Anda di halaman 1dari 176

Bagian Pertama UPAYA PEMERINTAH DAN KERJASAMA ASEAN DALAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Sita Hidriyah1

1 Penulis adalah calon peneliti Bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPRRI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan masalah sekaligus isu sensitif yang kompleks dimana melibatkan perempuan, anak-anak di seluruh dunia yang rentan terhadap bahaya. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan perempuan yang menyangkut kekerasan secara fisik, mental ataupun seksual.2 Sistem migrasi dunia memberi perkembangan bagi pembangunan ekonomi, baik bagi negara-negara pengirim dan penerima. Tidak sedikit persoalan yang dihadapi dalam proses migrasi ini. Salah satunya adalah persoalan perdagangan orang. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Bahkan setiap tahunnya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengeluarkan daftar hitam perbudakan modern.3 Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat kasus perdagangan orang yang tinggi. Sebagai salah satu anggota negara ASEAN, isu perdagangan orang menjadi isu regional utama yang mempengaruhi hubungan antara negara ASEAN. Hal ini merupakan penjelasan bahwa ASEAN menghadapi peningkatan insiden perdagangan orang di kawasan Asia Tenggara. Bahkan di tahun 2011 melalui KTT ASEAN ke-18, kerjasama untuk memberantas perdagangan orang semakin ditingkatkan. Selain pada kerjasama ASEAN, kerjasama bilateral dilakukan oleh Indonesia dan Australia pada tahun 2002 dengan menginisiasi Bali Process Regional Ministerial Conference (Bali Process) yang bertujuan menanggulangi kejahatan penyelundupan dan perdagangan orang. Bali Process beranggotakan
2 Jurnal Perempuan. 2010. Trafficking Dan Kebijakan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan 3 Penilaian AS Tidak Adil, http://dunia.vivanews.com/news/read/67645-menteri_malaysia__ penilaian_as_tidak_adil, diakses tanggal 12 Juli 2011.

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

42 negara. Dengan meningkatnya arus kejahatan penyelundupan manusia, Bali Process memiliki peran sebagai forum penyusunan mekanisme kawasan dalam penanggulangan masalah. Mendasarkan diri pada Bali Process, masalah perdagangan orang (people smuggling dan trafficking) adalah masalah regional yang memerlukan solusi global.4 Maraknya kasus perdagangan manusia di Indonesia, sangat berhubungan erat dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran serta dipengaruhi rendahnya tingkat pendidikan, adanya diskriminasi gender, dan perkawinan usia dini. Selain itu, krisis moneter yang berkepanjangan serta lesunya perekonomian telah menyebabkan banyak keluarga, tak terkecuali di Indonesia, kehilangan sumber pendapatannya, sehingga dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan untuk mendapatkan uang. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan manusia yang menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindakan kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/ AIDS.5 Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia. Perkembangan kasus perdagangan orang di Indonesia kian mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun, kasus ini meningkat tajam dan grafiknya semakin menanjak, dalam arti angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan.6 Data International Organization for Migration (IOM) hingga April 2006 menunjukkan bahwa perdagangan orang di Indonesia mencapai 1.022 kasus.7 Sementara itu, berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan orang di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa.8 Salah satu modus yang paling sering dilakukan pelaku trafficking adalah dengan
4 About The Bali Process, http://www.baliprocess.net/index.asp?pageID=2145831401, diakses 8 Oktober 2011. 5 Ibid. 6 Kasus Perdagangan Manusia Makin Memprihatinkan, http://www.kabarbisnis.com/umum/ 2817137-Kasus_perdagangan_manusia_makin_memprihatinkan.html, diakses tanggal 20 Januari 2011. 7 Kasus Perdagangan Anak Meningkat, http://www.satuportal.net/content/kasus-perdagangan-anakmeningkat, diakses tanggal 28 Januari 2011. 8 Ibid.

Sita Hidriyah

modus pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Dari cara ini, jumlah yang paling besar menjadi korban adalah perempuan yaitu sebanyak 70%. Memerangi perdagangan orang tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat perdagangan orang memiliki sindikat, jaringan dan sumber daya yang besar. Selain itu, para pelakunya pun seringkali memindahkan jalur transportasi yang kurang mendapat pengawasan. Perangkat hukum nasional di Indonesia masih tidak memadai untuk menghadapi suatu persoalan yang sebesar dan penuh kompleksitas sebagaimana masalah perdagangan anak dan perempuan. Ditambah lagi, ketiga pasal yang dipakai pada kasus-kasus perdagangan perempuan yaitu Pasal 296-298 KUHP cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan dalam segenap keanekaragaman bentuknya, karena Pasal-pasal ini hanya mencakup perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi perempuan dan penjabaran unsur-unsur tentang perdagangan perempuan itupun penuh dengan kerancuan. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Perdagangan orang sebenarnya bukanlah sebuah isu baru. Isu ini merupakan salah satu bentuk terburuk dari upaya eksploitasi manusia. Diperkirakan sekitar dua juta anak perempuan dilacurkan di pusat hiburan di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga dan daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun laut. Negara yang berbatasan tersebut berada di satu wilayah regional yaitu Asia Tenggara. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN dan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, kejahatan transnasional khususnya perdagangan orang telah menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Karenanya, penanganan atas kejahatan transnasional ini harus dilaksanakan secara serius. Penelitian ini akan melihat bagaimana peran Indonesia serta perkembangan pada kerjasama ASEAN dalam masalah perdagangan orang. Selain itu akan dilihat seberapa efektifkah kerjasama tersebut berdampak pada jumlah kasus perdagangan orang dan akan diteliti bagaimana tindakan serta reaksi pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah perdagangan orang di Indonesia. Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian dalam tulisan ini adalah: 1. Mengapa kasus perdagangan orang masih terus terjadi di Indonesia? 2. Bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas perdagangan orang di Indonesia?

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

3. Bagaimana upaya kerjasama ASEAN dalam memberantas perdagangan orang di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan juga menjelaskan perkembangan serta penanganan kasus perdagangan orang di Indonesia. Berhubungan dengan hal ini yaitu untuk menganalisis usaha ataupun upaya apa saja yang dilakukan pemerintah dan kerjasama ASEAN dalam menangani dan memerangi perdagangan orang. Hasil penelitian ini akan menjadi masukan bagi Komisi VIII pada bidang yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak dan juga Komisi IX pada bidang ketenagakerjaan. D. Kerangka Pemikiran Permasalahan perdagangan orang menjadi semakin kompleks hingga menjadi isu global yang sealu dibahas tiap tahunnya. Semenjak perdagangan orang diperbincangkan secara umum pada skala internasional di tahun 2000, terdapat tiga tipe yang telah mendominasi teori atau konsep perdagangan orang. Hal ini menjelaskan perdagangan orang sebagai:9 1. Sebuah produk sampingan dari kerja paksa. 2. Gejala migrasi yang difasilitasi oleh kejahatan yang terorganisir. 3. Sebuah akibat dari prostitusi. Ketiga hal tersebut diatas menggambarkan bahwa perdagangan orang sebagai satu bagian dari hal penting yang mengabaikan komponen lainnya, sehingga masing-masing penjelasan tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. 1. Kerja Paksa Hubungan antara perdagangan manusia dan kerja paksa adalah sangat erat. Terdapat empat perjanjian tentang kerja paksa yang berkaitan dengan isu perdagangan manusia dan delapan perundingan penting ILO mengenai kebebasan individu dan hak asasi. Dua perjanjian mengenai kerja paksa yang berkaitan pada konsep teori ILO yang menggambarkan perdagangan manusia adalah kerja paksa no. 29 tahun 1930 dan no. 182 tahun 1999. Konvensi ILO no.29 tersebut berisi definisi kerja paksa yang berarti: semua pekerjaan atau
9 Sullivan, Barbara. 2010. Trafficking In Human Being. Dalam Laura J. Shepherd, Gender Matters in Global Politics: A Feminist Introduction to International Relations (London and New York: Routledge, 2010), hlm. 89-90.

Sita Hidriyah

pelayanan jasa yang didapatkan dari seseorang di bawah ancaman hukuman dan dimana utuk pekerjaan atau jasa tersebut yang bersangkutan tidak menawarkan dirinya secara sukarela. Berdasarkan pengertian dasar tersebut, secara potensial, semua korban dari kerja paksa dapat dianggap korban dari perdagangan manusia.10 2. Migrasi Keterlibatan perempuan Indonesia di migrasi tenaga kerja internasional telah meningkat secara substansial selama dua dekade terakhir.11 Migrasi yang berlangsung di Indonesia itu adalah migrasi yang tidak aman, sehingga kenapa kemudian trafficking itu hampir menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri. Mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur kemudian akses informasi, yang tidak sampai ke basis calon buruh migran sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.12 3. Akibat dari prostitusi Bagi sejumlah orang terutama perempuan, prostitusi merupakan satusatunya cara untuk bertahan hidup di dunia dengan keterbatasan pilihan. Mata rantai antara prostitusi dan perdagangan orang memang rumit. Dalam negara-negara berkembang seperti Thailand, prostitusi merupakan pilihan karir bagi banyak gadis muda. Pilihan untuk bertahan hidup seperti ini menjadikan perdagangan orang tidak mudah diberantas dan bertahan hingga saat ini.13 Hubungan internasional telah mendorong kerjasama antar negara dan antar individu yang tunduk pada hukum yang dianut negaranya masingmasing. Hubungan internasional merupakan hubungan antar negara atau antarindividu dari negara yang berbeda-beda, baik berupa hubungan politis, budaya, ekonomi, ataupun hankam. Pada hubungan antar negara, terdapat teori regionalisme. Teori ini merujuk pada aktivitas kerjasama regional yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari
10 Instrumen HAM Internasional: Konvensi Kerja Paksa. http://zonahukum.blogspot.com/2011/02/ instrumen-ham-internasional-konvensi.html, diakses tanggal 28 Oktober 2011. 11 Robinson, Kathryn. Bessell, Sharon. 2002. Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hal. 158. 12 Tiga Juta TKI Korban Perdagangan Manusia. http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publish er&op=viewarticle&cid=5&artid=917, diakses tanggal 28 Oktober 2011. 13 Brown, Louise. 2005. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 33-35.

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

meningkatnya tingkat interdependensi regional.14 Kerjasama regional dapat mengarah pada terciptanya institusi formal, namun dengan struktur yang longgar berupa pertemuan-pertemuan rutin yang menghasilkan aturan-aturan sekaligus dengan mekanisme pelaksanaan dan persiapan untuk menindaklanjuti kegiatan. Kerjasama biasa memiliki tujuan yang sangat luas, diantaranya menjadi sarana dalam merespons berbagai tantangan eksternal dan menempatkan posisi regional dalam berbagai institusi internasional atau forum-forum negosiasi. Pada kenyataannya, negara-negara yang letaknya berdekatan secara geografis saling melakukan kerjasama dan sebisa mungkin menjadi sebuah good neighbour.15 Demikian halnya pada bentuk kerjasama di wilayah Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN telah mengembangkan upaya kerjasama untuk memerangi serta memberantas kejahatan transnasional lebih dari dua dekade. Awalnya ASEAN memberi perhatian terhadap penyalahgunaan narkotika dan perdagangan obat bius. Lalu dengan semakin meluasnya diversifikasi kejahatan transnasional, maka ASEAN telah mengintensifkan upayanya untuk memberantas kejahatan-kejahatan lainnya.

14 Nuraeni. Silvya, Deasy. Sudirman, Arfin. 2010. Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Pustaka Pelajar. 15 Fawcett, Louise and Hurrell Andrew. 1995. Regionalism In World Politics: Regional Organization And International Order. Oxford University Press.

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang perdagangan orang yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Provinsi Bali. Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan sekunder. Di penulisan ini pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan melalui bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sedangkan data sekunder merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih dan dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melalui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga wilayah, yaitu di Jakarta, Provinsi Kepri dan Provinsi Bali. Di wilayah Jakarta dilakukan studi kepustakaan dan wawancara yang dilakukan dengan mewawancarai pejabat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (KPP-PA). Penelitian lapangan pertama dilakukan di Provinsi Kepri pada tanggal 9-13 Mei 2011. Dipilihnya provinsi ini, karena Kepri termasuk daerah asal dan transit perdagangan orang. Kegiatan perdagangan orang di provinsi ini umumnya dilakukan melalui jalur laut. Tanjung Pinang merupakan pusat pemerintahan dari Kepri, sementara Batam merupakan daerah perbatasan antara Indonesia, Singapura dan Malaysia yang sangat strategis, sehingga
9

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Batam kerap menjadi tempat transit bagi para pelancong maupun pencari kerja keluar negeri baik secara legal maupun ilegal. Di Tanjung Pinang dan Batam, penulis mewawancarai pejabat dari kantor Kepolisian Daerah (Polda), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Satuan Tugas Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Kejaksaan Tinggi serta aktivis Gerakan Anti-Trafficking (GAT). Di samping Provinsi Kepri, penelitian lapangan juga dilakukan di Provinsi Bali pada tanggal 19-25 Juni 2011. Dipilihnya provinsi ini, karena Bali menjadi daerah tujuan wisatawan asing dan transit perdagangan orang terutama dengan korban yang datang dari wilayah Jawa baik melalui jalur laut dan darat. Di Denpasar, penulis mewawancarai pejabat dari Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (BP3A), Polda Bali, dan LBH APIK. Dengan dipilihnya kedua provinsi ini, diharapkan akan mendapat masukan yang signifikan serta mengetahui usaha pemerintah daerah dalam menangani kasus perdagangan orang yang terjadi di kedua wilayah tersebut. Dengan dipilihnya kedua provinsi ini diharapkan akan mendapat masukan yang signifikan mengenai mata rantai kejahatan perdagangan orang yang terjadi di Indonesia. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan yang berkedudukan di Jakarta, Kepri dan Bali dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. C. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang perdagangan manusia yang terjadi di Provinsi Kepri dan Provinsi Bali melalui analisis data primer dan sekunder. Pengumpulan data melalui data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih dan dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Studi kepustakaan dilakukan melalui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet.

10

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyebab Maraknya Perdagangan Orang Di Indonesia Perdagangan orang merupakan salah satu dari kejahatan lintas negara yang terorganisir. Jumlah maupun persentase kasus perdagangan orang di Indonesia hingga kini belum bisa dilakukan pendataan secara pasti karena perdagangan orang merupakan fenomena gunung es dimana jumlah dan kenyataan di lapangan jauh dari yang diperkirakan.16 Praktik perdagangan orang yang tertinggi menimpa anak remaja putri yang berusia 18 tahun ke bawah dengan alasan masalah kemiskinan dan pendidikan. Bahkan, yang memprihatinkan adalah perdagangan orang pada kalangan remaja putri antar daerah menjadi semakin parah dan dilakukan dengan lebih rapi.17 Modus yang biasanya terjadi adalah perdagangan orang antar daerah dimana ada perekrutan remaja putri di Jawa Barat untuk kemudian dikirim ke Kalimantan Timur dan beberapa daerah lainnya dengan iming-iming dijanjikan pekerjaan ternyata menjadi pekerja seks komersial. Berdasarkan data, tindak pidana perdagangan orang yang berhasil diungkap pada perbatasan sebuah kecamatan di Kalimantan Barat yaitu Entikong dengan Sarawak Malaysia mengalami kecenderungan menurun bila tahun 2007 sebanyak 35 kasus, maka tahun 2009 menjadi 30 kasus.18 Walau pemerintah telah mengadili kasus-kasus perdagangan orang secara berkala, namun penerapan hukum dan keterampilan para petugas untuk bertindak dirasakan masih kurang efektif.19
16 Perdagangan Manusia Di Indonesia Kian Memprihatinkan, http://www.republika.co.id/berita/ nasional/umum/11/05/30/lm03yp-duhperdagangan-manusia-di-indonesia-kian-memprihatinkan, diakses tanggal 28 Oktober 2011. 17 Wawancara dengan Haryani, Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (BP3A) Bali, 20 Juni 2011 18 Kasus Trafficking Tahun 2010 Alami Penurunan, http://hukum.tvone.co.id/berita/view/ 44088/ 2010/09/28/kasus_trafficking_tahun_2010_alami_penurunan/ , diakses tanggal 23 Februari 2011. 19 Malaysia Hadapi Perdagangan Manusia, http://www.cathnewsindonesia.com/2010/09/20/ malaysia-hadapi-perdagangan-manusia/, diakses tanggal 26 Februari 2011.

11

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Saat ini, perdagangan orang telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisis maupun tidak terorganisir, yang terjadi di dalam negeri dan luar negeri, dan kejahatan perdagangan orang sudah menjadi fenomena global dan sudah menjadi ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan perkembangan lingkungan strategis global, regional, serta nasional, perdagangan orang terjadi akibat keluar masuknya orang tanpa dilengkapi dokumen yang sah, terutama TKI/TKW ke negara tetangga. Hingga pada akhirnya, gejala perdagangan orang bukan lagi hanya merupakan fenomena sosial biasa yang diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ketertinggalan di bidang pendidikan semata, tapi sudah menjadi fenomena pelanggaran hukum dan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai akibat dari adanya praktek tindak kejahatan yang dilakukan baik secara perorangan maupun jejaring sindikat dengan maksud mengeksploitasi korban demi keuntungan pelaku dan jaringannya.20 Kasus perdagangan orang di Indonesia masih terus saja terjadi di Indonesia. Bahkan jumlahnya masih tinggi dan dapat terus bertambah.21 Misalnya saja di wilayah Kepri, sekitar 50-100 orang datang dari Jakarta dengan menggunakan kapal setiap minggunya ke provinsi Kepri menuju daerah perbatasan-perbatasan seperti ke Tanjung Pinang, Batam dan Bintan. Bahkan Batam disebut sebagai surga para trafficker. Tak sampai disitu, Batam bahkan menjadi daerah transit bagi para korban dan juga trafficker sebelum melanjutkan perjalanan ke negara yang dituju yaitu Malaysia. Dari jumlah yang hingga ratusan tersebut, sebagian besar korban ditawarkan pekerjaan seperti ke panti-panti pijat. Pada perkembangannya, saat ini telah terdapat modus baru yaitu dimana perdagangan orang memiliki rute baru selain dari Indonesia yaitu sekumpulan orang dari Bangladesh yang dibawa menuju pulau Batam dan terakhir menuju Malaysia.22 Dari penjabaran tersebut diatas, dapat disimpulkan penyebab-penyebab maraknya perdagangan orang yang terjadi di Indonesia :23 1. Kurangnya kesadaran akan bahaya perdagangan orang dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban
20 Wawancara dengan Dra. Luly Altruiswaty, M.Sc, Asisten Deputi Perlindungan Korban Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, di Jakarta, 21 April 2011. 21 Wawancara dengan Syamsul, Ketua Gerakan Anti Trafficking (GAT) di Kepulauan Riau, 12 Mei 2011. 22 Ibid 23 Jawaban tertulis dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan HAM Kepulauan Riau, Tanjungpinang, 11 Mei 2011.

12

Sita Hidriyah

dalam pekerjaan. Pada umumnya, masyarakat tidak peduli dan kurang mengetahui informasi tentang perdagangan orang.24 Kemudian yang terjadi di lapangan adalah bahwa para korban yang sedang mencari pekerjaan dijanjikan untuk mendapatkan kerja yang layak, tetapi sesampainya di tempat tujuan, para korban tertipu. Contohnya yaitu para korban dari Indramayu, Subang dan Bogor yang ditawari menjadi pelayan bar dengan gaji Rp 8 juta per bulan, namun pada akhirnya mereka dipekerjakan di komersial pub di Kuching, Malaysia.25 2. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan termasuk bermigrasi untuk bekerja. Migrasi yang berlangsung tersebut adalah migrasi yang tidak aman, sehingga kenapa kemudian perdagangan orang hampir menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri. Faktor ekonomi menjadi faktor utama dalam terjadinya perdagangan orang. Hal ini didasarkan pada bahwa masyarakat menginginkan perubahan hidup untuk kesejahteraan tanpa mempertimbangkan akibat yang dapat dialami.26 3. Kurangnya pencatatan kelahiran, anak tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa perdagangan anak karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Hal tersebut masih merupakan bagian dari migrasi yang dimulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur kemudian akses informasi, yang sayangnya tidak sampai ke basis calon buruh migran hingga minimnya perlindungan hukum dari negara. 4. Kurangnya pendidikan disebabkan orang dengan pendidikan terbatas memiliki lebih sedikit keahlian dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah diperdagangkan karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. 5. Terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri, sehingga migrasi menjadi pilihan yang dianggap sebagai upaya paling mudah untuk mendapatkan nafkah. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. 6. Banyaknya pelabuhan-pelabuhan rakyat (pelabuhan tikus) yang digunakan sebagai tempat pengiriman orang keluar negeri secara ilegal dan sangat sulit
24 Buku Pedoman Pemberantasan Perdagangan Orang. 2008. Kementerian Negara Dan Pemberdayaan Perempuan. Hal.22. 25 Polri Bekuk Sindikat Perdagangan Manusia, Kompas, 8 Oktober 2011. 26 Ebbe, Obi. Das K, Dilip. 2008. Global Trafficking In Women And Children. USA: CRC Press. Hal.26.

13

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

untuk dilakukan pengawasan dan pemantauan. Hal tersebut umumnya terjadi di wilayah-wilayah perbatasan seperti Kepri, Kalbar, Kaltim dan Sulawesi Utara.27 7. Hukuman yang diberikan kepada para pelaku belum maksimal sehingga tidak memberikan efek jera. Walaupun kesadaran memerangi perdagangan orang terus meningkat, namun ironisnya kasusnya masih terjadi. Sehingga meskipun banyak negara termasuk Indonesia memiliki undang-undang anti perdagangan orang, namun penegakannya masih kurang. Hal ini menjadikan ukuran kesuksesan sekarang bukan hanya dilihat dari apakah suatu negara memiliki undang-undang. Namun harus dipastikan bahwa hukum telah ditegakkan dan bahwa negara sudah siap untuk itu. B. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Perdagangan Orang Di Indonesia Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2004 jumlah anak yang menjadi korban perdagangan orang adalah 10 kasus. Pada 2005 jumlahnya mening kat menjadi 18 kasus. Meng in jak 2006, jumlahnya menga lami peningkatan yang signi fikan menjadi 129 kasus dan 240 kasus pada tahun 2007. Pada 2008 dan 2009 jumlahnya me mang sempat mengalami pe nurunan, yakni menjadi 88 ka sus dan 55 kasus. Hanya saja pada 2010 jum lahnya kembali naik drastis men capai 412 kasus. Dari 412 kasus, yang telah dieva kua si 101 korban. Sisanya masih tertahan karena tidak memiliki dokumen. Jumlah tersebut merupakan keseluruhan dari semua provinsi di Indonesia.28 Namun tidak begitu banyak halnya yang terjadi di Kepri dan Bali. Dengan masih maraknya kasus tersebut, KPP-PA mengalokasikan anggaran sebesar Rp3,36 miliar untuk penanganan perdagangan orang pada 2010.29 Hal ini mengindikasikan komitmen pemerintah RI yang sangat tinggi terhadap permasalahan perdagangan orang. Upaya pencegahan dan penanganan kejahatan perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama. Untuk itu segala perangkat yang dibutuhkan untuk merealisasikan komitmen tersebut terus-menerus diupayakan, dilengkapi, dan disempurnakan, baik dari
27 Pengiriman TKI Ilegal di Kepri terbesar, http://www.haluankepri.com/news/batam/11637pengiriman-tki-ilegal-di-kepri-terbesar.html, diakses tanggal 30 Oktober 2011. 28 Ibid. 29 Penanganan Perdagangan Orang Dianggarkan Rp 3,36 Miliar, http://www.politikindonesia.com/ index.php?k=politik&i=6457, diakses tanggal 5 Oktober 2011.

14

Sita Hidriyah

sisi peraturan perundangannya hingga kepada penganggaran yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional perdagangan orang tahun 2009-2014. Komitmen yang tinggi dan keseriusan pemerintah terhadap permasalahan perdagangan orang ini telah meningkatkan Indonesia dari posisi Tier 3 berdasarkan standar penanganan korban perdagangan orang menjadi Tier 2 yang berarti pemerintah Indonesia telah memenuhi standar minimum pencegahan dan penanganan perdagangan orang seperti yang ditetapkan oleh ketentuan internasional. Selain itu ada banyak peraturan perundangan yang telah ditetapkan termasuk adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menetapkan Kemenko Kesra sebagai Ketua Umum Gugus Tugas dan KPP-PA sebagai Ketua Harian. Sebagai lembaga koordinatif Gugus Tugas ini berperan: 1. Mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang 2. Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama 3. Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi Rehabilitasi Kesehatan, Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial 4. Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum 5. Melaksanakan pelaporan dan evaluasi. Saat ini telah terbentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan perdagangan orang di 20 provinsi dan 72 Kabupaten/Kota. Sebagai acuan dan guna kelancaran pelaksanaan koordinasi pencegahan dan penanganan perdagangan orang, telah diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.25 Tahun 2009 Tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak.30 Upaya instansi pemerintah yang terkait dengan penanganan masalah ataupun kasus perdagangan orang adalah bergantung pada Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) masing-masing instansi. Instansi-instansi terkait di lapangan seperti KPP-PA, Kemenhumham, Polda, BP3A, Bakorkamla, serta Lembaga Perlindungan Wanita dan Anak-anak. Adapun upaya pemerintah pusat dibagi menjadi upaya lokal, nasional serta kerjasama internasional.

30 Ibid.

15

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia ditangani oleh berbagai pihak pemerintahan seperti pihak Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Tenaga Kerja, serta Direktorat Jenderal Bea Cukai. Pihak Kepolisian bertindak sebagai penyidik. Sedangkan tugas Kejaksaan Tinggi (Kejati) adalah menuntut. Siapapun penyidik yang bertugas, kasus atas perdagangan orang akan dilarikan ke Kejati. Menurut pihak Kejati Kepri, terdapat tiga kasus kejahatan transnasional yang terjadi di wilayah Kepri, antara lain penyelundupan narkoba, illegal fishing dan perdagangan orang.31 Permasalahan yang terjadi pada wilayah provinsi Kepri adalah usaha pendeportasian TKI yang justru banyak berasal dari Malaysia. Selain itu, ada pula TKW yang dipulangkan dari Malaysia ke wilayah Tanjung Pinang padahal bukan berasal dari Tanjung Pinang.32 Dalam permasalahan TKI yang berkaitan pada masalah perdagangan atau penyelundupan orang ataupun perjudian, tidak ada prioritas akan kasus mana yang didahulukan. Semua instansi-instansi pemerintah ada di barisan lini depan terutamanya untuk daerah utama pemerintahan Kepri yaitu Tanjung Pinang, Batam, Bintan. Khusus kepada wilayah Bintan, pada umumnya banyak terdapat sekitar 50-100 orang perkapal datang dari wilayah Jakarta setiap minggunya. Adanya kasus perdagangan orang oleh LSM GAT dinilai sebagai bentuk eksploitasi. Seperti yang misalnya terjadi yaitu penawaran kerja yang ditawarkan seperti ke panti-panti pijat. Belum lagi terdapat TKI/TKW yang dibuatkan paspor, tetapi begitu sampai tujuan, paspor tersebut tidak berlaku lagi (mati) sehingga tidak bisa dipulangkan.33 Strategisnya wilayah Batam sendiri, pada perkembangannya juga menjadi surga bagi para trafficker untuk menjalankan misinya. Dibalik perkembangan tersebut, LSM GAT menilai bahwa adanya Gugus Tugas perdagangan orang yang dilaksanakan dibawah KPP-PA atas Peraturan Presiden No.69/2008 tidak berfungsi secara baik. Ditambah lagi, selama ini, upaya mengurangi jumlah korban perdagangan orang yang dilakukan pemerintah hanya sebatas serimonial, terutama melalui sosialisasi. Hal tersebut dirasakan tidak menyentuh, dan tidak memberi efek jera bagi para pelakunya. Kondisi ini berlawanan dengan yang terjadi di Bali dimana pada tahun 2011 ini, kasus perdagangan orang terhitung nihil. Aparat Polda Bali melaksanakan serangkaian upaya yang dinilai
31 Wawancara dengan Bambang Setyo Wahyudi SH,MH, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, 10 Mei 2011. 32 Wawawancara dengan K. Agoes Rahardjo, Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Departemen Hukum Dan HAM, Kepulauan Riau, 11 Mei 2011. 33 Wawancara dengan Syamsul, Ketua Gerakan Anti Trafficking (GAT), Kepri, 19 Mei 2011.

16

Sita Hidriyah

berjalan sukses melalui sosialisasi UU No.21 Th.2007 tentang pemberantasan perdagangan orang, melakukan pelatihan penanganan, kerjasama dengan kepolisian asing serta dengan LSM.34 Selain pada upaya nasional, pemerintah juga mengupayakan mekanisme kerjasama internasional, antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Indonesia menjadi anggota Working Group dari Senior Official Meeting on Trans Organized Crime (SOM TOC). 2. Indonesia bersama dengan Australia menjadi Co-Chairs Bali Process, guna membahas solusi permasalahan peneyelundupan orang dan trans-organized crime termasuk TPPO. 3. Melakukan Workshop antara Indonesia dengan Malaysia dalam rangka kerjasama PTPPO lintas batas negara antara Sabah dan Kalimantan Timur. Ditindaklanjuti dengan Koordinasi antara Gugus Tugas PPTPPO Indonesia dengan Majelis Anti Pemerdagangan Orang (MAPO) Malaysia guna rintisan MOU Pemberantasan TPPO. 4. Indonesia mengikuti pertemuan global tentang melawan TPPO (Global Meeting To Fight Trafficking in Persons) yang diselenggarakan oleh United Nation Office of Drug and Crime (UNODC). 5. Indonesia menjadi anggota Working Group on Protocol To Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children yang dikoordinasikan oleh UNODC. 6. Indonesia menjadi peserta pertemuan the 3rd World Conference Against Sexual Exploitation of Children and Youth di Rio de Janeiro, Brasil. 7. Indonesia menjadi peserta pertemuan Konferensi PBB melawan Kejahatan Transnasional di Wina pada 18-22 Oktober 2010 Dalam hal Koordinasi dan Kerjasama, upaya pemberantasan perdagangan orang telah dilakukan oleh Indonesia dalam forum regional seperti menjadi anggota Working Group dari Senior Official Meeting on Trans Organized Crime (SOM TOC). Selain itu, Indonesia bersama dengan Asutralia menjadi Co-Chairs Bali Process yang bekerjasama membahas solusi permasalahan penyelundupan orang dan trans organized-crime, yang termasuk didalamnya yaitu perdagangan orang.

34 Jawaban tertulis dari para personil anggota Kepolisian Daerah Provinsi Bali, 20 Juni 2011.

17

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Kerjasama yang dilakukan antara Indonesia dan Malaysia diantaranya adalah dengan melakukan workshop antara Indonesia dengan Malaysia dalam rangka kerjasama penangangan perdagangan orang lintas batas negara antara Sabah dan Kalimantan Timur. Kegiatan tersebut ditindaklanjuti dengan Koordinasi antara Gugus Tugas Indonesia dengan Majelis Anti Pemerdagangan Orang (MAPO) Malaysia guna perintisan MOU Pemberantasan Perdagangan Orang. Draft MOU ini direncanakan akan dibahas lebih lanjut dengan pihak Malaysia. Selain kerjasama tersebut, Indonesia mempunyai kebijakan nasional anti perdagangan orang yaitu Undang-undang No. 21 tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Pada pencegahan serta penanganan masalah perdagangan orang, Dengan adanya UU tersebut telah membuktikan komitmen pemerintah Indonesia yang sangat tinggi terhadap permasalahan perdagangan orang. Upaya untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama. Untuk itu segala perangkat yang dibutuhkan untuk merealisasikan komitmen tersebut terus menerus siupayakan, dilengkapi, dan disempurnakan, baik dari sisi peraturan perundangannya hingga kepada penganggaran yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional pemberantasan perdagangan orang tahun 2009-2014. Komitmen yang tinggi dan keseriusan pemerintah terhadap permasalahan perdagangan orang ini telah meningkatkan Peringkat Indonesia dari posisi Tier 3 berdasarkan standar penanganan korban perdagangan orang menjadi Tier 2 yang berarti pemerintah Indonesia telah memenuhi standar minimum pencegahan dan penanganan perdagangan orang seperti yang ditetapkan oleh ketentuan internasional. Telah banyak peraturan perundangan yang telah ditetapkan berkaitan dengan perdagangan orang antara lain UU No.21 tahun 2007 Tentang perdagangan orang dan turunannya yaitu: Peraturan Pemerintah RI No.9 tahun 2008, tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan Presiden RI No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menetapkan Kemenko Kesra sebagai Ketua Umum Gugus Tugas dan KPP-PA sebagai Ketua Harian. Sebagai lembaga koordinatif Gugus Tugas ini berperan:
18

Sita Hidriyah

1. Mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang 2. Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama 3. Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi Rehabilitasi Kesehatan, Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial. 4. Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum 5. Melaksanakan pelaporan dan evaluasi Permasalahan perdagangan orang sangat kompleks, menyangkut hampir semua bidang pembangunan. Selain itu, cakupan dari perdagangan orang bersifat lintas provinsi bahkan lintas negara. Karenanya perlu koordinasi dan jejaring yang kuat, serta alokasi anggaran yang memadai guna upaya penanggulangan secara optimal. Segala perangkat kelembagaan yang ada hanya dapat berperan optimal bila koordinasi antar pemangku kepentingan berjalan dengan baik. Sampai saat ini kendala yang dihadapi dalam upaya penanganan perdagangan orang adalah masalah koordinasi dan sampai saat ini masih menghadapi berbagai tantangan antara lain: 1. Masih ada pemalsuan identitas korban oleh oknum aparat 2. Dukungan anggaran untuk pencegahan dan penanganan perdagangan orang dari sektor dan daerah masih terbatas 3. Keluhan Pemda tentang biaya pemulangan korban ke daerah asal 4. Minimnya biaya pemulihan/rehabilitasi korban di penampungan dan biaya reintegrasi sosial serta biaya pendampingan saksi dan atau korban perdagangan orang yang masih sangat minim 5. Penegakan hukum masih belum optimal 6. Belum berjalannya sistem pendataan dan informasi perdagangan orang C. Upaya Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia Perdagangan orang bersifat kompleks dan sudah merupakan fenomena global, sehingga hampir tidak ada satu bidang pembangunan maupun satu negarapun yang terlepas dari fenomena ini dan mampu mengatasi permasalahan perdagangan orang secara mandiri. Tetap bekerjasama dan berjejaring secara kuat diperlukan baik dari unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat sendiri.

19

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Upaya ASEAN dalam memerangi kejahatan transnasional dimulai pada Declaration of ASEAN Concord pada 24 Februari 1976 oleh negara-negara anggota yang menyerukan adanya kerjasama intensif untuk mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan narkotika dan perdagangan obat bius. Pada perkembangannya, kerjasama permasalahan kejahatan transnasional pertama kali diangkat pada pertemuan Menteri Dalam Negeri ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on Transnational Crimes. Dengan semakin meluasnya kejahatan transnasional, pada pertemuan ASEAN Summit ke-6 pada Dember 1998 di Hanoi, Vietnam, para kepala negara ASEAN mengesahkan Hanoi Plan of Action (HPA) guna merealisasikan visi ASEAN 2020 yang telah disahkan sebelumnya yang diantaranya menuntut penguatan kemampuan regional untuk memberantas kejahatan transnasional. Pada pertemuan ASEAN tahun 2002, perjanjian ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACTC) menyebutkan bahwa perdagangan orang merupakan salah satu dari 8 jenis kejahatan lintas negara selain pemberantasan terorisme, perdagangan obat terlarang, pencucian uang, bajak laut, kejahatan internet dan kejahatan ekonomi internasional.35 Sejumlah badan ASEAN telah dilibatkan dalam memberantas kejahatan transnasional, antara lain:36 1. ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), yang menegaskan upaya ASEAN memberantas kejahatan transnasional melalui kerjasama regional dan internasional yang lebih luas. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan para Menteri yang menangani kejahatan lintas negara yang bertemu setiap dua tahun. AMMTC adalah badan pengambil keputusan tertinggi dalam kerjasama ASEAN memberantas kejahatan transnasional. 2. ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM), yaitu kerjasama para pimpinan kepolisian ASEAN yang memperkuat kerjasama ASEAN dalam kegiatan bea cukai dan AFTA serta memperkokoh kerjasama dalam memberantas perdagangan narkotika, penyelundupan, dan pengawasan bea cukai. ASEAN Chiefs of National Police (ASEANAPOL), yang menangani aspek-aspek preventif, penegakan hukum dan operasional dari kerjasama pemberantasan kejahatan transnasional. 3. ASEAN Senior Officials on Drugs Matters (ASOD), yang mempunyai rencana aksi pada permasalahan obat bius dan narkotika.
35 ASEAN Selayang Pandang. 2007. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Hal. 37. 36 Op.Cit

20

Sita Hidriyah

Sebagai bagian dari negara anggota ASEAN, Indonesia masih menyisakan problematika dari pencegahan ataupun penyelesaian masalah perdagangan orang. Pembahasan mengenai perkembangan kerjasama serta langkah pemberantasan perdagangan orang selalu rutin dibicarakan dan dibahas pada setiap pertemuan ASEAN termasuk pada KTT ASEAN Ke-18 dimana Indonesia sebagai tuan rumah. Konferensi tersebut berlangsung di Jakarta pada bulan Mei 2011. Para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembahasan Konvensi ASEAN tentang Perdagangan Manusia dikarenakan semakin meningkatnya kasus perdagangan orang khususnya wanita dan anak-anak.37 Selain pada kerjasama yang dijelaskan, Wakil Presiden RI, Boediono, pada pembukaan ASEAN Region Crime Prevention Foundation tanggal 20 Juni 2011 mengatakan bahwa isu perdagangan orang menjadi isu regional utama yang mempengaruhi hubungan antara negara ASEAN. Hal ini merupakan penjelasan bahwa ASEAN menghadapi peningkatan insiden perdagangan orang di kawasan Asia Tenggara.38 Oleh karena itu, di tahun 2011 melalui KTT ASEAN ke-18, kerjasama untuk memberantas perdagangan orang semakin ditingkatkan. Adapun pertemuan terakhir kerjasama ASEAN adalah pertemuan tingkat Menteri negara-negara ASEAN ke 8 yang berlangsung pada 9-13 Oktober 2011 yang membahas masalah kejahatan lintas negara. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa pernyataan seperti berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam penanganan kejahatan antar negara dalam menjaga kedamaian, keamanan dan stabilitas regional. Lalu menindaklanjuti Pernyataan Bersama Pimpinan ASEAN dalam meningkatkan kerja sama melawan perdagangan orang di Asia Tenggara khususnya dengan mempercepat ASEAN Convention on Trafficking in Person (ACTIP). Kerjasama ini juga melibatkan negara-negara yang selama ini telah bekerjasama dengan ASEAN yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan.39 Serangkaian penyelesaian program kerja ASEAN tersebut merefleksikan komitmen yang tinggi dari negara-negara ASEAN dalam meningkatkan kerjasama penanggulangan isu perdagangan orang.
37 ASEAN Percepat Pembahasan Konvensi Perdagangan Manusia, http://palembang.tribunnews. com/08/05/2011/asean-percepat-pembahasan-konvensi-perdagangan-manusia, diakses tanggal 20 Oktober 2011. 38 Wapres: Perdagangan manusia jadi isu utama hubungan antarnegara. 20 Juni 2011. http://lifestyle. kontan.co.id/v2/read/1308548568/70705/Wapres-Perdagangan-manusia-jadi-isu-utama-hubunganantarnegara-, diakses tanggal 20 September 2011. 39 Ibid.

21

BAB IV KESIMPULAN

Pemberantasan kasus kejahatan transnasional khususnya perdagangan orang merupakan pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah Indonesia, yang termasuk didalamnya memberi upaya bagaimana anak-anak dan kaum perempuan harus mendapat perlindungan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah masih tidak mampu memberantas kasus perdagangan orang dikarenakan hambatan pada masalah klasik seperti, masalah SDM atas ketersediaan personil, masalah anggaran, serta BBM terutama di wilayah Provinsi seperti pada Provinsi Kepri dan Bali. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah dalam menangani secara komprehensif ancaman kejahatan transnasional dengan cara menetralisir. Untuk tetap memberikan sumbangan secara efektif dalam pemberantasan masalah perdagangan orang, Indonesia tetap memerlukan bantuan maupun ide kepakaran dari kerjasama regional, negara-negara maju, ataupun lembaga nonpemerintah yang terkait. Meskipun sudah ada aturan atau bentuk kerjasama yang ditujukan untuk memberantas perdagangan orang, bukan berarti pemerintah sepenuhnya menyandarkan persoalan perdagangan orang pada kerjasama internasional semata, namun upaya-upaya di tingkat nasional akan selalu diperlukan baik dari segi hukum, pendidikan dan sosial. Serangkaian kerja dari pemerintah Indonesia harus dilaksanakan tidak hanya berdasarkan pengawasan namun pada tindakan nyata. Bentuk kerjasama yang dilakukan untuk memberantas kejahatan transnasional pada kerjasama ASEAN dinilai hanya sebagai wacana karena kasus perdagangan orang masih terus terjadi. Yang sebenarnya perlu dilakukan adalah adanya tindakan nyata dari pemerintah dengan terus melibatkan pihak masyarakat, badan atau lembaga pemerintah terkait. Setiap aparat pemerintah yang terkait pada pemberantasan kasus perdagangan orang seperti Polri, KPP-PA, Kemenakertrans, Kemenkumham diharuskan berkoordinasi agar perdagangan orang dapat diminimalisasi dan terus dicegah.
23

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Laporan Ilmiah Atmasasmita, Romli. 2004. Dampak Ratifikasi Konvensi Transnational Organized Crime (TOC). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan HAM RI. ASEAN Selayang Pandang. 2007. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta ASEAN Selayang Pandang. 2010. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta. Brown, Louise. 2005. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Buku Pedoman Pemberantasan Perdagangan Orang. 2008. Kementerian Negara Dan Pemberdayaan Perempuan. Ebbe, Obi. Das K, Dilip. 2008. Global Trafficking In Women And Children. USA: CRC Press Jurnal Perempuan. 2010. Trafficking Dan Kebijakan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Sullivan, Barbara. 2010. Trafficking In Human Being. Dalam Laura J. Shepherd, Gender Matters in Global 8. Politics: A Feminist Introduction to International Relations (London and New York: Routledge, 2010). Yentriyani, Andy. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press. Suratkabar Polri Bekuk Sindikat Perdagangan Manusia, Kompas, 8 Oktober 2011.

25

Upaya Pemerintah dan Kerjasama ASEAN Dalam Pemberantasan Perdagangan Orang Di Indonesia

Internet Instrumen HAM Internasional: Konvensi Kerja Paksa. http://zonahukum.blogspot. com/2011/02/instrumen-ham-internasional-konvensi.html, diakses tanggal 28 Oktober 2011. Tiga Juta TKI Korban Perdagangan Manusia. http://www.migrantcare.net/mod. php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=5&artid=917, diakses tanggal 28 Oktober 2011. Pengiriman TKI Ilegal di Kepri terbesar, http://www.haluankepri.com/news/ batam/11637-pengiriman-tki-ilegal-di-kepri-terbesar.html, diakses tanggal 30 Oktober 2011. Perdagangan Manusia Di Indonesia Kian Memprihatinkan, http:// www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/30/lm03ypduhperdagangan-manusia-di-indonesia-kian-memprihatinkan, diakses tanggal 29 Oktober 2011. Penanganan Perdagangan Orang Dianggarkan Rp 3,36 Miliar, http://www. politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=6457, diakses tanggal 5 Oktober 2011. Informan Haryani, Ketua BP3A Provinsi Bali di Bali, 21 Juni 2011. Bambang Setyo Wahyudi SH,MH, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, 10 Mei 2011. K. Agoes Rahardjo, Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Departemen Hukum Dan HAM, Kepulauan Riau, 11 Mei 2011. Dra. Luly Altruiswaty, M.Sc, Asisten Deputi Perlindungan Korban Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Jakarta, 21 April 2011. Kombes.Pol. Eddy Tambunan, Kepolisian Daerah Bali, 20 Juni 2011. Syamsul, Ketua Gerakan Anti Trafficking (GAT), Kepri, 19 Mei 2011.

26

Bagian Kedua PENYELUNDUPAN BARANG DI INDONESIA DAN DAMPAKNYA SECARA EKONOMI Venty Eka Satya

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah Perkembangan kejahatan lintas Negara (transnational crime) yang semakin pesat dewasa ini telah menjadi ancaman tersendiri yang cukup serius terhadap keamanan global. Jenis kejahatan ini semakin berkembang, baik dari segi ragam maupun jumlahnya. Selain berkembang pesat, kejahatan lintas negara juga memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Pengertian Transnational meliputi: 1. dilakukan di lebih dari satu negara, 2. persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain, 3. melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara, 4. Berdampak serius pada negara lain. 1 5. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual
1 Riset Hukum Kejahatan Transnasional, dikutip dalam http://risethukum.blogspot.com/, diakses tanggal 20 Januari 2011

29

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal business, corruption and bribery of public or party officials. Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang diadopsi pada tahun 2000 menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai konsep dan definisi atas beberapa kejahatan tersebut, secara umum kejahatan ini merujuk secara luas kepada non-violent crime yang pada umumnya mengakibatkan kerugian financial.2 Aksi kejahatan penyelundupan barang meskipun tidak dimasukkan dalam 18 jenis kejahatan transnasional tersebut, merupakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas yang paling klasik yang belum pernah dapat diatasi dengan baik. Dari waktu ke waktu kegiatan penyelundupan ini semakin meningkat, baik dari segi nilai, volume maupun ragam motifnya. Sepertinya tindakan penyelundupan ini tidak akan pernah dan tidak akan dapat dihentikan. Terutama untuk Negara berkembang seperti Indonesia, keberadaan pasar gelap yang muncul akibat aksi penyelundupan ini menjadi jawaban bagi persoalan keterbatasan daya beli masyarakat.Untuk itu aktifitas penyelundupan yang terjadi di daerah perbatasan ini perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah. Penyelundupan ini tidak hanya mengenai barang yang masuk ke dalam negeri akan tetapi juga yang keluar. Umumnya barang-barang yang diselundupkan keluar negeri adalah sumber daya alam, seperti hasil hutan, laut dan pertanian. B. Permasalahan Aktivitas penyeludupan barang memiliki dampak yang luas. Salah satu sektor yang paling terpengaruh adalah perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan adanya aktivitas penyeludupan barang ke dalam negeri, dapat mengurangi penyerapan barang produksi dalam negeri atau mengurangi penerimaan pajak dan cukai. Hal ini akan berdampak pada penerimaan daerah maupun negara dan bisa berujung pada meningkatnya jumlah pengangguran yang tentu saja akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Begitu
2 Kejahatan Lintas Negara, dikutip dari http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=20&l= id, diakses tanggal 20 Januari 2011

30

Venty Eka Satya

juga dengan penyelundupan barang- barang terlarang atau yang dibatasi. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari aktifitas penyelundupan barang ini terhadap perekonomian Indonesia. Untuk itu dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa kerugian Negara yang dapat diperkirakan akibat aktifitas penyelundupan ini? 2. Bagaimana aktifitas penyelundupan ini bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia? Selanjutnya diharapkan dapat diketahui pula jenis-jenis barang apa saja yang paling banyak diselundupkan. Sehingga dengan demikian dapat diperkirakan sektor produksi dan perdagangan mana yang paling terpengaruh dan sejauhmana ketergantungan masyarakat terhadap barang-barang selundupan ini. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Besarnya kerugian negara akibat tindak penyelundupan barang ini. 2. Dampak penyelundupan barang terhadap aktifitas perekonomian Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi anggota Dewan maupun alat kelengkapan Dewan, yang membidangi masalah-masalah yang terkait dengan aktifitas penyelundupan barang. D. Kerangka Pemikiran Menurut Bea dan Cukai, definisi penyelundupan adalah praktek pemasukan dan pengeluaran barang di luar pelabuhan resmi yang telah ditunjuk dan tidak memenuhi ketentuan kepabeanan, perpajakan, serta bea masuk. 3Aksi kejahatan penyelundupan barang merupakan adalah salah satu bentuk kejahatan lintas batas yang paling klasik yang belum pernah dapat diatasi dengan baik. Jadi pada dasarnya aktifitas penyelundupan barang merupakan proses pemasukan atau pengeluaran barang ke atau dari suatu negara dengan cara yang tidak sah atau melanggar hukum atau ketentuan yang berlaku. Pelanggaran ini bisa saja terjadi secara administratif maupun secara fisik.
3 Jawaban tertulis dari Kamar Dagang dan Industri Provinsi Kepulauan Riau terhadap pertanyaan tertulis tim peneliti terkait dengan isu penyelundupan barang, April 2011

31

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

Pelanggaran administratif terjadi bila terjadi pelanggaran dalam hal kelengkapan atau kesalahan dokumen atau persyaratan lain seperti bea masuk atau bea keluar yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan pelanggaran fisik terjadi bila barang yang masuk atau keluar ke atau dari suatu negara merupakan barang larangan untuk di import maupun dieksport. Dari waktu ke waktu aktifitas penyelundupan ini semakin meningkat, baik dari segi nilai, volume maupun ragam motifnya. Sepertinya tindakan penyelundupan ini tidak akan pernah dan tidak akan dapat dihentikan. Terutama untuk Negara berkembang seperti Indonesia, keberadaan pasar gelap yang muncul akibat aksi penyelundupan ini menjadi jawaban bagi persoalan keterbatasan daya beli masyarakat. Pasar gelap ini menawarkan barang dengan harga yang lebih rendah sehingga lebih terjangkau. Rendahnya harga barang ini dikarenakan beberapa hal diantaranya, pemotongan jalur ditribusi dan penghindaran beban pajak dan bea masuk. Upaya penyelundupan barang semakin berkembang dan canggih. Berbagai jalan dan cara telah digunakan oleh para penyelundup untuk dapat memasukkan atau mengeluarkan barang-barang ke dalam atau keluar negeri. Mulai dari transportasi darat, udara sampai melalui perairan (laut dan sungai). Hal ini menjadi tantangan berat bagi petugas penjaga perbatasan. Kejahatan penyelundupan barang ini telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik bagi Negara asal maupun Negara yang menjadi tujuan penyelundupan barang. Selain kerugian materiil, ada juga potensi kerugian imateriil, yakni hancurnya pasar dalam negeri akibat membanjirnya produk illegal, serta beredarnya barang-barang illegal yang membahayakan masyarakat. Ketika barang illegal masuk ke suatu Negara, maka dapat berakibat pada berkurang permintaannya terhadap industri dalam negeri dan pada akhirnya dapat berdampak juga terhadap penyerapan tenaga kerja. Negara Indonesia sangat rentan terhadap tindak kejahatan lintas Negara, terutama penyelundupan. Ribuan kasus penyelundupan terjadi setiap tahunnya. Tiap bulan negara dirugikan diperkirakan ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki kedudukan geografis yang sangat strategis di jalur perdagangan dunia (Indonesia memiliki 4 selat yang menjadi jalur utama lalu lintas perdagangan dunia yaitu: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar; memiliki jumlah penduduk yang besar (lebih dari 240 juta orang); memiliki kekayaan alam yang berlimpah.4 Dengan
4 Riset Hukum Kejahatan Transnasional, dikutip dalam http://risethukum.blogspot.com/, diakses tanggal 20 Januari 2011

32

Venty Eka Satya

maraknya aksi penyelundupan di Negara ini, dampaknya juga menjadi luas dan upaya pemberantasannya juga sangat berat. Selain itu, krisis ekonomi global yang berefek pada masalah perekonomian dinegara-negara dunia diduga juga telah menjadi pemicu utama semakin tingginya kasus penyelundupan ke tanah air. Indonesia sebagai negara berkembang menjadi sasaran utama para sindikat dalam memasukkan barang-barang baik yang masuk larangan pembatasan atau yang sengaja diselundupkan untuk menghindari pajak dan bea masuk. Luasnya wilayah perairan Indonesia juga merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat kejahatan lintas Negara, terutama penyelundupan. Sebagian besar wilayah perbatasan Indonesia merupakan wilayah kepulauan, seperti halnya propinsi Kepulauan Riau dan Bali. Terutama untuk daerah Kepulauan Riau Ditjen Bea dan Cukai kesulitan mengawasi penyelundupan barang keluar dari kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK). karena pantainya luas. Bea cukai mengalami kesulitan untuk harus menjaga berpuluh-puluh kilometer pantai di FTZ BBK selama 24 jam.Potensi tindak kriminal penyelundupan di wilayah ini sangat besar. Faktor sejarah juga berperan besar dalam mempengaruhi aktifitas penyelundupan ini. Praktek perdagangan lintas batas/antar pulau sebenarnya sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Perdagangan ini terjadi antara para pedangang Kepulauan Riau yang tersebar di Batam, Bintan, Karimun dan Sumatera dengan pedagang dari Singapura dan Malaysia. Saat itu tidak ada aturan hukum yang mengatur masalah atau mekanisme perdagangan antar negara ini. Aktifitas perdagangan lintas batas negara seperti ini bertahan hingga akhir dekade 70-an. Selain lemahnya tingkat pengamanan, faktor ekonomi dan pendidikan juga sangat berpengaruh. Tingkat pendidikan dan perekonomian penduduk di daerah perbatasan relatif lebih rendah, karena aksesnya yang sulit di jangkau sehingga aktifitas pembangunan disegala bidang sangat minim. Kebijakan pemerintah Indonesia dimasa lampau juga menjadi salah satu sebab daerah perbatasan menjadi terisolir dan terbelakang dibidang sosial dan ekonomi. Pemerintah lebih mengutamakan penanganan masalah keamanan di daerah perbatasan, sehingga masalah sosial dan ekonomi menjadi terpinggirkan. Hal ini menyebabkan para penduduk di perbatasan mudah tergiur dengan barang-barang dari negara tetangga yang relatif lebih mudah diperoleh karena transportasi yang lebih mudah serta harganya relatif lebih terjangkau.

33

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap kawasan perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama bilateral yang baik untuk menuntaskannya.5 Penyelundupan ini tidak hanya berdampak pada kerugian pajak untuk negara, tetapi juga bagi dunia usaha di dalam negeri. Akibat aksi ini ratarata pemanfaatan kapasitas industri (utilisasi) menjadi berkurang..Dampak selanjutnya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), penurunan produktivitas dan daya saing. Adapun barang-barang industri yang paling banyak diselundupkan adalah produk berbasis baja, tekstil, garmen, sepatu, keramik, dan elektronik. 6 Pengamat ekonomi Chatib Basri pada tahun 2001, bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), melakukan penelitian ihwal penyelundupan yang terjadi di Indonesia, mulai dari dampak, akibat, penyebab, hingga solusinya. Hasil penelitian itu sudah diserahkan ke pemerintah. Tapi, setelah tiga tahun berlalu, angka penyelundupan justru tidak mengecil, malah bertambah besar. Sampai saat ini tidak ada perubahan dan komitmen dari pemerintah untuk mengatasi hal itu, kata Chatib Basri. Dari penelitian tersebut, Chatib menyimpulkan bahwa penyelundupan bisa terjadi akibat tiga hal yang saling berkaitan, yakni kegagalan sistem Bea
5 Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia, Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan, BAPPENAS, lihat, http://www.bappenas.go.id diakses 30 Agustus 2011. 6 Fahmi Imanullah dan Hasis Purwanto, Penyelundupan : Diperlukan Orang-Orang Asing?Tampaknya, pemeriksaan barang-barang ekspor-impor sebaiknya diserahkan ke lembaga asing untuk menekan penyelundupan, selama kita masih tetap korup, Majalah Trust, 18 Oktober 2004

34

Venty Eka Satya

dan Cukai, aparat yang korup, serta kebijakan pemerintah yang menuntun pada terciptanya perbedaan harga barang domestik dengan harga di luar. Semakin tinggi perbedaan harga, maka semakin besar kemungkinan terjadi penyelundupan, paparnya.7

7 Ibid

35

BAB II METODE PENELITIAN

A. Metode Analisis Data Penelitian tentang kejahatan transnasional yang berkaitan dengan penyelundupan barang ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menekankan pada pengumpulan data primer maupun sekunder. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang kasus penyelundupan dan permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahanbahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. B. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data primer maupun sekunder dengan cara meminta data tertulis dan melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan informan yang relevan dan kompeten, dan melakukan berbagai kegiatan observasi di lapangan. C. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Bali. Dipilihnya Jakarta, karena merupakan pusat pemerintahan. Informan yang akan diwawancarai adalah instansi pemerintah seperti Kementrian Perindustrian dan perdagangan, Bea dan cukai, Kepolisian Republik Indonesia, serta

37

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

sejumlah LSM yang mempunyai perhatian terhadap kejahatan transnasional di Indonesia. Dipilihnya Provinsi Kepulauan Riau karena merupakan salah satu daerah perbatasan di Indonesia yang sangat rawan terhadap terjadinya tindak kejahatan transnasional. Kawasan ini meliputi gugusan Kepulauan Riau dan pesisir Selat Malaka yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Aksi-aksi kejahatan transnasional di kawasan ini dikenal sebagai jaringan Riau. Sulitnya pengawasan kejahatan transnasional di Kepulauan Riau karena banyaknya pelabuhan tikus yang tersebar disepanjang pesisirnya. Pelabuhan tikus itu menjadi gerbang masuk bagi kejahatan transnasional. Dengan kondisi geografis Kepri yang berbatasan laut dengan Singapura dan Malaysia, merupakan jalur laut internasional yang padat, serta wilayah Batam, Bintan dan Karimun yang merupakan kawasan free trade zone, maka Kepulauan Riau menjadi kawasan yang strategis bagi kegiatan kejahatan transnasional. Selama di Provinsi Kepulauan Riau, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait seperti Polda Kepri, Kanwil Bea Cukai, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Kamar Dangang dan Industri Provinsi Kepulauan Riau. Selanjutnya penelitian dilakukan di provinsi Bali. Dipilihnya provinsi ini sebagai obyek penelitian karena provinsi ini merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang paling diminati oleh turis mancanegara. Kondisi ini sangat memungkin bagi para pelaku kejahatan untuk memanfaatkan Provinsi Bali sebagai daerah transit atau daerah operasi dari berbagai tindak kejahatan transnasional, seperti penyelundupan barang, transaksi narkoba, people smuggling, human trafficking, dan bentuk kejahatan lainnya. Peningkatan pariwisata yang dibarengi dengan terbukanya transportasi global di provinsi ini, baik darat, laut, maupun udara, sudah barang tentu akan bedampak pada peningkatan segala bentuk gangguan kamtibmas yang mungkin akan terjadi. Selama di Provinsi Bali wawancara akan dilaksanakan dengan pihak-pihak terkait seperti Bali, Polda Bali dan Kanwil Bea Cukai Bali, NTB dan NTT. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan di Jakarta, Kepulauan Riau dan Bali, dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

38

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kasus Penyelundupan Barang di Kepulauan Riau Dirjen Bea dan Cukai menyatakan bahwa berdasarkan pemetaan daerah rawan penyelundupan, pesisir Timur Sumatera merupakan wilayah yang sangat rawan terhadap aksi penyelundupan barang import karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Kepri merupakan wilayah di bagian timur Sumatera yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Lalu lintas perdagangan yang terjadi antara wilayah ini dengan Negara-negara tetangga tersebut telah belangsung sejak jaman kerajaan. Letak provinsi ini yang bertetangga dengan Singapura, Malaysia dan Thailand menjadikannya sebagai jalur yang paling ramai penyelundupan, terutama pulau Batam. Selat Malaka adalah satu indikasi lain betapa praktek penyelundupan di jalur selat itu telah menjadi primadona bagi para mafia-mafia transnasional dalam menjalankan praktek illegal tersebut. Peta daerah yang rawan tindak penyelundupan dan jalur yang paling bayak digunakan dapat dilihat pada lampiran. Komoditi yang diselundupkan keluar dari Indonesia yang melalui perairan Kepri antara lain bahan bakar minyak (BBM) terutama solar, kayu hasil illegal logging jenis gelondongan dan olahan, biji timah, pasir laut, pasir darat, penggelapan valuta asing, dan perdagangan manusia (trafficking) untuk bayi dan perempuan. Sedangkan penyelundupan yang masuk dari ketiga Negara tersebut adalah mobil, beras, gula, serta limbah dan barang bekas meliputi ponsel dan barang-barang elektronik. Bila dilihat dari segi kuantitas, penyelundupan barang di wilayah ini memang masih kalah jauh bila dibandingkan dengan praktek penyelundupan di pelabuhan Tanjung Priok dan Belawan. Tapi meskipun begitu bila aksi ini terjadi terus menerus tentunya akan menyebabkan kerugian yang besar bagi Negara.
39

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kantor Wilayah Khusus Kepulauan Riau, pada tahun 2010 terdapat 65 kasus penyelundupan yang berhasil ditindak. Jumlah rupiah barang yang berhasil ditangkap senilai Rp.35.708.776.131 dengan potensi kerugian Negara sebesar Rp.513.633.806,43. Hasil identifikasi Kantor Bea dan Cukai Batam, modus operandi penyelundupan ekspor dan impor barang di Kepri ini sebagai berikut: 1. Penyelundupan Impor a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest; b. Membongkar barang impor di luar pelabuhan yang ditunjuk; c. Mengangkut barang impor yang belum selesai kewajiban pabeannya dari FTZ tanpa persetujuan pejabat Bea Cukai. d. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan atau jumlah berang impor dengan pemberitahuan pabean secara salah. e. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan atau jumlah barang impor dengan pemberitahuan pabean secara salah. 2. Penyelundupan ekspor a. Mengekspor barang tanpa pemberitahuan Pabean/Manifes b. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekport dalam Pemberitahuan Pabean secara salah yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan Negara di bidang ekspor. c. Memuat barang ekspor di luar pelabuhan yang ditunjuk tanpa izin kepala kator. 3. Pelangaran Administrasi a. Misdeclaration dalam dokumen pabean, misalnya kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang, untuk menghindari jumlah dan jenis barang yang diijinkan (dari LDP ke FTZ) b. Misdeclaration dalam dokumen pabean, misalnya kesalahan pemberitahuan tarif Bea Masuk dan PDRI yang lebih tinggi dan Ketentuan Larangan dan Pembatasan Impor (FTZ ke TLDP) c. Tidak menutup kemungkinan adanya dugaan pelangaran pidana pemalsuan dokumen sehingga seringkali ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan dan/atau penyidikan.

40

Venty Eka Satya

4. Penyeludupan Antar Pulau a. Mengangkut barang yang masih terhutang BM, Cukai dan/atau PDRInya dengan modus antar pulau. b. Pengangkutan barang kena Bea Keluar dengan dalih antar pulau8 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perdagangan dan Industri Kepulauan Riau, mereka tidak memiliki data mengenai angka penyelundupan barang yang terjadi di provinsi ini. Menurut mereka angka penyelundupan di provinsi ini sangat kecil dan tidak signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah setempat. Barang-barang yang di impor juga kebanyakan hanyalah barang keperluan sehari-hari seperti gula, beras, makanan ringan yang memang tidak di produksi disini. Jalur masuk barang-barang tersebut juga kebanyakan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil tidak resmi yang berada disepanjang pantai kepulauan Riau. Aktifitas ini umumnya tidak terdeteksi oleh petugas Bea dan Cukai maupun aparat keamanan lainnya.9 Namun menurut analisa peneliti bila dilihat dari banyaknya jumlah pelabuhan tidak resmi tersebut dan lemahnya pengawasan dari pihak berwajib, jumlah barang yang diselundupkan tersebut cukup signifikan dan aktifitas ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, beras dan gula yang mereka konsumsi adalah gula dari singapura dan malaysia, karena bila didatangkan dari daerah lain di Indonesia umumnya kualitasnya buruk dan harganya juga mahal. Sebagian informan termasuk Dinas Perdagangan dan Industri, mengatakan barang-barang tersebut telah diatur tata cara impornya oleh pemerintah ada pula yang mengatakan bahwa barang-barang kebutuhan sehari-hari tersebut diselundupkan atau masuk melalui jalur ilegal ke provinsi ini. Untuk kasus penyelundupan barang keluar Kepulauan Riau, kebanyakan yang diselundupkan adalah hasil bumi seperti kayu, ikan, pasir, dan BBM. Selain tindakan penyelundupan, pencurian ikan juga merupakan praktek ilegal yang sangat merugikan negara. Menurut keterangan pejabat DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Provinsi Kepulauan Riau, diperkirakan kerugian negara akibat pencurian ikan di Kepulauan Riau mencapai 10 triliun setiap tahunnya.

8 Jawaban tertulis dari Kamar Dagang dan Industri Provinsi Kepulauan Riau terhadap pertanyaan tertulis tim peneliti terkait dengan isu penyelundupan barang, April 2011 9 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Riau. Tanggal 9 Mei 2011.

41

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

B. Kasus Penyelundupan Barang di Provinsi Bali, NTB dan NTT Kantor Wilayah Dirjen Bea dan Cukai Bali, NTB, dan NTT membawahi Daerah Pabean propinsi Bali, NTB dan NTT. Peranannya sama seperti kepabeanan yang lain yaitu menjaga kelancaran arus barang keluar dan masuk dari daerah pabean serta mencegah, menangkal dan menanggulangi penyimpangan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas dan fungsi Dirjend Bea Cukai (DJBC) adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC. Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, serta peredaran barang-barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu. Sejauh ini barang-barang yang paling banyak diselundupkan ke dalam daerah pabean Bali, NTB dan NTT adalah Narkoba dan Ballpress.10 Laporan penindakan untuk kedua jenis barang tersebut selama periode 2010 sampai sekarang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Laporan Penindakan Narkotikan dan Pakaian Bekas Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB dan NTT. No. 1. 2. Jenis Barang Narkotika Jumlah Pakaian Bekas Jumlah Total *1 Ball=Rp 2.000.000,Sumber: Ditjend Bea dan Cukai Kanwil DJBC Bali, NTB dan NTT Tipe B Benoa Tipe A3 Kupang 1(838 Ball) 2 (1764 Ball) KPPBC Tipe A2 Ngurah Rai Jum. Kasus 20 Nilai Barang (Rupiah) 44.271.490.000 44.271.490.000 1.676.000.000 3.528.000.000 5.204.000.000 49.475.490.000

10 Ditjend Bea dan Cukai Kanwil DJBC Bali, NTB, dan NTT.

42

Venty Eka Satya

Barang-barang lain yang juga banyak diselundupkan adalah: 1. Senjata 2. Sextoys 3. Handphone 4. Hewan yang dilindungi (umumnya disendupkan keluar). 5. Benda-benda Cagar Budaya (umumnya diselundupkan keluar).11 Kasus penyelundupan barang yang paling banyak ditemukan adalah di KPPBC Ngurah Rai Bali. Hal ini dikarenakan jalur ini merupakan bandara internasional sehingga paling ramai dilalui oleh wisatawan asing yang keluar/ masuk. Selain itu pengawasannya lebih ketat dan peralatan yang ada juga lebih lengkap dan canggih. Sedangkan untuk pintu-pintu masuk lain seperti pelabuhan laut agak sulit untuk diawasi. Karena banyaknya pelabuhan di daerah pabean ini, tidak hanya yang resmi tetapi juga pelabuhan kecil yang tidak resmi dan terbatasnya jumlah aparat dan peralatan. Daerah-daerah yang rawan tindak penyelundupan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Daerah-daerah yang Rawan Tindak Penyelundupan. No. 1. Nama Daerah Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Bali Pelabuhan Laut Benoa-Bali Jenis Barang yang Diatensi

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pelabuhan Celukan Bawang- Kab. BulelengBali Bandar Udara Selaparang-Mataram-NTB Labuan Burung-Bima-NTB Pulau Pemana Flores-NTT Pelabuhan Laut Tenau-Kupang-NTT

- Narkotika - Barang-barang larangan dan Pembatasan. - Barang dagangan - Narkotika - Barang-barang larangan dan Pembatasan. - Barang dagangan - Ballpress - Barang dagangan
Ballpress Ballpress Ballpress Ballpress

Kawasan Pantai Amed-Kab. Karangasem-Bali Ballpress

9. Daerah Lintas Batas Atapupu-NTT Barang Pelintas Batas. Sumber: Ditjend Bea dan Cukai Kanwil Bali, NTB, dan NTT.

11 Ibid.

43

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

C. Penyelundupan Barang di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi Untuk daerah Indonesia secara keseluruhan sangat sulit untuk menanggulangi masalah penyelundupan barang ini. Tidak terdapat data yang mencatat secara pasti berapa jumlah penyelundupan barang pertahunnya. Berdasarkan data hasil penegahan/penindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk periode tahun 2010 tercatat 3277 kasus dengan potensi kerugian Negara sebesar Rp.35.233.764.339,72 (sekitar 35 Milyar rupiah), baik berupa hasil tegahan fisik maupun pelanggaran administrasi.12 Meskipun tidak dapat ditentukan dengan pasti, Kementerian Perindustrian telah memberikan gambaran tentang nilai impor produk-produk illegal yang masuk ke Indonesia yang berpotensi merugikan Negara. Keluar-masuknya Produk-produk illegal ini menjadi potensi kerugian Negara khususnya industri terkait. 1. Berdasarkan data dari Direktorat Industri Elektronika dan Telematika, pada tahun 2008 nilai produk elektronik illegal diperkirakan mencapai 35% dari total omset penjualan produk domestic atau setara dengan Rp. 10,115 triliun dari total omset Rp.30,2 triliun. Pada tahun 2009 nilai impor produk elektronik elligal ini diperkirakan tumbuh menjadi Rp.12 triliun atau 40% dari total omset pasar produk elektronik diperkirakan mencapai Rp.35 triliun saja, sementara sisanya merupakan produk selundupan dan produk yang tidak terstandard. 2. Sementara itu, berdasarkan data dari Industri Tekstil dan Aneka, Ditjen Basis Industri Manufaktur, penyelundupan impor di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) juga tidak kalah maraknya, dari sekitar Rp.50 triliun pasar Industri TPT, sebanyak 64% pangsa pasar dipenuhi produsen dalam negeri, 10% dipenuhi oleh produk impor yang sah, sedangkan sisanya 26% merupakan produk illegal. 3. Penyelundupan terjadi tidak hanya pada produk impor, melainkan juga penyelundupan dari dalam ke luar negeri, khususnya komoditi kayu dan rotan. Tidak ada data pasti tentang besarnya jumlah penyelundupan ini. Menurut Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Ditjend Industri Agro, penyelundupan bahan baku kayu umumnya dilakukan melewati perlintasan batas internasional yang lokasinya terpencil seperti Kalimantan Timur (Nunukan, Nalinau, Kutai Barat) dan Kalimantan Barat (Sambas, Bengkayang, Sintang, Kapuas), Papua, dll. Penyelundupan bahan baku rotan dilakukan melalui distribusi pengiriman rotan antar
12 Kemekeu, Ditjend Bea dan Cukai.

44

Venty Eka Satya

pulau, yang seharusnya pengiriman rotan dikirim ke sentra produksi rotan, dibelokkan ke luar negeri. Di sisi lain, tidak transparannya Negara-negara penerima kayu selundupan seperti Malaysia, Singapura dan China semakin mempermudah aksi penyelundupan terjadi. 4. Akibat dari penyelundupan bahan baku ini ke luar negeri adalah minimnya pasokan bahan baku di dalam negeri sehingga menyebabkan tingginya harga bahan baku dan penurunan tingkat produksi dalam negeri. Sementara industri pesaing di luar negeri mendapatkan bahan baku dengan harga murah. Hal ini juga berakibat pada rendahnya kemampuan bersaing barang-barang produksi dalam negeri.13 Menurut Kementerian Perindustrian, tindakan penyelundupan barang mempunyai dampak yang sangat mengganggu bagi industri dalam negeri, yaitu: 1. Sinyal bagi investor akan buruknya kepastian hukum dan kepastian usaha di Indonesia, sehingga melemahkan minat investor ke dalam negeri 2. Hilangnya potensi penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak dan bea masuk. 3. Adanya persaingan yang tidak sehat merugikan produsen dalam negeri, karena barang-barang selundupan tidak dikenai pajak dan mempunyai standar buruk sehingga harganya tidak wajar. 4. Konsumen dalam negeri dapat dirugikan karena konsumsi barangbarang yang tidak mempunyai standar mutu yang aman dan garansi yang dipercaya. 5. Penyelundupan bahan baku ke luar negeri dapat menyebabkan berhentinya operasi industri 6. Kerusakan alam karena penebangan/penambangan yang tidak terkendali. 7. Dalam skala besar, penyelundupan dapat mematikan industri dalam negeri dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional seperti munculnya pengangguran, kriminalitas, dll.

13 Jawaban tertulis dari Kamar Dagang dan Industri Provinsi Kepulauan Riau terhadap pertanyaan tertulis tim peneliti terkait dengan isu penyelundupan barang, April 2011.

45

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

Beberapa industri yang paling terpengaruh oleh aktifitas penyelundupan ini diantaranya: 1. Industri Elektronik dan Alat Rumah Tangga, seperti: TV-CRT, AC, Audio, Antena, Lampu Hemat Energi, Baterai Primer, Pompa Air, Kipas Angin, Setrika, dll. 2. Industri Tekstil dan Produk Tekstil: Garmen dan Tekstil 3. Industri Mesin dan Alat Pertanian: Industri Motor Diesel, Industri Alsintan, Industri Regulator/katub, Industri komponen, Industri Mesin Kompresor, Industri Mesin Las. 4. Industri Hasil Kehutanan dan Agro: Furnitur, Kerajinan berbahan baku kayu/rotan 5. Industri Aneka: Sepeda, Keramik, Kosmetik.14 Angka penyelundupan barang ke dalam negeri selalu meningkat setiap tahunnya. Tahun 2008 tercatat 2109 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 253,938 miliar, tahun berikutnya, 2009 tarcatat 2093 kasus dengan potensi kerugian mencapai Rp597,820 miliar. Dan ditahun 2010 terjadi peningkatan sekitar 100% dibandingkan tahun sebelumnya. Maraknya penyelundupan tidak lepas dari banyaknya keuntungan yang diperoleh pelaku dari aktifitas ilegal ini. Sehingga tidak jarang para aparat pemerintah jadi kehilangan integritas dan menjadi bagian dari mafia penyelundupan. Tahun 2007, kerugian negara akibat penghindaran bea cukai dari barang-barang selundupan mencapai 98 miliar rupiah, angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Dampak dari penyelundupan ini tidak hanya berupa pajak , tetapi juga dunia usaha. Rata-rata pemanfaatan industri tahun itu menurun dari 80 persen menjadi 60 persen. Produktivitas dan daya saing turut pula menurun sehingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja.15

14 Ibid 15 Tanjung, Darman, Kerugian Negara Akibat Penyelundupan, Majalah Forum, No. 40, 31 Januari-06 Februari 2011.

46

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Kasus penyelundupan terus meningkat dari tahun ketahun. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya dari segi penerimaan negara akan tetapi berdampak juga pada sektor industri dan perdagangan. Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus penyelundupan produk impor yang tercatat di tahun 2009 sebesar Rp597,820 miliar dan diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 100% di tahun 2010. Sedangkan kerugian akibat penyelundupan produk ekport tidak pihak yang mempunyai data pasti terkait tindak penyelundupan ini. 2. Tindak penyelundupan ini dapat mempengaruhi sektor pedagangan dan industri dalam negeri. Penyelundupan barang import dapat mempengaruhi harga barang dalam negeri yang mengakibatkan produsen dalam negeri tidak mampu bersaing dengan barang impor yang bebas pajak tersebut. Hal ini dapat menurunkan angka penjualan dan produksi dalam negeri. Sedangkan dari sisi dunia industri, hal ini dapat menurunkan pemafaatan industri, sebesar 80 sampai 60 persen. 3. Penyelundupan barang eksport yang sebagian besar merupakan bahan mentah atau hasil bumi dapat mengganggu pasokan bahan baku dalam negeri. Hal ini juga dapat menurunkan produksi dalam negeri. B. Saran Aktifitas Penyelundupan memberikan dampak yang cukup serius terhadap perekonomian negara. Untuk itu perlu kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak yang terkait untuk menangani hal ini dan meminimalisir dampaknya, sehingga peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

47

Penyelundupan Barang Di Indonesia dan Dampaknya Secara Ekonomi

1. Peningkatan keamanan di daerah perbatasan dan pintu masuk barang. 2. Adanya diplomasi dengan negara-negara terkait sehubungan dengan hal ini 3. Edukasi kepada masyarakat agar tidak membeli produk ilegal, meskipun harganya lebih terjangkau.

48

DAFTAR PUSTAKA

Darman Tanjung, Kerugian Negara Akibat Penyelundupan , Majalah Forum, No. 40, 31 Januari-06 Februari 2011. Fahmi Imanullah dan Hasis Purwanto, Penyelundupan : Diperlukan OrangOrang Asing?Tampaknya, pemeriksaan barang-barang ekspor-impor sebaiknya diserahkan ke lembaga asing untuk menekan penyelundupan, selama kita masih tetap korup, Majalah Trust, 18 Oktober 2004. Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia,Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan, BAPPENAS, dalam http://www. bappenas.go.id, diakses 30 Agustus 2011. Kejahatan Lintas Negara, dikutip dari http://www.kemlu.go.id/Pages/ IIssueDisplay.aspx?IDP=20&l=id, diakses tanggal 20 Januari 2011. Riset Hukum Kejahatan Transnasional, dikutip dalam http://risethukum. blogspot.com/, diakses tanggal 20 Januari 2011.

49

Bagian Ketiga KEJAHATAN TRANSNASIONAL ILLEGAL FISHING DI PERAIRAN INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA SECARA REGIONAL DI ASIA TENGGARA1 Simela Victor Muhamad2

1 Tulisan dengan judul Kejahatan Transnasional Illegal Fishing di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya secara Regional di Asia Tenggara ini diolah dari hasil penelitian kelompok dan juga penelitian individu yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2011. 2 Peneliti Madya bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (75 persen dari total wilayah Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial; 2,8 juta km2 perairan laut nusantara; dan 2,7 juta km2 laut ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia). Sedangkan luas wilayah daratan hanya 1,9 juta km2 atau 25 persen dari total wilayah Indonesia. Dalam wilayah laut seluas itu terdapat 17.504 pulau dan dirangkai oleh garis pantai sepanjang 81.290 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah yang dimiliki Kanada.3 Di wilayah perairan laut Indonesia yang luas itu terkandung sumber daya laut yang besar, terutama sumber daya perikanan. Potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun.4 Melimpahnya sumber daya perikanan di perairan laut Indonesia ternyata telah menarik perhatian nelayan asing untuk juga dapat menikmatinya secara ilegal. Penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan asing yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal (illegal fishing) sempat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun. Perairan Natuna, perairan Sulawesi Utara dan perairan di sekitar Maluku serta Laut Arafura merupakan kawasan yang paling rawan terhadap kegiatan illegal fishing, yang sebagian besar dilakukan oleh penangkap ikan dari Cina, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Penangkapan ikan secara ilegal itu telah merugikan negara secara finansial,5
3 Rokhmin Dahuri, Cetak Biru Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Indonesia Yang Maju, AdilMakmur, dan Berdaulat, PKSPL-IPB, 2010, hal. 9-10. 4 Ibid., hal. 15. 5 Kerugian ekonomi akibat illegal fishing bukan hanya berupa kehilangan pendapatan negara yang mencapai Rp 30 triliun per tahun, tetapi juga hilangnya peluang 1 juta ton ikan setiap tahunnya yang harus ditangkap (dipanen) oleh nelayan Indonesia, malah dicuri oleh nelayan asing. Lihat, Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2010, hal. 8.

53

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

karena telah ikut menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan, disamping telah mengancam sumber daya perikanan kelautan. Illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia tersebut sebagian besar merupakan tindak kejahatan transnasional, karena pelakunya adalah orang asing atau orang Indonesia tetapi melibatkan pihak asing dibelakangnya. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dimana sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru serta menjadi salah satu prime mover (penghela) pembangunan nasional, maka Indonesia perlu memiliki komitmen kuat untuk mengatasi kejahatan transnasional illegal fishing yang sangat merugikan kepentingan nasional itu. Upaya Indonesia untuk mengatasi kejahatan transnasional illegal fishing adalah tidak mudah dan juga tidak cukup dilakukan oleh pemerintah Indonesia semata. Kerja sama secara regional dengan negara-negara di kawasan juga perlu dibangun dan dikembangkan untuk menangani kejahatan yang bersifat lintas negara ini. Melalui pengembangan kerja sama secara regional diharapkan akan terbangun kesamaan pandangan dan langkah diantara negara-negara sekawasan dalam menyikapi kejahatan transnasional illegal fishing. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Kegiatan illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia merupakan kejahatan transnasional yang tidak dapat dibiarkan terus berlanjut, dan oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah lebih serius untuk mengatasinya. Diakui bahwa pemerintah Indonesia sejauh ini telah berusaha mengatasi masalah illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia. Namun, dengan masih terus terjadinya kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi permasalahan serius dalam menangani tindak kejahatan yang bersifat lintas negara ini. Menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah, mengapa illegal fishing di perairan Indonesia masih terus terjadi dan bagaimana penanganannya secara regional? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian adalah mengkaji penyebab terjadinya kejahatan transnasional illegal fishing di perairan Indonesia dan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh Indonesia, terutama melalui kerja sama regional dengan negaranegara di kawasan, dalam menangani masalah illegal fishing. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Anggota DPR RI, terutama
54

Simela Victor Muhamad

dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penanganan illegal fishing. D. Kerangka Pemikiran Dalam studi hubungan internasional, kejahatan transnasional dikategorikan sebagai bagian dari masalah-masalah keamanan non-tradisional.6 Kejahatan transnasioanal itu sendiri sering diartikan sebagai suatu bentuk kejahatan lintas batas yang mencakup empat aspek, yakni: 1) dilakukan di lebih dari satu negara, 2) persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain, 3) melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara, 4) berdampak serius pada negara lain.7 Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal business, corruption and bribery of public or party officials. Pada tahun 2000-an masyarakat internasional mulai memberi perhatian kepada isu-isu baru yang muncul (emergence of new issues) dalam hubungan internasional, diantaranya adalah illegal fishing yang juga dikategorikan sebagai jenis kejahatan transnasional yang baru.8 Berdasarkan pengertian di atas, illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia pun merupakan kejahatan transnasional. Illegal fishing yang bersifat lintas batas negara ini tidak saja menimbulkan kerugian negara secara ekonomi, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi keamanan laut Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah serius untuk mengatasinya. Berbagai ancaman aspek laut yang hingga saat ini masih menjadi perhatian dan diperlukan penanganan secara serius dan komprehensif, dapat dikategorikan menjadi empat ancaman, yaitu: 1) ancaman kekerasan (violence threat) berupa ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan berpotensi mengganggu dan membahayakan personel atau negara; 2) ancaman bahaya navigasi (navigational hazard) berupa ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi informasi pelayaran sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran;
6 Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 138-144. 7 Monica Serrano, Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?, Lynne Rienner Publishers, 2002, hal. 15-16. 8 Gunnar Stolsvik, Transnational organized fisheries crime as a maritime security issue, http://www. un.org/Depts/los/consultative_process/documents/9_gunnarstolsvikabtract.pdf - diakses 20 Mei 2011.

55

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

3) ancaman terhadap sumber daya laut (natural resources tribulation) berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta konflik pengelolaan sumber daya laut; dan 4) ancaman pelanggaran hukum (law transgression threat) berupa tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di laut, seperti illegal, unreported and unregulated fishing (IUU), illegal logging, illegal mining dan smuggling.9 Mengacu kepada persepsi di atas, menjadi jelas bahwa illegal fishing merupakan salah satu ancaman serius bagi keamanan laut yang harus diatasi, antara lain melalui pendekatan yang berdimensi internasional (seperti melalui pengembangan kerja sama bilateral dan regional), terlebih jika ancaman keamanan laut tersebut bersifat lintas negara. Hal ini pulalah yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam menangani kejahatan transnasional illegal fishing.

9 Tedjo Edhy Purdjiantoro, Peran TNI Angkatan Laut dalam Penegakan Kedaulatan Negara dan Keamanan di Laut, dalam Jurnal Diplomasi, Pusdiklat Departemen Luar Negeri, Vol. 1, No. 2, September 2009, hal. 33. Lihat juga, Sam Bateman, Building good order at sea in Southeast Asia, dalam Maritime Security in Southeast Asia, Eds. Kwa Chong Guan dan John K. Skogan, Routledge, 2007, hal. 97-116, dan Peter Cozens, Maritime Security and Oceans Policy, dalam Maritime Security: International Law and Policy Perspectives from Australia and New Zealand, Eds. Natalie Klein, Joanna Mossop dan Donald R. Rothwell, Routledge, 2010, hal. 155-171.

56

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana data dan informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara dianalisis secara kualitatif, untuk kemudian diinterpretasikan sesuai dengan makna yang terkandung dalam data dan informasi tersebut. Melalui penelitian deskriptif ini diharapkan akan diperoleh penjelasan dan jawaban yang memadai yang dapat menerangkan secara kualitatif permasalahan penelitian yang berkaitan dengan kejahatan transnasional illegal fishing di perairan Indonesia. B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melalui penelusuran informasi dan pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku, jurnal ilmiah, serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui berita/artikel surat kabar dan media online (internet). Kegiatan wawancara selain dilakukan di Jakarta, juga dilakukan di daerah yang memiliki persoalan serius dengan praktik-praktik illegal fishing. Pengumpulan data juga dilakukan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dan memahami permasalahan penelitian. Terkait dengan pengumpulan data melalui wawancara, narasumber yang diwawancarai, antara lain, pihak-pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri, TNI Angkatan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Polisi Air, Pakar, LSM, dan Asosiasi Nelayan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.
57

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian lapangan selain Jakarta adalah Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian lapangan di Jakarta, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah terkait dengan kegiatan wawancara dengan berbagai pihak yang berada di tingkat pusat. Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat adalah dua daerah di Indonesia, selain beberapa daerah lain, yang memiliki persoalan serius dengan praktik-praktik illegal fishing. Perairan di sekitar Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat, terutama di perairan Natuna, yang berdekatan dengan Laut China Selatan, adalah perairan yang rawan bagi terjadinya praktik-praktik illegal fishing. Penelitian lapangan di Provinsi Kepulauan Riau dilakukan pada bulan Mei 2011, dimana penulis menjadi bagian dari penelitian kelompok tentang Peran Diplomasi Indonesia dalam Mengatasi Kejahatan Transnasional, sedangkan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat dilakukan pada bulan Juli 2011, yang merupakan bagian dari penelitian individu penulis tentang Kejahatan Transnasional Illegal Fishing di Perairan Indonesia: Permasalahan dan Upaya Penanganannya.

58

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KELAUTAN INDONESIA 1. Potensi Kelautan Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya dan untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi:10 a. Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba, b. 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera, c. Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya, d. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya, e. Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion, f. Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
10 Diolah dari Ichwan Dwi, Potensi Kelautan Indonesia, dalam I-Geographpy, 7 Januari 2010, diperoleh dari http://one-geo-blogspot.com/2010/01/potensi-kelautan-indonesia.html - diakses 4 April 2011. Lihat juga Apridar, Ekonomi Kelautan, Graha Ilmu, 2010.

59

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

g. Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal. h. Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG. Prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang pernah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai 149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun. Potensi ekonomi kekayaan laut tersebut meliputi perikanan senilai 31,94 miliar dollar AS, wilayah pesisir lestari 56 miliar dollar AS, bioteknologi laut total 40 miliar dollar AS, wisata bahari 2 miliar dollar AS, minyak bumi sebesar 6,64 miliar dollar AS dan transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS.11 Potensi kelautan Indonesia tersebut salah satunya berada dalam kawasan WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan yang mengandung beragam potensi, seperti perikanan tangkap (224.000,5 ton), budidaya laut dan payau (17.363,29 ton), terumbu karang (50.718,3 hektar), bakau (50.489,2 hektar), dan padang lamun (11.489,6 hektar).12 Sejumlah potensi kelautan tersebut di atas merupakan sumber daya yang sangat potensial dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun, karena selama ini Indonesia telalu fokus kepada sumber daya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan.13 Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut Indonesia, khususnya sumber daya perikanan, dengan leluasa termasuk melalui cara-cara ilegal (illegal fishing). 2. Zona-zona Laut Indonesia Berkaitan dengan pengelolaan potensi laut Indonesia, terdapat tiga jenis laut yang penting bagi Indonesia, yaitu:14
11 Potensi Kekayaan Laut Indonesia Capai Rp 14.994 Triliun, Kompas 6 November 2009. 12 Wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau, yang diwakili oleh Syamsul Akbar, Abdul Khalik dan Taufik Zulfikar, di Tanjung Pinang, 9 Mei 2011. 13 Wawancara dengan Rokhmin Dahuri, Pakar Kelautan dan Guru Besar IPB, di Jakarta, 12 Juli 2011. 14 Hasjim Djalal, Mengelola Potensi Laut Indonesia, Seminar Nasional Hukum Laut, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 21 Desember 2005.

60

Simela Victor Muhamad

a. Laut yang merupakan wilayah Indonesia, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia;15 b. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia, yaitu suatu wilayah laut dimana Indonesia hanya hak-hak berdaulat atas kekayaan alamnya dan kewenangan-kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu;16 c. Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, artinya Indonesia mempunyai keterkaitan dengan wilayah laut tersebut meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan atau hak-hak berdaulat atas wilayah laut tersebut.17 Untuk mewujudkan suatu pengelolaan sumber daya laut yang optimal, Indonesia harus mengelola ketiga jenis laut tersebut secara sustainable dan menyeluruh bagi kepentingan bangsa Indonesia. Agar dapat optimal, pengelolaan laut Indonesia tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya laut saja tapi juga meliputi pengawasan penangkapan ikan, khususnya oleh kapal-kapal asing dan pengaturan zona-zona laut Indonesia sesuai dengan aturan regional maupun hukum internasional. Di wilayah laut jenis pertama, Indonesia mempunyai kedaulatan mutlak atas ruang maupun kekayaannya, namun mengakui adanya hak lewat/lintas (berdasar prinsip innocent passage, sea lanes passage, dan transit passage) bagi kapal-kapal asing. Sedangkan pada wilayah laut jenis yang kedua, di Zona Tambahan misalnya, pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan tertentu untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan di bidang bea cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, dan pengawasan imigrasi. Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam, terutama perikanan selain kewenangan lainnya (misalnya untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan serta pemberian izin pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunanbangunan lainnya). Jadi meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan mutlak di wilayah ZEE, namun Indonesia mempunyai hak atas penangkapan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah perairan ini.
15 Yang termasuk wilayah laut jenis ini adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial/laut wilayah yang lebarnya 12 mil dari garis pangkal. 16 Yang termasuk jenis laut ini adalah Zona Tambahan (Contiguous Zone), yaitu wilayah laut yang terletak 12 mil di luar Laut Wilayah atau 24 mil dari garis pangkal di sekeliling negara Indonesia, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang luasnya adalah 200 mil laut dari garis pangkal. 17 Wilayah laut yang termasuk dalam kategori ini adalah laut bebas yang berdekatan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, contohnya adalah Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di dua Samudera ini Indonesia mempunyai kepentingan didalamnya yang berkait dengan kelestariannya.

61

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

Sedangkan di wilayah laut jenis ketiga, Indonesia mempunyai kepentingan dalam mengelola sumber hayati untuk memelihara sustainability dari sumbersumber kekayaan alam di ZEEI.18 Dengan kata lain, Indonesia mempunyai the right to participate in the management and exploitation of high sea natural richness sepanjang hal tersebut masih berkaitan dengan kepentingan Indonesia. Artinya, Indonesia dapat mengelola sumber daya perikanan yang berada di laut bebas di luar wilayah ZEEI yang berkaitan erat dengan pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam hayati di ZEEI, seperti Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, khususnya yang berkaitan dengan jenis-jenis ikan yang mengembara (straddling stocks) dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi secara jauh (highly migratory species), seperti jenis ikan tuna bluefin. 3. Kendala Kelautan Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain:19 a. Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar, b. Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar AS per tahun, c. Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan, d. Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing, e. Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,
18 Pasal 63-67 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan adanya keterkaitan yang erat antara pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam hayati di ZEE dan di laut bebas di luarnya. 19 Wawancara dengan berbagai pihak, antara lain LSM Kiara, Rokhmin Dahuri, dan Bakorkamla di Jakarta pada bulan Juli 2011.

62

Simela Victor Muhamad

f. Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen, g. Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut, h. Masih adanya potensi bagi terjadinya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dapat menimbulkan konflik dan mengundang intervensi negara maju (AS dan Jepang). B. KEKAYAAN LAUT INDONESIA DAN ILLEGAL FISHING 1. Kekayaan Laut Indonesia Kekayaan laut Indonesia terdiri dari kekayaan laut hayati/perikanan, yang berupa berbagai jenis ikan dan kekayaan nabati berupa mineral, baik berupa mineral cair seperti migas, maupun mineral keras, misalnya nikel, tembaga, timah dan lain-lain. Selain itu, terdapat kekayaan lainnya yang belum sepenuhnya dikelola oleh Indonesia, seperti tenaga alam yang berasal dari arus laut, angin laut, perbedaan suhu air di bawah dan di permukaan laut serta geothermal di dasar laut. Jadi jelas bahwa perikanan bukan merupakan satusatunya produk pengelolaan laut nasional, karena laut juga mempunyai fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Aneka kekayaan sumber daya hayati laut yang ada di perairan Indonesia meliputi aneka jenis ikan, udang dan crustacea lainnya, molusca dan teripang, cumi, sephia, bunga karang, penyu laut, mamalia laut dan rumput laut. Adapun jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia meliputi ikan pelagis besar (seperti tuna, cakalang, marlin, tongkol, tengiri dan cucut); ikan pelagis kecil (layar, selar, layang, teri, tembang, lemuru, dan kembung); ikan demersial (seperti kakap, kerapu, manyung, pari, bawal, gulamah, layur, peperek, kuniran dan beloso); ikan karang komersial (contohnya napoleon, kerapu tikus, kakap merah, beronang, lencam dan ekor kuning); udang; lobster dan cumi-cumi.20 ZEE Indonesia merupakan kawasan laut yang perairannya hangat sepanjang
20 Keterangan tertulis DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kalimantan Barat, yang diperoleh saat wawancara di Pontianak, 27 Juli 2011.

63

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

tahun sehingga menjadi fishing ground aneka ikan pelagis bernilai ekonomis tinggi. Dilihat dari jumlah sumber daya laut perikanan yang sangat besar, maka wilayah laut Indonesia merupakan suatu ladang pendapatan nasional yang berpotensi sangat besar untuk memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat, sehingga laut bukan sekedar menjadi sarana penghubung antarpulau tapi merupakan suatu tempat penghasil devisa bagi negara. Saat ini, permintaan ikan tuna di pasar dunia terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran penduduk dunia untuk mengkonsumsi sumber protein dari ikan yang kaya akan Omega 3,6 dan 9.21 Namun sayangnya, penangkapan ikan di Indonesia belum dilakukan secara berkesinambungan (sustainable) di samping banyak pencurian ikan di laut (illegal fishing) di beberapa wilayah perairan Indonesia. Pencurian ikan terjadi karena terpicu oleh kebutuhan dan permintaan stock ikan tertentu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, khususnya yang merupakan konsumsi pengunjung restoran-restoran mahal di luar negeri. Illegal fishing terhadap ikan pelagis besar, sebagai misal, banyak dilakukan di kawasan ZEE Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal asing yang memiliki teknologi penangkapan ikan canggih. Sedang untuk ikan jenis demersial dan ikan-ikan eksotis lainnya ditangkap secara ilegal di daerah karang dengan jalan menggunakan bahan peledak dan atau bahan kimia.22 Penangkapan dengan cara ini yang dilakukan terus menerus dan dalam skala besar akan dapat merusak habitat ikan yang bisa mengarah kepada kepunahan ikan-ikan jenis tertentu. Jenis ikan tangkap yang berpotensi besar sebagai bahan yang dapat menyejahterakan rakyat banyak adalah perikanan lepas pantai (offshore fisheries). Misalnya, ikan pelagis besar yang merupakan ikan tropis yang operasional penangkapannya dapat dilakukan sepanjang tahun di wilayah ZEE Indonesia.23 Jadi penangkapan ikan di wilayah perairan ini tidak mengenal musim. Sebagai contoh, pada saat Australia musim dingin, banyak ikan yang bermigrasi ke ZEEI
21 Jepang adalah negara pengimpor ikan terbesar di dunia, sebagai misal, konsumsi ikan penduduk Jepang adalah 100kg/kapita/tahun, sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan tersebut 70% ikan pelagis besar masuk ke Jepang, sementara target produktivitas ikan Indonesia baru 26,8 kg/kapita/tahun. Ida Kusuma W., Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam FGD di P3DI Setjen DPR RI, 21 Juli 2011. 22 Hasil wawancara dengan pihak DKP Provinsi Kepulauan Riau, yang diwakili oleh Syamsul Akbar, Abdul Khalik dan Taufik Zulfikar, di Tanjung Pinang, 9 Mei 2011, dan juga wawancara dengan Gatot Rudiyono, Kepala DKP Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, 29 Juli 2011. 23 Wawancara dengan Gatot Rudiyono, Kepala DKP Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, 29 Juli 2011.

64

Simela Victor Muhamad

di sekitar Samudera Hindia. Demikian juga pada saat musim dingin di Filipina, ikan-ikan bermigrasi ke ZEEI Samudera Pasifik. Hal inilah yang menyebabkan nelayan-nelayan asing banyak melakukan illegal fishing di perairan Indonesia sehingga hampir sepanjang tahun nelayan-nelayan asing menangkap ikan di ZEEI. 2. Illegal Fishing a. Pengertian Illegal fishing (perikanan ilegal) saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU fishing. Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:24 1) Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan yang: a) dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) bertentangan dengan peraturan nasional dan/atau kewajiban internasional; c) dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut, atau ketentuan hukum internasional. Kegiatan illegal fishing di Indonesia adalah: a) penangkapan ikan tanpa izin; b) penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu; c) penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang dilarang; d) penangkapan jenis (spesies) ikan yang dilarang, atau tidak sesuai dengan izin. 2) Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan yang: a) tidak melapor atau melaporkan hasil tangkapan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, menyalahi peraturan perundangundangan nasional; b) dilakukan di area yang menjadi kompetensi RFMOs (Regional Fisheries
24 Ida Kusuma W., Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam FGD di P3DI Setjen DPR RI, 21 Juli 2011.

65

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

Management Organizations), namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan yang ditetapkan RFMOs tersebut. Unreported fishing di Indonesia adalah: a) pemalsuan data tangkapan, atau tidak melaporkan hasil tangkapan yang dengan sesungguhnya; b) membawa hasil tangkapan langsung ke negara lain (transhipment di laut). 3) Unregulated fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan: a) pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan, dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggungjawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan SDI sesuai hukum internasional; b) pada area yang menjadi kewenangan RFMOs, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota RFMOs, dengan cara yang tidak sesuai/bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari RFMOs tersebut. Unregulated fishing di perairan Indonesia, antara lain masih belum diaturnya: a) mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada; b) wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang; c) pengaturan aktivitas sport fishing; kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang. b. Illegal Fishing di Perairan Indonesia Penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan asing yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal (illegal fishing) mengalami peningkatan dalam beberapa tahun. Setiap tahun kapal yang diduga mencuri ikan di perairan Indonesia diperkirakan mencapai jumlah 1.000 buah. Namun yang berhasil ditangkap hanya sebagian kecil saja. Misalnya, berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan RI tahun 2007, pada tahun 2002 baru dapat ditangkap sebanyak 12 buah kapal ikan asing, kemudian tahun berikutnya menjadi 40 buah (2003), 85 buah (2004), 112 buah (2005), 132

66

Simela Victor Muhamad

buah (2006) dan 184 buah (2007).25 Sementara itu, 242 buah kapal berhasil ditangkap pada 2008 dan 203 buah pada 2009.26 Pada akhir 2010 lalu, dalam operasi jaring yang dilakukan oleh pihak kepolisian dari 9 Desember sampai 28 Desember 2010 di sejumlah wilayah perairan yang rawan illegal fishing, polisi berhasil menangkap 194 pelaku illegal fishing (diantaranya 144 orang Vietnam) dan telah menahan 31 kapal.27 Aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia terlihat seperti mengalami penurunan dalam tahun-tahun terakhir28, namun sesungguhnya masih tetap marak dan terus berlangsung di berbagai wilayah perairan Indonesia. Di Kalimantan Barat, misalnya, selama 2010 sebanyak 225 kapal asing pencuri ikan berhasil ditangkap, sebanyak 217 di antaranya hasil tangkapan petugas Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak dan 8 kapal lainnya ditangkap Direktorat Polisi Perairan Polda Kalimantan Barat. Kapal-kapal yang ditangkap PSDKP Pontianak merupakan hasil operasi Jaring Natuna 2010. Kegiatan illegal fishing banyak dilakukan oleh kapal ikan asing, baik terjadi di ZEEI Laut Cina Selatan maupun di perairan Kalimantan Barat. Kapal ikan asing tersebut umumnya berasal dari negara Thailand, Myanmar, RRC, Kamboja, Vietnam dan Malaysia.29 Kasus pencurian ikan membawa kerugian materiil yang sangat besar bagi Kalimantan Barat. Dalam satu tahun, daerah ini diprediksi merugi hingga 5 triliun rupiah.30 Illegal fishing juga menjadi persoalan serius di Kepulauan Riau. Kepulauan Riau berada di antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Karimata. Kepulauan Riau memiliki 2.408 Pulau besar dan kecil. Dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Luas wilayah Kepulauan Riau secara keseluruhan adalah sebesar 252.601 Km2. Sebanyak 95% dari luas wilayah tersebut merupakan lautan dan sisanya sebanyak 5% merupakan wilayah darat. Di sebelah Utara Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja,
25 Syamsumar Dam, Masalah Illegal Fishing dalam Bab I Pendahuluan, dalam Japanton Sitohang (ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia Di Laut Arafura dan Laut Timor, Jakarta: LIPI Press, 2009, hal. 5-6. 26 2009, Pelanggaran Illegal Fishing Turun, Pelita, 7 Januari 2010. 27 Polri Klaim Telah Tangkap 194 Pelaku Illegal Fishing, diperoleh dari http://koranbogor.wordpress. com/2010/12/17/polri-klaim-telah-tangkap-194-pelaku-illegal-fishing/ - diakses 9 Juni 2011. 28 Hal ini, antara lain, dikatakan oleh pihak DKP Provinsi Kepulauan Riau, yang diwakili oleh Syamsul Akbar, Abdul Khalik dan Taufik Zulfikar, dalam wawancara di Tanjung Pinang, 9 Mei 2011. 29 Hasil wawancara dengan Suparman, petugas Stasiun PSDKP Pontianak, AKBP Sukandar, Direktur Polair Polda Kalimantan Barat, 28 Juli 2011, dan Gatot Rudiyono, Kepala DKP Kalimantan Barat, di Pontianak, 29 Juli 2011. 30 Hasil Lelang 225 Kapal Asing Tak Diketahui, Harian Equator, 26 Maret 2011 diperoleh dari http:// www.equator-news.com/utama/hasil-lelang-225-kapal-asing-tak-diketahui - diakses 10 Juni 2011.

67

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi, kemudian sebelah Barat berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau, dan terakhir sebelah Timur berbatasan dengan Malaysia, Brunei, dan Provinsi Kalimantan Barat. Karena berbatasan langsung dengan negaranegara tetangga maka Kepulauan Riau yang memiliki perairan kaya akan ikan merupakan tempat yang paling strategis bagi terjadinya illegal fishing.31 Illegal fishing telah terjadi sejak 1970an di Kepulauan Riau, namun sampai saat ini aparat, khususnya DKP Kepulauan Riau, mengalami kesulitan membendung terjadinya dan melakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut. Realitas yang terjadi saat ini menyebutkan bahwa angka terjadinya illegal fishing semakin meningkat setiap tahunnya. Data Kementerian Kelauatan dan Perikanan pada Tahun 2010 mencatat adanya tren peningkatan kapal perikanan asing memasuki perairan Indonesia. Hingga akhir 2010, tercatat 116 kapal ikan ilegal tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 diantaranya adalah kapal ikan asing. Kerugian akibat illegal fishing diyakini cukup besar.32 Maluku juga menjadi salah satu daerah lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serius terkait dengan aktivitas illegal fishing. Sebagai bagian dari wilayah timur Indonesia yang memiliki luas wilayah 712.479,65 km2, dimana 92,4% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan, menjadikan perairan Maluku kaya akan sumber daya perikanan sekaligus rawan akan aksi illegal fishing.33 Laut Banda, Laut Aru, dan Laut Arafura merupakan golden fishing ground yang selalu menjadi rebutan perusahaan perikanan baik nasional maupun mancanegara. Oleh karena itu, pada kawasan perairan ini selalu terjadi berbagai bentuk kegiatan ilegal, termasuk illegal fishing.34 Dari operasi jaring minggu pertama bulan Desember 2010 saja ditemukan 6 kasus illegal fishing di perairan Maluku.35

31 Wawancara dengan Kolonel Laut Didit Maryono, Asintel Lantamal IV, di Tanjung Pinang, 10 Mei 2011. 32 Wawancara dengan pihak DKP Provinsi Kepulauan Riau, yang diwakili oleh Syamsul Akbar, Abdul Khalik dan Taufik Zulfikar, dalam wawancara di Tanjung Pinang, 9 Mei 2011. 33 Perairan Maluku Marak Aksi Ilegal Lintas Negara, Tribunnews.com, 24 Februari 2011, diperoleh dari http://www.trbunnews.com/2011/02/24/perairan-maluku-marak-aksi-ilegal-lintas-negara - diakses 10 Juni 2011. 34 Lihat sambutan Wakil Gubernur Maluku, Said Assegaf, dalam pembukaan Rapat Koordinasi Terbatas (RAKORTAS) Satuan Tugas (Satgas) III Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) RI di Ambon, 24 Februari 2011. RAKORTAS Satgas III Bakorkamla RI di Ambon, diperoleh dari http://koarmatim.tnial.mil.id/index.php?option=com.... Diakses 10 Juni 2011. 35 Operasi Jaring 2010: 22 Kasus Terungkap, 194 Tersangka Ditangkap, diperoleh dari http:// 72.9.148.187/showthread.php?p=561620 diakses 10 Juni 2011.

68

Simela Victor Muhamad

Kegiatan perikanan ilegal tersebut biasanya beroperasi di wilayah perbatasan dan perairan internasional, antara lain: 1) Perairan Timur Indonesia, seperti: a) Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru) b) Laut Maluku, Laut Halmahera c) Perairan Tual d) Laut Sulawesi e) Samudra Pasifik f) Perairan Indonesia-Australia g) Perairan Kalimantan Timur 2) Perairan Barat Indonesia, seperti: a) Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan b) Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) c) Selat Malaka d) Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga) e) Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat) f) Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan) g) Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat) c. Penyebab Terjadinya Illegal Fishing Berdasarkan wawancara dengan berbagai pihak, antara lain dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Barat, diperoleh keterangan bahwa penyebab utama terus terjadinya kegiatan illegal fishing, antara lain, adalah:36 1) Terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan, 2) Terbatasnya dana untuk operasional pengawasan, 3) Terbatasnya tenaga polisi perikanan dan PPNS, 4) Masih terbatasnya kemampuan nelayan Indonesia dalam memanfaatkan potensi perikanan di perairan Indonesia, terutama ZEE; 5) Kebutuhan sumber bahan baku di negara pelaku illegal fishing sudah menipis akibat praktik industrialisasi kapal penangkapnya sehingga daya tumbuh ikan tidak sebanding dengan jumlah yang ditangkap, dan sebagai akibatnya, mereka melakukan ekspansi hingga ke wilayah Indonesia; 6) Kemampuan memantau setiap gerak kapal patroli pengawasan di laut dapat diketahui oleh kapal ikan asing karena alat komunikasi yang canggih, sehingga
36 Wawancara dengan pihak DKP Provinsi Kepulauan Riau yang diwakili oleh Syamsul Akbar, Abdul Khalik dan Taufik Zulfikar, di Tanjung Pinang, 9 Mei 2011, dan dengan Gatot Rudiyono, Kepala DKP Kalimantan Barat, di Pontianak, 29 Juli 2011.

69

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

hasil operasi tidak optimal. Khusus di wilayah Barat, pelanggaran kegiatan perikanan banyak terjadi di Laut Natuna dan ZEEI di Laut Cina Selatan, di mana pelakunya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, umumnya adalah kapal ikan asing yang berasal dari Vietnam, RRC, Myanmar, Thailand dan Malaysia, sedangkan di Selat Malaka dilakukan nelayan Malaysia (karena secara khusus bersinggungan dengan persoalan batas laut wilayah yang belum selesai antara RI dan Malaysia).37 Luasnya wilayah dan jauhnya letak pengadilan perikanan dengan locus delicti illegal fishing juga menjadi faktor penyebab meningkatnya illegal fishing. Karena jarak tersebut terkadang perkara tidak terselesaikan tepat waktu dan kerugian negara tidak dapat diselamatkan. Karena banyaknya kasus yang tidak terselesaikan para pelaku menganggap sepele hal tersebut.38 Kurangnya koordinasi antarinstansi yang memiliki kewenangan mengatasi perkara tindak pidana illegal fishing di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab terus terjadinya illegal fishing. Hal tersebut diperburuk dengan tumpang tindihnya kewenangan yang dimiliki antarinstansi dan tidak terdapatnya keseragaman pemahaman antarinstansi yang memiliki kewenangan mengatasi perkara tindak pidana illegal fishing, khususnya pemahaman mengenai tindakan hukum yang harus ditempuh dan komitmen operasi kapal pengawasan ZEE. d. Modus Operandi Berdasarkan wawancara dengan berbagai sumber,39 kegiatan illegal fishing dilakukan dengan modus operandi tertentu. Biasanya terkait dengan upaya untuk mengelabui petugas, waktu operasi dan lokasi penangkapan ilegal, serta keterlibatan dengan oknum aparat. Tentunya, modus ini akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan respons negara terhadap kegiatan perikanan ilegal.

37 Wawancara dengan Kolonel U.K. Agung, Satgas I Bakorkamla Wilayah Barat, di Batam 13 Mei 2011. 38 Wawancara dengan Wakil Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau, di Tanjung Pinang, 11 Mei 2011. 39 Ida Kusuma W., Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam FGD di P3DI Setjen DPR RI, 21 Juli 2011, dan juga wawancara dengan berbagai pihak di daerah, antara lain dengan pihak Bea Cukai dan DKP Kepulauan Riau di Tanjung Pinang, bulan Mei 2011, dan pihak PSDKP Pontianak dan Ditpolair Polda Kalimantan Barat di Pontianak, bulan Juli 2011.

70

Simela Victor Muhamad

1) Modus Untuk Mengelabui Kapal ilegal, terutama kapal asing, menggunakan berbagai modus untuk mengelabui aparat keamanan atau aparat pemerintah Indonesia. Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan nama kapal berbahasa Indonesia. Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand. Modus penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura. Satu buah izin penangkapan digandakan untuk 10 kapal. Perusahaan membuat atau memiliki 10 kapal dengan bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama. Dengan demikian, satu buah izin kapal yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan untuk 10 kapal yang dimilikinyakarena memiliki bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama sehingga bisa mengelabui aparat yang melakukan operasi kapal ilegal. Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5 izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar. Modus lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia. Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa Indonesia. Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus tersendiri. Kapal pembom ikan pergi menuju daerah sasaran tanpa membawa peralatan bom ikan. Di tengah laut, peralatan pemboman dikirim dengan kapal lain. Setelah itu kapal akan melakukan pemboman di daerah dan waktu tertentu. 2) Waktu Tertentu Kegiatan penangkapan oleh kapal ilegal dilakukan pada waktu tertentu, terutama pada saat musim barat. Kapal ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar kapal pencuri ikan di saat musim barat.
71

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

3) Penyebaran Lokasi Seperti telah disebutkan di atas, kapal asing yang illegal selalu beroperasi di wilayah perbatasan dan perairan internasional, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menangkap kapal tersebut. Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand yang tertangkap oleh patroli. Modus lain juga dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara 5-7 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut melakukan transhipment di tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk selanjutnya dibawa ke Thailand. 4) Kerja sama dengan Aparat Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat sangatlah kuat karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan memakai bendera Indonesia. Kerjasama antara oknum aparat, pengusaha ikan di darat, dan operator kapal ikan di laut sangatlah sistematis. Oknum aparat memberitahukan perusahaan di darat bahwa akan dilakukan operasi kapal ilegal. Berdasarkan informasi ini, perusahaan di darat menginstruksikan kapalnya yang sedang beroperasi di laut untuk berpindah agar menghindari operasi aparat. Dengan demikian, kapal operasi tidak menemukan kapal ilegal, dan jika ada yang tertangkap, bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan belaka. e. Dampak iIlegal fishing Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia. Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek
72

Simela Victor Muhamad

perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia terkesan memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional. Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta. Estimasi lain menyebutkan, penangkapan ikan secara ilegal itu telah merugikan negara per tahun Rp 30 triliun,40 karena telah ikut menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan, disamping telah mengancam sumber daya perikanan kelautan. Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan. Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
40 Hal ini diutarakan Ida Kusuma W., Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam FGD di P3DI Setjen DPR RI, 21 Juli 2011. Kerugian ekonomi akibat illegal fishing bukan hanya berupa kehilangan pendapatan negara yang mencapai Rp 30 triliun per tahun, tetapi juga hilangnya peluang 1 juta ton ikan setiap tahunnya yang harus ditangkap (dipanen) oleh nelayan Indonesia, malah dicuri oleh nelayan asing. Lihat, Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2010, hal. 8.

73

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah. Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional. Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai. Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan. Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan. Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negatif pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil
74

Simela Victor Muhamad

penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitas penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan. 3. Penanganan Praktik Illegal Fishing Secara Regional Di Asia Tenggara Kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai kawasan yang potensial untuk dilakukan kegiatan penangkapan ikan. Hal ini didasari oleh daya dukung lingkungan kawasan yang masih memungkinkan untuk diadakannya kegiatan penangkapan ikan, bila dibandingkan dengan kawasan lain yang sudah tidak potensial dan tidak didukung oleh lingkungan laut. Negara-negara di kawasan kemudian menyadari bahwa upaya penanggulangan terhadap praktik penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) tidak dapat dilakukan sendiri di dalam negeri, melainkan harus dilakukan dengan cara bekerja sama dengan negara lain. Upaya kerja sama ini perlu dilakukan karena sifat kejahatan penangkapan ikan ilegal yang telah melintasi batas negara dan sifat sumber daya ikan itu sendiri yang bermigrasi jauh dari batas yurisdiksi suatu negara yang imajiner masuk ke wilayah yurisdiksi negara lain. Penanggulangan terhadap praktik illegal fishing pun tidak dilakukan dengan cara-cara militer atau mengangkat senjata. Hal ini lebih kepada sifat penangkapan ikan ilegal yang lebih ke arah ekonomis dan pemenuhan kebutuhan. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada praktik penangkapan ikan ilegal memang telah menyentuh kedaulatan suatu negara pantai, seperti pelanggaran yurisdiksi, masuk ke wilayah laut teritorial dan melakukan penangkapan ikan, namun tidak lantas memerlukan penyelesaian pelanggaran dengan cara penempatan militer. Praktik penangkapan ikan ilegal akan dapat ditanggulangi secara efektif dan efisien dengan upaya-upaya preventif dan kerja sama. Selain kerja sama regional yang beranggotakan negara-negara di dunia, kerja sama dalam aspek kelautan dan perikanan juga berada di Regional Fisheries Management Organization (RFMO).41 Secara umum, RFMO bergerak pada prinsip untuk membangun perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dan perannya adalah mengelola konservasi sumber daya perikanan. Pada awalnya, peran RFMO hanya seputar pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi sumber daya perikanan. Namun, sekarang ini dengan adanya tuntutan pasar, kuota pasar pun ikut ditentukan oleh RFMO. Selain itu, karena maraknya praktik
41 Marry Anne Palma, Martin Tsamenyi dan William Edeson, Promoting Sustainable Fisheries, Martinus Nijhoff Publishers, 2010, Hal. 201-209.

75

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

penangkapan ikan, yang diantaranya juga menggunakan teknik dan metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif, maka akhir-akhir ini sangat besar perhatian RFMO terhadap praktik penangkapan ikan ilegal. Hal ini semakin membuat RFMO mempunyai peran yang besar dalam upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. RFMO merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang perikanan, yang beranggotakan negara-negara pantai yang memiliki sumber daya ikan yang perlu dijaga keberlangsungannya. Selain beranggotakan negara, RFMO juga beranggotakan organisasi-organisasi lain yang mempunyai kepentingan akan sumber daya ikan. Pada umumnya, keanggotan negaranegara yang tergabung dalam RFMO bersifat contracting party, dimana negaranegara tersebut tetap berada dalam koridor hukum positifnya apabila terjadi permasalahan atau sengketa bidang perikanan yang terjadi di wilayah perairan negaranya, namun negara-negara anggota RFMO mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap organisasi tersebut. Kewajiban tersebut antara lain penyediaan informasi praktik penangkapan ilegal tepat waktu, sedikitnya satu kali dalam satu tahun kepada RFMO dan FAO. Pada umumnya, perairan yang menjadi wilayah kompetensi RFMO adalah ZEE suatu negara pantai dan laut lepas (high seas). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang ditetapkan oleh RFMO di ZEE tentu harus sejalan dengan yang telah ditetapkan oleh negara pantai pemilik hak berdaulat terhadap suatu perairan ZEE dan penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut bukan merupakan tindakan yang melangkahi wewenang negara pantai sebagai pemilik hak berdaulat terhadap ZEE. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang ditetapkan oleh RFMO berkaitan dengan upaya RFMO untuk menjaga keberlangsungan eksistensi sumber daya ikan agar tidak mengalami overfishing. Apabila terdapat praktik penangkapan ikan ilegal yang terjadi di perairan kompetensi RFMO, maka RFMO akan meminta negara anggota RFMO untuk mengambil tindakan tegas terhadap kapal penangkap ikan yang melakukan praktik penangkapan ikan ilegal tersebut. Peran RFMO ini harus diyakini sebagai upaya membantu peran negara pantai untuk menciptakan kondisi perikanan dalam negeri yang baik, dan tidak boleh dipandang sebagai upaya tumpang tindih peran. Selain eksistensi RFMO yang telah menjadi organisasi pendukung terciptanya kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab, sebagai upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal yang marak terjadi di Asia Tenggara, negara-negara yang tergabung dalam kawasan tersebut sepakat
76

Simela Victor Muhamad

untuk bekerja sama dan mengikatkan dirinya dalam kerja sama regional penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Kerja sama tersebut tidak hanya dilatarbelakangi oleh keinginan negara dalam bertukar informasi dan alih teknologi saja, namun lebih karena karakteristik kerja sama di Asia Tenggara yang membutuhkan kerja sama maritim. Hal ini karena kondisi geografis Asia Tenggara yang sebagian besar berupa semi-enclosed sea dan sebagian besar wilayah laut Asia Tenggara yang masuk menjadi kedaulatan suatu negara atau beberapa negara, merupakan jalur lalu lintas perdagangan dunia, seperti contohnya Selat Malaka. Dalam konteks Selat Malaka, ada dua latar belakang diadakannya kerja sama maritim. Pertama, posisi geografis Selat Malaka yang berada di bawah tiga yurisdiksi yang berbeda, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dan menempatkan tanggung jawab pengamanan selat ini berada dalam tiga negara tersebut. Kedua, karena Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran strategis dunia yang memiliki posisi penting dalam konteks hubungan antarnegara dan bangsa dan posisi penting tersebut mempengaruhi dinamika stabilitas nasional, regional dan global.42 Kondisi ini membuat Indonesia, Malaysia dan Singapura merasa perlu melakukan kerja sama maritim. Latar belakang pertama adalah posisi Selat Malaka yang berada dalam tiga yurisdiksi sekaligus karena wilayah Selat Malaka bersinggungan dengan tiga negara di atas. Latar belakang kedua karena tiga negara tersebut merasa dengan posisi strategis, Selat Malaka rentan terhadap berbagai macam bentuk ancaman yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Dengan kata lain, dalam konteks di atas, faktor terlaksananya kerja sama maritim yang dilakukan tiga negara tersebut didasari atas kondisi geografis dan kondisi politis Selat Malaka. Dalam konteks maritim di Asia Tenggara, ada dua negara yang mempunyai kepentingan sebagai kekuatan maritim, yaitu Indonesia dan Australia. Kepentingan menjadi kekuatan maritim di Asia Tenggara bagi kedua negara ini adalah karena dua negara ini memiliki kepentingan yang besar atas sumber daya hayati perikanan di Asia Tenggara. Kepentingan akan sumber daya hayati perikanan, oleh kedua negara ini diimplementasikan dalam kerja sama perikanan dan kerja sama dalam penanggulangan praktik illegal fishing. Australia dan Indonesia berpendapat bahwa negara-negara di Asia Tenggara memerlukan kerja sama dalam mencari solusi menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal dan mengembangkan praktik penangkapan ikan yang bertanggung
42 Ardius Zainuddin, Konsepsi Strategi Penanganan Keamanan Selat Malaka, Makalah Seminar Create a Regional Information Network to Manage Safe and Efficient Navigation along Malacca Strait, Jakarta 22 Juni 2005.

77

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

jawab. Kemudian, disetujui bahwa joint regional action merupakan pendekatan terbaik dalam mengatasi permasalahan ini, dengan catatan bahwa dengan kerja sama dapat meminimalisir pengeluaran negara dan kesulitan negaranegara menerapkan penegakan hukum dalam upaya memerangi nelayan yang melakukan praktik illegal fishing.43 Kerja sama tersebut diberi nama Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region. Kerja sama RPOA merupakan adopsi dari Internasional Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Langkah adopsi rejim internasional tersebut ke dalam rejim regional merupakan amanat yang diatur secara tegas dalam IPOA ketentuan mengenai Cooperation between States, yang menegaskan bahwa negara-negara di kawasan perlu melakukan, antara lain, pertukaran data atau informasi mengenai kapal perikanan sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku; kerja sama dalam transfer keahlian dan teknologi; mengembangkan mekanisme kerja sama dalam merespons praktik penangkapan ikan ilegal; dan kerja sama dalam monitoring, control and surveillance (MCS), termasuk melalui perjanjian atau kesepakatan internasional. Menurut RPOA, manajemen dan ketersediaan data dan informasi yang akurat merupakan hal yang penting dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan dan menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal. Data yang akurat mengenai jumlah kapal penangkap ikan dan kegiatan penangkapan ikan sangat diperlukan dalam upaya menegakkan perikanan yang bertanggung jawab. Pertukaran data ikan yang bermigrasi jauh yang melintasi batas yurisdiksi negara juga penting adanya, selain informasi-informasi teknis lainnya. Data-data tersebut merupakan kewajiban yang harus disediakan oleh negara pantai, selain juga mengatur fishing capacity yang dapat dilakukan di perairannya. Sementara itu, dalam upaya meminimalisir penangkapan ikan ilegal dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, negara-negara harus bekerja sama dalam implementasi ketentuan-ketentuan regional market untuk mengidentifikasi dan menelusuri dari mana ikan yang ditangkap dalam marketing chain melalui hukum perdagangan internasional yang berlaku. Sebagai prioritas utama, negaranegara harus mempunyai dokumen standar terkait dengan penangkapan dan pendaratan ikan dan negara-negara harus bekerja sama dengan organisasi regional.
43 APEC Fisheries Working Group, Assessment of Impact of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Asia-Pacific, Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat, 2008, hal. 53.

78

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia merupakan tindak kejahatan transnasional, karena dilakukan secara lintas batas dan melibatkan pihak asing dibelakangnya. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dimana sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru serta menjadi salah satu prime mover (penghela) pembangunan nasional, maka Indonesia perlu memiliki komitmen kuat untuk mengatasi kejahatan transnasional illegal fishing yang sangat merugikan kepentingan nasional itu. Upaya Indonesia untuk mengatasi kejahatan transnasional illegal fishing adalah tidak mudah dan juga tidak cukup dilakukan oleh pemerintah Indonesia semata. Kerja sama secara regional dengan negara-negara di kawasan perlu dibangun dan dikembangkan untuk menangani kejahatan yang bersifat lintas negara ini. Melalui pengembangan kerja sama secara regional diharapkan akan terbangun kesamaan pandangan dan langkah diantara negara-negara sekawasan dalam menyikapi kejahatan transnasional illegal fishing. Regional Fisheries Management Organization (RFMO) dan Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region adalah rejim kerja sama internasional yang dapat diandalkan oleh Indonesia untuk menanggulangi praktik-praktik illegal fishing di perairan Indonesia dan juga kawasan Asia Tenggara. B. Rekomendasi Secara internal, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah yang lebih konkret dalam rangka menanggulangi praktik-praktik illegal fishing, antara lain: memperbanyak kapal penangkap ikan dengan ukuran di atas 30 GT, berikut kelengkapan teknologi mutakhir, agar lebih mampu menjangkau wilayah pengelolaan ZEE Indonesia sekaligus menandai kehadiran Indonesia
79

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

secara konsisten (continuous presence) sebagai hak pengelolaan (sovereign rights) secara efektif dalam menjaga perairan eksklusifnya. Dalam konteks regional, Indonesia, yang wilayah perairannya sering menjadi sasaran praktik-praktik illegal fishing, perlu mengambil inisiatif yang lebih besar dalam peningkatan kerja sama menanggulangi penangkapan ikan ilegal di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu untuk DPR, melalui pelaksanaan fungsi pengawasannya, harus memastikan bahwa pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah lebih serius lagi dalam mengatasi masalah illegal fishing.

80

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Jurnal/Makalah Apridar, Ekonomi Kelautan, Graha Ilmu, 2010. Bateman, Sam. Building good order at sea in Southeast Asia, dalam Maritime Security in Southeast Asia, Eds. Kwa Chong Guan dan John K. Skogan, Routledge, 2007, hal. 97-116. Cozens, Peter. Maritime Security and Oceans Policy, dalam Maritime Security: International Law and Policy Perspectives from Australia and New Zealand, Eds. Natalie Klein, Joanna Mossop dan Donald R. Rothwell, Routledge, 2010, hal. 155-171. Dahuri, Rokhmin. Cetak Biru Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat, PKSPL-IPB, 2010. Dam, Syamsumar. Masalah Illegal Fishing dalam Bab I Pendahuluan, dalam Japanton Sitohang (ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia Di Laut Arafura dan Laut Timor, Jakarta: LIPI Press, 2009. Djalal, Hasjim. Mengelola Potensi Laut Indonesia, Makalah Seminar Nasional Hukum Laut, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 21 Desember 2005. Jemadu, Aleksius. Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Palma, Marry Anne, Martin Tsamenyi dan William Edeson, Promoting Sustainable Fisheries, Martinus Nijhoff Publishers, 2010. Purdjiantoro, Tedjo Edhy. Peran TNI Angkatan Laut dalam Penegakan Kedaulatan Negara dan Keamanan di Laut, dalam Jurnal Diplomasi, Pusdiklat Departemen Luar Negeri, Vol. 1, No. 2, September 2009, hal. 27-48. Serrano, Monica. Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?, Lynne Rienner Publishers, 2002.
81

Kejahatan Transnasional Illegal Fishing Di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional Di Asia Tenggara

Solihin, Akhmad. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2010. Zainuddin, Ardius. Konsepsi Strategi Penanganan Keamanan Selat Malaka, Makalah Seminar Create a Regional Information Network to Manage Safe and Efficient Navigation along Malacca Strait, Jakarta 22 Juni 2005. APEC Fisheries Working Group, Assessment of Impact of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Asia-Pacific, Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat, 2008. Media Online Hasil Lelang 225 Kapal Asing Tak Diketahui, Harian Equator, 26 Maret 2011 diperoleh dari http://www.equator-news.com/utama/hasil-lelang-225kapal-asing-tak-diketahui - diakses 10 Juni 2011. Ichwan Dwi, Potensi Kelautan Indonesia, dalam I-Geographpy, 7 Januari 2010, diperoleh dari http://one-geo-blogspot.com/2010/01/potensi-kelautanindonesia.html - diakses 4 April 2011. Operasi Jaring 2010: 22 Kasus Terungkap, 194 Tersangka Ditangkap, diperoleh dari http://72.9.148.187/showthread.php?p=561620 diakses 10 Juni 2011. Perairan Maluku Marak Aksi Ilegal Lintas Negara, Tribunnews.com, 24 Februari 2011, diperoleh dari http://www.trbunnews.com/2011/02/24/perairanmaluku-marak-aksi-ilegal-lintas-negara - diakses 10 Juni 2011. Polri Klaim Telah Tangkap 194 Pelaku Illegal Fishing, diperoleh dari http:// koranbogor.wordpress.com/2010/12/17/polri-klaim-telah-tangkap-194pelaku-illegal-fishing/ - diakses 9 Juni 2011. RAKORTAS Satgas III Bakorkamla RI di Ambon, diperoleh dari http:// koarmatim.tnial.mil.id/index.php?option=com.... Diakses 10 Juni 2011. Stolsvik, Gunnar, Transnational organized fisheries crime as a maritime security issue, http://www.un.org/Depts/los/consultative_process/documents/ 9_gunnarstolsvikabtract.pdf - diakses 20 Mei 2011. Surat Kabar Potensi Kekayaan Laut Indonesia Capai Rp 14.994 Triliun, Kompas 6 November 2009.

82

Simela Victor Muhamad

Informan Wawancara, antara lain Ditjen KIPS Kemlu, LSM Kiara, Rokhmin Dahuri, Ida Kusuma W. (Sekretaris Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan), DKP Provinsi Kepulauan Riau, DKP Provinsi Kalimantan Barat, DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kalimantan Barat, Kolonel Laut Didit Maryono (Asintel Lantamal IV Tanjung Pinang), Suparman (petugas Stasiun PSDKP Pontianak), AKBP Sukandar (Direktur Polair Polda Kalbar), Kolonel U.K. Agung (Satgas I Bakorkamla Batam), Wakil Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau, Bea Cukai Tanjung Pinang.

83

Bagian Keempat FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PROVINSI BALI Marfuatul Latifah

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada akhir tahun 2004 seorang warga Negara Australia Schapelle Leigh Corby, tertangkap tangan membawa ganja sebesar 4,2 Kg di bandara Ngurah Rai Denpasar Bali, atas peristiwa tersebut Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun dan denda sebesar 100 juta rupiah bagi Corby. Corby didakwa bersalah atas kepemilikan Ganja yang merupakan narkotika golongan I1 dan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Kasus Corby adalah salah satu contoh bahwa saat ini telah terjadi pergeseran paradigma kejahatan. Kejahatan tidak hanya dilakukan menggunakan metode konvensional yang hanya terjadi di satu Negara dan dengan jenis-jenis terbatas. Kejahatan dilakukan dengan metode yang lebih canggih lebih terorganisir dan dilakukan melampaui batas Negara. Kejahatan ini merupakan masalah yang sangat serius yang kemudian pada tingkat tertentu dapat mengancam keamanan dan stabilitas nasional, regional maupun internasional. Kejahatan tersebut biasa disebut sebagai kejahatan transnasional (KT). KT merupakan salah satu perkembangan yang terjadi terhadap hukum pidana pada abad 21. Hal tersebut karena KT membawa perubahan mendasar terhadap asas hukum, norma hukum, lembaga penegakan hukum serta pemahaman aparat penegak hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan KT.2 Perkembangan teknologi yang pesat akhir-akhir ini menimbulkan sebuah era yang disebut sebagai Globalisasi dan Keberadaan KT merupakan dampak nyata dari Globalisasi. Menurut Thomas L. Friedman, globalisasi adalah sebuah sistem dunia abad 21 yang menitikberatkan kepada
1 Indriyanto Seno Adji, Kasus SL Corby: Keadilan Semu? dalam humanisme dan pembaruan penegakan hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hal. 258. 2 Robert Cryer, An Introduction to International Criminal Law an Procedure, Cambridge University Press, 2007, hal. 281.

87

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

integrasi dunia yang tidak mengenal sekat sama sekali. Oleh karena itu, globalisasi berdampak pada perluasan dalam kehidupan manusia dari lingkup lokal menjadi lingkup global yang dapat diakses secara luas dan mudah. Beberapa saat lalu Indonesia masih menjadi tempat transit bagi KT. Namun, keadaan tersebut mengalami pergeseran. Saat ini Indonesia telah menjadi sasaran dan sumber dari berbagai TP transnasional.3 Hal tersebut karena Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis batas panjang dan terbuka, Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang sangat banyak disisi lain, Indonesia merupakan Negara berkembang yang di dalamnya belum memiliki kemampuan ekonomi yang mapan serta penegakan hukum yang yang belum berjalan dengan semestinya sehingga dalam waktu yang singkat Indonesia menjadi wilayah yang potensial bagi KT. Salah satu jenis KT adalah perdagangan gelap Narkotika. Perdagangan gelap narkotika merupakan bagian dari TP narkotika (TP narkotika). TP narkotika merupakan salah satu kejahatan yang krusial karena menyangkut generasi suatu bangsa terutama generasi muda.4 TP narkotika pada dasarnya terbagi atas penyalahgunaan narkoba dan peredaran narkoba secara illegal. Pembagian tersebut karena yang diklasifikasikan dalam TP narkotika tidak hanya perbuatan mengedarkan narkotika secara illegal, orang yang melakukan penyalahgunaan terhadap narkotika juga termasuk dalam klasifikasi dari TP narkotika. Indonesia telah melakukan banyak upaya guna memberantas TP narkotika. upaya yang pertama dilakukan dengan membentuk peraturan hukum terkait dengan TP narkotika. Peraturan hukum TP narkotika telah banyak dibentuk dan diberlakukan oleh di Indonesia antara lain UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian diubah melalui UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dimana substansi perubahannya terkait dengan kegiatan Indonesia merativikasi Konvensi mengenai Narkotika dan Psikotropika. Dua belas tahun kemudian Pemerintah Indonesia kembali melakukan perubahan terhadap peraturan hukum terkait TP narkotika. Perubahan tersebut dilakukan melalui UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3 Kartini Sekartadji dan Rahayu, Implementasi Convention Against Transnational Organized Crime dalam Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal 7. 4 Kapolri: Terorisme, Narkoba Bersinergi Hancurkan Moral Generasi Muda. 2011(http://www. indonesia.go.id/in/setingkat-menteri/kepolisian-negara-republik-indonesia.html, diakses tanggal 15 Oktober 2011).

88

Marfuatul Latifah

Selain membentuk UU, pemerintah juga membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), melalui Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah sebuah Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait. Ketika BKKN dirasakan tidak lagi memadai guna menghadapi ancaman bahaya narkotika, dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Tugas BNN tidak berbeda dengan BKKN sebagai koordinator dalam masalah narkotika, namun BNN memiliki kewenangan operasional terhadap penegakan hukum TP narkotika.5 Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah melakukan berbagai kerjasama luar negeri baik secara bilateral maupun secara multilateral guna mempermudah upaya penegakan hukum terhadap TP narkotika. Sebagai contoh Perjanjian Ekstradisi dengan Australia, Thailand dan beberapa negara lainnya, dan juga membentuk perjanjian dalam bentuk Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) dengan Australia, China, Hongkong dan negaranegara lainnya.6 Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mencegah kasus TP narkotika seperti penyempurnaan aturan hukum, intensifikasi penyuluhan kepada masyarakat umum, dan pengetatan penegakan hukum, terkesan kurang efektif dalam mengurangi jumlah pelaku TP narkotika di Indonesia. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, terdapat peningkatan jumlah kasus Narkotika. Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus, pada 2010 jumlah tersebut meningkat menjadi 30.668 kasus dengan rata-rata kenaikan 17,84% per tahun.7 Bali merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Australia dan merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki banyak penerbangan langsung dari banyak negara di dunia. Bali juga berada dalam posisi ke -16 peringkat kasus narkotika di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, Bali telah melakukan upaya-upaya guna menekan angka kasus Narkotika. Realitas yang terjadi di Bali mungkin akan berimplikasi terhadap penegakan hukum TP Narkotika di Indonesia.

5 Sejarah Badan Narkotika Nasional, (http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8005/sejarah-bnn, diakses tanggal 15 Oktober 2011) 6 Wawancara dengan Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Jakarta 25 Maret 2011. 7 AIPA Fact Finding Committe to Combat the Drug Menace (AIFOCOM), Country Report of Indonesia, 2010.

89

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan melakukan kajian tentang gambaran kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum TP narkotika di Bali. Determinan penegakan hukum yang akan dikaji mencakup peraturan hukum, aparat penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan. Setelah diketahui kondisi dan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum TP Narkotika, maka akan dianalisis unsur penghambat dan pendukung dalam penegakan hukum dari setiap faktor yang ada, selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi perbaikan kebijakan. C. Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini ialah untuk mengkaji efektifitas penegakan hukum TP narkotika di Bali. Dengan lebih rinci, tujuan penelitian ini ialah: 1. Mengevaluasi kondisi penegakan hukum TP narkotika, 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum TP narkotika dan menganalisis unsur pendukung dan penghambat penegakan hukum TP narkotika dari setiap unsur yang ada, 3. Merumuskan rekomendasi penyempurnaan kebijakan penegakan hukum TP narkotika di Indonesia. D. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini, akan digunakan teori mengenai determinan penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.8 Teori tersebut menyebutkan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri Hukum memiliki cakupan yang luas, tidak hanya hukum dalam cakupan hukum tertulis yang dituangkan dalam peraturan hukum. Hukum dapat juga berupa hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan hukum adalah hukum dalam pengertian UU. Hukum dalam artian UU mencakup peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara. Selain peraturan pusat, peraturan setempat
8 Soekanto S. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, hlm. 8-9.

90

Marfuatul Latifah

yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja juga merupakan objek dalam penelitian ini. 2. Faktor Aparat Penegak hukum Aparat penegak hukum juga memiliki cakupan yang sangat luas. Karena yang dapat disebut aparat penegak hukum adalah orang yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Dalam penelitian ini aparat penegak hukum dibatasi pada mereka yang secara langsung berkecimpung di bidang hukum antara lain Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, Sipir dan BNN yang memiliki tupoksi berkaitan langsung dengan TP narkotika. 3. Faktor sarana yang mendukung penegakan hukum Penegakan hukum tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu. Sarana tersebut antara lain mencakup organisasi, peralatan, dan keuangan. 4. Faktor masyarakat Faktor masyarakat juga perlu dikaji sebagai unsur yang mempengaruhi penegakan hukum. Karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan pada dasarnya menyatu dengan faktor masyarakat. Masyarakat diartikan sebagai individu sedangkan kebudayan diartikan sebagai nilai. Dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku juga konsepsi-konsepsi yang menentukan apakah hal tersebut baik sehingga dipatuhi atau buruk sehingga ditinggalkan atau dijauhi. Dalam penelitian ini faktor masyarakat dan kebudayaan dikelompokkan dalam satu bagian karena keduanya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Oleh karena dalam penelitian ini data dari masyarakat tidak didapatkan secara langsung maka untuk mengkaji faktor masyarakat dan kebudayaan digunakan data yang didapatkan dari wawancara di BNP dan Polda Bali.

91

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang kejahatan transnasional dan permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahanbahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Penelitian tentang kejahatan transnasional ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menekankan pada pengumpulan bahan, termasuk dengan melakukan berbagai wawancara dengan informan yang relevan dan kompeten, dan melakukan berbagai kegiatan observasi di lapangan. B. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) terhadap pihak-pihak terkait dan survei lapangan. Selama di Provinsi Kepulauan Bali, wawancara dilakukan dengan BNN, Polda Bali, BNP Bali. Di samping itu juga melakukan FGD tanggal 15 Maret 2011 dengan pembicaraan Erman Rajaguguk dan Makmur Keliat.

93

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

C. Tempat dan Waktu Penelitian di Provinsi Bali dilakukan dari tanggal 12 Juni sampai dengan 18 Juni 2011. Dipilihnya Bali sebagai obyek penelitian terkait dengan posisi provinsi ini yang berbatasan langsung dengan Australia dan Provinsi Bali dan merupakan daerah tujuan wisata sehingga berpeluang banyak terjadi kasus peredaran narkotika secara illegal dan lintas batas. Selain itu juga karena posisi Provinsi Bali yang berada di peringkat 16 daerah dengan kasus narkoba tertinggi di Indonesia. Di Jakarta wawancara dilakukan dengan Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, tanggal 25 Maret 2011.

94

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Penegakan Hukum TP Narkotika Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tercatat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yakni 2009-2010, kasus TP narkotika mengalami peningkatan dari 9.661 hingga 16.948 jumlah kasus (naik 66,07%). Jumlah tersangka juga mengalami peningkatan 13.051 menjadi 21.430 jumlah tersangka (naik 64,20%), barang bukti yang dapat disita meningkat 33,48 % yaitu dari 212.026 hingga 281.025 barang bukti. Hal yang cukup menarik untuk dilihat dari TP narkotika adalah jumlah tersangka Warga Negara Asing (WNA) yang terlibat TP narkotika di Indonesia, mengalami kenaikan dari 108 orang menjadi 117 orang, dengan melalui jaringan sindikat internasional yang di dominasi warga Negara Malaysia (20 tersangka), Iran (27 tersangka), dan Afrika (12 tersangka, khususnya Nigeria 8 tersangka).9 Berdasarkan data yang didapatkan dari BNN10 terdapat beberapa kasus yang menonjol sepanjang tahun 2010, antara lain penemuan 166.000 batang pohon ganja (13 Ha ladang ganja) di Aceh Besar yang telah mampu dimusnahkan oleh jajaran Dit. Narkoba Polda Aceh pada 29 Juni 2011, kemudian kasus Clandestine Lab di Jakarta Utara, dengan tersangka Effendy Halim dan barang bukti 3.209 gram shabu berikut 850 ml meth oils yang berhasil di grebek pada tanggal 4 November 2010. Selain itu, Then Woon Chon (WN Malaysia) ditangkap sebagai pengedar Shabu dengan barang bukti 5 kg di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat, oleh Satgas Direktorat TP Narkotika Bareskrim Polri pada 26 November 2011.

9 Maraknya TP narkoba di indonesia. 2011. (http://www.polri.go.id/banner/berita/27, diakses tanggal 15 Oktober 2011). 10 Kapolri: Terorisme, Narkoba Bersinergi Hancurkan Moral Generasi Muda. 2011(http://www. indonesia.go.id/in/setingkat-menteri/kepolisian-negara-republik-indonesia.html, diakses tanggal 15 Oktober 2011).

95

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

Di Provinsi Bali pola peningkatan TP narkotika juga terjadi. Penghitungan yang dilakukan oleh BNP Provinsi Bali menyebutkan bahwa terdapat peningkatan prosentase penyalahgunaan narkotika selama dua tahun terakhir. Pada tahun 2009 pemakaian narkotika di Bali meningkat menjadi 1,9 % dari jumlah penduduk Bali. Angka tersebut kemudian mengalami kenaikan menjadi 2% pada tahun 2010.11 Berdasarkan data yang didapatkan dari Bareskrim Polda Bali, pada tahun 2009 telah terjadi 628 kasus TP Narkotika yang kemudian meningkat 25,79 % pada tahun berikutnya yaitu 2010 sebanyak 790 Kasus. Bali sebagai daerah yang menjadi tujuan pariwista memiliki akses yang sangat terbuka dari negara lain karena banyaknya penerbangan langsung ke bandara Ngurah Rai Bali. Pada tahun 2010, telah tertangkap 30 Orang WNA sebagai tersangka TP narkotika.12 Realitas bertambahnya jumlah TP narkotika tersebut dikarenakan berkembangnya modus operandi peredaran gelap narkotika ke Bali. Narkotika yang masuk ke Bali tidak hanya menggunakan cara konvensional, yaitu menyelundupkan dengan jumlah besar. Saat ini terdapat modus operandi memecah-mecah narkotika dalam jumlah kecil dan menyebar serta melalui jalan darat yang relatif lebih sulit dideteksi. Selain itu, banyaknya penerbangan langsung dari daerah asal ke bandara Ngurah Rai juga meningkatkan jumlah peredaran Narkotika di Bali.13 Menurut I Gusti Ketut Budiarta, Ketua PLt. BNP Bali, TP narkotika merupakan fenomena seperti gunung es, tidak tampak dipermukaan namun sangat mengkhawatirkan dan membahayakan bagi generasi muda.14 Kejahatan narkoba merupakan transnational crime dan dapat disebut sebagai extraordinary crime karena sangat membahayakan serta membunuh banyak orang. Oleh karena itu, Pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) mustahil akan terlaksana tanpa dukungan pihak-pihak terkait. Untuk mengatasi hal tersebut BNP telah membentuk surat keputusan yang merupakan payung hukum Satgas pemberantasan TP narkotika di Bali. Tugas BNP sesuai dengan Kepres. yang ada yaitu melakukan koordinasi sedangkan kewenangan yang terkait dengan instansi masing-masing tetap berada di instansi tersebut.
11 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011. 12 Wawancara dengan Kabareskrim Kepolisian Daerah Bali, 20 Juni 2011. 13 Wawancara dengan Kepala Bagian Penindakan Dinas Bea dan Cukai Provinsi Bali, Bali 22 Juni 2011 14 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011.

96

Marfuatul Latifah

Sampai dengan tahun 2010, jumlah terpidana TP narkotika di Lapas Kerobokan Bali mencapai 824 Orang dengan komposisi 586 orang merupakan pengedar dan sisanya sebanyak 238 Orang merupakan pengguna. Hal tersebut menyebabkan peningkatan jumlah narapidana di Lapas Kerobokan. Lapas terpaksa menampung Napi dengan jumlah yang melampaui kapasitas seharusnya.15 Kondisi tersebut, secara jelas menggambarkan bahwa TP narkotika mengalami kenaikan jumlah yang signifikan oleh karena itu dalam penulisan ini akan dikaji faktor-faktor mempengaruhi penegakan hukum TP narkotika yang menjadi pokok permasalahan dalam kegiatan penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif maupun negatifnya terletak dalam faktor-faktor tersebut secara independen. B. Faktor Ketentuan Hukum Pengaturan mengenai penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah mengalami beberapa tahapan yang berkembang mengikuti paradigma yang ada. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika merupakan UU yang menggantikan peraturan hukum yang berlaku sejak jaman penjajahan Belanda yaitu Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya.16 Untuk menggantikan UU No. 9 tahun 1976 Indonesia mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang menyesuaikan terhadap konvensi internasional yang telah dirativikasi Indonesia. Pokok permasalaahan yang diatur dalam UU tersebut adalah larangan penggunaan psikotropika dan narkotika selain untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Kegiatan penggunaan psikotropika dan narkotika diluar kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai kejahatan. UU mengenai narkotika kemudian mengalami perubahan setelah berlaku selama 15 (lima belas) tahun, hal tersebut karena pemerintah beranggapan bahwa UU No. 22 Tahun 1997 tidak dapat mencegah TP narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Pemerintah mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan
15 Ibid. 16 Arief. Barda N. 2006. Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan. Semarang: Kencana Prenada Media Group, hlm. 187.

97

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

tersebut dengan membentuk dan mengesahkan peraturan hukum baru tentang narkotika pada tahun 2009 yaitu UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penggantian peraturan hukum tentang narkotika melalui UU No. 35 Tahun 2009, membawa beberapa pokok perubahan ketentuan yang diharapkan dapat menekan TP narkotika di Indonesia. Dalam UU ini terdapat perluasan perbuatan yang dikualifikasikan sebagai jenis TP Narkotika, baik tindakan penyalah-gunaan maupun tindakan peredaran secara illegal. Bertambahnya subjek pelaku TP narkotika, yaitu orang tua atau wali dari pengguna yang masih dibawah umur. Orang tua atau wali memiliki kewajiban melaporkan pengguna yang masih dibawah umur untuk melaporkaannya pada pejabat yang berwenang guna mendapatkan perawatan dan rehabilitasi, apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka dapat dipidana dengan ancaman pidana kurungan maksimal 6 Bulan atau pidana denda maksimal 2.000.000 (dua juta) rupiah. Penambahan subjek pelaku TP dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjalankan sistem wajib lapor pecandu narkotika sehingga melaporkan anak-anak yang masih berada di bawah pengampuannya. Berbeda dengan UU sebelumnya yang hanya memperbolehkan rehabilitasi bagi pengguna narkotika, dalam UU ini terdapat penekanan Ketentuan Rehabilitasi.17 Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di bawah 1 gram dapat dijalankan setelah diperoleh keputusan pengadilan yang mengikat terhadap pengguna narkotika di bawah 1 gram. Dengan menjatuhkan putusan rehabilitasi secara jelas pemerintah mengakui pergeseran posisi pecandu narkotika dari pelaku menjadi korban. Dan TP narkotika dalam kerangka penyalah-gunaan merupakan TP tanpa pelaku. Karena pelaku merupakan korban dari TP yang dilakukannya sendiri. Ketentuan rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sangat rawan diselewengkan. Hal tersebut karena sangat banyak pihak yang terkait dengan ketentuan ini, antara lain BNN, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan penyelenggara pos wajib lapor. Banyaknya pihak yang terkait menyebabkan rawannya konflik kepentingan antar instansi dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki masing-masing sehingga pergeseran posisi pecandu dari pelaku menjadi korban sebagai tujuan dari ketentuan rehabilitasi tidak dapat tercapai. Ancaman pidana yang terdapat dalam UU Narkotika mengalami pemberatan. Pemberatan tersebut antara lain adalah penentuan sistem minimum khusus bagi TP yang didahului dengan permufakatan jahat.
17 Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

98

Marfuatul Latifah

Pemberatan pidana yang lain adalah bagi TP narkotika yang dilakukan oleh residiv, terhadap residiv di berikan tambahan pidana sebanyak 1/3 dari pidana yang dijatuhkan kecuali untuk pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun; terdapat kelemahan dalam ketentuan ini, yaitu tidak terdapat perbedaan ancaman hukuman dalam kejahatan yang dilakukan secara terorganisir. Karena dalam kejahatan terorganisir tentu terdapat pelaku yang menjadi penginisiasi dari kejahatan dan terdapat orang yang menjalankan inisiatif tersebut. Hal tersebut menyebabkan tidak tercapainya prinsip keadilan yang merupakan salah satu prinsip dasar hukum. Hal lain yang juga diatur dalam UU ini adalah penambahan kewenangan yang dimiliki BNN, tidak hanya memiliki kewenangan sebagai koordinator dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prokusor, BNN juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan, penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan, peredaran narkotika serta prokusornya. Kewenangan lain yang dimiliki oleh BNN adalah kewenangan melakukan penyadapan dan penangkapan. Ketentuan ini kemudian diikuti oleh PerPres No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional sebagai peraturan pelaksana yang mengatur mengenai masalah teknis.18 C. Faktor Aparat Penegak hukum Sebagai salah satu faktor dalam penegakan hukum aparat penegak hukum memiliki bagian yang tidak kalah penting. Karena aparat penegak hukum merupakan operator utama dalam penegakan hukum dan menjadi faktor penentu keberhasilan penegakan hukum. Dalam sistem penegakan hukum pidana terpadu, terdapat 4(empat) subsistem kewenangan, yaitu kewenangan penyidikan (polisi), kewenangan penuntutan (jaksa), kewenangan mengadili/ menjatuhkan pidana (hakim), dan kewenangan pelaksanaan pidana (jaksa yang dibantu sipir).19 Penegakan hukum TP narkotika karena sifatnya yang kompleks, maka aparat penegak hukum yang terkait dengan TP narkotika tidak hanya pemilik kewenangan tersebut. Selain kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sipir penjara yang memiliki kewenangan asal dalam penegakan hukum, dalam TP narkotika BNN juga memiliki peranan yang penting. karena BNN merupakan koordinator bagi
18 Tujuan Pokok dan Fungsi Badan Narkotika Nasional. (http://www.bnn.go.id/portal/index.php/ konten/detail/bnn-pusat/profil/8007/tujuan-pokok-dan-fungsi, diakses tanggal 15 Oktober 2011). 19 Arief. Barda N. 2006. Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan. Semarang: Kencana Prenada Media Group, hlm. 37.

99

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

setiap instansi yang terkait dalam pencegahan, pemberantasan, penyalah-gunaan dan peredaran gelap narkotika. BNN juga memiliki kewenangan penyidikan, penyelidikan terhadap dugaan penyalah-gunaan, peredaran narkotika serta prokusornya. Kewenangan lain yang juga dimiliki oleh BNN adalah penyadapan dan penangkapan yang mana memiliki kemungkinan penyelewengan yang sangat besar. Hal tersebut menimbulkan dualisme dalam penegakan hukum TP narkotika. Karena pada dasarnya kewenangan penyidikan, penyelidikan penangkapan dan penyadapan telah dimiliki oleh aparat penegak hukum yang lain dan telah berjalan sejak kewenangan tersebut di atur melalui KUHAP. Walaupun personil yang menjalankan kewenangan BNN merupakan aparat kepolisian yang ditempatkan di BNN atau BNP dan telah terlatih untuk menjalankan kewenangan penyidikan, penyelidikan penangkapan dan penyadapan hal tersebut tetap saja rawan menimbulkan konflik kelembagaan dalam upaya penegakan hukum TP nakotika. Tingginya jumlah pengguna yang menjadi terdakwa kasus narkotika juga disebabkan oleh paradigma yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Kejaksaan dalam rangka menjalankan tugasnya melakukan penuntutan akan melakukan upaya banding apabila hakim telah menjatuhkan putusan bebas ataupun rehabilitasi. Hal ini dianggap sebagai faktor meningkatnya terdakwa kasus narkotika penyalah-gunaan narkotika. Namun, di sisi lain hukuman yang dijatuhkan terhadap pengedar narkotika cenderung ringan. Walaupun telah diterapkan sistem minimun khusus yang menentukan batasan hukuman paling rendah bagi TP narkotika tertentu, Jaksa dalam penuntutan dan Hakim dalam menjatuhkan putusannya belum menerapkan ancaman hukuman yang maksimal. Kepala BNP Provinsi Bali telah melakukan koordinasi dengan Kepala Pengadilan di setiap tingkat dan Kepala Kejaksaan Negeri di Provinsi Bali untuk memperberat hukuman yang dimaksudkan untuk meningkatkan efek jera bagi para pengedar narkotika di Bali.20 Selain itu, maraknya praktek mafia peradilan dalam setiap proses penegakan hukum di Indonesia merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri menjadi faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum di Indonesia. Menurut hasil wawancara di BNP Provinsi Bali, sering kali putusan yang dijatuhkan terhadap pelaku TP narkotika yang terjadi di provinsi Bali dipengaruhi oleh permainan pihak terdakwa dengan aparat. Hal tersebut menyebabkan putusan
20 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011.

100

Marfuatul Latifah

yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang seharusnya dijatuhkan atas TP yang telah dilakukan.21 D. Faktor sarana yang mendukung penegakan hukum Penegakan hukum tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu.22 Sarana tersebut antara lain mencakup organisasi, peralatan, dan keuangan. Dalam penegakan hukum TP narkotika sarana pendukung mencakup organisasi yang diwakili oleh keberadaan BNN dan BNP sebagai koordinator bagi setiap instansi yang terkait dalam PG4N. Wujud sarana yang lain adalah peralatan. Peralatan yang digunakan mendeteksi keberadaan narkotika di setiap jalan masuk, peralatan yang digunakan untuk mengukur kadar narkotika di dalam tubuh, peralatan yang digunakan dalam rehabilitasi bagi pecandu narkotika maupun peralatan dalam arti lembaga pemasyarakatan bagi terpidana TP narkotika. Selain organisasi dan peralatan, keuangan merupakan bagian dari sarana pendukung. Keuangan diartikan sebagai anggaran yang disediakan guna mendukung penegakan hukum TP narkotika. Keberadaan BNN sebagai organisasi yang melakukan koordinasi diharapkan meningkatkan upaya penegakan hukum TP narkotika. Sebab, BNN tidak hanya melakukan upaya pemberantasan TP narkotika. BNN juga memiliki tugas melakukan upaya pencegahan terhadap TP narkotika. BNP Bali juga melakukan kegiatan pencegahan sebagai upaya non-penal penegakan hukum TP narkotika. Kegiatan pencegahan tersebut diwujudkan dalam bentuk sweeping ke sekolah, instansi pemerintah, dan pusat-pusat hiburan. Upaya pencegahan lain yang dilakukan BNP Bali adalah dengan melakukan penyuluhan tentang bahaya narkotika bagi pelajar, pemuda dan masyarakat. Selain itu diadakan upaya pengawasan terhadap bekas pecandu dan atau narapidana TP narkotika. Hal tersebut guna mencegah mereka kembali menggunakan narkotika.23 Unsur yang kedua dari sarana pendukung merupakan peralatan. Peralatan yang digunakan mendeteksi keberadaan narkotika disetiap jalan masuk antara lain X-ray di pelabuhan Gilimanuk dan X-Ray di Bandara Ngurah Rai.9 Alat deteksi tersebut sangat mendukung upaya pencegahan masuknya narkotika dari
21 Ibid. 22 Rahardjo. Satjipto. 2011. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 32. 23 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011.

101

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

daerah lain ke Provinsi Bali. Namun belum terdapat alat yang dapat mendeteksi narkotika secara spesifik sehingga diperkirakan masih banyak narkotika yang berasal dari luar daerah yang masuk ke Bali. Selain itu, biaya pemeliharaan menjadi kendala. X-Ray yang ada di Bali didapatkan dari hibah. Hibah yang diberikan oleh pemerintah Australia melalui Kementrian Hukum dan HAM serta hibah langsung dari Kementrian Hukum dan HAM. Namun tidak terdapat kesepakatan yang jelas dari mana sumber biaya pemeliharaan alat-alat tersebut. Saat ini salah satu X-Ray di Bandara Ngurah Rai rusak dan belum juga diperbaiki, hal tersebut selain menghambat pemeriksaan di Bandara Ngurah rai yang menyebabkan pelayanan terhadap pengguna bandara terhambat, terkadang menjadi celah bagi upaya penyelundupan narkotika ke Bali. Peralatan lain yang digunakan dalam penegakan hukum TP narkotika adalah alat untuk mengukut kadar narkotika di dalam tubuh. Alat ini digunakan pada saat sweeping dilakukan. Tujuan dilakukannya sweeping sebagai antisipasi penyebaran narkotika. sampai saat ini alat yang dipakai untuk mendeteksi kadar narkotika di dalam tubuh yang digunakan di Provinsi Bali masih terbatas baik secara jumlah maupun secara teknologi. Pusat rehabilitasi juga sarana yang mendukung dalam penegakan hukum TP narkotika. Sampai saat ini kegiatan rehabilitasi pecandu narkotika di Bali belum memiliki tempat tersendiri.24 Kegiatan rehabilitasi masih ditempatkan pada rumah sakit dan puskesmas yang berkedudukan di setiap Kabupaten/ Kota. Rumah sakit dan puskesmas tersebut adalah RSJ Bangli, RS Sanglah Denpasar, Puskesmas Abiansemai I, Puskesmas Denpasar Selatan, RS Trijata Polda Bali, Puskesmas Buleleng I, Puskesmas Ubud II, Puskesmas Kuta I, Puskesmas Tabanan II. Sembilan tempat rehabilitasi tersebut juga menjalankan fungsi sebagai pusat wajib lapor sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Walaupun kegiatan rehabilitasi masih belum memiliki tempat tersendiri, sampai saat ini sudah 23 orang pecandu yang mendapatkan rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan dan ditempatkan di RSJ Bangli. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan rehabilitasi melalui putusan pengadilan berjalan dengan cukup baik di Provinsi Bali. Sarana lain yang juga mendukung dalam penegakan hukum TP narkotika adalah Keuangan. Keuangan diartikan sebagai anggaran yang disediakan guna mendukung penegakan hukum TP narkotika. Di Provinsi Bali anggaran terkait
24 Ibid.

102

Marfuatul Latifah

dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TP narkotika tidak mengalami kendala. Dalam masa peralihan dari BNNP menjadi BNP sumber anggaran yang seharusnya menjadi tanggungan BNN masih ditanggung oleh APBD. Hal tersebut menunjukkan komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi Bali terhadap penegakan hukum TP narkotika. Komitmen tersebut dibuktikan dengan tersedianya sarana penunjang penegakan hukum yang cukup memadai. Dari segi anggaran, pemerintah daerah masih bersedia mengalokasikan dana guna sebelum dana yang seharusnya didapatkan dari BNN turun. Walaupun peralatan untuk mendeteksi narkotika belum cukup mutakhir, pemerintah Bali berhasil memaksimalkan fungsi dari alat-alat tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya tangkapan kasus penyelundupan narkotika ke Bali. Penyediaan pos-pos lapor pecandu narkotika sebagai reaksi atas disahkannya PP No. 25 Tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika di beberapa lokasi juga merupakan wujud dari komitmen pemerintah daerah Bali. Walaupun sampai saat ini belum terdapat tempat rehabilitasi tersendiri seperti Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Bali sudah dikeluarkan 23 putusan rehabilitasi bagi pecandu narkotika melalui pengadilan.25 E. Faktor masyarakat dan Kebudayaan Faktor masyarakat juga perlu dikaji sebagai unsur yang mempengaruhi penegakan hukum. Karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Kebudayaan pada dasarnya menyatu dengan faktor masyarakat. Masyarakat diartikan sebagai individu sedangkan kebudayan diartikan sebagai nilai. Dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku juga konsepsi-konsepsi yang menentukan apakah hal tersebut baik sehingga dipatuhi atau buruk sehingga ditinggalkan atau dijauhi.5 Bali merupakan daerah dengan julukan pulau dewata. Dengan keunggulan wisata budaya Bali berhasil menarik minat wisatawan lokal maupun asing untuk berkunjung. Bali masih menjunjung tinggi adat dan budaya. Bali sendiri memiliki kearifan lokal (local wisdom) yaitu desa pakraman. Melalui desa pakraman ditingkatkan kepedulian antar sesama. Kebijakan tentang dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TP narkotika telah dilakukan sampai dengan desa pakraman.26 Karena melalui
25 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011. 26 Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011.

103

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

desa pakraman yang terdiri atas beberapa banjar terdapat fenomena watching each other, orang yang berada dalam banjar tersebut saling memperhatikan dinamika yang terjadi di dalamnya. Implementasi dari kebijakan tersebut adalah dengan mengusahakan agar pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan TP narkotika dapat dimasukkan kedalam awig-awig (peraturan tertulis yang ditaati di desa pakraman) dan perarem (kesepakatan yang dibuat dan ditaati oleh seluruh warga desa pakraman). Karena melalui awig-awig dan perarem masyarakat Bali yang menjunjung tinggi adat dan budaya akan merasa lebih terikat untuk mengikuti peraturan tersebut.

104

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 1. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi setidaknya terdapat dua faktor yang kurang kondusif bagi penegakan hukum TP narkotika di Indonesia, yaitu: Adanya celah hukum dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya dalam hal ketentuan mengenai rehabilitasi dan ketentuan TP yang dilakukan secara terorganisir dan pembagian kewenangan instansi dalam penindakan (Penyelidikan, penyelidikan, penyadapan, dan penyitaan). 2. Belum memadainya fasilitas pendukung upaya penegakan hukum TP narkotika, khususnya alat bantu deteksi narkotika dan pengadaan pusat rehabilitasi tersendiri bagi pecandu narkotika. 3. Penelitian juga menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi faktor pendukung signifikan bagi upaya penegakan hukum TP narkotika di Indonesia. Untuk Bali, misalnya, pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan TP narkotika dapat dimasukkan kedalam awig-awig (peraturan tertulis yang ditaati di desa pakraman) dan perarem (kesepakatan yang dibuat dan ditaati oleh seluruh warga desa pakraman). Masyarakat Bali yang menjunjung tinggi adat dan budaya akan merasa lebih terikat untuk mengikuti peraturan bila dimasukkan dalam awig-awig dan perarem. B. Rekomendasi Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang perlu dilakukan instansi terkai dalam rangka meningkatkan efektifitas penegakan hukum TP narkotika di Indonesia, yaitu: 1. Merevisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mengurangi celah hukum yang ada di dalamnya, khususnya yang berkaitan dengan: a. Ketentuan mengenai rehabilitasi dan ketentuan TP yang dilakukan secara terorganisir;
105

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

b. Kewenangan penindakan (Penyelidikan, penyelidikan, penyadapan, dan penyitaan) yang oleh UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika diberikan juga kepada BNN sebaiknya dikembalikan kepada instansi yang berwenang seperti sebelum UU No. 35 tahun 2009 diundangkan. Hal tersebut guna menghilangkan dualisme penindakan TP narkotika yang menghambat penegakan hukum; 2. Melakukan renovasi fasilitas pendukung upaya penegakan hukum TP narkotika, khususnya alat bantu deteksi narkotika dan pengadaan pusat rehabilitasi tersendiri bagi pecandu narkotika; 3. Pemberian dukungan terhadap upaya Bali menggunakan kearifan lokal dalam penegakan hukum TP narkotika. Upaya serupa dapat diikuti oleh setiap daerah yang ada di Indonesia.

106

DAFTAR PUSTAKA

Buku Adji, Indriyanto Seno. Kasus SL Corby: Keadilan Semu? dalam humanisme dan pembaruan penegakan hukum, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009. AIPA Fact Finding Committe to Combat the Drug Menace (AIFOCOM), Country Report of Indonesia, 2010. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan, Semarang: Kencana Prenada Media Group, 2006. Cryer, Robert, An Introduction to International Criminal Law an Procedure, Cambridge: University Press, 2007. Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1983. Internet Kapolri: Terorisme, Narkoba Bersinergi Hancurkan Moral Generasi Muda. 2011(http://www.indonesia.go.id/in/setingkat-menteri/kepolisiannegara-republik-indonesia.html, diakses tanggal 15 Oktober 2011). Maraknya tindak pidana narkoba di indonesia. 2011. (http://www.polri.go.id/ banner/berita/27, diakses tanggal 15 Oktober 2011). Sejarah Badan Narkotika Nasional, (http://www.bnn.go.id/portal/index. php/konten/ detail/bnn-pusat/profil/8005/sejarah-bnn, diakses tanggal 15 Oktober 2011) Tujuan Pokok dan Fungsi Badan Narkotika Nasional. (http://www.bnn.go.id/ portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8007/tujuan-pokokdan-fungsi, diakses tanggal 15 Oktober 2011).
107

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Di Provinsi Bali

Wawancara Wawancara dengan Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Jakarta 25 Maret 2011. Wawancara dengan Ketua PLt. Badan Narkotika Provinsi Bali, Bali 21 Juni 2011. Wawancara dengan Kabareskrim Kepolisian Daerah Bali, Bali 20 Juni 2011. Wawancara dengan Kepala Bagian Penindakan Dinas Bea dan Cukai Provinsi Bali, Bali 22 Juni 2011 Perundang-undangan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

108

Bagian Kelima PERAN ASEAN DALAM UPAYA INDONESIA MEMERANGI PEREDARAN GELAP NARKOBA Rizki Roza

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejak tahun 1970an persoalan obat-obatan berbahaya jenis narkotika di Indonesia sudah menarik perhatian secara nasional, namun masih dipandang sebagai permasalahan kecil. Cara pandang tersebut telah membuat pemerintah lengah terhadap ancaman bahaya narkoba. Pada tahun 1997, permasalahan narkoba di Indonesia meledak dengan diiringi krisis perekonomian, sementara pemerintah dan bangsa Indonesia tidak siap menghadapinya.1 Dalam perkembangannya kemudian, permasalahan narkoba di Indonesia semakin memburuk, dan bahkan dalam Laporan PBB mengenai narkoba yang disampaikan pada tahun 2009 menyatakan bahwa Indonesia sudah menjadi produsen sekaligus pengekspor narkoba.2 Tingkat penyalahgunaan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Dalam siaran pers akhir tahun 2010 lalu, BNN mengklaim bahwa selama tahun 2010 berhasil menangani 61 kasus jaringan sindikat narkoba disertai dengan barang bukti sitaan. Seluruh kasus tersebut diperkirakan berdampak kerugian materil tidak kurang dari Rp 36 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 4 triliun.3 Angka tersebut dapat menggambarkan besarnya aktivitas peredaran gelap narkoba di Indonesia. Sekalipun masih sangat terbatas, upaya pemerintah Indonesia untuk menangani persoalan narkoba sudah dimulai sejak tahun 1971, yaitu dengan pembentukan Bakorlak Inpres Tahun 1971. Upaya-upaya di tingkat nasional terus ditingkatkan untuk merespon ancaman bahaya narkoba yang terus
1 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8005/ sejarah-bnn diakses tanggal 21 Juli 2011 2 Laporan PBB Soal Narkoba, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/ berita/1626/laporan_pbb_soal_narkoba diakses tanggal 21 Juli 2011 3 Press Release Akhir Tahun Badan Narkoba Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/ konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_release&id=94&mn=2&smn=e diakses tanggal 21 Juli 2011

111

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

meningkat pula.4 Pada tahun 1999 dibentuklah Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKKN),5 yang masih belum didukung dengan personil dan alokasi anggaran sendiri, yang kemudian digantikan dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).6 Seiring dengan meningkatnya ancaman peredaran gelap narkoba, Indonesia juga mengembangkan berbagai upaya untuk memeranginya, yaitu memperkuat BNN sebagai focal point di bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).7 BNN disempurnakan menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. BNN diberi kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pindana narkotika dan prekursor narkotika, serta memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan seluruh program P4GN.8 BNN memiliki misi untuk menyusun kebijakan nasional P4GN, melaksanakan operasional P4GN sesuai bidang tugas dan kewenangannya, mengkoordinasikan P4GN, memonitor dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN, dan menyusun laporan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN. Untuk memenuhi misi tersebut, sementara terus merespon dan menyesuaikan diri dengan perkembangan mafia narkoba internasional, BNN berupaya terus mengembangkan kapabilitasnya sebagai institusi beserta personil-personil yang ada di dalamnya, baik melalui kerjasama dengan negaranegara sesama sasaran kejahatan penyelundupan narkoba, maupun negaranegara yang sudah berpengalaman.9 Berbagai upaya di tingkat nasional telah dikembangkan dan dijalankan guna memerangi ancaman bahaya peredaran gelap narkoba. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengadapi persoalan peredaran gelap narkoba. Persoalan produksi dan peredaran gelap narkoba telah sejak lama menjadi masalah di kawasan Asia Tenggara. The Golden Triangle, yang menghubungkan Thailand Utara, Myanmar Timur, dan Laos Barat, merupakan salah satu dari dua kawasan yang dikenal
4 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8005/ sejarah-bnn diakses tanggal 21 Juli 2011 5 BKKN dibentuk Melalui Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 6 BNN dibentuk berdasarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. 7 Penguatan BNN dilakukan berdasarkan pada Undang-Undang No 35 Tahun 2009 8 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8005/ sejarah-bnn diakses tanggal 21 Juli 2011 9 Visi dan Misi, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/ profil/8006/visi-dan-misi tanggal 21 Juli 2011

112

Rizki Roza

sebagai pusat penanaman, produksi, dan perdagangan opium dunia. Selama tahun 1970an dan 1980an, kawasan ini dianggap sebagai produsen opium terbesar di dunia.10 Bahkan hingga saat ini, Myanmar masih merupakan penghasil opium kedua terbesar setelah Afghanistan.11 Di tingkat regional, negara-negara anggota ASEAN telah melakukan berbagai upaya bersama untuk merespon persoalan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sejak organisasi regional ini baru berdiri dan masih terdiri dari lima negara. Melalui Deklarasi ASEAN Concord yang disampaikan di Bali pada Februari 1976, ASEAN menghimbau negara-negara anggotanya untuk mengupayakan the intensification of cooperation among member states as well as with the relevant international bodies in the prevention and eradication of the abuse of narcotics and the illegal trafficking of drugs.12 Himbauan ini ditindaklanjuti dengan diadopsinya the ASEAN Declaratoin of Principles to Combat the Abuses of Narcotic Drugs diadopsi di Manila pada 26 Juni 1976.13 Upaya ASEAN untuk mengendalikan peredaran narkotika lebih terinstitusionalisasi selama periode 1990an, bersamaan dengan proses perluasan keanggotaan ASEAN sehingga mencakup sepuluh negara Asia Tenggara. Setelah ASEAN mengalami perluasan, upaya-upaya regional untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba pun terus berkembang, misalnya dengan pengadopsian the ASEAN Plan of Action on Drug Abuse and Control pada bulan Oktober 1994.14 Kemudian dalam ASEAN Ministerial Meeting ke-31 pada Juli 1998, ASEAN mempertegas pentingnya upaya bersama dalam memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dengan mengadopsi the Joint Declaration for a Drug-Free ASEAN by 2020. Deklarasi tersebut menegaskan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk menghapuskan produksi, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi narkoba sebelum 2020. Dan pada Juli 2000, para menteri luar negeri ASEAN sepakat untuk mempercepat pencapaian target tersebut menjadi tahun 2015.15 Untuk mencapai target tersebut, ASEAN
10 UNODC, Myanmar: Situation Assessment on Amphentamine-Type Stimulants, December 2010, http://www.unodc.org/documents/eastasiaandpacific/2010/12/ops-myanmar-ats/Myanmar_ATS_ Report_2010_lowres.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 11 UNODC, World Drug Report 2011, June 2011, http://www.unodc.org/documents/data-andanalysis/WDR2011/World_Drug_Report_2011_ebook.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 12 Declaration of ASEAN Concord, http://www.asean.org/5049.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 13 Cooperation on Drugs and Narcotics, Overview, http://www.asean.org/5682.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 14 Ralf Emmers, International Regime Building in Southeast Asia: ASEAN Cooperation against the Illicit Trafficking and Abuse of Drugs, IDSS Working Paper, Singapore, 2006, hal. 10 15 Cooperation on Drugs and Narcotics, Overview, http://www.asean.org/5682.htm diakses tanggal 21 Juli 2011

113

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

mengembangkan berbagai upaya bersama memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Namun upaya-upaya kerjasama yang dikembangkan ASEAN masih tidak mencakup persoalan pendanaan, pengawasan, dan implementasi, serta tidak pula dilengkapi mekanisme pengawasan kepatuhan terhadap komitmen.16 B. Rumusan Masalah Peredaran gelap narkoba dengan karakteristik transnasionalnya yang kompleks tidak dapat dihadapi pemerintah secara individu, melainkan menuntut dilakukannya kerjasama antara negara, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Di level regional, negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah mengembangkan berbagai bentuk kerjasama untuk merespon bahaya ancaman peredaran gelap narkoba yang terus meningkat. ASEAN telah menetapkan Drug-Free ASEAN 2015 yang semestinya ditindaklanjuti dengan perkembanganperkembangan signifikan dalam kerjasama di antara negara-negara anggota ASEAN dalam memerangi penyalahgunaan dan peredaraan gelap narkoba. Hendaknya perkembangan kerjasama tersebut secara langsung dapat memberi manfaat yang besar dalam mendukung upaya masing-masing negara anggota di tingkat nasional. Seiring dengan upaya di level regional, Indonesia sebagai bagian dari kerjasama kawasan tersebut, di level nasional juga mengembangkan berbagai upaya untuk memerangi peredaran gelap narkoba yang sejak tahun 1997 kondisinya semakin memburuk. Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran ASEAN dalam upaya Indonesia memerangi peredaran gelap narkoba? Dengan permasalahan tersebut, yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kerjasama yang dikembangkan ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba, terutama untuk mencapai Drug-Free ASEAN 2015? 2. Bagaimana upaya Indonesia dalam memerangi peredaran gelap narkoba di Indonesia? 3. Apa manfaat yang diperoleh Indonesia dari kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba?

16 Ralf Emmers, Loc.Cit.,

114

Rizki Roza

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh gambaran mengenai kerjasama yang dikembangkan ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba, terutama untuk mencapai Drug-Free ASEAN 2015. 2. Memperoleh gambaran mengenai upaya-upaya yang dijalankan pemerintah Indonesia dalam memerangi peredaran gelap narkoba di Indonesia. 3. Mengetahui manfaat yang diperoleh Indonesia dari kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi anggota Dewan maupun alat kelengkapan Dewan, yang membidangi masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan transnasional, khususnya peredaran gelap narkoba. D. Kerangka Pemikiran Setiap negara di dunia memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing, di mana sebagian negara dapat melindungi atau mencapai tujuan-tujuan nasionalnya tanpa menimbulkan ancaman atau mengganggu kepentingan negara lainnya. Sebagian negara bahkan berpandangan bahwa akan lebih efisien untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan negara lain, yaitu dengan mengkoordinasikan kebijakan, membangun sistem timbalbalik, dan dengan menyusun serangkaian aturan, norma, dan peraturan yang memungkinkan mereka menjalankan hubungan dengan lebih stabil dan terprediksi.17 Kerjasama dapat dipahami sebagai the commitmen of resources, plans, and ideas toward some common purpose, according to agreed-upon rules and cost formulas.18 Dalam melakukan kerjasama, negara melakukan kordinasi kebijakan dengan membentuk kebijakan domestik dan luar negeri yang menguntungkan kepentingan bersama, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut tidak membebani atau merugikan negara lain. James Dougherty dan Robert Pfaltzgraff mendefinisikan kerjasama internasional sebagai a set of relationships that are not based on coercion or compellence and that are legitimized by the mutual consent
17 K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1988, hal. 433 18 Ibid.,

115

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

of members, as in international organizations.19 Dalam sistem internasional yang anarkis sekalipun kerjasama mungkin terjadi karena setiap negara mengakui bahwa kadangkala menjadi kontra-produktif ketika negara menolak untuk bekerja sama, dan bahwa melalui kerjasama kepentingan nasional dapat dikedepankan dan keuntungan bersama juga dapat diperoleh melalui kerjasama dengan negara lain. Holsti mengidentifikasi empat tujuan yang mendorong negara untuk melakukan kerjasama internasional, yaitu: states cooperate to reduce cost, to increase efficiency, to address common threats or problems, and to lower the adverse consequences their actions have on others.20

19 James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff Jr., Contending Theories of International Relations, New York: Longman, 2011, sebagaimana dikutip dalam Paul G. Harris, Introduction: International Environmentar Cooperation in Pacific Asia, dalam Paul G. Harris (Ed.). International Environtmental Cooperation: Politics and Diplomacu in Pacific Asia: Colorado: The University Press of Colorado, 2002, hal. 7 20 K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1995, sebagaimana dikutip dalam Paul G. Harris (Ed.). Ibid., hal. 7-8

116

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana data dan informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara dianalisis secara kualitatif, untuk kemudian diinterpretasikan sesuai dengan makna yang terkandung pada data dan informasi tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni berusaha memberikan gambaran terinci dan akurat atas hasil analisis kualitatif yang telah dilakukan mengenai peran ASEAN dalam upaya Indonesia memerangi peredaran gelap narkoba. B. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melalui penelusuran informasi dan pengumpulan data tertulis yang diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui berita/artikel surat kabar dan media online (internet). Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer, melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) terhadap pihak-pihak terkait dan survei lapangan. Selama di Provinsi Kepulauan Riau dan Bali, wawancara dilakukan dengan kepolisian daerah, BNN Provinsi, Kantor Wilayah Bea dan Cukai, Kantor Kejaksaan, dan juga Kantor Kehakiman. Di Jakarta, wawancara dilakukan dengan pejabat Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian Republik Indonesia. Di samping itu, juga dilakukan FGD pada tanggal 15 Maret 2011 dengan Erman Rajaguguk dan Makmur Keliat sebagai pembicara.

117

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

C. Tempat dan Waktu Lokasi penelitian lapangan selain Jakarta adalah Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Bali. Penelitian lapangan di Jakarta, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah terkait dengan kegiatan wawancara dengan berbagai pihak yang berada di tingkat pusat. Provinsi Kepulauan Riau dan Bali merupakan dua wilayah di Indonesia yang relatif rawan untuk digunakan sebagai jalur masuk peredaran gelap narkoba internasional. Posisi dan kondisi geografis Provinsi Kepulauan Riau dan terdapatnya sejumlah titik masuk yaitu pelabuhanpelabuhan laut maupun udara, menjadi faktor yang mendorong digunakannya daerah ini sebagai salah satu jalur masuk peredaran gelap narkoba dari luar negeri. Sedangkan pada Provinsi Bali, posisinya sebagai daerah tujuan wisata internasional dan kondisi geografisnya yang sangat terbuka di mana terdapat sejumlah pelabuhan laut dan udara, merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat peredaran gelap narkoba internasional ke wilayah ini.

118

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ancaman Peredaran Gelap Narkoba Pasca Perang Dingin, kekhawatiran akan ancaman keamanan tradisional, berupa konflik antar negara yang melibatkan kekuatan militer, telah menurun secara signifikan. Persoalan yang mengemuka kemudian adalah isu-isu yang berkaitan dengan ancaman keamanan non-tradisional seperti: persoalan lingkungan hidup, kesejahteraan ekonomi, kejahatan transnasional, ataupun migrasi penduduk. Globalisasi, migrasi, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi telah menciptakan karakteristik yang kompleks dari kejahatan transnasional. Kondisi ekonomi dan politik global yang terkadang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. Kejahatan transnasional telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Kejahatan transnasional dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi keamanan insani (human security) karena memiliki dampak sosial, ekonomi, politikal, dan kultural. Kejahatan transnasional dapat berupa aktivitas perdagangan manusia, perdagangan senjata, pencucian uang, maupun perdagangan narkotika. Perdagangan narkotika merupakan salah satu aktivitas utama kejahatan transnasional yang menarik perhatian cukup besar dari berbagai pihak. Hal ini berkaitan dengan besarnya jumlah keuntungan yang diperoleh dari aktivitas perdagangan narkotika. Kejahatan perdagangan narkotika seringkali dihubungkan dengan perdagangan senjata, korupsi, dan pencucian uang. Dengan kemampuan ekonominya, organisasi perdagangan narkotika mampu membeli perlengkapan militer modern dan membangun kekuatan bersenjata; mampu memperoleh teknologi canggih yang berkaitan dengan intelijen, serta mampu menyuap oknum yang berwenang untuk bekerja sama melindungi aktivitas kejahatan mereka. Selain itu, organisasi perdagangan narkotika juga memanfaatkan jaringan keuangan global sebagai media pencucian uang.
119

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

Secara mendasar, dampak yang ditimbulkan perdagangan narkotika antara lain: meningkatnya konsumsi narkotika dan ketergantungan, meningkatnya angka kekerasan/kriminal, merusak kesehatan pengguna, meningkatnya penyebaran HIV/AIDS, serta rusaknya potensi individu dan struktur keluarga. Organisasi kejahatan transnasional perdagangan narkoba tidak hanya merupakan ancaman keamanan pada level individu, tetapi juga ancaman keamanan pada level negara dan sistem internasional. Pada level individu, terdapat tiga macam kekerasan yang berkaitan dengan narkotika, yaitu kekerasan oleh organisasi kejahatan untuk melindungi keuntungan dan kawasan distribusinya; kekerasan terhadap individu dan properti demi memperoleh uang untuk membeli narkotika; dan kekerasan oleh individu yang sedang berada dalam pengaruh narkotika. Pada level negara, organisasi perdagangan narkotika dengan kekuatan ekonomi dan kekuatan bersenjatanya dapat menjadi ancaman langsung bagi keamanan suatu negara, dan mampu mengikis legitimasi dan kedaulatan suatu pemerintahan. Dan kemudian, pada level sistem internasional, karakteristik transnasional dari organisasi perdagangan narkotika menyebabkan organisasi ini tidak hanya mengancam legitimasi dan kedaulatan negara yang menjadi tempat mereka beroperasi, tetapi juga mengancam keamanan dan stabilitas kawasan, serta menjadi ancaman bagi negara lainnya yang memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan tersebut. Berdasarkan data dari World Drugs Report 2009, diperkirakan bahwa setiap tahunnya negara-negara di seluruh dunia dibanjiri 1.000 ton heroin, 1.000 ton kokain, sejumlah besar ganja, hashish, dan Amphetamine Type Stimulants (ATS). Diperkirakan tingkat pertumbuhan penyalahgunaan narkoba di dunai telah mencapai 4% per tahun. Meningkatnya aktivitas perdagangan narkotika merupakan respon atas meningkatnya permintaan pasar. Di samping itu, berbagai aktivitas yang timbul seiring arus globalisasi turut mempengaruhi perkembangan aktivitas perdagangan narkotika. Meningkatnya saling ketergantungan antar negara, kecepatan dan kemudahan dalam komunikasi internasional, kemudahan lalu lintas perbatasan, dan globalisasi jaringan keuangan internasional telah menjadi lahan subur bagi pertumbuhan aktivitas perdagangan narkotika. Peredaran gelap narkoba dengan karakteristik transnasionalnya yang kompleks tidak dapat dihadapi pemerintah secara individu, melainkan menuntut dilakukannya kerjasama antara negara, baik secara bilateral, regional,

120

Rizki Roza

maupun multilateral. Arus globalisasi beserta berbagai perkembangan yang menyertainya sangat mempengaruhi perkembangan motif-motif, modus, dan pola jaringan penyelundupan narkoba lintas batas negara di seluruh dunia, termasuk turut mempengaruhi pula bagaimana peredaran narkotika di tingkat nasional. Dalam kondisi demikian, maka semakin besar tuntutan untuk dilakukannya kerjasama antara negara, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral, dalam upaya-upaya menekan arus peredaran dan penyalahgunaan narkotika internasional. Pertukaran informasi, sinkronisasi strategi nasional, implementasi perjanjian-perjanjian internasional, dan bentuk kerjasama lainnya diharapkan dapat diwujudkan melalui kesepakatan-kesepakatan kerjasama. Forum-forum kerjasama internasional diharapkan dapat memfasilitasi negara-negara yang terlibat untuk saling meningkatkan kerjasama dan bertukar informasi dalam hal operasi pemberantasan narkoba di wilayahnya masingmasing, demi merespon upaya-upaya para anggota sindikat yang akan terus mengembangkan berbagai macam cara atau modus untuk menyelundupkan narkoba, dengan menggunakan peralatan atau teknologi yang semakin canggih. Berbagai upaya global untuk memerangi perdagangan narkotika telah dilakukan, antara lain dengan membangun rezim-rezim internasional yang mengatur perdagangan narkotika. Sistem internasional dalam pengendalian narkotika dibangun berlandaskan sejumlah konvensi, terutama the 1961 Singel Convention on Narcotic Drugs, the 1971 Convention Psychotropic Substances, dan the 1988 Convention against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances. Selain itu, pada 1997, PBB membentuk United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang berfungsi untuk memantau upaya internasional memerangi perdagangan narkotika dan kejahatan transnasional. UNODC selanjutnya menjadi badan utama dalam mengawasi pelaksanaan konvensi-konvensi yang berkaitan dengan perdagangan narkotika dan kejahatan transnasional. B. Kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran narkoba Persoalan produksi dan peredaran gelap narkoba telah sejak lama menjadi masalah di kawasan Asia Tenggara. The Golden Triangle, yang menghubungkan Thailand Utara, Myanmar Timur, dan Laos Barat, merupakan salah satu kawasan produsen narkotik terbesar di dunia. Selama tahun 1980an, Myanmar merupakan penghasil opium terbesar di dunia, mencapai 700 metrik ton per

121

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

tahun antara tahun 1981-1987.21 Diperkirakan pada akhir 1990an 2/3 opium poppies dunia (yang kemudian diolah menjadi heroin) ditanam di Asia Tenggara. Sejak Perang Afghanistan pada Oktober 2001 dan keruntuhan rezim taliban, Afghanistan kembali menjadi produsen opium poppies di dunia. Laos merupakan produsen opium terbesar ketiga di dunia setelah Afghanistan dan Myanmar.22 Hasil survei mengenai opium di Asia Tenggara yang dirilis pada Desember 2010 menunjukkan bahwa dalam setahun belakangan terjadi gelombang budidaya opium di kawasan tersebut. Terjadi kenaikan tingkat budidaya opium di Laos, Myanmar, dan Thailand.23 Pelaku perdangan narkotika di Golden Triangle melakukan diversifikasi aktvitas mereka untuk memenuhi peningkatan permintaan pada synthetic drugs. Sejak awal 1990an, mereka meningkatkan keterlibatan dalam perdagangan heroin dengan membuat ATS. Myanmar kemudian menjadi produsen ATS terbesar di Asia dan masih menjadi penanam opium poppies terbesar kedua di dunia. Myanmar saat ini merupakan negara penghasil methamphetamine di kawasan, di mana pil-pil tersebut diedarkan ke berbagai negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara.24 Sementara heroin yang diproduksi di Golden Triangle sebagian besar untuk ekspor ke luar kawasan, konsumsi synthetic drugs di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir masih menjadi persoalan, khususnya di Thailand. Sebaliknya, produksi, perdagangan, dan konsumsi ganja dan kokain masih terbatas di kawasan dan tidak dianggap sebagai perhatian utama. Isu narkoba ilegal telah menjadi perhatian ASEAN sejak tahun 1972 dan pada pelaksanaan pertemuan pertama kalinya mengenai pencegahan dan pengendalian penyalahgunaan narkoba. Prinsip-prinsip dan prosedur yang menjadi landasan bagaimana negara-negara anggota ASEAN akan bekerjasama menangani persoalan narkoba untuk pertama kali dibicarakan pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN pertama yang diselenggarakan di Bali pada February 1976, dan kemudian disebutkan di dalam the ASEAN Concord. Di dalam Bali Concord negara-negara anggota ASEAN dihimbau untuk mengupayakan intensification
21 UNODC, Opium Poppy Cultivation in South-East Asia: Lao PDR and Myanmar, December 2009, hal. 63 22 Opium Poppy Cultivation and Heroin Processing in Southeast Asia, http://poppies.org/ news/104267739031389.shtml diakses tanggal 21 Juli 2011 23 Kenaikan Budidaya Bunga Opium di Kawasan Asia Tenggara, http://www.bnn.go.id/portal/index. php/konten/detail/puslitdatin/artikel/2805/kenaikan_budidaya_bunga_opium_di_kawasan_asia_ tenggara, diakses tanggal 21 Juli 2011 24 UNODC, Myamar: Situation Assessment on Amphetamine-Type Stimulants, December 2010, http://www.unodc.org/documents/eastasiaandpacific/2010/12/ops-myanmar-ats/Myanmar_ATS_ Report_2010_lowres.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 hal. 9

122

Rizki Roza

of cooperation among member states as well as with the relevant international bodies in the prevention and eradication of the abuse of narcotics and the illegal trafficking of drugs.25 Isu penanganan masalah narkoba menjadi salah satu prioritas ASEAN sehingga dibicarakan pada level diplomatik tertinggi, yang kemudian mendorong diadopsinya the ASEAN Declaratoin of Principles to Combat the Abuses of Narcotic Drugs pada 26 Juni 1976, di Manila. Deklarasi tersebut menginisiasi suatu proses fungsional kerjasama memerangi perdagangan terlarang dan penyalahgunaan narkotika. Deklarasi tersebut mengindikasikan bahwa ASEAN akan bekerjasama pada beberapa isu penting, antara lain: penghapusan penanaman dan produksi terlarang narkotika, information sharing mengenai upaya-upaya anti-drugs, kerjasama di bidang penilitian dan pendidikan, dan kerjasama yang lebih erat dengan badan-badan PBB yang relevan. Deklarasi tersebut menghimbau setiap negara anggota untuk melakukan pertukaran informasi mengenai pelaku perdagangan narkotika yang beroperasi di wilayah mereka dan berupaya untuk memberantas penanaman coca, cannabis dan opium poppies, serta pembuatan narkotika. Dan juga, deklarasi tersebut menuntut pengembangan legislasi nasional dalam memerangi penyalahgunaan narkotika, kerjasama dalam penelitian dan pendidikan, dan melakukan lebih banyak kolaborasi dengan badan-badan internasional yang relevan. Negara anggota diminta untuk berbagi informasi mengenai upaya-upaya hukum dan preventif, investigasi laboratorium, pelatihan, dan penanganan.26 Deklarasi tersebut bukan merupakan treaty ataupun konvensi, melainkan merupakan serangkaian prinsip-prinsip umum upaya kolaboratif ASEAN mengenai pengendalian narkoba.27 Menindaklanjuti deklarasi tersebut dan untuk membantu pengimplementasian rekomendasi-rekomendasinya, ASEAN melaksanakan pertemuan tahunan pertama antar Pakar Narkotika ASEAN yang dilaksanakan di Singapura pada tahun 1976. Pokok bahasan yang dibicarakan mencakup empat bidang, yaitu penegakan hukum dan legislasi; perawatan dan rehabilitasi; pencegahan dan informasi; dan pelatihan dan penelitian. Dalam perkembangannya kemudian, sejak tahun 1984 pertemuan tahunan dirubah menjadi the ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD). Pada tahun yang
25 Declaration of ASEAN Concord, http://www.asean.org/5049.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 26 ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Nacotic Drugs, http://www.aseansec. org/1446.htm diakses 21 Juli 2011 27 Ralf Emmers, Op.Cit., hal. 9

123

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

sama, ASOD mengadopsi ASEAN Regional Policy and Strategy in the Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking. Dokumen tersebut merupakan awal perubahan cara pandang ASEAN terhadap persoalan narkoba, dari semata-mata sebagai persoalan sosial dan kesehatan menjadi persoalan yang dapat berdampak pada keamanan, stabilitas, kemakmuran, dan ketahanan nasional.28 Seiring dengan upaya perluasan keanggotaan ASEAN untuk mencakupi seluruh sepuluh negara Asia Tenggara, upaya ASEAN untuk mengendalikan peredaran gelap narkoba juga mengalami perkembangan dan menjadi lebih terinstitusionalisasi.29 Pada bulan Oktober 1994, ASEAN mengadopsi the ASEAN Plan of Action on Drug Abuse and Control. Rencana Aksi ini menjadi arahan baru bagi ASEAN untuk mengatasi persoalan narkoba, yang secara umum sasarannya adalah to create an awareness on the cause and effect of drug abuse in order to generate individual, group and community involvement in the formulation and implementation of preventive drug abuse programmes, with the aim of eliminating the illicit demand for narcotic drugs and psychotropic substances. Disiapkan oleh Sekretariat ASEAN dan dengan dukungan dana dari UNDP, rencana aksi tersebut diarahkan pada empat prioritas, yaitu: preventive drug education; treatment, rehabilitation, and social integration; law enforcement; and research.30 Sebagai bentuk implementasi dari empat prioritas rencana aksi ASEAN tersebut, berbagai upaya telah dilakukan, antara lain: pelatihan dan pendidikan pencegahan narkoba, pelatihan di bidang terapi rehabilitasi, pertukaran aparat penegak hukum, tukar-menukar informasi mengenai tren, modus operandi dan rute perdagangan narkoba antar negara serta berbagai penelitian. Guna mendukung pelaksanaan empat prioritas tersebut, dibangun pula pusatpusat pelatihan yang berada di negara-negara ASEAN, seperti Pusat Pelatihan Penegakan Hukum Narkoba di Bangkok, Pusat Pelatihan Pencegahan di Manila, Pusat Pelatihan Terapi dan Rehabilitasi di Kuala Lumpur, dan Pusat Pelatihan Deteksi Obat Dalam Cairan Tubuh di Singapura. Kemudian, sebagai bagian dari ASEAN Vision 2020 yang disampaikan dalam pertemuan informal pada 1997, para kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara anggota ASEAN untuk pertama kalinya menyampaikan gagasan mereka mengenai a Southeast Asia free of illicit drugs, free of their production,
28 Cooperation on Drugs and Narcotics: Overview, http://www.asean.org/5682.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 29 Ralf Emmers, Op.Cit., hal. 10 30 Plan of Action on Drug Abuse Control, http://www.aseansec.org/5735.htm diakses tanggal 21 Juli 2011

124

Rizki Roza

processing, trafficking and use.31 Untuk mewujudkan sasaran tersebut maka pada ASEAN Ministerial Meeting ke-31 tahun 1998, para menteri luar negeri ASEAN menandatangani deklarasi bersama mengenai Drug-Free ASEAN 2020 yang menegaskan komitmen organisasi tersebut untuk menghapuskan produksi, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi narkoba pada tahun 2020.32 Deklarasi ini merekomendasikan 14 langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, antara lain: penguatan hubungan antara berbagai badan ASEAN yang berkaitan dengan narkoba, penguatan hukum nasional, kerjasama informasi yang lebih baik, dan meningkatkan kolaborasi dengan mitra dialog. Para menteri luar negeri juga menuntut pembentukan program baru untuk menghadapi persoalan ATS, menghendaki partisipasi lebih besar dari organisasi non-pemerintah, dan mendorong ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan narkoba.33 Ketika berlangsung AMM pada tahun 2000 di Bangkok, target kawasan Asia Tenggara bebas narkoba kemudian dipercepat menjadi tahun 2015.34 Menyadari bahwa persoalan narkoba tidak mungkin dibatasi sebagai persoalan kawasan Asia Tenggara saja, ASEAN berusaha memperluas kerjasama dengan merangkul China untuk menghadapi persoalan narkoba di Asia Timur. Pada tahun 2000, ASEAN menyelenggarakan kongres internasional di Bangkok dalam rangka pencapaian target Drug-Free ASEAN 2015 dengan dukungan the United Nation Office for Drug Control and Crime Prevention (UNDCP). Kongres tersebut tidak hanya dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN dan China, melainkan juga dihadiri sejumlah negara lainnya yang berkomitmen memerangi peredaran gelap narkoba. 35Selain perwakilan dari negara-negara anggota ASEAN, kongres tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari berbagai negara. Kongres tersebut menghasilkan formulasi the Bangkok Political Declaration in Pursuit of a Drug-Free ASEAN 2015. Kongres tersebut juga menghasilkan ASEAN and China Cooperative Operations in Response to Dangerous
31 Cooperation on Drugs and Narcotics: Overview, http://www.asean.org/5682.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 32 Ibid., 33 Joint Declaration for a Drug-Free ASEAN, http://www.asean.org/1638.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 34 Cooperation on Drugs and Narcotics: Overview, http://www.asean.org/5682.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 35 Kongres tersebut dihadiri oleh Australia, Austria, Belgia, Brunei, Kamboja, Kanada, China, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, India, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Republic of Korea, Laos, Luxembourg, Malaysia, Myanmar, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Philippina, Portugal, Singapura, Spanyol, Swedia, Thailand, Inggris, Amerika Serikat and Vietnam.

125

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

Drugs (ACCORD). Salah satu komitmen yang tercantum di dalam deklarasi tersebut adalah untuk berkontribusi secara finansial bagi pengimplementasian deklarasi itu sendiri dan bagi implementasi rencana aksi ACCORD.36 Maka diharapkan kerangka kerjasama tersebut dapat membantu kelemahan finansial yang dihadapi kerjasama intra-ASEAN. Kerjasama yang dikembangkan untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba sejak awal ASEAN berdiri sudah memenuhi karakter umum suatu rezim internasional, meskipun masih sangat lemah. Kerjasama ASEAN dilandaskan pada kesamaan pandangan mengenai persoalan bahaya narkoba, dan masih sangat normatif. Dalam perkembangannya, kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran narkoba memang menjadi lebih terstruktur secara institusional, memiliki pedoman, dan rencana aksi terinci. Akan tetapi, tetap saja rezim kerjasama yang dikembangkan ASEAN untuk menangani persoalan narkoba masih merupakan deklarasi yang tidak mengikat. Kerangka kerjasama ASEAN hanya mengandalkan pada prinsip-prinsip umum yang disusun bersama dan menyerahkan kepada keputusan masing-masing anggota untuk mengimplementasikannya. Dengan target yang telah ditetapkan bersama sekalipun, yaitu Drug-Free ASEAN 2015, ASEAN tidak mengupayakan rezim kerjasama yang lebih mengikat yang dilengkapi dengan mekanisme pengawasan kepatuhan negara-negara pihak. Akibatnya, kecenderungan penanganan peredaran gelap narkoba masih di tingkat nasional ketimbang menjadi upaya bersama di tingkat regional.37 Di level nasional, seluruh negara anggota ASEAN berupaya memperkuat legislasi, penegakan hukum, upaya-upaya pencegahan, peratawan, rehabilitasi dan pelatihan dalam rangka menghadapi persoalan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. C. Upaya Indonesia memerangi peredaran gelap narkoba Peredaran obat-obatan berbahaya sudah berlangsung di Indonesia jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2, yaitu penggunaan obat-obatan jenis opium pada masa penjajahan Belanda. Di bawah pemerintahan penjajah Belanda, undang-undang mengizinkan tempat tertentu digunakan untuk menghisap candu, dan pengadaannya pun dibenarkan secara legal. UU tersebut dicabut dan penggunaan candu dilarang setelah Indonesia berada di bawah penjajahan Jepang. Kemudian setelah kemerdekaan, Pemerintah
36 Bangkok Political Declaration in Pursuit of A Drug-Free ASEAN 2015, http://www.asean.org/644. htm diakses tanggal 21 Juli 2011 37 Ralf Emmers, Loc.Cit.,

126

Rizki Roza

Republik Indonesia mulai mengatur obat-obatan berbahaya dengan membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan, dan distribusi obat-obatan berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance). Ketika permasalahan penyalahgunaan narkoba mulai terjadi di berbagai negeri, terutama di Amerika Serikat, perhatian pemerintah Indonesia pun mulai semakin meningkat. Pada tahun 1970-an, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika sudah menjadi masalah nasional dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah.38 Sekalipun persoalan penyalahgunaan narkoba sudah mendapat perhatian pemerintah Indonesia sejak tahun 1971, pada saat itu permasalahan narkoba masih dipandang sebagai permasalahan kecil. Pemerintahan Orde Baru berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis, sehingga permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang. Saat itu persoalan narkoba dianggap sebagai salah satu dari enam permasalahan nasional yang menonjol, yaitu: pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, dan pengawasan orang asing.39 Untuk menangani persoalan-persoalan yang berkembang pada tahun 1970an, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Dan berdasarkan Inpres tersebut, dibentuklah Bakolak Inpres Tahun 1971 sebagai suatu badan koordinasi kecil yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada BAKIN, tidak mempunyai wewenang operasional, serta menerima alokasi anggara berdasarkan kebijakan internal BAKIN, bukan anggaran sendiri dari APBN. Badan ini beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain; yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba.40 Cara pandang pemerintahan orde baru yang meyakini bahwa permasalah narkoba tidak akan berkembang telah membuat pemerintah lengah terhadap ancaman bahaya narkoba. Ketika permasalahan narkoba meledak seiring dengan krisis perekonomian regional pada tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia tidak siap untuk menghadapinya. Berbeda dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang lebih siap karena telah
38 Narkoba di Indonesia, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/ artikel/2743/narkoba-di-indonesia diakses tanggal 21 Juli 2011 39 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8005/ sejarah-bnn diakses tanggal 21 Juli 2011 40 Ibid.,

127

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba sejak tahun 1970.41 Sampai dengan tahun 2008, jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia mencapai 3,6 juta orang. Jumlah pengguna narkotika di Indonesia mengalami lonjakan sejak tahun 2003 mencapai 3.2 juta orang per tahunnya. Penyebab peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika saat itu antara lain akibat hukum tindak pidana narkotika yang ringan dan produksi yang meningkat, sehingga permintaannya juga melonjak.42 Selama periode Januari sampai November 2009, BNN menangani sebanyak 28.382 kasus penyalahgunaan narkoba. Persentasenya dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.43 Dalam press release akhir tahun 2010 lalu, BNN mengklaim berhasil membongkar 61 kasus kejahatan narkoba selama tahun 2010. Seluruh kasus tersebut diperkirakan berdampak kerugian materil tidak kurang dari Rp 36 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 4 triliun.44 Berdasarkan data pada semester pertama tahun 2011, terdapat kenaikan sebesar 67% untuk tindak pidana psikotropika jenis shabu, sedangkan untuk jenis narkoba lainnya sekitar 8%. Dan dari persentase tersebut, banyak narkoba yang masuk berasal dari luar negeri.45 Dalam Laporan PBB mengenai narkoba yang disampaikan pada tahun 2009 menyatakan bahwa Indonesia sudah menjadi produsen sekaligus pengekspor narkoba. Kantor PBB urusan Obat Terlarang dan Kejahatan (UNODC) mengingatkan agar semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan tentang bahaya narkoba. UNODC mengungkapkan bahwa produksi ganja dan sabu di Indonesia cenderung meningkat, dan bahwa barang-barang tersebut diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik.46
41 Ibid., 42 BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/ konten/detail/humas/berita/1668/bnn_36_juta_warga_indonesia_gunakan_narkoba diakses tanggal 21 Juli 2011 43 Selama 2009, BNN Tangani 28.382 Kasus Narkoba, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/ index.php/konten/detail/humas/berita/1680/selama_2009_bnn_tangani_28.382_kasus_narkoba tanggal 21 Juli 2011 44 BNN Menggelar Press Release Akhir Tahun, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/index. php/konten/detail/humas/berita/1779/bnn_menggelar_press_release_akhir_tahun tanggal 21 Juli 2011 45 BNN Galang Negara-negara Kawasan Timur Jauh Berantas Narkoba, http://www.bnn.go.id/ portal/index.php/konten/detail/humas/berita/9940/bnn-galang-negara-negara-kawasan-timurjauh-berantas-narkoba diakses tanggal 21 Juli 2011 46 Laporan PBB Soal Narkoba, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/ berita/1626/laporan_pbb_soal_narkoba diakses tanggal 21 Juli 2011

128

Rizki Roza

Praktek penyelundupan narkoba terus mengalami perkembangan dan perubahan. Sebelumnya narkotika jenis tanaman seperti heroin, kokain, dan ganja merupakan jenis yang paling banyak peredarannya, akan tetapi dewasa ini justru narkotika yang berasal dari bahan sintetis seperti sabu-sabu dan ekstasi mengalami peningkatan pesat dalam peredarannya. Perubahan ini terjadi hampir di seluruh negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Kemudahan dalam memproduksi yang menjadi penyebab narkoba jenis sintetis saat ini menjadi tren. Indonesia yang sebelumnya hanya menjadi negara transit, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi produsen sekaligus pengekspor sabu. Jumlah kristal sabu yang ditemukan di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 694 kg. Di tengah penurunan tren luasan tanaman ganja di kawasan Asia Pasifik tahun 1998-2007, justru terjadi peningkatan produksi ganja di Indonesia bersama dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Thailand, Laos, Nepal, dan Vietnam. Produksi ganja Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai 32 ton, mengalami lonjakan 18 ton dari tahun sebelumnya. Sementara Thailand memproduksi 15 ton, Nepal dan Laos masing-masing 8 ton, dan beberapa negara lainnya sejumlah 11 ton.47 Pola penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat tercermin dari jumlah kasus dan tersangka. Untuk jenis ganja dan heroin mulai mengalami penurunan sejak tahun 2007. Jumlah kasus dan tersangka untuk jenis ekstasi juga berkurang cukup signifikan, dengan penurunan jumlah barang bukti ekstasi yang berhasil disita dari 1.091.204 butir pada tahun 2008, menjadi 309.382 butir pada tahun 2009. Sementara, peredaran sabu (methamphetamine) terus mengalami peningkatan sejak tahun 2006, yang tergambarkan melalui jumlah kasus dan tersangka yang terus bertambah dan mencapai level tertinggi pada tahun 2009, yaitu 10.742 kasus dan 10.183 tersangka. Hasil penyitaan sabu oleh Ditjen Bea Cukai pada tahun 2009 turut mempertegas peningkatan tersebut. Upaya di tingkat nasional untuk secara serius menangani persoalan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dilakukan setelah terjadi ledakan permasalahan narkoba pada tahun 1997 yang dalam perkembangannya terus menerus memburuk.48 Pemerintah mulai membentuk badan khusus yang diberi kewenangan untuk menangani persoalan tersebut, yaitu dimulai dengan
47 Ibid., 48 Kondisi yang memburuk telah mendorong Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkatkan upaya untuk memeranginya dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

129

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

pembentukan Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKKN) pada tahun 1999, meskipun belum didukung personil dan alokasi anggaran tersendiri melainkan diperoleh dari alokasi anggaran Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akibatnya, BKKN tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.49 Kemudian dengan meningkatnya ancaman bahaya narkoba, BKKN dipandang sudah tidak memadai lagi sehingga dibentuklah Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai pengganti.50 BNN bertugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan diberikan kewenangan operasional, serta didukung dengan alokasi anggaran dari APBN sejak tahun 2003.51 Sekalipun BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK, karena tanpa struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif, maka BNN kesulitan untuk bekerja optimal dalam menghadapi ancaman permasalahan narkoba yang terus meningkat. Bahkan, setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), antara BNN, BNP, dan BNK masih belum mempunyai hubungan struktural vertikal.52 Baru kemudian setelah UU Nomor 35 Tahun 2009 disahkan sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1997,53 status BNN berubah menjadi menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota.54 Berdasarkan UU tersebut, BNN
49 BKKN dibentuk berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, melalui Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKKN merupakan suatu badan koordinasi penanggulan narkoba yang beranggotakan 25 instansi pemerintah terkait, yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. 50 BNN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. 51 Tugas dan fungsi BNN adalah: 1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulan narkoba. 52 Berdasarkan Perpres tersebut BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN. 53 Perubahan UU tersebut dilakukan berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 yang merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 54 BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi, yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.

130

Rizki Roza

memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pindana narkotika dan prekursor narkotika. Kewenangan BNN pun bertambah yaitu memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan seluruh program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba atau P4GN, dengan kata lain BNN menjadi focal point pelaksanaan program P4GN. BNN memiliki misi untuk menyusun kebijakan nasional P4GN, melaksanakan operasional P4GN sesuai bidang tugas dan kewenangannya, mengkoordinasikan P4GN, memonitor dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN, dan menyusun laporan pelaksanaan kebijikan nasional P4GN. Untuk memenuhi misi tersebut, sementara terus merespon dan menyesuaikan diri dengan perkembangan mafia narkoba internasional, BNN berupaya terus mengembangkan kapabilitasnya sebagai institusi beserta personil-personil yang ada di dalamnya, baik melalui kerjasama dengan negaranegara sesama sasaran kejahatan penyelundupan narkoba, maupun negaranegara yang sudah berpengalaman.55 Meskipun modus operandi sindikat narkoba terus berganti, BNN masih mampu mengungkap sejumlah kasus besar berskala internasional, misalnya, pengungkapan penyelundupan narkoba lewat lukisan yang berhasil digagalkan pada 28 Januari 2011 lalu. Dalam pengungkapan tersebut, aparat berhasil menggagalkan peredaran 5,52 kg shabu yang disembunyikan di balik lukisan.56 BNN terus berupaya melakukan pelacakan dan penelusuran ke negara-negara pengirim narkotika, seperti Malaysia, Kamboja, dan khususnya Afghanistan. Mempelajari modus operandi yang kerap berganti-ganti alur dalam penyelundupan narkoba merupakan salah satu kendala dalam upaya menekan tingkat peredaran narkoba. BNN juga menjalin kerjasama dengan TNI AL dalam latihan maritim yang berpusat di perairan Batam, perairan Medan, dan perairan Kalimantan Barat dalam rangka mengantisipasi lalu lintas penyelundupan narkoba yang selama ini disinyalir melalui Laut Andaman, Selat Malaka, dan Laut China Selatan. Narkoba yang masuk ke Indonesia datang dari berbagai negara yang memang dikenal sebagai penghasil utama, tetapi dengan menggunakan jalur yang berubah-ubah. Pasokan narkotika dari Afghanistan ke Asia Tenggara
55 Visi dan Misi, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-pusat/ profil/8006/visi-dan-misi tanggal 21 Juli 2011 56 Penyelundupan Narkoba Via Lukisan Dijegal BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/ konten/detail/humas/berita/1791/_penyelundupan_narkoba_via_lukisan_dijegal_bnn diakses tanggal 21 Juli 2011

131

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sasaran utama, merupakan ancaman serius bagi upaya Indonesia memerangi penyelundupan narkoba. Zat kimia bahan utama pembuatan narkoba sintetis yang disebut dengan istilah prekursor sebagian besar yang masuk ke Indonesia berasal dari India yang masuk melalui China.57 Melihat pada hasil pengungkapan yang dilakukan BNN sepanjang tahun 2010, terdapat beberapa jaringan sindikat peredaran gelap narkoba internasional yang beroperasi di Indonesia, antara lain jaringan: China-Nigeria-Malaysia-Indonesia, India-Malaysia-Indonesia, China-Indonesia, Singapura-Indonesia, India-Nepal-Malaysia-Indonesia, dan Malaysia-Indonesia.58 Kerjasama internasional menjadi suatu keharusan dalam memerangi peredaran gelap narkoba. Salah satu tugas BNN adalah melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Menjadi fungsi BNN pula dalam pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN.59 Guna menindaklanjuti permasalah dan perkembangan terkini dalam penanganan permasalahan narkoba, BNN telah membuat berbagai perjanjian kerjasama dengan beberapa negara, baik berupa perjanjian ekstradisi, perjanjian dalam bentuk Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), maupun perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. Dalam rangka berupaya memerangi penyalahgunaan narkoba, Indonesia turut aktif dalam sejumlah forum kerjasama internasional, antara lain: International Drug Enforcement Conference (IDEC), Commision on Narcotics Drugs (CND), ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD), Head of National Law Enforcement Agency (HONLEA), Asia Pacific Drug Enforcement Conference (ADEC), Colombo Plan, dan Anti Drug Liaison Official Meeting for International Cooperation (ADLOMICO). Indonesia memperoleh berbagai manfaat dari forum-forum kerjasama internasional tersebut. Misalnya dari kerjasama pertukaran informasi antar peserta IDEC telah beberapa kali
57 BNN Galang Negara-negara Kawasan Timur Jauh Berantas Narkoba, http://www.bnn.go.id/ portal/index.php/konten/detail/humas/berita/9940/bnn-galang-negara-negara-kawasan-timurjauh-berantas-narkoba diakses tanggal 30 September 2011 58 Press Release Akhir Tahun Badan Narkotika Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/ konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_release&id=94&mn=2&smn=e diakses tanggal 21 Juli 2011 59 Tugas Pokok dan Fungsi BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8007/tujuan-pokok-dan-fungsi diakses tanggal 21 Juli 2011

132

Rizki Roza

membuahkan hasil berupa pengungkapan jaringan peredaran gelap narkoba internasional.60 Indonesia merupakan bagian dari organisasi International Drug Enforcement Conference (IDEC) yang dibentuk pada tahun 1983.61 IDEC beranggotakan para penegak hukum dari berbagai negara yang bergerak dalam upaya pemberantasan narkoba dan bertujuan untuk saling membangun kerjasama dan komitmen dalam memutus mata rantai peredaran gelap narkoba. Konferensi IDEC pertama kali dicetuskan oleh negara-negara yang telah mengikuti program pelatihan drugs enforcement yang diadakan oleh United States Drugs Enforcement Administration (US-DEA).62 Saat ini pembagian kelompok kerja kawasan IDEC terbagi ke dalam 6 kawasan, yaitu: kawasan Eropa dan Afrika, kawasan Timur Jauh, kawasan Amerika Selatan, kawasan Amerika Utara dan Tengah, kawasan Karibia, dan kawasan Asia Selatan dan Tengah, di mana Indonesia menjadi bagian dari region Timur Jauh.63 IDEC Far East Region mengadakan konferensi rutin setiap tahunnya. IDEC kawasan Timur Jauh melakukan rapat-rapat kerjasama guna mengkoordinasikan secara bersama-sama menanggulangi permasalahan Narkoba yang dirasakan kian kompleks dan mengancam kehidupan global di Kawasan Timur Jauh. Melalui rapat kerjasama, seluruh delegasi dapat bertukar data dan informasi tentang kegiatan operasional yang akan dilaksanakan dalam hal pemberantasan Narkoba, berikut sasaran targetnya. Melalui rapat-rapat kerjasama, mereka dapat menghasilkan kesepakatan dalam upaya pengejaran target operasi oleh masingmasing negara. Selain itu mereka juga mendiskusikan mengenai modus-modus
60 Misalnya: penangkapan seorang pimpinan sindikat narkoba bernama Abbas di Bangkok, Thailand. Dari keterangan tersangka Abbas, terdapat kurang lebih 2000 pabrik pembuatan narkoba di Iran yang hasilnya siap diedarkan ke berbagai wilayah di Asia. Selain itu, BNN juga berhasil menangkap seorang anggota sindikat asal Belanda di wilayah Sentul, Bogor dengan barang bukti lebih dari 250 ribu butir ekstasi. Lihat BNN Galang Negara-negara Kawasan Timur Jauh Berantas Narkoba, http://www. bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/9940/bnn-galang-negara-negara-kawasantimur-jauh-berantas-narkoba diakses tanggal 30 September 2011 61 Menurut sejarahnya IDEC dibentuk sebagai upaya untuk melembagakan kerjasama regional dari pejabat penegak hukum dari seluruh belahan bumi barat yang bertujuan untuk membangun kerjasama dan komitmen yang dibutuhkan dalam mensukseskan upaya pemberantasan narkoba. Pada awalnya anggota IDEC hanya berasal dari negara-negara di Belahan Barat dan terdiri dari empat kelompok kerja, yaitu kawasan Andrean, Southern Cone, Amerika Tengah, serta Meksiko dan Karibia. 62 BNN Galang Negara-negara Kawasan Timut Jauh Berantas Narkoba, http://www.bnn.go.id/ portal/index.php/konten/detail/humas/berita/9940/bnn-galang-negara-negara-kawasan-timurjauh-berantas-narkoba diakses tanggal 30 September 2011 63 Yang terdiri dari: Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Hongkong SAR, Jepang, Macau SAR, Malaysia, Myanmar, New Zealand, Korea, Laos, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam, Papua Nugini, US-DEA, dan Indonesia.

133

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

operandi terbaru yang digunakan oleh para sindikat dalam hal peredaran gelap narkoba. Tidak hanya kerjasama multilateral, BNN juga mengembangkan berbagai kerjasama bilateral sebagai bagian dari upaya memberantas peredaran gelap narkoba. BNN telah turut mengupayakan perjanjian ekstradisi dengan Australia, Thailand, Malaysia, Filipina, Hongkong, Korea, dan Singapura. Di antara perjanjian tersebut ada yang sudah ditandatangani namun belum di ratifikasi. Indonesia juga memiliki kerjasama MLA dengan sejumlah negara antara lain: Australia, China, Hongkong, Korea, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Kemudian, Indonesia juga memiliki sejumlah Nota Kesepahaman dengan beberapa negara, antara lain dengan: Laos - The Cooperation in the Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Precursor Chemicals Control; Pakistan - The Cooperation in Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Precursors; Iran - The Cooperation in Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Precursors; Timor Leste - The Cooperation in Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs , Psychotropic Substances and Its Precursor; Australia - The Cooperation in Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs , Psychotropic Substances and Its Precursor; Meksiko - Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Its Precursors; China Combating Illicit Production, Manufacture and Trafficking in Narcotic, Psychotropic Substances and Its Precursor; India - Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs , Psychotropic Substances and Its Precursor; Nigeria - The Cooperation in Combating Illicit Production, Manufacture and Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Precursors; Marokko - The Cooperation in Drug Demand Reduction and Combating Illicit Production, Manufacture and Trafficking in Narcotic, Psychotropic Substances and Its Precursors; Arab Saudi - The Cooperation in Preventing and Combating Transnational Crimes; dan Venezuela - The Cooperation in Drug Demand Reduction and Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances and Precursors. 64 Akan tetapi pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional masih dipusatkan di BNN. Implementasi dari perjanjian kerjasama internasional seperti pelatihan, workshop atau lainnya yang melibatkan tingkat daerah terutama bidang penegakan hukum, mengundang para penegak hukum di daerah untuk mengikuti kegiatan tersebut.
64 Beberapa dari MoU tersebut masih dalam proses.

134

Rizki Roza

D. Peran ASEAN bagi upaya Indonesia Upaya global memerangi peredaran gelap narkoba menghadapi sejumlah hambatan dan keterbatasan dalam pengimplementasian, mobilisasi sumber daya, serta kurangnya tenaga ahli regional dan lokal yang memadai. Melengkapi kerjasama internasional, kerjasama regional seharusnya lebih diuntungkan dengan adanya tenaga ahli lokal tambahan, serta mobilisasi kapasitas dan respon domestik yang lebih baik. Akan tetapi, kerjasama regional yang dikembangkan ASEAN sepertinya belum memenuhi harapan. ASEAN telah membicarakan persoalan narkoba sejak organisasi ini berdiri, dan terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahunnya. Bahkan ASEAN telah menetapkan target kawasan Asia Tenggara yang bebar narkoba sebelum tahun 2015 atau Drug-Free ASEAN 2015. Melihat pada perkembangan persoalan narkoba di kawasan Asia Tenggara maka dapat dikatakan bahwa upaya-upaya kerjasama yang dikembangkan ASEAN nyatanya belum cukup memadai. Misalnya untuk persoalan produksi opium di kawasan Golden Triangle. Meskipun sudah mengalami penurunan tajam dibandingkan dengan pada tahun 1980an, Myanmar tetap merupakan penghasil opium terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan, diikuti Laos pada peringkat ketiga. Menurunnya produksi opium di Myanmar justru diikuti dengan meningkatnya produksi ATS. Sementara itu, bagi Indonesia, jika melihat pada pengungkapan kasus narkoba di Indonesia antara tahun 2005-2009, dapat dikatakan persoalan narkoba masih dalam kondisi yang terus memburuk. Meskipun pada tahun 2008 kasus narkoba sempat menurun, jika diakumulasi secara keseluruhan jumlah pengungkapan kasus narkoba diIndonesia sejak tahun 2005-2009 masih mengalami peningkatan dari 14.904 kasus pada tahun 2005 menjadi 19.914 kasus pada tahun 2009.65 BNN dalam menjalankan fungsinya menghadapi sejumlah permasalahan, yang salah satunya adalah keterbatasan di bidang sumber daya manusia dan finansial di tingkat pusat dan daerah.66 Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa kerangka kerjasama ASEAN tidak hanya mengupayakan pertukaran informasi, melainkan juga upaya peningkatan kapabilitas sumber daya manusia di masing-masing badan yang menangani persoalan narkoba di setiap negara anggota. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kerjasama ASEAN tidak mencakup persoalan pendanaan sehingga ASEAN pun kesulitan menjalankan program-programnya tanpa dukungan negara atau organisasi di
65 BNN, Rencana Strategis BNN Tahun 2010-2014, Oktober 2010, hal. 6. 66 Ibid., hal. 14.

135

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

luar ASEAN. Sementara, Indonesia tidak jarang justru mendapatkan bantuanbantuan baik berupa pelatihan atau bahkan berupa fasilitas dan perlengkapan dari kerjasama bilateral, misalnya kerjasama Indonesia-Australia. Konsekuensi dari posisi dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan adalah bahwa Indonesia memiliki banyak titik rawan yang dapat digunakan sebagai jalur peredaran gelap narkoba internasional. Untuk mengamankan titik-titik rawan tersebut tentunya dibutuhkan personil yang berkompeten dalam jumlah besar serta dilengkapi pula dengan perlengkapan berteknologi canggih guna merespon jaringan-jaringan narkotika internasional yang juga memanfaatkan teknologi canggih untuk mengelabui aparat. Misalnya di provinsi Bali, sekalipun telah memiliki dukungan teknologi yang relatif lebih baik dibandingkan wilayah lainnya, dengan kondisi peralatan yang ada dan besarnya tantangan yang harus mereka hadapi, maka para penegak hukum Bali membutuhkan dukungan teknologi yang jauh lebih baik.67 Kebutuhankebutuhan seperti ini yang tidak diperoleh Indonesia dari kerangka kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba. Persoalan lain yang harus dihadapi Indonesia dalam memerangi peredaran gelap narkoba adalah sifat kerjasama ASEAN yang tidak mengikat. Secara umum, negara-negara anggota ASEAN telah menyatakan komitmennya untuk turut memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba melalui deklarasi-deklarasi dan rencana aksi yang disusun bersama. Akan tetapi, dengan sifat kerjasamanya yang longgar, tidak dilengkapi dengan mekanisme verifikasi kepatuhan negara-negara pihak atas komitmen bersama, maka keberhasilan pencapaian target-target yang disusun bersama akan sangat tergantung kepentingan nasional masing-masing negara. Dari temuan di lapangan, terdapat indikasi bahwa komitmen negara tertentu di kawasan untuk secara bersama-sama memerangi peredaran gelap narkoba masih perlu dipertanyakan. Negara tertentu diduga lebih mengutamakan mengamankan wilayahnya, ketimbang melihat peredaran gelap narkoba sebagai ancaman bagi kawasan secara keseluruhan. Konsekuensinya, mereka cenderung mengabaikan ketika wilayahnya digunakan sebagai titik transit peredaran gelap narkoba sebelum memasuki Indonesia. Selama negaranya hanya digunakan sebagai titik transit, bukan titik tujuan pemasaran, maka mereka tidak memandangnya sebagai ancaman yang perlu ditangani dengan serius.68
67 Hasil wawancara dengan pihak BNN Provinsi Bali, Direktorat Reserse Narkoba, Polda Bali, dan Kantor Wilayah Bali, NTB, & NTT, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 68 Hasil Wawancara dengan pihak Direktorat Reserse Kriminal Umum, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dan BNN Provinsi Kepulauan Riau.

136

BAB IV KESIMPULAN

Peredaran gelap narkoba dengan karakteristik transnasionalnya yang kompleks tidak dapat dihadapi pemerintah secara individu, melainkan menuntut dilakukannya kerjasama antara negara, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Upaya global memerangi peredaran gelap narkoba menghadapi sejumlah hambatan dan keterbatasan dalam pengimplementasian, mobilisasi sumber daya, serta kurangnya tenaga ahli regional dan lokal yang memadai. Melengkapi kerjasama internasional, kerjasama regional seharusnya lebih diuntungkan dengan adanya tenaga ahli lokal tambahan, serta mobilisasi kapasitas dan respon domestik yang lebih baik. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi negara-negara kawasan Asia Tenggara telah melakukan upaya-upaya kerjasama untuk mengadapi ancaman bahaya peredaran gelap narkoba, termasuk dengan menetapkan target DrugFree ASEAN 2015. Pada kenyataannya, kerjasama yang dikembangkan ASEAN belum cukup memadai untuk mengatasi persoalan ancaman bahaya narkoba di kawasan. Kelemahan-kelemahan kerjasama ASEAN, misalnya yang tidak mencakup persoalan pendanaan, pengawasan, dan implementasi, serta tidak dilengkapi mekanisme verifikasi kepatuhan terhadap komitmen, merupakan persoalan mendasar yang menjadi faktor penyebab belum efektifnya kerjasama ASEAN dalam memerangi peredaran gelap narkoba. Dengan kondisi demikian, dapat dikatakan bahwa ASEAN belum banyak berperan dalam upaya Indonesia memerangi peredaran gelap narkoba. Keuntungan yang diperoleh Indonesia melalui kerangka kerjasama ASEAN tidak banyak berbeda dengan kerjasama multilateral lainnya yang bersifat longgar di mana Indonesia menjadi salah satu negara partisipan. Sementara Indonesia tetap mengembangkan kerjasama-kerjasama multilateral dan bilateral lainnya, penting bagi Indonesia untuk mendorong ASEAN menciptakan kerjasama yang lebih baik demi mencapai kawasan Asia Tenggara yang bebas narkoba.
137

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Jurnal/Makalah: BNN, Rencana Strategis BNN Tahun 2010-2014, Oktober 2010. Emmers, Ralf, International Regime Building in Southeast Asia: ASEAN Cooperation against the Illicit Trafficking and Abuse of Drugs, IDSS Working Paper, Singapore, 2006. Harris, Paul G. (Ed.). International Environtmental Cooperation: Politics and Diplomacu in Pacific Asia: Colorado: The University Press of Colorado, 2002. Holsti, K. J., International Politics: A Framework for Analysis, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1988. Media Online: ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Nacotic Drugs, http://www.aseansec.org/1446.htm diakses 21 Juli 2011 Bangkok Political Declaration in Pursuit of A Drug-Free ASEAN 2015, http://www.asean.org/644.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba, diakses dari http:// www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/1668/ bnn_36_juta_warga_indonesia_gunakan_narkoba tanggal 21 Juli 2011 BNN Menggelar Press Release Akhir Tahun, diakses dari http://www. bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/1779/bnn_ menggelar_press_release_akhir_tahun tanggal 21 Juli 2011 BNN Galang Negara-negara Kawasan Timur Jauh Berantas Narkoba, http:// www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/9940/ bnn-galang-negara-negara-kawasan-timur-jauh-berantas-narkoba diakses tanggal 30 September 2011

139

Peran ASEAN Dalam Upaya Indonesia Memerangi Peredaran Gelap Narkoba

Cooperation on Drugs and Narcotics, Overview, http://www.asean.org/5682. htm diakses tanggal 21 Juli 2011 Declaration of ASEAN Concord, http://www.asean.org/5049.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 Joint Declaration for a Drug-Free ASEAN, http://www.asean.org/1638.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 Kenaikan Budidaya Bunga Opium di Kawasan Asia Tenggara, http://www. bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/artikel/2805/ kenaikan_budidaya_bunga_opium_di_kawasan_asia_tenggara, diakses tanggal 21 Juli 2011 Laporan PBB Soal Narkoba, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/ konten/detail/humas/berita/1626/laporan_pbb_soal_narkoba diakses tanggal 21 Juli 2011 Narkoba di Indonesia, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/index.php/ konten/detail/puslitdatin/artikel/2743/narkoba-di-indonesia tanggal 21 Juli 2011 Opium Poppy Cultivation and Heroin Processing in Southeast Asia, http:// poppies.org/news/104267739031389.shtml diakses tanggal 21 Juli 2011 Penyelundupan Narkoba Via Lukisan Dijegal BNN, diakses dari http:// www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/1791/_ penyelundupan_narkoba_via_lukisan_dijegal_bnn tanggal 21 Juli 2011 Plan of Action on Drug Abuse Control, http://www.aseansec.org/5735.htm diakses tanggal 21 Juli 2011 Press Release Akhir Tahun Badan Narkotika Nasional, http://www.bnn. go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_ press_release&id=94&mn=2&smn=e diakses tanggal 21 Juli 2011 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8005/sejarah-bnn diakses tanggal 21 Juli 2011 Selama 2009, BNN Tangani 28.382 Kasus Narkoba, diakses dari http:// www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/1680/ selama_2009_bnn_tangani_28.382_kasus_narkoba tanggal 21 Juli 2011 Tugas Pokok dan Fungsi BNN, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/ index.php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8007/tujuan-pokok-danfungsi tanggal 21 Juli 2011

140

Rizki Roza

UNODC, Myanmar: Situation Assessment on Amphentamine-Type Stimulants, December 2010, http://www.unodc.org/documents/eastasiaandpacific/ 2010/ 12/ops-myanmar-ats/Myanmar_ATS_Report_2010_lowres.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 UNODC, Opium Poppy Cultivation in South-East Asia: Lao PDR and Myanmar, December 2009, http://www.unodc.org/documents/cropmonitoring/SEA_Opium_survey_2009.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 UNODC, World Drug Report 2011, June 2011, http://www.unodc.org/ documents/data-and-analysis/WDR2011/World_Drug_Report_2011_ ebook.pdf diakses tanggal 21 Juli 2011 Visi dan Misi, diakses dari http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/ detail/bnn-pusat/profil/8006/visi-dan-misi tanggal 21 Juli 2011 Informan Wawancara, antara lain: BNN Provinsi Bali; Direktorat Reserse Narkoba, Polda Bali; Kantor Wilayah Bali, NTB, & NTT, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Direktorat Reserse Kriminal Umum, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau; dan BNN Provinsi Kepulauan Riau.

141

Bagian Keenam DIPLOMASI INDONESIA DALAM MERESPON KEJAHATAN TRANSNASIONAL1 Humphrey Wangke2

1 Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis di Provinsi DKI Jaya, Kepulauan Riau dan Bali. 2 Penulis adalah Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional, P3DI, Sekretariat Jenderal DPRRI.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada awalnya, satu-satunya faktor yang paling mendorong munculnya kejahatan transnasional adalah uang dan keuntungan material lainnya.3 Akan tetapi, ketika globalisasi membawa hubungan internasional berkembang nyaris tanpa batas, terminologi organisasi kejahatan transnasional menjadi lebih sulit didefinisikan. Definisi yang dulu biasa digunakan untuk merumuskan dasar hukum bagi perjanjian internasional kini sudah tidak dapat digunakan lagi. Seperti misalnya kejahatan di dunia maya (cyber crime) yang juga diklasifikasikan sebagai organisasi kejahatan transnasional hanya karena kegiatannya yang lintas batas negara. Dalam konteks yang demikian, kejahatan transnasional juga dapat dilakukan oleh individu, tidak harus oleh organisasi. Kesulitan dalam pendefinisian kejahatan transnasional juga muncul ketika orang memasukkan kejahatan krah putih (white-collar crime) sebagai kejahatan transnasional, dengan pemikiran bahwa kejahatan seperti itu dilakukan melalui sebuah kegiatan bisnis yang legal tetapi dapat menciptakan kejahatan yang bersifat lokal maupun transnasional. Karena itu, pendefinisian kejahatan transnasional kemudian tergantung pada ide atau persepsi yang berkembang pada saat itu. Dalam penelitian ini pemahaman tentang kejahatan transnasional mengacu pada definisi yang diberikan PBB yaitu offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involved more than one country.4 Sedangkan penggunaan istilah Transnational Organized Crimes (TOC) mengacu pada UN Convention against Transnational Organized Crime5 atau yang juga dikenal dengan
3 Dr. Louise I. Shelley (et.al), Methods and Motives: Exploring Links between Transnational Organized Crime & International Terrorism, NCJRS, USA, 23 Juni 2005, hal. 14 4 Gerhard O.W. Mueller, Transnational Crime: Definitions and Concepts, dalam Phil Williams and Dimitri Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4, No. 3 & 4, 1998, hal. 18. 5 Untuk mengetahui Konvensi Palermo dan ketiga Protokolnya, lihat http://www.unodc.org/palermo/ convmain.html.

145

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

Konvensi Palermo dan ketiga protokolnya yang menjadi acuan masyarakat internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional. Kejahatan yang memenuhi karakteristik TOC (Pasal 3 ayat 2) adalah yang dilakukan di lebih dari satu negara; dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengendalian dilakukan di negara lain; dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain. Karena itu, kejahatan transnasional memiliki jangkauan internasional karena pelakunya berasal dari berbagai negara dan melibatkan banyak negara. Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime-UNTOC) yang diadopsi pada tahun 2000 menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda.6 Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, tetapi kejahatan ini juga masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC. Lebih jauh lagi, kejahatan transnasional juga terkait dengan persoalan korupsi dan pencucian uang dalam jumlah besar dalam upaya mempertahankan dan memelihara kegiatannya yang terlarang. Sekali lagi, kejahatan seperti itu akan mengancam stabilitas dan keamanan negara. Korupsi diantara para pejabat negara terutama diantara aparat penegak hukum sudah pasti akan menciptakan ketidakjelasan dalam upaya penegakan hukum yang pada gilirannya akan memperlemah negara tersebut secara politik, ekonomi dan sosial, dan tentu saja akan mempengaruhi keamanan nasional karena akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Demikian pula dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengontrol terjadinya penyelundupan senjata, orang dan obat-obatan terlarang, akan sangat membahayakan keamanan negara tersebut. Kerawanan perbatasan yang mudah ditembus oleh berbagai bentuk kejahatan transnasional seperti itu
6 Berbeda dengan teroris, kejahatan transnasional antara lain tidak mempunyai ideologi, struktur organisasi, berkelanjutan, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, keanggotaannya terbatas. Untuk lengkapnya lihat, J.O. Finckenauer, Problems of Definition: What Is Organized Crime? Trends in Organized Crime, 2005, hal. 63-83.

146

Humphrey Wangke

akan membuat sistem internasional yang didasarkan pada perbatasan negara menjadi tidak penting. Atau dengan kata lain, kompleksitas kegiatan organisasi kejahatan transnasional bukan hanya merusak keamanan nasional tetapi juga sistem internasional. Dengan perkembangannya yang sedemikian itu, kejahatan transnasional dewasa ini dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Kejahatan transnasional bukan hanya menjadi ancaman bagi keamanan negara tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan hubungan antara negara. Beberapa peristiwa yang terkait dengan kondisi geografi setempat seperti hilangnya tapal batas, turut membantu suburnya perkembangan kejahatan transnasional di perbatasan. Meskipun perbatasan telah dijaga secara ketat tetapi dengan keterlibatan masyarakat di perbatasan membuat para penjahat transnasional selalu mendapatkan jalur alternatif untuk melakukan aksinya. Karenanya kejahatan transnasional telah berkembang menjadi ancaman terhadap keamanan nasional dan stabilitas internasional dan dapat mengganggu masalah sosial di perbatasan dan pembangunan ekonomi. Ada 4 alasan yang dapat menjelaskan tentang hal ini, yaitu7, pertama, ruang lingkup kejahatan transnasional telah meningkat secara dramatis seiring dengan berkembangnya globalisasi ekonomi dunia; kedua, semakin berkembangnya globalisasi ekonomi telah turut menyuburkan berkembangnya bisnis kejahatan transnasional, ketiga, kejahatan transnasional tumbuh dan berkembang berkat ketidakmampuan negara dan organisasi intermasional dalam mengambil tindakan bersama untuk mengatasinya, keempat, kejahatan transnasional biasanya lahir dari situasi dalam negeri yang penuh dengan konflik. Ciri khusus kejahatan transnasional adalah lingkup kejahatannya meliputi dua negara atau lebih, sehingga penanganannya selalu harus melibatkan negara lain. Kejahatan ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi negara, kelompok, bahkan individu. Karena itu, hampir seluruh negara memandang perlu untuk selalu berkomunikasi dan saling tukar informasi, baik dalam taraf penyelidikan maupun lainnya dalam menemukan dan menuntaskan kejahatan transnasional8. Indonesia termasuk negara yang telah menjadi obyek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di tahun 2010 ini meningkat sekitar 10,46 persen. Data di Mabes Polri menunjukkan untuk tahun 2009, jumlah
7 Monica Serrano, Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?, dalam Mats Berdal and Monica Serrano, eds.Lynne Rienner Publishier, 2002, hal. 2. 8 United Nations Office on Drugs and Crime, The Globalization of Crime: A Transnational Organized Crime Threat Assessment, United Nations Publication, Vienna, 2010, hal. 19.

147

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

kejahatan transnasional mencapai 17.511 kasus, sedangkan di tahun 2010 meningkat menjadi 19.342 kasus atau meningkat 1.831 kasus.9 Berdasarkan data yang dimiliki Polri, untuk kasus trafficking atau people smuggling misalnya, pada 2009 lalu terjadi 422 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 230 kasus. Selain itu, penyelundupan senjata api (sen-pi) juga mengalami kenaikan dari 16 kasus pada 2008 menjadi 25 kasus pada 2009 lalu. Ini belum termasuk illegal logging, mining, dan fishing. Khusus untuk illegal logging, yang berhasil diungkap selama 2009 mencapai 426 kasus dengan barang bukti berbagai batang kayu berkualitas dan peralatan berat lainnya. Untuk illegal mining, kasus yang ditangani selama 2009 mencapai 138 kasus. Kasus-kasus berbentuk kejahatan transnasional ini tidak sulit ditemukan, terutama di daerah-daerah terpencil dan berbatasan langsung dengan negaranegara tetangga. Sebagai negara kepulauan, sedikitnya ada sembilan daerah atau wilayah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk ribuan pulau terluar lainnya yang tidak berpenghuni. Tak bisa dihindari, luasnya wilayah yang menjadi prioritas pengamanan dibandingkan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini personel keamanan yang bertugas menjaga wilayah kerap kali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya. Luasnya wilayah yang ditangani dan harus dijaga tak cukup hanya dengan penempatan personel keamanan, baik TNI maupun Polri. Jumlah personel Polri yang hanya 400.000 personel tak akan mampu menangani seluruh luas wilayah Indonesia yang mencapai 191.9440 kilometer persegi atau sekitar 3.977 mil dengan 33 daerah provinsi yang memiliki populasi mencapai 230 juta penduduk. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Respon negara-negara terhadap kejahatan transnasional sejauh ini belum memperlihatkan kesamaan pada tingkat internasional meskipun telah ada Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional. Kondisi ini terjadi karena tantangan yang dihadapi suatu negara tidak ada yang sama atau identik di semua negara. Untuk mengatasinya, mungkin kerja sama internasional merupakan cara yang sangat ideal karena ciri dari kejahatan ini sifatnya lintas negara.
9 Kejahatan Transnasional Meningkat, dalam http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/12/29/ kejahatan-transnasional-meningkat, di akses 31 Desember 2010.

148

Humphrey Wangke

Akan tetapi bila memperhatikan kepentingan nasional suatu negara, termasuk kepentingan ekonomi dan politik yang sifatnya sensitif, maka kerjasama internasional akan sulit terwujud.10 Sebab untuk mewujudkannya harus memperhitungkan faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya dari negara yang terlibat di dalam kerjasama tersebut. Dengan memperhitungkan faktorfaktor tersebut, kerjasama internasional menjadi tidak mudah diwujudkan. Karena itu tidak berlebihan jika dalam KTT ASEAN ke-16 di Hanoi, 8-9 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mengangkat isu kejahatan transnasional ini dengan mendesak untuk dilakukan kerjasama efektif pada tingkat regional. Dengan latar belakang seperti itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana diplomasi pemerintah Indonesia dalam merespon kejahatan transnasional yang terjadi di Indonesia? Dengan permasalahan seperti itu, penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana ruang lingkup kejahatan transnasional? Bagaimana sebenarnya kejahatan transnasional di Indonesia? Seberapa efektif respon yang dilakukan Indonesia terhadap kejahatan transnasional? Posisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sangat memudahkan terjadinya bentuk-bentuk kejahatan transnasional seperti perdagangan obat-obatan terlarang, pencucian uang, perdagangan orang, korupsi, perdagangan senjata, ataupun kejahatan di dunia maya. Sekali saja Indonesia lemah dalam mencegah dan mengendalikannya maka kedaulatan negara akan terancam. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Latar belakang muncul kejahatan transnasional hingga menjadi ancaman terhadap keamanan masyarakat internasional; 2. Kejahatan transnasional yang terjadi di Indonesia; 3. Upaya diplomasi Indonesia dalam mengatasi kejahatan transnasional mengingat masih tingginya tingkat kejahatan transnasional di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi anggota Dewan maupun alat kelengkapan Dewan, yang membidangi masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan transnasional.
10 Wang Peng, Transnational Crime: Its Containment through International Cooperation, Asian Social Science, Vol. 5, No. 11, November 2009, hal. 29.

149

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

D. Kerangka Pemikiran Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim suatu ketika pernah mengatakan politik luar negeri adalah apa yang kita mau sedangkan diplomasi adalah apa yang kita dapat. Diplomasi pada dasarnya merupakan diskusi atau proses perundingan yang dilakukan secara verbal dengan tujuan untuk mempengaruhi atau mengubah posisi lawan bicara. Diplomasi juga dapat berarti sebagai sebuah perundingan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang dapat diterima oleh semua pihak. Karena itu, diplomasi sering disebut sebagai seni karena setiap situasi yang dihadapi memerlukan kemampuan dalam hal membujuk atau mempengaruhi namun pada saat yang bersamaan juga harus bersikap tegas.11 Lebih luas lagi, diplomasi seringkali digunakan sebagai upaya untuk memelihara komunikasi terbuka diantara pihak-pihak yang memiliki berkepentingan yang berbeda dengan harapan bahwa perbedaan pandangan ataupun perselisihan diantara kedua belah pihak dapat diselesaikan secara damai. Didalam ilmu hubungan internasional, definisi tentang diplomasi salah satunya dapat kita ketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh Ernest Satowi yang mengatakan diplomacy is the application of intellegent and tact to the conduct of officials relation between the governements of independents states.12 Dari pemahaman yang dikemukakan oleh Ernest Satow itu terlihat bahwa implementasi diplomasi tidak dapat dipisahkan dari wewenang, fungsi dan tugas Kementerian Luar Negeri. Seiring dengan berkembanganya globalisasi dan demokratisasi di seluruh dunia, batas-batas profesional diplomasi telah meluas bukan lagi menjadi wilayah yang secara tradisional milik para diplomat yang berada di Kementerian Luar Negeri.13 Aktor-aktor diplomatik alternatif telah muncul didalam dan di luar negara dan seringkali bertindak secara independen diluar Kementerian Luar Negeri. Diplomasi sebagai profesi telah mengalami perubahan definisi, kualifikasi dan ekspektasi dari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang diplomat.

11 Jennifer Aiken and Eric Brahm. Diplomacy, Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005, dalam http:// www.beyondintractability.org/essay/Diplomacy--Intro/. 12 Lihat Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited, New York, 1979, hal. 3. 13 Untuk lengkapnya lihat, Raymond Sayner and Lichia Yiu, International Economics Diplomacy: Mutations in Post-modern Times, Netherlands Institute on International Relations Clingendael, 2001, hal. 3.

150

Humphrey Wangke

Diplomasi publik yang ditandai oleh partisipasi aktor-aktor bukan negara dalam politik luar negeri dan hubungan internasional telah berkembang menjadi fenomena baru yang banyak terjadi di negara-negara maju dan mulai diikuti oleh negara-negara berkembang. Perbedaan antara masalah-masalah dalam negeri dengan kebijakan luar negeri secara perlahan menjadi kabur berkat adanya partisipasi multi aktor dalam diplomasi publik. Perkembangan penting dalam kegiatan diplomatik yang tidak lagi dilakukan oleh pelaku tradisional seperti Kementerian Luar Negeri pada akhirnya mengundang pertanyaan tentang definisi diplomasi, peran dan tugas Kementerian Luar Negeri. Diplomat yang berada di Kementerian Luar Negeri kini harus berhadapan dengan aktoraktor baru dan agenda-agenda baru, yang menuntut mereka harus melakukan adaptasi terhadap perkembangan yang sedemikian cepat ini. Di dalam proses adaptasi itu, ada Kementerian Luar Negeri yang berupaya menghalangi masuknya aktor-aktor non tradisional tersebut ke dalam arena internasional, atau ada Kementerian Luar Negeri yang secara bertahap menerima peran pelengkap dalam pertemuan internasional. Ada pula Kementerian Luar Negeri yang berhasil mengubah perannya dari yang semula sebagai pelaku utama dalam kebijakan luar negeri menjadi koordinator antar departemen dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Ada pula Kementerian Luar Negeri yang berperan sebagai lembaga konsultasi dalam pengambilan keputusan mengenai politik luar negeri dengan mendudukkan diplomatnya sebagai anggota delegasi dalam perundingan internasional. Semua perubahan ini mengindikasikan bahwa didalam era globalisasi saat ini, peran dan fungsi negara telah semakin terbatas. Implementasi first track diplomacy harus menyesuaikan dengan perkembangan globalisasi dunia saat ini. Kecenderungan terhadap desentralisasi kekuasaan atau pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi telah meningkat secara dramatis.14 Melalui pendekatan semacam ini, petugas keamanan dan masyarakat yang berada di daerah akan lebih dilibatkan dalam mengatasi masalah kejahatan transnasional yang secara tradisional selalu dimonopoli oleh pemerintah pusat. Sebagai ganti dari negosiasi antarnegara, maka pemerintah lokal diberi kewenangan untuk menjalin kerjasama yang bersifat sektoral dengan pihak luar negeri. Partisipasi dari aktor-aktor subnasional dalam hubungan antar negara telah membawa implikasi bagi Kementerian Luar Negeri untuk lebih meningkatkan kapasitas diplomasi dan diplomatnya.
14 Ibid.

151

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

Didalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi dibidang informasi dan komunikasi, diplomasi tidak hanya digunakan sebagai ujung tombak perundingan dengan negara lain tetapi juga sebagai sarana untuk menjelaskan kepentingan nasional ke luar negeri. Di samping itu, diplomasi juga berfungsi untuk mengkomunikasikan apa yang terjadi di luar negeri ke dalam negeri. Seperti masalah perubahan iklim dan korupsi yang bukan hanya menjadi isu internasional tetapi juga telah menjadi ikon baru kebijakan Indonesia untuk memperbaiki managemen kehutanan dan birokrasi di Indonesia agar bebas dari korupsi. Pendekatan yang bersifat intermistik semacam ini menuntut diplomasi harus mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang isu-isu yang berkembang di dalam negeri maupun yang di luar negeri secara seimbang sebab baik isu yang berkembang di dalam negeri maupun isu internasional mempunyai saling keterkaitan. Sebagai sebuah proses perundingan yang bersifat formal, diplomasi yang dilakukan pemerintah dapat berlangsung secara bilateral antara dua negara atau multilateral melibatkan banyak negara, dan dapat berlangsung secara regional atau global melalui organisasi internasional antar-pemerintah (IGO). Diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada dasarnya merupakan proses komunikasi yang dilakukan secara resmi dalam mengambil keputusan dengan lawan bicara.15 Namun sejalan dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara-negara di dunia, diplomasi saat ini tidak hanya melibatkan pemerintah saja tetapi juga kalangan non pemerintah.16 Oleh karena itu menurut Melissen, diplomasi juga berarti the mechanism of representation, communication and negotiation through which states and other international actors conduct their business.17 Definisi yang diberikan oleh Melissen ini memperlihatkan bahwa pelaku diplomasi bukan hanya monopoli negara atau pemerintah saja tetapi juga bisa dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Pelibatan kalangan informal ini dibutuhkan karena tidak selalu perundingan yang dilakukan oleh pemerintah berlangsung secara efektif. Tidak jarang perundingan yang dilakukan pemerintah mengalami deadlock karena masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dalam kondisi seperti ini, dialog tidak resmi yang dilakukan kalangan informal akan sangat membantu terutama untuk memelihara suasana dialogis diantara para pihak.
15 Susan Allen. Track I Diplomacy. Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Juni 2003 <http://www.beyondintractability. org/essay/track1_diplomacy/. 16 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit., hal.3 17 Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999, hal. xvi-xvii.

152

Humphrey Wangke

Namun semakin luasnya representasi dan partisipasi kelompok kepentingan yang berbeda juga membawa resiko.18 Di satu sisi akan mendorong terjadinya demokratisasi proses politik pada tingkat nasional dan global namun di lain sisi juga akan membuat diplomasi dan hubungan internasional menjadi rawan terfragmentasi dan menjadi konflik terbuka karena terlalu banyak negara dan aktor bukan negara yang harus berhadapan karena memiliki tujuan yang berbeda.

18 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit.

153

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang kejahatan transnasional dan permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahanbahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Penelitian tentang kejahatan transnasional ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menekankan pada pengumpulan bahan, termasuk dengan melakukan berbagai wawancara dengan informan yang relevan dan kompeten, dan melakukan berbagai kegiatan observasi di lapangan. B. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) terhadap pihak-pihak terkait dan survei lapangan. Selama di Provinsi Kepulauan Riau dan Bali, wawancara dilakukan dengan kepolisian daerah, Kantor Wilayah Bea dan Cukai, Kantor Kejaksaan, Kantor Kehakiman, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan BNN Provinsi serta LSM Gerakan Anti Trafiking. Di Jakarta, wawancara dilakukan dengan pejabat dari Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian Republik Indonesia, KPK, PPATK, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian. Di samping itu juga melakukan FGD tanggal 15 Maret 2011 dengan pembicaraan Erman Rajaguguk dan Makmur Keliat.
155

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

C. Tempat dan Waktu Penelitian di Provinsi Kepulauan Riau dilakukan dari tanggal 8 Mei sampai 14 Mei 2011, sedangkan di Provinsi Bali dari tanggal 12 Juni sampai dengan 18 Juni 2011. Dipilihnya Provinsi Kepulauan Riau karena merupakan salah satu daerah perbatasan di Indonesia yang sangat rawan terhadap terjadinya tindak kejahatan transnasional. Aksi-aksi kejahatan transnasional di kawasan ini dikenal sebagai jaringan Riau. Sulitnya pengawasan kejahatan transnasional di Kepulauan Riau karena banyaknya pelabuhan tikus di kawasan itu yang menjadi gerbang masuk kegiatan kejahatan transnasional.19 Dengan kondisi geografis yang berbatasan laut dengan Singapura dan Malaysia, serta status wilayah Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai kawasan free trade zone, Kepulauan Riau menjadi kawasan yang strategis bagi kegiatan kejahatan transnasional. Dipilihnya Bali sebagai obyek penelitian terkait dengan posisi provinsi ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang paling diminati oleh turis mancanegara. Dengan posisi seperti itu, para pelaku kejahatan akan selalu memanfaatkan Provinsi Bali sebagai transit atau daerah operasi dari berbagai tindak kejahatan transnasonal, seperti penyelundupan barang, transaksi narkoba, people smuggling, human trafficking, dan bentuk kejahatan lainnya. Peningkatan pariwisata yang dibarengi dengan terbukanya transportasi global di provinsi ini, baik darat, laut, maupun udara, sudah barang tentu akan berdampak terhadap peningkatan segala bentuk gangguan kamtibmas yang mungkin akan terjadi.

19 Kepri Gerbang Masuk Kejahatan Transnasional, Jawa Pos Online, tanggal 27 April 2010, diakses 9 Februari 2011

156

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Kejahatan Transnasional Kejahatan transnasional bukanlah fenomena baru dalam hubungan internasional. Akan tetapi kemunculan kejahatan transnasional tidak dapat dipisahkan dari era globalisasi saat ini. Karena itu, kejahatan transnasional seringkali disebut sebagai sisi negatif dari globalisasi.20 PBB memperkirakan uang yang didapat dari kegiatan kejahatan transnasional itu mencapai 1,1 trilyun dolar AS per tahun, dengan pendapatan terbesar berasal dari perdagangan obat-obatan terlarang yang mencapai 400 milyar dolar AS per tahun.21 Angka 400 milyar dolar AS tersebut sama artinya dengan 8 persen dari total perdagangan barang internasional. Angka 400 milyar dolar AS itu juga lebih tinggi dari nilai perdagangan minyak dunia dalam setahun tetapi masih lebih rendah dari perdagangan gelap senjata internasional. Sementara dari praktek-praktek pencucian uang, sebuah kajian memperkirakan uang yang beredar mencapai 2% sampai 5% dari perekonomian dunia, atau setara dengan 590 miliar dolar AS hingga 1,5 trilyun dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi kejahatan transnasional telah berhasil dalam melakukan kegiatannya diluar struktur kewenangan dan kekuatan politik dunia.22 Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan transnasional antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Globalisasi yang disertai dengan kemajuan teknologi komunikasi yang pesat menyebabkan hubungan antarbangsa, antarmasyarakat dan antarindividu
20 Wang Peng dan Wang Jingyi, Transnational Crime: Its Containment through International Cooperation, Asian Social Science, Vol. 5, No. 11, 2009, hal. 25. 21 Transnational Crime: A Threat to International Peace and Security, dalam http://www.pctc.gov.ph/ updates/tcthreat.htm, diakses 25 Januari 2008. 22 Alan Dupont, Transnational Crime, Drugs, and Security in East Asia, Asian Survey, Vol..XXXIX, No.3, Mei-Juni 1999, hal. 449.

157

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

semakin dekat, saling tergantung dan saling mempengaruhi sehingga tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world). Sejalan dengan hal itu, fenomena kejahatan transnasional terus mengemuka merambah ke berbagai penjuru dunia.23 Berbagai bentuk kejahatan transnasional semakin berkembang pesat dan telah diidentifikasi sebagai ancaman keamanan. Aktifitas seperti terorisme, peredaran obat-obatan gelap, illigal logging dan penyelundupan manusia misalnya, merupakan praktik-praktik yang sangat mengabaikan dan mengancam keamanan manusia yang pada gilirannya akan mengancam keamanan negara. Seperti misalnya drug trafficking saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia yang pada awalnya merupakan tempat transit sekarang berkembang menjadi daerah produksi. Kejahatan transnasional terutama yang beroperasi di perbatasan seperti obat-oabatan terlarang, peyelundupan senjata, atau perdagangan perempuan dan anak, merupakan ancaman terhadap kedaulatan nasional khususnya di bidang politik dan ekonomi. Didalam sistem politik internasional, perbatasan merupakan pemisah antara satu negara dengan negara lainnya yang memiliki sistem hukum dan politik yang berbeda, demikian pula dengan tingkat kemajuan ekonomi dan budaya politiknya. Kejahatan transnasional, karena sifatnya yang terlarang dan lintas batas, akan mengabaikan semua bentuk-bentuk kedaulatan negara dan perbatasan tersebut. Atau dengan kata lain, kejahatan transnasional tidak lagi memperhitungkan kedaulatan atau batas yurisdiksi negara, wilayah, dan perbatasan, tetapi lebih memperhatikan kelancaran arus barang, orang, dan perdagangan gelap yang memberikan penghasilan uang. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, kejahatan transnasional bukan hanya merupakan ancaman tetapi juga merupakan musuh bagi suatu negara. Seperti misalnya, dalam upaya untuk mempertahankan kegiatan bisnisnya yang illegal atau terlarang, pihakpihak yang terikat dalam kejahatan transnasional itu akan menggunakan kekuatan senjata yang dimilikinya untuk melawan aparat keamanan. Lebih jauh lagi, kejahatan transnasional juga terkait dengan persoalan korupsi dan pencucian uang dalam jumlah besar dalam upaya mempertahankan dan memelihara kegiatannya yang terlarang. Sekali lagi, cara-cara seperti ini akan mengancam stabilitas dan keamanan negara. Korupsi diantara para pejabat negara terutama diantara aparat penegak hukum sudah pasti akan menciptakan ketidakjelasan terhadap upaya penegakan hukum yang pada gilirannya akan memperlemah negara tersebut secara politik, ekonomi dan sosial, dan tentu saja
23 Mely Cabalero-Anthony, Challenging Change: Non Traditional Security, Democracy and Regionalism, dalam Donald K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009, hal. 193-194.

158

Humphrey Wangke

akan mempengaruhi keamanan nasional karena akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Demikian pula dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengontrol terjadinya penyelundupan senjata, orang dan obat-obatan terlarang, akan sangat membahayakan keamanan negara tersebut. Kerawanan perbatasan yang mudah ditembus oleh berbagai bentuk kejahatan transnasional seperti itu akan membuat sistem internasional yang didasarkan atas perbatasan negara menjadi tidak penting. Atau dengan kata lain, kompleksitas kegiatan organisasi kejahatan transnasional bukan hanya merusak keamanan nasional tetapi juga sistem internasional. Dengan perkembangannya yang sedemikian itu, kejahatan transnasional telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Kejahatan transnasional bukan hanya menjadi ancaman bagi keamanan negara tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan hubungan antara negara. Ada 4 alasan yang dapat menjelaskan tentang hal ini, yaitu24, pertama, ruang lingkup kejahatan transnasional telah meningkat secara dramatis seiring dengan berkembangnya globalisasi ekonomi dunia; kedua, semakin berkembangnya globalisasi ekonomi telah turut menyuburkan berkembangnya bisnis kejahatan transnasional, ketiga, kejahatan transnasional tumbuh dan berkembang berkat ketidakmampuan negara dan organisasi intermasional dalam mengambil tindakan bersama untuk mengatasinya, keempat, kejahatan transnasional lahir dari situasi dalam negeri yang penuh dengan konflik. Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang terorganisir, melibatkan para pelaku dan perencana di dalam dan luar negeri. Seperti yang dikatakan Phil Williams bahwa kejahatan transnasional. is a crime undertaken by an organization based in one state but committed in several host countries, whose market conditions are favourable, and risk of apprehension is low.25 Ciri khusus kejahatan transnasional adalah lingkup kejahatannya meliputi dua negara atau lebih, sehingga penanganannya selalu harus melibatkan negara lain. Kejahatan ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi negara, kelompok, bahkan individu. Karena itu, hampir seluruh negara memandang perlu untuk selalu berkomunikasi dan saling tukar informasi, baik dalam taraf penyelidikan maupun lainnya dalam menemukan dan menuntaskan kejahatan transnasional26.
24 Monica Serrano, Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?, dalam Mats Berdal and Monica Serrano, eds., Lynne Rienner Publishier, 2002, hal. 2. 25 Phil Williams, Transnational Criminal Organizations and International Security, Survival, 36, No. 1, Spring 1994, hal. 96. 26 United Nations Office on Drugs and Crime, The Globalization of Crime: A Transnational Organized Crime Threat Assessment, United Nations Publication, Vienna, 2010, hal. 19.

159

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

B. Kejahatan Transnasional di Indonesia Indonesia termasuk negara yang telah menjadi obyek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di tahun 2010 ini meningkat sekitar 10,46 persen. Data di Mabes Polri menunjukkan, untuk tahun 2009 jumlah kejahatan transnasional mencapai 17.511 kasus, sedangkan di tahun 2010 meningkat menjadi 19.342 kasus atau meningkat 1.831 kasus.27 Berdasarkan data yang dimiliki Polri, untuk kasus trafficking atau people smuggling misalnya, pada 2009 lalu terjadi 422 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 230 kasus. Selain itu, penyelundupan senjata api (sen-pi) juga mengalami kenaikan dari 16 kasus pada 2008 menjadi 25 kasus pada 2009 lalu. Ini belum termasuk illegal logging, mining, dan fishing. Khusus untuk illegal logging, yang berhasil diungkap selama 2009 mencapai 426 kasus dengan barang bukti berbagai batang kayu berkualitas dan peralatan berat lainnya. Untuk illegal mining, kasus yang ditangani selama 2009 mencapai 138 kasus. Sesuai dengan kondisi geografisnya, salah satu kasus kejahatan lintas negara yang sangat sering terjadi di Indonesia adalah penyelundupan barang. Departemen Perindustrian memperkirakan, kerugian negara akibat aktifitas penyelundupan barang impor ilegal ke dalam negeri jumlahnya cukup besar.28 Sebagai gambatran mengenai tingginya nilai impor produk-produk ilegal yang masuk ke Indonesia bisa dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Direktorat Industri Elektronika dan Telematika Departemen Perindustrian yang menyebutkan bahwa pada tahun 2008, nilai produk elektronika ilegal diperkirakan telah mencapai 35% dari total omzet penjualan produk domestik atau setara dengan 10,115 trilyun rupiah dari total omzet sebesar 30,2 trilyun rupiah. Pada tahun 2009, nilai produk impor elektronika ilegal ini diperkirakan tumbuh menjadi 12 trilyun rupiah atau 40 persen dari total omzet produk elektronika pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2010, omzet pasar elektronik diperkirakan mencapai 35 trilyun rupiah, namun rasio produk lokal dari total omzet tersebut hanya sejumlah 40 persen atau 14 trilyun rupiah, sedangkan sisanya merupakan produk selundupan dan produk yang tidak terstandar.

27 Kejahatan Transnasional Meningkat, dalam http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/12/29/ kejahatan-transnasional-meningkat, diakses 31 Desember 2010. 28 Jawaban tertulis Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional terhadap pertanyaan tertulis tim peneliti terkait dengan isu penyelundupan barang, April 2011.

160

Humphrey Wangke

Sementara data lainnya yang dikeluarkan oleh Direktorat Industri Tekstil dan Aneka, Ditjen Basis Industri Manufaktur, penyelundupan impor di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) juga tidak kalah maraknya. Dari sekitar 50 trilyun rupiah pasar industri TPT, sebanyak 64 persen pangsa pasar dipenuhi produsen dalam negeri, 10 persen dipenuhi produk impor yang sah, sedangkan sisanya yang 26 persen merupakan produk ilegal. Modus dari penyelundupan ini tidak hanya terjadi pada produk impor, melainkan juga penyelundupan dari dalam ke luar negeri, khususnya pada komoditi kayu dan rotan. Penyelundupan kayu ini dilakukan melalui perlintasan batas internasional yang lokasinya terpencil seperti di Kalimantan Timur (Nunukan, Malinau, Kutai barat), Kalimantan Barat (Sambas, Bengkayang, Sintang, Kapuas) dan Papua. Penyelundupan bahan baku rotan dilakukan melalui distribusi pengiriman rotan antar pulau, yang seharusnya pengiriman rotan dikirim ke sentra produksi rotan, dibelokkan ke luar negeri. Lemahnya pengawasan di perbatasan telah menjadikan wilayah perbatasan sebagai surge bagi para pelaku kejahatan transnasional. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan di wilayah perbatasan menjadi salah satu faktor pendorong keterlibatan masyarakat di wilayah perbatasan dalam kejahatan transnasional. Di sisi lain, tidak transparannya negara-negara penerima kayu selundupan seperti Malaysia, Singapura dan Cina mempermudah penyelundupan terjadi. Sebagai akibat penyelundupan bahan baku kayu ini ke luar negeri maka pasokan di dalam negeri menjadi terbatas sehingga menyebabkan menurunnya tingkat produksi dalam negeri. Sementara industri pesaing di luar negeri mendapatkan bahan baku dengan harga murah. Baik penduduk maupun aparat yang berada di perbatasan telah sangat merasakan manfaat dari aktifitas penyelundupan, paling tidak jika melihat apa yang terjadi di Kepulauan Riau. Dari keterangan yang diberikan oleh informan di daerah ini, antara lain dari seorang pejabat di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Riau, penyelundupan di Kepulauan Riau merupakan masalah yang dilematis karena sebenarnya dilarang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku tetapi terus saja terjadi karena para stakeholder yang berada di daerah itu sudah merasa sangat diuntungkan.29 Barang-barang yang diselundupkan umumnya merupakan kebutuhan pokok masyarakat setempat seperti beras dan gula dan relatif dalam jumlah yang tidak terlalu besar, bahkan bisa dikatakan hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Alasan yang
29 Wawancara dengan Aswir dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepri, 9 Mei 2011. Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Abien Prastowidodo dari Kantor Bea Cukai Tanjung Pinang, 10 Mei 2011.

161

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

dikemukakan sangat patut menjadi pemikiran para pengambil keputusan di tingkat pusat, yaitu daripada harus membeli dari luar daerah yang lebih mahal dengan kualitas yang buruk, lebih baik membeli dari Singapura atau Malaysia dengan harga yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik.30 Sebuah gambaran bagaimana distribusi barang kebutuhan pokok di provinsi ini masih belum lancar. Menurut Johannes Kennedy dari Kadin Kepri, penyelundupan terjadi karena berbagai hal, antara lain:31 1. Ketidakjelasan peraturan. Ijin impor seharusnya dari Dewan Kawasan tetapi prakteknya dari Bea Cukai; 2. Pajak yang tinggi. PPh di Indonesia sebesar 26 persen sementara di Singapura hanya 16 persen; 3. Selisih harga yang sangat signifikan dengan barang selundupan. 4. Baik pelabuhan resmi maupun tidak resmi di kawasan BBK dapat digunakan untuk kegiatan perdagangan sehingga sulit dideteksi mana yang resmi dan mana yang tidak resmi. Struktur organisasi yang menyelenggarakan FTZ juga dinilai tidak jelas. Saat ini tidak ada lagi Menteri yang bertanggung jawab terhadap FTZ di BBK. Secara juridis, Ketua Dewan Kawasan dijabat oleh Gubernur tetapi tidak jelas kepada siapa gubernur bertanggung jawab. Untuk itu dibentuk Dewan Nasional agar Gubernur dapat mempertanggungjawabkan implementasi FTZ, akan tetapi Dewan Nasional ini tidak diatur dalam UU. Kondisi yang demikian ini membuat FTZ di Kepulauan Riau tidak berjalan optimal. Karena itu, bagi Kadin, penyelundupan di BBK sebenarnya tidak ada sebab barang-barang yang dimasukkan masih dalam batas-batas kewajaran. Baik gula maupun beras yang diselundupkan masih dalam batas-batas kewajaran. Dengan kondisi seperti ini, Kadin lebih melihat isu penyelundupan ini sebagai upaya politiking terhadap BBK. Kurangnya supply pemerintah pusat mendorong munculnya penyelundupan atau perdagangan illegal di perbatasan.32 Penyelundupan terjadi karena sulitnya barang keluar masuk kawasan. Karena itu perlu ada kebijakan pemerintah pusat yang khusus untuk membina masyarakat di perbatasan. Menghadapi kondisi demikian, Kadin mengusulkan agar pendekatan border tidak lagi digunakan tetapi bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat secara efisien dan efektif.
30 Wawancara dengan Aswir, ibid. 31 Wawancara di Batam, 13 Mei 2011. 32 Penjelasan Abien Prastowidodo dari kantor Bea Cukai Tanjung Pinang, tanggal 10 Mei 2011.

162

Humphrey Wangke

Tindakan kriminal lainnya yang sering terjadi di Kepulauan Riau adalah di sektor perikanan. Sekali lagi hal ini terjadi karena ketidakjelasan peraturan yang ada. Banyak kapal yang ijin resminya adalah kapal penangkap ikan tetapi prakteknya sebagai penjual ikan. Padahal ijin untuk kedua kegiatan berasal dari dua instansi yang berbeda. Ijin penangkapan ikan dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) sedangkan untuk perdagangan ikan ijinnya dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan, sedangkan untuk pemberantasan penyelundupan wewenang berada di tangan Kantor Bea dan Cukai.33 Potensi kerugian negara akibat illegal fishing di Kepulauan Riau diperkirakan mencapai 30 trilyun rupiah per tahun. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan maupun pengamanan yang dapat dilakukan oleh aparat terutama di Perairan Kepulauan Natuna. Kelemahan di bidang keamanan ini menjadikan sektor kelautan tidak terkelola dengan baik. Terlalu banyak korupsi di sektor kelautan sehingga sulit melakukan koordinasi karena masingmasing stakeholder lebih mementingkan kepentingannya. Nelayan-nelayan Indonesia kalah bersaing dengan para pencuri yang umumnya menggunakan kapal-kapal penangkap ikan yang modern bahkan dengan pengawalan aparat keamanan negaranya. Seperti kapal Cina yang dikawal oleh armada AL-nya atau Malaysia yang dikawal oleh satuan AU nya. Sedangkan Indonesia, jangankan untuk mengawal, nelayan-nelayan yang mencari ikan di Natuna tidak mampu bersaing dengan kapal-kapal asing yang ada di sana. Ironisnya, Indonesia hingga sekarang masih melarang nelayannya menangkap ikan menggunakan pukat harimau sementara negara lainnya yang menangkap ikan di perairan indonesia menggunakan pukat harimau. Lebih ironis lagi, negara asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia menjual hasilnya ke Indonesia. Kekuatiran yang muncul adalah Indonesia tidak mampu mengelola kawasan perairannya seperti yang disebutkan didalam UNCLOS. Di samping telah menjadi kebiasaan, penyelesaian hukum atas kasuskasus penyelundupan barang atau pencurian ikan menjadi sulit karena terkait dengan keterbatasan dana yang dimiliki aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kehakiman dan kepolisian.34 Karena dana yang terbatas, lembaga33 Wawancara dengan Taufik Zulfikar, Abdul Kholik, Samsul Akbar dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau, tanggal 9 Mei 2011. 34 Menurut AKBP Asrial dan Polda Kepri, penyelundupan barang marak terjadi di Batam sebab hampir seluruh wilayah Batam merupakan pelabuhan rakyat. Kondisi alam yang demikian membuat kejahatan transnasional sangat mudah dilakukan dan kondisi ini diperparah oleh terbatasnya anggaran yang dimiliki aparat sehingga menyulitkan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan apalagi untuk melakukan pengawasan pos-pos terluar. Tidak jarang untuk melakukan pengamanan ini, pihak kepolisian mempekerjakan penduduk sekitar. Wawancara tanggal 12 Mei 2011.

163

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

lembaga penegak hukum seringkali kesulitan untuk menyelesaikan masalah penyelundupan. Seperti untuk kejahatan penangkapan ikan, biaya yang dibutuhkan untuk penambatan, pemeliharaan kapal, memberi makan pada para awak kapal, sampai untuk menghadirkan barang bukti di pengadilan membutuhkan proses yang panjang dan biaya yang tidak kecil. Karena itu tidak jarang masalah illegal fishing ini tidak sampai ke pengadilan. Cara seperti ini dianggap yang paling mungkin dilakuan ditengah keterbatasan dana, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Kesulitan dana pada akhirnya berhadapan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menghendaki adanya barangbarang yang murah dan mudah didapat. Akibatnya penyelundupan menjadi tidak terelakkan. Baik penyelundupan maupun pencurian ikan merupakan contoh kasus dari kegiatan kejahatan transnasional yang tidak mudah diatasi di Kepulauan Riau.35 Lahirnya status FTZ bagi BBK seharusnya memberi peluang hilangnya keinginan untuk melakukan penyelundupan. Akan tetapi, sekali lagi semangat untuk melakukan penyelundupan sudah terlalu tinggi, sehingga berbagai alasan digunakan untuk melakukan penyelundupan. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan yang tidak mau disebutkan namanya, bahwa pelabuhan tikus hanya menjadi kambing hitam masalah penyelundupan di Kepulauan Riau karena pelaku sebenarnya adalah para aparat yang berkompeten di lautan.36 Gula dan beras merupakan dua komoditas yang seringkali diselundupkan dari Singapura karena harganya lebih murah dan jarak tempuhnya lebih depat. Ada 8 kapal dengan bobot 400 ton yang biasanya digunakan untuk penyelundupan. Jika 1 kapal sanggup mengangkut 1000 ton berarti ada 8 ton gula atau beras yang diselundupkan dari Singapura kapan saja jika diingini oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hampir semua aparat terlibat dalam tindakan ini. FTZ justru memberi peluang bagi aparat di Kepulauan Riau untuk melakukan penyelundupan. Karena itu patut dipertanyakan jika ada pejabat yang mengatakan bahwa penyelundupan yang terjadi di Kepri dilakukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok masyarakat setempat. Yang menjadi pertanyaan berapa banyak beras atau gula yang dibutuhkan oleh masyarakat kepri. Apakah benar kebutuhan gula dan beras masyarakat sampai 8000 ton per hari atau perbulan. Mengapa aparat di Kepri melakukan tindakan semacam ini?
35 Wawancara dengan Bambang, Wakajakti Kepulaan Riau, 10 Mei 2011. 36 Wawancara dengan seorang pelaut yang tidak mau disebutkan namanya karena ia merupakan pemilik kapal yang kapalnya biasa digunakan untuk membawa barang selundupan dari Singapura ke Batam. Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Mei 2011 di Tanjung Pinang.

164

Humphrey Wangke

Narasumber mengakui bahwa komoditas yang diselundupkan hanya beras dan gula sedangkan yang lainnya sudah berhasil diatasi seperti barang-barang elektronik sudah tidak ada lagi, demikian pula dengan mobil. Balpress atau baju-baju bekas juga sudah dihentikan sejak tahun 2007 ketika Jenderal Sutanto menjadi Kapolri. Selundupan beras dan gula ini menjadi tantangan bagi pemerintah pusat untuk mengatasinya. Bukan hanya dengan menghentikan tindakan penyelundupan itu tetapi juga harus mampu menyediakan kedua kebutuhan pokok itu dengan cepat, murah dan kualitas barang yang baik. Tantangan lain yang harus diperbaiki adalah kesejahteraan para pejabat yang berada di perbatasan. Penyelundupan ini terjadi karena terbatasnya kesejahteraan petugas yang berada di perbatasan. Karena itu pemberantasan penyelunduan harus berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan para petugas. Tanpa itu, godaan untuk terus melakukan penyelundupan akan terus dilakukan. Peningkatan kesejahteraan ini mencakup semua pihak yang berkepentingan dilaut mulai dari DKP, kepolisian, Bea Cukai, TNI AL, kejaksaan bahkan kehakiman. Kesiapan aparat, regulasi dan mental petugas akan sangat menentukan dalam mendukung eksistensi Provinsi Kepulauan Riau sebagai sumber devisa bagi negara. Dua kebijakan geostrategis ekonomi yang saat ini tengah berlangsung di provinsi kepulauan ini adalah FTZ BBK (Free Trade Zone Batam Bintan Karimun) dan terdapat Tanjung Pinang dengan Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Cina Selatan, yaitu di Kepulauan Natuna dan Anambas.37 Implikasi dari posisi yang demikian itu, pemerintah harus mampu mengelola provinsi tersebut secara profesional dengan didukung oleh birokrasi yang efektif, regulasi yang jelas, serta aparat yang bebas dari semangat korupsi. C. Diplomasi Indonesia dalam Merespons Kejahatan Transnasional Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, kejahatan transnasional bukanlah ancaman semata-mata bagi Indonesia. Selain penyelundupan barang, Indonesia terbukti telah menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya kejahatan transnasional lainnya seperti obat-obat terlarang dari luar ke dalam, terorisme, pembalakan liar, perdagangan manusia (human trafficking), serta korupsi.38 Kerjasama internasional sangat diperlukan untuk menghentikan
37 DR. H. Syamsul Bahrum, PhD, FTZ BBK dan Kebijakan Stratejik Memperkuat Wilayah Perbatasan, Haluan Kepri, 12 Mei 2011, hal. 15. 38 Untuk mengetahui lebih jauh tentang kaitan antara kejahatan transnasional dengan korupsi, baca, Philip Gounev and Tihomir Bezlov, Examine the Links Between Organised Crime and Corruption, Center for the Study of Democracy, European Commission, 2010.

165

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

ancaman kejahatan ini. Oleh karena itu, pengadopsian Konvensi PBB melawan Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (UN Convention against Transnational Organized Crime) sangat penting bagi penyiapan sistem keamanan nasional yang komprehensif di Indonesia. Melalui konvensi ini, akan bisa dibentuk sebuah sistem keamanan nasional yang melibatkan kerjasama dengan berbagai pihak, di dalam maupun luar negeri, sehingga memungkinkan untuk saling membantu dan bertukar strategi dalam menghadapi kejahatan transnasional. Sehingga peluang untuk membendung dan memerangi kejahatan transnasional akan semakin besar. Konvensi TOC dengan 3 protokolnya, telah menjadi kiblat Kementerian Luar Negeri dalam merespon masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan transnasional.39 Intinya adalah pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri selalu mengacu pada kesepakatan internasional apabila tengah menghadapi masalah kejahatan transnasional. Walaupun kelima konvensi tersebut merujuk ke kejahatan-kejahatan yang spesifik, tetapi pada intinya terdapat tiga hal utama yang diatur dalam konvensi-konvensi tersebut. Pertama, mengatur langkahlangkah yang perlu diambil negara untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, mengatur perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana (criminalization) sebagai bagian dari penegakan hukum (law enforcement). Ketiga, pengefektifan dan penguatan kerja sama internasional melalui kerangka ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan kerja sama lainnya. Namun seperti yang telah dijelaskan dalam teori bahwa aktor-aktor dalam politik luar negeri kini telah beragam, maka tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memberantas kejahatan transnasional adalah belum adanya focal point yang bertanggung jawab secara langsung terhadap kejahatan transnasional sehingga seringkali dalam melakukan koordinasi.40 Keberadaan focal point sangat penting karena aktor yang terlibat dalam politik luar negeri bukan lagi monopoli Departemen Luar Negeri. Aktor pembuat informasi kini bisa berasal dari LSM, Ormas, tokoh, DPR, DPD, media dan lain-lain. Sehingga apabila terjadi suatu masalah yang bersifat transnasional maka upaya penyelesaiannya bukan hanya melibatkan satu kepentingan saja. Oleh karena itu, dalam konteks penyelesaian masalah kejahatan transnasional di Indonesia terdapat informasi yang beragam atau tidak satu suara.

39 Penjelasan Hasan Ashari dari Kementerian Luar Negeri, 21 April 2011 40 Ibid.

166

Humphrey Wangke

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk instansi yang aktif melakukan kerjasama dengan pihak luar. Disadari bahwa paradigma penyelesaian masalah kejahatan transnasional sudah tidak dapat lagi dilakukan oleh satu instansi saja. Artinya, jika jaman dulu kerjasama antar-negara terjadi karena faktor kebangsaan dan jurisdiksi nasional sehingga berlangsung secara formal, maka kini dengan terus berkembangnya kejahatan transnasional telah mendorong lembaga-lembaga anti kejahatan transnasional seperti KPK untuk bertindak secara informal. Komunikasi ternyata tidak selalu harus dilakukan antara pemerintah secara resmi tetapi dapat langsung dilakukan oleh lembaga yang berkepentingan dengan lembaga yang sama di negara lainnya.41 Apalagi kini kerjasama antar-negara sudah semakin meluas sehingga semakin terbuka terhadap orang luar, maka Indonesia harus menangani masalah kejahatan transnasional secara lebih serius. Ketiadaan focal point yang bertanggung jawab terhadap hal itu menjadi salah satu kesulitan KPK dalam melaksanakan pemberantasan kejahatan transnasional karena tidak tahu kepada siapa harus berkonsultasi bila muncul masalah kejahatan transnasional. Untuk mengetahui siapa yang menjadi focal point dimaksud maka perangkat peraturan perundangundang yang ada harus direvisi karena karena kerjasama seperti Mutual Legal Assistance (MLA) sifatnya resiprokal. Keterlibatan banyak pihak bisa terjadi karena baik isu dalam negeri maupun isu internasional memiliki saling keterkaitan atau yang biasa dikenal dengan istilah intermestik. Karena itu diplomasi publik yang dijalankan Indonesia, dan juga negara-negara lainnya, mempunyai dua misi penting yaitu sebagai jendela bagi masyarakat domestik untuk mengetahui persoalan di luar negeri dan sebaliknya menjadi jendela bagi masyarakat internasional untuk mengetahui persoalan yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Rasa identitas nasional dari masyarakat dan juga bagaimana perasaan mereka terhadap negaranya akan diketahui oleh masyarakat luar. Karena itu, diplomasi publik ini bukan hanya akan menjadi tantangan bagi kebijakan politik luar negeri Indonesia tetapi juga menjadi tantangan bagi kepentingan nasional Indonesia. Karena itu diplomasi publik berperan penting bukan hanya dalam mempengaruhi pihak luar untuk memahami kondisi dalam negeri Indonesia tetapi sebaliknya berusaha mempengaruhi pendapat orang lain. Karena itu respons yang diberikan Indonesia bukan hanya oleh Departemen Luar Negeri saja tetapi juga oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Karena itu diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dapat dilakukan oleh banyak aktor
41 Penjelasan Sudjanarko, Direktur Kerjasama Antar Instansi, KPK, 19 April 2011,

167

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

yang berasal dari kelompok-kelompok atau aktor-aktor di luar pemerintah, baik didalam maupun luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, Kementerian Luar Negeri dapat berperan memfasilitasi pihak-pihak terkait jika menghadapi masalah di luar negeri.42 Pada tahap awal, Kementerian Luar Negeri membantu proses negosiasi tetapi ketika semuanya sudah berjalan maka penanganannya diserahkan kepada lembaga bersangkutan, sambil tetap melakukan pendampingan terhadap lembaga tersebut manakal memang dibutuhkan. Dalam kasus-kasus yang terkait dengan kejahatan transnasional, peran Kementerian Luar Negeri lebih bersifat defensif mengingat ada lembaga lain yang lebih mengetahui permasalahan yang dihadapi. Karenanya, dalam melakukan tugas pengamanan terhadap kejahatan transnasional ini, Kementerian Luar Negeri lebih banyak melakukan tugas koordinatif. Sebagai langkah antisipasi, Kementerian Luar Negeri seringkali melakukan koordinasi dengan instansiinstansi terkait seperti dengan kantor imigrasi yang disebut dengan pertemuan clearing house. Demikian pula dengan kepolisian dan instansi terkait lainnya untuk melakukan upaya-upaya mengatasi kejahatan transnasional. Di samping ketiadaan focal point, kelemahan Indonesia lainnya adalah kurangnya awareness terhadap masalah yang dihadapi sehingga penanganannya seringkali terlambat. Padahal masalah kejahatan transnasional juga mengandung unsur korupsi yang melibatkan banyak pihak di banyak negara, sehingga pemberantasannya memerlukan kerjasama internasional. Dengan keterbatasan yang dimilikinya seperti tiadanya focal point dan awareness terhadap masalah yang sedang terjadi, maka ke depan Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan pada kesepakatan-kesepakatan internasional. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga harus sebanyak mungkin menciptakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara-negara yang memiliki perbatasan dengan Indonesia.43 Sebab kunci dalam perjuangan melawan kejahatan transnasional adalah kerjasama yang dinamis yang didasarkan pada:44 1. Saling percaya; 2. Persepsi yang sama terhadap ancaman; 3. Banyak kejahatan yang terjadi di daerah perbatasan; 4. Saling memahami keterbatasan dalam mengambil tindakan didalam negeri;
42 Penjelasan dari Hasan Ashari dari Kementerian Luar Negeri, 21 April 2011 43 Jawaban tertulis Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional terhadap pertanyaan tertulis tim peneliti terkait dengan isu penyelundupan barang, April 2011. 44 Transnational Crime: A Threat To International Peace and Security, dalam http://www.pctc.gov.ph/ updates/tcthreat.htm, diakses 25 Januari 2008.

168

Humphrey Wangke

5. Keinginan bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki keinginan untuk melindungi integritas dan kedaulatan nasional. Perbatasan Indonesia baik darat maupun laut terbukti telah menjadi jalur kejahatan transnasional yang merugikan Indonesia. Seperti misalnya aktifitas penyelundupan barang yang terbukti memiliki dampak yang luas dan serus bagi stabilitas ekonomi Indonesia mengingat modus operandi yang dilakukannya telah semakin berkembang. Karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan yang lebih ketat di perbatasan, termasuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang lebih jelas agar barang-barang selundupan lebih mudah dikenali, edukasi kepada masyarakat agar tidak hanya membeli barang yang murah dan mutu yang baik tetapi juga dampak dari pembelian barangbarang selundupan. Para importir juga perlu diawasi secara ketat terutama terhadap mereka yang rajin melakukan penyelundupan. Konsistensi sikap Indonesia dalam melakukan pembenahan kedalam maupun dalam mendukung kesepakatan internasional akan selalu menjadi perhatian masyarakat internasional. Keikutsertaan Indonesia didalam G-20 misalnya akan membawa konsekuensi Indonesia harus mematuhi resolusi yang dihasilkannya. Komitmen yang dicanangkan Indonesia terhadap keputusan G-20 akan selalu diperhatikan oleh pihak luar karena Indonesia harus konsisten mengimplementasikan keputusan G-20 tersebut. Tetapi sayangnya Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan yang harus dibenahi bila hendak melaksanakan keputusan G-20 tersebut. Kelemahan itu antara lain adalah:45 1. Indonesia belum mengatur tentang orang yang masuk ke Indonesia; 2. Untuk bidang keuangan Indonesia bukanlah konsumen; 3. Harus ada kemauan politik dari masing-masing negara. Sementara untuk kerjasama antar-instansi sudah sering dilakukan.

45 Penjelasan Sudjanarko, Direktur Kerjasama Antar Instansi, KPK, 19 April 2011,

169

BAB IV KESIMPULAN

Untuk dapat mengatasi masalah kejahatan transnasional secara efektif, terdapat dua pendekatan yang harus dilakukan Indonesia yaitu kedalam dan keluar. Kedalam, dengan menbenahi akar permasalahan kejahatan transnasional itu sendiri. Kejahatan transnasional bukanlah masalah yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan masalah kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Pemerintah harus mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang menganggur agar kejahatan transnasional dapat teratasi. Di samping itu yang terpenting adalah melakukan penegakan hukum. Pengangguran dan mental aparat yang korup mendorong berkembangnya kejahatan transnasional yang sangat merugikan Indonesia. Sedangkan keluar, kejahatan transnasional harus ditangani melalui kerjasama dengan masyarakat interansional. Tidak ada satupun negara di dunia yang dapat mengatasi kejahatan transnasional tanpa kerjasama dengan negara lain. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun dan meningkatkan kerjasama internasional, regional, bilateral yang bersifat sektoral. Disini pentingnya pembentukan MoU agar penanganan kejahatan transnasional dapat lebih terarah. Indonesia juga dituntut untuk menetukan focal point yang bertanggung jawab terhadap kejahatan transnasional untuk memudahkan koordinasi diantara para aktor pengambil keputusan. Didalam diplomasi publik, Kementerian Luar Negeri tidak bekerja sendiri tetapi melibatkan pula lembaga-lembaga sektoral maupun aparat pemerintahan di pusat dan daerah. Focal point itu dibutuhan agar penanganan masalah kejahatan transnasional dapat lebih terintegrasi dan terkoordinasi agar ada kesamaan sikap dan pandangan dari para stakeholder yang bertanggung jawab dalam mengatasi kejahatan transnasional. Sikap tegas pemerintah dalam mengatasi segala bentuk kejahatan transnasional dibutuhkan untuk mengurangi kerugian negara dan yang terpenting untuk memperlihatkan pada masyarakat internasional bahwa Indonesia bukanlah surga bagi pelaku kejahatan transnasional.
171

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

Baik pendekatan kedalam maupun keluar mutlak perlu dilakukan Indonesia mengingat kasus-kasus kejahatan transnasional di Indonesia terutama terjadi di daerah-daerah terpencil dan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Luasnya wilayah yang menjadi prioritas pengamanan tidak sebanding dengan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini personel keamanan yang bertugas menjaga wilayah sehingga kerap kali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya. Jumlah personel Polri yang hanya 400.000 orang tak mampu menangani seluruh luas wilayah Indonesia yang mencapai 191.9440 kilometer persegi atau sekitar 3.977 mil dengan 33 daerah provinsi yang memiliki populasi mencapai 230 juta penduduk. Masalahnya menjadi semakin rumit karena kejahatan transnasional di Indonesia melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain yaitu antara keterbatasan infrastruktur, mentalitas aparat yang korup, serta anggaran yang terbatas. Kejahatan transnasional yang terjadi bukan hanya terkoordinasi diantara para pelaku kejahatan tetapi juga telah melibatkan aparat di lapangan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan pemerintah daerah terlibat, paling tidak mengetahui adanya kejahatan transnasional di wilayahnya.

172

DAFTAR PUSTAKA

Alan Dupont, Transnational Crime, Drugs, and Security in East Asia, Asian Survey, Vol..XXXIX, No.3, Mei-Juni 1999. Gerhard O.W. Mueller, Transnational Crime: Definitions and Concepts, dalam Phil Williams and Dimitri Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4, No. 3 & 4, 1998. DR. H. Syamsul Bahrum, PhD, FTZ BBK dan Kebijakan Stratejik Memperkuat Wilayah Perbatasan, Haluan Kepri, 12 Mei 2011 Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999. J.O. Finckenauer, Problems of Definition: What Is Organized Crime? Trends in Organized Crime, 2005. Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited, New York, 1979. Dr. Louise I. Shelley (et.al), Methods and Motives: Exploring Links between Transnational Organized Crime & International Terrorism, NCJRS, USA, 23 Juni 2005. Mely Cabalero-Anthony, Challenging Change: Non Traditional Security, Democracy and Regionalism, dalam Donald K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy and Regionalism in Southeast Asia, ISEAS Publishing, Singapura, 2009. Monica Serrano, Transnational Organized Crime and International Security: Business as Usual?, dalam Mats Berdal and Monica Serrano, eds.Lynne Rienner Publishier, 2002. Phil Williams, Transnational Criminal Organizations and International Security, Survival, 36, No. 1, Spring 1994. Philip Gounev and Tihomir Bezlov, Examine the Links Between Organised Crime and Corruption, Center for the Study of Democracy, European Commission, 2010.
173

Diplomasi Indonesia Dalam Merespon Kejahatan Transnasional

Raymond Saner and Lichia Yiu, International Economic Diplomacy: Mutations in Post-modern Times, makalah diskusi tentang diplomasi , Netherland Institute of International Relations, 2001. UNODC, The Globalization of Crime: A Transnational Organized Crime Threat Assessment, United Nations Publication, Vienna, 2010. Wang Peng dan Wang Jingyi, Transnational Crime: Its Containment through International Cooperation, Asian Social Science, Vol. 5, No. 11, 2009. Internet: A. Karya non-Individual: http://www.unodc.org/palermo/convmain.html. Kejahatan Transnasional Meningkat, dalam http://www.poskota.co.id/ berita-terkini/2010/12/29/kejahatan-transnasional-meningkat, di akses 31 Desember 2010. Kepri Gerbang masuk Kejahatan Transnasional, Jawa Pos Online, tanggal 27 April 2010, diakses 9 Februari 2011 Transnational Crime: A Threat to International Peace and Security, dalam http://www.pctc.gov.ph/updates/tcthreat.htm, diakses 25 Januari 2008. B. Karya Individual Susan Allen. Track I Diplomacy. Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Juni 2003 <http://www.beyondintractability.org/essay/track1_ diplomacy/>. Jennifer Aiken and Eric Brahm. Diplomacy, Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005, dalam http://www.beyondintractability. org/essay/Diplomacy--Intro/>.

174

BIOGRAFI PENULIS

Sita Hidriyah, S.Pd, M.Si., adalah seorang calon peneliti bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI sejak Februari 2010. Lahir di Surabaya, pada tanggal 18 Oktober 1982. Menyelesaikan kuliah pendidikan Sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, lulus tahun 2005. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, Jakarta, lulus tahun 2008. Venti Eka Satya, S.E.,M.Si.,Ak., adalah calon peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. Merupakan seorang akuntan yang menyelesaikan studi S2 Akuntansi di program Magister Sains Universitas Gadjah Mada Yogjakarta. Pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi dan sekarang aktif sebagai peneliti di Sekretariat DPR RI dan asistensi Tim Pengawas Penanganan Kasus Bank Century DPR RI. Drs. Simela Victor Muhamad, M.Si., adalah Peneliti Madya Bidang Masalahmasalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. Pendidikan: FISIP, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1986; Pasca Sarjana UI, Kajian Wilayah Amerika, 1999. Aktif sebagai peneliti bidang Hubungan Internasional pada P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI dan bertugas memberikan dukungan substansi yang terkait dengan masalah-masalah hubungan internasional kepada Anggota DPR RI baik untuk keperluan Rapatrapat Kerja dengan Pemerintah maupun untuk Sidang-sidang Keparlemenan Internasional.

175

Biografi Penulis

Marfuatul Latifah, S.HI, LL.M., Lahir di Jakarta, 30 November 1984. Pendidikan S1 Ilmu Hukum Pidana dan Tata Negara Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2007. Menyelesaikan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan Ilmu Hukum Pidana pada tahun 2009. Bekerja di Sekretariat Jendral DPR-RI sejak tahun 2010 sebagai kandidat peneliti bidang hukum di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Rizki Roza, S.IP, M.Si., adalah seorang calon peneliti bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI. Lahir di Jambi, 17 Februari 1982. Pendidikan S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, lulus tahun: 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Hubungan Internasional (Kajian Strategi dan Keamanan) di Universitas Indonesia, Jakarta, lulus tahun 2007. Humphrey Wangke, M.Si., adalah Peneliti Madya (IV C) bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI. Ditempatkan di P3DI sejak tahun 1990 saat pertama lembaga ini dibentuk. Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Jember tahun 1987. Selanjutnya menyelesaikan studi S2 di KWA Universitas Indonesia tahun 1998. Pada tahun 2011 menerbitkan buku Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim.

176

Anda mungkin juga menyukai