Anda di halaman 1dari 5

Etika Persaingan dalam Periklanan

Makmun Riyanto Staf pengajar pada Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang Abstract: Advertising is the one of the ways in the competition today. Advertisement is the hope of most producers in linking their product with their customers. By competitive advertising, the advertisers try to develop choices/ options on certain trademarks by showing/expressing the advantages of product. Although a competition is possible, it is done in accordance with the privating ethics, i.e. honest, responsible, obeying laws, and social culture, based on healthy competition without looking down on other product. Keywords: competitive advertising, comparative advertising, advertising ethics

I. Pendahuluan
Situasi persaingan bisnis pada saat ini makin ketat, antar penyedia barang dan jasa sejenis berusaha untuk memenangkan persaingan menarik pembeli sebanyak banyaknya. Persaingan kini tidak terbatas antar perusahaan yang berbeda namun sesama penyedia dari perusahaan atau merek yang sama. Tantangan yang dihadapi oleh perusahaan yang bersaing di antaranya adalah selalu berusaha mendapatkan cara terbaik untuk merebut dan mempertahankan pangsa pasar. Merebut dan mempertahankan pangsa pasar dalam kondisi persaingan yang kompetitif seperti saat ini perusahaan harus dapat menerapkan strategi pemasaran yang tepat Salah satu di antaranya adalah menerapkan strategi promosi yang tepat berupa kegiatan periklanan. Meskipun pemberian informasi dapat dilakukan melalui packaging produk, brosur, peragaan, atau kunjungan tenaga penjual namun iklan masih dianggap cara paling efektif untuk menginformasikan produk dan mempengaruhi pasar sasran. Melalui iklan produsen dapat menyampaikan kelebihan produk, begitu juga melalui iklan konsumen dapat mengetahui kelebihan produk tersebut. Iklan cenderung dapat menarik konsumen untuk melakukan pembelian terhadap suatu produk (Handoyo, 2004). Oleh karena itu banyak perusahaan yang menggunakan iklan sebagai cara memenangkan persaingan melalui komunikasi menyampaikan informasi dan persuasi kepada konsumen. Iklan telah menjadi harapan bagi sebagian besar produsen yang ingin merek produknya melekat di hati konsumennya. Iklan merupakan cara yang efektif untuk meraih konsumen dalam jumlah besar dan tersebar secara geografis. Di satu pihak iklan dapat dipakai untuk membangun kesan jangka panjang suatu produk/merek dan di pihak lain memicu penjualan yang cepat. Akan tetapi bagaimanapun kerasnya persaingan dalam upaya memenangkan persaingan tersebut maka dalam beriklan harus tetap mendasrkan diri pada persaingan dengan cara yang sehat, cara yang sesuai dengan etika bisnis dan tatakrama periklanan

II. Iklan Persaingan (Competitive Advertising) dan Iklan Perbandingan (Comparative Advertising)
Iklan persaingan (competitive advertising) adalah iklan yang berupaya mengembangkan pilihan pada merek tertentu dengan menyampaikan keunggulan, manfaat, kegunaan atau keuntungan produk dengan merek tersebut atau menyebutkan klaim sebagai yang terbaik, yang ditunjukkan dengan kata kata superlatif yang digunakan seperti kata berawalan ter-, paling, dan nomor satu. Iklan persaingan termasuk persuasive advertising karena berusaha mempengaruhi konsumen untuk tertarik pada produk yang ditawarkan. Hampir sebagian besar iklan adalah iklan jenis persuasif.

182

Etika Persaingan dalam Periklanan (Makmun Riyanto)

Bila iklan secara terang-terangan menunjukkan kelebihan/keunggulannya dibandingkan dengan merek lain maka iklan ini disebut Comparative Advertising. Iklan komparatif dapat tampil secara langsung atau tidak langsung. Perbandingan langsung berarti memperlihatkan secara langsung dua produk yang diperbandingkan, dengan menyebut merek. Sedangkan komparatif tidak langsung tanpa memperlihatkan atau tanpa menyebut merek dan produknya seperti iklan Yamaha dengan tag-line: Yamaha selalu terdepan, yang lain ketinggalan. Menurut Terrence A Shimp (2000: 492) iklan comparatif kurang efektif digunakan bila konsumennya sudah sangat percaya dengan produk pesaing yang diperbandingkan sehingga konsumen akan sulit untuk dipengaruhi. Namun iklan comparatif juga bisa efektif bila produk yang diiklankan memiliki manfaat yang jelas dan keunggulan yang berbeda dari produk pesaingnya, serta didukung oleh data riset atau hasil tes yang valid dari lembaga riset independen dan disampaikan oleh endorser yang kompeten terpercaya. Suatu analisis riset yang penting telah menguji periklanan komparatif dengan non komparatif yang menunjukkan kesimpulan sebagai berikut (Terrence A Shimp, 2000): 1. 2. 3. 4. 5. 6. Periklanan komparatif lebih baik daripada non komparatif dalam hal meningkatkan kesadaran merek (ingatan akan merek). Periklanan komparatif mendorong ingatan (recall) yang lebih baik akan butir butir pesan. Periklanan komparatif berperan dalam menghasilkan sikap yang lebih baik terhadap merek yang diiklankan, terutama pada merek baru. Periklanan komparatif menghasilkan niat yang lebih baik untuk membeli merek pengiklan. Periklanan komparatif menghasilkan lebih banyak pembelian dari pada iklan non komparatif. Tetapi periklanan komparatif dianggap agak kurang bisa dipercaya dari pada iklan non komparatif.

Meskipun kesimpulan dari hasil suatu penelitian tersebut sebagian besar menunjukkan competitive advertising dengan komparatif memberikan hasil yang positif bagi efektivitas iklan dari pada iklan non komparatif, bukan berarti upaya pemenangan persaingan dengan iklan komparatif ini dapat dilakukan secara kasar dan terbuka, hal yang tetap diikuti dalam periklanan komparatif maupun non komparatif adalah azas tatakrama dalam periklanan, agar tercipta keharmonisan dalam bisnis.

III. Etika Persaingan Dalam Periklanan


Etika dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktivitas periklanan maupun kegiatan komunikasi pemasaran lainnya, hal ini penting untuk mendapatkan respon positif berupa penerimaan ataupun dukungan terhadap produk, merek dan perusahaan, khususnya dari konsumen. Usaha usaha pemasaran yang tidak memenuhi etika tatakrama akan mendapatkan reaksi penolakan dari khalayak yang selanjutnya sangat mungkin bisa menimbulkan respon negatif dari konsumen. Dalam ettika periklanan dikenal prinsip Swakramawi (self-regulation) atau pengaturan diri sendiri, adalah suatu prinsip atau paham yang dianut oleh mayarakat periklanan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan tidak hanya pada kode etik periklanan prinsip ini diterapkan, namun juga di banyak kode etik profesi maupun kode etik bisnis lainnya. Pada awal dikenalnya swakramawi, sepenuhnya adalah dimaksudkan untuk melindungi pelaku perniagaan dari persaingan yang tidak adil atau tidak sehat. Tujuan ini kemudian berkembang seiring dengan ketatnya persaingan dan kian kuatnya gerakan konsumerisme sehingga kini swakramawi lebih banyak ditujukan untuk melindungi konsumen. Secara sederhana, tujuan penerapan prinsip swakramawi adalah: untuk dapat dengan sebaikbaiknya mempertahankan kewibawaan komunikasi pemasaran termasuk periklanan demi kepentingan semua pihak.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011

183

Beberapa prinsip swakramawi yang diserap oleh kebanyakan kode etik periklanan di berbagai negara yang dalam tatakrama periklanan disebut azas umum tatakrama periklanan Indonesia adalah: 1. 2. 3. Jujur, bertanggungjawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara. Sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat (dijiwai persaingan yang sehat).

Dari tiga azas umum tatakrama periklanan Indonesia tersebut yang berkaitan dengan persaingan adalah bahwa iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat. Implementasi dari azas yang berkaitan dengan persaingan tersebut di antaranya adalah: Dari sisi bahasa, iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif (berlebihan) seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter-", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. 2. Penggunaan kata "100%", "murni", "asli" untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. 3. Penggunaan Kata "Satu-satunya". Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "satusatunya" atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. 4. Hiperbolisasi, boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak sasarannya. 5. Iklan yang baik tidak mengadakan perbadingan langsung dengan produk-produk saingannya. Apabila perbandingan semacam ini diperlukan, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas. Konsumen tidak disesatkan oleh perbandingan tersebut. 6. Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. 7. Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak. 8. Perbandingan Harga. Perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai. 9. Tidak Merendahkan. Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung. Dalam PP RI No.69 Th 1999 tentang label dan iklan pangan juga disebutkan bahwa iklan pangan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan/atau disebarluarkan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya. 10. Peniruan iklan. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. 11. Peniruan iklan. Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir. 1.

184

Etika Persaingan dalam Periklanan (Makmun Riyanto)

12. Penempatan iklan. Media wajib memisahkan sejauh mungkin penempatan iklan-iklan dari produk yang sejenis atau bersaing. Kecuali pada program, ruang, atau rubrik khusus yang memang dibuat untuk itu. 13. Monopoli. Monopoli waktu/ruang/lokasi iklan untuk tujuan apa pun yang merugikan pihak lain tidak dibenarkan. 14. Media Luar-Griya (out-of-home media). Iklan luar griya tidak boleh ditempatkan sedemikian rupa sehingga menutupi sebagian atau seluruh iklan luar griya lain yang sudah lebih dulu ada di tempat itu, dan iklan tidak boleh ditempatkan bersebelahan atau amat berdekatan dengan iklan produk pesaing. 15. Klaim sebagai yang pertama, dalam hal apa pun, harus disertai penjelasan bukti yang mendukung pernyataan yang dimaksud. 16. Iklan Promosi Penjualan. Iklan mengenai undian, sayembara, maupun hadiah langsung yang mengundang kesertaan konsumen, harus secara jelas dan lengkap menyebut syarat-syarat kesertaan, masa berlaku, dan tanggal penarikan undian, serta jenis dan jumlah hadiah yang ditawarkan, maupun cara-cara penyerahannya, wajib mencantumkan izin yang berlaku. 17. Iklan promosi penjualan mencantumkan penawaran rabat, potongan, atau diskon harga, maka ia harus benar-benar lebih rendah dari harga sebelumnya, bukan karena telah didahului dengan menaikkan harga. 18. Iklan hadiah langsung tidak boleh mensyaratkan "selama persediaan masih ada" atau ungkapan lain yang bermakna sama dan jika dicantumkan nilai rupiah dari barang hadiah, haruslah benar-benar sesuai dengan harga pasar yang berlaku. 19. Pemakaian Kata "Gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas. 20. Janji Pengembalian Uang (warranty). Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang. Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.

IV. Sanksi Pelanggaran


Sanksi terhadap pelanggaran etika periklanan di Indonesia telah tercantum dalam Undang Undang Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1.f yang berbunyi: "Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan", dan sanksi pelanggaran terhadap etika periklanan menurut undang undang tersebut pada pasal 17 ayat 2 dinyatakan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan ayat 1, sedangkan pada pasal 62 ayat 2 undang undang yang sama menyebutkan bahwa pelanggar dapat dikenakan sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Menurut FX Ridwan Handoyo seorang praktisi periklanan dalam tulisannya yang berjudul Dasar-dasar Etika Periklanan, menyatakan ia lebih setuju apabila sanksi pelanggaran etika periklanan mengacu pada kitab Etika Pariwara Indonesia yang mendasarkan diri pada prinsip swakramawi karena sesungguhnya masyarakat periklanan Indonesia lebih menganut prinsip swakramawi yaitu bahwa suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri. Prinsip ini diyakini lebih mendorong tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab Pendekatan ini menurutnya dipercaya akan dapat mendewasakan industri periklanan dan sekaligus meningkatkan produktivitas. Prinsip tersebut juga mengakui bahwa meskipun telah disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri, akan tetap terbuka kemungkinan ada saat-saat ia kurang diindahkan. Karena itu diperlukan upaya terus-menerus untuk menyosialisasikan dan mengkoordinasikan gerak langkah penegakkannya oleh segenap komponen industri periklanan. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011

185

Sedangkan sanksi pelanggaran dalam kitab Etika Pariwara Indonesia bagian IV.E. disebutkan bahwa: Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut: (1) Peringatan, hingga dua kali; (2) Penghentian penyiaran atau dikeluarkannya rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Untuk setiap tahapan sanksi diberikan rentang waktu tertentu dan .penyampaiannya dilakukan secara tertulis dengan mencantumkan jenis pelanggaran dan rujukan yang digunakan pada tahap Peringatan Pelanggaran; pemberitahuan disampaikan kepada pihak pelanggar dan asosiasi atau lembaga terkait. Sedangkan apabila sampai pada tahap Perintah Penghentian Penyiaran maka pemberitahuan tersebut didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat, asosiasi atau lembaga terkait, serta media yang bersangkutan. Efektivitas sanksi ini menurut FX Ridwan Handoyo berpulang pada diri masing masing pelaku periklanan yaitu mengandalkan timbulnya rasa malu dan rasa bersalah bagi pelanggarnya. Seseorang (atau industri) yang dewasa adalah mereka yang menyadari kesalahannya dan malu untuk mengulangi kesalahan itu kembali. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki rasa malu dan rasa bersalah ketika akan/saat melanggar etika dan hanya takut pada pihak dari luar diri (seperti hukum positif) digambarkan sebagai anak kecil yang tidak berkepribadian dewasa. Jadi penilaian terhadap kedewasaan inilah yang akan menentukan apakah sanksi tersebut akan efektif ataukah tidak.

V. Kesimpulan
Iklan merupakan cara yang efektif untuk meraih konsumen dalam jumlah besar dan tersebar secara geografis. Sehingga iklan banyak dipakai sebagai sarana untuk menumbuhkan minat dan keinginan konsumen, serta memenangkan persaingan. Untuk hal ini pemasar dapat menggunakan iklan persaingan (competitive advertising) yang bersifat komparatif dan non komparatif. Penggunaan iklan persaingan (competitive advertising) harus tetap mendasrkan diri pada persaingan dengan cara yang sehat, cara yang sesuai dengan etika bisnis dan tatakrama periklanan yaitu harus: jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara, Sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, dan mendorong persaingan dengan cara-cara yang adil dan sehat (dijiwai persaingan yang sehat). Sanksi terhadap pelanggaran etika periklanan ini sesuai UU RI No. 8/1999 pasal 62 ayat 2 berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan sesuai Etika Pariwara Indonesia bentuk sanksi terhadap pelanggaran dilakukan bertahap berupa: Peringatan, hingga dua kali, dan Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Sanksi dalam Etika Pariwara Indonesia ini sesuai dengan prinsip swakramawi (selfregulation) yaitu prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan termasuk di Indonesia, yang mendasarkan diri pada keyakinan bahwa: "suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri", sehingga yang diharapkan adalah adanya kedewasaan dalam dunia periklanan, bukan karena takut karena adanya ancaman hukum.

Daftar Pustaka
FX Ridwan Handoyo, 2011, Dasar-dasar Etika Periklanan - Bagian 2, http://www.p3i-pusat. com/dunia-pariwara, tanggal 19052011. Frank Jefkins, 1996. Periklanan. Jakarta: Penerbit Erlangga, Shimp, Terrence A, 2000, Periklanan dan Promosi. Jakarta: Penerbit Erlangga. -------, 2007, Etika Pariwara Indonesia. Jakarta: Dewan Periklanan Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, http:// www.komisiyudisial.go.id/undang undang hukum perdata/uu no 8 tahun 1999. tanggal 20052011.

186

Etika Persaingan dalam Periklanan (Makmun Riyanto)

Anda mungkin juga menyukai