Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN TEKNIK IRIGASI DAN DRAINASE

OBSERVASI LAPANG SEMPLAK, PALEDANG, EMPANG, KATULAMPA

1. Yonathan Sugiarto M 2. Ida Nasasari 3. Istiana Fadilah 4. Eko Riyandi G 5. Rizqah Wahidah P

(F44100034) (F44100035) (F44100036) (F44100037) (F44100042)

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

PENDAHULUAN
Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah menuju saluran sungai. Sebagian dari aliran permukaan akan terinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak secara lateral melalui horison-horison tanah bagian atas menuju sungai yang dinamakan aliran bawah permukaan. Sedangkan, aliran air yang terpekolasi dan mengalir ke dalam tanah hingga masuk ke dalam sungai dinamakan aliran air bawah tanah (Seyhan, 1990). Haridjaja (1990) menyatakan, aliran dasar (base flow) adalah air bawah tanah yang bergerak menuju saluran secara lateral dan lambat melalui daerah yang jenuh air. Biasanya air yang jernih ini dapat mencapai saluran atau sungai setelah beberapa hari atau beberapa minggu hingga beberapa bulan. Aliran ini berasal dari air hujan yang diperkolasikan menuju air bawah tanah. Sedangkan, aliran sungai adalah aliran air pada saluran yang jelas atau sungai. Aliran sungai merupakan gabungan aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran air bawah tanah. Pada musim hujan aliran sungai dapat berasal dari ketiga aliran tersebut, tetapi pada tengah musim kemarau aliran sungai hanya akan berasal dari aliran bawah tanah. Aliran bawah permukaan akan banyak menyumbangkan aliran sungai pada beberapa saat setelah hujan turun, terutama pada musim penghujan. Bendungan merupakan konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan air kesebuah pembangkit listrik tenaga air. Sifat karakteristik dari sungai-sungai seperti halnya pada musim hujan sering mendatangkan banjir yang menggenangi daerah-daerah pertanian, tapi pada musim kemarau sungai-sungai kering hampir tidak ada airnya sehingga mengganggu produktivitas dari suatu daerah. Hal tersebut menyebabkan kelestarian pengaliran air pada sungai-sungai sepanjang tahun tidak konstan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, perlu dibangun sebuah bendungan. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami (Seyhan, 1990).

TUJUAN
Praktikum ini dilakukan untuk menentukan nilai debit saluran dan debit intak di bendung Semplak, Paledang, Empang, dan Katulampa.

METODOLOGI PRAKTIKUM
Observasi dilakukan pada hari Sabtu 13 April 2013 di bendung Semplak, Paledang, Empang, dan Katulampa. Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain: roll meter dan alat tulis.

Observasi lapang dilakukan dengan dibuat sketsa kondisi landuse sekitar bangunan sadap & bangunan bagi dan skema denah (non dimensional) bangunan sadap & bagi, lebar pintu air dengan roll meter diukur, dan kedalaman aliran kritis diamati dan ukur.

HASIL PENGAMATAN
HASIL PERHITUNGAN DEBIT

1. Bangunan Intake di Semplak Intake Q = c.b.h1/2 = 0,62 x 1,21 m x 0,121/2 m = 0,26 m3/det Saluran Sekunder Q = c.b.h1/2 = 0,62 x 2,91 m x 0,21/2 m = 0,8 m3/det

Gambar 1 Denah Bangun Semplak

Gambar 2 bangun intake

Gambar 3 Gambar bangun pembilas

Gambar 4 intake sekunder 2. Bendung Paledang Debit air pada intake dan weir dapat diketahui dengan menggunakan rumus untuk bangunan intake dan untuk bangunan weir dimana Q adalah debit, b adalah lebar bangunan, Hc adalah kedalaman kritis dan c adalah koefisien yang memiliki nilai 0,62. Berdasarkan data yang ada, maka diperoleh nilai Q intake sebesar 1,056003 m3/det dan Q weir sebesar 1,514871 m3/det. Bendung paledang terdiri dari bangunan bendung (weir) dan bangunan intake. Pada bangunan weir terdapat bangunan pembilas dengan lebar 2,8 m. Kedalaman kritis serta lebar weir berturut-turut sebesar 0,35 m dan 11,8 m. Bangunan intake memiliki lebar pintu air sebesar 1,33 m dan lebar bangunan (total pintu air dan pembatas) sebesar 4,98 m. Lebar setiap pembatas pintu air sebesar 0,5 m dengan kedalaman air dan kedalaman bangunan berturut-turut sebesar 1,64 m dan 2,13 m.

Gambar 1. Landuse bendung Paledang

Gambar 2. Denah Bendung Paledang

Gambar 3. Potongan bangunan intake

Gambar 4. Potongan bangunan pembilas

Gambar 5. Potongan bangunan weir 3. Bendung Empang Bendungan Cisadane empang terletak di Jalan Empang. Terdapat dua bendungan, yaitu bendungan baru dan bendungan lama yang sudah tidak digunakan lagi. Bendungan lama dibangun sekitar tahun 1872. Berikut ditunjukkan tampak atas denah bendungan empang.

