Anda di halaman 1dari 128

1 Pitra Satvika

Shenzhen - Hong Kong - Macau

Teks dan foto oleh:


Pitra Satvika

Desain sampul dan buku oleh:


Pitra Satvika
www.media-ide.com

Galeri foto bisa pula dilihat di:


eyesight.media-ide.com
mataku.media-ide.com

© 2010 Pitra Satvika

Hak cipta setiap bagian dari buku ini adalah sepenuhnya


milik Pitra Satvika. Buku ini boleh didistribusikan ulang
sepanjang dalam bentuk utuh dengan tidak menghilangkan
satu halaman apapun. Buku ini tidak boleh
dikomersialkan, dalam bentuk disewa, dijual, ataupun
dalam bentuk lain yang menghasilkan uang, tanpa izin
tertulis dari Pitra Satvika.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 2


2-7 Desember 2010

shenzhen
HONG KONG
MACAU

3 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 4
2 Desember 2010

Jakarta
shenzhen

5 Pitra Satvika
Tahun 2010 ini saya mendapat kesempatan berlibur
lagi ke luar negeri. Kali ini bersama seluruh anggota
keluarga, lengkap dengan mengajak Bapak, Ibu,
serta adik saya beserta suami dan putranya yang
masih berusia 3 tahun. Kami semua memang sudah
merencanakan liburan ini sejak beberapa bulan
sebelumnya. Mumpung kami mendapat tiket Garuda
Indonesia murah saat pameran beberapa bulan lalu.
Tujuan kami adalah Shenzhen, China. Lalu lanjut ke
Hong Kong dan Macau. Karena kali ini murni liburan
keluarga, kami pun meminta bantuan biro wisata
kenalan kami untuk bisa memberikan usulan tujuan
wisata kami.

Pagi pukul 06:00 pagi kami sudah berangkat dari


rumah. Terlalu pagi sih sebetulnya, karena pesawat
Garuda Indonesia yang akan membawa kami ke
bandara internasional Hong Kong baru akan berangkat
pukul 09:45. Meski sudah melewati pengurusan tiket,
pengurusan fiskal, hingga imigrasi, kami masih punya

Shenzhen - Hong Kong - Macau 6


sisa waktu 1 jam menunggu di ruang keberangkatan.
Akhirnya saya malah menyempatkan diri untuk
kembali meneruskan tidur. Lumayan, apalagi malam
sebelumnya saya cuma tidur kurang dari 2 jam, karena
pulang malam dan menghabiskan sisa waktu malam
dengan berbenah dan bersiap-siap.

Pesawat Garuda Indonesia pun lepas landas pukul


10:00. Telat 15 menit karena antri menunggu runway
yang padat traffic saat itu. Keponakan saya menangis
keras saat pesawat mulai mengangkatkan badannya.
Untungnya tangisannya berhenti dan kembali
ceria setelah pesawat berada di angkasa. Selama
perjalanan ia asyik bercanda sampai akhirnya terlelap
karena mengantuk. Dimulailah perjalanan panjang
kami selama sekitar 4 jam 30 menit.

Ini bukan pengalaman pertama saya ke Hong Kong


dengan Garuda Indonesia. Saya pernah melakukan
perjalanan serupa tahun 2009 lalu. Tak berbeda
dengan sebelumnya, waktu saya habiskan dengan
menikmati flight entertainment dari Garuda
Indonesia. Tinggal pilih film atau musik yang saya
suka, dan mencoba menikmati perjalanan yang cukup
lama ini. Pilihan film saya kali ini adalah “Sorcerer’s
Apprentice” dan salah satu episod “How I Met Your
Mother.” Headphone pun saya pasang, sambil duduk
tenang menonton televisi yang berada di punggung
bangku depan saya. Sesekali saya sempat tertidur
karena sisa ngantuk semalam masih terasa.

7 Pitra Satvika
Sebelum pesawat berangkat, setiap penumpang
mendapat jatah satu cup jus jeruk. Kami juga
mendapat jatah makan siang. Ada 2 pilihan, nasi
plus ayam, atau kentang plus daging. Variasi lainnya
sama. Ada chocolate moose, roti, susu, dan salad.
Sesaat sebelum mendarat, sebotol air minum dalam
kemasan diberikan, untuk menjaga kami agar tidak
dehidrasi selama perjalanan.

Waktu Hong Kong lebih cepat satu jam daripada


Jakarta. Kami tiba di bandara internasional Hong Kong
sebelum pukul 16:00 waktu Hong Kong. Begitu kami
memasuki area bandara, seorang petugas kesehatan
menghampiri kami. Ia hendak mengecek keponakan
saya. Si petugas kesehatan bandara menggunakan
penutup mulut dan membawa termometer digital
yang mirip pistol canggih yang futuristik. Angka
digital suhu terlihat di tampilan layar kecil di atasnya.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 8


Si keponakan menangis hebat karena merasa risih
saat si petugas mendekatkan termometer di lubang
telinganya. Agak khawatir juga sih kalau ternyata
kami sampai mendapat peringatan. Untungnya tidak.
Kebetulan si keponakan memang dalam kondisi
tubuh yang sehat, dan suhu badannya normal. Pihak
imigrasi dan kesehatan di Hong Kong memang sangat
berhati-hati akan hal ini sejak dulu wabah flu burung
menimpa negeri ini.

Sore ini kami memang tidak mampir ke kota Hong Kong.


Tujuan kami langsung ke Shenzhen, China, sehingga
kami tak perlu melewati proses imigrasi. Di bandara
internasional Hong Kong kami berjalan ke Terminal
E1, tempat kami mengurus transit perpindahan
tansportasi. Kami akan menggunakan ferry cepat
untuk menyeberang ke Shenzhen. Kebetulan biro
wisata kami sudah membantu pemesanan tiketnya.
Saya tinggal datang ke loket pembelian tiket ferry,

9 Pitra Satvika
menunjukkan cetakan bukti pemesanan yang sudah
saya bawa dari Jakarta. Saya pun langsung dikasih 6
tiket. Kalau mau membeli langsung, harga per tiketnya
HK$ 200. Menariknya lagi, semua bagasi kami bawa
dari Jakarta, langsung otomatis dipindahkan ke ferry.

Ternyata terminal keberangkatan ferry tidak jauh dari


bandara. Bahkan bisa dibilang menjadi satu kesatuan
dengan bandara. Pemanggilan boarding pun masih
dari lokasi bandara. Pukul 17:00 kami pun memasuki
antrian keberangkatan. Setelah pemindaian tiket,
kami pun turun menggunakan eskalator, menuju
kereta bawah tanah yang menghubungkan antara
bandara dan terminal ferry. Setelah sekitar 3 menit
menunggu, kereta yang hanya terdiri dari satu
gerbong tanpa masinis ini pun tiba. Sekitar 5 menit
kami menelusuri lorong-lorong bawah tanah hingga
akhirnya kami sampai di terminal keberangkatan ferry.

Dari terminal keberangkatan ini saya bisa memandang


laut lepas. Tidak banyak dermaga kapal di sini. Terlihat
pula beberapa crane raksasa. Sepertinya terminal
ini juga dipakai untuk kapal-kapal kargo pengangkut
barang besar. Hanya ada satu kedai minuman di
terminal ini, Starbucks Coffee. Ruangannya sangat
dingin. Mungkin karena sangat luas sementara tidak
banyak orang di ruangan ini. Penumpang ferry yang
akan berangkat ke Shenzhen sepertinya tak lebih
dari 50 orang. Tak berapa lama kemudian, kami
dipersilakan turun ke dermaga untuk naik ke ferry.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 10


Dermaganya sungguh terlihat modern. Saya
selalu berpikir kalau pelayanan transportasi laut
pastilah tidak secanggih transportasi udara. Namun
kenyataannya tidak demikian di sini. Dinding kaca,
lantai yang berkarpet, ruangan ber-AC dan bersih, dan
tak tercium sama sekali bau amis air laut. Saya juga
melihat sekitar 50 meter di sebelah dermaga kami,
masih ada dermaga kayu tua usang yang sepertinya
sudah tidak pernah dipakai. Menarik juga sih, melihat
kontrasnya dermaga modern dan dermaga asli di
lokasi ini.

Ferrynya bukan sekedar ferry. Lebih tepat kalau saya


bilang ini speedboat yang terbagi dalam dua lantai.
Label CKS (Chu Kong Shipping Enterprises) tercat
di badannya. Untuk HK$ 220 per orang mungkin
seharusnya memang seperti itu ya. Namun saat kami
masuk, ternyata tak berbeda jauh dengan ferry yang
menyebersng dari Batam ke Singapura. Kami bebas
duduk di mana saja, karena jumlah penumpang yang
lebih sedikit daripada jumlah bangku.

Di depan kami ada kantin yang menjual beragam


minuman dan mie instan. Ada pula dua televisi LCD
dengan merk yang asing buat saya, Skyworth. Saya
duga ini pastilah standar televisi China yang biasanya
muncul di Indonesia dengan merk berbeda-beda.
Jendela hanya ada di kiri kanan area tempat duduk,
kotor pula, seperti lama tidak dibersihkan. Sore ini

11 Pitra Satvika
terlihat berkabut, sehingga pandangan ke luar jendela
juga tak terlalu menarik untuk dilihat.

Kami mengarungi laut selama 45 menit. Menjelang


sampai di daratan China, saya bisa melihat gedung-
gedung tinggi Shenzhen. Kami melewati dermaga-
dermaga kargo dengan puluhan crane. Mungkin ini
tempat penerimaan dan pengiriman logistik kota
Shenzhen. Ferry pun akhirnya dengan perlahan
mendekati terminal dermaga Shenzhen yang bernama
Shekou. Terminal dermaha Shekou ini biasa saja,
tidak sekeren Hong Kong. Penampilannya sederhana,
mungkin tidak akan jauh berbeda dengan dermaga-
dermaga besar di Indonesia. Bedanya mungkin hanya
satu, air lautnya bersih.

Kami turun dari ferry, lalu mengambil bagasi.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 12


Untunglah semua bagasi lengkap, tidak ada yang
kurang saat perpindahan transit di Hong Kong tadi.
Saat masuk, kami langsung memasuki ruangan
imigrasi. Setelah mengisi surat kedatangan, kami antri
di jalur imigrasi yang juga terlihat sederhana. Hanya
ada enam lajur dengan antrian yang cukup panjang.
Salah satu petugas melihat kami membawa anak
kecil, sehingga kami diberikan akses langsung ke salah
satu lajur tanpa antri.

Untuk memasuki Shenzhen diperlukan visa China.


Berbeda dengan Hong Kong dan Macau yang bisa
memberikan visa on arrival, untuk masuk ke China
harus mengurusnya terlebih dahulu di Kedutaan
China. Visa kami sudah kami urus sebelumnya
seminggu sebelum keberangkatan. Setibanya di
imigrasi, petugas hanya mengecek dan memberikan
tanda saja.

Terminal dermaga Shekou ini ternyata tidak besar.


Sesaat kami keluar, kami sudah dijemput oleh
seorang pemandu. Seorang perempuan 30 tahun asli
Shenzhen, namun sangat fasih berbahasa Indonesia.
Namanya Ahua. Ia sejak lahir tinggal di Shenzhen,
sudah menikah dan mempunyai seorang anak berusia
6 tahun. Bapak dan ibunya berasal dari Indonesia,
tepatnya dari Surabaya. Di rumahnya sejak kecil ia
sudah terbiasa berbahasa Indonesia. Bahkan Ahua
sendiri cukup fasih berbahasa Jawa. Wajar saja kalau
ia bisa berbicara lancar. Kadang saya suka mendengar

13 Pitra Satvika
logat Jawa muncul saat ia bercakap-cakap dengan
kami.

Ahua menjemput kami dengan mini bus. Supir mini bus


lalu mengantar kami meninggalkan terminal dermaga
Shekou. Kami langsung menuju tempat makan malam
di daerah Nan Sha. Kami menyusuri kota Shenzhen
dan melihat suasana malam hari. Kami melewati
kompleks perkantoran khusus industri elektronik.
Merk lokal China yang terkenal di Indonesia seperti
ZTE dan Konka memang berkantor pusat di Shenzhen.
Termasuk juga merk Skyworth, produsen elektronik
yang kami lihat televisinya di ferry. Ternyata Skyworth
ini merk terkenal di China. Ia bahkan punya satu
gedung kantor sendiri.

Ternyata dermaga sederhana yang saya lihat tadi tidak


mewakili isi kota. Kota ini ternyata didesain dengan
apik. Mobil melaju di jalur kanan. Pedestrian lebar
di tepiannya. Jembatan penyeberangan orang juga
tidak kalah lebarnya. Bus-bus dengan nomor digital di
bagian mukanya berseliweran dengan ramainya. Satu
hal yang terasa janggal. Tidak ada motor sama sekali
di jalan raya. Ahua cerita kalau motor sudah dilarang
di Shenzhen sejak beberapa tahun lalu. Sebagai
penggantinya, penduduk menggunakan sepeda
dengan charger untuk bepergian. Namun tetap saja
gaya mengemudinya tak jauh berbeda dengan di
Jakarta. Suka sembarangan. Pengemudi mobil tetap
harus hati-hati saat berpapasan dengan mereka.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 14


Ahua mengajak kami makan malam di Ba Shu
Chun. Makan malam kami adalah khas tradisional
Shechuan. Meski kalau sudah terbiasa makan chinese
food di Jakarta, rasanya tidak akan terlalu berbeda.
Tempat makan malam kami ini sepertinya sudah
biasa dikunjungi orang Indonesia, terutama mereka
yang mencari masakan halal. Ahua memang cerita
kalau ia sering mengantar tamu dari Indonesia untuk
makan di sini.

Kami sekeluarga duduk di sekeliling meja bundar


dengan permukaan kaca yang bisa diputar. Secara
bertahap makanan tersaji di atas meja. Nasi putih,
bebek, udang goreng bumbu kering, telor dadar,
sawi, ikan bakar bumbu pedas sampai sup sari ikan.
Rasanya sangat enak, terutama udangnya. Tetap saja

15 Pitra Satvika
tidak bisa semuanya kami habiskan, karena kami
sudah terlanjur kenyang sebelum makanannya habis.
Minumnya satu liter botol Pepsi dan satu ceret teh,
dilengkapi dengan setumpuk gelas plastik kosong.
Silakan tuang dan bagikan sendiri. Ahua dan supir
mini bus tidak mau makan bersama kami. Kebijakan
kantor mereka memang melarang untuk makan
bersama tamu. Katanya, ia bisa didenda US$ 10 per
tamu jika ketahuan.

Lelah juga perjalanan sehari ini. Setelah makan


malam, Ahua langsung mengantar kami ke hotel.
Kami sekeluarga menginap di Century Plaza Hotel,
sebuah hotel yang berada di sisi selatan Shenzhen.
Banyak pertokoan komersial, mal, supermarket,
pusat perbelanjaan barang aspal (asli tapi palsu) di
sekitarnya. Salah satu yang terkenal hingga Indonesia
adalah Luohu Mall, pusat segala barang tiruan dari
kualitas satu sampai tiga. Lebih tepatnya sih, pembeli
datang ke toko, melihat foto-foto produk aspal dan
menawar. Kalau sudah transaksi, barang baru diambil
dari toko yang berada di sebelah Luohu Mall. Meski
banyak yang mencari produk aspal, kebijakan mal ini
adalah tidak boleh menjual barang bajakan. Makanya,
transaksi pun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Umumnya pedagang Mangga Dua suka berbelanja di
sini untuk dijual kembali di Jakarta.

Sekitar pukul 21:30 kami tiba di hotel dan langsung


check in. Kami menyewa dua kamar di lantai 16,

Shenzhen - Hong Kong - Macau 16


kamar 1624 dan 1626. Lantai-
lantai di hotel ini memiliki lobi
dengan desain yang berbeda-
beda. Lantai 16 ini didesain
dengan tema Jepang. Cermin
di langit-langit lobi lantai 16 ini
membuat lobi jadi terasa lebih
tinggi. Ahua pun berpamitan
pulang. Ia berjanji untuk datang
lagi ke hotel esok jam 09:00
pagi untuk mengantar kami
berwisata di Shenzhen.

Sementara yang lain


beristirahat, saya dan Bapak
memutuskan untuk berjalan-
jalan ke sekitar hotel. Shenzhen
kota yang ramai. Aktivitas baru
berakhir saat toko-toko tutup pukul 23:00 malam.
Hebatnya segala macam toko bisa ditemukan hingga
malam hari. Dari yang standar seperti pakaian dan
elektronik, hingga yang tidak biasa seperti toko
bangunan dan material. Cukup banyak juga agen
real estate di tepian jalan. Hingga malam mereka
masih aktif bertransaksi, tak berbeda dengan seorang
pedagang toko.

Suasana malam hari menyenangkan. Angin


berhembus, udara tidak terlalu panas. Pedestrian
yang lebar dan menyatu satu dengan lainnya sungguh

17 Pitra Satvika
nyaman untuk dipakai berjalan kaki. Pedestrian
juga menjadi ruang publik tempat orang berkumpul
bersama bersosialisasi. Salah satu pusat belanja di
dekat situ memiliki ruang luar luas yang menyatu
dengan area pejalan kaki. Beberapa warga membawa
anjing mereka masing-masing dan berkumpul
di sana. Sementara anjing-anjing peliharaan itu
bercengkerama, para majikannya asyik mengobrol satu
dengan lainnya. Suasana modern yang saya nikmati
tidak berarti membuat Shenzhen bebas kriminalitas.
Copet masih bisa ditemukan di banyak tempat. Ahua
sempat mengingatkan untuk memindahkan dompet
dan paspor ke saku depan, agar aman dari tangan-
tangan jahil.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 18


Banyaknya orang berkumpul tidak berarti harus diikuti
dengan banyaknya mobil. Perawatan mobil yang
mahal seperti bensin dan ongkos parkir, membuat
warga Shenzhen berpikir ulang untuk punya lebih dari
satu mobil. Angkutan umum utama di Shenzhen yang
menjadi favorit warga adalah bus umum, dengan
tarif ¥ 1-3 (¥ dibaca Yuan). Kalau dikurs itu sekitar
Rp.1.400,00-Rp.4.200,00. Murah kan? Namun jangan
bandingkan kualitas busnya dengan bus di Jakarta.
Bus di Shenzhen tepat waktu dan bersih terawat.
Alternatif lainnya adalah kereta bawah tanah, juga
dengan tarif serupa. Hanya saja, kereta baru aktif
mulai pukul 07:30 pagi, sehingga banyak pegawai
kantor yang memutuskan untuk berangkat kerja
menggunakan bus umum.

Tak sulit memang menemukan sesama orang


Indonesia di Shenzhen. Saya dan Bapak sempat
mampir ke pasar swalayan Wal-mart yang terletak di
bawah tanah tak jauh dari hotel. Saat kami menyusuri
rak-rak, suara-suara orang berbahasa Indonesia
terdengar hampir dimana-mana. Umumnya mereka
turis, namun kebanyakan dari mereka memang
punya keluarga dekat di Shenzhen yang bermigrasi
dari Indonesia. Sekitar pukul 22:30 saya dan Bapak
sudah kembali ke hotel. Kami langsung mandi dan
beristirahat untuk berwisata esok hari.

19 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 20
3 Desember 2010

shenzhen

21 Pitra Satvika
Setelah subuh, meski saya masih mengantuk berat,
saya akhirnya memaksakan diri untuk bangun. Saya
berniat untuk berjalan sekeliling blok hotel sambil
melihat situasi pagi hari. Siap tahu saja ada yang
menarik untuk difoto.

Saya dan Bapak menyiapkan kamera masing-masing


dan turun ke lantai dasar. Sialnya, kami salah kostum.
Bapak bercelana pendek, sementara saya mengenakan
kaus super tipis, meski tetap mengenakan celana
panjang. Udara di luar ternyata sangat dingin.
Angin berhembus kencang. Kami berdua langsung
kedinginan begitu keluar dari pintu hotel. Karena kami
malas kembali ke kamar, kami memutuskan untuk
tetap saja berjalan sambil menahan dingin.

Matahari masih di horison, sayangnya langit mendung


sehingga tidak bagus untuk diambil fotonya. Dalam
perjalanan keliling itu, saya melihat seorang pengemis
yang tidur di trotoar. Ia melapisi dirinya dengan

Shenzhen - Hong Kong - Macau 22


jaket tebal dan selimut. Ternyata ada juga kelompok
masyarakat yang tak bernasib untung di Shenzhen.
Meski sepertinya jumlahnya tidak sebanyak di Jakarta.

Ahua hari sebelumnya bercerita kalau kota Shenzhen


ini baru berusia 30 tahun, kurang lebih sama dengan
umurnya. Shenzhen mengalami kemajuan pesat
luar biasa sejak pertama kali dibangun. Kebanyakan
penduduknya adalah warga transmigran dari China
utara. Perumahan di Shenzhen pun termasuk yang
paling mahal di China. Mungkin ini disebabkan karena
lokasi Shenzhen yang berada di tepi laut, dan tak
jauh dari Hong Kong. Di China, semua warga hanya
boleh punya anak satu orang. Lebih dari itu, warga
akan didenda hingga ¥ 150.000, atau lebih dari
Rp.200.000.000,00. Ini memang upaya Pemerintah
China untuk mengendalikan jumlah penduduk.

23 Pitra Satvika
Nggak lama saya dan Bapak berjalan-jalan. Kondisi
cuaca yang mendung tanpa matahari tidak menarik
untuk dijadikan foto. Akhirnya kami memutuskan
untuk kembali ke hotel. Mandi lalu bersiap. Pukul
08:00 kami sudah berada di lantai 12 untuk sarapan.
Agak kurang menarik menu sarapannya, karena
semua variasi menu yang mengunakan daging selalu
menggunakan daging babi. Alternatifnya, kalau mau
bisa bersantap sushi (nasi saja sih, tanpa lauk), roti
dan kue, sereal, omelette, dan buah.

Di restoran ini ternyata saya bisa menemukan akses


wifi yang disediakan oleh operator CMCC. Dalam
rangka Asian Games, operator ini menyediakan
internet gratis untuk turis selama bulan November
dan Desember 2010. Batas waktu pemakaian selama
10 hari. Caranya, tinggal ganti operator di ponsel
menjadi CMCC dan kirim ke *139# lalu ikuti petunjuk
registrasi melalui SMS. Nanti password akan dikirim
via SMS. Selanjutnya tinggal masukkan nomor telepon
dan password saat form login muncul ketika membuka
peramban.

Lumayanlah untuk sejenak mengecek email pekerjaan


dan mailing list. Yang menyebalkan adalah saya tidak
bisa membuka Twitter. Situs ini seperti tidak pernah
ada di jagad internet. Tidak bisa masuk ke situsnya.
Akses melalui klien Twitter pun ditolak. Memang sih
China memblokir banyak situs media sosial, dan salah

Shenzhen - Hong Kong - Macau 24


satunya memang Twitter. Herannya, untuk sebuah
negara yang warganya tak bisa mendapat informasi
dengan bebas, China malah tampak jauh lebih maju
daripada Indonesia. Namun tentunya yang saya amati
sekarang di Shenzhen kan kulitnya. Saya tidak tahu
persis apa yang terjadi di baliknya.

Sekitar pukul 09:15 Ahua pun datang. Kami sekeluarga


sudah 10 menit menunggu di lobi. Mobil mini bus
yang semalam mengantar kami pun sudah tiba di
hotel, namun Ahua belum terlihat. Ia akhirnya datang
dan memohon maaf karena terhambat kemacetan.

Kami pun langsung berangkat. Perjalanan wisata hari


ini akan kami jalani hingga malam hari, dan dimulai
dengan mengunjungi Shenzhen Imperial Culture
Museum, yang dikelola oleh Pemerintah China. Kami
disambut langsung oleh manajer museum, yang
ternyata sangat fasih berbahasa Indonesia. Sepertinya
sangat banyak wisatawan dari Indonesia yang datang
ke museum ini, sampai si manajer menyempatkan
diri belajar bahasa Indonesia selama 3 tahun. Hal
ini memang membuat dirinya memiliki keunggulan
kompetitif dibandingkan staf museum lainnya.

Kami memasuki ruang demi ruang, sambil si


manajer bercerita tentang patung Pi Xiu. Patung
yang berbadan kuda, berekor macan tutul, berkaki
harimau, dan berkepala singa ini selalu terdiri dari
satu set kiri dan kanan ini punya makna tersendiri

25 Pitra Satvika
bagi orang China, terutama mereka yang percaya
akan Feng Shui. Si manajer bercerita tentang manfaat
Pi Xiu ini. Ia juga menunjukkan cara memegangnya,
hingga menyimpannya, agar patung ini bisa
memberikan keberuntungan bagi pemiliknya. Patung
Pi Xiu ini mewakili sepasang laki-laki dan perempuan.
Patung laki-laki bisa dilihat dari kaki kirinya yang
maju, mewakili mencari uang. Patung perempuan
bisa dilihat dari kaki kanannya yang maju, mewakili
menerima dan mengelola uang. Cara mengelusnya
harus dimulai dari leher, ke badan, hingga ke kaki
belakang, dan jangan sampai menyentuh kepalanya.

Setelah berjalan ruang demi ruang, kami memasuki


ruang galeri, sekaligus toko. Luar biasanya si manajer.
Kalau tadi ia hanya bercerita tentang Pi Xiu, ia kini
beralih fungsi menjadi seorang yang sangat persuasif
dalam melakukan penjualan. Ia memberikan
beragam alternatif Pi Xiu yang dipajang di toko, dan
menceritakan maksudnya masing-masing, berikut
harganya. Semakin besar ukurannya, semakin mahal.
Kalau lihat dari cara si manajer menawarkan barang-
barang di toko museum ini, sejenak akan lupa kalau
kami saat ini berada di museum milik Pemerintah.
Melihat si manajer begitu bersemangatnya dalam
menjual, malah membuat saya ingat akan pedagang
di Pasar Baru atau Glodok, Jakarta.

Ternyata bukan hanya si manajer yang fasih


berbahasa Indonesia. Beberapa staf toko museum

Shenzhen - Hong Kong - Macau 26


lainnya pun bisa berbahasa Indonesia meski terbatas.
Salah seorang pramuniaga malah mengajak ngobrol
keponakan saya dalam bahasa Indonesia. Lafalnya
belum terlalu jelas, karena logat cadel aslinya masih
sangat terasa. Si pramuniaga juga menawarkan adik
ipar saya untuk mencoba teh leci, teh yang sudah
manis tanpa pemanis buatan. Manisnya terasa dari
sari buah leci yang diramu bersama bunga daun teh.

Toko museum itu juga menjual beragam perhiasan


dan oleh-oleh unik. Salah satunya adalah bola dengan
lukisan khas pemandangan China. Bola ini dimasukan
ke dalam gelas kaca berbentuk bulat, dan si pelukis
menggoreskan kuas mininya di atas permukaan bola
melewati lubang kecil di bagian bawah gelas kaca.

Kalau saya amati, apapun yang dijual di China,


pasti selalu dikorelasikan dengan kemakmuran dan
kesehatan, baik itu patung, giok, perhiasan, hingga
minuman. Biasanya penjual akan membangun rasa
penasaran di benak pengunjung. Sudah jauh-jauh
ke China, tapi sangat sayang kalau pengunjung tidak
mendapatkan manfaat kemakmuran dan kesehatan
dari negeri ini. Apalagi mereka bisa menentukan orang
yang tepat di garis depan penjualan saat berhadapan
dengan pengunjung, sehingga tingkat keberhasilan
transaksi penjualan sangat besar .

Selanjutnya Ahua mengantar kami ke salah satu


tempat wisata unggulan Shenzhen, yakni The Window

27 Pitra Satvika
of the World. Tempat wisata yang menampilkan versi
miniatur beragam atraksi wisata dunia ini sangat
luas, 48 hektar, sehingga kalau mau mengelilingi
dan menikmatinya dengan berjalan kaki, akan butuh
waktu 3-4 jam. Terdapat miniatur Eiffel Tower setinggi
108 meter yang menjadi landmark utama tempat
wisata ini. Karena waktu kami tidak banyak, maka
kami akan menggunakan mobil kereta mini yang
akan membawa kami berkeliling. Tiketnya seharga
¥ 20. Alternatif lainnya adalah menggunakan kereta
monorail. Berbeda dengan monorail, mobil akan
berhenti sebanyak 3 kali untuk memberi kesempatan
kepada seluruh penumpangnya untuk berfoto-foto.

Mobil kereta mini membawa kami berkeliling,


melewati miniatur landmark Asia seperti Grand
Palace di Thailand, Shirasagi Castle di Jepang, Candi

Shenzhen - Hong Kong - Macau 28


Borobudur di Indonesia, Angkor Wat di Kamboja,
Pagoda Shwedagon di Myanmar, Taj Mahal di India,
dan lain-lain. Saya duduk di bangku paling belakang
sehingga leluasa memfoto-foto objek, karena posisi
tempat duduknya yang menghadap ke arah belakang.

Kereta terus bergerak melewati miniatur landmark


Eropa, dan berhenti di depan Cologne Cathedral di
Jerman. Lucu juga. Kalau tahun lalu saya sempat naik
ke puncak menara aslinya, kini saya malah berfoto-
foto di depan versi miniaturnya. Di sekitar miniatur
ini, juga bisa terlihat Notre Dame di Spanyol, Menara
Pisa di Itali, Stonehenge dan Buckingham Palace di
Inggris.

Kami hanya berhenti sekitar 3 menit, untuk kemudian


bergerak kembali. Kami masih melewati miniatur

29 Pitra Satvika
landmark Eropa (yang memang terbanyak di tempat
wisata ini), seperti Colosseum dan Piazza Della
Signoria di Itali, sebelum akhirnya memasuki benua
Afrika. Perhentian kedua kami persis di depan Piramid
Gyza, Mesir. Di lokasi ini juga bisa ditemukan unta
asli (ukurannya raksasa juga ya). Pengunjung boleh
menunggangi unta ini dan berfoto dengannya. Lokasi
ini memang menarik untuk dijadikan latar belakang
foto, karena kontrasnya warna piramid yang kuning
dan langit yang biru. Di lokasi ini kami juga hanya
berhenti 3 menit, sebelum mobil kereta mini bergerak
kembali.

Kini kami memasuki miniatur landmark Amerika, dan


langsung berhenti di depan miniatur Niagara Falls.
Untuk ukuran Niagara Falls memang terlalu kecil, tapi
kalau untuk ukuran tempat wisata, air terjun ini sudah
cukup besar. Buih-buih air cipratan air terjun pun

Shenzhen - Hong Kong - Macau 30


terbawa angin cukup jauh ke arah kami. Mungkin ada
baiknya melindungi perlengkapan kamera sebelum
foto-foto di lokasi ini. Atau perhatikan saja arah angin.
Begitu angin bergerak mendekat, sebaiknya segera
amankan kamera, daripada basah oleh cipratan buih
air.

Niagara Falls adalah perhentian terakhir kami. Kami


masih melewati beragam minitur landmark Amerika
lainnya, seperti Mount Rushmoore, The Capitol,
White House, dan Statue of Liberty, untuk selanjutnya
berhenti di tempat penjualan cenderamata yang tidak
jauh dari pintu masuk utama. Ahua, si pemandu kami,
memberikan kami waktu 15 menit untuk berbelanja
atau melihat-lihat miniatur landmark Eropa yang
berada tak jauh dari sana. Saya dan Bapak berjalan
ke arah Eiffel Tower, mencari-cari objek foto menarik,

31 Pitra Satvika
sementara yang lainnya
berburu cenderamata.

Waktu sudah mendekati pukul


12:00 dan kami lapar berat.
Usai dari The Window of
the World, Ahua mengantar
kami untuk makan di Huan Le
Jun. Sekali lagi, makanannya
adalah khas Shechuan, dan
menunya memang tidak
jauh berbeda dengan makan
malam kami semalam. Kami
duduk berkeliling meja yang
permukaan kaca di atasnya
juga bisa diputar. Makanan
yang disajikan pun serupa,
meski menggunakan bumbu yang berbeda. Nikmat
juga sih, meski lebih nikmat yang semalam. Saya
melihat rombongan orang Indonesia lainnya yang
sedang makan siang pula di sini. Sepertinya rumah
makan Huan Le Jun ini memang tempat makan tetap
rombongan tur dari Indonesia.

Setelah kami tuntas makan siang pukul 13.00, Ahua


mengantar kami ke te tempat wisata berikutnya,
Mineral Museum. Saya menduga kalau museum ini
tak jauh berbeda dengan museum yang kami kunjungi
tadi pagi. Dugaan saya ternyata tidak sepenuhnya
salah. Kami disambut oleh sseorang bapak berusia

Shenzhen - Hong Kong - Macau 32


hampir 50-an tahun. Ia mengenakan jas laboratorium
berwarna biru muda. Seperti yang memandu kami di
museum sebelumnya, si bapak ini juga sangat lihat
berbahasa Indonesia. Katanya, ia seorang profesor
yang mendalami pengobatan, khususnya pengobatan
tradisional. Ia mengajak kami berputar dan bercerita
tentang sejarah obat-obatan di China. Salah satu
yang menarik perhatian kami adalah akar tumbuhan
yang menyerupai bentuk cacing. Akar ini hanya bisa
ditemukan di lereng Himalaya, dan banyak dipakai
penduduk lokal untuk pengobatan tradisional.

Saya tadinya mengira si bapak ini hanya akan terus


bercerita, untuk kemudian kami dibawa ke tokonya.
Ternyata sedikit berbeda. Si bapak mengenalkan
kepada kami rekanannya, seorang ibu yang kurang
lebih berusia sama, juga mengenakan jas laboratorium
berwarna biru muda. Katanya ia seorang dokter. Ia
mengajak kami ke ruangannya, dan menanyakan
apakah kami punya keluhan kesehatan. Si dokter ini
juga berbicara dalam bahasa Indonesia. Tentu saja
tidak ada yang menjawab.

Si dokter lalu meminta Bapak saya membuka kedua


telapak tangannya. Dengan cepat ia menyebutkan
permasalahan kesehatan yang Bapak saya alami. Si
dokter juga meminta Ibu saya membuka kedua telapak
tangannya, dan dengan cepat pula ia menyebutkan
permasalahan kesehatan Ibu saya. Percaya atau tidak,
semua prediksinya benar. Si dokter juga bercerita

33 Pitra Satvika
kalau beberapa selebriti Indonesia juga pernah datang
ke museum ini untuk berkonsultasi. Sebut saja Puan
Maharani dan Guruh Soekarno Putra di antaranya.

Si dokter lanjut melihat keponakan saya, mengecek


matanya, lalu dengan cepat berkata kalau keponakan
saya punya mata minus. Memang kenyataannya,
keponakan saya terlalu sering menatap layar
komputer atau ponsel. Ia juga melihat keponakan
saya yang memang pintar, namun terlalu aktif. Bahkan
di ruangan itu saja, keponakan saya nggak berhenti
berlari kesana kemari. Si dokter lalu memanggil
asistennya, yang lalu datang membawa tiga dus obat
yang berbeda. Ia menyarankan untuk secara rutin
memberikan salah satu obat itu secara rutin kepada
keponakan saya selama 2 bulan. Harapannya untuk
membantu pertumbuhannya dengan lebih baik. Ia
tidak mau menyebutnya sebagai obat herbal, tapi
kandungan obat ini terbuat dari akar cacing. Murni
dari alam, tidak ada kandungan sintesa kimia sama
sekali. Dus obat lainnya ia tawarkan untuk Bapak dan
Ibu saya. Keduanya juga obat murni dari alam.

Saya sempat iseng menanyakan masalah kesehatan


kepada si dokter sambil menunjukkan telapak
tangan. Katanya, saya punya darah kental, namun
tidak berbahaya. Hanya menganjurkan saya untuk
rajin berolahraga saja. Si dokter lalu beranjak ke
luar ruangan. Tak lama ia kembali lagi, menatap
saya sebentar, dan menanyakan apakah saya sering

Shenzhen - Hong Kong - Macau 34


tidur terlalu malam. Ia melihat kantung di mata dan
hitam di bibir sebagai tandanya. Saya berkata, untuk
pekerjaan saya, hal itu tidak bisa dipungkiri. Si dokter
lalu mengajak saya ke ruang luas di belakang. Di
sanalah apotek sesungguhnya. Ia mengeluarkan satu
dus dari salah satu lemari. Ini katanya bisa membantu
stamina saya saat bekerja malam hari. Aduh, ada-ada
saja.

Terus terang saya kagum dengan cara museum ini


memasarkan produknya. Museum bukan hanya
sekedar untuk mempelajari ilmu, tapi juga dipakai
untuk komersial. Museum ini milik Pemerintah, tapi
para stafnya, bahkan dokter dan profesornya (kalau
benar mereka dokter dan profesor) punya jiwa dagang
di dalamnya. Mereka akan mencoba bagaimanapun
caranya untuk menarik konsumen untuk membeli.
Menempatkan dokter dan profesor sebagai bagian
dari metode penjualan sangatlah tepat. Berbeda
dengan pedagang biasa yang suka asal ngomong, apa
yang diceritakan oleh dokter dan profesor ini benar
apa adanya. Argumentasi mereka dalam memprediksi
penyakit yang diderita konsumen bisa membuat
konsumen untuk tertarik membeli produknya,
seberapapun mahalnya. Bonus tambahan adalah,
kalau si penjual terampil menggunakan bahasa yang
dekat dengan targetnya, konsumen akan merasa tidak
punya hambatan sama sekali untuk berkomunikasi.

Di sisi lain ruangan, persis di seberang apotek,

35 Pitra Satvika
dipajang beraneka ragam perhiasan dan kain sutra.
Seorang ibu, yang lagi-lagi jago berbahasa Indonesia,
mengajak kami berputar-putar berkeliling. Tentunya
sambil menawarkan produk jualannya. Pola serupa
seperti yang saya alami tadi pagi di Shenzhen Imperial
Culture Museum. Saya hanya tersenyum saja melihat
si penjual yang berbicara dengan akrab dengan
Ibu saya, mengambil hatinya, demi melancarkan
penjualan. Tak lama kemudian setelah melihat-lihat,
kami keluar lewat pintu belakang. Mobil mini bus
sudah menunggu kami di sini.

Perjalanan terakhir sore hingga malam ini adalah ke


China Folk Culture Villages. Tempat wisata ini mirip
dengan Window of The World, tapi lebih banyak
menampilkan miniatur alam wisata China. Anggaplah
ini seperti Taman Mini Indonesia Indah-nya Jakarta.
Ahua mengantar kami semua naik mobil kereta mini
yang akan membawa kami berputar keliling lokasi.
Mobil kereta mini akan berhenti di beberapa lokasi,
untuk memberi kami kesempatan mengabadikannya
dengan foto. Selain Great Wall of China, saya kurang
familiar dengan miniatur bangunan historis lainnya.
Lumayan jauh kami berputar mengelilingi tempat
wisata ini.

Sekitar pukul 15:45 kami sudah kembali lagi di gerbang


utama. Ahua menyarankan kami untuk mampir ke sisi
selatan tempat wisata ini, sebuah stadion dengan arena
lapangan luas berpasir seluas 2 juta m². Pada pukul

Shenzhen - Hong Kong - Macau 36


16:00 akan ada pertunjukan “Golden Spear Dynasty”
di sana. Sesampainya kami di lokasi, saya melihat
ada banyak kuda dan joki yang mengenakan kostum
China unik. Dengan bahasa China mereka (sepertinya)

37 Pitra Satvika
menawarkan kami untuk ikut membonceng di
kudanya, meski kami tidak terlalu tertarik. Bangku-
bangku stadion masih kosong. Kami pun duduk santai
menunggu pertunjukan berlangsung.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 38


Pertunjukan pukul 16:00 ini ternyata sungguh seru
dan sarat dengan aksi. Ratusan aktor laga dan kuda
beraksi, saling beradu pedang, berakrobat di atas
kuda, hingga memanah saat kuda berlari kencang.
Dilengkapi dengan efek suara, dekorasi artistik, dan
efek panah api membuat pertunjukan ini menjadi
sangat menegangkan. Atraksi fisiknya saja sudah
sangat bisa bercerita. Sayangnya narator dibawakan
dalam bahasa China, sehingga saya tidak mengerti
jalur ceritanya.

Sekitar pukul 16:30 pertunjukan pun usai. Ahua lalu


mengantar kami untuk menyaksikan pertunjukan
berikutnya. Kali ini pertunjukannya berada di dalam
teater tertutup Impression of China. Pertunjukan
bertajuk “Oriental Beautiful Apparels” ini akan dimulai
pukul 17:00 tepat. Kami langsung duduk sesuai nomor
tiket yang telah dibelikan oleh Ahua sebelumnya.

Sesaat setelah pertunjukan dimulai, saya langsung


menganga kagum. Semua elemen panggung ikut
bermain. Lantai yang digeser, lantai lainnya yang
turun dan mengeluarkan air, panggung kiri dan kanan
yang bisa berputar ikut menjadi bagian kejutan
dari pertunjukan. Permainan efek lampu dan suara
menjadi bagian penting dari pertunjukan. Namun
itu semua tak ada apa-apanya kalau aksi panggung
pemainnya tidak keren.

39 Pitra Satvika
Yang paling saya kagumi dari pertunjukan ini adalah
desain kostumnya, yang menggabungkan warna-
warni kostum dari beragam grup etnis China,
dicampur dengan nuansa modern. Pakaian tradisional

Shenzhen - Hong Kong - Macau 40


China diadaptasi dan diberi sentuhan masa kini. Figur-
figur penari yang cantik, langsing dan memamerkan
perutnya juga menjadi bonus tersendiri. Ahua
sempat bercerita kalau tarian dan kostum ini telah
dipertunjukkan pula di Amerika Serikat, Jepang, dan
puluhan negara lainnya. Pertunjukan ini bisa dilihat
sekali setiap harinya pukul 17:00. Di kala peak season,
biasanya akan diputar dua kali dalam sehari. Setiap
6 bulan sekali, koreografi tarian akan diubah di
beberapa bagian, supaya penonton pun tidak bosan
melihat pertunjukan yang sama.

Pertunjukan selesai pukul 18:00, dan Ahua langsung


mengantar kami makan malam. Lokasinya tidak
jauh dari teater, yakni di Tian Yige Restaurant. Saya
baru memperhatikan kalau ternyata setiap meja
makan selalu terdiri dari 10 bangku yang berputar

41 Pitra Satvika
mengelilinginya. Jadi, kalau cuma makan berempat,
berenam, atau berapapun, tetap saja akan dipersilakan
duduk di meja yang sama. Makan malam kali ini tak
jauh berbeda dengan makan siang tadi atau makan
malam kemarin. Pola menu yang dikeluarkan serupa,
meski saya merasa masih tetap jauh lebih enak makan
malam kami semalam. Saya agak kurang berselera
dengan masakan yang disajikan kali ini.

Pertunjukan puncak China Folk Culture Villages akan


berlangsung pukul 19:30. Masih banyak waktu tersisa
sebelum pertunjukan dimulai. Ahua mengantar kami
untuk melihat-lihat toko cenderamata. Adik dan Ibu
saya malah memborong banyak cenderamata untuk
nanti dibagikan sebagai oleh-oleh. Saya sih berencana
akan ikut nebeng saja nantinya.

Sekitar pukul 19:15 kami sudah berada di Phoenix


Plaza, panggung terbuka dan terbesar yang berada
di tengah-tengah China Folk Culture Villages. Bangku
berjenjang bak auditoriumnya bisa menampung
ribuan orang. Panggung utama di hadapan kami
sungguh raksasa. Berlevel-level dan pastinya ada
elemen panggung yang bisa digeser-geser. Pertunjukan
dimulai dengan guyonan dua orang berpakaian sepeti
badut yang terus-menerus meniupkan peluit. Dua
badut ini lalu diusir oleh pihak keamanan karena
pertunjukan sudah akan dimulai. Guyonan slapstick
ini memang lucu dan menghibur, setidaknya untuk
menghangatkan pengunjung untuk aksi berikutnya.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 42


Kalau saya tadi menganga saat melihat pertunjukan
Oriental Beautiful Apparels, kali ini saya sungguh
terbelalak. Saya terus-menerus takjub melihat

43 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 44
pertunjukan bertajuk Dancing with Dragons & Phoenix
ini. Efek suara, pencahayaan, laser, musik, panah api
yang membakar salah satu sudut panggung, hingga
artistik panggung yang terus-menerus berganti
membuat saya terus berdecak kagum. Ratusan penari
dengan kostum yang indah beraksi dengan koreografi
yang menarik. Ada pula aksi para pesenam balet
yang meliuk-liukkan tubuhnya seakan tanpa kerangka
tulang di dalamnya. Keberadaan naga-nagaan, gajah
yang melintas, kuda-kuda dan para penunggangnya
yang beraksi di atasnya, benar-benar memanjakan
mata pengunjung. Rasanya agak sulit untuk
menjabarkannya dengan kata-kata, karena sajian ini
benar-benar memukau secara visual. Kalau sempat
mampir ke Shenzhen, pastikan untuk tidak lupa
mampir ke China Folk Culture Villages dan menonton
semua pertunjukannya.

Pertunjukan terakhir itu memang menjadi puncak


kegiatan di China Folk Culture Villages. Pengunjung
langsung berbondong pulang setelah menyaksikannya.
Hari ini benar-benar menyenangkan. Kunjungan ke
museum bagi saya memang agak membosankan, tapi
saya sangat menyukai tiga pertunjukan terakhir di
China Folk Culture Villages. Ahua lalu mengantar kami
kembali ke Century Plaza Hotel untuk beristirahat.
Cukup lelah juga kami berwisata hari ini. Besok kami
harus bangun sangat pagi untuk kembali berangkat ke
Hong Kong.

45 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 46
4 Desember 2010

SHENZHEN
Hong Kong

47 Pitra Satvika
Pagi ini kami sudah harus bangun pukul 05:00, untuk
check out pukul 06:00. Ibu malah sudah bangun sejak
pukul 04:00 untuk beres dan siap-siap. Murni kami
semua hanya tidur tak lebih dari 5 jam semalam. Pagi
ini kami akan meninggalkan Shenzhen. Di lobi, Ahua
sudah menunggu, siap mengantar kami ke pelabuhan.
Kami akan berangkat menggunakan ferry kembali ke
Hong Kong. Perjalanan menuju terminal pelabuhan
Shekou sangat lancar di pagi hari. Saya baru sadar,
ternyata jauh juga ya dari hotel ke pelabuhan. Sekitar
45 menit padahal saat itu jalan sangat lancar.

Matahari belum lagi bersinar, namun para petugas


kebersihan sudah beraksi turun ke jalan raya. Ahua
bercerita kalau mereka ini bekerja sejak pukul 03:00
hingga 08:00 pagi. Sorenya mereka lanjut lagi bekerja
membersihkan jalan pukul 17:00 hingga 20:00. Saya
belum melihat bus umum sama sekali di jalan. Ahua
bercerita kalau bus baru akan mulai muncul nanti
sekitar pukul 07:00 pagi.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 48


Sesampainya kami di Shekou, Ahua langsung
membelikan tiket. Perjalanan ke terminal pelabuhan
Hong Kong Macau ternyata lebih murah, hanya \ 60.
Kami segera mengisi formulir keberangkatan, dan ikut
antrian imigrasi. Banyak sekali orang yang hendak
bepergian ke Hong Kong pagi ini. Bagi penumpang
yang hendak berangkat ke bandara internasional Hong
Kong lalu langsung terbang menggunakan maskapai
Cathay Pacific, China Airlines, atau Air Asia, mereka
bisa langsung check in di Shekou dan menitipkan
bagasinya. Terminal Shekou di Shenzhen ini memang
terminal lama, sehingga tidak terlalu ramah untuk
orang tua dan anak kecil. Dimana-mana tangga,
sehingga kami pun terpaksa mengangkat-angkat
bagasi kami. Berbeda dengan saat keberangkatan
kami ke Shenzhen, kini semua bagasi harus kami
bawa sendiri.

49 Pitra Satvika
Ferry menuju Hong Kong Macau berangkat pukul
07:55, lebih telat 10 menit daripada jadwal. Kami
menggunakan ferry berbendera TaiShan, yang
ternyata memiliki kapasitas lebih besar daripada
ferry CKS yang membawa kami ke Shenzhen kemarin.
Interiornyapun lebih bersih. Mungkin sudah menjadi
standar ferry di sini, karena saya melihat hal serupa,
lokasi kantin di depan bangku-bangku penumpang,
dengan dua televisi di kiri dan kanannya. Kami duduk
di sisi depan kiri. Jendela ferry kali ini lebih bersih,
sehingga kami bisa leluasa menikmati pemandangan
laut yang apik.

Kami sampai di terminal pelabuhan Hong Kong Macau


sekitar pukul 09:00. Lokasinya berada di Hong Kong
Island. Ternyata lumayan banyak juga penumpang
ferry kali ini. Baru terasa setelah kami antri keluar
imigrasi. Pemeriksaan kali ini lumayan cepat, karena
loket yang dibuka cukup banyak. Kami keluar dari
proses imigrasi sekitar pukul 09:30 dan langsung
dijemput oleh pemandu kami hari ini. Namanya
Charles, yang juga bisa berbahasa Indonesia, meski
tidak selihai Ahua. Ia berdarah campuran. Ibunya dari
Indonesia, namun sejak kecil ia sudah pindah dan
bersekolah di Hong Kong.

Perjalanan wisata kami bermula ke promenade


Avenue of Stars di Victoria Harbour, Kowloon Island.
Bus yang menjemput kami menyusuri terowongan
bawah laut untuk mencapai Kowloon. Bus terlebih

Shenzhen - Hong Kong - Macau 50


dahulu menjemput tamu yang menginap di Atlantic
Hotel, yang berada tak jauh dari promenade. Tamu
yang dijemput juga rombongan dari Indonesia.
Lucunya, dari 6 orang yang ikut dalam rombongan itu,
salah satunya adalah rekan kerja adik saya di kantor.
Baik adik saya maupun temannya sama-sama cuti,
meski tidak saling mengetahui kalau mereka cuti di
tempat yang sama. Tak lama bus pun menurunkan
kami di Hong Kong Cultural Center, yang berada di sisi
utara promenade. Kami semua berjalan kaki menuju
promenade yang berada di belakang gedung ini.

Promenade ini memang menjadi salah satu tempat


rekreasi andalan di daerah Kowloon. Saya pernah ke
sini tahun lalu. Memang jauh lebih indah kalau ke sini
pada sore hingga malam hari, saat gemerlapan lampu
gedung-gedung tinggi di Hong Kong Island mulai

51 Pitra Satvika
bermunculan. Pagi ini promenade terlihat berkabut.
Gedung-gedung tinggi di kejauhan tampak pucat
tertutup kabut tipis. Angin berhembus kencang dan
cukup dingin. Untungnya kami semua mengenakan
jaket, setidaknya menjaga agar kami tidak masuk
angin.

Kami menyusuri promenade, naik ke anjungan di sisi


barat. Anjungan ini sepertinya sengaja dibuat supaya
pengunjung bisa berfoto-foto dengan latar belakang
Hong Kong Island. Saat berada di atas anjungan, kami
bisa melihat pula Clock Tower, menara jam tua, yang
juga menarik untuk dijadikan latar belakang untuk
foto. Clock Tower dengan
ketinggian 44 meter, plus 7
meter tiang penahan petir
ini adalah bangunan yang
tersisa dari Kowloon Station
yang sudah dihancurkan.
Orang lokal biasanya
menyebutnya sebagai Tsim
Sha Tsui Clock Tower, karena
kedekatan lokasinya dengan
daerah Tsim Sha Tsui.

Setelah rombongan puas


berfoto-foto, Charles si
pemandu mengajak kami
berjalan ke sisi timur. Kami
kembali berjalan menyusuri

Shenzhen - Hong Kong - Macau 52


promenade kembali. Kini ke arah barat, menuju
Avenue of Stars. Di sisi sini, lantai promenade
dipenuhi bintang-bintang terkenal Hong Kong masa
lalu. Di setiap bintang ini ada jejak tangan mereka
yang dicap langsung di atas semen beton. Keponakan
saya bermain-main dengan menaruh kedua telapak
tangannya di hampir setiap bintang yang ia temukan.
Saat ini total ada 102 bintang terkenal Hong Kong
yang sudah menjejakkan telapak tangannya di sini.

Saya melihat banyak ornamen film di promenade.


Kalau mau, kami bisa pula berfoto-foto lucu di
depannya. Salah satu yang menarik adalah patung
si legendaris Bruce Lee.
Posenya bersiap untuk laga,
dengan mata yang menatap
ke arah laut. Promenade
Avenue of Stars ini diakhiri di
sisi timur dengan Starbucks
Coffee, tempat kami rehat
sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan kembali. Adik ipar
saya menyempatkan membeli
cappucino sebagai penahan
kantuk karena kurangnya
tidur semalam. Sebenarnya
promenade belum berakhir
di sini. Kalau mau, bisa saja
diteruskan dengan berjalan
terus ke arah timur, hingga

53 Pitra Satvika
sampai di promenade yang berada di daerah East
Tsim Sha Tsui.

Bus sudah menunggu kami tak jauh dari Starbucks


Coffee. Perjalanan kami selanjutnya ke pusat
pembuatan perhiasan terbesar di Hong Kong.
Berlokasi di sebuah gedung kecil. Seperti di Shenzhen
kemarin, kami semua disambut oleh seorang
pemandu, yang juga bisa berbahasa Indonesia.
Kayaknya kalau dilihat sejak kemarin, sudah menjadi
kewajiban para pemandu untuk paham dan mengerti
bahasa Indonesia. Bisa jadi karena memang sangat
banyak warga Indonesia yang menjadi turis di Hong
Kong.

Sejujurnya saya tidak tertarik dengan kunjungan ke


tempat penjual perhiasan ini. Saya juga tidak pernah
punya ketertarikan untuk berbelanja perhiasan
permata dan intan. Sementara yang lain melihat-lihat,
waktu saya habiskan dengan keponakan saya untuk
bermain Angry Birds. Nggak banget ya? Ternyata
rombongan satu bus kami pun tidak ada satupun yang
membeli perhiasan. Terlalu mahal kali ya?

Sekitar pukul 11:30 kami meninggalkan pusat


pembuatan perhiasan untuk makan siang. Setelah
bus bergerak sekitar 30 menit, kami sampai di
dermaga kecil. Dermaga ini hanya untuk kapal ferry
kecil yang mengantar tamu restoran Jumbo Floating
Restaurant yang berada sekitar 200 meter dari

Shenzhen - Hong Kong - Macau 54


dermaga. Restoran berbentuk kapal ini sudah lama
ada. Dahulu tahun 1985 saat Bapak dan Ibu sempat ke
Hong Kong, mereka sudah pernah makan di restoran
ini. Kenyataannya, memang restoran ini sudah ada
sejak Oktober 1976. Lantai kayu, kolom kayu, dengan
jendela terbuka membuat ferry ini berkesan tua. Saat
ferry kecil kami menyeberang, saya melihat banyak
kapal-kapal yacht, baik kecil dan besar, berlabuh.
Pastinya, setiap yacht ini hanya dimiliki oleh orang-
orang terkaya di Hong Kong.

Jumbo Floating Restaurant ini terdiri dari 3 lantai.


Kami makan di lantai dua. Rombongan yang terdiri
dari keluarga saya dan rombongan yang dijemput di
Atlantic Hotel duduk dalam satu meja, dan makan
bersama. Sajian makan siang kali ini benar-benar
jumbo, bahkan untuk seluruh anggota rombongan.

55 Pitra Satvika
Menu yang disajikan telur super tebal, udang goreng
mentega, sapo tahu, cumi goreng, daging cah sawi,
dan ditutup dengan jeruk sunkist yang segar dan
mengandung banyak air.

Sekitar pukul 13:00 kami pun selesai menikmati


hidangan makan siang nan lezat. Kami menyeberang
kembali ke dermaga dengan ferry kecil yang sama. Bus
menjemput kami kembali dan mengantarkan kami
ke tujuan berikutnya, yakni Victoria Peak, atau lebih
dikenal dengan The Peak, yang berada di Hong Kong
Island. Itu artinya kami akan kembali menyeberang
lautan melalui terowongan. Menjelang memasuki
terowongan, saya akhirnya bisa melihat kemacetan di
Hong Kong. Lajur kendaraan arah kebalikan dari kami,
yakni dari Hong Kong Island ke Kowloon Island, penuh
dengan kendaraan yang antri.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 56


Kantuk sisa semalam pun akhirnya menyerang. Saya
tak kuasa menahan terpejamnya mata. Saya terbangun
persis saat bus berhenti di depan stasiun tram. Kami
semua pun turun. Charles telah memberikan kami
masing-masing tiket tram satu arah menuju The
Peak. Katanya bus akan langsung menjemput di atas,
sehingga kami tak perlu membeli tiket pulang pergi.
Interior stasiun tram sedikit berubah semenjak saya
ke sini setahun lalu. Kini ada diorama sejarah stasiun,
plus dipajang pula duplikat tram pertama di jalur
ini yang sudah ada sejak tahun 1920. Saya memang
pernah ke The Peak setahun lalu. Waktu itu saya
berkunjung bersama banyak teman dari berbagai
negara saat mengikuti seminar Blogfest Asia. Hanya
saja waktu itu saya datang pada malam hari, dan
turun dari The Peak dengan tram terakhir.

Suasana yang berbeda saya dapatkan siang hari, meski


saya yakin tidak ada yang menandingi keindahan
kota Hong Kong pada malam hari. Apalagi sekarang,
meskipun cerah, langit terlihat sangat berawan. Saya
menduga, pemandangan dari The Peak siang ini tidak
akan seindah malam hari. Namun keuntungan saat
datang siang adalah, pertokoan yang berada di atas
pasti masih buka. Tahun lalu saat saya datang pada
malam hari, banyak toko sudah tutup, sehingga
suasana di atas terasa sepi.

Sekitar 10 menit kami menunggu sebelum akhirnya

57 Pitra Satvika
tram datang. Jalur ke The Peak hanya muat untuk
satu kereta. Kereta inilah yang bolak-balik menjemput
penumpang naik dan turun. Sekali perjalanan naik
membutuhkan waktu 5 menit. Tram akan menanjak
dengan kenaikan yang curam. Bahkan ada rentang
jalur dimana tram naik dengan kemiringan sekitar 45
derajat. Beberapa orang terlihat menahan nafas saat
kereta naik di tanjakan curam.

Stasiun The Peak menjadi satu bagian dengan


pertokoan Peak Tower. Saat kami keluar, kami
langsung berhadapan dengan toko-toko cinderamata.
Charles mengarahkan kami semua agar terus
bergerak masuk. Kami pun sampai di atrium di tengah
bangunan. Persis di salah satu sudut atrium adalah
museum Madame Tussauds, yang menjadi tempat
wisata kami selanjutanya. Saya tidak masuk ke sini

Shenzhen - Hong Kong - Macau 58


tahun lalu karena baik Madame Tussauds maupun
toko-toko lainnya sudah tutup karena saya datang
sudah terlalu malam.

Madame Tussauds ini hanya ada dua di Asia, di


Shanghai dan yang kedua di Hong Kong. Museum
ini menampilkan duplikasi figur-figur terkenal yang
dibuat dengan lilin. Madame Tussauds versi Hong
Kong ini menampilkan gabungan figur artis Holywood,
artis Asia (Cina, Hong Kong, Jepang), musisi, politisi,
olahragawan, sejarawan, hingga ilmuwan. Ada Jacky
Chan, Bruce Lee, Donny
Yen, Kelly Chen, Angelina
Jolie, Brad Pitt, Pierce
Borsnan, Johnny Deep,
Madonna, Michael Jackson
(versi tahun 1980-an), The
Beatles, Ayumi Hamasaki,
Barack Obama, George
W. Bush, Hitler, Albert
Einstein, Tiger Woods,
sampai Astro Boy.

Saya bisa berfoto bebas


tanpa dibatasi larangan
memegang ini dan itu.
Namun untuk beberapa
figur, hanya boleh difoto
oleh petugas yang berjaga.
Nantinya foto ini akan

59 Pitra Satvika
diberi bingkai khusus dan bisa dibeli di tempat
cenderamata saat keluar nanti. Ada pula figur yang
sudah disediakan latar belakang hijau di belakangnya.
Setelah berfoto, pengunjung nanti boleh memilih
gambar variasi latar belakang yang akan menggantikan
warna hijau tersebut. Menarik sih konsepnya. Selain
mendapatkan pendapatan dari tiket, Madame
Tussauds juga bisa mengutip pendapatan tambahan
dari foto-foto eksklusif bersama figur tertentu. Plus
lagi pendapatan dari ratusan jenis cenderamata khas
Madame Tussauds.

Masih di lokasi The Peak, kami lalu keluar gedung


perbelanjaan Peak Tower, menuju plaza terbuka
luas. Di hadapan saya terlihat pusat pertokoan
Peak Galleria, dengan banyak kafe dan restoran di
depannya. Menyusuri jalur pejalan kaki, sekitar 50

Shenzhen - Hong Kong - Macau 60


meter dari plaza disediakan lokasi menarik bagi
pengunjung untuk melihat pemandangan kota Hong
Kong dari atas. Banyak orang yang memanfaatkan
lokasi ini untuk mengabadikannya dengan foto.
Seperti saya duga sebelumnya, kondisi langit putih
pucat dan berawan, membuat hasil foto menjadi
kurang maksimal. Namun tetap saja, mumpung
sudah di sini, sayang kalau foto-foto tidak dilakukan.
Kami sekeluarga pun memanfaatkannya untuk foto
bersama-sama di sini.

Tahun lalu saya sempat foto-foto dari atas Peak


Tower. Pemandangan dari atas memang lebih bersih
dan luas, meski untuk mencapainya saya harus
mengeluarkan uang lebih, karena memang tidak
gratis. Karena keterbatasan waktu, pada kesempatan

61 Pitra Satvika
ini, kami semua akhirnya memutuskan untuk tidak
usah naik ke atas. Lagi pula kalau siang hari, hasil yang
didapatkan pun tidak akan jauh berbeda.

Sekitar pukul 15:00 kami kembali ke bus yang sudah


menunggu kami di tempat parkir di belakang Peak
Galleria. Kami tidak turun dengan tram, tapi langsung
menggunakan bus. Perjalanan ke The Peak adalah
perjalanan terakhir kami hari ini. Bus lalu mengantar
kami semua turun. Mengantar pulang rombongan yang
tadi kami jemput di Atlantic City Hotel, lalu kemudian
mengarah ke daerah Jordan, untuk menurunkan kami
di Eaton Hotel, tempat kami akan menginap selama 3
malam di Hong Kong.

Sekitar pukul 16:00 kami tiba di Eaton Hotel. Charles


mengantar kami masuk dan membantu proses check

Shenzhen - Hong Kong - Macau 62


in. Tahun lalu saat saya datang ke Hong Kong, saya
sempat menginap di City View Hotel, yang lokasinya
tak jauh dari sini. Mungkin memang karakteristik
hotel di Hong Kong seperti ini ya. Baik City View Hotel
maupun Eaton Hotel tidak punya pintu masuk yang
lebar. Untuk mobil masuk pun terbatas. Kesannya
saat saya pertama kali jalan kaki dan masuk, hotelnya
berukuran kecil. Padahal kalau dilihat dari jauh, bisa
terlihat betapa tingginya bangunan hotel ini.

Kami sekeluarga menginap di lantai 15, di dua kamar


yang agak jauh terpisah. Satu kamar berukuran kecil,
sementara satunya cukup luas karena berada di
sudut bangunan. Bahkan meski ditambah satu extra
bed, kamar ini masih terasa luas. Kami rehat sejenak
selama satu jam, sambil berbenah-benah. Pukul 18:00
kami pun keluar dari hotel. Kali ini tidak menggunakan
pemandu. Tepatnya, saya sih yang menjadi pemandu.
Mudah-mudahan saja saya masih ingat pengalaman
saya saat setahun lalu singgah ke negeri ini.

Keluar dari Eaton Hotel, kami bergerak menyusuri


Nathan Road ke arah selatan. Saya bercerita kalau
Nathan Road ini ibaratnya adalah Jalan Sudirman di
Jakata. Nathan Road membelah daerah Kowloon dari
utara ke selatan. Semua kesibukan dan keramaian
berpusat di jalan ini, lalu melebar ke jalan-jalan di
belakangnya. Nathan Road memang menjadi salah
satu sendi perekonomian Hong Kong. Semua toko
komersial bisa dilihat di lantai dasar dan lantai dua,

63 Pitra Satvika
sementara lantai tiga seterusnya ke atas dipakai untuk
hunian warga. Gemerlapnya lampu-lampu Hong Kong
di Nathan Road bisa dilihat hanya di lantai dasar dan
lantai dua, sementara lantai tiga ke atas terlihat gelap
dan kusam.

Kami berjalan ke selatan menuju stasiun MTR (Mass


Transit Railway) terdekat, yakni Jordan. Kami lalu
turun ke subway, sambil saya bercerita tentang MTR
yang menjadi transportasi penghubung ke setiap
bagian di Hong Kong. Biayanya antara HK$ 4-20 sekali
perjalanan, tergantung jarak yang ditempuh. Tiket
bisa dibeli dengan cara berlangganan Octopus Card,
atau bisa langsung membeli tiket sekali jalan di mesin
yang tersedia. Karena kami cuma tinggal sementara di
Hong Kong, akan lebih mudah bagi kami untuk selalu
membeli tiket sekali jalan saja. Saya lalu menunjukkan
ke keluarga saya cara membeli tiket di mesin. Cukup
sentuh peta lokasi perhentian yang diinginkan, lalu
pilih jumlah tiket yang akan dibeli. Akan keluar total
biaya yang diperlukan. Selanjutnya tinggal masukkan
koin atau uang kertas sejumlah yang diminta, dan
tiket akan keluar dengan sendirinya.

Saya membelikan tiket MTR dan menyerahkannya


ke setiap keluarga saya. Masing-masing harus
memegangnya sendiri, karena setiap orang harus
melewati gerbang dengan tiket MTR dimasukkan di
slot yang disediakan. Tiket MTR akan keluar kembali
dari slot lainnya dan ini harus dibawa kembali oleh

Shenzhen - Hong Kong - Macau 64


penumpang. Di tempat tujuan, setiap penumpang
harus memasukkan kembali tiket ini di slot yang
disediakan saat keluar gerbang. Tiket hanya bisa
dipakai untuk keluar di tempat yang menjadi tujuan.
Makanya hindari salah beli tiket di awal. Kami lalu naik
MTR jalur merah ke arah Tsim Sha Tsui. Ternyata saat
ini MTR sedang padat-padatnya. Setiap gerbong terisi
penuh oleh penumpang. Namun kami memutuskan
untuk naik saja, dan berdiri di dalamnya.

Yang membuat saya heran setiap kali naik MTR adalah


tetap terawat dan terjaganya MTR dari tangan-
tangan jahil. Tidak ada coretan di dinding MTR. Tidak
ada bercak kotoran baik di dinding maupun lantai.
Bangku-bangku masih tetap pada tempatnya, tidak
ada yang rusak. Tidak ada permukaan langit-langit
yang mengeropos karena kelembaban udara di bawah
tanah. Sistem otomatis pintu dan petunjuk digital
peta masih berjalan sempurna. Entah ini karena
memang biaya pemeliharaan kereta yang tinggi
ataukah memang warga Hong Kong yang tertib dan
ikut menjaga kabersihannya? Memang kenyataannya,
penumpang dilarang untuk makan dan minum di
dalam MTR. Sepanjang yang saya lihat sih memang
tidak ada yang berani melanggarnya.

Kurang dari 5 menit, kami pun tiba di stasiun Tsim


Sha Tsui. Kami memang berniat untuk menyaksikan
A Symphony of Light yang bisa dilihat dari hampir
seluruh promenade Victoria Harbour. Memang tadi

65 Pitra Satvika
pagi kami sudah mampir ke lokasi ini, namun saya
ingin menunjukkan keluarga saya suasana Victoria
Harbour di waktu malam. A Symphony of Light, sebuah
pertunjukan multimedia dan musik yang tayang setiap
pukul 20:00 malam tidak boleh dilewatkan.

Saat ini masih pukul 19:00. Masih banyak waktu. Kami


pun memutuskan untuk mencari makan malam dulu
di Sogo yang tak jauh dari sana. Food court Sogo bisa
ditemukan di lantai basement, yang menjual beragam
makanan dan minuman internasional. Food court-nya
ternyata tidak terlalu besar. Bangkunya pun terbatas.
Kami harus menunggu beberapa menit sampai
akhirnya ada bangku kosong.

Saya dan adik saya mendatangi kedai Italian Tomato,


yang menawarkan makanan khas Itali. Meski makanan
Itali, kalau berada di Hong Kong sebaiknya tanyakan
dulu kandungan dagingnya, karena tidak jarang
ditemukan makanan yang mengandung babi tapi
tidak menyebutkannya. Benar ternyata dugaan saya.
Beberapa menu seperti spaghetti daging, ternyata
menggunakan daging campuran antara sapi dan babi.
Akhirnya saya memilihkan spaghetti tanpa daging
untuk Bapak saya, yang pastinya lebih aman. Saya
sendiri memilih menu doria, nasi hangat dengan telur
di atasnya, bercampur jamur dan keju. Sejujurnya saya
tidak terlalu berselera memakannya. Mungkin karena
kandungan kejunya terlalu banyak sehingga membuat
perut saya sedikit mual.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 66


Sekitar pukul 19:45 kami semua sudah kembali
berada di promenade Victoria Harbour untuk menanti
pertunjukan A Symphony of Light. Banyak orang
sudah mengambil posisi strategis untuk mengambil
foto permainan lampu-lampu yang menghiasi 44
bangunan di sepanjang Victoria Harbour. Tidak hanya
wisatawan, banyak pula warga Hong Kong yang
datang untuk menyaksikannya (padahal mereka bisa
melihatnya setiap hari).

Tepat pukul 20:00 pertunjukan A Symphony of Light


dimulai. Musik mulai beralun, dengan lampu-lampu
di gedung ikut menari. Sekali-sekali lampu sorot dan
cahaya laser ditembakkan dari beberapa gedung,
mengikuti irama ketukan musik. Kami yang berada
di promenade Kowloon bisa menikmati lampu-

67 Pitra Satvika
lampu gedung Hong Kong menarik dengan indahnya,
sementara mereka yang berada di Hong Kong bisa
pula menikmati permainan lampu dan sinar sorot dari
bangunan-bangunan yang berada di Kowloon.

Pertunjukan hanya berlangsung selama 5 menit lebih


sedikit. Usai pertunjukan, kami pun beranjak pergi.
Kami lalu berjalan kaki menuju Harbour City, salah satu
pusat perbelanjaan yang terkenal di tepian selatan
Kowlooon. Satu hal yang perlu diingat kalau berada di
Hong Kong, selalulah kenakan sepatu atau sandal yang
nyaman, karena kemana-mana akan sering berjalan
kaki. Namun tenang saja, jalur pedestrian di Hong
Kong sedemikian nyamannya sehingga tidak akan
terasa kalau sudah berjalan jauh. Jalur pedestrian yang
melalui trotoar maupun jembatan saling terhubung
satu dengan lainnya. Eskalator banyak ditemukan di
jembatan penyeberangan umum, dan menyala terus
selama 24 jam.

Nggak jarang pula ditemukan gedung yang terhubung


langsung dengan jembatan penyeberangan umum
untuk pejalan kaki, sehingga pejalan kaki tidak
repot harus turun jembatan untuk masuk ke lobi
gedung. Ruang luar dan ruang dalam bangunan
terasa menyatu, dan bisa dilewati oleh umum.
Setiap persimpangan akan bisa ditemukan tempat
penyeberangan jalan. Lampu merah dan hijau diikuti
dengan isyarat bunyi sangat membantu pejalan kaki
untuk bisa menyeberang dengan selamat. Kalaupun

Shenzhen - Hong Kong - Macau 68


tidak ada penanda lampu, mobil cenderung untuk
mengalah, mengizinkan pejalan kaki untuk melintas
terlebih dahulu.

Kami berjalan kaki sekitar 5 menit dari promenade


Harbour Harbour City, melewati banyak pertokoan di
tepian jalan. Jarak yang cukup jauh tidak membuat
kami merasa capai. Isi pertokoan sebenarnya tak jauh
berbeda dengan mal di Jakarta. Ruangan yang luas,
banyak orang, penuh dengan toko yang menjual merk
murah dan mahal. Kami hanya berjalan-jalan saja,
dari lantai ke lantai, melihat-lihat toko. Kalau ada yang
menarik, keluarga saya akan langsung menghampiri
toko dan melihat barangnya. Seperti umumnya mal di
Jakarta, harga barang-barang yang dijual di Harbour
City adalah harga tetap, dan tak bisa ditawar. Kalau
mau, paling memanfaatkan diskon kartu kredit

69 Pitra Satvika
yang ditawarkan di beberapa toko. Semua barang
yang dijual di Hong Kong tidak dikenakan pajak
pertambahan nilai seperti di Indonesia. Oleh karena
itu, harga beberapa barang merk terkenal pastilah
lebih murah daripada di Jakarta.

Sekitar pukul 21:30 kami keluar dari Harbour City,


dengan barang belanjaan kami masing-masing
(kecuali saya yang tidak berbelanja). Karena sudah
terlalu malam, kami memutuskan untuk kembali
saja ke Eaton Hotel. Kami menyusuri Canton Road,
lalu berbelok ke Haiphong Road, menuju ke stasiun
subway MTR Tsim Sha Tsui. Saya kembali membelikan
tiket MTR ke arah Jordan. Kali ini MTR tidak terlalu
penuh (setidaknya dibandingkan dengan saat kami
tadi berangkat ke Tsim Sha Tsui). Tak lama kemudian
kami tiba di stasiun MTR Jordan, berjalan naik ke

Shenzhen - Hong Kong - Macau 70


permukaan, menyusuri Nathan Road untuk kembali
ke Eaton Hotel. Saya cukup puas karena akhirnya bisa
mengajak keluarga saya merasakan menjadi warga
Hong Kong yang sebenarnya. Merasakan kepadatan
MTR, melihat banyaknya orang berlalu-lalang dengan
cepat di stasiun, hingga berjalan kaki lumayan jauh.
Bepergian di Hong Kong enak kok, nggak perlu
memikirkan kemacetan dan parkir. Siapkan stamina
kuat saja supaya bisa tahan berjalan kaki cukup jauh.

Persis depan Eaton Hotel ada 7-Eleven. Sebenarnya


sih hampir setiap perempatan di Hong Kong bisa
ditemukan 7-Eleven. Malam ini sebelum masuk ke
hotel, saya dan adik ipar saya mampir sejenak untuk
berbelanja cemilan. Satu hal yang tak akan kami
lewatkan adalah membeli cup mie instan versi Hong
Kong. Ukurannya lebih besar daripada standar cup
mie instan di Indonesia. Rasanya pun lumayan. Apalagi
untuk penghangat perut di malam hari sebelum tidur.
Kami pun beli beberapa untuk dimakan di hari esok.

71 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 72
5 Desember 2010

Hong Kong

73 Pitra Satvika
Hari kedua di Hong Kong diawali dengan bangun agak
siang. Kami sempat sarapan di hotel tanpa buru-buru.
Sempat berkenalan pula dengan empat tamu hotel
yang duduk dekat meja kami. Mereka juga berasal
dari Indonesia, dan berwisata ke Hong Kong dalam
rangka liburan. Mumpung ada hari kejepit nasional,
katanya. Memang tanggal 6 Desember Senin besok
hari yang tanggung, karena Selasa sudah ada hari
libur besar kembali. Pastinya banyak orang yang
memanfaatkannya untuk cuti dan liburan panjang.

Pukul 08:30 kami sudah siap di lobi menunggu


jemputan. Tepat saat kami turun, si pemandu datang
menghampiri kami. Namanya Denis, seorang pria
usia 40-an tahun asli Surabaya, yang pindah ke Hong
Kong. Seperti pemandu sebelumnya, ia juga sangat
fasih berbahasa Indonesia. Bahkan saat ia bicara
bahasa Indonesia, aksen China-nya pun ikut hilang.
Ia yang akan mengantar kami ke Disneyland pagi ini.
Menurut jadwal yang kami terima, seharusnya kami

Shenzhen - Hong Kong - Macau 74


baru akan dijemput kembali dari Disneyland pada
malam hari setelah acara kembang api berakhir. Kami
memutuskan untuk bisa pulang sore hari, supaya
kami punya sisa waktu untuk berjalan-jalan ke bagian
lain dari Hong Kong. Denis lalu mengkoordinasikan
dengan rekanannya di kantor, sebelum akhirnya
berkata kalau nanti pukul 17:00 akan ada mini bus
yang akan menjemput kami di lokasi.

Disneyland Hong Kong ini dibangun pada tahun 1999


dan resmi dibuka pada tahun 2005. Kepemilikannya
51% milik Pemerintah Hong Kong dan 49% milik
Disney. Pemerintah Hong Kong menyediakan
tanahnya, sementara Disney yang akan menyediakan
seluruh wahananya. Untuk benar-benar membangun
Disneyland sebagai negeri impian, wahana ini harus
bebas dari pandangan gedung-gedung tinggi yang
mewarnai langit Hong Kong. Pemerintah Hong Kong
pun lalu memperluas pulau di sisi barat Hong Kong
dengan mengurugnya.

Saat kami mencapai lokasi, memang tidak ada jejak-


jejak Hong Kong sama sekali. Semuanya hijau, tanpa
ada bangunan tinggi. Bahkan gunung batupun ditanami
tumbuhan supaya tetap terlihat hijau. Di lokasi ini
selain Disneyland ada pula dua hotel pendukung,
yakni Disneyland Hotel dan Hollywood Hotel, yang
keduanya dikelola sendiri oleh Disney. Akan selalu ada
bus yang berputar mengantarkan penumpang dari
Disneyland ke Disneyland Hotel, lalu ke Hollywood

75 Pitra Satvika
Hotel, sebelum kembali lagi ke Disneyland. Jemputan
kami akan menunggu di Hollywood Hotel pukul
17:00. Artinya, kami harus sudah keluar dari wahana
Disneyland pukul 16:30 untuk naik bus yang akan
mengantar kami ke Hollywood Hotel.

Kami tiba di Disneyland Hong Kong sekitar pukul


10:00, tepat saat wahana mulai dibuka. Di akhir
minggu ini, tiket yang dijual hanya terusan dan
berlaku untuk semua wahana. Tiket dewasa HK$ 350,
anak HK$ 250, dan senior (manula) HK$ 175, berlaku
selama sehari penuh. Kami tidak diizinkan untuk
membawa makanan dan minuman dari luar, kecuali
segelas air minum saja. Bila kami haus dan lapar,
kami dipersilakan untuk berbelanja di dalam wahana
Disneyland (yang pastinya harganya lebih mahal).

Shenzhen - Hong Kong - Macau 76


Wahana Disneyland Hong Kong terbagi menjadi
4 area utama: Main Street, U.S.A. (jalan utama),
Adventureland, Fantasyland, dan Tomorrowland.
Sebenarnya luasan Disneyland Hong Kong tidak
terlalu besar, bahkan jauh lebih kecil daripada Dunia
Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol. Atraksi yang
ditawarkan Dunia Fantasi pun masih lebih menarik bila
dibandingkan dengan Disneyland Hong Kong. Setelah
kami antri melewati pemeriksaan, kami langsung
berada di Main Street, U.S.A. Lokasi ini menjadi pusat
penjualan cenderamata yang umumnya baru didatangi
pengunjung usai menikmati seluruh wahana.

Pertama kali kami berjalan menuju Tomorrowland.


Hiburan pertama adalah untuk keponakan saya. Ia
bersama bapak dan ibunya antri di wahana Orbitron.

77 Pitra Satvika
Wahana ini memang dikhususkan untuk anak-anak.
Pengunjung yang antri akan naik dalam beberapa
pesawat kecil. Satu pesawat bisa muat 4 orang.
Pesawat-pesawat ini akan bergerak naik turun sambil
berputar dalam sumbu lingkaran. Antrinya lebih dari
10 menit, namun main di dalam wahananya hanya
sekitar 2 menit.

Wahana yang menyenangkan dan bisa dimainkan


bersama keluarga adalah Buzz Lightyear Astro
Blasters. Di sini kami akan duduk dalam kereta yang
terus berjalan. Setiap kereta terdiri dari 2 orang dan
dilengkapi dengan senjata laser. Tujuan permainan
adalah menembak musuh sebanyak mungkin selama
kereta berjalan. Kereta juga bisa diputar hingga 180
derajat sehingga saya pun bisa menembak musuh
yang berada di belakang saya sambil kereta tetap

Shenzhen - Hong Kong - Macau 78


bergerak. Di akhir permainan, setiap pemain bisa
saling beradu jumlah point yang berhasil didapatkan.

Wahana paling menarik di Tomorrowland adalah


Space Mountain. Saya, adik saya, dan suaminya ikut
mencoba wahana ini. Space Mountain sebenarnya
adalah semacam roller coaster yang atraksi
sepenuhnya dilakukan dalam ruangan yang gelap.
Pengalaman yang diinginkan dari wahana ini adalah
kejutan-kejutan saat naik pesawat yang mengarungi
ruang angkasa. Kilauan cahaya bintang menyinari
langit-langit saat roller coaster mulai menanjak,
sebelum akhirnya menukik dan berbelok tajam
membanting ke kiri dan ke kanan. Namun tenang saja,
tidak ada bagian dari roller coaster ini yang berputar
360 derajat.

Siap-siap saja saat mendekati akhir. Akan ada kilauan


cahaya singkat yang menyilaukan mata sebelum roller
coaster berhenti. Setelah saya turun dan berjalan
keluar menuju ruang cenderamata, saya baru sadar
kalau kilatan cahaya singkat tadi adalah flash dari
kamera. Saya bisa melihat foto yang menampilkan
ekspresi saya saat flash terjepret. Kalau mau, foto ini
bisa dijadikan cenderamata pula, dengan membayar
ya tentunya.

Kami lalu berpindah ke Adventureland. Tujuan


pertama kami adalah ke Theater of the Wild yang akan
menyajikan pertunjukan Festival of the King. Tepat

79 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 80
pukul 12:15 acara dimulai. Kisah dalam pertunjukan
ini diadaptasi dari film Lion King. Beberapa rekaman
suara pun diambil dari film tersebut. Beberapa tokoh
utama di film Lion King dipersonifikasikan sebagai
orang, yang menyanyi live di saat pertunjukan.
Pertunjukan penuh dengan adegan tarian yang
menarik, dengan desain kostum yang menarik pula.
Meski Festival of the King ini tampak apik, tetap
saja tidak bisa mengalahkan pertunjukan yang kami
saksikan di Shenzhen dua hari lalu.

Usai pertunjukan, kami berjalan menuju Disney’s


Storybook Theater di Fantasyland. Pertunjukan
berikutnya akan digelar pukul 12:45. Antrian masuk
sudah dimulai. Sebelum masuk, saya dan adik ipar
saya membeli makan siang dahulu di Starliner Diner.
Yang membuat saya kagum, Disney ternyata punya lini

81 Pitra Satvika
restoran burgernya sendiri. Starliner Diner ini dikelola
sendiri oleh Disney. Semua atributnya menggunakan
karakter Disney. Rasa burgernya pun enak, nggak
kalah dengan McDonald’s. Mungkin Disney tidak ingin
ada merk lain masuk di dalam wahananya. Mereka
ingin semuanya eksklusif dikelola oleh Disney sendiri.
Makanan pun kami bungkus, dengan harapan kami
bisa makan sebelum mengikuti antrian di Disney’s
Storybook Theater. Ternyata saat kami datang, antrian
sudah dimulai. Kami sekeluarga pun menunda makan
siang dan bergegas ikut masuk dalam antrian.

Disney’s Storybook Theater kali ini menyajikan The


Golden Mickeys. Pertunjukan teater yang dibuat
ala Broadway ini menampilkan seorang tokoh baru
Bebe, ditemani oleh Mickey dan Minnie Mouse, yang
memandu mengenalkan audiens akan tokoh-tokoh

Shenzhen - Hong Kong - Macau 82


terkenal Disney. Penyajiannya dikemas dalam bentuk
tari dan lagu. Agak aneh juga sih mendengarkan
setiap dialog percakapan yang menggunakan bahasa
Mandarin. Untungnya ada layar LCD di kanan
panggung yang menyajikan terjemahannya. Sambil
menonton, kami curi-curi makan siang. Seharusnya
sih tidak boleh makan dan minum di dalam teater ini.
Jadi jangan ditiru ya.

Selanjutnya, kami sekeluarga pindah ke wahana


yang tak jauh dari situ, ke wahana It’s A Small World
Christmas. Kami agak tertipu saat melihat kosongnya
antrian di luar. Namun begitu kami masuk, terkejut
juga saat melihat antrian yang luar biasa panjangnya.
Antrian dibuat berbelok-belok, hingga kami sendiri
tidak tahu berapa panjang antrian sebenarnya.
Lumayan juga kami semua antri selama lebih dari

83 Pitra Satvika
10 menit, sebelum akhirnya merasakan isi wahana
yang mirip dengan Istana Boneka Dunia Fantasi ini.
Isinya pun tidak jauh berbeda, meski saya perhatikan
terdapat elemen-elemen baru yang berhubungan
dengan perayaan Natal melengkapinya. Saya
menduga, pasti saat Helloween atau Chinese New Year
kemarin, akan ada tema berbeda pula yang disajikan
di wahana ini. Perjalanan melihat boneka-boneka
sambil diiringi lagu Jingle Bells ini hanya berlangsung
sekitar 5 menit.

Wahana menarik lainnya di Fantasyland adalah


Mickey’s PhilharMagic. Saat kami antri masuk, kami
dibagikan kacamata khusus. Saat pintu dibuka,
kami semua berebut masuk mencari tempat duduk
di tengah-tengah. Wahana ini sebenarnya adalah
bioskop dengan layar terlebar yang pernah saya lihat,
karena hampir 180 derajat mengelilingi ruangan. Film
pun dimulai, animasi tiga dimensi yang menceritakan
Donald Dunk yang mencuri tongkat sihir milik Mickey
Mouse. Petualangan Donald Duck dengan tongkat
sihirnya membawanya ke berbagai dunia Disney dan
berjumpa dengan banyak karakter. Kacamata yang
kami kenakan memberi tampilan 3D, membuat objek
seakan-akan keluar dari layar. Sensasi rasa juga terasa
saat Donald Duck mencium kue. Aroma kayu manis
tersebar di seluruh ruangan bioskop. Tiupan angin
berhembus ikut pula terasa pula saat Donald Duck
terbang cepat di atas permadani ajaib milik Aladdin.
Saat Donald Duck bertemu dengan Ariel si Little

Shenzhen - Hong Kong - Macau 84


Mermaid, cipratan air ikut menghujani penonton.
Audio, visual, dan rasa membuat penonton merasakan
sesuatu yang berbeda, lebih dari sekedar menonton
bioskop biasa.

Usai menonton Mickey’s PhilharMagic, waktu sudah


menunjukkan pukul 15:30. Hanya memungkinkan
bagi kami untuk mengikuti satu atraksi wahana lagi.
Kami kembali lagi ke Adventureland, untuk mengikuti
Jungle River Cruise. Antrian dipisahkan dalam tiga
bagian. Dua bagian akan dipandu dalam bahasa
Mandarin, sementara antrian ketiga akan dipandu
dalam bahasa Inggris. Kami tentunya antri di bagian
bahasa Inggris. Ternyata belum juga 5 menit antri,
kami sudah bisa langsung menikmati Jungle River
Cruise.

85 Pitra Satvika
Kami akan naik kapal yang akan berkeliling danau
buatan. Kapal sebenarnya berjalan di atas rel, meski
relnya tak terlihat karena terbenam di bawah air.
Pengemudi kapal lalu bercerita tentang atraksi apa
saja yang akan dilewati, seperti sekumpulan kuda
nil, gajah, hingga ular. Tentunya semua adalah mesin
mekanik, yang akan bereaksi setelah kapal mendekat.
Kami juga melewati suku-suku liar yang menembakkan
panah air saat kapal melewatinya. Perjalanan berakhir
saat kapal melewati sungai sempit dengan karang
buatan di kiri kanannya. Seketika saja karang itu
terbakar oleh api. Api bahkan menjalar pula di atas
air, seakan-akan bergerak mendekati kapal. Tak lama
api pun padam tergantikan dengan gumpalan kabut
asap putih yang menutupi pemandangan. Supir kapal
tetap santai bercerita sambil akhirnya merapatkan
kapal kembali ke dermaga. Kalau duduk di tepian
kapal, bersiaplah untuk terkena berbagai cipratan air.
Namun tenang saja, tidak akan membuat diri menjadi
basah kuyup kok.

Kami lalu bergegas kembali ke Main Street, U.S.A. Adik


saya dan suaminya menyempatkan diri berbelanja di
toko cenderamata sementara saya menjaga anaknya
yang tertidur di kereta dorong. Sekedar info saja,
di Disneyland Hong Kong memang diizinkan untuk
membawa kereta dorong untuk bayi (stroller). Atau
kalau memang perlu, bisa juga menyewa di sana.
Namun ingat, setiap kali memasuki wahana, stroller
tidak boleh dibawa masuk. Stroller bisa ditaruh di

Shenzhen - Hong Kong - Macau 86


tempat parkir yang disediakan, meski Disneyland
tidak menjamin kalau terjadi kehilangan.

Sekitar pukul 16:30 lewat kami sudah berada di


luar, bersiap naik ke bus yang akan membawa kami
berputar ke Hollywood Hotel. Karena jarak yang tidak
terlalu jauh, perjalanan bus hanya membutuhkan
waktu 5 menit, walaupun harus terlebih dahulu
melewati Disneyland Hotel. Pas banget, begitu kami
tiba di Hollywood Hotel, mobil jemputan kami pun
baru saja datang. Si supir
langsung mengantar kami
kembali ke Eaton Hotel.

Kami memang sengaja


pulang lebih cepat ke
Eaton Hotel supaya kami
masih bisa berjalan-jalan
lagi malam harinya. Tak
lama kami beristirahat
di hotel, karena pukul
18:00 kami sudah siap
untuk berangkat kembali.
Keponakan saya kini sudah
terbangun. Kali ini kami
semua mau memenuhi
harapannya, mencoba
eskalator terpanjang
sedunia (begitulah
katanya) yang berada di

87 Pitra Satvika
Hong Kong. Lokasinya berada di daerah lama Hong
Kong, sebelah selatan stasiun MTR Central.

Saya sempat mengingatkan ke keluarga saya kalau di


lokasi ini hanya ada eskalator naik. Untuk turunnya
harus menggunakan tangga. Jadi ya, siap-siap saja
menahan lelah. Keluar dari MTR Central, kami
berjalan ke arah selatan. Daerah ini bisa dibilang kota
lama Hong Kong. Bapak saya masih ingat saat datang
ke Hong Kong puluhan tahun lalu, ia lebih banyak
berjalan-jalan di daerah ini saja. Sekarang, daerah ini
sudah berubah menjadi tempat pusat perbelanjaan.
Semakin ke selatan, semakin naik ke arah bukit,
semakin banyak pula pub dan bar. Banyak bule
Amerika dan Eropa suka nongkrong di sini.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 88


Kami melewati jalan Queen’s Road Central, dan melihat
toko Crocs di salah satu jejerannya. Bapak saya sempat
mampir dan berbelanja, sementara saya menunggu
di trotoar luar, bermain bersama keponakan saya.
Toko Crocs ini tidak terlalu besar, tapi punya koleksi
yang sangat banyak. Bapak saya yang pada dasarnya
pemilih saja bisa menemukan sandal yang dicarinya
di sini. Kami lalu berjalan melewati jalan Lyndhurst
Terrace dan melihat jembatan penyeberangan orang
melintas di atasnya. Eskalator berada di atasnya. Kami
berjalan mendekati salah satu tangga untuk naik ke
penyeberangan.

Di atasnya, kami bisa langsung melihat eskalator


yang dicari-cari sang keponakan. Ia memang sempat
melihatnya di YouTube. Sebagai penggemar eskalator,
ia selalu mencari yang terpanjang, karena itulah salah
satu kepuasannya saat berjalan-jalan. Seharusnya
sih ya, ada yang lebih panjang daripada di sini. Kalau
menyempatkan diri ke Ocean Park, di sana ada
eskalator yang jauh lebih panjang, naik dan turun,
untuk menuju kereta gantung.

Kami semua ikut menemani si keponakan naik


eskalator. Naik dan terus naik. Kami tidak sampai
puncak, mengingat kami harus turun kembali lewat
tangga. Benar juga kan, perjalanan turun tangga
cukup melelahkan. Kami berhenti sejenak saat
melewati kedai roti Subway. Saya selalu tertarik untuk
membeli roti di Subway setiap kali saya ke luar negeri.

89 Pitra Satvika
Di Subway, saya bisa memesan sandwich dengan roti,
daging, sayur, dan saus yang saya sukai. Sayang roti
Subway ini tidak ada di Indonesia, padahal rasanya
enak luar biasa.

Kami lalu kembali berjalan kaki turun, melewati


kembali jalan-jalan yang kami lalui sebelumnya untuk
kembali ke stasiun MTR Central. Malam ini adalah
kesempatan terakhir kami berjalan-jalan jauh di Hong
Kong, karena besok kami akan berangkat ke Macau
dan baru akan kembali agak malam. Jadi kalau mau
belanja, harus dituntaskan semuanya malam ini.

Di stasiun MTR Central, saya membelikan tiket


perjalanan ke Causeway Bay. Sebenarnya kedua kaki
saya sudah capai. Akumulasi kelelahan perjalanan
hari-hari kemarin mulai terasa di malam ini. Kalau
saya capai, saya yakin adik saya jauh lebih capai.
Bayangkan, betapa seringnya si keponakan minta
digendong ibunya. Namun tidak ada dari kami yang
protes. Kalaupun lelah, kami hadapi kelelahan ini
dengan gembira. Capai karena berjalan-jalan liburan
jelas lebih menyenangkan daripada capai karena
bekerja bukan?

Di Causeway Bay terdapat pertokoan Causeway Bay


Plaza yang terkenal menjual alat-alat elektronik.
Benar juga, meski sebetulnya tidak seheboh Ratu
Plaza atau Mangga Dua Mall di Jakarta, kami bisa
menemukan toko-toko elektronik besar di lantai 7,

Shenzhen - Hong Kong - Macau 90


91 Pitra Satvika
8, dan 9 di pusat perbelanjaan ini. Melihat lantainya
yang tinggi, dan kami harus naik eskalator berulang-
ulang, saya jadi berpikir, tadi nggak usahlah kami naik
eskalator panjang di daerah Central. Si keponakan
pasti sudah bisa terpuaskan naik eskalator yang luar
biasa banyaknya dari stasiun MTR ke lantai paling atas
pertokoan.

