Anda di halaman 1dari 5

Perlindungan terhadap Pekerja/Buruh yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Taufiq Yulianto Staf Pengajar Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang Abstract: Protection of workers/laborers are very necessary given the weak position, especially if the workers/laborers are exposed to termination of employment, because it means the workers/laborers have lost their jobs and income so that the termination of employment caused difficulties for the workers/laborers and their families. For it as a form of protection to workers/laborers then the government ought to intervene in a termination problem. Key words: Protection of workers/laborers, Termination of Employment I. Pendahuluan Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan awal hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilannya. Istilah PHK merupakan hal yang ditakuti oleh setiap pekerja/buruh, karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa berakhirnya hubungan kerja tidak hanya berasal dari keinginan pengusaha saja tetapi bisa juga berasal dari keinginan pekerja/ buruh. II. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan istilah PHK atau pengakhiran hubungan kerja. Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama atau diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan perburuhan. Praktek pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian tidak menimbulkan masalah bagi kedua belah pihak yaitu pekerja dan pengusaha, karena kedua belah pihak telah mengetahui saat berakhirnya perjanjian kerja tersebut. Berbeda dengan pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih bagi pihak pekerja yang dipandang dari sudut ekonomi berada dalam posisi yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah pemutusan hubungan kerja untuk lebih menjamin adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja. Pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan RagamJurnalPengembanganHumanioraVol.12No.2,Agustus2012

105

pemerintah harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Apabila perundingan tersebut benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. III. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja Dalam UU No. 13 Tahun 2003 dikenal beberapa jenis pemutusan hubungan kerja, yaitu: 1. Pemutusan hubungan kerja demi hukum Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi dengan sendirinya menurut hukum. Pasal 1603e KUHPerdata menyebutkan bahwa hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan. Berdasarkan ketentuan pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003 penyebab PHK demi hukum adalah: a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya b. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali c. Pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), atau praturan perundangundangan d. Pekerja/buruh meninggal dunia 2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan adalah tindakan pemutusan hubungan kerja karena adanya putusan hakim pengadilan.PHK ini sebenarnya merupakan akibat dari adanya sengketa antara buruh dan majikan yang berlanjut sampai pengadilan. Pengadilan meluluskan permintaan itu hanya setelah mendengar atau memanggil secara sah pihak lainnya. Jika pengadilan meluluskan permintaan itu pengadilan menetapkan saat hubungan kerja itu akan berakhir. 3. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh Dalam teori hukum perjanjian salah satu pihak dibolehkan untuk memutuskan perjanjian dengan persetujuan pihak lainnya. Demikian hubungan kerja, menurut Iman Soepomo pihak pekerja/buruh dapat saja memutuskan hubungan kerjanya dengan persetujuan pihak pengusaha pada setiap saat yang dikehendakinya, bahkan pekerja/ buruh juga berhak memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa persetujuan pengusaha, tetapi tindakan pekerja/buruh yang berbuat demikian tersebut telah bertindak berlawanan dengan hukum. Abdul Khakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh disebabkan oleh dua hal:

106

PerlindunganterhadapPekerja/BuruhyangTerkenaPemutusanHubunganKerja(PHK) (TaufiqYulianto)

Karena permintaan pengunduran diri (Pasal 162 UU No. 13 Tahun 2003) Karena permohonan PHK kepada pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003) Jadi secara hukum dan dalam praktek PHK tidak hanya dominan dilakukan oleh pengusaha, tetapi juga dapat dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam hal pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh atas permintaan pengunduran diri yaitu PHK tersebut timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. Sedangkan untuk PHK oleh pekerja/buruh dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan hubungan industrial, bila pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga kali berturut-turut atau lebih d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja Teknisnya pekerja/buruh menempuh prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melalui upaya penyelesaian perundingan bipartit, konsiliasi atau arbitrase, atau mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan hubungan industrial 4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha ini adalah yang paling sering terjadi. Pemutusan hubungan kerja ini terjadi atas kehendak atau prakarsa dari pengusaha karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status dan sebagainya. Berdasarkan pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa PHK oleh pengusaha harus memperoleh penetapan terlebih dahulu dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi melakukan PHK terhadap pekerja/buruh tidak bisa semau atau sekehendak pengusaha. Kesemuanya harus dilakukan dengan dasar dan alasan yang kuat. IV. Hak yang diterima oleh pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja Pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, maupun uang penggantian hak. Adapun formulasi besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, maupun uang penggantian hak menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

a. b.

RagamJurnalPengembanganHumanioraVol.12No.2,Agustus2012

107

a. Uang Pesangon (Pasal 156 ayat 2) No Masa Kerja 1 masa kerja kurang dari 1 tahun 2 masa kerja 1 - 2 tahun, 3 masa kerja 2 - 3 tahun, 4 masa kerja 3 - 4 tahun 5 masa kerja 4 - 5 tahun 6 masa kerja 5 - 6 tahun 7 masa kerja 6 - 7 tahun 8 masa kerja 7 8 tahun 9 masa kerja 8 tahun atau lebih

Uang Pesangon 1 (satu) bulan upah; 2 (dua) bulan upah; 3 (tiga) bulan upah 4 (empat) bulan upah 5 (lima) bulan upah 6 (enam) bulan upah; 7 (tujuh) bulan upah. 8 (delapan) bulan upah 9 (sembilan) bulan upah.

b. Uang Penghargaan Masa Kerja (Pasal 156 ayat 3) No Masa Kerja Uang Penghargaan Masa Kerja 1 masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah; 2 masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah 3 masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah 4 masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah 5 masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah; 6 masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah 7 masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah 8 masa kerja 24 tahun atau lebih 10 (sepuluh) bulan upah c. Uang Penggantian Hak (Pasal 156 ayat 4) No Komponen Uang Penggantian Hak 1 cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur 2 biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; 3 penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat 4 hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. V. Kesimpulan Dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis pekerja adalah bebas karena prinsip di negara Indonesia tidak seorangpun boleh diperbudak maupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya. Terkadang pekerja dengan terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun memberatkan bagi diri pekerja/buruh itu sendiri, lebih-lebih lagi pada saat ini banyaknya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya tenaga pekerja/buruh seringkali diperas oleh majikan atau pengusaha dengan upah yang relatif kecil. Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah

108

PerlindunganterhadapPekerja/BuruhyangTerkenaPemutusanHubunganKerja(PHK) (TaufiqYulianto)

mempunyai peran yang sangat penting untuk melindungi pihak yang lemah yaitu pekerja/buruh dari kekuasaan pengusaha guna menempatkan pekerja/buruh pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. DAFTAR PUSTAKA Asikin, Zainal, dkk, 1997, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, Raja Grafindo Persada Asyhadi, Zaini, 1994 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dalam Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, Raja Grafindo Persada -------------, 2007, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta, RajaGrafindo Persada Husni, Lalu, 2000, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers -------------, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Bandung, Armico Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti Rusli, Hardijan, 2003, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta, Ghalia Indonesia Subekti, R & Tjitrosudibio, R, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboe), Jakarta, Pradnya Paramita Soepomo, Iman, 1987, Hukum Perburuhan, Jakarta, Penerbit Djambatan Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. SE. 907/Men.PHIPPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.

RagamJurnalPengembanganHumanioraVol.12No.2,Agustus2012

109

Anda mungkin juga menyukai