I. Pendahuluan
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing (multinasional) mengakibatkan munculnya desakan kebutuhan internasional, salah satunya adalah tuntutan bagi banyak negara khususnya terhadap negara berkembang, untuk menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka. Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan Tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/ kreditor. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya disebut UUK) pada 24 Juli 1998. UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad Tahun 1906 No. 384. UUK diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang. Salah satu hal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga (Commercial Court) ditujukan untuk menyelesaikan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan. Misalnya perkara-perkara HKI (Hak atas Kekayaan intelektual) termasuk perkara (sengketa) merek. Penyelesaian sengketa merupakan hal yang tidak kalah strategis dalam pengelolaan merek. Undang-Undang Merek yang baru telah melakukan terobosan baru dalam penyelesaian sengketa merek, yaitu dengan memanfaatkan peranan Pengadilan Niaga dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata di bidang merek. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan dalam sengketa merek tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa bidang merek sangat berkaitan dengan dunia usaha, untuk itu dibutuhkan penyelesaian perkara yang cepat, karenanya membutuhkan institusi peradilan khusus. Selain itu Undang-Undang Merek yang baru (UU No. 15 tahun 2001) juga mengatur mengenai tata cara (hukum acara) penyelesaian perkara dengan jangka waktu yang spesifik dan relatif pendek.
112
Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Merek (MRR Tiyas Maheni DK)
Ada keinginan kuat dari Undang-Undang Merek agar penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga ini dapat berjalan dalam waktu yang cepat dan tidak bertele-tele. Dengan semakin cepat selesainya suatu perkara di pengadilan, maka dengan sendirinya biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelesaikan perkara perdata oleh pihak-pihak yang bersengketa tentu akan berkurang pula, begitu pula beban biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pengadilan.
2.
Dan sebelumnya menurut Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan juga bahwa: Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut, maka ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam rangka pembentukan Pengadilan Niaga yaitu: 1. 2. Pengadilan Niaga ditetapkan berada di lingkungan peradilan umum Kompetensi Pengadilan Niaga meliputi permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban pembayaran utang, dan perkara lain di bidang perniagaan, misalnya tentang sengketa dibidang HKI termasuk sengketa Merek.
III. Kompetensi Pengadilan Niaga Menurut UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
Ketentuan UU No. 15 Tahun 2001 menggunakan saluran Pengadilan Niaga sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa merek. Tidak seperti dalam sistem Undang-Undang Merek sebelumnya, yang menggunakan saluran Pengadilan Negeri biasa (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Hal ini dimaksudkan agar pemeriksaan perkara merek dapat berjalan secara lebih cepat dan singkat dengan ketentuan-ketentuan yang dikenal dalam Pengadilan Niaga, yang semula dimaksudkan untuk permohonan kepailitan. Pemerintah bermaksud bahwa soal-soal yang termasuk komersil akan diselesaikan melalui Commercial Courts atau Pengadilan Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Agustus 2011
113
Niaga. Karena Pengadilan Negeri biasa dianggap terlalu lamban kerjanya dan terlalu penuh dengan formalitas yang menghambat pemeriksaan dan pemutusan di bidang bisnis secara cepat. (Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2001) Penggunaan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan sengketa HKI perkara merek, bertujuan agar pihak-pihak yang bersengketa bisa segera mendapatkan keadilan. Pengadilan Niaga terdapat dua jenis hakim yaitu hakim karir dan hakim ad hoc, oleh karena itu hakim yang duduk di Pengadilan Niaga dianggap lebih menguasai masalah-masalah hukum bisnis (termasuk HKI) dibanding hakim-hakim di Pengadilan Negeri. Paulus Effendie Lotulung (2004) dalam makalahnya tentang penyelesaian sengketa merek dan Pengadilan Niaga, menyebutkan bahwa Kompetensi Pengadilan Niaga terkait dengan beberapa sengketa merek menurut Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Berkenaan dengan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding oleh Komisi Banding. 2. Berkenaan dengan keberatan terhadap penolakan permohonan perpanjangan jangka waktu perlindungan hukum terhadap merek terdaftar. 3. Berkenaan dengan gugatan atas keputusan Komisi Banding mengenai penolakan permohonan pendaftaran indikasi geografis. 4. Berkenaan dengan gugatan pemegang hak atas indikasi geografis terhadap pihak yang menggunakan secara tanpa hak. 5. Berkenaan dengan gugatan yang dilakukan oleh pemegang hak atas indikasi asal terhadap pihak yang tanpa hak.menggunakan indikasi asal miliknya. 6. Berkenaan dengan keberatan atas Keputusan Direktorat Jenderal HKI tentang Penghapusan Pendaftaran Merek dari daftar Umum Merek. Di mana Penghapusan Merek ini adalah atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI (Direktorat Merek). 7. Berkenaan dengan gugatan penghapusan pendaftaran Merek oleh pihak ketiga. 8. Berkenaan dengan gugatan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif oleh pihak ketiga. 9. Berkenaan dengan gugatan pembatalan pendaftaran Merek yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, 5 atau 6. 10. Berkenaan dengan gugatan pembatalan terhadap Merek Kolektif terdaftar. 11. Berkenaan dengan gugatan oleh pemilik merek terdaftar terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa sejenis. 1.
IV. Prosedur penyelesaian Sengketa Merek di Pengadilan Niaga Menurut UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
Penyelesaian sengketa Merek di Pengadilan Niaga diatur dalam Bab XI UndangUndang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, akan tetapi Undang-Undang Merek ini, hanya menjelaskan tentang tata cara gugatan pembatalan pendaftaran merek (Pasal 80), meskipun dalam Pasal 81 disebutkan bahwa ketentuan Pasal 80 juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap gugatan atas pelanggaran merek (Pasal 76), padahal sengketa yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Merek No 15 Tahun 2001 tidak hanya masalah gugatan pembatalan merek dan gugatan atas pelanggaran merek saja. Masih ada bentuk sengketasengketa merek yang lain misalnya sengketa yang melibatkan Direktorat Merek secara langsung sebagai pihak dalam sengketa merek, yaitu sengketa tentang keberatan atas penolakan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar atau keberatan terhadap penghapusan merek terdaftar atas prakarsa Direktorat Merek. Hal ini merupakan salah satu kekurangan dari UU Merek No.15 Tahun 2001 yang perlu sekiranya menjadi perhatian dari pemerintah (pembuat undang-undang). Pasal 80 UU No. 15 Tahun 2001, menjelaskan tentang tata cara gugatan pada Pengadilan Niaga sebagai berikut: 1. Gugatan pembatalan pendaftaran Merek diajukan kepada Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Merek (MRR Tiyas Maheni DK)
114
2.
Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 3. Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. 4. Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. 5. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. 6. Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. 7. Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan. 8. Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah gugatandidaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan ketua Mahkamah Agung. 9. Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. 10. Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
2.
3.
4.
5.
6.
115
7.
Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan menetapkan hari siding paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung, 8. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung, 9. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung, 10. Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasarai putusan tersebut harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum, 11. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan, 12. Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. Gambar Proses Beracara Merek di Pengadilan Niaga
PENGGUGAT
PANITERA
PEMANGGILAN
GUGATAN
PENGGUGAT
SIDANG
TERGUGAT
MAHKAMAH AGUNG
SIDANG PEMERIKSAAAN
116
Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Merek (MRR Tiyas Maheni DK)
PUTUSAN
PARA PIHAK DITJEN HKI DAFTAR UMUM MEREK BERITA RESMI MEREK
VI. Penutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang perniagaan. Pengadilan Niaga pada awalnya dibentuk untuk menyelesaikan perkara-perkara kepailitan dan akhirnya kompetensinya diperluas untuk menyelesaikan perkara HKI termasuk Merek. Penye-lesaian sengketa merek melalui Pengadilan Niaga berjalan lebih cepat dibandingkan ketika di pengadilan Negeri biasa. Undang-Undang Merek mengatur bahwa gugatan harus telah diputuskan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan diterima Pengadilan Niaga, dan hanya dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari dengan persetujuan Mahkamah Agung. Putusan Pengadilan Niaga dapat dilakukan upaya hukum Kasasi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan Kasasi diterima. Oleh karena itu proses penyelesaian sengketa perdata melalui Pengadilan Niaga adalah lebih kurang 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian para pihak yang bersengketa memiliki kepastian waktu dalam penyelesaian perkaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2002, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Paulus Effendie Lotulung, 2004, Penyelesaian Sengketa Merek dan Pengadilan Niaga, makalah disampaikan dalam Lokakarya tentang Penegakan HaKI di Bidang Merek Sebagai Sarana Peningkatan Investasi di Indonesia, Jakarta, 18 September 2004. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tentang Merek. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tentang Kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
117