Anda di halaman 1dari 6

Catatan Dari Kongres I Bahasa Madura (1)

Penutur Bahasa Madura, baik yang berdiam di dalam maupun di luar pulau Madura saat ini diperkirakan di atas 10 juta orang. Karena itu pembinaan terhadap Bahasa Madura harus dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan agar bahasa tersebut bisa memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan budaya bangsa. Inilah yang menjadi salah satu landasan pemikiran tokoh dan pemerhati Bahasa Madura menggelar Kongres I Bahasa Madura pada 15 hingga 19 Desember 2008 di Kabupaten Pamekasan. Kongres diikuti 250 peserta tetap, utusan dari empat kabupaten di Madura, serta kabupaten lain di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya juga berbahasa Madura, seperti Situbondo, Bodowoso dan Kabupaten Jember. Menurut Sekretaris Panitia, Halifaturrahman, Kongres I Bahasa Madura yang digelar minggu kedua Desember sebenarnya merupakan rekomendasi dari Kongres Kebudayaan yang digelar di Kabupaten Sumenep, 9 hingga 11 Maret 2007. Semula rekomendasikan Kongres Bahasa agar digelar September. Tapi oleh panitia ditunda dengan alasan berbagai kesibukan. "Tapi pada bulan Oktober kondisi perpolitikan di Madura karena Pilgub Jawa Timur digelar dua kali putaran tidak memungkinkan, maka ditunda pada bulan November hingga akhirnya terealisasi pada bulan Desember ini," katanya. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai pada pelaksanaan Kongres yang bertema "Revitalisasi Pembinaan dan Pelestarian Bahasan dan Sastra Madura", tersebut. Selain untuk melestarikan bahasa dan sastra Madura yang akhir-akhir ini cendrung mulai pudar, juga untuk merumuskan sejumah agenda penting Madura terkait pembangunan di Madura pasca terselesainya jembatan Suramadu, serta perumusan Ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan, berikut penyempurnaan kamus Bahasa Madura. Selama ini, kata Halifaturrahman, memang sudah ada kamus dan tata bahasa yang ditulis oleh perorangan. Tapi sebagian kalangan menganggap belum mewakili keseluruhan kebutuhan warga Madura. Terutama terkait dengan perbedaan dialek, struktur kata dan istilah yang ada di masing-masing daerah. Bupati Pamekasan Drs. Kholilurrahman menyatakan, Bahasa Madura merupakan salah satu dari sembilan bahasa daerah besar di bumi Nusantara ini. Penutur Bahasa Madura diperkirakan diatas 10 juta orang, namun ada yang menyebut 13 juta. "Jumlah yang tidak sedikit. Oleh karenanya pembinaan terhadap Bahasa Madura harus dilakukan. Dalam arti perlu ada upaya pelestarian dan pengembangan agar Bahasa Madura bisa memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan budaya bangsa," katanya. Peneliti dari LIPI, Prof.Dr. Mien A Rifai menyatakan, di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, Bahasa Madura merupakan salah satu bahasa terbesar keempat

setelah Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda dari segi jumlah penuturnya. Tapi perkembangannya dalam dasawarsa terakhir ini memang sangat memprihatinkan. Penyebabnya, kata dia, salah satunya akibat adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang mengharuskan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar dalam bidang pendidikan. "Karena hampir tidak diajarkan lagi sebagaimana mestinya, lama kelamaan Bahasa Madura tidak dikuasai oleh generasi muda Madura. Begitu juga buku dan karya tulis lain dalam Bahasa Madura tidak diterbitkan atau diproduksi lagi secara terprogram sehingga merupakan bahan yang terhitung langka," kata lelaki kelahiran Sumenep 68 tahun lalu itu. Mantan Ketua Badan Pertimbangan Bahasa Depdiknas periode 2002-2007 itu menjelaskan, selain karena kebijakan pemerintah pusat yang mengharuskan para guru mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi menggunakan pengantar Indonesia, sebab lainnya adalah, selama ini sangat jarang bahkan nyaris tidak ada karya ilmiah ataupun buku-buku yang diterjemahkan ke Bahasa Madura. Malu Berbahasa Madura Kongres I Bahasa Madura yang digelar di Pamekasan mulai tanggal 15 hingga 19 Desember 2008, tidak hanya menyusun kamus dan ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan. Lebih dari itu, peserta juga membahas hal-hal lain yang menyebabkan Bahasa Madura cenderung kurang diminati, baik oleh kalangan pemuda ataupun para orang tua. Akhmad Sofyan, dari Fakultas Sastra Universitas Jember (Unej) menyatakan, alasan lain yang menyebabkan orang Madura enggan menggunakan bahasanya sendiri, karena mereka merasa malu menggunakan Bahasa Madura. Sangat jarang Bahasa Madura digunakan di ruang publik, layaknya Bahasa Jawa. "Sebagai bahasa daerah, seharusnya Bahasa Madura mempunyai tiga fungsi, yakni sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah," katanya. Selama ini, lanjut penulis buku "Tatabahasa Bahasa Madura" ini, ketiga fungsi tersebut sudah jarang ditemukan. Bahasa Madura hanya cenderung menjadi alat komunikasi di ranah domestik, dalam keluarga dan sesama tetangga. Kendatipun demikian, di ranah domestikpun Bahasa Madura juga jarang dipraktekkan. Para orang tua, katanya, lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, bukan dengan Bahasa Madura. "Yang memprihatinan, saya pernah berjumpa dengan salah satu keluarga di Madura ini, bahwa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Madura di ruang publik katanya merasa tidak percaya diri. Artinya dia itu malu berbicara bahasa daerahnya sendiri. Malah lebih bangga menggunakan Bahasa Jawa," terangnya.

Menurut Akhmad Sofyan, fenomena seperti itu bukan hanya terjadi di wilayah tertentu, tapi sudah menggejala di semua kabupaten di Madura. Sri Ratnawati, staf pengajar di Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menilai kecendrungan generasi Madura meninggalkan bahasa ibunya dan memilih Bahasa Indonesia karena Bahasa Madura dianggap sebagai bahasa kelas ekonomi menengah ke bawah dan tidak berpendidikan. "Jadi ada semacam anggapan bahwa mereka yang menggunakan Bahasa Madura hanya orang-orang terbelakang. Jadi kecenderungannya adalah prestise dan gaya hidup," katanya. Terancam punah Adanya keharusan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, yang pada akhirnya menyebabkan adanya kecenderungan kalangan generasi muda Madura meninggalkan bahasanya sendiri, tentu saja akan berdampak terhadap punahnya Bahasa Madura. Kekhawatiran semacam ini menyebabkan sebagian tokoh, para akademisi, seniman dan budayawan di Madura mendirikan lembaga-lembaga pembinaan khusus Bahasa Madura. Salah satunya seperti yayasan Pakem Maddhu, hingga akhirnya menggelar Kongres Bahasa Madura sebagai upaya untuk melestarikan Bahasa dan Sastra Madura. Menurut Wakil Bupati Pamekasan Drs. Kadarisman Sastrodiwirdjo, Kongres I Bahasa Madura di Pamekasan itu sebenarnya merupakan tindak lanjut dari Kongres Kebudayaan Madura yang digelar di Kabupaten Sumenep pada tanggal 9-11 Maret 2007. "Salah satu rekomendasinya waktu itu agar digelar Kongres Bahasa Madura. Sebab hasil kajian teman-teman peserta Kongres waktu itu Bahasa Madura sudah jarang digunakan dan orang Madura sendiri banyak yang tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar," katanya. Abd. Aziz Diposkan oleh Maduranews 0 komentar

Catatan Dari Kongres I Bahasa Madura (2)


Ketua Dewan Kesenian Pamekasan (DKP), Syafiudin Miftah menyatakan, ancaman akan kepunahan Bahasa Madura, sama halnya dengan ancaman terhadap kepunahan budaya dan tradisi yang ada di Madura. Sebab bahasa menunjukkan identitas, suatu daerah dalam konteks ke-Indonesia-an. Kusnadi,M.A, salah satu nara sumber di Kongres I Bahasa Madura dari Universitas Jember (Unej) menyatakan, orang Madura, menyebar di berbagai provinsi yang ada di Indonesia.

Sebagian besar mereka berdomisili di Jawa Timur 6.281.058 jiwa (92,72%), Kalimantan Barat 203.612 jiwa (3,01%), Kalimantan Tengah 62.228 jiwa (0,92%), Jakarta 47.005 jiwa (0,69%), Kalimantan Selatan 36,334 jiwa (0,54%), Kalimantan Timur 30.181 jiwa (0,45%), Bali 18.593 jiwa (0,27%), Jawa Barat 17.914 jiwa (0,26%) dan yang terakhir adalah Jawa Tengah 14.166 (0,21%). Menurut Kusnadi, hubungan masyarakat Madura dengan etnik Jawa di Jawa Timur, mampu memainkan peran penting bahkan bisa mewarnai keragaman budaya dan memberikan sumbangan positif terhadap dinamika sosial yang ada di sana. Pertemuan dan interaksi kebudayaan Jawa dan Madura dalam waktu lama, telah melahirkan asimilasi dan integrasi budaya yang biasa dikenal dengan sebutan "pendhalungan". "Salah satu unsur kebudayaan tersebut misalnya dapat kita lihat pada karakteristik bahasanya. Seperti Bahasa Jawa, tapi dialeknya Jember," terang staf pengajar Fakultas Sastra Unej itu. Praktisi Media di Madura Abrari menyatakan, memang di satu sisi keberadaan warga Madura di berbagai Provinsi di Indonesia mampu melakukan ekspansi dalam hal interaksi sosial budaya. Tapi di sisi lain, kebanyakan warga Madura yang ada di rantau seringkali larut dengan kondisi kebahasaan yang ada di tempat rantaunya. "Kecendrungannya sangat berbeda dengan etnik Jawa. Kalau orang Jawa merantau ke Madura, masih mau menggunakan bahasa daerahnya sebagai pengantar komunikasi sehari-hari. Etnik Madura justru sebaliknya," katanya. Lebih lanjut wartawan senior itu menjelaskan, meski jumlah penduduk yang tinggal di Madura tergolong banyak, yakni sekitar 3 juta lebih tapi hingga kini belum memiliki perguruan tinggi ternama. Hal ini berbeda jauh dengan Brunei Darussalam yang hanya memiliki 200 ribu jiwa, tapi sudah berdiri perguruan tinggi berkualitas. Ancaman akan kepunahan Bahasan Madura inilah yang menjadi salah satu rekomendasi Kongres I Bahasa Madura, di samping penyempurnaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan upaya memasukkan pelajaran Bahasa Madura dalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Rekomendasi Kongres Kongres I Bahasa Madura yang digelar selama empat hari dengan mendatangkan 29 nara sumber dari berbagai kalangan, seperti akademisi, budayawan dan seniman bahkan pemerhati dari luar negeri itu merumuskan 19 poin rekomendasi yang terbagi dalam tiga kebijakan, yaitu pengkajian, pengembangan dan pembinaan. Dalam bidang pengkajian, kongres merekomendasikan dua hal. Yakni meminta pemerintah kabupaten/Kota memfasilitasi pengkajian, penerjemahan dan penerbitan berbahasa Madura, terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pelestarian karya sastra tradisional dan keagamaan. Penyair kenamaan asal Sumenep Madura Syaf Anton Wr, menyatakan, kesusastraan Madura akhir-akhir ini sudah jauh tertinggal dibanding perkembangan sastra modern.

Meskipun demikian, belum ada soluasi alternatif bagaimana mengupayakan agar sastra Madura menjadi lebih maju, minimal seimbang dengan perkembangan sastra modern. "Semoga dengan adanya peran aktif pemerintah, sastra Madura akan kembali menemukan masa kejayaannya," katanya. Rekomendasi kedua dalam kebijakan pengkajian adalah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan penelitian tentang laras-laras (register) yang diperlukan masyarakat Madura dalam kaitannya dengan pemekaran kosa kata Bahasa Madura. Dalam poin pengembangan, kongres merekomendasikan empat hal. Pertama, perlunya dibuat pedoman dan pembentukan istilah Bahasa Madura yang memungkinkan kosakata Bahasa Madura berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sastra dan budaya. Kedua, mengamanatkan kepada Balai Bahasa Surabaya (BBS) agar mengesahkan Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan sesuai dengan prosedur kaidah bahasa baku. Selanjutnya mengupayakan adanya komputerisasi carakan Madura. Dan yang keempat, mengamanatkan BBS agar merevisi tata bahasa dan kamus Bahasa Madura yang ada selama ini. Selanjutnya di pengembagan remokendasi Kongres I Bahasa Madura yang diikuti 250 peserta tetap itu mengamanatkan sebanyak 13 poin rekomendasi. Masing-masing, pemberian anugerah kepada perorangan atau lembaga yang memajukan bahasa dan sastra Madura, meningkatkan frekuensi penyelenggaraan kegiatan dan lomba kebahasaan, serta kesastraan Madura, serta yang ketiga, perlunya membentuk lembaga konsultasi kebahasaan dan kesastraan di tiap kabupaten/kota. Kongres juga mengamanatkan membuka program studi Bahasa Madura sebagai pilot project di sebuah perguruan tinggi di Madura dan perlunya ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pembinaan, pengembangan bahasa dan sastra Madura, serta memfasilitasi adanya buku ajar Bahasa Madura yang kontekstual sesuai dengan pembakuan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Masih dalam bidang pembinaan, rekomendasi point ketujuh adalah perlunya pembentukan Dewan Bahasa Madura (DBM) yang sekaligus berfungsi sebagai tim Pokja Kongres. Mempertegas ciri ke-Madura-an di tempat-tempat umum yang perlu dimotori oleh pemerintah daerah, serta meminta pemerintah daerah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar membuka formasi tenaga kependidikan Bahasa Madura. Berikutnya poin ke-10 dalam bidang pembinaan, peserta kongres juga mengamanatkan agar Kongres Bahasa Madura digelar setiap lima tahun sekali secara periodik. Mewajibkan Bahasa Madura diajarkan mulai jenjang pendidikan dasar (SD) sampai menengah yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura. Rekomendasi lainnya adalah memperbanyak frekuensi penyajian Bahasa Madura melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Yang terakhir rekomendasi Kongres pada point pembinaan dari 19 point rekomendasi

itu adalah mengamanatkan agar pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi sarana dan prasarana paguyuban/sanggar kebahasaan dan kesastraan Madura. Dian Palupi dari Pusat Bahasa Surabaya menyatakan, media lokal Madura yang menyajikan penyiaran dengan menggunakan bahasa Madura sangat sedikit. "Salah satu media elektronik yang masih peduli pada Bahasa Madura dari sekian media yang ada di Madura baru Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep, Karimata FM Pamekasan dan JTV," katanya. Tapi ia berharap dengan gelar Kongres I Bahasa Madura itu, Bahasa Madura nantinya akan kembali menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Selain rekomendasi yang disepakati, peserta kongres juga mengimbau agar Pemkab Sampang nantinya bisa menyelenggarakan Kongres Kebaharian Madura sebagai sarana pengembangan sumber daya dan budaya untuk kesejahteraan masyarakat Madura. Menurut sekretaris panitia Kongres Halifaturrahman, rekomendasi tambahan ini disampaikan karena peserta Kongres memandang pulau Madura memiliki potensi wisata bahari, tapi selama ini belum bisa dikembangkan secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai