Anda di halaman 1dari 4

29

(Merekayasa Pembelajaran Bahasa Madura Yang Ideal Pada Era Otonomi Pendidikan)
(Dosen dan Wakil Ketua Bidang Akademik STKIP PGRI Sumenep) Abstract
The implementation of educational autonomy often ignores the problems occurred around of the region itself. The issue was considered unimportant and did not have a global insight. One of them is Madurese language learning in educational autonomy era. Language area (Madura) is often classified as local content having important meaning when education in Indonesia looking for a form to cover characteristic education (character building). Madura language, followed by a regional character and interesting gentility is discussed at educational autonomy era. Talking about Madura certainly must also discuss about curriculum, if the language should be applied to the world of schooling. This includes learning models. Thus, the language of Madura as local content is time to be applied with the ideal and mature concept Keyword: Language of Madura, Manners, Character Education, Curriculum

BUDI PEKERTI DALAM KONTEKS BAHASA MADURA


Muhammad Saidi

A. Pendahuluan Watak orang Madura (pada umumnya) tegas, lugas, tangkas dan tidak setengahsetengah dalam mengambil keputusan, termasuk dalam bertutur kata. Ini dilansir dalam filsafat Madura yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang Madura, Mon bana bagus pabagas, mon bana sogi pasoga, mon bana kerras akerres (Kalau kamu baik jujurlah, kalau kamu kaya gagahlah, kalau kamu keras bersiagalah!). Dan berbudi bahasa merupakan bagian dari perilaku baik orang Madura di tengah masyarakatnya yang nota bene bahasa Madura mempunyai tatakrama bahasa (kromo inggil) sampai tiga tingkatan. Sebuah ungkapan Bahasa menunjukkan bangsa (daerah) merupakan konsep yang jelas bahwa bahasa bagi orang Madura menunjukkan perilaku dan watak. Budi pekerti sebagai bagian kekayaan masyarakat Madura tidak serta-merta bisa dipisahkan dengan bahasa Madura. Dalam tulisan ini, budi pekerti dapat dipilah menjadi dua bagian: pertama, budi pekerti dalam perilaku, dan kedua, budi pekerti dalam berbahasa. Kedua konteks tersebut, pada penyebaran dan pengembangannya, bisa melalui media bahasa. Satu-satunya yang

efektif adalah pembelajaran bahasa Madura secara ideal di sekolah-sekolah, baik pendidikan formal maupun nonformal. B. Kurikulum Bahasa Madura Kurikulum Bahasa Madura sebagai Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) belakangan ini hanya diterapkan di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Tsanawiyah (SMP/MTs). Ironisnya, di SMP/MTs bahasa Madura hanya diajarkan sampai kelas II. Pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahasa Madura semakin asing di daerahnya sendiri. Pembelajaran bahasa dimaksudkan untuk menggiring anak terampil berbahasa. Dua syarat anak terampil berbahasa, taat asas dan lincah berbahasa. Taat asas artinya dalam menggunakan bahasa Madura sesuai dengan pakem dan bertatakrama bahasa sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Madura yang dianggap berbudaya. Dalam hal ini, maka berbudi bahasa merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka ini, pendidik dan tenaga kependidikan memiliki kewajiban mutlak memperagakan bahasa Madura semaksimal mungkn. Akan tetapi, hambatan yang tergelar lebar di dunia pendidikan adalah kurikulum
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

30

BUDI PEKERTI DALAM KONTEK BAHASA MADURA

direkayasa oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi yang nota bene menjauhkan dari daerah aslinya. Muatan-muatan konten dalam kurikulum Mulok bahasa Madura masih menjiplak konten yang ada pada pembelajaran bahasa Indonesia. Tim Perekayasa Kurikulum Mulok itu terkesan tidak memiliki keahlian untuk menyisipkan pesan kontek Madura secara menyeluruh. Tim Perekayasa masih terbuai dengan pengenalan kosa-kata dan tata bahasa, dan tidak memilih tema pembicaraan yang pas untuk anak didik yang asli Madura. Inilah rasanya salah satu kelemahan kurikulum Mulok bahasa Madura. Kelemahan Kurikulum Mulok bahasa Madura tampaknya bisa ditelusuri lebih jauh lagi: Pertama, Tim Perekayasa Kurikulum Mulok bahasa Madura tidak mencerminkan pakar bahasa dan budaya (budayawan?) Madura. Pakar bahasa dan budaya setempat yang tahu seluk-beluk masyarakat Madura diabaikan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Kedua, bahasa Madura masih belum menjadi simbol yang utuh bagi masyarakat Madura. Artinya, bahasa Madura tidak ditempatkan sebagai lingua franca yang bergengsi pada masyarakat pelajar (semisal dalam dunia pendidikan). Ketiga, bahasa Madura tidak ditempatkan sebagai salah satu syarat pelulusan bagi pelajar (anak didik) yang akan mengakhiri masa belajarnya di sekolah formal. Untuk yang terakhir ini, menyebabkan bahasa Madura menjadi bahasa tambahan yang tidak menggairahkan untuk terus dipelajari dengan baik. Keempat, bahasa Madura tidak mempunyai ejaan yang baku yang diakui oleh Balai Bahasa Surabaya (sebagai kepanjangan dari Pusat Bahasa). Malah terkesan, Balai Bahasa Surabaya membenturkan Ejaan hasil Saresehan 1973 dengan ejaan yang dikonsep orang-orang di luar Madura yang bukan praktisi, tetapi hanya sebata akademisi. Sebenarnya hasil Lokakarya Bahasa Madura yang sebenarnya belum diumumkan secara resmi oleh Pusat Bahasa (Balai Bahasa Surabaya?) kini mengundang gejolak dan sikap
Jurnal Pelopor Pendidikan

sinisme di kalangan pengguna, praktisi dan guru bahasa di Madura yang sudah bertahuntahun menggunakan ejaan bahasa Madura hasil Saresehan 1973 yang konon belum pernah diresmikan oleh Pusat Bahasa. Lebih jauh hasil Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura yang diselenggarakan Balai Bahasa Surabaya, 31 Desember 2002, menunjukkan bahasa Madura kebingungan untuk menentukan konsep yang benar tentang ejaan, kehilangan langkah pengembangan, dan ketinggalan jaman dalam penulisan ejaan bahasa Madura dengan huruf Latin dibanding dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Hasil Lokakarya Bahasa Madura yang sangat mendasar dan menjadi debat ramai di sekolah-sekolah oleh para pengguna dan penutur asli bahasa Madura adalah memunculkan lambang e taleng dan e pepet; konsonan beraspirat dan tak beraspirat mendapatkan lambang yang berbeda (di bawah konsonan dh dan d terdapat tanda titik yang dalam mesin tik tidak ada); dan huruf pelancar w dan y, dan glotal (tanda hamzah) dan bunyi-bunyi lain yang muncul akibat proses afiksasi atau pengimbuhan tidak ditulis. Persoalan-persoalan di atas menyebabkan budi pekerti dan bahasa Madura terabaikan dalam dunia pendidikan (Madura). Tidak heran kalau kemudian anak didik di Madura merasa asing dengan bahasa, budaya dan tradisi daerahnya. C. Ejaan Bahasa Madura ke dalam Huruf Latin Ejaan bahasa Madura pada tulisan ini perlu dibicarakan. Hal ini disebabkan adanya silang pandang dari beberapa pihak yang menyebabkan bahasa Madura malah kehilangan maknanya untuk dimasyarakat secara formal pada dunia persekolahan. Bahasa Madura mengalami beberapa sIstem penulisan ke dalam huruf Latin: Ejaan Balai Pustaka; Ejaan Propinsi Jawa Timur; Ejaan Propinsi Jawa Timur yang disesuaikan dengan ejaan Soewandi; Ejaan hasil Sarasehan tahun 1973;

Muhammad Saidi

31

dan Ejaan Bahasa Madura tahun 2004 versi Balai Bahasa Surabaya. Ejaan Balai Pustaka yang lebih dikenal dengan ejaan Ch. A. Van Ophuysen (nama Menteri Pengajaran Belanda untuk Bahasa Melayu). Ejaan Balai Pustaka terdahulu kirakira sebelum tahun 1918. Ejaan bahasa Madura ke dalam huruf Latin menyesuaikan dengan ejaan tersebut, yang kemudian dikenal dengan Ejaan Balai Pustaka. Ada beberapa perbedaan penulisan dengan bahasa Melayu karena karakteristik bahasa Madura yang berbeda dengan bahasa Melayu. Hal itu dimaksudkan untuk memperjelas pengucapan atau aksen bahasa Madura. Perbedaan yang mencolok adalah penggunaan huruf pelancar /w/ dan /y/. Sejak tahun 1940 Ejaan provinsi Jawa Timur yang dari ejaan Balai Pustaka melakukan perubahan di sana-sini. Pemerintah dalam hal ini, Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Jawa Timur telah memprakarsai Upaya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura dengan dilaksanakannya Temu Karya Pelestarian Bahasa dan Aksara Madura di Surabaya pada tanggal 1314 Januari 1992, dengan suatu keputusan, menetapkan ejaan hasil Sarasehan tahun 1973 sebagai ejaan bahasa Madura yang baku. Semestinya dalam menetapkan pembakuan diperlukan kehati-hatian agar sistem penulisan itu tidak terpengaruh oleh budaya luar yang mengakibatkan pergeseran nilai, karena tidak sesuai dengan maksud keinginan memadurakan Madura. Oleh karena itu sistem penulisan itu harus didasari oleh nilai-nilai kultural masyarakat. Bahasanya yang merupakan ciri khas karakter dan kodrat bahasa itu. Ciri khas orang madura mempunyai sikap tegas tidak setengah-setengah yang mempengaruhi juga ejaan bahasanya. Di Madura sendiri, ejaan yang baku masih simpang siur. Pembakuan yang dilakukan oleh Balai Bahasa Surabaya pada tahun 2004 malah tidak laku dijual pada dunia pendidikan. Ini disebabkan beberapa hal: Pertama, ejaan bahasa Madura disusun oleh akademisi, bukan

praktisi. Padahal bahasa semestinya diangkat dari para penggunanya, bukan ahli bahasa itu sendiri. Kedua, penyusun ejaan bahasa Madura tidak memperhatikan karakter orang Madura yang tegas dalam pendirian dan sikapnya. Persoalan bahasa, apalagi pemasyarakatan bahasa dan budi pekertinya, tidak hanya seputar penulisan bahasa pada huruf Latin. Akan tetapi masih banyak yang harus diperhatikan, misalnya persoalan kurikulum sebagai media pembelajaran bahasa itu sendiri. D. Merombak Kurikulum, Perlukah? Ketidak-efektifan Kurikulum Mulok bahasa Madura selama ini sudah saatnya ditindaklanjuti agar generasi masyarakat Madura tidak menjadi korban. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh institusi terkait: Pertama, melakukan perombakan kurikulum. Selama ini penyusunan (Tim Perekayasa) Kurikulum Mulok bahasa Madura dilakukan oleh Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur, maka sudah saatnya Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep mengambil alih peran tersebut. Sebagaimana ketentuan Permendiknas No.22, bahwa Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Dalam kaitan ini, Dinas Pendidikan Kabupaten tidak serta-merta mempekerjakan orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang kurikulum dan pengembangan. Dinas Pendidikan harus bisa membentuk tim Perekayasa Kurikulum Mulok bahasa Madura dengan menampilkan orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang itu. Apapun bentuknya, Dinas Pendidikan mempunyai beban moraldan juga kewajibanmenjaga generasi masyarakat Madura. Karena itu, Dinas Pendidikan (tentu) menyediakan sarana dan prasarana yang menyangkut itu. Selain itu, bahasa Madura juga perlu disebarkembangkan pada jenjang pendidikan
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013

32

BUDI PEKERTI DALAM KONTEKS BAHASA MADURA

SMA/MA yang selama ini mengabaikan pelajaran Mulok bahasa Madura. Sebagaimana di SD/SMP, Mulok bahasa Madura di SMA juga merupakan kewajiban Dinas pendidikan merekayasanya. Dari uraian di atas menyiratkan, bahwa merombak kurikulum Mulok bahasa Madura di semua jenjang pendidikan, dan menyebarkembangkan di SMA/MA merupakan kebutuhan yang mendesak. E. Budi Pekerti dalam Tema Pembelajaran Budi pekerti, sebagaimana dijelaskan, perilaku dan bahasa tidak terlalu sulit disebar dan dikembangkan dalam dunia pendidikan, yaitu memasukan budi pekerti pada tema-tema pembelajaran bahasa Madura di sekolahsekolah: SD/MA, SMP/MTs, dan SMA/MA. Media konten pembelajaran bahasa dalam hal ini adalah tema. Begitu juga dalam pembelajaran bahasa Madura, tema merupakan media pembicaraan dalam pembelajaran bahasa. Untuk itu, tema yang dipilih dalam pembelajaran bahasa Madura adalah budi pekerti masyarakat Madura. Memasukkan tema budi pekerti pada pembelajaran bahasa Madura semakin mudah di kelas rendah Sekolah Dasar. Sebagaimana Permendiknas No.22 dan No.23 pembelajaran kelas I s.d. III adalah tematik. Anak di kelas rendah belajar apapun bersentral pada tema yang dipilih oleh guru dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di sinilah sekolah bisa memusatkan kekayaan lokal (termasuk budi pekerti) sebagai bagian dari tema yang dipilihnya. Ini sesuai dengan prinsif kurikulum yang baru, bahwa mengenalkan persoalan (materi) dari yang dekat ke yang jauh. Pemilihan tema budi pekerti pada pembelajaran bahasa Madura bukan tanpa alasan. Selain alasan yang sudah dipaparkan, pemilihan tema dalam pembelajaran beberapa mata pelajaran di sekolah seringkali kurang pas dan tidak efektif. Tema yang dipilih kurang menjawab kebutuhan anak pada pergaulan di lingkungannya, sehingga pemilihan tema yang kurang pas merupakan pekerjaan sia-sia dan
Jurnal Pelopor Pendidikan

mengaburkan pengetahuan kepada anak. Padahal penerapan kuriukulum merupakan pengecewantahan pengalaman belajar anak. F. Penutup Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan budi pekerti dalam konteks bahasa Madura pada kerangka otonomi pendidikan dapat disebarkembangkan dengan tiga hal, Pertama, merombak Kurikulum Mulok bahasa Madura di SD/MI dan SMP/MTs. Kedua, merekayasa kurikulum Mulok bahasa Madura untuk SMA/MA. Dan, ketiga, memasukkan tema-tema budi pekerti pada pembelajaran bahasa Madura di semua jenjang pendidikan.[] Daftar Pustaka: R. Soerodanoekoesoemoe, Pandji Woeloeng, Pandji Poestaka, Jakarta, 1928. Abd Sukur Notoasmoro, Paramasastra Madura, Pelopor Pendidikan Pers, Sumenep, 2008 _____________________, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung, 2005. ___________________, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Fokusmedia, Bandung, 2005. ___________________, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Fokusmedia, Bandung, 2005.

Anda mungkin juga menyukai