Anda di halaman 1dari 22

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham, 2005). Abortus merupakan salah satu permasalahan yang ada kaitannya dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan (Supriyanto Khafid, 2007). Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya abortus cukup tinggi. Sekitar 1540%, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil, dan 6075% abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu (Lestariningsih, 2008) Di Indonesia, diperkirakan 2 2,5 % juga mengalami keguguran setiap tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (Manuaba, 2001). Menurut Pangkahila, abortus di Indonesia masih cukup tinggi dibanding dengan negara-negara maju di dunia, yakni 2,3 juta abortus per tahun. Sulit untuk mengidentifikasi dengan tepat seberapa sering keguguran terjadi (Henderson, 2005). Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi (Widyastuti & Dina, 2008). Menurut Cunningham (2000) ada beberapa faktor predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan usia ibu, mempunyai pengaruh besar. Frekuensi meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas, 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ketiga dan seterusnya (Llewellyn-Jones, Derek

2001).

Penatalaksanaan abortus meliputi, perbaikan keadaan umum ibu,

antibiotika dan pengeluaran hasil konsepsi. Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien dengan abortus incomplete. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai faktor resiko terjadinya abortus, gejala dan tanda klinis, pencegahan serta penatalaksanaan pada pasien dalam laporan kasus ini, dengan harapan laporan kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai abortus incomplete.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah : 1. Apa saja faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya abortus incomplete pada pasien dalam laporan kasus ini ? 2. Bagaimana diagnosis abortus incomplete pada pasien dalam laporan kasus ini? 3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dalam laporan kasus ini ?

1.3 Tujuan Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya abortus incomplete pada pasien dalam laporan kasus ini. 2. Untuk mengetahui diagnosis abortus incomplete pada pasien dalam laporan kasus ini. 3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dalam laporan kasus ini.

1.4 Manfaat Manfaat dari laporan kasus ini adalah menambah informasi dan wawasan mengenai kasus abortus incomplete.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham, 2005). Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan

pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Prawirohardjo, 2006). 2.2 Klasifikasi Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu: Menurut terjadinya dibedakan atas: 1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. 2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.

Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut : 1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. 2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. 4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram

2.3 Patogenesis Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan

pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan di atas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo, 2006).

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab abortus dapat dibagi menjadi faktor- faktor yaitu (Cunningham, 2005): 1. Faktor janin Faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini terjadi pada 50%-60% kasus keguguran. 2. Faktor ibu: a. Kelainan endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing manis. b. Faktor kekebalan (imunologi), misalnya pada penyakit lupus, Anti phospholipid syndrome. c. Infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman, toksoplasma , herpes, klamidia. d. Kelemahan otot leher rahim e. Kelainan bentuk rahim. 3. Faktor endokrin:

a. Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar 10-20 % kasus. b. Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal dengan tidak cukupnya produksi progesteron). c. Hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, diabetes dan sindrom polikistik ovarium merupakan faktor kontribusi pada keguguran. Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus, diabetes melitus dan defisisensi progesteron. Hipotiroidismus tampaknya tidak berkaitan dengan kenaikan insiden abortus. Pengendalian glukosa yang tidak adekuat dapat menaikkan insiden abortus. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya. 4. Faktor infeksi Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering dihubungkan dengan abortus spontan berulang. Organisme-organisme yang sering diduga sebagai penyebab antara lain Chlamydia, Ureaplasma, Mycoplasma,

Cytomegalovirus, Listeria monocytogenes dan Toxoplasma gondii. Infeksi aktif yang menyebabkan abortus spontan berulang masih belum dapat dibuktikan. Namun untuk lebih memastikan penyebab, dapat dilakukan pemeriksaan kultur yang bahannya diambil dari cairan pada servikal dan endometrial. 5. Faktor imunologi Terdapat antibodikardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin karena kurangnya

aliran darah dari ari-ari tersebut. Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan antibodi cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis tidak tampak dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang. Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena pelepasan histamin

mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler. 6. Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu, misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus; sebaliknya pasien penyakit tersebut sering meninggal dunia tanpa melahirkan. Adanya penyakit kronis (diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit liver/ ginjal kronis) dapat diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang baik. Penting juga diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Untuk eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk menilai apakah ada gangguan fungsi hepar dan ginjal atau diabetes melitus yang kemudian dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti persalinan prematur. 7. Faktor Nutrisi Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu/ semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab abortus yang penting. 8. Obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan.

Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang berperan. 9. Faktor psikologis. Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang dengan keadaan mental akan tetapi belum dapat dijelaskan sebabnya. Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang belum matang secara emosional dan sangat penting dalam menyelamatkan kehamilan. Usaha-usaha dokter untuk mendapat kepercayaan pasien, dan menerangkan segala sesuatu kepadanya, sangat membantu. 2.5 Gejala Klinis Adapun gejala-gejala dari abortus spontan sebagai berikut: 1. Pendarahan mungkin hanya bercak sedikit, atau bisa cukup parah. 2. Nyeri dan kram terjadi di perut bagian bawah. Mereka hanya satu sisi, kedua sisi, atau di tengah. Rasa sakit juga dapat masuk ke punggung bawah, bokong, dan alat kelamin. 3. Anda mungkin tidak lagi memiliki tanda-tanda kehamilan seperti mual atau payudara bengkak / nyeri jika Anda telah mengalami keguguran (Vicken Sepilian, 2007). 2.6 Diagnosis 1. Anamnesis a. Adanya amenore pada masa reproduksi. b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi. c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan panggul. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah leher rahim sudah mulai membesar.

3. Pemeriksaan penunjang: a. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi). Hal ini membantu dokter untuk memeriksa detak jantung janin dan menentukan apakah embrio berkembang normal. b. Pemeriksaan darah. Jika mengalami keguguran, pengukuran hormon kehamilan, HCG beta, kadang-kadang bisa berguna dalam menentukan apakah Anda telah benar-benar melewati semua jaringan plasenta. c. Pemeriksaan jaringan. Jika telah melewati jaringan, dapat dikirim ke laboratorium untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi - dan bahwa gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan kehamilan (Vicken Sepilian, 2007). 2.7 Diagnosa Banding a. Threatened Miscarriage (Abortus Iminens). Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dan beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis; nyeti dapat berupa nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul; atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. b. Incomplete Miscarriage (Abortus tidak lengkap). Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila seluruh atau sebagian plasenta tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet. c. Missed Abortion. Hal ini didefenisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Setelah janin meninggal, mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan abortus iminens, mungkin juga tidak. Uterus tampaknya

10

tidak mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali seperti semula. d. Recurrent Miscarriage (Abortus Berulang). Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang paling luas diterima adalah abortus spontan berturutturut selama tiga kali atau lebih (Cunningham, 2005).

2.8 Penatalaksanaan a. Memperbaiki keadaan umum. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup. b. Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6 jam, suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam, atau antibiotika spektrum luas lainnya. 4. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih cepat bila terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi. 5. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan penderita. c. Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi. Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan (Maureen, 2002).

11

BAB 3 LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Reg Nama Umur Alamat Pekerjaan Pendidikan Suami Umur Pendidikan Pekerjaan Status : 11108943 : Ny. L : 23 tahun : Jalan Selorejo Rt 02 RW 02 Wagir : Tidak bekerja : SD : Tn. S : 29 tahun : SD : Pedagang : Menikah 1x

Lama menikah: 1 tahun Pasien merupakan rujukan dari Sp.OG dengan abortus incomplete 3.2 Subyektif Keluhan utama: Keluar darah dari jalan lahir Tanggal 21/4/13, pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir berupa flek-flek warna kemerahan tanpa keluhan penyerta lainnya pasien masih tetap di rumah Tanggal 22/4/13, jam 17.00, pasien merasa keluar darah semakin banyak disertai gumpalan seperti daging dan menghabiskan kurang lebih 3 pembalut dalam 1 jam. Pasien juga mengeluh perut sedikit mules, seperti sakit datang bulan. Pasien segera ke dokter kandungan, di USG dan

12

dinyatakan keguguran dan masih ada sisa. Disarankan harus dikuret. Pasien ingin menggunakan jampersal, sehingga kemudian dirujuk ke RSSA Pukul 21.00, pasien berangkat ke RSSA HPHT 1 Januari 2013 16-18 minggu Riwayat trauma, pijat oyok, minum jamu-jamuan disangkal Terdapat riwayat keputihan semasa hamil sejak 2 minggu yang lalu, lendir kekuningan, tidak didapatkan gatal maupun bau, pasien tidak berobat untuk keputihannya Riwayat demam (-), mual muntah selama hamil (+) di awal kehamilan BAB dan BAK dalam batas normal

3.3 Objektif STATUS INTERNA Keadaan umum Kesadaran Tinggi badan Berat badan Tensi Nadi RR Suhu rectal Suhu axilla Kepala dan leher Thorax : sakit sedang : GCS 456, compos mentis : 155 cm : 45 kg : 110/70 mmHg : 96 x/menit : 20 x/menit : 36,9 C : 36,7 C : anemis - / - ,icterus / : jantung s1s2 tunggal, m (-) paru vv vv Rh - -Wh - --

13

vv Abdomen

--

--

: hepar/lien dalam batas normal, bising usus (+)

normal. Fundus teraba di 2 jari di atas symphisis Ekstremitas : anemis -/- , edema -/-

STATUS GINEKOLOGI Pemeriksaan Luar GE : fluk (+), fluor (-),

Pemeriksaan Dalam Inspekulo : v/v fluk (+), fluor (-) PONP terbuka, tampak jaringan VT : v/v fluk (+), fluor (-), PONP terbuka 1 jari, teraba jaringan CUAF 10-12 minggu Adnexa perimetrium D/S : nyeri (-), massa (-) Cavum Douglasi tidak menonjol

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG: Laboratorium (22 April 2013) DL UL : 14.10/16.250/39.8%/272.000 : Darah : 3+ Tes kehamilan : positif

3.4 Assessment Abortus incomplete

14

3.5 Planning PDx : PTx : MRS, pro kuretase IVFD RL + 20 IU oxytocin 28 tpm dalam 12 jam post kuretase Persiapan kuret: injeksi gentamicin 80 mg IV Kaltofren supp. 2 Tx Oral post kuret : Amoxycillin 2 x 500 mg Asam Traneksamat 2x500 mg Metergin 2 x 1 Robborantia 1 x 1 PMo : TD, Nadi, RR, Tax, flux, kontraksi uterus

jam pre kuretase

15

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Faktor Resiko Abortus Incomplete pada Pasein Penyebab abortus dapat dibagi menjadi faktorfaktor menurut

Cunningham (2005) dapat dibagi menjadi, faktor janin, faktor ibu, faktor endokrin, faktor infeksi, obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan, faktor psikologis. Pada pasien ini, kemungkinan faktor resiko yang ditemukan dan kemungkinan bisa menyebabkan terjadinya abortus adalah: a. Faktor janin: faktor resiko dari janin, yaitu kelainan genetik, pada pasien ini tidak dapat dievaluasi. b. Faktor ibu: faktor resiko dari ibu yang kemungkinan merupakan faktor resiko terjadinya abortus pada pasien ini adalah dugaan terjadinya infeksi. Pasien mengeluh adanya keputihan berwarna kekuningan sejak 2 minggu yang lalu namun tidak diobati. Menurut penelitian yang dipublikasikan di BMJ (2002), Bakterial vaginosis signifikan berhubungan dengan abortus pada usia 13-15 minggu. Selain itu, pasien memiliki berat badan rendah (BMI = 18.7 kg/m2), menurut penelitian Helgstrand dan Andersen (2005), ibu dengan BMI di

bawah 20 berhubungan dengan kematian janin. Cliver (1992) melaporkan ukuran tubuh ibu yang kecil, terutama berat badan rendah, meningkatkan resiko retardasi pertumbuhan janin. Mekanisme biologis yang mungkin menyebabkan adanya hubungan underweight dan abortus mungkin dari down regulation hormon atau konsekuensi langsung dari undernutrition. Dari studi pada tikus undernutrition dapat berakibat mekanisme inisiasi stress metabolik, menghambat proliferasi embrionik yang berakibat kematian janin (Kwong, 2000). Abecia (1999) melaporkan ibu dengan nutrisi rendah

16

menyebabkan penurunan kemampuan embrio untuk mensekresi trofoblas interferon-t dan meningkatkan produksi prostaglandin dari endometrium, yang dapat menginisiasi terjadinya luteolisis. Pasien dalam laporan kasus ini, menyangkal adanya penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hypertiroid, hipertensi dan lain sebagainya sehingga tidak dapat ditemukan faktor resiko untuk faktor penyakit berkepanjangan. Selain itu, tidak dapat dipastikan pula adanya kelainan genetik dan penggunaan obatobat juga disangkal. Untuk faktor psikologis pada pasien ini tidak dapat dipastikan juga karena dari anamnesis ibu tidak mengeluh adanya beban pikiran atau stres yang dirasakannya. Jadi, faktor resiko yang ditemukan dan mungkin menjadi penyebab terjadinya abortus pada pasien adalah dugaan infeksi dari anamnesis keputihannya dan underweight.

4.2 Diagnosis Abortus Inkomplit pada Pasein Diagnosis Abortus inkomplit ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari gejala klinis yang telah dibahas pada sub bab sebelum nya, gejala yang dikeluhkan pasien pada kasus ini mengarah pada abortus inkomplit. a. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan pasien telah mengalami amenorhea dengan hari pertama haid terakhir 1 Januari 2013. Pasien juga telah memastikan kehamilannya dengan memeriksakan diri pada bidan dan SpOG. Pada tanggal 21 April 2013 pasien mengalami perdarahan pervagina disertai dengan gumpalan seperti daging, pasien juga mengeluh sakit perut. Keluhan

17

pasien mengarah pada suatu kejadian abortus. Untuk menentukan jenis abortus diperlukan pemeriksaan fisik lebih lanjut. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan abdomen didapatkan fundus uteri teraba 2 jari diatas symphisis yang mengkonfirmasi adanya kehamilan setara umur kehamilan 12 minggu pemeriksaan ini membuktikan bahwa besar fundus uteri sesuai dengan usia gestasi. Pemeriksaan genetalia bagian luar didapatkan darah dengan jumlah sedikit hasil pemeriksaan ini meyakinkan adanya pedarahan yang terjadi dan mengestimasi kehilangan darah, pada pasien ini tidak didapatkan perdarahan yang banyak dan keadaan pasien masih cukup baik. Pada pemeriksaan dalam didapatkan portio nullipara mengkonfirmasi bahwa pasien belum pernah melahirkan sebelumnya, portio tanpaak terbuka dengan terlihat jaringan, hasil pemeriksaan ini mengkonfirmasi adanya sisa jaringan pada rahim. Uterus, adnexa parametrium dan cavum douglasi berada dalam kondisi baik tanpa kelainan. c. Pemeriksaan penunjang Dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui kondisi komponen darah ibu. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hemoglobin ibu masih normal yaitu 14.10 gr/dl menandakan bahwa kondisi ibu masih cukup baik dan tidak mengalami anemia. Leukosit 16.250 merupakan keadaan leukositosis. Komponen darah lainnya masih dalam batas normal. Dilakukan pemeriksaan plano tes untuk mengkonfirmasi diagnosis, pada pasien ini plano tes masih positif. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis pasien lebih mengarah pada abortus inkomplit.

18

2.9 Penatalaksanaan Abortus Incomplete pada Pasien Penanganan pertama pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum. Perdarahan yang dialami pasien tidak terlalu banyak dan keadaan umum serta hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien dalam keadaan baik sehingga tidak memerlukan penanganan lain selain pemberian cairan maintenance dan uretonika untuk induksi pengeluaran hasil konsepsi yaitu IVFD RL + 20 IU oxytocin sebanyak 28 tpm dalam 12 jam post kuretase. Pemberian antibiotika pada pasien untuk menghindari terjadinya infeksi. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang berspektrum luas. Kemudian dilakukan kuretase dengan persetujuan dari pasien sebelumnya. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan penderita. Umumnya setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi. Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan (Maureen, 2002).

19

BAB 5 KESIMPULAN Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup diluar kandungan. Etiologi dari abortus sebagian besar diakibatkan oleh kelainan pertumbuhan hasil konsepsi biasa menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu, kelainan pada plasenta misalnya endarteritis vili korialis. Karena hipertensi menahun, factor maternal seperti pneumonia, tifus, anemia berat, keracunan, toksoplasmosis, kelainan traktus genetalia seperti mioma uteri, kelainan bawaan uterus. Diagnosa biasanya tidak dapat ditentukan dalam satu kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk menilai tanda-tanda tidak tumbuhnya malah mengecilnya uterus. Hal tersebut diatas akan membawa kita pada suatu planning terapi serta pemilihan obat yang tepat dan efektif akan mempunyai pengaruh pada suatu prognosa yang akan terjadi dikemudian hari.

20

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Garry. (2005) Obstetri William (vol2). Jakarta: EGC. Hacker & Moore. (2001) Essentials of Obstetrics and Gynecology, Edy Nugroho. (2001) (Alih Bahasa), Jakarta: Hipokrates. Llewellyn-Jones, Derek. (2001) Fundamentals of Obstetrics and Gynecology, Hadyanto. (2001) (Alih Bahasa), Jakarta: Hipokrates. Prawirohardjo, Sarwono. (2006) Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-Sarwono Prawirohardjo. Widyastuti & Dina, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus. (2008).<http://images.arikbliz.multiply.multiplycontent.com/attachme nt>, diakses tanggal 26 April 2013 pukul 21.00 WIB. Manuaba. (2001) Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC Hegstrand, S., dan Andersen, Anne, M. N. 2005. Maternal underweight and the risk of spontaneous abortion. Acta Obstet Gynecol Scand 2005: 84: 11971201 Cliver SP, Goldenberg RL, Cutter GR, Hoffman HJ, Copper RL, Gotlieb SJ et al. The relationships among psychosocial profile, maternal size, and smoking in predicting fetal growth retardation. Obstet Gynecol 1992; 80: 2627. Kwong WY, Wild AE, Roberts P, Willis AC, Fleming TP. Maternal undernutrition during the preimplantation period of rat development causes blastocyst abnormalities and programming of postnatal hypertension. Development 2000; 127: 4195202.

21

Abecia JA, Forcada F, Lozano JM. A preliminary report on the effect of dietary energy on prostaglandin F2 alpha production in vitro, interferon-tau synthesis by the conceptus, endometrial progesterone concentration on days 9 and 15 of pregnancy and associated rates of embryo wastage in ewes. Theriogenology 1999; 52: 120313.

22

Anda mungkin juga menyukai