Gambar 1. Denah bangunan empang

Bendung ini berfungsi sebagai pengatur tata air yang mengalir di sungai Cisadane. Aliran sungai dibelah menjadi dua guna mengurangi laju ketinggian saat debit air tinggi. Di bendungan ini terdapat sekitar enam pintu air. Satu pintu sebagai saluran utama aliran Cisadane, satu pintu berfungsi sebagai pintu penguras sedimen, dan empat pintu lainnya mempunyai fungsi utama untuk aliran irigasi. Bendungan yang mendapat pasokan air dari sekitar 14 anak sungai ini, mengairi sekitar 1059 Ha sawah yang terdapat di Bogor dan Depok. Dari Bendung Cisadane Empang ini, aliran air akan bertemu dengan sub-das Cisadane lain: Cikaniki, Cianten, Ciaruteun dari Gunung Halimun di Pintu Air Batu Belah (Semplak) untuk kemudian mengalir ke Tangerang.

Gambar 2. Potongan melintang bendung

Bendungan baru terdiri weir, intake, dan pembilas. Luas total area bendungan ini ialah sebesar 1603 Ha. Pada bangunan bendung (weir), terdapat 3 pintu air. Ketinggian aliran kritis ialah 0,14 meter. Lebar bendunng ialah sekitar 41 langkah atau hampr mencapai 15 meter. Ketinggian bendung ini ialah 15 meter. Di pintu air ini diberlakukan empat status ketinggian air, yaitu sebagai berikut: 80-100 cm :siaga IV 100-150 cm :siaga III 150-200 cm :siaga II > 200 cm :siaga I

Gambar 3. Potongan melintang intake

Bangunan intake pada bendungan ini mengarah ke sisi kiri bangunan dan terletak sedikit di depan bangunan weir. Air sungai dialirkan ke daerah pemukiman penduduk untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan irigasi pertanian, dan lain sebagainya. Intake bendungan empang ini terdiri dari 4 pintu air, dengan tinggi bangunan sekitar 2,8 meter. Panjang bangunan intake sekitar5,5 meter.

Gambar 4. potongan melintang pembilas

Bangunan pembilas pada bangunan empang berada di sebelah bangunan weir, sedikit di belakang bangunan intake. Terdapat 2 pintu air pada bangunan pembilas. Bangunan ini berfungsi sebagai pengatur sedimentasi pada bendungan, sehingga diletakkan dekat dengan bendungan intake. Tinggi bangunan ini sekitar 8 meter. Berikut diberikan perhitungan debit sungai Cisadane: Q = C x B x H1/2 dengan pengertian: Q = debit aliran di atas mercu (m3/det) C = Koef pengaliran mercu bendung B = Lebar tubuh bendung (m) H = Tinggi pembendungan (m) Q = C x B x H3/2 = 0,62 x 3,4 x 1,4 1/2 = 0,62 x 3,4 x 1,18 Q = 2,48 m3/detik Sedangkan untuk perhitungan debit intake ditunjukkan sebagai berikut: Q = C x B x H3/2 = 0,62 x 1,83 x 2,831/2 = 0,62 x 1,83 x 1,68 Q = 1,9 m3/detik Perhitungan Debit Pada Weir dan Orifice Pada Bendung Katulampa 1. DEBIT ORIFICE Lebar orifice 21 langkah Konversi -> 1 langkah=38 cm Kedalaman aliran = 50cm=0.5m C=0.62

2. DEBIT WEIR Lebar weir=43m Kedalaman aliran=17cm C=0.62

Gambar 1. Potongan Melintang Bendung

Gambar 2. Potongan Melintang Saluran pada Bendung

Gambar 3. Potongan Melintang Bangunan Pembilas

Gambar 4. Potongan Melintang Saluran Primer pada Bangunan Pembilas

Gambar 5. Potongan Melintang Bangunan Intake

Gambar 6. Potongan Melintang Saluran Primer pada Bangunan Intake

SALURAN PRIMER

INTAKE

PEMBILAS

BENDUNG

SALURAN SEKUNDER

SALURAN PRIMER

Gambar 7. Denah Bendung Katulampa

KESIMPULAN
Analisis kecukupan air irigasi menunjukkan bahwa debit tersedia lebih besar dari kebutuhan air irigasi oleh karena itu kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi. Distribusi air yang tidak optimal dengan adanya jaringan irigasi yang rusak menyebabkan usaha tani menjadi tidak efisien. Optimalisasi dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan jaringan irigasi dan penyesuaian periode tanam.

DAFTAR PUSTAKA
Haridjaja, O., Murtilaksono K., Sudarmono, dan Rachman L. M. 1990. Hidrologi Pertanian. Bogor : Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB). Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai