Anda di halaman 1dari 3

Alumni Pesantren

Bagikan

27 Mei 2009 jam 12:02

Setiap ketemu Yudian Wahyudi, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, saya selalu diajak bicara tentang pesantren Tremas. Dia
sangat bangga dengan pesantren tersebut. Akhirnya, saya tahu, ternyata ia
lama belajar di pesantren itu. Detail-detail tentang pesantren yang berada di
kira-kira 2 km arah utara kota Pacitan dia kuasai betul. Saya selalu lupa, tidak
pernah menanyakan berapa lama ia nyantri di pesantren itu. Tetapi saya kira
cukup lama. Ketika berbicara tentang Tremas, bahan pembicaraan itu seperti
tidak ada habis-habisnya. Ia sangat bangga menjadi salah seorang alumni
pesantren tersebut.

Membaca gelar di belakang namanya itu saja, setiap orang insya Allah tahu,
bahwa teman saya tersebut adalah alumni perguruan tinggi luar negeri. Dia
juga pernah bercerita bahwasanya pernah mengajar di Harvard Uiversity,
Amerika Serikat, sebuah perguruan tinggi yang sangat masyhur di dunia
barat. Beberapa kali ia menyajikan makalah bersama para pemikir besar
dalam berbagai seminar internasional, baik di Amerika Serikat, di Eropa
maupun di benua lainnya.

Tatkala berbicara tentang prestasi yang diraih, seolah-olah teman saya ini
mau mempertegas bahwa ternyata lulusan pesantren tidak kalah bilamana
dibanding dengan alumni lembaga pendidikan lainnya, termasuk perguruan
tinggi. Setidak-tidaknya, dengan semangat dia akan mengatakan bahwa
pendidikan pesantren sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat
signifikan, sehingga banyak berhasil melahirkan alumni yang banyak
diperhitungkan. Pesantren tidak boleh dipandang sederhana, sebagai
lembaga pendidikan pedesaan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dia
akan mengatakan, bahwa pesantren memiliki kekuatan yang tidak dimiliki
oleh lembaga pendidikan lainnya.

Tatkala saya berkunjung ke pesantren Tremas, oleh Gus Fuad, -----salah


seorang pengasuh pesantren tersebut, diberi buku kecil sekitar 100 halaman,
berisi gambaran singkat tentang sejarah, system pendidikan dan berbagai
sarana dan prasarana yang tersedia di pesantren itu. Pada bagian akhir dari
buku itu ditulis nama-nama para kyai di Indonesia yang pernah belajar di
Tremas. Sungguh luar biasa, dari daftar nama-nama kyai tersebut
menunjukkan bahwa betapa Pesantren Tremas telah memberikan
sumbangan yang amat besar pada pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
Alumni pesantren Tremas yang namanya tercatat di buku tersebut tidak
kurang dari 60 kyai. Mereka dikenal luas telah membangun pesantren besar
di daerahnya masing-masing. Para kyai yang terdaftar di buku itu, semuanya
tergolong kyai besar. Misalnya, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Machrus Ali,
Lirboyo, Kediri, Kyai Ma’sum Lasem Rembang, Kyai Asyhari, Lempuyangan,
Yogyakarta. Kyai Muzni Purwokerta, Kyai Muslikh Mranggen, Demak, Kyai
Abdul Haq, Buduran Sidoarjo, Kyai Muhammad Munawwir Krapyak,
Yogyakarta, Kyai Ahmad Halim, Jember, Kyai Harun Darun Najah Banyuwangi
dan lain-lain.

Daftar nama alumni itu belum termasuk Yudian Wahyudi, Ph.D, dan Prof.Dr.
Musa Asy’ari, keduanya menjadi pejabat dan guru besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Saya yakin, masih banyak sejumlah alumni Tremas lainnya yang
belum masuk dalam daftar itu, sekalipun mereka telah berhasil melakukan
peran-peran kepemimpinan masyarakat di tempat tinggalnya masing-
masing. Alumni yang dibanggakan lainnya di anataranya adalah Prof.Dr.Mukti
Ali, ia pernah menjadi Menteri Agama. Selain itu juga ada nama Jendral
Sarbini, dan Zabidi, yang bersangkutan pernah menjadi Duta Besar di Saudi
Arabia.