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 21:00. Masih


ada waktu sebetulnya kalau mau mampir ke Ladies
Market yang berada di Tung Choi Street, tak jauh dari
stasiun MTR Mong Kok. Kami pun turun kembali ke
MTR Causeway Bay. Saya langsung memesankan tiket
kereta ke arah Mong Kok. Jaraknya lumayan jauh,
dan kami harus transit terlebih dahulu di stasiun
MTR Admiralty. Meskipun jauh, namun waktu yang
ditempuh selalu bisa diprediksi.

Kurang lebih pukul 21:30 kami semua sudah sampai


persis di depan Tung Choi Street. Jalan mobil ini
selalu ditutup pada malam hari, untuk memberikan
kesempatan berjualan kepada para pedagang. Setiap
barang yang ditawarkan di sini harus ditawar. Kalau
perlu tawarlah serendah mungkin, karena tak sedikit
pedagang yang mengambil margin profit tinggi. Adik
dan Ibu saya asyik berbelanja mencari oleh-oleh,
sementara saya dan Bapak serta si keponakan melipir
ke restoran KFC yang tak jauh dari sana. Saya dan
Bapak menemani si keponakan makan malam dengan
ayam KFC versi Hong Kong (nggak ada bedanya sih

Shenzhen - Hong Kong - Macau 92


sebetulnya). Kami menunggu di sini sampai akhirnya
para pembelanja datang kembali.

Sekitar pukul 22:00 lewat kami pun berjalan kembali


ke stasiun MTR Mong Kok. Kaki saya sudah sangat
lemas karena kecapaian. Untungnya dari Mong Kok
kembali ke Jordan tidak jauh, hanya beda 2 stasiun.
Sekitar pukul 22:30 kami semua pun sudah terbaring
capai di kamar hotel kami masing-masing. Besok
adalah hari terakhir kami berwisata jauh. Pagi-pagi
kami akan dijemput untuk berwisata ke Macau.

93 Pitra Satvika
Shenzhen - Hong Kong - Macau 94
6 Desember 2010

macau

95 Pitra Satvika
Di hari kelima ini kami akan berjalan-jalan ke Macau,
yang berada di sebelah barat daya Hong Kong. Kami
sudah harus bersiap sejak pagi, karena kami akan
dijemput pemandu pukul 07:20. Sudah pagi-pagi
sekali kami semua sarapan. Mengingat menu sarapan
yang tidak terlalau enak kemarin, saya habiskan saja
roti Subway yang dibeli semalam. Paling saat sarapan
di lobi hotel, saya cukup minum yoghurt dan teh
manis saja.

Kali ini tur wisata kami bersama-sama dengan


rombongan dari hotel-hotel lain. Yang dari Indonesia
ternyata hanya saya dan keluarga. Lainnya dari
beragam bangsa. Bus penjemput berputar dari hotel
ke hotel menjemput peserta tur sebelum akhirnya
bergerak menuju terminal pelabuhan Hong Kong
Macau. Di terminal kami bertemu dengan banyak
rombongan lainnya. Kalau dihitung, jumlahnya
mencapai lebih dari 30 orang, dipimpin oleh seorang
pemandu sementara. Si pemandu asal Hong Kong
ini hanya bisa membantu keberangkatan di Hong

Shenzhen - Hong Kong - Macau 96


Kong. Selanjutnya di Macau kami akan dibantu oleh
pemandu lokal asal Macau.

Si pemandu membagikan tiket ferry kepada kami


semua. Kali ini kami akan naik ferry TurboJet yang akan
berangkat pukul 09:00. Tiketnya lumayan mahal, HK$
134. Seluruh rombongan mendapat tempat duduk di
lantai atas. Memang terasa lebih luas dibandingkan
saat kami naik ferry dari Shenzhen ke Hong Kong.
Sepertinya kelas ferry TurboJet ini memang di atas
ferry CKS ataupun TaiShan. Di sini kami duduk
berdasarkan nomor bangku yang telah ditentukan.
Saya dan keluarga duduk berdekatan.

Ferry Turbojet berangkat tepat waktu. Ternyata duduk


di lantai atas tidak senyaman yang dibayangkan. Saat
menerjang ombak dan ferry bergoyang ke kiri dan ke
kanan, saya mulai merasa mabuk. Kepala pusing dan
perut terasa mual. Padahal waktu saya duduk di lantai
dasar saat berangkat dari Shenzhen ke Hong Kong,
saya tidak merasa pusing atau mual sedikitpun. Tak
kuasa menahan pusing dan mual, akhirnya saya pun
menghabiskan waktu satu jam perjalanan dengan
memejamkan mata.

Ferry pun mendarat di pelabuhan utama Macau.


Seperti Hong Kong, pelabuhan Macau juga terkoneksi
dengan bandara udara internasional. Macau memiliki
luasan 29,5 km², mencakup Macau Peninsula (9,3
km²), pulau Taipa (6,8 km²), dan Coloane (7,6 km²),

97 Pitra Satvika
yang terhubung satu dengan lainnya melalui jembatan.
Salah satu jembatan terpanjang ada yang mencapai
4.000 meter. Macau juga terhubung dengan daratan
Cina melalui jembatan. Melalui jalur inilah semua
kebutuhan makanan dan minuman Macau diimpor
dari Cina. Saat ini sedang dibangun jembatan yang
menghubungkan antara Macau dan Hong Kong, dan
diperkirakan akan selesai tahun 2016.

Kami melewati proses imigrasi. Tidak terlalu lama


juga, meski banyak sekali yang saat itu antri.
Sesampainya di luar imigrasi, pemandu lokal Macau
sudah menjemput kami. Namanya Albert. Ia banyak
bercerita menggunakan bahasa Inggris yang tidak
terlalu jelas. Aksen Chinanya terlalu kental, sehingga
agak sulit bagi saya memahaminya. Ia mengantar
kami ke tempat perhentian bus. Setelah kami naik

Shenzhen - Hong Kong - Macau 98


dan duduk di dalamnya, ia menyampaikan beberapa
peraturan demi lancarnya kegiatan tur. Salah satunya
yang paling penting adalah untuk selalu tepat waktu.

Albert banyak bercerita tentang latar belakang


Macau. Sejujurnya saya tidak terlalu banyak
mendengarkan karena lebih tertarik untuk foto-
foto ke luar jendela. Namun garis besar ceritanya
adalah sejak diserahkannya Macau oleh Portugis ke
Pemerintah China tahun 1999, pembangunan besar-
besaran terus dilakukan melalui serangkaian proses
reklamasi. Tali silaturahmi antara Macau dan Portugis
pun masih dilakukan. Banyaknya patung landmark di
Macau yang didesain oleh seniman Portugis hanyalah
salah satunya. Bahasa Portugis juga menjadi bahasa
percakapan kedua di negeri ini, setelah Chinese.

99 Pitra Satvika
Semua papan nama jalan, pengumuman, semua
menggunakan dua bahasa tersebut.

Bangunan di Macau pun bergaya campur aduk.


Ada yang masih mempertahankan desain kolonial
Portugis, ada pula yang berbentuk aneh-aneh,
terutama kasino-kasinonya. Pajak dari perjudian
memang menjadi pemasukan utama Pemerintah.
Meski sudah banyak gedung hotel lengkap dengan
perjudian, Pemerintah Macau masih menganggapnya
belum cukup, dan akan masih terus membangun.
Albert si pemandu cerita kalau saat ini sirkulasi uang
perjudian di Macau sudah melebihi Las Vegas. Tahun
2009 kemarin katanya sudah mencapai lebih dari
US$15 milyar.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 100


Kunjungan wisata pertama kami adalah ke Maritime
Museum, yang berlokasi di tenggara Macau Peninsula.
Isinya lebih banyak bercerita tentang sejarah Macau
dan kedekatannya dengan dunia maritim. Museum
ini lengkap dengan diorama, miniatur model kapal,
hingga cerita sejarah dalam format multimedia.
Setelah setengah jam kami berkeliling di dalamnya,
kami kembali berkumpul di plaza di depannya. Di
hadapan plaza ini terdapat kuil, dengan banyak warga
China berdoa di dalamnya. Namanya A-Ma Temple,
dibangun tahun 1488 dan merupakan kuil tertua di
Macau.

Tak jauh dari sana, terdapat pusat oleh-oleh makanan


terkenal. Namanya Pastelaria Koe Kei. Kami diberi
kesempatan lagi setengah jam untuk berjalan di
sekitar plaza, kuil, dan berbelanja oleh-oleh. Toko

101 Pitra Satvika


ini menjual egg tart Portugis yang memang terkenal
kekhasannya. Per egg tart dijual seharga HK$ 7.
Makanan ini bisa dijadikan oleh-oleh karena bisa
bertahan hingga 3 hari lamanya.

Sekitar lokasi ini penuh dengan bangunan tua


empat lantai yang dijadikan hunian. Banyak jemuran
bergelantungan dari lantai-lantai atas, sementara
lantai dasar dijadikan pertokoan. Jalan-jalannya
pun tidak terlalu lebar serta naik dan turun. Banyak
warga yang memilih menggunakan skuter dan motor
untuk mengarunginya.
Kebanyakan kendaraan
parkir paralel di tepi jalan.
Mungkin karena populasi
Macau yang tidak
terlalu banyak, jumlah
kendaraan pun tidak
terlalu menyempiti jalan.
Kenyataannya di hari
Senin seperti ini, sangat
sedikit terlihat kendaraan
berseliweran di jalan raya.

Perjalanan wisata kedua


kami adalah ke salah satu
peninggalan masa lalu
Macau, yakni The Ruins
of St. Paul. Kalau diamati,
tata ruang daerah ini mirip

Shenzhen - Hong Kong - Macau 102


sekali dengan jalan-jalan di Itali, yang sering terlihat di
film-film. Jalan-jalan sempit, kondisi kontur naik dan
turun, gedung-gedung padat dengan jalur pedestrian
cukup lebar. Jalan rayanya sendiri cuma bisa dilewati
dua jalur mobil saja. Terlihat bus kami melewatinya
dengan sedikit bersusah payah.

Setelah kami parkir, kami semua pun turun dari bus.


Kami menyusuri trotoar sempit. Beberapa pedagang
toko yang melihat kami menyapa dalam berbagai
bahasa, menebak-nebak kami semua berasal dari
mana. Ia juga menyapa
dalam bahasa Indonesia.
Bahkan papan nama
tokonya pun dibuat dalam
dua bahasa, Tagalog dan
Indonesia. Saat ibu saya
lewat, salah satu pedagang
toko menanyakan ibu
saya dari mana. Saat
dijawab dari Indonesia, si
pedagang lalu berteriak
memanggil rekanannya di
dalam toko, dan keluarlah
rekannya yang fasih
berbahasa Indonesia.
Lumayan hebat juga
pemasarannya. Bahkan
para pedagang toko kecil
saja sudah mendekati

103 Pitra Satvika


calon konsumennya dengan menggunakan konteks
kelokalan.

The Ruins of St. Paul ini dahulu adalah fasade gereja


Mater Dei yang dibangun tahun 1602-1640, namun
hancur terbakar pada tahun 1835. Sisa-sisanya kini
dipertahankan dan dijadikan atraksi wisata utama
Macau. Beberapa bagian terlihat sudah dipugar dan
diubah menjadi museum. Sepertinya tata ruang di
sekitar objek wisata ini masih dipertahankan seperti
aslinya. Sangat terasa Eropa sekali tata ruangnya,
dengan bekas gereja raksasa ini sebagai landmark-
nya.

Kami hanya singgah di objek wisata ini selama


setengah jam, sebelum Albert mengantar kami ke
tujuan selanjutnya, makan siang di The Fisherman’s

Shenzhen - Hong Kong - Macau 104


Wharf yang berada di Macau Peninsula. Tempat ini
merupakan kompleks baru, gabungan antara hotel,
restoran, kafe, penjualan suvenir, dan tentunya kasino.
Berada di tepi pantai, kompleks ini mengingatkan saya
akan Taman Impian Jaya Ancol, minus judi.

Sejujurnya makan siang ini adalah yang terburuk


bila dibandingkan dengan makan siang kemarin.
Kami makan siang di restoran Babylon Casino.
Makanannya buffet. Rasa makanannya tidak terlalu
enak. Belum lagi penyajiannya yang terkesan asal-
asalan. Restoran pun tidak kelihatan rapih. Adik ipar
saya malah mengeluhkan
toiletnya. Banyak kertas
tisu bertebaran dimana-
mana, tanpa dibersihkan
petugas, meski saya melihat
petugas kebersihannya
sendiri bolak-balik ke toilet.
Para pelayan restoran
sepertinya bekerja dengan
tidak maksimal, karena
pelayanannya yang tidak
menyenangkan. Lucunya, si
pemandu dari Hong Kong
yang mengantar kami semua
juga berpendapat sama. Ia
bilang kalau keluhan ini akan
dijadikan masukan untuk tur
berikutnya.

105 Pitra Satvika


Perjalanan berikutnya adalah
ke Macau Tower yang berada
di selatan Macau Peninsula.
Sebenarnya Macau ini
memang nggak luas-luas
banget. Dari hampir setiap
sudut kota saya sudah bisa
melihat semua landmark
Macau dengan mudah. Bus
yang mengantar kami pun
beberapa kali memutari jalan
yang sama. Di Macau tidak
ada MTR subway. Bus umum
adalah transportasi utama
bagi publik. Alternatif lainnya
adalah kendaraan pribadi
berupa motor dan mobil
yang jumlahnya tidak terlalu
banyak.

Macau Tower terdiri dari 61 lantai, dengan atraksi


wisata bisa ditemukan di lantai 58 dan 61. Bangunan
menara ini setinggi 338 meter, dan untuk mencapai
puncaknya bisa menggunakan 2 lift super cepat yang
tersedia. Namun siap-siap saja merogoh kantung
karena tiketnya tidak murah. Per orang dikutip HK$
100.

Mereka menyebut lantai 58 sebagai observatorium

Shenzhen - Hong Kong - Macau 106


deck. Jendela terbuka mengelilingi lantai ini. Saya bisa
leluasa melihat Macau dari segala penjuru. Untuk
mendekati tepian jendela, saya harus melewati lantai
kaca. Di atas lantai kaca ini, saya bisa langsung melihat
lurus vertikal ke bawah permukaan tanah. Bisa bikin
ciut nyali juga sih. Saya jadi was-was banget saat
keponakan saya malah tengkurap dan bermain persis
di atas kaca. Meski saya yakin sudah didesain dengan
aman, tetap saja kekhawatiran tetap ada. Segera saja
si keponakan ditarik untuk minggir ke tempat duduk
yang tidak berlantai kaca.

Macau Tower ini mengingatkan saya saat tahun lalu di


Jerman. Waktu itu saya sempat ke Cologne Cathedral
dan naik ke puncak menaranya yang setinggi 100
meter. Bedanya, tidak ada lift. Saya waktu itu harus
naik tangga sempit untuk mencapai puncaknya. Kalau

107 Pitra Satvika


untuk naik Macau Tower praktis tidak menghabiskan
energi. Berbeda saat saya naik ke puncak Cologne
Cathedral. Siap-siap saja stamina dan energi habis
saat berada di puncaknya.

Kami semua lalu pindah ke


lantai 61. Mereka menyebutnya
Skywalk X. Di lantai ini saya
melihat toko-toko cenderamata
dan kafe. Salah satu fitur
menarik dari Macau Tower ini
adalah bungee jumping dan
berfoto di tepian luar menara.
Kalau mau, tinggal register dan
bayar tentunya. Biayanya itu
yang luar biasa. Untuk sekedar
berfoto saja, uang yang harus
dikeluarkan sebesar HK$ 588,
sementara untuk bungee
jumping, uang yang dikeluarkan bisa mencapai
HK$ 2488. Hebatnya, mereka bahkan memfasilitasi
para pengunjung difabel supaya bisa ikut serta pula
dalam aktivitas ini. Pastinya mereka sangat menjamin
keamanan penggunanya. Memang untuk memicu
adrenalin, nggak ada yang murah ya?

Sekitar pukul 14:45 kami semua diminta untuk sudah


berada di bawah. Macau Tower adalah tujuan wisata
kami terakhir di negeri ini. Bus menjemput kami
sekitar pukul 15:00. Setelah ini, kami akan langsung

Shenzhen - Hong Kong - Macau 108


kembali ke Hong Kong menggunakan ferry pukul
17:00. Bus pun mengantar rombongan kami yang
berjumlah lebih dari 30 orang ini kembali ke terminal
peelabuhan. Setibanya di pelabuhan, Albert si
pemandu mohon pamit, dan perjalanan selanjutnya
ke Hong Kong akan dipandu kembali oleh pemandu
kami dari Hong Kong.

Kami kembali menggunakan ferry TurboJet. Tiket


perjalanan dari Macau ke Hong Kong ternyata lebih
mahal, seharga HK$ 142. Antrian masuk penumpang
ferry sangat banyak. Ternyata memang isi ferry sangat
penuh. Hampir semua tempat duduk terisi. Berbeda
dengan saat keberangkatan, kali ini kami duduk di
lantai dasar. Mudah-mudahan saja perjalanan ini tidak
membuat saya pusing dan mual seperti perjalanan
saya ke Macau tadi pagi. Ferry berangkat tepat pukul

109 Pitra Satvika


17:00 dan tiba di Hong Kong pukul 18:00. Setelah
kami masuk ke bus yang akan mengantar kami ke
hotel masing-masing, sang pemandu pun berpamitan
kepada kami semua. Bus mengantar rombongan satu
persatu dari hotel ke hotel. Saya dan keluarga baru
tiba kembali di Eaton Hotel sekitar pukul 19:30. Kami
pun langsung ke kamar untuk beristirahat sejenak.

Malam ini adalah malam terakhir kami di Hong Kong.


Kesempatan untuk jalan-jalan malam tinggal saat ini.
Malam ini kami memutuskan untuk berjalan-jalan
sekitar hotel saja. Mungkin menyusuri Nathan Road
ke arah utara lalu kembali lagi. Sebelum kami turun,
masih tersisa 4 cup mie instan yang dibeli oleh adik
ipar saya di 7-Eleven dua malam lalu. Kami putuskan
untuk menghabiskannya mengingat besok semua cup
ini tidak bisa kami bawa pulang.

Sekitar pukul 20:00 lewat kami pun keluar dari


hotel, menyeberang Nathan Road, dan berjalan
menyusurinya ke arah utara. Bapak dan ibu saya
masih tertarik untuk berbelanja, entah itu sepatu atau
tas. Adik saya dan suaminya juga masih mencari oleh-
oleh untuk teman-teman mereka. Entah kami akan
menemukan yang dicari atau tidak, kami susuri saja
jalan sambil melihat-lihat. Kami memasuki sebuah
toko sepatu. Ada satu model sepatu perempuan
yang lagi tren di Hong Kong dipajang di pintu masuk.
Sudah beberapa kali saya melihat perempuan gaul di
Hong Kong mengenakan sepatu model ini. Berbentuk

Shenzhen - Hong Kong - Macau 110


seperti sepatu boot namun tingginya hanya mencapai
mata kaki. Pergelangan kakinya tertutup dengan bulu-
bulu tebal. Warnanya variasi antara hitam, coklat,
atau putih. Ada pula yang tingginya hingga setengah
betis, juga tertutup dengan bulu-bulu tebal. Saat itu
pula sedang ada seorang perempuan usia 30 tahunan
yang sedang mencoba model sepatu tersebut.

Karena tak menemukan apa yang dicari, kami pun


keluar dari toko, dan kembali berjalan. Tak terasa
kami sampai di daerah Yau Ma Tei. Saya cukup familiar
dengan daerah ini, karena tahun lalu saya menginap
di City View Hotel, yang berada di daerah ini. Kami
melewati salah satu taman kota yang lengkap dengan
sarana bermain anak dan lapangan basket. Saya
bercerita ke keluarga saya kalau taman-taman serupa
seperti ini bisa ditemukan setiap beberapa blok.

111 Pitra Satvika


Fungsinya selain sebagai paru-paru kota, juga untuk
sarana sosialisasi warga. Taman ini selalu saja ramai
baik siang maupun malam.

Setelah cukup jauh kami berjalan, kami pun


memutuskan untuk kembali. Kami berjalan kembali ke
arah selatan, menyusuri jalan yang sama. Kami sedikit
melewati Eaton Hotel untuk mampir ke McDonald’s.
Kami memang belum makan malam, kecuali kalau cup
mie instan tadi dihitung ya. Lagi pula keponakan saya
belum makan. Ia hanya mau makan ayam, dan kini ia
sudah mulai rewel. Untunglah McDonald’s versi Hong
Kong juga punya paket ayam. Makan malam terakhir
kami di Hong Kong memang tidak ada eksotisnya.
Yang penting kami bisa mencari yang mudah, cepat,
dan pastinya halal.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 112


Usai makan kami langsung berjalan kembali ke hotel.
Keponakan masih saja rewel. Pastinya ia memang
sudah mengantuk. Sesampainya di kamar, kamipun
langsung mengemas pakaian, agar besok bisa lebih
tenang saat berangkat ke bandara. Si keponakan saya
langsung hilang rewelnya begitu tiba di kamarnya.
Tak lama ia mengetuk pintu kamar saya. Saat saya
buka, sudah tak ada tanda-tanda rewel mengantuk
atau kelaparan. Ia langsung mengambil pad saya
demi melanjutkan main Angry Birds. Haduh, begini
ya kalau hidup dengan seorang anak kecil yang melek
teknologi. Setelah setengah jam bermain ibunya pun
menyuruh tidur. Malam sudah berlanjut larut, dan
kami semua capai.

113 Pitra Satvika


Shenzhen - Hong Kong - Macau 114
7 Desember 2010

Hong Kong
Jakarta

115 Pitra Satvika


Hari terahir di Hong Kong, dan kami hanya punya
waktu hingga siang hari, sebelum nanti kami berangkat
ke bandara internasional Hong Kong. Ibu saya ingin
melihat Jade Market di Kansu Street. Bapak saya ingin
melihat East Tsim Sha Tsui. Saya bilang, mari dicoba
saja, mudah-mudahan bisa kami penuhi semua. Kami
semua keluar dari Eaton Hotel sekitar pukul 09:30,
menunggu keponakan saya yang terlelap lama karena
kecapaian semalam.

Kami berjalan kembali ke Nathan Road, lalu menyusuri


Kansu Street, hingga mencapai Jade Market. Tempat
ini merupakan tempat berkumpulnya pedagang kaki
lima Hong Kong yang khusus menjual perhiasan
terbuat dari batu jade. Kalung, anting, cincin, gelang,
dan liontin yang terbuat dari batu jade banyak
diperdagangkan di sini. Untuk mendapatkan harga
terbaik, beranilah menawar habis-habisan di sini.
Untungnya ibu saya jago luar biasa untuk urusan
tawar-menawar. Prinsipnya, pilihlah satu pedagang
saja, dan bernegosiasilah dengannya. Tidak perlu

Shenzhen - Hong Kong - Macau 116


lihai berbahasa Inggris, karena toh para pedagang ini
pun juga tak lihai pula. Menulis angka di kalkulator
akan sangat membantu komunikasi saat melakukan
tawar-menawar. Jangan berpindah-pindah pedagang,
karena harga terbaik tidak akan didapat kalau setiap
ragam pembelian barang dilakukan dengan banyak
pedagang. Lagi pula, perhiasan yang diperdagangkan
tidak jauh berbeda kok antara satu pedagang dengan
pedagang lainnya.

Kami lalu berjalan menyusuri Canton Road, melihat-


lihat suasana saja sambil berlalu santai. Saya melihat
toko khas Indonesia di jalan ini. Saya sempat melirik
isinya, dan melihat rak dengan tumpukan Mie Sedap di
dalamnya. Mungkin toko ini menjadi salah satu pilihan
warga Indonesia di Hong Kong yang ingin melepas
rindu dengan makanan instan khas Indonesia.

117 Pitra Satvika


Kami sempat berhenti di salah satu lot yang diubah
menjadi sebuah taman kecil. Taman terbuka ini
dilengkapi dengan mainan perosotan anak-anak.
Kalau dilihat dari kualitasnya, jelas ini bukan tipe
mainan perosotan murah. Saya sering melihat tipe
mainan perosotan ini di KFC
atau McDonald’s Jakarta.
Sepertinya Pemerintah
Hong Kong pun tidak asal
menyediakan ruang untuk
bermain anak, tapi juga
menjaga supaya anak-anak
bisa bermain dengan aman.
Keponakan saya sempat
bermain sejenak di perosotan
ini sebelum kami melanjutkan
perjalanan kembali.

Kami berjalan hingga Jordan


Road, lalu berbelok ke arah
barat, menuju MTR Austin.
Stasiun MTR ini tidak terlalu
ramai, mungkin karena tidak
berada persis di keramaian
pusat kota Hong Kong. Saya membelikan tiket MTR
ke East Tsim Sha Tsui yang hanya beda satu stasiun
saja dari sini. Harganya HK$ 4 per orang. Sekitar 10
menit kemudian, kami semua sudah tiba dan keluar di
depan pertokoan Wing On Plaza. Kami semua masuk

Shenzhen - Hong Kong - Macau 118


ke dalam. Interior pertokoan ini tak berbeda dengan
mal pertokoan Jakarta pada umumnya. Karena saya
tidak terlalu tertarik dengan berbelanja, saya akhirnya
cuma menemani keponakan bermain sembari
menunggu Bapak dan Ibu saya selesai melihat-lihat
dan berbelanja.

Sekitar pukul 10:30, kami sudah keluar dari pusat


perbelanjaan, dan berjalan kaki menyusuri Mody
Road ke arah timur. Rencananya sih, kami mau
berjalan menuju MTR Tsim Sha Tsui, tapi apa daya
kami ternyata salah arah. Seharusnya kami bergerak
ke barat, tapi malah bergerak ke timur. Makanya saya
heran, kok MTR Tsim Sha Tsui tidak kelihatan, padahal
kami sudah berjalan lama. Saking keterusannya kami
berjalan ke arah timur, kami malah menemukan
stasiun MTR Hung Hom.

119 Pitra Satvika


Waktu kian mendesak, karena kami harus check out
dari hotel pukul 12:30 siang. Kami lalu bergegas naik
MTR dari Hung Hom untuk kembali ke East Tsim Sha
Tsui. Setelah kami keluar dari kereta, kami lalu berjalan
kaki, masih di subway, menuju Tsim Sha Tsui, untuk
kemudian lanjut naik kereta menuju MTR Jordan.
Kami tiba di Eaton Hotel mendekati pukul 12:00. Kami
pun langsung bergegas naik, membereskan barang-
barang, mengecek ulang semua bawaan, sebelum
turun ke lobi hotel untuk check out.

Ternyata kami tidak perlu berangkat sendiri ke bandara


internasional Hong Kong, karena akan ada pihak tur
yang menjemput kami di hotel. Sekitar pukul 13:30
jemputan kami pun datang. Seperti pemandu lainnya
sebelum kami (kecuali saat ke Macau), si ibu yang
kini menjadi pemandu juga bisa berbahasa Indonesia
dengan lancar. Ternyata ia kelahiran Indonesia yang
sudah lama pindah ke Hong Kong. Ia masih punya adik
yang tinggal di Indonesia, tepatnya di Kelapa Gading,
Jakarta. Si pemandu bercerita kalau banjir besar yang
melanda Jakarta 3 tahun lalu juga ikut menggenangi
rumah adiknya. Ia juga bercerita sebetulnya masih ada
daerah bagian di Hong Kong yang terkena banjir, meski
tidak sering. Yang terkena banjir justru adalah rumah-
rumah orang kaya (karena memang di Hong Kong yang
bisa beli tanah dan rumah sendiri hanyalah orang-
orang kaya), sementara mereka yang berpendapatan
sedang malah aman tinggal di apartemen.

Shenzhen - Hong Kong - Macau 120


Perjalanan ke bandara internasional Hong Kong
memakan waktu setengah jam. Sesampainya di sana,
kami masih harus menunggu loket check in Garuda
Indonesia buka. Loket baru akan dibuka pukul 14:30.
Maka antrilah kami selama setengah jam lebih di
depan loket. Di antara antrian loket ini saya bertemu
dengan kelompok yang sempat ikut besama dengan
keluarga kami mengikuti tur kota Hong Kong. Mereka
ternyata juga akan kembali ke Indonesia menggunakan
pesawat yang sama.

Hong Kong adalah negara yang bebas dari pajak


penjualan. Membeli barang di pertokoan pusat
kota, ataupun membeli barang di bandara tidak ada
perbedaan harga. Itulah kenapa bandara internasional
Hong Kong juga menjadi surga bagi para turis yang
hobi berbelanja. Sebuah perhentian terakhir sebelum
kembali ke negara masing-masing. Sebelum memasuki
area pengecekan imigrasi, sudah banyak toko yang
menjual beragam merk terkenal. Namun jumlah itu
tak seberapa bila dibandingkan saat sudah melewati
area imigrasi. Toko perwakilan dari Disneyland, toko
tas dan parfum merk terkenal, hingga restoran dan
kafe. Semuanya bebas pajak. Biasanya para turis
memang menghabiskan sisa dolar Hong Kong yang
mereka miliki untuk berbelanja di sini.

Setelah melewati proses imigrasi, saya dan keluarga


masih menyempatkan diri untuk makan dan

121 Pitra Satvika


melihat-lihat toko, sebelum pemanggilan boarding
pesawat Garuda Indonesia pukul 16:00. Saya cuma
mengingatkan keluarga saya agar ingat akan waktu
saat berbelanja, mengingat gerbang keberangkatan
kami cukup jauh dari lokasi pusat perbelanjaan.
Meskipun diingatkan namun tetap saja, kami tiba
di gerbang keberangkatan agak telat, sekitar pukul
16:10. Untungnya pemanggilan boarding belum
dilakukan.

Tepat pukul 17:00 pesawat pun tinggal landas


meninggalkan kota Hong Kong. Liburan selama 6 hari
ini sudah lebih dari cukup bagi saya. Keluarga saya
puas. Saya pun senang karena masih bisa diberikan
kesempatan untuk mengajak orang tua saya berjalan-
jalan liburan kembali ke luar negeri. Terakhir Bapak
dan Ibu saya ke luar negeri adalah tahun 2005 untuk

Shenzhen - Hong Kong - Macau 122


Umroh. Namun terakhir kami sekeluarga pergi
bersama-sama ke luar negeri sudah sangat lama.
Kalau nggak salah sudah lebih dari 17 tahun yang lalu.

Doakan saja semoga liburan seperti ini masih bisa


kami ulangi lagi tahun depan ya!

123 Pitra Satvika


Dahulu saya lulusan sarjana dan magister di
Institut Teknologi Bandung. Bersama beberapa rekan,
semenjak lulus saya membangun Stratego (www.
strategocorp.com) yang bergerak di bidang interactive
communications. Bersama tim di Stratego, saya telah
membantu banyak brand dalam penyusunan konsep
kreatif interaktif dan eksekusinya di ranah online dan
offline, yang di antaranya mencakup online strategy &
development, social media marketing, dan
event’s technology support.

Foto oleh: Prapsijamta Moeksan


Shenzhen - Hong Kong - Macau 124
Saya juga seorang penulis aktif di blog Media Ide
(www.media-ide.com). Bersama beberapa rekan
penggila dunia internet lainnya, setiap bulan saya
membantu penyelenggaraan event forum berbagi
FreSh! (www.freshyourmind.com) yang didatangi
oleh 50-100 orang di setiap acaranya.

www.media-ide.com
bit.ly/pitra
facebook.com/pitra
twitter.com/pitra

125 Pitra Satvika


Social Media

E-Narcism
Kanaya Press

F-Marketing
Kanaya Press

Twitter-Plurk
Kanaya Press

Shenzhen - Hong Kong - Macau 126


Travelling

8 Hari di Jerman
www.media-ide.com

Hong Kong
www.media-ide.com

Lombok dan Gili


Trawangan
www.media-ide.com

127 Pitra Satvika


Shenzhen - Hong Kong - Macau 128

Anda mungkin juga menyukai