Bagikan
Setiap ketemu Yudian Wahyudi, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, saya selalu diajak bicara tentang pesantren Tremas. Dia
sangat bangga dengan pesantren tersebut. Akhirnya, saya tahu, ternyata ia
lama belajar di pesantren itu. Detail-detail tentang pesantren yang berada di
kira-kira 2 km arah utara kota Pacitan dia kuasai betul. Saya selalu lupa, tidak
pernah menanyakan berapa lama ia nyantri di pesantren itu. Tetapi saya kira
cukup lama. Ketika berbicara tentang Tremas, bahan pembicaraan itu seperti
tidak ada habis-habisnya. Ia sangat bangga menjadi salah seorang alumni
pesantren tersebut.
Membaca gelar di belakang namanya itu saja, setiap orang insya Allah tahu,
bahwa teman saya tersebut adalah alumni perguruan tinggi luar negeri. Dia
juga pernah bercerita bahwasanya pernah mengajar di Harvard Uiversity,
Amerika Serikat, sebuah perguruan tinggi yang sangat masyhur di dunia
barat. Beberapa kali ia menyajikan makalah bersama para pemikir besar
dalam berbagai seminar internasional, baik di Amerika Serikat, di Eropa
maupun di benua lainnya.
Tatkala berbicara tentang prestasi yang diraih, seolah-olah teman saya ini
mau mempertegas bahwa ternyata lulusan pesantren tidak kalah bilamana
dibanding dengan alumni lembaga pendidikan lainnya, termasuk perguruan
tinggi. Setidak-tidaknya, dengan semangat dia akan mengatakan bahwa
pendidikan pesantren sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat
signifikan, sehingga banyak berhasil melahirkan alumni yang banyak
diperhitungkan. Pesantren tidak boleh dipandang sederhana, sebagai
lembaga pendidikan pedesaan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dia
akan mengatakan, bahwa pesantren memiliki kekuatan yang tidak dimiliki
oleh lembaga pendidikan lainnya.
Daftar nama alumni itu belum termasuk Yudian Wahyudi, Ph.D, dan Prof.Dr.
Musa Asy’ari, keduanya menjadi pejabat dan guru besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Saya yakin, masih banyak sejumlah alumni Tremas lainnya yang
belum masuk dalam daftar itu, sekalipun mereka telah berhasil melakukan
peran-peran kepemimpinan masyarakat di tempat tinggalnya masing-
masing. Alumni yang dibanggakan lainnya di anataranya adalah Prof.Dr.Mukti
Ali, ia pernah menjadi Menteri Agama. Selain itu juga ada nama Jendral
Sarbini, dan Zabidi, yang bersangkutan pernah menjadi Duta Besar di Saudi
Arabia.
Dilihat dari tempat dan keadaannya, maka apa yang berhasil diraih oleh
pesantren tersebut terasa aneh. Yakni tampak sederhana tetapi berhasil
membuahkan karya besar. Apalagi hal itu jika dibanding dengan orientasi
masyarakat saat ini. Masyarakat sekarang ini, umumnya bergerak dari desa
belajar ke kota, yakni ke universitas-universitas. Dan, belum tentu tatkala
kembali ke desa, berhasil melakukan peran-peran sebagaimana yang dimaui
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Kasus Pesantren Tremas ini justru
kebalikannya. Banyak anak-anak kota, datang ke Pacitan, dengan maksud
belajar di sana. Sepulang dari pesantren itu, mereka menjadi kyai atau
ulama’ dan melakukan peran-peran kepemimpinan untuk masyarakatnya.
Masyarakat saat ini pada umumnya, jika kita bandingkan dengan tradisi yang
telah dibangun di Tremas, rasanya justru telah mengalami kemunduran. Pada
saat ini banyak orang ketika memilih lembaga pendidikan, hanya
mempertimbangkan hal yang sepele, misalnya dari kemegahan gedungnya,
murah ongkosnya, cepat dan mudah lulus, dan seterusnya. Melihat
kenyataan itu ternyata pesantren justru telah memberikan sumbangan yang
besar dan tepat dalam membangun tradisi pendidikan. Pendidikan pesantren
lebih mengutamakan isi daripada sebatas simbol-simbolnya. Dalam
keadaannya yang sederhana, lembaga pendidikan pesantren berusaha
menumbuh-kembangkan jiwa kemanusiaan ----keimanan, ilmu, akhlak dan
amal sholeh, sebagai bekal kehidupan bagi para alumninya di masa depan.
Wallahu a’lam