Anda di halaman 1dari 6

Mengembangkan Kepercayaan sebagai Upaya Mencegah/Mengatasi Kekerasan dan Agresi pada Masyarakat

Rara Ririn Budi Utaminingtyas Staf pengajar Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang Abstract: Violence is aggression from human to other human beings, from one group into other groups. Aggression is phisicaly and verbal behaviour. The effects of the aggression are in the form of destructive, painful, or the victims death. Aggresions are caused by prejudice. The primary sources of prejudice are group differences, like ethnic and race differences or minority and majority groups. There are many human efforts to minimize aggression desire such as law enforcement to protect innocence people and moral growth with humanity values, nonaggresive behavior development, and develop emphaty competence.Trust Development is other way to minimize agrression because distrust to other people or institution can make social crisis. The distrust to individual or institutions is caused by no alignment of individual and institutional behaviour with social values and destruct social identity. Keywords: trust development, violence, and aggression

PENDAHULUAN Bangsa Indonesia saat ini bukan lagi dikenal sebagai bangsa yang selalu ramah, tetapi bangsa yang marah, ditunjukkan dengan banyak terjadi kekerasan pada masyarakat. Mulai kekerasan dari tingkatan individu kepada individu lain seperti meningkatnya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), hingga kekerasan yang terjadi di antara kelompok. Banyak bentuk terjadinya kekerasan mulai dari tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, bentrok antar desa, bentrok antar kelompok/warga misalnya ketidakpuasan hasil PILKADA, bentrrok dengan aparat seperti dalam berbagai kasus penggusuran pedagang kaki lima misalnya, hingga yang berawal dari masalah SARA seperti yang telah terjadi di berbagai daerah Kasus Temanggung dan kasus Cikeusik. Kekerasan yang terjadi di masyarakat yang selama ini nampaknya diterima sebagai sesuatu yang biasa, sekarang sudah menjadi sesuatu yang memprihatinkan, bahkan mengerikan karena seringkali berujung pada berbagai tindakan anarkis hingga terjadi kerusuhan dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia secara sia-sia. Seiring dengan meningkatnya kasus kekerasan terutama kasus kekerasan antar Agama yang terjadi seperti diungkap dalam Koran Tempo edisi 9 Februari 2011, Nomor 3440 Tahun X, bahwa pada tahun 2008 ada 17 kasus, 2009 terjadi 18 kasus, dan 2010 melonjak menjadi 43 kasus mendorong keluarnya Perintah Presiden untuk menghentikan kekerasan yang terjadi. Seperti dikutip Daniel Sparingga staf khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan aparat melumpuhkan kelompok-kelompok yang bertindak anarkistis atas nama agama dengan segala cara yang mungkin. Presiden minta kekerasan harus dihentikan dengan segala ongkos dan risikonya. Menurut Daniel, peristiwa kekerasan menjadi indikator yang jelas bahwa fondasi kerukunan bangsa tengah terancam. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan juga berpendapat serupa mengatakan bila pelaku kekerasan tidak ditindak tegas kekerasan akan menular dan akhirnya akan dianggap lumrah. Kekerasan merupakan suatu bentuk agresi dari manusia satu kepada manusia lain, dari satu kelompok kepada kelompok lain, yang paling luas dari negara satu kepada negara lain. Agresi merupakan tingkah laku manusia yang merupakan bagian dari sifat paling hakiki

106

Mengembangkan Kepercayaan sebagai Upaya Mencegah/Mengatasi Kekerasan dan Agresi pada Masyarakat (Rara Rinin Budi Utaminingtyas)

dari manusia dari masa kanak-kanak hingga masa tua. Seorang anak yang menjerit keraskeras untuk menyatakan kemarahannya sudah merupakan suatu bentuk agresi. Korban agresi biasanya dialami orang-orang yang tidak berdaya seperti anak-anak, perempuan, kelompok minoritas, dan bangsa lain dalam bentuk penjajahan. Seperti kita lihat dari kenyataan sehari-hari lingkungan sekitar kita atau media massa agresi manusia atas sesamanya dalam berbagai bentuk tidak menunjukkan gejala mereda bahkan cenderung meningkat. Lebih memprihatinkan lagi agresi manusia atas sesama-nya tidak pandang bulu, atau memilih tempat dan waktu. Untuk mengurangi nafsu agresi manusia dan melindungi orang-orang yang tidak bersalah berbagai upaya telah dilakukan mulai dari penegakan hukum hingga penanaman nilai-nilai perikemanusiaan. Dalam artikel ini akan dibahas kekerasan sebagai suatu bentuk agresi, dan usaha mencegah mengatasinya dengan mengembangkan Kepercayaan.

Pengertian Agresi
Menurut Robert Baron (1977) dalam E Koeswara (1988) agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku meliputi (1) tujuan untuk melukai atau mencelakakan termasuk mematikan atau membunuh), (2) individu yang menjadi pelaku, (3) individu yang menjadi korban dan (4) ketidakinginan korban menerima tingkah laku pelaku. Moore dan Fine (1968) dalam E Koeswara (1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan baik secara fisik atau verbal terhadap individu lain atau terhadap obyek-obyek. Berkowitz (1969) dalam E Koeswara (1988) menyatakan agresi sebagai emosi yang mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz membedakan agresi ke dalam dua macam pertama, agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara mencapai tujuan tertentu. Kedua, agresi benci (hostile aggression) disebut juga agresi impulsif (impulsive aggresive) adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti atau agresi tanpa tujuan, selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Sedangkan Dollard, Dodo, Miller, Mowrer, dan Sears (1939) dalam Triandis (1994) agresi suatu bentuk tingkah laku yang bertujuan melukai orang lain secara langsung. Brigham (1991), Buss (1973) serta Zimbardo dan Ruch (1976) dalam Nurul Sulistyani, dkk. (1993) mendefinisikan agresi sebagai suatu perilaku yang menyebabkan orang lain sakit fisik atau perasaannya. Pada umumnya individu yang menjadi sasaran akan berusaha untuk menghindar dari rasa sakit.

Faktor-faktor Pengarah dan Pencetus Agresi


Menurut E Koeswara (1988) ada beberapa faktor pencetus agresi: 1. Frustrasi, adalah situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan misal dalam beberapa kasus kekerasan berkaitan Pilkada atau penggusuran. 2. Stress, menurut Engle (1953) Stres menunjuk kepada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme. Misal pada beberapa kasus kejahatan dipicu oleh rasa stress yang dialami pelaku. 3. Deindividuasi atau depersonalisasi adalah menyingkirkan mengurangi peranan beberapa aspek individu, seperti identitas diri atau personalitas individu yang menambah keleluasaan individu untuk melakukan agresi, dalam kerusuhan massa misalnya deindividuasi menimbulkan terjadi anonim, di mana individu tidak harus bertanggung jawab terhadap agresi yang dilakukannya, karena kekerasan itu dilakukannya bersamasama orang lain, orang banyak.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

107

4. Kekuasaan dan Kepatuhan, kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan yakni pengabdian atau kepatuhan, kekuasaan yang pada dasarnya suci cenderung disalahgunakan kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (coercive) memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap agresi. Misalnya kasus bentrok yang terjadi antara pengunjuk rasa dengan aparat dalam berbagai unjuk rasa. 5. Efek senjata, dengan adanya modernisasi senjata semakin memicu munculnya agresi pada manusia, seperti kasus agresi militer dari satu negara pada negara lain 6. Provokasi, Wolfgang (1968) dari penelitiannya mengemukakan bahwa tiga perempat dari 600 kasus pembunuhan terjadi karena adanya provokasi dari korban yang menunjukkan tindakan provokatif dalam bentuk perlawanan aktif maupun pasif. 7. Alkohol dan obat-obatan, dampak penggunaan alkohol dan obat-obatan memicu agresi dapat memicu termasuk agresi seksual, karena dapat menstimulasi dorongan seksual. 8. Tayangan kekerasan melalui media massa, sudah banyak diteliti bahwa tayangan kekerasan dapat memicu agresi pada orang yang menonton.

Prasangka dan Agresi


Gordon W Allport (dalam E Koeswara, 1988) mengartikan prasangka sebagai seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk atau memandang negatif orang lain atau kelompok lain secara tidak rasional. Sedangkan Sherif dan Sherif menyatakan prasangka menunjuk kepada sikap tidak menyenangkan yang dimiliki anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain didasarkan norma-norma yang mengatur perlakuan terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Prasangka tidak terlepas dari stereotip, Lippmann mengatakan stereotip sebagai gambar-gambar dalam pikiran, stereotip adalah kecenderungan seseorang atau sekelompok orang untuk menampilkan gambaran atau gagasan yang keliru tentang sekelompok orang lainnya. Sumber utama yang menghasilkan prasangka adalah perbedaan antar kelompok, yakni perbedaan etnis atau ras, perbedaan posisi dalam kuantitas anggota yang menghasilkan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, dan perbedaan ideologi. Sumber lain dari prasangka adalah kejadian historis. Prasangka yang bersumber pada perbedaan etnis dapat ditemukan pada masyarakat heterogen yang merangkum berbagai kelompok etnis yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda seperti masyarakat Indonesia. Sedangkan prasangka karena perbedaan ras (juga agama) ditemukan pada masyarakat yang multirasial. Perbedaan yang bersumber pada perbedaan ras sering menyatu dengan prasangka yang bersumber pada perbedaan dalam posisi mayoritas dan minoritas. Prasangka tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi muncul bila terdapat faktor faktual yang menjadi pencetusnya. Faktor faktual yang mudah menimbulkan prasangka adalah persaingan antar kelompok dalam sektor-sektor yang vital, yakni politik, sosial budaya, dan ekonomi. Prasangka umumnya berkembang aktual pada kelompok yang secara kuantitatif menempati posisi mayoritas, tetapi kalah bersaing dengan kelompok minoritas pada sektor-sektor vital seperti sektor ekonomi. Persaingan yang menghasilkan pada salah satu pihak atau akan menimbulkan prasangka pada kelompok yang fustrasi itu. Pembahasan prasangka dalam kaitan dengan agresi tidak bisa terlepas dari Doktrin Keunggulan kelompok yaitu sekumpulan gagasan yang mengarahkan sekelompok orang kepada keyakinan bahwa mereka adalah kelompok yang memiliki kelebihan atau unggul (superior) dibanding dengan kelompok-kelompok lainnya. Secara umum sikap prasangka bisa terbentuk pada diri individu melalui dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pembentukan prasangka secara langsung adalah pembentukan prasangka pada diri individu yang mengalami kontak (persaingan atau konflik) langsung dengan individu lain yang menjadi obyek prasangka. Pembentukan prasangka tidak langung individu membentuk prasangka berdasarkan informasi dari individu-individu lain dalam kelompoknya yang berperan sebagai pembentuk sikap, atau dari media massa. Dari uraian tersebut jelas bahwa prasangka adalah sebuah sikap yang mudah terbentuk pada orang-orang awam dari kalangan sosial ekonomi lemah yang memiliki

108

Mengembangkan Kepercayaan sebagai Upaya Mencegah/Mengatasi Kekerasan dan Agresi pada Masyarakat (Rara Rinin Budi Utaminingtyas)

kecenderungan berfikir hitam -putih dalam menghadapi dunia sosial yang merasa frustrasi karena kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapinya atau merasa tidak puas terhadap kehidupan ekonomi, politik, serta memiliki kecenderungan mencari kambing hitam sehubungan perasaan frustrasinya. Kemunculan konsekuensi prasangka adalah terjadinya tingkah laku agresi. Prasangka digunakan sebagai alibi sangkaan untuk membenarkan hasrat agresif ataupun pengungkapan hasrat agresif tersebut ke dalam bentuk tingkah laku agresif aktual.

Mencegah dan Mengatasi Agresi


Menyaksikan kenyataan bahwa agresi manusia atas sesamanya tidak pernah mereda bahkan cenderung meningkat baik agresi yang bertaraf individual maupun yang bertaraf kelompok atau agresi kolektif. Untuk mengurangi dan mengatasi nafsu agresi manusia telah berbagai upaya dilakukan manusia mulai dari pembuatan aturan hukum, dan penegakkan hukum untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah. Pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai perikemanusiaan melalui penanaman moral, pengem-bangan tingkah laku nonagresi, dan pengembangan kemampuan memberikan empati. Berikut ini beberapa cara pengendalian tingkah laku agresi: 1. Pemberian Hukuman. Tujuan pemberian hukuman kepada pelaku agresi adalah memberikan pelajaran agar mereka jera atau tidak mengulangi tingkah laku yang sama pada masa mendatang. Di samping itu pemberian hukuman juga ditujukan agar individuindividu lain yang tidak atau belum melakukan agresi tidak mencontoh tingkah laku agresi yang sudah dilakukan para terhukum. Jadi hukuman sendiri pada dasarnya memiliki fungsi ganda pengendalian sekaligus pencegahan. 2. Pengurangan Frustrasi. Fakta dan data telah cukup membuktikan bahwa frustrasi merupakan salah satu faktor pencetus agresi yang paling berperan. Oleh karena itu pengurangan frustrasi merupakan tindakan masuk akal sebagai usaha pengendalian agresi. Selama manusia berkebutuhan tetapi juga berkemampuan terbatas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau berketerbatasan dalam mengatasi hambatanhambatan yang merintangi atau menggagalkan pemenuhan maka manusia tidak terlepas dari kemungkinan frustrasi. 3. Pengawasan dan pembatasan senjata. Dengan senjata manusia bisa dan sering melakukan agresi yang ekstrem, oleh karena itu perlu pengawasan dan pembatasan senjata. 4. Pengawasan dan Pembatasan Tontonan Agresif. Telah cukup jelas bahwa tontonan yang mempertunjukkan tingkah laku agresif atau film yang menampilkan adegan-adegan kekerasan memainkan peranan tidak saja sebagai pembentuk agresi tetapi juga sebagai pengarah kemunculan agresi itu. 5. Pengawasan dan pembatasan Obat-obatan dan Alkohol

Membangun Kepercayaan untuk mengatasi Kekerasan dan Agresi


Krisis yang terjadi di Indonesia saat ini sudah melanda semua aspek kehidupan, karena banyaknya masalah yang muncul yang tidak segera dapat dipecahkan. Termasuk di dalamnya masalah Psikologis, akar dari semua krisis adalah masalah psikologis yaitu kepercayaan. Ketidakpercayaan terhadap perbankan menyebabkan krisis moneter, ketidakpercayaan terhadap pemerintah menyebabkan krisis politik, ketidakpercayaan terhadap lembaga ekonomi menyebabkan krisis ekonomi, dan ketidakpercayaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat menyebabkan krisis sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber utama dari krisis adalah ketidakpercayaan (Faturochman, 2000). Krisis sosial yang tersebut menimbulkan terjadinya berbagai kekerasan dan agresi dalam masyarakat. Cara untuk mengatasi krisis sosial adalah dengan upaya mengembali-kan kepercayaan dengan membangun kembali kepercayaan. Menurut Bradach dan Eccles (dalam Faturohman, 2000) dalam organisasi dikenal tiga mekanisme kontrol yaitu harga, kekuasaan ,dan kepercayaan. Harga memegang peranan Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

109

dalam kehidupan ekonomi, kekuasaan memegang peranan dalam kehidupan politik, sedangkan kepercayaan memegang peranan penting dalam relasi sosial. Ahli Psikologi Sosial melihat kepercayaan dalam hubungan antar individu dan pada level kelompok (kecil). Oleh karena itu kepercayaan didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, di mana di dalamnya tercakup risiko yang berasosiasi dengan harapan itu. Artinya, bila seseorang mempercayai orang lain maka ketika hal itu tidak terbukti ia akan menerima konsekuensi negatif seperti merasa dikhianati, kecewa dan marah (Lewicki dan Bunker dalam Faturohman, 2000). Definisi ini dirumuskan berdasarkan anggapan bahwa yang menentukan tingkat kepercayaan satu pihak pada pihak lain adalah disposisi individu, situasi, dan pengalaman atau sejarah hubungan kedua pihak. Kepercayaan pada orang lain dibangun dengan berbagai cara. Dengan cara apapun kepercayaan dibentuk maka proses ini harus menyentuh empat dimensi pokok kepercayaan yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian, dan reliabilitas (Mishra, dalam Faturohman 2000). Seorang pasien yakin dokter dapat menyembuhkan penyakitnya karena adanya kepercayaan kompetensi. Dimensi keterbukaan sering disejajarkan dengan kejujuran yang digunakan individu sebagai daya tarik bahwa dirinya dapat dipercaya. Dimensi kepedulian sebagai bagian dari kepercayaan berkaitan langsung dengan keadilan sosial. Kepedulian merupakan bentuk kontrol terhadap oportunisme atau interes pribadi, karena secara moral interes pribadi dibenarkan, namun yang lebih penting adalah mekanisme untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Kepercayaan bisa terbentuk melalui kesan pertama yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini termasuk dalam membangun kepercayaan. Beberapa ahli seperti Kramer & Tyler, Meyerson, Weick dan Kramer (dalam Faturohman, 2000) sependapat bahwa kepercayaan yang kuat terbentuk dari prose hubungan sosial yang terjalin lama dan terus menerus. Dalam kondisi yang demikian sangat dimungkinkan adanya tes terhadap pihak-pihak yang akan dipercayai. Dengan mengetahui reliabilitas pihak kedua maka risiko yang harus ditanggung pihak pertama dengan mempercayai pihak kedua juga dinilai lebih kecil. Oleh karena itu ia dapat lebih mempercayainya. Dalam wacana publik hal-hal yang negatif seperti ketidakpercayaan lebih banyak ditekankan dibanding yang positif seperti kepercayaan. Keadilan dan kejujuran sepertinya dilupakan oleh anggota masyarakat ketika hal itu dalam keadaan normal atau baik. Sebaliknya ketika muncul kasus ketidakadilan atau ketidakjujuran, begitu banyak anggota masyarakat membicarakan dan pada level tertentu dapat dikatakan ikut menilainya. Karenanya dalam wacana publik ketidakpercayaan lebih kentara daripada kepercayaan. Menurut Bies dan Tripp (dalam Faturohman, 2000) dimata publik ketidakpercayaan terhadap individu atau lembaga terjadi karena dua hal pokok. Pertama, terjadi ketidaksesuaian antara perilaku individu atau lembaga (tercermin dari kinerjanya) dengan nilai-nilai sosial. Mereka yang melakukan itu dianggap melanggar civic order yang secara detail dapat dirinci: 1. Melanggar aturan berupa a) melanggar aturan formal, b) memanipulasi aturan, dan c) mengingkari kontrak 2. Menodai kehormatan a) tidak bertanggungjawab terhadap tugas b) ingkar janji c) berbohong d) mencuri ide e) memata-matai Faktor kedua yang menyebabkan hilangnya kepercayaan adalah melakukan tindakan yang tergolong merusak identitas sosial. Ada tiga hal yang sering merusak identitas sosial, yaitu mengkritik kelompoknya sendiri di depan umum, berbuat tidak adil secara terbuka, dan mencacat kelompoknya. Orang yang melakukan hal ini ternyata tidak hanya mendapat ketidak percayaan dari kelompoknya, tetapi orang-orang dari kelompok lainpun kurang mempercayainya. Alasannya sederhana tidak perlu mempercayai orang yang merusak

110

Mengembangkan Kepercayaan sebagai Upaya Mencegah/Mengatasi Kekerasan dan Agresi pada Masyarakat (Rara Rinin Budi Utaminingtyas)

kelompoknya, terhadap kelompok sendiripun berani merusak, apalagi terhadap orang atau kelompok lain.

KESIMPULAN
Di Indonesia saat ini banyak terjadi kekerasan mulai dari tingkatan individu hingga kelompok. Kekerasan merupakan bentuk agresi. Agresi merupakan tingkah laku kekerasan baik fisik maupun verbal. Agresi memiliki efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada korban. Agresi muncul karena adanya prasangka, sumber utama prasangka adalah perbedaan kelompok. Berbagai upaya telah dilakukan manusia untuk mengurangi nafsu agresi mulai dari pembuatan dan penegakan hukum, hingga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan melalui penanaman moral, pengembangan tingkah laku non agresi dan pengembangan kemampuan memberikan empati. Pengendalian agresi juga dapat dilakukan dengan membangun kepercayaan, sebab ketidakpercayaan pada kelompok dapat menyebabkan krisis sosial yang memicu tindakan kekerasan atau agresi.

DAFTAR PUSTAKA
Faturohman, 2000. Dinamika Psikologis dan Sosial Kepercayaan. Tantangan Psikologi Menghadapi Millenium Baru. (Bunga Rampai). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM. Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco Koran Tempo, 2011. Perintah Presiden Lumpuhkan Kelompok Anarkis. Koran Tempo. Rabu 6 Februari 2011, Edisi No 3440. Tahun X Sulistyani, Nurul, Faturohman, Moh Asad. 1993. Agresivitas warga Pemukiman Padat dan Bising di Kota Bandung. Jurnal Psikologi. Tahun XX Nomor 1, Juni 1993 Triandis, Harry C.1994. Culture and Social Behavior. New York: Mc Graw Hill Inc.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

111

Anda mungkin juga menyukai