pitra satvika
(media-ide.com)
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Jakarta- Kuala Lumpur - Amsterdam
- Frankfurt - Bonn
1
Inilah pertama kalinya, sejak lebih dari satu dekade lalu, aku
berkelana jauh ke luar negeri. Eropa memang belum pernah ku-
datangi. Hal yang sempat membuatku gugup adalah, pengelanaan
jauh yang kulakukan hanya seorang diri. Beragam pemikiran berke-
camuk, apa yang akan terjadi nanti. Apa yang harus kulakukan jika
semua tak berjalan sesuai rencana? Apa yang kulakukan jika aku
menghadapi masalah di simpang batas antar-negara?
8 hari di jerman
koper, aku pun berangkat. Tanpa masalah aku lewati pengecekan
bagasi, passport, dan fiskal. Tas koper aku titipkan di bagasi, se-
mentara tas pinggang dan tas punggung aku bawa selalu. Berun-
tunglah mereka yang sudah memiliki NPWP (nomor pokok wajib
pajak), karena akan terbebaskan dari biaya fiskal sebesar Rp.
2.500.000,00. Namun, tetap saja aku harus membayar biaya Rp.
150.000,00 untuk membayar pajak bandara.
Banyak warga Melayu ikut dalam pesawat ini. Pesawat KLM ini
memang akan transit sejenak di Kuala Lumpur. Hal yang cukup
mencengangkan, mengapa begitu banyaknya warga Malaysia yang
ikut dengan KLM ini? Bukanlah sudah ada Malaysia Airlines atau Air
Asia dengan alternatif lebih murah? Usut punya usut, ternyata KLM
bekerja sama erat dengan Malaysia Airlines. Tiket yang mereka pe-
gang pun bukanlah tiket KLM berwarna biru langit, melainkan tiket
Malaysia Airlines berwarna hijau terang. Aku melihat ada kerja
sama branding yang menarik di sini. Melalui tiket berwarna hijau,
akan banyak warga dunia yang melihat keberadaan Malaysia Air-
lines. Saat transit di Kuala Lumpur, aku pun melihat mereka semua
yang berangkat dari Kuala Lumpur menggunakan tiket berwarna
hijau dengan logo Malayia Airlines. Tentunya, dengan membawa
tiket ini ke belahan Eropa, akan banyak warga Eropa lainnya yang
8 hari di jerman
aware akan keberadaan maskapai penerbangan ini.
Aku pun duduk di bangku 56E kelas ekonomi. Ada 63 baris yang
setiap barisnya berisikan 8-10 orang. Sebelah kiriku, di bangku 56D
adalah seorang ibu-ibu, yang kuduga berasal dari Indonesia. Sebe-
lah kananku seorang bapak dari Malaysia. Ia berangkat bersama
keluarganya, meski duduknya terpencar-pencar. Sebelah kanan si
bapak adalah seorang pemuda dari Indonesia.
8 hari di jerman
lalu melanjutkan kembali perjalanannya mengarungi samudra. Aku
memperhatikan, orang ini sempat bertelpon panjang dengan keka-
sihnya, sesaat sebelum pesawat membawa kita berangkat dari Ja-
karta. Bisa jadi, ia baru akan bertemu kembali dengan kekasihnya
1-2 bulan mendatang, saat perjalanan mengarungi samudranya
sampai di tujuan.
Oh ya, satu fitur utama yang ditampilkan televisi ini adalah aku
bisa mengetahui saat ini posisi pesawat sedang berada di mana,
8 hari di jerman
suhu di luar pesawat, ketinggian pesawat, hingga kecepatan pesa-
wat. Perjalanan panjang selama lebih dari 12 jam memang mem-
butuhkan hiburan yang beragam, dan KLM berupaya memberikan
layanan terbaiknya.
8 hari di jerman
Jerman, bersekolah di sana, bekerja di sana, hingga menikah di
sana. Bila dihitung sudah lebih dari 30 tahun, ia berada di Jerman.
Di usianya yang sudah 60 tahun, ia lebih banyak menghabiskan
hidupnya di negeri Jerman daripada di Indonesia.
Pagi hari pun menjelang. Ufuk mentari terus terlihat selama per-
jalanan. Perjalanan ke Eropa seakan-akan memundurkan waktu.
Waktu berasa lambat saat pesawat bergerak ke arah barat, mengi-
kuti arah rotasi bumi. Pramugari KLM kini mulai menyajikan sara-
pan pagi.
8 hari di jerman
masih belum usai.
Meski masih pukul 5 pagi, langit sudah terlihat biru cerah. Aku
pun mulai melangkah ke luar, bersama dengan si ibu di sebelahku.
Kami menyusuri belalai panjang melangkah memasuki bandara.
Antrian panjang ratusan orang mengumpul di ujung belalai. Pihak
imigrasi Belanda melakukan pengecekan awal dan menanyakan
satu-persatu passport dan maksud kedatangan. Dengan lancar ku-
jelaskan kalau tujuanku sebenarnya adalah ke Frankfurt, dan Am-
sterdam hanya untuk singgahan transit.
Aku pun memasuki bandara yang luar biasa luasnya ini. Ribuan
orang dari beragam ras dan suku berlalu-lalang, seakan-akan ban-
dara ini menjadi sentra utama perjalanan orang dari seluruh dun-
ia. Bersama si ibu, aku pun berjalan mengarungi lorong-lorong dan
ruangan besar yang ada di sepanjang terminal. Bandara Schipol
tak berbeda dengan mal, banyak sekali toko perhiasan, suvenir,
pakaian, restoran tersebar di seluruh bandara. Si ibu memutus-
kan untuk berpisah, karena ia ingin mencari parfum di salah satu
toko. Aku pun menyusuri beberapa toko, sembari melihat jam.
Aku masih punya waktu kurang dari 3 jam sebelum penerbangan
8 hari di jerman
berikutnya ke Frankfurt.
Ada cukup banyak antrian imigrasi di sini. Ada pos yang khusus
memeriksa pengecekan khusus passport Uni Eropa, dan ada pula
pos yang memeriksa passport semua negara. Para petugas imigrasi
terlihat tinggi dan kekar, dan beberapa wanita yang menjadi petu-
gas berwajah menarik. Satu hal yang menarik perhatian, mereka
selalu memprioritaskan pemeriksaan orang-orang yang membawa
bayi. Bila ada petugas yang melihat bayi dalam antrian, mereka
akan meminta keluarganya untuk maju ke pos dan mendapatkan
pemeriksaan lebih awal.
8 hari di jerman
nit sebelum akhirnya bertatapan dengan petugas imigrasi.
8 hari di jerman
nya pun tak berbeda. Aku hanya tersenyum saat melihat beberapa
majalah eksotis lengkap dengan beberapa DVD terbitan Private
terpajang di antara majalah-majalah lainnya. Ada pula koran yang
(sepertinya) berisikan berita-berita umum, namun menampilkan
seorang perempuan tanpa busana di salah satu sudut halaman per-
tamanya. Seorang perempuan muda terlihat asyik membaca koran
ini.
8 hari di jerman
dan ia ingin mengembalikan SIM card aslinya, dari Vodafone. Duh,
sayangnya Nokia yang dipakainya agak aneh. Aku kesulitan mem-
bantunya. Dengan sangat menyesal, aku pun mohon maaf karena
tak berhasil menggantikan SIM card yang dibutuhkannya.
Tak terasa, waktu pun berlalu dan masa boarding pun tiba. Saat
8 hari di jerman
itu hari mulai terasa terik, meski angin kencang menerpa wajahku,
membuat bibirku terasa kering. Kami pun semua memasuki bus
yang membawa kami ke pesawat Fokker 100. Pesawat KLM ini tak
berbeda dengan pesawat yang biasa aku gunakan saat pe-nerban-
gan di dalam Indonesia. Pramugarinya pun terlihat muda, sangat
berbeda dengan pramugari di penerbanganku sebelumnya. Si ibu
yang sebelumnya duduk di sebelahku, kini berpisah tempat duduk
dariku. Sebelahku kini seorang remaja muda dari Amerika Latin
yang diam saja senpanjang perjalanan.
8 hari di jerman
Aku mendekati mereka berdua yang sedang mengobrol satu sama
lain. Pria berkulit hitam itu mengenalkan dirinya sebagai Damas
Missanga dari Tanzania. Ia akan ikut menjadi pembicara dalam
diskusi panel hari pertama acara. Ia terlihat melobi si pria ber-
kumis agar bisa ikut dengannya ke Bonn. Rupanya, Damas tidak
berada dalam daftar jemputan, namun berharap karena ia pun
juga datang untuk acara yang sama, untuk bisa ikut bareng hingga
penginapannya di Bonn. Si pria berkumis pirang terlihat berkali-
kali berbicara dengan lawannya di telepon. Sepertinya ia ragu,
apakah Damas boleh ia ajak serta ke Bonn atau tidak.
8 hari di jerman
tar 1 jam 45 menit. “Jalan tol” (dalam kutip karena seperti jalan
tol tapi tidak bayar) ini tak berbeda sebenarnya dengan di Indo-
nesia. Terdiri dari 2-3 lajur, tergantung lokasi. Di Jerman, mobil
bergerak di lajur kanan, dan setir berada di sebelah kiri mobil,
terbalik dengan Indonesia. Motor dengan cc tinggi ikut melewati
jalan ini, meski tak terlalu banyak, dan mereka selalu berjalan di
sisi kanan jalan. Truk-truk dan mobil dengan gandengan selalu be-
rada di kanan jalan. Saat lajur menyempit menjadi 2 lajur karena
ada perbaikan jalan, semua truk itu tetap antri di lajur kanan, dan
membiarkan kendaraan yang lebih cepat melewati mereka mela-
lui lajur kiri.
Akhinya sampailah aku di kota Bonn. Impresiku, kota ini sepi seka-
li. Mungkin karena si pengemudi melewati jalan yang menghindari
tengah kota, aku juga tidak tahu. Aku melihat ke dekat radio. Aku
perhatikan di Jerman, mobil dilengkapi dengan petunjuk jalan dan
GPS, sehingga mengurangi kemungkinan pengemudi menyasar. Di
bawah radio terlihat setumpuk kartu nama. Aku lupa, tapi yang
jelas nama si pengemudi, lengkap dengan profesinya, yakni seba-
gai chaffeur. Wow, berarti orang ini memang profesional di bidang
ini. Sebelumnya aku menduga ia hanya supir dari Deutshce Welle
yang diminta menjemputku.
8 hari di jerman
Sampailah aku di hotel Karl Kaiser. Rupanya hotel kecil. Hmm,
tapi di hadapanku ada Hotel Ibis yang ukurannya tak jauh berbeda
dengan Karl Kaiser. Apakah semua hotel di Bonn memang mungil
seperti ini? Lucunya, tak ada yang menyambut membukakan pintu
saat aku datang. Seperti aku mau masuk rumah, aku harus mem-
bunyikan bel terlebih dahulu. Seorang wanita lalu membukakan
pintu dan mempersilahkanku masuk.
Aku ingat sore ini ada acara menarik dengan undangan terbatas.
Sayangnya aku lupa konfirmasi kebisaanku hadir di lokasi. Akhirnya
aku memutuskan untuk tidak ikut dan mencoba kembali tidur. Agak
8 hari di jerman
sore hari, akan aku pakai untuk berjalan keliling melihat suasana
di sekitar hotel.
Sore hari jam 18.00 aku manfaatkan untuk berjalan keliling hotel.
Saat ini aku masih menduga kalau Bonn ini kota kecil. Aku berjalan
berkeliling dan apa yang kulihat membuktikan itu. Aku berjalan
menyeberang jalan yang terkadang ada lampu lalu lintas untuk
para pejalan kaki dan pengguna sepeda. Kalau pun di persimpa-
ngan itu tidak ada lampu, setiap mobil yang berlalu akan selalu
menunggu para pejalan kaki melewati jalan terlebih dahulu. Ka-
lau biasanya aku menyeberang di Jakarta, aku harus berhadapan
dengan keegoisan para pengendara mobil dan motor, di sini justru
sebaliknya. Semua pengendara mobil akan selalu berhenti mem-
persilakan pejalan kaki terlebih dahulu menyeberang.
Aku berjalan sambil memegang peta Bonn yang kuminta dari hotel,
berusaha memahami konteks peta dengan situasi sekitar. Seseka-
li aku berjalan, sesekali aku berhenti dan memutar-mutar peta.
Hingga suatu ketika, ada seorang perempuan Jerman menyapaku.
Pertama dalam Bahasa Jerman.
8 hari di jerman
Bahasa Inggris, “Do you need help?”
Karena saat itu aku berjalan tanpa tujuan, aku hanya bilang, “No,
I just walk around the area. I stay at a hotel near here.” Ia pun
lalu kembali berjalan. Wow, ternyata ada yang ramah pula.
8 hari di jerman
memang bisa membuat seseorang kenyang. Aku juga menemukan
toko swalayan kecil, tempat aku kemudian membeli minuman
soda. Aku sengaja belanja untuk menukar uang kertasku agar aku
bisa pula mendapat koin.
Aku pun kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat. Aku ma-
kan roti yang kubeli dan segera beranjak ke tempat tidur. Acara
televisi tidak ada yang menarik. Kalaupun ada film Hollywood, se-
muanya di-dub dalam bahasa Jerman. Aku matikan televisi dan
berusaha untuk tidur nyenyak hingga esok pagi.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum)
Hari Pertama
3 Juni 2009
2
Hari ini hari pertama Global Media Forum (GMF). Registrasi akan
dimulai pukul 9.30, dan acara baru akan dibuka pukul 11. Lokasi
acara di World Conference Center (WCC) Bonn. Sesuai petunjuk
yang diberikan panitia, Rochsana Soraya, aku harus berangkat ke
sana menggunakan subway nomor 16 yang menuju Bad Godesberg.
Untuk itu aku harus terlebih dahulu berjalan ke stasiun subway
terdekat, Bonn West atau stasiun besar, yang sedikit lebih jauh,
Bonn Haubtbahnhof (Hbf). Terus terang membaca peta dan ber-
jalan-jalan kemarin untuk menentukan orientasi masih membin-
gungkan.
8 hari di jerman
Aku rasa, setelah melihat peta tempatnya tidak terlalu jauh. Aku
pun mulai menyusuri jalan. Wow, ternyata udara pagi pukul 9.00
pagi luar biasa dingin. Aku tak menyangka sampai sedingin ini,
karena sore kemarin udaranya cukup membuatku nyaman. Angin
kering membawa udara dingin, membuat bibirku cepat terasa ke-
ring. Aku terus berjalan, dan dengan sok jagonya menebak-nebak
mengikuti anjuran peta yang kudapat dari hotel kemarin.
8 hari di jerman
Museumsmeile. Tak sulit menemukan WCC, karena panah petun-
juk yang rupanya telah siap disediakan panitia. Aku berjalan mele-
wati jalan yang diperbaiki, rumah-rumah hunian, hingga akhirnya
aku melihat 2 gedung, gedung kantor penyelenggara, Deutsche
Welle (DW) dan WCC Bonn. Di hadapan WCC sendiri, terlihat pem-
bangunan yang belum selesai.
Di DW, aku berkenalan dengan Rizki dan Ayu yang menjadi penyiar
di redaksi Indonesia. Bahkan Ayu langsung mewawacara aku untuk
topik “blogger dan resolusi konflik.” Radio DW ini diputar dalam
gelombang SW untuk menjangkau pendengar Indonesia di beragam
tempat di dunia. Seharinya siaran hanya 1 jam di siang hari dan
1 jam di malam hari, bergantian dengan redaksi negara-negara
lainnya.
8 hari di jerman
Rekaman siaran Radio Deutsche Welle denganku bisa didengar di
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4303186,00.html
8 hari di jerman
dipakai oleh parlemen Jerman. Saat itu, tembok Berlin belum
runtuh, dan ibukota Jerman Barat masih di Bonn. Tatkala gedung
ini selesai dibangun, tembok Berlin runtuh dan Jerman bersatu.
Ibukota pindah ke Berlin, menyisakan bangunan parlemen yang
tak terpakai. Kini bangunan ini dipakai untuk beragm konferensi
internasional, mengingat lokasi gedung yang juga dekat dengan
gedung United Nations.
8 hari di jerman
pemainnya. Tak berbeda dengan di Indonesia, game Counter Strike
masih dianggap populer di Jerman, dan cukup banyak (meski tak
sebanyak di Indonesia) yang memanfaatkan game sebagai ajang
kompetisi dan meraih hadiah.
?
Lucunya, aku sempat memperhatikan seorang perempuan yang
duduk di belakangku sedang menulis di kertas kecil. Yang tak ku-
sangka, ia lalu memberikan kertas itu kepadaku. Aku terkejut saat
membaca yang tertulis, “Hallo, sepertinya kita pernah bertemu di
Goethe Institute, Jakarta ya?” Aku melirik balik, dan bilang nanti
setelah workshop kita cerita-cerita ya. Pikiranku pun bertanya-
tanya, siapa dia?
8 hari di jerman
faatkan akses internet gratis, namun tak membuatku benar-benar
mengalihkan perhatian akan topik diskusi.
8 hari di jerman
Sejenak kami berfoto-foto di tepian sungai dengan latar belakang
perahu (sekedar sebagai bukti saja), lalu antri masuk ke dalam
perahu. Ada tempat penitipan barang-barang, agar kami tidak
terbebani bawaan selama berada di dalam kapal. Aku tersenyum
saat memberikan tas punggung dan tas sanggul GMF untuk kutitip-
kan. Mereka menuliskan nomor di secarik kertas dan memberikan-
nya kepada kami. Hahaha, ternyata di tengah-tengah banyaknya
mesin automat di seluruh kota Jerman, penitipan barang seperti
ini masih ada yang mereka lakukan secara manual.
James (atau Jim) orang yang cukup unik. Ia bercerita kalau ia ada-
8 hari di jerman
lah seorang pengacara, sekaligus pebisnis di Makau. Denis berta-
nya, kenapa Jim mengenakan bros salib di jasnya. Jim bercerita
kalau ia adalah seorang pendeta, meski tidak mengikuti aliran
gereja tertentu. Ia mengikuti alirannya sendiri, dan pendapatnya
sendiri. Dari omongannya, aku tak bisa memutuskan, apakah ia se-
orang yang sebesar yang ia katakan, ataukah ia hanya berbohong
belaka. Namun setidaknya, ia punya gaya obrolan yang asyik.
Lama-lama aku tak tahan akan dingin yang menusuk. Aku kem-
bali turun dan melihat acara panggung yang kini sudah dimulai.
Musik dansa berayun, dinyanyikan oleh kelompok band Goodfellas.
Para peserta tua muda, beragam suku bangsa dan ras bercampur
meramaikan lantai dansa. Hari pun mulai gelap. Aku sempatkan
untuk naik ke dek atas lagi untuk menikmati senja di Sungai Rhine.
Kapal pun sudah membalikkan arahnya kembali menuju tempat
keberangkatan. Saat berangkat, kapal membutuhkan 2 jam untuk
mencapai tujuan, dan hanya membutuhkan 1 jam untuk kembali.
Arus sungai dari selatan ke utara sungguh membantu laju cepatnya
kapal.
8 hari di jerman
Kami melangkah ke luar kapal dan langsung terhajar oleh angin
malam yang luar biasa dingin. Kami berjalan mendekati kantor
DW, yang untungnya, masih ada bus menunggu untuk mengantar
kami hingga Bonn Hbf. Perjalanan tak terlalu lama, hingga kami
turun di stasiun utama Bonn. Aku lalu sempat berkenalan dengan 3
orang lain yang rupanya menginap di hotel yang sama dengan aku
dan Denis. Seorang pemuda dari Mesir, Ahmad, yang rupanya juga
pemenang The BOBs Award, lalu Rosana Hermann dari Brazil, juga
pemenang The BOBs Award, serta seorang perempuan dari Iran
(kalau tidak salah). Nah, yang ini aku lupa sama sekali namanya.
