Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PERIKATAN ANALISIS TERHADAP KASUS JAYENGGATEN SEMARANG

Oleh: Nama: Anggie Septian NIK: 126131020

Studi Kasus Diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Komersial sebagai salah satu bahan penilaian dalam perkuliahan

Program Studi PPAK

Dosen Prof. Dr. MS Tumaggor, SH., M.Si.

UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA APRIL 2013

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia serta kesempatan yang diberikannya saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Komersial. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. MS

Tumaggor, SH., M.Si. atas kesempatan yang diberikan untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini memiliki judul ANALISIS TERHADAP KASUS JAYENGGATEN SEMARANG yang membahas tentang masalah persewaan tanah yang melibatkan warga sekitar, ahli waris dan pengusaha. Seperti kata pepatah tidak ada gading yang tidak retak, saya juga merasa bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu saya dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk makalah ini agar dapat lebih baik lagi kedepannya.

Jakarta, 29 Maret 2014

Anggie Septian

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. B. C. Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penulisan 1 2 2 i ii

BAB II. PEMBAHASAN A. Kronologi Kasus B. Landasan Teori


C. Pembahasan

3 4 11

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran 14 14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain untuk dapat berkembang. Hal tersebut juga tercermin dalam dunia perekonomian dimana setiap pelaku bisnis saling bekerja sama untuk mengembangkan bisnis mereka menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Tidak ada seorang pengusaha yang mampu mencapai kesuksesan dalam berbisnis seorang diri tanpa bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, kemajuan dalam berbisnis sangat ditentukan oleh seberapa baik kita dapat bekerja sama dengan orang lain. Namun kenyataannya tidak selamanya hubungan kerja sama dapat menghasilkan sesuatu yang positif, bahkan tidak jarang hubungan kerja sama yang dibangun justrus berdampak negatif bagi kelangsungan usaha yang kita buat. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap kesepakatan kerja sama yang telah disepakati bersama sebelumnya. Karena dasar itu pada saat ini hubungan kerja sama tidak dapat lagi dibangun hanya berdasarkan rasa saling percaya, namun harus dibawah hukum yang berlaku agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Pengertian dari hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia , menjaga ketertiban, keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Jadi hukum diperlukan dalam berbisnis untuk menciptakan keadilan dan menghidari terjadinya kekacauan yag ditimbulkan dari hubungan kerja sama tersebut. Ada berbagai macam jenis hukum yang berlaku di Indonesia, dipisahkan menurut bentuk, wilayah, fungsi, waktu, isi dan lain-lain. Menurut isinya hukum dibagi kedalam tiga jenis hukum yaitu hukum publik, hukum antar waktu dan hukum privat. Hukum privat atau yang disebut juga hukum perdata merupakan ketetapan hukum yang mengatur kepentingan dan hak-hak orang perorangan perdata, hubungan antar individu dengan individu lain yang sifatnya pribadi atau khusus. Hukum privat (perdata) dibagi menjadi beberapa hukum yang lebih spesifik lagi yaitu hukum pribadi, hukum keluarga, hukum kekayaan, hukum waris, hukum dagang dan hukum adat. Makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai hukum kekayaan khususnya hukum perikatan dimana hukum perikatan itu merupakan peraturan yang mengatur hubungan hukum yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih. Kasus yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kasus Jayenggaten Semarang yang melibatkan ahli waris bernama Tasripien, pemiik Hotel Gumaya bernama Hendra

Soegiarto dan warga sekitar. Kasus ini timbul karena terjadi permasalahan sehubungan dengan sewa menyewa dan jual beli tanah yang kurang sempurna di mata hukum.

B. Rumusan Masalah 1. Permasalahan apa yang terjadi antara warga yang tinggal di tanah Jayenggaten Semarang dengan Hendra Soegiarto selaku pemilik Hotel Gumaya 2. Bagaimana penyelesaian kasus tersebut 3. Bagaimana akhir dari permasalahan kasus tersebut

C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui dasar permasalahan yang terjadi antara warga Jayenngaten Semarang dengan Hendra Soegiharto selaku pemilik Hotel Gumaya 2. Mengetahui bagaimana cara menyelesaikan kasus tersebut dengan menggunakan ketentuan hukum yang berlaku 3. Mengetahui akhir dari kasus tersebut apakah sudah diselesaikan dengan prosedur yang tepat sesuai dengan ketentuan hukum

BAB II PEMBAHASAN
A. Kronologi Kasus Kasus Jayenggaten Semarang Akta jual beli tanah Jayenggaten dari ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra Soegiarto, pemilik Hotel Gumaya. Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar, kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa (6/9). Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut. Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain. Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara, ujarnya. Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayenggaten, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa. Sebaliknya, pemilik Hotel Gumaya merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli

waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Gumaya), dan warga Jayenggaten, usulnya. Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayenggaten. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 8 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Gumaya bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak. Wakil Wali Kota, Mahfudz Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Gumaya. Bahkan, beberapa waktu lalu Mahfudz mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang, kata dia. Pada kesempatan itu, Mahfudz memprihatinkankan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayenggaten pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayenggaten terselesaikan dengan baik. Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi prihatin, ujarnya.

B. Landasan Teori PASAL 1320 KUHPerdata Menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada : 1. Kesepakatan kedua belah pihak. Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hal ini jelas, bahwa hukum perjanjian tidak boleh dibuat dengan adanya paksaan kepada salah satu atau kedua belah pihak. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 tahun bagi wanita.

Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah mereka yang sudah berusia 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun bagi wanita. Namun bila mengacu pada KUHPer, mereka yang dianggap cakap adalah berusia 21 tahun untuk laki-laki dan 18 untuk perempuan. Meski dalam undang-undang perkawinan ditetapkan usia dibawah itu. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum. 3. Obyek (Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas). Maksudnya objek yang diatur kontrak harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif 4. Kausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata, Suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Misalkan perjanjian jual beli narkoba atau jual beli senjata gelap.

Dari ke 4 syarat tersebut, Syarat pertama dan ke dua disebut syarat subyektif, Sebab menyangkut subyek perjanjian. Apabila syarat subyektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan lewat pengadilan. Jika tidak dituntut pembatalan, maka perjanjian tetap berlaku.

Syarat ke tiga dan keempat disebut syarat obyektif, Sebab menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat obyektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada a. Syarat Subyektif Syarat Subyektif adalah syarat sahnya perjanjian yang terkait dengan subyek atau para pihak yang akan membuat perjanjian. Syarat subyektif meliputi: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa kedua

subyek/pihak yang akan menandatangani perjanjian tersebut harus sepakat, setuju, seia sekata mengenai hal-hal akan diperjanjikan; Cakap untuk membuat perjanjian, artinya orang yang menandatangani perjanjian tersebut harus cakap menurut hukum. Berdasarkan pasal 1330 KUHPerdata menggolongkan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian - orang-orang yang belum dewasa; - mereka yang dibawah pengampuan; sebagai berikut:

- orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UU dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu (persyaratan ini telah dicabut);

Terkait dengan syarat cakap menurut hukum, bahwa pihak yang menandatangani perjanjian itu adalah benar-benar pihak yang berwenang untuk menandatangani perjanjian tersebut, misalnya: Pihak pengguna adalah Pimpro, ia bertindah mewakili negara untuk menandatangani perjanjian berdasarkan SK Pengangkatan Pimpro; Penyedia jasa (direktur) menandatangani perjanjian karena AD, ART PT, apabila perorangan dia harus memenuhi persyaratan 1330 KUHPerdata; Kata sepakat para pihak maksudnya para pihak telah setuju tentang isi perjanjian. Kesepakatan ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan. Terjadinya kata sepakat, mengandung makna, bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, serta tidak terjadi penekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antar para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte), dan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Agar terjadi kesepakatan biasanya didahului dengan negosiasi. Kecakapan untuk membuat sesuatu perjanjian adalah para pihak telah dewasa, sehat pikirannya, dan berwenang untuk membuat perjanjian tersebut, misalnya seorang pengurus Koperasi tertentu diberi kewenangan atau tidak untuk membuat kontrak/perjanjian tertentu. b. Syarat Obyektif Suatu hal / obyek tertentu, maksudnya apa yang menjadi hak kreditur dan yang menjadi kewajiban debitur harus sudah jelas, tertentu, dan dapat dibuktikan keberadaannya. Misalnya: barang yang menjadi obyek perjanjian harus ditentukan jumlahnya, jenisnya, ukurannya dan sebagainya. Syarat Obyektif adalah syarat perjanjian yang terkait dengan obyek atau isi yang diperjanjikan. Syarat obyektif meliputi:

Mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa obyek yang diperjanjikan harus jelas dan sudah dapat ditentukan jenisnya. Jadi obyeknya harus tertentu, misalnya kewajiban membangun jalan, melakukan studi kebijakan pengadaan pemerintah dan lain-lain.

Suatu sebab yang halal, artinya bahwa isi dari perjanjian tersebut harus tidak bertentangan genga peraturan perundang-undangan ketertiban umum, dan kesusilaan dimana perjanjian itu ditandatangani;

Kesimpulan dari kedua syarat tersebut adalah : Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan perjanjian atau perjanjian itu dianggap tidak ada sehingga para pihak tidak bisa menuntut pemenuhan kewajiban. Misalnya perjanjian jual beli narkoba. Apabila dalam perjanjian ada beberapa atau satu klausul yang melanggar perjanjian ketentuan perundang-undangan dan sifat klosul tersebut bukan mengatur pokok-pokok perjanjian atau obyek yang diperjanjikan, maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum akan tetapi klosul yang bertentangan tersebut yang dinyatakan batal demi hukum sedangkan klausul yang lain masih tetap berlaku. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka pejanjian tesebut tidak batal demi hukum, akan tetapi pihak yang dirugikan daat mengugat untuk membatalkan perjanjian tersebut di peradilan atau arbitrase. Apabila pihak yang dirugikan tidak memintakan pembatalan di pengadilan/arbitrase maka ketentuan perjanjian tersebut harus tetap dilaksanakan.

Pasal 1338 KUHP Pasal 1338 ayat (1) KUH.Perdata. menyebutkan, 1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata "semua" menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak mengikat dan wahib dilaksankan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah

satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan tadi Kalimat 'yang dibuat secara sah' diartikan pemasok bahwa apa yang disepakati, berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan, kontrak batal demi hukum. 2. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau. karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 1457 dan 1458 KUH Perdata, yang menyatakan jual beli adalah persetujuan suatu pihak mengikat diri untuk wajib menyerahkan barang dan pihak lain wajib membayar harga, yang dimufakati kedua pihak. Selanjutnya dalam Pasal 1475 KUH Perdata menyatakan penyerahan barang oleh penjual ke arah kekuasan dan pemegangan pihak pembeli. Dengan begitu disimpulkan pembatasan syarat perdagangan juga menyimpang dari prinsip jual beli yang menganut asas timbal balik. 3. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama

Dan dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian jual beli apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan

Hubungan antara Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata dalam perjanjian Jual-beli Menurut Pasal 1338 ayat (1) bahwa : Perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KHU Perdata. Oleh karena itu kedua pasal dalam KUHPerdata tersebut saling mempunyai hubungan yang erat dalam perjanjian / perikatan. Dari Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut terdapat beberapa hubungan atau azas-azas atau bisa dikatakan juga prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian jual beli diantaranya adalah : Asas Kebebasan berkontrak/keterbukaan Asas Itikad Baik Asas Pacta Sun Servada Asas Konsensualitas / Konsensuil (Kesepakatan) Asas Berlakunya Suatu Perjanjian

a.

Asas Kebebasan berkontrak/keterbukaan Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system) Asas ini dibatasi dengan ketentuan dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu isi dari perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan umum Sistem terbuka artinya para pihak dalam melakukan perjanjian jual beli bebas mengemukakan kehendak, mengatur hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian.

b. Asas Itikad Baik Dalam hukum perjanjian jual beli dikenal asas itikad baik, yang artinya bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian jual beli harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. c. Asas Pacta Sun Servada Asas Pacta Sun Servada adalah suatu asas dalam hukum perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti kekuatan mengikat suatu undang-undang, artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka seperti undang-undang. Dengan demikian maka pihak ke tiga bisa menerima kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak menerima keuntungan karena perbuatan

mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu termasuk dimaksudkan untuk pihak ke tiga. Asas ini dalam suatu perjanjian dimaksudkan tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Kalaulah diperhatikan istilah perjanjian pada pasal 1338 KUH Perdata, tersimpul adanya kebebasan berkontrak yang artinya boleh membuat perjanjian, baik perjanjian yang sudah diatur adalah KUH Perdata maupun dalam Kitab Undangundang Hukum dagang atau juga perjanjian jenis baru, berarti di sini tersirat adanya larangan bagi hukum untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen dalam perjanjian jual beli bahwa mereka tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian karena perjanjian itu berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya. d. Asas Konsensualitas / Konsensuil (Kesepakatan) Maksud dari asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian jual beli tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dimana harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat. Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan. Terhadap asas Konsensualitas / Konsensuil (Kesepakatan) ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda Pada dasarnya perjanjian itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Dikatakan pada dasarnya, karena ada beberapa bentuk perjanjian, karena perintah dari perundang-undangan harus dibuat dalam bentuk tertulis atau harus disahkan oleh notaris (perjanjian notariil), sehingga perjanjian tersebut baru sah kalau para pihak sudah menandatangani perjanjian atau sejak perjanjian tersebut disahkan oleh notaris. Perjanjian yang tidak tertulis, misalnya: jual beli di pasar, perjanjian ini lahir sejak adanya kesepakatan mengenai harga antara pihak penjual dan pembeli. Sedangkan contoh perjanjian yang tertulis atau

perjanjian notariil adalah: perjanjian pengadaan barang/jasa instansi pemerintah, perjanjian peralihan hak atas tanah, dan lain-lain e. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak mengikat dan wahib dilaksankan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan tadi Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang. Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam pasal yaitu: Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.

C. Pembahasan Seperti yang telah dijelaskan di atas dalam kronologi kasus, bahwa permasalahan ini melibatkan tiga pihak, yaitu ahli waris Tasripien yang bernama Aisyiah, kemudian warga sekitar dan Hendra Soegiharto sebagai pemilik hotel Gumaya. Konflik yang timbul disebabkan karena masalah sewa menyewa dan jual beli tanah Jayenggaten Semarang. Masalah ini timbul bermula dari penjualan tanah yang dilakukan oleh ahli waris Tasripien kepada Hendra Soegiharto. Pembelian tanah yang dilakukan Hendra bertujuan untuk membangun hotel di tanah tersebut yang benama Hotel Gumaya. Dalam akta jual beli tanah jelas di tulis bahwa tanah seluas 5.440 m2 beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien kepada Hendra Soegiharto pemilik Hoel Gumaya. Namun penjualan tersebut mendapat pertentangan dari warga sekitar yang menduduki tanah tersebut. Bahwa warga menganggap mereka telah melakukan sewa lahan kepada Aisyiah dan terkait dengan bangunan yang berdiri di atas lahan adalah bangunan yang mereka dirikan sendiri, bukan berasal dari awal mereka menempati lahan tersebut. Permasalahan yang terjadi adalah bahwa warga dan Hendra merasa sama-sama

berhak atas tanah tersebut namun kepentingan dari keduanya berbeda. Hendra bertujuan untuk mendirikan hotel di atas tanah tersebut, sedangkan warga ingin tetap menempati tanah tersebut yang disana terdapat rumah mereka. Pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah terdapat perjanjian sewa menyewa antara warga dengan Aisyiah, dan apakah jangka waktu perjanjian tersebut masih berlaku sampai pada saat ketika Hendra Soegiharto membeli tanah tersebut. Setelah kasus tersebut diteliti dinyatakan bahwa tidak ada perjanjian tertulis dan resmi mengenai sistem sewa menyewa dan sistem pembayarannya. Bahwa ahli waris Tasripien menyatakan pembayaran sewa akan lahan tersebut dilakukan secara ambilan bukan dengan metode setor dan Tasripien merasa bahwa warga tidak membayar sewa lahan tersebut kepadanya. Mengacu pada pasal 1320 KUHPerdata ada empat syarat bagaimana perjanjian dinyatakan sah dalam hukum yaitu kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, objek, dan kausa yang halal. Dalam kasus ini tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu antara waga dengan Tasripien. . Kesepakatan yang dimaksud adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju akan hal-hal pokok yang terdapat dalam kontrak. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini bisa tertulis maupun secara lisan. Perjanjian ini melahirkan perikatan dimana perikatan itu sendiri mengatur bahwa seorang memiliki hak atas sesuatu dan seorang yang lain memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Dengan adanya fakta bahwa setoran sewa dilakukan secara ambilan dan ahli waris tidak merasa warga membayar sewa lahan kepadanya maka syarat pertamapun dinyataan tidak dipenuhi karena kewajiban warga sebagai penyewa tidak dilaksanakan dengan baik terbukti dari pembayaran sewa yang tidak dilaksanakan. Kemudian diatur selanjutnya dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Dalam hubungannya dengan kasus yang dibahas bahwa warga tidak membuat suatu perjanjian sah dan tertulis mengenai sewa menyewa lahan dengan ahli waris sehingga posisi warga dalam hukum sangat tidak menguntungkan. Permasalah tentang perikatan ini juga di atur dalam prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam perjanjian jual beli terutama dalam asas konsensualitas dan konsensuil dimana dalam asas ini ditekankan bahwa dalam perjanjian jual beli ditekankan adanya suatu kata sepakat antara pihak-pihak yang melakukan jual beli ataupun sewa menyewa. Dalam kasus ini tidak ada kata sepakat antara ahli waris dengan warga sehingga hubungan sewa menyewa yang diakui oleh warga tidak diakui dalam hukum. Semua hal yang terjadi antara warga dengan ahli waris berbanding terbalik dengan apa yang terjadi antara Hendra Soegiharto dengan ahli waris. Bahwa dalam melakukan proses jual beli tanah tersebut Hendra telah melakukan prosedur dan ketentuan hukum yang

berlaku di Indonesia. Dengan diterbitkannya akta jual beli tanah maka Hendra memilik kekuatan hukum atas kepemilikan tanah tersebut. Perjanjian ini juga telah memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata pasal 1320 dan pasal 1338, terlepas adanya kecacatan dalam akta jual beli dimana dalam akta tersebut dituliskan tanah beserta bangunannya yang pada kenyataannya ahli waris tidak berhak atas bangunan yang berdiri di atas lahan tersebut namun tetap posisi Hendra lebih kuat dibandingan dengan warga Jayenggaten Semarang. Penyelesaian masalah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan mediasi antara warga, ahli waris, dengan Hendra agar tercipta jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Dalam mediasi tersebut Hendra Soegiharto mengatakan bahwa akan memberika ganti rugi keada warga sebesar Rp 1.000.000 /m2 namun warga tetap menolak ganti rugi tersebut. Perkara ini akhirnya dimenangkan oleh Hendra Soegiharto ditandai dengan berdirinya Hotel Gumaya dan warga Jayenggaten Semarang akhirnya berpindah tempat mencari lokasi baru untuk tempat tinggal mereka.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Dari uraian analisis diatas tampak bahwa dalam membuat perjanjian harus memperhatikan hukum yang berlaku umum di indonesia. Khusus dalam perjanjian yang berkaitan dengan harta diatur dalam hukum perdata agar perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mampu dipertanggung jawabkan. Masalah yang terjadi antara warga Jayenggaten Semarang dengan Hendra Soegiarta berkaitan dengan sah tidaknya perjanjian yang masing-masing pihak laksanakan. Dimana warga mengklaim bahwa mereka telah membuat perjanjian sewa menyewa lahan dan telah memenuhi kewajibanya sebagai penyewa namun ahli waris tidak merasa warga telah memenuhi kewajibannya sebagai penyewa karena tidak menerima uang sewa warga sama sekali, sedangkan dengan Hendra Soegiarta telah terjadi kesepakatan jual beli yang sah berupa akta jual beli sehingga posisi Hendra di mata hukum lebih baik dari warga Jayenggaten Semarang.

B. Saran Atas dasar kasus diatas, dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan perikatan yang menyangkut dengan harta benda dan kekayaan lain sebaiknya kita memperhatikan KUHPerdata pasa 1320 dan 1338 dan asas-asas yang berlaku.

Dengan memperhatikan hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa kita memiliki kekuatan hukum yang baik apabila terjadi masalah-masalah yang tidak diingikan kemudian hari sehingga kita dapat menghidari kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari masalah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai