Anda di halaman 1dari 4

Arung Mendara dan Arung Lenga: Orang Kecil di Panggung Sejarah Diposting oleh Redaksi pada 9 March, 20130

Comment

Profil seorang prajurit Bugis di abad ke-18: orang kecil di atas panggung sejarah besar. Oleh : Aswandi Syahri SASTRAWAN besar Rusia, Leo Tolstoy, suatu kali pernah berkata, bahwa denyut sejarah itu sesungguhnya hanya bisa didengar dari orang-orang kecil. Mereka adalah orang-orang yang sedikit sekali tercatat, dan ada kalanya tak tercatat sama sekali dalam sejarah resmi. Namun, peran mereka dalam dinamika sejarah adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang kecil yang sukar ditemukan dalam hiruk pikuk narasi ruang dan waktu historis yang dikuasai oleh orang-besar besar: aktor sejarah, yang selalu dianggap sebagai penentu dinamika sejarah. Dua puluh delapan tahun yang lalu, ketika peran orang-orang kecil dalam sejarah Indonesia mulai mendapat perhatian dalam pemikiran-pemikiran mutakhir tentang sejarah modern Indonesia, sejarawan Taufik Abdullah pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kontempelatif tentang peran orang kecil dalam dinamika sejarah: Apakah orang besar itu akan besar jika orang-orang kecil, yang tak tercatat, tak ikut serta dalam segala perbuatan yang disengaja itu? Kolom jerumat hari ini akan memperkenalkan dua sosok orang-kecil di atas sebuah panggung sejarah besar yang aktor sejarahnya adalah sosok Raja Haji Fisabillah: orang besar dalam hiruk-pikuk panggung sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang pada abad ke-18. Dua sosok orang kecil itu adalah Arung Lengga dan Arung Mendara, yang tak kecil perannya dalam menciptakan sosok orang besar Raja Haji Fisabilillah dalam histoire-realite, atau sejarah sebagaimana ia terjadi, dan dalam histoire-recite, atau sejarah sebagaimana ia dikisahkan.

Arung Mendara Dari gelar Arung yang disematkan di depan namanya, Arung Mendara jelas adalah seorang keturunan bangsawan Bone (Makasar) yang datang ke kawasan Selat Malaka (baca Kepulauan Riau) mengikuti arus pelarian pertama sejumlah bangsawan Bugis-Makasar pada kurun ke-18, seperti yang dilakukan bangsawan Bugis lima saudara cikal bakal para Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau, Lingga, Johor, dan Pahang serta daerah takluknya. Arung Mendara adalah prajurit Raja Haji, pada masa-masa hero yang romantis itu menjadi kelana (calon Yang Dipertuan Muda Riau). Ia juga memperkuat pasukan Yang Dipertuan Muda Riau III, Daeng Kamboja (1746-1777) ketika melawan VOC dalam Perang di Linggi. Walau namanya kurang dikenal dalam sejarah, namun Arung Mendara mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dalam pasukan kelana Raja Haji. Pangkatnya adalah pawang, atau perwira navigasi. Seorang yang sangat penting di atas kapal komando Raja Haji yang bernama Bulang Linggi. Karena kemahirannya dalam membaca arah angin, pemahamannya tentang ilmu perbintangan yang sangat penting sebagai panduan navigasi di laut, dan segala pengetahuan tentang ilmu nautica pelaut Bugis yang ia kuasai, menyebabkan kedudukannya dalam sebuah penjajab perang Bulang Linggi lebih dihormati dibanding seorang nakhoda. Nama Arung Mendara kembali mengemuka dalam sebuah diskusi rutin beberapa orang tokoh dan sejarawan lokal Riau di Tanjungpinang tahun 1950-an. Ketika Tanjungpinang masih menjadi Ibu Kota Provinsi Riau. Dalam diskusi yang digelar di Rumah Raja Haji Muhammad Yunus, yang kini menjadi Hotel Surya itu, antara lain hadir Raja Haji Muhammad Yunus, Tengku Muhammad Saleh ibni Tengku Abu Bakar (zuriat Sultan Muhammad Syah Lingga dari Daik), Mr. Sis Tjakraningrat (Residen Riau), Raja Haji Muhammad Medal (mantan sekretaris istana Kedaton Riau dari Pulau Penyengat), Raja Muhammad Chik, Raja Muhammad Nongman (dari Penyengat), Raja Haji Abdullah dan Tengku Ahmad Atan (Karimun), dan Raja Hitam serta Raja Mohammad Said (Pulau Tujuh). Dalam diskusi yang membahas sejarah dan syiarah Riau-Lingga itulah terungkap sejumlah nama, peristiwa, dan bahan-bahan penting berupa buku cetakan lama, manuskrip, dan arsip tentang sejarah Riau-Lingga. Semua bahan sumber sejarah itu kemudian dibukukan dalam 3 jilid, yang masingmasingnya setebal 1000 halaman. Adalah Tengku Muhammad Saleh ibni Tengku Abu Bakar Lingga yang mencatatkan sosok dan peran historis Arong Mendara dalam kebesaran sejarah Raja Haji. Catatan kecil itu, dituliskannya pada bagian pinggir (catatan pada bagian pinggir sebuah buku yang disebut babat) Tuhfat Al-Nafis edisi R.O. Winsted (Journal of The Malayan Baranch of Royal Asiatic Society, Singapore, 1932), yang juga dibentangkan sebagai bahan rujukan dalam diskusi itu. Penemuan kembali nama Arung Mendara ini, tak terlepas dari langkah dan pemikiran cemerlang Residen Riau, Mr. Sis Tjakraningrat, yang telah mendorong usaha-usaha untuk mulai mencatat nama-

nama tokoh, dan mengumpulkan bahan-bahan sumber sejarah Riau-Lingga khususnya dan Kepulauan Riau umumnya, agar tak hanya terekam dalam ingatan dan cerita pusaka turun-temurun. Arung Lenga Walau berasal dari zaman dan peristiwa yang bebeda, peran Arung Lenga sangat dalam panggung sejarah yang melahirkan Raja Haji. Seperti Arung Mendara, Arung Lenga juga keturunan bangsawan Bone (Makasar). Ia adalah salah seorang panglima perang Raja Haji yang juga syahid fisabilillah pada pertempuran terakhir di medan perang Tanjung Palas, Teluk Ketapang, Melaka, pada suatu pagi bulan Juni 1784. Selain itu Arong Lenga adalah juga adik ipar Raja Haji, karena seorang adik Raja Haji yang bernama Raja Aminah Binti Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau ke- 2, adalah istri Arong Lengga. Menurut Tuhfat al-Nafis, Arung Lenga adalah pembuka serangan dalam peperangan terakhir di Teluk Ketapang. Ia lah yang mula-mula menghadang beribu-ribu baris Holanda dan gugur seperti Raja Haji Fisabilillah. Atau seperti kata R.O. Winstedt, ia gugur seperti Raja Haji gugur di medan perang terakhir yang berdepan-depan dengan serdudu-serdudu eskader negara Belanda, pimpinan Laksamana (Vlootvoogd) Jacob Pieter van Braam. Kisah heroik Arung Lenga dalam pertempuran terakhir di Teluk Ketapang, Melaka, dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat Al-Nafis). Demi menjalankan titah perintah Yang Dipertuan Muda Raja Haji, Arung Lenga gugur syahid fi-sabilillah setelah menghadang baris senapang Holanda dengan memacu kudanya, meskipun ketika itu ia sedang menderita sakit pak-ipa: sejenis penyakit ulcer yang berbahaya. Dalam Tuhfat Al-Nafis, Raja Ali Haji mencatat peristiwa itu sebagai berikut: Maka Yang Dipertuan Raja Haji itu pun bertitah menyuruh mengamuk. Maka Arung Lenag pun memacu kudanya padahal ia tengah sakit pak-ipa. Maka keluarlah ia menempuh baris Holanda itu lalu lah ia mengamuk. Maka mati lah ia dengan kudanya dan Holanda pun banyak yang mati. Maka dimasuknya lah kubu Yang Dipertuan itu oleh segala orang besar-besar itu serta dengan soldadusoldadunya. Walaupun gugur, dan laju lari kudanya terhenti oleh baris senapang serdadu-serdadu Jacob Pieter van Braam, Arung Lenga telah memicu amok yang sengit dan dahsyat dari panglima-panglima perang lainnya. Maka mengamuk pula lah Daeng Saliking, dan Panglima Tolesang, serta Haji Ahmad. Maka seketika ia mengamuk, maka mati lah ia al-syahid fi-sabilillah ketiganya dengan nama laki-laki. Pertempuan habishabisan di Teluk Ketapang yang berbalau dengan amok yang sengit dan dahsyat itu berakhir dengan mangkatnya Yag Dipertuan Muda Haji al-syahif fi-sabilillah seperti mangkatnya Arung Lenga dan 3 panglima lainnya. Dengan memadu-padankan catatan Raja Ali Haji dan narasi R.O. Winstedt tentang akhir pertempuran dahsyat di Teluk Ketapang itu, sejarawan Hasan Junus,

merekonstruksi peristiwa yang diawali oleh keberanian seorang Arung Lenga dan diakhiri dengan kegagahan Raja Haji ketika menyonsong maut bagaikan sebuah taleau (tablo) gegap gempita yang disandingkannya dengan gaya romantisme sapuan kuas pelukis Eugene Delacroix, sebagai berikut: Seorang panglima perang yang sedang sakit menaiki kudanya dan menyerbu ke tengah kancah pertempuran itu lalu tersungkur bersama kudanya dilanggar peluru sebaris penembak musuh. Raja Haji, sang pemimpin perang, yang berdiri dekat sebuah sarang meriam, sebelah tangannya memegang keris (seharusnya badik) dan sebelah lagi buku Dalail Khairat, tubuhnya dilanggar peluru tepat pada dadanya, rebah bersama lebih-kurang 500 orang anggota pasukannya. Pertempuran di Teluk Ketapang berlangsung dari 18 24 Juni 1784. Selain Raja Haji dan para pengikutnya, di medan perang itu juga gugur 373 serdadu Belanda. ***

Anda mungkin juga menyukai