Anda di halaman 1dari 22

1

Pemberantasan DBD dalam Program


Puskesmas
Celine Martino / 102011005 / B5 / celine_ccey@yahoo.com
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana
Jl. Arjuna no. 6 Jakarta Barat 11510 www.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Demam dengue atau DF dan demam berdarah dengue atau DBD atau DHF adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia,
dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukkan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan atau syok.
1

Demam berdarah dengue merupakan satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya dan semakin meningkat jumlah
kasusnya. Selain itu DBD merupakan penyakit endemic dan menular, dimana setiap saat
dapat menimbulkan kematian dan kejadian luar biasa (KLB).
2
Vector penyakit ini adalah Aedes aegypti, yang berkembang biak di air jernih dan
tersebar luas di seluruh Indonesia, kecuali pada daerah yang ketinggiannya lebih dari 1.000
meter diatas permukaan laut. Sampai saat ini belum ada obat untuk membunuh virus
dengue, maka pemberantasan DBD ditekan pada pengendalian vector dan penyuluhan
kepada masyarakat.
2
DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena
banyak pasien yang meninggal akibat penanganan yang terlambat. Untuk itu penyuluhan
kepada masyarakat mengenai tanda dan gejala dini sangat penting, dan berperan dalam
keberhasilan program puskesmas mengenai pemberantasan DBD.
2
2

Melalui tinjauan pustaka ini, saya mencoba untuk menjelaskan rumusan masalah
dalam skenario 7, mengenai pemberantasan DBD dalam program puskesmas.
Pembahasan
Skenario 7
Pada akhir tahun, berdasarkan evaluasi program pemberantasan DBD, masih
didapatkan prevalensi DBD berkisar 18% dengan tingkat CFR 4%, rata-rata penderita
datang terlambat, sehingga terlambat juga dirujuk ke rumah sakit. Berdasarkan pemantauan
jentik, didapatkan angka bebas jentik (ABJ) adalah 40%. Kepala puskesmas akan
melakukan revitalisasi program pemberantasan DBD, dan ingin mendapatkan insiden
serendah-rendahnya dan CFR 0%. Di daerah tersebut banyak dilakukan pembangunan
gedung-gedung kantor baru dan banyak sampah-sampah di sungai sekitar pemukiman
warga. Masyarakat daerah tersebut masih menggunakan sarana penyimpanan air minum
dalam gentong. Pihak puskesmas mendapatkan data 60% rumah terdapat jentik nyamuk.
Program penyuluhan akan dilakukan oleh petugas puskesmas dalam rangka pemberantasan
sarang nyamuk.

A. Evaluasi Program
Evaluasi program memiliki hubungan yang kuat dengan sistem kesehatan. Dimana
sebuah sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari pelbagai elemen yang
berhubungan dan saling mempengaruhi, yang dengan sadar dipersiapkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Data evaluasi program dapat berupa data sekunder, yang
berasal dari data kependudukan kelurahan dan laporan bulanan puskesmas kelurahan
setempat pada periode tertentu. Berikut merupakan contoh evaluasi program puskesmas
dalam melakukan pemberantasan DBD.
2
Masukan. Masukan meliputi 4M, yaitu man, money, material, dan method, atau
dengan kata lain adalah tenanga, dana, sarana, dan metode.
2
1. Tenaga diperoleh dari dokter, koordinator P2M dan PKM, petugas laboratorium,
petugas administrasi, kader aktif, dan jumantik.
2. Dana diperloleh dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk
anggaran pengawasan dan monitoring, sarana diagnosis, bahan cetakan, kegiatan
pemecahan masalah di kota madya. Selain itu juga ada swadaya masyarakat untuk
3

