Anda di halaman 1dari 228

E

L
N
A
E
R
R
E
G
N


D M A
A N Y
S A
U D R M E B
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
Bandung, 15 Juli 200
Konivus Liang Mncval dan Baiuava dalamMcndukung
Pclaksanaan Hndangundang Nomov 4 Takun 29
Tcniang Pcviamangan Mncval dan Baiuava'
Kolokium
Pertambangan 2009
PRO8IDING
I8BN: TB-T-B41-3-3
ISBN 978-979-8461-63-3
PROSIDING
KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara
Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Bandung, 15 Juli 2009
Editor :
Binarko Santoso
Pramusanto
I.G. Ngurah Ardha
Husaini
Datin Fatia Umar
Darsa Permana
Slamet Suprapto
Tatang Wahyudi
Retno Damayanti
Fauzan
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
2009
E
N
E
R
G
I D
A
N
SUMBERDA
Y
A
M
IN
E
R
A
L
Hak Cipta / Penerbit
MIRA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman No. 623, Bandung 40211
Telepon : 022 - 6030483, Fax : 022 - 6003373
Penasihat
Kepala Badan Litbang ESDM
Penanggung Jawab
Kepala Puslitbang tekMIRA
Panitia Pengarah
Kuswandani, Suganal, Edwin Daranin
R.M. Nendaryono, Siti Rochani
Dewan Redaksi
Binarko Santoso
Staf Redaksi
Doeto Poespojoedo, Umar Antana
Bachtiar Efendi, Arie Aryansyah,
Hatif Hidayat
Moderator
Datin Fatia Umar, Miftahul Huda, Edwin Daranin
Yenny Sofaety, R.M. Nendaryono, Stefano Munir
Notulis
Kuswandani, Wiroto, Isyatun Rodliyah
Sri Sugiarti, Dedi Yaskuri, Hasniati Artika
Nuryadi Saleh
ISBN 978-979-8461-63-3
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
i PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mensosialisasikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, yang menggantikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)
telah menyelenggarakan Kolokium Pertambangan 2009 pada tanggal 15 Juli 2009, Kolokium yang
bertemakan Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dihadiri oleh para pejabat pemerintah
di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha, para peneliti dan pejabat fungsional lainnya, mahasiswa serta
masyarakat luas yang terkait dengan pengembangan pertambangan mineral dan batubara.
Sebagai lembaga litbang di bidang teknologi mineral dan batubara, Puslitbang tekMIRA diharapkan dapat
berperan secara aktif dalam meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana amanat yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini
diharapkan pula dapat diperoleh masukan dari pelaku industri dan masyarakat pertambangan tentang
posisi, peran, dan kontribusi litbang mineral dan batubara dalam menunjang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Prosiding ini merupakan rangkuman dari seluruh makalah yang dipresentasikan dalam Kolokium, serta
diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan mengenai perkembangan pertambangan, penelitian, dan
kajian yang berhubungan dengan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Melalui prosiding ini,
siapapun dapat melihat sampai sejauhmana para peneliti Indonesia telah berkiprah dalam memajukan
sektor pertambangan mineral dan batubara nasional.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan,
perusahan, instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun seluruh pembicara dan peserta, atas pemikiran
atau karya-karya terbaiknya, sehingga Prosiding ini memiliki nilai keilmiahan yang baik.
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan dan penerbitan Prosiding ini. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan dan penerbitan Prosiding di masa yang
akan datang.
Bandung, 15 Juli 2009
Tim Penyunting
ii PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG
ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PADA ACARA KOLOKIUM PUSLITBANG TEKNOLOGI
MINERAL DAN BATUBARA
BANDUNG, 15 JULI 2009
Yang kami hormati,
Para Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen ESDM atau yang mewakilinya,
Para Pejabat Eselon II di Lingkungan Departemen ESDM atau yang mewakilinya,
Para Profesor Riset dan Pejabat Fungsional di Lingkungan Badan Litbang ESDM,
Undangan dan Hadirin yang Berbahagia
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,
Salam Sejahtera bagi Kita Semua,
Selamat Pagi,
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wataalla, Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena berkat perkenan-Nya kita dapat menghadiri acara Kolokium yang diselenggarakan oleh
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA). Penyelenggaraan kolokium di Puslitbang tekMIRA
dan juga Puslitbang lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, memang sudah menjadi agenda tahunan
yang diharapkan dapat menampilkan karya yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yaitu
pemerintah, industri, dan masyarakat luas. Perlu dicatat pula, kolokium di lembaga litbang akan menjadi
tolok ukur sampai sejauhmana para peneliti dan pejabat fungsional kita lainnya mampu mengembangkan
diri dalam upaya berkontribusi bagi kemajuan sektor ESDM di tanah air.
Saudara-saudara Sekalian,
Kolokium Puslitbang tekMIRA kali ini bertemakan Kontribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam
Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Saya menilai tema kolokium 2009 ini sebagai bentuk tanggung jawab Puslitbang tekMIRA
untuk berperanserta dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang
menyangkut isi pasal 95 huruf c tentang kewajiban perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral
dan/atau batubara di dalam negeri, serta pasal 146 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah
untuk mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan litbang mineral dan batubara. Kedua
pasal tersebut merupakan spirit dan juga momentum yang akan lebih memacu kegiatan litbang mineral
dan batubara di tanah air, sekaligus menjadi stimulus bagi Puslitbang tekMIRA agar menghasilkan karya
litbang yang lebih baik dan berbobot serta mampu bersaing dengan lembaga litbang sejenis.
Peserta Kolokium yang Saya Hormati,
Terkait dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang berhubungan dengan
pasal 95 huruf c dan pasal 146, saya minta kepada seluruh jajaran di Puslitbang tekMIRA untuk
iii PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
melaksanakan beberapa hal berikut ini:
Pertama, tingkatkan kualitas sumber daya manusia.
Sebagai lembaga litbang, saya yakin Puslitbang tekMIRA memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
telah mampu melaksanakan penelitian secara profesional, dan dapat bersaing dengan para pakar di dalam
negeri maupun di forum internasional. Namun, sebagaimana dialami oleh hampir seluruh instansi pemerintah,
Puslitbang tekMIRA juga pasti merasakan kebijakan zero growth yang ditetapkan beberapa tahun yang
lalu. Kesenjangan antara senior dengan yunior yang semakin melebar, memerlukan percepatan regenerasi
dan transfer of knowledge. Untuk itu, solusi yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan
kepada karyawan yunior untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kursus
atau pertemuan ilmiah, magang pada perusahaan besar, dan hal-hal lain yang pada intinya dapat sarana
untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun keberadaan karyawan yunior ini merupakan
modal dasar bagi eksistensi Puslitbang tekMIRA ke depan.
Kedua, fokus kepada pemecahan permasalahan yang sedang dan kemungkinan akan dihadapi
oleh industri pertambangan mineral dan batubara.
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa lembaga litbang harus menjadi bagian tak
terpisahkan dari dunia yang digelutinya, bukan menara gading yang tidak tersentuh dengan melakukan
penelitian sesuai keinginannya sendiri. Persoalannya adalah, apakah Puslitbang tekMIRA akan menjadi
leader atau follower dalam industri mineral dan batubara di tanah air? Saya katakan bahwa Puslitbang
tekMIRA mesti fokus pada keduanya. Ini berarti, di satu sisi, Puslitbang tekMIRA harus dapat mengatasi
permasalahan sebagai langkah penanggulangan, tetapi, di sisi lain, juga harus dapat memprediksi arah
kecenderungan yang terjadi sebagai langkah antisipasi agar tidak berada pada kondisi status quo dan
melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin atau business as usual.
Ketiga, fokus kepada litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sekaligus
memperhitungkan keekonomiannya.
Dalam beberapa hal, nilai tambah dan keekonomian selalu berjalan beriringan, artinya peningkatan nilai
tambah akan mengakibatkan suatu material bernilai lebih tinggi dan menguntungkan. Tetapi tidak selamanya
peningkatan nilai tambah akan memberi keuntungan jika dijual ke pasaran. Hal ini disebabkan antara lain
oleh adanya kompetitor yang berharga lebih murah, atau daya serap pasar masih kecil dan tidak sebanding
dengan biaya produksi. Oleh karena itu, ke depan, Puslitbang tekMIRA harus berani memulai kegiatan
litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, tetapi sekaligus menguntungkan jika dilempar
ke pasaran.
Keempat, tingkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders).
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang bernuansa desentralisasi artinya pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara berada di pemerintah daerah, mengharuskan kita untuk secara lebih intens menjalin
kerja sama dengan mereka. Saya tahu Puslitbang tekMIRA telah lama melakukan hal itu, sehingga tidak
terlalu sulit untuk meningkatkannya. Namun perlu saya garis bawahi, kerja sama tersebut harus dapat
menghasilkan sesuatu yang tidak saja menguntungkan Puslitbang tekMIRA, tetapi juga bermanfaat
bagi pemerintah dan Daerah serta masyarakat pertambangan; tidak saja memberikan kontribusi terhadap
kemajuan bidang pertambangan mineral dan batubara, tetapi juga kemakmuran bagi masyarakat.
Selain dengan pemerintah daerah, peningkatan kerja sama dengan lembaga litbang lain, baik di dalam
maupun di luar negeri, perlu mendapat prioritas utama. Hal ini penting dilakukan sebagai bagian dari
upaya untuk meningkatkan kemampuan Puslitbang tekMIRA menghadapi tantangan masa kini dan masa
depan, serta untuk mengukur di mana posisi Puslitbang tekMIRA berada. Seluruh kerja sama antara
Puslitbang tekMIRA dengan pemangku kepentingan sudah seharusnya bersifat saling bermanfaat bagi
kedua belah pihak.
iv PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Kelima, optimalkan peralatan yang ada, serta tingkatkan kemampuan rancang bangun dan
rekayasa.
Saya telah menyinggung masalah ini pada acara Sinkronisasi Kegiatan Litbang di Lingkungan Badan
Litbang ESDM pada 14-15 April 2009 yang lalu. Saya tidak perlu mengulas lebih dalam, namun satu hal
patut diingat bahwa jika keinginan untuk melengkapi dan memutakhirkan dengan sarana dan prasarana
penelitian mutakhir tidak terpenuhi bukan berarti kita harus berdiam diri, lalu stagnan. Kita harus berbuat
sesuatu, yaitu dengan berupaya meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa pada peralatan
teknologi tinggi. Oleh karena itu saya mengajak peneliti Puslitbang tekMIRA dan juga peneliti Puslitbang
lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, untuk membuktikan sampai sejauhmana inovasi dan kreativitas
Saudara-saudara andaikata sarana peralatan baru tersebut tidak terpenuhi.
Keenam, jaga soliditas di lingkungan Puslitbang tekMIRA.
Ada ungkapan sederhana yang sudah lama kita kenal dan tahu artinya, yaitu bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh dan ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Untuk itu, siapapun Saudara, apapun latar
belakang pendidikan Saudara, dan di manapun Saudara ditempatkan, jangan pernah merasa yang satu
lebih superior daripada yang lain. Berjalanlah dalam koridor Rencana Stratejik yang telah dibuat oleh
Saudara-saudara sendiri, lalu bicara dan berbuatlah dengan bahasa yang sama dalam ikatan kesatuan
yang kuat. Insya Allah, permasalahan seberat apapun akan menjadi jauh lebih ringan dan tidak sulit untuk
dipecahkan.
Undangan dan Hadirin Sekalian,
Demikian sambutan dan arahan yang dapat saya sampaikan. Harapan saya kepada seluruh jajaran
Puslitbang tekMIRA, bahkan seluruh keluarga besar Badan Litbang ESDM, semoga dapat memaknai dan
mengimplementasikannya demi tercapainya tujuan kita memajukan sektor ESDM pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Saya berharap Saudara-saudara dapat menyongsong era desentralisasi di
bidang pertambangan mineral dan batubara ini dengan optimisme tinggi dan penuh rasa tanggung jawab.
Akhirnya dengan tetap memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Kolokium yang bertemakan Kontribusi
Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara resmi saya buka.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Kepala,
Bambang Dwiyanto
v PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
BANDUNG, 15 JULI 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ...................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... v
MAKALAH YANG DIPRESENTASIKAN
Presentasi Makalah Paralel I
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ............................. 1
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Bambang Yunianto
Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam.............................................. 16
Producer Gas dari Batubara
Slamet Suprapto dan Nurhadi
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral ....... 23
pada Era Globalisasi
Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara...................................... 30
pada Era Otonomi Daerah
Umar Dhani
Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari, Propinsi Kalimantan ................... 39
Selatan dengan Menggunakan Klasifayer dan Pemisah Magnetik
Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi
Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin, ................ 48
Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Bahan Baku Keramik
Subari, Enymia dan Sumarsih
Presentasi Makalah Paralel II
Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia ................................................................ 55
Ijang Suherman
Pengembangan Sistem dan Alat Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi ................ 70
Keruntuhan Batuan Atap (Roof Failure) pada Tambang Bawah Tanah
Zulfahmi, Hasniati Astika dan Supriatna Mujahidin
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ............................................ 78
Limbah Cair Industri Gula
Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk Pencegahan................................. 83
Air Asam Tambang
Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.
Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran..................... 90
Batubara dengan Pembakar Siklon di Beberapa Fasilitas Industri
Sumaryono
vi PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit ............................................................................... 97
Husaini
Presentasi Makalah Paralel III
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan Tailing ....................... 105
Amalgamasi di Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat Secara Sianidasi
(Studi Kasus KUD Perintis, Daerah Tonayan Selatan)
M. Lutfi dan Retno Damayanti
Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon.................... 115
Kalimantan Tengah dengan Electrostatic Separator
Pramusanto, Nuryadi Saleh, Yuhelda dan Firiza Yuliana
Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ................... 122
Sistem Fluidized Bed
Nurhadi dan Slamet Suprapto
Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara .................................. 128
Roza Adriany
Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data Seismik Refleksi ...................... 134
(Studi Kasus Perairan Bangka Utara)
Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah .................................. 147
Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin Fatia Umar dan Bukin Daulay
MAKALAH DIPOSTERKAN
Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri Kecil dan .............. 161
Menengah di Pulau Jawa
Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara ................. 168
Slamet Suprapto
Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing PT. Freeport Indonesia ........... 175
sebagai Katalis Pencairan Batubara
Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono
Karakteristik dan Optimalisasi Pembriketan Batubara Hasil Proses ................................ 181
Upgraded Brown Coal Skala Pilot
Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ............................ 189
Peringkat Rendah di Indonesia
Gandhi Kurnia Hudaya
Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi di Kabupaten Merangin, ............... 194
Propinsi Jambi
Endang Suryati dan M. Lutfi
Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya.............................. 204
sebagai Bahan Bakar
Muh Kurniawan, Leni Herlina, Novie Ardhyarini dan Nining Sudini Ningrum
Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara .................................................... 209
A.S. nasution, Miftahul Huda, Abdul Haris, Leni herlina dan Nining Sudini Ningrum
PRESENTASI MAKALAH
PARALEL I
1 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
PERMASALAHAN PENGELOLAAN POTENSI
EMAS DI GUNUNG TUMPANG PITU KECAMATAN
PESANGGARAN, KABUPATEN BANYUWANGI,
JAWA TIMUR
Bambang Yunianto
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id
SARI
Isu pertambangan terkait pengelolaan potensi dan kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang
Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi meliputi isu potensi emas, lingkungan pertambangan,
tumpang tindih dengan sector lain, dan isu sosekbud. Berdasarkan penelaahan terhadap ke-empat
isu tersebut diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi
emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Kesiapan daerah tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1) melakukan kajian kegiatan
pertambangan terkait pemanfaatan lahan sektor lain; 2) mengkaji kembali kegiatan pertambangan
emas oleh PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) untuk menampung partisipasi masyarakat dalam
pertambangan, perlu dialokasikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang berasal dari wilayah
konsesi PT. IMN yang memiliki potensi emas sekunder (alluvial). Kemudian perlu dilakukan pembinaan
dan pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha
terhadap para penambang rakyat tersebut; 4) dalam menangani persoalan Pertambangan Tanpa Izin
(PETI) atau gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persua-
sive, agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks; dan 5) sesuai kebijakan
otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, dan PP No. 38
Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan dan energi yang tugasnya mengelola
kegiatan pertambangan di daerah.
Kata Kunci: isu pertambangan, tambang emas, kesiapan daerah, pengelolaan potensi emas
ABSTRACT
The mining issues related to manage the potential and the activity of gold mining in Gunung Tumpang
Pitu, District of Pesanggaran, Regency of Banyuwangi include the gold mining, mining environment,
interest conflict and the socio-economic-culture. Based on the review toward these issues, it requires
the regional readiness to manage the gold potential in the region.
The regional readiness includes several activities, namely: 1) to assess the mining activity related to
the land use; 2) to reassess the mining activity conducted by PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) to
allocate the mining area for the local community in the concession area of the company that contains
gold placer. Then, to conduct guidance and monitoring, the mining techniques, environment or the
2 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Kegiatan survai lapangan pemantauan isu
pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi
Jawa Timur dilakukan untuk menginventarisasi dan
mengidentifikasi permasalahan mengenai isu
lingkungan pertambangan tanpa izin (PETI) emas
dan isu tumpang-tindih kegiatan PT. Indo Multi
Niaga (PT. IMN) di Pegunungan Tumpang Pitu,
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Kegiatan survai lapangan isu lingkungan dan
tumpang-tindih pertambangan dengan sektor
kehutanan di Pegunungan Tumpang Pitu di atas
didasarkan pemberitaan dan informasi di media
mass berikut:
1) Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi,
Sebentuk Kanibalisasi antar -Potensi, Berita
Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008.
2) Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang
Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu, Harian
Kompas, Senin, 16 Juni 2008
3) Ribuan Penambang Emas Banyuwangi
Diusir, Harian Kompas, Jumat 27 Februari
2009.
4) Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi
Capai 3 Ribu Orang, Detik Surabaya, Selasa,
28 April, 2009
5) Berebut Emas di Tumpang Pitu, Harian
Kompas, Rabu, 17 Mei 2009.
Isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi
tersebut memiliki bobot penting karena ada
beberapa masalah, antara lain; isu lingkungan, isu
tumpang-tindih sektor pertambangan dengan
sektor lain (kehutanan, pertanian dan perkebunan),
serta isu sosial ekonomi kemasyarakatan. Oleh
karena itu, Tim Isu Puslitbang tekMIRA menurunkan
tim yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu
(tambang/ geologi, sosial ekonomi, dan surveyor).
Berdasarkan informasi secara informal, sekembalinya
Tim Isu Pertambangan Puslitbang tekMIRA dari
lapangan, isu pertambangan tersebut kembali
mencuat setelah terjadi penangkapan terhadap
para PETI yang dilakukan Polres Kabupaten
Banyuwangi. Penangkapan ini telah menyulut
konflik antara aparat dan para PETI, dan masalah
ini mendapat sorotan dari berbagai pihak di
Kabupaten Banyuwangi.
Berdasarkan hasi l survai l apangan, akar
permasalahan dari mencuatnya isu pertambangan
terkait potensi emas di Gunung Tumpang Pitu,
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,
Provinsi Jawa Timur sebetulnya terletak kepada
kesiapan daerah di dalam pengelolaan pertam-
bangan, sebagaimana dipilih sesuai judul tulisan ini.
Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi dan
menganalisis permasalahan pengelolaan potensi
emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan
Pesanggaran, Banyuwangi sesuai peraturan
terkait, sebagai bahan masukan bagi daerah dalam
mengelola sumber daya tambang yang ada di
daerahnya.
2. METODOLOGI
Secara umum metodologi yang digunakan adalah
pendekat an mul t i di si pl i n i l mu, dengan
menggunakan berbagai parameter keilmuan dalam
membahas permasalahan utama yang dikaji.
Inventarisasi data melalui teknik observasi,
wawancara berpanduan, dokumentasi, dan
diskusi. Pengolahan data menggunakan teknik
kategorisasi, kompilasi, dan tabelisasi. Analisis
data di l akukan secara deskri pti f anal i ti s.
Sedangkan dalam merekonstruksikan pemecahan
permasal ahan dan masukan bagi daerah
didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan
rasional dan berlandaskan kepada arah kebijakan
pertambangan dan kebijakan lain yang terkait pada
era otonomi daerah.
Data yang mendukung penulisan ini berupa data
primer maupun sekunder hasil survai lapangan.
Data primer berupa hasil wawancara langsung
dengan berbagai pihak yang terkait dengan
permasalahan pengelolaan potensi emas di
Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,
Banyuwangi, seperti Pemda Perekonomian
Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten
Banyuwangi, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten
management of the business for the miners; 4) not to apply repressive actions towards illegal mining,
but to persuade not to create a bigger problem and complex; and 5) in accordance with the regional
autonomy policy, UU 32/2004, UU 33/2004 and PP 38/2007, it is required to set an office of mining
and energy in managing mining operation in the region.
Keywords: mining issues, gold mine, regional readiness, management of gold potential
3 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
Banyuwangi , Camat dan staf Kecamatan
Pesanggaran, PT. IMN, aparat keamanan yang
bertugas di Gunung Tumpang Pitu, para gurandil,
dan masyarakat setempat. Sedangkan data
sekunder berasal dari instansi terkait, baik di
tingkat Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan
Pesanggaran serta informasi dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan mass media.
Mengenai pelaksanaan kegiatan survai lapangan
dari tanggal 20 25 April 2009 adalah:
1) Melakukan kegiatan koordinasi dengan Kepala
Bagian Perekonomian (Pak Bambang Edi
Sunaryo) dan Sekertaris (Bu Tri) tentang isu
lingkungan PETI emas di pegunungan
Tumpang Pi tu di Kantor Pemda Kab.
Banyuwangi (Distamben belum ada).
2) Koordinasi dan pendataan di Bappeda Kab.
Banyuwangi dengan Pak Mujiono, Pak Wahyu
Diyono, Pak Rudianto tentang isu Lingkungan
PETI emas, PT. IMN dan tata ruang (hutan
lindung).
3) Koordinasi dan pendataan dengan Kepala TU
Kantor Lingkungan Hidup Kab. Banyuwangi
(Pak Gatot Sudjadi).
4) Pendataan di BPS Kabupaten Banyuwangi
dengan Pak Ruslan
5) Survai lapangan ke lokasi di Kecamatan
Pesanggaran, dan berkoordinasi dan diskusi
dengan staf Kecamatan Pak Sujono dan Pak
Sunoto.
6) Koordinasi dan diskusi denga PT. IMN yang
diwakili Pak Hilman dan Pak Yuswardi.
7) Survai ke lokasi PETI emas di sekitar
pegunungan Tumpang Pitu, dokumentasi dan
wawancara dengan gurandil.
Mengenai route survai lapangan lihat Gambar 1,
sedangkan dokumentasi survai lapangan dapat
dilihat pada Lampiran Foto-Foto Survai Lapangan.
Gambar 1. Route survai lapangan tim isu pertambangan Puslitbang tekMIRA di Kabupaten
Banyuwangi
4 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3. POTENSI TAMBANG DAN SEKTOR
LAIN DI GUNUNG TUMPANG PITU
3.1. Potensi Tambang
Cebakan emas di daerah Pesanggaran ditemukan
berdasarkan pada pemboran eksplorasi sebanyak
14 lubang bor dengan kedalaman total 4.100 meter
pada KP Eksplorasi PT. IMN seluas 11.621, 45
ha atau 116,21 km
2
. Cebakan emas ditemukan
dalam bentuk urat-urat kuarsa pada batuan
volkanik yang diterobos oleh batuan intrusif berupa
diorite, andesit, granodiorit dan dasit. Fenomena
seperti ini sangat umum ditemukan di Pulau Jawa,
seperti di Cikotok, Pongkor, Banyumas, Wonogiri,
Pacitan, Malang, Lumajang. Berdasarkan studi
kel ayakan PT. IMN, cadangan bi j i h yang
dieksplorasi mencapai 9.600.000 ton; kadar emas
rata-rata 2,3 gram/ton; cadangan emas 320,8 ton.
Biasanya emas ditemukan bersama logam lainnya
seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini
adalah 2,3 gr/ton, dan kadar logam-logam lainnya
tidak ada datanya. padahal logam-logam tersebut
memiliki nilai ekonomis bila sejak dini sudah
diketahui nilai potensinya. Selain cebakan emas
primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/
sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut.
Keberadaan emas sekunder ini sebagian besar
berada pada lahan Perhutani, yang penyebarannya
mengikuti sungai-sungai tua pada jaman dahulu.
Berdasarkan hasil tracking Tim Isu Pertambangan
Puslitbang tekMIRA sewaktu survai, pada lokasi
56 gurandil/ PETI (Pertambangan Tanpa Izin)
beroperasi pada wilayah Perhutani diperkirakan
meliputi luas sekitar 203,3 ha (Gambar 2).
3.2. Potensi Sektor Lainnya
Kabupten Banyuwangi dikelilingi 3 Taman Nasional
(TN), yakni TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, dan
TN Baluran. Di samping itu, kabupaten ini memiliki
3 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) seperti
Banyuwangi (KPH Banyuwangi Selatan, KPH
Banyuwangi Barat, dan KPH Banyuwangi Utara).
Keberadaan 3 KPH dan 3 TN ini berhubungan erat
sumber mata air dan sungai-sungai yang menjadi
sumber i ri gasi bagi sektor pertani an dan
perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai
sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, dan
menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung padi
nasional, memiliki andil dalam menopang
ketahanan pangan nasional.
Kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Banyuwangi (lebih dari 60%).
Selain itu, keberadaan 3 KPH dan 3 TN tersebut
secaraa riil telah memberikan kontribusi yang nyata
bagi PAD kabupaten ini. Data hasil kekayaan hutan
non-kayu Banyuwangi pada tahun 2006 meliputi;
a. Kontribusi komiditi kopi yang berada di dalam
kawasan hutan produksi sebesar 10.643 ton
(BPS: 2007) atau setara dengan Rp.
247.230.000.
b. Kontribusi komoditi getah damar sebesar 49
ton senilai Rp. 68.600.000, dan
c. Kontribusi komiditi getah pinus sebanyak
2.672,70 ton senilai Rp.2.6 miliar.
4. KONDISI KEGIATAN PERTAMBANGAN
4.1. PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN)
PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas
yang modalnya swasta nasional. Luas konsesi
yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha.
Konsesi PT. IMN meliputi kawasan Gunung
Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,
Gunung Sumber Salak, Gunung Macan dan kawasan
lindung setempat. Menurut RTRW Jatim 2020
kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan
resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.
Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-
VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan
eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009, dan
akan ditingkatkan statusnya menjadi KP eksploitasi.
Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi
seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5
ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH
Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara
itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan
hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan.
Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan
hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah
disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur,
setelah disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur
pada 26 Mei lalu. Saat ini perusahaan menampung
125 warga menjadi buruh kasar.
4.2. PETI/ Gurandil
PETI/ gurandil beroperasi di Gunung Tumpang Pitu,
pada aliran Sungai Gonggo, Lembah Gunung
Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,
Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran,
Banyuwangi, saat ini diperkirakan mencapai
3.000.000 orang (Gambar 3). Jumlah ini, setelah
pada akhir bulan April 2009 sekitar 6.000 dipulangkan
5 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
Gambar 2. Konsesi PT. IMN dan lokasi aktivitas PETI/ Gurandil di Petak 56,
lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,
Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi
Gambar 3. Lokasi PETI/ Gurandil di Petak 56 (Luas Perkiraan 203,3 Ha), Lembah
Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa
Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi
6 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
secara paksa oleh sekitar 190 personil aparat
keamanan. Pemulangan itu dilakukan setelah
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan
rapat koordinasi dengan muspida, Perhutani dan
pemilik izin ekplorasi emas PT. IMN. Rapat yang
dipimpin langsung Bupati Banyuwangi Ratna Ani
Lestari itu menyimpulkan PETI yang dilakukan
ribuan gurandil tersebut telah merusak lingkungan,
yang akan berpotensi menimbulkan banjir dan
longsor serta kerusakan hutan jati, maupun
tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat
(petani magersari) sehingga harus dihentikan.
Maraknya PETI telah menimbulkan kerusakan di
Sungai Gonggo dan hutan jati, tepatnya di petak
79. Sungai Gonggo mengalami pelebaran hingga
tujuh meter dari lebar awalnya satu meter, selain
itu kedalaman Sungai Gonggo turut mengalami
perubahan drastis, awalnya hanya setengah meter
kini berubah menjadi 1,5 meter. Beberapa pohon
j at i j uga t urut t umbang aki bat akt i f i t as
penambangan PETI secara tradisional tersebut.
Dari pantauan sementara Tim Isu Puslitbang
tekMIRA, lokasi-lokasi PETI di Gunung Tumpang
Pitu memang mengandung emas (perlu uji
laboratorium), terutama pada petak 56 maupun 79
sebagai sampel wilayah-wilayah sekitarnya. Isu
kalau butiran seperti emas itu adalah logam jenis
pirit (FeS2) perlu dicarikan kepastiannya, karena
pada lokasi tersebut telah banyak gurandil yang
betul-betul mendapatkan emas, seperti pendulang
emas asal Kalimantan, Sulawesi, Nabire dan
Bandung. Dalam rangka memberi kepastian,
Pemkab Banyuwangi sudah mengambil beberapa
sampel untuk diuji, namun untuk memberi
kesahihan data telah ditunjuk tim independen untuk
melakukan uji laboratorium.
5. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Potensi Bahan Tambang
Fenomena geologis di daerah eksplorasi tersebut
tidak hanya tersebar di daerah Pesanggaran,
namun juga tersebar di daerah sekitarnya seperti
Glenmore dan Bangorejo. Dengan demikian tidak
tertutup kemungkinan bahwa potensi penyebarannya
juga terdapat di daerah-daerah tersebut. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4/2009, setiap daerah
harus mencadangkan wilayahnya untuk menggali
potensi bahan galiannya. Untuk itu, Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi harus mempersiapkan
lokasi peruntukan lahan bagi sektor pertambangan.
Sampai saat ini, di kabupaten ini belum dialokasikan
lahan usaha tambang dalam peta tata ruangnya.
Permasalahan ini harus segera diselesaikan,
mengingat potensi usaha pertambangan di daerah
ini memperlihatkan prospek bila dikelola dengan baik.
Status cadangan untuk kategori perhitungan potensi
cebakan emasnya belum tepat, karena jumlah
lubang bor yang dilakukan oleh PT. IMN relatif
sedikit, yakni hanya 14 buah untuk mengeksplorasi
daerah seluas 116,21 km
2
, dengan jarak antarlubang
bor sepanjang 2 km. Jadi, jarak antarlubang bor
ini terlalu panjang. Pada umumnya, jarak lubang
bor ini adalah 500 m. Untuk meningkatkan status
potensinya, masih diperlukan pemboran eksplorasi
yang lebih banyak lagi, agar tingkat keyakinan
geologisnya menjadi tinggi. Dengan demikian, sta-
tus cadangannya perlu direvisi, agar perhitungan
operasi penambangannya dapat dilakukan dengan
tepat.
Secara umum, emas ditemukan bersama logam
lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di
daerah ini adalah 2,3 gr/ton; namun, kadar logam-
logam lainnya tidak ada datanya. Ini berarti bahwa
kelak saat operasi penambangan emas ini
berlangsung, asosiasi logam-logam tersebut akan
terbuang dengan percuma. Tidak tertutup
kemungkinannya, logam-logam tersebut akan
menjadi perolehan yang menguntungkan, apabila
sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Jadi,
hal ini menjadi tugas tersendiri bagi perusahaan
tambang tersebut untuk melakukan uji laboratorium
terhadap logam-logam tersebut.
Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada
juga emas plaser/sekunder di sekitar lokasi emas
primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini
perlu dicermati untuk dieksplorasi lebih lanjut, agar
dapat dimanfaatkan sebagai lahan usaha bagi
masyarakat setempat dalam bentuk Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR).
5.2. Lingkungan
Isu lingkungan terkait kegiatan pertambangan di
Gunung Tumpang Pitu tidak hanya diakibatkan
oleh kegiatan PETI/ gurandil saja, tetapi juga akibat
isu Lingkungan pertambangan PT. IMN karena
kurangnya transparansi dalam Publikasi berbagai
kemajuan kegiatan, terutama dalam pengelolaan
Lingkungan. PETI yang dilakukan ribuan gurandil
telah merusak lingkungan, dan berpotensi
menimbulkan banjir dan longsor serta kerusakan
hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan
masyarakat (petani magersari). Sedangkan,
7 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
berbagai isu Lingkungan yang diakibatkan PT. IMN
dapat ditunjukkan berdasakan surat penolakan
AMDAL oleh Masyarakat Banyuwangi yang
tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam
Pemerhati Lingkungan (Kappala Indonesia) region
Banyuwangi, Kurva Hijau, dan Dewan Rakyat
Jalanan untuk Demokrasi (Derajad). Beberapa butir
yang dijadikan dasar penolakan AMDAL PT. IMN
tersebut, antara lain:
a. Sidang Amdal tersebut di atas merupakan
sidang yang tidak adil, karena tidak ada satu
pun dokumen Amdal yang dibagikan kepada
warga Dusun Pancer, sehingga warga tidak
memiliki informasi mengenai Amdal. Padahal
keterbukaan informasi ini penting sebagai tolok
ukur tinggi-rendahnya itikad baik dari pemrakarsa
rencana pertambangan maupun pemkab dan
pemrop. Keterbukaan informasi menjadi
sesuatu yang logis untuk dimiliki oleh warga
Pancer karena dampak apapun dari pertam-
bangan tersebut jelas-jelas akan berpengaruh
langsung kepada mereka, dan merekalah
pihak pertama yang akan merasakannya.
b. Warga Pancer tidak diberi kecukupan waktu
untuk mempelajari Amdal tersebut. Hal ini
menunjukkan minimnya kemauan Pemprop
Jati m dan Pemkab Banyuwangi untuk
melakukan penguatan terhadap rakyatnya,
sehingga warga tidak memiliki kesiapan untuk
berdialog dengan pihak yang terkait, terutama
pakar. Warga pun tidak punya kecukupan
waktu untuk memilih pihak yang menurut
warga memiliki kompetensi untuk mendam-
pinginya dalam mengikuti Sidang Amdal.
c. Semenjak awal bergulirnya rencana penam-
bangan emas di HLGTP oleh PT IMN, Warga
Pancer telah menolak rencana tersebut.
Dimana penolakan tersebut telah mereka
sampaikan dalam acara Sosialisasi Penam-
bangan Emas HLGTP yang diselenggarakan
pada 12 Maret 2008 lalu di Balai Dusun (dihadiri
ol eh perwaki l an Pemkab Banyuwangi ,
perwakilan Makoramil Pesanggaran, perwakilan
TNI AL, perwakilan Mapolsek Pesanggaran,
dan Camat Pesanggaran). Penolakan tersebut
juga telah disuarakan oleh 5 (lima) orang
utusan Warga Pancer yang menghadiri Sidang
Amdal tanggal 26 Mei 2008 di Surabaya.
d. Dalam Dokumen Andal yang dibuat oleh PT
IMN, pada gambar 2.4 tentang Peta Rencana
Tata Letak Kegiatan dapat dilihat dengan jelas
bahwa tailing (limbah tambang) akan dibuang
ke laut. Pembuangan tailing ke laut ini, dalam
Lampi ran Perat uran Ment eri Negara
Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
disebut sebagai Submarine Tailing Disposal
(STD). Berdasarkan Peraturan Meneg LH no.
11 tahun 2006 tersebut, Komisi Amdal
Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak berwenang
menilai Amdal PT IMN. Berdasarkan Peraturan
Meneg LH no. 11 tahun 2006, penilaian Amdal
dari sebuah rencana pertambangan yang
menggunakan STD seperti halnya PT IMN
tersebut, kewenangannya berada di tangan
Deputi Bidang Amdal Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, bukan di tangan Komisi
Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim. Dengan
demikian, sejatinya Sidang Amdal yang
diselenggarakan dan dipimpin oleh Komisi
Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak sah,
karena tidak sesuai dengan Peraturan Meneg
LH no. 11 tahun 2006.
e. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang
tidak layak dan harus ditolak, karena dalam
Presentasi Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan (KA-Andal) yang bertempat di
ruang Minakjingga Pemkab Banyuwangi pada
tanggal 30 Januari 2008, PT IMN telah melakukan
kebohongan publik dengan menyatakan kepada
seluruh hadirin bahwa merkuri berbahaya
sementara sianida aman. Dalam acara tersebut
tidak ada itikad baik dari pemrakarsa untuk
menjelaskan apa itu sianida? Apa saja
dampaknya? Dan apa yang membuat
pemrakarsa yakin bahwa sianida aman?
f. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak
layak dan harus ditolak, karena pihak
pemrakarsa tidak membuat pengumuman
tentang rencana Sidang Amdal yang layak dan
mencukupi. Bahkan hingga kini pun belum
t erl i hat kemauan pemrakarsa unt uk
mengumumkan secara terbuka tentang Sidang
Revisi Amdal.
g. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang
tidak layak dan harus ditolak, karena tidak ada
satu pun dari peta yang termuat di dalamnya
yang menampakkan keberaradaan Pulau
8 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Merah. Tidak adanya Pulau Merah di semua peta
yang terdapat dalam dokumen Andal tersebut
mencerminkan keteledoran PT IMN, serta
menggambarkan rendahnya kepedulian PT
IMN terhadap area penting seperti Pulau Merah.
Sementara itu, koordinator Koalisi Tolak Tambang
di Tumpang Pitu (KT3P), tambang emas yang
dibangun oleh PT IMN di Tumpang Pitu memakan
areal seluas 11.621 hektar yang meliputi kawasan
Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung
Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung
Macan, dan kawasan hutan lindung setempat.
Sebagai kawasan penyangga, Gunung Tumpang
Pitu memiliki kaitan erat dengan aktivitas
penduduk di sekitarnya, seperti pertanian,
perkebunan dan nelayan.
Menurut Tim Isu Puslitbang tekMIRA, berbagai
informasi mengenai penolakan terhadap kegiatan
pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu
di atas, dan isu utama beberapa unjuk rasa
mengenai lingkungan hidup perlu dijadikan barom-
eter dalam memahami berbagai persoalan
lingkungan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu
dan sekitarnya. Berbagai persoalan tersebut tidak
perlu langsung ditanggapi apreori, tetapi perlu
didudukan secara proporsional pada sumber akar
persoalannya.
5.3. Tumpang-tindih antar Sektor
Konsesi PT IMN di Tumpang Pitu meliputi areal
seluas 11.621 ha yang meliputi kawasan Gunung
Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,
Gunung Sumber Salak, Gunung Macan, dan
kawasan hutan lindung setempat. Kawasan
Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi
seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5
ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH
Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara
itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan
hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan,
yaitu Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan hutan
tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan
oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah
disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26
Mei lalu. Sedangkan wilayah yang ditambang oleh
PETI, Petak 56 dan Petak 79 masuk dalam wilayah
konsesi PT. IMN.
Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-
VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan
eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009.
Sebelumnya, PT IMN mendapat izin kuasa
eksplorasi emas dikawasan hutan dari Menteri
Kehutanan MS Kaban nomor .406/MENHUT_vii/
PW/2007 tertanggal 27 Juli 2007. Eksplorasi itu
meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha
dan hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75,
76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade,
KPH Banyuwangi Selatan. Pengesahan Dokumen
Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa
Timur dan kedatangan Mentri Kehutanan MS
Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal
ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi
menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.
Kawasan Gunung Tumpang Pitu merupakan
kawasan hutan lindung dan hutan produksi, bagian
yang tidak terpisahkan dari 3 KPH dan 3 TH, yang
berf ungsi sebagai daerah penyangga,
berhubungan erat sebagai sumber mata air dan
sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi
sektor pertanian dan perkebunan yang saat ini
di unggul kan sebagai sektor penti ng bagi
Kabupaten Banyuwangi , termasuk sektor
perikanan bila pembuangan tailing dilakukan di
dasar laut. Konflik kepentingan antara sektor
pertambangan dengan sektor kehutanan,
pertanian, perkebunan, dan perikanan tersebut
perlu dipertimbangkan positif dan negatifnya.
5.4. Sosial Ekonomi Masyarakat
Isu social terbagi dua, yaitu isu dampak sosekbud
PT. IMN maupun PETI/ Gurandil dan isu kesamaan
hak atas sumber daya bahan tambang (PT. IMN
vs Rakyat). Isu dampak sosekbud PT. IMN terkait
dengan dampak kegiatan PT. IMN terhadap
berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat
di sekitar proyek. Berapa aktivitas ekonomi
masyarakat yang akan terganggu (misal pertanian,
perkebunan, perikanan) dan bagaimana proses
pengelolaannya. Dampak sosekbud PETI/
Gurandil terutama akibat rusaknya lingkungan,
sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, pertanian
dan perkebunan rusak akibat terinjak-injak ataupun
rusak karena ditambang, dan kekhawatiran
penggunaan air raksa yang akan mencemari
lingkungan (darat dan perairan) bila tidak ditangani
dengan serius.
Unjuk rasa beberapa komponen masyarakat
terhadap kegiatan pertambangan dapat dijadikan
barometer bagi pengembangan kegi atan
pertambangan di daerah ini, yaitu:
1) Sejumlah Petani dan Nelayan Banyuwangi
Jawa Timur ke Jakarta mendesak agar
9 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
dihentikan kegiatan PT. IMN.
2) Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjang
Rajekwesi sampai Muncar - Banyuwangi akan
terancam hidupnya, termasuk perikanan
mendesak dihentikannya rencana pengerukan
emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka
mendesak pemeri nt ah mencabut i j i n
petambangan dan AMDAL tambang emas PT
Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat dan
menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan.
3) Kunjungan Rombongan Dirjen Planologi
Departemen Kehutanan ke lokasi penam-
bangan emas tradisional di lereng Gunung
Tumpang Pitu Kampung 56 Dusun Wringin
Agung Desa/Kecamatan Pesanggaran,
Banyuwangi, diwarnai aksi penghadangan oleh
ratusan massa anti tambang.
4) Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli
Lingkungan (AMMPeL), mengecam pertemuan
antara Dirjen Planologi Departemen Kehutanan
dan PT Indo Multi Niaga (IMN) serta pihak terkait
lainnya di Pendopo Banyuwangi, yang dianggap
telah telah melakukan ketidakadilan informasi
terhadap masyarakat terkait aktifitas PT IMN di
Gunung Tumpang Pitu karena tidak transparan.
Mengenai isu kesamaan hak dalam pemanfaatan
bahan tambang (PT. IMN vs PETI/ Gurandil)
merupakan isu penting, karena kalau tidak
ditempatkan pada koridor yang semestinya, sesuai
pasal 33 UUD 45 dapat menjadi pemicu isu-isu
lainnya di kawasan tersebut. Masalah tersebut
terkait dengan pertanyaan mendasar, kalau PT.
IMN diperbolehkan melakukan aktivitas di
kawasan hutan lindung, kenapa rakyat dilarang di
kawasan hutan produksi, yang secara tingkatan
fungsi hutan lebih rendah. Pertanyaan ini berlanjut
dengan masalah, kalau pelarangan PETI/ Gurandil
karena merusak Lingkungan dan tidak berizin
sehingga tidak ada pemasukan bagi pemda,
bagaimana seharusnya.
Berbagai persoalan yang mendasar tersebut
timbul, karena Pemda Kabupaten Banyuwangi
kurang cepat dalam menanganinya sebagai akibat
belum adanya kantor/ dinas pertambangan yang
seharusnya bertanggung j awab terhadap
persoalan pertambangan di daerah. Perlu
dipahami, saat ini dengan persoalan pertambangan
yang komplek ditangani oleh Pemda Bagian
Perekonomian, Bappeda dan Kantor Lingkungan
Hidup menyebabkan persoalan pertambangan
tidak tertangani secara optimal, setiap ada
persoalan masing-masing saling menunggu dan
bagi-bagi tanggung jawab/ peran. Di samping itu,
ada kesan dalam menangani setiap persoalan
PETI/ Gurandil dilakukan dengan cara-cara
represif. Padahal, berdasarkan kasus-kasus di
beberapa daerah, cara-cara represif justru akan
menimbulkan persoalan baru yang lebih besar.
Untuk memberi rasa keadilan, kesamaan hak atas
sumber daya alam antara PT. IMN dan masyarakat
penambang, maka Pemda Kabupaten Banyuwangi
seharusnya menyiapkan WPR sebagai wadah
menampung aspirasi rakyat dalam kegiatan
pertambangan dengan beberapa tahap berikut:
1) Secepatnya meminimalkan daerah operasi
PETI/ gurandil untuk mengurangi dampak
Lingkungan, dengan persuasif menjaga wilayah
operasi PETI/ gurandil tersebut.
2) Menyiapkan Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR) pada daerah-daerah di lembah Gunung
Tumpang Pitu yang memiliki kandungan emas
alluvial.
3) Melakukan kajian eksplorasi terhadap daerah
yang disiapkan untuk WPR dan menyiapkan
perizinannya dengan wadah badan usaha
Koperasi.
4) Menyiapkan bimbingan, pembinaan dan
pengawasan teknis penambangan, lingkungan
dan manajemen usaha bagi penambang rakyat.
6. KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT
Berdasarkan pembahasan terhadap ke-empat isu
potensi dan kegiatan pertambangan emas di
Gunung Tumpang Pitu di atas (isu potensi emas,
Lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan
sektor lain, dan isu sosekbud), diperlukan
kesi apan daerah (Pemeri ntah Kabupaten
Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di
Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,
Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah dalam
mengelola potensi emas di Gunung Pitu tersebut
meliputi beberapa tahap kegiatan berikut:
1) Perlu ada kajian mengenai keuntungan dan
kerugian (cost benefit analysis) antara
kegiatan pertambangan dengan sektor
kehutan, dan sektor lain terkait fungsi hutan
sebagai penyimpan sumber daya air sektor-
sektor pertanian dan perkebunan.
2) Bi l a kegi at an pert ambangan l ebi h
menguntungkan, dengan dampak yang dapat
10 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
diminimalkan dibanding kerugian yang akan
t erj adi t erhadap sekt or-sekt or non-
pertambangan, maka perl u di l akukan
pembatasan kembali wilayah PT. IMN (relin-
qui sh) dari tahap ekspl orasi ke tahap
eksploitasi, dan wilayah yang berpotensi emas
sekunder/ alluvial dialokasikan sebagai
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk
mewadahi aspirasi rakyat/ masyarakat dalam
kegiatan pertambangan. Mengenai tahap
eksplorasi diatur dalam pasal 42-45 UU No.
4/2009, sedangkan pengalokasian WPR
diatur pasal 20-26 UU No. 4/2009.
3) Berdasarkan kajian terhadap AMDAL PT. IMN,
ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi:
wi l ayah konsesi , perl u di l akukan
pembatasan wi l ayah konsesi untuk
memi ni mal kan dampak l i ngkungan,
terutama terkait fungsi hutan lindung
sebagai sumber mata air, dan sungai-
sungai bagi sekt or pert ani an dan
perkebunan.
wilayah konsesi, batas wilayah yang
terdapat pada tabel titik koordinat terdapat
kesalahan pada titik 14 dan 15 (koordinat
y gari s l i nt ang/ LS unt uk t i t i k 14
seharusnya 36.00" dan titik 15 seharusnya
36.00") yang bisa fatal karena sebagai
batas wilayah konsesi (Tabel 1).
kajian terhadap kegiatan di sekitar proyek
perlu diperluas dan diperdalam sehingga
dapat memberi gambaran yang valid
mengenai keadaan yang sebenarnya, dan
perlu dilakukan secara transparan.
dalam kajian AMDAL perlu diperjelas
mengenai rencana pembuangan limbah,
dan rencana pengelolaannya.
4) PT. IMN perlu memberi penjelasan yang ilmiah
mengenai potensi emas primer maupun emas
sekunder/ alluvial di dalam wilayah konsesinya
di Gunung Tumpang Pitu, serta kandungan
mineral ikutan emas berdasarkan hasil
laboratorium yang terakreditasi.
5) Dalam menangani persoalan PETI/ Gurandil
seyogyanya tidak menggunakan cara-cara
represif, tetapi harus dengan persuasive,
karena kasus-kasus semacam ini (PETI Emas
Pongkor, Kapur di Padalarang Jawa Barat,
PETI Batubara di Kalimantan Selatan, PETI
Emas di Sulawesi Utara, dan lainnya) kalau
ditangani secara represif akan menimbulkan
persoalan baru yang lebih besar.
6) Dalam pengalokasian WPR perlu dilakukan
kegiatan inventarisasi potensi bahan galian
Tabel 1. Koordinat Wilayah Kuasa Pertambangan PT. IMN
1 113 56 45,4 8 37 16,8
2 113 56 45,4 8 35 53,6
3 113 57 58,4 8 35 53,6
4 113 57 58,4 8 34 15,9
5 113 57 36,2 8 34 15,9
6 113 57 36,2 8 33 3,2
7 113 59 19,9 8 33 3,2
8 113 59 19,9 8 32 30,8
9 114 1 57 8 32 30,8
10 114 1 57 8 32 58,7
11 114 2 37,2 8 32 58,7
12 114 2 37,2 8 35 8,6
13 114 4 17,4 8 35 8,6
14 114 4 17,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00
15 114 4 51,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00
16 114 4 51,4 8 38 11,7
17 114 3 29,4 8 38 11,7
18 114 3 29,4 8 39 2,8
19 114 0 20,6 8 39 2,8
20 114 0 20,6 8 37 16,8
Sumber: ANDAL Pertambangan PT. Indah Multi Niaga
11 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
emas sekunder pada wilayah-wilayah yang
potensial dan dampaknya dapat diminimalkan.
7) Setelah Pemda Kabupaten Banyuwangi
mengalokasikan WPR, maka perizinan perlu
disiapkan dan perlu dilakukan pembinaan dan
pengawasan, bai k dal am hal t ekni s
penambangan, lingkungan maupun dalam
manajemen berusaha.
8) Untuk menangani berbagai permasalahan
pertambangan di Kabupaten Banyuwangi,
sesuai kebijakan otonomi daerah yang
tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No.
33 Tahun 2004, dan PP No. 38 Tahun 2007,
maka perl u di bent uk kant or/ di nas
pertambangan dan energi yang tugasnya
mengelola kegiatan pertambangan di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Banyuwangi 2005-2015 (Laporan Rencana).
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2007, Tata
Ruang Wi l ayah (RTRW) Kabupat en
Banyuwangi 2007-2027 (Al bum Peta/
Gambar).
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana
Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman
Rencana Det ai l Tat a Ruang Kot a
Pesanggaran.
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2009, Potensi
pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan
Pulau Batu Merah, Bahan Presentasi Kabid
Fisik dan Prasarana Wilayah.
Berita Fajar, 2008, Emas vs Potensi Agraris
Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar -
Potensi, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April
2008.
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, Kabupaten
Banyuwang Dalam Angka Tahun 2008.
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, PDRB
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008.
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2008, Kecamatan
Pesanggaran Dalam Angka Tahun 2007.
Detik Surabaya, 2009, Penambang Emas
Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang,
Detik Surabaya, Selasa, 28 April, 2009.
Harian Kompas, 2009, Berebut Emas di Tumpang
Pitu, Harian Kompas, Rabo, 17 Mei 2009.
Harian Kompas, 2008, Masyarakat Banyuwangi
Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung
Tumpang Pitu, Harian Kompas, Senin, 16 Juni
2008
Harian Kompas, 2008, Ribuan Penambang Emas
Banyuwangi Diusir, Harian Kompas, Jumat
27 Februari 2009.
PT. Indo Multi Niaga, 2008, ANDAL PT. Indo Multi
Niaga, Rencana Penambangan Emas DMP di
Desa Sumber Agung, Kecamat an
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,
Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008 (Laporan
Akhir).
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Lampiran ANDAL PT.
Indo Multi Niaga Rencana Penambangan
Emas DMP di Desa Sumber Agung,
Kecamat an Pesanggaran, Kabupat en
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta
2008.
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) Rencana Penambangan
Emas DMP di Desa Sumber Agung,
Kecamat an Pesanggaran, Kabupat en
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta
2008.
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) Rencana Penambangan
Emas DMP di Desa Sumber Agung,
Kecamat an Pesanggaran, Kabupat en
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta
2008.
Tim Isu Puslitbang tekMIRA, 2009, Foto-foto
dokumentasi survai di perkantoran dan
dokumentasi PETI di Gunung Tumpang Pitu,
Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
12 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
LAMPIRAN
FOTO-FOTO SURVAI LAPANGAN
13 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
14 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
15 Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto
16 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS TER DAN
PARTIKULAT DALAM PRODUCER GAS
DARI BATUBARA
Slamet Suprapto dan Nurhadi
Puslitbang tekMIRA, Jln. Jend. Sudirman no. 623 Bandung,
Telp. (022)6030483, Fax: (022) 6003373
email: slamets@tekmira.esdm.go.id, nurhadi@tekmira.esdm.go.id
SARI
Dalam rangka meningkatkan dan mendiversifikasikan pemanfaatan batubara, Puslitbang Teknologi
Mineral dan Batubara sedang mengembangkan pemanfaatan producer gas hasil gasifikasi batubara
untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sistem dual fuel di Sentra Teknologi Pemanfaatan
Batubara, Palimanan Cirebon. Salah satu parameter kualitas producer gas untuk digunakan pada
sistem pembakaran internal seperti mesin diesel adalah kadar ter dan partikulat. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengembangkan metoda sampling dan analisis kadar ter dan partikulat dalam
producer gas dari batubara. Metoda ini menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik
yang dilengkapi heater untuk mengambil contoh producer gas, penyaring keramik untuk memisahkan
partikulat, heat exchanger dan botol kondensasi untuk mengasorbsi lengas dan botol impinger untuk
mengadsorbsi ter dalam contoh producer gas. Peralatan yang telah terangkai kemudian diujicoba
untuk menentukan kadar ter dan partikulat dalam producer gas produk gasifikasi. Batubara yang
digunakan berasal dari Kalimantan Selatan yang mempunyai nilai kalor 5.500 dan 4.500 kal/g. Pengujian
metoda sampling dan analisis terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara tersebut menunjukkan
kadar ter dan partikulat yang cukup rendah yaitu <100 mg ter/Nm
3
dan <50 mg partikulat/Nm
3
dan
sudah memenuhi persyaratan untuk bahan bakar mesin diesel. Percobaan pengoperasian mesin die-
sel menggunakan sistem dual fuel menunjukkan kinerja yang baik dan tidak terdapat endapan ter dan
partikulat dalam ruang bakar mesin diesel. Metoda ini belum distandarisasi karena tidak tersedianya
gas standar. Pengembangan lebih lanjut diharapkan difokuskan pada standarisasi dan uji pembanding
Round Robin test dan analisis sistem on-line langsung ke komputer untuk mengetahui secara langsung
komposisi producer gas.
Kata kunci: gasifikasi batubara, producer gas, ter, partikulat, metoda analisis
ABSTRACT
In relation to increase and diversify the utilization of coal, Research and Development Center for
Mineral and Coal Technology is developing utilization of producer gas resulted from coal gasification
for diesel powered electric generation using dual fuel system at Coal Technology Center, Palimanan,
Cirebon. One of quality parameter of producer gas to be used for internal combustion like diesel
engine is the content of tar and particulate. The purpose of this research is to develop sampling and
analysis method for determination tar and particulate contents in producer gas from coal. This method
used apparatus which consists of iso-kinetic nozzle equipped with heater to take sample of producer
gas, ceramic filter to separate particulate, heat exchanger and condense bottle to absorb moisture
and impinge bottle to absorb tar in the producer gas sample. The installed apparatus is tested for
determining the content of tar and particulate of producer gas resulted from coal gasification. The coal
17 Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi
1. PENDAHULUAN
Proses konversi batubara menjadi gas yang
dikenal dengan istilah gasifikasi batubara sudah
berkembang dengan maju. Batubara dari berbagai
jenis dan peringkat dapat dikonversikan menjadi
gas secara komersial. Kalau pada awalnya
gasifikasi batubara hanya menghasilkan producer
gas (gas bakar) dan gas kota, tetapi sekarang bisa
berupa gas sintesis, gas alam sintetik (synthetic
natural gas, SNG) dan bahan baku industri kimia.
Sementara itu, producer gas dari biomassa telah
digunakan untuk mesin pembakaran internal (in-
ternal combustion engine) seperti mesin gas (gas
engine) dan mesin diesel dual fuel secara
komersial di banyak negara. Di Indonesia,
penggunaan gas alam untuk mesin diesel dual fuel
gas sudah dilakukan di Tarakan, Kalimantan Timur.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara
bekerjasama dengan PT PLN (Persero) dan PT
Coal Gas Indonesia sedang mengembangkan
pemanfaatan producer gas dari batubara untuk
pembangki t l i stri k tenaga di esel dengan
membangun pilot plant di Sentra Teknologi
Pemanfaatan Batubara tekMIRA, Palimanan,
Cirebon. Peresmian pengoperasian pilot plant
tersebut telah dilakukan pada tanggal 19 Maret 2008.
Untuk mendukung kegiatan pilot plant tersebut
diperlukan perlatan dan metoda analisis producer
gas yang dapat menentukan komposisi dan kadar
kadar ter dan partikulat. Metode analisis komposisi
gas hasil gasifikasi biomassa maupun batubara
umumnya menggunakan kromatografi gas.
Sedangkan metode analisis kadar ter dan
partikulat dalam producer gas hasil gasifikasi
biomassa juga baru dikembangkan di beberapa
negara Eropa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
metoda analisis ter dan partikulat dalam producer
gas dari batubara.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Proses gasi fi kasi batubara yang saat i ni
berkembang dengan maju adalah proses konversi
bat ubara dal am sebuah reakt or dengan
menggunakan pereaksi. Produk gas yang
dihasilkan proses gasifikasi batubara tergantung
pereaksi yang digunakan. Proses gasifikasi
menggunakan pereaksi udara dan uap air
menghasilkan gas yang disebut producer gas
dengan komposisi terdiri atas gas mampu bakar
(combustible gas) CO dan H2 dan dan sedikit gas
hidrokarbon seperti CH4, serta pengotor N2
mencapai sekitar 50%. Gas ini termasuk gas kalori
rendah (low calorie gas) dengan nilai kalor <200
Btu/ft
3
(<1780 kkal/m
3
).
Proses gasi fi kasi menggunakan pereaksi
campuran oksigen/uap air menghasilkan produk
gas yang disebut gas Lurgi dengan komponen
utama berupa CO dan H2 dan sedikit gas-gas
hidrokarbon, serta pengotor. Gas Lurgi merupakan
gas kalori menengah (medium calorie gas) dengan
nilai kalor antara 200-400 Btu/ft
3
. Apabila gas Lurgi
tersebut dimurnikan maka dihasilkan gas sintesis
(synthesis gas, syngas) dengan komponen utama
CO dan H2. Gas sintesis dapat diproses lebih
lanjut melalui proses metanasi untuk mendapatkan
gas SNG (Synthetic Natural Gas, Substitute Natu-
ral Gas) dengan komponen utama CH4. Proses
gasifikasi menggunakan pereaksi hidrogen juga
dapat menghasilkan gas alam sintetik yang
mempunyai nilai kalor sekitar 1000 Btu/ft
3
dan
termasuk gas kalori tinggi (high calorie gas) (Elliot,
1981; Francis, 1965; Nowacki, 1981; Ward, 1984).
Producer gas juga dapat dihasilkan dari proses
gasifikasi bahan karbonan (carbonaceous matter)
lainnya seperti biomassa (Anonymous, 1986) dan
dengan pereaksi campuran udara/uap air.
Perbedaan proses gasifikasi biomassa yang
menghasi l kan producer gas untuk mesi n
used comes from South Kalimantan which have calorific values of 5,500 and 4,500 cal/g. The results
show that the content of tar and particulate are <100 mg of tar/m
3
and <50 mg of particulate/m
3
respectively which correspond with the requirement of producer gas as fuel for dual fuel diesel engine.
The operation of diesel engine using dual fuel system shows good performance and there were no tar
and particulate deposit in the combustion chamber. This method has not been standardized yet
because standard reference gas is not available yet. Further development needs to be focused on
standardization and on-line system connected to computer which can show the composition of pro-
ducer gas directly.
Keywords : coal gasification, producer gas, tar, particulate, analysis method
18 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
pembakaran internal dan proses gasifikasi
batubara yang digunakan di pilot plant pemanfaatan
gasifikasi batubara untuk PLTD adalah pada
reaktor dan sistem pemurnian gas. Reaktor
gasifikasi biomassa adalah sistem downdraft,
yakni batubara dimasukkan dari atas dan gas
dikeluarkan dari bawah reaktor sehingga ter
biomassa mengalami perekahan (cracking)
menjadi molekul gas. Oleh karena itu, kadar ter
dalam relatif rendah dan unit pemurniaan gas yang
digunakan untuk gasifikasi biomassa cukup hanya
terdiri atas siklon, scrubber dan pendingin.
Sedangkan gasifikasi batubara menggunakan
reaktor sistem updraft sehingga produk gas
mengandung lebih banyak ter. Namun pada unit
gasifikasi batubara mempunyai sistem pemurnian
gas yang juga dilengkapi penangkap ter khusus,
yakni tar electrostatic precipitator. Unit penangkap
ter tersebut cukup efektif sehingga kadar ter dalam
producer gas memenuhi syarat untuk penggunaan
mesin diesel.
Penggunaan producer gas hasil gasifikasi
biomassa untuk mesin diesel pembangkit listrik
maupun kendaraan telah dimulai sejak awal abad
20. Penggunaan tersebut mencapai puncaknya
selama masa Perang Dunia II terutama dilakukan
oleh Jerman untuk menjalankan kendaraan-
kendaraan perangnya. Sampai sekarang, di
daerah-daerah terpencil di banyak negara misalnya
Pilipina, Selandia Baru, Afrika, Eropa maupun
Amerika Serikat masih ditemukan bus atau traktor
bermesin diesel sistem dual fuel dengan bahan
bakar solar dan producer gas (Anonymous, 1986;
Turare).
Mesin-mesin pembakaran internal normalnya
dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin
atau solar yang relatif bersih dibanding producer
gas. Oleh karena itu, agar mesin diesel dapat
beroperasi dengan normal, maka producer gas
harus mengandung ter dan partikulat serendah
mungkin. Secara umum, kadar ter dan partikulat
yang masih dapat ditoleransi untuk bahan bakar
mesin pembakaran internal adalah adalah sebagai
berikut (Anonymous, 1986; Anonymous, 2006):
ter : <500 mg ter /m
3
gas
partikulat : 50 mg partikulat/m
3

gas.
Sampai saat ini, belum ada prosedur standar untuk
menentukan kadar ter dan partikulat dalam pro-
ducer gas. Tetapi metode analisis ter dan partikulat
dal am producer gas dari bi omassa tel ah
dikembangkan di Swiss dan Belanda (Nusbanmer,
1998; van de Kamp, 2005). Bahkan Energy re-
search Center of the Netherlands (ECN) Belanda
mengembangkan prosedur tersebut menjadi
st andar unt uk kawasan Eropa dengan
mengadakan Round Robin test. Prinsip dasar
metode tersebut adalah sampling dan analisis
aliran producer gas yang mengandung ter dan
partikulat secera on-line dengan menggunakan
peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik dan
penangkap ter dan partikulat. Selanjutnya, kadar
ter dan partikulat ditentukan berdasarkan
gravimetri.
3. METODOLOGI
3.1. Pembuatan Peralatan
Tahap awal dari pengembangan metoda adalah
pembuatan peralatan sampling dan analisis sesuai
dengan peralatan yang digunakan untuk sampling
dan analisis producer gas yang dikembangkan di
Eropa. Alat sampling tersebut berupa nozzle
isokinetik yang dipasang pada pipa aliran gas dan
dilengkapi pitot tube dengan dimensi tertentu.
Disamping itu, pada pipa aliran contoh gas
dipasang pemanas suhu 200C agar ter tidak
mengembun dan menempel pada nozzle dan pipa
sirkulasi. Skema pemasangan nozzle pada pipa
aliran produk gas hasil gasifikasi batubara dapat
dilihat pada Gambar 1.
Alat penangkap partikulat berupa penyaring
keramik (ceramic filter) dipasang pada aliran
contoh gas sebelum masuk ke rangkaian
penangkap ter. Penyaring keramik tersebut
memiliki rongga-rongga 3 mikron. Penangkap ter
terdiri atas botol pengembun uap air (moisture con-
densation bottle) dan 3 (tiga) botol tar impinger
seperti terlihat pada Gambar 2.
3.2. Prosedur Analisis Ter dan Partikulat
Setelah peralatan sampling dan analisis terpasang
kemudian contoh gas dialirkan melalui nozzle dan
penyaring keramik. Contoh gas didinginkan dalam
chiller yang terbuat dari gelas dan menggunakan
air pendingin suhu 10
O
C. Air dan tar yang
mengembun kemudian dilewatkan pada pipa teflon
untuk dialirkan ke dalam botol kondensasi. Botol
kondensasi berisi 800 mL air suling (aquadest)
yang didinginkan pada suhu 0
O
C. Pipa teflon
dicelupkan dalam air suling sedalam 15 mm. Ujung
teflon berbentuk lobang-lobang dengan diameter
1 mm sebanyak 20 buah. Uap air dan sebagian
19 Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi
Gambar 1. Skema alat sampling producer gas (Nussbanmer, 1998; van
de Kamp, 2005)
Gambar 2. Skema penangkap partikulat dan ter ((Nussbanmer, 1998; van
de Kamp, 2005)
20 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
ter dalam contoh gas akan mengembun dalam
botol kondensasi yang berisi air suling.
Langkah selanjutnya adalah mengalirkan gas ke
dalam 3 buah botol impinger yang masing-masing
berisi 50 mL anisol dan satu buah botol impinger
kosong sebagai drop separator. Ketiga buah botol
impinger tersebut didinginkan dalam chiller pada
suhu -3 sampai dengan -4
O
C. Ter yang
terkandung dalam contoh gas akan mengembun
dan terabsorbsi dalam anisol. Contoh gas
kemudian disedot oleh pompa vakum pada laju
alir antara 1,7 3,3 m/detik. Sisa contoh gas
dibakar dengan pembakar (burner).
Sampling gas dilakukan selama 0,5 - 1 jam,
tergantung kandungan ter dan partikulat. Semakin
kecil kandungan partikulat dan ter, waktu yang
dibutuhkan akan semakin lama. Setelah dilakukan
langkah-langkah sampling gas dan pemisahan
partikulat dan ter seperti seperti tersebut di atas,
kemudian kadar partikulat dan ter dapat ditentukan
dengan membagi berat ter dengan volume contoh
gas sebagai berikut:
mc1 mc2
Kadar partikulat, mg/m
3
=
vg
Di mana:
m
c1
= berat penyari ng kerami k sebel um
percobaan, mg
m
c2
= berat penyaring sesudah percobaan, mg
= volume contoh gas, m
3
Sedangkan untuk menentukan kadar ter, ter yang
sudah teradsorbsi dalam botol kondensasi dan
botol impinger dipisahkan melalui destilasi vakum
pada suhu 85
O
C dan tekanan 10 20 mBar. Ter
yang diperoleh kemudian ditimbang. Kadar tar
dapat dihitung dengan membagi berat ter yang
diperoleh dari destilasi vakum dengan volume
contoh gas, sebagai berikut:
m
t
Kadar partikulat, mg/m
3
=
v
g
Di mana:
m
t
= berat ter hasil destilasi, mg
v
g
= volume contoh gas, m
3
3.3. Pengujian Metoda
Pengujian metoda dilakukan terhadap producer
gas hasil gasifikasi contoh batubara Kalimantan
yang mempunyai nilai kalor 5.500 kal/g dan 4.500
kal/g. Pengujian diawali dengan proses gasifikasi
batubara yakni dengan mengumpankan batubara
150 kg/jam. Setelah operasi gasifikasi berjalan
lancar (steady) kemudian dilakukan sampling gas
dengan membuka aliran nozzle. Selanjutnya
dilakukan langkah-langkah sesuai dengan
prosedur analisis ter dan partikulat. Apabila kadar
ter dan partikulat dalam producer gas sudah
memenuhi syarat, yakni <500 mg ter/m
3
dan 50
mg partikulat/m
3
, maka gas digunakan untuk
mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel.
Pengoperasian mesin diesel diawali dengan
menggunakan bahan bakar 100 % solar pada
berbagai beban (daya) 30 kW, kemudian gas
batubara dimasukkan sampai beban mencapai
maksimum 150 kW.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian metoda untuk analisis kadar ter dan
partikulat contoh producer gas hasil gasifikasi
dapat dilihat pada Tabel 1. Pengujian tersebut
dapat menghasilkan data kadar ter dan partikulat
yang masing-masing antara 762 mg ter/m
3
dan
31-50 mg partikulat/m
3
. Producer gas dengan
kadar ter dan partikulat yang demikian sudah
memenuhi syarat untuk digunakan pada mesin
diesel. Kadar ter dan partikulat producer gas dari
contoh batubara dengan nilai kalor 5.500 kal/g (A)
menunj ukkan hasi l yang berbeda antara
percobaan gasifikasi ke 1 dan percobaan gasifikasi
ke 2. Hal ini disebabkan bervariasnya kondisi
operasi gasifikasi batubara. Walaupun batubara
yang digunakan sama tetapi komposisi producer
gas yang dihasilkan oleh percobaan ke 1 dan ke
2 belum tentu sama. Kualitas dan kuantitas produk
gas hasil gasifikasi tergantung kondisi operasi
sebagai berikut (Elliot, 1981, Nowacki, 1981, van
Dyk):
kual i tas batubara (anal i si s proksi mat,
reaktivitas, distribusi ukuran, fragmentasi
termal dan sifat caking);
suhu
rasio pereaksi/batubara;
rasio udara/uap air).
21 Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi
Analisis proksimat, reaktivitas dan sifat caking
batubara yang sama akan menghasilkan kondisi
operasi yang sama. Ukuran batubara yang
digunakan dalam percobaan gasifikasi adalah 5
+ 1 cm, tetapi kemungkinan distribusi ukurannya
tidak merata sehingga menyebabkan kondisi
percobaan ke 1 dan ke 2 tidak sama. Hal ini juga
dapat membuat penyebaran panas dalam unggun
bat ubara t i dak merat a dan sel anj ut nya
menyebabkan fragmentasi ukuran tidak sama
sehingga kondisi proses berbeda. Perbedaan
kondisi proses tersebut menyebabkan terjadinya
perbedaan kualitas produk berbeda.
Pengembangan standar analisis producer gas dari
biomassa yang dilakukan oleh van de Kamp (2005)
adalah dengan memvariasikan kondisi operasi
gasifikasi yang terdiri atas, pereaksi (udara/uap
air, oksigen/uap air), jenis reaktor (fixed bed, flu-
idized bed, updraft, down draft), suhu dan tekanan.
Dalam program standarisasi tersebut dilakukan uji
Round Robin, yakni mengirimkan contoh-contoh
gas yang sama ke beberapa laboratorium kemudian
membandingkan hasilnya.
Hasi l penguj i an penggunaan gas unt uk
mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel
secara kont i nyu dan beban maksi mal
menunjukkan kinerja yang cukup baik. Hasil
pengamatan terhadap ruang bakar mesin diesel
setelah operasi kontinyu tidak menunjukkan
perbedaan dengan menggunakan bahan bakar
100% solar dan tidak ditemukan adanya endapan
kerak atau ter batubara dalam ruang bakar mesin
diesel. Hal ini menunjukkan bahwa kadar ter dan
partikulat cukup rendah dan memenuhi syarat,
seperti yang dihasilkan oleh uji metoda analisis.
Walaupun metoda ini sudah bisa digunakan, tetapi
yang masih menjadi masalah adalah belum
dikembangkannya standar. Hal ini mengingat
belum adanya standard reference gas yang sudah
mempunyai kandungan ter dan partikulat tertentu.
Disamping itu, belum ada laboraorium lain yang
mengembangkan metoda analisis ter dan partikulat
yang dapat bekerjasama dalam melakukan uji
Round Robin guna membandingkan hasil analisis.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Peralatan sampling dan analisis ter dan
partikulat dalam producer gas dari batubara
telah dapat dirancang bangun dan dipasang
pada pilot plant gasifikasi batubara untuk PLTD
di Palimanan Cirebon.
Metoda sampling dan analisis ter dan producer
gas telah dikembangkan dan diujicobakan
dengan baik terhadap producer gas hasil
gasifikasi batubara dari Kalimantan Selatan
yang menghasilkan kadar ter dan partikulat
masing-masing antara 7 62 mg ter/Nm
3
dan
31 50 mg partikulat/Nm
3
yang telah
memenuhi persyaratan untuk pengoperasian
mesin diesel.
Pengoperasian mesin diesel menggunakan
producer gas dari batubara menunjukkan
kinerja yang cukup baik, tidak terdapat endapan
ter dan partikulat dalan ruang bakar mesin.
5.2. Saran
Hasil ini agar dapat ditindaklanjuti dengan
pengembangan metoda standar melalui
kerjasama dengan laboratorium lain untuk
melakukan uji pembanding (Round Robin test).
Pengembangan metoda sampling dan analisis
producer gas juga perlu dikembangkan agar
komposisi gas dapat langsung diketahui
sehingga pemanfaatan untuk mesin diesel
dapat terjamin.
Tabel 1. Hasil analisis ter dan partikulat
No. Contoh Batubara Nilai Kalorkal/g
Kadar Ter dan Partikulat, mg/m
3
Ter Partikulat
1.
A 5.500
38 50
2. 7 31
3. B 4.500 62 43
22 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan teri makasi h di sampai kan kepada
Puslitbang tekMIRA, PT PLN Jasa Produksi dan
PT Coal Gas I ndonesi a (PT CGI ) at as
kerjasamanya dalam penyelenggaraan kegiatan
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1986. Wood Gas as Engine Fuel.
FAO, Rome.
Anonymous, 2006. Biomass downdraft gasifier
engine system. http:/devafdc.nrel.gov/pdfs.
Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utiliza-
tion. Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons,
New York.
Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology.
Vol II, Section C: Gaseous Fuels. Pergamon
Press, Oxford.
Nowacki, P. (Ed.), 1981. Coal Gasification Pro-
cess. Noyes Data Corporation Jersey.
Nussbanmer, T., 1998. Guide line for Sampling
and analisis of Tars Condensates and Par-
ticulates From Biomass Gasifier, Swiss Fed-
eral Institute of Zurich, Zurich.
Turare, C. Biomass Gasification Technology and
Utilization. ARTES Institute Glucksburg, Ger-
many.
van de Kamp, W., de Wild, P., Zielke, U.,
Suomalainen, M., Knoef, H., Good, J, Liliedahl,
T., Unger, C., Whitehouse, M., Neeft, J., van
de Hoek, H. & Kiel, J., 2005. Tar measure-
ment standard for sampling and analysis of
tars and particles in biomass gasification prod-
uct gas. 14
th
European Biomass Conference
& Exhibition, Paris, 17-21 October.
Van Dyk, J.C., Keyser, M.J. & Coertzen, M.
Sasols Unique Position in Production from
South African Coal Source Using SasolLurgi
Fixed Bed Dry Bottom Gasifier. Sasol Tech-
nology. R&D Division, Syngas and Coal Tech-
nologies, Sasolburg, South Afrika.
Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Tech-
nology, Blackwell Scientific Publications,
Melbourne.
23 Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN
SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PADA ERA GLOBALISASI
Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)
Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp.021 7222583 Fac.021 7226011
e-mail : djokosnj@lemigas.esdm.go.id, bambangwtm@lemigas.esdm.go.id
SARI
Paradigma baru pengelolaan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus bergulir, setelah
penyerahan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas kemudian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dari implementasi UU Migas dan UU Minerba yang
baru, terdapat persamaan antara lain tentang kepedulian lingkungan. Perlu upaya khusus untuk
implementasi pengelolaan lingkungan dan penanganan dinamika kegiatan pertambangan mineral dan
energi pada era globalisasi. Analisis pada studi kasus kegiatan pertambangan apabila berpatokan
pada nuansa desentralisasi dan meninggalkan sentralisasi akan menimbulkan dampak baru. Dampak
lingkungan yang timbul dapat berkembang menjadi permasalahan global, tidak terkotak-kotak wewenang
daerah/pusat, namun menjadi urusan internasional. Demikian juga pengelolaan ekspor mineral,
pengembangan teknologi termasuk impor peralatan masih dalam konteks sentralisasi. Permasalahan
bertambah kompleks dengan berfluktuasinya produksi dan harga komoditas mineral. Diperlukan
antisipasi pengelolaan sebaik-baiknya yang meliputi 3 faktor utama pengelolaan lingkungan Sektor
ESDM di Indonesia, yakni jenis mineral, luas wilayah dan perkembangan perekonomian. Adanya
berbagai input dan proses kegiatan pertambangan, menjadi masukan informasi untuk kembali ke
konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Salah satunya adalah konsep Green Mining and
Energy, akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan utamanya selalu
mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan pertambangan.
Kata kunci : lingkungan, Sektor ESDM, globalisasi
24 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
ABSTRACT
New paradigm on management Energy and Mineral Resources Sector, after Oil and Gas Law (Law No.
22 year 2001) and Mining and Coal Law (Law No. 4 year 2009) is going on. The implementations of
those laws pay the same attention on environment management. Special effort is needed for environment
management to cope with the dynamics of mineral and energy activities in globalization era. Analysis
from case study in mining activity if decentralism spirit is used and leaving from centralization spirit
will create new impact. Environmental effect could generate the global problems, not only local but
also international. Export activities of minerals, development of technologies and import of equipment
which is still centralized and the complexity of the problems with fluctuations of product and mineral
price need anticipation to manage it, these involve five factors: minerals item, mining area, economics
development. With the inputs from mining activities there be sufficient information to come back to
available environment management since Green Mining and Energy concept will cause a sustainable
benefit output, in primary environment factors and community of the surrounding mining activities.
Keywords: environment, energy and mineral resources sector, globalization
1. LATAR BELAKANG
Dengan terbitnya perundang-undangan yang
mendasari pelaksanaan pengelolaan energi dan
sumber daya mineral, terdapat persamaan dalam
permasalahan lingkungan yang tertuang dalam UU
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Sebagai negara kepulauan,
jumlah dan penyebaran penduduk yang timpang
serta adanya perbedaan ekologi di berbagai
kawasan Indonesia, tidaklah mengherankan
apabila pada masing-masing wilayah terdapat
perbedaan dalam upaya penanganan lingkungan
dan peningkatan perekonomian atau Pendapatan
Asli Daerah dari kegiatan pertambangan.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai masukan dalam rangka
mempersiapkan peraturan dan keputusan sebagai
turunan dan pendukung Undang Undang Minerba
yang baru. Pemutakhiran dan upaya khusus
implementasi pengelolaan lingkungan di tengah
dinamika kegiatan pertambangan mineral dan
energi sangat diperlukan guna menciptakan
pertambangan berwawasan lingkungan.
2. PENDEKATAN TEORI DAN ANALISIS
Pendekatan kegi atan menggunakan teori
kebijakan dan geologi lingkungan dikomparasi
dengan data sekunder pengusahaan mineral dan
batubara. Analisis komparatif dilakukan dengan
subsektor lainnya dikompilasi dengan kekhususan
pengembangan subsektor minyak dan gas bumi,
produksi mineral, dan pemanfaatan batubara untuk
kelistrikan serta beberapa studi kasus.
Pendekatan kegiatan berbasis masyarakat (com-
muni t y based act i vi t i es), l ebi h mungki n
menghasilkan tindakan yang merespon kebutuhan
riil penduduk ataupun masyarakat lingkar
pertambangan. Perlu kesadaran manfaat dan resiko
bahaya yang dihadapi dan kemampuan masyarakat
untuk melindungi diri dari dampak negatif yang timbul.
Dalam UU Minerba yang baru telah dilengkapi tata
cara pengembangan terkait masyarakat, reklamasi
sampai pascatambang, yaitu;
Penanganan lingkungan hidup
Rencana pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan
(beberapa pasal, antara lain pasal 78)
Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang
(pasal 39)
3. POTENSI DAN PEMANFAATAN
BATUBARA INDONESIA
Sejak tahun 2006 Pemerintah menggulirkan
beberapa kebijakan untuk mendukung pembangunan
pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan
bukan Bahan Bakar Minyak atau non-BBM. Salah
satunya adalah dengan memberikan insentif kepada
perusahaan batubara pemasok pembangkit listrik
PLTU. Insentif yang diberikan berupa pemotongan
dana pengembangan batubara yang merupakan
bagian dari Dana Hasil Produsen Batubara (DHPB)
yang disetor perusahaan tambang ke kas negara.
Insentif tersebut diberikan hanya untuk kebutuhan
pembangunan pembangkit listrik dan tidak boleh
digunakan untuk keperluan ekspor.
25 Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono
Meningkatnya pemakaian BBM untuk pembangkit
listrik tenaga diesel (PLTD) dan listrik tenaga uap
(PLTU) memberatkan PLN dari segi biaya, di
samping berdampak timbul masalah gangguan
kualitas lingkungan. Salah satu solusi jangka panjang
untuk menekan beban PLN dengan menggunakan
batubara untuk pembangkit listrik yang akan
dibangun maupun yang telah beroperasi. Batubara
sebagai bahan bakar PLTU pengganti BBM
dilandasi alasan karena batubara lebih murah dan
cadangannya cukup besar, sehingga menjamin
pasokan. Kebijakan Energi Nasional 2003-2009
menyebutkan bahwa penggunaan batubara dapat
mendorong pengembangan batubara kalori rendah
di dalam negeri, selaras hasil penelitian yang
menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi
batubara kalori rendah cukup besar yang selama
ini belum dieksplorasi.
Ibrahim (2008) dalam bukunya General Check-Up
KELISTRIKAN NASIONAL; Produksi batubara
dalam negeri sekitar 203 juta ton per tahun, untuk
memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah PLTU
diperlukan sebanyak 21,28 juta ton per tahun, dalam
Program 10.000 MW sebagian besar menggunakan
batubara. Akan dibangun PLTU Suralaya, PLTU
Labuhan dan Tangerang (Provinsi Banten). Di Jawa
Barat akan dibangun PLTU Indramayu dan Pelabuhan
Ratu. Jawa Tengah akan dibangun PLTU Rembang
dan Tanjung Jati. Sedangkan di Jawa Timur akan
dibangun PLTU Pacitan, Paiton dan Tuban.
4. ANALISIS KOMPARATIF
Upaya mengatasi permasalahan yang timbul dapat
diantisipasi dengan pengelolaan sebaik-baiknya,
meliputi 3 faktor utama yang berperan penting
dalam pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di
Indonesia, yaitu ;
1. Jenis Mineral
2. Wilayah Pertambangan
3. Perkembangan Perekonomian
1. Jenis Mineral
Klasifikasi mineral ataupun pembagian bahan galian
sesuai Undang-Undang atau PP No 27 Tahun 1980
dibedakan menjadi 3 jenis atau kategori, yaitu
kategori A (Bahan Galian Strategis), kategori B
(Bahan Galian Vital atau Logam) dan Golongan C
(Industri atau bahan bangunan), sampai saat ini
masih relevan. Namun dalam pengelolaan dan
pekembangannya diperlukan inovasi dan keluwesan
mengaplikasikan dalam peraturan perundangan baru.
Terkait dengan jenis mineral dan pertambangan,
dalam UU Minerba yang baru diuraikan pada BAB
VI pasal 34; Usaha Pertambangan dikelompokkan
menjadi pertambangan mineral dan pertambangan
batubara. Pertambangan mineral masih digolongkan
lagi menjadi; pertambangan mineral radioaktif,
pertambangan mineral logam, pertambangan min-
eral nonlogam dan pertambangan batuan (Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara)
Sesuai klasifikasi untuk pengelolaannya tergantung
jenis dan kategori mineral, seperti dalam pengusa-
haan migas dibedakan institusi pemerintah
sebagai regulator (Ditjen Migas) dan badan yang
melakukan pengawasan kegiatan baik hulu dan
hilir migas oleh BP Migas dan BPH Migas,
demikian juga nantinya untuk mineral strategis
lainnya termasuk batubara. Saat ini pertambangan
mineral dan batubara di Indonesia cenderung
menggunakan sistem tambang terbuka (open pit
mining) yang menggunakan lahan luas. Contoh
pertambangan mineral logam PT Newmont Nusa
Tenggara memerlukan wilayah yang luas Gambar
1. Sebaliknya beberapa tambang dalam memerlukan
lahan yang relatif tidak luas, seperti tambang yang
sudah lama dikembangkan tambang emas
Pongkor, Jayawijaya, batubara di Sawahlunto.
Peningkatan pertambangan batuan sesuai kegiatan
pembangunan fisik sarana-prasarana, tetap
memerlukan kewaspadaan dalam pengelo-laannya
terkait lingkungan, misal penambangan di daerah
resapan air tanah, dekat kawasan budi daya atau
pada kawasan hutan dan kawasan lainnya.
Gambar 1. Kegiatan operasi di tambang
terbuka Batu Hijau (Foto :
Newmont Nusa Tenggara, 2006)
26 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Kasus terjadinya ledakan tambang batubara
Sawahlunto yang menelan korban meninggal lebih
dari 30 orang pada pertengahan Juni 2009, salah
satu penyebabnya diduga pengelolaan dan
pengusahaannya mengabaikan prosedur dan
pengawasan lingkungan dan keselamatan kerja
seperti yang seharusnya berlaku pada kegiatan
tambang bawah tanah/tambang batubara.
2. Wilayah Pertambangan
Keberadaan wilayah pertambangan sangat
mempengaruhi pelaksanaan dan permasalahan yang
timbul di lapangan, masalah tumpang-tindih dengan
sektor atau subsektor lain, penyerobotan wilayah
oleh pertambangan tanpa ijin termasuk permasa-
lahan lingkungan yang tidak mudah diselesaikan.
Wilayah Indonesia yang memiliki tidak kurang dari
13.667 pulau mempengaruhi implementasi
organisasi, efektivitas dan efisiensi terkait
kewilayahan. Sebagai contoh, kasus penanganan
pengawasan Usaha Hulu Migas yang selama ini
dilakukan BP MIGAS sesuai UU No 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, salah satu
implementasinya BP MIGAS membuka kantor
perwakilan dan penghubung di daerah. Hal ini
karena kompleksnya permasalahan pengawasan
kegiatan hulu migas dan lokasi wilayah yang
tersebar dan sulit dijangkau.
Keterkaitan wilayah dan kepadatan penduduk
terlihat perbedaan antara Wilayah Jawa dan luar
Jawa, khusus Pulau Jawa menampung hampir 60
% penduduk Indonesia, demikian juga antara
Sumatera Jawa dengan pulau lain di Indonesia Timur.
Dari berbagai pulau; Jawa, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi merupakan tempat pemukiman yang
utama. Pengembangan pertambangan akan
mempertimbangkan lebih banyak faktor pada
daerah padat penduduk. Tantangan ke depan
menjadi bertambah karena peningkatan jumlah
penduduk dan pertambangan mengarah ke wilayah
padat penduduk, sehingga diperlukan pendekatan
sosio kemasyarakatan dan teknologi dalam
pengelolaan mineral dan energi. Keberhasilan
kegiatan community development atau social re-
sponsibility dan program kemasyarakatan yang
sejenis menjadi indikator keberhasilan kegiatan
pertambangan suatu wilayah (Sunarjanto dan Adji,
2005). Tingkat kepadatan penduduk tempat
kegiatan pertambangan berada, dan temehadap
pada satu sisi akan menjadi potensi sumber daya
yang tidak boleh diabaikan.
3. Perkembangan Perekonomian
Akhir-akhir ini permasalahan lingkungan menjadi
bagian penting dalam perekonomian, sesuai UU
Minerba baru daerah pertambangan berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
(pasal 28). Sisi lain pengelolaan pertambangan
mineral dan energi tergantung pada modal besar
dan beresiko tinggi, mengakibatkan ketergantungan
pada perekonomian global, termasuk di dalamnya
investasi dan nilai tukar mata uang, pajak, ketenaga-
kerjaan sampai ekspor-impor. Impor peralatan, mesin
dan teknologi dari beberapa negara luar, sebaliknya
hasil kegiatan pertambangan diekspor ke luar
negeri. Tercatat produksi nasional tembaga, emas,
perak dan timah lebih besar untuk kebutuhan luar
negeri, bahkan tahun 2007 produksi bauksit
(1,536,542 MT) dan bijih nikel (4,309,134 Ton) untuk
memenuhi kebutuhan luar negeri (Tabel 1). Dari sisi
mikro-ekonomi fluktuasi harga komoditas, akuisisi
perusahaan, penggabungan beberapa perusahaan
bahkan pengalihan bidang usahapun perlu diper-
hitungkan untuk keamanan berusaha dan memper-
tahankan stabilitas investasi. Untuk itu pelaksanaan
rangkaian kegiatan pertambangan di Indonesia masih
dikontrol langsung pemerintah, sejak perencanaan,
eksplorasi-eksploitasi sampai pengawasan dan
audit pascakegiatan pertambangan.
Tabel 1. Produksi hasil tambang terpilih, kebutuhan dalam negeri dan ekspor
Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik
Tembaga (Ton) 817,796 816,181 159,783 797,604.75 497,704.48 287,127.43 330,267 272,186 42,884
Emas (KG) 85,411 85,176 1,882 117,726.64 83,249.67 36,774.24 33,923 32,222 5,318
Perak (KG) 261,398 244,144 12,967 269,376.48 188,665.07 80,248.42 122,470 97,671 97,515
Timah (Ton) 65,357 61,422 1,927 91,284.31 90,555.61 1,862 25,407 22,048 747
Bauksit (MT) 1,501,937 1,536,542 - 15,406,044.73 17,031,809.46 25,762.49 6,706,483 7,702,308 102,326
Bijih Nikel (Ton) 4,353,832 4,309,134 - 6,623,024 5,989,105 56,775 3,619,183 3,037,442 -
*) Termasuk Kuasa Pertambangan
Status Data, Juli 2008
Sumber : Directorate General of Mineral Coal and Geothermal (2008)
2006 2007*) 2008*)
27 Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono
5. ALTERNATIF SOLUSI
Alternatif solusi merupakan bagian dari strategi yang
diperlukan guna mempercepat dan akurasi suatu
proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Soelistijo (2000) secara makronasional,
dengan disesuaikan terhadap terdapatnya sumber
daya mineral dan energi, pengembangan wilayah
Sektor ESDM terdiri dari 3 alternatif, yaitu ;
Pusat pertumbuhan (growth center).
Agregatif: yang potensinya menunjang
konsepsi pengembangan wilayah sektor lain.
Regional Integratif: yang potensinya bersifat
merangsang pengembangan wilayah sektor lain.
Dalam perkembangannya selama ini banyak kajian
ilmiah, analisis dan alternatif yang sudah disusun
ahli maupun institusi. Berdasarkan analisis
komparatif, sebagai suatu alternatif solusi terdapat
input dan proses kegiatan pertambangan dapat
diarahkan mencapai output yang bermanfaat banyak
pihak. Dapat ditinjau kembali konsep pengelolaan
lingkungan yang sudah ada, salah satunya adalah
konsep Green Mining and Energy akan menghasilkan
output yang bermanfaat secara berkelanjutan.
Apabila dikaitkan dengan lingkungan dan
pengembangan wilayah selalu mempertimbangkan
faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan
pertambangan atau diistilahkan masyarakat
lingkar luar, baik lingkar 1, lingkar 2 dan seterusnya.
6. PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Sampai saat ini sumber energi fosil merupakan
sumber utama dan penggunaan bahan bakar
batubara pada PLTU dapat berdampak merugikan
lingkungan. Secara fisik tampak mata adalah
perubahan bentang alam, sebagai ilustrasi
digambarkan dalam Gambar 1. Dampak negatif yang
tidak tampak secara langsung sebagai sumber
utama emisi berbahaya seperti SO
2
, CO, CO
2
, dan
abu. Salah satu emisi yang harus mendapatkan
perhatian dari pembakaran batubara pada
pembangkit listrik adalah SO
2
, yang merupakan
gas tidak berwarna, berbau menyengat dan sangat
berbahaya bagi tumbuhan dan hewan. SO
2
menye-
babkan gangguan pernafasan, dapat menyebabkan
kebutaan dan kematian pada manusia. Dampak
lainnya mengakibatkan terjadinya hujan asam
yang dapat merusak tanaman serta mempercepat
kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat
merugikan kehidupan, karena banyak di antara
spesies yang punah tersebut merupakan spesies
yang berguna bagi manusia (Christensen, 1991).
Peningkatan emisi gas CO2 di atmosfer akan
dapat mempengaruhi terjadinya perubahan curah
hujan dan pemanasan global. Selain mendorong
terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati,
pemanasan global juga dapat menimbulkan
terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang,
penurunan produktivitas perikanan laut, terjadinya
perubahan musim, meledaknya hama dan wabah
penyakit, hujan badai, banjir bandang dan sebagainya.
Penggunaan energi batubara dalam penyediaan
tenaga listrik ataupun industri mineral dan energi
lainnya diupayakan agar lebih ramah lingkungan
dan dilakukan dengan melengkapi peralatan yang
dapat mengatasi polutan. Dengan melengkapi
peralatan sejenis penyaring, maka gas buang dari
PLTU ataupun industri menjadi aman bagi lingkungan
(Brodjonegoro, Bambang dan Sunarjanto, 2000).
Penanganan lingkungan hidup termasuk reklamasi
dan pengelolaan pascatambang (BAB VII pasal
39 UU Minerba) menjadi upaya penting memperbesar
dampak positif menciptakan pertambangan secara
berkelanjutan sejak eksplorasi sampai dengan
esok menjadi suatu kawasan pusat pertumbuhan
ekonomi. Sebagai contoh nyata adanya kegiatan
pertambangan mineral logam di Maluk Sumbawa
yang termasuk Wilayah PT. Newmont Nusa
Tenggara dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun
mampu membangun Pusat Pertumbuhan Ekonomi
baru di Wilayah Indonesia Timur Gambar 2.
7. DISKUSI
Kegiatan ESDM khususnya pertambangan min-
eral masih terkonsentrasi di darat, di mana daratan
hanya menempati sepertiga Wilayah Indonesia.
Menjadi peluang dan tantangan untuk lebih intensif
mengembangkan pertambangan mineral di lepas
pantai. Bila dibandingkan masih lebih banyak
kegiatan migas yang mengeksplorasi dan
mengeksploitasi cadangan migas lepas pantai.
Penambangan timah dan pasir laut di daerah Riau
Kepulauan dan sekitarnya menjadi contoh
pertambangan mineral lepas pantai yang dapat
dilakukan pada wilayah lain.
Perubahan pada era globalisasi yang kadang
berubah secara cepat dari segenap pihak
pemangku kepentingan, shareholder sampai pihak
luar/internasional, membentuk rantai semacam
siklus. Diperlukan pemutakhiran dan diskusi yang
berkelanjutan mengantisipasi perubahan yang
dinamis. Sebagai bahan pengambilan keputusan
ataupun masukan dalam penyusunan peraturan,
28 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
diperlukan perhatian khusus pada permasalahan,
antara lain :
Produksi dan harga komoditas mineral yang
terus berfluktuasi.
Dampak lingkungan (dampak negatif) yang
timbul dapat berkembang secara cepat
menjadi permasalahan global.
Bencana lingkungan dan kebumian yang tidak
terkai t pertambangan ataupun ESDM,
dijadikan alasan untuk menyalahkan dunia
pertambangan dan pemangku kepentingan.
Pengelolaan lingkungan pertambangan lepas
pantai yang baik sebagai upaya optimalisasi
pemanfaatan wilayah dan ikut melindungi
pelestarian alam.
Pengelolaan lingkungan Sektor ESDM
menjadikan lingkungan bumi yang berkualitas
sekaligus sebagai warisan generasi yang akan
datang.
8. PENUTUP
Penanganan lingkungan hidup sampai kegiatan
pertambangan selesai/ pascatambang menjadi
upaya penting memperbesar dampak positif dan
memperkecil dampak negatif. Suatu kawasan
pertambangan mengubah lokasi terpencil menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi sudah banyak
terbukti berhasil pada beberapa wilayah, namun
masih diperlukan usaha lain agar tercipta
pertambangan bermanfaat bagi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Suprajitno
Munadi, yang telah bersedia mengoreksi dan
memberi masukan. Terima kasih kepada Kepala
PPPTMGB LEMIGAS, Bapak Dr. Ir. Hadi
Purnomo, M.Sc DIC yang memberi kesempatan
penulis menyampaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brodjonegoro, Bambang and Sunarjanto, 2000, The
Sustainable Economic Growth Pole in The
Mining Area Using AHP Method: Case Study
of PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Pongkor
Gold Mine-West Java Indonesia, Proceedings
of INSAHP, Jakarta.
Christensen, J.W., 1991, Global Science, Energy,
Resources, Environment, Kendall/Hunt Pub-
lishing Company, Dubuqe Iowa, third edition,
699 p., ISBN 0-8403-4657-3.
Directorate General of Mineral Coal and Geother-
mal, Ministry of Energy and Mineral Resources
The Republic of Indonesia, 2008, Indonesias
Mineral and Coal Development, Country Pa-
per, Bali-Indonesia.
Ibrahi m, A. H., 2008. General Check-Up
Kelistrikan Nasional, MediapIus Network,
MALUK 2005 MALUK 1995
Gambar 2. Perbandingan maluk, Sumbawa pada tahun 1995 dan 2005, sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi (Sumber : PT Newmont Nusa Tenggara)
29 Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono
Cetakan Pertama November 2008, ISBN 978-
979-18898-0-3.
Newmont Nusa Tenggara ,PT., 2006, Batu Hijau,
Dulu, Kini dan Esok, Cetakan Kedua.
Soelistijo, U. W., 2000, Pengembangan Wilayah
Sektor Pertambangan dan Energi, DPE,
Di tj end Pertambangan Umum, PPTP,
Bandung.
Sunarjanto,D. and Adji G.T, 2005, Corporate So-
cial Responsibility One of Methods To Expand
The Benefit for Oil and Gas Bearing Area, Pro-
ceedings 30
th
Annual Meeting IPA, Jakarta,
ISBN 979-98000-7-2.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
30 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA PADA ERA
OTONOMI DAERAH
Umar Dhani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudriman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022- 6003373
e-mail : umard@tekmira.esdm.go.id
SARI
Digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah pada awal tahun 2000, merupakan babak baru dalam
pemerintahan daerah. dengan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya
secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan adanya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah
berpacu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada dan menciptakan kebijakan untuk
meningkatkan pendapatan daerah (PAD) dengan legitimasi berupa Perda.
Dalam waktu yang sangat singkat, perda-perda tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya daerah
menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak dan retribusi atau
pungutan lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Hingga pertengahan bulan Juni tahun 2009, Departemen Keuangan telah mengumpulkan 12.031 Perda
dan berdasarkan hasil evaluasi telah merekomendasikan sebanyak 2.894 perda dibatalkan dan 144
perda direvisi. Hal ini menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang
bermasalah, sehingga akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif dan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah.
Selain itu, dengan adanya kebijakan otonomi memberi peluang pengembangan pertambangan di daerah,
antara lain : kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan potensi bahan galian, peningkatan penerimaan,
kesempatan kerja dan berusaha serta terciptanya pengembangan wilayah.
Kata kunci: peluang, pengembangan pertambangan, otonomi daerah
ABSTRACT
The release of the regional autonomy policy in the early 2000 is a new era of the regional government,
in which the region has an authority to manage its region professionally. Consequently, the regional
government is pushed to optimized potential of the resources and to create a policy of improving
regional revenue by legitimating regional regulations.
In a relatively short time, these regulations grow widely, and this causes collection of taxes, retribution
and other taxes, which are no relation with the public interest and the higher regulations. This is
against the investment promotion in the country.
31 Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani
1. PENDAHULUAN
Selama lebih dari dua dasawarsa, kebijakan
otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada era
ini peran Pemerintah Pusat sangat menonjol,
sehingga menimbulkan ketergantungan daerah
terhadap pusat. Pemeri ntah daerah ti dak
mempunyai keleluasaan dalam menetapkan pro-
gram-program pembangunan di daerahnya serta
sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan
diatur oleh pusat. Pada awal tahun 2000
diberlakukannya kebijakan otonomi, yaitu
desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah
yang diimplementasikan pada UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemeri ntahan Daerah dan
disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Otonomi daerah diartikan kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya
secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kewenangan daerah mencakup kewenangan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
di bi dang pol i ti k l uar negeri , pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
dan bidang lainnya yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun
2000, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota
telah melakukan pembenahan dan penyesuaian
administratif dan struktur organisasi, kelembagaan.
Salah satu upaya yang menonjol yang dilakukan
oleh pemerintah daerah pada era ini adalah
menerbitkan Peraturan Daerah (Perda).
Maraknya meenerbitkan Perda tersebut, masih
banyak yang tidak selaras dengan kebijakan yang
lebih tinggi, bahkan cenderung tumpang tindih dan
terkesan hanya berorientasi meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Selain itu,
masih banyak terjadi perbedaan penjabaran
mengenai otonomi daerah yang dituangkan dalam
perda pada masing-masing daerah. Hal ini akan
menimbulkan iklim yang tidak kondusif karena
ketidak-konsistenan kebijakan dan bahkan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi maupun
peluang investasi di daerah. Permasalahan
tersebut terjadi pada seluruh sektor usaha,
termasuk sektor pertambangan.
Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997,
terjadi penurunan investasi pada seluruh sektor
usaha, termasuk pada sektor pertambangan min-
eral dan batubara. Penurunan tersebut bukan hanya
dipicu oleh diberlakukannya kebijakan otonomi
daerah, tetapi juga kebijakan pertambangan yang
mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah
tidak selaras dengan semangat otonomi daerah
yang sedang digiatkan. Selain itu masih terjadi
perbedaan persepsi dalam menterjemahkan
kebijakan otonomi daerah, khususnya pada sektor
pertambangan, sehingga menimbulkan ketidak-
selarasan dengan kebijakan di atasnya atau
kebijakan sektor lain. Permasalahan-permasalahan
t ersebut pada akhi rnya dapat beraki bat
terganggunya perekonomian daerah maupun
nasional.
2. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengat ur dan mengurus sendi ri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Tujuan pemberian kewenangan dalam
penyel enggaraan otonomi daerah adal ah
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan
dan keadilan, demokratisasi, menghormati budaya
budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah
diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya
alam, sumber daya buatan, dan sumber daya
Until the mid of June 2009, the Ministry of Finance has collected 12,031 regional regulations. Accord-
ing to the evaluation results, 2,984 regulations are deleted and 114 are revised. This indicates that
those regulations have problems, so they must be eliminated or revised, because they will create an
unconducive condition and can hamper the economic growth and the opportunity of investing in the
mining sector in the region. Moreover, the autonomous policy has provided an opportunity to develop
the mining sector in a region in terms of management authority of utilizing mineral potential, revenue
increase, job creation and regional development.
Keywords: opportunity, mining development, regional autonomy
32 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
manusia yang ada di wilayahnya masing-masing
(UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip otonomi daerah
adalah desentralisasi, penyerahan semua
kewenangan kecuali bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan/yustisi, moneter
dan fiskal, serta agama. Dalam penyerahan
disertai pembiayaan, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana. Pelaksanaan kewenangan
didasarkan pada norma, standar, dan prosedur.
Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antarsusunan pemerintahan. Yang
dimaksud dengan kriteria eksternalitas dalam
ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan
pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang timbul
akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;
kriteria akuntabilitas adalah penanggung jawab
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan
luas, besaran, dan jangkauan dampak yang
ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan
pemeri nt ahan; kri t eri a ef i si ensi adal ah
penyelenggara suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya
guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah, keinginan pembentukan daerah
otonom baru berkembang sangat pesat. Hal ini
dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah daerah
otonom baru sejak tahun 1999 hingga Desember
2008 sebanyak 215 daerah otonom baru, yang
terdiri atas : 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35
kota. Selain itu, masih terdapat usulan baru yang
siap dibahas maupun yang belum diproses tentang
pembentukan daerah otonom baru.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU Nomor
32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan
pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat pemeri ntah atau waki l
pemerintah di daerah atau dapat menugaskan
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama
antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan
adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan
yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu terdiri
atas 31 (ti ga pul uh satu) bi dang urusan
pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta kepegawaian.
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan
wajib dan urusan pilihan. Di dalam menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria perlu
diperhatikan keserasian hubungan pemerintah
dengan pemerintah daerah dan antarpemerintah
daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan
pemerintahan wajib, dan pilihan berpedoman
kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Urusan pemerintahan wajib dan pilihan menjadi
dasar penyusunan susunan organisasi dan tata
kerja perangkat daerah.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah
dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat (4)
dan ayat (5) meliputi :
kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,
pemel i haraan pengendal i an dampak
lingkungan, dan pelestarian;
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya; dan
penyerasian lingkungan dan tata ruang serta
rehabilitasi lahan.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah
daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(4) dan ayat (5) meliputi :
pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya yang menjadi
kewenangan daerah;
kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antarpemerintahan daerah; dan
pengelolaan perizinan bersama dalam
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya
33 Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani
Pemerintahan daerah merupakan satuan pemerin-
tahan teritorial tingkat lebih rendah dalam negara
kesatuan RI, yang berhak mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya (Bagir Manan,
2001). Satuan pemerintahan teritorial tersebut
disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
administrasi negara yang merupakan urusan
rumah tangga daerah disebut otonomi. Dengan
demikian, agar wewenang pemerintah daerah
dapat dijalankan, maka diperlukan dasar hukum
pelaksanaan, yaitu sesuai pasal 136 ayat 1 UU
Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah sebagai
kepal a eksekuti f menetapkan Perda atas
persetujuan bersama DPRD. Perda yang disusun
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
pasal 7 Ayat (1) mengatur hirarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,
perda merupakan salah satu produk hukum yang
ada di Indonesia. Perda yang disusun oleh
pemerintah daerah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat
dibatalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Perda
yang terbit sebelum Oktober 2004, pembatalannya
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,
sedangkan setelahnya pembatalan melalui
Peraturan Presiden.
Perda dan ketentuan daerah lainnya bersifat
mengatur dan diundangkan melalui Lembaran
Daerah. Untuk perda yang mengatur mengenai
pajak daerah, retribusi daerah, Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD),
perubahan APBD, dan tata ruang sebelum
ditetapkan dan diberlakukan terlebih dahulu
dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan/atau peraturan daerah lainnya. Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Pemerintah daerah menyusun perda dalam rangka
merumuskan berbagai kebijakan pembangunan
atau dalam rangka memacu pertumbuhan
perekonomian di daerah.
Perda bermasalah pada prinsipnya adalah perda-
perda yang karena keberadaannya akan menye-
babkan terhambatnya efektifitas perekonomian (P.
Agus Pambudhi, 2006). Atau bertentangan dengan
peraturan yang l ebi h ti nggi . Perda yang
dikategorikan bermasalah adalah berdasarkan
prinsipil, substansi dan yuridis. Bermasalah secara
prinsipil adalah perda yang memberikan hambatan
dalam konteks ekonomi makro, yaitu :
Berpotensi bertentangan dengan prinsip
keutuhan wilayah ekonomi nasional.
Berpot ensi menyebabkan muncul nya
persaingan yang tidak sehat (monopoli,
oligopoli, kemitraan wajib, dll).
Berdampak negatif terhadap perekonomian
(ekonomi biaya tinggi atau pajak ganda).
Berpotensi menghalangi atau mengurangi
akses masyarakat (bertentangan dengan
prinsip keadilan).
Merupakan suatu bentuk pel anggaran
kewenangan pemerintah.
Pemeri ntah daerah dal am meni ngkatkan
perekonomian dapat memberikan insentif dan/atau
kemudahan kepada masyarakat dan/atau inves-
tor yang diatur dalam perda dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Implikasi dari kebijakan desentralisasi ini adalah
banyaknya produk perda yang berkaitan dengan
pajak dan retribusi daerah bertentangan dengan
kebijakan yang lebih tinggi atau kepentingan
umum. Hal ini, dapat berakibat terganggunya iklim
investasi yang ada di daerah dan berdampak pada
perekonomian daerah maupun nasional.
Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan
masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak
dan retri busi yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Hal ini bertolak
bel akang dengan gencarnya pemeri nt ah
menggalakkan investasi untuk pembangunan di
Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka
perlu dilakukan evaluasi terhadap perda yang
berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah.
Hingga pertengahan tahun 2009, Departemen
Keuangan telah mengumpulkan 12.031 perda
untuk dievaluasi. Dari jumlah tersebut sebagian
besar telah dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil
evaluasi Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Departemen Keuangan hingga Juni tahun 2009
telah merekomendasikan untuk membatalkan
2.894 perda dan 144 perda direvisi. Hal ini
34 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
menunjukkan bahwa produk Perda yang telah
disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga
harus dibatalkan atau direvisi. Banyaknya perda
yang bermasalah tersebut dapat berakibat
terganggunya aktivitas pemerintahan maupun
perekonomian wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada awal
tahun 2000 telah menimbulkan interpretasi yang,
khususnya berkaitan dengan kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama
pasal 7 dan pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004.
Dal am pasal tersebut di nyatakan bahwa,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi
tinggi yang strategis merupakan kewenangan
pusat. Pada sisi lain pasal 10 ayat 1 dinyatakan
bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya
nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara lingkungan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga
di i nt erpret asi kan bahwa kegi at an sekt or
pertambangan umum merupakan kewenangan
daerah. Sebenarnya dari kedua pasal, tersebut
menimbulkan adanya ketidakjelasan kewenangan
pengelolaan sumber daya alam (minerba) antara
pusat dan daerah.
Dengan diterbitkannya PP Nomor 38 Tahun 2007
yang merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun
2004 telah secara jelas mengatur pembagian
urusan antara pemerintah dan pemerintah daerah.
Dalam kebijakan tersebut telah terjadi perubahan
yang mendasar tentang pengawasan perda.
Khusus perda yang berkaitan dengan pajak,
retribusi, APBD dan tata ruang setelah Oktober
2004 dilakukan evaluasi oleh pusat sebelum
ditetapkan oleh daerah.
Dasar pembatalan perda tentang pertambangan
umum adalah berkaitan dengan pajak dan retribusi
izin usaha pertambangan dan birokrasi proses
perizinan. Pada umumnya pembatalan perda
tentang pajak dan retribusi pertambangan adalah
bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2000
dan PP 65 Nomor 2001. Kegiatan usaha di sektor
pertambangan umum (KP, KK dan PKP2B) telah
dikenakan iuran tetap (landrent) dan iuran
eksplorasi dan eksploitasi (royalty). Dengan
demikian, apabila dikenakan pungutan lain akan
meni mbul kan pungutan ganda dan dapat
memberat kan pel aku usaha di bi dang
pertambangan.
Berdasarkan hasil kompilasi perda yang berkaitan
dengan kegiatan pertambangan pada 8 provinsi,
terkumpul 242 perda pada 147 kabupaten. Dari
jumlah perda tersebut, sebagian besar (183 perda
atau 75%) mengatur tentang pungutan (pajak,
retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Sedangkan,
perda yang mengatur tentang pengelolaan
pertambangan sebagian besar wilayah kabupaten
belum menyusun, yaitu hanya terdapat 39 perda.
Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah
lebih mendahulukan kebijakan yang berkaitan
dengan pungutan dibandingkan kebijakan tentang
pengelolaan kegiatan pertambangan. Hal ini sangat
rentan terhadap aktivitas pertambangan maupun
lingkungan.
3. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA
Setiap usaha pertambangan bahan galian yang
termasuk dalam golongan bahan galian strategis
dan golongan bahan galian vital, baru dapat
dilaksanakan, apabila terlebih dahulu telah
mendapat kan i zi n, yai t u berupa Kuasa
Pertambangan (Peraturan Pemerintah Nomor 75
Tahun 2001). Pemberian izin usaha pertambangan
untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan umum,
ekspl orasi , ekspl oi t asi , pengol ahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
Pemerintah daerah sesuai dengan lingkup
usahanya menugaskan pemegang i zi n
pertambangan sesuai dengan tahapan dan skala
usahanya untuk membantu program pengembangan
masyarakat dan pengembangan wilayah pada
masyarakat setempat, yaitu berupa pengembangan
sumber daya manusia, kesehatan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Diharapkan dengan adanya
kegiatan ini masyarakat sekitar merasakan
dampak positif aktivitas pertambangan di
daerahnya.
Sebagai pedoman teknis penyelenggaraan
kewenangan t ersebut Pemeri nt ah t el ah
mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam
PP tersebut diuraikan secara jelas mengenai
jenjang kewenangan antara pemerintah, provinsi,
dan kabupaten/kota. Dalam rangka mendukung
dan memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan
tugas pemerintahan di bidang pertambangan
umum, Departemen ESDM telah menerbitkan
Keputusan Menteri mengenai pedoman teknis
(Kepmen No. 1453.K/29/NEM/2000). Dalam
pedoman teknis tersebut telah diatur mengenai
tata cara permohonan perizinan, pengelolaan
lingkungan, pengawasan lingkungan, eksplorasi,
35 Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani
konservasi, dan produksi. Selanjutnya, untuk
melaksanakan kewenangan tersebut, Pemerintah
Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menindak-
lanjuti dengan menerbitkan perda, baik yang
berkaitan dengan pengelolaan pertambangan
umum maupun pungutan (pajak, retribusi dan
sumbangan pihak ketiga). Namun demikian, perda
yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah
tentang pengelolaan pertambangan umum masih
banyak yang belum sesuai acuan di atas, bahkan
masih ditemukan perda yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha
harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang
ada. Hal ini dimaksudkan adanya kesesuaian
fungsi kawasan maupun menghindari tumpang
ti ndi h pemanfaatan ruang atau benturan
kepenti ngan antarsektor. Pada umumnya
sebagian besar daerah Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang telah disusun belum
pengalokasikan kawasan untuk pengembangan
kegiatan pertambangan. Dengan demikian,
pengembangan potensi bahan galian yang ada
menjadi sulit dilakukan karena keberadaanya
bukan merupakan fungsi kawasan pertambangan.
Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan
harus berada pada kawasan yang ditetapkan
sebagai kawasan pertambangan pada RTRW.
Dengan demikian, Pemerintah Daerah segera
menyiapkan kawasan untuk kegiatan pertambangan
yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti oleh
tuntutan reformasi, a.l. demokratisasi; HAM,
lingkungan hidup dan ekonomi telah mendorong
atas kebutuhan mendasar ke arah perubahan
sistem yang desentralistik . Maka peraturan yang
berkai t an dengan pert ambangan harus
menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada
i nti nya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai
pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 disusun
dengan mempertimbangkan seluruh aspek
perubahan saat ini, seperti otonomi daerah, HAM,
lingkungan hidup, kebutuhan sosial, politik dan
ekonomi. Butir-butir penting dalam UU Nomor 4
Tahun 2009, antara lain :
Sistem perizinan, eksplorasi dan eksploitasi
lebih sederhana.
Klarifikasi wewenang dan ruang lingkup
Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/
Kota.
Aspek nilai tambah, yaitu pemrosesan dan
pemurnian logam harus dilakukan di dalam
negeri.
Tidak ada lagi sistem kontrak langsung antara
perusahaan dengan Pemerintah, melainkan
di berl akukannya si st em i zi n usaha
pertambangan (IUP).
Pengembangan masyarakat difokuskan pada
kesejahteraan rakyat.
4. PELUANG PENGEMBANGAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
a. Perda
Semenjak digulirkanya kebijakan otonomi daerah,
pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun
kebijakan untuk mengelola dan memanfaatkan
potensi wilayah dalam rangka pengelolaan
pertambangan dan meningkatkan pendapatan asli
daerah melalui pajak dan retribusi daerah maupun
pungutan lainnya (sumbangan pihak ketiga).
Optimalisasi pemanfaatan potensi ini bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
pembiayaan pembangunan. Untuk melegalisasi
meningkatkan pendapatan dan pembangunan
daerah tersebut pemerintah daerah menyusun
perda. Kemampuan daerah dalam melaksanakan
pembangunan sangat dipengaruhi oleh keter-
sediaan sumber daya maupun kemampuan dalam
pengelolaannya.
Pedoman maupun acuan dalam menyusun Perda
pengelolaan pertambangan telah diatur dan
penerapan penyusunannya disesuaikan dengan
karakteristik wilayah. Diharapkan, dengan adanya
tersedianya acuan pengelolaan pertambangan
yang bai k dapat merangsang i nvest asi
pengusahaan pertambangan di daerah.
b. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi
Bahan Galian
Pada umumnya potensi bahan galian belum
di usahakan secara maksi mal dan bel um
memberikan dampak yang signifikan terhadap
perekonomian daerah. Hal ini karena potensi bahan
galian yang dikembangkan adalah bahan galian
golongan C dan dilakukan secara tadisional atau
tambang rakyat. Untuk wilayah yang memanfaat-
kan bahan galian golongan A dan B yang
mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, telah
memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi
perekonomian dan penerimaan daerah serta
menyumbangkan terhadap penerimaan negara.
36 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Kebijakan otonomi daerah telah memberikan
kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan
potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Saat
ini sebagian besar Pemerintah Daerah gencar
melakukan identifikasi dan inventarisasi potensi
bahan galian yang ada dalam rangka menarik in-
vestor menanamkan modal nya di bi dang
pertambangan. Dengan adanya kebijakan ini
memberikan peluang termanfaatkannya potensi
yang ada. Secara umum upaya yang dilakukan
ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang
cukup baik, yaitu semakin bertambahnya investasi
di bidang pertambangan di daerah, yaitu yang
ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah izin
usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah
daerah.
c. Perizinan Pertambangan
Sebelum adanya otonomi daerah perizinan di
bidang pertambangan umum dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dalam bentuk KK, PKP2B dan
KP, sedangkan perizinan pengusahaan bahan
galian golongan C diterbitkan oleh pemerintah
daerah dalam bentuk SIPD. Pada saat ini perizinan
usaha pertambangan umum diterbitkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
kewenangannya. Untuk melakukan perpanjangan
izin yang dikeluarkan dari pusat (KK dan PKP2B)
selebihnya menjadi kewenangan daerah sesuai
kewenangannya.
Salah satunya faktor maraknya izin pertambangan
yang dikeluarkan daerah adalah adanya kebijakan
otonomi daerah. Melalui UU tersebut membuka
peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola
dan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang
ada di wilayahnya, jika dibandingkan dengan sistem
pemerintahan sebelumnya.
Berdasarkan rekapitulasi dari Departemen ESDM,
izin usaha pertambangan dalam bentuk KK dan
PKP2B jumlahnya cenderung menurun, namun
untuk izin yang berupa KP yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah terjadi peningkatan yang cukup
signifikan (Tabel 1).
Meni ngkat nya j uml ah i zi n usaha bi dang
pertambangan (KP) tersebut menunjukkan adanya
peningkatkan investasi bidang pertambangan dan
meningkatnya PAD melalui sektor pertambangan.
Sebagai contoh, telah terbit ratusan KP batubara
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten
(Bupati) salah satu provinsi di Kalimantan, yaitu
terdapat 354 izin yang telah dikeluarkan, 260 buah
diantaranya berupa KP yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah.
d. Penerimaan Daerah
Distribusi pajak-pajak pertambangan yang menjadi
hak daerah belum dilakukan secara lebih adil dan
tepat waktu ke daerah penghasil yang berhak. Hal
ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan
rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh
daerah, karena penerimaan yang diperoleh tidak
tepat waktu.
Dari sisi perundang-undangan tersebut di atas
pajak dan royalti dari perusahaan pertambangan
merupakan penerimaan pusat. Dalam rangka
desentralisasi ada sebagian dari penerimaan ini
yang dibagihasilkan. Masalah utama dari bagi hasil
ini dipandang dari sisi daerah adalah tidak pastinya
waktu pencairan dari pusat, sehingga mengganggu
penganggaran di daerah. Dalam ketidakberdayaan
ini ada sebagian daerah yang mengusulkan agar
dana dari perusahaan pertambangan langsung
ditransfer ke rekening pemerintah daerah tanpa
melalui rekning pemerintah pusat. Sementara
pusat berpegang pada kebijakan yang berlaku,
bahwa royalty merupakan penerimaan pusat yang
dibagihasilkan dan bukan merupakan pajak daerah.
Sal ah sat u pengaruh adanya kegi at an
pertambangan adalah peningkatan penerimaan
daerah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penerimaan daerah secara langsung
berupa pajak dan retribusi daerah, sedangkan
Tabel 1. Rekapitulasi Izin Pertambangan
Jenis kontrak 2001 2002 2003 2004 2005 2006
KP 600 597 597 825 848 965
KK 55 62 61 54 46 41
PKP2B 119 101 101 87 82 81
Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008
37 Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani
penerimaan tidak langsung adalah penerimaan dari
pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP). Komponen PNBP terdiri atas iuran tetap,
royalti dan penjualan hasil tambang. Penerimaan
pajak dan PNBP pertambangan merupakan
penerimaan Negara dan dibagi-hasilkan ke daerah.
Hasil pertambangan mineral dan batubara telah
memberikan kontribusi bagi penerimaan Negara
yang cukup besar, yaitu pada tahun 2006 sebesar
29,69 trilyun. Komponen terbesar penerimaan
justru berasal dari penerimaan pajak dibandingkan
PNBP (Tabel 2).
f. Kewilayahan
Pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus
mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada,
yaitu yang dikelompokkan menjadi kawasan
lindung dan budidaya. Kebijakan tata ruang ini
menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang
at au bent uran kepent i ngan ant arsekt or.
Pengembangan dan pemanfaatan potensi bahan
galian yang berada di kawasan lindung tidak dapat
di manfaatkan, sehi ngga potensi nya ti dak
memberikan nilai ekonomi. Dengan terbitnya UU
Tabel 2. Penerimaan Pajak dan PNBP dari Pertambangan Mineral dan Batubara
Tahun 2004-2006 (Milyar Rupiah)
No. Sumber Penerimaan 2004 2005 2006 2007
1 Pajak 6.419,62 12.827,41 23.026,31 17.200,00
2 PNBP 2.573,66 4.788,72 6.664,81 8.697,07
Iuran Tetap 50,13 57,10 58,25 76,24
Royalti 1.642,17 3.138,94 4.163,99 5.771,82
Penjualan Hasil Tambang 881,36 1.592,68 2.442,57 2.849,01
Total 8.993,28 17.519,66 29.691,12 25.897,07
Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008
Penerimaan pajak ini menyumbang sekitar 67%
dari total penerimaan negara yang berasal dari
sektor mineral, batubara dan panas bumi atau
setara dengan Rp 17,20 trlyun pada tahun 2007.
Secara umum, realisasi penerimaan negara yang
berasal dari mineral, batubara dan panas bumi
dalam empat tahun terakhir menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan, meski
penerimaan negara pada tahun 2007 mengalami
penurunan sebesar 17% dibandingkan dengan
periode sebelumnya.
e. Kesempatan Kerja dan Berusaha
Maraknya kegiatan pertambangan di daerah akan
semakin membuka peluang kerja berusaha bagi
masyarakat sekitar. Masyarakat tidak hanya
menjadi penontan seperti yang terjadi selama ini,
tapi dapat lebih memberikan kontribusi terlibat
langsung pada aktivitas pertambangan sebagai
pekerja. Selain itu, dengan berkembangnya
kegiatan di suatu wilayah secara tidak langsung
akan memberi peluang berusaha dan menciptakan
pengembangan wilayah.
Nomor 41 Tahun 1999 jo PP Nomor 2 Tahun 2008
tel ah memberi kan pel uang pengusahaan
pertambangan di kawasan hutan produksi dan
hutan lindung. Meskipun banyak kalangan yang
menolak PP tersebut karena dinilai melegitimasi
perusakan hutan lindung selama ada bayarannya
dan murahnya tarif yang dikenakan .
5. KESIMPULAN
Semenjak digulirkan otonomi daerah pada tahun
awal tahun 2000, telah terbit ribuan perda sebagai
acuan dalam pelaksanaan pembangunan di
daerah. Perda-perda yang telah terbit tersebut,
masih banyak yang tidak selaras dengan peraturan
yang lebih tinggi atau mengakibatkan biaya tinggi,
sehingga menghambat investasi di daerah. Dengan
demikian, banyak perda-perda yang harus
dibatalkan atau direvisi.
Berdasarkan dari hasil identifikasi terdapat
beberapa i zi n pert ambangan yang t el ah
dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak selaras
38 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
dengan peraturan yang lebih tinggi atau tumpang
tindih dengan sektor lain. Hal ini menunjukkan
bahwa izin pertambangan yang telah diterbitkan
tidak melalui koordinasi dengan dinas/instansi
terkait. Untuk mengantisipasi tumpang izin usaha
pertambangan yaitu dengan penyusunan basis
data pertambangan dengan format yang sama dan
menyusun ulang izin-izin yang bermasalah. Pada
saat ini dalam kebijakan tata ruang, kawasan untuk
kegiatan pertambangan, tidak atau belum
dialokasikan secara tegas. Dengan demikian,
keberadaan sumber daya mineral yang pada
umumnya tersebar di bawah permukaan, menjadi
terkalahkan oleh pengembangan ruang sektor lain,
sehi ngga pada saat ruang tersebut akan
dikembangkan untuk kegiatan pertambangan
menjadi tumpang tindih dengan kegiatan sektor lain.
Pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan hampir
9 tahun telah menimbulkan pengaruh yang cukup
besar terhadap kegiatan pertambangan di daerah.
Pengaruh tersebut, antara lain :
kewenangan dalam pengelolaan pertambangan.
meningkatnya pemanfaatan sumber daya min-
eral dan batubara,
meningkatnya penerimaan daerah,
membuka kesempatan bekerja dan berusaha,
terciptanya pengembangan wilayah.
Berdasarkan peluang-peluang tersebut, perlu
diperhatikan tantangan dalam pengembangannya,
antara tersebut antara lain : ketidaksonsistenan
peraturan yang ada, terbatasnya jumlah maupun
kemampuan aparat, tingkat kerusakan lingkungan
yang cenderung meningkat, masih banyak wilayah
belum ada alokasi kawasan pertambangan, dan
minimnya data/informasi potensi wilayah.
Jika dilihat dari permasalahan yang timbul dengan
adanya kegiatan pertambangan serta faktor
penyebab permasal ahan t ersebut , maka
pembahasan pelaksanaan pertambangan di
daerah perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan
untuk pengembangan pertambangan di daerah.
Berdasarkan dari peluang dan tantangan tersebut,
arahan pengembangan pertambangan dikemudian
hari, antara lain :
1. Diperlukan kebijakan/ peraturan daerah yang
mengatur tentang pengelolaan pertambangan
mulai dari segi perizinan pengusahaan, hingga
pemantauan lingkungan pasca tambang.
Adanya kepastian hokum dan kepastian
berusaha.
2. Di perl ukan peni ngkat an j uml ah dan
kemampuan apatur dinas seiring dengan
maraknya pengusahaan pertambangan.
3. Tuntutan pemenuhan standar lingkungan hidup
yang makin ketat, upaya yang dilakukan
adalah menerapkan metode penambangan
secara tepat dan berawasan lingkungan,
sehi ngga terci pta pertambangan yang
berkelanjutan (good mining practice).
4. Penyiapkan zonasi kawasan untuk pengembangan
pertambangan yang di tetapkan dal am
kebijakan RTRW. Penyusunan RTRW Nasional,
Provinsi dan Kabupaten yang saling sinergis.
5. Tersedianya data informasi potensi sumber
daya mineral dan batubara, sebagai media
promosi investasi pengusahaan pertambangan
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriady Bratakusumah, Perencanaan
Pembangunan Daerah, Gramedia 2005
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Departemen Keuangan Republik Indonesia,
Laporan Tim Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah Periode Januari Desember 2008.
Direktorat Mineral, Batubara dan Pas Bumi,
Departemen Energi Sumber Daya Mineral,
Mineral, Coal and Geothermal, Tahun 2007
Makro Ekonomi, Kamis 25 Januari 2006, Otonomi
Daerah Turunkan Investasi Pertambangan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.
Pipin Syarifin, Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Pustaka Setia, Bandung, 2005
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 1967 t ent ang Pokok-Pokok
Pertambangan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
39 Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.
PENINGKATAN KADAR BIJIH BESI DARI DAERAH
PELAIHARI, PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
MENGGUNAKAN KLASIFAYER
DAN PEMISAH MAGNETIK
Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl Jenderal Sudirman No. 623 Bandung, 40211
Telp (022) 6030843, Fax. (022) 6003373
SARI
Karakteristik bahan baku bijih besi Pelaihari dicirikan oleh kadar besinya rendah (sekitar 30% Fetotal).
Mineralnya terdiri dari hematit dan magnetit. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kadar besinya adalah dengan melakukan percobaan klasifayer dan pemisah magnetik. Penelitian ini
membahas tentang percobaan klasifayer yang dilanjutkan dengan percobaan pemisah magnetik.
Percobaan pemisah magnetik dilakukan dengan memvariasikan intensitas magnet, ukuran butir dan
waktu pengadukan umpan. Percobaan klasifayer dilakukan untuk mengurangi mineral pengotor dengan
memanfaatkan perbedaan ukuran butir dan berat jenis, sedangkan pemisah magnetik dilakukan untuk
meningkatkan mineral berharga berupa hematit dan magnetit melalui pemanfaatan perbedaan
kerentanan terhadap magnet antara mineral pengotor dengan mineral berharga.
Hasil percobaan klasifayer dapat meningkatkan kadar Fetotal menjadi 34,6%, sedangkan pada pemisah
magnetik, variabel yang dapat meningkatkan kadar tertinggi adalah waktu pengadukan umpan dengan
kadar Fetotal tertinggi yang diperoleh 55,9%. Waktu pengadukan umpan 10 dan 20 menit. Perolehan
tertinggi besi sebesar 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan selama 20 menit.
Kata kunci : bijih besi, Pelaihari, klasifayer, pemisah magnetik
ABSTRACT
Raw iron ore of Pelaihari is known by its low iron content. The ore consists of hematite and magnetite
as the main iron minerals. In order to increase the iron content, some efforts can be conducted by
sequence of laboratory tests, namely classifier and magnetic separator. The experiment using mag-
netic separator is conducted at various magnetic intensity, grain size and agitation time. The purpose
of classifying tests is lessening the impurity mineral by exploiting difference of grain size and specific
gravity, while magnetic separator will increase the valuable mineral in the form of hematite and magne-
tite by exploiting difference of magnetic susceptibility between the impurities and valuable minerals.
The experiment results of classifying increase the total iron grade up to 34.6%, followed by magnetic
separator. The later increases the highest grade of total iron up to 55.9% at agitation time of 10 and 20
minutes. The highest iron recovery of 33.26% was conducted at 20 minutes of feed agitation time.
Keywords : iron ore, Pelaihari, classifier, magnetic separator
40 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan baja nasional terus mengalami
peningkatan seiring dengan perkembangan sektor
industri dan semakin maraknya pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Pada saat ini konsumsi
baja diperkirakan telah mencapai 6,3 juta ton,
sedangkan produksinya hanya 3,8 juta ton.
Kekurangan penyediaan baja sebesar 2,5 juta ton
masih dipasok dari impor, sehingga PT Krakatau
Steel untuk memproduksi baja di Indonesia
memerlukan bahan baku dan penunjang yang
sebagian besar masih diimpor. Bahan-bahan yang
pengadaannya masih bergantung pada impor
adalah pelet bijih besi, sedangkan skrep, bijih besi
bongkah (lump ore) dan bijih besi halus kasar
(coarse fine) sebagian masih dapat dipasok dari
dalam negeri, misalnya untuk bijih besi bongkah
berkadar Fe 57% dan bijih besi halus kasar
berkadar Fe 56% telah dapat dipasok dari endapan
besi laterit oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ore,
Kalimantan Selatan [sebukuiron.co.id].
Untuk menunjang keperluan industri besi baja yang
terus meningkat di masa mendatang, Indonesia
memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup
besar, berupa bijih besi primer dengan estimasi
cadangan 320 juta MT dan kadar 25 62% Fe,
bijih besi laterit dengan estimasi cadangan 1.391
juta MT dan kadar 40 56% Fe serta pasir besi
dengan estimasi cadangan 600 juta MT dan kadar
25 40% Fe [Koesnohadi dan Sobandi, 2008].
Namun sumber daya tersebut belum dapat
dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe
yang terkandung relatif rendah. Pada umumnya
industri baja membutuhkan besi dengan kadar Fe
60-69%, sedangkan P.T. Krakatau Steel
membutuhkan pelet bijih besi dengan kandungan
Fe minimum 65%. Untuk menjawab tantangan
tersebut, perlu adanya kajian intensif agar kadar
Fe yang dikandung besi dapat ditingkatkan,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam
negeri seperti oleh PT Krakatau Steel.
Proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi biasa
dilakukan dengan cara kominusi (crushing dan
grinding), konsentrasi secara gravitasi, pemisahan
magnetik, pemisahan elektrostatik maupun flotasi.
Flotasi biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari
proses pemi sahan magneti k, pemi sahan
elektrostatik, konsentrasi secara gravitasi maupun
kominusi [Habashi, 1997].
Pemisahan secara magnetik terhadap bijih besi
sudah lazim dikerjakan [Pramusanto, dkk, 1999].
Pemisah magnetik merupakan alat yang digunakan
dalam proses pemisahan secara magnetik. Prinsip
kerja alat ini adalah memisahkan mineral berharga
dari pengotornya berdasarkan derajat kemagnetan
atau mudah tidaknya mineral mengalami pengaruh
dalam medan magnet (magnetic sussceptibility)
[Kelly, and Spottiswood, 1982].
Bijih besi merupakan mineral-mineral yang
mengandung besi seperti magnetit, hematit,
goethit, limonit atau campuran dari mineral-min-
eral tersebut dengan mineral pengotornya, seperti
silika, alumina, dan krom [Perkins, 2002].
Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral
tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua grup,
yaitu paramagnetik dan diamagnetik. Mineral
diamagnetik merupakan mineral yang tidak
mengalami ketertarikan dalam medan magnet,
seperti silika, dan alumina. Sedangkan mineral
paramagnetik yang dapat ditarik oleh magnet,
seperti hemati t dan l i moni t. Dari mi neral
paramagnetik ini terdapat mineral-mineral yang
memiliki sifat magnet yang sangat kuat disebut
ferromagnetik, seperti magnetit [Wills, 1988].
Berdasarkan hasil pengujian mineragrafi, bijih yang
digunakan untuk percobaan ini mengandung
magnetit-hematit. Magnetit dan hematit memiliki
derajat kemagnitan signifikan, yang berbeda
dengan mineral pengotor berupa silika, alumina
dan lain-lain; sehingga sebagai studi awal, proses
pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan mineral
menggunakan pemisah magnet dapat dimanfaatkan.
2. METODOLOGI
Metodologi peningkatan kadar bijih besi ini
dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu;
preparasi percontoh (pengeringan, pengayakan dan
pemercontoh), studi bahan baku (analisa kimia,
ayak dan mineralogi), pencucian dengan spiral
classifier untuk menghilangkan pengotor, dan
percobaan menggunakan pemisah magnet untuk
meningkatkan hematit dan magnetit. *****
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Studi Bahan Baku
Studi bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui
dan menentukan komposisi dan kadar dari min-
eral-mineral yang terdapat di dalam percontoh bijih
besi tersebut.
41 Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.
3.1.1 Analisis Komposisi Kimia
Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia, maka
diperoleh komposisi kimia bijih besi sebagai berikut;
Fetotal 31,3%, Fe2O3 37,94%, Fe3O4 6,55%, SiO2
28%, CaO 15,67%, Al2O3 5,61%, MgO 1,01 %,
TiO2 1,63%, Cr2O3 0,111% dan LOI 1,93%.
3.1.2 Analisis Ayak
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat terjadi
perubahan distribusi ukuran butir akibat pencucian
dengan spiral classifier, sehingga underflow spi-
ral classifier menyebabkan kenaikan nilai persen
berat tertahan fraksi ukuran -250+150 m (-60+100
mesh) sampai fraksi +1,7 mm (+10 mesh) dan
menyebabkan penurunan nilai persen berat
tertahan dari fraksi ukuran -150+106 m (-100+140
mesh) sampai fraksi -75 m (-200 mesh) terhadap
percontoh asal bijih besi. Hal ini menjelaskan
bahwa proses spiral classifier menyebabkan
terjadinya pemisahan antara partikel halus dengan
kasar, sehingga dapat dilihat adanya perbedaan
persentase berat tertahan antara percontoh asal
dengan underflow spiral classifier.
Menurut perhitungan derajat liberasi total fraksi
kasar dan halus untuk percontoh asal, dapat
dijelaskan bahwa persentase derajat liberasi total
pada fraksi kasar (+1700 m) atau +10 mesh
sampai -425+250 m (-40+60 mesh) masih sangat
rendah; magnetit sebesar 0,45%, hematit sebesar
1,08% dan gangue sebesar 13,70%. Persentase
derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150
m) atau (-60+100 mesh) sampai -75 m (-200
mesh) sudah cukup tinggi; magnetit sebesar
37,62%, hematit sebesar 58,95% dan gangue
sebesar 77,56%.

0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
-75
(-200)
-106+75
(-140+200)
-150+106
(-100+140)
-250+150
(-60+100)
-425+250 (-
40+60)
-850+425 (-
20+40)
-1700+850 (-
10+20)
+1700 (+10)
Fraksi Ukuran m (mesh)
P
e
r
s
e
n

B
e
r
a
t

T
e
r
t
a
h
a
n

(
%
)
Percontoh Asal
Percontoh Spiral Classif ier
Gambar 1. Hubungan fraksi ukuran
dengan komposisi mineral
percontoh asal dan underflow
spiral classifier
3.1.2.1 Derajat Liberasi
Berdasarkan Gambar 2, untuk derajat liberasi
percontoh asal terlihat bahwa semakin kecil ukuran
ayak, maka tingkat kebebasan suatu butiran min-
eral dalam suatu fraksi ukuran semakin tinggi.
Derajat liberasi tertinggi pada percontoh asal
terdapat pada fraksi -75 m (-200 mesh) dengan
derajat liberasi untuk mineral magnetit sebesar
70,00%, hematit derajat sebesar 94,55%, dan
gangue sebesar 98,41%.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-75
(-200)
-106+75
(-140+200)
-150+106
(-100+140)
-250+150
(-60+100)
-425+250
(-40+60)
-850+425
(-20+40)
-1700+850
(-10+20)
+1700
(+10)
Fraksi Ukuran m (mesh)
D
e
r
a
j
a
t

L
i
b
e
r
a
s
i

[
D
L
]

(
%
)
0
5
10
15
20
25
30
35
D
i
s
t
r
i
b
u
s
i

D
L

[
D
D
L
]

(
%
)
DL Magnetit DL Hematit DL Gangue
DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue
Gambar 2. Hubungan fraksi ukuran
terhadap derajat liberasi dan
distribusi derajat liberasi
percontoh asal

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-75
(-200)
-106+75
(-140+200)
-150+106
(-100+140)
-250+150
(-60+100)
-425+250
(-40+60)
-850+425
(-20+40)
-1700+850
(-10+20)
+1700
(+10)
Fraksi Ukuan m (mesh)
D
e
r
a
j
a
t

L
i
b
e
r
a
s
i

[
D
L
]

(
%
)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
D
i
s
t
r
i
b
u
s
i

D
L

[
D
D
L
]

(
%
)
DL Magnetit DL Hematit DL Gangue
DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue
Gambar 3. Hubungan fraksi ukuran
terhadap derajat liberasi dan
distribusi derajat liberasi
percontoh underflow spiral
classifier
42 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Berdasarkan Gambar 3, derajat liberasi tertinggi
untuk percontoh underflow spiral classifier terdapat
pada fraksi -75 m (-200 mesh) dengan derajat
liberasi mineral magnetit sebesar 69,61%, hematit
sebesar 93,42%, dan gangue sebesar 97,96%.
Menurut perhitungan distribusi derajat liberasi
untuk fraksi kasar dan halus untuk percontoh bijih
besi underflow spiral classifier, terlihat bahwa
persentase distribusi derajat liberasi total pada
fraksi kasar (+1700 m) atau +10 mesh sampai -
425+250 m (-40+60 mesh) masih sangat rendah;
magnetit sebesar 0,60%, hematit sebesar 1,50%
dan gangue sebesar 23,54%. Persentase distribusi
derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150
m) atau -60+100 mesh sampai -75 m (-200
mesh) masih cukup tinggi; magnetit sebesar
28,21%, hematit sebesar 46,41% dan gangue
sebesar 64,11%.
3.2. Percobaan Spiral Classifier
Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa
pada percobaan ini telah terjadi pemisahan antara
partikel halus dengan kasar. Hal ini terlihat dari
adanya kenaikan kadar Fe total. Kadar Fe total
pada percontoh asal sebagai umpan sebesar
31,3%, setelah dilakukan proses klasifikasi
menggunakan spiral classifier meningkat menjadi
34,6% untuk produk underflow (sebagai produk
pemisahan yang memiliki partikel kasar) dan terjadi
penurunan kadar Fe total menjadi 24,6% untuk
produk overflow (sebagai produk pemisahan
partikel yang berukuran halus).
3.3. Peningkatan Kadar dengan Pemisah
Magnetik
Di dalam percobaan pemisah magnetik ini
dilakukan analisis mineralogi untuk meninjau
perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi
pada konsentrat dan tailing akibat pengaruh dari
variabel percobaan terhadap peningkatkan kadar
dan perolehan. Analisis kimia hanya dilakukan
pada konsentrat untuk menetukan kadar Fe total.
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada
fraksi ukuran -106+75 m (-140+200 mesh), bahwa
antara magnetit dan hematit terjadi keterikatan dan
antara hematit dan gangue juga terjadi keterikatan.
Antara magnetit dan gangue tidak tampak adanya
keterikatan. Menurut perhitungan komposisi mineral
pada ukuran tersebut, komposisi hematit 41,80%
dengan derajat liberasi 88,68% dan magnetit 7,80%
dengan derajat liberasi 58,97% serta gangue
50,40% dengan derajat liberasi 96,23%.
3.1.2.2 Komposisi Mineral
Berdasarkan Gambar 4, mineral berharga yang
terdapat pada percontoh bijih besi ini adalah magnetit
Gambar 4. Fotomikrograf sayatan poles
bijih besi (H = hematit, M =
magnetit, G = mineral gangue,
HM = hematit + magnetit HG =
hematit + gangue)
dan hematit dengan komposisi hampir homogen
pada setiap fraksi ukuran yang terdapat pada
kedua percontoh analisis ayak. Komposisi min-
eral rata-rata seluruh fraksi ukuran untuk percontoh
asal adalah 6,22% magnetit, 37,53% hematit dan
56,25% gangue, sedangkan untuk percontoh hasil
percobaan spiral classifier adalah 6,98% magnetit,
39,87% hematit dan 53,15% gangue.

0
10
20
30
40
50
60
70
-75
(-200)
-106+75
(-140+200)
-150+106
(-100+140)
-250+150
(-60+100)
-425+250 (-
40+60)
-850+425 (-
20+40)
-1700+850
(-10+20)
+1700
(+10)
Fraksi Ukuran m (mesh)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
Magnetit Percontoh Asal Magnetit Limp, Bawah Klasif ay er Spiral
Hematit Percontoh Asal Hematit Limp. Bawah Klasif ay er Spiral
Gangue Percontoh Asal Gangue Limp. Bawah Klasif ay er Spiral
Gambar 5. Hubungan fraksi ukuran
dengan komposisi mineral
percontoh asal dan percontoh
underflow spiral classifier
43 Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.
3.3.1 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap
Komposisi Mineral dan Derajat
Liberasi pada Konsentrat
Berdasarkan grafik pengaruh intensitas magnet
yang divariasikan dari 2000-10000 gauss terhadap
komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat
pada Gambar 7, menunjukan penurunan hematit
seiring dengan peningkatan intensitas magnet,
sedangkan derajat liberasinya juga mengalami
penurunan. Magnetit cenderung stabil namun
derajat liberasinya juga turun. Gangue meningkat,
sedangkan derajat liberasinya turun.
konsentrat, sehingga meningkatkan komposisi
hematit dan gangue yang berikatan. Terjadinya
peningkatan komposisi hematit yang berikatan
dengan gangue menyebabkan terj adi nya
penurunan derajat liberasi dan komposisi hematit,
namun hal tersebut menaikan komposisi gangue.
Komposisi hematit yang terbesar diperoleh pada
intensitas magnet 2000 gauss sebesar 70,07%,
dengan magnetit sebesar 7,73% dan gangue yang
terkecil (22,20%). Komposisi hematit terkecil
diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss
(47,94%), dengan magnetit (8,28%) dan gangue
terbesar (43,80%).
3.3.2 Pengaruh Ukuran Butir terhadap
Komposisi Mineral dan Derajat
Liberasi pada Konsentrat
Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butiran yang
divariasikan dari ukuran <75 sampai <250 m
terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi
konsentrat seperti pada Gambar 8, dapat ditarik
kesimpulan bahwa semakin besar ukuran butiran
semakin turun komposisi mineral, tetapi pada
ukuran <250 m mengalami kenaikan kembali.
Namun pada gangue, semakin besar ukuran
butiran mengakibatkan kenaikan komposisi min-
eral, tapi mengalami penurunan kembali pada
ukuran <250 m.

0
5
10
15
20
25
30
35
40
Fe total SiO2 CaO Al2O3 MgO TiO2 Cr2O3 LOI
Nama Mineral
K
o
m
p
o
s
i
s
i

K
i
m
i
a

(
%
)
Percontoh Asal
Underf low
Overf low
Gambar 6. Hubungan percobaan spiral
classifier terhadap komposisi
kimia

0
20
40
60
80
100
2000 4000 6000 8000 10000
Intensitas Magnet (Gauss)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
0
20
40
60
80
100
D
e
r
a
j
a
t

L
i
b
e
r
a
s
i

{
D
L
)

(
%
)
Magnetit Hematit Gangue
DL Hematit DL Magnetit DL Gangue
Gambar 7. Pengaruh intensitas magnet
terhadap komposisi mineral
dan derajat liberasi konsentrat
Hal ini berarti pengaruh intensitas magnet
menyebabkan peningkatan penarikan hematit yang
masih berikatan dengan gangue ke dalam

0
20
40
60
80
100
<75 <106 <150 <180 <250
Ukuran Butir (m)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
0
20
40
60
80
100
D
e
r
a
j
a
t

L
i
b
e
r
a
s
i

{
D
L
}

(
%
)
Magnetit Hematit Gangue
DL Hematit DL Magnetit DL Gangue
Gambar 8. Pengaruh ukuran butir
terhadap komposisi mineral
dan derajat liberasi konsentrat
Perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi
pada mi neral magnet i k maupun gangue
disebabkan oleh adanya pengaruh gaya gravitasi
dan hidrodinamis yang bekerja pada butiran serta
44 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
derajat liberasi butiran. Hal ini mempengaruhi daya
tarik magnet ke dalam konsentrat. Komposisi
hematit terbesar diperoleh pada ukuran butir <75
m (70,40%), magnetit sebesar 7,93% dan
gangue sebesar 21,67%. Komposisi hematit
terkecil diperoleh pada ukuran butir <180 m
(68,33%), magnetit sebesar 6,27% dan gangue
sebesar 25,40%.
3.3.3 Pengaruh Waktu Pengadukan Umpan
terhadap Komposisi Mineral dan
Derajat Liberasi pada Konsentrat
Berdasarkan Gambar 9 dapat ditarik kesimpulan
bahwa untuk derajat liberasi, waktu pengadukan
umpan memiliki sedikit pengaruh terhadap
peningkatkan derajat liberasi antara hematit dan
gangue. Hal ini disebabkan oleh lepasnya ikatan
mineral-mineral besi dengan gangue yang
berikatan tidak begitu kuat. Penyebab lain,
pengaruh waktu pengadukan ini menyebabkan
Al2O3 ataupun CaO yang ada dalam umpan
tercampur dengan baik. Penyebab-penyebab
tersebut dapat mengakibatkan peningkatkan
penari kan mi neral magneti k ol eh magnet
menjadikan konsentrat.
3.3.4 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap
Perolehan dan Kadar Fe Total pada
Konsentrat
Dari grafik pengaruh intensitas magnetik terhadap
perolehan dan kadar Fe total (Gambar 10),
disimpulkan bahwa pengaruh intensitas magnet
terhadap perolehan menunjukan semakin besar
intensitas magnet semakin meningkat perolehan,
sebaliknya dengan kadar Fe total cenderung turun
seiring dengan peningkatan kadar. Kadar Fe total
tertinggi diperoleh pada intensitas magnet 2000
gauss (54,7%) dengan perolehan terendah
28,84%. Kadar Fe total terendah diperoleh pada
intensitas magnet 10000 gauss (38,8%) dengan
perolehan tertinggi 54,17%. Perolehan yang
semakin besar seiring dengan besarnya intensitas
magnet. Hal ini terjadi karena gangue yang
berikatan dengan mineral magnetik ikut tertarik
menjadi konsentrat.

0
20
40
60
80
100
1 10 20
Waktu Pengadukan Umpan (Menit)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
0
20
40
60
80
100
D
e
r
a
j
a
t

L
i
b
e
r
a
s
i

{
D
L
}

(
%
)
Magnetit Hematit Gangue
DL Hematit DL Magnetit DL Gangue
Gambar 9. Pengaruh waktu pengadukan
umpan terhadap komposisi
mineral dan derajat liberasi
konsentrat
Komposisi hematit terbesar diperoleh pada waktu
pengadukan umpan 10 menit (71,93%), magnetit
sebesar 8,07% dan gangue sebesar 20,00%. Pada
waktu pengadukan umpan 20 menit, didapatkan
komposisi mineral hematit sebesar 72,27%,
magnetit sebesar 8,13% dan sisanya gangue.

10
20
30
40
50
60
2000 4000 6000 8000 10000
Intensitas Magnet (Gauss)
P
e
r
o
l
e
h
a
n

F
e

(
%
)
10
20
30
40
50
60
K
a
d
a
r

F
e

(
%
)
Recov ery Fe Kadar Fe
Gambar 10. Pengaruh intensitas magnet
terhadap perolehan dan kadar
Fe
total
konsentrat
3.3.5 Pengaruh Ukuran Butir terhadap
Perolehan dan Kadar Fetotal pada
Konsentrat
Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butir terhadap
perolehan dan kadar Fe Total Gambar 11,
di si mpul kan bahwa perol ehan dan kadar
dipengaruhi oleh pengaruh ukuran butir akibat
adanya perubahan komposisi mineral dan derajat
liberasi. Kadar Fe tertinggi didapatkan pada ukuran
<250, <106 dan <75 m sebesar 54,7%. Perolehan
tertinggi didapatkan pada ukuran butir <75 m
sebesar 31,50%.
45 Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.
3.3.6 Pengaruh Waktu Pengadukan Umpan
terhadap Perolehan dan Kadar Fetotal
pada Konsentrat
Dari Gambar 12 diperoleh kesimpulan bahwa
waktu pengadukan juga memberikan pengaruh
terhadap perolehan dan kadar akibat adanya
perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi.
Kadar Fetotal tertinggi diperoleh pada waktu
pengadukan umpan sebesar 55,9%. Perolehan
tertinggi terjadi pada pengadukan umpan selama
20 menit dengan perolehan sebesar 33,26%.
3.3.7 Analisis Komposisi Mineral pada
Tailing Variabel Intensitas Magnet
Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa
mineral magnetit pada tailing hasil percobaan
pemisah magnetik sudah tidak ada; seluruh
magnetit tertarik semua ke dalam konsentrat pada
setiap variabel intensitas magnet. Hematit
berkurang seiring dengan bertambahnya intensitas
magnet , sedangkan gangue mengal ami
peningkatan. Hematit terbesar terjadi pada
intensitas 2000 gauss (28,47%) dan gangue-nya
sebesar 71,53%. Komposisi hematit terkecil
terdapat pada intensitas magnet 10000 gauss
(27,33%), sedangkan gangue-nya sebesar 72,67%.

20
25
30
35
40
<75 <106 <150 <180 <250
Ukuran Butiran (m)
P
e
r
o
l
e
h
a
n

F
e

(
%
)
20
30
40
50
60
70
K
a
d
a
r

F
e

(
%
)
Recov ery Fe Kadar Fe
Gambar 11. Pengaruh ukuran butir
terhadap perolehan dan kadar
Fe
total
konsentrat

10
20
30
40
50
1 10 20
Waktu Pengadukan Umpan (Menit)
P
e
r
o
l
e
h
a
n

F
e

(
%
)
30
40
50
60
70
K
a
d
a
r

F
e

(
%
)
Recov ery Fe Kadar Fe
Gambar 12. Pengaruh waktu pengadukan
umpan terhadap perolehan dan
kadar Fetotal konsentrat

0
10
20
30
40
50
60
70
80
2000 4000 6000 8000 10000
Intensitas Magnet (gauss)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
Magnetit
Hematit
Gangue
Gambar 13. Pengaruh intensitas magnet
terhadap komposisi mineral
tailing
3.3.8 Analisis Komposisi Mineral pada
Tailing Variabel Ukuran Butir
Dari Gambar 14 terlihat bahwa semakin besar
ukuran butir semakin besar pula kecenderungan
komposisi hematit, sedangkan gangue cenderung
semakin kecil. Magnetit pada tailing masing-
masing variabel ini sudah tidak ada; artinya min-
eral magnetit tertarik semua ke dalam konsentrat.
Hematit terbesar terdapat pada ukuran butir <180
m (29,20%) dan gangue sebesar 70,80%.
46 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3.3.9 Analisis Komposisi Mineral pada
Tailing Variabel Waktu Pengadukan
Umpan
Gambar 15 menunjukan bahwa pada tailing variabel
waktu pengadukan umpan, magnetit tidak ada.
Komposisi hematit semakin kecil seiring dengan
bertambahnya waktu pengadukan, sedangkan
gangue semakin besar. Komposisi hematit
terbesar terdapat pada waktu pengadukan satu
menit sebesar 26,74%, sedangkan mineral gangue
sebesar 73,26%.
4. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah :
1. Bijih besi Pelaihari mempunyai mempunyai
kadar Fe total 31,3% dengan mineral gangue
terdiri atas SiO2 28,00%, Al2O3 15,67%, CaO
5,61%.
2. Pencucian mengunakan spiral classifier
meningkatkan kadar besi total menjadi 34,6%.
3. Pada percobaan pengaruh intensitas magnet,
kadar Fe total tertinggi 54,7% dengan
perolehan 28,84% pada intensitas magnet
2000 gauss.
4. Pada percobaan pengaruh ukuran butir, kadar
Fe total tertinggi 54,7% pada ukuran butir <25,
<106 dan <75 m. Perolehan tertinggi 31,50%
ada pada ukuran butir <75 m.
5. Pada percobaan pengaruh waktu pengadukan
umpan, kadar Fe total tertinggi adalah 55,9%
untuk waktu pengadukan umpan 10 dan 20
menit. Perolehan tertinggi 33,26% terjadi pada
waktu pengadukan umpan 20 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Habashi, Fathi (editor), 1997 Handbook of Ex-
tractive Metallurgy Volume I: The Metals
Industry Ferrous, Wiley-VCH, Weinhem,
Federal Republic of Germany.
Kelly Erol G., Spottiswood David J., 1982 Intro-
duction to Mineral Processing, John Willey
& Sons, New York
Koesnohadi dan Ahmad Sobandi, 2008 Potensi
Sumber Daya Lokal Untuk Membangun
kemandirian dan Daya Saing Industri Baja
Nasi onal , Prosi di ng Kol oki um
Pertambangan, Bandung.
Perkins, Dexter, 2002 Mineralogy 2
nd
Edition,
Prentice-Hall Inc, New Jersey, United Stated
of America.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
<75 <106 <150 <180 <250
Ukuran Butir (m)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
Magnetit
Hematit
Gangue
Gambar 14. Pengaruh ukuran butir
terhadap komposisi mineral
tailing

0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 10 20
Waktu Pengadukan Umpan (Menit)
K
o
m
p
o
s
i
s
i

M
i
n
e
r
a
l

(
%
)
Magnetit
Hematit
Gangue
Gambar 15. Pengaruh waktu pengadukan
umpan terhadap komposisi
mineral tailing
47 Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.
Pramusanto, dkk., 1999 Pengerjaan Awal Bijih
Besi Laterit Melalui Pemisahan Secara
Magnetis dalam Drum Magnetic Separa-
tor pada Pembentukan Campuran Bijih
Besi Laterit dan Kokas, Pusat Penelitian
Pengembangan Teknologi dan Mineral,
Bandung.
Wills. B. A., 1988, Mineral Processing Tech-
nology 5
Th
Edition, Pergamon Press. Ox-
ford, New York.
www.sebukuiron.co.id/silo_products.htm. PT
SILO, diunduh pada jam 10:57, tanggal 20 Mei
2009.
48 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGOLAHAN PASIR KUARSA BERLEMPUNG
ASAL RANTAUBUJUR, KABUPATEN TAPIN,
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN,
UNTUK BAHAN BAKU KERAMIK
Subari, Enymia dan Sumarsih
Balai Besar Keramik
Jl. Jend. Achmad Yani 392 Bandung
Telp. 022 - 7206221 / 7207115)
SARI
Jumlah cadangan endapan pasir kuarsa di daerah Rantaubujur Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten
Tapin sebanyak 186378000 m
3
, yang merupakan lapisan tanah penutup (over burden) pada endapan
batu bara. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan.
Oleh karena itu, sampel pasir kuarsa yang berlempung tersebut perlu dilakukan proses pengolahan
dengan cara pencucian dan pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm;
0,063 mm. Dari hasil percobaan pencucian yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali diperoleh 658,30
gram pasir kuarsa terolah dari sebanyak 900 gram pasir kuarsa asli. Hasil analisis kimia pasir kuarsa
asli (masih bercampur lempung) dan yang terolah, mengalami kenaikan kadar silika (SiO2) yang
cukup signifikan, yakni dari 80,27 % SiO2 menjadi 94,85 % SiO2 . Pasir kuarsa terolah ini telah
memenuhi syarat sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi keramik putih yang fungsinya sebagai
bahan pengisi.
Kata kunci: pasir kuarsa berlempung, pengolahan/pencucian, silika, bodi keramik putih
ABSTACT
There are a lot of the quartz sand deposit in Rantaubujur area, South Tapin District - Tapin Regency
abaout 186,378,000 m
3
, which to appear of overburden on the coal deposit. This quartz sand still mixed
with yellowish cream clay materials. Because of that, the clayed quartz sand sample need to beneficiat
by washing and sieving on several size of 1.0 mm; 0.063 mm.
Based on the beneficiation experiments as much as 3 (three) time be found the pure quartz sand of 658.30
grams from the natural quartz sand of 900 grams. The chemical analysis result of natural quartz sand and
pure quartz sand that has increased of silica (SiO2) significant enough namely from 80.27 % SiO2 become
94.85 % SiO2. This pure quartz sand has to fulfill as ceramic raw material for made the whiteware ceramic
as the filler material.
Keywords : clayed quartz sand, silica grade, beneficiation
49 Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.
1. PENDAHULUAN
Di daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan
Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan
terdapat endapan pasir kuarsa/silika yang
merupakan lapisan tanah penutup (overburden)
pada endapan batubara, dengan jumlah cadangan
sebesar 186.378.000 m
3
(Widyajasa, 2003). Pasir
kuarsa di sini nampaknya masih bercampur
dengan material lempung, kerikil, akar tetumbuhan
dan lain sebagainya, yang merupakan bahan
pengotor sehingga warna pasirnya bervariasi dari
krem sampai kuning kecoklat-coklatan. Kondisi
endapan pasir kuarsa semacam ini juga di jumpai
di desa Rajpardi Bharuch district, India, yang
merupakan lapisan overburden pada tambang
batubara jenis lignit. Bahan pengotor yang
terkandung didalam pasir kuarsa Rajpardi yaitu
oksida besi seperti ilmenit atau limonit, mineral
horblende dan biotit (Chakraborty, et.al, 2000).
Dengan adanya kandungan bahan pengotor (im-
purities) tersebut maka pasir kuarsa ini perlu
dilakukan proses pengolahan (benefisiasi) yang
tujuannya untuk meningkatkan kualitas kuarsa/
silika agar dapat digunakan sebagai bahan baku
keramik terutama untuk bodi keramik putih
(whiteware ceramic) seperti stoneware dan
porselen. Metode pengolahan yang digunakan
dalam proses pengolahan pasir kuarsa dari Kec.
Tapin Selatan tergantung pada karakteristik bahan,
seperti misalnya penelitian Vyas et al., (2000)
setelah melakukan proses pengolahan pasir
kuarsa yang berwarna kuning hingga kuning
kecoklat-coklatan dengan menggunakan metode
pengayakan cara kering, pengayakan cara basah
dan cara magnetik.
Berdasarkan pada karakteristik pasir kuarsa yang
masih mengandung bahan pengotor dan mengacu
pada penelitian Vyas, et al., (2000) maka metode
pengolahan yang dilakukan adalah proses peng-
ayakan cara basah. Dari hasil percobaan
pengolahan ini diharapkan kualitas pasir kuarsa
meningkat serta dapat dimanfaatkan untuk industri
keramik bahkan bisa juga digunakan untuk industri
gelas. Sedangkan penggunaan kuarsa atau silika
pada industri keramik berkisar antara 10 25%
berat dari kompo-sisi bodi keramik stoneware atau
perselen, hal ini tergantung pada tingkat kemurnian
bahan baku yang digunakan( Achuthan et al, 2000;
Carty, 2001).
Dalam industri manufaktur, penggunaan pasir
kuarsa sudah berkembang ke berbagai industri
baik sebagai bahan baku utama maupun untuk
bahan campuran atau aditif. Sebagai bahan baku
utama, pasir kuarsa dapat digunakan dalam
industri gelas, ubin teraso, ferosilikon, silikon
karbida dan bahan abrasif. Sedangkan pasir
kuarsa sebagai bahan baku campuran, misalnya
pada i ndustri pengecoran l ogam, i ndustri
perminyakan dan industri keramik termasuk
refraktori. Sehubungan hal tersebut di atas, pasir
kuarsa yang diteliti akan digunakan sebagai bahan
baku campuran dalam pembuatan ubin keramik
selain menggunakan felspar dan kaolin.
2. METODE PENELITIAN
Pasi r kuarsa al am atau kuarsa asl i yang
di gunakan dal am percobaan pengol ahan
(benefisiasi) berasal dari daerah Rantau Bujur
Kecamatan Tapin Selatan. Pasir kuarsa ini masih
bercampur dengan material lempung berwarna
krem kekuningan. Pasir kuarsa dicuci dan
kemudian diayak/disaring dengan menggunakan
ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm dan 0,063 mm.
Bagan alir proses benefisiasi terhadap pasir kuarsa
tercantum pada Gambar 1.
Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri
dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %
dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi
tersebut dicampur sampai homogen dengan
menambahkan air sekitar 5 % dari total berat
bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak
ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.
Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven
pengering pada suhu 100
0
C, dan akhirnya dibakar
dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan
1250 C.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Perolehan (recovery) kuarsa terolah
Teknologi pengolahan pasir kuarsa dari Tapin
Selatan ini dilakukan dengan pengayakan atau
penyaringan secara basah yang menggunakan
beberapa ukuran ayakan. Proses pengolahannya
di lakukan sebanyak 3 (tiga) kali percobaan yang
hasil percobaannya dapat di lihat pada Tabel 1.
Untuk mengetahui perolehan silika atau kuarsa
yang di hasi l kan dari proses pengol ahan
(benefisiasi) pasir kuarsa alam dapat digunakan
rumus (Wills, 2006):
50 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Diayak basah
ukuran 0,063 mm
Dia
0,5 mm
yak basah ukuran
Diayak basah
1,0 mm
Lempung k
- 0,063 mm
otor Kuarsa terolah
+ 0,063 mm
Kuarsa t
+ 0,5 mm
erolah
Kuarsa &
0,5 mm - 0,5 mm
lempung
Kotoran kerikil
+ 1,0 mm
Kuarsa & l
-1,0 mm
empung
Kuarsa alam dibuat massa lumpur
Gambar 1.Bagan alir proses benefisiasi pasir kuarsa
Tabel 1. Material balance pada proses benefisiasi pasir kuarsa
Percobaan Kuarsa asli Kuarsa terolah Kotoran 1 Kotoran 2 Kehilangan
( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram )
1 900 740 32 107 21
2 900 675 27 170 28
3 900 560 28 276 36
Rata-rata 900 658,3 29 184,33 28,33
51 Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.
Dimana : R = Recovery, %
F = Umpan (feed) pasir kuarsa asli,
gram
f = Kadar SiO2 didalam umpan, %
C = Kuarsa terolah (konsentrat), gram
c = Kadar SiO2 didalam konsentrat,%
Menurut Tabel 1 bahwa banyaknya kuarsa terolah
rata-rata sekitar 658,30 gram dari sebanyak kuarsa
asli sebesar 900 gram.
Kadar SiO2 didalam kuarsa asli (umpan) = 80,27
% dan yang didalam konsentrat (kuarsa terolah)
=94,85 %.
Dengan demikian perolehan pasir kuarsa terolah
adalah :
658,30 x 94,85
R = x 100 % = 86,57 %
900 x 80,27
Jumlah cadangan pasir kuarsa alam (kuarsa asli)
sebesar 186.378.000 m
3
, apabila pasir kuarsa
diolah semuanya maka yang diperoleh sebanyak
161.347.435 m
3
.
Dibandingkan dengan pasir kuarsa dari pulau
Bangka dan pulau Belitung yang kadar silikanya
masing-masing sebesar 95-99 % SiO2 dan 96-99,5
% SiO2 ( Hartono dan Subari, 1986), maka pasir
kuarsa terolah dari Kecamatan Tapin Selatan
dengan kadar silika sebesar 94,85% SiO2
kualitasnya hampir sama dengan yang pasir kuarsa
Bangka. Sehingga pasir kuarsa terolah tersebut
masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku
keramik untuk body keramik stoneware atau
porselen dan juga barang tahan api (refractory).
3.2. Data komposisi Kimia dan Mineral
Data komposisi kimia terhadap pasir kuarsa asli
atau belum diolah terutama kadar silika (SiO2),
Fe2O3, dan TiO2 masing-masing sebesar 80,27
%, 1,20%, dan 0,23 %. Kemudian pasir kuarsa
setelah diolah dengan cara pencucian dan
pengayakan ternyata kadar SiO2 nya mengalami
kenaikan menjadi 94,85 % serta kadar Fe2O3 dan
TiO2 mengalami penurunan masing-masing yaitu
0,34 % dan 0,04 %. Dengan demikian proses
pengolahan pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin
dengan cara pencucian dan pengayakan tersebut
memberikan hasil yang baik. Dilihat dari kadar
Fe2O3 dan TiO2 bahwa menurut SNI 15-1026-1989
mengenai kuarsa untuk pembuatan porselen dan
stoneware batas kadar yang disyaratkan untuk
Fe2O3 = 0,4 % dan yang TiO2 = 0,3 %. Menurut
ketentuan tersebut diatas nampaknya pasir kuarsa
dari Kabupaten Tapin telah memenuhi syarat
sebagai bahan baku untuk body keramik porselen
atau stoneware.
Kemudian dari data analisis X Ray diffraktometer
terhadap pasir kuarsa asli (belum diolah) kode KCT
dan kuarsa yang sudah diolah kode KMT seperti
tercantum dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa
untuk kuarsa asli terdapat kandungan mineral
kaolinite selain alfa kuarsa sedangkan yang kuarsa
terolah hanya mengandung alfa kuarsa serta tidak
ada lagi kandungan mineral kaolinitnya. Dengan
berdasarkan ketentuan tersebut maka proses
pengolahan pasir kuarsa dengan cara pencucian
dan pengayakan cukup berhasil dan bisa
dikembangkan dalam skala produksi.
Gambar 2.Grafik difraktogram pasir kuarsa
asli dan kuarsa terolah
52 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3.3. Pembuatan Keramik dari Kuarsa
Terolah
Bahan baku yang biasanya digunakan dalam
pembuatan keramik konvensional atau tradisional
adalah kuarsa, lempung dan felspar. Untuk
percobaan pembuatan bodi keramik disini
menggunakan kuarsa dari hasil pengolahan pasir
kuarsa berlempung dan sedikit mengandung
kerikil. Dari hasil analisis kimia terhadap kuarsa
terolah ternyata mengandung kadar silika (SiO2)
yang cukup tinggi yaitu 94,85 %. Kandungan silika
bebas tersebut juga terdapat di dalam lempung
(clay), kaolin, dan felspar. Misalnya lempung
berwarna kuning kecoklatan dari daerah Zorka
mengandung kadar SiO2 69,13 %. Sedangkan
bahan lempung yang merupakan pengotor (impu-
rity) dari pasir kuarsa mengandung kadar SiO2 nya
sebesar 70,15%. Lempung ini masih bisa
dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk
dibuat bodi merah atau terakota.
Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri
dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %
dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi
tersebut dicampur sampai homogen dengan
menambahkan air sekitar 5 % dari total berat
bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak
ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.
Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven
pengering pada suhu 100
0
C, dan akhirnya dibakar
dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan
1250
0
C. Ubin setelah dibakar ternyata makin
tinggi suhu pembakaran penyerapan airnya
semakin kecil masing- masing sebesar 17,98 %,
16,87 % dan 15,24 %. Nilai penyerapan ubin
keramik ini masih di atas 15% karena di dalam
komposisi bodi ubin tidak menggunakan felspar
yang fungsinya sebagai bahan pelebur guna
membantu dalam proses sintering, agar pada suhu
pembakaran 1250
0
C bodinya sudah bersifat padat
(vitrified) sehingga penyerapan airnya bisa
mencapai di bawah 10 % (Chakraborty et al, 2000).
Demikian pula sebaliknya, makin tinggi suhu
pembakaran nilai kuat lenturnya semakin besar
yaitu masing- masing 135,92 kg/cm
2
, 137,65 kg/
cm
2
dan 143,57 kg/cm
2
. Hal ini disebabkan lubang
pori-pori dalam bodi ubin semakin mengecil dan
ikatan paertikel-partikel bahan yang satu dengan
lainnya menjadi semakin kuat akibat semakin
tingginya suhu pembakaran. Di samping itu warna
bodi ubin keramik setelah dibakar pada suhu 1150
0
C sampai 1250
0
C berwarna putih susu sampai
krem, sehingga bodi keramik tersebut dapat
dikatagorikan keramik putih (whiteware ceramic).
Selain untuk ubin keramik pasir kuarsa terolah ini
bisa juga digunakan sebagai bahan baku utama
bata tahan api silika karena menurut Goswami,
et.al, (2000) bahwa untuk membuat bahan tahan
api tersebut digunakan silika dengan kadar SiO2
minimum 93 % pada suhu pembakaran 1430-1450
0
C. Dengan demikian kuarsa terolah yang
mengandung SiO2 = 94,85 % telah memenuhi
syarat untuk dibuat bata tahan api silika (silica
brick refractory).
4. KESIMPULAN
1. Proses pengolahan pasir kuarsa berlempung
asal Kabupaten Tapin dengan cara dicuci dan
diayak menggunakan ukuran ayakan 1,0 mm;
0,5 mm dan 0,063 mm dapat meningkatkan
kadar silika (SiO2) dari 80,77% menjadi
sebesar 94,85 %.
2. Perolehan (recovery) pasir kuarsa terolah
sebanyak 161.347.435
m3
cukup potensial
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri keramik dalam pembuatan ubin
keramik dan bata tahan api silika.
3. Pemakaian pasir kuarsa terolah untuk dibuat
ubin keramik sebesar 20% dicampur dengan
lempung 30% dan kaolin 50% dari Kabupaten
Tapin, yang dibakar pada suhu 1150-1250
0
C
bodi nya berwarna put i h susu sert a
digolongkan ke dalam bodi putih (whiteware
ceramic).
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan terpublikasinya makalah ini penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Tapin
beserta stafnya, yang telah membantu untuk
mendapatkan sampel bahan galian golongan C
jenis pasir kuarsa berlempung dari Kecamatan
Tapin Selatan serta data potensi cadangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achuthan, A.T., Peer, M, A. Maiti, K.N., 2008,
Effect of Precipitated Silica Additions to the
Composition of Ceramic Glazes, Interceram,
Volume 57.No.1.
Carty, W.M., 2001, Ceramic engineering and Sci-
53 Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.
ence, Proceedings, Material and Equipment
and Whitewares, Volume 22, Issue 2.
Chakraborty, A.K, Sojitra, B.G, Vyas, D.R., Maiti,
K.N., 2000, Effects of Substitution of Quartz
by Raj pardi Si l i ca Sand on t he
Thermomechanical Properties of Conventional
Ceramics, Interceram, Volume 49 No.3.
Goswami , G, Panda, J. D. , 2000, X Ray
Diffractometric Determination of Tridymite in
Silica Refractories, Interceram, Vol. 49 No.5.
Hartono, Y.M.V dan Subari, 1986, Teori Benefisiasi
Bahan Mentah Keramik Halus, Balai Besar
Industri Keramik Bandung.
Vyas, D.R, Sojitra, B.G, Chakraborty, A.K, Maiti,
K.N., 2000, Beneficiation of Rajpardi Silica
Sand For Use in the Ceramics and Glass In-
dustry, Interceram, Volume 49 No. 2.
Widyajasa, A.P.T., 2003, Studi Komprehenship
Inventarisasi dan Evaluasi Bahan Galian
Tambang di Kabupaten Tapin, Bapeda
Pemerintah Kabupaten Tapin.
Wills, B.A, 2006, Mineral Processing Technology,
Seventh Edition-ELSEVIER, Oxford-UK.
PRESENTASI MAKALAH
PARALEL II
55 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
MASA KINI DAN MASA DEPAN
BATUBARA INDONESIA
Ijang Suherman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
e-mail : ijang@tekmira.esdm.go.id
S A R I
Peran batubara sebagai pemasok energi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, di masa
mendatang akan terus meningkat meskipun harga batubara sedikit terkoreksi sebagai dampak dari
harga minyak yang baru saja terkoreksi tajam. Adanya Kebijaksanaan Energi Nasional mengenai
diversifikasi energi, melalui PP No.5 Tahun 2006, pemanfaatan batubara di wilayah Indonesia terus
berkembang di berbagai segmen pasar yang meliputi PLTU, industri semen, tekstil, kertas, metalurgi,
briket batubara dan industri lainnya. Di samping itu, dengan berlakunya UU No 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral Batubara, akan mendukung upaya optimalisasi permintaan dan pemasokan
batubara Indonesia dimasa depan.
Kata kunci: masa kini, masa depan, batubara, pemanfaatan
ABSTRACT
The role of coal as an energy supply, either in Indonesia or other countries, in the future time will
increase, although its price is slightly corrected as the impact of the oil price that was just sharply
corrected. Due to the presence of the National Energy Policy about energy diversification through PP
No. 5 Year 2006, the utilization of coal in Indonesia keeps developing in various market segments
including: coal-fired power, cement industry, textile, paper, metallurgy, coal briquette and so forth.
Besides, the implementation of UU No. 4 Year 2009 about mineral and coal mining, will support the
effort of optimizing supply and demand of the coal in Indonesia in the future time.
Keyword: nowadays, future, coal, utilization
56 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja
terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga
batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.
Di samping kondisi global tersebut, menimbang
cadangan minyak bumi Indonesia yang semakin
menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri
menj adi semaki n penti ng sej al an dengan
ditemukannya cadangan batubara yang besar,
hingga kini sumber daya mencapai 104,75 milyar
ton dan cadangan 22,25 milyar ton. Selain itu,
adanya kebijaksanaan energi nasional mengenai
diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan
batubara di berbagai segmen pasar (industri) di
wilayah Indonesia. Pemberlakuan UU No 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara,
akan mendukung untuk menciptakan keamanan
pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan
pemanfaatan energi secara efisien, serta
terwujudnya bauran energi (energy mix) yang op-
timal pada tahun 2025.
Segmen pasar yang menggunakan batubara
sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri se-
men, industri kertas, industri tekstil, industri
peleburan (metalurgi), dan industri lainnya, serta
pemanfaatan batubara untuk briket batubara.
Sedangkan Upgrading Brown Coal (UBC),
Gasifikasi Batubara dan Pencairan batubara adalah
arah pemanf aat an bat ubara unt uk masa
mendatang.
2. METODOLOGI
Kegiatan penelitian ini dilakukan di 11 lokasi di
Indonesia, yaitu Propinsi Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Kalimanatan Timur,
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Seluruh daerah (propinsi) ini dianggap dapat
mewakili produsen maupun konsumen batubara
di Indonesia. Metoda dalam kajian ini, adalah meng-
hubungkan hasil-hasil penelitian survei sampling
secara langsung seperti ke PLTU, industri semen,
tekstil, kertas, dan lainnya untuk mendapatkan
data primer dengan hasil-hasil publikasi dari instansi
terkait sebagai data skunder. Sedangkan model
pengolahan dan teknik analisis yang digunakan
adalah statistka deskriptif dan trend analysis.
3. POTENSI SUMBER DAYA DAN
CADANGAN
Jumlah sumber daya dan cadangan batubara In-
donesi a set i ap t ahun t erus bert ambah,
berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral. Kondisi saat ini, tahun 2008, jumlah
sumber daya adalah sebesar 104,75 miliar ton,
dengan jumlah cadangan sebesar 22,25 miliar ton
(Gambar 1). Sumber daya batubara tersebut
tersebar di 19 propinsi, 6 pulau, namun terbesar
terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan
sebanyak masing masing 50,15% dan 49,56%.
4. PENGUSAHAAN BATUBARA
4.1. Pola Pengusahaan Batubara
Ijin pengusahaan batubara di Indonesia secara
garis besar dibedakan dalam tiga pola, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Perjanjian Kerjasama
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),
dan Kuasa Pertambangan (KP). Namun dengan
di telah disyahkannya Undang-Undang No 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mi neral dan
Batubara, maka ke depan sistim perijinan hanya
ada satu jenis, yaitu Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) untuk satu wilayah tertentu.
4.2. Tingkat Produksi Batubara
Sejalan dengan upaya penganekaragaman energi
dan peningkatan kebutuhan batubara, baik untuk
pemakaian domestik maupun pasar ekspor,
produksi batubara selama 16 tahun terakhir telah
menunjukkan peningkatan yang cukup pesat,
dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun secara
nasional adalah 17,04%. Pada tahun 2008 produksi
batubara nasional telah mencapai 233,62 juta ton.
Dalam kurun waktu tersebut (1992 2008) telah
terjadi perubahan distribusi produksi yang signifikan.
PKP2B memegang peranan yang cukup menonjol
sekitar 75,76% dengan pertumbuhan 16,93%
pertahun. Sedangkan peran KP awalnya relatif
masih kecil di bawah BUMN (PTBA), namun
setelah digulirkannya otda ada peningkatan yang
cukup berarti dengan tingkat pertumbuhan rata-
rata 21,02% pertahun (Tabel 1).
57 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
G
a
m
b
a
r

1
.
D
i
s
t
r
i
b
u
s
i

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

B
a
t
u
b
a
r
a

I
n
d
o
n
e
s
i
a
58 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
4.3. Tingkat Penjualan Batubara
4.3.1 Penjualan batubara dalam negeri
Jumlah penjualan batubara di dalam negeri tahun
1992 sebesar 7,288 juta ton, sedangkan pada tahun
2008 mencapai 73,925 juta ton (Tabel 2), yang
berarti setiap tahun penjualannya rata-rata
meni ngkat sebesar 17,17%. Tahun 2008,
perusahaan pemegang PKP2B merupakan
pemasok batubara dalam negeri yang terbesar,
yaitu sebesar 54,85% dari jumlah seluruh
kebutuhan, diikuti oleh pemegang KP sebesar
34,35 %, dan BUMN PTBA serbesar 10,80%.
4.3.2 Penjualan batubara ekspor
Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata
meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh
boomi ng harga dan semaki n banyaknya
pembangunan PLTU di l uar negeri yang
menggunakan bahan bakar batubara, serta kran
ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan
Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar
menyaingi Australia dan Afrika Selatan. Ekspor
batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar
16,288 juta ton, sedangkan pada tahun 2008
tercatat sebesar 158.921.318 juta ton (Tabel 3).
Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar
15, 71%. Perusahaan pemegang PKP2B
merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu
sekitar 89,87% dari jumlah ekspor batubara Indo-
nesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 7,56%,
dan BUMN sebesar 2,57%. Dengan adanya
kecenderungan tersebut, maka kedepan perlu
mencermatinya untuk melakukan pembatasan
ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan
jaminan pasokan dalam negeri serta kegiatan
peningkatan produksi yang mengacu pada konsep
konservasi.
5. PENGGUNAAN BATUBARA
DI INDONESIA
Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja
terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga
batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.
Ada yang berpendapat mungki n semaki n
meningkat karena permintaan yang jauh melebihi
penawaran. Di samping kondisi global tersebut,
menimbang cadangan minyak bumi Indonesia
Tabel 1. Jumlah produksi batubara Indonesia
menurut kelompok perusahaan, tahun
1992 2008
Tahun
Produksi (x000Ton)
Jumlah
PTBA PKP2B KP
1992 7.103 14.281 1.654 15.935
1993 7.374 18.874 1.597 20.470
1994 6.707 23.477 2.408 25.885
1995 7.979 29.576 4.286 33.862
1996 9.230 37.815 3.926 41.741
1997 9.965 40.602 4.467 45.069
1998 9.859 47.057 5.123 52.180
1999 11.207 57.604 4.966 62.570
2000 10.746 61.707 4.682 66.389
2001 10.212 76.532 5.796 82.328
2002 9.482 87.078 6.812 93.890
2003 10.027 96.300 7.951 104.251
2004 8.707 113.171 10.474 123.645
2005 8.607 145.992 10.994 156.986
2006 9.292 164.713 22.533 187.246
2007 8.555 171.570 36.805 208.375
2008 10.138 176.993 46.489 233.620
(%) 2,07 16,93 21,02 17,04
Sumber : DPPMB dan APBI, 2009 (diolah Kembali)
59 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
Tabel 2. Jumlah penjualan dalam negeri batubara Indonesia
menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 2008
Tahun
Penjualan Batubara (Ton)
Jumlah
BUMN PKP2B KP
1992 6.255.865 356.105 363.750 6.975.720
1993 6.256.240 1.095.157 710.178 8.061.575
1994 6.260.995 1.395.364 918.536 8.574.895
1995 6.276.124 2.114.212 815.971 9.206.307
1996 7.116.181 3.307.966 830.397 11.254.544
1997 8.758.713 3.697.541 949.323 13.405.577
1998 9.041.424 5.621.428 938.265 15.601.117
1999 9.606.984 8.892.304 813.262 19.312.550
2000 9.064.646 12.830.377 454.764 22.349.787
2001 8.276.895 18.356.321 756.773 27.389.989
2002 7.621.538 20.549.044 1.086.421 29.257.003
2003 7.662.014 22.047.443 948.482 30.657.939
2004 7.210.000 26.620.000 3.294.000 37.124.000
2005 7.192.766 32.856.354 1.256.933 41.306.053
2006 6.754.874 34.132.185 10.623.920 51.510.979
2007 6.735.775 36.194.420 21.209.915 64.140.110
2008 7.980.228 40.550.480 25.394.119 73.924.826
Sumber : DPPMB, 2009 (diolahKembali)
Tabel 3. Jumlah Ekspor Batubara Indonesia Menurut
Kelompok Perusahaan, Tahun 1992 2008
Tahun
Ekspor Batubara (Ton)
Jumlah
BUMN PKP2B KP
1992 1.005.713 14.024.212 1.268.581 16.298.506
1993 1.153.366 16.083.168 1.454.827 18.691.361
1994 1.565.829 21.834.777 1.975.097 25.375.703
1995 2.160.221 25.895.977 3.262.585 31.318.783
1996 2.011.714 31.584.755 2.835.131 36.431.600
1997 1.816.145 36.715.815 3.195.381 41.727.341
1998 1.539.985 41.435.969 4.230.247 47.206.201
1999 2.239.875 48.979.616 4.548.195 55.767.686
2000 2.142.138 52.225.381 4.152.973 58.520.492
2001 1.894.973 53.886.444 3.852.104 59.633.521
2002 1.854.957 66.501.537 5.822.364 74.178.858
2003 2.239.363 76.387.034 7.053.875 85.680.272
2004 2.712.000 85.913.000 4.085.000 92.710.000
2005 2.492.201 99.495.994 4.799.233 106.787.428
2006 2.848.534 127.734.782 13.386.233 143.969.550
2007 3.955.077 142.597.966 12.022.001 158.575.044
2008 4.079.475 142.819.842 12.022.001 158.921.318
Sumber : DPPMB, 2009 (diolah Kembali)
60 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di
dalam negeri menjadi semakin penting sejalan
dengan ditemukannya cadangan batubara yang
besar yang terus meningkat, yang hingga kini
sumber daya mencapai 104,75 miliar ton dan
cadangan 22,25 miliar ton. Selain itu, adanya
kebi j aksanaan energi nasi onal mengenai
diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan
batubara di berbagai segmen pasar di wilayah In-
donesia. Segmen pasar yang menggunakan
batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU,
industri semen, industri kertas, industri tekstil,
industri peleburan (metalurgi), dan industri lainnya,
serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara.
Penggunaan batubara dalam negeri masih
didominasi oleh PLTU, yaitu 69,61% dari
kebutuhan batubara nasional, kemudian diikuti oleh
i ndust ri semen sebesar 14, 48%. Trend
penggunaan batubara pada industri kertas dan
tekstil, serta industri lainnya terus meningkat,
kecuali pada industri metalurgi dan briket batubara
perkembangan penggunaan batubara berfluktuatif
dan cenderung tetap. (Tabel 4).
5.1. PLTU
PLTU merupakan industri yang paling banyak
menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada
boiler untuk mendidihkan air menjadi uap air.
Kemudian uap air tersebut digunakan untuk
menggerakan turbin pembangkit listrik. Tercatat
dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada
tahun 2008 sebesar 36,575 juta ton, 69,61% di
antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini,
PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN
maupun yang dikelola swasta, ada 13 PLTU, dua
di antaranya paling banyak menggunakan
batubara sebagai bahan bakar utamanya adalah
PLTU Suralaya dan PLTU Paiton.
PLTU Suralaya dikelola PT. Indonesia Power
memiliki 7 unit pembangkit dengan total kapasitas
terpasang 3.400 MW menggunakan batubara
sebesar 13,454 juta ton per tahun. Pemasok
utama batubara untuk PLTU Suralaya, sedangkan
sisanya dipasok dari beberapa perusahaan di
Kalimantan, antara lain dari PT. Kideco Jaya
Agung, PT. Arutmin, PT. Adaro dan PT. Berau Coal.
Sedangkan di kawasan PLTU Paiton ada tiga op-
erator pembangkit, yakni unit 1 dan 2 kapasitas
800 MW yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa
Bali (PJB), unit 5 dan 6 kapasitas 1.230 MW yang
dikelola perusahaan swasta PT Java Power dan
unit 7 dan 8 yang dikelola PT Paiton Energy
dengan kapasitas 1.230 MW. Total batubara yang
dibutuhkan sekitar 12,144 juta ton per tahun.
Batubara yang digunakan sebagian besar dipasok
dari Pulau Kalimantan, seperti PT Adaro Indone-
sia, PT Jorong Barutama, PT Daya Citra Mulia,
dan lain-lain.
Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2008,
penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya
meningkat rata-rata 13,37% (Tabel 5). Hal tersebut
sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai
dampak permintaan listrik yang terus meningkat.
Peranan PLTU pada pembangkit tenaga listrik
nasional adalah yang terbesar, yaitu 54,0%.
Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik
dan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian
BBM secara nasional, pemerintah telah membuat
rencana pembangunan sebanyak 40 PLTU dengan
daya terpasang sebesar 10.000 MW, 10 PLTU di
antaranya akan dibangun di Pulau Jawa dengan
kapasitas 7.460 MW dan 30 sisanya dibangun di
berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas
2.540 MW (lihat Tabel 6). Total kapasitas PLTU
batubara yang dimiliki PLN dan Swasta saat ini
sebesar 9.470 MW dengan mengkonsumsi
batubara sekitar 36,575 juta ton per tahun.
Unt uk mereal i sasi kan rencana t ersebut ,
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 71
Tahun 2006 telah menunjuk PLN untuk melakukan
Percepatan Pembangunan PLTU batubar 10.000
MW yang diharapkan siap beroperasi tahun 2010.
Langkah ini merupakan upaya strategis untuk
meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan
bauran energi nasional dari ketergantungan pada
BBM. Batubara yang dibutuhkan untuk 10 PLTU
Sistem Kelistrikan Jawa sedikitnya 25,5 juta ton
per tahun, sedangkan batubara yang dibutuhkan
untuk 30 PLTU Sistem Kelistrikan Luar Jawa
sedikitnya 7,0 juta ton per tahun.
Proyek percepatan 10.000 MW mengalami
kemajuan signifikan. Laporan yang disampaikan
kepada Menteri ESDM per tanggal 8 Mei 2009
menyebutkan bahwa untuk 10 proyek yang
berlokasi di Jawa, sebanyak 7.460 MW telah
memasuki tahap kontrak dan tahap kontruksi,
dengan t ot al kont rak mencapai Rp
17.279.783.223.885,40 dan USD 4.967.674.659,33.
Sedangkan dari 30 proyek pembangunan PLTU di
luar Jawa, sebanyak 22 proyek dengan total
kapasitas 1.960 MW dan total kontrak mencapai
Rp 7. 928. 031. 007. 168, 64 dan USD
1.161.131.981,64.
61 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
(
T
o
n
)
P
L
T
U
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7
2
0
0
8
O
m
b
i
l
i
n
1
0
2
,
6
0
7
1
2
5
,
1
0
1
1
1
9
,
4
0
8
3
7
4
,
8
9
4
6
6
5
,
3
6
3
6
6
3
,
9
6
7
8
2
4
,
8
5
5
5
4
7
,
9
0
5
6
3
1
,
0
0
0
6
3
1
,
0
0
0
B
u
k
i
t

A
s
a
m
1
,
2
0
0
,
0
3
4
1
,
2
3
1
,
1
7
4
1
,
1
9
2
,
4
5
2
1
,
1
5
3
,
9
7
4
1
,
0
5
7
,
5
6
4
1
,
1
4
2
,
6
4
6
1
,
0
9
0
,
7
7
4
1
,
0
8
0
,
0
0
0
1
,
0
6
8
,
0
0
0
9
2
9
,
0
0
0
9
2
9
,
0
0
0
T
a
r
a
h
a
n
7
0
6
,
0
0
0
1
,
0
0
0
,
8
0
0
S
u
r
a
l
a
y
a

(
P
T
I
P
)
7
,
4
5
6
,
7
6
6
8
,
2
5
1
,
5
6
1
9
,
6
7
1
,
2
3
0
9
,
8
1
9
,
9
2
0
9
,
7
7
4
,
8
7
1
1
1
,
2
2
5
,
2
1
8
1
0
,
6
3
6
,
1
5
5
1
2
,
4
4
0
,
5
0
1
1
3
,
0
9
2
,
2
5
2
1
2
,
6
4
8
,
7
8
2
1
3
,
4
5
4
,
7
6
3
C
i
l
a
c
a
p
2
,
0
0
0
,
0
0
0
2
,
0
0
0
,
0
0
0
T
a
n
j
u
n
g

J
a
t
i

B
4
,
0
0
0
,
0
0
0
4
,
0
0
0
,
0
0
0
P
a
i
t
o
n
2
,
1
5
1
,
9
3
3
3
,
3
6
8
,
9
1
6
2
,
4
5
7
,
3
4
5
6
,
2
7
6
,
1
0
4
8
,
3
0
0
,
7
5
3
9
,
0
6
0
,
8
8
9
9
,
3
1
0
,
0
0
9
1
0
,
1
8
0
,
7
3
1
1
1
,
5
0
3
,
0
7
2
1
1
,
8
1
9
,
3
3
7
1
2
,
1
4
4
,
2
9
8
A
s
a
m
-
A
s
a
m
1
2
7
,
0
8
3
4
8
8
,
1
4
7
5
6
8
,
4
3
6
5
6
8
,
0
0
0
5
5
4
,
3
0
7
6
0
0
,
0
0
0
6
6
4
,
6
6
6
6
3
8
,
0
0
0
6
5
0
,
0
0
0
P
T
.

N
e
w
m
o
n
t

S
u
m
b
a
w
a
7
0
,
9
6
5
3
7
6
,
0
9
5
4
0
6
,
1
3
2
4
7
7
,
6
1
0
4
8
0
,
0
0
0
4
8
2
,
5
7
8
5
0
6
,
6
3
7
5
0
5
,
8
3
9
5
0
6
,
3
9
9
5
0
6
,
3
9
9
P
T
.

F
r
e
e
p
o
r
t
6
4
6
,
0
8
5
1
,
0
5
7
,
5
6
4
6
6
9
,
3
3
4
5
9
3
,
6
5
0
6
2
3
,
3
3
3
6
3
5
,
7
0
9
7
2
0
,
0
0
0
7
2
0
,
0
0
0
P
T
.

T
o
n
a
s
a
3
0
0
,
0
0
0
3
0
0
,
0
0
0
3
0
0
,
0
0
0
3
0
0
,
0
0
0
M
p
a
n
a
u
1
8
0
,
0
0
0
1
8
0
,
0
0
0
L
a
t
i

-

B
e
r
a
u
5
8
,
8
0
0
5
8
,
8
0
0
5
8
,
8
0
0
5
8
,
8
0
0
J
u
m
l
a
h
1
0
,
9
1
1
,
3
4
1
1
3
,
0
4
7
,
7
1
7
1
3
,
9
4
3
,
6
1
3
1
9
,
1
6
5
,
2
5
6
2
1
,
9
0
2
,
1
6
1
2
3
,
8
1
0
,
0
5
4
2
3
,
4
9
2
,
3
2
8
2
6
,
3
3
7
,
9
0
6
2
7
,
8
2
8
,
3
3
8
3
5
,
1
3
7
,
3
1
8
3
6
,
5
7
5
,
0
6
0
(
T
o
n
)
J
e
n
i
s

I
n
d
u
s
t
r
i
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7
2
0
0
8
P
L
T
U
1
0
.
9
1
1
.
3
4
1
1
3
.
0
4
7
.
7
1
7
1
3
.
9
4
3
.
6
1
3
1
9
.
1
6
5
.
2
5
6
2
1
.
9
0
2
.
1
6
1
2
3
.
8
1
0
.
0
5
4
2
3
.
4
9
2
.
3
2
8
2
6
.
3
3
7
.
9
0
6
2
7
.
8
2
8
.
3
3
8
3
5
.
1
3
7
.
3
1
8
3
6
.
5
7
5
.
0
6
0
S
e
m
e
n
1
.
2
6
5
.
1
2
3
2
.
3
0
8
.
6
9
1
3
.
3
6
6
.
8
2
4
5
.
5
4
1
.
0
8
8
4
.
8
8
3
.
0
0
3
4
.
6
9
2
.
8
1
9
5
.
6
5
3
.
9
9
2
6
.
0
2
3
.
2
4
8
5
.
4
3
0
.
7
4
9
6
.
4
8
7
.
2
4
5
7
.
6
0
9
.
0
1
2
I
n
d
u
s
t
r
i

T
e
k
s
t
i
l
-
-
-
-
-
-
-
1
.
3
0
7
.
6
1
0
3
.
0
6
8
.
1
1
5
3
.
9
5
6
.
5
4
0
4
.
1
9
3
.
9
3
2
I
n
d
u
s
t
i

K
e
r
t
a
s
6
9
2
.
7
3
7
8
0
5
.
3
9
7
7
6
6
.
5
4
9
8
0
4
.
2
0
2
4
7
1
.
7
5
1
1
.
6
8
0
.
3
0
4
1
.
1
0
6
.
2
2
7
2
.
2
7
2
.
4
4
3
2
.
2
0
6
.
8
6
6
2
.
4
1
1
.
4
2
8
2
.
5
1
8
.
8
8
7
M
e
t
a
l
u
r
g
i
1
4
4
.
9
0
7
1
2
3
.
2
2
6
1
3
4
.
3
9
3
2
2
0
.
6
6
6
2
3
6
.
8
0
2
2
2
5
.
9
0
7
1
2
2
.
8
2
7
1
6
0
.
4
9
0
2
9
9
.
9
9
0
2
8
2
.
7
3
2
8
2
.
7
3
0
B
r
i
k
e
t
2
9
.
9
6
3
3
8
.
3
0
2
3
6
.
7
9
9
3
1
.
2
6
5
2
4
.
7
0
8
2
4
.
9
7
6
2
3
.
5
0
6
2
8
.
2
6
7
3
6
.
0
1
8
2
5
.
1
2
0
2
5
.
6
4
3
L
a
i
n
-
l
a
i
n
2
.
6
0
0
.
5
5
0
2
.
5
7
3
.
3
5
5
5
.
5
4
5
.
6
0
9
2
.
4
0
7
.
6
6
7
3
.
7
9
2
.
4
8
1
4
.
9
9
0
.
0
0
0
5
.
6
1
9
.
0
7
9
4
1
7
.
5
8
3
9
7
9
.
7
9
7
1
.
2
6
3
.
5
1
4
1
.
3
3
9
.
3
2
5
J
u
m
l
a
h
1
5
.
6
4
4
.
6
2
1
1
8
.
8
9
6
.
6
8
8
2
3
.
7
9
3
.
7
8
7
2
8
.
1
7
0
.
1
4
4
3
1
.
3
1
0
.
9
0
7
3
5
.
4
2
4
.
0
6
1
3
6
.
0
1
7
.
9
5
8
3
6
.
5
4
7
.
5
4
8
3
9
.
8
4
9
.
8
7
4
4
9
.
5
6
3
.
8
9
5
5
2
.
5
4
4
.
5
8
9
S
e
u
m
b
e
r

:
D
P
P
M
B

d
a
n

h
a
s
i
l

s
u
r
v
e
i

t
e
k
M
I
R
A
,

2
0
0
6
,
2
0
0
8

(
d
i
o
l
a
h

k
e
m
b
a
l
i
)
T
a
b
e
l

4
.
K
o
n
s
u
m
s
i

b
a
t
u
b
a
r
a

m
e
n
u
r
u
t

j
e
n
i
s

i
n
d
u
s
t
r
i

d
i

I
n
d
o
n
e
s
i
a

T
a
h
u
n

1
9
9
8

-

2
0
0
8
T
a
b
e
l

5
.
P
e
n
g
g
u
n
a
a
n

b
a
t
u
b
a
r
a

p
a
d
a

p
l
t
u

d
i

i
n
d
o
n
e
s
i
a
,

1
9
9
8


2
0
0
8

(
T
o
n
)
62 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 6. Rencana pembangunan PLTU 10.000 MW Tahap I
Nama Proyek / Lokasi Propinsi
Kapasitas Kebutuhan Batubara
(MW) (Ton)
Pulau Jawa
1 PLTU Labuan Banten 1 300 1.079.545
2 PLTU Suralaya Baru Banten 2 660 4.750.000
3 PLTU Teluk Naga Banten 2 300 2.159.091
4 PLTU Jabar Selatan Jawa Barat 2 300 2.159.091
5 PLTU Jabar Utara Jawa Barat 2 300 2.159.091
6 PLTU Tanjung Jati Baru Jawa Tengah 1 660 2.375.000
7 PLTU Rembang Jawa Tengah 2 300 2.159.091
8 PLTU Jatim Selatan, Pacitan Jawa Timur 2 300 2.159.091
9 PLTU Tanjung Awar-Awar Jawa Timur 1 600 2.159.091
10 PLTU Paiton Baru Jawa Timur 2 600 4.318.182
Jumlah 17 25.477.273
Di luar Pulau Jawa
1 PLTU Meulaboh NAD 2 65 467.803
2 PLTU Sibolga Baru Sumatera Utara 2 100 719.697
3 PLTU Medan Baru Sumatera Utara 2 100 719.697
4 PLTU Sumbar Pesisir Selatan Sumatera Barat 2 100 719.697
5 PLTU Mantung Bangka Belitung 2 10 71.970
6 PLTU Air Anyer Bangka Belitung 2 10 71.970
7 PLTU Bangka Baru Bangka Belitung 2 25 179.924
8 PLTU Belitung Baru Bangka Belitung 2 15 107.955
9 PLTU Bengkalis Riau 2 7 50.379
10 PLTU Selat Panjang Riau 2 5 35.985
11 PLTU Tj. Balai Kerimun Baru Kepulauan Riau 2 7 50.379
12 PLTU Tarahan Baru Lampung 2 100 719.697
13 PLTU Pontianak Baru kalimantan Barat 2 25 179.924
14 PLTU Singkawang Baru kalimantan Barat 2 50 359.848
15 PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan 2 65 467.803
16 PLTU Palangkaraya Kalimantan Selatan 2 65 467.803
17 PLTU Sampit Baru Kalimantan Tengah 2 7 50.379
18 PLTU Amurang Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924
19 PLTU Sulut Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924
20 PLTU Gorontalo Baru Gorontalo 2 25 179.924
21 PLTU Bone Sulawesi Selatan 2 50 359.848
22 PLTU Kendari Sulawesi Tenggara 2 10 71.970
23 PLTU Bima Nusa Tenggara Barat 2 7 50.379
24 PLTU Lombok Batu Nusa Tenggara Barat 2 25 179.924
25 PLTU Ende Nusa Tenggara Timur 2 7 50.379
26 PLTU Kupang Baru Nusa Tenggara Timur 2 15 107.955
27 PLTU Ambon Baru Maluku 2 7 50.379
28 PLTU Ternate Maluku Utara 2 7 50.379
29 PLTU Timika Papua 2 7 50.379
30 PLTU Jayapura Papua 2 10 71.970
Jumlah 7.024.242
Jumlah seluruh 32.501.515
Sumber : Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2006
63 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
5.2. Industri Semen
Industri semen merupakan konsumen batubara
kedua terbesar setelah PLTU. Saat ini terdapat 9
perusahaan semen yang terletak di beberapa
wilayah di Indonesia. Pemanfaatan batubara pada
industri semen, digunakan sebagai bahan bakar
pada tanur putar untuk proses pembuatan klinker
sebelum menjadi semen.
Tahun 2008, tercatat sekitar 14,48% kebutuhan
batubara dalam negeri digunakan oleh industri
semen atau 7,609 juta ton. Perusahaan semen
yang paling banyak menggunakan batubara adalah
PT. Indocement Tunggal Perkasa, yaitu sebesar
2,763 juta ton. Perusahaan ini memiliki tiga pabrik
di lokasi yang berbeda, yaitu di Cibinong, Cirebon
(Propinsi Jawa Barat), dan Tarjun Kabupaten
Kotabaru (Propi nsi Kal i mantan Sel atan).
Berikutnya adalah PT. Semen Gresik dengan
kebutuhan 1,395 juta ton, PT. Semen Holcim 1,102
juta ton, PT Semen Padang 1,005 juta ton PT.
Semen Tonasa 0,828 juta ton, dan yang lainnya
di bawah 0,5 juta ton, sementar PT Semen
Kupang produksinya tersendat serta dalam proses
akuisisi oleh Perusahaan India, sedangkan PT
Semen Andalas dalam proses akhir rekontruksi
setelah terkena gelombang tsunami.
Selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan
penggunaan batubara pada industri semen
berfluktuasi. Antara tahun 1998-2001, pemakaian
batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu
64,03%, namun pada tahun 2002 dan 2003 sempat
mengalami penurunan hingga 9,81% dan 5,36%.
Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh adanya
penurunan produksi di beberapa perusahaan se-
men, PT. Indocement Tunggal Prakarsa dan PT.
Semen Gresik. Memasuki tahun 2004 hingga tahun
2008 cenderung meningkat hanya sempat
menurun pada tahun 2006, kebutuhan batubara
pada industri semen mengalami perubahan yang
positif, yaitu 7,03%, seiring perkembangan ekonomi
yang mulai membaik di dalam negeri (Tabel 7).
5.3. Industri Tekstil
Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan
yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM),
karena biaya bahan bakar merupakan komponen
terbesar di dalam biaya produksi. Menurut para
pengusaha, perubahan pola penggunaan bahan
bakar ke batubara merupakan salah satu alternatif
yang sangat tepat karena mampu menekan biaya
pengeluaran bahan bakar walaupun harus
melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti
boiler yang baru yang berbahan bakar batubara.
Batubara dalam industri tekstil digunakan pada
boiler untuk memasak air menjadi uap. Uap yang
dihasilkan digunakan untuk proses pencelupan.
Beberapa i ndustri teksti l di l engkapi ol eh
powerplant berbahan bakar batubara untuk
memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan
digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit
listrik. Listrik yang dihasilkan dimanfaatkan
berbagai keperluan seperti menggerakan mesin
produksi, penerangan, dan sebagainya.
Sepert i di perl i hat kan pada Gambar 2,
menunjukkan bahwa perkembangan jumlah
perusahaan tekstil yang menggunakan batubara
tampaknya akan terus meningkat. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah perusahaan tekstil pada tahun
2003 hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun
2008 sudah bertambah menjadi 328 perusahaan.
Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat
signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003
naik menjadi 4,194 juta ton pada tahun 2008.
Dari sisi keberadaannya, industri tekstil di Indo-
nesia terpusat di Pulau Jawa, yang sebagian besar
terletak di Propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 240
perusahaan (73,14%) dengan mengkonsumsi
batubara sebesar 3,430 juta ton (81,79%).
Kemudian disusul oleh Propinsi Jawa Tengah,
Banten, dan Jawa Timur (lihat Tabel 8).
5.4. Industri Kertas
Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara
dalam industri kertas digunakan sebagai bahan
bakar dimana energi panas yang dihasilkan
digunakan untuk memasak air pada mesin uap.
Uap yang di hasi l kan di pergunakan untuk
memasak/membuat pulp (bubur kertas).
Terdapat 36 perusahaan kertas yang telah
menggunakan batubara, 5 perusahaan masing-
masing terdapat di Propinsi Banten, Jawa Barat dan
Jawa Tengah, 19 perusahaan di Propinsi Jawa Timur,
dan 2 perusahaan di Propinsi Riau. Pada tahun
2008, jumlah kebutuhan batubara untuk industri
ini mencapai sekitar 2,519 juta ton. (Tabel 9).
5.5. Industri Metalurgi
Dari sisi jumlah industri metalurgi (pengecoran
logam) yang telah menggunakan batubara sebagai
bahan bakar pada proses produksinya dapat
64 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
(
T
o
n
)
I
n
d
u
s
t
r
i

S
e
m
e
n
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7
2
0
0
8
P
T
.

S
e
m
e
n

A
n
d
a
l
a
s
5
9
.
2
1
5
1
9
.
5
2
3
3
3
.
6
1
8
3
5
.
6
4
3
4
7
.
0
5
0
1
6
8
.
0
0
0
1
8
5
.
3
4
0
t
p
t
p
t
p
t
p
P
T
.

S
e
m
e
n

P
a
d
a
n
g
2
6
2
.
7
2
1
4
6
9
.
7
5
4
4
8
3
.
2
6
2
4
7
4
.
4
3
0
6
8
0
.
6
3
7
6
9
2
.
3
9
2
4
5
4
.
2
1
4
6
7
8
.
1
2
4
7
8
2
.
2
7
7
8
5
0
.
0
0
0
1
.
0
0
4
.
8
4
7
P
T
.

S
e
m
e
n

B
a
t
u
r
a
j
a
6
8
.
7
0
0
6
2
.
3
7
0
2
6
.
3
1
1
7
5
.
4
4
8
1
0
3
.
3
5
7
1
1
0
.
9
3
9
1
2
9
.
0
8
1
1
4
3
.
9
7
3
1
3
3
.
5
1
5
1
5
3
.
4
1
5
1
8
7
.
4
3
6
P
T
.

S
e
m
e
n

H
o
l
c
i
m

C
i
l
a
c
a
p
1
4
.
8
5
0
4
5
4
.
1
4
0
3
9
7
.
0
6
0
3
9
7
.
0
8
5
4
7
2
.
4
5
7
3
7
5
.
3
7
5
4
1
6
.
8
3
3
4
0
9
.
4
2
0
P
T
.

S
e
m
e
n

H
o
l
c
i
m

N
a
r
o
g
o
n
g
5
7
7
.
6
0
7
3
7
9
.
3
7
6
3
9
7
.
7
7
2
4
5
1
.
0
1
3
4
6
4
.
4
0
7
4
4
8
.
8
0
1
5
4
5
.
8
4
9
5
5
4
.
5
8
3
8
6
2
.
7
6
5
1
.
0
2
6
.
4
4
1
1
.
1
0
2
.
3
9
6
P
T
.

I
n
d
o
c
e
m
e
n
t

T
P

(
C
i
b
i
n
o
n
g
)
4
2
.
9
0
8
5
2
8
.
6
5
5
5
4
7
.
9
7
3
1
.
5
0
9
.
5
6
9
1
.
0
1
9
.
8
6
8
8
0
0
.
9
2
3
1
.
1
8
4
.
5
6
4
1
.
1
7
0
.
4
3
1
P
T
.

I
n
d
o
c
e
m
e
n
t

T
P

(
C
i
r
e
b
o
n
)
6
7
.
1
8
9
8
0
.
7
7
5
2
3
1
.
3
0
5
2
5
4
.
1
8
1
2
7
6
.
3
1
5
3
1
1
.
8
4
1
3
4
9
.
7
1
0
3
5
9
.
3
7
2
1
.
7
7
6
.
4
1
2
2
.
2
0
2
.
0
0
0
2
.
7
6
2
.
6
7
4
P
T
.

I
n
d
o
c
e
m
e
n
t

(
T
a
n
j
u
n
g
)
7
.
6
7
9
8
8
.
3
5
2
1
6
6
.
8
2
6
6
8
3
.
0
1
8
1
5
5
.
3
0
1
2
6
9
.
5
6
4
3
6
8
.
4
1
3
3
6
4
.
0
1
8
P
T
.

S
e
m
e
n

G
r
e
s
i
k
7
5
.
8
2
9
9
9
.
9
7
5
7
9
3
.
4
6
5
9
1
2
.
0
2
9
8
6
2
.
6
0
6
7
1
5
.
1
7
2
1
.
0
6
3
.
6
3
8
1
.
1
4
1
.
5
2
9
1
.
0
6
5
.
1
5
7
1
1
6
.
5
2
9
1
3
1
.
1
4
7
P
T
.

S
e
m
e
n

T
o
n
a
s
a
8
8
.
4
2
5
9
5
.
4
9
9
1
3
0
.
2
8
3
5
4
6
.
2
3
3
5
9
3
.
9
2
3
5
5
6
.
4
9
5
6
5
9
.
4
7
3
6
9
7
.
4
4
0
4
8
1
.
7
6
3
7
6
0
.
0
0
0
8
2
7
.
7
9
3
P
T
.

B
o
s
o
w
a

C
e
m
e
n
t
3
0
.
2
7
1
1
5
1
.
3
2
4
2
0
2
.
4
3
9
2
0
7
.
0
8
2
2
4
3
.
3
1
7
2
9
6
.
8
7
6
2
5
2
.
1
8
0
3
2
8
.
8
6
0
3
2
8
.
8
6
0
3
2
8
.
8
6
0
P
T
.

S
e
m
e
n

K
u
p
a
n
g
1
5
1
.
3
2
3
2
0
2
.
4
3
8
2
0
7
.
0
8
2
2
4
3
.
3
1
7
2
9
6
.
8
7
6
2
5
2
.
1
7
9
J
u
m
l
a
h
1
.
2
6
5
.
1
2
3
2
.
3
0
8
.
6
9
1
3
.
5
1
0
.
5
2
1
6
.
7
4
3
.
5
2
6
5
.
0
9
0
.
0
8
5
4
.
9
5
0
.
8
6
8
5
.
9
5
0
.
8
6
8
6
.
0
2
3
.
2
4
8
5
.
4
3
0
.
7
4
9
5
.
4
3
7
.
2
4
5
6
.
3
4
5
.
1
5
3
C
a
t
a
t
a
n

:

t
p

=

t
i
d
a
k

b
e
r
p
r
o
d
u
k
s
i
S
u
m
b
e
r

:
-

A
s
o
s
i
a
s
i

S
e
m
e
n

I
n
d
o
n
e
s
i
a
,

2
0
0
6
-

D
P
P
M
B
,

2
0
0
8
-

P
T
.

S
e
m
e
n

G
r
e
s
i
k
,

P
T
,

I
n
d
o
c
e
m
e
n
t
-
C
i
r
e
b
o
n
,

P
T
.

H
o
l
c
i
m
-
C
i
l
a
c
a
p
,

P
T
.

S
e
m
e
n

T
o
n
a
s
a
,

P
T
.

S
e
m
e
n

B
o
s
o
w
a
,

d
a
n

P
T

S
e
m
e
n

K
u
p
a
n
g

(
S
u
r
v
e
i

t
e
k
M
I
R
A

2
0
0
6
)
T
a
b
e
l

7
.
K
o
n
s
u
m
s
i

b
a
t
u
b
a
r
a

p
a
d
a

i
n
d
u
s
t
r
i

s
e
m
e
n

1
9
9
8


2
0
0
8

(
t
o
n
)
65 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
Gambar 2. perkembangan perusahaan tekstil pemakai batubara di indonesia tahun 2003 2008
Tabel 8. Industri tekstil berbahan bakar batubara di Indonesia,
menurut Provinsi, Tahun 2008
No. Lokasi
Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara
(Buah) (Ton/Tahun)
1 Banten 15 423.406
2 Jawa Barat 240 3.430.393
3 Jawa Tengah 68 292.433
4 Jawa Timur 5 47.700
5 Luar Jawa 0 0
Jumlah 328 4.193.932
Tabel 9. Industri kertas berbahan bakar batubara di Indonesia
No. Lokasi
Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara
(Buah) (Ton/Tahun)
1 Banten 5 620.440
2 Jawa Barat 5 145.661
3 Jawa Tengah 5 46.479
4 Jawa Timur 19 1.100.916
5 Riau 2 605.391
Jumlah 36 2.518.887
66 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
dikatakan relatif tidak bertambah, padahal dari sisi
potensi masih banyak perusahaan yang belum
menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.
Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri
metal urgi berfl uktuasi , namun ada trend
perkembangan yang meningkat sejalan dengan
tingkat produksi perusahaan (Tabel 10).
industri rumahan tertentu sebagai bahan bakar,
seperti industri pengeringan gerabah, pembakaran
bata, tahu/tempe, katering/restoran, tepung ikan,
pemindangan ikan, kerupuk, pengeringan bawang,
pengeringan tembakau, pembakaran kapur, dan
obat nyamuk. Namun yang paling dominan dan
memasyarakat penggunaan briket batubara adalah
pada peternakan ayam, yaitu sebagai penghangat
anak ayam.
Tabel 10. Perkembangan penggunaan
batubara pada industri metalurgi,
Tahun 1998 - 2008
Tahun Pemakaian Batubara (Ton)
1998 144.907
1999 123.226
2000 134.393
2001 220.666
2002 236.802
2003 225.907
2004 122.827
2005 183.530
2006 299.990
2007 282.730
2008 *) 321.213
Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali)
*) perkiraan
Di samping industri metalurgi, masih banyak
industri lainnya yang menggunakan batubara
sebagai bahan bakar dalam mendukung proses
produksinya, antara lain industri makanan, kimia,
pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur,
dan lainnya, termasuk beberapa jenis industri
kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008,
di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah
menggunakan batubara dengan total kebutuhan
diperkirakan mencapai 342.850 ton.
5.6. Briket Batubara
Briket batubara merupakan energi alternatif atau
pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang
pal i ng murah dan di mungki nkan unt uk
dikembangkan secara masal, mengingat teknologi
dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.
Di Indonesia, pengembangan briket batubara
diperkenalkan sejak tahun 1993, namun hingga
kini tidak dapat berkembang dengan baik. Hal
tersebut dapat dilihat perkembangan briket
batubara selama kurun waktu 2001 2008 yang
fluktuatif (lihat Tabel 11). Di masyarakat, pemanfaatan
briket batubara digunakan pada industri kecil atau
Tabel 11. Perkembangan penggunaan
batubara pada Industri briket
batubara, Tahun 2001 2008
Tahun Pemakaian Batubara (Ton)
2001 31.265
2002 24.708
2003 24.976
2004 17.963
2005 32.010
2006 36.018
2007 25.120
2008 *) 25.643
Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali)
*) perkiraan
5.7. Industri Lainnya
Di samping industri yang disebutkan di atas, masih
banyak industri lainnya yang menggunakan
batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung
proses produksinya, antara lain industri makanan,
kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran
kapur, dan lainnya, termasuk beberapa jenis
industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun
2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang
telah menggunakan batubara dengan total
kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton.
Sedangkan kebutuhan batubara untuk industri
lainnya secara menyeluruh (nasional) diperkirakan
tidak kurang dari 1,339 juta ton.
Sedangkan potensi pemanfaatan ke depan adalah
pada pengusahaan Upgraded Brown Coal (UBC),
yang merupakan suatu proses untuk meningkatkan
nilai kalori batubara melalui penurunan kadar air.
Kelitbangan UBC telah sampai pada skala demo
plant 1.000 ton/hari. Selain itu potensi gasifikasi
batubara untuk industri kecil menengah, seperti
halnya yang telah berhasil pada industri pengeringan
teh. Potensi lainnya adalah pencairan batubara.
67 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
Sebel umnya t el ah mel akukan upaya
pengembangan teknologi BCL, karena belum
terbukti (unprovent) terjadi kemandegan. Saat ini
alternatif yang sedang dijajagi adalah menerapkan
teknologi Sasol, namun belum ada kesepakatan
yang mengikat, dan perlu bernegosiasi lanjutan.
6. MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA
Menyi mak berbagai keberhasi l an ki nerj a
pertambangan batubara di Indonesia dimasa lalu
hingga masa kini, potensi sumberdaya dan
cadangan yang besar, adanya peluang sekaligus
tantang, dan adanya kebijakan-kebijakan yang
terkait, maka batubara Indonesia mempunyai
prospek dimasa depan.
Pelaku Usaha Pertambangan
Sampai dengan t ahun 2008 perusahaan
penambangan batubara di Indonesia dengan sta-
tus PKP2B aktif berjumlah 76 perusahaan, yang
terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi
(9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II dan 21dari
Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi
kelayakan, dan 5 status eksplorasi. Sedangkan
j uml ah Kuasa Pert ambangan (KP) yang
dikeluarkan di daerah yang terinventarisasi di
Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas
Bumi sudah melebihi angka 500 KP, sedangkan
yang telah berproduksi 129 KP. Berkembangnya
KP t ersebut t erj adi pada era ot onomi
daerah, khususnya sejak tahun 2001 ketika
dikeluarkannya PP 75 tahun 2001, yaitu ketika
penegasan t ent ang pemberi an Kuasa
Pertambangan (KP) dilakukan oleh Pemerintah
Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut
diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai
dengan kewenangannya. Dalam prakteknya
sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama
otonomi daerah tersebut di terbi tkan ol eh
kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk
perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus
yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten,
sedangkan yang dikeluarkan menteri harus yang
berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini
sangat jarang ditemui di lapangan, baik sengaja
atau tidak sengaja.
Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam
yang disebabkan meningkat tajamnya permintaan
batubara sebagai sumber energi terutama untuk
pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun
di negara-negara importir. Tidak mengherankan
apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan
pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh
pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir.
Perkembangan Produksi
Selama 16 tahun terakhir (1992-2008) produksi
batubara Indonesia telah meningkat hampir 15 kali
lipat, dari 15,935 juta juta ton menjadi 233,620
juta ton, atau meningkat rata-rata per tahun
17,04%, jauh di atas rata-rata dunia, 3,8%.
Peningkatan produksi yang pesat didorong oleh
meningkat tajamnya permintaan ekspor dan
permintaan dalam negeri. Jika diasumsikan
pertumbuhan produksi tetap tinggi, maka pada
tahun 2025 dapat mencapai 742 juta ton, namun
APBI sejalan dengan kebijakan pemerintah telah
memproyesikan yang cukup wajar sebesar 471
juta ton.
Perkembangan Ekspor
Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah
Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, di samping
China dan India yang merupakan buyer baru bagi
Indonesia. Meningkatnya permintaan China dan
India di masa datang akan menambah tingginya
kecenderungan permintaan ekspor. Belum adanya
keseimbangan antara permintaan dan pemasokan
batubara pada tataran dunia, terlihat dari tingginya
tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia yang
mencapai 15,51%. Pada satu sisi, hal tersebut
merupakan peluang Indonesia untuk meningkatkan
pangsa pasar ekspor. Tetapi dengan adanya
kecenderungan tersebut, ke depan perl u
mencermatinya untuk melakukan pengendalian
atau pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk
mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri
serta perkembangan tingkat produksi yang
mengacu pada konsep konservasi. Lagi-lagi,
proyeksi ekspor bat ubara t anpa adanya
pembatasan, pada tahun 2025 akan mencapai
509,3 juta ton, padahal kebijakan ekspor
memproyeksikan sekitar 150 236 jua ton.
Perkembangan Penggunaan
di Dalam Negeri
Peran batubara sebagai energi akan semakin
besar pada berbagai i ndustri , khususnya
pembangkit listrik di Indonesia maupun industri
lain di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di
masa-masa mendatang peran minyak akan
semakin berkurang, sebaliknya peran batubara dan
gas akan semakin besar.
68 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Ketika semua proyek Percepatan pembangunan
PLTU 10.000 MW telah beroperasi yang ditargetkan
pada tahun 2010, diperkirakan konsumsi batubara
Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau
meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun
2006. Jumlah tersebut terdistribusi pada PLTU
sebesar 69,1 juta ton, industri semen 8,9 juta ton,
industri tekstil 4,5 juta ton, industri kertas 3,0 juta
dan industri lainnya sekitar 4,5 juta ton. Diperkirakan
pada tahun 2025 konsumsi batubara dalam negeri
mencapai 236 juta ton. Hal ini telah diproyeksikan
sebagaimana termuat pada Blueprint Pengelolaan
Energi Nasional 2010-2025, yang menargetkan
peranan batubara pada bauran energi nasional
sebesar 34,4%, di luar peranan Bahan Bakar
Batubara Cair (BBBC) sebesar 3,1% dan Coal Bed
Methane (CBM) 3,3%.
Kebijakan
Pemerintah baru saja menerbitkan Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional (BP PEN) 2010-2025
merupakan re-evaluasi BP PEN 2005-2025, yang
akan menjadi dasar penyusunan pola pengem-
bangan dan pemanfaatan energi secara nasional
hingga 2025, dengan visi berupa terjaminnya energi
dengan harga wajar untuk kepentingan nasional.
Penyusunan blueprint merupakan tindak lanjut
Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional yang meng-
amanatkan Menteri ESDM menetapkan cetak biru
tersebut.
Di sisi lain dengan telah disyahkannya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, mengisyaratkan pemerintah
dapat mengoptimalkan pengelolaan batubara
antara lain pengendalian produksi dan ekspor serta
jaminan pasokan dalam negeri melalui Domestic
Obligation Market (DMO) dan Penetapan Harga
Batubara Nasional. Di samping itu mengenai
perijinan pertambangan batubara hanya satu pola,
yaitu dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Adapun PKP2B termasuk KP yang ada tetap
dihormati sampai ijinnya berakhir, dan kemudian
diberikan prioritas untuk mendapatkan IUP.
Dengan adanya kebikan-kebijakan tersebut
tentunya diharapkan akan dihasilkan pelaku
pertambangan yang andal di bagian hulu
(pertambangan batubara) dengan melakukan good
mining practices, pengelolaan lingkungan, dan
pengembangan masyarakat (community develop-
ment). Sedangkan di bagian hilirnya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yaitu
untuk menjamin pengadaan energi nasional yang
dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
6. PENUTUP
Sektor pertambangan batubara sampai saat ini
telah berhasil dalam menunjang Kebijakan Energi
Nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya
pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit
listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia,
dan industri kecil. Pasar global telah dapat pula
diterobos dan menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara pengekspor batubara uap
terbesar di dunia. Semua ini merupakan modal
dasar bagi industri batubara Indonesia untuk terus
berkembang dalam menunjang keberhasilan
pengembangan energi nasional maupun global.
Di samping peranan batubara yang cukup besar,
maka tetap juga harus dijaga dan dijamin
ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan
energi di dalam negeri selama dan seekonomis
mungkin. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu
dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan
sinergi dengan sektor-sektor pembangunan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jawa Barat, Jawa
Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Dan
Boiler Tahun 2007.
Asosiasi Semen Indonesia (ASI), 2006, Indone-
sia Cement Statistic 2005.
Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi
Wilayah, Distamben Provinsi Jawa Tengah,
2008, Data Pemakaian Batubara Sebagai
Sumber Energi.
Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat
dan Jawa Tengah, 2006, Daftar Industri yang
Menggunakan Boi l er Berbahan Bakar
Batubara.
Direktorat Pengusahaan Pertambangan Mineral,
Batubara, dan Panas Bumi, 2008, Indonesia
Mineral, Coal, and Geothermal Statistics 2008,
Jakarta.
69 Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman
Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
____________, Peraturan Presiden Republik In-
donesia No. 5. Tahun 2006 Tentang Kebijakan
Energi Nasional.
____________, Peraturan Presiden Republik In-
donesi a No. 71. Tahun 2006 Tentang
Penugasan kepada PT. PLN unt uk
Melakukan Percepatan Pembangunan PLTU
yang menggunakan batubara.
Menteri ESDM, 2009, Blueprint Pengelolaan
Energi Nasional 2010-2025.
Suherman I., dkk., 2006, Kajian Batubara Nasional
2006, Puslitbang Teknologi dan Batubara
(tekMIRA).
Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya, 2008,
Perkembangan Produksi Li st ri k dan
Kebutuhan Bahan Bakar Batubara.
70 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGEMBANGAN SISTEM DAN ALAT PEMANTAUAN
SEDERHANA UNTUK MENDETEKSI KERUNTUHAN
BATUAN ATAP (ROOF FAILURE) PADA TAMBANG
BAWAH TANAH
Zulfahmi
1)
, Hasniati Astika
2)
, Supriatna Mujahidin
3)
1)
Peneliti Madya
2)
Peneliti Pertama
3)
Teknisi Litkayasa Penyelia
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : zulfahmi@tekmira.esdm.go.id, hasni@tekmira.esdm.go.id, didit@tekmira.esdm.go.id
SARI
Keruntuhan batuan atap (Roof Failure) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan
pada tambang bawah tanah. Terdapat dua macam alat pemantauan yang dirancang, yaitu
pengembangan alat pemantauan menggunakan Potensiometer transducer yang dapat mendeteksi
pergerakan pada beberapa lapisan batuan atap dan pengembangan alat pemantauan menggunakan
Linear Variable Differential Transducer (LVDT) yang hanya dapat mendeteksi pergerakan pada
permukaan batuan atap saja. Sistem pemantauan yang digunakan terdiri dari alat pemantauan,
datalogger sebagai perekam dan penyimpan data serta CPU komputer untuk pengolahan data. Dari
hasil kalibrasi di studio dan ujicoba di salah satu tambang batubara bawah tanah, alat dan system
yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan terpusat dengan hasil yang
signifikan, dimana semua alat pemantauan dan proses perekaman data dapat dioperasikan dari satu
tempat sebagai sentral.
Kata kunci : keruntuhan atap, lvdt, potensio, tambang bawah tanah
ABSTRACT
Roof failure is one of the main causes injuries that happened in the underground mine. Two type of
monitoring tools have been designed, there was a development of monitoring tools using Potentiom-
eter Transducer that can detect movement in some rock layers of the roof and Linear Variable Differ-
ential Transducer (LVDT) that can detect movement on the surface rock of the roof only. Monitoring
system that developed consists of monitoring tools, data logger for record and storage tool and a
computer for data processing. The result of a calibration in a studio and running test in one of the
underground coal mine could be known that the monitoring tools and the system which applied can be
used as a centralized monitoring system with a significant result, where all of the monitoring equip-
ment and data recording process can operated from one place as a central.
Keywords: roof failure, lvdt, potentiometer, underground mine
71 Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.
1. LATAR BELAKANG
Berdasarkan dat a yang di perol eh dari
www.msha.gov dari tahun 2003 sampai dengan
2007, 82% dari total kecelakaan pada tambang
bawah tanah terjadi pada tambang batubara,
24,50% diantaranya diakibatkan oleh keruntuhan
atap selain yang disebabkan oleh ledakan gas dan
debu tambang dan juga kecelakaan pada
pengangkutan (mine haulage). Dari data tersebut,
keruntuhan batuan atap merupakan salah satu
penyebab terbesar terjadinya kecelakaan pada
tambang bawah tanah.
Teknologi pengawasan secara dini sangat
diperlukan, dengan tujuan utama untuk melakukan
pengawasan dan mengetahui sedini mungkin
kondisi tidak aman pada suatu lokasi tambang
agar dapat ditanggulangi sebelumnya. Salahsatunya
dengan merancang alat pemantauan sederhana
dengan menggunakan peralatan yang mudah
didapatkan di Indonesia.
2. METODA PENELITIAN
Metode penelitian yang diterapkan dalam kegiatan
ini lebih mengarah kepada kajian terhadap perkem-
bangan peralatan pemantauan keruntuhan batuan
atap pada tambang bawah tanah. Diperoleh baik
dari hasil studi pustaka maupun hasil penelusuran
pada cybernet untuk mendapatkan metoda dan
dasar yang akan digunakan dalam perancangan
sistem dan peralatan pemantauan. Selanjutnya
dilakukan perancangan sampai didapatkan sistem
dan peralatan yang layak digunakan dengan
melakukan kalibrasi dan juga ujicoba.
STUDI PUSTAKA/ CYBERNET
Kajian teoritis tentang perkembangan sistem pemantauan
& konsep sistem peringatan dini
Dasar-dasar teori mengenai keruntuhan atap (roof failure)
Konsep & Aplikasi peralatan
PENENTUAN SISTEM & ALAT
PEMANTAUAN
PERANCANGAN &
MODIFIKASI ALAT
UJICOBA ALAT & RUNNING TEST
PERBAIKAN
ALAT/PERUBAHAN
SISTEM
EVALUASI HASIL UJICOBA
KALIBRASI
SESUAI
STANDARD

Tidak
ALAT PEMANTAUAN
KERUNTUHAN ATAP
Ya

Gambar 1. Metodologi penelitian pengembangan alat pemantauan sederhana untuk
mendeteksi pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah
72 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Sistem Pemantauan
Keruntuhan Atap
Sistem Pemantauan keruntuhan atap yang
dirancang terdiri dari alat pemantauan, datalogger
dan CPU komputer. Alat pemantauan yang telah
terpasang pada batuan atap terhubung dengan
datalogger sebagai pembaca dan penyimpan data.
Data yang tersimpan dalam datalogger masih
merupakan data mentah untuk selanjutnya diolah
pada perangkat komputer, pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft
excel untuk selanjutnya dibuat grafik pergerakan
batuan yang terjadi. Untuk menghubungkan setiap
unit dari sistem tersebut digunakan sistem kabel.
Skema monitoring dapat dilihat pada gambar 2.
Linear Variable Differential Transformer (LVDT)
merupakan salah satu jenis sensor yang digunakan
untuk mengukur perubahan jarak. Kelebihan dari
LVDT sebagai sensor jarak adalah tidak adanya
kontak fisik pada unsur sensor sehingga lebih kuat
dan tahan lama dibandingkan dengan sensor-sen-
sor lain. LVDT terdiri dari satu kumparan magnetik
primer dan dua kumparan magnetik sekunder dan
satu inti magnetik (Gambar 3(a)). Pada saat posisi
nol berarti tidak ada medan magnet dalam kedua
kumparan sekunder oleh karena tidak ada
pergerakan pada probe. Ketika kumparan magnet
tidak dalam posisi nol (terjadi pergerakan pada
probe) akan ada ketidakseimbangan medan mag-
net dari kedua kumparan sekunder. Ketidakseim-
bangan pada medan magnet menyebabkan
perubahan keluaran voltase yang sebanding dengan
perubahan jarak dan arah dari pergerakan tersebut.
Selain merupakan instrumen yang kuat, LVDT
mempunyai resolusi yang tinggi (Cheekiralla, 2004).
Gambar 2. Skema pemantauan
keruntuhan atap
Sebagai pembaca dan penyimpan data yang
digunakan pada sistem pemantauan keruntuhan
atap ini digunakan Datataker DT800. Datataker
DT800 merupakan instrumen penerima dan
penyimpan data yang dapat mengukur dan
merekam data dengan beragam dan dalam jumlah
yang banyak serta dapat diprogram dengan
menggunakan perintah kerja yang sangat mudah
(Anonym, 2001-2004).
Perancangan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap
Peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap
yang dirancang merupakan pengembangan dari
peral atan pemantauan sebel umnya. Al at
pemantauan yang dirancang terdiri dari 2 macam,
yaitu LVDT dan Potensiometer.
(a)
(b)
Gambar 3. (a) Prinsip kerja LVDT
(b) LVDT RDP DCTH400AG
73 Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.
LVDT yang digunakan pada kegiatan ini adalah
keluaran RDP dengan type DCTH400AG (Gambar
3 (b)). Kisaran jarak pergerakan yang bisa terukur
oleh alat ini sebesar 22 mm. Sensor LVDT dilapisi
dengan pipa PVC agar aman dan terlindungi
(Gambar 4.(a)). Untuk mengukur pergerakan atap,
alat pemantauan ditempatkan tepat di bawah atap
batuan, pergerakan pada batuan atap meng-
gerakan probe pada LVDT dan menyebabkan
perubahan tegangan (voltase) pada alat monitoring.
Perubahan voltase tersebut dapat dikonversikan
terhadap perubahan jarak yang terjadi.
Sedangkan untuk alat pemantauan potensio
digunakan 4 buah potensiometer, dimana masing-
masing potensiometer tersebut terhubung dengan
pulley. komponen-komponen tersebut ditempatkan
pada suatu box yang aman dan terlindungi
(Gambar 4(b)). Pulley terhubung dengan jangkar
menggunakan kawat baja, dimana jangkar
nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan
yang diamati pergerakannya.
sama dengan telltale. Pada telltale pembacaan
pergerakan yang terjadi dilakukan secara manual,
yaitu dengan melihat pergeseran pada pada
indikator yang terdapat pada alat pemantauan
(Mark and Iannacchione, 2001), sedangkan pada
alat monitoring ini pergerakan dapat dibaca dengan
menghubungkan alat pemantauan dengan
datalogger.
Kalibrasi Sistem dan Alat Pemantauan
Keruntuhan Atap
Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hubungan
antara perubahan tegangan (Volt) pada alat LVDT
dan perubahan t ahanan (Ohm) pada
Potensiometer terhadap perubahan jarak yang
di kondi si kan pada masi ng-masi ng al at
pemantauan. Kecenderungan dari titik-titik
pergerakan hasil kalibrasi dari masing-masing alat
pemantauan menunjukkan garis yang linier,
dengan persamaan garis linier yang digunakan
sebagai rumus untuk memperoleh data pergerakan
(a) (b)
Gambar 4. Alat pemantauan keruntuhan atap (a) LVDT (b) Potensio
Prinsip kerja alat ini sebagai alat pemantauan
pergerakan batuan adalah dengan menempatkan
4 buah jangkar yang masing-masing terhubung
dengan Potensiometer pada berbagai ketinggian
lapisan batuan atap yang akan diamati pergerakan-
nya. Pergerakan pada batuan atap memutar pulley
yang terhubung dengan Potensiometer, sehingga
terjadi perubahan tegangan yang dapat terukur.
Perubahan tegangan tersebut dikalibrasikan
dengan perubahan jarak (pergerakan) yang terjadi.
Alat yang dirancang mempunyai prinsip kerja yang
atap hasil pemantauan dalam satuan mm. Selain
itu kalibrasi juga bertujuan untuk melakukan ujicoba
alat dan sistem pemantauan, serta untuk
mengetahui performa sistem dan alat yang telah
dirancang. Dari hasil kalibrasi diperoleh grafik
hubungan antara pergerakan (mm) terhadap
perubahan tegangan (Volt) pada alat pemantauan
LVDT (Gambar 5) sedangkan grafik hubungan
antara pergerakan (mm) terhadap perubahan
tahanan (Ohm) pada alat pemantauan Potensio
dapat dilihat pada (Gambar 6).
74 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

LVDT
y = -0.0076x + 24.019
R
2
= 0.9797
-3
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
-400 0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600
Tegangan (Volt)
P
e
r
g
e
r
a
k
a
n

(
m
m
)
Gambar 5. Grafik hasil kalibrasi LVDT
Gambar 6. Grafik hasil kalibrasi potensio
Tabel 1. Persamaan regresi linier untuk masing-masing alat
pemantauan keruntuhan atap hasil kalibrasi
No Alat Monitoring Persamaan Regresi Linier R
2
1. LVDT Y = - 0.0076x + 24.019 0.9797
2. Potensiometer 1 Y = 1.102x + 0.406 0.9999
3. Potensiometer 2 Y = 1.101x + 0.437 0.9980
4. Potensiometer 3 Y = 1.100x + 0.064 0.9980
5. Potensiometer 4 Y = 1.103x + 0.073 0.9980
75 Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.
Dari grafik diperoleh persamaan garis linier dan
j uga ni l ai R
2
unt uk masi ng-masi ng al at
Pemantauan (Tabel 1).
Nilai R
2
hasil kalibrasi masing-masing alat
menunjukkan nilai yang mendekati 1, yaitu 0.9797
untuk LVDT dan 0.9980 sampai dengan 0.9999
untuk Potensiometer. Nilai tersebut menunjukkan
nilai variabel bebas pada persamaan regresi linier
yang diperoleh telah dapat menjelaskan hampir
100% dari nilai hasil pengukuran oleh setiap alat
pemantauan, yang berarti bahwa hasil pembacaan
pada kedua alat tersebut mendekati besarnya
pergerakan yang mungkin terjadi.
Ujicoba Sistem dan Alat Pemantauan
Keruntuhan Atap
Sel ai n kal i brasi , uj i coba si stem dan al at
pemantauan juga dilakukan pada tambang bawah
tanah yang merupakan kegiatan penerapan dan
running test di lapangan. Untuk mengetahui
performa dari peralatan dan sistem yang telah di
rancang, ujicoba dilakukan pada salah satu
tambang bawah tanah yang ada di Sumatera Barat.
Masing-masing alat pemantauan ditempatkan pada
lokasi yang berbeda. Alat pemantauan LVDT
ditempatkan tepat dibawah permukaan batuan
atap (Gambar 7 (a)), sedangkan alat pemantauan
Potensio ditanamkan pada batuan atap. Untuk
pemasangan alat pemantauan Potensio, terlebih
dahulu dibuat lubang bor dengan kedalaman yang
sesuai dengan kedalaman lapisan batuan atap yang
akan diukur pergerakannya (Gambar 7(b)).
Setelah semua alat pemantauan terpasang dengan
baik, alat dihubungkan dengan sistem yang telah
dirancang sebelumnya. Sistem pemantauan terdiri
dari datalogger sebagai pembaca dan penyimpan
data, setiap data yang direkam disimpan pada
memori yang terdapat pada datalogger. Semua
perangkat tersebut ditempatkan dalam pannel box
yang tertutup dan aman. Pannel box ditempatkan
dekat dengan lokasi penempatan alat pemantauan
(Gambar 8 (b)).
(a) (b)
Gambar 7. Penempatan alat pemantauan
keruntuhan atap
(a). LVDT (b) Potensio
(a) (b)
Gambar 8. (a) Pemasangan alat pemantauan (b) Komponen peralatan dalam pannel box
76 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Evaluasi Hasil Ujicoba
Running test alat di tambang bawah tanah
dilakukan secara terus menerus selama 18 hari
dengan proses perekaman data setiap 110 detik
yang disesuaikan dengan kapasitas memori dari
datalogger. Data yang terekam di konversikan
dengan mengunakan rumus regresi linier dari
masing-masing alat pemantauan, kemudian dibuat
grafik pergerakan batuan (mm) terhadap waktu.
Grafik hasil pemantauan dapat dilihat pada
Gambar 9 dan Gambar 10.

LVDT
-1.6
-1.4
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000
Waktu, detik
P
e
r
g
e
r
a
k
a
n
, 0
.0
0
1
m
m
LVDT1
LVDT2
Gambar 9. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan LVDT
Gambar 10. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan potensio
77 Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.
Semua alat pemantauan telah diujicoba dan dapat
bekerja dengan baik. Semua alat tersebut
terhubung dalam satu sistem sebagai sistem
pemantauan terpusat. Alat pemantauan dioperasikan
dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh
dari setiap alat pemantauan dapat terbaca dan
tersimpan dalam satu tempat sebagai sentral.
Dari grafik pergerakan batuan pada setiap alat
pemantauan, dapat dilihat bahwa kurva yang
diperoleh bergerigi, terutama pada kurva hasil
monitoring dengan menggunakan Potensiometer.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan
(noise) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi sekitar
dan sensitifitas dari alat pemantauan. Setiap alat
yang di uj i coba dapat mendeteksi adanya
pergerakan lapisan batuan atap pada tempat
diterapkannya alat. Hal tersebut juga menunjukkan
sistem yang diterapkan terbukti dapat digunakan
sebagai sistem pemantauan keruntuhan batuan
atap secara terpusat, pemantauan dapat dilakukan
pada beberapa tempat dengan berbagai macam
alat pemantauan dalam satu sistem.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Teknologi pemantauan keruntuhan atap batuan
pada tambang bawah tanah dengan meng-
gunakan LVDT Tranduser dan Potensiometer
dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan
yang terjadi pada atap terowongan sebagai
peralatan pemantauan keruntuhan atap batuan
(roof failure) tambang bawah tanah.
Sistem yang dirancang merupakan sistem
pemantauan terpusat, semua alat pemantauan
dioperasikan dari satu tempat begitu pula data
yang diperoleh dari setiap alat dapat terbaca
dan tersimpan dalam satu tempat sebagai
sentral.
Secara umum kajian yang telah dilakukan
menujukkan nilai yang signifikan. Dengan kata
lain alat yang telah diujicoba layak dimanfaatkan
untuk memantau pergerakan batuan atap
pada tambang bawah tanah.
4.2. Saran
Perlu dilakukan pengembangan terhadap cas-
ing dari alat yang digunakan, sehingga aman
untuk digunakan di tambang bawah tanah.
Diperlukan kajian lebih lanjut sehingga
diperoleh sistem monitoring yang dapat
digunakan sebagai sistem peringatan dini dan
data pergerakan secara real time.
DAFTAR PUSTAKA
h t t p : / / www. ms h a . g o v / s t a t s / c h a r t s /
chartshome.htm, 2008.
Anonym, 2001-2004. dataTaker DT800 Users
Manual, UM-0068-A2, Datataker Pty Ltd, Aus-
tralia.
Cheekiralla, S., 2004. Development of Wireless
Sensor Unit for Tunnel Monitoring, Massachu-
setts Institute of Technology, web.mit.edu/
sivaram/www/Sivaram-MS-thesis.pdf.
Mark C., Iannacchione A.T., 2001. Best Practice
to Mitigate,Injuries and Fatalities from Rock
Falls, Paper in the Proceedings of the 20
th
International Conference on Ground Control
in Mining 2001, NIOSH, Pittsburgh, PA,
www. cdc. gov/ ni osh/ mi ni ng/ pubs/ pdf s/
bptmi.pdf.
78 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA
PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA
Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman No.623 Bandung 40211
Tlp. 022-6030483, Faks. 022-6003373
e-mail : ika@tekmira.esdm.go.id
SARI
Karbon aktif pada industri gula umumnya digunakan sebagai bahan pemudar warna. Namun sebenarnya
karbon aktif juga dapat digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik
gula dan laboratorium analisis kimia di pabrik gula. Selama ini, karbon aktif yang digunakan dalam
proses tersebut adalah karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun pada dasarnya,
mengingat sifat karbon aktif batubara yang menyerupai sifat karbon aktif tempurung kelapa, maka
karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan. dalam pengolahan limbah cair dari pabrik gula. Limbah
cair yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang
cukup tinggi. Untuk menurunkan kandungan COD dalam limbah tersebut, telah dicoba dengan
menggunakan karbon aktif yang dibuat dari batubara. Percobaan dilakukan dengan variabel jumlah
karbon aktif dan waktu proses. Karbon aktif yang digunakan dibuat dari batubara Air Laya Sumatera
Selatan yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700 mg/g. Variabel
jumlah karbon aktif yang digunakan adalah 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 gram, sedangkan waktu proses
adalah 30, 60, dan 90 menit. Hasil percobaan menunjukkan, dengan jumlah karbon aktif 2,5 gram dan
waktu proses selama 90 menit, konsentrasi COD yang semula sebesar 2355 mg/l turun menjadi 609
mg/l. Dengan tingkat penurunan sebesar 74%, konsentrasi COD tersebut belum memenuhi persyaratan
kualitas limbah cair yang memiliki ambang batas maksimal 300 mg/l.
Kata kunci : karbon aktif, adsorpsi, pengolahan limbah, COD
ABSTRACT
Commonly, activated carbon is used as fader in sugar industries. However, it can be used as ab-
sorber of waste sugar industry. Nowadays, activated carbon used in waste processing is made from
coconut shell. Liquid waste produced from sugar industry consists of many Chemical Oxygen Demand
(COD). In order to decrease COD, it has been tried to use activated carbon from coal as absorber.
The research is carried out using the variables of activated carbon weight and the length of process
time. Coal from Air Laya, South Sumatra which is 12 mm in particle size was used as raw material of
activated carbon. The iodine number of activated carbon is in the range of 600 to 700 mg/g. The
variables of weights activated carbon are 2.5; 5.0; 7.5 and 10.0, with the 30, 60 and 90 minutes. The
result showed that the concentration COD was decrease 74% at time condition 90 minutes and 2.5
gram of activated carbon.
Keywords : activated carbon, adsorption, waste processing
79 Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan dan permasalahan
lingkungan, berbagai teknologi pengolahan limbah
baik limbah cair, padat dan gas terus dikembangkan.
Saat ini teknologi yang kian berkembang pesat
adalah pengolahan air, baik air baku maupun air
limbah. Terdapat dua cara utama pengolahan yaitu
secara kimia dan fisik. Pengolahan air secara
kimia, dilakukan dengan menambahkan bahan-
bahan kimia tertentu antara lain menggunakan
PAC (Poly Alumunium Chloride), tawas, kapur
ataupun bahan-bahan kimia lainnya, yang dapat
berfungsi sebagai koagulan, penetralisir ataupun
sebagai desinfektan. Pengolahan air secara fisik
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
kotoran-kotoran yang kasar, pemisahan lumpur
dan pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam
air yang akan diolah. Salah satu bahan yang
digunakan dalam proses pengolahan air adalah
karbon aktif. Karbon aktif umumnya digunakan
selain sebagai penjernih, juga sebagai bahan untuk
pemurnian, penghilang bau, warna dan rasa. Di
Indonesia, karbon aktif yang digunakan pada
pengolahan air umumnya karbon aktif yang dibuat
dari tempurung kelapa. Namun sebenarnya karbon
aktif dari batubara juga dapat digunakan dalam
proses tersebut.
Di Indonesia, fenomena pemanfaatan karbon aktif
dari batubara masih menjadi sesuatu yang tidak
lazim, meskipun di negara lain seperti di China jenis
karbon aktif ini sudah banyak digunakan oleh
masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut,
dilakukan penelitian pemanfaatan karbon aktif dari
batubara. Salah satu yang menjadi objek penelitian
adalah penurunan kadar COD (Chemical Oxygen
Demand) dalam limbah cair yang dihasilkan dari
salah satu pabrik gula yang ada di wilayah provinsi
Banten. Tujuan penelitian adalah untuk mening-
katkan kualitas air yang dikeluarkan dari limbah
pabrik gula dan mengurangi ketergantungan karbon
aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Hasil
penelitian merupakan acuan untuk pemanfaatan
karbon aktif batubara pada industri gula.
2. TINJAUAN PUSTAKA
COD adalah jumlah oksigen (mg O
2
) yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik
dan anorganik yang ada dalam 1 liter air (Nazir,
2000). COD merupakan salah satu parameter
indikator pencemar di dalam air, yang disebabkan
oleh limbah organik. Dalam proses pembuatan
gula, bahan baku tebu merupakan bahan yang
terdiri atas komposisi kimia organik. Limbah yang
dihasilkan adalah limbah cair yang berasal dari
proses pengolahan gula dan laboratorium pabrik
(Santoso, 2008). Dampak konsentrasi COD tinggi
menyebabkan kandungan oksigen yang terlarut
di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama
sekali. Akibatnya oksigen yang menjadi sumber
kehidupan mahluk air (hewan dan tumbuhan) tidak
dapat terpenuhi, sehingga mahluk air menjadi mati.
Limbah cair yang dikeluarkan Instalasi Penjernihan
Air (IPA) di daerah Karangpilang, mempunyai
konsentrasi COD 1000 mg/gr dapat meningkatkan
jumlah bakteri E-coli empat kali lipat (PERSI,
2001). Hal ini menimbulkan berbagai penyakit bagi
kehidupan manusia.
2.1. Teknologi Pengolahan Air
Salah satu cara pengolahan air yang saat ini
sedang berkembang adalah melalui mekanisme
adsorpsi . Adsorpsi adal ah suat u proses
pengumpulan zat terlarut pada suatu permukaan
media akibat adanya perbedaan muatan diantara
kedua zat, baik cairan dengan cairan, cairan
dengan gas, atau cairan dengan padatan, dalam
waktu tertentu (Cahyana, 2009). Proses adsorpsi
terbagi dalam tiga jenis. Pertama, adsorpsi kimia
yaitu terjadi karena ikatan kimia antara molekul
zat terlarut (adsorbat) dengan molekul adsorban.
Adsorpsi jenis ini eksoterm (mengeluarkan panas)
dan tidak dapat berbalik kembali (irreversible).
Kedua, adsorpsi fisika, terjadi karena gaya tarik
molekul oleh gaya Van Der Waals dan yang ketiga
pertukaran ion, terjadi karena gaya elektrostatis.
Ketiga mekanisme adsorpsi tersebut terdiri atas
tiga tahap yaitu ; (1) makrotransport ; perpindahan
zat pencemar (adsorbat) di dalam air menuju
permukaan adsorban, (2) mikrotransport; perpin-
dahan adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban,
(3) sorpsi ; pelekatan zat adsorbat ke dinding pori-
pori atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.
2.2. Karbon Aktif dari Batubara
Salah satu adsorban yang biasa digunakan dalam
pengolahan air (termasuk limbah) adalah karbon
aktif. Karbon aktif dengan luas permukaan yang
semakin luas menunjukkan semakin tinggi daya
adsorpsinya. Proses untuk memperoleh daya
adsorpsi tinggi dilakukan melalui proses aktivasi
terhadap arang. Umumnya proses aktivasi
dilakukan dengan menggunakan uap air, karena
selain murah juga relatif mudah. Proses aktivasi
akan memperbesar luas permukaan dan volume
80 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
pori-pori bagian dalam karbon aktif. Karbon aktif
dari tempurung kelapa umumnya memiliki luas
permukaan seluas 500-1500 m
2
/gr, sehingga
efektif menyerap partikel-partikel yang sangat
halus (O-Fish, 2007).
Luas permukaan karbon aktif dari batubara dapat
mencapai 500-1400 m
2
/gr. Penentuan luas
permukaan menggunakan metode BET (Brunauer-
Emmnett-Teller). Teknik ini meliputi pengukuran
volume gas nitrogen yang terserap. Dengan
perhitungan persamaan BET, struktur dan
distribusi pori-pori karbon aktif dapat diketahui.
Struktur dan distribusi pori-pori merupakan faktor
utama dalam menentukan daya serap karbon aktif
dibandingkan dengan luas permukaan (Harald,
1975). Struktur pori dari suatu adsorban
diklasifikasikan menjadi transportpori yang
memiliki diameter sekitar 500 A, mesopori dengan
diameter antara 20 dan 500 A, mikropori dengan
diameter antara 8 dan 20 A, dan pori-pori dengan
di amet er kurang dari 8 A yang di sebut
submikropori (Pruss, 1972). Struktur, distribusi
dan ukuran pori-pori karbon aktif menjadi faktor
yang menentukan kemampuan adsorban dalam
mengadsorpsi berbagai jenis adsobat. Sedangkan,
efektifitas adsorpsi sangat tergantung pada jenis
bahan baku adsorban, jenis zat adsorbat dan
temperatur pada saat proses berlangsung.
Bentuk karbon aktif dapat diklasifikasikan menjadi
dua golongan yaitu bentuk granular dan powder
(Activated Carbon, 2007). Kedua bentuk ini dapat
digunakan dalam proses pemurnian, pengolahan
dan penjernihan air. Karbon aktif granular memiliki
persentase makropori dan transportpori yang lebih
besar sehingga memungkinkan molekul-molekul
besar terserap. Karbon aktif granular dibuat dalam
ukuran yang berbeda tergantung pada aplikasinya.
Karbon aktif granular biasa digunakan untuk
menghilangkan senyawa organik yang menimbulkan
bau, rasa, atau warna yang tidak diinginkan pada
fasa cair. Sedangkan penggunaan karbon aktif
powder pada fasa cair harus selalu diaduk agar
homogenitas tetap terjaga dan tidak terjadi
sedimentasi suspensi, atau bisa juga dilakukan
dengan penyaringan. Karbon aktif bentuk powder
lebih tepat digunakan untuk fasa gas karena
memiliki mikropori yang lebih besar sehingga
mampu menyerap molekul-molekul kecil.
3. METODOLOGI
Alat
Peralatan laboratorium seperti ; gelas piala,
corong, pengaduk gelas, botol plastik, dan
timbangan analitik
Bahan
Conto limbah gula (cair)
Karbon aktif berukuran 12 mesh dengan
bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700
mg/gr
Cara kerja
Karbon aktif berukuran 12 mm ditimbang masing-
masing 2,5, 5,0, 7,5 dan 10 gram. Selanjutnya,
karbon aktif ditambahkan ke dalam 200 ml conto
limbah, Campuran tersebut kemudian diaduk
setiap 10 menit selama masing-masing 30, 60 dan
90 menit. Setelah selesai proses pencampuran,
kemudian dilakukan penyaringan, filtrat ditampung
di dalam botol untuk selanjutnya dilakukan
analsisis COD. Metoda analisis COD mengacu
pada SNI 06-6989.15-2004.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil percobaan pengolahan limbah cair yang dike-
luarkan dari pabrik gula tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis COD limbah cair pabrik gula
Konsentrasi COD
2355
sebelum proses (mg/l)
Konsentrasi COD
Waktu proses
Berat karbon aktif
setelah proses (mg/l)
(menit)
2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr 10,0 gr
30 667 715 925 949
60 661 799 719 823
90 609 975 888 766
81 Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum
Konsentrasi COD di dalam limbah gula semula
sebesar 2355 mg/gr. Setelah ditambah karbon
aktif, nilai COD menjadi turun. Konsentrasi COD
yang terendah adalah 609 mg/gr, diperoleh dengan
penambahan berat karbon aktif 2,5 gram selama
90 menit. Bila dihitung berdasarkan persentase
penurunan tingkat adsorpsi, dapat digambarkan
seperti pada Gambar 1.
1.000 mg/gr. Teknik pengolahan adalah dengan
cara mengalirkan debit limbah melalui suatu kolom
yang berisi karbon aktif. Waktu kontak relatif cepat,
namun karena kualitas karbon aktif tinggi, maka
penurunan COD sangat signifikan. Selain kualitas
karbon aktif, faktor yang mempengaruhi efektifitas
adsorpsi adalah jenis bahan baku karbon aktif,
jenis adsorbat dan cara pengolahan. Faktor-faktor
ini dapat mempengaruhi persentase penurunan
adsorpsi karbon aktif..
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasi l percobaan, di perol eh
kesimpulan sebagai berikut:
Karbon aktif yang berukuran 12 mm dengan
bilangan yodium antara 600 dan 700 mg/gr
dapat menurunkan konsentrasi COD limbah
gula dari 2355 mg/gr menjadi 609 mg/gr. Hasil
tersebut diperoleh dengan penambahan karbon
aktif sebesar 2,5 gram selama 90 menit.
Konsentrasi COD 609 mg/gr belum memenuhi
persyaratan kual i tas l i mbah cai r yang
mempunyai nilai ambang batas 300 mg/gr.
6. SARAN
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu
meningkatkan kualitas karbon aktif dari bilangan
yodium 600 dan 700 mg/gr menjadi 1000 mg/gr.
Selain itu, perlu pengaturan ukuran butir dan cara
pengolahan limbah sehingga diperoleh hasil yang
memenuhi standar kualitas limbah cair.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyana, Gede, H. , 2009, ht t p: / /
Gedehace.blogspot.com/2009/03/adsorpsi-
karbon-akti f.html , Maj al ah Ai r Mi num,
Februari 2009
Harald, 1975, Conversion of Coal and Gas Pro-
duced from Coal Into Fuels, Chemicals, and
Other Products, Chapter 30, 30.4.6.3.
Nazir, Ernawita, 2000. Teknik Sampling dan
Analisis Air Permukaan.
O-Fish, 2007, Filter Kimia, Media Informasi Ikan
Hias dan Tanaman, http://o-fish.com.
Gambar 1. Persentase penurunan adsorpsi
Dari Gambar 1 terlihat bahwa persentase
penurunan adsorpsi terendah terjadi pada
penambahan karbon aktif sebesar 5,0 gram
selama 90 menit, dengan tingkat penurunan
mencapai 59%. Begitu pula dengan penambahan
karbon aktif 10 gram, tingkat penurunan mencapai
60% selama 30 menit. Persentase penurunan
adsorpsi terbesar, diperoleh dengan penambahan
karbon aktif 2,5 gram selama waktu 30, 60 dan 90
menit. Penambahan berat karbon aktif lebih besar
dari 2,5 gram, tingkat penurunan adsorpsi relatif
rendah. Berdasarkan data pada Tabel 1, semakin
besar jumlah karbon aktif yang ditambahkan, tidak
menunjukkan semakin turunnya konsentrasi COD.
Tetapi, dengan jumlah karbon aktif rendah,
menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang
relatif stabil.
Mengacu pada baku mutu limbah cair yang
mempunyai nilai ambang batas COD 300 mg/gr,
konsentrasi COD sebesar 609 mg/l belum
memenuhi persyaratan mutu limbah cair. Salah
satu faktor yang menyebabkan rendahnya
efektifitas adsorpsi adalah kualitas karbon aktif.
Pada pengolahan limbah cair di salah satu pabrik
gula, karbon aktif yang digunakan terbuat dari
tempurung kelapa mempunyai bilangan yodium
82 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PERSI, 2001, Pusat Data dan Informasi, http://
www.pdpersi.co.id, Rabu 22 Agustus
Pruss, W., 1972, Determination of Pore Size and
Pore Di st ri but i on i n Coal and Coke,
Brennestoff-Chemical, 42, 157-160
Santoso, Eddy, B., 2009, Limbah Pabrik Gula:
Penanganan, Pencegahan Dan
Pemanfaatannya, Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia, Pasuruan, Indonesia
83 Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.
KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BAKTERISIDA
FENOL UNTUK PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG
Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : sruntung@tekmira.esdm.go.id, rosniasruntung@tekmira.esdm.go.id
SARI
Peningkatan pertambangan batubara, bijih emas dan tembaga seperti di Kalimantan, Sumatera dan
Papua menyebabkan munculnya fenomena air asam tambang (AAT). AAT dapat terjadi apabila min-
eral sulfida seperti pirit terpapar ke udara dan bereaksi dengan udara dan air membentuk asam sulfat.
Kehadiran jasad renik Thiobacillus ferroksidans juga dapat mempercepat terjadinya AAT. Asam sulfat
ini akan melarutkan logam sehingga dapat mencemari badan perairan sekitarnya. Secara umum,
pengelolaan lingkungan yang umum diterapkan untuk penanggulangan AAT antara lain adalah
netralisasi,pembentukan lahan basah dan pengkapsulan. Proses netralisasi dapat membentuk logam
hidroksida yang dapat mengendap berupa lumpur sehingga diperlukan penanganan lebih lanjut. Salah
satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pencegahan dan
pengontrolan pembentukkan AAT dengan mengurangi aktivitas bakteri.
Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penggunaan bakterisida untuk menanganani
AAT. Bakterisida yang digunakan adalah fenol dengan dosis 5 mg/g dan sebagai pembanding digunakan
gamping dengan dosis 10 mg/g. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis batuan penutup yang berwarna
abu-abu dan coklat berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan.
Kedua jenis batuan tersebut dipreparasi menjadi ukuran 100 mesh, -10+35 mm dan -1+
1
/2 cm.
Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor, yaitu jenis batuan,
ukuran dan jenis bakterisida selama 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan, penambahan fenol
dan gamping (CaCO3) dapat meningkatkan pH lindian berturut-turut menjadi 6,1 dan 10,6. Fenol mampu
mereduksi asam 6,67% -51,67% dan kemampuan kapur mereduksi asam mencapai 48-15,% - 73,15%.
Dari hasil tersebut, terlihat kemampuan fenol dalam mereduksi asam dari batuan penutup lebih kecil
dari gamping.
Kata kunci: lingkungan tambang, air asam tambang, polusi, lindian, bakterisida, fenol, netralisasi,
pengaruh bakteri
84 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Pembent ukkan ai r asam t ambang (AAT)
merupakan masalah utama dalam pertambangan
batubara dan mineral. AAT dapat terbentuk apabila
ada mineral pirit yang terpapar sehingga teroksidasi
dan selanjutnya air membentuk asam sulat yang
dapat menurunkan pH air dan melarutkan logam.
Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas
badan perairan karena sungai terkontaminasi oleh
keasaman dan logam-logam terlarut dan juga
menyebabkan reklamasi daerah tambang menjadi
lebih mahal. Oleh karena itu kehadiran AAT di
lingkungan sangat tidak diharapkan.
Beberapa perusahaan pertambangan mineral
seperti PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Freeport
Indonesia dan PT. Newmont Minahasa mengalami
masalah AAT ini. Hal yang sama juga dialami oleh
perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan
Timur seperti PT. Berau Coal dan PT. Kaltim Prima
Coal. Pada umumnya perusahan-perusahan
tersebut telah menangani masalah tersebut
dengan berbagai cara antara lain netralisasi
dengan CaCO
3
(kapur), kapur padam (Ca(OH)
2
) dan
kapur tohor (CaO), penutupan dengan air, peng-
kapsulan/penghalang fisik dan pemanfaatan rawa/
rawa buatan (wetland). Biaya penanggulangan AAT
pada umumnya mahal, namun apabila pembentuk-
kan asam dapat dicegah akan sangat menguntung-
kan karena dapat menghemat biaya pengelolaan.
Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan
adalah penggunaan fenol. Fenol atau asam
karbolik dengan rumus kimia C
5
H
6
OH adalah
bakterisida. Fenol, salah satu baktersida umum
digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik. Fenol
ini ini dapat menghambat pertumbuhan jasad renik
sampai mematikannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara telah mengadakan penelitian laboratorium
pencegahan AAT dengan menggunakan fenol dan
gamping (CaCO
3
). Dalam penelitian, contoh
batuan yang digunakan adalah batuan penutup,
berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan
Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Fenol
dibeli dari toko kimia dan gamping diperoleh dari
tambang rakyat di daerah Citatah.
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Bahan dan Peralatan
Contoh dalam penelitian ini adalah batuan penutup,
berasal dari KUD Tambang Emas Harapan,
Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung
Selatan. Berdasarkan warnanya, batuan penutup
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu berwarna
abu ( BP abu) dan coklat (BP coklat). Kedua contoh
ABSTRACT
The increases of coal, gold and copper ore from mine activities in Kalimantan, Sumatera and Papua
lead to the occurrence of acid mine drainage (AMD). Acid mine drainage can occur if sulphide mineral
such pyrite was exposed to the air and it will react with oxygen water to form sulphuric acid. The
presence of Thiobacillus ferroksidans can also accelerate the formation of AMD. The acid can dis-
solve metals and pollute the water body surrounding the area. Generally, environmental management
such as neutralization, in capsulation and wetland are common to handle the AMD in Indonesia.
Neutralization process can form metal hydroxide and it will precipitate as sludge which need to be
optimally managed.
Regarding to the problem, a laboratory research on the use of bactericide to handle the AMD was
carried out. Phenol as bactericide with dose 50mg/g was used while limestone with dose 100mg/g also
used as a comparison. Two types of overburden which colour were gray and chocolate from KUD
Tambang Harapan, Kedongdong Subdistric, South Lampung were used in this experiment. The over-
burden was prepared to be 100 mesh, -10+35 mm dan -1+
1
/2 cm. Design of Group Random was used
with 3 factors, namely type of overburden, size and bactericide. The result showed that the phenol and
lime stone can increase the pH of leached respectively 6,1 and 10,6. Phenol and limestone respec-
tively could reduce acid 6,67% -51,67% and limestone 48-15,% - 73,15%. Based on the result, the
capacity of phenol to reduce acidity of overburden is much less than limestone.
Keywords : mine environment , acid mine drainage, pollution, leached, bactericide, phenol, limestone,
neutralization, microbial influence
85 Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.
batuan penutup tersebut dipreparasi menjadi
beberapa ukuran, yaitu 100 #, (-10 + 35 mm) dan
(-1 + cm).
Kolom yang digunakan dalam pelindian adalah
botol plastik + 250 ml. Bagian bawah botol tersebut
diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan air
pelindian.
Bakterisida yang digunakan adalah fenol yang
dibeli dari toko bahan kimia dan sebagai
pembanding adalah kapur gamping (CaCO3) yang
berasal dari tambang rakyat Desa Citatah. Air
suling berfungsi sebagai media pelindi.
2.1.2 Peralatan
Kolom pelindian adalah botol plastik + 250 ml yang
bagian bawahnya diberi lubang kapiler untuk
mengeluarkan lindian. Lindiannya ditampung dalam
gelas plastik Setiap kolom pelindian diisi dengan
contoh batuan yang disusun secara berlapis dengan
fenol dan gamping. Untuk menjaga kelembaban,
botol-botol tersebut disimpan dalam akuarium
tertutup dan dijaga kelembapannya sekitar 90%.
Peralatan lain yang digunakan adalah pH meter
dan alat gelas.
2.2. Metode
Uji karakterisasi contoh batuan dilakukan untuk
mengetahui kandungan logamnya (Cu, Fe, Zn, Pb,
Mg, Mn dan Ca) dalam bentuk oksida dan S
(belerang) terhadap kedua jenis batuan, yaitu:
batuan penutup berwarna abu (BP abu) dan coklat
(BP coklat).
Selanjutnya, terhadap kedua contoh batuan
tersebut juga dilakukan pengujian air asam
tambang dengan metode Sobek (Sobek, 1978).
Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium
Lingkungan Puslitbang tekMIRA.
Percobaan untuk mengetahui interaksi dari jenis
batuan dan ukurannya, fenol dan kapur yang
diujikan sebagai bahan pencegahan pembentukkan
asam digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 3 faktor. Faktor pertama (A) adalah ukuran
batuan dengan taraf, 100 mesh (a1), -10+35mm
(a2) dan -1+1/2cm (a3). Faktor kedua (B) adalah
jenis batuan dengan dua taraf, yaitu BP abu (b1)
dan BP coklat (b2). Faktor ketiga (c) adalah jenis
bahan kimia dengan dua taraf, yaitu kontrol (c0),
fenol (c1) dan gamping (c2). Dari faktor perlakuan
tersebut diperoleh 24 kombinasi perlakuan dan
setiap kombinasi perlakuan diulang dua kali.
Analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan pada taraf nyata 5% jika terdapat
perbedaan antar perlakuan.
Ke dalam setiap kolom pelindian dimasukkan
secara berturut-turut 100 gr contoh batuan,
kemudian dimasukkan ke dalam masing masing
kolom secara berlapis fenol dan kapur dengan
dosis masing-masing 5 mg/g dan 10 mg/g kecuali
kontrol. Setiap hari masing masing kolom pelindian
ditambahkan 10 ml air suling sebagai media
pelindian. Pengukuran pH lindian dilakukan setiap
minggu. Proses tersebut dilakukan dalam
akuarium tertutup pada suhu kamar selama 12
minggu dengan kelembaban berkisar 90 %.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Analisa kadar logam dari contoh
dengan AAS
Hasil analisa/penentuan kadar logam dan S dalam
contoh BP abu dan BP coklat adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Hasil analisis kandungan logam dan sulfur dalam contoh batuan
Contoh Batuan Parameter (%)
Cu Fe Zn Pb Mn Mg Ca S
BP coklat 0.01 8.39 0.04 0.06 0.05 0.19 0.12 1,90
BP abu 0.10 31.82 0.03 0.22 0.01 0.04 0.11 2,29
Sumber : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung
Keterangan :
P. coklat = batuan berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan
P. abu = lapisan batu berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, lampung Selatan
86 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Hasil analisis menunjukkan, logam yang dominan
dalam kedua jenis batuan penutup tersebut adalah
besi dalam bentuk Fe2O3 dengan kisaran antara
8,39 - 31,82%, sedangkan kandungan logam
l ai nnya rendah. Kedua j eni s batuan j uga
mengandung sulfur dengan kisaran 1,90% -
2,29%. Mengacu kepada hasil analisis dari Uji
Identifikasi Pembentukan Air Asam Tambang pada
Tabel 2, diduga bahwa kedua jenis batuan tersebut
berpotensi menghasilkan air asam tambang.
bakteri. Buck (2001), menyatakan senyawa fenol
dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan cara
merusak di ndi ng sel nya dan j uga dapat
mengendapkan proteinnya.
Proses penetralan dengan gamping terlihat bahwa
nilai pH lindian tidak ditentukan baik oleh ukuran
contoh maupun oleh perhitungan asam basa. Hal
ini dapat dilihat dari kisaran pHnya, yaitu 10,1 -
10,8 atau rata-rata 10,6. Dari uraian tersebut dapat
Tabel 2. Hasil analisis uji pembentukan air asam tambang
Kode Total
MPA ANC NAPP NAG NAG
pH
kg kg kg 4,5kg 7kg pH 1:2
Sampel Sulfur (%S)
H2SO4/ton H2SO4/ton H2SO4/ton H2SO4/ton H2SO4/ton
NAG
BP abu 2,29 70,13 0 84,56 104,65 194,39 2,88 2,37
BP coklat 1,90 58,19 0 63,59 52,69 74,09 3,42 3,15
Sumber : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung
Keterangan :
BP abu = batuan penutup berwarna abu
BP coklat = batuan penutup berwarna coklat
Dari Tabel 2, terlihat derajat keasaman pH (1:2)
contoh yang dianalisis berkisar dari 2,37-3,15
berarti bahwa contoh-contoh tersebut bersifat
asam. Kadar belerang (S) total kedua contoh
berkisar dari 1,90% sampai dengan 2,29% dan
nilai tersebut berhubungan langsung dengan nilai
MPA. Hasil perhitungan menunjukkan nilai MPA
kedua contoh berkisar antara 58,19-70,13 kg
H2SO4/ton. Kedua contoh batuan menunjukkan
nilai ANC = 0 berarti contoh tersebut tidak mampu
untuk menetralisasi asam. Hal ini mungkin
disebabkan oleh kandungan kalsium (Ca) kecil,
yaitu berkisar 0,11-0,12 %. Kedua contoh nilai
NAPP-nya positif, yaitu 63,59-84,56 kg H2SO4/
ton. Hal ini menunjukkan bahwa kedua contoh
tersebut dapat membentuk asam yang reaksi
pembentukannya secara umum sebagai berikut:
MeS2 +7/2O2 + H2O Me2+ 2SO4
2-
+2H
+

(logam sulfida)
Dalam proses pembentukan AAT tersebut, peran
bakteri adalah mempercepat reaksi.
Dharmawan, P, 1996 mengklasifikasikan batuan
pembentuk asam menjadi 4 jenis seperti tertera
pada Tabel 3. Berdasarkan pengklasifikasian
tersebut, kedua contoh batuan tersebut dapat
digolongkan tipe 4 atau potensi pembentuk asam
kapasitas tinggi sehingga diperlukan penanganan
agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Salah
satu penanganan adalah penggunaan fenol yang
merupakan bakterisida dan sebagai pembanding
digunakan gamping (CaCO3).
Hasil pengukuran pH lindian selama 12 minggu
dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 1.
Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat pada bahwa
blanko (kontrol) air lindian bersifat asam pH dengan
berkisar 2,90-5,6 atau rata-rata 3,7. pH tertinggi
5,6 hanya ditemukan pada batuan BP coklat
dengan ukuran 100 mesh. Nilai pH lindian tertinggi
ditunjukkan oleh penambahan gamping, yaitu rata-
rata 10,6.
Penggunaan fenol dalam percobaan ini ternyata
mampu meningkatkan air lindian 4,5 - 7,2 atau
rata-rata 6,1. Nilai pH lindian tersebut lebih
ditentukan oleh kemampuan contoh dalam
pembentukan asam maksimum dan potensi
batuan dalam menetralkan dan bukan ukuran
contoh. Dengan demikian pH lindian BP abu lebih
rendah (4,5- 6,0) dari BP coklat (5,2-7,2).
Peni ngkatan pH l i ndi an pada percobaan
penambahan fenol mungkin disebabkan oleh
kemampuan fenol menghambat pertumbuhan
87 Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.
dilihat bahwa dosis gamping berpengaruh terhadap
pH lindian. Pada penetralan ini terjadi reaksi
sebagai berikut:
CaCO
3
+ H
2
SO
4
CaSO
4
+ H2CO
3
3 CaCO
3
+ Fe
2
(SO
4
)
3
+ 6 H
2
O 2 CaSO
4
+2
Fe(OH)
2
+ 3 H
2
CO
3
Kapasitas reduksi asam untuk masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan nilai pH lindian rata-rata dari
penggunaan fenol berkisar antara 4,5 7,2 dan
gamping antara 10,1 10,8. Nilai pH lindian dari
Tabel 3. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam
No. Golongan Jenis Batuan Keterangan
1. Tipe 1 Bukan pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4
atau nilai NAPP negatif
2. Tipe 2 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 ,nilai NAG pada pH
kapasitas rendah 4,5 lebih kecil dari 5 kg H2SO4 per ton
NAPP 0 10 kg H2SO4 per ton
3. Tipe 3 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4,nilai NAG pada pH
kapasitas tinggi 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H2SO4
per ton
NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H2SO4
per ton
4. Tipe 4 Pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 , pH batuan (1 : 2)
lebih kecil dari 4 nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar
atau sama dengan 5 kg H2SO4 per ton
NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H2SO4
per ton
Sumber: Dharmawan, Parliyanto , 1996
Tabel 4. Rata-rata perubahan pH lindian dengan penambahan fenol dan kapur
No Perlakuan pH No Perlakuan pH
1 a1b1c0 2.9 10 a2b2c0 3.6
2 a1b1c1 5.2 11 a2b2c1 7,2
3 a1b1c2 10,8 12 a2b2c2 10,7
4 a1b2c0 5.6 13 a3b1c0 2.9
5 a1b2c1 7 14 a3b1c1 6
6 a1b2c2 10,8 15 a3b1c2 10,6
7 a2b1c0 4.2 16 a3b2c0 3.4
8 a2b1c1 4,5 17 a3b2c1 6.9
9 a2b1c2 10,1 18 a3b2c2 10,8
Keterangan:
C0=control; C1 = fenol; C2 = gamping
b = jenis batu; b1 = BP abu; b-2 = BPcoklat
a1, a2, a3 = ukuran batu
Gambar 1. Perubahan pH lindian dari
batuan dengan penambahan
kapur dan fenol
88 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 5. Kapasitas reduksi asam dari fenol dan gamping terhadap blanko
Jenis Perlakuan Rata-rata Selisih thd Reduksi asam Kapasitas reduksi
Penanganan pH blanko (%) (per mg)
Blanko a1b1c0 2,9 0 - -
a1b2c0 5,6 0 - -
a2b1c0 4,2 0 - -
a2b2c0 3,6 0 - -
a3b1c0 2,9 0 - -
a3b2c0 3,4 0 - -
a1b1c1 5,2 2.3 44.23 2.3
a1b2c1 7,0 1.4 20.00 1.4
Fenol a2b1c1 7,2 3.6 50.00 3.6
a2b2c1 4,5 0.3 6.67 0.3
a3b1c1 6,9 3.5 50.72 3.5
a3b2c1 6,0 3.1 51.67 3.1
a1b1c2 10,8 7.9 73.15 7.9
a1b2c2 10,8 5.2 48.15 5.2
Gamping a2b1c2 10,7 7.1 66.36 7.1
a2b2c2 10,1 5.9 58.42 5.9
a3b1c2 10,6 7.7 72.64 7.7
a3b2c2 10,8 7.4 68.52 7.4
fenol sudah memenuhi syarat sebagai air limbah
dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan
Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9) dan dapat
menetralkan asam berkisar antara 6,67% -51,67%.
Penetralan dengan gamping dapat mereduksi
asam 48-15,% - 73,15%, jadi lebih tinggi dari fenol.
Namun apabila dilihat nilai pH lindian dari
penggunaan gamping telah melampau nilai yang
ditentukan oleh Kepmen tersebut, sehingga perlu
dilakukan penurunan dosis gamping agar hasil
lindian dapat memenuhi syarat. Penurunan dosis
dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan
menurunkan dosis gamping dan menggunakan
asam seperti H2SO4 atau HCl sehingga diperoleh
nilai pH air limbah yang sesuai dengan Kepmen
LH No. 202/2004 (pH 6-9). Penurunan dosis
gampi ng l ebi h di anj urkan karena dapat
menghindari adanya biaya tambahan pengelolaan
air limbah. Penelitian Siwik (1989) menunjukkan
penambahan Ca(OH)2 (kapur padam) dengan
dosis 5000 mg/kg selama 50 minggu dapat
mereduksi asam sampai 80%.
Ukuran bijih berpengaruh terhadap nilai pH dan
reduksi asam baik untuk penggunaan fenol
maupun gamping. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa
ukuran batuan berpengaruh terhadap perlakuan.
Nilai pH dan reduksi asam tertinggi terjadi pada
batuan ukuran -1+1/2cm dan terkecil pada ukuran
batuan 100 mesh baik untuk perlakuan dengan
fenol maupun batuan. Batuan dengan potensi
pembentuk kapasitas asam tinggi (BP abu)
kemampuannya dalam mereduksi asam lebih
rendah dari BP coklat. Hasil lindian (pH) dan
reduksi asam dari BP abu lebih rendah dari BP
coklat untuk semua jenis ukuran batu. Dari hasil
percobaan terlihat kemampuan fenol dalm
mereduksi asam lebih kecil dari gamping.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian menujukkan berbagai hal sebagai
berikut:
Fenol dapat digunakan dalam pencegahan air
asam tambang dan dapat meningkatkan nilai
pH lindian dengan kisaran 4,5 7,2. Nilai
tersebut memenuhi syarat sebagai air limbah
dari kegiatan penambangan bijh emas
berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004
Kapasitas reduksi asam untuk fenol dengan
dosis 5 mg/g berkisar antara 6,67% -51,67%.
Kapasitas reduksi asam untuk gamping
dengan dosis 10 mg/g berkisar 48-15,% -
89 Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.
73,15%, dan pH berkisar 10,1 10,8. Karena
nilai ini sudah melampaui baku mutu air limbah
dari kegiatan penambangan bijh emas
berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004
sehingga diperlukan penurunan dosis gamping.
Ukuran batuan dan jenis batuan berpengaruh
terhadap hasil lindian.
Kapasitas fenol dalam mereduksi asam lebih
kecil dari gamping.
5.2. Saran
Penelitian perlu dilanjutkan dengan pemberian
bakterisida yang lain seperti surfaktan sehingga
dapat ditentukan bakterisida yang lebih beperan
dalam pencegahan air asam tambang. Untuk melihat
pengaruh ukuran dan jenis batuan terhadap kelarutan
logam-logam maka perlu dilakukan pengukuran
konsentrasi logam-logam yang terekstrasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Sahroj i , Kepal a KUD Tambang Harapan,
Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung
Selatan yang telah mengirim contoh batuan
sehinnga penelitian ini dapat berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Buck, M. Kirsten, 2001, The effects of Germicides
on Mi croorgani sm, ht t p: / /
www.infectioncontroltoday.com/articles/
191clean.html diakses tanggal 15 Juni 2009
Dharmawan Parliyanto, 1996, Identifikasi Potensi
Air Asam Tambang di Daerah Tambang
Batubara PT. Arutmin Indonesia, Paper
disajikan pada Seminar Air Asam Tambang
di Indonesia, Aula Barat ITB 1-2 Juli 1996
Siwik R, S. Payant and K. Wheeland, 1989, Con-
trol of acid generation from reactive waste rock
with the use of chemicals, Tailings and Efflu-
ent Management. Chalkey, M. E, et al (eds.),
Pergamon Press, New York.
Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and
Smith, R.M. 1978. Field and Laboratory Meth-
ods Applicable to Overburdens and Minesoils.
U.S. Environmental Protection Agency, Cin-
cinnati, Ohio, 45268. EPA-600/2-78-054, 47-
50.
90 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGARUH TITIK LELEH ABU TERHADAP
PENGENDAPANNYA PADA PEMBAKARAN
BATUBARA DENGAN PEMBAKAR
SIKLON DI BEBERAPA FASILITAS INDUSTRI
Sumaryono
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung
Telp./Fax : 022 6038027, 081321237913
e-mail : soemaryono@tekmira.esdm.go.id
S A R I
Batubara dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang kotor karena sulit untuk mendapatkan batubara
yang murni, bersih dari kotoran. Khususnya pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi proses
pembakaran seperti kandungan abu dengan berbagai karakteristiknya yang selain mempengaruhi
proses pembakaran juga dapat mengganggu produk dan fasilitas industri yang dilayani. Untuk
pengoperasian pembakar siklon, kadar abu yang tinggi dengan titik leleh yang bervariasi dapat
mempengaruhi kinerja alat. Berdasarkan titik lelehnya abu dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan
a bertitik leleh tinggi, golongan b bertitik leleh sedang atau mendekati suhu operasional pembakar
siklon 1200C dan golongan c bertitik leleh rendah, jauh dibawah 1200C.
Tulisan ini menguraikan proses penanganan abu untuk ketiga jenis abu tersebut, dalam pengoperasian
pembakar siklon untuk ketel uap, pemanas oli dan pengering berputar. Diuraikan juga proses
pengendapan partikel abu dari ketiga jenis abu dalam fasilitas industri tersebut dan lokasi
pengendapannya. Dari pengamatan tersebut, didapat abu golongan a lebih dari 90% tertiup keluar
siklon, abu golongan b lebih dari 50% menempel sebagai kerak di dalam siklon dan abu golongan c
lebih dari 90% meleleh di dalam siklon kemudian mengalir ke dalam kotak abu.
Kata kunci : pembakar siklon, titik leleh abu, pengendapan
ABSTRACT
Coal may be viewed as a dirty fuel, since it is difficult to obtain pure coal, free from impurities.
Particularly the impurities which may affect the combustion process such as the ash content with its
various characteristics, which either affecting the combustion process or may affect the product and
the industrial facilities served. For cyclone combustor operation, high ash content with various melting
points may affect the combustor performance.
Based on its melting point, ash may be divided into three groups, (a) group has high melting point, (b)
group has medium melting point or close to the operational temperature of the cyclone combustor at
1200C, and (c) group has low melting point, far below 1200C.
This paper describes the handling process of those ash groups, in the operation of the cyclone
combustor in steam boiler, oil heater and rotary dryer. The deposition processes of the ash particles
in those industrial facilities and their deposition locations are also described. From this observation,
91 Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono
it was found that (a) group ash, more than 90% was blown out of the cyclone, (b) group ash more than
50% adhered as slag in the cyclone and (c) group ash more than 90% melted in the cyclone and then
flowed into the ash box.
Keywords: cyclone combustor, ash melting point, deposition
1. LATAR BELAKANG
Pembakar siklon dengan bahan bakar batubara
halus berukuran -30 mesh telah digunakan di
industri untuk berbagai jenis fasilitas seperti ketel
uap, pemanas oli, pengering berputar, dll sejak
tahun 2005. Pembakar siklon digunakan untuk
menggantikan pembakar BBM di berbagai fasilitas
industri tersebut (Sumaryono, 2009). Tetapi sejak
tahun 2008 mulai terjadi kelangkaan batubara
standar karena naiknya harga ekspor batubara
sehingga pasokan batubara standar untuk dalam
negeri terganggu dan di pasaran dalam negeri
hanya tersedia batubara dengan spesifikasi yang
berubah-ubah dalam jumlah-jumlah kecil. Keadaan
ini mengakibatkan operasional pembakar siklon
sering terganggu karena mutu batubara yang
berubah-ubah dan cenderung semakin turun
mutunya.
Parameter titik leleh abu akan dibahas dalam
tulisan ini karena merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam operasional pembakar siklon.
Masalah titik leleh abu juga berpengaruh pada
operasional teknik pembakaran batubara lainnya.
Pada tekni k pembakaran dengan unggun
terfluidakan (Basuki, 2003), jika digunakan
batubara dengan titik leleh mendekati suhu
pembakaran atau dibawahnya mengakibatkan
unggun mengeras setelah dingin sehingga harus
dihancurkan dengan linggis.
Pada t ekni k pembakaran ki si berj al an
(Changzhou, 2003), titik leleh abu yang rendah
mengakibatkan tertutupnya kisi oleh lelehan abu
sehingga mengganggu aliran udara pembakar.
Jelas pula pengaruhnya pada teknik pembakaran
batubara bubuk (pulverized coal combustion) (Singer,
1991), pengelolaan abunya tergantung pada titik
leleh abu, bisa berupa abu terbang atau abu dasar.
Tulisan ini menguraikan beberapa proses
pembakaran batubara dengan titik leleh abu yang
berbeda-beda pada beberapa fasilitas industri dan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh abu batubara
tersebut pada operasional pembakar siklon.
Pembakar siklon perlu terus dikembangkan
sehingga semakin handal untuk dapat menghadapi
berbagai parameter karakteristik batubara yang
berbeda-beda. Dengan kinerja yang semakin baik
maka hal ini merupakan dukungan pada program
pemerintah untuk terus meningkatkan kontribusi
batubara dalam konsumsi energi nasional yang
ditargetkan sebesar 33% pada tahun 2025
(Yusgiantoro, 2007).
2. LATAR BELAKANG TEORI
Komponen-komponen abu dalam batubara
terutama terdiri atas unsur-unsur Si, Al, Fe, Ca
dan sedikit Ti, Mn, Mg, Na, K yang terikat dengan
silikat, oksida, belerang, sulfat atau fosfat.
Karakteristik abu dipengaruhi oleh unsur-unsur
yang dikandungnya, khususnya titik leleh abu yang
merupakan parameter penting dalam proses
pembakaran batubara (Rance, 1975).
Pembakaran batubara dengan pembakar siklon
dilakukan dengan batubara tepung (-30 mesh).
Untuk pembakaran terus menerus, karakteristik
abu sangat penting selain berpengaruh pada
efisiensi pembakaran, sifat titik leleh dapat
mengganggu operasional pembakar siklon karena
abu dapat berupa padatan yang tertiup keluar
siklon, atau berupa kerak yang menempel di
dinding siklon sehingga jika semakin tebal,
operasional pembakar siklon dapat terganggu. Jika
menempel di moncong keluarnya api, dapat
menyumbat aliran api karena jika kerak semakin
tebal, diameter moncong siklon semakin kecil.
Sifat-sifat abu khususnya menyangkut sifat
melelehnya yang dapat mengganggu operasional
siklon tersebut dipengaruhi oleh kandungan unsur-
unsur tertentu di dalam abu. Sebagai contoh,
pengaruh Al2O3 dan SiO2.
Jika perbandingan Al2O3 : SiO2 mendekati 1 : 1,18
maka abu bersifat refraktori dengan titik leleh
tinggi. Sebaliknya, dengan banyaknya senyawa
CaO, MgO dan Fe2O3 mengakibatkan turunnya
titik leleh abu, terutama jika kandungan SiO2-nya
tinggi. Unsur lain yang dapat menurunkan titik leleh
abu adalah Na2O dan K2O. Tergantung nilai titik
92 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
leleh abu, jika titik lelehnya tinggi maka abu tetap
berupa debu padat. Jika titik lelehnya hampir sama
dengan suhu siklon, maka viskositas tinggi
sehingga lengket dan tidak bisa mengalir. Jika titik
leleh abu jauh di bawah suhu siklon, maka
viskositas lelehan abu menjadi rendah sehingga
dengan mudah mengalir ke bawah. Pembakar
siklon dapat beroperasi dengan lancar jika titik
leleh abu jauh di atas atau di bawah suhu
operasional siklon, yaitu sekitar 1200C.
3. SEBARAN ABU DAN
KARAKTERISTIKNYA
3.1. Beberapa Golongan Titik Leleh Abu
Dalam kaitannya dengan operasional pembakar
siklon, titik leleh abu dibagi menjadi tiga golongan
yaitu :
a. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih tinggi dari
suhu operasional pembakar siklon.
b. Abu dengan titik leleh oksidasi sama atau
mendekati suhu operasional pembakar siklon.
c. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih rendah
dari suhu operasional pembakar siklon.
Titik leleh oksidasi adalah titik leleh abu dalam
atmosfer pembakaran oksidasi, jadi dalam
suasana pembakaran dengan jumlah oksigen lebih
dari oksigen stoikiometrinya.
Abu bertitik leleh tinggi (a), akan tetap berupa debu
padat pada saat operasional pembakaran siklon.
Sedang yang bertitik leleh mendekati operasional
pembakar siklon akan bersifat melunak tetapi
belum mudah mencair sehingga lengket dan
menempel di dinding siklon. Sedangkan abu yang
bertitik leleh rendah akan mudah mencair dan
mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin
rendah titik leleh abu, akan semakin rendah
viskositas abu tersebut sehingga cairannya mudah
mengalir ke bagian bawah pembakar siklon.
Tabel 1 adalah beberapa contoh abu yang
termasuk dalam abu golongan a, b dan c,
tergantung pada titik lelehnya.
3.2. Sebaran Abu Dalam Fasilitas Industri
3.2.1 Ketel uap
Gambar 1 adalah skema ketel uap jenis pipa api
(fire tube) yang telah dipasang pembakar siklon
sebagai ganti pembakar solar dan daerah-daerah
pengendapan abunya.
Pengoperasian ketel uap ini dengan batubara
berkandungan abu gol. a, yang bertitik leleh jauh
lebih tinggi dari suhu pengoperasian siklon (1180
1230C) dengan kadar abu kurang dari 2%,
menghasilkan abu padat dengan sebaran :
Lokasi a, dalam siklon : 5%
Lokasi b, dalam ruang api : 15%
Lokasi c, dalam pipa api : 0%
Lokasi d, dalam penampung debu : 30%
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 30%
Keluar dari sistem lewat cerobong : 20%
Sedangkan pegoperasian dengan batubara
mengandung abu gol. b yang titik lelehnya hampir
sama dengan suhu operasional pembakar siklon,
menghasilkan abu yang lunak dan lengket
menempel pada dinding bagian dalam pembakar
siklon. Setelah dingin abu yang lengket ini
mengeras berupa kerak. Kerak ini dengan mudah
dapat di korek dari di ndi ng si kl on. Pada
pembakaran batubara yang berkadar abu 5,5%,
dalam waktu 1 hari kerak sudah terlalu tebal
sehingga siklon semakin mengecil volumenya dan
lingkaran dalam leher siklon semakin menyempit
sehingga mengganggu aliran api dari siklon ke
dalam ketel uap. Pembakaran dihentikan, siklon
dibiarkan dingin untuk dilakukan pembersihan
dindingnya dari kerak. Sebaran kerak dan kotoran
padat lain adalah :
Tabel 1. Beberapa contoh abu golongan a, b, c dan titik lelehnya
Golongan Reduksi, C Oksidasi, C
Abu Deformasi Sperikal Hemisfer Alir Deformasi Sperikal Hemisfer Alir
A 1305 1435 1460 >1500 1470 >1500 >1500 >1500
B 1140 1150 1160 1225 1235 1255 1260 1325
C 1075 1080 1090 1155 1125 1135 1160 1180
93 Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono
Lokasi a, dalam siklon : 60%
Lokasi b, dalam ruang api : 20%
Lokasi c, dalam pipa api : 0%
Lokasi d, dalam penampung debu : 10%
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%
Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu
gol. c yang titik lelehnya dibawah suhu operasional
pembakar siklon, menghasilkan abu yang sudah
mencair dan mengalir ke lantai siklon, masuk ke
dalam kotak abu. Dinding bagian dalam siklon
terlihat mengkilap karena terlapisi oleh cairan dari
abu yang mencair dengan viskositas yang rendah.
Pada pembakaran batubara jenis ini yang berkadar
abu 7,6%, lelehan abu yang mengalir ke dalam
kotak abu segera membeku membentuk padatan
yang sangat keras berwarna coklat kehitaman.
Bongkahan-bongkahan lelehan abu yang menjadi
padat diambil dari kotak abu 2 jam sekali. Sebaran
abu dalam siklon dan ketel uap adalah :
Lokasi a, dalam siklon : 95%
Lokasi b, dalam ruang api : 0%
Lokasi c, dalam pipa api : 0%
Lokasi d, dalam penampung debu : 0%
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 0%
Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%
3.2.2 Pemanas oli
Pemanas oli (oil heater) di pabrik tekstil, makanan
dan industri kimia digunakan untuk memproduksi
panas yang disalurkan dengan menyalurkan oli
panas (220 250) ke unit-unit proses yang
memerl ukan sepert i unt uk pengeri ngan,
pemasakan dll. Gambar 2 adalah skema pemanas
oli jenis vertikal yang telah dipasang pembakar
siklon di bagian atasnya sebagai pengganti
pembakar solar dan daerah-daerah lokasi
pengendapan abunya.
Gambar 1. Skema ketel uap dengan
pembakar siklon
Gambar 2. Skema pemanas oli dengan
pembakar siklon
Api dari pembakar siklon turun ke dalam ruang
api (b), naik dan turun lagi memanaskan pipa-pipa
oli (d), kemudian asapnya keluar melalui cerobong.
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu
golongan a yang titik lelehnya diatas suhu
operasional pembakar siklon, menghasilkan abu
yang padat dengan sebaran :
Lokasi a, dalam siklon : 5%
Lokasi b, dalam ruang api : 0%
Lokasi c, dalam penampung abu : 55%
Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 2%
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 25%
Keluar dari sistem lewat cerobong : 13%
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu
golongan b yang titik lelehnya hampir sama
dengan suhu operasional pembakar siklon
menghasilkan abu yang lengket. Karena viskositas
abu sangat tinggi maka abu yang lunak dan
lengket ini menempel di permukaan dinding bagian
dalam siklon. Abu yang datang selanjutnya
melekat di permukaan lelehan sebelumnya
sehingga membentuk kerak yang semakin tebal.
Akibat fatal dari kejadian ini terutama diameter
dalam L-bow dari siklon menuju ruang api dari
94 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
pemanas oli semakin mengecil sehingga tekanan
didalam ruang siklon membesar dan aliran api ke
dalam pemanas oli terhambat. Pembakaran harus
dihentikan dan kerak dibersihkan. Sebaran abu
berupa kerak dan padatan lain adalah :
Lokasi a, dalam siklon : 60%
Lokasi b, dalam ruang api : 0%
Lokasi c, dalam penampung abu : 20%
Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 3%
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%
Keluar dari sistem lewat cerobong : 12%
Percobaan menggunakan batubara dengan abu
golongan c belum dilakukan untuk siklon dengan
pemanas oli ini, karena batubara dengan abu
demikian jarang didapat dipasaran.
3.2.3 Pengering berputar
Gambar 3 adalah skema pengering berputar (ro-
tary dryer) dengan pembakar siklon yang
menggantikan posisi pembakar solar. Pada
penggunaannya untuk pengeringan pupuk atau
semen pozolan yang berputar dalam pengering,
sampah padat yang keluar dari pembakar siklon
akan masuk kedalam pengering berputar dan
bercampur dengan produk pengeringan.
4,5 kg atau 0,3% dari berat pupuk.
Sedangkan penggunaan batubara dengan abu
golongan b, identik penggunaannya pada pemanas
oli dan ketel uap. Jumlah abu berupa kerak yang
menempel di dalam dinding siklon sekitar 60%
dan sisanya tertiup dan tercampur dengan produk
yang dikeringkan. Demikian pula untuk abu
golongan c, sebagian besar abu meleleh keluar
dari dalam siklon masuk ke dalam kotak abu.
Semakin rendah titik leleh abu, semakin banyak
abu yang meleleh keluar siklon, karena lebih cepat
mengalirnya, disebabkan viskositas yang rendah.
4. PEMBAHASAN
Pengendapan abu bertitik leleh tinggi
(abu golongan a)
Abu dengan titik leleh tinggi, abu akan berbentuk
tepung padat yang akan tertiup bersama asap,
keluar silinder siklon. Hanya kurang dari 10% yang
tertinggal didalam silinder siklon, selebihnya
mengendap dalam bagian-bagian tertentu dari
fasilitas industri. Mekanisme pengendapan
partikel-partikel abu sebagian karena perlambatan
aliran asap, sebagian lagi karena menabraknya
partikel-partikel abu ke suatu dinding kemudian
terjatuh oleh gaya gravitasi.
Sebagai contoh, untuk fasilitas industri berupa
ketel uap jenis pipa api. Pembakar siklon
berdiameter bagian dalam 130 cm menyalurkan
api kedalam lorong api utama dari ketel uap yang
berdiemeter bagian dalam 80 cm melalui moncong
siklon yang berdiameter bagian dalam 60 cm.
Perubahan kecepatan aliran dari dalam silinder
siklon ke dalam lorong api utama dipengaruhi oleh
luas penampang dan suhu dari kedua lokasi
tersebut. Perbandingan luas penampang adalah
sebanding dengan kuadrat radius atau 65
2
: 40
2
=
2,64 : 1. Sedangkan perubahan suhunya dari
sekitar 1470K didalam siklon menjadi sekitar
770K didalam lorong api utama atau 1,9 : 1. Maka
perbandingan kecepatan aliran asap didalam
siklon/kecepatan asap dalam lorong api adalah
2,64 : 1,9 = 1,39 atau hanya berbeda sedikit,
sehingga pengendapan partikel abu karena
perbedaan kecepatan asap kecil pengaruhnya.
Tetapi karena perjalanan dari silinder siklon ke
lorong api utama melewati moncong siklon yang
diameternya 60 cm, maka terjadi turbulensi di
dalam lorong api utama sehingga kesempatan
partikel abu untuk mengendap dalam lorong ini
Gambar 3. Pengering berputar
Pengamatan sebaran pengendapan abu hanya
dapat dilakukan didalam pembakar siklon,
sedangkan sampah padat yang tertiup kedalam
pengering berputar tidak diukur karena jumlahnya
relatif kecil setelah bercampur dengan komoditas
yang dikeringkan.
Sebagai contoh, proses pengeringan pupuk fosfat
yang produksinya 1500 kg/jam, konsumsi batubara
dengan pembakar siklon 90 kg/jam dengan kadar
abu batubara = 5% atau jumlah abu yang
dihasilkan = 4,5 kg/jam, maka jumlah abu yang
bercampur dengan 1.500 kg pupuk fosfat adalah
95 Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono
juga tidak besar. Selanjutnya asap bergerak
menuju ruang penampung abu dengan penampung
yang lebih luas, sehingga partikel abu banyak yang
jatuh selain karena perlambatan kecepatan, juga
karena menabrak dinding. Asap kemudian
mengalir melalui pipa api yang berdiameter 7,5
cm. Karena diameter yang kecil ini maka
kecepatan asap dilokasi ini tinggi sehingga
didaerah ini pertikel abu yang mengendap hanya
sedikit. Asap berbalik, kembali menuju ruang
pengendapan abu, selanjutnya menuju cerobong.
Banyak partikel abu yang mengendap di bagian
bawah cerobong selain karena kecepatan asap
mel ambat at au di amet er cerobong yang
membesar, juga disebabkan partikel-partikel abu
menabrak dinding cerobong. Keadaan ini
mengakibatkan energi kinetik partikel abu menurun
sehingga terkalahkan oleh gaya gravitasi dan
terjadi pengendapan.
Sisa partikel abu lainnya, khususnya yang berupa
debu halus keluar bersama asap cerobong.
Penyebaran endapan abu diberbagai lokasi
pengendapan dalam ketel uap telah dikemukakan
di sub-bab 3.2.1 dan uraian ini menjelaskan proses
yang terjadi.
Sebaran abu dalam penggunaan abu bertitik leleh
abu tinggi untuk pemanas oli identik dengan
penggunaannya untuk ketel uap, pengendapan abu
dengan mekanisme perlambatan kecepatan asap
dan tabrakan partikel abu dengan dinding yang
membentuk sudut mendekati 90C dengan arah
jalannya asap. Seperti terlihat pada Gambar 2,
pengendapan di penampung abu dominan sebab
disini berlangsung 2 mekanisme yaitu mekanisme
perlambatan kecepatan asap dan tabrakan partikel
asap dengan dasar dari ruang api. Dengan
demikian, maka pengendapan abu dominan berada
di penampung abu dan dibagian bawah cerobong,
dengan jumlah total di dua lokasi itu sekitar 60 -
70%. Sedangkan penggunaannya untuk pengering
berputar, sebagian besar abu tertiup keluar
pembakar siklon bercampur dengan komoditas
yang diproses.
Pengendapan abu bertitik leleh sedang
(abu golongan b)
Abu bertititk leleh mendekati suhu operasional
siklon ternyata terkumpul di lokasi tidak jauh dari
pembakar siklon itu sendiri. Abu jenis ini mulai
meleleh pada suhu operasional pembakar siklon,
t et api vi skosi t asnya bel um cukup unt uk
membuatnya mengalir mengikuti gaya gravitasi,
melainkan bersifat lengket sehingga menempel
dipermukaan dalam pembakar siklon. Partikel abu
yang datang kemudian juga meleleh, lengket
terpapar oleh panas sehingga segera menempel
pada permukaan abu sebelumnya sehingga
menambah tebal tumpukan lelehan abu tersebut.
Sebagian lagi yang tidak sempat menempel di
permukaan siklon, terlempar keluar tetapi dengan
ukuran yang lebih besar karena proses aglomerasi
dan jatuh tidak jauh dari lokasi pembakar siklon.
Hanya sebagian kecil yang lolos sampai cerobong,
yaitu partikel-partikel abu yang tidak sempat
mengalami aglomerasi. Dengan demikian maka
sebagian besar abu menempel didinding siklon
sampai 60 75% kemudian di ruang api 10 20%,
sisanya 5 10% tersebar sampai dibawah
cerobong.
Sebaran abu jenis ini dipengaruhi oleh banyak
f akt or sepert i karakt eri st i k pembakaran
batubaranya sendiri, sifat-sifat lelehan abu,
sebaran ukuran butir batubara, kecepatan
pembakaran, atmosfer pembakaran dll (Rance,
1975).
Pengendapan abu bertitik leleh rendah
(abu golongan c)
Abu jenis ini segera meleleh terpapar oleh suhu
pembakaran dalam siklon. Jika viskositasnya
rendah, lelehan abu mengalir masuk kedalam
kotak abu, sehingga permukaan dalam siklon
hanya tertutup oleh lapisan tipis lelehan abu. Abu
yang datang kemudian terus meleleh, mengalir ke
bawah. Hanya sedikit sekali yang tertiup ke luar,
masuk kedalam ruang api, dan yang terbawa
sampai cerobong hanya sejumlah kecil saja. Hal
ini disebabkan hanya sedikit partikel-partikel abu
yang dapat bertahan dalam keadaan padat pada
suhu jauh diatas titik lelehnya.
5. KESIMPULAN
1. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa
pembakaran batubara dengan pembakar
siklon, untuk batubara dengan 3 golongan titik
leleh abu menunjukkan :
a. Abu bertitik leleh tinggi (golongan a)
sebagian besar atau lebih dari 90%, tertiup
keluar siklon.
b. Abu bertitik leleh sedang (golongan b) lebih
dari 50% tertahan di dalam siklon berupa
kerak.
c. Abu bertitik leleh rendah (golongan c)
96 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sebagian besar atau lebih dari 90%,
meleleh didalam siklon dan kemudian
mengalir kedalam kotak abu.
2. Abu yang mempunyai titik leleh tinggi, tertiup
kel uar si kl on dan mengendap dal am
perangkap-perangkap abu seperti ruang
penampung abu dan bagian bawah cerobong.
Sebagian kecil tertinggal di saluran-saluran
asap dan yang berukuran halus keluar melalui
cerobong.
3. Mekanisme pengendapan abu terutama
disebabkan oleh :
a. Perlambatan kecepatan asap secara
mendadak dan tabrakan partikel abu
dengan dinding.
b. Abu menjadi lunak tetapi viskositasnya
masih tinggi sehingga bahan ini menjadi
lunak, lengket melekat di dinding siklon.
c. Abu mencair karena suhu siklon jauh diatas
titik leleh abu ini sehingga viskositas
lelehan abu rendah, mudah mencair dan
mengal i r kedal am kot ak abu dan
membeku.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, 2003, Coal Fired Fluidized Boiler, B.P.E,
Jakarta
Changzhou Boiler Co., LTD., 2003, Boiler, Bro-
chure, Xishan.
Rance, H.C., 1975, Coal Quality Parameters and
Their Influence in Coal Utilization, Shell Int.
Petroleum Co., LTD.
Singer, J.G., 1991, Combustion Fossil Power,
ABB, Connecticut.
Sumaryono, 2009, Development of Cyclone Coal
Burner For Fuel Oil Burner Substitution in In-
dustries, Indonesian Mining Journal, Bandung,
Vol. 12 No. 13 (29-33).
Yusgiantoro, P., 2007, Sustainabilitas Energi di
Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang, Semi-
nar Nasional Sustainable Alternatif Energi,
Semarang.
97 Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini
PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT
Husaini
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : husaini@tekmira.esdm.go.id
SARI
Bauksit merupakan bijih aluminium yang mengandung 45-60% Al2O3, 12-30% H2O, dengan kandungan
beberapa mineral pengotor seperti magnetit, hematit, gotit, siderit, kaolinit, ilmenit, anatas, rutil, dan
brookit. Total cadangan bauksit dunia adalah sebesar 24 milyar ton. Indonesia sendiri memiliki cadangan
bauksit terukur lebih dari 900 juta ton yang tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Sistem
tambang terbuka yang dilanjutkan dengan proses peningkatan kadar mendahului ekstraksi bauksit
menjadi alumina. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit dapat dilakukan dengan cara washing &
scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik dan media berat serta flotasi, yang
dipilih berdasarkan karakteristik bijih bauksit yang akan diolah. Proses Bayer adalah cara yang paling
efektif dan menguntungkan untuk memproduksi alumina dari bauksit. Alumina yang dihasilkan tersebut
dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Untuk memproduksi sebanyak
2 ton alumina atau 1 ton logam aluminium dibutuhkan bauksit rata-rata 4-5 ton. Lebih dari 90% cadangan
bauksit diolah menjadi alumina atau logam alumunium, sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan
kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl3).
Kata kunci : peningkatan kadar, bauksit, alumina, aluminium, elektrolisis, proses Bayer dan
Hall-Heroult
ABSTRACT
Bauxite is aluminum ore containing 45-60% Al2O3, 12-30% H2O, with several impurities minerals
such as magnetite, hematite, goethite, siderite, kaolinite, ilmenite, anatase, rutile, and brookite.Total
reserves of bauxite in the world were 24 billion metric tons. Indonesia itself has bauxite reserve
deposits more than 900 million metric tons scattered in Riau islands and West Kalimantan. Open pit
mining followed by upgrading preceded bauxite extraction to be alumina. Bauxite upgrading can be
carried out by washing and scrubbing, screening/classification, magnetic separation, heavy media
separation, and flotation, chosen based on the bauxite character to be upgraded. Bayer process is
the most effective and feasible method for alumina production from bauxite. The alumina produced is
processed into aluminum metal through electrolysis process called Hall-Heroult. To produce 2 tons of
alumina or 1 ton of aluminum metal need about 4-5 tons of bauxite in average. More than 90% of
bauxite deposits have been treated into alumina or aluminum metal, the rest is utilized for producing
chemicals such as coagulants (alum, PAC, and AlCl3).
Keywords : upgrading, bauxite, alumina, aluminum metal, electrolysis, Bayer and
Hall-Heroult processes
98 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Bauksit merupakan bijih aluminium yang terdapat
pada mineral gibbsite [Al(OH)3], boehmite atau
diaspore (AlOOH). Bauksit umumnya mengandung
45-60% Al2O3, 12-30% H2O, dan berbagai macam
pengotor antara lain adalah magnetit (Fe3O4),
hematit (Fe2O3), gotit (FeO(OH)), siderit (FeCO3),
kaolinit (H4Al2Si2O9), ilmenit (FeTiO3), anatas,
rutil, dan brookit (TiO2) (Anonim, 2009a). Istilah
bauksit diambil dari nama daerah pedesaan Les
Baux-de-Provence dibagian selatan Perancis,
tempat pertama kali ditemukannya mineral ini oleh
seorang ahli geologi bernama Pierre Berthier pada
tahun 1821 (Wikipedia, 2007b). Penghasil bauksit
utama dunia adalah Australia (lebih dari 40 juta
ton/tahun), Amerika Tengah dan Selatan (Jamaika,
Brazil, Surinam, Venezuela, Guyana), Afrika
(Guinea), Asia (Indonesia, India, China), Rusia,
Kazakhstan dan Eropa (Yunani). Jumlah cadangan
bauksit di beberapa Negara tersebut pada tahun
2001 diperkirakan sebesar 3,8 milyar ton (Austra-
lia), 3,9 milyar ton (Brazil), 720 juta ton (China),
7,4 milyar ton (Guinea), 700 juta ton (Guyana),
770 juta ton (India), 2 milyar ton (Jamaika), 200
juta ton (Rusia), 680 juta ton (Suriname), 20 juta
ton (USA), 320 juta ton (Venezuela), Negara lainnya
4,1 milyar ton, sehingga total cadangan dunia
sebesar 24 milyar ton (Wikipedia, 2007b).
Sedangkan jumlah cadangan bauksit di Indone-
sia sendiri sebesar 907.843.757 ton (terukur) yang
tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat,
cadangan tereka.sebesar 3.100.000 ton (Bangka),
dan cadangan hipotetik sebesar 13.500.000 ton
(Bangka). (Husaini dan Wijayanti, 2002). Cara
penambangan yang diterapkan di berbagai belahan
dunia umumnya dengan sistem tambang terbuka
(80%) dengan kapasitas produksi >100 juta ton
bauksit tiap tahun, sisanya yang 20% dengan
tambang bawah tanah sampai kedalaman 70 m
dibawah permukaan tanah. Hasil tambang tersebut
selanjutnya diproses menjadi alumina berdekatan
dengan lokasi penambangan, atau dikapalkan ke
pabrik peleburan ke berbagai negara di dunia.
Sebelum diekstraksi menjadi alumina, bauksit dari
tambang terlebih dahulu ditingkatkan kadarnya.
Peningkatan mutu (uggrading) bauksit yang dapat
dilakukan tergantung dari karakteristik bauksitnya,
beberapa di antaranya adalah cara washing &
scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan
dengan magnetik dan media berat serta flotasi.
Alumina yang diperoleh dari proses Bayer, kemudian
dibuat menjadi logam aluminium melalui proses
elektrolisis Hall-Heroult. Berdasarkan data rata-
rata di dunia, sekitar 4-5 ton bauksit dibutuhkan
untuk memproduksi 2 ton alumina atau 1 ton sebagai
logam aluminium. Di Eropa sendiri biasanya
menkonsumsi bauksit rata-rata 4,1 ton untuk
memghasilkan 1 ton logam aluminium (Anonim,
2009d). Sekitar 95% bauksit dunia diolah menjadi
alumina atau logam alumunium (Anonim, 2009c),
sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan
kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl3).
2. METODOLOGI
Untuk menyusun makalah ini, metodologi yang
digunakan adalah dengan cara melakukan survei
literatur dari berbagai sumber antara lain hasil
penelitian yang terkait dengan tema makalah baik
di perpustakaan, internet, maupun hasil penelitian
yang dilakukan sendiri. Kemudian dari data yang
terkumpul dilakukan evaluasi dan pembahasan
yang akhirnya sampai kepada kesimpulan.
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN
PEMANFAATAN BAUKSIT
3.1. Proses Peningkatan Mutu
Ada beberapa cara yang sudah umum diterapkan
dalam peningkatan kadar bauksit, beberapa di
antaranya yang akan dibahas disini adalah scrub-
bing dan screening, pemisahan dengan magnetik,
pemisahan dengan media berat, dan flotasi.
3.1.1 Scrubbing dan screening
Proses scrubbing yang dikombinasikan dengan
pencucian dan pengayakan untuk meningkatkan
kadar alumina dalam bauksit merupakan cara
yang sederhana dan cukup efektif yang sudah
diterapkan secara komersial. Cara ini relatif baik
untuk meningkatkan kadar alumina, mengingat
bauksit dari tambang memiliki ukuran butir yang
bervariasi dan tiap fraksi ukuran memiliki
komposisi kimia yang berbeda-beda. Berdasarkan
data hasil karakterisasi, bijih bauksit berukuran
makin halus mutunya semakin rendah (kandungan
pengotor semakin tinggi). Umumnya bauksit
berukuran di bawah 2 mm, kadar aluminanya relatif
rendah dan kandungan pengotornya relative tinggi,
oleh karena itu produk hasil scrubbing dan
pencucian yang diambil adalah fraksi ukuran di
atas 2 mm. Dari percobaan yang telah dilakukan,
diperoleh data bahwa bijih bauksit asal Kijang yang
semula memiliki kandungan Al
2
O
3
antara 40,50-
48,36 %, setelah melalui scrubbing screening
99 Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini
yang didahului peremukan diperoleh produk
dengan kadar Al2O3 antara 50,53-53,67%
(persayatan bahan baku untuk proses Bayer
adalah di atas 51% Al2O3, maksimum 3% silica
reaktif dan maksimum 7% Fe2O3). Perolehan alu-
mina yang didapat dari proses scrubbing tersebut
berkisar 82,78-89,66% dan rasio konsentrasi
78,42-84,8% (Husaini dkk., 2007). Di India, proses
benefisiasi untuk peningkatan kadar alumina dalam
bauksit juga dilakukan dengan cara peremukan
yang dilanjutkan dengan pengayakan cara kering
untuk menurunkan kandungan silikanya (Nandi,
2004). Cara lain untuk mendapatkan kadar bauksit
yang memenuhi syarat dan konsisten adalah
dengan mencampurkan (blending) bauksit kadar
rendah yang sudah diolah dengan yang kadarnya
lebih tinggi (Anonim, 2007a).
3.1.2 Pemisahan dengan magnetik
Mineral-mineral bersifat magnetik seperti besi
oksida yang terkandung dalam bijih bauksit
ataupun tailing hasil ekstraksi bijih bauksit dapat
dipisahkan dengan pemisah magnetik (magnetic
separator). Salah satu mineral yang memiliki
komponen oksida besi adalah tailing hasil pencucian
bauksit Pulau Kijang yang besarnya berkisar
antara 9,93 - 16,05%. Dari uji coba yang telah
dilakukan terhadap tailing bijih bauksit (komposisi
kimia 48,98 % Al
2
O
3
dan 11,49 % Fe
2
O
3
), yang
sebelumnya dipanaskan pada suhu 450
o
C,
setelah dilewatkan pemisah magnetik pada kondisi
5 Am
-1
, telah dihasilkan produk non magnetik (70%
berat) dengan kadar Al
2
O
3
53,8 % dan Fe
2
O
3
9,14
%; ini berarti terjadi peningkatan kadar Al
2
O
3
sebesar 4,82% dan penurunan kadar Fe
2
O
3
sebesar
2,35%. Sedangkan untuk tailing bauksit berkadar
Al
2
O
3
42,25 % dan Fe
2
O
3
15 %, dengan kondisi
pemisahan yang sama dihasilkan produk non
magnetik (58 % berat) dengan kadar Al
2
O
3
57,7 %
.
dan Fe
2
O
3
9,41 % (Husaini dan Wijayanti, 2002).
Teknik pemisahan dengan magnetik ini telah
dilakukan juga oleh Jamieson dkk. (2006) terhadap
mineral red mud yang dihasilkan dari ekstraksi
bijih bauksit dengan soda kostik pada kondisi
intensitas rendah dan intensitas tinggi cara basah.
Salah satu produknya berupa material magnetik
(besi oksida) yang memiliki kadar Fe 40%,
sementara produk kedua berupa material non
magnetik yang mengandung silika yang tiggi (93%
SiO
2
) yang pemanfaatannya sangat sesuai untuk
konstruksi beton. Produk yang ketiga terdiri dari
campuran besi dan silika yang umumnya cocok
untuk material pengisi. Penerapan teknologi
pemisahan secara magnetik tersebut memiliki
potensi untuk dikembangkan dalam mengatasi
permasalahan penumpukan red mud yang dihasilkan
yang besarnya berkisar antara 40-50%) dari berat
bijih bauksit yang diolah melalui proses Bayer.
3.1.3 Pemisahan dengan media berat
Prinsip pemisahan dengan media berat adalah
dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis min-
eral-mineral yang akan dipisahkan. Mineral yang
lebih rendah berat jenisnya daripada berat jenis
media berat (heavy liquid) akan terapung,
sebaliknya mineral yang lebih besar berat jenisnya
akan tenggelam. Dalam hal ini mineral besi
(hematit) memiliki berat jenis sekitar 7, bauksit
2,65 dan media berat (bromoform 2,89 dan
pengencer karbon tetra klorida 1,59). Dengan
demikian hematit akan tenggelam karena berat
jenisnya lebih tinggi dari berat jenis bromoform,
sedangkan bauksit yang berat jenisnya lebih
rendah dari berat jenis bromoform akan mengapung,
sehingga kadar alumina dalam bauksit yang
mengapung meningkat. Dari data hasil poercobaan
dengan menggunakan bauksit berukuran -100+200
mkesh dan waktu pengendapan 20 menit
menunjukkan adanya peningkatan kadar Al2O3 dan
penurunan kadar Fe2O3 dibandingkan dengan
keadaan kadar awalnya. Sebagai contoh, dengan
menggunakan bromoform dengan berat jenis 2,59,
produk terapung memiliki kadar Al
2
O
3
sebesar
55,18 % dan kadar Fe
2
O
3
7.97 %, sedangkan
bagian yang tenggelam memiliki kadar Al
2
O
3
sebesar 12.34 % dan kadar Fe
2
O
3
30.12 %. Jadi
kualitas (bauksit) setelah dipisahkan lebih baik
di bandi ngkan sebel um di pi sahkan yang
mempunyai komposisi kimia awal Al
2
O
3
48 % dan
Fe
2
O
3
15 % (Husaini dan Soenara, 2003).
3.1.4 Flotasi
Flotasi merupakan salah satu cara pemisahan
yang memanfaatkan perbedaan sifat kimia-fisika
permukaan dari berbagai macam partikel mineral.
Perbedaan sifat permukaan suatu mineral dengan
mi neral l ai nnya dapat t erbent uk dengan
menambahkan zat aktif permukaan (kolektor).
Bahan kimia lainnya yang digunakan adalah
pembusa (frother), dan regulator (activator, de-
pressant, pengatur pH). Mineral yang terlapisi
kolektor akan bersifat hidrofobik (suka udara)
sehingga mudah menempel pada gelembung udara
dan dapat diapungkan. Penggunaan pembusa
adalah untuk menstabilkan gelembung udara
supaya tidak mudah pecah. Sedangkan depres-
100 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sant berfungsi untuk menekan agar mineral yang
tidak diinginkan tidak ikut mengapung. Kalau yang
diapungkan mineral yang tidak dikehendaki
prosesnya disebut flotasi balik (reverse flotation).
Massola dkk. (2008) telah melakukan penelitian
yang inovatif mengenai peningkatan kadar gibsit
dengan cara flotasi balik yang menghasilkkan
bauksit jenis metalurgi. Bahan yang diflotasi
berupa tailing hasil proses scrubbing dan
desliming yang kandungan kuarsanya relatif tinggi.
Kanji (starch) digunakan sebagai depressant dan
ether-amine sebagai kolektor kationik. Hasil
percobaan skala pilot pada kondisi pH optimum
sekitar 10 menghasilkan konsentrat mutu
metalurgi dengan kadar alumina 42,3% dan ratio
alumina/silika sebesar 11,1. Konsentrat bauksit
yang mengandung mineral gibsit, besi, dan titan,
selanjutnya ditingkatkan lagi kadarnya melalui
pemisahan secara magnetik menghasilkan kadar
alumina 54%, ratio alumina/silika 12,6 dan total
perolehan alumina dalam konsentrat akhir (produk
non-magnetik) sebesar 69,3%. Hasil penelitian
lainnya (Liuyin Xia, dkk., 2009) menunjukkan
bahwa penggunaan kolektor kationik (zat aktif
permukaan) jenis butane-,-bis (dimethyl
dodeculammonium bromide) dalam flotasi balik
telah berhasil memisahkan mineral mineral kaolinit,
piropilit dan ilit dari bauksit jenis diaspore. Kolektor
jenis dimer tersebut menunjukkan daya pengumpul
yang lebih baik dibandingkan kolektor jenis
monomernya. Lebih dari itu, daya apung terhadap
kaolin lebih baik daripada ilit dan piropilit dalam
selang pH tertentu. Bila ditambahkan depressant
kanji (corn starch), pemisahan cara flotasi terhadap
beberapa mineral pengotor yang terkandung dalam
bauksit (diaspore) yang dilakukan pada pH antara
9-10 menghasilkan seletifitas yang signifikan
terhadap ilit, piropilit dan kaolinit. Konsentrat yang
dihasilkan dari percobaan skala bench scale
memiliki ratio Al/Si sebesar 9,72 dan perolehan
Al sebesar 81,25%.
Pengaruh gugus kationik dari kolektor rantai karbon
12 (12-carbon chain collectors) telah diteliti oleh
Hong Zhong, dkk. (2008) untuk memisahkan mine-
ral kaolinit, piropilit dan ilit dari diaspore. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemisahan di-
aspore dari mineral-mineral alumino silikat dengan
menggunakan kolektor kation dodecylamine chlo-
ride (DDAC), dodecyl trimethyl ammonium chlo-
ride (DTAC) atau dodecylguanidine sulfate (DDGS)
adalah layak pada kondisi alkalin kuat. Ketiga jenis
kolektor tersebut menunjukkan selektifitas yang
tinggi terhadap diaspore, dan DDGS merupakan
kolektor terbaik dibandingkan dengan DDAC dan
DTAC dalam memisahkan mineral alumino silikat.
Flotasi balik juga berhasil dilakukan untuk
memisahkan kaolinit dari diaspore dengan
menggunakan kolektor dodecylamine (DDA) dan
depressant cationic polyacrylamide (CPAM) pada
pH 5.58.5 (Guangyi Liu, 2007). Penyerapan CPAM
pada seluruh permukaan kristal diaspore mencegah
spesi kation DDA untuk terserap pada permukaan
diaspore, sehingga diaspore dapat ditekan (tidak
ikut mengapung). Kemampuan adsorpsi grup kation
CPAM pada permukaan kaolinit yang bermuatan
negatif diperlemah oleh induksi dan efek sterik
senyawa metil dalam gugus CH2N
+
(CH3)3 yang
membuat CPAM memiliki pengaruh yang kurang
signifikan pada adsorpsi DDA pada permukaan
kaolinit. Penelitian sejenis mengenai peningkatan
kandungan diaspore dengan flotasi balik untuk
memisahkan mineral pengotor juga dilakukan oleh
Zhenghe Xu (2004). Penelitian mengenai penggunaan
kolektor-kolektor yang efektif untuk pemisahan
mineral pengotor (lempung) dan depressant untuk
menekan diaspore asal China juga telah dilakukan.
Hal ini dilakukan agar bauksit yang sebelumnya
mengandung al umi na yang rendah dapat
ditingkatkan kadarnya sampai memenuhi syarat
sebagai bahan baku untuk proses Bayer. Hasil
penelitian yang didapat menunjukkan peningkatan
ratio alumina/silika dari <6 menjadi >10.
3.2. Pembuatan Alumina Hidrat/Alumina
Alumina (Al
2
O
3
) adalah material halus berwarna
putih mirip dengan garam (Anonim, 2007). Alumina
dapat diperoleh dari ekstraksi bauksit dengan soda
kostik. Ekstraksi bauksit secara komersial
pertama kali dilakukan oleh Sainte-Claire Deville
di Perancis tahun 1865, tetapi cara ini tidak
digunakan lagi setelah ditemukan proses baru
(Bayer) oleh ahli kimia Austria tahun 1887. Total
produksi alumina dunia sebesar 40 juta ton pada
tahun 1995, seluruhnya dihasilkan dengan
memproses bauksit melalui proses Bayer. Proses
Bayer merupakan cara yang paling ekonomis yang
memanf aat kan reaksi ant ara al umuni um
trihidroksida dan aluminium oksida dengan soda
kostik membentuk sodium aluminat. Reaksi
kesetimbangan mengarah ke kanan dengan
meningkatnya konsentrasi soda kostik dan suhu.
Operasi berikut dilakukan secara berurutan yaitu
(1) pelarutan alumina pada suhu tinggi, (2)
pemisahan dan pencucian pengotor yang tidak
larut (red mud) untuk mendapatkan alumina terlarut
dan soda kostik, (3) hidrolisis parsial larutan sodium
aluminat pada suhu rendah untuk mengendapkan
101 Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini
alumunium trihidrat, (4) regenerasi larutan untuk
didaur ulang ke tahap (1) dengan penguapan air yang
dimasukkan saat pencucian, dan (5) mengubah
trihidroksida menjadi alumina anhidrat melalui
kalsinasi pada suhu 1450
o
K (Anonim, 2009a).
3.3. Pembuatan Logam Aluminium
Bila alumina (Al2O3) yang diperoleh dari proses
Bayer tersebut dipanaskan lebih lanjut sampai
suhu 1000 C dengan bantuan bahan pelebur (cryo-
lite - Na3AlF6), maka alumina akan meleleh dan
tereduksi menjadi logam aluminium yang dikenal
sebagai proses Hall-Hroult. Cryolite sintetik
umumnya dibuat dari asam florida dan sodium
aluminat (hasil proses Bayer) dengan persamaan
reaksi sbb (Anonim, 2009a) :
6 HF + 3 NaAlO2 Na3AlF6 + 3 H2O, atau dengan
mereaksikan asam florida dengan soda kostik dan
alumina dengan reaksi sbb :
12 HF + 6 NaOH + Al2O3 2 Na3AlF6 + 9 H2O
Gas asam florida umumnya dibuat dari acid-grad
fluorspar dan asam sulfat dengan reaksi sbb :
CaF2 + H2SO4 2 HF + CaSO4
Pada proses elektrolisis ini oksigen yang terikat
pada alumina bereaksi dengan elektroda karbon
menghasilkan gas karbon dioksida dan logam alu-
minium. Setiap ton aluminium membutuhkan 0,4-
0,5 ton anoda karbon. Proses ini mengkonsumsi
energi sangat tinggi. Secara umum sekitar 1 ton
alumina dapat dihasilkan dari 2 ton bauksit.
Lelehan aluminium selanjutnya dicetak menjadi
ingots, bars, rolled into sheets, plates, foil, atau
rod. Produk antara ini kemudian dibentuk di pabrik
pemrosesan yang mengubah aluminum menjadi
produk akhir (consumer products).
3.4. Pembuatan Koagulan
3.4.1 Dari bauksit (asli/bauksit tercuci/
tailing)
Semua mineral yang mengandung unsur aluminium
termasuk bauksi t dapat di gunakan untuk
pembuatan koagulan (alum, PAC dll). Dalam
pembuatan koagulan ini ada beberapa parameter
yang berpengaruh di antaranya adalah konsentrasi
asam, waktu pelarutan, nisbah padatan dengan
larutan, suhu pelarutan, dan ukuran butir bauksit.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Acquah, dkk.
(1999) menghasilkan kondisi optimum sebagai
berikut: ukuran partikel 7+14 mesh, waktu 6 jam,
nisbah asam 1:4, suhu 100C, nisbah padatan
dengan larutan 1:12. Pada kondisi optimum ini ratio
alumina yang didapat sebesar 34,8 (untuk alum
komersial rationya 34-35) dan bauksit dengan
kadar A12O3 62.3% dan Fe2O3 3% adalah cocok
untuk pembuatan alaum. (Acquah, dkk, 1999).
Penelitian pembuatan alum dari bauksit berukuran
-100 mesh dengan menggunakan asam sulfat
konsent rasi (30-40 %) di dal am reakt or
berpengaduk pada suhu 100
o
C dan lama
pengadukan sekitar 60 menit juga telah dilakukan
oleh Husaini (2007). Dua jenis bauksit Kijang
dengan komposisi Al2O3 42,25 %, Fe2O3 15,00
% dan Al2O3 48,98 %, Fe2O3 11,49 % digunakan
untuk uji coba tersebut. Reaksi kimia yang terjadi
adalah sebagai berikut:
Al2O3 + 3H2SO4 Al2 (SO4) 3 + 3H2O
Fe2O3 + 3H2SO4 Fe2 (SO4) 3 + 3H2O
Hasi l ekst raksi i ni berupa l umpur yang
mengandung larutan aluminium sulfat yang masih
bercampur dengan senyawa besi dan residu yang
tidak larut. Larutan yang sudah dipisahkan dari
residunya, kemudian direduksi dengan logam Al
sambil dipanaskan sampai terjadi perubahan
warna dari coklat menjadi hijau muda dengan
densitas tertentu (1.5 g/ml). Larutan hasil reduksi
selanjutnya ditambah amonia (kadar 21 %)
menghasilkan kristal berupa garam rangkap
[Al
2
(SO
4
)
3
(NH
4
)
2
SO
4
xH
2
O] dengan kadar Al
2
O
3
antara 11-14 %. Kristal yang terbentuk dipisahkan
dari filtrat yang masih tersisa. Selain itu telah
dibuat juga tawas butek [Al
2
(SO
4
)
3
. x H
2
O]
setelah besi dalam larutan diturunkan terlebih
dahulu dengan penambahan larutan Na
2
S. Hasil
pelarutan bauksit dengan asam sulfat mencapai
persen ekstraksi Al
2
O
3
dan Fe
2
O
3
tertinggi
masing-masing sekitar 99 % dan 65 % pada ukuran
butiran 87,04% lolos100 mesh, konsentrasi asam
40 %, lama pelarutan 1 jam, dan suhu 100
o
C.
Produk tawas butek yang dihasilkan mempunyai
kadar Al
2
O
3
9,49-12,55 % dan Fe
2
O
3
2-2,4 %.
Sedangan tawas beni ng yang di hasi l kan
mempunyai kadar Al
2
O
3
9,92-11,53 % dan Fe
2
O
3
0,5-2,71 %.
3.4.2 Dari alumina hidrat
Alumina hidrat [Al (OH)
3
] dapat dibuat menjadi
tawas [Al
2
(SO
4
)
3
] maupun poly aluminium chlo-
ride (PAC). Pembuatan tawas dari alumina hidrat
102 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
ini prosesnya sederhana yaitu dengan melarutkan
alumina hidrat dengan asam sulfat pada suhu 100C
sampai larut sempurna, tanpa proses penyaringan,
karena tidak dihasilkan residu sebagaimana yang
diperlihatkan dalam pelarutan bauksit. Persamaan
reaksi kimia yang terjadi adalah sbb :
2Al (OH)3 + 3H2SO4 Al2 (SO4) 3 + 6H2O
Proses pemanasan larutan dilanjutkan untuk
menguapkan air sampai berat jenis tertentu,
kemudian didinginkan sampai mengkristal. Kadar
alumina dalam tawas tergantung pada kadar air
yang terkandung, semakin rendah kadar air
kristalnya, maka semakin tinggi kandungan
aluminanya. Sedangkan dalam pembuatan PAC,
alumina hidrat direaksikan dengan asam klorida
dan asam sulfat sampai alumina hidrat larut
sempurna. Kemudian ke dalam campuran
ditambahkan kapur untuk menurunkan pH sampai
4, dilanjutkan dengan penyaringan. Larutan jernih
hasil penyaringan ini merupakan PAC cair yang
spesifikasinya adalah sbb: 12% Al2O3, 9% Cl,
1,35% SO4. Bila diinginkan produk berupa bubuk,
maka PAC cair dikeringkan dengan menggunakan
spray drier pada suhu tertentu.
4. PENGGUNAAN BAHAN BERBASIS
ALUMINA
4.1. Bauksit Asli/Bauksit Tercuci
Secara tradisional, bauksit digunakan untuk
pembuatan Blast Furnaces, Iron/Steel Ladles,
Torpedo Cars, Electric Arc furnaces, Tundishes,
Soaking Pits, Reheat/Soaking Pits, Open Hearth,
Cement, dan Aluminum. Bauksit dapat digunakan
untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia
antara lain alumina hidrat, alumina, tawas, fero
sulfat, besi klorida, semen, dan refraktori.
4.2. Alumina Hidrat
Alumina hidrat dapat digunakan untuk pembuatan
berbagai jenis bahan kimia antara lain tawas, poli
aluminium klorida (PAC), dan poli aluminium silikat
sulfat (PASS), AlCl
3
, zeolit sintetik, bahan abrasif,
semen, refraktori.
4.3. Alumina
Alumina merupakan produk komoditas yang dapat
digunakan antara lain untuk (Steven dkk., 1998,
Anonim 2007a):
Bahan baku proses elektrolisis Hall-Heroult
untuk memproduksi logam Al
Pembuatan bahan kimia tertentu seperti :busi
(spark plugs), penghambat kebakaran (fire
retardant), marmer sintetik, katalis, pasta gigi,
alum, aluminium fllorida, keramik, ampelas
(abrasive) dan refraktori.
Penemuan produk khusus yaitu alumina aktif yang
digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari
proses pengilangan minyak, pabrik petro kimia,
dan proses pengol ahan gas al am. Al coa
melaporkan penemuan bubuk alumina spesial
untuk sistem pembuangan otomatis (auto exhaust
system) dan ampelas halus (fine abrasives). Alu-
mina dapat juga dijadikan bahan kimia (aluminium
sulfat, aluminium klorida), dan logam aluminium
(Patricia, 2009).
Komposisi tipikal alumina (Steven dkk., 1998)
adalah 99.3-99.7% Al2O3 (by diff.), 0.30-0.50%
Na2O, 0.005-0.025% SiO2, <0.005-0.040% CaO,
0.005-0.020% Fe2O3, 0.001-0.008% TiO2, <0.001-
0.010% ZnO, <0.0001-0.0015% P2O5, <0.005-
0.015% Ga2O3, <0.001-0.003% V2O5, < 0.05-
0.20% SO3.
4.4. Logam Aluminium
Aluminium merupakan salah satu logam yang
sangat penting dan digunakan secara luas di sektor
transportasi, konstruksi, pengepakan, dan listrik
(Anonim, 2009b):
Di sektor transport, aluminium digunakan
dalam kendaraan bermotor (blok mesin,
kepala silinder, rumah tranmisi, dan panel
bodi), truk dan bus (lembaran dan plat untuk
bodi), rel kereta api, dan pesawat terbang.
Di sektor konstruksi, aluminium digunakan
dalam bentuk produk lembaran untuk atap dan
dinding, jendela dan pintu dan dicetak menjadi
peralatan keras (builders hardware).
Di sektor pengepakan, aluminium digunakan
dalam bentuk lembaran paduan untuk kaleng
minuman, lembaran untuk keperluan rumah
tangga dan pembungkus komersial, untuk
membuat produk pengepak seperti karton
untuk jus buah-buahan dan obat-obatan.
Di sektor listrik, aluminium digunakan dalam
bentuk kawat yang diperkuat dengan baja
membentuk kabel listrik.
103 Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini
5. KESIMPULAN
Potensi cadangan bauksit di Indonesia relatif
besar, tersebar di Kijang (Riau), dan Tayan
(Kalimantan Barat) yang jumlahnya tidak kurang
dari 900 juta ton. Proses peningkatan kadar yang
dapat digunakan ada beberapa macam antara lain
scrubbing, pemisahan dengan magnetik dan me-
dia berat serta flotasi. Pemilihan cara pengolahan
tersebut tergantung pada karakteristik (di
antaranya kandungan mineral pengotor) bijih
bauksi t yang di ol ah, namun yang sudah
diterapkan di Indonesia sampai saat ini hanya
dengan cara pencucian dan scrubbing diikuti
pengayakan dengan ukuran produk + 2 mm.
Bauksit tercuci dapat dikonversi menjadi alumina
melalui proses Bayer dan bila diolah lebih lanjut
dengan cara elektrolisis menghasilkan logam alu-
minium yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan di antaranya di sektor transportasi,
konstruksi, pengepakan, dan listrik.
DAFTAR PUSTAKA
Anoni m, 2007a, Al umi na Process, http://
www.qal.com.au/, diakses 30 April 2007
Anonim, 2007b, Bauxite Wikipedia, the free
encyclopedia, htm, diakses 30 April 2007
Anoni m, 2009a, Al umi ni um, ht t p: / /
www. mt m. kul euven. ac. be/ Educat i on/
N o n M a t I r C o u r s e s / M a t / 5 -
c%20aluminium.doc., diakses 17 Juni 2009
Anonim, 2009b, Alumina, aluminium and bauxite,
diakses 17 Juni 2009
Anonim, 2009c, Bauxite Mineral, Bauxite Informa-
tion, Uses of bauxite, bauxite Supplier, htm,
diakses 17 Juni 2009
Anonim, 2009d,The European Aluminium Asso-
ciation, http://www.azon.com/suppliers asp?,
diakses 17 Juni 2009
Acquah F., Mensah B., Obeng Y., 2008, Produc-
tion of Alum From Awaso Bauxite, Institute of
Industrial Research,CSIR,Accra, Ghana, http:/
/home.att.net/africantech/GhIE/Awaso 1.htm,
published in the Ghana Engineer, May 1999.
Guangyi Liu, Hong Zhong, Yuehua Hu, Shenggui
Zhao and Liuyin Xia, 2007, The role of cat-
ionic polyacrylamide in the reverse flotation of
diasporic bauxite, School of Chemistry and
Chemical Engineering, Central South Univer-
sity, Changsha 410083, PR China, School of
Minerals Processing and Bioengineering, Cen-
tral South University, Changsha 410083, PR
China.
Husaini dan Trisna Soenara, 2003, Pengurangan
Kadar Besi Dalam Bauksit P. Kijang Dengan
Cara Pemisahan Menggunakan Media Berat
(Heavy Media Separation), Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara, Balitbang
energi dan sumberdaya mineral.
Husaini dan Wijayanti, R., 2002, Peningkatan
Kualitas Bauksit dari Pulau Kijang dengan
Magnetik Separator Cara Basah, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Min-
eral dan Batubara.
Husaini, 2007, Penelitian Pendahuluan Pembuatan
Tawas dari Bauksit Kijang, Bahan Galian
Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral.
Husaini dkk., 2007, Peningkatan Kadar Bijih
Bauksit Kijang Dan Tayan Dengan Metode
Scrubbi ng, Laporan Kegi at an Proyek
Kelompok Program Teknologi Pengolahan
Mineral, Pusltbang tekMIRA Jl. Jend. Sudirman
No. 623 Bandung.
Hong Zhong, Guangyi Liu, Liuyin Xia, Yiping Lu,
Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Xinyang Yu,
2008, Flotation separation of diaspore from
kaolinite, pyrophyllite and illite using three cat-
ionic collectors, Institute of Chemistry and
Chemical Engineering, Central South Univer-
sity, Changsha 410083, China
,
Institute of
Minerals Processing and Bioengineering, Cen-
tral South University, Changsha 410083,
China.
Jamieson, E. A. Jones, D. Cooling and N. Stock-
ton, 2006, Magnetic separation of Red Sand
to produce value, Alcoa World Alumina, Tech-
nology Delivery Group, P.O. Box 161,
Kwinana, WA 6966, Australia, Curtin Univer-
sity of Technology, Perth, WA, Australia.
Liuyin Xia, Hong Zhong, Guangyi Liu, Zhiqiang
Huang and Qingwei Chang, 2009, Flotation
separation of the aluminosilicates from di-
aspore by a Gemini cationic collector, School
104 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
of Chemistry and Chemical Engineering, Cen-
tral South University, Changsha, 410083, PR
China,
b
School of Chemical Engineering and
Technology, Tianjin University, Tianjin 300072,
PR China.
Massola, C.P., Chaves, A.P., Lima, J.R.B. and
Andrade, C.F., 2008, Separation of silica from
bauxite via froth flotation,
a
Department of Min-
ing and Petroleum EngineeringEscola
Politcnica, USP, 2373, Prof. Mello Moraes
Av. 05508-900 SP, Brazil, Companhia Brasileira
de Alumnio, Mira Department, Fazenda
Chorona, Mira 36790-000, MG, Brazil.
Nandi, A. K., 2004, Present Status Of Bauxite-
Alumina Industry Of India, Minerals and Met-
als Division, MFC Commodities India 104-B,
Suraksha Apartments, 16, Hindustan Colony,
Amravati Road Nagpur-440033; INDIA.
Patricia A. Plunkert, 2009, Bauxite And Alumina,
http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/com-
modity/bauxite/090495.pdf.
Steven F. McGrath and Lawrence C. Farrar, 1998,
Sonochemical Technology for Processing
Bauxite, http://doc.tms.org/ezMerchant/
prodtms.nsf/ProductLookupItemID/JOM-9805-
34/$FILE/JOM-9805-34F.pdf?OpenElement,
diakses Juni 2009.
Zhenghe Xu, Verne Plitt and Qi Liu, 2004, Recent
advances in reverse flotation of diasporic ores
A Chinese experience, Department of Chemi-
cal and Materials Engineering, University of
Alberta, 536 Chemical-Mineral Engineering
Building, Edmonton, Alta., Canada T6G 2G6.
PRESENTASI MAKALAH
PARALEL III
105 Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti
KARAKTERISASI MERKURI DALAM SEDIMEN DAN
AIR PADA PENGOLAHAN TAILING AMALGAMASI DI
KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT
SECARA SIANIDASI
(STUDI KASUS KUD PERINTIS, DAERAH TANOYAN SELATAN)
M. Lutfi dan Retno Damayanti
Psat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. (022) 6030843 Faks. (022) 6003373
e-mail : lutfi@tekmira.esdm.go.id, retnod@tekmira.esdm.go.id
SARI
Pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat umumnya dilakukan dengan proses
amalgamasi menggunakan merkuri (Hg). Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para penambang
emas rakyat menyebabkan limbah tailing dari bijih emas berbentuk halus yang masih mengandung
emas dan bulir Hg langsung dibuang ke perairan, sehingga produk yang dihasilkan sangat rendah dan
dapat menimbulkan pencemaran yang tinggi.
Di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara, tambang emas
skala kecil yang dikelola KUD Perintis mengalihkan proses pengolahan emas dari secara amalgamasi
cara sianidasi untuk meningkatkan perolehan bijihnya. Pada saat ini, proses yang berlangsung
merupakan gabungan dari proses amalgamasi dan sianidasi, yakni mengolah tailing yang berasal dari
proses amalgamasi dengan cara sianidasi.
Dampak negatif kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan cara sianidasi diamati melalui kondisi
kualitas perairan dan sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air berkisar antara
(0,01 - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian yakni di daerah hulu, outlet pengolahan, dan hilir.
Kondisi ini telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II dan KEP-
202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga.
Konsentrasi Hg pada sedimen yang berkisar pada 0,17 - 0,20 ppm di semua lokasi penelitian belum
melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai Washington state Sediment, WAC
172 204 320). Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring turunnya merkuri di air
ke dasar sungai.
Kata kunci : pertambangan rakyat, amalgamasi, merkuri, tailing, pertambangan emas rakyat
106 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembangunan nasional yang
berwawasan lingkungan adalah terciptanya
keserasian hubungan antara manusia dengan
l i ngkungan al am seki tarnya dengan cara
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam laporan
Komi si Seduni a tentang Li ngkungan dan
Pembangunan (WCED, 1987) pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan
yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka (www.fathom.com). Oleh karenanya
pengelolaan bahan galian harus diupayakan
secara optimal sesuai denganazas konservasi dan
berwawasan lingkungan dengan menekan dampak
negatif yang ditimbulkan seminimal mungkin.
Usaha pertambangan oleh sebagian masyarakat
sering dianggap sebagai penyebab kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada
kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil,
pengolahan bijih emas dilakukan melalui proses
amalgamasi dengan merkuri (Hg) sebagai media
untuk mengikat emas. Merkuri (Hg) yang dipakai
dalam pengolahan ini termasuk dalam kategori B3
(Rachmat Yusuf, 2004).
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para
penambang, menyebabkan limbah yang berupa
ampas pengolahan (tailing) yang dihasilkan masih
mengandung emas dan butir-butir Hg yang
biasanya langsung dibuang ke perairan. Sebagai
akibatnya, perolehan hasil akhir (produk) yang
didapat sangat rendah. Berdasarkan kenyataan
tersebut, tambang rakyat di Sulawesi Utara
mengubah sistem pengolahannya dengan
menggunakan proses sianidasi baik untuk
mengolah bijihnya ataupun ampas pengolahannya
yang masih mengandung emas. Proses sianidasi
unt uk t ai l i ng pengol ahan di pakai unt uk
meningkatkan perolehan produknya. Namun
proses sianidasi ini, menimbulkan juga dampak
negati f karena tai l i ng amal gamasi masi h
mengandung merkuri dan logan ikutan lainnya,
seperti Cu, Pb, Zn. Adanya interaksi ion Hg dengan
CN akan mempermudah kelarutan, penyebaran
dan termetilasi (pembentukan metil-Hg), sehingga
diperkirakan bahaya yang ditimbulkan akan lebih
tinggi. Secara umum proses sianidasi pada
pengolahan bijih emas pada pertambangan emas
rakyat dilakukan pada kondisi basa. Meskipun
sebagian besar sianida dalam proses pengolahan
ini dapat dimanfaatkan kembali, air larian dari
penyaringan kompleks emas sianida masih tetap
mengandung senyawa beracun ini meski dalam
ABSTRACT
Artisanal gold mine generally proceeds in amalgamation process. Due to the lack of skill and knowladge,
miners usually dispose tailing that contains gold and mercury directly to the water. Of course it will
produce low gold recovery and cause high risk in environmental pollution.
At Lolayan in the Bolaang Mongondow district, North Sulawesi, the small scale goldmining whichman-
aged by KUD Perintis change gold processing from amalgamation to cyanidation methode to improve
gold ore receipt. But sometimes they were combined both of the two methodes by processing the
amalgamation tailing with cyanidation methode.
The negative impacts of cyanidation process to the amalgamation tailing was conducted by observe
the water quality and its sediment surrounding the processing area. Mercury concentration in water
was found in the range of 0,01 - 0,034 mg/L. Those happened in almost entire waters from upstream
to downstream. Unfortunately, the mercury concentration has exceeded the standard mentioned in
Government Regulation No. 82/2001 about Water Quality Assessment and Water Pollution Handling
Class II and in the Decree of Environment Ministry KEP-202/MENLH/2004 about Waste water stan-
dard for Gold/Copper Processing. Mercury concentration in the sediment found in the range of 0,17 -
0,20 ppm in all sampling location. These are still in the permitted concentration range (based on
Washington state Sediment, WAC 172-204-320). But mercury concentration could become increased
as the mercury
Keywords : amalgamation, cyanidation, tailing, gold artisanal mining
107 Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti
jumlah yang relatif sedikit. Pada kegiatan tambang
rakyat yang dilakukan di KUD ini, biasanya hasil
tailing proses amalgamasi diproses lagi guna
meningkatkan perolehan bijih. Tahapan-tahapan
proses pengolahan dengan sistem sianidasi dapat
dilihat pada Gambar 1.
Setelah proses pelindian selesai, dilakukan dengan
proses penyaringan (screening) untuk memisahkan
karbon aktif yang telah menyerap kompleks
sianida - emas dan membuang tailingnya. Karbon
aktif hasil penyaringan tersebut digarang (roasted)
sampai menjadi abu untuk menghilangkan
senyawa sianidanya, abu hasil penggarangan
ditambah boraks dan digarang lagi untuk
menghasilkan bulion emas dan perak. Bulion
tersebut selanjutnya direaksikan dengan aqua re-
gia untuk memisahkan emas dan peraknya.
Dampak pemakaian sianida pada kegiatan
pengolahan emas di tambang-tambang rakyat
diperkirakan akan lebih serius mengingat senyawa
sianida tersebut mampu melarutkan logam-logam
lain yang terdapat di dalam batuannya. Di samping
itu apabila kreativitas rakyat dalam mengkom-
binasikan proses amalgamasi dan sianidasi tidak
dapat terkontrol diperkirakan akan terjadi pula
peningkatan dalam jumlah merkuri yang ikut
terlarutkan.
Penelitian ini hendak melihat karakteristik merkuri
yang berasal dari tailing amalgamasi yang diolah
dengan cara sianidasi. Disamping itu akan diamati
pula kandungan logam-logam berat lain yang
terdapat dalam batuan pembawa bijihnya serta
karakteristik sedimen pada kolam pengendapan
pada proses si ani dasi . Berbeda dengan
kontaminasi yang umumnya terjadi di lingkungan,
penurunan kual i t as ai r permukaan yang
disebabkan oleh adanya logam-logam berat
terlarut akibat proses sianidasi merupakan param-
eter yang akan dominan diamati. Parameter CN
total yang berasal dari perairan dan kolam
pengendapan akan ditentukan pula.

SettlingPond
(kolampengendap)
Roasting
(penggarangan)
Roasting
(penggarangan)
TailingAmalgamasi
TankiPenampungan
crusher, stampmill, ballmill
TankiReaktorSianidasi
Screen
(penyaring)
Tailing
Reaksiyangterjadi:
2Au+4NaCN+1/2O +H O
2NaAu(CN) +2NaOH
BullionEmasdanPerak
LarutanNaCN
KarbonAktif
Kapur
Karbonaktifyang
menyerapkompleks
emasdansianida
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan bijih emas sistem sianidasi
108 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
2. METODOLOGI
Lokasi Penelitianterletak di daerah Tanoyan,
Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
daerah ini merupakan salah satu daerah tambang
rakyat yang dikelola oleh KUD Perintis yang
mengolah bijih emas dan tailing amalgamasi
dengan proses sianidasi. Lokasi penelitian terletak
+ 240 km dari Kota Manado atau 30 km dari Kota
Kotamobagu (gambar 2).
kan peralatan pH meter (water quality checker),
conductivity meter. Parameter kimia lain seperti
merkuri dan logam-logam terlarut ditentukan dengan
Atomic Absorption Spectrometer.
Metode Pengambilan Conto yang dilakukan,
meliputi; conto bijih, ampas, sedimen, air,
sedangkan analisis yang digunakan untuk logam
berat dengan metode AAS.
Gambar 2. Peta kesampaian daerah
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan survey langsung (Grounded check-
ing), yang meliputi pengambilan contoh air dan
sedimen. Lokasi pengambilan conto air ada di 3
tempat, yaitu di hulu pengolahan, lokasi pengolahan,
dan hilir pengolahan. Titik-titik lokasi tersebut
ditampilkan pada gambar 2. Pada lokasi pengolahan
dilakukan pengambilan contoh di 4 kolam
pengendapan.
Parameter tertentu seperti pH dan Daya Hantar Listrik
ditentukan langsung di lapangan dengan mengguna-
Untuk parameter logam, penyimpanan contoh
dilakukan dalam wadah contoh bervolume 500
mLyang terbuat dari plastik. Untuk keperluan
analisis laboratorium, volume conto yang
diperlukan adalah sebanyak 100 mL untuk merkuri.
Untuk merkuri diberikan penambahan pengawet
HNO3 dengan pH <2 yang dapat bertahan hingga
6 bulan. dapat membuat contoh bertahan hingga
7 hari. Conto yang akan dianalisis disaring terlebih
dahulu untuk menghindari suspensi yang terlarut.
Penyaringan dibantu dengan pompa vacuum untuk
mempercepat proses.
109 Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti
Pengambilan conto sedimen dilakukan secara
grab sampling dengan menggunakan sekop pada
lokasi pengambilan air dan di salah satu mulut
tambang. Conto yang diambil masing-masing 1
kg, kemudian dimasukkan ke dalam kantung
plastik berlabel.
Adapun parameter-parameter yang dianalisis di
laboratorium adalah merkuri (Hg) dan logam-logam
berat lain seperti Pb, Cu dan Zn.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kualitas Air (Air Sungai)
Kualitas air merupakan hal yang paling pokok
dalam kegiatan ini karena air (sungai) merupakan
tempat bercampurnya faktor-faktor alami dengan
unsur-unsur pencemar dan air juga merupakan
unsur esensial yang dibutuhkan oleh makhluk
hidup dalam kehidupan kesehariannya (UNEP,
Gambar 3. Peta lokasi pengambilan contoh
Tabel 1. Koordinat lokasi pengambilan contoh
No. Lokasi
Titik
LU BT
1 Hulu 124 15 40,22" 0 36 28,47"
2 Pengolahan 124 15 05,27" 0 36 27,83"
3 Hilir 124 16 23,34" 0 36 2,81"
110 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1991). Sehingga dapat dikatakan badan air
merupakan tempat interaksi langsung antara unsur
hayati dengan unsur pencemar. Secara alamiah
sungai mempunyai kemampuan dal am
pembersihan diri (self purification) sepanjang
buangan yang diterima sungai tidak melebihi
kapasitas asimilasi sungai (assimilative capacity).
Sementara, dalam kurun waktu cukup lama, unsur
merkuri yang terbuang ke sungai kemungkinan
dapat menjadi senyawa metil merkuri yang
berbahaya melalui proses yang terjadi secara
alamiah.Hasil pengukuran parameter fisik air di
lapangan (pH, temperatur, DHL, TDS, dan TSS)
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.
Analisis laboratorium conto air untuk logam berat
ditentukan dengan metode spektrofotometri.
Kegiatan tersebut digunakan untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang telah terjadi di daerah
sekitar penambangan khususnya dan daerah
Tanoyan Selatan, Kecamatan Lolayan sebagai
akibat adanya pertambangan bijih emas dengan
sebagian besar hasil pengolahan limbahnya
dibuang ke anak sungai Onggak. Hasil analisis
laboratorium conto air dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Menurut data kualitas air yang diperoleh, diketahui
kadar merkuri (Hg) di semua lokasi percontoan
Tabel 2. Parameter fisik contoh air di lokasi pengolahan dan sungai di sekitarnya
No. Lokasi pH
TDS
Suhu DHL TSS
[C] [mhos] [mg/L]
1. Air bor dapur 8,34 160 - - 4.8
2. Kolam pengolahan 1 8,37 500 30,2 852 88
3. Kolam pengolahan 2 6,35 390 29,3 648 208
4. Kolam pengolahan 3 8,56 250 31,4 391,4 743
5. Kolam pengolahan 4 2,85 670 31,1 989 108.8
6. Outlet pengolahan bijih 8,2 210 27,2 312 18
7. Hulu Sungai Tanoyan 8,34 160 24,8 245,7 -
8. Outlet pengolahan keseluruhan 8,12 190 27,3 337 42
9. Hilir 8,37 180 28,3 267,8 4.8
Tabel 3. Hasil analisis sianida dan logam-logam berat dalam contoh air di lokasi pengolahan
dan sungai di sekitarnya
No. Lokasi
CN Total Hg Pb Cu Zn
[mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L]
1 Air bor dapur* 0,058 0,055 0,110 0,002 0,073
2 Kolam pengolahan 1 86,400 0,17 0,068 8,110 0,550
3 Kolam pengolahan 2 3,920 0,16 0,073 26,200 0,055
4 Kolam pengolahan 3 21,700 0,17 0,110 4,790 0,033
5 Kolam pengolahan 4 2,170 0,15 0,170 1,490 0,080
6 Outlet pengolahan bijih 16,700 0,20 0,097 3,230 0,068
7 Hulu S. Tanoyan** 0,066 0,024 0,089 0,150 0,048
8 Outlet pengolahan keseluruhan*** 7,960 0,010 0,083 0,042 0,030
9 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)** 0,019 0,034 0,110 0,0160 0,023
Baku Mutu* 0,1 0,001 0,05 1 5
Baku Mutu** 0,02 0,002 0,03 0,02 0,05
Baku Mutu *** 0,5 0,005 1 2 5
Catatan:
* Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum
** Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II
*** KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga
111 Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti
(hulu dan hilir sungai Tanoyan serta outlet pengolahan
keseluruhan) sudah melebihi baku mutu yang
ditentukan. Bahkan pada daerah hulu, dimana
badan air belum mendapatkan masukan dari
proses pengolahan maupun proses penambangan,
kadar merkuri pun sudah diatas baku mutu.
Hal ini dapat terjadi karena adanya proses
amalgamasi oleh penambang-penambang lain di
luar KUD yang menggunakan merkuri di daerah
sungai yang lebih tinggi dan/atau adanya susunan
batuan yang mengandung merkuri (Tabel 4 hasil
analisis batuan asal) di daerah penelitian.
sebelum masuk kolam pengolahan (outlet
pengolahan bijih) adalah 0,2 mg/L, dan setelah
melewati 4 kolam pengolahan turun hingga 0,01
mg/L atau turun sebanyak 0,19 mg/L. Kadar
merkuri di daerah hilir lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah outlet pengolahan menandakan
adanya penambahan merkuri yang mungkin
berasal dari kegiatan di sekitar sungai tersebut
meskipun pemerintah daerah sudah melakukan
berbagai pembatasan.
Kadar sianida yang berada diatas baku mutu
terdapat di daerah/area pengolahan, hal ini
Tabel 4. Hasil analisis sedimen pada kedalaman 0 10 cm dan batuan
No. Lokasi
Hg Pb Cu Zn As Cr Ni
[ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm]
1 Kolam pengolahan 1 0,70 tt 17,86 54,3 74,70 45,6 8,31
2 Kolam pengolahan 2 0,37 14,14 47,10 136,0 51,00 56,5 4,27
3 Kolam pengolahan 3 0,36 65,40 162,00 367,0 39,00 86,0 8,98
4 Kolam pengolahan 4 3,01 33,90 60,7 136,0 105,00 79,3 0,88
5 5 meter dari pengolahan bijih 2,66 17,27 130,00 74,9 74,20 158,4 2,35
6 Hulu S. Tanoyan* 0,17 tt 56,70 100,0 0,97 42,0 3,87
7 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)* 0,20 tt 87,90 97,8 1,29 47,5 4,06
8 Lubang tambang (batuan asal) 0,16 6,88 34,70 428,0 1,74 38,5 10,47
Baku Mutu* 0,41 450 390 410 57 250 -
Catatan:
* Washington state Sediment, WAC 172 204 320
Hasil penelitian terdahulu (Selinawati dan Ngurah
Ardha, 2003) pada pertambangan emas di KUD
Perintis data kualitas air yang mengandung kadar
merkuri di kolam pengolahan 1 adalah 0.0814 ppm,
kolam pengolahan 2 adalah 0.0539 ppm, sedangkan
pada S. Onggak (hilir S. Tanoyan) mencapai
0.0011. Pada saat itu, KUD Perintis melakukan
pengolahan dengan proses amalgamasi saja dari
bijih emas dan menggunakan hanya 2 kolam
pengolahan. Data menunjukkan bahwa konsentrasi
Hg dalam air sangat kecil, hal ini kemungkinan
disebabkan karena kelarutan Hg dalam air sangat
kecil. Pada penelitian ini (2008) nilai konsentrasi
Hg di daerah pengolahan berkisar antara 0,15
0,20 ppm. Peningkatan ini dimungkinakn oleh
adanya i on CN dal am pengol ahan tai l i ng
amalgamasi yang dapat melarutkan Hg.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan logam,
kolam pengolahan efektif dalam menurunkan kadar
merkuri pada air buangan, dimana kadar merkuri
di karenakan proses pengol ahan t ai l i ng
amalgamasi menggunakan proses sianidasi. Pada
proses sianidasi ini ditambahkan unsur Zn untuk
mengendapkan logam emas dan peraknya. Tetapi
rendahnya konsentrasi Zn di dalam air (tabel 2)
dibandingkan konsentrasi awal/alami Zn pada
batuan bijih (tabel 3) disebabkan terjadinya
pengendapan unsur Zn selama aliran pengolahan.
Proses yang biasanya terjadi adalah:
2Zn + 2NaAu(CN)2 + 4NaCN + 2H2O = 2Au +
2NaOH + 2Na2Zn(CN)4 + H2
3.2. Kualitas Sedimen
Sedi men merupakan tempat l ogam berat
mengendap secara gravitasi di badan perairan.
Kualitas sedimen badan perairan harus lebih serius
diperhatikan karena sifatnya sebagai tempat akhir
logam berat di alam. Dan pada akhirnya logam
berat yang ada di sedimen dapat kembali ke badan
112 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
air karena berbagai hal, misalnya karena arus
sungai, hujan, atau jalur transportasi (DPE.
Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL untuk
kegiatan Pertambangan dan Energi, 1996).
Kontaminasi merkuri (Hg) dalam sedimen sungai
terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan
termineralisasi), proses pengolahan emas secara
tradisional (amalgamasi), maupun proses industri
yang menggunakan bahan baku yang mengandung
merkuri. Untuk mengetahui sumber kontaminasi
Hg ini perlu diperhatikan dengan cermat.
Untuk mengetahui adanya kontaminasi logam
berat dalam sedimen maka dilakukan pemeriksaan
sedimen di lokasi yang diperkirakan terkena
dampak proses pengolahan tailing. Pengambilan
conto sedimen dilakukan pada kolam pengendap,
hulu sungai, hilir sungai. Selanjutnya conto
sedimen, batuan bijih, dan tanah dianalisis di
laboratorium menggunakan metode AAS.
Dari hasil analisis conto tersebut di atas, kemudian
dilakukan perbandingan dengan peraturan dan
standar yang dapat dianggap sebagai tolok ukur
kualitas konsentrasi unsur di alam. Oleh karena
itu sumber acuan yang dijadikan sebagai
pembanding pada laporan ini adalah Washington
state Sediment, WAC 172 204 320. Data
kualitas sedimen dapat dilihat pada tabel 4.
Adapun hasil penelitian kandungan merkuri dalam
sedimen apabila dibandingkan dengan data tahun
2003 menunjukkan penurunan. Namun demikian
nilai tersebut masih dibawah ambang batas aman.
Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai
kualitas air dan sedimen pada tahun 2003 sebagai
pembanding dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan hasi l di atas, terl i hat bahwa
kandungan merkuri pada sedimen di daerah yang
memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat
sekitar (daerah hulu dan hilir sungai Tanoyan)
berada dibawah ambang batas aman yang
dikeluarkan Washington state Sediment, WAC
172 204 320. Tetapi tetap perlu diperhatikan
adanya keterkaitan antara kadar merkuri di air dan
sedimen dengan beberapa faktor lingkungan, yaitu
hujan, arus sungai, dan jalur transportasi
masyarakat.
Tabel 5. Conto data kualitas air dan sedimen di KUD Perintis tahun 2003
No Lokasi
Konsentrasi Hg [ppm]
A i r Sedimen
1 Kolam Pengolahan 1 0,0814 0,67
2 Kolam Pengolahan 2 0,0539 3,12
3 S. Tanoyan 1 (Hulu S. Tanoyan) 0,001 0,42
4 S. Tanoyan 2 0,0739 1,49
5 S. Tanoyan 3 0,0179 5,97
6 S. Onggak 0,0011 0,92
Sumber : Selinawati dan Ngurah Ardha, 2003
Gambar 4. Hubungan keterkaitan antara konsentrasi merkuri di sedimen dan air
113 Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti
Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan antara
konsentrasimerkuri di sedimen dan air, di mana
semakin ke hilir badan air. Sedangkan jumlah
merkuri di air dan sedimen sangat berkaitan,
dimana keberadaan merkuri di air merupakan
tempat singgah sementara sebelum sampai di
dasar (berkaitan dengan berat jenisnya) dan juga
merupakan pelepasan merkuri dari sedimen yang
diakibatkan beberapa faktor, antara lain arus
sungai (karena merupakan sungai dangkal), hujan,
ataupun lintasan transportasi dari masyarakat
sekitar. Kadar merkuri di air pada daerah
pengolahan relatif rendah dibandingkan pada
sedimen, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan
kompleks sebagai senyawa merkuri-sianid (HgCN)
yang mengendap.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian pengolahan tailing
dengan proses sianidasi dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
Berdasarkan informasi dari penambang
karakterisasi pada kegiatan pengolahan tail-
ing amalgamasi dengan proses sianidasi
di pert ambangan emas rakyat dapat
meningkatkan efisiensi perolehan bulion emas
dari bijihnya, dari +40% secara amalgamasi
sendiri menjadi +90% secara kombinasi
amal gamasi dan si ani dasi , sehi ngga
meningkatkan pendapatan para penambang.
Proses kombinasi ini diterapkan karena
keberadaan bijih emas dengan bentuk kasar
semakin sedikit.
Kegiatan pengolahan tailing amalgamasi
dengan proses sianidasi memberikan dampak
negatif terhadap kualitas air dan sedimen
disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi
Hg di air (0,01 - 0,034 mg/L) pada semua
lokasi penelitian (hulu, outlet pengolahan, dan
hilir) melewati baku mutu yang diperbolehkan
(sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II
dan KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku
Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih
Emas dan/atau Tembaga). Konsentrasi Hg
pada sedimen (0,17 - 0,20 ppm) pada semua
lokasi penelitian belum melewati ambang
batas aman terhadap racun yang ada (sesuai
Washington state Sediment, WAC 172 204
320) yaitu sebesar 1 ppm. Tetapi kadar
merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring
mengendapnya merkuri ke dasar sungai.
4.2. Saran
Dari kegiatan penelitian merkuri dalam sedimen
dan air pada pengolhan tailing amalgamasi di
pertambangan emas rakyat secara sianidasi,
maka diperlukan:
Pembinaan terhadap para penambang dan
pengusaha pengolahan tailing agar lebih
memeperhatikan aspek lingkungan dalam
setiap kegiatannya.
Diperlukan adanya pengawasan yang lebih
ketat dari pemerintah baik pusat maupun
daerah berkaitan dengan kegiatan penam-
bangan dan pengolahan emas yang memiliki
dampak besar terhadap lingkungan.
Perlu dibentuk wilayah pertambangan rakyat
(WPR) untuk lebih memudahkan pemerintah
dalam hal koordinasi dan pengawasan
kegiatan penambangan dan pengolahan emas
rakyat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Selinawati TD dan Bapak Harry Tetra Antono atas
saran serta sumbang wawasan terhadap tulisan
ini.Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada
Bapak Marsen Alimano dan Ibu Wulandari Surono
yang telah membantu selama percobaan dan
penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Sediment Quality Standards (WAC 172-
204-320). Washington NEL.
Draft. Global Mercury Project, 2004, Protocol for
Environment and Health Assessment.
Departemen Pertambangan dan Energi., 1996,
Pedoman Teknis Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Li ngkungan Untuk
Kegiatan Pertambangan dan Energi.
http://www.fathom.com/course/seasion2
114 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah
Pertambangan Tanpa Ijin (PETI, 2000,
Penanggulangan Masalah Pertambangan
Tanpa Izin (PETI) (Implementasi Inpres No.
3 Tahun 2000). Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Selinawati.T.D. and Ngurah Ardha, 2003, Study
On Mercury Lost and Its Concentration from
Artisanal Gold Minings in Indonesia. Research
and Development Center for Mineral and Coal
Technology.
Yusuf , Rachmat , 2004, Amal gamasi .
Penambangan dan Pengolahan Emas di In-
donesia. Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara.
World Commision on Enviroment & Development
(WCED), 1987
115 Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.
PENGARUH PENGGUNAAN ULTRASONIK
TERHADAP HASIL PEMISAHAN PASIR ZIRKON
KALIMANTAN TENGAH DENGAN ELECTROSTATIC
SEPARATOR
Pramusanto
1
, Nuryadi Saleh
1
, Yuhelda
1
dan Fitriza Yuliana
2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : pramusanto@tekmira.esdm.go.id, nuryadi@tekmira.esdm.go.id, yuhelda@tekmira.esdm.go.id
2
Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Islam Bandung (UNISBA)
Jl. Taman Sari No. 1, 20, 22, 24, 26 Bandung 40116
SARI
Zirkon sebagai hasil tailing dari pengolahan emas aluvial di Kalimantan Tengah memiliki kadar yang
rendah yaitu 36,38 % ZrO2 sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dijual ataupun diekspor.
Peningkatan kadar zirkon dilakukan dengan beberapa metoda pengolahan. Zirkon yang dilakukan
pemisahan merupakan konsentrat dari magnetik separator basah. Pemisahan dilakukan berdasarkan
perbedaan sifat konduktifitas listrik menggunakan electrostatic separator dimana mineral zirkon (ZrSiO4)
sebagai mineral non konduktor akan terpisah dari mineral pengotornya sebagai mineral konduktor
seperti ilmenit (FeTiO3) dan rutil (TiO2). Sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel variabel
optimum pada electrostatic separator terlebih dahulu umpan mendapat perlakuan ultrasonik
(sonikfikasi).
Variabel variabel optimum pada electrostatic separator :
Variabel tegangan listrik 30 KV
Variabel posisi splitter 30
Variabel skala kecepatan umpan 7,5
Variabel optimum pada ultrasonik yaitu selama 30 menit dimana umpan yang mendapat perlakuan
ultrasonik dapat membersihkan pasir zirkon dari unsur unsur minor yang tidak diinginkan.
Kata kunci: zirkon, ultrasonic, electrostatic separator
ABSTRACT
Zircon as tailing product of alluvial gold processing in Central Kalimantan has low grade that is 36,38
% ZrO2 so that has not fulfilled clauses to be sold and or is exported. Upgrading of zircon grade is
done with a few processing method. Zircon done by concentration is concentrate from wet magnetic
separator. Concentration is done based on different of electrical conductivity property applies electro-
static separator where zircon mineral (ZrSiO4) as non conductor mineral will separated from its the
gangue mineral as conductor mineral for example ilmenite (FeTiO3) and rutile (TiO2). Before feeder
concentration using optimum variables at electrostatic separator beforehand feed got treatment of
ultrasonic (sonicfication).
116 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Optimum variables at electrostatic separator :
Voltage variable 30 KV
Variable position of splitter 30
Feed speed scale variable 7,5
Optimum variable at ultrasonic that is during 30 minutes where feeder getting treatment of ultrasonic
can clean zircon sand from minor elements undesirable.
Keyword: zircon, ultrasonic, electrostatic separator
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil
zirkon memiliki penyebaran zirkon di Sumatera
(Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Pulau Bangka,
Pulau Belitung) dan di Kalimantan (Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur) [Suhala dan Arifin,
1997]. Zirkon yang terdapat di Pulau Bangka adalah
mineral ikutan bijih timah (kasiterit) yang
merupakan tai l i ng dari pengol ahan ti mah
sedangkan zirkon yang terdapat di Kalimantan
Tengah adalah mineral ikutan bijih emas aluvial
yang merupakan tailing dari pengolahan bijih emas
dengan alat sederhana sluice box. Karakteristik
mineral - mineral pengotor pada zirkon sangat
tergantung dari ganesa mineral sehingga setiap
tempat memiliki karakteristik mineral yang
berbeda (Pramusanto, Dahlan dan Saleh, 2007).
Zirkon yang ditemukan di Kalimantan Tengah
kemungkinan berasosiasi dengan mineral min-
eral pengotor seperti ilmenit (FeTiO
3
), monasit
((Ce, La, Y, Th)PO
4
), rutil (TiO
2
), xenotim (YPO
4
)
dan kuarsa (SiO
2
) [www.bgl.esdm.go.id]. Sebagian
besar mineral mineral pengotor di atas
merupakan mineral berat sehingga perlu dilakukan
pengolahan dan peningkatan nilai tambahnya.
Pendekatan proses pengolahan mineral zirkon,
proses mana yang lebih baik itu umumnya
tergantung pada karakteristik zirkon yang akan
diolah maupun pemanfaatan dari produk yang akan
dihasilkan (Pramusanto dkk, 1997).
Pemisahan secara kering yang dilakukan pada
mineral - mineral berat yang terdapat dalam
konsentrat menggunakan berbagai macam
pemisahan berdasarkan sifat - sifat fisik mineral
seperti konduktifitas listrik, kemagnetan dan gaya
berat (Woodcock, 1980). Perlakuan ultrasonik
(sonikasi) dilaporkan dapat membersihkan lebih
lanjut terhadap produk pasir zirkon dari unsur
unsur minor yang tidak diinginkan (Farmer, 2007).
Hasil penelitian pengolahan terdahulu yang telah
dilakukan (Saleh dan Pramusanto, 2007) yaitu
pemisahan berdasarkan berat jenis menggunakan
meja goyang dan berdasarkan sifat kemagnetan
menggunakan magneti k separator keri ng
dilanjutkan dengan magnetik separator basah.
Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap
konsentrat magnetik separator basah ternyata
masih terdapat unsur-unsur mineral pengotor
seperti rutil (TiO
2
) dan ilmenit (FeTiO
3
). Mineral
rutil dan zirkon bersifat non magnet sehingga
proses pengolahan yang dilakukan sebatas
pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan masih
belum memadai.
Untuk membersihkan partikel partikel halus yang
menempel pada permukaan zirkon, sehingga
umpan perlu mendapat perlakuan ultrasonik
sebelum dipisahkan menggunakan variabel
variabel optimum pada electrostatic separator.
2. METODOLOGI
Metodologi peningkatan kadar pasir zirkon
Kalimantan Tengah yang telah dilakukan studi
bahan baku oleh pihak laboratorium pengolahan
tekMIRA, yaitu dengan melakukan percobaan
menggunakan ul trasoni k sebel um umpan
dipisahkan menggunakan variabel variabel opti-
mum pada electrostatic separator. Analisis
terhadap nisbah konsentrasi (NK) bertujuan untuk
mengetahui perbandingan antara berat umpan
yang akan dipisahkan dengan berat konsentrat
yang diperoleh pada proses pemisahan yang
dilakukan dan kemudian akan korelasikan dengan
kadar zirkon (ZrO
2
).
2.1. Persiapan dan Analisis Umpan
Preparasi umpan yang akan di pi sahkan
berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik
117 Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.
yang berasal dari konsentrat magnetik separator
basah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
contoh yang representatif.
2.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon
dengan Electrostatic Separator
Peningkatan kadar pasir zirkon dalam penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan elec-
trostatic separator yang digunakan dalam
peningkatan kadar. Peningkatan kadar dapat
dilakukan dengan cara memisahkan mineral non
konduktor sebagai mineral berharga yaitu ZrSiO4
dengan mineral - mineral konduktor sebagai min-
eral pengotor seperti; TiO2, FeTiO3 dan lain-lain
menggunakan electrostatic separator. Alat elec-
trostatic separator yang digunakan dalam
percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Percobaan dilakukan dengan variabel waktu getar
selama 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit.
Pertama sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur
yang berukuran 250 ml dan ditambahkan air
sebanyak 150 ml atau 60 % dari kapasitas tempat
penampungannya. Kemudian gelas ukur tersebut
diletakkan di atas jaring atau kawat yang berada
di dalam alat ultrasonik. Getaran yang terjadi pada
alat ultrasonik membawa mineral ringan terangkat
ke atas sehingga berdasarkan masingmasing
waktu yang di variabelkan, terdapat perbedaan
warna mineral yang berada di dalam gelas ukur
yang telah bercampur dengan air. Setelah
digetarkan menggunakan alat ini, mineral yang
berada pada posisi atas dipisahkan dan terlihat
lebih berwarna hitam sedangkan pada posisi
bawah sebagai konsentrat berwarna coklat
kemerah merahan.
Setelah perlakuan ultrasonik dilakukan, kemudian
dilakukan pemisahan basah secara manual antara
partikel mineral berat yang berada pada bagian
bawah gelas ukur dengan partikel mineral ringan
yang berada pada bagian atas. Partikel yang
berada pada bagian atas diambil menggunakan
sendok tipis secara perlahan, sedangkan sisanya
yang melayang diambil dengan cara disaring
menggunakan kertas penyaring. Ukuran partikel
mineral sebagai hasil saringan terlihat sangat halus
dibandingkan dengan ukuran butiran partikel yang
mengendap. Selama percobaan ini juga terlihat
air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh.
Sampel hasil pemisahan setelah perlakuan
ultrasonik kemudian dijadikan umpan pada
pemisahan dengan electrostatic separator setelah
dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pengering
selama satu hari. Kemudian pemisahan dilakukan
Gambar 1. Electrostatic Separator dari
Reichert Equipment tipe MK III
Bench seri 063
2.3. Percobaan Menggunakan Ultrasonik
Percobaan menggunakan alat ultrasonik yang
biasa digunakan untuk membersihkan ayakan
berukuran halus, seperti pada Gambar 2; dalam
penelitian ini dilakukan untuk membersihkan
partikelpartikel halus yang mungkin masih
menempel pada permukaan butiran umpan
sebelum dipisahkan dengan electrostatic separator.
Gambar 2. Alat ultrasonik
118 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
pada kondisi variabel optimum dengan electro-
static separator yang telah dilakukan pada
percobaan sebelumnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Analisis Umpan
Hasil analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar
X) t erhadap umpan sebel um di pi sahkan
menggunakan electrostatic separator dapat dilihat
pada Gambar 3, menjabarkan grafik persentase
semua unsur yang terdeteksi dalam skala logaritma.
terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 pada
Gambar 4 yaitu semakin besar tegangan listrik
yang digunakan maka nisbah konsentrasinya
semakin kecil dan kadar ZrO2 yang dihasilkanpun
semakin besar. Pemisahan yang baik seharusnya
menghasilkan nisbah konsentrasi yang besar dan
kadar ZrO2 yang besar pula. Hal ini berbeda
dengan hasil percobaan yang dilakukan yang
kemungki nan di sebabkan ol eh pengaruh
perbedaan sifat kelistrikan atau konduktifitas min-
eral-mineral yang terdapat dalam umpan seperti
mineral zirkon (ZrSiO4), ilmenit (FeTiO3), hematit
(Fe2O3), rutil (TiO2) dan lain-lain. Kemungkinan
lain dapat disebabkan oleh jarak elektroda yang
ti dak sesuai , tetapi j arak el ektroda ti dak
divariasikan di dalam percobaan ini. Dimana
dengan jarak elektroda yang terlalu dekat dan
tegangan yang besar akan menyebabkan
tertariknya semua mineral, baik yang bersifat
konduktor kuat maupun konduktor lemah.
0.01
0.1
1
10
100
S
i
O
2
A
l
2
O
3
F
e
2
O
3
M
n
O
C
a
O
M
g
O
N
a
2
O
K
2
O
P
2
O
5
T
i
O
2
S
Z
r
O
2
N
b
2
O
5
H
f
O
2
Y
2
O
3
C
r
2
O
3
C
e
O
2
T
h
O
2
Unsur
K
a
d
a
r

(
%
)
Hasil Analisis Umpan

Gambar 3. Hasil analisis umpan


3.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon
dengan Electrostatic Separator
Di dalam percobaan electrostatic separator ini
dilakukan analisis kimia secara XRF (Fluoresen
Sinar X) untuk meninjau perubahan unsur-unsur
terhadap konsentrat akibat pengaruh dari variabel-
variabel percobaan terhadap nisbah konsentrasi
dan peningkatkan kadar.
3.2.1 Pengaruh tegangan listrik terhadap
nisbah konsentrasi dan kadar ZrO
2
Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu
tegangan listrik sedangkan variabel tetapnya pada
posisi splitter 40 dan pada skala kecepatan umpan
5. Hasil percobaan dengan memvariabelkan
tegangan listrik 15 KV, 20 KV, 25 KV dan 30 KV
menghasilkan nisbah konsentrasi secara berturut-
turut sebesar 6,81, 4,39, 3,11, 1,68 dengan kadar
ZrO
2
yang diperoleh sebesar 56,51 %, 57,46 %,
59,67 % dan 61,96 %. Pengaruh tegangan listrik
Gambar 4. Pengaruh tegangan listrik
terhadap nisbah konsentrasi
dan kadar ZrO2 pada posisi
splitter 40

dan skala kecepatan
umpan 5
3.2.2 Pengaruh skala kecepatan umpan
terhadap nisbah konsentrasi dan kadar
ZrO2
Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu
skala kecepatan umpan sedangkan variabel
tetapnya pada tegangan listrik 30 KV dan posisi
splitter 30
0
.

Kecepatan umpan yang digunakan
pada masing masing skala kecepatan umpan
2,5, 5, 7,5, 10 secara berurutan sebesar 0,47
gram/menit, 2,38 gram/menit, 3,4 gram/menit dan
5 gram/menit. Nisbah konsentrasi yang diperoleh
pada skala kecepatan umpan 2,5, (0,47 gram/
menit), 5 (2,38 gram/menit), 7,5 (3,4 gram/menit)
dan 10 (5 gram/menit) secara berturut turut
119 Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.
sebesar 1,19, 1,15, 1,18, 1,14 dengan kadar ZrO2
yang diperoleh sebesar 61,45 %, 62,70 %, 63,42
% dan 62,52 %.
kecepatan umpan 7,5.
Nisbah konsentrasi yang diperoleh setelah
dipisahkan menggunakan electrostatic separator
dengan variabel waktu 15, 30, 45, 60 menit pada
ultrasonik secara berturut turut sebesar 1,10,
1,09, 1,14 dan 1,12 dengan kadar ZrO2 yang
diperoleh sebesar 60,58 %, 60,92 %, 60,68 % dan
60,69 %. Pengaruh penggunaan ultrasonik dengan
variabel waktu terhadap nisbah konsentrasi dan
kadar ZrO2 berdasarkan Gambar 6 di atas adalah
semakin lama waktu getar yang diberikan oleh
ul trasoni k terhadap umpan, maka ni sbah
konsentrasi dan kadar ZrO2 yang dihasilkan akan
semakin besar. Hal ini disebabkan karena lamanya
waktu getar akan mempengaruhi hasil kerja
gelombang ultrasonik sehingga juga akan
berpengaruh terhadap hasil umpan yang akan
dipisahkan menggunakan electrostatic separator.
1.13
1.14
1.15
1.16
1.17
1.18
1.19
1.2
0.47 2.38 3.40 5.00
Kecepatan (gram/menit)
N
i
s
b
a
h

K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i
61
61.5
62
62.5
63
63.5
K
a
d
a
r

Z
r
O
2

(
%
)
NK Kadar

Gambar 5. Pengaruh skala kecepatan


umpan terhadap nisbah
konsentrasi dan kadar ZrO
2
pada tegangan listrik 30 KV dan
posisi splitter 30
Berdasarkan grafik pada Gambar 5, pengaruh
kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi
dan kadar ZrO
2
yaitu semakin cepat umpan yang
diberikan maka nisbah konsentrasinya semakin
kecil dan kadar ZrO
2
yang dihasilkanpun semakin
besar. Dengan kecepatan yang tinggi, umpan yang
berukuran kasar cenderung mengalami lifting ef-
fect meskipun tidak bersifat sebagai konduktor dan
umpan yang berukuran hal us cenderung
mengalami pinning effect. Kecepatan umpan
(gram/menit) pada percobaan ini tergantung skala
kecepatan umpan yang dipakai dan berat masing
masi ng umpan yang di gunakan dal am
percobaan. Kecepat an yang t i nggi akan
mengakibatkan mineral mineral non konduktor
kasar akan terlempar ke konduktor sehingga kadar
zirkon akan rendah.
3.2.3 Pengaruh penggunaan ultrasonik
terhadap nisbah konsentrasi dan kadar
ZrO
2
Ultrasonik bekerja dengan getarannya untuk
melepaskan ikatan ikatan mineral pengotor
lainnya pada mineral zirkon sebagai mineral
utama. Percobaan pada alat ultrasonik dilakukan
dengan memvariabelkan waktu getar selama 15,
30, 45 dan 60 menit. Konsentrat kering dari
ultrasonik kemudian dipisahkan menggunakan
electrostatic separator dengan variabel optimum
pada percobaan sebelumnya yaitu pada tegangan
listrik 30 KV, posisi splitter 30
0
dan skala
1.08
1.09
1.1
1.11
1.12
1.13
1.14
1.15
15 30 45 60
Waktu (Menit)
N
i
s
b
a
h

K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i
60.5
60.6
60.7
60.8
60.9
61
K
a
d
a
r

Z
r
O
2

(
%
)
NK Kadar

Gambar 6. Pengaruh penggunaan


ultrasonik terhadap nisbah
konsentrasi dan kadar ZrO
2
pada tegangan listrik 30 KV,
posisi splitter 30
0
dan skala
kecepatan umpan 7,5
3.2.4 Pengaruh penggunaan ultrasonik
terhadap perolehan dan kadar ZrO2
Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 7
dapat ditarik garis rata rata sehingga diperoleh
grafi k yang menunj ukkan kecenderungan
perubahan perolehan dan kadar ZrO2 terhadap
penggunaan ultrasonik. Berdasarkan waktu getar
selama 15 menit pada alat ultrasonik perolehan
yang didapatkan lebih dari 90 % dan kadar 60,58
% ZrO2. Pada waktu getar selama 30 menit
perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % dan
kadar 60,92 % ZrO2. Pada waktu getar selama 45
menit perolehan yang didapatkan hampir 90 % dan
kadar 60,68 % ZrO2 sedangkan pada waktu getar
120 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
selama 60 menit perolehan yang didapatkan 90
% dan kadar 60,69 % ZrO2. Perbedaan perolehan
dan kadar ZrO2 yang didapatkan pada percobaan
tidak begitu jauh dimana perolehan rata rata
zirkon hampir 90 % dengan kadar 60 % ZrO2.
Kondisi optimum penggunaan ultrasonik yaitu
pada waktu getar selama 30 menit.
unsur - unsur yang kadarnya naik dan turun
bahkan ada beberapa unsur yang hilang. Unsur -
unsur yang kadarnya naik antara lain Al2O3, CaO,
MgO, Na2O, K2O, P2O5, TiO2 dan S. Sedangkan
unsur - unsur yang kadarnya turun antara lain SiO2,
Fe2O3, ZrO2, HfO2 dan Y2O3. Selain itu, beberapa
unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan
ultrasonik antara lain MnO, Nb2O5, Cr2O3 dan
ThO2. Dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa
ada beberapa unsur yang tidak diinginkan hilang
setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik.
Hal ini terjadi karena adanya pengaruh getaran
yang diberikan pada umpan dengan waktu getar
tertentu sehingga dapat melepaskan partikel halus
dari mineral pengotor yang melekat pada
permukaaan umpan yang akan dipisahkan.
Pengaruh gelombang ultrasonik ini cukup kuat dan
efektif untuk melepaskan partikel halus berupa
mirel pengotor yang melekat pada permukaan
sampel bijih zirkon. Selain itu, frekuensi yang ada
pada ultrasonik kemungkinan akan mempengaruhi
terjadinya efek mekanik seperti gerakan gerakan
partikel pada umpan yang berada di dalam gelas
ukur sehingga dapat menimbulkan gaya gesek,
tekanan dan getaran pada butiran umpan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan terhadap pengaruh
penggunaan ultrasonik terhadap pasir zirkon
Kalimantan Tengah hasil pemisahan dengan elec-
trostatic separator, didapat beberapa kesimpulan :
1. Pada percobaan pengaruh tegangan listrik,
kadar ZrO
2
optimum sebesar 61,96 % yaitu
pada tegangan listrik 30 KV dengan nisbah
konsentrasi 1,68.
2. Pada percobaan pengaruh skala kecepatan
umpan, kadar ZrO
2
optimum sebesar 63,42
% yaitu pada skala 7,5 (3,4 gram/menit)
dengan nisbah konsentrasi 1,18.
3. Pada percobaan umpan yang mendapat
perlakuan ultrasonik, kadar ZrO
2
optimum
sebesar 60,92 % yaitu pada waktu getar 30
menit dengan nisbah konsentrasi 1,09 dan
perolehan lebih dari 90 %.
4. Adanya beberapa unsur yang hilang setelah
mendapat perlakuan ultrasonik (sonikasi)
diantaranya MnO, Nb
2
O
5
, Cr
2
O
3
dan ThO
2
.
87
88
89
90
91
92
93
15 30 45 60
Waktu (Menit)
P
e
r
o
l
e
h
a
n

(
%
)
60
60.2
60.4
60.6
60.8
61
K
a
d
a
r

(
%
)
Perolehan ZrO2 Kadar ZrO2

Gambar 7. Pengaruh penggunaan


ultrasonik terhadap perolehan
dan kadar ZrO2 pada tegangan
listrik 30KV, posisi splitter 40
dan skala kecepatan umpan 7,5
Selain itu, hasil analisis pada percobaan dengan
variabel optimum yaitu pada tegangan listrik 30
KV, posisi splitter 30
0
dan skala kecepatan umpan
7,5 diperbandingkan antara umpan yang tidak dan
yang mendapat perlakuan ultrasonik. Hasil
perbandingan dapat dilihat pada Gambar 8.
0.01
0.1
1
10
100
S
iO
2
A
l2
O
3
F
e
2
O
3
M
n
O
C
a
O
M
g
O
N
a
2
O
K
2
O
P
2
O
5
T
iO
2
S
Z
r
O
2
N
b
2
O
5
H
f
O
2
Y
2
O
3
C
r
2
O
3
T
h
O
2
Unsur
K
a
d
a
r

(
%
)
Sebelum Mendapat Perlakuan Ultrasonik Setelah Mendapat Perlakuan Ultrasonik

Gambar 8. Perbandingan kandungan unsur-


unsur sebelum dan setelah
mendapatkan perlakuan
ultrasonik
Berdasarkan Gambar 8, setelah umpan mendapat
perlakuan ultrasonik terlihat adanya beberapa
121 Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Yuhelda., 2008, Peningkatan Nilai
Tambah Pasir Zirkon Kalimantan Tengah,
Puslitbang tekMIRA.
Farmer, A. D, 2007, Agricola Consulting Services
Pty Ltd, Chatswood NSW 2067, Australia,
Komunikasi Langsung.
Kelly, Errol G., David J. Spottiswood, 1982 Intro-
duction to Mineral Processing, John Willey &
Sons, New York
Mular, Andrew L., 2000, Elements Of Mineral
Process Engineering, Department of Mining
and Mineral Process Engineering University
of British Columbia Vancouver, B.C. Canada.
Pramusanto., Ardha. N., Rochani. S., Mutaalim.,
1997, Pengembangan Produk dan
Peningkatan Mutu Bahan Galian, Puslitbang
Teknologi Mineral Bidang Litbang Teknologi
Pengolahan Mineral.
Pramusanto., Dahlan. Y., Saleh. N., dkk, 2007,
Pembuatan Zirconia dari Pasir Zircon
Kalimantan dan Bangka, Puslitbang tekMIRA.
Saleh, Nuryadi dan Pramusanto., 2007, Heavy
Mineral Sands Separation of Waringin, Cen-
tral Kalimantan, Kolokium Pertambangan
2007, Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara-tekMIRA.
Suhala, Supriatna., dan Arifin M., 1997, Bahan
Galian Industri, Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral, Bandung.
Woodcock. J. T., 1980, Mining and Metallurgical
Practices in Australia, The Australian Insti-
tute of Mining and Metallurgy, Victoria, Aus-
tralia.
122 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGGUNAAN PASIR SUNGAI SEBAGAI
BED MATERIAL PADA GASIFIKASI BATUBARA
SISTEM FLUIDIZED BED
Nurhadi dan Slamet Suprapto
Pussat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman no. 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail: Nurhadi@tekmira.esdm.go.id
SARI
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir sungai sebagai bed material
terhadap konversi karbon, komposisi gas produk, efisiensi gasifikasi dan rasio gas hidrogen terhadap
gas karbon monoksida pada proses gasifikasi batubara tipe fluidized bed. Variabel yang digunakan
adalah jumlah bed material dan jenis bed material. Percobaan dilakukan dengan memanaskan bed
material dalam gasifier menggunakan media fluidisasi gas nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai
900C, percontoh batubara dan oksigen di-input-kan ke dalam reaktor, sehingga terjadi reaksi gasifikasi.
Gas produk dimurnikan dan didinginkan melalui siklon, heat exchanger dan scrubber untuk selanjutnya
dianalisa komposisinya menggunakan gas kromatografi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
penggunaan pasir sungai sebagai bed material dapat berfungsi baik sebagai dalam proses pembuatan
gas sintesis dari batubara dilihat dari komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.
Kata kunci: gasifikasi, batubara, bed material , pasir sungai
ABSTRACT
This research was conducted to know the influence of river sand use as bed material to carbon
conversion, product gas composition, gasification efficiency and ratio of hydrogen to carbon monox-
ide in fluidized bed coal gasification. Experiment was conducted by heated bed material in gasifier
used nitrogen gas as fluidization media. After gasifier temperature reaching 900C, coal sample and
oxygen were inputted into reactor, and gasifying reaction happened. Gas product (syngas) was puri-
fied and cooled through cyclone, heat exchanger, and scrubber. Finally, syngas composition was
analyzed by gas chromatography. Result was shown river sand use as bed material functioned well
based on syngas composition, carbon conversion and gasification efficiency.
Keywords: gasification, coal, bed material, river sand
123 Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto
1. PENDAHULUAN
Sumber daya batubara Indonesia yang berjumlah
107,4 milyar ton merupakan aset ekonomi dan aset
energi yang sampai saat ini belum dapat
dimanfaatkan secara optimal (Setiawan, 2008).
Pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan
teknologi gasifikasi menghasilkan produk yang
mudah dikonversi menjadi beberapa macam
sumber energi dan bahan baku industri kimia.
Gasifikasi batubara adalah reaksi antara batubara
dengan pereaksi udara, uap air, karbon dioksida
atau campuran dari zat tersebut dan menghasilkan
campuran gas yang dapat dibakar. Gas produk
gasifikasi berupa campuran gas hidrogen, karbon
monoksida, karbon dioksida, nitrogen dan
hidrokarbon rantai ringan (Kubota, 2006). Gas
produk ini dapat langsung dimanfaatkan sebagai
bahan bakar gas atau dikonversi menjadi berbagai
macam sumber energi dan bahan baku industri
kimia (Penner, 1987).
Fluidized bed merupakan sistem yang efisien
untuk kontak fase gas-padat. Gasifikasi batubara
tipe fluidized bed menggunakan bed material
berupa pasir. Bed material digunakan sebagai
transfer panas, sehingga suhu dalam gasifier
menjadi homogen. Gas pereaksi masuk dari
bagian bawah gasifier melalui plat distributor untuk
mengangkat bed material, sehingga menjadi
unggun terfluidisasi. Batubara dimasukkan ke
dalam gasifier dari bagian samping gasifier
menggunakan screw feeder (Kunii dan Levenspiel,
1991).
Pasir sungai cukup melimpah keberadaannya di
Indonesia dan harganya cukup murah, sehingga
sangat cocok dikembangkan sebagai bed mate-
rial untuk gasifikasi batubara menggunakan gas-
ifier tipe fluidized bed. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir
sungai sebagai bed material terhadap konversi
karbon, komposisi gas produk dan efesiensi
gasifikasi pada proses gasifikasi batubara tipe flu-
idized bed.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian pembuatan gas sintesis dilakukan
terhadap percontoh batubara Indonesia, sehingga
diperoleh karakteristik proses pembuatan gas
sintesis menggunakan batubara Indonesia.
Batubara yang digunakan adalah batubara peringkat
lignit dengan variabel jenis bed material, yaitu
menggunakan pasir silika dan pasir sungai.
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan ini terdiri
atas 1 unit peralatan pembuatan gas sintesis skala
laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan untuk
percobaan ini adalah batubara, oksigen dan nitro-
gen sebagai bahan baku. Sebagai bed material
digunakan pasir silika dan pasir sungai. Bagan
alir proses penelitian pembutan gas sintesis dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir penelitian pembuatan gas sintesis (Nurhadi, dkk., 2006)
124 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Percontoh batubara yang digunakan untuk
percobaan adalah batubara lignit yang berasal dari
Sumatera Selatan. Hasil analisis percontoh
batubara dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk
percobaan gasi fi kasi percontoh batubara
dipreparasi, sehingga diperoleh ukuran partikel
48 + 60 mesh.
Bed material berupa pasir silika dan pasir sungai
juga sudah dianalisis seperti terlihat pada Tabel 2
dan Tabel 3. Untuk percobaan masing-masing bed
material dipreparasi sehingga diperoleh ukuran
partikel 48 + 60 mesh.
Hasil percobaan penelitian skala laboratorium
pembuatan gas sintesis dari batubara berupa
Tabel 1. Hasil analisis percontoh batubara
Parameter Nilai
Analisis Proksimat
Air Total, %. a.r. 53,37
Air Lembab, % adb. 21,58
Abu, % adb. 1,83
Zat Terbang, % adb. 39,36
Karbon Padat, % adb. 37,23
Nilai Kalor, kal/g adb. 4,975
Analisis Ultimat
Abu, % adb. 1,83
Belerang, % adb. 0,16
Karbon, % adb. 54,03
Hidrogen, % adb 6,14
Nitrogen, % adb. 0,48
Oksigen, % adb. 31,24
Tabel 2. Sifat kimia pasir silika
Parameter Nilai
SiO2, % 97,20
Al2O3, % 0,55
CaO, % 0,26
MgO, % TT
Fe2O3, % TT
TT = tidak terdeteksi
Tabel 3. Sifat kimia pasir sungai
Parameter Nilai
SiO
2
, % 46,90
Al
2
O
3
, % 19,24
CaO, % 8,83
MgO, % 5,01
Fe
2
O
3
, % TT
TT = tidak terdeteksi
komposisi produk syngas, nilai kalor, neraca
massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi
pada berbagai variabel dapat dilihat pada Tabel 4
sampai dengan Tabel 6. Penelitian dilakukan
terhadap dua jenis bed material, yaitu pasir silika
dan pasir sungai. Setiap bed material kemudian
digunakan dalam percobaan dengan variasi 15
gram (P Silika 15 dan P Sungai 15), 20 gram (P
Silika 20 dan P Sungai 20) dan 25 gram (P Silika
25 dan P Sungai 25).
Hasil percobaan yang dibahas dalam makalah ini
meliputi pengaruh jenis bed material pasir silika
dan pasir sungai terhadap komposisi gas terutama
kadar CO dan H
2
, nilai kalor, neraca massa,
konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.
Tabel 4. Komposisi produk syngas
Kode Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)
Percontoh H
2
O
2
CO CH
4
CO
2
C
2
H
4
total H
2
/CO BM
P Silika 15 30,32 5,57 42,36 3,36 15,03 3,31 100 0,716 22,3932
P Silika 20 30,23 3,52 44,01 2,32 16,66 2,95 100 0,687 22,6278
P Silika 25 30,02 3,55 43,85 2,52 17,19 2,54 100 0,685 22,7437
P Sungai 15 32,80 2,89 42,91 2,83 15,90 2,48 100 0,764 21,7938
P Sungai 20 32,86 2,94 43,34 2,36 15,26 3,51 100 0,758 21,8542
P Sungai 25 32,05 2,18 44,58 1,56 16,73 3,05 100 0,719 22,3170
125 Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto
3.1. Penggunaan Pasir Silika sebagai Bed
Material
Pengaruh jumlah pasir silika sebagai bed material
terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa,
konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat
pada Tabel 7 sampai dengan Tabel 9.
Tabel 5. Neraca massa bahan baku dan produk
Kode Percontoh
Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char
Batubara O2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)
P Silika 15 1,067 0,982 1,287 1,287 0,577 0,185
P Silika 20 1,067 0,982 1,449 1,434 0,465 0,135
P Silika 25 1,067 0,982 1,433 1,411 0,499 0,117
P Sungai 15 1,067 0,982 1,340 1,377 0,587 0,122
P Sungai 20 1,067 0,982 1,354 1,388 0,586 0,108
P Sungai 25 1,067 0,982 1,384 1,389 0,579 0,086
Tabel 6. Nilai kalor, konversi karbon dan efisiensi
gasifikasi
Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor
Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm
3
)
P Silika 15 67 74 3,070
P Silika 20 77 80 2,959
P Silika 25 75 77 2,899
P Sungai 15 71 77 2,976
P Sungai 20 73 81 3,115
P Sungai 25 74 78 2,975
Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh
terhadap perubahan jumlah pasir silika sebagai
bed material dalam reaktor. Semakin banyak
jumlah pasir silika sebagai bed material dalam
reaktor, maka rasio gas hidrogen terhadap karbon
monoksida berkurang, sehingga menyebabkan
nilai kalor gas juga berkurang. Sebaliknya,
Tabel 7. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap komposisi produk syngas
Kode Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)
Percontoh H2 O2 CO CH4 CO2 C2H4 total H2/CO BM
P Silika 15 30,32 5,57 42,36 3,36 15,03 3,31 100 0,716 22,3932
P Silika 20 30,23 3,52 44,01 2,32 16,66 2,95 100 0,687 22,6278
P Silika 25 30,02 3,55 43,85 2,52 17,19 2,54 100 0,685 22,7437
Tabel 8. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap neraca massa bahan baku dan produk
Kode Percontoh
Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char
Batubara O2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)
P Silika 15 1,067 0,982 1,287 1,287 0,577 0,185
P Silika 20 1,067 0,982 1,449 1,434 0,465 0,135
P Silika 25 1,067 0,982 1,433 1,411 0,499 0,117
126 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
semakin bertambah jumlah pasir silika sebagai
bed material dalam reaktor maka jumlah produksi
syngas secara kuantitatif meningkat, sehingga
meningkatkan konversi karbon.
Dalam reaktor fluidized bed, bed material berfungsi
sebagai medi a transfer panas (Kuni i dan
Levenspiel, 1991). Semakin banyak jumlah bed
material dalam reaktor menyebabkan lebih banyak
batubara yang bereaksi menjadi syngas sehingga
meningkatkan konversi karbon. Sebaliknya, jika
jumlah bed material sedikit menyebabkan reaksi
kurang sempurna, sehingga masih banyak char
yang tidak bereaksi. Hal ini menyebabkan syngas
memiliki rasio gas hidrogen terhadap gas karbon
monoksida lebih tinggi, karena sebagian besar
syngas berasal zat terbang yang lebih banyak
mengandung unsur hidrogen dibandingkan char.
Sedangkan nilai kalor syngas dan efisiensi
gasifikasi akan naik pada penambahan pasir silika
sebagai bed material sebanyak 15 gram dan 20
gram, kemudian akan menurun kembali jika pasir
silika sebagai bed material ditambahkan lagi
menjadi 25 gram. Hal ini disebabkan karena pada
penambahan bed material sebanyak 15 gram dan
20 gram akan terjadi peningkatan konversi
batubara, char dan ter menjadi syngas terutama
gas hidrogen dan karbon monoksida, sehingga
meningkatkan nilai kalor syngas dan efisiensi
gasifikasi. Jika bed material ditambahkan lagi
menjadi 25 gram, maka selain terjadi konversi
batubara, char dan ter juga akan terjadi konversi
gas CO menjadi gas CO2. Dengan bertambahnya
gas CO2 yang sudah tidak memiliki nilai kalor,
maka nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi
akan menurun.
3.2. Penggunaan Pasir Sungai sebagai
Bed Material
Pengaruh jumlah pasir sungai sebagai bed material
terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa,
konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat
pada Tabel 10 sampai dengan Tabel 12.
Tabel 9. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap nilai
kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi
Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor
Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm
3
)
P Silika 15 67 74 3,070
P Silika 20 77 80 2,959
P Silika 25 75 77 2,899
Tabel 10. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap komposisi produk syngas
Kode Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)
Percontoh H2 O2 CO CH4 CO2 C2H4 total H2/CO BM
P Sungai 15 32,80 2,89 42,91 2,83 15,90 2,48 100 0,764 21,7938
P Sungai 20 32,86 2,94 43,34 2,36 15,26 3,51 100 0,758 21,8542
P Sungai 25 32,05 2,18 44,58 1,56 16,73 3,05 100 0,719 22,3170
Tabel 11. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap neraca massa bahan baku dan produk
Kode Percontoh
Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char
Batubara O2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)
P Sungai 15 1,067 0,982 1,340 1,377 0,587 0,122
P Sungai 20 1,067 0,982 1,354 1,388 0,586 0,108
P Sungai 25 1,067 0,982 1,384 1,389 0,579 0,086
127 Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto
Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh
terhadap perubahan jumlah pasir sungai sebagai
bed material dalam reaktor. Semakin banyak jumlah
pasir sungai sebagai bed material dalam reaktor
maka rasio gas hidrogen terhadap karbon monoksida
berkurang sehingga menyebabkan nilai kalor gas
juga berkurang. Sebaliknya semakin bertambah
jumlah pasir sungai sebagai bed material dalam
reaktor maka jumlah produksi syngas secara
kuantitatif meningkat, sehingga meningkatkan
konversi karbon.
Nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi
menunjukkan kenaikan pada penambahan pasir
sungai sebagai bed material sebanyak 15 gram
dan 20 gram, kemudian akan menurun kembali
j i ka pasi r sungai sebagai bed mat eri al
ditambahkan lagi menjadi 25 gram. Fenomena ini
sama seperti pada penggunaan pasir silika
sebagai bed material. Hal ini menunjukkan bahwa
pasir sungai yang digunakan dalam percobaan ini
dapat berfungsi dengan baik. Hasil ini juga
menunjukkan jumlah pasir sungai sebagai bed
material yang optimum untuk laju alir batubara
1,067 adalah 15 gram.
4. KESIMPULAN
Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui
unjuk kerja penggunaan pasir sungai sebagai bed
material pada gasifikasi batubara sistem fluidized
bed. Sebagai pembanding, dilakukan juga
percobaan penggunaan pasir silika sebagai bed
material. Percobaan dimulai dengan pemanasan
bed material dalam gasifier menggunakan pemanas
listrik. Sebagai media fluidisasi digunakan gas
nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai 900C,
percontoh batubara dan gas oksigen dimasukkan
ke dalam gasifier. Batubara kemudian berreaksi
dengan gas oksigen menjadi syngas. Syngas
kemudian dimurnikan dan didinginkan melalui
siklon, heat exchanger dan scrubber. Syngas
kemudian dianalisis menggunakan gas kromatografi.
Hasil percobaan menunjukkan pasir sungai dapat
berfungsi baik sebagai bed material dalam proses
pembuatan gas sintesis dari batubara dilihat dari
komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi
gasifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Kubota, N., 2006. Development of Novel Low Rank
Coal Gasifier TIGAR, dipresentasikan pada
Seminar on Low Rank Coal Gasification,
Badan Litbang Energi dan Sumber Daya Min-
eral, Jakarta, 16 Mei 2006.
Kunii, D., dan Levenspiel, O., 1991. Engeneering
Fluidization, second edition, Butterworth-
Heinemann Publishing, Stoneham, M.A.
Nurhadi, dkk., 2006. Pembuatan Gas Sintesis dari
Batubara dengan Teknologi Gasifikasi Unggun
Terfluidakan, Puslitbang tekMIRA.
Setiawan, B., 2008. Indonesia Coal Policy, APEC
Clean Fossil Energy Technical and Policy
Seminar in conjunction with 7
th
Coaltech,
Jakarta 17 November 2008.
Penner, S.S., 1987. Coal Gasification: Direct Ap-
plication and Syntheses of Chemicals and
Fuels, U.S. Department of Energy, Office of
Energy Research, Washington.
Tabel 12. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap nilai
kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi
Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor
Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm
3
)
P Sungai 15 71 77 2,976
P Sungai 20 73 81 3,115
P Sungai 25 74 78 2,975
128 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
METODE PENGURANGAN EMISI MERKURI PADA
PEMBAKARAN BATUBARA
Dra. Roza Adriany M.Si
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Jl. Ciledug Raya Cipulir Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp. 021 - 7394422 ext 1552
SARI
Pengurangan emisi Merkuri yang maksimal pada pembakaran batubara seperti pada boiler bergantung
pada beberapa faktor yaitu jenis batubara, konfigurasi alat pengontrol emisi dan proses tambahan lain
seperti penambahan senyawa Halogen, pencampuran 2 jenis batubara, serta penggunaan teknologi
ACI (Activated Carbon Injection). Dalam tulisan ini akan ditinjau masing-masing faktor yang
mempengaruhi jumlah emisi Merkuri, dan jenis senyawa Merkuri yang diemisikan (Merkuri dalam
wujud uap logam, oksida Hg dan Partikulat) serta pengaruh lain seperti UBC (Unburn Carbon) dan
SO2.
Kata kunci : emisi merkuri, batubara, pengontrol emisi, senyawa halogen
1. PENDAHULUAN
Emisi Merkuri yang dihasilkan dari pembakaran
batubara seperti pada unit Boiler mendapat
perhatian yang besar dari pemerhati lingkungan
karena berpotensi merusak lingkungan dan
menjadi ancaman bagi kesehatan makhluk hidup.
Menurut data EPA (Environmental Protection
Agency), di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
51 ton Merkuri pertahun telah diemisikan ke udara
oleh Pabrik yang menggunakan batubara sebagai
sumber energi pembakaran. Jenis Merkuri yang
diemisikan ke udara pun bervariasi yaitu dalam
bentuk uap Merkuri (Hg), Oksida Merkuri dan
Partikulat. Uap Merkuri (Hg) mempunyai waktu
tinggal yang lama di udara yaitu bisa mencapai
satu tahun, sehingga dapat menyebar pada jarak
yang sangat jauh dari sumbernya. Ketika Hg
terdeposit di tanah atau air , maka dia dapat
mengalami transformasi menjadi merkuri organik
yaitu metil merkuri yang dapat memasuki rantai
makanan seperti ikan. Merkuri yang berbentuk
oksida (Hg
2+
), mempunyai waktu tinggal di udara
hanya beberapa hari saja, disebabkan karena
tingkat kelarutan yang tinggi dari Hg
2+
di dalam
uap air yang ada di udara (Senior 2001).
Berbagai teknologi untuk mengurangi emisi merkuri
maupun polutan lain yang berasal dari pembakaran
Batubara seperti pada unit Boiler telah banyak
dikembangkan dan sampai saat ini penelitian-
penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan.
Walaupun konfigurasi metode atau alat pengontrol
emisi telah digunakan, pada kenyataannya jumlah
merkuri yang diemisikan masih cukup tinggi dan
akan berbeda-beda dari satu Pabrik dengan Pabrik
lainnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
jumlah emisi Merkuri antara lain adalah jenis
batubara, konfigurasi alat pengontrol emisi dan
proses tambahan lain seperti penambahan
senyawa Halogen, pencampuran 2 jenis batubara,
penggunaan teknologi ACI (Activated Carbon In-
jection) serta pengaruh lain seperti UBC (Unburn
Carbon) dan SO2 (Institute of Clean Air Compa-
nies, 2006 dan Durham, 2005).
Dalam tulisan ini akan ditinjau masing-masing
faktor yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri,
serta jenis senyawa Merkuri yang diemisikan
(Merkuri dalam wujud uap logam, oksida Hg dan
Partikulat).
129 Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany
2. METODOLOGI
Tulisan ini dibuat berdasarkan data atau informasi
yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan terutama oleh EPA (Environmental Pro-
tection Agency)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
emisi merkuri
Seperti telah dijelaskan bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri pada
pembakaran Batubara yaitu jenis Batubara, konfi-
gurasi alat pengontrol emisi dan proses tambahan
lain seperti penambahan senyawa Halogen, pencam-
puran 2 jenis batubara, penggunaan teknologi ACI
(Activated Carbon Injection) serta pengaruh lain
seperti UBC (Unburn Carbon) dan SO2.
3.1. Jenis Batubara dan Konfigurasi Alat
Pengontrol Merkuri
Teknologi pengontrol Merkuri pada dasarnya dibagi
dalam 2 bagian: Pertama adalah teknologi yang
di sebut Co Benefits yaitu teknologi yang
sebenarnya didesain untuk mengontrol polutan lain
selain Merkuri , seperti NOx , SOx dan bahan
partikulat (PM) tetapi dalam hal ini dapat juga
digunakan sebagai alat pengontrol Merkuri
(Praven, 2003).
NOx dapat dikontrol menggunakan SCR (Selec-
tive Catalytic Reduction). Selain berfungsi sebagai
pengontrol NOx , SCR dapat juga digunakan
sebagai pengontrol emisi Merkuri dengan cara
mengoksidasi uap Merkuri menggunakan katalis
SCR. SOx adal ah pol utan yang di kontrol
menggunakan FGD (Flue Gas Desulfurization).
Selain berfungsi sebagai pengontrol SOx, FGD
dapat juga digunakan sebagai pengontrol emisi
Merkuri dengan cara melarutkan oksida Merkuri
di dalam air (U.S Environmental Protection 2003
dan Praveen, 2003).
Bahan Partikulat (PM), baik yang berasal dari
Partikulat Merkuri atau Partikulat lainnya dapat
dikontrol dengan alat seperti CS-ESP, HS-ESP,
FF dan PM Scrubber (U.S Environmental Protec-
tion Agency, 2000).
Teknologi kedua adalah teknologi yang spesifik
untuk Merkuri seperti ACI (Activated Carbon In-
jection) yaitu penginjeksian karbon aktif kering
berbentuk bubuk ke dalam flue gas. ACI biasanya
ditempatkan antara pemanas udara (air preheater)
dan ESP (Electrostatic Precipitator) atau FF (Fab-
ric Filter).
3.1.1 Teknologi Co Benefits
Hasil penelitian pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3
berikut menunjukkan bagaimana pengaruh
konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah
Merkuri yang dibuang ke udara, untuk jenis
batubara yang sama. Data diperoleh dari ICR (In-
formation Collection Request) EPA (U.S Environ-
mental Protection Agency, 2000).
Dari Tabel 1 terlihat bahwa konfigurasi alat
pengontrol polutan yang paling efisien untuk
Batubara Bituminous adalah SDA/FF dengan
jumlah Merkuri yang dibuang 1,78 %.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa konfigurasi alat
pengontrol polutan yang paling efisien untuk
Batubara Sub-Bituminous adalah CS/FF dengan
jumlah Merkuri yang dibuang 27,57 %.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa konfigurasi alat
pengontrol polutan yang paling efisien untuk
Batubara Lignit adalah CS-ESP dan wet FGD
Scrubber dengan jumlah Merkuri yang dibuang
62,52 %. Untuk jenis alat pengontrol polutan yang
sama misalnya menggunakan CS-ESP, terlihat
bahwa % jumlah emisi dari Batubara Lignit adalah
yang paling tinggi yaitu 98,53% diikuti oleh Sub-
Bituminous 85,52% dan yang terendah adalah
Bituminous yaitu 53,52%.
3.1.2 Teknologi ACI
(Activated Carbon Injection)
ACI (Acti vated Carbon Inj ecti on) adal ah
penginjeksian karbon aktif kering berbentuk bubuk
ke dalam flue gas. ACI biasanya ditempatkan
antara pemanas udara dan ESP atau FF (Durham,
2005 dan Praven, 2003). Hasil penelitian dari:
Durham,M. Tools for Planning and Implementing
Mercury Control Technology, menunjukkan
bagaimana pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif
terhadap % Merkuri yang dapat di kontrol
(distabilkan) dengan menggunakan 2 alat
pengontrol polutan yaitu ESP dan FF untuk
Batubara Bituminous dan Sub Bituminous, seperti
tampak pada Gambar 1.
130 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 1. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang
dibuang ke udara untuk batubara bituminous.
Jenis Batubara Jenis Boiler Alat Pengontrol Polutan % Merkuri yang Dibuang ke Udara
Bituminous PC Boiler SDA/FF 1,78
SCR dan SDA/FF 2,44
CS-FF dan wet FGD Scrubber 3,59
SNCR dan CS-ESP 9,1
FF 16,90
Wet FGD Scrubber 18,77
HS-ESP-Wet FGD Scrubber 44,95
CS-ESP 53,52
DSI dan CS-ESP 55,11
HS-ESP 87,98
Tabel 2. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang
dibuang ke udara untuk batubara sub bituminous
Jenis Batubara Jenis Boiler Alat Pengontrol Polutan % Merkuri yang Dibuang ke Udara
Sub Bituminous PC Boiler CS-FF 27,57
CS-ESP / SDA 62,06
CS-ESP dan Wet FGD Scrubber 64,88
HS-ESP dan Wet FGD Scrubber 67,38
SDA/FF 74,60
CS/ESP 85,52
HS-ESP 86,54
PM/Scrubber 85,57
Tabel 3. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang
dibuang ke udara untuk batubara lignit
Jenis Batubara Jenis Boiler Alat Pengontrol Polutan % Merkuri yang Dibuang ke Udara
Lignit PC Boiler CS-ESP dan wet FGD Scrubber 62,52
PM-Scrubber 67,23
SDA-FF 82,62
CS-ESP dan FF 95,07
CS-ESP 98,53
PC : Pulverized Coal
FBC : Fluidized Bed Combustor
CS-ESP : Cold-Side Electrostatic Precipitator
HS-ESP : Hot-Side Electrostatic Precipitator
FF : Fabric Filter
PM : Particulate Matter
FF (COHPAC) : Fabric Filter pilot unit (Compact Hybrid
Particulate Collector)
SDA : Spray Dryer Absorber (Dry Scrubber)
DSI : Duct Sorbent Injection
SCR : Selective Catalytic Reduction
FGD : Flue Gas Desulfurization
SNCR : Selective Non-Catalytic Reduction
131 Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany
Pada Gambar 1 terlihat bahwa untuk alat
pengontrol ESP pada Batubara Bituminous,
pengurangan merkuri sampai dengan 90% dapat
tercapai pada kecepatan injeksi karbon aktif sekitar
20 lb/Macf (million actual cubic feet) sedangkan
untuk alat pengontrol baghouse (FF) untuk
Batubara yang sama , pemisahan merkuri sampai
dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi
4 lb/Macf (Praven, 2003). Dengan kata lain untuk
mencapai 90% pengurangan Merkuri, diperlukan
5 kali lebih banyak penyerap karbon aktif bila
menggunakan ESP dari pada FF.
FF mempunyai tingkat penangkapan Merkuri yang
l ebi h t i nggi di bandi ngkan ESP. Hal i ni
kemungkinan disebabkan karena terbentuknya
l api san Karbon pada bagf i l t er sehi ngga
penyerapan lebih maksimal (Praven, 2003). Pada
penggunaan alat pengontrol polutan ESP untuk
jenis Batubara Sub Bituminous diperoleh hasil
bahwa pengurangan emisi maksimum adalah
sekitar 60% dan terjadi mulai dari kecepatan
injeksi sekitar 7 lb/Macf. Kenaikan kecepatan
injeksi karbon aktif selanjutnya ternyata tidak dapat
menaikkan persentase pengurangan Merkuri.
3.2. Pengaruh Penambahan Halogen
Adanya senyawa Halogen seperti Klorin baik yang
berasal dari Batubara maupun yang ditambahkan
sebagai aditif dapat mempengaruhi oksidasi
Merkuri (perubahan dari Hg menjadi Hg
+2
) dan
juga mempengaruhi perubahan Merkuri dari Hg
ke bentuk partikulat Merkuri (Hgp). Kandungan
Klorin yang tinggi di dalam Batubara, umumnya
menghasilkan Hg
+2
dan Hgp yang lebih banyak di
dalam flue gas dibandingkan dengan merkuri dalam
bentuk Hg (Zhuang, 2006).
Reaksi klorinasi ini dapat terjadi pada fasa yang
sama (Homogen) maupun pada fasa yang berbeda
(Heterogen). Reaksi Heterogen adalah reaksi yang
terjadi antara Klorin, UBC (Unburn Carbon) yang
ada dalam abu terbang dengan Merkuri yang ada
dalam flue gas. Klorin di dalam flue gas, dapat
berada dalam bentuk 3 senyawa yaitu sebagai
atom Cl, molekul Cl2 dan sebagai HCl. Diantara
berbagai jenis Klorin tersebut, atom Cl diperkirakan
sebagai jenis Klorin yang paling dominan berperan
dalam mengoksidasi merkuri secara Homogen
(Zhuang, 2006).
Pada studi lainnya ditemukan bahwa pada suhu
di bawah 500 C reaksi oksidasi merkuri yang
utama dilakukan oleh Cl2 bukan oleh atom Cl,
kemungkinan hal ini disebabkan karena sensitifitas
Cl2 yang lebih rendah dibanding Cl pada suhu
tersebut. HCl tidak dapat mengoksidasi Hg secara
langsung melalui reaksi fasa gas yang Homogen
, tetapi HCl merupakan jenis klorin yang utama di
dalam flue gas yang dapat melakukan reaksi
oksidasi melalui reaksi Heterogen dengan cara
mempromosi kan oksi dasi Merkuri pada
permukaan padatan (Zhuang, 2006).
Gambar 1. Pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif terhadap % pengurangan merkuri
132 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Penelitian lain menunjukkan bahwa UBC dapat
memfasilitasi perubahan HCl di dalam flue gas
untuk membentuk pusat karbon terklorinasi.
Dengan demikian, klorinasi merkuri pada flue gas
dapat berlangsung melalui tiga cara yaitu pertama,
melalui reaksi fasa gas yang Homogen, kedua,
melalui reaksi Heterogen dan yang ketiga melalui
pembentukan pusat Heterogen yang dapat berupa
permukaan padatan dengan kondisi yang sesuai
seperti partikel UBC, katalis SCR atau partikel
yang diinjeksikan (Zhuang, 2006).
3.3. Pengaruh Pencampuran 2 Jenis
Batubara
Salah satu metode alternatif dalam meningkatkan
kemampuan penangkapan Merkuri adalah dengan
mencampurkan 2 jenis Batubara yaitu Batubara
yang mengandung Klorin atau Bromin yang tinggi
dengan Batubara yang mengandung Klorin atau
Bromin rendah. Hasil penelitian Durham (2005)
seperti tampak pada Gambar 2 berikut memper-
lihatkan pengaruh pencampuran batubara bitumi-
nous berkadar klorin tinggi (106 g/g) dengan
batubara sub bituminous berkadar klorin rendah
(9 g/g). Alat pengontrol merkuri yang digunakan
adalah SDA-FF.
Dari Gambar 2 terlihat bahwa semakin bertambahnya
komposisi batubara bituminous dalam campuran
maka semakin besar persentase Hg yang dapat
dipindahkan. Pada penelitian selanjutnya, untuk
komposisi pencampuran yang sama dari Batubara
yang sama, tetapi dengan konfigurasi alat
pengontrol Merkuri diganti menjadi SDA-ESP
maka diperoleh hasil dimana efek pencampuran
kedua Bat ubara t i dak si gni f i kan dal am
meningkatkan efisiensi penangkapan Merkuri. Hal
ini memperlihatkan bahwa konfigurasi SDA FF lebih
baik dibanding SDA-ESF (Durham, 2005).
3.4. Pengaruh dari UBC (Unburn Carbon)
Pada umumnya kandungan karbon di dalam abu
terbang berkisar antara 2-12%. Jumlah UBC yang
ada di dalam abu terbang dipengaruhi oleh
penggunaan alat pengontrol polutan NOx yang
digunakan. Pengurangan emisi NOx umumnya
dilakukan dengan berbagai strategi misalnya
dengan memasang low-NOx burners, dengan
penambahan SCR atau dengan melakukan
pemanasan bertingkat. Dampak dari penggunaan
teknologi ini adalah meningkatnya kandungan UBC
yang ada di dalam abu terbang. Dalam beberapa
kasus dapat mencapai kenaikan hingga 20 %
berat . Peni ngkat an kandungan UBC i ni
dikarenakan kondisi pembakaran yang kekurangan
oksigen dan atau rendahnya suhu pembakaran
(Zhuang, 2006).
Penelitian dari Hasset dan Eylands membuktikan
bahwa kenaikan kandungan UBC (Unburned Car-
bon) dan adanya penurunan suhu pembakaran
akan menaikkan efisiensi penangkapan Merkuri
di dalam abu terbang. Bagaimanapun, pengetahuan
mengenai interaksi Fisika dan Kimia antara partikel
Gambar 2. Pengaruh pencampuran bituminous dengan sub bituminous terhadap persentase
pengurangan emisi Hg
133 Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany
UBC dengan Merkuri, masih kurang memadai
(Zhuang, 2006).
3.5. Pengaruh SO2 terhadap Karbon Aktif
Karbon aktif dapat mengkatalisis SO2 menjadi
H2SO4 di dalam Flue gas. Asam Sulfat ini akan
terakumulasi pada permukaan Karbon dan
kemungkinan dapat menghambat adsorpsi
Merkuri. Dikarenakan konsentrasi SO2 di dalam
Flue gas jauh lebih besar dibanding Merkuri maka
kapasitas adsorpsi Karbon aktif bergantung pada
konsentrasi SO2 yang dapat membentuk H2SO4
pada permukaan Karbon. Dengan demikian
kapasitas Karbon aktif dalam mengadsorpsi
Merkuri akan lebih tinggi pada saat kadar SO2 di
dalam Flue gas lebih rendah. Dalam hal ini adanya
senyawa Halogen dalam jumlah yang cukup akan
sangat membantu meningkatkan efisiensi
penangkapan Merkuri (Zhuang, 2006).
4. KESIMPULAN
Metode pengurangan emi si Merkuri yang
maksimal pada pembakaran batubara seperti pada
boiler bergantung pada beberapa faktor antara lain:
1. Jenis Batubara dan Konfigurasi Alat Pengontrol
Merkuri
Jeni s bat ubara yang berbeda dan
konfigurasi alat pengontrol Polutan yang
berbeda dapat menghasilkan efisiensi
penangkapan Merkuri yang berbeda. Hasil
studi EPA seperti pada Tabel 1, Tabel 2
dan Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada
Bituminous diperoleh konfigurasi alat
pengontrol Polutan yang paling efisien
adalah SDA/FF, pada Sub Bituminous
adalah CS-FF dan pada Lignit adalah CS-
ESP dan wet FGD Scrubber.
Efisiensi penangkapan merkuri pada
teknologi ACI bergantung pada kecepatan
injeksi karbon aktif dan konfigurasi alat
pengontrol polutan yang digunakan. Hasil
studi Durham menunjukkan bahwa untuk
alat pengontrol ESP pada Batubara Bitu-
minous, pengurangan merkuri sampai
dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan
injeksi karbon aktif sekitar 20 lb/Macf (mil-
lion actual cubic feet) sedangkan untuk alat
pengontrol baghouse (FF) untuk Batubara
yang sama , pemisahan merkuri sampai
dengan 90% dapat t ercapai pada
kecepatan injeksi 4 lb/Macf.
2. Penambahan Halogen
Adanya senyawa Halogen seperti Klorin baik
yang berasal dari Batubara maupun yang
ditambahkan sebagai aditif dapat meningkatkan
oksidasi Merkuri (perubahan dari Hg menjadi
Hg
+2
) dan juga mempengaruhi perubahan
Merkuri dari Hg ke bentuk partikulat Merkuri
(Hgp)
3. Pencampuran dua jenis Batubara.
Pencampuran 2 j eni s Bat ubara yang
mengandung Klorin atau Bromin tinggi dengan
Batubara yang mengandung Klorin atau Bromin
rendah dapat meningkatkan efisiensi penang-
kapan Merkuri.
4. SO2 terhadap Karbon Aktif
Kapasitas Karbon aktif dalam mengadsorpsi
Merkuri akan lebih tinggi pada saat kadar SO2
di dalam Flue gas lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Durham, M.D., 2005. Mercury Control for PRB and
PRB/Bituminous Blends www.icac.com.
Institute of Clean Air Companies, 2006, Enhanc-
ing Mercury Control on Coal-Fired Boilers with
SCR, Oxi dati on Catal yst, and FGD ,
www.icac.com.
Praveen, A., 2003, Mercury Emissions From Coal
Fired Power Plants, www.nescaum.org.
Senior, C.L., 2001.Behaviour of Mercury in Air
Pollution Control Devices on Coal-Fired Utility
Boilers, Century: Impacts of Fuel Quality and
Operations Engineering Foundation Confer-
ence, Snowbird, UT, www.reaction_eng.com.
Zhuang, Y., 2006, Mercury Transformations in Coal
Combustion Flue Gas, www.undeerc.org.
U.S Environmental Protection Agency, 2003, Per-
f ormance and Cost of Mercury and
Multipollutant Emission Control Technology
Aplication on Electric Utility Boilers, EPA/600/
R-03/110, www.epa.gov.
U.S Environmental Protection Agency, 2000, Elec-
tric Utility Steam Generating Units Hazardous
Air Pollutant Emission Study (Mercury ICR),
www.epa.gov.
134 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
EKSPLORASI POTENSI KONSENTRAT TIMAH
BERDASARKAN DATA SEISMIK REFLEKSI
(STUDI KASUS PERAIRAN BANGKA UTARA)
Ediar Usman
1
) dan Andri S. Subandrio
2
)
1
) Pusat Eksplorasi dan Pengembangan Geologi Kelautan, Balitbang ESDM.
Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung 40174
e-mail: ediar.usman@gmail.com
2
) Departemen Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesa No. 10 Bandung.
SARI
Pada kegiatan eksplorasi konsentrat timah di laut, data penting yang diperlukan untuk mengetahui
keberadaan dan perhitungan volume sedimen mengandung potensi konsentrat timah adalah data seismik
refleksi. Prinsip kerja metode seismik refleksi ini adalah pantulan gelombang suara yang dapat
membedakan antara granit, jenis dan ketebalan sedimen, dan konsentrat timah. Daerah pengendapan
sedimen dan timah yang dapat diidentifikasi melalui data seismik adalah lembah-lembah purba
(paleovalleys) yang terisi sedimen (channel fill) berbutir kuarsa berukuran sedang-kasar. Pada
penampang seismik, lembah-lembah purba ditunjukkan oleh bentuk morfologi cekungan pada
permukaan granit yang terisi oleh sedimen dan konsentrat timah. Sedimen dan timah tersebut berasal
dari darat dan dari tubuh granit di laut melalui sungai-sungai purba (paleochannels).
Hasil interpretasi penampang seismik refleksi di perairan Bangka Utara menunjukkan ketebalan sedimen
mengandung timah antara 2 - 30 meter. Ketebalan terbesar terdapat di bagian tengah daerah eksplorasi
berkisar antara 16 - 30 meter dan kedalaman batuan dasar adalah 65 meter sebagai pusat lembah. Di
bagian selatan, ketebalan kurang dari 4 meter, bahkan di beberapa tempat membentuk bidang yang
tipis dengan ketebalan kurang dari 2 meter. Sejalan dengan bertambahnya kedalaman laut,
memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke arah utara (offshore) dengan ketebalan antara 10 - 24
meter. Hasil perhitungan ketebalan rata-rata adalah 7 meter, dan luas daerah eksplorasi sekitar 5.000
ha, sehingga diperoleh volume sedimen seluruhnya adalah 350.000.000 m
3
. Jika dalam volume 1 m
3
sedimen, mengandung rata-rata 3 kg konsentrat timah, maka diperkirakan kandungan timah di daerah
eksplorasi sekitar 1.050.000.000 kg (1.050.000 ton). Jumlah kandungan konsentrat timah tersebut
merupakan potensi ekonomis untuk ekploitasi konsentrat timah di daerah eksplorasi.
Hasil eksplorasi konsentrat timah menggunakan data seismik refleksi ini dapat menjadi acuan dalam
kegiatan studi kelayakan, eksplorasi lebih rinci dan peningkatan investasi pertambangan di perairan
Bangka Utara.
Kata kunci: data seismik, lembah purba, potensi konsentrat timah, perairan utara Bangka
135 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
ABSTRACT
At activity of tin concentrate exploration in the sea, the important data that are needed to know
existence and calculation of sediment volume of tin concentrate reserve is reflection seismic data.
The principal of this reflection seismic method is sound wave reflection can differentiate between
granite, type and sediment thickness, and tin concentrate. The area of depositional of sediments and
tin concentrate identified through seismic data is paleovalleys which filled by sediment, medium sand
very fine sand of quartz grain. On seismic profile, the paleovalleys is shown by basin morphology
form at surface of granite that are loaded by sediment and tin concentrate. The tranportation of
sediment and tin from land and granite body in sea through paleochannel.
Result of interpretation on reflection seismic profiles in the territorial waters of North Bangka shows
that the sediment thickness with ranges from 2 to 30 meters. The thickest area lies in the center of
survey area with depth ranges from 16 to 30 meters and depth of bedrock is 65 meters as central of
paleovalley. In southern part of area, the thickness is less than 4 meters, and in some places it even
forms thin layer of less than 2 meters. On the contrary, the deeper sea tends to northwards and also
correlated with thicker sediment. The sediment thickness in this area is estimated between 10 to 24
meters. Result of seismic profile calculation, the average of thickness approximately is 7 meters,
wide of exploration area around 5.000 ha, so that the sediment volume entirely is 350.000.000 m
3
. If on
1 m
3
volume of sediment with content 3 kg of tin concentrate, the content estimation of tin concen-
trate in the exploration area around 1.050.000.000 kg (1.050.000 ton). Amount of the tin concentrate
content represent the economic potency for the exploitation of tin concentrate in exploration area and
its surrounding.
Result of tin concentrate exploration by using the reflection seismic data can become reference on
the activities of feasibility study, more detail tin exploration and also increasing the mines investment
in the territorial waters of North Bangka.
Keywords: seismic data, paleovalleys, tin concentrate potency, territorial waters of North Bangka
Prinsip dasar seismik pantul beresolusi tinggi
tersebut merupakan satu keterpaduan untuk
mengetahui ketebalan, penyebaran sedimen dan
morfologi granit, melalui penjalaran gelombang
suara dalam media air dan batuan, sehingga dapat
diketahui ketebalan dan lembah-lembah purba
yang mengandung konsentrat timah. Eksplorasi
seismik dalam pelaksanaannya menggunakan
seperangkat peralatan dengan menggunakan
prinsip-prinsip gelombang suara yang dilepaskan
ke dasar laut, dipantulkan oleh bidang batas batuan
dan selanjutnya diterima oleh seperangkat
peralatan seismik (receiver).
Berdasarkan metode seismik, dapat ditetapkan
target kegiatan eksplorasi dalam mengidentifikasi
sedimen mengandung konsentrat timah, yaitu:
1. Daerah sungai purba (paleochannel) dan
lembah purba (paleovalley) bawah laut, yang
merupakan tempat akumulasi mineral berat,
termasuk konsentrat timah.
2. Sedimen berbutir kasar (coarse fluvial depos-
1. PENDAHULUAN
Perairan Kepulauan Bangka Utara, secara regional
merupakan daerah jalur timah (tin belt) yang kaya
dengan konsentrat timah. Sebagai daerah jalur
timah, diperkirakan di daerah ini terdapat lembah
(paleo-channel) sebagai daerah sedimentasi pasir
asal darat dan laut yang mengandung konsentrat
timah. Keberadaan dan keterdapan konsentrat
timah di laut memerlukan alat bantu yang
memberikan keyakinan tentang volume dan
potensi nya. Sebagai l angkah awal untuk
mengetahui keberadaan sedimen mengandung
timah tersebut; perlu dilakukan eksplorasi geologi
dan geofisika kelautan dengan menggunakan
metode seismik pantul beresolusi tinggi (high reso-
lution) (Usman. dan Subandrio, 2008).
Survei seismik akan dapat memberikan gambaran
tentang daerah akumulasi sedimen, ketebalan dan
jenis sedimen. Melalui pemahaman karakter
pantulan seismik pada penampang seismik akan
dapat diinterpretasi ketebalan sedimen dan
morfologi granit.
136 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
its), yaitu sedimen yang prospek mengandung
timah.
3. Morfologi batuan alas (bedrock) sebagai
batuan sumber mineral timah. Akumulasi min-
eral timah tidak jauh dari batuan sumber. Di
perairan Bangka Utara dan sekitarnya, batuan
alas adalah granit yang kaya dengan butiran
kuarsa dan mineral timah (Sn).
4. Sebagai dasar dalam penentuan titik pemboran
inti untuk mengetahui kualitas dan kuantitas
timah secara vertikal dan horizontal.
Daerah survei terletak di lepas pantai bagian utara
Pulau Bangka, termasuk dalam wilayah perairan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau sekitar
7 km ke lepas pantai pada kedalaman laut 10
15 meter. Secara umum lokasi survei termasuk
dalam perairan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung kerana letaknya di luar perairan
kabupaten/kota yang berjarak di luar daerah 4 mil
laut.
2. GEOLOGI REGIONAL
Kerangka geologi regional Kepulauan Bangka dan
pulau-pulau di sekitarnya termasuk dalam
Punggungan Bangka Belitung (Bangka-Biliton
Ridge). Daerah ini merupakan tinggian batuan
dasar berada di sebelah timur Cekungan Sumatera
Selatan dan di sebelah utara Cekungan Sunda
(Katili, 1980). Punggungan ini merupakan bagian
dari jalur timah batuan granit (Tin Belt Granite)
dari Kraton Sunda yang memanjang dari daratan
Thailand, Semenanjung Malaysia, Kepulauan
Riau, Bangka-Belitung hingga Kalimantan Barat
(Katili, 1980; Batchelor, 1983). Batuan dasar granit
i ni muncul di sepanj ang j al ur ti mah yang
mempunyai jenis berbeda-beda, Pulau Bangka
yang dimasukkan pada Main Tin Belt Granite dan
di Pulau Belitung termasuk pada Western Tin Belt
Granite (Gambar 2).
Perkembangan zona vul kani k Sumat era
memperlihatkan bahwa granit Belitung berumur
lebih tua (berumur Perem hingga Jura) (Lehmann
Gambar 1. Peta lokasi eksplorasi
137 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
and Harmanto, 1990), dibandingkan granit di
Bangka dan di daratan pulau Sumatera yang
berumur Trias. Hal ini memberi informasi bahwa
proses erosi pada tinggian-tinggian granit di
daerah Bangka Belitung juga telah berjalan cukup
lama, sehingga hasilnya berupa endapan aluvial
dalam bentuk endapan pantai dan laut telah
berjalan lebih intensif.
Secara fisiografis, perairan Bangka Utara terletak
di Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang secara
t ekt oni k t el ah st abi l sej ak awal Mi osen.
Berdasarkan kerangka tektonik, Paparan Sunda
dapat dibedakan menjadi tiga bagian (Tjia, 1970),
yaitu: Paparan Sunda Bagian Utara, Platform
Singapura dan Paparan Sunda Bagian Selatan
(Laut Jawa). Platform Singapura merupakan
pemisah antara Paparan Sunda bagian utara dan
Paparan Sunda bagian selatan.
Berdasarkan peta struktur pada top dari morfologi
batuan dasar, daerah survei termasuk bagian dari
Platform Singapura. Basement dari platform ini
sebagian besar terdiri atas batuan beku (gabro,
diabas, andesit dan granit) berumur mesozoik
hingga akhir Kapur yang kemudian pada awal
Miosen diintrusi oleh granit dari berbagai jenis
(Ishihara, 1977). Sedimen Kenozoik di platform ini
hanya sampai ketebalan 500 meter.
Platform tersebut dicirikan oleh morfologi batuan
dasar yang dangkal dan ditutupi oleh sedimen yang
tipis, juga dicirikan oleh tubuh-tubuh batuan dasar
kecil yang memiliki kecepatan seismik tinggi,
dicirikan oleh grafik anomali magnetik yang tajam
dan oleh grafik gravitasi yang agak halus (smooth).
Cakupan platform ini mulai dari Laut Natuna di
bagian Utara dan batas bagian selatan dari plat-
form ini adalah Punggungan Bangka-Belitung
(Bangka-Biliton Ridge). Pada platform ini terdapat
dua depresi cekungan sedimen yang memiliki
ketebalan sedimen lebih dari 800 meter, yaitu
Depresi Bangka yang memanjang dengan arah
barat laut tenggara (sejajar dengan pantai
Gambar 2. Peta jalur granit regional Asia Tenggara (Batchelor, 1983)
138 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Sumatera) dan Depresi Belitung yang memanjang
berarah utara-selatan (sejajar dengan pantai barat
Kalimantan).
Di daerah survei, Punggungan Bangka-Belitung
terdapat di bagian barat daya dan Depresi Bangka
memotong bagian tengah daerah eksplorasi
dengan arah barat laut - tenggara. Pulau Bangka
merupakan bagian ujung selatan dari Platform
Singapura dan terletak paling dekat dengan daerah
eksplorasi. Pulau ini umumnya merupakan daerah
yang hampir rata dan secara geologis dapat
mewakili tataan geologi Platform Singapura,
khususnya geologi Punggungan Bangka-Balitung
dan umumnya untuk tataan geologi daerah
eksplorasi.
Secara geologis, Pulau Bangka berbeda dengan
Pulau Sumatera, karena batuan tertua yang
tersingkap di Pulau Bangka adalah Kompleks
Pemali dari batuan metamorfik yang berumur
Permo-Karbon. Kompleks ini diterobos oleh diabas
Penyabung berumur Permo Triasik.
Geologi lepas pantai sekitar perairan Bangka Utara
merupakan kelanjutan dari kondisi geologis
Kepulauan Bangka Belitung. Batuan dasar berupa
batuan magmatis granit maupun batuan beku
lainnya, terbentang di atasnya sedimen Pra-
Tersier, dan tertutup oleh endapan marin yang
merupakan sedimen permukaan dasar laut.
Geologi lepas pantai dari hasil rekaman seismik
pantul dangkal dan pemboran di Selat Gaspar di
Tanjung Beriga, menunjukkan empat kelompok
batuan sedimen yang diendapkan sampai umur
Miosen (Batchelor, 1983), yaitu:
a. Aluvium muda teridiri dari, sedimen penutup
muda berumur Holosen dan Kompleks Aluvium
berumur Plistosen Akhir.
b. Unit Transisi terdiri atas sedimen laut, berumur
Plistosen Akhir dan Unit Transisi berumur
Plistosen Tengah.
c. Sedimen penutup purba, berumur Plistosen
Awal sampai Akhir terdiri atas fasies dataran
aluvium purba dan menjemari dengan fasies
kipas (sedimen bongkah granit).
d. Regolit Daratan Sunda terdiri atas endapan
koluvial dan materi kipas, berumur Pliosen dan
latosol, laterit serta bauksit berasal dari
pelapukan batuan dasar (granit dan batuan
sedimen), berumur Miosen Akhir.
Kepulauan Singkep Tujuh hingga Belitung
berpotensi akan endapan kasiterit letakan. Secara
geologis, genesisnya merupakan sistem letakan
lembah (placer valley systems). Sistem ini erat
kaitannya dengan perubahan muka air laut (sea
level changes) yang terjadi selama Plio-Plistosen
(Yoo and Park, 2000), dan memengaruhi kondisi
geologis saat ini, baik yang berada di daerah daratan
maupun di daerah lepas pantai, khususnya daerah
granit Sengkeli, Pering dan Lenggang. Perubahan-
perubahan muka air laut di masa lampau yang
mencapai 100 met er i ni set i daknya
menyebabkan terjadinya tiga kali proses erosional
(erosional events), yakni proses erosi, akumulasi
sedimen rombakan dan tertutup oleh lapisan
sedimen Resen.
Perubahan muka air laut ini juga memengaruhi
Paparan Sunda, khususnya Laut Jawa dan Selat
Karimata saat ini, yakni membentuk alur-alur
sungai purba, seperti yang teridentifikasi oleh
Emery dan Aubrey (1972) (Gambar 3). Pada alur-
alur sungai purba ini dipercayai mengandung
potensi sumber daya mineral yang merupakan
endapan plaser.
Berdasarkan kondisi regional, potensi konsentrat
timah di perairan Bangka Utara sampai saat ini
belum diketahui secara pasti karena keterbatasan
data eksplorasi secara rinci dan publikasi
terdahulu. Data yang ada masih bersifat regional,
dan masih memerlukan kajian-kajian yang lebih
terpadu dari berbagai publikasi dan eksplorasi
timah terdahulu. Kajian potensi saat ini mengacu
pada data geologi dan sungai-sungai purba re-
gional di daerah eksplorasi, khususnya di utara
Pulau Bangka (Gambar 3).
Kegiatan eksplorasi dan penambangan timah saat
ini mengacu pada sistem penyebaran sungai dan
lembah purba. Kegiatan survei seismik dilakukan
untuk mengidentifikasi keberadaan lembah dan
sungai purba serta cabang-cabangnya yang
berukuran lebih kecil, tetapi diyakini sebagai
pembawa konsentrat timah.
Berdasarkan geologi regional dan distribusi sungai-
sungai purba tersebut dapat diperikirakan
penyebaran sedimen mengandung timah di
perairan Bangka Utara. Secara umum, sedimen
akan mengalami proses transportasi dari darat ke
laut melalui sungai-sungai purba dan menyebar
dalam bentuk limpahan secara lateral dan vertikal
(progradation) ke morfologi cekungan di laut. Pada
umumnya, sungai-sungai purba tersebut tertutup
oleh sedimen Resen yang lebih muda. Untuk itu,
eksplorasi timah berdasarkan metode seismik di
139 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
perai ran Bangka Utara di harapkan dapat
menemukan lembah dan sungai purba sebagai
indikasi awal keberadaan timah.
3. METODE EKSPLORASI
Geologi bawah permukaan dasar laut (struktur dan
batuan) disusun berdasarkan penafsiran data
seismik pantul dengan menggunakan prinsip-
prinsip Seismik Stratigrafi, yaitu pengenalan
terhadap ciri-ciri reflektor batas atas, batas bawah
dan bagian dalam (internal reflector) setiap unit
seismik (Sangree & Wiedmier, 1979; Sherif, 1980).
Interpretasi lapisan sedimen mengandung
konsentrat timah adalah daerah yang dekat dengan
batuan sumber (bedrock), membentuk lembah
sebagai akumulasi daerah dengan berat jenis
tinggi dan litologinya adalah coarse fluvial depos-
its (sedimen fluvial berbutir kasar) atau disebut
sedimen Kuarter. Selanjutnya, guna memastikan
sedimen mengandung konsentrat timah, data
seismik dikorelasi dengan data pemboran sehingga
diperoleh gambaran menyeluruh tentang potensi
konsentrat timah di daerah eksplorasi. Data tersebut
kemudian diolah secara digital untuk mendapatkan
volume endapan dan selanjutnya dapat diperhitung-
kan potensi konsentrat timah. Pengambilan data
seismik di perairan Bangka Utara gunanya untuk
mengetahui ketebalan lapisan sedimen Kuarter,
lembah dan saluran (channels) pada batuan dasar.
Lembah dan saluran di bawah dasar laut atau pada
batuan dasar akan terlihat dari pola kontur
kedalaman batuan dasar tersebut.
Perhitungan ketebalan sedimen dan kedalaman
granit berdasarkan atas perhitungan dengan
persamaan: S = V x t, di mana S adalah jarak, V
kecepatan gelombang dalam sedimen V.sed) dan
t adalah waktu. Kecepatan gelombang dalam
sedimen dengan V.sed = 1600 meter/Sec. (Hubrol
et al., 1980; Khesin et al., 1995). Pada eksplorasi
ini dipergunakan sapuan (sweep) adalah 0,25 Sec.
dan firing rate adalah 1 Sec. Total sapuan seismik
adalah 250 milli Sec. dalam Two Way Traveltime
(TWT) atau 125 milli Sec. dalam One Way

Gambar 3. Peta distribusi sungai-sungai purba (paleo-channel) di perairan Bangka sebagai
daerah aliran sedimen mengandung konsentra timah (disederhanakan dari
Emery, 1972)
140 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Traveltime (OWT). Selanjutnya setelah diperoleh
ketebalan sedimen, dan luas daerah eksplorasi
5000 ha dapat dihitung volumen sedimen
berdasarkan metode Trapezoidal dan Simpsons
Role dengan rumus luas kali tebal secara digital.
Volume juga dapat dihitung berdasarkan luas dan
tebal rata-rata.
4. HASIL EKSPLORASI
Ketebalan Sedimen dan Kedalaman
Lembah Purba
Ketebalan sedimen diperoleh dari hasil interpretasi
rekaman seismik yang dilakukan berdasarkan
pengenalan terhadap ciri-ciri reflektor. Pengenalan
lainnya adalah kenampakan batas antara sedimen
dan batuan dasar yang ditandai oleh penguatan
reflektor sebagai bidang batas (Sukmono, 1999;
Priyono, 2000). Batuan sedimen umumnya
berukuran lempung, lanau, pasir dan kerikil dengan
ciri-ciri reflektor adalah selaras (concordance),
laminasi sejajar, bergelombang terputus-putus
(wavy), perlapisan terpotong-potong (hummocky),
longsoran (slump) dan pengisian (channel fill).
Batas antara granit dengan sedimen Kuarter
membentuk bidang ketidakselarasan atau pepat erosi
(erosional truncation) atau kontak onlap (Sangree
and Wiedmier, 1979; Sherif, 1980). Sedangkan ciri-
ciri reflektor granit sebagai batuan alas/dasar pada
penampang seismik adalah berbukit-bukit
(mounded), berbintik-bintik kacau tidak beraturan
(chaotic), kadang-kadang muncul perulangan
bidang pantulan (multiple) dan makin ke bawah
bebas pantulan (free reflektor) (Ringis, 1993).
Adanya pola choatic dan multiple menunjukkan
gelombang melalui medium yang keras dan padat
berupa batuan tanpa bidang perlapisan. Ciri-ciri
seperti ini dapat diinterpretasikan sebagai batuan
alas dan antara keduanya dipisahkan oleh bidang
ketidakselarasan (erosional truncation). Bagian
paling bawah sering disebut sebagai Acoustic
Basement dan sekaligus juga merupakan batuan
dasar. Di perairan Bangka-Belitung, batuan alas
adalah granit (Batchelor, 1983); sedangkan
hilangnya pantulan gelombang (free reflektor) dapat
juga disebabkan oleh adanya medium yang halus
(ada organik), porous dan berongga. Pada batuan
beku tidak memberikan respon seismik, karena
batuan tidak berlapis dan bersifat homogen
(Boggs, 2006).
Hasil interpretasi rekaman seismik di daerah survei
diperoleh pola reflektor yang menunjukkan batuan
sedimen dengan ciri-ciri di bagian atas adalah
selaras (concordance), laminasi sejajar, bergelom-
bang terputus-putus, perlapisan terpotong-potong.
Bagian bawah membentuk pengisian, longsoran,
dan bidang ketidakselarasan.
Pada penampang seismik Lintasan 36 (LINE 36)
berarah barat timur menunjukkan batas yang
tegas antara batuan sedimen di bagian atas dan
granit di bagian bawah. Pada penampang tersebut
juga menunjukkan adanya daerah lembah purba
yang berbentuk cekungan pada permukaan granit
dan terisi oleh sedimen. Pada cekungan tersebut
pengisian oleh sedimen hasil transportasi dari
darat dan dari tubuh grani t di l aut. Pada
penampang Lintasan 36 (LINE 36) (Gambar 4)
dengan arah lintasan barat timur dan hasil
interpretasinya (Gambar 5) memperlihatkan
keberadaan lembah berada di bagian timur daerah
survei makin dalam ke arah utara.
Di bagian barat tersebut, keberadaan lembah lebih
dangkal dan tipis, tetapi berdasarkan bentuk
reflektor yang masih menunjukkan ciri-ciri
bergel ombang terputus-putus, perl api san
terpotong-potong, longsoran dan pengisian
di perki rakan di bagi an barat l ebi h kasar
dibandingkan dengan bagian timur. Di bagian timur
ditandai oleh hilangnya pantulan di bagian lembah,
sebagai akibat gelombang seismik melalui
madium yang halus (kaolin) atau medium yang
kasar (kerikil) yang berongga dengan kandungan
air yang tinggi. Antara batuan dasar sebagai batuan
alas dengan sedimen Kuarter di bagian atas
dipisahkan oleh suatu bidang pepat erosi. Bidang
tersebut mengalasi sedimen yang dibedakan dari
perbedaan ciri-ciri reflektor.
Secara umum ciri-ciri reflektor pada penampang
barat timur seperti contoh pada L-36 mempunyai
kesamaan dengan ciri-ciri pada penampang lainnya
yang menggambarkan batuan alas di bagian bawah
dan sedimen Kuarter di bagian atas sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ringis (1993). Bila dikaitkan
dengan kondisi geologis dasar laut regional,
sumber sedimen-sedimen tersebut adalah granit
terdekat yang mengalami erosi yang intensif.
Setelah seluruh lintasan seismik diinterpretasi,
dan dilakukan perhitungan ketebalan berdasarkan
kecepatan gelombang dalam sedimen (V.sed =
1600 m/det) dan waktu penjalaran gelombang to-
141 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

Gambar 4. Penampang seismik pantul Lintasan 36 (LINE 36) dengan arah Timur - Barat

Gambar 5. Hasil interpretasi rekaman seismik pantul Lintasan 36 (LINE 36) dengan
arah Timur Barat
tal pada total penampang seismik adalah 0,125
Sec, diperoleh ketebalan sedimen. Selanjutnya,
setelah seluruh lintasan diinterpretasi dan dihitung
ketebalannya, dan data ketebalan tersebut diplot
pada peta kerja dengan menarik kontur yang
mempunyai angka ketebalan yang sama, maka
akan menghasilkan peta ketebalan sedimen (iso-
pach) (Gambar 6).
142 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Pada bagian kontur yang rapat menunjukkan
ketebalan sedimen lebih besar. Selanjutnya, peta
ketebalan sedimen tersebut ditumpangtindihkan
dengan peta morfologi batuan dasar. Bila ketebalan
tersebut tepat pada morfologi lembah pada batuan
dasar, maka kondisi ini menujukkan bahwa
sedimen tersebut menebal ke arah bawah. Tetapi
bila ketebalan sedimen dengan kontur yang rapat
tidak berhimpitan dengan morfologi lembah, berarti
penebalan ke bagian atas membentuk gosong
pasir. Penebalan ke bagian atas, menunjukkan
adanya sedimen Resen dengan proses sedimentasi
ke bagian atas dan tidak berhimpitan dengan
lembah atau sungai purba. Pada daerah morfologi
lembah pada batuan dasar tersebut merupakan
daerah yang mempunyai volume sedimen yang
besar dan prospektif konsentrat timah yang besar,
sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
eksplorasi lebih rinci.
Hasil pengukuran ketebalan sedimen diperoleh
ketebalan berkisar antara 2 - 30 meter. Bagian
paling tebal terdapat di bagian tengah daerah
eksplorasi berkisar antara 16 - 30 meter. Sejalan
dengan bert ambahnya kedal aman l aut ,
memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke
arah utara dengan ketebalan antara 10 - 25 meter.
Di bagian selatan, ketebalan kurang dari 4 meter,
bahkan di beberapa tempat membentuk bidang
yang tipis dengan ketebalan kurang dari 2 meter.
Makin menipisnya sedimen di bagian selatan
disebabkan makin mendekat ke arah pantai
dengan batuan dasar yang lebih dangkal.
Selanjutnya, morfologi granit dan kedalaman
lembah purba digambarkan oleh garis kontur
kedalaman batuan dasar. Secara genesis, lembah
purba pada penampang seismik dikenal sebagai
pengisian lembah. Pada penampang seismik,

Gambar 6. Peta ketebalan sedimen (isopach) perairan utara Bangka
143 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
kedalaman batuan dasar merupakan bagian
permukaan dari dasar akustik gelombang seismik
(basement accoustic), disebut sebagai basement
top. Berdasarkan pemahaman geologi regional,
dasar akustik tersebut diinterpretasikan sebagai
batuan dasar (bedrock), yaitu granit (Gambar 7).
Lembah-lembah purba ditunjukkan oleh kontur
yang rapat dan bulat mamanjang relatif barat
timur. Bagian terdalam lembah purba tersebut
terletak di bagian tengah, berkisar antara 60 - 65
meter. Di bagian barat laut, terdapat kedalaman
lembah purba antara 50 - 60 meter. Di bagian utara
kedalaman batuan dasar bervariasi dan bersifat
setempat-setempat; pada umumnya kedalaman
lembah purba antara 20 - 40 meter. Sedangkan di
bagian selatan, morfologi batuan dasar relatif datar
dengan kedalaman antara 20 - 35 meter.
Secara umum, kedalaman batuan dasar di bagian
selatan makin dangkal dibandingkan bagian utara.
Kondisi ini disebabkan karena di bagian selatan
makin menuju ke arah perairan pantai Pulau
Bangka sebagai pusat granit.
Estimasi Volume Sedimen dan Potensi
Konsentrat Timah
Selanjutnya, untuk mendapatkan kandungan
sedimen di daerah eksplorasi adalah Vol = luas x
tebal. Metode yang dipergunakan dalam peng-
hitungan volume/potensi adalah Trapezoidal dan
Simpsons Role diperoleh volume sedimen perairan
utara Bangka adalah antara 353.412.982,24723
354.688.795,79397 m
3
.
Metode lainnya sebagai koreksi dilakukan secara
Gambar 7. Peta morfologi batuan dasar (granit) di perairan Bangka Utara
144 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sederhana dengan menghitung ketebalan rata-rata
pada penampang seismik dan luas daerah
eksplorasi. Jika luas daerah eksplorasi adalah
5000 ha (dihitung pada program MapInfo) dan
ketebalan rata-rata berdasarkan hasil perhitungan
pada penampang seismik sekitar 7 meter, maka
diperoleh volume sedimen 350.000.000 m
3
. Jika
setiap 1 m
3
mengandung rata-rata 3 kg timah
(Usman and Subandrio, 2008), maka total
kandungan timah adalah 1.050.000.000 kg
(1.050.000 ton). Hasil perhitungan secara digital
dan manual tersebut ti dak menunj ukkan
perbedaan yang terlalu besar.
5. PEMBAHASAN
Hasil interpretasi seismik dan kedalaman batuan
dasar dapat dilakukan proses rekonstruksi lokasi
dan penyebaran sungai-sungai purba di daerah
survei. Sungai-sungai purba tersebut melewati
beberapa lembah-lembah purba, dan dua di
antaranya merupakan lembah purba terdalam dan
terbesar di daerah survei. Dua lembah purba
tersebut terletak di bagian tengah dan bagian barat
laut, dan diperkirakan keduanya sebagai pusat atau
muara dari aliran sungai purba yang juga merupakan
pusat pengendapan sedimen mengandung
konsentrat timah. Di bagian tengah kedalaman
lembah berkisar antara 60 - 65 meter, dan di bagian
barat laut berkisar antara 50 - 60 meter. Alur sungai
purba di bagian tengah tersebut berarah dari barat
ke timur, dan di bagian barat laut dari arah timur
ke barat. Sedangkan alur-alur yang berukuran lebih
kecil di bagian tengah, selatan dan timur
mempunyai arah yang bervariasi (Gambar 8).
Berdasarkan posisinya terhadap sungai purba re-
gional, alur sungai purba di daerah survei tersebut
merupakan cabang dari sistem alur purba regional

Gambar 8. Alur sungai purba hasil interpretasi seismik sebagai daerah aliran dan
pengendapan sedimen mengandung konsentrat timah di daerah survei
145 Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio
yang bermuara di Laut China Selatan. Sistem ini
erat kaitannya dengan penurunan permukaan laut
yang terjadi di Paparan Sunda selama periode Plio-
Plistosen atau sekitar 2 - 1,8 juta tahun lalu (Yoo
and Park, 2000). Periode ini merupakan masa iklim
dingin global yang ditandai terjadinya peningkatan
pembentukan es di kutub. Akibatnya, suluruh
wilayah laut di Paparan Sunda termasuk di Selat
Malaka dan Laut Jawa mengalami proses
kekeringan, dan batuan di daratan Paparan Sunda
mengalami proses pelapukan dan erosi (Zaim,
1996). Pada saat penurunan permukaan laut,
diikuti oleh pembentukan alur-alur purba yang
mengerosi batuan dasar berupa granit membentuk
sedi men yang kaya mi neral kuarsa dan
konsentrat timah (Batchelor, 1983). Alur purba
terbesar di Paparan Sunda, terdapat di perairan
Laut Jawa, dan di utara perairan Bangka Belitung
yang bermuara ke Laut China Selatan (Emery and
Aubrey, 1972). Sejak dimulainya pencairan es di
kutub pada awal Plistosen tersebut, merupakan
periode awal proses sedimentasi di Paparan
Sunda (Yoo and Park, 2000) dan Laut Jawa,
sehingga sungai-sungai purba tertutup oleh
sedimen (Zaim, 1996).
Sedimen yang menutupi sungai-sungai purba, dan
adanya jejak lembah-lembah purba yang terbentuk
sejak awal Plistosen di daerah survei dapat diamati
secara langsung melalui rekaman seismik pantul.
Proses pengendapan sedimen tersebut telah
berlangsung cukup lama, sejak sekitar 1,8 juta
t ahun, sehi ngga memungki nkan proses
pengendapan terjadi yang membentuk lapisan
sedimen yang cukup tebal mencapai 30 meter.
Pada eksplorasi yang menggunakan metode
seismik pantul, identifikasi sungai dan lembah
purba akan mempermudah dalam perencanaan
kegiatan eksplorasi rinci dan studi kelayakan. Data
ini juga akan menjadi arahan dalam menentukan
daerah akumul asi sedi men mengandung
konsentrat timah, sehingga akan menambah
akurasi keberhasi l an dal am survei -survei
berikutnya. Kondisi ini juga akan mempermudah,
mempercepat waktu dan menghemat biaya dalam
survei-survei berikutnya.
6. KESIMPULAN
Ketebalan sedimen berkisar antara 2 - 30 meter;
bagian paling tebal terdapat di bagian tengah
daerah antara 16 - 30 meter. Di bagian selatan,
ketebalan kurang dari 4 meter; di beberapa tempat
kurang dari 2 meter. Makin menipisnya sedimen
di bagian selatan disebabkan makin mendekat ke
arah pantai dengan batuan dasar yang lebih dangkal.
Sejalan dengan bertambahnya kedalaman laut,
memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke
arah utara dengan ketebalan antara 10 - 24 meter.
Kedalaman lembah purba menunjukkan bagian
terdalam terletak di bagian tengah, berkisar antara
60 - 65 met er dan di bagi an barat l aut
kedalamannya antara 50 - 60 meter.
Di bagian utara kedalaman batuan dasar bervariasi
antara 20 - 40 meter, dan di bagian selatan,
kedalaman antara 20 - 35 meter. Secara umum,
kedalaman batuan dasar di bagian selatan makin
rendah dibandingkan bagian utara karena di bagian
selatan makin menuju ke arah daratan Pulau
Bangka sebagai pusat granit.
Volume sedimen berdasarkan perhitungan Grid
Vol ume Comput at i ons adal ah ant ara
353.412.982,24723 354.688.795,79397 m
3
.
Sedangkan berdasarkan perhitungan manual
di perol eh sebesar 350.000.000 m
3
. Hasi l
perhitungan antara Computations dan manual
menunjukkan volume yang hampir sama dan
perbedaan yang tidak terlalu besar.
Ketebalan sedimen dan lembah purba merupakan
bagian terpenting dari kegiatan eksplorasi
konsentrat timah. Data ini akan menjadi dasar
dalam eksplorasi yang lebih rinci, seperti
eksplorasi lanjut, studi kelayakan, estimasi vol-
ume sedimen dan potensi konsentrat timah. Hasil
eksplorasi ini telah dapat menggambarkan kondisi
yang dimaksud dan menjadi dasar dalam
eksplorasi berikutnya. Di samping itu, hasil data
seismik dapat menggambarkan kondisi vertikal
dan lateral granit sebagai batuan sumber sedimen
dan konsentrat timah.
DAFTAR PUSTAKA
Boggs, S, Jr., 2006. Principles of Sedimentology
and Stratigraphy, Pearson Prentice Hall, New
Jersey: 618 pp.
Batchelor, B.C., 1983. Late Cenozoic Coastal and
Offshore Stratigraphy in Western Malaysia and
Indonesia, Thesis Ph.D., Dept. Of Geology,
University Malaya, Kuala Lumpur.
Emery, K.O. and Aubrey, D.G., 1972. Sea Lev-
els, Land Levels, and Tide Gauges. Springer-
146 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Verlag Pub.: 237pp.
Hubrol, P. and Krey, T., 1980. Interval Velocities
from Seismic Reflection Time Measurements,
Western Geophysical Company, Texas USA:
203 pp.
Ishihara, S., 1977. The Magnetite Series and Il-
menite Series Granitic Rocks, Jour. of Mining
Geol., 27: 293-305.
Katili, J.A., 1980. Geotectonics of Indonesia, A
Modern View, Directorate General of Mines,
Jakarta: 271 pp.
Khesin, B.E., Alexeyen, V.V., Eppelbaum, 1995.
Interpretation of Geophysical Fields in Com-
plicated Environments. Kluwer Academic Pub-
lishers, London: 352 pp.
Lehmann, B. and Harmanto, 1990. Large Scale
Tin Depletion in the Tanjung Pandan Tin Gran-
ite, Belitung Island, Indonesia, Econ. Geol.,
85: 99-111.
Priyono, A., 2000. Interpretasi Geologi Seismik,
Diktat Kuliah Program Pasca Sarjana Geologi
dan Geofisika Institut Teknologi Bandung,
Jurusan Geofisika Institut Teknologi Bandung,
255 hal.
Ringis, J., 1993. Deposit Models for Detrital Heavy
Minerals on East Asian Shelf Areas and the
Use of High Resolution Seismic Profiling Tech-
niques in Their Exploration, CCOP Publica-
tion.
Sangree, J.B. and Wiedmier, J.M., 1979. Inter-
pret at i on Faci es f rom Sei smi c Dat a,
Geophysic 44(2): 131 pp.
Sherif, R.E., 1980. Seismic Stratigraphy, Interna-
tional Human Resources Development Corpo-
ration, Boston: 222 pp.
Sukmono, S., 1999. Interpretasi Seismik Refleksi,
Penerbit ITB, Bandung: 269 hal.
Tjia, H.D., 1970. Quaternary Shorelines of the
Sunda Land, Sout h East Asi a, Geol .
Mijnbouw, 49(2): p.35-144.
Usman, E. and Subandrio, A.S., 2008. Shallow
Seismic Imaging for Paleo-Channel Mapping
Related To Tin Prospecting On Tanjung
Penyusuk Offshore, Northern Bangka. Joint
Exploration of MGI APMR/APRI, Intern Re-
port: 90 pp.
Yoo, D.G. and Park, S.C., 2000. High Resolution
Seismic Study as a Tool for Sequence Strati-
graphic Evidence of High Frequency Sea Level
Changes: Latest Pleistocene-Holocene Ex-
ample from Korea Strait, Journal of Sedimen-
tary Research, 70(2): 296-309.
Zaim, Y., 1996. Stratigrafi Kuarter di Indonesia:
Pengaruh Perubahan Muka Laut Global Kala
Pl i st osen Terhadap Penyebaran dan
Lingkungan Hidup Manusia Purba di Jawa,
Makalah PIT Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
(PIT IAAI) ke-VII, Cipanas.
147 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
PENETAPAN NILAI BAGI HASIL
ATAS PRODUKSI BATUBARA MUTU RENDAH
Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin F.Umar, Bukin Daulay
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jenderal Sudirman No.623, Bandung. 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6038027
e-mail : rochman@tekmira.esdm.go.id, ijang@tekmira.esdm.go.id, datin@tekmira.esdm.go.id,
bukin@tekmira.esdm.go.id
SARI
Energi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan,
terutama untuk mendukung proses industrialisasi. Batubara sebagai salah satu sumber energi dapat
berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan baku.
Batubara sebagai salah satu sumber energi jumlahnya sangat besar, yaitu 104,8 miliar ton dengan
mutu yang sangat bervariasi, baik dilihat dari jenis (komposisi kimia, maseral dan sifat fisik) maupun
peringkatnya yaitu rendah (lignit), menengah (subbituminus) dan tinggi (bituminus-antrasit), namun
dari jumlah batubara tersebut sebagian besar merupakan batubara bermutu menengah dan bermutu
rendah yang kurang ekonomis bila diusahakan.
Batubara mutu rendah adalah batubara yang memiliki nilai kalor < 5.100 kkal/kg, kandungan abu
>17%, dan kandungan sulfur >2% dalam air dried basis (adb).
Agar pengusahaan batubara mutu rendah bisa ekonomis, baik di dalam usaha penambangan, maupun
pemanfaatannya sebagai bahan bakar atau bahan baku, perlu ditetapkan nilai bagian pemerintah atas
produksi batubara mutu rendah dari pengusahaan(PKP2B) supaya bisa bersaing dengan batubara
mutu baik. Dari hasil kajian yang telah dilakukan melalui model simulasi dengan menggunakan 4
(empat) parameter, yaitu nilai kalor, abu, sulfur, dan natrium, maka diusulkan 3 (tiga) alternatif nilai
bagi hasil untuk batubara mutu rendah sebagai berikut :
a) Alternatif I :
Dua atau tiga parameter : 10,0 %
Empat parameter atau lebih : 8,5 %
Parameter Lignit : 7,5 %
b) Alternatif II :
Dua atau tiga parameter : 10,0 %
Empat parameter atau lebih : 8,0 %
c) Alternatif III :
Dua, tiga atau empat parameter : 9,0 %
Parameter Lignit : 7,5 %
d) Alternatif IV :
Membagi nilai bagi hasil batubara mutu rendah berdasarkan nilai kalornya (NK), yaitu :
5.100 kkal/kg < NK > 4.600 kkal/kg : 9,0%
NK d 4.600 kkal/kg : 7,5%
Kata kunci : batubara mutu rendah, nilai bagi hasil
148 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
ABSTRACT
Energy has a main role in the sustainable national development to particularly support the industrial-
ization process. Coal, one of the energy sources, can function as fuel and raw material.
Coal has a huge potential in Indonesia, which is 104.8 billion tons. Its quality is various according to
the type (chemical composition, maceral and physical property) and the rank (lignite, subbituminous,
bituminous and anthracite). However, most of the coals is low-rank coal (LRC) and is not economical
for the utilization.
The LRC has a calorific value of <5.100 kcal/kg, ash content of >17% and sulphur content of >2% in
air-dried basis (adb).
In order to improve the business of the LRC economically, either the mining operation or the utilization
as fuel or raw material, it needs to determine a value of the government side for the LRC production
from Coal Contract of Work, so that it can compete with high-rank coals. According to the assess-
ment that has been carried out through a simulation model by applying 4 parameters that are calorific
value, ash, sulphur and sodium, it is suggested 3 alternatives of the production sharing for the LRC as
follows:
a) Alternative I
2 or 3 parameters : 10.0 %
4 parameters or more : 8.5 %
Lignite parameter : 7.5 %
b) Alternative II
2 or 3 parameters : 10.0 %
4 parameters or more : 8.0 %
c) Alternative III
2, 3 or 4 parameters : 9.0 %
Lignite parameter : 7.5 %
e) Alternative IV
Dividing the value of production sharing of LRC based on its calorific value (CV):
5,100 kcal/kg < CV > 4,600 kcal/kg : 9.0%
CV d 4,600 kcal/kg : 7.5%
Keywords: low-rank coal (LRC), value of production sharing
1. PENDAHULUAN
Meningkatnya peran batubara sebagai pemasok
energi di masa mendatang membuat industri ini
memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para
investor tak terkecuali di Indonesia.
Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan
konsumsi batubara yang cukup pesat dalam
beberapa tahun terakhir, yakni dari 13,2 juta ton
pada 1997 menjadi 52,545 juta ton pada 2008,
atau meningkat 4 kali lipat (392%). Peningkatan
jumlah konsumsi yang sangat tajam tersebut
disebabkan meningkat tajamnya permintaan
batubara sebagai sumber energi terutama untuk
pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun
di negara-negara importir. Tidak mengherankan
apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan
pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh
pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir.
Di sisi lain, dari jumlah cadangan batubara Indo-
nesia sebesar 104,8 miliar ton sebagian besar
termasuk ke dalam katagori batubara peringkat
rendah (Low Rank Coal) (Pusat Sumber daya
Geologi, 2008).
Untuk mencapai sasaran bauran energi nasional
2025, yakni pemakaian batubara diharapkan
mencapai 34,4%, maka salah satu langkah yang
perlu dilakukan untuk menunjang ketahanan energi
nasional tersebut adalah menetapkan tarif nilai
bagi hasil untuk pengusahaan batubara mutu
rendah yang akan menjadi pemasok batubara
149 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
untuk PLTU sehingga harganya bisa kompetitif
dengan batubara mutu baik. Hal tersebut perlu
dilakukan karena sampai saat ini belum ada
ketetapan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk pengusahaan batubara mutu rendah,
khususnya untuk PKP2B. Yang ada adalah
ketentuan bagian pemerintah untuk batubara mutu
baik sebesar 13,5% dari produksi batubara yang
terjual, dan ketentuan tambahan yang tertuang di
dalam Keppres No.75 Tahun 1996 tentang
Ketentuan Pokok Perjanjian Kontrak Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara Pasal 3
ayat 2 yang berbunyi : Dalam hal pengusahaan
pertambangan dilakukan dengan cara bawah
tanah dan atau batubara yang diproduksi ternyata
bermutu rendah, besarnya hasil produksi batubara
yang harus diserahkan kepada Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
dipertimbangkan kembali berdasarkan hasil kajian
yang diajukan oleh perusahaan Kontraktor Swasta
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi dan Cadangan
Wilayah Indonesia diketahui memiliki potensi
endapan batubara sangat luas, namun batubara
yang bernilai ekonomis untuk dikembangkan
hanya terkonsentrasi pada cekungan-cekungan
Tersier di Indonesia bagian barat yaitu di pulau
Sumatera dan pulau Kalimantan.
Endapan batubara di Indonesia terbentuk pada
lingkungan pengendapan yang bervariasi mulai
lingkungan rawa-rawa, danau, darat, laguna, dan
delta yang kadang-kadang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Keadaan lingkungan
pengendapan yang berbeda-beda tersebut
menghasilkan jenis batubara yang bervariasi dalam
bentuk dan ketebalan (kuantitas) maupun kualitas
batubara.
Kriteria kualitas batubara dapat dibedakan atas
beberapa macam, pada umumnya didasarkan
pada:
Peringkat Batubara (Coal Rank)
Nilai Kalori (Calorivic Value)
Kandungan bahan/unsur dalam batubara
(kadar air, abu, belerang, zat terbang, karbon
tertambat, dll)
Sifat fisik batubara (kekerasan, muai bebas,
titik leleh abu).
Penggolongan kualitas batubara mutu rendah,
batubara mutu sedang, dan batubara mutu tinggi
seringkali dikaitkan dengan tujuan pemanfaatan
batubara itu sendiri yang tergambarkan dengan
permintaan pada spesifikasi batubara yang
diinginkan. Berdasarkan tingkat kalorinya batubara
Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) bagian , yaitu :
1) Batubara Kalori Rendah < 5.100 kal/gr.
2) Batubara Kalori Sedang 5.100 - 6.100 kal/gr.
3) Batubara Kalori Tinggi 6.100 - 7.100 kal/gr.
4) Batubara Kalori Sangat Tinggi > 7.100 kal/gr.
Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun
2008 berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral adalah sebesar 104,8 miliar ton, dengan
jumlah cadangan batubara Indonesia dihitung
terhadap endapan bahan batubara yang telah
diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas,
kualitas, dan secara ekonomi memenuhi kriteria
layak tambang, yang dihimpun oleh Pusat Sumber
Daya Geologi tahun 2008 dari laporan perusahaan-
perusahaam PKP2B di Indonesia adalah sebesar
22,2 miliar ton (Tabel 1).
Tabel 1. Kualitas, sumberdaya, cadangan dan produksi batubara Indonesia, 2008
Kualitas
Sumberdaya (Juta Ton)
Jumlah
Hipotetik Tereka Tertunjuk Terukur Total
%
Kalori Rendah 5,057.68 6,588.24 3,721.16 5,815.96 21,183.05 20.22
Kalori Sedang 27,764.43 18,888.21 10,941.82 11,956.19 69,550.65 66.39
Kalori Tinggi 1,708.18 6,187.41 1,069.29 4,056.61 13,021.50 12.43
Kalori Sangat Tinggi 90.11 482.93 5.80 422.81 1,001.64 0.96
Total 34,620.40 32,146.79 25,738.08 22,251.57 104,756.83 100.00
Sumber : Pusat Sumbe Daya geologi, 2008
150 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
2.2. Batubara Mutu Rendah
Secara umum ada tiga jenis analisis dan pengujian
yang di l akukan untuk menenetukan mutu
batubara, yaitu :
1) Analisis Proksimat
Analisis proksimat merupakan analisis
mendasar dalam penentuan mutu batubara,
yaitu untuk mengetahui kandungan air
lembab, zat terbang (volatile matter), abu dan
karbon tertambat (fixed carbon).
2) Analisis Ultimat
Analisis ultimat merupakan analisis kimia
untuk mengetahui persentase dari senyawa
kimia yang terbentuk dari hasil ikatan antara
karbon, nitrogen (N), oksigen (O) dan sulfur/
belerang (S). Kecuali nitrogen, senyawa-
senyawa tersebut j uga terdapat pada
komponen mineral seperti karbonat, sulfida,
sulfat dan mineral lempung. Hidrogen dan
oksigen juga merupakan komponen yang
penting dalam analisis penentuan kandungan
air total batubara. Dari hasil analisis tersebut,
pengguna batubara khususnya pembangkit
listrik dan pabrik semen sudah dapat mempre-
diksi perilaku unsur-unsur tersebut baik pada
saat berlangsungnya proses pembakaran
maupun setelah pembakaran, sehingga perlu
tidaknya migitasi gas-gas NOx dan SOx dapat
diketahui sebelumnya.
3) Analisis Sifat-Sifat Lain
Analisis sifat-sifat lainnya termasuk penentuan
nilai kalor (calorific value), analisis komposisi
abu, titik leleh abu (ash fusion temperature), nilai
muai bebas (free swelling index), nilai keter-
gerusan (hardgrove grindability index), berat
jenis, komposisi maseral (maceral composition)
dan reflektansi vitrinit (vitrinite reflectance).
Berdasarkan gabungan maseralnya, microlithotype
dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu mono-
maseral (1-maseral), bi-maseral (2-maseral) dan
trimaseral (3-maseral) seperti terlihat pada Table 2.
Vitrinit juga merupakan maseral utama pada
batubara, tidak terpengaruh oleh pelapukan dan
nilai yang diperoleh dapat dikorelasikan dengan
standar peringkat batubara yang ada, termasuk
ASTM (1977) seperti pada Tabel 3.
2.3. Terminologi Batubara Mutu Rendah
Mutu (grade) adalah nilai keadaan sesuatu
berdasarkan sifat fisik, kimia, dan mekanik.
Khusus untuk batubara, mutu atau kualitas
ditentukan dari dua faktor utama, yaitu jenis (type)
dan peringkat (rank) batubara tersebut. Jenis
batubara ditentukan dari komponen/komposisi
batubara yang terdiri dari maseral (vitrinit, inertinit
dan liptinit) dan mineral pembentuk seperti
lempung, sulfida, silikat dan karbonat. Sedangkan
peringkat batubara berhubungan erat dengan
tingkat pematangan batubara (pembatubaraan/
coalification), yang dimulai dari gambut, lignit,
subbituminus, bituminus, semiantrasit sampai
antrasit seperti diilustrasikan pada Gambar 1.
Jenis atau tipe batubara sangat dipengaruhi oleh
jenis tumbuhan pembentuk dan lingkungan
pengendapan dimana batubara tersebut terdapat.
Dalam perkembangannya, berlangsung proses
Tabel 2. Klasifikasi microlithotype batubara
Grup Microlithotype Komposisi Maseral
Mono-Maseral* Vitrit Vitrinit >95%
Inertit Inertinit >95%
Liptit Liptinit >95%
Bi-Maseral* KlaritVitrinertitDurit Vitrinit + Liptinit >95%
Vitrinit + inertinit >95%
Liptinit + inertinit >95%
Tri-Maseral* Duroklarit Vitrinit > Liptinit > Inertinit
Klarodurit Inertinit > Vitrinit > Liptinit
Vitrinertoliptit Liptinit > Vitrinit > Inertinit
* Setiap maseral >5%
151 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
sodium, nitrogen, faktor slagging dan faktor foul-
ing. Besaran nilai setiap parameter tersebut di atas
yang dipergunakan oleh konsumen tidaklah sama
karena sangat tergantung kepada tekni s
operasional (rancangan peralatan), regulasi yang
ada setempat dan keekonomian masing-masing
penggunaaan batubara.
Dengan demikian besaran nilai setiap parameter
yang disajikan disini adalah nilai yang sangat
menonjol (significant), seperti pada Tabel 4, Tabel
5, dan Tabel 6 yang berdampak negatif terhadap
nilai jual dan pemanfaatan dari batubara tersebut.
Dari uraian di atas, maka dalam menilai mutu
batubara harus ditinjau dari peringkat (nilai kalor),
dan jenisnya (umumnya pengotor). Namun
demikian, khusus untuk kajian ini faktor pengotor
yang digunakan baru dua, yaitu abu, dan sulfur,
sehingga definisi Batubara Mutu Rendah adalah
Tabel 3. Hubungan antara reflektansi
vitrinit dan peringkat batubara
menurut klasifikasi ASTM (1977)
Reflektansi
Peringkat
Vitrinit, %
< 0,37 Lignite
0,37 0,47 Subbituminous
0,48 0,57 High Volatile Bituminous C
0,58 0,71 High Volatile Bituminous B
0,72 1,10 High Volatile Bituminous A
1,11 1,50 Medium Volatile Bituminous
1,51 2,05 Low Volatile Bituminous
2,06 3,00 Semi Anthracite
>3,00 Anthracite
Gambar 1. Pengertian mutu batubara
Tabel 4. Parameter dan batasan nilai
untuk penentuan batubara mutu
rendah
No. Parameter Batasan Nilai
1 Nilai Kalor, kkal/kg (adb) < 5.100
2 Abu, % (adb) >17
3 Sulfur, % (adb) >2
4 HGI <35
5 Titik Leleh Abu, C <1150
6 Sodium (Na
2
O), %
>4
dalam Abu
7 Nitrogen, % >1,5
8 Faktor Slagging Sangat Tinggi
9 Faktor Fouling Sangat Tinggi
kimia dan biokimia. Sedangakan peringkat
batubara dipengaruhi oleh salah satu atau
gabungan dari temperatur, tekanan dan waktu.
Selama perkembangannya, hanya terjadi proses
fisika berupa pemadatan. Parameter yang umum
dipergunakan untuk menentukan peringkat
batubara antara lain adalah nilai kalor, kandungan
air, karbon total dan reflektansi vitrinit.
Secara umum parameter yang sering dipergunakan
untuk menentukan mutu batubara adalah peringkat
dan pengotor. Dalam tulisan ini parameter
peringkat yang dipergunakan adalah nilai kalor.
Sedangkan parameter pengotor antara lain adalah
kandungan abu, sulfur, HGI, titik leleh abu (AFT),
Tabel 5. Faktor slagging dan fouling abu
batubara bituminus (Wall, 1990)
Faktor
Tipe
Faktor
Tipe
Slagging,
Slagging
Fouling,
Fouling
Rs Rf
< 0,6 Rendah < 0,2 Rendah
0,6 2,0 Sedang 0,2 0,5 Sedang
2,0 2,6 Tinggi 0,5 1,0 Tinggi
> 2,6
Sangat
> 1,0
Sangat
Tinggi Tinggi
152 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
batubara yang memiliki nilai kalor < 5.100 kkal/
kg, abu > 17%, dan sulfur >2% dalam air dried
basis (adb).
2.4. Penanganan Batubara Peringkat
Rendah
Batubara peringkat rendah (lignit dan Sub-
bituminus B dan C) mempunyai kecenderungan
terhadap terjadinya swabakar (self combustion).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya swa
bakar adalah sebagai berikut:
Peringkat batubara
Kadar air dalam batubara
Komposisi petrografi batubara
Ukuran butir
Temperatur timbunan
Konsentrasi oksigen yang kontak dengan
batubara
Kelembaban udara
Peredaran/kecepatan aliran udara
3. MODEL PENENTUAN TARIF BAGI
HASIL UNTUK BATUBARA MUTU
RENDAH
3.1. Penyusunan Model Bagi Hasil
Faktor substansial yang perlu dicermati dalam
menetapkan besaran persentasi bagi hasil adalah
menentukan atau menghitung bagi hasil bagian
pemerintah dari produksi batubara mutu rendah
dengan mengacu kepada pembagian hasil
keuntungan yang wajar (reasonable) antara
pengusaha batubara (kontraktor) dan pemerintah,
dan menjadikan batubara mutu rendah mempunyai
nilai kompetitif dengan batubara mutu tinggi.
Oleh karena itu model pemecahannya akan
mengacu pada konsep ekonomi pemanfaatan
sumber daya batubara yang telah diuraikan di atas.
Disamping itu, sebagai sandaran perumusan
adalah bagian pemerintah dari hasil pengusahaan
batubara oleh kontraktor yang berlaku saat ini,
yaitu sebesar 13,5% dari jumlah produksi, yang
masih diberlakukan secara umum.
a. Model Bagi Hasil
Sesuai dengan isi perjanjian kontrak kerja antara
Pemerintah dengan perusahaan kontraktor dengan
menggunakan pola Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B), besarnya
persentase bagian Pemerintah telah ditetapkan
sebagai berikut :
G (h) = 13,5 %
Besar pendapatan bagian Pemerintah (N)
merupakan hasil perkalian persentasi bagian
pemerintah (G(h)) dengan jumlah produksi (Q) dan
harga batubara (P), seperti yang ditunjukkan pada
persamaan berikut :
N = G (h) x Q x P
Selanjutnya untuk menentukan atau menghitung
bagi hasil bagian pemerintah dari produksi
batubara mutu rendah dengan mengacu kepada
persentase bagi hasil dari pengusahaan batubara
yang berlaku saat ini. Dengan perkataan lain
persentase bagi hasil bagian pemerintah dari
pengusahaan batubara mutu rendah sebagai
fungsi dari faktor koreksi atau faktor bobot dikalikan
dengan konstanta persentase bagi hasil dari
batubara mutu tinggi (13,5%), yang secara
matematis dirumuskan cukup sederhana, yaitu :
G (l) = 13,5 % x F
dengan :
G(l) = Persent ase bagi hasi l bagi an
pemeri nt ah dari pengusahaan
batubara mutu rendah
13,5% = Persent ase bagi hasi l bagi an
pemeri nt ah dari pengusahaan
batubara (PKP2B) yang berlaku saat
Tabel 6. Faktor slagging dan fouling abu batubara lignitik (Wall, 1990)
Faktor Slagging, Rs Tipe Slagging Faktor Fouling, Rf Tipe Fouling
> 1340C Rendah < 2,0 Rendah
1340 - 1250C Sedang 2,0 3,0 Sedang
1250 - 1150C Tinggi 3,0 6,0 Tinggi
< 1150C Sangat Tinggi > 6,0 Sangat Tinggi
153 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
ini.
F = Faktor bobot atau faktor koreksi atau
faktor insentif
Oleh karena itu, langkah selanjutnya di dalam
penghitungan untuk penetapan nilai bagi hasil
bagian pemerintah dari PKP2B untuk batubara
mutu rendah adalah merumuskan faktor bobot
tersebut.
b. Model Faktor Bobot
Faktor bobot merupakan faktor/ variabel koreksi
terhadap persentase bagi hasil bagian pemerintah
yang berlaku saat ini (13,5%) untuk menghitung
persentasi bagi hasil bagian pemerintah dari
pengusahaan batubara mutu rendah. Dalam kajian
ini, perumusan faktor bobot didefinisikan sebagai
fungsi dari perbandingan (proporsi) relatif harga
batubara mutu rendah dan batubara mutu tinggi.
Secara matematik, faktor bobot diformulasikan
sebagai berikut :

P(h)
Pcor(l)
k F =
dengan :
Pcor (l) = Harga bat ubara mut u rendah
berdasarkan harga batubara mutu
tinggi yang terkoreksi
P(h) = Harga batubara mutu tinggi
k = konstanta
Yang menjadi permasalahan dari model faktor
bobot tersebut adalah belum diketahuinya harga
bat ubara mut u rendah yang sesuai
keekonomiannya, karena pangsa pasarnya yang
belum ada. Oleh karena itu, untuk penyusunan
model harga batubara mutu rendah akan
di t ent ukan mel al ui si mul asi pemodel an
berdasarkan konsep ekonomi pemanfaatan sumber
daya batubara. Pemanfaatan sumber daya
batubara sebagai komoditas energi dipengaruhi
oleh mutunya dan pada proses pengalihannya
menjadi komoditas, sebagaimana komoditas lain,
akan dipengaruhi oleh biaya produksi dan harga.
Penyederhanaan peni l ai an pada proses
pemanfaatan sumber daya dilakukan dari faktor-
faktor alam dan parameter ekonomi yang sangat
kompleks.
Faktor-faktor alam dimaksudkan adalah parameter
karakteristik (mutu) batubara, yaitu parameter
peringkat dan parameter pengotor. Sedangkan
parameter ekonomi terdiri dari biaya penanganan
(handling cost).
c. Model Koreksi Pengaruh Peringkat dan
Pengotor
Pada prinsipnya tingkat harga batubara di pasaran
ditentukan oleh karakteristik atau mutu batubara,
baik dari nilai kalor maupun tingkat pengotornya,
yang meliputi abu, sulfur, natrium, HGI, titik leleh
abu, sodium (Na2O), faktor slagging, dan faktor
fouling. Adapun kandungan air dan reflektansi
vitrinit sudah terwakili oleh nilai kalor, karena ada
korelasi kuat diantara kedua parameter tersebut.
Dengan demikian, harga akan terkoreksi oleh
perbedaan nilai kalor (peringkat) dan oleh
perbedaan tingkat pengotor.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka model
persamaan koreksi harga dari unsur peringkat dan
pengotor adalah sebagai berikut :
Pengaruh Peringkat :
CCV = c x [{CV(h) - CV(l)} / CV(l)] x P(h)
Pengaruh Pengotor :
Cli = Ki x {li(l) - li(h)} x P(h)
dengan :
CCV = Koreksi harga dari penurunan nilai kalor
CI
i
= Koreksi harga dari perubahan kenaikan
tingkat pengotor unsur i
P = Harga batubara mutu tinggi
CV(h) = Nilai kalor batubara mutu tinggi
CV(l) = Nilai kalor batubara mutu rendah
I
i
(h) = Nilai unsur pengotor i pada batubara
mutu tinggi
I
i
(l) = Nilai unsur pengotor i pada batubara
mutu rendah
c, k
i
= konstanta
Pada model persamaan koreksi harga dari
pengaruh peringkat, perumusan dalam tanda
kurung besar merupakan koefisien elastisitas,
yaitu proporsi relatif dari perbedaaan nilai kalor,
yang menunjukkan perbedaan efisiensi energi
antara batubara mutu tinggi dan batubara mutu
rendah. Sedangkan pada persamaan koreksi
harga dari pengaruh pengotor, perumusan dalam
tanda kurung kurawal merupakan koefisien
elastisitas, yakni selisih nilai pengotor (abu, sul-
fur, dan sodium) dari kedua jenis batubara tersebut.
Dalam permodelan koreksi tersebut, simulasi
koefisien elastisitas dari pengaruh perubahan nilai
kalor dan perubahan tingkat pengotor merupakan
154 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
dua dari empat parameter yang dipertimbangkan
dalam optimalisasi perberbedaan atau delta harga
batubara mutu tinggi dan mutu rendah.
d. Model Handling Cost
Pekerjaan eksploitasi pada pengusahaan batubara
dapat dikelompokkan menjadi pekerjaan penam-
bangan/penggalian dan pekerjaan penanganan
(handling cost).
Biaya pekerjaan penambangan (mining cost) pada
pengusahaan batubara mutu tinggi dan mutu
rendah akan sama, karena menggunakan jenis
peralatan yang sama. Sedangkan biaya penanganan
(handling cost) untuk mutu rendah relatif lebih
besar dari pada batubara mutu tinggi, antara lain
karena perbedaan densitas dan perbedaan nilai kalor.
HC(h)
CV(l)
CV(h)
d(l)
d(h)
HC(l)

=
Hubungan fungsional antara biaya penangan
batubara mutu rendah dengan mutu tinggi
dihubungkan dengan koefisien elastisitas dari
simulasi perbandingan densitas dan nilai kalor,
sebagai kovensasi dari adanya perbedaan volume
untuk energi yang sama. Secara matematis,
model persamaannya adalah:
dengan :
) (l HC = Biaya penanganan (handling cost)
batubara mutu rendah
) (h HC = Biaya penanganan (handling cost)
batubara mutu tinggi
) (l d = Densitas batubara mutu rendah
) (h d = Densitas batubara mutu tinggi
) (l CV = Nilai kalor batubara mutu rendah
) (h CV = Nilai kalor batubara mutu tinggi
Semakin besar perbedaan densitas demikian pula
perbedaan nilai kalor, maka akan semakin
signifikan kenaikan biaya handling cost batubara
mutu rendah dibanding handling cost batubara tinggi.
e. Model Harga
Tingkat harga batubara secara ekonomi ditentukan
dengan mempertimbangkan kriteria dari sisi
produsen dan konsumen atau ditentukan dengan
mempertimbangkan manfaat yang diterima
produsen dan konsumen. Ada dua pendekatan
dalam menentukan atau menghitung tingkat harga.
Pertama, harga batubara mutu rendah dihitung
berdasarkan penurunan harga mutu tinggi karena
terkoreksi atau disesuaikan karena adanya
penurunan peringkat dan gangguan tingkat
pengotor termasuk handling cost relatif.
Sebagai pembanding dihitung pula harga minimum
sebagai fungsi dari biaya produksi (mining cost
dan handling cost), bagi hasil, dan marginal profit.
Secara matematis model persamaan harga
batubara mutu rendah tersebut adalah :
Harga Koreksi/Penyesuaian :
Pcor(l) = P(h) - {HC(l) - HC(h)} - iCCli
dengan :
Pcor (l) = Harga bat ubara mut u rendah
berdasarkan harga batubara mutu
tinggi yang terkoreksi
P(h) = Harga batubara mutu tinggi
HC(l) = Biaya penanganan batubara mutu
rendah
HC(h) = Biaya penanganan batubara mutu
tinggi
CCIi = Koreksi harga dari peringkat atau
pengotor
Harga Minimum :
Pmin(l) = (1+)[{1 + B(l)} x {MC(l) + HC(h)}]
dengan :
Pmin (l) = Harga minimum batubara mutu rendah
B(l) = Persentase bagi hasil bagian pemerintah
dari batubara mutu rendah.
P(h) = Harga batubara mutu tinggi
MC(l) = Biaya penanganan batubara mutu
rendah
MC(h) = Biaya penanganan batubara mutu tinggi
= Persentase profit margin
3.2. Aplikasi Model untuk Penetapan Bagi
Hasil
Permodelan bagi hasil bagian pemerintah dari
pengusahaan batubara mutu rendah dalam pola
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) yang telah dirumuskan di atas,
di maksudkan untuk menentukan besaran
persentase bagi hasi l bagi an pemeri ntah
berdasarkan pengaruh perbedaan peringkat (nilai
kalor), dan pengotor (sulfur, abu, natrium dan
155 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
sebagainya) serta biaya produksi (handling cost)
antara batubara mutu rendah dan mutu tinggi.
Untuk mengaplikasikan model dalam rangka
menentukan besaran bagi hasil bagian pemerintah
dari pengusahaan batubara mutu rendah
diperlukan batasan-batasan (asumsi) dan simulasi
variasi parameter peringkat (nilai kalor) dan pa-
rameter pengotor (abu, sulpur, natrium, dan
lainnya) sebagai berikut :
a) Batasan :
a. Batubara mutu rendah sebagai obyek yang
akan ditimbang, sedangkan batubara mutu
tinggi sebagai obyek penimbangnya.
b. Setiap penurunan nilai kalor dari CV(h) ke
CV(l) diasumsikan harga terkoreksi
sebesar [{CV(h)-CV(l)}/CV(h)] x P(h).
c. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai ash
(abu) diasumsikan harga terkoreksi
sebesar 0,005 x P(t).
d. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai
sulfur diasumsikan harga terkoreksi
sebesar 0,05 x P(t).
e. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai
natrium diasumsikan harga terkoreksi
sebesar 0,025 x P(t).
f. Perbandingan densitas batubara mutu
tingggi dan mutu rendah 1,3 : 1,15.
g. Persentase profit margin dari pengusahaan
batubara mutu rendah diasumsikan 10%.
h. Perhitungan bagi hasil batubara mutu
rendah dibatasi oleh harga batubara mutu
rendah yang minimum.
b) Simulasi Variasi :
a. Simulasi dengan menggunakan dua variasi
parameter, yaitu nilai kalor dan salah satu
paramater pengotor,
b. Simulasi dengan menggunakan tiga variasi
parameter, yaitu nilai kalor dan dua param-
eter pengotor,
c. Simulasi dengan menggunakan empat
variasi parameter, yaitu nilai kalor dan tiga
parameter pengotor,
d. Simulasi dengan menggunakan parameter
batubara lignit.
Hasil dari proses aplikasi model dapat dilihat pada
Tabel 7. Dari hasil simulasi tersebut dapat diulas
sebagai berikut :
a. Parameter batubara mutu tinggi yang dijadikan
sebagai standar penimbang adalah :
nilai kalor (caloric value) = 6.100 kkal/kg
abu (ash) = 4 %
sulfur = 1 %
sodium (Na2O) = 1,2 %
Mining Cost = 25 USD /ton
Handling Cost = 2,00 USD /ton
Harga = 40 USD /ton.
b. Untuk variasi dua parameter batubara mutu
rendah, yaitu parameter nilai kalor = 5.100
kkal/kg dan salah satu parameter pengotor
yang diwakili oleh abu = 17 %, sulfur = 2 %,
atau sodium = 4 %, diperoleh handling cost
2,7 USD, dan rata-rata harga batubara mutu
rendah yang masih kompetitif 26,4 USD atau
delta harga dengan batubara mutu tinggi mini-
mum 8,6 USD. Adapun besaran bagi hasil
bagian pemerintah berkisar antara 10,07 %
10,34 % atau rata-rata 10,18 %. Adapun untuk
variasi tiga dan empat parameter batubara
mutu rendah serta untuk batubara lignit,
masing masing rata-rata besaran bagi hasil
bagian pemerintah adalah 9,35 %; 8,52 %;
dan 7,33 %.
c. Semakin besar (tinggi) harga batubara mutu
tinggi maka semakin besar pula harga
batubara mutu rendah, namun perbedaannya
(delta) semakin besar secara proporsional
(agar dapat kompetitif). Hal ini dapat dilihat
pada gambar 2.
Adapun dari variasi naik-turunnya harga batubara
tersebut berdampak tidak signifikan terhadap
besaran perhitungan bagi hasil bagian pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari grafik sensitifitas harga
seperti contoh untuk batubara lignit pada Gambar 3.
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh besaran
nilai bagi hasil yang diperoleh terhadap kelayakan
usaha penambangan batubara mutu rendah, maka
akan dicoba digunakan di dalam perhitungan
kelayakan pengusahaan batubara mutu rendah,
dengan memasukkan terhadap aliran kas (cah flow)
dari laporan studi kelayakan penambangan batubara.
Perusahaan yang akan dijadikan contoh di dalam
proses simulasi ada 2 perusahaan yang berlokasi
di Kalimantan yang berencana mengembangkan
ke penambangan batubara mutu rendah. Karena
data yang akan digunakan di dalam perhitungan
ini merupakan data keuangan perusahaan yang
akan dijadikan contoh di dalam proses penghitungan,
maka untuk menjaga kerahasiaan, nama perusahaan
tidak dicantumkan atau diganti dengan nama
perusahaan A, dan perusahaan B.
156 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Gambar 3. Grafik sensitivitas harga terhadap persentase bagi hasil untuk batubara lignit
7.15
7.20
7.25
7.30
7.35
7.40
7.45
7.50
12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
HARGA (USD)
B
A
G
I
H
S
I
L
(
%
)
(
%
)
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
20 25 30 35 40 45 50 55
HARGA BATUBARA MUTU TINGGI (USD)
Dua Parameter
Tiga Parameter
Empat Parameter
Lignit
H
A
R
G
A

B
A
T
U
B
A
R
A

M
U
T
U

R
E
N
D
A
H

(
U
S
D
)
Gambar 2. Hubungan harga batubara mutu rendah dan mutu tinggi
157 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
E
m
p
a
t

P
a
r
a
m
e
t
e
r
L
i
g
n
i
t
C
V
+
A
s
h
C
V
+
S
C
V
+
N
a
2
O
C
V
+
A
s
h
+
S
C
V
+
A
s
h
+
N
a
2
O
C
V
+
S
+
N
a
2
O
C
V
+
A
s
h
+
S
+
N
a
2
O
M
u
t
u

T
i
n
g
g
i

(
P
e
n
i
m
b
a
n
g
)
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r


(
K
k
a
l
/
k
g
)
6
1
0
0
.
0
0
A
b
u

(
%
)
4
.
0
0
S
u
l
f
u
r

(
%
)
1
.
0
0
S
o
d
i
u
m

(
N
a
2
O
)

(
%
)
1
.
2
0
M
i
n
i
n
g

C
o
s
t

(
U
S
$
)
1
2
.
5
8
H
a
n
d
l
i
n
g

C
o
s
t

(
U
S
$
)
2
.
0
0
H
a
r
g
a

(
A
)

(
U
S
$
)
3
5
.
0
0
M
u
t
u

R
e
n
d
a
h

(
D
i
t
i
m
b
a
n
g
)
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
K
k
a
l
/
k
g
)
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
5
1
0
0
.
0
0
4
6
1
2
.
0
0
A
s
h

(
%
)
1
7
.
0
0
4
.
0
0
4
.
0
0
1
7
.
0
0
1
7
.
0
0
4
.
0
0
1
7
.
0
0
1
7
.
0
0
S
u
l
f
u
r

(
%
)
1
.
0
0
2
.
0
0
1
.
0
0
2
.
0
0
1
.
0
0
2
.
0
0
2
.
0
0
2
.
0
0
S
o
d
i
u
m

(
N
a
2
O
)

(
%
)
1
.
2
0
1
.
2
0
4
.
0
0
1
.
2
0
4
.
0
0
4
.
0
0
4
.
0
0
4
.
0
0
M
i
n
i
n
g

C
o
s
t

(
U
S
$
)
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
1
2
.
5
8
H
a
n
d
l
i
n
g

C
o
s
t

(
U
S
$
)
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
7
0
2
.
9
9
K
o
r
e
k
s
i

H
a
r
g
a

(
U
S
$
)
8
.
0
1
7
.
4
9
8
.
1
9
9
.
7
6
1
0
.
4
6
9
.
9
4
1
2
.
2
1
1
5
.
0
1
H
a
r
g
a

T
e
r
k
o
r
e
k
s
i

(
U
S
$
)
2
6
.
2
8
2
6
.
8
1
2
6
.
1
1
2
4
.
5
3
2
3
.
8
3
2
4
.
3
6
2
2
.
0
8
1
9
.
0
0
S
e
l
i
s
i
h

(
d
e
l
t
a
)

h
a
r
g
a

(
U
S
$
)
8
.
7
2
8
.
1
9
8
.
8
9
1
0
.
4
7
1
1
.
1
7
1
0
.
6
4
1
2
.
9
2
1
6
.
0
0
H
a
r
g
a

M
i
n
i
m
u
m

(
B
)

(
U
S
$
)
1
8
.
5
2
1
8
.
5
5
1
8
.
5
1
1
8
.
4
0
1
8
.
3
6
1
8
.
3
9
1
8
.
2
4
1
8
.
3
8
F
a
k
t
o
r

I
n
s
e
n
t
i
f


(
B
o
b
o
t
)
0
.
7
5
0
.
7
7
0
.
7
5
0
.
7
0
0
.
6
8
0
.
7
0
0
.
6
3
0
.
5
4
B
a
g
i
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

(
%
)
1
0
.
1
4
1
0
.
3
4
1
0
.
0
7
9
.
4
6
9
.
1
9
9
.
4
0
8
.
5
2
7
.
3
3
8
.
5
2
7
.
3
3
8
.
5
2
7
.
3
3
7
.
3
3
K
e
t
e
r
a
n
g
a
n

:



C
V

=

N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
C
a
l
o
r
i
c

V
a
l
u
e
)
,

A
s
h

=

A
b
u
,

S

=

S
u
l
f
u
r
,

N
a
2
O

=

S
o
d
i
u
m
9
,
1
4
U
r
a
i
a
n
V
a
r
i
a
s
i

P
e
r
i
n
g
k
a
t

d
a
n

P
e
n
g
o
t
o
r
D
u
a

P
a
r
a
m
e
t
e
r
T
i
g
a

P
a
r
a
m
e
t
e
r
R
A
T
A
-
R
A
T
A
1
0
.
1
8
9
.
3
5
9
.
7
7
9
.
7
7
7
.
9
2
G
a
m
b
a
r

7
.
S
i
m
u
l
a
s
i

b
a
g
i

h
a
s
i
l

b
a
g
i
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
r
i

b
a
t
u
b
a
r
a

m
u
t
u

r
e
n
d
a
h
158 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Bagi hasil untuk Pemerintah dalam penghitungan
ini sesuai dengan perjanjian kontrak antara
Pemerintah dan perusahaan untuk batubara
secara umum, yang termasuk di dalam biaya
operasi/produksi yang ditetapkan sebagai patokan
dasar, yaitu sebesar 13,5% dan nilai bagi hasil
berdasarkan perhitungan yang baru. Untuk
sel anj utnya akan di hi tung ni l ai i ndi kator
keuntungan dari kelayakan finansial penambangan
batubara mutu rendah masing-masing perusahaan
Indikator keuntungan yang dihitung di dalam
proses simulasi ini adalah :
a. Net Present Value (NPV).
b. Internal Rate of Return (IRR).
Dengan nilai MARR (Minimal Atractive Rate of
Return) yang digunakan 10%, maka diperoleh nilai
indikator keuntungan untuk perusahaan A dan B
sebagai berikut :
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Batubara Mutu Rendah adalah batubara yang
memiliki peringkat menengah dan tinggi
dengan kandungan pengotor tinggi, termasuk
batubara peringkat rendah (lignit).
2. Model bagi hasil bagian pemerintah dari
pengusahaan batubara (PKP2B) mutu rendah
, dirumuskan sebagai fungsi dari faktor bobot
dikalikan persentase bagi hasil yang secara
matematis ditulis G (l) = 13,5 % x F. Faktor
bobot (F) didefinisikan sebagai fungsi dari
perbandingan (proporsi) harga batubara mutu
rendah dan batubara mutu tinggi. Karena harga
batubara mutu rendah belum ada, maka
dirumuskan melalui simulasi pemodelan
berdasarkan konsep ekonomi pemanfaatan
sumber daya batubara, yaitu sebagai fungsi
dari parameter batubara (peringkat dan
pengotor) dan parameter ekonomi termasuk
biaya penanganan (handling cost).
3. Dari hasil simulasi model yang dibuat
berdasarkan kombinasi nilai kalor dan
pengotor (abu, sulfur, Na
2
O) diperoleh nilai
bagi hasil untuk batubara mutu rendah sebagai
berikut :
a) Untuk dua parameter :
kalori abu : 10,14%
kalori sulfur : 10,34%
kalori natrium : 10,07%
b) Untuk tiga parameter :
kalori abu sulfur : 9,46%
kalori abu natrium : 9,19%
Kalori sulfur natrium : 9,40%
c) Untuk empat parameter (kalori abu sul-
fur natrium) : 8,52%
d) Untuk Lignit nilai bagi hasil : 7,33%.
Tabel 8. Data perusahaan dan nilai indikator keuntungan penambangan batubara mutu
rendah
No. Uraian Satuan
Perusahaan
A B C
1 Nilai Kalori Kkal/kg 5.000 4.838 4.800
2 Jumlah Cadangan Juta ton 42,2 48,0 51,7
3 Jarak Tambang ke Terminal Km 100,0 100
4 Kapasitas Produksi Juta ton/thn 2,5 2,5 1.0
5 Stripping Ratio 1 : 2,4 1 : 7,2 1 : 5
6 Umur Tambang tahun 18 17 17
7 Biaya Investasi Juta US$ 48,66 4,87 44.7
8 Biaya Produksi US$/ton 13,47 16,30 24.82
9 Harga Jual US$/ton 21,58 20,00 26.0
10 Nilai Bagi Hasil % 13,5 9,14 13,5 9,14 13.5 9.14
11 Net Present Value (NPV) Juta US$ 15,61 29,02 - 8,47 6,31 (647.9) 15.7
12 Internal Rate of Return (IRR) % 10,66 18,83 < 0 47,86 10.84 39.62
159 Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.
4.2. Saran
1. Karena nilai bagi hasil untuk memproduksi
batubara mutu rendah belum ada ketetapannya,
sedangkan potensi cadangan batubara
sebagian besar bermutu menengah ke bawah,
maka untuk mengoptimalkan pengusahaan
dan pemanfaatan batubara mutu rendah
sebagai sumber energi, khususnya untuk
memasok PLTU yang akan dibangun, maka
perlu ditetapkan tarif nilai bagi hasil untuk
pengusahaan (PKP2B) batubara mutu rendah
agar harganya bisa kompetitif dengan batubara
mutu baik.
2. Untuk mempermudah penerapan nilai bagi
hasil untuk produksi batubara mutu rendah,
maka berdasarkan nilai kalor dan jumlah
pengotornya disarankan untuk membaginya
menjadi :
a) Tiga nilai bagi hasil, yaitu :
d 3 parameter nilai bagi hasil : 10,0%
4 parameter nilai bagi hasil : 8,5%
Lignit : 7,5%
b) Dua nilai bagi hasil, yaitu :
d 3 parameter nilai bagi hasil : 9,5%
4 parameter dan lignit : 7,5%
DAFTAR PUSTAKA
American Society For Testing and Material
(ASTM), 1993. Standard classification of coals
by rank D 388 92a. American Society For
Testing and Material.
Dasgupta, P.S. dan Heal, G.M, 1979, Economic
Theory and Exhaustible Resources. James
Nisbet & Co. Ltd. And Cambridge University
Press.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
2009, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional
2010 - 2025, Jakarta, 2009.
Direktorat Pengusahaan Mineral, Batubara dan
Panas Bumi, 2008, Indonesia Mineral and
Coal Statistic, Jakarta, 2008.
Directorate of Mineral Resources Inventory, 2008.
Indonesia Coal : Resources, reserves and
calorific value. Directorate of Mineral Re-
sources Inventory, Directorate General of Ge-
ology and Mineral Resources, Bandung.
Du Mairy, 2004, Matematika Terapan untuk Bisnis
dan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2004.
MAKALAH
DIPOSTERKAN
161 Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
ANALISIS POTENSI LIMBAH HASIL PEMBAKARAN
BATUBARA PADA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
DI PULAU JAWA
Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : triswan@tekmira.esdm.go.id
S A R I
Jumlah industri kecil dan menengah di Pulau Jawa yang menggunakan batubara pada tahun 2007
tercatat sudah mencapai 417 perusahaan. Industri tekstil merupakan industri yang paling banyak
menggunakan batubara, yaitu 75,78%, disusul kemudian industri kertas sebesar 8,63%, dan industri
lainnya 15,59%. Terdapat sekitar 226 perusahaan di Provinsi Jawa Barat yang telah menggunakan
batubara, diikuti Jawa Tengah 115 perusahaan, Banten 52 perusahaan, dan Jawa Timur 24 perusahaan.
Proses pembakaran batubara pada industri ternyata menghasilkan limbah yang disebut dengan abu
dasar dan abu terbang. Besarnya limbah yang dihasilkan dari pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh
jumlah batubara yang digunakan oleh setiap perusahaan. Untuk mengetahui jumlah limbah yang
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan di Pulau Jawa ini, diambil contoh untuk diamati sebanyak 94
perusahaan pemakai batubara di Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan untuk memperkirakan
jumlah limbah yang dihasilkan adalah metode analisis regresi.
Selama tahun 2007, ke 417 perusahaan tersebut telah menggunakan batubara sebanyak 5,99 juta
ton, masing-masing digunakan oleh Jawa Barat 3,07 juta ton, Banten 1,36 juta ton, Jawa Timur 1,09
juta ton, dan Jawa Tengah sebesar 0,47 juta ton. Dari pembakaran batubara sebanyak 5,99 juta ton
selama satu tahun, ternyata telah dihasilkan limbah abu dasar sebanyak 251.336 ton dan abu terbang
82.877 ton. Semakin banyak batubara yang dibakar, semakin banyak pula limbah yang akan dihasilkan.
Kata kunci : limbah, abu dasar, abu terbang
ABSTRACT
Amount middle and small industry in Java have to use coal year 2007 is 417 company, textile industry
is the most used coal is 75.78%, paper industry is 8.63% and others is 15.59%. There are about 226
companies at West Java Province is used coal, 115 companies at Central Java, 52 companie at
Banten and 24 companies at East Java.
Coal burning processing at industry to produced wasted there are bottom ash and fly ash. Amount of
wasted produced by companies influenced by amount of coal to used. To be found out amount of
produced wasted by companies in Java, have to sampling as much as 94 companies are coal user in
Regency of Bandung. To estimated of wasted is regression analysis method. In 2007, 417 companies
consumption of coal amount 5,99 million ton, each consumpted by West Java amount 3.07 million
162 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Imbauan pemerintah agar masyarakat industri
menggunakan energi alternatif seperti batubara
ternyata berdampak posistif terhadap kelangsungan
aktifitas industri dalam negeri apalagi dengan
berkurangnya subsidi bahan bakar minyak untuk
industri, sehingga banyak industri yang beralih
penggunaan bahan bakar minyaknya ke batubara.
Seiring dengan sudah semakin banyaknya industri
tekstil yang menggunakan batubara sebagai
bahan bakar dalam kegiatan produksinya,
mengakibatkan produk limbah batubara dari setiap
perusahaan pun semakin meningkat. Selain
menyedi akan l okasi tempat penyi mpanan
batubara untuk beberapa hari ke depan, perusahaan
juga harus mencari tempat pembuangan limbah
batubara. Sebagian perusahaan yang masih
memiliki lahan, untuk sementara waktu mungkin
hal ini dapat diatasi, namun bagi perusahaan yang
memi l i ki l ahan t erbat as masal ah t empat
pembuangan limbah batubara menjadi salah satu
kendala. Dalam jangka panjang, jelas masalah ini
sangat mengkhawatirkan mengingat limbah batubara
ini akan terus mengalami peningkatan sehingga harus
ada penanganan khusus terhadap masalah ini. Salah
satu kemungkinan yang timbul adalah masalah
sosial akibat adanya isu lingkungan yang mengklasi-
fikasikan batubara sebagai limbah bahan berbau,
berbahaya, dan beracun (B3) sehingga masyarakat
akan memprotes keberadaan industri pengguna
batubara yang akhirnya dapat mengganggu
kegiatan produksi dan perekonomian nasional.
Dalam situasi seperti ini, maka memahami
perubahan pola konsumsi energi yang dilakukan
oleh masyarakat industri adalah suatu keharusan
dan menjadi hal penting bagi pemerintah sebagai
pembuat dan pengendali kebijakan dalam
mendukung kelancaran roda perekonomian,
khususnya dalam bidang energi. Akibat adanya
pola perubahan konsumsi energi tersebut, akan
terjadi peningkatan penggunaan batubara pada
industri kecil dan menengah (IKM) sekaligus akan
menimbulkan permasalahan baru, yaitu limbah
batubara yang disebut sebagai abu terbang (fly
ash) dan abu dasar (bottom ash). Peningkatan
konsumsi bat ubara i ni cenderung akan
mempengaruhi peningkatan jumlah limbah
batubara. Untuk mengetahui sej auhmana
pemakaian batubara tersebut mempengaruhi
besarnya limbah yang dihasilkan tersebut
digunakan metode analisis regresi.
2. METODOLOGI
2.1. Data
Data yang digunakan untuk mendukung analisis
ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai
instansi terkait, antara lain Dinas Tenaga Kerja,
Asosiasi Pertekstilan Indonesia, dan Dinas
Lingkungan Hidup. Sedangkan data primer adalah
data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung
ke beberapa perusahaan IKM secara acak.
2.2. Model Analisis
Tingkat produksi limbah hasil pembakaran
batubara sangat dipengaruhi oleh pemakaian
batubara yang digunakan oleh IKM, sehingga
hubungan ini dapat dinyatakan dalam bentuk
model regresi sederhana (Gaspersz, 1990) sebagai
berikut:
................................................. (1)
................................................. (2)
............................... (3)
Dalam hal ini,
a = koefisien perpotongan
b = koefisien regresi
y = variabel limbah hasil pembakaran batubara
x = variabel jumlah pemakaian batubara setiap IKM
Tampak jelas bahwa perkembangan kebutuhan
batubara tidak terlepas dari perkembangan industri
di suatu daerah, sehingga ada korelasi yang sangat
ton, Banten 1.36 million ton, East Java 1.09 million ton and Cenral Java 0.47 million ton.From coal
burning amount 5.99 million ton in a year, produced of bottom ash and fly ash each are 251,366 ton
and 82,877 ton. More and more coal is burned is more and more produce wasted.
Keywords : wasted, bottom ash, fly ash
1. PENDAHULUAN
163 Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
erat antara tren perkembangan industri dengan
perubahan kebutuhan batubara dan limbahnya.
3. KONSUMSI BATUBARA DAN POTENSI
LIMBAH BATUBARA DI PULAU JAWA
Rencana pemerintah mengurangi pasokan dan
penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
yang selama ini menjadi beban yang sangat berat
ditanggung oleh pemerintah memaksa pelaku
industri untuk mengubah pola penggunaan bahan
bakar. Target pemerintah sampai dengan tahun
2025 mengurangi penggunaan BBM hingga dua
puluh persen, memaksa pemerintah untuk
memacu penggunaan batubara oleh industri
sehingga kontribusinya mencapai 32,7% terhadap
pemanfaatan bauran energi nasional mengingat
cadangan batubara di Indonesia cukup besar.
Himbauan pemerintah kepada masyarakat industri
untuk mengalihkan penggunaan bahan bakar
minyak ke batubara dan adanya larangan
pemerintah agar industri baru menggunakan
batubara ternyata berdampak sangat signifikan
terhadap kenaikan konsumsi batubara di Indone-
sia, khususnya di Pulau Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral dan Batubara Bandung tahun
2008, penggunaan batubara oleh IKM di beberapa
wilayah seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur ternyata pesat sekali. Di Provinsi
Banten saja jumlah IKM yang sudah mengunakan
bahan bakar batubara sudah mencapai 52
perusahaan. Padahal pada tahun 2005 baru
tercatat sebanyak 15 perusahaan saja, berarti
dalam kurun waktu tersebut sudah mengalami
kenaikan sekitar 250%. Industri pemakai batubara
tersebut tersebar di Kota Cilegon (9 perusahaan),
Kabupaten Serang (11 perusahaan), Kabupaten
Tangerang (29 perusahaan), dan Kota Tangerang
(3 perusahaan). Jumlah pemakaian batubara
sampai tahun 2008 diperkirakan sudah mencapai
1.362.730 ton, Kabupaten Serang merupakan
pemakai batubara batubara terbanyak yaitu
639.250 ton, disusul oleh Kabupaten Tangerang
(416.980 ton), Kota Tangerang (191.000 ton), dan
kota Cilegon (115.500 ton).
Jumlah IKM pemakai batubara di Provinsi Jawa
Barat selalu mengalami kenaikan, dari 193
perusahaan pada tahun 2006 (Ijang Suherman,
2007. Kajian Batubara Nasional, Puslitbang
Tekmira, Bandung) menjadi 226 pada tahun 2007
perusahaan (API, Disnaker, BPLH Jawa Barat,
2008), berarti naik sebesar 9,71%. Jenis tekstil
dan produk tekstil merupakan perusahaan yang
paling banyak menggunakan batubara (85,84%),
lainnya adalah perusahaan sepatu, minyak sawit,
percetakan, ban, karet, makanan, stereofoam,
briket batubara, dan bijih plastik.
Di Provinsi Jawa Barat, berdasarkan hasil
penelitian ternyata bahwa IKM yang telah beralih
menggunakan batubara sudah mencapai 226
perusahaan. Informasi ini diperoleh dari berbagai
sumber, seperti Di nas Tenaga Kerj a dan
Transmigrasi, Dinas Lingkungan Hidup, Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, dan lain-
lain. Sebanyak 118 perusahaan (atau 52,21%) di
antaranya berada di Kabupaten Bandung, disusul
Kota Cimahi sebanyak 47 perusahaan (20,80%),
sedangkan sisanya tersebar di berbagai lokasi di
Jawa Barat.
Konsumsi batubara di daerah ini pada tahun 2007
diperkirakan mencapai 3.069.040 ton, Kabupaten
Bandung merupakan konsumen batubara terbesar
dengan jumlah pemakaian mencapai 44,06%,
disusul kemudian oleh Kota Cimahi, Purwakarta
dan Karawang masing-masing 16,23%, 14,21%
dan 12,50%, sisanya digunakan oleh IKM di daerah
lainnya.
Perusahaan yang paling banyak menggunakan
batubara adalah industri tekstil, jumlahnya
mencapai 2,57 juta ton untuk 199 perusahaan
tekstil.
Di Provinsi Jawa Tengah, tercatat ada 115
perusahaan, 98 di antaranya adalah perusahaan
tekstil, sisanya adalah industri kertas, pengecoran
logam, kapur, briket, makanan, minuman, dan
obat-obatan. Di antara jumlah IKM pemakai
batubara, industri tekstil ini pulalah yang paling
banyak menggunakan batubara sebagai bahan
bakar. Pada tahun 2007 saja penggunaannya
mencapai 325.008 ton, berarti hampir 69,83% dari
jumlah keseluruhan penggunaan batubara di Jawa
Tengah (465.396 ton). Konsentrasi perusahaan
pemakai batubara paling banyak terletak di
Kabupaten Pekalongan (21 perusahaan) dan
Karanganyar (16 perusahaan), sedangkan sisanya
tersebar di Batang, Kendal, Klaten, Kudus, Pati,
Semarang, Sragen, Sukoharjo, Surakarta,
Ungaran, dan Grobogan.
164 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Berdasarkan hasil survei di Jawa Timur, diperoleh
informasi bahwa tercatat sebanyak 24 perusahaan
yang telah menggunakan bahan bakar batubara.
Perusahaan kertas (18 perusahaan) adalah
pemakai batubara terbesar di wilayah ini, disusul
kemudian oleh perusahaan tekstil (5 perusahaan)
dan briket(1 perusahaan). Jumlah pemakaian
batubara pada tahun 2007 tercatat 1.088.100 ton,
95,45% di antaranya digunakan oleh perusahaan
kertas, perusahaan tekstil sebesar 4,14%, dan
sisanya oleh perusahaan briket. Perusahaan
kertas yang paling banyak menggunakan batubara
adalah PT. Tjiwi Kimia yang berlokasi di pinggir
jalan raya Mojokerto, dengan pemakaian pertahun
mencapai 720.000 ton.
4. POTENSI LIMBAH HASIL
PEMBAKARAN BATUBARA OLEH IKM
DI PULAU JAWA
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
jumlah limbah hasil pembakaran batubara sangat
dipengaruhi oleh variabel pemakaian batubara di
setiap IKM, sehingga variabel ini merupakan pa-
rameter potensial yang sangat mempengaruhi
produksi abu dasar dan abu terbang. Dari jumlah
IKM sebanyak 417 perusahaan, 94 perusahaan di
antaranya menjadi contoh (sample) untuk dicatat
jumlah abu dasar dan abu terbang yang dihasilkan
dari pembakaran batubara di setiap perusahaan
tersebut. Diketahui bahwa setiap hari ke 94
perusahaan tersebut menggunakan batubara tidak
kurang dari 2.419 ton, limbah yang dihasilkan dari
pembakaran batubara tersebut sekitar 103.297 kg
abu dasar dan 53.430 kg abu terbang (Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, 2006 dan
2007).
Berdasarkan data jumlah pamakaian batubara,
limbah abu dasar dan abu terbang dari 94
perusahaan tersebut, ternyata menghasilkan
model regresi sebagai berikut :
1) Model regresi abu dasar : y = 23,75 + 41,98 x
2) Model regresi abu terbang : y = 173,39 + 13,72 x
Kedua model di at as di gunakan unt uk
mengestimasi potensi limbah yang dihasilkan dari
proses pembakaran batubara oleh IKM di Pulau
Jawa, hasilnya dapat dilihat dalam Tabel 2.
Jumlah batubara yang digunakan IKM di Pulau
Jawa sebesar 5.985.266 ton (2007), ternyata
menghasilkan limbah hasil pembakaran batubara
sebanyak 334.213 ton atau 5,58% dari jumlah
konsumsi. 75,20% dari limbah tersebut adalah abu
dasar sedangkan sisanya berupa abu terbang.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang
memberikan kontribusi limbah terbesar, yaitu
51,21%, disusul kemudian oleh Banten (22,77%),
Jawa Timur (18,20%), dan Jawa Tengah (7,82%).
Dari sisi jenis industri, perusahaan tekstil menjadi
penyumbang terbesar limbah hasil pembakaran
batubara, jumlahnya mencapai 186.100 ton (atau
55,68%) disusul oleh industri kertas 35,13% dan
industri lainnya 9,19%.
Di tengah harga BBM yang semakin melambung,
penggunaan batubara merupakan salah satu
alternatif yang sangat membantu dalam menekan
biaya penggunaan bahan bakar yang memang jauh
lebih efisien dan ekonomis. Di sisi lain, semakin
maraknya penggunaan batubara pada IKM
memunculkan persoalan baru, yaitu limbah hasil
pembakaran batubara. Selain kesulitan dalam
menyediakan tempat penyimpanan batubara,
mereka mengal ami kesul i tan pul a dal am
membuang limbah batubara sehingga mereka
membuangnya di sembarang tempat dengan tidak
memperhatikan dampak dari pembuangan
tersebut. Pembuangan dilakukan secara diam-
diam tanpa melakukan koordinasi dengan pihak
pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah
pun mengalami kesulitan dalam mengawasinya.
Apabila hal ini terjadi terus menerus dikhawatirkan
akan menimbulkan masalah baru khususnya yang
berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan
sehingga dapat menimbulkan keresahan di
kalangan masyarakat.
Kualitas limbah batubara pasca pembakaran
sangat dipengaruhi oleh jenis batubara dan sistem
pembakarannya. Biasanya parameter yang
digunakan dalam memilih batubara adalah kalori,
kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar
abu, kadar karbon, kadar sulfur, ukuran, dan
tingkat ketergerusan, di samping parameter lain
seperti analisis unsur yang terdapat dalam abu
(SiO
2
, Al
2
O
3
, P
2
O
5
, Fe
2
O
3
, dan lain lain), analisis
komposisi sulfur (pyritic sulfur, sulfate sulfur, or-
ganic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion tem-
perature) (Raharjo, 2006). Hal ini sangat penting,
karena karakteristik mesin atau peralatan yang
digunakan dalam kegiatan produksi berbeda satu
dengan yang lainnya. Sehingga pemilihan kualitas
batubara yang sesuai akhirnya akan sangat
berpengaruh terhadap daya tahan mesin agar
mesin berfungsi secara optimal. Banyak produk
limbah batubara dari beberapa perusahaan tidak
bisa digunakan sebagai bahan batako, di
165 Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
T
a
b
e
l

1
.
J
u
m
l
a
h

p
e
r
u
s
a
h
a
a
n

p
e
m
a
k
a
i

d
a
n

k
o
n
s
u
m
s
i

b
a
t
u
b
a
r
a

o
l
e
h

i
k
m

d
i

P
u
l
a
u

J
a
w
a

t
a
h
u
n

2
0
0
7
J
u
m
l
a
h

P
e
r
u
s
a
h
a
a
n

(
B
u
a
h
)

D
a
n

K
o
n
s
u
m
s
i

B
a
t
u
b
a
r
a

(
T
o
n
)
P
r
o
v
i
n
s
i
T
e
k
s
t
i
l
K
e
r
t
a
s
L
a
i
n
n
y
a
J
u
m
l
a
h
B
a
n
y
a
k
n
y
a
K
o
n
s
u
m
s
i
B
a
n
y
a
k
n
y
a
K
o
n
s
u
m
s
i
B
a
n
y
a
k
n
y
a
K
o
n
s
u
m
s
i
B
a
n
y
a
k
n
y
a
K
o
n
s
u
m
s
i
P
e
r
u
s
a
h
a
a
n
B
a
t
u
b
a
r
a
P
e
r
u
s
a
h
a
a
n
B
a
t
u
b
a
r
a
P
e
r
u
s
a
h
a
a
n
B
a
t
u
b
a
r
a
P
e
r
u
s
a
h
a
a
n
B
a
t
u
b
a
r
a
B
a
n
t
e
n
1
4
3
9
9
.
4
4
0
5
6
2
0
.
4
4
0
3
3
3
4
2
.
8
5
0
5
2
1
.
3
6
2
.
7
6
8
J
a
w
a

B
a
r
a
t
1
9
9
2
.
5
6
6
.
8
0
0
8
3
7
0
.
0
8
0
1
9
1
3
2
.
1
6
0
2
2
6
3
.
0
6
9
.
0
6
7
J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
9
8
3
2
5
.
0
0
8
5
7
3
.
6
8
0
1
2
6
6
.
7
0
8
1
1
5
4
6
5
.
4
1
3
J
a
w
a

T
i
m
u
r
5
4
5
.
0
0
0
1
8
1
.
0
3
8
.
6
0
0
1
4
.
5
0
0
2
4
1
.
0
8
8
.
1
1
9
J
u
m
l
a
h
3
1
6
3
.
3
3
6
.
2
4
8
3
6
2
.
1
0
2
.
8
0
0
6
5
5
4
6
.
2
1
8
4
1
7
5
.
9
8
5
.
3
6
7
S
u
m
b
e
r

:
-


D
i
n
a
s

T
e
n
a
g
a

K
e
r
j
a

P
r
o
v
i
n
s
i

B
a
n
t
e
n
,

J
a
w
a

B
a
r
a
t
,

J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
,

J
a
w
a

T
i
m
u
r

(
2
0
0
8
)
-


D
i
n
a
s

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n

H
i
d
u
p

K
a
b
u
p
a
t
e
n

B
a
n
d
u
n
g

(

2
0
0
7
)
-


A
s
o
s
i
a
s
i

P
e
r
t
e
k
s
t
i
l
a
n

I
n
d
o
n
e
s
i
a

J
a
w
a

B
a
r
a
t


(
2
0
0
7
)
-


H
a
s
i
l

s
u
r
v
e
i

T
i
m

P
o
l
a

D
i
s
t
r
i
b
u
s
i

B
a
t
u
b
a
r
a

T
a
h
u
n

2
0
0
8
,

P
u
s
l
i
t
b
a
n
g

T
e
k
m
i
r
a

B
a
n
d
u
n
g
T
a
b
e
l

2
.
E
s
t
i
m
a
s
i

j
u
m
l
a
h

a
b
u

d
a
s
a
r

(
a
d
)

d
a
n

a
b
u

t
e
r
b
a
n
g

(
a
t
)
h
a
s
i
l

p
e
m
b
a
k
a
r
a
n

b
a
t
u
b
a
r
a

d
i

P
u
l
a
u

J
a
w
a

m
e
n
u
r
u
t

j
e
n
i
s

i
k
m

(
t
o
n
)
P
r
o
v
i
n
s
i
T
e
k
s
t
i
l
K
e
r
t
a
s
L
a
i
n
n
y
a
J
u
m
l
a
h
A
b
u

D
a
s
a
r
A
b
u

T
e
r
b
a
n
g
A
b
u

D
a
s
a
r
A
b
u

T
e
r
b
a
n
g
A
b
u

D
a
s
a
r
A
b
u

T
e
r
b
a
n
g
A
b
u

D
a
s
a
r
A
b
u

T
e
r
b
a
n
g
B
a
n
t
e
n
1
6
.
7
7
5
5
.
5
4
4
2
6
.
0
5
2
8
.
5
7
6
1
4
.
4
0
0
4
.
7
6
7
5
7
.
2
2
7
1
8
.
8
8
7
J
a
b
a
r
1
0
7
.
7
5
0
3
5
.
2
8
0
1
5
.
5
4
3
5
.
1
4
1
5
.
5
5
6
1
.
8
7
7
1
2
8
.
8
4
9
4
2
.
2
9
7
J
a
t
e
n
g
1
3
.
6
5
1
4
.
5
2
2
3
.
1
0
1
1
.
0
7
4
2
.
8
0
9
9
7
9
1
9
.
5
6
1
6
.
5
7
5
J
a
t
i
m
1
.
8
9
8
6
8
1
4
3
.
6
0
4
1
4
.
3
1
3
1
9
8
1
2
5
4
5
.
6
9
9
1
5
.
1
1
9
J
u
m
l
a
h
1
4
0
.
0
7
4
4
6
.
0
2
6
8
8
.
3
0
0
2
9
.
1
0
4
2
2
.
9
6
2
7
.
7
4
7
2
5
1
.
3
3
6
8
2
.
8
7
7
B
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

m
o
d
e
l

r
e
g
r
e
s
i

:
y
(
a
d
)

=
2
3
,
7
4
7
7
+
4
1
,
9
7

X

,

k
o
e
f
i
s
i
e
n

k
o
r
e
l
a
s
i

(
r
)

=

9
3
,
0
%
.
y
(
a
t
)


=
1
7
3
,
3
9
+
1
3
,
7
2

X
,

k
o
e
f
i
s
i
e
n

k
o
r
e
l
a
s
i

(
r
)

=

4
8
,
4
%
.
166 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
antaranya banyak ditemukan pada mesin boiler
pembakar batubara di sejumlah perusahaan tekstil
di wi l ayah Kabupat en Bandung. Fakt or
penyebabnya antara lain karena pembakaran yang
tidak sempurna, kualitas batubara yang selalu
berubah dan tidak sesuai dengan spesifikasi
boiler. Oleh karena itu, harus ada suatu bimbingan
teknis yang dilakukan oleh para aparat kepada
para pekerja di pabrik yang menggunakan batubara.
Dalam menangani limbah hasil pembakaran
batubara setiap perusahaan melakukannya dengan
cara yang berbeda, tergantung pada kondisi dan
kemampuan masing-masing perusahaan. Bagi
sebagian perusahaan yang masih memiliki lahan
luas, untuk sementara limbahnya ditimbun di
tempat pembuangan sementara (TPS) di sekitar
lahan milik perusahaan tersebut. Namun tidak
semua perusahaan memiliki lahan yang luas,
perusahaan kecil biasanya menggunakan jasa
pemasok batubara atau pihak ketiga untuk
mengangkut limbah tersebut, sehingga tidak
diketahui kemana limbah tersebut dibuang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, dari 94
perusahaan pemakai batubara hanya 26,04% saja
telah memiliki TPS yang berizin, 26,04% memiliki
TPS tapi tak berizin dan 40,81% tidak/belum
memiliki TPS sama sekali (Dinas Lingkungan
Hidup, 2007).
Seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan
batubara terus mengalami peningkatan sehingga
berkorelasi erat dengan bertambahnya limbah,
sementara TPS yang ada sudah tidak mampu
untuk menampungnya. Oleh karena itu, harus ada
solusi untuk menangani limbah tersebut. Sudah
banyak lembaga/instansi yang peduli terhadap
limbah ini dan telah mencoba berbagai teknik untuk
mengolah limbah ini menjadi bermanfaat.
Padahal berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh berbagai instansi termasuk Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral
di Bandung, ternyata limbah hasil pembakaran
batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan paving blok atau batubata. Namun
pemanfaatan produk dari limbah tersebut ternyata
masih terkendala oleh Peraturan Pemerintah No.
18 Tahun 1999 jo PP 85 Tahun 1999 yang
menyatakan limbah tersebut termasuk kategori
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),
sehingga produknya tidak dapat digunakan secara
bebas sebelum produk tersebut benar-benar
dinyatakan bebas dari limbah B3 atas izin
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pihak KLH
sendiri dalam mengeluarkan izin pengolahan dan
penggunaan produk limbah batubara sangat
selektif dan berhati-hati sekali mengingat tidak
semua perusahaan mampu mengelola limbah
batubara dengan baik dan benar karena ada
dugaan yang menyatakan bahwa sebagian besar
perusahaan dalam melakukan pembakaran
batubara dilakukan tidak secara sempurna.
Sehingga di dalam limbah hasil pembakaran
batubara masih banyak mengandung batubara
walaupun kalorinya rendah.
Perusahaan lain yang telah melakukan pemanfaatan
dan pengelolaan limbah dengan baik sesuai
dengan prosedur yang berlaku adalah perusahaan
tekstil PT. Daliatex di Kabupaten Bandung yang
telah mengolah limbah batubara menjadi batako.
Namun produknya hanya boleh digunakan untuk
memenuhi kebutuhan intern, tidak atau belum
boleh dijual ke masyarakat umum.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1) Selama batubara masih menjadi pilihan utama
sebagai pengganti BBM, maka diprediksi
akan semaki n banyak IKM yang akan
menggunakan batubara sebagai bahan bakar
untuk kegiatan produksinya.
2) Terdapat korelasi yang sangat signifikan
antara penggunaan batubara dengan
limbahnya. Dengan kata lain, semakin banyak
batubara yang digunakan akan semakin
banyak pula abu dasar dan abu terbang yang
dihasilkan dari pembakaran batubara setiap
IKM.
3) Hanya 26,04% saja IKM yang memiliki TPS
berizin, akibat keterbatasan lahan untuk
menyimpan sementara hasil pembakaran
batubara, mereka memanfaatkan pihak ketiga
atau pemasok batubara untuk mengangkutnya.
Timbul kekhawatiran limbah tersebut dibuang
di sembarang tempat.
4) Kualitas batubara dari pemasok dan teknik
pembakaran batubara yang tidak sempurna
menjadikan limbah ini dinyatakan sebagai
limbah B3.
167 Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati
5.2. Saran
Solusi permasalahan limbah batubara :
Mencari dan menentukan lokasi tempat pem-
buangan limbah batubara yang benar-benar
memenuhi persyaratan teknis dan nonteknis,
seperti luas, letak, keamanan, dan lain-lain.
Pemerintah dapat memberikan izin kepada
perusahaan yang benar-benar mampu mengelola
(mengumpul kan dan mengol ah, dan
memanfaatkan) limbah batubara secara baik
dan benar.
Memberikan izin memasarkan/menggunakan
barang yang dibuat dari hasil pengolahan dan
pemanfaatan limbah batubara.
Setiap perusahaan pengguna batubara harus
mampu melakukan pembakaran batubara
secara benar (sempurna) sehingga tidak ada
batubara ke dalam limbahnya.
Melakukan pengawasan yang ketat dan
berkesinambungan kepada perusahaan yang
diberi kewenangan mengelola dan meman-
faatkan limbah batubara.
Harus ada satu atau dua perusahaan yang
diberi kewenangan khusus menangani limbah
batubara, mulai dari menampung, mengolah
(dengan rekomendasi KLH), memanfaatkan
dalam bentuk barang (rekomendasi KLH), dan
memasarkannya.
Membentuk lembaga/perusahaan yang khusus
mengawasi dan mengelola limbah batubara
secara profesional serta harus bertanggung
jawab kepada pemerintah (Daerah/Pusat/KLH).
Pengawas harus memberikan laporan secara
benar tentang perusahaan pengguna batubara
yang diawasinya kepada (Daerah/Pusat/KLH).
Pemerintah harus mampu meyakinkan
masyarakat bahwa limbah dan produk limbah
batubara tidak berbahaya karena sudah
melalui prosedur pengolahan yang benar.
Setiap perusahaan diwajibkan memiliki instalasi
pengolahan limbah batubara (IPLB) seperti halnya
mereka diwajibkan memiliki instalasi pengolahan
limbah (IPAL) dan memanfaatkannya secara opti-
mal. Untuk memudahkan pemantauan sebaiknya
pemerintah atau swasta dapat membuat IPLB
secara terpadu yang dapat menampung semua
limbah batubara dari setiap industri pengguna
batubara untuk memudahkan pengawasan.
Izin pengolahan limbah batubara ini diharapkan
harus benar-benar digunakan agar tidak terjadi
seperti IPAL yang saat ini mereka miliki ternyata
tidak berfungsi sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat, 2007,
Konsumsi Batubara Ol eh Perusahaan
Anggota API Jawa Barat, Bandung.
Dinas Lingkungan Hidup, 2006 dan 2007, Laporan
Kegiatan Seksi Pengendalian Pencemaran
Limbah Padat dan B3, Soreang.
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Banten, 2008. Daftar
Perusahaan Yang Menggunakan Batubara di
Provinsi Banten, Serang.
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, 2008.
Daftar Perusahaan Yang Menggunakan
Batubara, Bandung.
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah, 2008.
Daftar Perusahaan Yang Menggunakan
Batubara, Semarang.
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur, 2008.
Daftar Perusahaan Yang Menggunakan
Batubara, Surabaya.
Gaspersz, Vincent, 1990, Analisis Kuantitatif
Untuk Perencanaan, Penerbit Tarsito,
Bandung.
Raharjo, Imam Budi, 2006, Mengenal Batubara (2),
Artikel Iptek - Bidang Energi dan Sumber Daya
Alam, www.beritaiptek.com, Rabu, 08:40:21,
2009.
Suherman, Ijang, 2007. Kajian Batubara Nasional,
Puslitbang Tekmira, Bandung.
168 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGARUH PROSES UPGRADED BROWN COAL
(UBC) TERHADAP PERINGKAT BATUBARA
Slamet Suprapto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211
Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
e-mail:
SARI
Untuk mengatasi salah pengertian tentang peringkat batubara hasil proses Upgraded Brown Coal
(UBC), perlu dilakukan kajian tentang pengaruh proses UBC terhadap peringkat batubara. Kajian
dilakukan dengan membandingkan kondisi proses UBC terhadap kondisi pembatubaraan dan
mengumpulkan serta mengolah data analisis kimia dan analisis petrografi batubara raw dan produk
UBC. Hasil kajian menunjukkan bahwa proses UBC tidak menyebabkan kenaikan peringkat batubara.
Terdapat kenaikan reflektan vitrinit, tetapi tidak signifikan dan mirip dengan kenaikan yang dialami
oleh batubara raw yang dikeringkan dalam oven.
Kata kunci: proses UBC, peringkat batubara, reflektan vitrinit, klasifikasi batubara
ABSTRACT
To overcome misunderstanding about the rank of coal produced by Upgraded Brown Coal (UBC)
process, study on the effect of UBC process on coal rank needs to be carried out. The study is carried
out by comparing the condition of UBC process with the condition of coalification and collecting and
calculating chemical and petrographical analysis of raw coal and UBC product. The result shows that
there UBC process does not increase the rank of coal. There is an increase of vitrinite reflectance,
but not so significant and still similar with oven dried of raw coal.
Keywords: UBC process, coal rank, vitrinite reflectance, coal classification
169 Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya batubara yang
cukup besar, mencapai 104,6 miliar ton tersebar
terutama di Sumatera dan Kalimantan. Namun
sebagian besar batubara Indonesia termasuk
peringkat rendah (lignit sub bituminus), yakni
dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah. Pada
saat ini sebagian besar batubara yang ditambang
adalah peringat bituminous dan sub bituminous.
Mengingat kebutuhan semakin meningkat,
ekspoitasi terhadap batubara lignit juga mulai
dikembangkan. Tetapi tingginya kadar air pada
batubara peringkat rendah terutama lignit
menyebabkan tingginya biaya pengangkutan.
Di sampi ng i t u, t i nggi nya kadar ai r j uga
menyebabkan rendahnya nilai kalor. Kedua hal
tersebut menyebabkan lignit lebih sulit dipasarkan
dibanding batubara bituminous dan sub bitumi-
nous. Padahal batubara peringkat rendah di Indo-
nesia umumnya termasuk bersih, yakni dengan
kadar abu dan kadar belerang rendah. Namun
demikian, batubara peringkat rendah disebut juga
batubara kualitas rendah (low grade coal) karena
tingginya kadar air dan rendahnya nilai kalor.
Untuk mengatasi permasalahan batubara lignit,
teknologi-teknologi peningkatan kualitas batubara
telah banyak berkembang. Teknologi yang saat
ini berkembang umumnya didasarkan atas proses
pengurangan kadar air atau pengeringan. Dengan
mengurangi kadar air, maka nilai kalor batubara
dapat meni ngkat . Sal ah sat u t eknol ogi
peningkatan kualitas batubara lignit yang saat ini
dikembangkan oleh Puslitbang Teknologi Mineral
dan Batubara bekerjasama dengan JCOAL, Jepang
adalah proses Upgraded Brown Coal. Pilot plant
kapasitas 5 ton/jam telah dibangun di Palimanan
dan hasil ujicobanya membuktikan bahwa kadar
air batubara peringkat rendah dapat dikurangi dan
nilai kalornya meningkat. Keberhasilan tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan
demonstration plant kapasitas 1000 ton/jam di
Kalimantan Selatan.
Namun, sampai saat ini banyak yang menganggap
bahwa teknol ogi UBC j uga meni ngkatkan
peringkat batubara. Hal ini didasarkan kenyataan
bahwa produk UBC mempunyai nilai kalor yang
mirip dengan nilai kalor batubara peringkat bitu-
minous. Padahal, penentuan peringkat batubara
tidak bisa ditentukan dari nilai kalor batubara kering
udara. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk
mempelajari pengaruh proses UBC terhadap
peringkat batubara.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses UBC
Teknologi UBC adalah salah proses coal upgrad-
ing yang meningkatkan nilai kalor melalui proses
pengeringan (evaporative drying) yang pertama kali
di kembangkan ol eh Kobe Steel , Jepang.
Penelitian skala laboratorium dan skala bench
dilakukan di Jepang, kemudian untuk pilot plant
dan demonstration plant dikembangkan di Indo-
nesia. Prinsip proses UBC adalah dengan
mencampurkan batubara, minyak residu dan
minyak tanah. Campuran tersebut kemudian
dipanaskan pada temperatur 150-160C dengan
tekanan 250-350 kPa. Dengan temperatur dan
tekanan tersebut, air bebas (surface moisture) dan
juga air lembab (inherent moisture) yang terdapat
dal am pori -pori batubara akan di uapkan.
Penambahan minyak residu diperlukan untuk
menutup pori-pori batubara sehingga kestabilan
kadar air bawaan pasca proses dapat terjaga
(Gambar 1). Sedangkan minyak tanah diperlukan
sebagai media dalam proses. Produk UBC bisa
berupa serbuk apabila langsung dimanfaatkan atau
berbentuk briket apabila akan ditransportasi pada
jarak jauh (Umar, 2005).
Gambar 1. Proses pengering pada
Upgraded Brown Coal
Ujicoba pilot plant dengan menggunakan batubara
peringkat rendah yang berasal dari beberapa
daerah di Indonesia telah beberapa kali dilakukan
dan berhasil dengan baik. Produk UBC yang
dihasilkan mempunyai nilai kalor >6.300 kal/g
(adb) dan kadar air 7%. Dengan nilai kalor yang
tinggi dan kadar abu serta belerang rendah, produk
UBC lebih baik dibanding batubara bituminous
yang mempunyai kadar abu dan belerang tinggi
170 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sehingga sangat cocok untuk keperluan dalam
negeri maupun ekspor. Kualitas tersebut mirip
dengan kualitas batubara peringkat menengah.
2.2. Proses Pembatubaraan
Batubara terbentuk dari pembusukan sisa tanaman
purba yang terpadatkan setelah tertimbun oleh
lapisan penutup di atasnya. Proses pembentukan
batubara pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2
tahap, yakni tahap penggambutan (peatification)
dan tahap pembatubaraan (coalification). Pada
tahap penggambutan terjadi proses biokimia
sehingga sisa-sisa tanaman mengalami proses
pembusukan. Pada tahap ini sisa tanaman masih
dalam keadaan terbuka dan belum tertutup oleh
tanah penutup. Pada tahap pembatubaraan, sisa
tanaman sudah tertutup oleh lapisan tanah
penutup sehingga terjadi proses geokimia. Pada
tahap ini sebetulnya terjadi proses pematangan,
yakni perubahan dari gambut menjadi batubara
lignit dan seterusnya menjadi batubara-batubara
sub bituminous, bituminous dan antrasit. Tingkat
pembatubaraan atau posisi batubara dalam seri
lignit antrasit ini disebut peringkat (rank) (Stach,
1982; Falcon, 1986).
Proses pembatubaan dipengaruhi oleh 3 faktor, yakni
tekanan, temperatur dan waktu. Tekanan berfungsi
memadatkan sisa tanaman dan mengurangi kadar
air. Besarnya tekanan tergantung dalamnya endapan
batubara atau tebalnya lapisan tanah penutup,
yakni berkisar antara beberapa kilogram sampai
ratusan kilogram. Temperatur berfungsi memper-
cepat pematangan bahan organik, makin dalam
endapannya makin lanjut proses pematangan.
Oleh karena itu, makin dalam endapannya, makin
tinggi peringkat batubara karena makin dekat
dengan sumber panas dalam bumi. Proses
pematangan juga dapat dipercepat oleh pengaruh
dari luar seperti intrusi batuan beku, sirkulasi
hidrotermal, panas gesekan dan kompilasi
tektonik. Temperatur pada proses pembatubaraan
normal tidak lebih dari 300C. Untuk membentuk
antrasit diperlukan temperatur 300C, sedangkan
untuk batubara bituminous diperlukan temperatur
100 - 150C (Francis, 1965; Stach, 1982).
Waktu juga berpengaruh terhadap pematangan
bahan organik. Pemanasan yang lebih lama akan
menghasilkan pematangan yang lebih tinggi
sehingga endapan batubara yang berumur lebih
tua mempunyai tingkat pembatubaraan yang lebih
tinggi. Normalnya, waktu yang dibutuhkan dalam
proses pembatubaraan berkisar antara puluhan
sampai ratusan juta tahun.
Kenaikan peringkat batubara juga diikuti oleh
perubahan kimia dan sifat fisik batubara sebagai
berikut (Francis, 1965; Stach, 1982):
turunnya kadar air (bed moisture);
turunnya kadar H, O, N dan S dan naiknya
kadar C;
turunnya kadar zat terbang; dan
naiknya nilai kalor; dan
naiknya reflektan vitrinit.
2.3. Penentuan Peringkat Batubara
Peringkat batubara dapat ditentukan melalui data
analisis kimia atau analisis petrografi. Data analisis
kimia yang digunakan diantaranya analisis
proksimat (kadar karbon padat, kadar zat terbang),
analisis ultimat (kadar karbon) dan nilai kalor.
Sedangkan untuk analisis petrografi digunakan
data reflektan vitrinit (Rv).
Menurut H.C. Rance (1975), terdapat hubungan
antara rasio bahan bakar (fuel ratio) dengan
peringkat batubara. Rasio bahan bakar adalah
perbandingan antara karbon padat dengan kadar
zat terbang. Makin tinggi tinggi peringkat batubara,
makin tinggi rasio bahan bakar. Hubungan tipikal
antara peringkat batubara dengan rasio bahan
bakar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan tipikal antara peringkat
batubara dengan rasio bahan
bakar
Peringkat Batubara Rasio
Bahan Bakar
Lignit 0,9
High volatile bituminous 1,3
Medium volatile bituminous 1,9
Low volatile bituminous 2,8
Semi antrasit 8,6
Antrasit 24
Menurut Francis (1965) terdapat hubungan antara
peringkat dengan kadar karbon pada batubara
murni (dry mineral matter free, dmmf), yakni makin
tinggi peringkat batubara, makin tinggi kadar
karbon (dmmf). Hubungan antara peringkat dengan
kadar karbon dapat dilihat pada Tabel 2.
171 Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto
American Society for Testing Materials (Anony-
mous, 2005) membuat klasifikasi batubara
berdasarkan peringkat dengan menggunakan data
analisisi kimia, yakni kadar karbon padat, zat
terbang dan nilai kalor dari batubara murni, yakni
kering bebas bahan mineral (dmmf) atau basah
dan bebas bahan mineral (moist mineral matter
free - mmf). Untuk batubara yang mempunyai kadar
karbon padat (dmmf) e69% atau kadar zat terbang
(dmmf) <31%, peringkat batubara ditentukan
berdasarkan kadar karbon padat dan zat terbang.
Sedangkan untuk batubara yang mempunyai kadar
karbon padat (dmmf) <31% atau kadar zat terbang
(dmmf) >69%, peringkat batubara ditentukan
berdasarkan nilai kalor (mmf) batubara yang masih
mengandung air lapisan (bed moisture). Apabila
penentuan peringkat menggunakan nilai kalor
(mmf), diperlukan contoh batubara yang masih
segar (fresh) dan langsung diambil dari tambang.
Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat
menurut ASTM dapat dilihat pada Lampiran 1.
Teichmuller dan Barntenstein (Falcon, 1986)
membuat hubungan antara refelektan vitrinit
dengan gambut dan peringkat batubara menurut
ASTM (Tabel 3). Batubara peringkat paling rendah
(lignit) mempunyai Rv 0,3 - 0,4%, sedangkan batubara
peringkat tertinggi (meta antrasit) mempunyai Rv
2,0 6,0%. International Standard (Anonymous,
2005) kemudian membuat klasifikasi batubara
berdasarkan peringkat dengan menggunakan data
reflektan vitrinit (Rv), tetapi dengan memasukkan
data kadar air lapisan. Peringkat batubara dibagi
menjadi tiga, yakni peringkat rendah, peringkat
menengah dan peringkat tinggi. Peringkat rendah
(lignit dan sub bituminous) dengan Rv <0,5,
peringkat menengah (bituminous D - A) dengan
Rv 0,5 2,0% dan peringkat tinggi (antrasit C - A)
dengan Rv 2,0 6,0%. Klasifikasi batubara
berdasarkan peringkat menurut International Stan-
dard (ISO) dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 2. Hubungan antara peringkat
dengan kadar karbon (dmmf)
Peringkat Kadar karbon,% dmmf
Antrasit 93 95
Carbonaceous 91 93
Bituminous 80 91
Sub bituminous 75 80
Lignit 60 75
3. METODOLOGI
3.1. Pengumpulan Data
Data sekunder berupa hasil analisis kmia dan
petrografi batubara raw dan produk UBC diperoleh
dari laporan kegiatan pilot plant UBC di Palimanan
Cirebon yang beroperasi menggunakan batubara
Binungan, Taban dan Samaranggau.
3.2. Pengolahan Data
Data hasil analisis batubara raw dan produk UBC
pada kondisi kering udara diolah menjadi kondisi
keri ng dan bebas bahan mi neral (dmmf)
menggunakan rumus Par (Anonymus, 2005)
sebagai berikut:
KP 0,15 S
Karbon padat
= x 100
(dmmf), %
100 (M + 1,08 A + 0,55 S)
Zat terbang
= 100 kadar karbon padat (dmmf)
(dmmf), %
C
Karbon
= x 100
(dmmf), %
100 (M + 1,08 A + 0,55 S)
dimana,
KP = kadar karbon padat (adb), %
M = kadar air bawaan (adb), %
A = kadar abu (adb), %
S = kadar belerang (adb), %
C = kadar karbon (adb), %
Tabel 3. Hubungan antara peringkat
batubara dengan reflektan vitrinit
Peringkat batubara (ASTM) Reflektan vitrinit
Meta antrasit 3,5 6,0
Antrasit 2,5 3,5
Semi antrasit 2,0 2,5
Low volatile bituminous 1,6 2,0
Medium volatile bitumious 1,1 1,6
High volatile bituminous 0,5 1,1
Sub bituminous 0,4 0,5
Lignit 0,3 0,4
Gambut <0,3
172 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data analisis batubara raw dan produk UBC pada
kondisi kering udara dapat dilihat pada Tabel 4.
Produk UBC mempunyai kadar air lembab 5,08
8,48% dan nilai kalor 6.310 6.805 kal/g, zat terbang
46,78 48,34% dan karbon padat 42,54 45,07%.
Hasil analisis tersebut mirip dengan kualitas
batubara peringkat high volatile bituminous.
Sebagai pembanding, Tabel 5 menyatakan
komposisi kimia contoh-contoh batubara peringkat
rendah menengah pada kondisi as received (ar -
contoh asal) (Singer, 1981). Batubara lignit
mempunyai kadar air 34,80% dan nilai kalor 4.006
kal/g, mirip dengan kualitas batubara umpan (raw
coal) untuk proses UBC. Sedangkan batubara
peringkat bituminous mempunyai kadar air 5,50
12,40% dan nilai kalor 6.278 7.894 kal/g, mirip
dengan kualitas produk UBC.
Rasio bahan bakar batubara produk UBC (Tabel
6) yang berkisar antara 0,96-0,98 menyatakan
bahwa peringkat batubara produk masih tetap
Tabel 4. Hasil analisis batubara raw dan produk UBC
Paramater
Binungan Taban Samaranggau
Raw, Produk, Raw, Produk, Raw Produk,
Air total, % ar 17,56 - 33,75 32,11
Air lembab, % adb 16,13 1.52 15,35 5,19 22,33 4,65
Abu, % adb 6,36 6,81 4,42 3,93 2,15 2,61
Zat terbang, % adb 37,20 46,78 40,68 48,34 38,05 47,67
Karbon Padat, % adb 40,31 44,89 39,55 42,54 37,47 45,07
Nilai kalor, kal/g adb 5.324 6.805 5.431 6.625 5.048 6.310
Karbon, % adb 57,01 65,19 57,55 66,88 53,59 64,43
Sumber: Umar, 2004
rendah, yakni l i gni t . Bahkan t erdapat
kecenderungan penurunan rasio bahan bakar
produk UBC dibanding batubara raw. Penurunan
rasio bahan bakar tersebut dikarenakan oleh
naiknya kadar zat terbang yang kemungkinan
akibat penambahan atau sisa residu (LSWR) yang
ditambahkan selama proses UBC (lihat Gambar
1). Hal ini terbukti bahwa kadar zat terbang (dmmf)
batubara produk UBC lebih tinggi dari yang
terdapat pada batubara raw (Tabel 7).
Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak terdapat
perubahan kadar karbon (dmmf) yang siginifikan
dari produk UBC dibanding batubara raw. Kadar
karbon (dmmf) batubara raw berkisar antara
71,74%, sedangkan kadar karbon (dmmf) produk
UBC berkisar antara 69,70 71,76%. Hal ini berarti
tidak terjadi kenaikan peringkat batubara akibat
proses UBC. Peringkat batubara raw dan produk
UBC masih tetap termasuk lignit.
Dari Tabel 7 juga dapat dilihat bahwa seluruh
batubara raw maupun produk UBC mempunyai
kadar karbon padat (dmmf) <69% dan kadar zat
Tabel 5. Data analisis contoh batubara peringkat rendah menengah
Parameter
Peringkat Rendah Peringkat Menengah
Lignit Sub High volatile High volatile High volatile
bituminous C bituminous B bituminous A bituminous
Air, % ar 34.80 19,60 10,5 12,40 5,50
Abu, % ar 6,20 4,00 12,90 5,60 2,80
Zat terbang, % ar 28,20 30,50 32,00 35,00 30,80
Karbon padat, % ar 30,80 45,90 44,60 47,00 60,90
Nilai kalor, kal/g ar 4.006 5.628 6.278 6.589 7.894
Sumber: Singer, 1981
173 Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto
terbang (dmmf) >31%. Dengan demikian maka
peringkat batubara harus ditentukan dari nilai kalor
(mmf). Mengingat nilai kalor (mmf) harus
ditentukan dari batubara yang masih mengandung
air lapisan, maka peringkat batubara produk UBC
tidak bisa ditentukan menurut kalsifikasi ASTM.
Tabel 9 menunjukkan terjadinya kenaikan reflektan
vitrinit akibat proses UBC. Reflektan vitrinit
batubara raw berkisar antara 0,29-0,44% atau rata-
rata 0,38% menjadi 0,35-0,60% atau rata-rata 0,45.
Tetapi, peringkat batubara produk UBC tidak
mengalami kenaikan yang berarti. Apalagi
refelektan vitrinit batubara kering oven yang juga
mengalami kenaikan dibandingkan batubara raw.
Pembahasan tersebut di atas menyatakan bahwa
peringkat batubara produk UBC cenderung sama
dengan peringkat batubara raw. Temperatur yang
digunakan untuk proses UBC memang mirip
dengan temperatur proses pembatubaraan, namun
waktu (durasi) proses sangat berbeda. Waktu tinggal
batubara pada proses UBC tidak lebih dari 1 hari,
sedangkan proses pembatubaraan yang merubah
batubara lignit menjadi batubara high votaltile bi-
tuminous terjadi dalam waktu puluhan juta tahun.
Tabel 6. Rasio bahan bakar batubara raw
dan produk UBC
Contoh Batubara Rasio Bahan Bakar
Binungan
Raw 1,08
Produk 0,96
Taban
Raw 0,97
Produk 0,88
Samaranggau
Raw 0,98
Produk 0,95
Tabel 7. Kadar karbon padat dan zat terbang batubara raw dan produk UBC
Contoh Batubara Karbon padat,% dmmf Zat terbang%, dmmf
Binungan Raw 51,10 48,50
Produk 48,50 51,50
Taban Raw 49,02 50,98
Produk 46,57 53,43
Samaranggau Raw 49,46 50,54
Produk 48,43 51,57
Tabel 8. Kadar karbon batubara raw dan
produk UBC
Contoh Batubara Kadar Karbon% dmmf
Binungan Raw 74,34
Produk 71,76
Taban Raw 72,12
Produk 73.60
Samaranggau Raw 71,18
Produk 69,70
Tabel 9. Reflektan vitrinit batubara raw, produk UBC dan
batubara kering oven
Contoh Reflektan Vitrinit, %
Kisaran Rata-rata Deviasi
Batubara raw 0,29 0,44 0,38 0,039
Produk UBC 0,35 0,60 0,45 0,053
Batubara kering oven 0,32 0,51 0,43 0,038
Sumber: Daulay, 2008
174 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
5. KESIMPULAN
Kualitas batubara produk UBC mirip dengan
batubara peringkat high volatile bituminous,
tetapi peringkatnya relatifsama dengan
batubara raw.
Proses UBC tidak berpengaruh terhadap
peringkat batubara, rasio bahan bakar, kadar
karbon dmmf tetap dan tidak mengalami
perubahan yang berarti.
Terdapat sedikit kenaikan reflektan vitrinit,
tetapi mirip dengan kenaikan pada batubara
kering oven.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2005. Classification of Coal by Rank.
Annual Book of ASTM Standard, D 388
99(2004).
Anonymous, 2005. Classification of coal. Interna-
tional Standard, ISO 11760:2005(E).
Daulay, B., 2008. Petrografphy of Raw Coal and
its UBC Product. R & D Centre for Mineral
and Coal Technology, Bandung.
Falcon, R.M.S. and Snyman, C.P., 1986. An In-
troduction to Coal Petrography: Atlas of Pet-
rographic Constituents in the Bituminous
Coals of South Africa. The Geological Society
of South Africa, Review Paper No. 2.
Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology.
Pergamon Press, Oxford.
Singer, J.G. (Ed.), 1991. Combustion, Fossil
Power. Combusti on Engi neeri ng, Inc.,
Windsor, Connecticut.
Stach, E., Mackowsky, M. TH., Teichmuller, M.,
Taylor, G.H., Chandra, D., & Teichmuller, R.,
1982. Stachs Textbook of Coal Petrology.
Gebruder Borntraeger, Berlin.
Rance, H.C., 1975. Coal Quality Parameters and
their Influence in Coal Utilization. Shell Inter-
national Petroleum Co., Ltd.
Umar, D.F., Daulay, B. Suganal & Rijwan, I., 2004.
Pengujian Peningkatan Kualitas Batubara
Peringkat Rendah dengan Proses UBC (Up-
graded Brown Coal) Skala Pilot. Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Umar, D.F., Daulay, B., Usui, H., Deguchi, T.
and Sugita, S., 2005. Characterization of up-
graded brown coal (UBC). Coal preparation,
vol. 25, no.1, pp. 31-45.
175 Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono
UJI SULFIDASI BIJIH BESI KALIMANTAN SELATAN
DAN TAILING PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI
KATALIS PENCAIRAN BATUBARA
Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jln. Sudirman No. 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : ninings@tekmira.esdm.go.id, hermanu@tekmira.esdm.go.id
ABSTRAK
Katalis dalam pencairan batubara berperan sangat penting untuk dapat meningkatkan konversi batubara
menjadi minyak. Katalis yang banyak digunakan dalam pencairan batubara adalah katalis yang berbasis
besi. Dalam rangka menambah sumber katalis pencairan batubara yang ada di Indonesia, maka telah
dicoba bijih besi dari Kalimantan Selatan untuk digunakan sebagai katalis. Tujuannya adalah untuk
mengetahui reaktifitas/aktifitas/efektifitas penggunaan bahan katalis berbasis besi dari bijih besi
Kalimantan Selatan. Metoda yang digunakan adalah dengan melakukan uji sulfidasi untuk mengamati
pertumbuhan kristal pirhotit dan mengetahui persentasi produk dan konversi pencairan batubara. Hasil
percobaan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan katalis tailing dari PT.
Freeport Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap terbentuknya
ukuran kristal pirhotit dari katalis bijih besi Kalsel, semakin tinggi suhu maka kristal pirhotit yang
terbentuk semakin besar; perubahan suhu dari 350-450C cenderung tidak berpengaruh terhadap
ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis tailing PT. Freeport Indonesia (PT.FI); mineral yang
terkandung dalam bahan katalis bijih besi berpengaruh terhadap terbentuknya kristal pirhotit; ukuran
kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis bijih besi Kalsel lebih kecil daripada katalis tailing PT.Freeport,
hal ini dibuktikan dari kereaktifannya yakni perolehan produk minyak serta hasil konversi pencairan
batubara yang lebih besar pada kondisi proses yang sama.
Kunci: bijih besi, tailing, sulfidasi, ukuran kristal pirhotit
ABSTRACT
Catalyst in coal liquefaction is very important to increase percentage of coal conversion. It is generally
recognized that the iron based catalyst is an active phase in coal liquefaction. In order to develop
Indonesian catalyst sources for coal liquefaction, the research of iron ore from South Kalimantan as
coal liquefaction catalyst has been carried out. The aim of this research is to identify of reactivity and
activity of iron ore as catalyst on coal liquefaction. The methodology of the research is sulfidation to
observe the crystal growth of pyrrhotite and percentage of coal yield and coal conversion. The result of
the research will be compared to that of the research using tailing from PT,.Freeport Indonesia. The
result show that the temperature and mineral mater in iron ore is influential to the size of crystal
pyrrhotite but temperature and mineral mater in tailing is not influential to the size of crystal pyrrhotite.
The size of crystal pyrrhotite formed from iron ore catalyst is smaller than that from tailing catalyst.
The oil yield and percentage of coal conversion increased as compare to that of tailing catalyst.
Keywords: iron ore, tailing, sulfidation, crystal pyrrhotite size
176 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Suatu reaksi dapat berlangsung bila terjadi kontak
yang efektif antar molekul reaktan, dan terpenuhi
energi aktivasinya. Kedua syarat di atas dapat
terakomodasi dengan baik apabila ada katalis.
Katalis dapat mengantarkan reaktan melalui jalan
baru yang lebih mudah untuk berubah menjadi
produk. Jalan baru yang dimaksud yaitu jalan yang
mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah.
Keberadaan katalis juga dapat meningkatkan
jumlah tumbukan antar molekul reaktan. Katalis
memiliki sifat tertentu, yakni katalis tidak
mengubah kesetimbangan dan katalis hanya
berpengaruh pada sifat kinetik seperti mekanisme
reaksi. Dengan demikian konversi yang dihasilkan
tidak akan melebihi konversi kesetimbangan.
Katalis juga bersifat spesifik, satu katalis hanya
sesuai untuk satu jenis reaksi saja.
Dalam proses pencairan batubara, katalis
mempunyai peran yang sangat penting yakni
dapat meningkatkan konversi batubara menjadi
minyak. Disamping itu katalis juga dapat membuat
kondisi reaksi menjadi lebih moderat seperti
menurunkan suhu, tekanan dan waktu reaksi.
Beberapa jenis katalis telah dicoba untuk
pencairan batubara tetapi sampai saat ini. besi
sulfida seperti Pyrite, Pyrrhotite dan Troilite
dianggap sesuai sebagai katalis pencairan
batubara karena cukup aktif dan berharga murah
(Yokoyama, dkk., 1986).
Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian
katalis berbasis besi berupa bijih besi, dari
Kalimantan Selatan. Penggunaan bijih besi yang
relatif murah diharapkan dapat menekan ongkos
yang diperlukan untuk pembelian katalis. Bijih Besi
dari Kalimantan Selatan mudah diperoleh dan
cadangannya banyak mempunyai kandungan
oksida besi yang tinggi. Mineral-mineral yang
mengandung oksida besi antara lain laterit dari
Pulau Sebuku dan limonit dari Soroako berasal
dari PT. International Nikel Indonesia.
Tujuan penelitian untuk mengetahui (reaktifitas/
aktifitas/efektifitas) penggunaan bahan katalis
berbasis besi dari bijih besi Kalimantan Selatan
dan tailing dari PT. Freeport Indonesia (PT. FI),
terhadap:
pertumbuhan pembentukan kristal pirhotit
dengan melakukan proses sulfidasi pada suhu
350-425C;
persentasi produk dan konversi pencairan
batubara secara langsung.
2. KAJIAN PUSTAKA
Aktifitas katalis sangat dipengaruhi oleh dispersi
katalis yang tergantung pada luas permukaan,
ukuran partikel dan ukuran kristal katalis. Pada
pencairan batubara, katalis berbasis besi
ditambahkan sulfur, karena pada kondisi reaksi
pencairan berlangsung unsur besi dalam katalis
bereaksi dengan sulfur membentuk senyawa
pirhotit, Fe(1-x)S yang merupakan fasa aktif yang
sangat berperan dalam proses pencairan batubara.
Pengujian sulfidasi hampir mirip dengan pengujian
pencairan batubara, tapi dilakukan tanpa batubara.
Hasil dari uji sulfidasi dicuci dengan tetrahidrofuran
sehingga kristal pirhotit bersih dari pengotor yang
kemudian dipisahkan dari pelarut dengan pompa
vacuum untuk selanjutnya diuji dengan XRD guna
mengetahui kristal pirhotit yang terbentuk.
Pengujian ini dilakukan untuk melihat kinerja
pirhotit yang terbentuk dari katalis. Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa semakin besar
ukuran kri st al pi rhot i t semaki n rendah
kereaktifannya yang berakibat rendahnya jumlah
batubara yang dapat dicairkan.
Suatu bahan katalis memiliki kinerja yang baik
untuk pencairan batubara bila ukuran kristal fasa
aktif pirhotit tidak lebih dari 40 nm (Kaneko, dkk.,
1998). Semakin besar ukuran kristal pirhotit
semakin rendah kereaktifannya yang berakibat
rendahnya jumlah batubara yang dapat dicairkan.
Ukuran kristal dapat membesar karena adanya
aglomerasi antar partikel pirhotit.
Untuk mengetahui kinerja dari pirhotit ini salah
satunya dengan melihat ukuran kristal yang
terbentuk. Ukuran kristal pirhotit dapat dihitung
dengan formula dari Scherer yang datanya diambil
dari uji XRD hasil uji sulfidasi.
3. PERCOBAAN
3.1. Uji Sulfidasi Katalis
Percobaan uji sulfidasi katalis dilakukan dengan
menggunakan beberapa variabel:
i) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) +
Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 350C
ii) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) +
Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 375C
iii) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) +
Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 400C
iv) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) +
177 Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono
Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 425C
v) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sul-
fur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 350C
vi) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sul-
fur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 375C
vii) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sul-
fur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 400C
viii) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sul-
fur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 425C
3.2. Uji Katalis untuk Pencairan Batubara
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis kimia dan XRD bahan baku katalis
4.1. Uji Sulfidasi
Variasi percobaan adalah sebagai berikut:
i) Katalis Bijih Besi Kalimantan Selatan (suhu
350C, 375C, 400C, dan 425C)
ii) Katalis Tailing PT. Freeport Indonesia, PT.FI
(suhu 350C, 375C, 400C, dan 425C).
Bahan baku katalis berbasis besi





filtrat Kristal
pirhotit
% Produk dan % konversi
Kondisispencairan: T=400C,t=
60menit,,P
H2
=10MPa,soltv=
15g,KatsbgFe3%dariBB
1. Penambahan Sulfurdg rasio
Penggerusan
AnalisisAyak
1. -325 #
UjiSulfidasipada t=0menit,P
H2
=
10MPa,soltv=15g,S/F=2,Katsbg
Fe=3%,ukuran325,meshVariasi
suhu= 350, 375, 400, 425
O
C
Uji:
1. XRD
2. Analisis Kimia
Peremukan
Ektraksi dengan
a. Toluena
b. Heksana
c. Tetrahidrofuran
Cucidengantetrahidrofuran,
saringdenganpompavacum
UjiXRD
178 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
4.1.1 Sulfidisasi katalis bijih besi
Kalimantan Selatan
Kondisi operasi sulfidasi katalis dilakukan tanpa
batubara pada tekanan 100 MPa dan waktu tinggal
operasi mendekati 0 menit (t = 0 menit), merupakan
acuan kondisi operasi yang diambil dari Kaneko,
dkk., (1998) dan Ningrum dan Prijono (2009)
dengan ukuran partikel katalis adalah -325 #.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Ningrum dan Prijono (2009) menunjukkan bahwa
penambahan katalis berbasis besi berpengaruh
terhadap perolehan produk dan persen konversi
pencairan batubara. Suatu bahan katalis memiliki
kinerja yang baik untuk pencairan batubara bila
ukuran kristal fasa aktif pirhotit kecil. Percobaan
sulfidasi ini dilakukan untuk mengetahui kinerja
katalis bijih besi, Kalsel dengan melihat ukuran
kristal yang terbentuk. Percobaan sulfidasi ini
dilakukan menggunakan autoclave dengan laju
pemanasan 5C/menit pada tekanan awal dari H2
10 MPa dengan penambahan sulfur, rasio atom
S/Fe katalis = 2, ukuran partikel katalis -325#,
dan proses sulfidasi dilakukan mendekati kondisi
proses pencairan. Pengamatan dilakukan untuk
mengetahui pengaruh suhu terhadap ukuran kristal
fasa aktif pirhotit, sehingga diperoleh suhu opti-
mal dan memiliki aktifitas maksimal. Pengamatan
dilakukan pada suhu 350
0
C, 375
0
C, 400
0
C, dan
425
0
C. Hasil analisis XRD untuk hasil uji sulfidasi.
Pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa perubahan
suhu berpengaruh pada ukuran kristal pirhotit yang
terbentuk. Kristal pirhotit terkecil yang terbentuk
dari katalis bijih besi, Kalsel terjadi pada suhu
sulfidasi 375C, dan ukurannya meningkat dengan
semakin tingginya suhu. Hal ini disebabkan
terjadinya aglomerisasi antar partikel pirihotit pada
suhu yang semakin tinggi. Pada suhu sulfidasi
350C, ukuran kristal pirhotit katalis bijih besi
Kalsel lebih besar dibanding ukuran kristal yang
terbentuk pada suhu 375C. Hal ini diperkirakan
karena struktur kristal yang masih amorf sehingga
bidang kristal pirhotit belum terbentuk dengan
sempurna. Secara umum ukuran kristal pirhotit
bertambah dengan meningkatnya suhu. Dari data
yang didapat maka suhu 375C merupakan suhu
dimana kristal pirhotit memiliki ukuran terkecil
sehingga katalis memiliki kereaktifan yang terbaik
dalam meningkatkan jumlah batubara yang
dicairkan seperti terlihat pula pada Gambar 1.
Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap ukuran pirhotit katalis bijih besi, Kalsel
Suhu Sulfidasi (C) (A) Pos. [2Th.] Bid.hkl 200 FWHM [2Th.] Ukuran Kristal (nm)
350 1.5406 29.90 0.33 25.19
375 1.5406 29.88 0.49 16.79
400 1.5406 29.90 0.41 20.15
425 1.5406 29.87 0.33 25.19
4.1.2 Sulfidisasi katalis tailing PT. FI
Pada penelitian Ningrum dan Prijono (2009) telah
dibahas bahwa penambahan katalis dari tailing
PT.FI berpengaruh terhadap perolehan produk dan
persen konversi pencairan batubara. Katalis dari
tailing PT.FI mengandung sulfur yang berasosiasi
dengan besi dalam bentuk pirit. Pada percobaan
sulfidasi ini, konversi komponen besi dari katalis
tailing PT. FI dilakukan pada autoclave dengan
kondisi operasi sama dengan katalis bijih besi,
Kalsel. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui
pengaruh suhu terhadap ukuran kristal fasa aktif
pirhotit, sehingga didapat suhu optimal dimana
katalis memiliki aktifitas maksimal. Pengamatan
pada percobaan ini dilakukan pada suhu 350
0
C,
375
0
C, 400
0
C, dan 425
0
C. Hasil analisis XRD
untuk hasil uji sulfida katalis Tailing PT. FI.
Gambar 1. Grafik hubungan ukuran kristal
pirhotit katalis bijih besi
terhadap suhu
179 Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono
Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa perubahan
suhu pada katalis tailing PT.FI cenderung tidak
terlalu berpengaruh pada ukuran kristal pirhotit
yang terbentuk. Ukuran kristal pirhotit katalis yang
terbentuk cenderung sama dengan ukuran terkecil
kristal pirhotit pada suhu sulfidasi 375
0
C,
sedangkan ukuran kristal pirhotit terbesar pada
suhu 400
0
C. Hal ini diperkirakan karena adanya
unsur Si yang menghambat kereaktifan katalis
sehingga ukuran katalis cenderung sama. Kristal
pirhotit yang terbentuk dari pirit lebih besar dari
kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis besi
oksida. Penelitian yang dilakukan oleh Kaneko,
et.al (1998) juga menunjukkan bahwa kristal
pirhotit yang terbentuk dari pirit lebih besar daripada
limonit dan goetit. Data pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa suhu 375
0
C merupakan suhu dimana kristal
pirhotit yang terbentuk memiliki ukuran terkecil
sehingga memiliki kereaktifan terbaik dan dapat
meningkatkan jumlah batubara yang dicairkan.
4.2. Pengaruh Ukuran Kristal Pirhotit
Katalis Bijih Besi Kalsel dan Tailing
PT. FI pada Produk dan Konversi
Pengaruh jenis bahan katalis berbasis besi dan
ukuran kristal pirhotit yang terbentuk terhadap
produk pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel
3. Dalam Tabel 3 ini diperlihatkan perbandingan
produk dan persen konversi hasil pencairan
batubara menggunakan katal i s bi j i h besi
Kalimantan Selatan dan katalis tailing PT.FI. yang
dilakukan pada kondisi tekanan awal H210 Mpa
perbandingan atom S/Fe = 2, ukuran partikel
katalis -325#, dan suhu 400
0
C.
Tabel 2. Pengaruh suhu terhadap ukuran kristal pirhotit katalis tailing PT.FI
Suhu Sulfidasi (
0
C) (A) Pos. [2Th.] Bid.hkl 200 FWHM [2Th.] Ukuran Kristal (nm)
350 1.5406 29.99 0.33 25.20
375 1.5406 29.86 0.33 25.19
400 1.5406 29.86 0.29 28.79
425 1.5406 29.87 0.33 25.19
Tabel 3. Pengaruh jenis katalis dan ukuran kristal pihotit terhadap jumlah produk dan persen
konversi pencairan batubara
Jenis Katalis
Ukuran Kristal
Produk (%) % Konversi
Pirhotit (nm) Minyak Berat Aspalten
Ekstraksi Ekstraksi
n. heksan toluen
Bijih Besi Kalsel 20.15 65.06 19.14 65.06 84.20
Tailing PT. Freeport 28.79 44.72 26.30 44.72 71.02
Gambar 2. Grafik hubungan ukuran kristal
pirhotit katalis tailing PT.
Freeport terhadap suhu
Dari Tabel 3 terlihat bahwa pencairan batubara
yang menggunakan katalis bijih besi, Kalsel
dengan ukuran kristal pirhotit yang lebih kecil
menghasilkan produk minyak berat yang lebih
besar daripada yang menggunakan katalis tailing
PT.FI yang memiliki kristal pirhotit yang besar.
Produk aspalten pencairan batubara yang
menggunakan katalis tailing PT.FI lebih banyak
daripada pencairan dengan katalis bijih besi.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa konversi
dengan n. hexan maupun toluen pada pencairan
batubara dengan katalis bijih besi, Kalsel yang
memiliki ukuran kristal pirhotit kecil hasilnya lebih
180 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
baik dibanding katalis dari tailing PT.FI yang
memiliki kristal pirhotit lebih besar. Hal ini
disebabkan semakin kecil ukuran kristal pirhotit
yang terbentuk, luas permukaan kontak kristal
pirhotit semakin besar, sehingga peran katalis lebih
efektif. Dilihat dari jumlah hasil produk dan persen
konversi secara keseluruhan, maka bijih besi Kalsel
lebih baik sebagai katalis pencairan batubara
daripada tailing PT. FI (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Grafik hubungan ukuran kristal
pirhotit dan jenis bahan katalis
berbasis besi terhadap jumlah
produk hasil pencairan
batubara
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
suhu berpengaruh terhadap terbentuknya
ukuran kristal pirhotit dari katalis berbasis besi
yang merupakan fasa aktif pencairan batubara.
Semakin tinggi suhu maka kristal pirhotit yang
terbentuk semakin besar, selama proses
pencai ran ukuran kri stal pi rhoti t akan
membesar seiring dengan meningkatnya suhu
operasi;
perubahan suhu dari 350-450C cenderung
tidak berpengaruh terhadap ukuran kristal
pirhotit yang terbentuk dari katalis tailing PT.
Freeport Indonesia (PT.FI);
mineral yang terkandung dalam bahan katalis
berpengaruh terhadap terbentuknya kristal
pirhotit, katalis dari bijih besi Kalsel yang terdiri
atas hematit ukuran kristal pirhotit yang
terbentuk lebih kecil dibandingkan yang
berasal dari tailing PT. FI yang mengandung
unsur sulfur dalam bentuk pirit;
ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari
katalis bijih besi Kalsel lebih kecil daripada
katalis tailing PT.Freeport hal ini dibuktikan
dari kereaktifannya, perolehan produk minyak
serta hasil konversi pencairan batubara yang
lebih besar pada kondisi proses yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Kaneko, T, K. Tazawa, T. Koyama, K. Satou, K.
Shimasaki, and Y. Kageyama, 1998, Trans-
formation of Iron Catalyst to the Active Phase
in Coal Liquefaction, Energy & Fuels, 12, pp.
897-904.
Ningrum, N,S dan Prijono, H., 2009, Pengaruh
Fraksi Ukuran Katalis Tailing PT. Freeport In-
donesia dan Waktu Tinggal Reaksi pada
Pencairan Batubara, Prosiding Seminar Energi
Baru Terbarukan: Peranan Energi Baru
Terbarukan Dalam Mengatasi Krisis Energi
dan Menghambat Laju Pemanasan Global,
FMIPA UNS Surakarta, Indonesia, pp. 82-96.
Yokoyama, S., R. Yoshida, H. Narita, K. Kodaira
and Y. Maekawa, 1986, Catalytic Activity of
Various Iron Sulphides in Coal Liquefaction,
Fuel, Vol. 65, pp. 164-170.
Gambar 4. Grafik hubungan ukuran kristal
pirhotit dan jenis bahan katalis
besi terhadap persen konversi
N Heksan dan Toluen
181 Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
KARAKTERISASI DAN OPTIMALISASI PEMBRIKETAN
PADA BATUBARA HASIL PROSES UPGRADED
BROWN COAL SKALA PILOT
Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
Pusat Penelitian dan Pegembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211
Telp. : (022) 6030483, ext. 227; Fax. : (022) 6038027;
e-mail : ikin@tekmira.esdm.go.id dan Datin@tekmira.esdm.go.id
SARI
Penelitian peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan teknologi Upgraded Brown Coal
(UBC) telah dilakukan sejak tahun 2002, dimulai dengan pembangunan UBC skala pilot kapasitas 5
ton/hari di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Dari 7 contoh batubara peringkat rendah yang berasal dari
beberapa daerah di Indonesia, batubara dengan nilai kalori <5. 000 kal/g dapat ditingkatkan menjadi
>6.200 kal/g. Bahkan batubara yang berasal dari Banko dengan nilai kalori <5.200 kal/g, dapat
ditingkatkan menjadi >7.000 kal/g.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan karakteristik batubara Mulia yang berasal
dari daerah Satui, Kalimantan Selatan, setelah dilakukan proses dan mengetahui kondisi optimum
pembriketan pada batubara hasil proses pada UBC skala pilot di Palimanan, Cirebon.
Hasil proses UBC yang dilakukan dapat menurunkan kadar air bawaan (inherent moisture) batubara
Mulia sebesar 71,6%, sehingga nilai kalor naik sebesar 26,5%. Sementara kadar abu, zat terbang,
karbon padat, belerang, karbon dan nitrogen mengalami kenaikan, sedangkan kadar hidrogen dan
oksigen turun. Kondisi optimum pembriketan didapat pada kondisi putaran roll 8 rpm dan temperatur
80 - 110

C. Pada kondisi ini briket UBC yang dihasilkan mempunyai kuat tekan 73 - 77 kg/cm
2
,
densitas 1.015 1,04 g/cm
3
dan kecepatan produk briket UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/
jam.
Kata kunci : karakterisasi, pembriketan, proses UBC, skala pilot
ABSTRACT
Research on low rank coal upgrading with Upgraded Brown Coal (UBC) technology has been devel-
oped since 2002, started with UBC pilot plant construction with a capacity of 5 ton/day in Palimanan,
Cirebon, West Java. From 7 Indonesian low rank coal samples, the coal with calorific value of <5,000
cal/gr can be increased to be >6,200 cal/gr, meanwhile low rank coal from Banko with calorific value
of <5,200 cal/gr increased to be >7,000 cal/gr.
The aim of this research is to know the changes of Mulia coal characteristics from Satui, South
Kalimantan after process and the optimum conditions of briquetting to coal after process in UBC pilot
plant Palimanan, Cirebon.
182 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. LATAR BELAKANG
Kualitas batubara Indonesia pada umumnya
didominasi oleh batubara peringkat rendah (lignit
dan subbituminus), yaitu sekitar 60% dari total
sumber daya yang jumlahnya 104,7 milyar ton
(Sukhyar, 2009). Batubara peringkat rendah ini belum
banyak dieksploitasi karena masih mengalami
kendal a dal am masal ah transportasi dan
pemanfaatannya. Seperti diketahui, batubara
peringkat rendah mempunyai kandungan air total
cukup tinggi yang menyebabkan nilai kalor menjadi
rendah. Dengan demikian diperlukan teknologi
khusus untuk menurunkan kadar air, sehingga nilai
kalori batubara tersebut menjadi lebih tinggi.
Beberapa penelitian dengan maksud tersebut telah
banyak dilakukan sejak tahun 1920-an di Amerika
Serikat, Australia, Jepang dan lain-lain (Suwono,
2000). Salah satu di antaranya adalah teknologi
Upgraded Brown Coal (UBC) yang merupakan
teknologi peningkatan nilai kalor (upgrading)
batubara peringkat rendah melalui penurunan kadar
air total yang dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd.,
Jepang (Shigehisa et al, 2000). Keuntungan
teknologi ini, di antaranya adalah karena proses
berlangsung pada temperatur dan tekanan rendah.
Untuk mencegah masuknya kembali air ke dalam
batubara, maka dalam proses ditambahkan
minyak residu untuk melapisi pori-pori pada partikel
batubara.
Kegiatan penelitian peningkatan kualitas batubara
peringkat rendah dengan teknologi UBC ini telah
dimulai sejak tahun 2002 oleh Puslitbang tekMIRA
bekerjasama dengan Kobe Steel Ltd., Jepang,
dengan dimulainya pembangunan UBC skala pi-
lot dengan kapasitas 5 ton/hari di Palimanan, Jawa
Barat. Pi l ot pl ant tersebut tel ah berhasi l
dioperasikan dengan baik. Dari 7 contoh batubara
peringkat rendah yang berasal dari beberapa
daerah di Indonesia, batubara dengan nilai kalori
<5.000 kal/g dapat ditingkatkan menjadi >6.200
kal/g. Bahkan batubara yang berasal dari Banko
dengan nilai kalori <5.200 kal/g dapat ditingkatkan
menjadi >7.000 kal/g. Hasil kegiatan proses UBC
ini digunakan sebagai acuan dalam pembangunan
UBC demonstration plant (Umar, dkk., 2007).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perubahan karakteristik batubara Mulia yang
berasal dari daerah Satui, Kalimantan Selatan,
setelah dilakukan proses UBC dan mengetahui
kondisi optimum pembriketan pada batubara hasil
proses UBC skala pilot yang berlokasi di
Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, yang akan
dipakai sebagai acuan untuk pengoperasian
proses UBC demonstration plant di Satui,
Kalimantan Selatan.
2. KAJIAN TEORITIS
2.1. Kandungan Air Dalam batubara
Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas
air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent
moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara
mekanik dengan batubara pada permukaan dalam
rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan
uap normal. Air lembab adalah air yang terikat
secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam
batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih
rendah daripada tekanan uap normal. Kandungan
air dalam batubara baik air bebas maupun air
lembab merupakan faktor yang merugikan, karena
memberikan pengaruh yang negatif terhadap biaya
transportasi dan proses pembakarannya.
2.2. Proses UBC
Penurunan kadar air dalam batubara dapat
dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan
panas. Kadar air bebas dapat dikurangi secara
efekti f dengan cara mekani k, sedangkan
penurunan kadar air lembab harus dilakukan
dengan cara pemanasan. Salah satu teknologi
untuk menurunkan kadar air lembab adalah proses
UBC yang merupakan teknologi peningkatan
kualitas (upgrading) batubara peringkat rendah
The result of UBC process, inherent moisture of Mulia coal can be decreased about 71.6%; therefore,
the calorific value increased about 26.5%. Whilst ash, volatile matter, fixed carbon, sulfur, carbon
and nitrogen contents were increased, hydrogen, and oxygen were deacreased. The optimum condi-
tion of briquetting was reached at roll rotation of 8 rpm and temperature of 80-110 C. In this condition,
UBC briquettes resulted have a pressure strength of 73-77 kg cm
2
, density 1.015 1.04 g/cm
3
and
briquet production capacity of about 1,104 kg/hour.
Keywords : Characteristics, briquetting, UBC process, pilot plant
183 Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
melalui penurunan kadar air total. Dibandingkan
dengan proses upgrading lainnya, proses UBC
mempunyai keuntungan, karena prosesnya
dilakukan pada temperatur dan tekanan relatif
rendah. Perbandingan beberapa teknologi upgrad-
ing terhadap UBC dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalam proses UBC, batubara dibuat slurry dengan
menggunakan minyak tanah yang dicampur
dengan minyak residu kemudian dipanaskan pada
temperatur 150C dan tekanan sekitar 3,5 atm.
Batubara hasil proses dipisahkan, dikeringkan dan
dibuat briket, sedangkan campuran minyak tanah
dan residu digunakan kembali untuk proses
sel anj utnya. Penambahan mi nyak resi du
diperlukan untuk menutup pori-pori batubara yang
terbuka, sehingga air yang telah keluar tidak akan
terserap kembali.
2.3. Pemanasan
Proses pemanasan batubara sampai temperatur
tertentu menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi struktur batubara. Dengan memanaskan
batubara, terjadi perubahan kimia karena
menguapnya air bawaan, dekomposisi gugus
karboksil, penyusutan gas-gas hidrogen dan
oksigen kompleks serta aromatisasi. Komposisi
dan sifat produk akhir akan bermacam-macam
tergantung pada temperatur pemanasan.
Karena proses pemanasan, maka terjadi reaksi
kimia yang menghasilkan produk gas atau cairan
yang banyak berhubungan dengan sistem pori-pori
batubara. Kehilangan sejumlah massa bahan-
bahan penyusun batubara melalui pori-pori,
menyebabkan terjadi kekosongan pori-pori tersebut.
Oleh sebab itu, sifat fisik yang memegang peranan
penting pada proses pemanasan adalah sifat
porosi t as. Porosi t as bat ubara t ersebut
menyangkut sistem pori-pori yang dimiliki.
Porositas batubara dapat menyebabkan terjadinya
difusi keluar uap air, metana dan zat lain yang
mudah menguap dari batubara selama terjadi
pemanasan. Dalam proses UBC, batubara
dicampur dengan minyak residu kemudian
dipanaskan pada tekanan dan temperatur yang
relatif rendah. Dengan minyak residu tersebut,
maka pori-pori batubara yang terbuka akan diisi
oleh residu dan menutup permukaan batubara
sehingga air yang telah keluar tidak akan terserap
kembali (Deguchi et al, 2002).
Menurut Tsai (1982), pada temperatur 100 - 120C
terjadi reaksi endotermis. Pada reaksi ini terjadi
penguapan air; air yang menguap berupa air bebas,
air terikat secara fisik dan air yang terjebak dalam
struktur pori-pori batubara. Penguapan air bebas
akan berperilaku sama dengan pengeringan secara
umum, sedangkan penguapan air bawaan
dianalogikan dengan air kristal atau hidroksida
dengan reaksi sebagai berikut :
M(OH)2 MOn + nH2O
Secara termodinamika, reaksi antara batubara
dengan oksigen adalah:
C + O2 CO2 G = -394100 - 0,8T J/mol
2C + O2 2CO G = -223400 - 175,3T J/mol
Adanya reaksi seperti di atas pada proses
pengeringan batubara tidak dikehendaki, oleh
karena itu diperlukan suatu kondisi pemanasan yang
inert. Secara termodinamika, reaksi ini berlangsung
pada berbagai temperatur, tetapi perlu aktivasi
yang cukup besar, maka reaksi berlangsung harus
pada temperatur di atas 120C.
2.4. Pengaruh Penambahan Aditif
Dalam melakukan pemanasan pada batubara ada
3 daerah pemanasan yang berpengaruh terhadap
terjadinya dekomposisi, yaitu pemanasan di bawah
temperatur dekomposisi, daerah dekomposisi aktif
dan pemanasan di atas temperatur dekomposisi.
Dekomposisi aktif adalah terdekomposisinya min-
eral organik penyusun batubara menjadi tar dan
penguapan air.
Pemanasan batubara pada temperatur dekomposisi
aktif, yaitu >200C, menyebabkan terjadinya
penguapan air bebas, air bawaan/terikat secara
kimia, tar, hidrogen, CO
2
, CO dan hidrokarbon.
Proses UBC, dengan temperatur sekitar 150C,
pengeluaran tar dari batubara belum sempurna.
Oleh karena itu perlu ditambahkan zat aditif
sebagai penutup permukaan batubara seperti
kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil)
dan minyak residu. Untuk proses UBC sebagai
aditif digunakan minyak residu yang merupakan
suatu senyawa organik yang beberapa sifat
kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara.
Dengan kesamaan sifat kimia tersebut, minyak
residu yang masuk ke dalam pori-pori batubara
akan kering kemudian bersatu dengan batubara.
Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel
pada waktu yang cukup lama, sehingga batubara
dapat disimpan di tempat terbuka untuk jangka
waktu yang cukup lama (Shigehisa et al, 2000).
184 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r
B
a
t
u
b
a
r
a

A
s
a
l
B
a
t
u
b
a
r
a

P
r
o
d
u
k
K
o
b
e

S
t
e
e
l
,

J
A
P
A
N

&
t
e
k
M
I
R
A

I
N
D
O
N
E
S
I
A
W
y
o
m
i
n
g

U
S
A
A
U
S
T
R
I
A
Y
U
G
O
S
L
A
V
I
A
G
r
a
n
d

F
o
r
k
s

(
U
S
A
)
,
M
e
l
b
o
u
r
n
e

(
A
u
s
t
r
a
l
i
a
)
S
Y
N
C
O
A
L
M
o
n
t
a
n
a

(
U
S
A
)
R
o
s
e
b
u
d

S
y
n
C
o
a
l

P
a
r
t
n
e
r
s
h
i
p
5
.
5
0
0

-
8
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
1
2
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
3
5
0
-
4
5
0

C
2
-
3

M
P
a
D
e
m
o
n
s
t
r
a
t
i
o
n

p
l
a
n
t
1
.
0
0
0

t
o
n
/
h
a
r
i
P
a
d
a
t
a
n
M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

m
a
s
a
l
a
h

s
l
a
g
g
i
n
g

d
a
n

f
o
u
l
i
n
g
S
u
m
b
e
r
:

h
t
t
p
/
/

w
w
w
.

w
i
k
i
p
e
d
i
a
.

c
o
m

(
2
0
0
8
)
-
-
-
P
a
l
i
m
a
n
a
n

I
N
D
O
N
E
S
I
A
M
e
n
u
r
u
n
k
a
n

N
a
E
N
C
O
A
L
W
y
o
m
i
n
g

(
U
S
A
)
S
M
C

m
i
n
i
n
g

S
G
I

I
n
t
.

o
f

L
a

8
.
2
0
0

-
9
.
2
0
0

B
t
u
/
l
b
4
7
5
-
5
5
0

C
2
-
3

M
P
a
D
e
m
o
n
s
t
r
a
t
i
o
n

p
l
a
n
t
1
.
0
0
0

t
o
n
/
h
a
r
i
S
l
u
r
r
y
M
e
n
u
r
u
n
k
a
n

N
a
,

S

d
a
n

C
l
H
W
D
/
S
D
T
h
e

U
n
i
v
e
r
s
i
t
y

o
f

N
o
r
t
h

D
a
k
o
t
a
8
.
0
0
0

-

9
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
1
2
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
2
7
0
-
3
0
0

C
8
-
1
2

M
P
a
D
a
l
a
m

t
a
h
a
p

r
e
n
c
a
n
a

k
e

k
o
m
e
r
s
i
a
l
7
.
7

t
o
n
/
h
a
r
i
P
a
d
a
t
a
n
P
a
d
a
t
a
n
M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

H
g
,

e
m
i
s
i

S
O
2

F
L
E
I
S
S
N
E
R
V
o
e
s
t
-
A
l
p
n
i
e

A
G
8
.
6
0
0

B
t
u
/
l
b
1
2
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
2
3
0
-
2
8
0

C
3
-
6

M
P
a
K
o
m
e
r
s
i
a
l

s
e
j
a
k


1
9
2
7

d
i

P
a
d
a
t
a
n
P
a
d
a
t
a
n
M
e
n
u
r
u
n
k
a
n

k
a
n
d
u
n
g
a
n

a
i
r
K
-
F
U
E
L
K
F
x

I
n
c
.
,

U
S
A
8
.
0
0
0

-
8
.
8
0
0

B
t
u
/
l
b
1
0
.
5
0
0
-
1
1
.
5
0
0

B
t
u
/
l
b
4
5
0
-
5
5
0

C
4
-
6

M
P
a
K
o
m
e
r
s
i
a
l

s
e
j
a
k

2
0
0
5
3
-
8

j
u
t
a

t
o
n
/
t
h
K
a
p
a
s
i
t
a
s
P
r
o
d
u
k
K
e
t
e
r
a
n
g
a
n
U
B
C
5
.
0
0
0

-
9
.
0
0
0

B
t
u
/
l
b
1
1
.
0
0
0
-
1
2
.
5
0
0

B
t
u
/
l
b
1
5
0
-
1
6
0

C
0
.
2
-
0
.
3

M
P
a
D
e
m
o
n
s
t
r
a
t
i
o
n

p
l
a
n
t
1
.
0
0
0

t
o
n
/
h
a
r
i
T
e
k
n
o
l
o
g
i
L
o
k
a
s
i
P
e
n
g
e
m
b
a
n
g
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r
T
e
k
a
n
a
n
S
t
a
t
u
s
T
a
b
e
l

1
.
P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n

T
e
k
n
o
l
o
g
i

U
p
g
r
a
d
i
n
g

B
a
t
u
b
a
r
a

d
i

D
u
n
i
a
185 Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
3. KEGIATAN PERCOBAAN
Kegi at an proses UBC pada skal a pi l ot
dimaksudkan untuk mendapatkan data sebagai
pendukung operasional UBC demonstration plant.
Pengoperasian pilot plant UBC dilakukan dengan
menggunakan batubara dari Satui, Kalimantan
Selatan yang akan dipakai umpan pada UBC
demontration plant. Percobaan dilaksanakan 2 kali
dengan tujuan untuk mengetahui :
Perubahan karakteristik batubara hasil proses
pada kondisi optimum,
Optimasi proses pembriketan terhadap
batubara hasil proses UBC.
3.1. Percobaan proses UBC
Proses slurry dewatering merupakan salah satu
proses utama dari rangkaian proses UBC, di mana
batubara dicampur dengan minyak tanah dan residu
dipanaskan pada temperatur tertentu dan tekanan
tertentu, sehingga air yang terkandung di dalam
pori-pori batubara teruapkan dan diganti dengan
residu melapisi pori-pori tersebut, sehingga air yang
telah keluar dari batubara tidak dapat masuk
kembali. Dengan terlapisinya pori-pori batubara
tersebut, maka akan membuat batubara tersebut
lebih stabil dan kecenderungan untuk terbakar
dengan sendirinya (self combustion) akan berkurang.
Pelaksanaan proses UBC :
1. Kondisi proses UBC yang dianggap optimum
pada pilot plant Palimanan Cirebon, adalah :
Ukuran batubara umpan < 3mm dengan
kecepatan pengumpanan 100 kg/jam,
Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30
% batubara, 70% minyak tanah yang
mengandung 0,5% residu),
Kecepatan pengumapan slurry ke dalam
decanter 350 l/jam,
Kecepatan pengumpanan cake ke dalam
rotary tube dryer 15 Hz.
2. Pada kondisi tersebut di atas, proses UBC
menurunkan kadar air bawaan (inherent mois-
ture) batubara Satui sebesar 71,6%, sehingga
nilai kalor naik sebesar 26,5%. Sementara
kadar abu, zat terbang, karbon padat, karbon,
belerang dan nitrogen mengalami sedikit
kenaikan, sedangkan kadar hidrogen dan
oksigen turun karena turunnya kadar air (H
2
O).
Briket UBC mempunyai kuat tekan 98 kg/cm
2
,
densitas 1,05 g/cm
3
dan kecepatan produk
briket UBC sebanyak 840 kg/jam.
3.2. Optimalisasi Pembriketan
Setelah dilakukan modifikasi di seksi 500 dengan
jalan mengganti roll pada mesin briket dengan
ukuran cetakan yang lebih kecil (ukuran ini sesuai
dengan ukuran cetakan pada mesin briket yang
akan digunakan pada UBC demontration plant).
Proses pembriketan pada percobaan ini mempunyai
unjuk kerja yang sangat baik dibandingkan dengan
pembriketan pada percobaan sebelumnya.
Variabel percobaan terdiri atas :
Kecepatan roll: 8, 10, 13, 15,17 dan 20
Temperatur pembriketan: antara 70C dan 115C
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Optimalisasi Proses UBC Skala Pilot
Dengan kondisi proses UBC yang dianggap optimum
pada pilot plant Palimanan Cirebon, adalah :
Ukuran batubara umpan < 3mm dengan
kecepatan pengumpanan 100 kg/jam
Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30
% batubara, 70% mi nyak tanah yang
mengandung 0,5% residu)
Kecepatan pengumapan slurry ke dalam de-
canter 350 l/jam
Kecepatan pengumpanan cake ke dalam ro-
tary tube dryer 15 Hz.
4.2. Karakteristik Batubara
Karakteristik batubara sebelum dan setelah proses
UBC skala pilot untuk run 1 dan 2 dapat dilihat
pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air total
dan air bawaan batubara asal cukup tinggi, yaitu
masing-masing 32,28% dengan kadar abu yang
sangat rendah, yaitu 0,98%. Dengan kadar air
bawaan yang tinggi dapat mengakibatkan
rendahnya nilai kalor. Selanjutnya, efisiensi
pembakaran akan menjadi kecil sehingga untuk
mendapatkan jumlah kalor tertentu, jumlah
batubara yang harus dibakar akan menjadi lebih
besar, sehingga gas CO
2
yang dihasilkannya pun
akan menjadi besar.
Setelah proses UBC, air bawaan pada run 1 turun
menjadi 8,32% dan pada run 2 turun menjadi
8,42%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa proses
UBC efektif menurunkan kadar air total dengan
persen penurunan antara 71,4 dan 71,8%.
186 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa dengan
turunnya air bawaan, nilai kalor naik dari 4.873
kal/g menjadi 6.196 kal/gr pada run 1 dan menjadi
6.135kal/g pada run 2 atau terjadi kenaikan yang
cukup signifikan antara 25,9 dan 27,2%.
Analisis proksimat dan ultimat batubara hasil
proses UBC dilakukan setelah disimpan sekian
lama sampai mencapai kesetimbangan. Hal ini
dilakukan agar mendekati keadaan sebenarnya,
karena pada umumnya batubara hasil proses UBC
tidak langsung digunakan konsumen tapi disimpan
terlebih dahulu sebagai persediaan.
Dari hasil analisis proksimat seperti pada Gambar
2 memperlihatkan bahwa kenaikan kadar abu
kemungkinan besar terjadi karena adanya sisa-
sisa minyak residu yang menempel pada batubara,
menjadi abu sisa pembakaran batubara. Namun
demikian, kenaikan kadar abu ini tidak akan
menjadi masalah, karena masih <5%. Kandungan
zat terbang naik secara signifikan dari 37,80%
menjadi 47,44% pada run 1 dan menjadi 46,83%
pada run 2. Kenaikan zat terbang ini disebabkan
karena masih adanya minyak pada batubara hasil
proses UBC yang ikut teruapkan saat pemanasan
dan terdeteksi sebagai zat terbang. Sementara
kandungan karbon padat naik karena turunnya
kandungan air lembab, yaitu dari 31,75% menjadi
40,55% pada run 1 dan menjadi 41,17% pada run 2.
Hasil analisis ultimat seperti pada Gambar 3
memperlihatkan bahwa kadar karbon naik dari
50,69% menjadi 62,48% pada run 1 dan menjadi
63,51% pada run 2. Kandungan hidrogen dan
oksigen turun sebagai akibat turunnya kadar air
(H2O). Penurunan oksigen lebih signifikan
dibandingkan dengan penurunan kandungan
hidrogen. Kadar nitrogen dan sulfur batubara
setelah proses UBC tidak mengalami perubahan
yang cukup berarti.
Tabel 2. Karakteristik Batubara Mulia Sebelum dan Setelah Proses UBC
ANALISIS SATUAN BATUBARAASAL RUN1 RUN2
AIR TOTAL % ar 32,28 - -
PROKSIMAT :
AIR BAWAAN % adb 29,47 8,32 8,42
ABU % adb 0,98 3,69 3,58
ZAT TERBANG % adb 37,80 47,44 46,83
KARBON PADAT % adb 31,75 40,55 41,17
NILAI KALOR Kal/gr 4.873 6.196 6.135
ULTIMAT :
KARBON % adb 50,69 62,48 63,51
HIDROGEN % adb 6,60 6,36 5,73
NITROGEN % adb 0,49 0,58 0,59
OKSIGEN % adb 41,07 26,73 26,44
SULFUR % adb 0,17 0,16 0,15

4,873
6,196 6,135
0
2,000
4,000
6,000
8,000
k
a
l
/
g
r
BATUBARA ASAL RUN 1 RUN 2
Gambar 1. Pengaruh Proses Terhadap
Kenaikan Nilai Kalori

0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
AIRBAWAAN ABU ZAT TERBANG KARBONPADAT
%
,

a
d
b
BATUBARAASAL RUN 1 RUN 2
Gambar 2. Hasil analisis proksimat sebelum
dan sesudah proses UBC
187 Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar
4.3. Optimalisasi Pembriketan
Setelah dilakukan modifikasi di seksi 500 dengan
jalan mengganti roll pada mesin briket dengan
ukuran cetakan yang lebih kecil (ukuran ini sesuai
dengan ukuran cetakan pada mesin briket yang
akan digunakan pada UBC demontration plant).
Proses pembri ket an pada percobaan i ni
mempunyai unjuk kerja yang sangat baik
di bandi ngkan dengan pembri ket an pada
percobaan sebelumnya.
Variabel percobaan terdiri atas:
Kecepatan roll: 8, 10, 13, 15,17 dan 20
Temperatur pembriketan: antara 70C dan 115C
Hasil percobaan pengaruh kecepatan roll terhadap
kuat tekan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar
4 menunjukkan bahwa kecepatan roll pada
temperatur yang sama sangat berpengaruh
terhadap kuat tekan briket UBC yang dihasilkan.
Makin tinggi kecepatan roll, makin rendah kuat
tekan briket yang dihasilkan. Sedangkan densitas
berfluktuasi tapi tidak cukup berarti. Pada run 1,
kecepatan roll optimum adalah pada 10 rpm
dengan kuat tekan 73 kg/cm
2
, sedangkan pada
run 2 dicapai pada kecepatan roll 8 dengan kuat
tekan 98 kg/cm
2
.
Pengaruh temperatur pembriketan terhadap kuat
tekan dan densitas briket UBC pda kecepatan roll
yang sama dapat dilihat pada Gambar 5.

0
10
20
30
40
50
60
70
KARBON HIDROGEN NITROGEN OKSIGEN SULFUR
%
,

a
d
b
BATUBARA ASAL RUN 1 RUN 2
Gambar 3. Hasil analisis ultimat sebelum
dan sesudah proses UBC
Gambar 4. Pengaruh kecepatan roll
terhadap kuat tekan dan
densitas briket
Gambar 5. Pengaruh temperatur terhadap
kuat tekan dan densitas briket
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa temperatur
berpengaruh terhadap kuat tekan dan densitas
briket UBC yang dihasilkan pada kecepatan roll
yang sama. Temperatur optimum dicapai pada
temperatur 80C dengan kuat tekan 73 kg/cm
2
pada run 1 dengan kuat tekan 98 kg/cm
2
pada run
2 pada temperatur yang sama. Ketika temperatur
dinaikkan, kuat tekan briket mengalami penurunan
baik pada run 1 maupun pada run 2.
Proses pembriketan yang paling baik pada
percobaan ini adalah pembriketan dengan kondisi
kecepatan roll 8 rpm dan temperatur 80 - 110
0
C.
Pada kondisi ini briket UBC yang dihasilkan
mempunyai kuat tekan 73 - 77 kg/cm
2
, densitas
1,015 1,04 g/cm
3
dan kecepatan produk briket
UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/jam. Hasil
ini hampir sama dengan hasil pembriketan dengan
kondisi yang sama pada percobaan sebelumnya
yang dapat menghasilkan briket dengan kuat tekan
rata-rata 70 - 80 kg/cm
2
. Hal ini dapat terjadi
karena ukuran cetakan briket batubara lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran cetakan briket pada
percobaan sebelumnya, sehingga kuat tekan briket
yang dihasilkan lebih tinggi. Hasil unjuk kerja
pembri ket an pada percobaan i ni sangat
memuaskan, sehingga data yang dihasilkan akan
188 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sangat mendukung untuk kepentingan uji coba
pada UBC demontration plant di Kecamatan Satui,
Kalimantan Selatan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kondisi proses UBC yang dianggap optimum pada
pilot plant Palimanan Cirebon, adalah pada kondisi :
Ukuran batubara umpan < 3mm dengan
kecepatan pengumpanan 100 kg/jam
Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30%
bat ubara, 70% mi nyak t anah yang
mengandung 0,5% residu)
Kecepatan pengumapan slurry ke dalam de-
canter 350 l/jam
Kecepatan pengumpanan cake ke dalam ro-
tary tube dryer 15 Hz.
Pada kondisi tersebut di atas, proses UBC
menurunkan kadar air bawaan (inherent moisture)
batubara Mulia sebesar 71,6%, sehingga nilai kalor
naik sebesar 26,5%. Sementara kadar abu, zat
terbang, karbon padat, karbon, belerang dan ni-
trogen mengalami sedikit kenaikan, sedangkan
kadar hidrogen dan oksigen turun karena turunnya
kadar air (H
2
O).
Sedangkan untuk proses pembriketan yang pal-
ing baik pada percobaan ini adalah pembriketan
dengan kondisi, kecepatan roll 8 rpm, temperatur
80 - 110
0
C, kuat tekan 73 - 77 kg/cm
2
, densitas
1,015 1,04 g/cm
3
dan kecepatan produk briket
UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/jam.
6.2. Saran
Kondisi proses yang dianggap optimum pada pi-
lot plant UBC, Palimanan, Cirebon yang dilakukan
pada kajian ini, berlaku untuk batubara Mulia yang
berasal dari daerah Satui, Kalimantan Selatan.
Sedangkan untuk batubara dari daerah lain
kondisinya akan berbeda. Karena itu, pilot plant
UBC, Palimanan, Cirebon hendaknya tetap
digunakan sebagai sarana penelitian untuk
pengembangan proses UBC terhadap batubara
lainnya di Indonesia guna mendapatkan teknologi
proses yang secara teknis dan ekonomis lebih
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Deguchi, T., Shigehisa, T., Makino, E. and Otaka,
Y., 2002. Study on Upgraded Brown Coal Pro-
cess for Indonesian Low Rank Coals, Proc.
International Conference and Exhibition on
Clean and Efficient Coal Technology in Power
Generation, Coal-Tech 2002, Indonesia.
Shigehisa, T., Deguchi, T., Shimasaki, K. and
Makino, E., 2000. Development of UBC Pro-
cess Paper presented at the International Con-
ference on Fluid and Thermal Energy Conver-
sion, Indonesia.
Suwono, A. dan Hamdani, 2000. Upgrading The
Indonesians Low Rank Coal by Superheated
Steam Drying with Tar Coating Process and
its Application for Preparation of CWM, Coal
Preparation, Vol 21, pp. 149-159.
Sukhiyar, R., 2009. Sumberdaya dan Cadangan
Batubara Indonesia, Seminar dan Workshop
Indonesian Coal Conference Jakarta.
Tsai , S. C. , 1982. Fundament al of Coal
Beneficiation and Utilization, Coal Science
and Technology 2, Elsevier Publishing Com-
pany.
Umar D. F., Kunrat S. K., Rijwan, I., Hudaya, G.
K., Setiawan L. dan Sodikin, I., 2007.
Persiapan Pembangunan UBC Demonstration
Plant, Laporan Intern Puslitbang Teknologi
Mineral dan Batubara.
www. wikipedia. com (2008).
189 Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya
ANALISIS DAMPAK EKONOMI TEKNOLOGI
PENINGKATAN KUALITAS BATUBARA PERINGKAT
RENDAH DI INDONESIA
Gandhi Kurnia Hudaya
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483, Fax. 022 - 6003373 - e-mail : gandhi@tekmira.esdm.go.id
SARI
Kebutuhan batubara di dunia semakin meningkat terutama sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Indonesia adalah salah satu negara pengekspor terbesar di dunia. Cadangan batubara Indonesia
didominasi oleh batubara peringkat rendah sebesar 59%. Teknologi yang dikembangkan oleh
perusahaan Jepang dan Australia adalah teknologi peningkatan kualitas batubara peringkat rendah
melalui upaya menghilangkan kandungan air di dalam batubara tersebut untuk meningkatkan nilai
kalorinya sehingga pemasarannya akan mudah dan harga jualnya meningkat. Teknologi itu adalah
UBC (Upgraded Brown Coal) dan BCB (Binderless Coal Briquetting).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari pengembangan teknologi UBC
dan BCB serta penerapan teknologi tersebut dengan membangun pabrik komersialnya di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak ekonominya adalah : pemanfaatan batubara peringkat
rendah yang meningkat, menambah devisa negara sebesar US$ 140-210 juta pertahun, menambah
pendapatan pajak pemerintah sebesar Rp 130-200 milyar pertahun, menciptakan lapangan kerja 1.000
orang, menciptakan multiplier effect bagi perekonomian daerah dan menciptakan iklim investasi yang
baik bagi industri pertambangan dan pengolahannya.
Kata kunci : batubara peringkat rendah, UBC, BCB, dampak ekonomi
ABSTRACT
The needs of coal in the world has been increasing mainly as a fuel of power. Indonesia is one of the
largest exporter country in the world. Indonesia coal reserve is dominated by low-rank coal as much as
59%. The technology developed by companies in Japan and Australia is technology to improve the
quality of low rank coal through the reducing of water contained in coal so that the caloriefic value of
coal increased then the marketing will be easier and selling price will also increase. The technologies
are UBC (Upgraded Brown Coal) and BCB (Binder less Coal Briquetting).
This study is aimed to understand the economic impact of developing UBC and BCB technologies and
the implementation of these technologies includes building commercial plant in Indonesia. Results
indicate that the economic impact are: increase the utilization of low rank coal, increase the state
income of US$ 140-210 million per year, increase government tax revenue of Rp 130-200 billion per
year, creat 1,000 jobs, creating a multiplier effect for regional economic and create a better invest-
ment climate for mining and processing industries.
Keywords : low rank coal, UBC, BCB, economic impact
190 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Batubara adalah salah satu sumber energi yang
saat ini menjadi primadona di dunia. Harganya
yang relatif rendah serta ketersediaannya yang
masih melimpah merupakan daya tarik bagi
industri-industri di dunia yang saat ini banyak
sekali dibutuhkan untuk menghasilkan listrik.
Batubara lebih disukai karena untuk menghasilkan
listrik sebesar 1 MGW/h dibutuhkan biaya US$
12,98 (asumsi harga batubara US$ 90/ton) lebih
kecil bila dibandingkan dengan minyak yang
sebesar US$ 30 (asumsi harga minyak US$ 54/
barrel) dan LNG yang sebesar US$ 20,47 (asumsi
harga LNG $6/Mmbtu) (Ermina Miranti, 2008).
Indonesia adalah salah satu negara pengekspor
batubara terbesar di dunia dan memiliki cadangan
yang cukup besar. Pada akhir tahun 2008, potensi
batubara Indonesia mencapai 105 milyar ton
dimana 22 milyar ton diantaranya berupa
cadangan (www.esdm.go.id). Namun, sekitar 59%
dari cadangan tersebut termasuk batubara
peringkat rendah (Ermina Miranti, 2008). Batubara
peringkat rendah Indonesia pada umumnya
mengandung kadar air yang tinggi (20-40%). Kadar
air yang tinggi menyebabkan tingginya biaya
penanganan dan transportasi yang tinggi serta nilai
kalori yang rendah sehingga hingga saat ini
penggunaan batubara kalori rendah masih terbatas,
umumnya hanya digunakan untuk pencampuran
atau digunakan pada pembangkit listrik mulut
tambang.
Teknologi peningkatan kualitas batubara kalori
rendah merupakan teknologi yang diharapkan
dapat menjaga kesinambungan pasokan batubara
serta untuk meningkatkan pemanfaatan batubara
kalori rendah dengan maksimal. Batubara kalori
rendah I ndonesi a memi l i ki keunggul an
dibandingkan dengan batubara dari negara lain,
yaitu memiliki kadar abu dan sulfur yang rendah
sehi ngga di j adi kan t arget ut ama unt uk
pengembangan teknologi tersebut. Hingga saat
ini, telah berdiri dua pabrik teknologi peningkatan
kualitas batubara kalori rendah di Indonesia yaitu
pabrik percontohan UBC (Upgraded Brown Coal)
dan pabrik komersial BCB (Binderless Coal
Briquetting). Kedua pabrik tersebut berlokasi di
Kalimantan.
Penelitian ini bermaksud menganalisis dampak
ekonomi bagi pengembangan teknologi UBC dan
BCB serta penerapannya melalui pembangunan
pabriknya di Indonesia. Diharapkan hasil analisis
ini dapat menjadi salah satu bahan, baik untuk
calon investor maupun untuk pemerintah dalam
mengambil kebijakan terhadap teknologi yang
tergolong teknologi baru.
2. TEKNOLOGI UBC DAN BCB
A. Teknologi UBC
Teknologi UBC dikembangkan oleh Kobe Steel
Ltd, sebuah perusahaan baja di Jepang. Teknologi
UBC merupakan proses penurunan kadar air
bawaan batubara peringkat rendah menjadi
menyerupai batubara peringkat tinggi (bituminus)
sehingga nilai kalori batubara tersebut meningkat.
Proses ini dilakukan dengan mencampurkan
batubara, minyak residu dan minyak tanah,
kemudian dipanaskan pada temperatur 150
0
C
160
0
C dengan tekanan 250 kPa 350 kPa. Produk
UBC berupa serbuk dan briket (Gambar 1).
Gambar 1. Diagram proses teknologi UBC (sumber : brosur UBC)
191 Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya
Pabrik UBC skala percontohan dengan kapasitas
1.000 ton/hari umpan atau 600 ton/hari produk
dibangun di Satui, Kalimantan Selatan di lokasi
tambang batubara PT Arutmin berdasarkan
perjanjian kerjasama antara Japan Coal Energy
Center (JCOAL), Jepang dan Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, Indonesia (Gambar 2).
Pabrik UBC skala pilot di Palimanan, Jawa Barat
dengan kapasitas 5 ton/hari, telah berhasil
dikembangkan dan dioperasikan. Nilai kalori
batubara dari < 5.000 kal/g dapat ditingkatkan
menjadi 6.200-6.800 kal/g. Biaya konstruksi dan
pengoperasian pabrik UBC skala percontohan dari
tahun 2007-2010 diperkirakan memakan biaya
sebesar US$ 70 juta (Kobelco, 2006). Pabrik UBC
komersial direncanakan berkapasitas sebesar
minimal 5000 ton produk per hari atau 1,7 juta ton
pertahun.
PT Bayan Resources Tbk (BAYAN) menggandeng
White Energy Company membentuk perusahaan
patungan PT Kaltim Supacoal (KSC) untuk
membangun pabrik modular peningkatan mutu
batubara bersih berkapasitas satu juta ton/tahun
di tambang Tabang, Kalimantan Timur (Gambar
4). Pabrik ini telah diresmikan pada bulan April
2009 dan direncanakan akan mulai berproduksi
pada akhir semester kedua 2009. Nilai investasi
pabrik ini mencapai US$ 68 juta (Koran Investor
Daily, 27 April 2009).
Gambar 2. Pabrik percontohan UBC
(sumber : brosur UBC)
B. Teknologi BCB
Teknologi BCB dikembangkan oleh White Energy
Company, sebuah perusahaan teknologi coal up-
grading yang berpusat di Australia. Teknologi BCB
merupakan proses peningkatan mutu batubara
dengan cara menghilangkan kadar air dalam
batubara sehingga nilai kalorinya akan meningkat.
Proses utamanya adalah menggerus batubara dan
kemudian memanaskannya untuk menghilangkan
kadar air dalam batubara. Setelah dipanaskan,
batubara dimampatkan melalui proses pembriketan
(Gambar 3). Teknologi BCB mampu membuat
batubara dari kalori rendah 4,200 kcal/kg gross
as received (GAR) menjadi 6,100 kcal/kg GAR.
Gambar 3. Diagram proses teknologi BCB
(sumber : ww.whiteenergyco.com)
Gambar 4. Pabrik modular peningkatan
mutu batubara bersih
(sumber : www.bayan.com.sg)
192 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3. METODE PENELITIAN
Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka,
yaitu mencari referensi dan literatur untuk memper-
oleh data sekunder mengenai teknologi peningkatan
kualitas batubara kalori rendah di Indonesia.
Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan analisis
deskripsi dan analisa kuantitatif.
Analisis deskripsi dilakukan terhadap data-data
yang telah dikumpulkan yang berhubungan dengan
teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah
di Indonesia serta data-data lain yang berhubungan.
Analisa kuantitatif dilakukan terhadap data-data
ekonomi yang t el ah di kumpul kan unt uk
memberikan gambaran dampak ekonomi dari
aplikasi teknologi peningkatan kualitas batubara
kalori rendah di Indonesia.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tren pemanfaatan batubara terutama untuk sektor
listrik di dunia mendorong banyak pihak untuk dapat
terlibat di dalamnya. Perusahaan Kobe Steel dan
White Energy berinvestasi dalam riset teknologi
peningkatan kualitas batubara kalori rendah agar
dapat memiliki patent teknologi yang menguntungkan
perusahaan. Indonesia adalah negara sasaran
utama untuk ujicoba dan pengembangan teknologi
tersebut karena keunggulan kualitas dan jumlah
batubara peringkat rendahnya. Untuk mengetahui
dampaknya bagi Indonesia maka salah satu
dampak yang mudah dihitung atau dianalisis
secara kuantitatif adalah dampak ekonomi.
Dampak ekonomi penerapan t eknol ogi
peningkatan kualitas batubara kalori rendah di In-
donesia antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan sumber daya alam
Potensi batubara kalori rendah Indonesia
sebesar 60 milyar ton (60% dari cadangan total
104 milyar ton) termasuk besar dan dapat lebih
ditingkatkan pemanfaatannya. Sebelumnya,
batubara kalori rendah kurang dimanfaatkan
atau bila diekspor hanya sebagai pencampur
(blending) batubara kalori tinggi. Dengan adanya
teknologi ini maka keluaran pabrik yang berupa
batubara berkalori tinggi akan mudah untuk
dijual baik di dalam negeri maupun di luar
negeri sehingga memberikan nilai tambah
yang lebih besar.
2. Menambah devisa negara
Indonesia adalah salah satu eksportir batubara
terbesar di dunia. Pada tahun 2009, dari produksi
batubara sebanyak 190 juta ton, akan diekspor
sebanyak 160 juta ton dan sisanya digunakan
untuk kebutuhan dalam negeri. Setiap pendirian
1 buah pabrik komersial UBC dan BCB, dapat
menambah produksi batubara sebesar 2-3 juta
ton per tahun. Dengan asumsi harga batubara
tahun 2009 sebesar US$ 70 per ton, maka devisa
negara yang dapat dihasilkan adalah US$ 140-
210 juta.
3. Meningkatkan penghasilan negara dari pajak
perusahaan
Pendapatan negara Indonesia didominasi oleh
sektor pajak, dimana salah satunya adalah pajak
perusahaan. Untuk perusahaan tambang,
selain pajak juga ada royalti untuk setiap ton
batubara yang diproduksi. Setiap pembangunan
pabrik UBC dan BCB membutuhkan pasokan
batubara wantah diluar produksi batubara saat
ini. Untuk setiap pabrik UBC dan BCB yang
dibangun, akan dihasilkan produk upgraded coal
sebanyak 2-3 juta ton pertahun. Sebagai
perbandingan, perusahaan tambang batubara
PT Bukit Asam (PTBA), pada tahun 2008
menjual batubara sebanyak 12,8 juta ton dan
memberikan kontribusi kepada pemerintah
dalam bentuk pajak sebesar Rp 844 milyar
(Rania Rahmundita, 2009). Dari perbandingan
jumlah penjualan maka dapat diperkirakan
bahwa setiap pabrik UBC dan BCB yang
dibangun dapat menambah penghasilan
negara melalui pajak sekitar Rp 130-Rp 200
milyar per tahun.
4. Menciptakan lapangan pekerjaan
Pembangunan pabrik peningkatan kualitas
batubara baik teknologi UBC maupun BCB,
akan memberikan lowongan pekerjaan yang
cukup besar bagi masyarakat Indonesia
umumnya dan bagi masyarakat sekitar pabrik
pada khususnya. Lowongan pekerjaan ini akan
terbuka sejak pekerjaan konstruksi pabrik
dimulai hingga kemudian beroperasinya pabrik-
pabrik tersebut. Selain untuk karyawan pabrik,
lowongan kerja juga akan terbuka bagi
193 Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya
peningkatan kapasitas produksi ataupun
pembangunan infrastruktur tambang yang baru
untuk memasok kebutuhan pabrik tersebut.
Sebagai perbandi ngan, PTBA saat i ni
mempekerjakan sekitar 3.346 pegawai. Jika
dibandingkan berdasarkan jumlah penjualan
batubara pertahun, maka dapat diperkirakan
bahwa lowongan kerja baru yang akan tersedia
adalah sekitar 1.000 orang. Hal ini akan
membantu program pemerintah dalam
mengurangi kemiskinan dan mengurangi
pengangguran.
5. Menciptakan multiplier effect dari proyek
Seandainya pabrik peningkatan kualitas
batubara beroperasi dengan kapasitas 2-3 juta
ton, maka pabrik itu akan membutuhkan 4-5
juta ton batubara per tahun. Perusahaan
tambang yang selama ini belum menggarap
cadangan batubara peringkat rendah di wilayah
kerjanya, akan mulai memproduksinya untuk
memenuhi kebutuhan pabrik peningkatan
kual i tas batubara tersebut. Sel ai n i tu
perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh
untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik yang
baru seperti perusahaan katering, transportasi
dan perusahaan pendukung lainnya.
6. Menciptakan iklim investasi yang baik bagi
investor
Keberhasilan proyek peningkatan kualitas
batubara dimana proyek ini termasuk proyek
besar, akan memberikan kesan baik kepada
investor lokal maupun luar negeri akan aman
dan ramahnya iklim investasi di Indonesia.
Diharapkan para investor tersebut akan ikut
juga berinvestasi di indonesia.
5. KESIMPULAN
Dampak ekonomi dari pembangunan pabrik
teknologi peningkatan kualitas batubara peringkat
rendah dengan teknologi UBC dan BCB adalah :
a) Pemanfaatan batubara peringkat rendah
sebagai sumber daya alam.
b) Menambah devisa negara sebesar US$ 140-
210 juta per tahun.
c) Menambah pendapatan dari pajak sebesar Rp
130-200 milyar per tahun.
d) Menciptakan lapangan kerja sebanyak 1.000
orang.
e) Menciptakan multiplier effect yang bermanfaat,
terutama bagi perekonomian daerah.
f) Menciptakan iklim investasi yang baik bagi
investor, terutama di sektor pertambangan dan
pengolahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Brosur UBC, Peresmian Pabrik Percontohan UBC
di Satui, 2008.
Ermina Miranti, Prospek Industri Batubara di In-
donesi a, Economi c Revi ew No. 214,
Desember 2008.
I nvest or Dai l y, 27 Apri l 2009. ht t p: / /
Investorindonesia.com
Kobel co Onl i ne, 5 Jul y 2006. ht t p: / /
www.kobelco.co.jp.
Rania Rahmundita, Coal Mining, CIMB-GK Re-
search, Juni 2009.
Website Departemen Energi dan Sumberdaya
Mineral, Januari 2009. http://www.esdm.go.id
Websi t e PT Bayan Resources (Tbk).
www.bayan.com.sg.
Website PT Tambang Batubara Bukit Asam (Tbk).
www.ptba.co.id.
Websi t e Whi t e Energy Company.
www.whiteenergyco.com.
194 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
KAJIAN MANFAAT DAN BIAYA PENAMBANGAN
BIJIH BESI DI KABUPATEN MERANGIN,
PROPINSI JAMBI
Endang Suryati dan M. Lutfi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : endangs@tekmira.esdm.go.id, lutfi@tekmira.esdm.go.id
SARI
Produksi penambangan bijih besi di Kabupaten Merangin, direncanakan antara 60.000 sampai dengan
400.000 ton per tahun. Kegiatan penambangan bijih besi, menimbulkan dampak positif bagi
pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk menghitung manfaat dan biaya dipergunakan Metode Valuasi
Kontingensi (Contingent Valuation Method). Manfaat dari kegiatan penambangan, yaitu adanya
peluang kerja untuk masyarakat lokal, hal ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja lokal sebesar
35,08% dapat terserap di kegiatan penambangan bijih besi, dengan penghasilan rata-rata Rp 1.500.000,-
per bulan/orang, maka jumlah penghasilan seluruh tenaga kerja lokal per bulan Rp 60.000.000,-..
Disamping itu manfaat yang diperoleh daerah, dari kegiatan penambangan tersebut, berasal dari pajak
dan retribusi sebesar Rp jadi total manfaat sebesar Rp 420.000.000,. Apabila dibandingkan dengan
biaya eksternalitas sebesar Rp 403.290.000,-, maka perbandingan manfaat dan biaya eksternalitas
adalah 1,04. Yang berarti manfaat lebih besar dari pada biaya eksternalitas.
Kata kunci : manfaat dan biaya, kegiatan penambangan bijih besi, metode valuasi kontingesi
ABSTRACT
Iron ore production is mine at Merangin regency to plan 60.0000 until 400.000 ton per year. Iron ore
mine activity is positive impact to arouse for region economic growth. Contingent Valuation Method
use for calculation of benefit and cost. Mine activities for benefit are local labor 35,08%, income
person Rp. 1.500.000,-/month. Local labor are total income Rp 60.000.000,- per month, tax and retri-
bution are Rp 420.000.000,-.Externalities cost are Rp 403.290.000,-. So benefit and externalities cost
comparative are 1:2.
Keywords: benefit and cost, iron ore mine activity, contingent valuation method
195 Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi
1. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi baik di negara industri
maupun di negara berkembang berdasarkan pada
sumber daya alam dan produktivitas sistem alami.
Pembangunan ekonomi mengandung arti
peningkatan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan
masyarakat yang diperoleh dari barang-barang dan
jasa-jasa konvensional, yang produksinya sering
memerlukan sumber daya alam dan sistem alami
yang produktif. Lagi pula, lingkungan wilayah
secara l angsung menyedi akan j asa yang
menyumbang pada peningkatan kesejahteraan
seperti tersirat pada pembangunan ekonomi.
Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi
sering diikuti dengan tekanan yang makin berat
pada sistem alami dan dampak negatif kualitas
lingkungan. Oleh karena itu, masalah yang penting
adalah melaksanakan kegiatan pembangunan
sedemikian rupa agar dapat melestarikan
produktivitas jangka panjang sistem alami agar
pembangunan berkel anj ut an dan dapat
minimumkan kerusakan kualitas lingkungan.(John
A. Dixon & Maynard M. Hufschmidt, 1986)
Rencana Kegiatan penambangan pasir besi di
Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi, tidak
terlepas dari tingginya permintaan akan komuditas
bijih besi, di pasar internasional.
Kegiatan eksplorasi bijih besi mendapat dukungan
dari pemerintah dalam upaya melakukan diversifikasi
produk ekspor guna meningkatkan devisa bagi
negara.
Salah satu lokasi cadangan bijih besi di Indonesia
terdapat di desa Pulau Layang, Kecamatan Batang
Mesumai, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi.
Berdasarkan studi kelayakan, produksi bijih besi
direncanakan mencapai 60.0000 400.000 ton per
tahun. Berdasarkan perhitungan cadangan, opera-
sional tambang diperkirakan akan berlangsung
sampai 2,3 tahun.
Mengingat dampak positif dan negatif yang
ditimbulkan cukup penting, maka diperlukan
analisis manfaat dan biaya yang diakibatkan oleh
kegiatan penambangan bijih besi.
Dampak positif yang timbul biasanya berhubungan
dengan pertumbuhan perekonomian daerah,
sedang dampak negatifnya adalah biaya kerusakan
lingkungan akibat penambangan bijih besi.
2. METODOLOGI
Untuk menghitung kajian manfaat dan biaya,
dipergunakan Metode Valuasi Kontingensi (
Contingent Valuation Method). Metode inii
merupakan metode valuasi Sumber Daya Alam
(SDA) dan lingkungan dengan cara menanyakan
langsung kepada masyarakat sekitar, tentang nilai
manfaat SDA dan lingkungan yang mereka
rasakan.( Kumpulan Materi Ekonomi Lingkungan
PSLH UGM Yogyakarta).
3. PEMBAHASAN
Lokasi Rencana Kegiatan
Secara administrasi pemerintah daerah, kegiatan
pertambangan bijih besi termasuk dalam wilayah
Kecamatan Bengalon dan Kecamatan Sangkulirang
Bangko, Kabupaten Merangin. Berdasarkan
pengamatan lapangan, lokasi rencana kegiatan
juga termasuk dalam Kecamatan Karangan dan
Kaubun yang merupakan wilayah pemekaran
Kecamatan Sangkulirag.
Lokasi studi berada di 3 (tiga) desa yaitu desa
Pulau Layang dan desa Rantau Alai di wilayah
kecamatan Batang Mesumai, serta desa Mentawak
Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin.
Desa Pulau Layang dan Kecamatan Batang
Mesumai merupakan desa dan kecamatan yang
relative baru sebagai kecamatan definitif, merupakan
pemekaran dan Kecamatan.Batang Mesumai.
Kependudukan
Jumlah penduduk di lokasi studi pada tahun 2007
adal ah 3.690 j i wa (Badan Pusat Stati sti k
Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi). Jumlah
penduduk desa Pulau Layang relatif lebih tinggi
yaitu 1.714 jiwa yang terdiri atas 874 jiwa laki-laki
dan 840 jiwa perempuan sedangkan yang terkecil
terdapat di desa Rantau Alay yaitu sebesar 621
jiwa yang terdiri atas 300 jiwa laki-laki dan 321
jiwa perempuan (Gambar 2).
Jumlah angkatan kerja produktif di desa-desa
lokasi studi relatif seimbang, secara kuantitatif
yang mempunyai angkatan kerja produktif terbesar
adalah di desa Pulau Layang yaitu 1.090 jiwa
196 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Gambar 1. Peta lokasi
Gambar 2. Jumlah penduduk di desa-desa
sekitar kegiatan penambangan
bijih besi
(63,6%) dari total penduduk, sedangkan di desa
Rantau Alai 53,41% dan desa Mentawak 57,21%.
Tingkat Pendidikan
Kualitas sumberdaya manusia masyarakat di
sekitar lokasi rencana kegiatan relatif rendah,
seperti terlihat pada Gambar 3. Pada umumnya
penduduk di l okasi studi memi l i ki ti ngkat
pendidikan tertinggi setingkat SD, yaitu Desa
Pulau Layang (79,3%), Desa Mentawak (63,7%)
dan Rantau Alay (46,2%). Persentase terbanyak
diantara desa-desa lokasi studi yang penduduknya
menamatkan pendidikan tertinggi sampai SLTA
adalah di Desa Rantau Alai sebesar 19,2% dan
Desa Mentawak sebanyak 12,3%.. Dari uraian
t erl i hat bahwa mot i vasi orang t ua unt uk
menyekolahkan anak-anaknya ketingkat yang lebih
tinggi di wilayah penelitian cukup tinggi. Hal ini
terlihat dari banyaknya anak-anak responden yang
mempunyai pendidikan setingkat SLTP dan SLTA,
walaupun jarak dari desa-desa ke lokasi sekolah
cukup jauh dan angkutan umum terbatas.
Gambaran ini menunjukan bahwa penduduk di
wilayah penelitian terdorong untuk membekali
197 Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi
pendidikan tinggi kepada anak-anaknya agar
dapat memasuki peluang kerja yang lebih baik
dibandingkan orang tua mereka.
pedagang (7,2%) dan buruh tani (5,5%). Di desa-
desa lokasi studi, hanya sebagian kecil Kepala
Keluarga yang memiliki pekerjaan tambahan.
Pekerjaan tambahan mereka, terutama masih di
sektor pertanian seperti buruh tani dan menggarap
lahan orang lain yang terdapat di desa mereka,
serta berdagang. Selain itu juga ada yang menjadi
buruh bangunan musiman di kota.
Pendapat Masyarakat
Untuk mengetahui pendapat masyarakat,
mengenai rencana pembangunan pertambangan
bijih besi, masyarakat diberi pertanyaan/kuesioner
mengenai manfaat dan resiko dari kegiatan
pertambangan ini. Hasil wawancara dengan
responden di lokasi studi memperlihatkan bahwa
seluruh responden di Desa Pulau Layang dan
Rantau Alai sebanyak 100% sudah mengetahui
rencana dari pembanguna pertambangan bijih
besi. Sedangkan penduduk Mentawak relatif lebih
kecil yang sudah mengetahui rencana tersebut,
yaitu sebanyak 10% saja. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.
Pada tabel 3 memperlihatkan sebagian besar
responden di lokasi studi (80,10%) menyatakan
tidak keberatan terhadap rencana pembangunan
pertambangan bijih besi yang akan melewati rumah
pemukiman mereka. Pada umumnya alasan tidak
keberatan adalah karena pertambangan tersebut
merupakan program pemerintahan dan untuk
kepentingan umum, serta proyek tersebut tidak
akan merugi kan masyarakat. Sedangkan
responden yang menyatakan keberatan terhadap
rencana pertambangan hanya 5%.
Berdasarkan kriteria responden di atas, pem-
bangunan pertambangan bijih besi dianggap oleh
penduduk akan memberikan keuntungan kepada
mereka. Dan yang menyatakan memberikan
keuntungan dengan adanya penambangan bijih
besi ini sebanyak 78,7% pada umumnya penduduk
menghubungkan keuntungan tersebut dengan akan
bertambahnya peluang kesempatan kerja, desa
jadi lebih ramai serta dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 4.
Hadirnya kegiatan pertambangan bijih besi, pada
satu sisi dianggap akan memberikan keuntungan
kepada masyarakat sekitarnya. Namun, disisi lain
pembangunan ini juga menimbulkan kekhawatiran
di kalangan penduduk. Berdasarkan tiga kriteria
responden yang tel ah di sebutkan di atas,
Gambar 4. Mata pencaharian di desa-desa
sekitar kegiatan penambangan
bijih besi
Gambar 3. Mata pencaharian di desa-desa
sekitar kegiatan penambangan
bijih besi
Selain itu dengan semakin ramainya kawasan
Kota Bangka dan seki tarnya, mendorong
penduduk untuk mendapatkan pendidikan formal
yang lebih baik agar dapat memasuki lapangan
pekerjaan tersebut.
Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian utama kepala keluarga di desa-
desa lokasi studi adalah di sektor pertanian bidang
perkebunan karet dan kelapa sawit. Di desa-desa
sekitar lokasi penambangan sebagian besar
mengandalkan kehidupannya dari pertanian
(petani) yang digeluti oleh 80% penduduk,
198 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 1. pengetahuan responden terhadap rencana pembangunan pertambangan bijih besi
Pengetahuan tentang rencana pembangunan
Tahu Tidak tahu Tidak menjawab Jumlah
Jml % Jml % Jml % Jml %
Pulau Layang 50 100 0 0 0 0 50 100
Rantai Alai 20 100 0 0 0 0 20 100
Mentawak 1 10 8 80 1 10 10 100
Sumber : Data Primer, diolah
Tabel 2. Sumber informasi tentang rencana pembangunan pertambangan bijih besi
Sumber Informasi tentang rencana pembangunan
Desa Pemilik lahan Aparat Desa Tim survey Tidak menjawab Total
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Pulau Layang 50 4 4 8 6 12 38 76 98 100
Rantai Alai 0 0 0 0 2 10 18 90 20 100
Mentawak 0 0 0 0 1 10 9 10 10 100
Sumber : Data Primer, diolah
Tabel 3. Sikap responden terhadap rencana pertambangan bijih besi
Sikap terhadap rencana pembangunan
Desa
Pulau
Rantau Alai Mentawak
Jumlah
Layang
Jml % Jml % Jml % Jml %
Ya, tidak keberatan 36 72 16 80 3 30 55 68,5
Ya, tdk keberatan,krn unt kepentingan umum. 4 8 0 0 0 0 4 5
Terserah warga lain 0 0 0 0 2 20 2 2,5
Tidak keberatan,desa jadi rencana penambangan 2 4 0 0 0 0 2 2,5
Tidak keberatan, asal perhatikan warga 0 0 1 5 0 0 1 1,3
Tidak keberatan, ada peluang usaha 2 4 0 0 0 0 2 2,5
Terserah/tidak peduli, rencana penambangan 0 0 0 0 1 10 1 1,3
Keberatan/tidak setuju 2 4 1 5 1 10 4 5
Tidak menjawab 8 4 2 10 3 30 9 11,3
Total 50 100 20 100 10 100 80 100
Sumber ; Data Primer, diolah
199 Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi
Tabel 5. Kekhawatiran responden terhadap rencana penambangan bijih besi
Keterangan
Desa
Pulau
Rantau Alai Mentawak
Jumlah
Layang
Jml % Jml % Jml % Jml %
Lahan tani berkurang 17 34 4 20 1 10 22 27,5
% Polusi udara Jml kebisingan 1 2 4 20 5 50 10 12,5
Sedikit terima tenaga ocal 3 6 1 5 0 0 4 5
Air sungai terganggu 10 20 6 30 1 10 17 21,5
% Pembayaran ganti Jml rugi lambat 1 2 2 10 0 0 3 3,8
Jalan jadi rusak 6 12 1 5 0 0 7 8,8
Tidak ada kerugian 1 2 0 0 0 0 1 1,3
Tidak tahu 11 22 2 10 3 30 16 20
Total 50 100 20 100 10 100 80 100
Sumber : Data Primer, diolah
pembangunan pertambangan bijih besi dianggap
oleh penduduk akan menimbulkan kekhawatiran
kepada mereka. Sebanyak 78,7% responden
memberikan rasa kekhawatiran dengan adanya
rencana penambangan ini. (Tabel 5).
Dengan adanya pembangunan penanbangan bijih
besi di daerah inidiharapkan tidak menimbulkan
kerugian bagi penduduk. Pada umumnya masyarakat
menginginkan bahwa pembangunan dan pengope-
rasian penambangan bijih besi dapat memberikan
peluang usaha baru bagi mereka, seperti ditunjuka
pada Tabel 6 dibawah ini.
Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang diperlukan dalam pengangkutan bijih
besi dari lokasi penambangan ke lokasi stockpile
sementara dan selanjutnya ke lokasi pengolahan
di pelabuhan antara lain ;
Fasilitas jalan dan jembatan
Fasilitas pelabuhan untuk pemuatan bijih besi
dalam tongkang
Fasilitas pembangkit tenaga listrik
Tabel 4. Keuntungan dari rencana penambangan bijih besi
Keterangan
Desa
Pulau
Rantau Alai Mentawak
Jumlah
Layang
Jml % Jml % Jml % Jml %
Memberi sumbangan Jml pada kegiatan desa 6 12 1 5 1 10 8 10
Peluang kerja proyek Jml 20 40 6 30 6 60 32 40
Desa jadi ramai 0 0 1 5 0 0 1 1,3
Peluang kerja & desa jadi ramai 1 2 0 0 1 10 2 2,5
Harga tanah & desa jadi ramai 0 0 1 5 0 0 1 1,3
Desa jadi ramai transport lancar 1 2 1 5 0 0 2 2,5
Ekonomi meningkat 7 14 4 20 0 0 11 13,8
Peluang kerja transport lancar 8 4 1 5 0 0 5 6,3
Ganti rugi tinggi 0 0 1 5 0 0 1 1,3
Tidak tahu 11 22 4 20 2 20 17 21,3
Total 50 100 20 100 10 100 80 100
Sumber : Data Primer, diolah
200 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Fasilitas pasokan air bersih
Bangunan pendukung operasi tambang
Bangunan khusus bahan peledak
Fasilitas penanganan dan penyimpanan bahan
bakar
Fasilitas penanganan limbah
Bijih besi hasil penambangan (ROM) diangkut
dengan dump truck menuju lokasi mesin pemecah
bijih besi (crushing plant) di stockpile tambang
yang lokasinya berjarak 37 km, merupakan tempat
penimbunan (stockpile) sementara yang dibuat
berdampingan dengan tempat penambangan. Luas
lokasi penimbunan bijih besi di dekat areal
penambangan lebih kurang 12 ha, agar dapat
menampung sampai dengan 100.000 ton bijih besi
hasil penambangan (ROM).
Bijih besi dari stockpile tambang diangkut dengan
dump truck menuju ke tempat pengolahan (coal
processing plant/CPP) di lokasi pelabuhan Jambi
melewati jalan yang sudah diperkeras berjarak +
15. km dari blok penambangan Area 1 dan Area
2. Kapasitas tampung stockpile di pelabuhan
adalah 100 ton bijih besi ROM, dengan tinggi
penimbunan maksimal 5 (lima) meter sehingga
dibutuhkan areal penimbunan seluas + 104 Ha.
Jalur jalan pengangkutan darat dari lokasi tambang
ke pelabuhan menggunakan jalan desa, jalan
kabupaten dan jalan provinsi yang juga diman-
faatkan oleh penduduk setempat sebagai akses
transportasi darat, selain dipakai oleh beberapa
perusahaan perkebunan yang saat ini beroperasi di
daerah sekitar rencana kegiatan. Jalan dari tambang
ke desa ini masih merupakan jalan tanah yang
sebagian kecil sudah dilakukan perkerasan dengan
kemiringan maksimum 15. Lebar jalan adalah 12
m, dengan saluran air akan dibuat di kedua sisinya.
Jalan kabupaten dan provinsi sudah dilapisi aspal.
Jenis Sumber Energi/Bahan Bakar
Sumber energi berasal dari pembangkit listrik
utama dengan daya 2 x 65 MW/jam ditambah
dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
dan genset prime mover berbahan bakar solar
sebesar 2 x 250 KVA.
Debit dan Sumber Air
Kebutuhan air dalam kegiatan penambangan
terutama digunakan untuk penyemprotan daerah
berdebu, pencucian peralatan angkut dan muat
bijih besi, bengkel dan MCK bagi perumahan/
mess, dan coal preparation plant. Air yang
diperlukan dapat dicukupi dari S. Rapak dan anak
S. Rapak yang mengalir di daerah penambangan
dengan debit 600 lt/detik pada saat peralihan
musim kemarau ke musim hujan. Pada saat
kemarau panjang debit aliran agak menyusut
sampai 200 liter/detik dan bisa mencapai 2000
liter/detik di musim penghujan. Air sungai tersebut
cocok dipakai untuk kegiatan konstruksi dan
Tabel 6. Harapan responden berdasarkan posisi rumah/lahan terhadap rencana
penambangan bijih besi
Keterangan
Desa
Pulau
Rantau Alai Mentawak
Jumlah
Layang
Jml % Jml % Jml % Jml %
Kampung TK lokal Jml lebih banyak 24 48 6 30 5 50 35 43,8
Bantuan fas. Listrik 4 8 2 10 0 0 6 7,5
Ekonomi meningkat 2 4 4 20 0 0 6 7,5
Lebih perhatikan Jml lingkungan 2 4 1 5 3 30 6 7,5
Ganti rugi lancar 2 4 5 25 0 0 7 8,8
Sungai tidak tercemar 8 16 1 5 0 0 9 11,3
Jalan desa diperbaiki 0 0 1 5 0 0 1 1,3
Setelah ditambang Jml dijadikan pertanian 3 6 0 0 1 10 4 5
Tidak tahu 5 10 0 0 1 10 6 7,5
Total 50 100 20 100 10 100 80 100
Sumber : Data Primer, diolah
201 Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi
industri, bahkan bila disaring, diendapkan dan
disterilisasi dapat dipakai sebagai bahan air minum.
Kegiatan Lain di Sekitar Lokasi Rencana Kegiatan
Daerah rencana tambang semula merupakan ar-
eal HPH dari beberapa perusahaan kayu yaitu PT.
Georgia Pacific, PT. Sangkulirang, PT. Segara
Timber, PT. Gempu dan PT. Rashua Indochem.
Di lokasi rencana kegiatan pertambangan bijih besi
tidak terdapat kegiatan sejenis yang berbatasan
langsung dengan daerah rencana penambangan
bijih besi. Kegiatan lain di sekitar daerah rencana
penambangan bijih besi adalah :
a. Permukiman penduduk
Di sebelah timur terdapat permukiman SP I
Bumi Etam, SP II Bumi Rapak, SP VI Mata
Air dan SP VII Bukit Permata.
b. Perkebunan kelapa sawit
Di sebelah timur terdapat perkebunan kelapa
sawi t PT. Tel en dan PT. Sawi t Pri ma
Nusantara dan PT. Bunta Samba, di sebelah
utara juga terdapat lahan perkebunan kelapa
sawit milik PT. Telen.
c. Lahan Hutan Tanaman Industri
Di sebel ah sel atan rencana kegi atan
penambangan bijih besi terdapat hutan
produksi kayu milik perusahaan pemegang
HPH PT. Meranti Mitra Persada, sedangkan
di sebelah timur HPH milik PT. Gawi Mulya.
Manfaat yang diperoleh bagi Daerah dan Masyarakat
Kesempatan Kerja
Pendapatan Daerah
Peluang Usaha
Kerusakan/kerugian :
Gangguan kesehatan karena debu dari
transportasi pengangkut bijih besi
Menurunnya sumber air
Manfaat kegiatan pertambangan bijih besi
1. Peluang Kerja
Pada tahap operasi klasifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan, dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi dan jumlah tenaga kerja
Pekerjaan Pendidikan Pengalaman Jumlah
General Manager Sarjana Tambang >15 th 1
Manajer Tambang Sarjana Tambang >10 th 1
Sekretaris D-3 Sekretaris >3 th 1
Sub-Total 3
Kadiv. Perencanaan S1 Tambang >8 th 1
Supervisor Perencanaan Tambang Lanjutan S1 Tambang >5 th 1
Supervisor pengembangan S1 Geologi >8th 1
Staff ( Mining eng ) S1 Tambang > 3 th 1
Staf ( Geologist ) S1 Geologi >3 th 1
Staff ( surveyor) D3 Geodesi >3 th 1
Staff ( operator komputer) SLTA + Kursus >3 th 1
Staf ( juru gambar) STM + Training >2 th 2
Helper 8
Sub-Total 17
Kadiv. Operasional Tambang S1 Tambang >8 th 1
Supervisor penambangan S1 Tambang >3 th 1
Supervisor pengangkutan S1 Tambang >8 th 1
Supervisor Pemetaan D3 Geodesi >3 th 1
Supervisor Perawatan STM /D3 dan Training >3 th 1
Staf (Pengawasan Tambang) S1 Tambang >3 th 1
Staf Pengawas Transportasi STM Tambang /teknik >3 th 1
Staff (Surveyor) STM Tambang/ geodesi >3 th 1
Staff perawatan STM /SLTA dan Training >3 th 1
202 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 7. Lanjutan ...
Pekerjaan Pendidikan Pengalaman Jumlah
Staff ( pengawas O/B) STM /SLTA >3 th 1
Operator Pompa SLTA + Training >3 th 2
Helper 9
Sub-Total 21
Kadiv. CPP S1 Mesin >8 th 1
Supervisor processing S1/D3 teknik >5 th 1
Supervisor quality control S1/D3 kimia >5 th 1
Staf CPP STM /SLTA/D3 >5 th 2
Operator genset STM Listrik + Training >3 th 2
Opertor cpp STM Mesin + Training >3 th 2
Helper 5
Sub-Total 14
Kadiv Admini. & Keuangan S1 Ekonomi/Manajemen >5 th 1
Kepala Personalia dan Umum S1 Hukum >3 th 1
Kepala Keuangan D3 Akuntansi >3 th 1
Kepala pemasaran S1 Ekonomi/Manajemen >3 th 1
Kepala Keamanan D-3 Purnawirawan TNI >3 th 1
Kepala Logistik/Gudang D-3 Ekonomi/Manajemen >3 th 1
Pengawas Camp SLTA >5 th 1
Kepala Humas D3 >3th 1
Staf/Pembantu Umum SLTA >3 th 1
Staf/Pembantu LogistikLanjutan SLTA +Training >3 th 1
Staf Pembantu Keuangan SLTA >3 th 1
Operator Komputer/Juru tik SLTA >3 th 2
Petugas Satpam SLTP Keatas >3 th 4
Juru Masak SD Keatas >3 th 3
Supir SLTA >3 th 4
Helper 9
Sub-Total 33
Kadiv. Lingkungan K3 S1 >5th 1
Kepala Lingkungan S1 >3th 1
Kepala K3 S1 >3th 1
Staff lingkungan SLTA/D3 >3th 2
Staff K-3 SLTA/D3 >3th 3
Staff Comdev SLTA/D3 >3th 2
Helper 5
Sub-Total 15
Total 103
Jika dilihat dari tabel diatas, dan jumlah penduduk
menurut pendidikannya, maka penduduk sekitar
yang dapat direkrut adalah lulusan sekolah
menengah atas atau sekolah kejuruan. Jumlah yg
diperlukan 40 orang, dan semuanya dapat diambil
dari penduduk setempat.
Dengan gaji sebesar Rp 1.500.000,- , maka total
pendapatan yang diterima masyarakat sekitar
sebesar 40 orang x Rp 1.500.000,- juta = Rp
60.000.000,-
203 Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi
Manfaat kegiatan pertambangan bijih besi
no Komponen penerimaan Jumlah (Rp)
1 Peluang kerja 40 org a Rp 1.500.000,- 60.000.000,-
2 Retribusi 240 hr x Rp 5.000 x 50 60.000.000,-
3. Pajak dll 300.000.000,-
Total manfaat 420.000.000,-
Biaya eksternalitas
no Komponen Biaya Jumlah (Rp)
1 Kesehatan 12 x Rp 5.000 x 185 11.070.000,-
2 Persediaan air bersih 300 hr x 738 x Rp 800,- 177.120.000,-
3 Hilangnya pohon 1434 ph x Rp 150.000,- 215.100.000,-
Total 403.290.000,-
Dari hasil perhitungan diatas, dapat disimpulkan manfaat lebih besar dari biaya eksternalitas, dengan
selisih Rp 16.710.000,-
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Jumlah penduduk usia produktif setempat
yang dapat direkrut di kegiatan penambangan
bijih besi sekitar 35,08 %, dengan demikian
kegiatan penambangan bijih besi sangat
berperan dalam meningkatkan pendapatan
penduduk sekitar.
2. Adanya peningkatan pendapatan masyarakat
dan peningkatan pendapatan daerah yang
berasal dari pajak-pajak, maka dampak dari
kegiatan penambangan batubara untuk
pertumbuhan perekonomian daerah bersifat
positif.
3. Manfaat dari kegiatan penambangan bijih besi
bagi penduduk sekitar lebih besar, bila
dibandingkan dengan biaya eksternalitas.
4.2. Saran
Untuk memaksimalkan dampak positif, perlu di
lakukan upaya pengelolaan, terutama dalam
peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah.
Sedangkan untuk meminimalkan dampak negatif,
perlu dilakukan upaya pengelolaan, terutama yang
menyangkut masalah hajat masyarakat pada
umumnya seperti keperluan air bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2007, Kabupaten Merangin
Dalam Angka 2007
Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah
Mada, Kumpulan Materi Ekonomi Lingkungan.
2008
John A. Dixon. Penterjemah, Prof. Dr. Sukanto
Reksohadiprojo, M.Com. Teknik Penilaian
Ekonomi Terhadap Lingkungan. Gajah Mada
University Press.1993.
204 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
MINYAK SINTETIK DARI PENCAIRAN BATUBARA
DAN PENINGKATAN MUTUNYA
SEBAGAI BAHAN BAKAR
Muh Kurniawan
1
, Leni Herlina
1
, Novie Ardhyarini
1
, Nining Sudini Ningrum
2
1)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)
Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp. 021 - 7222583 Fax. 021 - 7226011
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : ninings@tekmira.esdm.go.id
SARI
Teknologi pencairan batubara telah dikembangkan oleh Puslitbang Tekmira. Batubara cair (synthetic
crude) yang dihasilkan tersebut mirip dengan minyak bumi yang masih perlu diolah dan ditingkatkan
mutunya agar memenuhi syarat sebagai bahan bakar minyak. Tujuan penelitian ini adalah adalah
mengkarakterisasi minyak hasil pencairan batubara, serta meningkatkan mutunya agar dapat memenuhi
kriteria sebagai bahan bakar setara dengan bahan bakar dari minyak bumi.
Minyak sintetik merupakan minyak yang berat dan termasuk klasifikasi aromatik menurut kriteria
UOP (Nelson, Watson dan Murphy), serta tergolong sebagai naftenik-naftenik menurut klasifikasi US
Bureau of Mines. Perolehan distilasi menunjukkan minyak sintetik ini lebih tepat diarahkan untuk
menjadi solar berkadar sekitar 65 % berat. Dalam penelitian ini telah dipreparasi katalis monofungsional
Ni-Mo/Al2O3 dengan konsentrasi Ni dan Mo masing-masing 3 dan 12%, luas permukaan 109,35 m
2
/
g, volume pori 0,2675mL/g, dan kadar sulfur setelah presulfiding 6 %-wt. Hidrotreating dilakukan terhadap
fraksi solar ringan 180-300C dengan katalis NiMo/Al2O3 tersebut pada alat autoclave pada tiga kondisi
perbandingan hidrogen dan umpan. Kondisi HDT-3 yang perbandingan hidrogen terhadap umpan pal-
ing besar memberikan hasil yang paling baik yaitu penurunan spesific gravity dari 0.9664 menjadi
0,9247, kadar karbon dari 87,3 % menjadi 80,82 %, kadar nitrogen dari 0,58 % menjadi 0,17 %, sulfur
(S) dari 0,079 % menjadi 0,016 %, serta kenaikan rasio molar hidrogen/karbon (H/C) dari 1,30 menjadi
1,42.
Produk hidrotreating fraksi solar minyak sintetik tersebut mempunyai rasio hidrogen/karbon yang
diperoleh tersebut masih belum mendekati rasio hidrogen/karbon solar dari minyak bumi yaitu sebesar
1,75. Untuk itu penelitian ini akan dilanjutkan dengan mengoptimalkan kondisi operasi hidrotreating
dan komposisi katalisnya.
Kata kunci : minyak sintetik, peningkatan mutu, hidrotreating
205 Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya ... Muh Kurniawan, dkk.
ABSTRACT
Coal liquefaction technology have been developed by Puslitbang Tekmira, resulting a liquefied coal or
synthetic crude oil. The synthetic crude is similar to petroleum crude oil, that is necessary to be
refined and upgraded to meet fuel specification. The purpose of this work is charaterizing synthetic
crude and upgrading its quality to meet fuel criteria equivalent to conventional petroleum fuel.
The synthetic crude is a heavy oil, classified as aromatic oil according to UOP ((Nelson, Watson dan
Murphy), and classified as naphthenic-naphthenic according to US Bureau of Mines (Lane-Garton).
Having 65%wt of distillation yield at 180-350C, this synthetic crude is suitable to produce gasoil.
Hydro-treating experiment is conducted on light gasoil fraction (180-300C) by using autoclave reactor
and Ni-Mo/Al2O3 catalyst. The catalyst is a mono-functional Ni-Mo/Al2O3 catalyst having Ni and Mo
concentration of 3 and 12%wt respectively, surface area of 109,35 m
2
/g, pore volume of 0,2675mL/g,
and sulfur content of 6 %-wt (after presulfiding).The experiment is conducted in three different condi-
tions of hydrogen to feed ratio. HDT-3 condition with largest H2/feed ratio gave the best result. It is
observed from the decreasing of spesific gravity from 0.9664 to 0,9247, carbon content from 87,3 %
to 80,82 %, nitrogen content from 0,58 % to 0,17 %, sulphur content from 0,079 % to 0,016 %, and
increasing of hidrogen/karbon (H/C) molar ratio from 1,30 to 1,42.
The hydrogen/carbon (H/C) ratio of this hydro-treated gasoil is still lower than that of petroleum gasoil,
which is 1.75. For this reason, this experiment will be followed up by optimizing the operating condi-
tions of hydro-treating and the catalyst composition.
Keywords: synthetic crude oil, quality upgraded, hydro-treating
1. PENDAHULUAN
Keterbatasan cadangan minyak bumi mendorong
berbagai upaya untuk menemukan energi alternatif.
Sehubungan dengan cadangan batubara nasional
cukup besar maka pencairan batubara secara
langsung merupakan salah satu peluang yang
dapat menggantikan peranan minyak bumi sebagai
bahan bakar cair untuk mesin transportasi dan
industri. Proses pencairan dinilai sesuai untuk
meningkatkan nilai tambah batubara Indonesia
yang sebagian besar bermutu rendah.
Penelitian pencairan batubara telah dikembangkan
oleh PPP-Tekmira Bandung. Batubara cair (syn-
thetic crude) yang dihasilkan identik dengan
minyak bumi sehingga masih perlu diolah dan
ditingkatkan mutunya agar memenuhi persyaratan
sebagai bahan bakar minyak. Peningkatan mutu
batubara cair tersebut dengan proses hidrotreating
diteliti oleh PPPTMGB Lemigas.
Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi
cai ran hasi l pencai ran bat ubara, sert a
meningkatkan mutunya agar dapat memenuhi
kriteria sebagai bahan bakar setara dengan bahan
bakar cair dari minyak bumi. Untuk itu, dalam
penelitian ini dilakukan karakterisasi batubara cair,
proses fraksinasi, preparasi katalis Ni-Mo/Al
2
O
3
dan penelitian hidrotreating terhadap fraksi solar
dari batubara cair tersebut. Karakterisasi fraksi
batubara cair, preparasi katalis Ni-Mo/Al
2
O
3
dan
penelitian hidrotreating fraksi batubara cair akan
disajikan pada makalah ini.
2. PERCOBAAN
Karakterisasi sifat-sifat fisika batubara cair (syn-
thetic crude) dilakukan menurut metode yang
lazim dilakukan untuk minyak bumi. Untuk
pengujian spesific gravity dilakukan dengan
metode IP 189-190, untuk viskositas kinematis
digunakan metode ASTM D-445, untuk pengujian
titik nyala digunakan metode PMCC ASTM D-93,
dan pengujian Reid Vapor Pressure (RVP) dengan
ASTM D-323(ASTM,2005).
Proses fraksinasi dilakukan dengan distilasi True
Boiling Point (TBP) menurut metode ASTM D-
2892. Pada distilasi ini juga dilakukan pemotongan
fraksi pada rentang temperatur 250-275C dan 391-
419C. Temperatur ini setara dengan rentang
temperatur pada distilasi hempel yang digunakan
untuk pengklasifikasian hidrokarbon menurut Lane-
Garton(Riazi, 2005).
206 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Katalis hidrotreating monofungsional Ni-Mo/Al2O3
dipreparasi dengan mengimpregnasi support alu-
mina (Al2O3) dengan inti logam nikel dari garam
nitrat dan logam molibdenum dari amonium
molibdat. Setelah impregnasi dilanjutkan dengan
kalsinasi pada suhu 400C selama 4 jam.
Komposisi katalis hidrotreating adalah kadar nikel
dan molibdenum masing-masing sebesar 3 dan
12 %

berat, serta kadar sulfur 6 % berat dari
presulfiding(Kokayeff, 2004).
Sebanyak 40 gram katalis disulfurisasi dengan 18,5
gram dimetil disulfida dengan pelarut solar
komersial sebanyak 200mL. Reaktor yang
digunakan adalah autoclave bervolume 500mL
yang j uga akan di pakai untuk penel i ti an
hidrotreating. Suhu operasi presulfiding adalah
300C selama 200 menit dengan tekanan awal gas
hidrogen 40 bar.
Proses hidrotreating dilakukan terhadap fraksi 180-
300C dari minyak sintetik dengan katalis
monof ungsi onal Ni -Mo/ Al 2O3 yang t el ah
dipresulfiding. Reaktor yang digunakan adalah
autoclave dengan kapasitas 500 mL. Sistem
pengadukan adalah horizontal shaking dengan
kecepatan 37-150 rpm dan jarak pengadukan
100mm. (Gambar 1).
disajikan pada Tabel 1.
Produk reaksi hidrotreating fraksi (180-300
0
C)
minyak sintetik kemudian dikarakterisasi sifat
fisikanya antara lain spesific gravity dan viskositas
kinematik. Komposisi kimia ditentukan dengan alat
CHNS-O Analyzer (Carbon, Hydrogen, Nitrogen,
Sulfur-Oxygen Analyzer) (Bhattacharryya, 2005).
Gambar 1. Autoclave
Tabel 1. Kondisi operasi hidrotreating
Parameter Satuan HDT-1 HDT-2 HDT-3
Umpan mL 250 100 50
Katalis gr 25 10 5
Tekanan Bar 40 40 40
Suhu
o
C 390 390 390
Waktu Menit 80 80 80
Vol. H2 mL 250 400 450
Pada penelitian ini dilakukan tiga kondisi operasi
hidrotreating dengan memvariasikan perbandingan
jumlah umpan dengan gas hidrogen. Adapun
perbandingan katalis terhadap umpan dibuat tetap
sebesar 10% berat. Suhu, waktu reaksi, dan
tekanan awal juga tetap untuk ketiga kondisi.
Secara keseluruhan, ketiga kondisi operasi
3. HASIL DAN DISKUSI
3.1. Karakteristik Batubara cair
Hasil karakterisasi batubara cair dapat dilihat pada
Tabel 2.
Minyak sintetik ini mempunyai spesific gravity (SG)
1.04 dan API 4.6, termasuk kategori minyak berat
dalam klasifikasi yang lazim diterapkan dalam
minyak bumi konvensional. Viskositas kinematik
minyak sintetik ini berkisar pada 5 cSt dan pour
point-nya di bawah nol celsius sehingga tidak
memerlukan perlakuan khusus pada suhu ruang.
Nilai K-UOP sebasar 9.4 menempatkan minyak
sintetik ke dalam klasifikasi aromatik menurut
kriteria UOP (Nelson, Watson dan Murphy).
Sementara itu, hasil pengukuran API pada fraksi
distilat 250-275C dan 391-419C menggolongkan
karakteristik minyak sintetik ini sebagai Naftenik-
Naftenik menurut Lane-Garton. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa minyak hasil pencairan
batubara ini mengandung banyak senyawa
aromatik (Riazi, 2005).
Dua sifat penguapan yaitu Reid Vapor Pressure
(RVP) sebesar 0 psi dan flash point di atas 100C
menunjukkan bahwa kadar fraksi ringan dalam
batubara cair ini sedikit. Hasil ini terlihat juga pada
kurva distilasi TBP dalam Gambar 2.
207 Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya ... Muh Kurniawan, dkk.
Tabel 3. Karakteristik Katalis Hidrotreating
Parameter Satuan Nilai
Konsentrasi : - Ni %-wt 3.0
- Mo %-wt 12.0
Luas Permukaan m
2
/g 109,3
Volume Pori mL/g 0,268
Kadar Sulfur %-wt 5,796
Umpan HDT-1 HDT-2 HDT-3
Gambar 3. Umpan dan produk percobaan
hidrtrotreating dengan kondisi
HDT-1, HDT-2, dan HDT-3
Kurva ini memberikan gambaran titik didih awal
(IBP) yang relatif tinggi yaitu di atas 150C. Sampai
dengan suhu 180C, fraksi yang diperoleh hanya
sekitar 0.5% berat. Kurva kemudian terlihat
mendatar pada rentang 250 sampai 350C, yang
menunjukkan perolehan fraksi solar yang paling
besar yaitu sekitar 65% berat. Fraksi berat di atas
350C hingga titik didih akhir pada 520C diperoleh
sekitar 30% berat, dengan menyisakan residu
sekitar 4% berat.
Berdasarkan kurva distilasi TBP, minyak sintetik
tersebut cukup baik diarahkan untuk pembuatan
gasoil, dengan perolehan sekitar 65% dari total
minyak sintetik. Sehubungan dengan fraksi solar
(180-300C) yang diperoleh ini berkadar aromatik
t i nggi , maka di l akukan penel i t i an unt uk
peningkatan mutunyadengan proses hidrotreating.
Karakteristik katalis hidrotreating yang telah
dipreparasi secara laboratorium, yaitu konsentrasi
Ni-Mo, luas permukaan, volume pori, dan kadar
sulfur katalis mendekati karakteristik katalis
hidrotreating komersial (Tabel 3) (Bhattacharryya,
2005).
Tabel 2. Karakteristik batubara cair
Parameter Satuan Nilai
Spesific Gravity 60/60F 1.040
API 4.6
Viskositas Kinematik
@ 100F cSt 5.513
@ 140F 4.354
Titik Tuang C -20
Flash Point PMCC C 105
Reid Vapor Pressure Psi 0.0
K-UOP 9.4
Karakteristik Lane-Garton
Naftenik-
Naftenik
Gambar 2. Kurva distilasi TBP
batubara Cair
3.2. Proses Hidrotreating
Proses hidrotreating dilakukan pada tiga kondisi
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1. Dari ketiga
kondisi tersebut, yaitu HDT-1, HDT-2 dan HDT-3
berturut-turut memiliki rasio H
2
terhadap umpan
semakin besar. Secara visual, hasil percobaan
hidrotreating dengan ketiga kondisi dapat dilihat
pada Gambar 3.
Ketiga produk hidrotreating tersebut menunjukkan
perubahan warna dibandingkan dengan umpannya,
yaitu warna produk menjadi lebih terang, di mana
kondisi HDT-3 memberikan hasil yang paling baik
(Tabel 4) (Armstrong,1982).
208 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
%, kadar nitrogen dari 0,58 % menjadi 0,17 %,
sulfur (S) dari 0,079 % menjadi 0,016 %, serta
kenaikan rasio hidrogen/karbon (H/C) dari 1,30
menjadi 1,42.
Untuk memperoleh rasio hidrogen/karbon setara
solar dari minyak bumi yaitu sebesar 1,75, maka
proses hidrotreating fraksi 180-300C tersebut
masih perlu ditingkatkan kondisi operasinya
dengan pengoptimalan komposisi katalis.
DAFTAR PUSTAKA
Annual Book of ASTM Standards, Vol 05.02, 2005
Armstrong P., Hydro-treating coal-derived liquid
distillation fractions. 1, Study of single-stage
treated products for transport fuel use, Fuel,
vol. 61, 1982, 1051-1057.
Bhattacharryya K.G., Anup K. Talukdar, Cataly-
sis in Petroleum and Petrochemical Industries,
Narosa Publishing House, India, 2005.
Jankowski A., Werner Doehler and Ulrich Graeser.,
Upgrading of syncrude from coal, Fuel, vol 61,
1982, 1032-1037
Kokayeff, P., (2004), Chapter 8.3 UOP Uniofining
Technology, Handbook Of Petroleum Refin-
ing Processes 3rd Ed, 8.31-8.41
Riazi, M. R., Characterzation and Properties of
Petroleum Fractions, ASTM, 2005
Whitehurst D. Duayne, Sidney E. Butrill Jr, Francis
J. Derbyshire, Malvina Farcasiu, George A.
Odoerfer and Leslie R. Rudnick, New charac-
terization techniques for coal-derived liquids,
Fuel, vol. 61, 1982.
Hasil penelitian proses penghidromurnian fraksi
180 300
o
C dari minyak sintetik dengan bantuan
katalis Ni-Mo/Al
2
O
3
dengan kadar sulfur 6,0 %
berat pada tiga jenis kondisi operasi menunjukkan
peningkatan mutu fraksi 180-300
o
C tersebut
dengan diamatinya penurunan karakteristik produk
hidrotreating yaitu antara lain:
spesific gravity dari 0.9664 menjadi 0,9247,
kadar karbon (C) dari 87,3 %berat menjadi
80,82 %berat,
nitrogen (N) dari 0,58 %berat menjadi 0,17
%berat
sulfur (S) dari 0,079 %berat menjadi 0,16
%berat.
dan adanya kenaikan rasio hidrogen/karbon
(H/C) dari 1,30 menjadi 1,42.
Untuk memperoleh rasio hidrogen/karbon (H/C)
setara solar dari minyak bumi yaitu H/C = 1,75,
maka proses penghidromurnian fraksi 180-300
o
C
berkadar aromatik besar tersebut masih perlu
di t i ngkat kan kondi si operasi nya dengan
pengoptimalan komposisi katalis (Whitehurst, 1982
dan Jankowski, 1982)
4. KESIMPULAN
Batubara cair ini tergolong minyak berat dengan
klasifikasi aromatik menurut kriteria UOP (Nelson,
Watson dan Murphy), serta tergolong sebagai
Naftenik-Naftenik menurut klasifikasi Lane-Garton.
Minyak sintetik ini mengandung fraksi solar (180-
300C) sebesar 30% berkadar aromatik tinggi.
Hasil percobaan hidrotreating terhadap fraksi so-
lar ringan 180-300C menunjukkan perbaikan
karakteristik produk solar tersebut, di mana HDT-
3 memberikan hasil yang paling baik, dengan
penurunan spesific gravity dari 0.9664 menjadi
0,9247, kadar karbon (C) dari 87,3 % menjadi 80,82
Tabel 4. Karakterisasi produk hidrotreating
Parameter Umpan HDT-1 HDT-2 HDT-3
Kinematik Visc. (40
o
C) 5.316 3,725 3,320 2,961
SG 60/60 0.9664 0,9574 0,9365 0,9247
Carbon (%-wt) 87,30 84,53 86,67 80,82
Hidrogen (%-wt) 9,47 9,32 9,97 9,57
Nitrogen (%-wt) 0,58 0,41 0,30 0,17
Sulfur (%-wt) 0,079 0.027 0,026 0,016
Oksigen, by diff. 2,56 5,71 3,03 9,42
Rasio H/C 1,30 1,32 1,38 1,42
209 Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.
BAHAN BAKAR MINYAK SINTETIK DARI
PENCAIRAN BATUBARA
A.S. Nasution*, Miftahul Huda**, Abdul Haris*, Leni Herlina* dan Nining Sudini Ningrum**
* Pusat Teknologi Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)
Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp. 021 - 7222583 Fax. 021 - 7226011
** Pusat Teknologi Penelitian dan Pengembangan Mineral dan Batubara
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373
e-mail : huda@tekmira.esdm.go.id, ninings@tekmira.esdm.go.id
SARI
Indonesia mengolah minyak mentah adalah sebesar 1,075 juta barel/hari sedangkan produksi nasional
hanya sekitar 0.75 juta barel/hari dan kekuranganya masih diimport. Cadangan batubara Nasional
pada tahun 2008 adalah sebesar 104,756 milliar ton yang sebagian dapat dikonversi menjadi minyak
sintetik untuk mensubtitusi minyak mentah import tersebut. Pencairan batubara menjadi minyak sintetik
dapat dilakukan secara langsung (direct coal liquefaction) yaitu Brown Coal Liquefaction (BCL) dan
NEDOL, teknologi dari Jepang atau secara tidak langsung (indirect coal liquefaction) yaitu coal to
liquid technology (CTL) teknologi CTL-SASOL, Afrika Selatan, melalui proses Ficsher-Tropsch gas
sintes (CO + H2) dari produk gasifikasi batubara (bituminous coal). Produk minyak sintetik dari proses
pencairan batubara dapat ditingkatkan dengan pengembangan katalis dan optimalisasi kondisi operasi.
Minyak sintetik tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar minyak sintetik dengan proses katalitik
pada kilang minyak bumi. Proses pencairan batubara menjadi minyak sintetik dengan proses BCL
dan Ficsher-Tropsch serta pengolahan minyak sintetik tersebut menjadi bahan bakar minyak sintetik
akan dibahas dalam makalah ini.
Kata kunci: minyak sintetik, pencairan batubara dan proses Fischer-Tropcsh
ABTSRACT
Indonesia

s petroleum refinery processes is about 1.075 million barrels/day of the crude oils, supplied
by national production of about 0.75 million barrels/day and plus the imported crude oil. National coal
reserves are about of 104.756 billions ton in the 2008 and the part of this coal can be converted into
synthetic crude to substituted the imported crude oil. Coal liquefaction into the synthetic crude can be
direct coal liquefaction, such as brown coal liquefaction (BCL) and NEDOL aJapans technology, or
indirect coal liquefaction or coal to liquid technology (CTL) such as CTL technology of SASOL in
South Africa over Fischer Tropsch processes of syn-gas (CO+H2) from gasification of bituminous
coal. The synthetic crude of this coal liquefaction can be increased by the catalyst developments and
the optimum of the operating conditions of the coal liquefaction processes. This synthetic crude can
be converted into the synthetic fuel oil by catalytic process of the petroleum refinery. Coal liquefaction
by BCL and Ficher-Tropsch processes into the synthetic crudes and their conversion into the syn-
thetic fuel oil, will be discussed briefly in this paper.
Key words: synthetic fuel oil, coal liquefaction and Fischer-Tropcsh processes.
210 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN
Indonesia mengolah minyak mentah sebesar 1,075
juta barel/hari di mana produksi nasional hanya
sekitar 0.75 juta barel/hari dan kekuranganya
masih diimport (Dirjen Migas, 2006). Cadangan
batubara nasional cukup besar yaitu sekitar
104,756 milliar ton pada tahun 2008 dengan jenis
low rank coal sekitar 60 % dari total cadangan,
yang sebagian batubara tersebut dapat dicairkan
menjadi minyak sitentik untuk mensubtitusi
minyak mentah impor tersebut, seperti terlihat
pada Gambar 1 (Sukardj o, 2006; Jef f ey
Mulyono,2006).
Umpan proses hidrogenasi batubara adalah suatu
suspensi dari campuran: batubara, katalis, vehicle
solvent, hydrogen donating, hidrogen, yang
dimasukan ke dalam slurry reactor di mana molekul
batubara direngkah menjadi produk minyak
sintentik. Proses Fischer-Tropsch adalah suatu
reduct i ve pol ymeri zat i on react i on yang
mengkonversi gas sintesis (CO + H2) menjadi
produk utama hidrokarbon normal parafin dan nor-
mal olefin dengan bantuan katalis (Charles,
N.Satterfield, tanpa tahun)
Pembentukan produk minyak sintetik dari proses
pencairan batubara (proses BCL dan proses

PencairanBatubaradanRantaiPasokanBBM
ImporCrudeOil ImporBBM
CrudeOil
CSO
BBM
Untukdomestik
BBM
UntukEkspor
PencairanBatubara
BatubaraIndonesia
padaberbagailokasi
KilangMinyak
MasuknyaCSOdalamrantaipasokanBBMterutamaakanberdampakpositif
dalampenyediaanBBMdomesticdanmengurangiimpor
Gambar 1. Pencairan Batubara
Pencairan batubara menjadi minyak sintetik dapat
dilakukan secara langsung ( direct coal liquefac-
tion) yang masih dalam taraf demonstration plant,
yaitu brown coal liquefaction (BCL) dan NEDOL
yang merupakan teknologi Jepang melalui proses
hidrogenasi batubara yang hidrogennya dari
produk gasifikasi batubara. Sedang pencairan
batubara secara tak langsung (indirect coal lique-
faction) atau coal to liquid technology (CTL)
merupakan t eknol ogi CTL SASOL t el ah
dioperasikan sejak tahun 1950 di Afrika Selatan,
melalui proses Fischer Tropsch gas sistesis ( CO
+ H2) dari produk gasifikasi batubara (bituminous
coal) (Supriyadi, tanpa tahun).
Fischer-Tropsch) dengan berbagai jenis katalis dan
pengolahan minyak sintetik tersebut menjadi
bahan bakar minyak sintentik akan disajikan dalam
makalah ini.
2. PENCAIRAN BATUBARA MENJADI
MINYAK SINTETIK
Pencairan batubara menjadi minyak sintetik terdiri
atas dua jenis proses berikut :
Proses pencairan batubara secara langsung (
direct coal liquefaction), yaitu antara lain brown
coal liquefaction (BCL) oleh Teknologi Jepang
211 Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.
melalui proses hidrogenasi batubara yang
masih dalam taraf demonstration plant.
Proses pencairan batubara secara tak
langsung (indirect coal liquefaction) melalui
proses Fischer Tropsch gas sintes ( CO+ H2)
dari produk gasifikasi batubara (bitumineous
coal) atau Coal to Liguid Technology, oleh
teknologi CTL-SASOL di Afrika Selatan yang
telah beroprasi sejak tahun 1955.
2.1. Proses Hidrogenasi Batubara
Batubara muda (low-rank coal) mengandung kadar
oksigen tinggi dengan banyak grup fungsional
berantai yang sangat reaktif mudah pecah oleh
panas, serta mengandung grup aromatik dengan
berat molekul relatif rendah, sehingga proses
pencairannya dapat menghasilkan perolehan
minyak sintetik tinggi. Gas hidrogen yang dipakai
pada proses pencairan batubara ini diperoleh dari
produk gasifikasi batubara seperti terlihat pada
Gambar 2 (Takao. K, dkk, 2002; R. Staker, N.V.P.
Kelvin., 1994; A.S. Nasution, dkk., 2002).
Stabilisasi radikal-radikal tersebut dengan
beberapa reaksi radikal adalah berikut (Charles
N. Satterfield, tanpa tahun):
Radikal bergabung dengan radikal hidrogen (
H*) yang dihasilakan dari hidrogen donating
tanpa atau dengan bantuan katalis, atau dapat
juga terbentuk dari gas hidrogen dengan
bantuan katalis., R* + H* RH
Perengkahan lanjut dari radikal-radikal besar
seperti asphaltene, preasphaltene menjadi
radikal kecil yang lebih stabil seperti minyak
sintetik dan olefin.
C*n H2n + 1 C*x H2x + 1 + CYH2Y
di mana n = x + y
Pengabungan radikal-radikal besar menjadi
molekul yang kompleks (kokas).
R*1 + R*2 R1 R2
Produk minyak sintetik dari proses pencairan
batubara dengan hydrogen donating saja tanpa
katalis diamati menurun secara cepat dengan
waktu reaksi , hal i ni di perki rakan karena
keterbatasannya dalam pelepasan radikal hydro-
gen tersebut (R. Staker, N.V.P. Kelvin., 1994).
Proses pencairan batubara dengan memakai
katalis monofungsional berinti aktif logam, seperti
FeS2 dapat mengaktifkan kembali hydrogen do-
nating yang telah melepaskan radikal hydrogennya
dengan reaksi hidrogenasi, dan juga dapat
mempercepat terbentuknya radikal hidrogen dari
gas hidrogen (Takau. K, dkk., 2002).
Pemutusan ikatan karbon di antara dua cincin
aromatik dengan radikal hidrogen baik yang
berasal dari hydrogen donating maupun yang
berasal dari gas hidrogen dengan bantuan katalis
Gambar 2. Model Molekul Zat Organik
Batubara
Umpan batubara pada proses hidrogenasi batubara
muda ini dalam bentuk suspensi yaitu suatu
campuran dari : bubuk batubara < 60 mesh, katalis
sub-micron, hydrogen donating, hidrogen dan ve-
hicle solvent dimasukan ke dalam suatu slurry
reactor. Mula-mula molekul batubara akan pecah
secara termal menjadi beberapa jenis molekul
radikal ( R*=C*
n
H
2n + 1
) seperti asphaltene,
preasphaltene, dan oil (minyak sintetik) seperti
terlihat pada Gambar 3 (Charles N. Satterfield,
tanpa tahun; Peter A. Hertan, dkk, 1985).
Gambar 3. Konversi Batubara
212 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
monofungsional tersebut cukup sulit, sehingga
kadar hidrokarbon poliaromatik (rasio atom C/H)
dari produk minyak sintetik tersebut diamati relatif
lebih tinggi dari pada fraksi yang di kandung oleh
minyak bumi (Takau. K, dkk., 2002; Ronald H.
Wolk., 1979).
Katalis bifungsional berinti aktif logam dan asam,
seperti Ni-Mo/Al2O3-SiO2 dapat memecah cincin
poliaromatik dari produk minyak sintetik tersebut
melalui pembentukan senyawa antara ion
karbonium ( R
+
) dengan bantuan inti aktif asam
katalis baik Lewis maupun Bronsted seperti halnya
pada proses hidrorengkah fraksi minyak bumi
seperti terlihat pada Gambar 4 (R. Staker, N.V.P.
Kelvin., 1994; J.F Lepage, 1987).
2.2. Proses Fischer-Tropsch Gas Sintes
(CO + H2)
Proses Fischer-Tropsch dengan memakai katalis
konvensional monofungsional Fe atau Co berinti
aktif logam saja, akan mengkonversi gas sintes
melalui suatu reductive polymerijation reaction
menjadi produk utama normal hidrokarbon parafin
dan normal olefin dengan sedikit produk samping
senyawa organik oksigen seperti alkohol (Charles
N. Satterfield, tanpa tahun).
Pengaruh chain probability factor () adalah () :
rp / rp + rt (rp dan rt = laju propogasi dan terminasi)
pada distribusi produk utama hidrokarbon (minyak
sintetik) tersebut disajikan pada Gambar 6 (Charles
N. Satterfield, tanpa tahun).
Modifikasi katalis Fischer - Tropsch yaitu katalis
bifungsional berinti dua jenis aktif (logam dan
asam) yaitu antara lain Fe/Ziolit dan Co/Al2O3 SiO2
akan mengkonversi senyawa olefin-1 menjadi ole-
fin-2 melalui senyawa antara molekul ion karbonium
(R
+
) yang lebih sulit berpolimerisasi menjadi
produk normal hidrokarbon panjang
+H
+
-H
+
C = C C C
+
C C C C C C = C C
Ion karbonium beratom karbon C 6 dapat
membentuk ion karbonium siklis. yang akan
Gambar 4. Reaksi hidrokonversi
Vehicle solvent dapat menaikan kelarutan dan
pendispersian bubuk batubara di dalam suspensi
umpan, sehingga percampuran antara molekul
batubara dengan katalis akan meningkat, dan juga
solvent tersebut dapat menghambat terjadinya
pengabungan (repolymerization) antara radikal-
radikal besar menjadi molekul besar (kokas).
Pengaruh vehicle solvent pada perolehan produk
minyak sintetik disajikan pada Gambar 5 (Peter
A. Hertan, dkk, 1985).
Keasaman katalis, m mol/g. kat . 10
2
M
i
n
y
a
k

s
i
n
t
e
t
i
k
,

m
a
f
Gambar 5. Pengaruh Keasaman Katalis
Pada Minyak Sintetik
213 Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.
terkonversi menjadi hidrokarbon aromatik yaitu :
+H
+
+H
+
C
6
H
12
C
6
H
13

+
Proses Fischer-Tropsch gas sintesa dengan
katalis bifungsional dapat menghasilkan produk
utama berkadar banyak iso-olefin rendah (C
4
C
7
)

dengan sedikit produk samping metana seperti
terlihat pada Gambar 7 dan Tabel 1(R. Staker,
N.V.P. Kelvin., 1994; Ronald H. Fisher, Richard
E. Hildebrand, 1979).
3. BAHAN BAKAR MINYAK SINTETIK
Minyak sintetik dari pencairan batubara secara
langsung mengandung banyak hidrokarbon
aromatik sehingga pengolahan fraksi berat minyak
sintetiknya menjadi produk solar memerlukan
proses hidropemurnian tinggi atau proses
hidrorengkah. Bensin dan solar diperoleh dari
masing-masing fraksi ringan dan fraksi berat dari
fraksi minyak sintetik tersebut dengan bantuan
proses proses katalitik seperti terlihat pada Tabel
2 (Charles N. Satterfield, tanpa tahun; J.F Lepage,
1987). Proses-proses katalitik yang dioperasikan
Gambar 6. Pengaruh Alfa Pada Prosentase Produk
Jumlah atom karbon
F
r
a
k
s
i

m
o
l

r
e
a
l
t
i
f
Catatan : a. Co/silica b. Co(1)/alumina silica dan c. Co (2)/alumina silica
Gambar 7. Hubungan antara jumlah atom karbon pada fraksi mol relatif
214 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Pengaruh Kadar MnO Pada Katalis Fe-MnO/Zeolit
pada kilang minyak yaitu:
Dimerisasi fraksi gas (C
3
/ C
4
)
Isomerisasi fraksi nafta ringan (C
5
/ C
6
)
Reformasi fraksi nafta berat (C
7
180
o
)
Hidrotreating fraksi berat (180
o

350
o
C )
Hidrorengkah fraksi berat (>350
o
C)
Mekanisme reaksi dari proses katalitik tersebut
(kecuali proses hydrotreating) membentuk
senyawa antara ion karbonium (R
+
) dengan
bantuan inti aktif asam dari katalis bifungsional
(kecuali proses dimerisasi) yang kemudian
masing-masing bereaksi, yaitu: bergabung
Tabel 1. Produk Minyak Sintetik Dengan Katalis Fe/Zeolit
Tabel 2. Pembuatan Bahan Bakar Minyak Sintetik
Umpan Proses Katalistik/Produk Katalis
Fraksi Gas Olefin C2/C4 Dimerisasi/Dimer H2SO4, HF
Fraksi Nafta Ringan C5/C6 Isomerisasi/Isomerat Bifungsional
Pt pada Al2O2-Cl atau zeolit
Fraksi Nafta Berat C7 - 180 C Reforming/Reformat Bifungsional
Pt/Rh atau Pt/Sn pada Al2O2-Cl
Fraksi Sedang 180 - 350 C Hidrotreating/Kerosin + Solar Monofungsional
Ni/Mo atau Ni/W pada Al2O2
Fraksi Berat > 350 C Hidrorengkah/Kerosin + Solar Bifungsional
Ni/Mo atau Ni/W pada Al2O2-SiO2
atau zeolit
215 Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.
Gambar 8. Mekanisme Reaksi Dengan Katalis Bifungsional
Gambar 9. Reaksi Hidrokonversi Parafin
(dimerisasi), isomerisasi, siklisasi (reforming), dan
pecah (hidrorengkah) menjadi produk produk
utamanya seperti terlihat pada Gambar 8,dan
Gambar 9 (J.F Lepage, 1987).
4. PENUTUP
Minyak sintetik dari proses pencairan batubara
secara langsung ( direct coal liquefaction) atau
secara tak langsung (indirect coal liquefaction)
dapat dikonversi menjadi bahan bakar minyak
sintetik setara bensin, kerosin dan solar dengan
memakai proses proses katal i ti k yang
dioperasikan di kilang minyak bumi.
Proses katalitik memegang peranan penting pada
pencairan batubara dan konversi minyak sintetik
tersebut menjadi bahan bakar minyak sintetik.
Minyak sintetik dari proses pencairan batubara
dapat meningkatkan pemanfaatan potensi batubara
dan juga mensubtitusi sebagian impor minyak
mentah dan bahan bakar minyak.
216 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
DAFAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Minyak Dan Gas Bumi
Kebijakan Dan Kebutuhan Bahan Bakar, Semi-
nar Nasional Pencairan Batubara Ladang
Minyak Masa Depan, Jakarta 13 Januari 2006.
Sukardjo, Pusat Sumber Daya Geologi, Sumber
Daya Batubara Indonesia, Seminar Nasional
Penciran Batubara Ladang Minyak Masa
Depan, Jakarta 13 Januari 2006.
Jeffey Mulyono, Penyedian dan Kebutuhan
Batubara untuk Bahan Baku Pencairan
Batubara, Semi nar Nasi onal Penci ran
Batubara Ladang Minyak Masa Depan,
Jakarta 13 Januari 2006.
Supriyadi, Ass. Deputi Menko Perekonomian
Kebijakan Pemerintah Dalam Program Aksi
Pencairan Batubara.
Charles N. Satterfield, Synthetic Gas And Asso-
ciated Processes Pp 419-470, 2th Heteroge-
neous Catalysis Industrial Practice, Mc Graw-
Hill I Nc, New York.
Takau kaneko And Eiichiro Makito, Satoru Sugita,
Noriyuki, Okuyama And Masaaki Tamura, Liq-
uefaction Of Banko Coal With Limonite Cata-
lyst, (b3), Indonesian Japan Coal Liguefaction
Seminar, Jakarta 22 Februari 2002.
R. Staker and N.V.P. Kelvin. hydrogenation Char-
acteristics Of Australian Coals- Respons Of
Oil Yields To Process Conditions, pp 16-19
Gas Conversion, 1994 Elservier Science B.V.
A. S. Nasut i on, Oberl i n Si dj abat , Ni ni ng
Sudiningrum Dan Chairil Anwar, Katalis Limo-
nite Soroako Pada Prosese Pencairan
Batubara Banko, Seminar Pencairan Batu Bara
Banko Indonesia 2002, Jakarta 12 Desember
2002.
Peter A. Hertan, W. Roy Jackson and Frank B.
Lorkins, hydrogenation of brown coal, Fuel,
Vol 64, September 1985, PP 1251-1254
Ronald H. Wolk, Overview of Liquefaction Process
Technology, pp 287, (273-290), Symposium
Paper, Advances in Coal Utilization Technol-
ogy, Kentucky, 1979.
J.F Lepage, Production Of Lube-Oil Blending Stock
Through Hydrotreating, pp 435-466 Applied
Heterogeneous Catalysis, Edition Technip,
Paris 1987.
Ronald H. Fisher and Richard E. Hildebrand. Trans-
portation Fuels Synthetic Gas, pp.335, (331-
343) Symposium Paper, Advances in Coal
Utilization Technology, Kentucky, 1979.
E
L N
A
E
R R
E
G
N

D M A
A N Y S A
U D R M E B
DEPARTEMEN ENERG DAN SUMBER DAYA MNERAL
BADAN PENELTAN DAN PENGEMBANGAN ENERG DAN SUMBER DAYA MNERAL
PUSAT PENELTAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOG MNERAL DAN BATUBARA
Jl. Jenderal Sudirman No. 623 Bandung 40211
Telp. 022 - 6030483
Fax. 022 - 6003373
e-mail : info@tekmira.esdm.go.id
Website : http://www.tekmira.esdm.go.id

Anda mungkin juga menyukai