Maaf.
Kami semua berjalan kaki dari Bonn Hbf menuju Hotel Karl Kaiser.
Saat menyusuri jalan ini, aku mulai sedikit paham alur arah yang
tadi pagi sempat membuatku menyasar. Sekitar 20 menit kami
berjalan sambil mengobrol, hingga tiba di hotel. Kami berjanji
besok pagi untuk sarapan sekitar pukul 8.00 sebelum berangkat ke
WCC Bonn.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum)
Hari Kedua
4 Juni 2009
3
Pagi ini aku mulai tidur nyenyak. Tidak seperti malam sebelum-
nya akibat gangguan jetlag. Sekitar pukul 8.00 aku sudah siap,
dan turun untuk sarapan. Menu sarapan hotel masih sama seperti
kemarin, dan aku pun makan sarapan serupa. Di tempat ini, aku
melihat Denis, dan tak berapa lama pun Ahmad datang. Kami se-
mua sarapan bersama.
8 hari di jerman
masing, sementara Ahmad bilang, kalau dia akan kabur ke kota
saja jalan-jalan. Haha, bukannya aku tak tertarik, tapi aku masih
punya banyak waktu di Jerman. Jadi, kuputuskan untuk jalan-jalan
nanti saja setelah acara benar-benar usai. Aku mengikuti acara
di Plenary Chamber, tentang “Traditional media vs. web media
– friends or foes?” Bahasannya menarik, tentang bagaimana me-
nyikapi perkembangan media yang terjadi kini, terutama setelah
masuknya media-media baru seperti SMS, blog, jejaring sosial, dll.
Meski menarik, aku tetap memanfaatkan waktu pagi ini untuk se-
cara paralel mengecek email selama kegiatan workshop berlang-
sung (maklum, nggak tahan kalau nggak pakai internet).
Makan siang kali ini tak seheboh hari sebelumnya, meski tetap
8 hari di jerman
enak. Aku mulai memperhatikan suatu pola. Mereka sama sekali
tidak pernah menyajikan menu yang mengandung babi. Bisa jadi
panitia sadar karena peserta Global Media Forum (GMF) ini banyak
pula yang beragama Islam.
8 hari di jerman
Acara ini selesai lebih cepat daripada jadwal. Saat aku keluar,
aku sempat bertemu dengan Rosana dan Denis. Saat itu ada se-
orang pegawai Deutsche Welle (DW) bernama Carlos yang berasal
dari Brazil. Ia dan Rosana seperti sudah kenal sejak lama. Aku dan
Denis lalu diajak untuk berjalan-jalan ke gedung DW. Tentunya
kami mau saja, daripada harus menunggu tanpa ada kegiatan.
8 hari di jerman
Setelah itu kami turun ke ruang Plenary Chamber tempat akan
berlangsungnya penganugrahan. Saat itu ruang yang sebelumnya
dipakai untuk workshop sudah
kosong, pesertanya sudah rehat
coffee break. Ruangan itu kami
pakai untuk rehearsal kasar
peng-anugrahan. Show director
menentukan proses urutan pe-
nerimaan piagam, dan titik tem-
pat kami akan berdiri dan berbi-
cara. Setelah itu kami diminta
untuk duduk dekat panggung,
di bangku-bangku yang sudah
ditandai oleh nama kami masing-
masing.
Aku agak khawatir akan Bahasa Inggrisku yang masih acak adut ini.
Untuk menghindari kegugupanku nanti berbicara, aku mencoret-
coret di telapak tangan kiriku, tentang kalimat yang akan kuucap-
kan. Aku terus mengulang-ulang kalimat itu. Denis yang kebetulan
duduk di sebelahku hanya tertawa melihat aku menulis kebetan di
telapak tanganku. Ia cuma mengingatkanku untuk tidak melam-
baikan tangan saja. Haha.
Masih ada beberapa saat sebelum acara resmi dimulai. Aku menge-
luarkan beragam pembatas buku dan gantungan kunci bergambar
wayang yang aku bawa dari Jakarta. Aku bagikan ke setiap peme-
nang, sebagai tanda kenang-kenangan dariku. Umumnya, mereka
merasa senang akan pemberian hadiah ini. Hmm, apa memang
sudah jadi kekhasan orang Indonesia untuk kemana-mana mem-
bawakan oleh-oleh ya? Haha, karena satu pun dari mereka tak ada
yang memikirkan untuk membawa kenangan dari negara mereka
untuk orang lainnya.
8 hari di jerman
Pikiranku hanya satu, bagaimana nanti membawa ini kembali ke
Jakarta ya? Pikiran itu segera hilang saat si pembawa acara me-
nanyakan apa isi blogku. Ia juga menanyakan katanya aku sedang
membuat buku ya? Ia juga menanyakan relevansi buku ini dengan
konten tulisan yang kubuat di blogku. Setelah semua dipanggil dan
mendapatkan piagam, acara pun berakhir dengan kami berfoto-
foto bersama. Sayang untuk beberapa blogger yang tak bisa hadir,
karena alasan pribadi dan alasan dilarangnya mereka keluar dari
negara mereka masing-masing.
Acara hari itu pun berakhir, dan semua peserta seminar diminta
untuk datang ke gedung DW untuk menghadiri perjamuan makan
malam bersama-sama di sana. Ada untungnya juga acara penganu-
grahan piagam The BOBs Award ini, karena semakin memudahkan
aku untuk berkenalan dengan orang-orang lainnya. Mereka malah
yang mendatangiku untuk mengobrol banyak tentang kondisi blog
di Indonesia.
8 hari di jerman
bagaimana aktivitas daring para penduduk di Indonesia, dan sudah
sampai sejauh apa.
Ada lagi seorang redaktur dari Jerman, Christian Mihr, yang sering
memberi pelatihan jurnalistik ke negara-negara Timur Tengah. Ia
akan menjadi pembawa acara di salah satu topik besok. Aku ber-
janji akan datang, karena topik yang dibahasnya erat hubungan-
nya dengan dunia blog. Ia juga banyak bertanya tentang perkem-
bangan dunia blog di Indonesia, dan hambatan apa yang dihadapi
para blogger dan jurnalis warga lainnya.
Malam ini malam terakhirku di hotel, dan aku masih ada sisa wak-
tu pemakaian internet yang pernah kubayar saat pertama kali aku
menginap. Malam ini kesempatan terakhir untuk menghabiskan-
nya. Sisa waktu 45 menit aku habiskan untuk berinternet di lobi
hotel, sebelum kemudian mataku mulai mengantuk, dan aku me-
mutuskan untuk tidur.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum)
Hari Ketiga
5 Juni 2009
4
Wah, ini hari terakhir seminar, dan ini artinya hari terakhirku pula
di hotel ini. Aku harus pindah mulai siang ini, kecuali kalau aku
mau membayarnya sendiri. Aku mulai mengepak barangku, men-
gaturnya kembali agar muat dalam koper yang kubawa. Bebera-
pa t-shirt batik dan syal serta taplak meja bertekstur batik yang
kubawa dari Jakarta dan hendak kubagikan ke beberapa orang
kukemas dalam tas punggungku. Rencananya, malam ini aku akan
mulai menginap di rumah Yuniman. Untuk itu, koper harus aku
bawa sekarang dan kutitipkan di kantor DW hingga masa seminar
berakhir.
8 hari di jerman
batik yang kubawa ke Denis dan Ahmad.
Aku tiba telat di WCC. Acara sudah dimulai. Aku langsung memasu-
ki workshop “Suppressed website – will censors lose the race.”
Karena telat, aku tak terlalu menyimak tema yang dibawakan.
Intinya sebetulnya, bagaimana tekanan-tekanan yang muncul pada
beberapa situs/blog dan mungkinkan isi situs/blog itu disensor/di-
regulasi oleh pihak berwenang.
8 hari di jerman
sempat kutemui di hari sebelumnya), aku mengikuti workshop ber-
judul “Bypassing cencorship through blogging? The blogosphere
in Russia” yang membahas tentang kondisi blogosfer di Rusia dan
Jerman dan pengaruhnya terhadap perkembangan politik. Sebe-
narnya ini topik yang menarik kalau saja si pembicara dari Rusia
bisa presentasi dengan lebih baik.
8 hari di jerman
Acara ditutup dengan makan siang bersama di Art and Exhibition
Hall, sekitar 10 menit berjalan kaki dari WCC. Ada informasi baru
kalau katanya para peserta bisa mengikuti tur tambahan berjalan-
jalan ke sebuah tempat wisata, namun dikenakan biaya 49 Euro.
Wow, menarik sih, tapi mahal sekali. Lebih baik aku tak ikut. Kalau
memang bagus, aku pikir aku bisa pergi ke sana esok sendiri, de-
ngan biaya yang tentunya lebih murah.
Aku juga bercerita kalau mereka tidak hanya melakukan itu. Mer-
eka, atas undangan para blogger dan partisipan di ranah daring,
bahkan sempat bertemu dan berdiskusi langsung di tempat yang
netral. Peter hanya berucap, “Wow, mereka mau? Itu ide yang
bagus. Nanti akan coba diadakan serupa pula di sini.” Aku kembali
berpikir, wah, berarti kalau terkait dengan blog dan masyarakat
8 hari di jerman
daring di Indonesia, kita jauh lebih beruntung dan maju dibanding
negara seperti Jerman sekalipun.
Tempat makan siang kali ini tidak terlalu besar, dan antriannya ter-
lihat panjang. Aku hanya mengambil minum. Saat bertemu dengan
Ahmad, ia mengajakku untuk melihat museum terlebih dahulu.
Lokasinya memang tak jauh dari tempat jamuan makan. Saat itu
sedang ada pameran karya Amadeo Modigliani, seorang artis klasik
tenar yang karya aslinya tersebar di beragam museum di berbagai
negara.
8 hari di jerman
ri di dekat Nancy dan Rochsana yang asyik mengobrol bersama.
Nancy rupanya sudah menyempatkan diri belanja dan mampir ke
Beethoven Haus di tengah kota. Ia menunjukkan kaos oleh-oleh
untuk suami dan kedua anaknya. Waktu pun menunjukkan pukul
15.00 dan akhirnya kami semua pun harus berpisah. Nancy rupa-
nya masih akan mengikuti tur tambahan, karena kesempatannya
di Jerman pun hanya tinggal sore ini. Ia harus kembali ke Amerika
Serikat esok pagi.
8 hari di jerman
jalan menuju Sungai Rhine, tempat kapal wisata membawa peserta
seminar 2 hari sebelumnya. Aku duduk dan memfoto beragam ak-
tivitas yang terjadi di sana. Banyak sekali warga yang memanfaat-
kan tepian Sungai Rhine yang tertata ini untuk olahraga jogging,
sementara banyak sekali kapal kecil dan besar berlayar melewai
sungai. Ada yang mengangkut mobil, ada yang merupakan kapal
pesiar yang setiap penumpangnya bebas ikut, dengan membayar
tentunya.
8 hari di jerman
nya, aku ketahui kalau ternyata biaya telekomunikasi di Jerman
itu masih mahal. Operatornya tidak terlalu getol dalam bersaing.
Bahkan, hampir tidak ada tempat wi-fi gratis yang disediakan oleh
operator, kecuali kalau pembiayaannya disponsori oleh pihak lain.
Biaya telepon masih tergolong tinggi, meski biaya internet untuk
rumah tangga bisa dikatakan sangat murah. Makanya, banyak war-
ga Jerman yang lalu memanfaatkan internet untuk bertelepon dan
video.
8 hari di jerman
dan anak mereka, Mewan, datang pula. Lara Vincent, istri Yuni-
man ternyata seorang perempuan atraktif berkebangsaan Prancis.
Suasana pun ramai, apalagi ditambah kehadiran 2 anak kecil di
rumah sempit itu. Sungguh, rumah di Jerman memang kecil-kecil.
Sewanya per bulan cukup mahal, bisa sampai 500 Euro per bulan-
nya.
Sekitar pukul 19.00, kami pun pulang. Ayu, Rizki pulang diantar
temannya, sementara aku ikut Yuniman yang pulang bersama is-
trinya dan Mewan. Rumah Yuniman juga agak jauh dari luar kota,
tapi katanya kalau dengan bus cuma butuh waktu 20 menit hingga
pusat kota. Aku percaya saja, toh seharusnya transportasi di sini
sangat baik dan tepat waktu, berbeda dengan di Jakarta.
Rumah Yuniman lebih besar daripada rumah Vidi. Dua lantai. Lan-
tai bawah penuh dengan mainan Mewan yang tersebar di lantai.
Satu set komputer terlihat di ruangan itu dengan pagar pembatas.
Lucunya, biasanya pagar ini dipakai untuk menjaga agar bayi tidak
keluar dari batas. Namun di sini, pagar itu dipakai untuk mengelil-
ingi komputer, agar si bayi tidak bisa mendekat ke komputer.
Dapur penuh dengan beragam sayur dan toples. Piring tempat ma-
kan kucing peliharaan mereka terlihat di lantai dapur. Kamar man-
di kecil yang terdapat di bawah hanya digunakan untuk toilet dan
wastafel. Di lantai atas terdapat 2 kamar tidur. Satu untuk Yuni-
man dan Lara. Satu biasanya untuk tamu, namun kadang Mewan
ditidurkan sendiri di kamar itu. Kamar mandi dengan bathtub juga
berada di lantai dua. Isi kamar mandi penuh dengan perlengkapan
mandi Mewan. Huhu, begini rasanya kalau punya banyak barang
namun ruangan terbatas.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
bertemu dan berjalan-jalan di kota Düsseldorf. Ah, akhirnya ada
yang bisa menemaniku berjalan-jalan esok hari.
8 hari di jerman
Düsseldorf
6 Juni 2009
5
Hari ini aku berjanji untuk berjumpa dengan seorang blogger
Jogja yang kini merantau di Rotterdam, Belanda. Namanya Chris-
tin. Kami berjanji untuk bertemu di kota Düsseldorf, tepatnya di
stasiun pusatnya, Düsseldorf Hbf. Christin sudah berangkat sejak
pagi dengan menggunakan kereta ICE dari Belanda. Biayanya yang
cukup mahal, sempat membuatnya ragu, apakah ia bisa ke Düs-
seldorf atau tidak. Entah apapun pemikirannya, akhirnya ia tetap
memutuskan untuk berangkat. Aku bersyukur karenanya.
8 hari di jerman
Aku segera bergegas ke halte Fahrenheitstrausse. Bus pun datang
tepat waktu. Bodohnya aku, aku menunggu di halte yang salah.
Aku menunggu di sisi seberang. Aku kira bus ke Bonn lewat di
hadapanku, padahal bus itu lewat di sisi seberang jalan. Yuniman
sempat berkata, bus akan datang setiap 30 menit. Aku khawatir,
kalau aku menunggu bus 608, aku takut ketinggalan kereta yang
akan membawaku ke Düsseldorf.
Aku mendekati sepasang suami istri yang berada cukup dekat de-
8 hari di jerman
nganku. Aku menduga, sepertinya si suami bisa berbahasa Inggris
lancar. Saat kutanyakan tempat membeli tiket, si suami hanya bil-
ang sembari menunjuk automat. Semua tiket serba otomatis.
8 hari di jerman
negara melintas di stasiun ini. Bahkan kereta yang ditumpangi
Christin pun, yang menghubungi Belanda dan Jerman, singgah di
stasiun ini.
8 hari di jerman
gereja tua. Suasana hiruk pikuk orang, kendaraan, trem, terlihat
di banyak persimpangan jalan. Beberapa galian konstruksi juga
terlihat, dibatasi oleh pagar yang tertata rapih memisahkannya
dengan keramaian orang berlalu lalang.
8 hari di jerman
Saat itu sudah mendekati siang hari, dan perut kami pun lapar. Aku
sendiri tak sempat sarapan tadi pagi, sementara Christin hanya
makan sepotong roti. Christin memberikan pilihan, makan di Pizza
Hut, McDonald’s atau Subway? Subway, aku bertanya, apakah itu?
Saat itu juga ada beberapa kelompok orang yang mengenakan ko-
stum seragam, sepertinya ada kompetisi lomba kostum. Aku sem-
pat lihat sekelompok pemuda yang berdandan punk dan gothic.
Ada lagi sekelompok yang mengenakan kaos merah dengan ker-
tas tertempel di dadanya, seperti Gerombolan Siberat, musuh si
Paman Gober di karakter Disney. Ada pula sekelompok pemuda
yang mengenakan kaos warna-warni ala Hawaii. Aku dan Christin
sempat tertawa karena salah satu orang mengenakan kaos dengan
gambar David Hasselhoff sebagai bagian dari coraknya.
8 hari di jerman
Sampailah kami di salah satu sentrum kota. Gedung tua dan patung
menghiasi area itu. Tak jauh dari situ, ada lorong masuk menuju
tempat penjualan suvenir. Beragam jenis suvenir khas Düsseldorf
dan Jerman dijual di sini. Agak aneh melihat penjualnya. Si bapak
berkacamata ini mengenakan jas formal hitam lengkap dengan
dasi merah. Sesuatu yang amat janggal untuk seorang penjual su-
venir. Saat membeli barang pun, ia sendiri yang membungkus dan
mengurus pembayaran di kasir.
Saat itu cuaca sungguh tak mendukung. Mendung dan akhirnya dii-
kuti oleh hujan rintik-rintik. Suhu saat itu mungkin sekitar 17°C.
Bukan air hujan yang menyiksa, namun angin kering dingin yang
mengikutinya yang membuat banyak orang menepi dan berteduh.
Beberapa toko menyediakan coffee shop yang laris dihampiri orang
untuk berteduh.
Meski hujan dan angin cukup kencang, aku dan Christin menerus-
kan perjalanan. Christin mengeluarkan payungnya, dan kami pun
meneruskan perjalanan. Kami semakin mendekati Sungai Rhine
yang membelah kota Jerman. Banyak rumah makan dan pertokoan
berada di sekitar sini. Beberapa turis terlihat berfoto-foto sembari
mendengarkan cerita dari pemandunya. Dari sudut kami berjalan,
8 hari di jerman
menara tinggi, yang menjadi ikon kota Düsseldorf terlihat jelas.
Sayangnya langit masih mendung dan dingin semakin menusuk.
8 hari di jerman
terus bertiup. Payung Christin pun tak tahan pula menahan goya-
han angin. Salah satu rusuk payung terlepas dan rusak. Untunglah
masih bisa memadai untuk kami pakai berteduh. Kami kembali
berputar-putar kota tanpa arah. Sempat terhenti di depan toko
yang sepenuhnya menjual cokelat dengan desain bungkus yang
indah-indah. Terlalu mahal, menurut kami.
8 hari di jerman
Kereta pun berhenti sejenak di Köln, dan bersama dengan banyak
penumpang lainnya, si perempuan dan anjingnya keluar. Bangku-
nya yang kosong kini diisi oleh seorang perempuan cantik beram-
but hitam. Hmm, cantik bisa jadi karena makeup-nya yang pas.
Ia asyik mendengarkan musik dari MP3
player-nya.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Brühl
7 Juni 2009
6
Hari ini hari Minggu, dan berbeda dengan di Indonesia, hari Min-
ggu hampir semua pertokoan tutup. Tadinya aku berencana untuk
ke pusat kota Bonn untuk mencari-cari suvenir kembali, sekaligus
melihat festival balon udara yang diadakan di tepi Sungai Rhine,
tak jauh dari kantor Deutsche Welle. Namun mendengar kalau per-
tokoan tutup, niatku untuk pergi pun urung kulakukan.
8 hari di jerman
dengan banyak bebek berenang di kolam-kolamnya. Banyak orang
menikmati keindahan taman ini. Anak-anak kecil berlarian di te-
ngah-tengah pola tanaman yang mirip labirin. Salah seorang ayah
terlihat duduk dalam keteduhan pohon mengamati kedua anaknya
berlarian kesana kemari. Para orang tua berjalan di keteduhan
pohon-pohon yang berjajar lurus di kiri dan kanan taman. Be-
berapa orang bahkan memanfaatkan taman besar ini untuk jog-
ging berkeliling. Yuniman berkata, kalau warga Jerman suka sekali
mendatangi taman-taman seperti ini setiap hari Sabtu dan Minggu.
Satu hal yang kurang hanyalah tak adanya sinar matahari. Hanya
awan mendung, meski masih terang, membayangi perjalanan kami
menyusuri taman.
8 hari di jerman
Augustusburg. Di dekat bangunan besar itu, kebetulan sedang ada
acara musik. Bangunan yang ditentukan sebagai bangunan historis
oleh UNESCO ini hari ini banyak sekali dikunjungi orang. Malam
nanti sepertinya akan ada pertunjukan, karena aku sempat meli-
hat 4 pasang pria dan wanita yang mengenakan kostum abad-16,
lengkap dari rambut hingga seluruh pakaian yang menutupinya.
Mereka terlihat bersiap-siap sejenak, sebelum akhirnya mereka
berjalan memasuki bangunan.
Waktu menjelang siang, dan kami semua pun lapar. Katering yang
tersedia cukup unik. Sebuah mobil yang sudah disulap untuk di-
jadikan tempat penyedia kopi, dengan di sebelahnya tersedia
meja saji dan panggangan. Yang menakjubkan, di dekat antrian
tersedia monitor Macintosh besar yang menampilkan foto-foto sa-
jian dari katering itu. Harga makanan antara 4-5 Euro, dengan
beragam jenis daging (yang tentunya kebanyakan babi). Aku ter-
paksa memilih menu makanan yang tak seberapa kenyang, yakni
sosis ayam dan roti. Nggak masalah bagiku.
8 hari di jerman
membayar 5 Euro. Kami harus menunggu sekitar 10 menit sebelum
pemandu wisata mengantar kami semua menikmati isi museum.
Sayangnya, semua cerita dibawakan dalam bahasa Jerman. Un-
tungnya, aku sempat meminjam petunjuk urutan tur dalam ba-
hasa Inggris. Setidaknya, aku tidak benar-benar merasa bodoh
mengikuti tur ini.
8 hari di jerman
Sepertinya malam ini akan ada konser di ruangan ini. Sebuah grand
piano terlihat di atas mezzanine tangga dengan 2 orang sedang
berdiskusi dan berlatih. Di hadapannya, di lantai bawah, telah
berjejer puluhan kursi untuk mereka yang nanti akan menikmati
konser.
8 hari di jerman
menikmati sore di rumah.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Köln - Bonn
8 Juni 2009
7
Hari Senin, dan tentunya semua warga bekerja hari ini, termasuk
Yuniman. Hari ini Lara, istrinya tak bekerja, tapi ia harus menyi-
apkan bahan untuk mengajar esok hari. Lara memang pengajar
Bahasa Prancis di Jerman. Ia dulu juga sempat mengajar di Uni-
versitas Brawijaya Malang, dan CCF Jakarta. Jam 8 lewat, Yuni-
man sudah berangkat. Ia membawa Mewan sekalian ke sekolah.
Wow, baru 13 bulan sudah dibawa ke sekolah? Sebenarnya lebih
ke tempat penitipan anak sekaligus tempat belajar. Sehari ini, Me-
wan dititipkan ke sekolah selama 3 jam. Siangnya, Mewan akan
dijemput oleh Lara.
Seperti rencana awal, aku akan berangkat ke Köln hari ini, un-
tuk melihat gereja katedral (dom) yang
legendaris itu. Aku sempat melihat fo-
tonya sebelumnya, dan sepertinya luar
biasa. Aku berangkat menggunakan bus
609. Kali ini tak salah lagi seperti 2
hari sebelumnya. Setibanya di stasiun
kereta Bonn Haubtbahnhof (Hbf), aku
langsung membeli tiket ke Köln. Total
perjalanan membutuhkan 2.40 Euro untuk bus dan 6.50 Euro untuk
kereta Rhine Express (RE). Setengah jam waktu yang dibutuhkan,
8 hari di jerman
sebelum tiba di stasiun utama Köln Hbf.
8 hari di jerman
menjelaskan setiap ruang, ukiran, gambar, patung, di dinding dan
lantai gereja itu. Aku menengadahkan kepala dan berdecak kagum
betapa tingginya langit-langit gereja ini. Kurva-kurva pendukung
struktur bangunan terlihat masif menjaga beban menara selama
lebih dari 4 abad lamanya. Beberapa bagian terlihat sedang dir-
estorasi demi menjaga fisik gereja agar tetap menyerupai kondisi
aslinya.
8 hari di jerman
sosial. Beragam orang dari beragam usia dan ras terlihat mengo-
brol di banyak tempat. Ada yang sambil duduk minum kopi di de-
pan hotel di seberang gereja. Ada pula yang ramai-ramai duduk di
tangga undakan menuju gereja. Tangganya sangat luas, sehingga
tak mengganggu orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
8 hari di jerman
selanjutnya. Terus, terus, hingga naik di ketinggian sekitar 80 me-
ter. Udara dingin mulai terasa. Aku sampai di pelataran dengan
dinding berbentuk lingkaran. Bangku batu menempel di dinding
itu. Beberapa orang terlihat beristirahat. Aku melihat tangga bua-
tan baru yang mengarah terus ke puncak menara.
Dari sini, aku bisa melihat seluruh kota Köln. Aku mencoba mem-
bayangkan kondisi asli bangunan. Saat itu pasti tak ada pagar
tinggi pelindung yang membatasi mata orang dengan kota. Hmm,
dengan angin sekencang ini, tidak bisa kubayangkan, betapa be-
raninya orang-orang masa lalu berjalan-jalan di tempat ini. Amat
disayangkan, keindahan menara gereja ini dirusak oleh banyak
ta-ngan jahil. Banyak sekali graffiti atau coret-coretan di batu
dinding menara ini. Malah, kalau kuamati, hampir semua dinding
8 hari di jerman
menuju menara penuh dengan coret-coretan. Seakan-akan yang
mencoret ingin membuktikan dirinya, kalau ia pernah hadir di
lokasi itu. Banyak yang mencantumkan tanggal mereka datang ke
menara itu.
Aku memandang kembali gereja hebat ini dari luar, lalu melanjut-
kan perjalanan menyusuri kota Köln. Aku baru menyadari, rupanya
kota-kota di Jerman memang seperti ini. Setiap keluar dari stasiun
utama, akan ada plaza utama. Mereka menyebutnya sentrum. Di
sekitar sentrum ini terdapat banyak pertokoan yang hanya bisa
dilalui dengan berjalan kaki. Kota Köln pun demikian, penuh de-
ngan tempat belanja yang diarahkan melalui suatu jalur lebar. Kiri
kanan penuh dengan pertokoan dan ribuan orang lalu lalang di
dalamnya. Tempa wisata belanja ini dikenal dengan sebutan Schil-
dergasse.
8 hari di jerman
Di beberapa titik, terlihat pengamen. Seperti di Düsseldorf,
pengamen di sini agak berbeda. Ada yang mengecat dirinya bak
prajurit Romawi. Ada yang bermain band bersama beberapa orang,
dengan musik tradisional. Ada pula yang menyanyi lagu-lagu pop.
Yang paling unik, ada yang menyajikan musik duet antara pemain
biola dan permainan orgel yang diputar. Mereka terus bermain, se-
mentara orang menikmati atraksi mereka. Sesekali ada yang mem-
berikan sumbangan uang di kaleng atau kain di hadapan mereka.
8 hari di jerman
dan berjalan. Duh, ternyata sakit di telapak kakiku mulai terasa.
Aku menduga pasti bantalan telunjuk kakiku membengkak, akibat
berjalan terlalu lama. Aku menahan sakit di kedua telapak kakiku
dan melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 16.00 aku tiba kembali di Bonn. Ah, pikirku, masih
sore. Lebih baik aku habiskan waktu untuk lebih banyak berputar-
putar di dalam kota Bonn. Toh, semenjak aku di sini, aku malah
belum pernah merasakan keramaian pusat kota Bonn. Ternyata,
aku salah duga. Awalnya kukira Bonn adalah kota sepi. Kenyataan-
nya, pusat kota Bonn sungguh ramai, sangat kontras dengan tem-
pat awalku menginap 3 hari lalu.
8 hari di jerman
lapangan luas di hadapannya. Lapangan ini dibiarkan tumbuh rum-
put dan bunga-bunga putih kecil bermunculan di beragam tem-
pat. Orang-orang terlihat asyik mengobrol, beristirahat, membaca
buku, dan berjemur di tengah lapangan. Musik mengalun terdengar
di salah satu sudut lapangan tempat banyak remaja berkumpul.
8 hari di jerman
Rumah tua yang direnovasi ini sepertinya masih menggunakan
lantai papan kayu asli. Denyitan kayu setiap kali aku melangkah
memberi kesan betapa tuanya rumah ini. Isi pameran ternyata
tidak terlalu menarik (Lara kemarin sebenarnya sudah mengingat-
kan). Hanya foto-foto dan dokumen tua dengan penjelasan berba-
hasa Jerman. Ada pula biola, piano, dan lemari yang dulu dipakai
Beethoven.
Tepat pukul 18.00, aku keluar dari museum. Kini, aku sudah puas.
Aku memutuskan untuk kembali ke Bonn Hbf, untuk menunggu
bus 609 atau 608 untuk kembali ke Fahrenheitstrausse. Kalau bisa
sih, aku lebih memilih untuk naik 609, agar aku tak perlu berjalan
terlalu jauh lagi ke rumah. Kakiku sudah sakit luar biasa. Aku ha-
nya membayangkan betapa enaknya air hangat membasuh kakiku,
menghilangkan rasa lelahku.
8 hari di jerman
Mewan, kami pun makan malam. Kata Yuni-
man, ini menu dari Hongaria. Nasi campur
daging yang dimasak dengan sedikit pedas.
Penyajian dan warnanya mirip dengan da-
ging bumbu asam yang biasa dimasak di Ja-
karta. Hanya saja, ini lebih enak. Maklum,
aku tidak terlalu suka bumbu asam.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Bonn - Frankfurt - Amsterdam -
Kuala Lumpur - Jakarta
8
Hari Selasa, dan ini hari terakhirku di Jerman. Siang ini aku harus
berangkat kembali ke Jakarta. Aku tak berencana kemana-mana
hari ini. Lebih baik aku mengemas barang-barang yang akan kuba-
wa kembali ke Jakarta.
Sarapan pagi ini cukup sederhana. Masih ada sisa roti yang dibeli-
kan Lara kemarin pagi. Roti khas Eropa bercampur dengan bera-
gam selai itu pun kuhabiskan. Aku sempatkan waktu bermain-main
dengan Mewan. Anak yang lucu dan menyenangkan.
Mewan
a morning blights
a sunshine brights
8 hari di jerman
there’s come a sight
where a boy learns to flight
he laughs a lot
he cries a little
he babbles “Da. Da.. Da..”
and eats much
8 hari di jerman
Mobil diparkir di universitas tempat Lara nanti siang mengajar.
Rupanya ia bebas parkir di situ tanpa berbayar. Kami lalu lanjut
ke Bonn Hbf dengan berjalan kaki, lebih dari 500 meter, melewati
taman universitas yang luar biasa luas. Area ini sempat aku le-
wati saat kemarin sore aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di
Bonn. Aku mendorong Mewan, sementara Lara menarik koperku.
Duh, perempuan Eropa tangguh-tangguh ya. Berjalan jauh-jauh
sembari menyeret koper dengan berat 25 kg. Jalannya jauh lebih
cepat daripada aku lagi.
8 hari di jerman
masi tiket. Aku pun akhirnya mengikuti Lara hingga pusat infor-
masi, tempat akhirnya aku membeli tiket kereta IC ke Frankfurt
Flughaven. Kereta IC adalah kereta lintas antar kota dengan harga
sedikit lebih mahal daripada RE (Rhein Express). Aku beli tiket ini
karena yang paling murah dan tanpa aku perlu transit di stasiun
lain. Harganya 35 Euro.
8 hari di jerman
Amsterdam daripada di bandara Frankfurt yang sepi ini.
Waktu boarding tinggal setengah jam lagi, dan perutku mulai be-
rasa lapar. Aku berkeliling lantai dua yang penuh dengan tempat
makan. Paling aman untuk kumakan paling hanya McDonald’s. Aku
makan sejenak. Oh ya, kalau makan di Eropa, ada sedikit kebi-
asaan berbeda. Aku harus langsung membereskan yang kumakan
dan membuangnya sendiri di tempat yang telah disediakan.
Aku lalu berjalan menuju Terminal E24, yang ternyata masih jauh
dari situ. Aku sampai tepat saat waktu boarding. Semua penum-
pang masih harus melewati pengecekan terakhir, sebelum berang-
8 hari di jerman
kat terbang 1 jam berikutnya.
8 hari di jerman
tunjuk penerbangan dan pendaratan yang menggunakan rekaman
suara perempuan menggunakan Bahasa Indonesia. Makan sore yang
disediakan pun khas Indonesia, bakmi dengan lauk ayam dengan
bumbu yang agak pedas.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
8 hari di jerman
pitra satvika
(media-ide.com)
© 2009
8 hari di jerman