Anda di halaman 1dari 9

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga

(Suatu Kajian Pustaka)


Ardiani Ika S Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Semarang Abstract: Psychological factor is often considered as a key a factor ini family financial management decision making process. The background of the decision is the personality of the husband and wife as the financial manager. The stronger the personality aspect, the more effected the financial decision is by psychological decision. The personality aspect offen effects on the family financial management that caused to a bad management or even a failure. It caused by personal interests according to the character rather than the correct financial management principles. Lifestyle, unplanned shopping pattern, nonbudgeted social expenses, environment become the supporting factor. Beside personality aspect, the low level of knowledge about the correct financial management brings to a bad family financial management.

PENDAHULUAN
Faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan di bidang pengelolaan keuangan keluarga seringkali dihubungkan dengan masalah psikiologis. Adanya perbedaan perilaku (behavior) antara suami dan istri menjadi problem ketika keputusan strategis harus diambil dalam berbagai pilihan. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik dalam keluarga agar tujuan keuangan dalam jangka pendek, menengah maupun panjang dapat dicapai. Selain itu, latar belakang sumber penghasilan juga perlu dipahami oleh suami istri, apakah pemasukan bersumber pada penghasilan tetap (fixed income) atau tidak tetap (non fixed income). Pengelolaan keuangan keluarga bagi seorang karyawan yang berpenghasilan tetap, titik berat utama ada pada sisi pengeluaran, sehingga pengambilan keputusan antara suami-istri yang berkepribadian beda akan banyak terkonsentrasi pada sisi pengeluaran. Sedangkan dari sisi pemasukan, orang yang berpenghasilan tetap akan mudah melakukan prediksi karena sumber penghasilan berasal dari gaji atau pendapatan rutinnya. Penelitian Mc Kenna, Karen dan Linder (2003), perihal hubungan tipe psikologi dengan pengambilan keputusan menunjukkan bahwa pengambilan keputusan keuangan terutama dalam menentukan pengeluaran rumah tangga, faktor psikologis sering menjadi dasar pijakan. Akibatnya, pengelolaan keuangan keluarga bukan didasari oleh kaidah pengelolaan keuangan pada umumnya, tapi berdasarkan kondisi psikologis pengelolanya. Kondisi psikologis ini antara lain menyangkut gaya hidup, nilai yang dianut saat ini, kepercayaan dan watak/karakter kepribadian (personality traits). Sedangkan menurut Indriani et al (2009), bahwa pengelolaan keuangan keluarga merupakan sebuah strategi untuk mencapai tujuan keuangan dimasa datang. Strategi ini adalah suatu keputusan keuangan yang berdasarkan pengetahuan dan kemampuan tehnis seseorang perihal portofolio dan produk keuangan yang tepat sesuai kondisi keluarga. Perbedaan cara pengambilan keputusan inilah yang pada akhirnya menentukan keberhasilan dalam pengelolaan keuangan keluarga dimasa yang akan datang. Sebuah penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para eksekutif muda yang bergaji di atas Rp15 juta per bulan terancam miskin di masa depannya karena faktor karakter personality yang tidak terencana yaitu karakter berupa gaya hidup yang boros, tidak

118

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga (Ardiani Ika S)

memiliki rencana investasi, tidak memiliki tujuan keuangan dan pengelolaan keuangan yang tidak benar (Iwan Rudi, 2008). Tentu saja hal ini menjadi masalah finansial yang serius bagi mereka. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa besarnya penghasilan bukan ukuran seseorang mengalami masalah finansial, tapi faktor perilaku individu seseoranglah yang mempengaruhi keberhasilan dalam mengelola keuangan. Faktor personality sebagai karakter pribadi dalam pengelolaan keuangan menyangkut bagaimana perilaku seseorang menggunakan seluruh pendapatannya yang dialokasikan melalui pengeluaran dan didasari oleh perilaku yang tercermin dalam gaya hidup, pengaruh lingkungan maupun dorongan pada dirinya. Dorongan diri kadang terjadi secara spontan dan tanpa disadari oleh seseorang, seperti yang diungkapkan oleh Wolman dalam Pirog dan Robert (2007) tentang dorongan untuk membeli; An impulse is not consciously planned, but arises immediately upon confrontation with a certain stimulus. Dari sisi gaya hidup, faktor informasi terutama dari para pemasar telah menyentuh aspek psikologis konsumen, hal ini mengakibatkan orang terdorong untuk melakukan pembelian bukan karena kebutuhan tapi faktor keinginan, gengsi, harga diri, mengikuti gaya orang lain dan sebagainya. Dalam beberapa literature/penelitian hal seperti ini dinamakan gejala materialism. Akibat di pos pengeluaran yang seharusnya tidak dianggarkan, dimungkinkan menjadi pengeluaran yang cukup besar dan mendorong anggaran menjadi defisit. Hasil penelitian Garman dan Irene (1996) perihal perilaku orang dalam mengelola keuangan, teridentifikasi sejumlah 22 kesalahan perilaku. Kesalahan tersebut adalah pengeluaran yang berlebihan, penggunaan kredit yang berlebihan, uang cepat keluar dari simpanan, tidak memiliki dana emergensi, tidak mampu membayar angsuran kredit, penggunaan kartu kredit yang melebihi batas maksimal, tidak memiliki rencana dana pensiun, memiliki hutang yang lebih besar daripada asset yang ada, bahkan sampai dengan kepercayaan bahwa secara rutin akan adanya penghasilan tambahan (bonus) dari perusahaan, sehingga rencana-rencana untuk pengeluaran dan membayar hutang telah disiapkan jauh-jauh hari, padahal perusahaan belum tentu merealisasikan bonus tersebut. Selain faktor personality, orang menganggap bahwa masalah keuangan keluarga muncul karena kecilnya pendapatan dan lemahnya manajemen keuangan rumah tangga. Pendapatan yang kecil memang akan mengurangi keleluasaan orang untuk melakukan pengeluaran, namun jika dikelola dengan benar berdasarkan prioritas, sangat dimungkinkan tujuan keuangan keluarga dapat tercapai. Bagi setiap orang yang telah berpenghasilan dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri seharusnya dapat mengelola keuangannya dengan benar dan tepat. Mengelola keuangan selain untuk mencapai tujuan jangka pendek sampai dengan jangka panjang, tetapi juga sebagai persiapan mengantisipasi resiko yang terjadi dimasa yang akan datang seperti kenaikan harga-harga, resiko PHK, kebutuhan kesehatan yang mendadak dan lain sebagainya. Sebagaian besar keluarga di Indonesia sering menggunakan penghasilan yang mereka dapat hanya untuk membiayai tujuan-tujuan jangka pendek saja seperti membayar telepon, berbelanja kebutuhan pribadi dan memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan jangka pendek lainnya. Padahal sadar atau tidak, setiap keluarga juga memiliki tujuan jangka panjang seperti mempersiapkan dana pendidikan, dana kesehatan, dana pensiun, kebutuhan investasi dan lainnya (Senduk, 2001). Mengelola keuangan keluarga dimulai dari membuat rencana, melaksanakan dengan disiplin dan melakukan evaluasi atau revisi jika diperlukan. Ada dua pos penting dalam keuangan keluarga yaitu pos pendapatan dan pos pengeluaran. Bagi keluarga yang memiliki pos penghasilan tetap (fixed income) seperti karyawan, pengelolaan keuangan harus menyelaraskan antara pos pendapatan tetapnya dengan pos pengeluarannya yang bersifat variabel. Lebih lanjut menurut Senduk (2001), mengatur keuangan tidak berarti harus hemat, tetapi yang paling penting adalah mengetahui jumlah yang pantas untuk setiap pos pengeluaran dan berusaha memenuhi jumlah tersebut. Ada orang yang hanya fokus kepada bagaimana mendapatkan penghasilan, akan tetapi tidak pernah memikirkan bagaimana mengatur pengeluaran sehingga tidak bisa membedakan antara keinginan (want) atau kebutuhan (need). Disisi lain, seseorang yang penghasilannya tidak seberapa, tetapi dapat hidup berkecukupan. Golongan ini tidak Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

119

pernah mengeluh dan bisa menekan pos-pos pengeluaran sehingga tetap rendah karena menyadari bahwa penghasilannya terbatas, sehingga lebih memfokuskan pada pengaturan keuangan. Pos pengeluaran dalam keuangan keluarga menurut Senduk (2001) dibagi menjadi 3 komponen dan disusun berdasarkan prioritas yaitu pos untuk tujuan membayar cicilan hutang, pos pengeluaran untuk premi asuransi dan pos pengeluaran untuk biaya hidup. Sisa dari pos pengeluaran digunakan untuk menabung. Besar kecilnya ketiga komponen pengeluaran inilah yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dan perilaku setiap orang. Sementara penelitian lain oleh Garman dan Irine (1996) tentang ketidakmampuan karyawan dalam pengelolaan keuangan keluarganya, menunjukkan bahwa ketidakmampuan itu berdampak negatif pada kelangsungan hidup karyawan baik jangka pendek maupun jangka panjang seperti beratnya dalam pemenuhan untuk biaya hidup, pendidikan anak, tidak memiliki tabungan, sampai pada kesiapan tersedianya dana yang cukup ketika pensiun. Dilihat dari sisi komponen penghasilan, dapat diketahui bahwa sumber penghasilan karyawan yang rutin diterima dalam satu tahun ada dua jenis, yaitu yang pendapatan yang bersifat tetap (gaji) dan yang bersifat variabel (bonus, insentif dan lain sebagainya). Sedangkan fasilitas lainnya diberikan karena kejadian tertentu seperti sakit, kelahiran dan sebagainya. Dengan adanya fasilitas yang diberikan perusahaan, pos pengeluaran untuk komponen fasilitas tersebut tidak perlu dianggarkan secara rutin dan dapat dialokasikan ke pos lainnya seperti tabungan, investasi atau bahkan melunasi hutang atau untuk kebutuhan lainnya. Selain keluhan biaya hidup, faktor kesiapan menghadapi hari tua (pensiun) juga dialami oleh karyawan. Alasannya adalah penurunan penghasilan, tidak banyak memiliki tabungan/investasi untuk masa depan, biaya kesehatan yang tinggi terutama di usia tua dan biaya pendidikan anak yang semuanya akan menguras simpanan yang dimilikinya disaat pensiun nanti.

Perencanaan Keuangan
Pengelolaan keuangan didefinisikan sebagai proses yang dimulai dari merencanakan, melaksanakan dengan disiplin dan melakukan evaluasi atau revisi jika diperlukan Senduk (2001). Ada dua pos penting dalam pengelolaan keuangan keluarga yaitu pos pendapatan dan pos pengeluaran. Wibawa dalam Nancy (2009), mengartikan perencanaan keuangan sebagai suatu cara menyusun keseimbangan dari penghasilan disatu sisi dengan pengeluaran disisi lain yang berupa konsumsi, tabungan dan investasi. Mengelola keuangan dimulai dari perencanaan keuangan, pelaksanaan hingga melakukan evaluasi. Indriani et.al (2009) mendefinisikan rencana keuangan sebagai suatu strategi yang apabila dijalankan bisa membantu mencapai tujuan keuangan di masa datang. Tujuan keuangan selain menambah kekayaan juga menjaga agar kehidupan keuangan tidak kacau akibat segala sesuatu yang tidak diinginkan seperti kematian, kecelakaan, turunnya nilai asset seperti saham, properti dll. Sedangkan menurut Dorimulu, (2003) (dalam Nancy, 2009), perencanaan keuangan atau financial planning merupakan proses pencapaian tujuan hidup yakni masa depan yang sejahtera dan bahagia lewat penataan keuangan. Malinda (2007) (dalam Nancy, 2009) secara spesifik menyatakan bahwa langkahlangkah awal dari perencanaan keuangan adalah (1) mempelajari kondisi keuangan pribadi yaitu dengan melihat pemasukan dan pengeluaran, (2) mengenali instrumeninstrumen investasi yang akan dipilih seperti tabungan, reksadana, asuransi, saham, properti, (3) tentukan tujuan (goal) apa yang diinginkan masing-masing pribadi, (4) mengenali pola investasi yang akan dimasuki. Hal yang sama dinyatakan oleh Ernst dan Youngs, (2008) bahwa, financial planning is a forces you to define your goals and priorities and make quantitative and qualitative decisions about your money. It also requires you to look carefully at where your money goes and begin to direct it in a meaningful fashion, instead of wondering where disappear to each month.

120

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga (Ardiani Ika S)

Perencanaan keuangan keluarga menurut Massaya (2005) merupakan strategi bagaimana mencapai tujuan keuangan keluarga dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Ada lima tahapan perencanaan keuangan yang didasarkan pada usia pengelola, dan harus berurutan dari usia produktif sampai pensiun. Kelima tahapan tersebut adalah: a. Usia 20 - 30 tahun Masa dimana orang mulai membangun landasan keuangan. Pada usia ini seseorang dalam proses meniti karir dibidang apapun dan harus menciptakan financial habit. Langkah tepat yang perlu dilakukan adalah menginvestasikan penghasilan, membeli properti, membeli asuransi (jiwa, kesehatan dll) dan merencanakan dana pensiun. b. Usia 30 - 40 tahun Masa ini adalah masa dimana seseorang mulai memantapkan landasan keuangan keluarga dengan langkah-langkah strategis antara lain penumpukan aset dan menambah jumlah financial yang dimiliki. c. Usia 40 - 50 tahun Usia ini merupakan masa puncak kemandirian yaitu masa menikmati hasil dari investasi yang telah ditanamkan ke beberapa portofolio investasi, menikmati karir atau bisnis. d. Usia 50 - 60 tahun Usia ini merupakan masa persiapan pensiun, hal yang perlu dilakukan adalah membereskan seluruh hutang/kredit dan tersedianya dana yang cukup untuk pensiun. e. Usia > 60 tahun Usia dimana seseorang tidak produktif atau melakukan kegiatan sosial non profit dan menikmati pensiun dengan kecukupan dana yang dikumpulkannya dari awal mulai bekerja. Dengan pengelompokan berdasarkan usia tersebut maka dapat diketahui pada tahap manakah seseorang harus mencapainya dan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Menurut Safir (2000), terdapat enam langkah yang sebaiknya dlakukan sehubungan dengan proses perencanaan anggaran. Pertama, menentukan sasaran dan tujuan keuangan keluarga masa depan. Contoh sebuah sasaran adalah meningkatkan kemampuan atau tingkat menabung keuangan keluarga. Sasaran keuangan lebih menitik beratkan kepada tujuan-tujuan jangka pendek. Sasaran ini bisa dilihat dari hasil analisis laporan keuangan yang telah dibuat pada awal proses perencanaan keuangan keluarga. Dengan pembuatan laporan arus kas, dapat dilihat pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan selama sebulan, khususnya pengeluaran yang tidak tetap. Pengeluaran tetap, seperti cicilan kredit rumah tidak dapat dikurangi. Sedangkan pengeluaran-pengeluaran tidak tetap seperti biaya telepon atau biaya hiburan keluarga, dapat dikurangi bila diperlukan. Tujuan keuangan yang ditetapkan dan masuk dalam skala prioritas utama, harus dilakukan alokasi dana terlebih dahulu. Kedua, mendata ulang semua informasi mengenai keuangan keluarga. Perencanaan anggaran merupakan proyeksi pendapatan dana pengeluaran keluarga untuk masa depan, sehingga informasi dari laporan keuangan, baik laporan kekayaan dan laporan arus kas merupakan informasi awal yang berguna. Ekspektasi pendapatan dan perencanaan pengeluaran juga harus masuk dalam pembuatan perencanaan anggaran. Ketiga, membuat dan mengembangkan perencanaan anggaran. Pembuatan perencanaan anggaran merupakan pengumpulan semua ekspektasi pemasukan setiap bulan selama satu tahun ke depan dan ekspektasi semua pengeluaran (baik yang bersifat tetap maupun tidak tetap) dalam bentuk tabular. Keempat, analisis perencanaan yang telah dibuat. Pertimbangan dari cash flow yang terjadi, baik surplus maupun defisit harus dipertimbangkan. Perencanaan anggaran yang pertama dibuat mungkin saja mengalami perubahan. Kelima, pelaksanaan Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

121

perencanaan anggaran sesuai hasil analisis. Pada langkah ini, pelaksanaan perencanaan anggaran merupakan proses beroperasinya anggaran tersebut. Hal ini perlu diidentifikasi beberapa hal yang mungkin dapat dikurangi dalam hal pengeluaran tidak tetap untuk lebih menfokuskan kepada tujuan keuangan yang lebih panjang. Keenam, mengevaluasi dan mengontrol pelaksanaan perencanaan anggaran. Upaya yang harus dilakukan adalah berusaha agar perencanaan anggaran yang telah dilaksanakan berada pada batasan atau alokasi yang telah ditetapkan.

Kepribadian (Personality)
Terdapat beberapa definisi kepribadian (personality) yang dijelaskan oleh para ahli psikologi. Liberty dan Spiegler dalam Feist (2008) mengatakan kepribadian merupakan cara hidup atau gaya keseluruhan tingkah laku individu yang ditunjukkan dalam bentuk sikap, watak, nilai kepercayaan, motif dan sebagainya, dan umumnya definisi tersebut didasarkan oleh pandangan masing-masing ahli yang memberi rumusan. Dalam kesempatan lain, Allport dalam Feist (2008) mengatakan bahwa kepribadian adalah suatu system psiko yang meliputi system internal secara dinamis dalam diri individu. Sistem tersebut dapat mengarah pada tingkah pemikiran individu secara terus menerus sesuai dengan lingkungan dimana ia berada. Sejalan dengan itu, Hall dan Linday dalam Feist (2008) menjelaskan bahwa kepribadian merupakan sebuah deskripsi yang menerangkan tentang individu yang diteliti dalam keadaan atau aspek yang berbeda. Secara umum bahwa kepribadian (personality) adalah suatu pola watak yang relatif permanen dan sebuah karakter yang unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualitas bagi perilaku seseorang. Watak (traits) memberikan kontribusi bagi perbedaan-perbedaan individu dalam perilakunya, konsistensi perilakunya disepanjang waktu dan stabilitas perilaku tersebut disetiap situasi. Watak mungkin saja unik atau umum bagi beberapa kelompok orang, namun polanya selalu berbeda bagi setiap individu. Sedangkan karakter (characteristic) adalah kualitas unik seseorang yang mencakup atribut-atribut seperti temperamen, fisik dan inteligensia. Jadi kepribadian memiliki definisi yang berbeda dari masing-masing teoritisi dan biasanya berdasarkan pengalaman, riset empiris dan teori yang mereka kembangkan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut sesungguhnya implikasi dari kepribadian adalah meliputi apa yang paling khas dan paling karakteristik dalam diri seseorang.

Personality Traits
Menurut Jung dalam Feist (2008) keseluruhan kepribadian atau psikhe, terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi. Sistem-sistem terpenting adalah ego, ketidaksadaran pribadi beserta kompleks-kompleksnya, ketidaksadaran kolektif beserta arkhetipusnya, persona, anima dan animus, dan bayang-bayang. Jung membedakan dua sikap atau orentasi utama kepribadian yaitu ekstraversi dan introversi. Sikap ekstraversi mengarahkan sang pribadi ke dunia luar, dunia objektif, sedangkan sikap introversi mengarahkan orang ke dunia dalam, dunia subjektif. Sikap introversi dan ekstraversi dapat berkombinasi dengan satu sama lain dari empat fugsi psikologis sehingga membentuk delapan orentasi tindakan yang paling mungkin atau menjadi tipetipe kepribadian. Empat fungsi tersebut adalah mengindra (sensing), berpikir (thinking), merasa (feeling) dan mengintuisi (intuiting). Mengindra memberitahu manusia sesuatu itu eksis, berpikir memampukan mereka menyadari maknanya, perasaan memberi tahu mereka nilai atau harganya dan intuisi membuat mereka tahu sesuatu tanpa tahu bagaimana mereka bisa mengetahuinya. Pendapat lain yang melengkapi teori Jung dikemukakan oleh Myers dan Briggs dalam McKenna (2003) dengan mengembangkan istilah MBTI (Myers Biggs Type Indicator). Dilatarbelakangi teori Jung, MBTI membuka wawasan baru untuk memahami perilaku manusia. Jika orang berbeda secara sistematik dalam persepsi maka bagaimana mereka mengambil keputusan akan berbeda pula yaitu menyesuaikan berdasarkan reaksi, perhatian, nilai, motivasi, kemampuan dan kepentingan. Instrumen yang

122

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga (Ardiani Ika S)

digunakan sebagai indikator kepribadian yaitu menggunakan empat pasang ciri kepribadian yaitu extraversion/introversion, sensing/intuitive, thinking/feeling dan judging/ perceiving. McCrae dan Costa dalam Feist (2008) menggunakan lima faktor indikator dalam membahas sifat kepribadian, yaitu ekstraversi (extraversion), neurotisme (neurotiscism), terbuka pada pengalaman (openness), kebersetujuan (agreeableness) dan kenuranian (conscientiousness). Pirog dan Roberts (2007) dalam penelitiannya tentang penyalahgunaan kartu kredit menggunakan delapan variabel personality traits, di mana hanya 5 variabel yang menunjukkan significant. Dengan menggunakan Mowens 3M Hierarchical, kelima variabel penelitian tersebut adalah agreeableness, conscientiousness, body focus, materialism dan need for arousal, sedangkan ketidakstabilan emosi (emotional instability), introversi (introvertion), dan ekstraversi (extravertion) tidak signifikan.

Gaya Hidup (Lifestyle)


Gaya hidup (lifestyle) menurut Chaney (1996) diartikan sebagai hasil dari pergulatan diri dalam pencarian identitas dan sensabilitas dengan lingkungan dimana manusia hidup. Cara khusus yang dipilih seseorang untuk mengekspresikan diri, merupakan bagian dari usahanya mencari gaya hidup pribadinya. Penampilan luar menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup, permukaan akan menjadi lebih penting dari pada substansinya. Selanjutnya Adler dalam Chaney (1996) mengatakan bahwa gaya hidup mengacu pada warna kehidupan seseorang yang mencakup tujuan pribadi, konsep diri, perasaan terhadap orang lain dan sikap terhadap dunia. Kepedulian sosial yang ada diwujudkan melalui sebuah tindakan. Chaney menambahkan bahwa gaya hidup kecenderungannya diasumsikan pada tindakan yang didasarkan pada organisasi sosial konsumsi atau budaya konsumen. Sementara menurut Campbell dalam Chaney (1996) menunjukkan bahwa gaya hidup telah berkembang menjadi budaya konsumen yaitu pencarian bagi independensi kenikmatan dan makna melalui godaan pembaruan tanpa akhir yang disediakan pasar. Era budaya konsumen ditandai dan dilembagakan dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Ruang yang berlimpah barang ini menawarkan kebebasan baru dan kesempatan untuk sebuah kegemaran. Belanja ditransformasikan dari persediaan kebutuhan atau negosiasi personal terhadap kepemilikan baru. Mengacu pada kajian literatur dan tinjauan penelitian sebelumnya tentang aspek personality dalam mengelola keuangan, dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan personality yang berbeda kemungkinan memiliki gaya mengelola keuangan yang berbeda pula meskipun mereka bekerja dibidang keuangan. Keberhasilan mengelola keuangan keluarga sangat dipengaruhi oleh perilaku personal didalam keluarga (suami-istri), pengetahuan/pemahaman cara mengelolaan, gaya hidup dan tujuan keuangan (tujuan jangka pendek, menengah dan panjang dari keluarga). Penelitian oleh Pirog dan Roberts (2007), diperkaya dengan penelitian yang sama oleh Supromono dan Irene (2009) tentang penyalahgunaan kartu kredit. Variabel yang digunakan mengukurnya adalah variabel ketidakstabilan emosi (emotional instability), materialisme (materialism), kebutuhan untuk menstimulasi (need for arousal) dan introversi (introvertion) dan didukung oleh faktor dorongan (impulsiveness) sebagai variabel interverting. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Pirog dan Robert (2007) menunjukkan bahwa terdapat lima variabel personality traits yang signifikan yaitu agreeableness, conscientiousness, body focus, materialism dan need for arousal.

Agreeableness (Kebersetujuan)
Agreeableness (kebersetujuan) secara ekstrim membedakan pribadi yang berhati lembut dengan pribadi yang berhati kejam. Menurut McCrae dan Costa, dalam Feist (2008) pribadi dengan ciri agreeableness cenderung mudah mempercayai siapapun, murah hati, suka menolong, dapat menerima keadaan dan baik hati. Orang dengan kecenderungan seperti ini adalah mudah simpatik sehingga memungkinkan transaksi Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

123

keuangan banyak didasarkan rasa ingin menolong dan kebaikan hati. Pos pengeluaran yang tidak direncanakan sering muncul dan bukan karena prioritas anggaran yang telah disusun tapi karena dorongan hati.

Conscientiousness (Kenuranian)
Para individu yang memiliki nilai tinggi pada conscientiousness (kenuranian) ditunjukkan dengan perilaku yang sangat cermat dalam penggunaan anggaran keuangannya. Kepribadian ini dicirikan seperti tertib/teratur, penuh pengendalian diri, terorganisasi, ambisius, fokus pada pencapaian dan disiplin diri. Umumnya pribadi yang tinggi kenuraniannya adalah seorang pekerja keras, peka terhadap suara hati, tepat waktu dan tekun. Tipe ini selalu melakukan suatu perbandingan terhadap harga sebuah produk sebelum diputuskan untuk membeli, juga selalu membuat subuah catatan keuangan pribadi secara terinci. Pada saat kegiatan belanja dilakukan, kebutuhan (need) akan berperan lebih besar dari pada keinginan (want). Transaksi pembayaran pun akan lebih terkontrol dengan baik.

Body Focus (Mengutamakan Fisik)


Kepribadian dengan ciri body focus ditunjukkan pada aktifitas dimana penampilan diri merupakan faktor sangat penting dalam interaksi sosial. Menurut Goffman dalam Chaney (1996) bahwa kehidupan sosial terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan dimana penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari. Sedangkan menurut Chaney (1996) body focus merupakan penampakan luar dan menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup, dimana permukaan akan menjadi lebih penting daripada substansi. Seorang dengan tipe ini sangat mencurahkan perhatian pada fisiknya dalam kehidupan sosial dan akan bekerja keras untuk mendapatkan kepuasan fisik maupun kesehatan tubuhnya.

Materialism (Kebendaan)
Secara formal, materialism dapat diartikan sebagai individu yang memberi perhatian pada masalah kepemilikan duniawi sebagai hal yang penting. Pada tingkat yang tinggi, kepemilikan akan suatu hal atau benda dapat diasumsikan sebagai tempat sentral dalam kehidupan orang tersebut, serta menjadi sumber kepuasan terbesar jika segalanya terpenuhi. Individu melihat, uang sebagai sumber kekuatan dan harga diri, dan belanja merupakan salah satu cara untuk mewujudkan karakter dari materialism. Dorongan membeli selain menjadi kebutuhan materialisme juga didorong oleh faktor karakter, pengaruh lingkungan, tidak memiliki prioritas, atau bahkan ikut-ikutan atau belanja yang tidak terencana. Gaya hidup yang disimbolkan dengan pola belanja yang tidak terencana diartikan sebagai membeli sesuatu tanpa prioritas dan direncanakan. Pengejaran materi seperti ini akan menimbulkan perbandingan dan proses kompetisi yang berkelanjutan. Pencapaian posisi kekuasaan dan status sosial tertentu akan diperoleh seseorang dengan cara melebihi komunitasnya.

Need for arousal (Kebutuhan untuk Menstimulasi)


Need for arousal (kebutuhan untuk menstimulasi) merupakan salah satu motivator utama dari kegiatan untuk mengisi waktu luang. Pengisian waktu luang dengan hal-hal yang baru secara temporer dapat meningkatkan tingkat dorongan diri dalam individu, yang juga akan menghasilkan perasaan yang menyenangkan. Hal ini juga mengacu pada pengertian need for arousal yang lebih kepada kebutuhan berkelanjutan yang timbul dari peningkatan level stimulasi seseorang. Tindakan membeli atau belanja adalah salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengisi waktu luang yang ada untuk mendapatkan perasaan gembira. Keduanya dilakukan secara simultan untuk beberapa individu karena

124

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga (Ardiani Ika S)

tindakan tersebut dianggap dapat mewakili kekuatan dan status diri serta merupakan sebuah pencapaian keinginan dalam mendapatkan sebuah input memuaskan atas barang atau service atau keduanya (Rook, 1987). Need for arousal memberikan suatu gambaran bahwa pengeluaran merupakan sebuah bentuk kegemaran diri sendiri serta salah satu cara dalam memperbaiki perasaan. Pada saat perasaan gembira itu didapatkan, maka need for arousal mulai berperan lagi secara aktif. Kegiatan belanja pun dapat terjadi hingga dua, tiga atau lebih.

PENUTUP
Literatur-literatur yang menjelaskan perihal teori manajemen keuangan sebagaian besar membahas manajemen keuangan perusahaan, sedangkan manajemen keuangan personal belum banyak dibahas. Hal yang membedakan adalah bahwa manajemen keuangan keluarga sangat dipengaruhi oleh perilaku pengambil keputusan yaitu suami dan istri. Tidak ada faktor control maupun evaluasi oleh pihak lain. Selain itu rendahnya kemampuan karyawan dalam mengelola keuangan karena faktor pengetahuan yang dimiliki dan kuatnya pengaruh psikologis pada diri mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Chaney, David, 1996, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Feist, Jess dan Feist, Gregory J, 2008, Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Garman, Thomas, Irene E.Leech, John E.Grable, Virginia Tech, 1996, The Negative Impact of Employee Poor Personal Financial Behaviors On Employers, Journal of Associatian For Financial Counseling and Planning Education, 157. Greninger, Sue.A, Vickie L.Hampton, Karrol A.Kitt and Joseph A.Achacoso, 1996, Ratio And Benchmarks For Measuring The Financial Well-Being Of Families And Individuals. Austin, America: JAI Press Inc, The University of Texas. Husnan, Suad, 1996, Manajemen Keuangan: Teori dan Penerapan Keputusan Jangka Panjang. Yogyakarta: BPFE UGM. Indriani, Irene dan Supramono, 2009, Pengaruh Personality Traits Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit Dengan Impulsiveness Sebagai Variabel Intervening: Studi Pada Pegawai Akademik & Non Akademik YPTKSW, Riset, FE UKSW, Salatiga. Masassya, Elvyn G, 2007, 50 Rahasia Mengelola Uang, Tip-Tip Sukses Meraih Tujuan Keuangan, Elex Media Komputindo, Jakarta McKenna, Judy, Karen Hyllegard, and Ray Linder, 2003, Linking Psikological Type to Financial Decision Making, Journal of Financial Counseling and Planning, Vol.14(1). Pirog, Stephen and James A. Robert, 2007, Personality and Credit Misuse Among College Students: The Mediating Role of Impulsiveness, Jurnal of Marketing Theory and Practice, Vol. 15 Putlia, Nancy, 2009, Persepsi dan Aspek Psikologis dalam Pengambilan Keputusan Hutang (Studi Pada Home Industri Tempe di Salatiga), tesis, Salatiga. Rook, Dennis, 1987, The Buying Impulse, The Journal of Consumer Research, Vol.14 No.2. Saktiawan, Iwan Rudi, 2008, Islamic Financial Planning, Dialog Taktis Mensiasati Krisis, Karya Kita, Bandung.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011

125

Senduk, Safir, 2000, Mengelola Keuangan Keluarga, Seri Perencanaan Keuangan Keluarga, Elex Media Komputindo, Jakarta. Suryabrata, Sumadi, 1993, Psikologi Kepribadian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

126

Personality Traits sebagai Penentu Perencanaan Keuangan Keluarga (Ardiani Ika S)

Anda mungkin juga menyukai