Memperhatikan nama-nama para alumni Pesantren Tremas tersebut, saya


memandang bahwa sesungguhnya pesantren ini telah meraih keberhasilan
yang luar biasa. Dalam buku kecil yang saya sebutkan di muka, disebutkan
bahwa tujuan pesantren tersebut adalah untuk mencetak insan-insan muslim
yang tafaqquh fiddin, insan-insan muslim yang menjadi pendukung ajaran
Allah swt., secara utuh, maka sesungguhnya cita-cita itu sudah nyata-nyata
berhasil. Pesantren Tremas yang berada di wilayah pegunungan, jauh dari
kota, tetapi ternyata mampu membuahkan karya besar, yakni melahirkan
alumni yang berhasil mengembangkan Islam melalui berbagai karya di
tempatnya masing-masing.

Saya membayangkan andaikan para perintis pesantren Tremas, seperti Kyai


Abdul Manan, Kyai Abdullah, Kyai Dimyathi, Kyai Hamid Dimyathi masih
diberi karunia usia panjang, kemudian menyaksikan karya-karyanya itu
ternyata membuahkan hasil yang sedemikian besar, alangkah bahagianya
beliau ini. Namun sunnatullah tidak akan berubah, masing-masing telah
dipanggil oleh Allah swt., meninggalkan amal sholeh yang amat terpuji itu.
Apa yang dirintis dan dihasilkan oleh para perintis pesantren tersebut, kini
diteruskan dan dikembangkan oleh para ahli warisnya.

Membaca sejarah pertumbuhan Pesantren Tremas ini pantaslah kemudian


jika teman saya Yudhian Wahyudi, Ph.D sangat bangga dengan lembaga
pendidikan Islam itu. Saya melihat sendiri, secara fisik pesantren tersebut
tidak banyak menunjukkan hal istimewa. Bahkan di sana-sini tampak
keadaannya sederhana saja. Tetapi di balik kesederhanaannya itu rupanya
menyimpan kekuatan batin yang luar biasa. Dengan bersemboyankan
keikhlasan, kesederhanaan, kebebasan berusaha menolong diri sendiri dan
umat, serta ukhuwan diniyah, pesantren ini melakukan sesuatu yang
diperlukan oleh umat. Lebih dari itu, kebanggaan itu akan bertambah jika
kemudian diketahui, bahwa dari Pesantren Tremas juga telah lahir kitab-kitab
kuning, yang ditulis oleh kyai pengasuhnya, dan ternyata sebagian kitab itu
dijadikan bahan literature oleh beberapa lembaga pendidikan di Timur
Tengah.

Dilihat dari tempat dan keadaannya, maka apa yang berhasil diraih oleh
pesantren tersebut terasa aneh. Yakni tampak sederhana tetapi berhasil
membuahkan karya besar. Apalagi hal itu jika dibanding dengan orientasi
masyarakat saat ini. Masyarakat sekarang ini, umumnya bergerak dari desa
belajar ke kota, yakni ke universitas-universitas. Dan, belum tentu tatkala
kembali ke desa, berhasil melakukan peran-peran sebagaimana yang dimaui
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Kasus Pesantren Tremas ini justru
kebalikannya. Banyak anak-anak kota, datang ke Pacitan, dengan maksud
belajar di sana. Sepulang dari pesantren itu, mereka menjadi kyai atau
ulama’ dan melakukan peran-peran kepemimpinan untuk masyarakatnya.

Fenomena tersebut sesungguhnya menggambarkan sebuah tingkat budaya


yang tidak sederhana. Umat Islam ketika itu tatkala memilih tempat belajar
bukan mempertimbangkan tempat di mana lembaga itu berada, melainkan
memilih di mana ada sumber belajar yakni kyai atau ulama yang
menyandang kekayaan ilmu pengetahuan yang tinggi. Pesantren Tremas,
sekalipun jauh dari kota, sehingga sulit dijangkau kendaraan, tetapi tetap
didatangi.

Masyarakat saat ini pada umumnya, jika kita bandingkan dengan tradisi yang
telah dibangun di Tremas, rasanya justru telah mengalami kemunduran. Pada
saat ini banyak orang ketika memilih lembaga pendidikan, hanya
mempertimbangkan hal yang sepele, misalnya dari kemegahan gedungnya,
murah ongkosnya, cepat dan mudah lulus, dan seterusnya. Melihat
kenyataan itu ternyata pesantren justru telah memberikan sumbangan yang
besar dan tepat dalam membangun tradisi pendidikan. Pendidikan pesantren
lebih mengutamakan isi daripada sebatas simbol-simbolnya. Dalam
keadaannya yang sederhana, lembaga pendidikan pesantren berusaha
menumbuh-kembangkan jiwa kemanusiaan ----keimanan, ilmu, akhlak dan
amal sholeh, sebagai bekal kehidupan bagi para alumninya di masa depan.
Wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai