Simelue. Untuk izin pemanfaatan lahan, masyarakat meminta izin kepada kepala Desa untuk buka lahan, kemudian lahan tersebut di garap warga dan selanjutnya menjadi milik warga (Aceh Barat). Beberapa peraturan pemanfaatan kayu yang telah dikeluarkan oleh Kepala Desa misalnya pemanfaatan kayu pinus hanya diperbolehkan untuk pembuatan hanya satu rumah (Gayo Lues). Di Aceh Tengah, pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung adalah kayu boleh diambil dari kawasan adalah kayu yang berasal dari pohon yang telah rebah dan pemanfaatan tersebut hanya untuk kayu bakar, rumah, dan kayu tersebut tidak untuk dijual secara komersil.

4.

5.

2.

3.

6.

4.

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

63

64

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

LAMPIRAN 1. Daftar Tenaga Ahli/Tim Pakar dan Tenaga Pendukung serta Tenaga Assesor yang Telibat Dalam Kegiatan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Aceh Besar Pidie Biruen Aceh Utara Aceh Timur Aceh Tamiang Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Jumhur, S.Hut Aspriansyah, S.Hut Yusrin, S.Hut Harianti pinem, S.Hut Nyak Is, S.Hut Surya, S.Hut Saiful Rahan, S.Hut Zahardi, S.Hut S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan Nazar Irwansyah, S.Hut S1 Kehutanan Jabatan Tenaga Ahli/ Tim Pakar Ahli Kehutanan/Eselon II Ahli Kehutanan/Eselon III Ahli Kehutanan/Eselon III Ahli Kehutanan Ahli Kehutanan Ahli Konservasi Sumber Daya Alam/Eselon III Ahli daerah Aliran Sungai /Eselon IV Ahli Penataan Ruang Ahli Penataan Ruang Tenaga Pendukung Seketaris Olah Data Operator Komputer Kabupaten/Kota Tenaga Assesor Amrullah, S.Hut Murkom, S.Hut Zaimuddin, S.Hut S1 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Kehutanan Elliana Hasyim SH Nita Sari Tarigan, SP M.Si , Jumadil Akhir, S.Hut, M.Si Nama Personil S2 PWD S2 Kehutanan Pendidikan /Eselon IV Ahli Konservasi Sumberdaya Alam Ir. Husaini Syamaun,MM Ir. T. Iwan Kesuma Ir. Sofyan Ir. Fauzi Harun Yusdinur Usman Drs. Andi Basrul Darmawi, SP Hudaya, S.Hut Ir. Wiratno, M.Sc Ir. Syahyadi, M.Sc S2 Kehutanan S1 Kehutanan S1 Sospol S1 Pertanian S1 Kehutanan S2 Kehutanan S2 Perikanan S2 Mnajemen S1 Pertanian Nama Personil Pendidikan

LAMPIRAN 2. Jenis Kayu Rakyat Berdasarkan Hasil Survey Pada 17 Kabupaten di NAD
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 Mangga Nangka Pedai Hutan Kelapa Rambutan Durian Bayur Kemiri Kapuk/Randu Jati Bak thu Laban Asam Jawa Angsana Sentang Mancang Ketapang Petai Akasia Bak Klue Nama Komersil Nama Daerah Bak Mamplam Bak Panah Bak Trum/Pulai Bak U Bak Rambot Bak Drien Bak Bayu Bak Kiroe Bak Panjau Bak Jatoe Bak Thu/Teumeru Njau Bak Mane Bak Mee Bak San Bak Sentang Bak Mancang Bak Keutapang Bak Pitee Bak Akasia Bak Langsat Bak Klue Peuenoe Cawardi Sampang Greureufhai Meuleweuk Sentul Bungo Mahoni Peuntoe Damar Culat Kuli Barat Daya Kumbang Meuje Bak Setui Teureup Baru/Barue Bak Muroeng Rubek Bak Sukuon Bak Meuling Nama Botani

Mangiera spp. Artocarpus rufescens Mig Althonia sp. Coconus nucifera spp. Blumedendron tok brai Kurz Durio zibethinus Murr Pterospermum spp. Alverites moluccana Willd Gossampinus malabarica Alst Tectona grandis
Belum teridentifikasi

20 Langsat 22 Kecapi 23 Mindi 24 Sampang 25 Georofhai 26 Meuleweuk Sentul 27 Bungo 28 Mahoni 29 Punto 30 Meranti Merah 31 Medang 32 Weru Gunung 33 Kumbang 34 Menje 35 Medang 36 Tarak/anak 37 ---38 Trembesi 39 Tembusa 40 Sukun 41 Meulinjo

Vitec spp. Tamarindus indica Pterocarpus indicus Willd Azadirachta excelsa Mangifera foetida Laur Terminalia cattapa L. Ulimus spp. Acacia auriculiformis Ailanthus spp.
Belum teridentifikasi

Sandoricum koerjape Melia azedarach Linn Arthocarpus pomiformis T.et.B


Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi

Lagershomia ovaliafolia T.et.B Switenia spp.


Nama Botani belum dilengkapi

Shorea matenalis Ridl Litsea spp. Berrya cordifolia Burr


Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi

Litsea spp. Aphanamixis grandiora BL Hibiscus tiliaceus Bl Samanea saman Merr Fagraea elliptica Roxb Artocarpus spp. Gmentum genimu

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

65

66

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

No 42 Sumiyang 43 Suntung 44 Sengon 45 Pinang 46 Karet

Nama Komersil

Nama Daerah Sumiyang Suntung Sengon Bak Pineung Rambung Bak Cempedak Bak Siku Legian Manuang Bak kaye maneh Bak Packat Kayu Paya Bak Beum Tingkem Kuwel/Kuwal Gete Kayu Batok Temung Jengkol Ara Rendeup Bak Jambe ie Bak Seumeerta Bak Pala Bak Lawang Bak langa Bak Geurendong Meku Bak Luna Bak Limeng Turi

Nama Botani Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi

47 Cempedak/Terap 48 Sawo 49 Bitung 50 Legian 51 Manuang 52 Kayu Manis 53 Alpokat 54 Jambu 55 Mimba 56 Tingkem 57 Kuray 58 Gete 59 Kayu Batok 60 Temung 61 Jengkol 62 Ara 63 Dadap 64 Jambu Air 65 Manggis 66 Pala 67 Cengkeh 68 Selanga 69 Kedondong 70 Meku 71 Sirsak 72 Belimbing 73 Turi 74 Saga

Albizzia chinensis Merr Pentace tripteraMast Havea barsilliensis Muell Artocarpus integrus Merr Manikara spp.
Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Nama Botani belum dilengkapi

Cinnamom burmanii Persea americana Eugenia spp. Azadirachta indica Linn Bischofa gigntea BL Trema orientalis
Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi Belum teridentifikasi

Pithecellobium ellipticum Hassk Ficus spp. Erythrina sp. Eugenia sp. Garcinia spp. Myristica fragans Cinnamomum javanica Eleaeocarpus sp Santiria spp.
Belum teridentifikasi Nama Botani belum dilengkapi Nama Botani belum dilengkapi

Sesbania grandisfora Adenanthera

LAMPIRAN 3. Realisasi Penanaman Kegiatan Aksi Penanaman Serentak Indonesia Serta Gerakan Perempuan Tanam & Pelihara Pohon (GPTPP) Propinsi NAD
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 20.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Langsa Glodokan Tiang Cemara Laut Pulai Mangga Rambutan Tanjung Kenanga Mahoni Meranti 4,000 5,000 1,000 1,000 500 500 2,500 4,000 2,500 21.000 21.000 *) Lokasi Distribusi Bibit Belum adaLaporan Bireuen Kab/ Kota Mahoni Asam Jawa Mindi Trembesi Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg) Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 1.050 1.050 1.050 1.100 1.100 1.000 1.100 1.000 1.000 1.050 950 700 1.100 600 1.000 1.500 1.050 800 700 1050 19.950

10,000 Samalanga 4,000 Simpang Mamplam 1,000 Pandarah 5,000 Jeunib Plimbang Peudada Jeumpa Kuala Kota Juang Juli Peusangan Jangka Peusangan Selatan Yayasan Sukma Polres Bireun Komplek Kompi Peusangan Siblah Krueng Kuta Blang Ganda Pura Makmur

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

67

68

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Kab/ Kota Mahoni Angsana Trembesi

Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 2.000 1.000 500 2.000 1.500 2.000 3.000 2.000 1.000 3.500 1.500 20.000 4.000 1.500 500 2.000 2.000 10.000

5,000 Korem 012 2,500 Kampus UTU 2,500 Komplek Wadah Suci 3,000 Kodim T>Umar 2,500 Polres 1,000 Perkantoran/sekolah 1,000 Meureubo 2,500 Kawai XVI Sama Tiga Ujung Kareung Masyarakat 20.000

Cemara Laut Glodokan Tiang Sawo Mangga Sentang Aceh Barat

Mangga Trembesi Mahoni Tanjung

3,000 PKK 2,000 Persit Korem 4,500 Persit Kodim 500 Bayangkari Dharma Wanita 10.000

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 Bener Meriah *) Lhokseumawe *) Aceh Utara *)

Mahoni Sentang Sengon Cemara Laut Ketapang Asam Jawa Mangga Rambutan Sengon Mahoni Ketapang Cemara Laut Pinus Mahoni Sengon Alpukat Durian Biji

4,500 2,000 2,000 4,000 4,000 3,500 20.000 100 TNI 100 Muara Satu 2,300 Muara Tiga 2,000 Blang Mangat 3,000 Banda Sakti 2,500 10.000 2,000 1. Polres 5,000 2. Batalion 114/SM 3,000 3. Pinturime Gayo 5,000 4. Timang Gajah 5,000 5. Bukit 6. Weh Pesang *) Sisa bibit blm ada laporan 20.000 8.900 4.000 3.000 13,000 7.000 10.000 800 900 4.000 1.000 1.000 1.200 20.000 4.000 1.000 3.000 1.200 800 *) Lokasi Distribusi Bibit Belum ada Laporan

1 2 3 Gayo Lues *)

Mahoni Nangka Jengkol

19,600 Kodim 200 Darma Pertiwi 200 *). Sisa Bibit blm ada Lap. 20.000

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kab/ Kota Mahoni Jati Ketapang Cemara Aceh Jaya *) Tanjung Pala Sengon Pinang Trembesi

Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 4.000 5.000 5.000 1.000 250 250 250 2.000 250 18.000 2.000 2.000 2.000 14.000 **)

12,000 Kodim 014 1,000 KPA Patek 1,000 Desa Bak Paoh 1,000 Polres Persiapan Calang 1,000 Darma Pertiwi 200 Bayang Kari 1,000 Darma Wanita 1,000 Desa Keutapang 1,800 PKK *). Sisa Bibit Belum Ada Lap. 20.000

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Aceh Tenggara *) Aceh Tengah *)

Pinus Filicium Tanjung Glodokan Tiang Mahoni Angsana Mahoni Glodokan Sawo Mangga Asam Kranji Mahoni

5,000 Kantor Bupati 2,000 Kodim 2,000 Polres 2,000 Sisa Bibit 14 Kecamatan 4,000 **) Sisa bibit perlu di Cek 5,000 20.000 7,000 5,000 1,000 5,000 2,000 20.000 20.000 Pasi Raja Tapak Tuan Sama Dua Sawang Meukeki Labuhan Haji Timur Labuhan Haji Barat Labuhan Haji Bakongan TRUE Kluet Selatan Kluet Timur Kluet Tengah Kluet Utara Sisa bibit blm ada Laporan*) 20.000 *) Lokasi Distribusi Bibit Belum ada Laporan

20.000

20.000 3,000 1,200 1,200 300 800 300 300 300 300 800 300 300 300 300 *) 9700

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

69

70

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7

Kab/ Kota Pinang Mahoni Glodokan Ketapang Aceh Besar Jati

Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 300 4.000 3.500 1.000 1.000 *)

2.000 Waduk Keliling 4.500 Kodim 1.000 Polres 2.000 Word Relief 3.500 Islamic Solidaritas Schol 3.000 . Sisa bibit perlu di Cek *) 1.000 2.000 1.000 20.000

Cemara Laut Rambutan Mangga Sawo Glodokan Cemara Laut Trembesi Banda Aceh *) Rambutan Mangga Sawo Asam Jawa Ketapang Mahoni Cemara Laut Ketapang Nagan Raya *) Seumantok

9.800 Blang Oi 9.325

1.500 1.500 2.000 750

2.000 Sisa bibit blm ada laporan*) 500 1.500 250 10.000 6.900 Kec. Beutong 5.550 Kec Seunagan Timur 6.700 Kec. Seunagan 1.750 Kec. Kuala Kec. Makmur Sekolah/perkantoran -Sisa bibit blm ada laporan*) 20.900

*)

9.325 3.250 2.250 1.950 2.300 2.600 1.000 *) 13.350 1.000 3.000 500 125 200 2.100 100 50 *) 7.075 10,000 3.500 1.000 1.000 1.000

1 2 3 4 5 6 7 8 Aceh Timur

Sentang Mahoni

16.750 Kodim 3.250 Dharma Pertiwi Polres Darul Aitem Camat Goa MTsN 28 Rantau Panjang Unsyam Sisa bibit blm ada laporan*) 20.000

1 2 3 4 5 Pidie

Sentang Mahoni Angsana Glodokan Tiang Tanjung

4,500 Kodim 6,500 Polres 500 PKK 1,500 Dharma Wanita 2,000 Bhayangkari

No 6 7 8 9 10

Kab/ Kota Pinang Rambutan Mangga Pidie Trembesi

Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 1.000 4.000 1.000 15.500 1.000

2.000 KNPI 1.000 Kantor dan Sekolah 1.000 Pramuka 1.000 Masyarakat Aisyiah kelebihan bibit dari instansi sendiri 20.000

39.000 2.000 5.000 1.000 1.2000 *) 20.000 2.000 3.000 355 345 205 375 *) 6.280 2.000 4.000 1.000

1 2 3 4 5 Abdya *)

Meudang Jeumpa Jengkol Mangga Cemara Laut

9.000 1. Kapolres 6.450 2. Dandim 1.000 3. Dharma Wanita 3.550 4. 9 Kecamatan *) *) bibit perlu dicek kembali 20.000

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Simeulue Sabang Aceh Tamiang

Tanjung Mahoni Biasa Cemara Laut Cemara Gunung Glodokan Tiang Mangga Rambutan Mahoni Glodokan Sawo Cemara Laut Rambutan Duku Mahoni Biasa Mahoni Besar 14.700 5.300

1.000 Polres 2.900 Kodim 1.600 Komp. Bupati 1.000 POM 2.000 SLTP Kuala Simpang 750 BAPPEDA 2.400 Sisa bibit blm ada laporan*) 11.650 5.500 Kapolres 2.000 Dandim 500 Sekolah/Perkantoran 2.000 1.500 1.000 *) Sisa bibit belum ada laporan 12.500 Dinas badan dan kantor TNI Polri BRI/BPD/BSM PLN Telkom Pendidikan dan kesehatan Kec. S. Timur Kec. S. Tengah Kec. Semelu selatan Kec. S. Barat Kec. S. Dalam Kec. Alafan

*) 7.000 650 1.000 500 150 50 50 300 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

71

72

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

No 14 15 16 17 18

Kab/ Kota

Distribusi Bibit Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007 Dharma Pertiwi Persit 1.000 300 1.000 1.000 *) 18.000

Simeulue

Bhayangkari PKK *) Sisa bibit belum ada laporan 20.000 Pulai Ketapang Mimba 600 600 600 600 600 25 25 3.050 *) Lokasi belum ada laporan

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 1 2 3 4 5 1 2 KODAM IM POLDA NAD (Bhayangkari)

Mahoni Trembesi Mangga Rambutan Mangga Sawo Rambutan Duku Mahoni Glodokan Pinang Mangga Rambutan Angsana Mahoni

3.050

650 650 550 250 1.850 25 25 4.000 4.000 *) Lokasi belum ada laporan 1.300 650 650 1.300 50 50 50 25 25 200 200 *) Lokasi belum ada laporan 300 323.230 200 100 300 384.900 *) Lokasi belum ada laporan *) Lokasi belum ada laporan

LSM Wanita Veteran

LSM Wanita Veteran Mangga Duku Asam Jawa Mahoni Rambutan

LSM Lingka

LAMPIRAN 4. Jadwal Kegiatan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province
Waktu Pelaksanaan Juli IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I Agustus September Oktober November Desember II III IV

No

Kegiatan

Pra Pelaksanan

Penandatanganan Piagam Kerjasama

Koordinasi dengan Instansi Terkait

Rapat/Pertemuan

Penyiapan Chek List dan Tally Sheet

Rekrutment Surveyor

Konsinyasi Awal/Pelatihan

Pembuatan Laporan pendahuluan

Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan Data Lapangan

Surveyor

Tenaga Ahli

Lokakarya gampong

Pembuatan Laporan Antara

Pengelolaan dan Analisa Data

Lokakarya Regional

Penyusunan Laporan Akhir

10

Ekpose/Presentasi Hasil

11

Perbaikan dan Penggadaan Laporan Akhir

Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

73

Anda mungkin juga menyukai