anggaran operasional, pemeliharaan, pelaksanaan, pencegahan dan penanggulangan
DBD.
3. Sarana digolongkan menjadi sarana medis dan non-medis. Sarana medis meliputi
poliklinik set (stetoskop, timbangaan BB, thermometer, tensimeter, dan senter), alat
pemeriksaan hematokrit, alat penyuluhan kesehatan masyarakat, formulir laporan
standar poperasional dan kasus DBD di rumah sakit (KDRS), obat-obatan
simptomatis untuk DBD (analgetik dan antipiretik), buku petunjuk program DBD,
bagan penatalaksanaan kasuk DBD, serta larvasida. Sedangkan sarana nonmedis
meliputi gedung puskesmas, ruang tunggu, ruang administrasi, ruang periksa, ruang
tindakan, laboratorium, apotik, perlengkapan administrasi, serta formulir laporan.
4. Metode dicari, dipilih dan digunakan untuk penemuan penderita tersangka DBD,
rujukan penderita DBD, penyuluhan kesehatan pada masyarakat, yang meliputi
penyuluhan perorangan (konseling), penyuluhan kelompok (diskusi, ceramah, dan
poster), dan penyuluhan media (tv, radio, dan lain-lain), surveilans kasus DBD,
surveilans vector, pemberantasan vector, dan pencatatan serta pelaporan.
Proses. Proses meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan pengendalian.
3

1. Perencanaan dibuat untuk menemukan penderita tersangka DBD, merujuk
penderita DBD, melakukan penyuluhan kesehatan, mengamatai surveilans kasus
DBD dan surveilans vector, melakukan pemberantasan vector, dan melakukan
pencatatan serta pelaporan.
2. Pengorganisasian adalah strukur organisasi tertulis dan pemberian tugas yang jelas
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Pelaksanaan merupakan tindakan melalukan perencanaan sesuai yang telah dibuat
sebelumnya.
4. Pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui pencatatan dan pelaporan yang
dilakukan bulanan, triwulanan, dan tahunan.
Keluaran. Keluaran adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan. Yang disebut
dengan keluaran adalah bila telah ditemukan jumlah penderita tersangka DBD, yang dapat
dilihat dari jumlah pasien suspect DBD yang datang ke puskesmas (contoh: 128
orang/tahun). Selain itu adalah jumlah rujukan penderita DBD (contoh: dilakukan rujukan
100% kasus). Terselenggaranya penyuluhan dan penggerakkan masyarakat untuk
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) adalah juga salah satu keluaran. Berikutnya bila telah
4

ditemukan surveilans kasus DBD (yaitu hasil ABJ), surveilans vector (yaitu melalui PJB),
dan keberhasilan pemberantasan vector. Yang terakhir adalah hasil pencatatan dan
pelaporan bila terjadi wabah.
3
Lingkungan. Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan fisik dan non-fisik.
Lingkungan fisik adalah jarak antara pemukiman penduduk (dekat atau jauh), transportasi
(mudah atau sukar), dan jarak pemukiman dengan fasilitas umum. Sedangkan lingkungan
non-fisik adalah mata pencaharian penduduk (terbanyak), dan tingkat pendidikan
penduduk.
3
Sasaran. Sasaran dikelompokan dalam bentuk perorangan, keluarga, kelompok, atau
masyarakat.
3
Dampak. Dampak adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, dan
terpenuhinya kebutuhan serta tuntutan. Dampak dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Disebut langsung bila terjadi penurunan angka morbiditas dan mortalitas kasus
DBD, dan tidak langsung bila terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
3
B. Problem Solving Cycle
Masalah adalah terdapatnya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Yang
dimaksud dengan masalah dalam perencanaan kesehatan tidak terbatas pada masalah
gangguan kesehatan saja, akan tetapi meliputi semua faktor yang mempengaruhi kesehatan
penduduk (lingkungan, perilaku, kependudukan, dan pelayanan kesehatan). Langkah-
langkah dalam problem solving cycle adalah menentukan prioritas masalah dan jalan
keluarnya.
4
Prioritas masalah. Ditinjau dari sudut pelaksanaan program kesehatan, penetapan
prioritas masalah dipandang amat sangat penting, karena terbatasanya sumber daya yang
tersedia dan karena itu tidak mungkin menyelesaikan semua masalah. Selain itu adanya
hubungan antara satu masalah dengan masalah lain, yang dalam arena itu tidak perlu semua
masalah diselesaikan.
4
5

Cara menetapkan prioritas masalah adalah dengan teknik kajian data, ada beberapa
kegiatan yang harus dilakukan, yaitu:
4
1. Pengumpulan data.

Data adalah hasil dari suatu pengukuran dan ataupun
pengamatan. Agar data yang dikumpulkan tersebut dapat menghasilkan kesimpulan
tentang prioritas masalah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
a) Jenis data. Jenis data yaitu tentang perilaku (behavior), lingkungan
(environment), pelayanan kesehatan (health service), keturunan (heredity),
keadaan geografis, keadaan pemerintahan, kependudukan, pendidikan,
pekerjaan, mata pencaharian, sosial budaya, dan keadaan kesehatan.
b) Sumber data. Sumber data dikenal sebagai sumber primer (hasil
pemeriksaan atau wawancara langsung), sekunder (laporan bulanan
puskesmas dan kantor kecamatan), dan tersier (hasil publikasi dari badan-
badan resmi, seperti kantor dinas statistik, dinas kesehatan dan kantor
kabupaten).
c) Jumlah responden. Jumlah responden adalah yang mencangkup seluruh
penduduk. Namun lazimnya diambil data dari sebagian penduduk saja,
dengan menggunakan rumus sampel:



d) Sampel. Jika jumlah sampel telah ditentukan, lanjutkan dengan menetapkan
cara pengambilan sampel, yaitu cara simple random, systematic random
sampling, stratified random sampling, dan cluster random sampling.
e) Pengumpulan data. Ada 4 cara dalam mengumpulkan data, yaitu
wawancara, pemeriksaan, pengamatan, serta peran serta.
6

2. Pengolahan data. Pengolahan data adalah menyusun data yang tersedia sedemikian
rupa sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki. Cara pengolahan data secara umum
dapat dibedakan atas tiga macam yakni manual, mekanikal, serta elektrikal.
3. Penyajian data. Ada tiga macam penyajian data yang lazim dipergunakan, yaitu
secara tekstular, tabular dan grafikal.
4. Pemilihan prioritas masalah. Cara yang dianjurkan adalah memakai kriteria yang
dituangkan dalam bentuk matriks. Dikenal dengan nama teknik kriteria matriks.
Secara umum dapat dibedakan menjadi tiga macam:
a) Pentingnya masalah. Makin penting (importancy) masalah tersebut, makin
diprioritaskan penyelesaiannya. Ukuran pentingnya masalah ada banyak
macam, yaitu besarnya masalah (prevalence), akibat yang ditimbulkan oleh
masalah (severity), kenaikan besarnya masalah (rate of increase), derajat
keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree of unmeet need),
keuntungan social karena selesainya masalah (social benefit), rasa prihatin
masyarakat terhadap masalah (public concern), dan suasana politik (poltikal
climate).
b) Kelayakan teknologi. Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat
dipakai untuk mengatasi masalah (technical feasibility), makin diprioritaskan
masalah tersebut. Kelayakan teknologi yang dimaksud adalah menunjukan
pada pengasaan ilmu dan tekhnologi yang sesuai.
c) Sumber daya. Makin tersedia sumber daya yang dipakai untuk mengatasi
maslah, makin diprioritaskan masalah tersebut. Sumber daya yang dimaksud
adalah tenaga, dana, dan sarana.
Prioritas jalan keluar. Cara menetapkan prioritas jalan keluar adalah dengan
beberapa kegaitan dibawah ini, yaitu:
5
7

1. Penyusunan alternatif jalan keluar. Menyusun alternatif jalan keluar dikenal
dengan teknik analog atau popular, dengan sebutan synectic technique, yaitu
menentukan berbagai penyebab masalah (dibantu dengan diagram hubungan sebab-
akibat atau diagram tulang ikan), memeriksa kebenaran penyebab masalah (dibantu
dengan uji statistic), serta mengubah penyebab masalah menjadi kegiatan.
2. Pemilihan prioritas jalan jeluar. Memilih prioritas jalan keluar yang dianjurkan
adalah memakai criteria matriks.
a) Efektifitas jalan keluar. Kritetia efektifitas jalan keluar adalah besarnya
masalah (magnitude) yang dapat diselesaikan, pentingnya jalan keluar
(importancy), dan sensitifitas jalan keluar (vunerability). Sensitifitas yang
dimaksud dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah.
b) Efisiensi jalan keluar. Nilai efisiensi untuk setiap alternative jalan keluar,
diwakili dengan angka 1 (paling tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling
efisien). Nilai efisien diakitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan.
Hitunglah nilai P (prioritas) dengan membagi hasil perkalian nilai MIV
dengan nilai C. jalan keluar dengan nilai P paling tinggi adalah prioritas jalan
keluar terpilih.
3. Melakukan uji lapangan. Tujuan utama yang ingin dicapai bukan lagi
mempermasalahkan jalan keluar yang telah terpilih, melainkan hanya menilai
berbagai faktor penopang dan faktor penghambat.
4. Memperbaiki prioritas jalan keluar. Dengan memanfaatkan berbagai faktor
penopang dan bersama itu meniadakan faktor penghambat.
5. Penyusunan uraian rencana prioritas jalan keluar.
C. Pelayanan Puskesmas untuk Mengatasi DBD
8

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan Sehat adalah
gambaran masayarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan
kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata
serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Indikator Kecamatan Sehat yang
ingin dicapai mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan
pelayanan kesehatan yang bermutu, dan derajat kesehatan penduduk kecamatan.
2
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah
menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya, mendorong
kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya, memelihara dan
meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan, serta memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya.
2
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal
di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
rangka mewujudkan Indonesia Sehat.
2

Fungsi dari puskesmas adalah sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan
kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama
(pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat).
2
Pelayanan kesehatan yang diberikan di puskesmas adalah pelayanan promotif
(peningkatan kesehatan), preventif (upaya pencegahan), kuratif (pengobatan), dan
rehabilitatif (pemulihan kesehatan) yang ditujukan kepada semua penduduk dan tidak
dibedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai
tutup usia.
2
9

Sebelum ada puskesmas, pelayanan kesehatan di dalam satu kecamatan terdiri dari
balai pengobatan, balai kesejahteraan ibu dan anak, usaha hygiene sanitasi lingkungan,
pemberantasan penyakit menular dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut masing-masing
bekerja sendiri dan langsung melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Dengan
adanya sistem pelayanan kesehatan melalui pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), maka
berbagai kegiatan pokok puskesmas dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi dan
satu pimpinan.
2
Upaya kesehatan puskesmas dikelompokkan menjadi dua, yaitu upaya kesehatan
wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah upaya
promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta
keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular, dan upaya pengobatan. sedangakan upaya kesehatan pengembangan adalah upaya
kesehatan sekolah, upaya kesehatan olah raga, upaya perawatan kesehatan masyarakat,
upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan gigi dan mulut, upaya kesehatan jiwa, upaya
kesehatan mata, upaya kesehatan usia lanjut, dan upaya pembinaan pengobatan tradisional.
2
Salah satu upaya kesehatan wajib puskesmas yang berkaitan dengan skenario 7 ini
adalah upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (P2M), yaitu demam
berdarah dengue (DBD).
2
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dan ditularkan melalui nyamuk Aedes aegepti.
6

Tanda-tanda dan gejala DBD. Tanda-tanda dan gejala DBD pada hari pertama
adalah timbulnya panas mendadak (suhu badan 38- 40) dan badan terasa lemah dan lesu.
Pada hari ke-2 atau ke-3, mulai tersa nyeri pada perut (ulu hati), serta timbulnya petechiae
(bintik-bintik merah di kulit). Untuk melihat adanya petechiae dilakukan pemeriksaan
10

dengan tourniquet (rumpel leede) test. Kadang-kadang juga terjadi perdarahan hidung
(mimisan), mulut atau gusi dan muntah darah atau berak darah. Tanda-tanda dan gejala di
atas disebabkan karena pecahnya pembuluh darah kapiler yang terjadi di semua organ tubuh.
Biasanya pada hari ke-4 sampai ke-7, bila keadaan penyakit menjadi parah, penderita
gelisah, berkeringat banyak, serta ujung-ujung tangan dan kaki menjadi dingin (pre shock).
Bila keadaan ini berlanjut, maka penderita dapat mengalami shock (lemah tak berdaya,
denyut nadi cepat, atau sukar diraba), atau disebut dengan dengue shock syndrome (DSS),
dan bila tidak segera ditolong dapat meninggal. Dua keadaan ini disebabkan oleh adanya
gangguan pada pembuluh darah kapiler, yang mengakibatkan merembesnya plasma darah
keluar dari pembuluh darah. Selain itu juga oleh karena adanya perdarahan.
6
Pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
thrombocytopenia (100.000/mm
3
atau kurang), biasanya baru terjadi pada hari ke-3 atau ke-
4, dan hemo konsentrasi, yang meningkat 20% atau lebih dari nilai sebelumnya. Biasanya
terjadi pada hari ke 3 atau 4.
6
Diagnosa. Diagnosa dapat dilakukan bila adanya 2 atau 3 kriteria klinik yang
pertama, dan disertai thrombocytopenia. Bila demikian maka sudah cukup untuk
menegakkan diagnosa DBD secara klinik. Bila kriteria tersebut belum atau tidak dipenuhi,
dapat disebut sebagai suspect demam berdarah. Diagnosa pasti dilakukan dengan
pemeriksaan serologis spesimen akut dan konvalescen.
6
D. Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM)
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga
dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam
memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan
11

perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi
dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.
7
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment)
atau kekuatan (strength) kepada masyarakat, peningkatan kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakat
secara bertanggung gugat demi perbaikan kehidupannya.
7

E. Analisis Masalah dengan Pendekatan Epidemiologi
Analisis masalah dengan pendekatan epidemiologi dapat dilihat melalui lingkungan,
frekuensi, distribusi, faktor penyebaran, dan cara transmisi dari DBD.
8
1. Lingkungan. Lingkungan dibagi menjadi lingkungan fisik dan non-fisik.
8

Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berhubungan dengan letak geografis. Dimana
DBD ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik
yang terletak antara 30 Lintang Utara dan 40 Lintang Selatan seperti Asia Tenggara,
Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap
tahunnya. Infeksi virus dengue di Indonesia telah ada sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada saat itu virus
dengue menimbulkan penyakit yang disebut penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam
yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai nyeri otot, nyeri pada sendi dan nyeri
kepala. Sehingga sampai saat ini penyakit tersebut masih merupakan problem kesehatan
masyarakat dan dapat muncul secara endemik maupun epidemik yang menyebar dari suatu
daerah ke daerah lain atau dari suatu negara ke negara lain.
8
Selain itu musim juga mengambil peranan penting. Negara dengan 4 musim, epidemi
DBD berlangsung pada musim panas, meskipun ditemukan kasus DBD sporadis pada
musim 18 dingin. Di Asia Tenggara epidemi DBD terjadi pada musim hujan, seperti di
12

Indonesia, Thailand, Malaysia dan Philippines epidemi DBD terjadi beberapa minggu
setelah musim hujan. Periode epidemi yang terutama berlangsung selama musim hujan dan
erat kaitannya dengan kelembaban pada musim hujan. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan aktivitas vektor dalam menggigit karena didukung oleh lingkungan yang baik
untuk masa inkubasi.
8

Lingkungan non-fisik. Sedangan pada lingkungan non-fisik, sosial budaya,
ekonomi, dan tingkat pendidikan mengambil peranan.
8
2. Frekuensi dapat dilihat dari insidens dan case fatality rate.
8

Insidens. Angka insiden dirancang untuk mengukur rate pada orang sehat yang
menjadi sakit selama suatu perioede waktu tertentu, yaitu jumlah kasus baru suatu penyakit
dalam suatu populasi selama suatu periode waktu tertentu:


Insiden mengukur kemunculan penyakit, bearti kasus baru. Suatu perubahan pada
insiden bearti terdapat suatu perubahan dalam keseimbangan factor-faktor etiologi baik
terjadi fliktuasi secara alami maupun kemungkinan adnya penerapan suatu program
pencegahn yang efektif. Angka insiden digunakan untuk membuat pernyataan tntang
probabilitas atau risiko penyakit. (ukuran mortalitas).
8
Insiden DBD meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6,27 per 100.000 penduduk. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain : status imun pejamu, kepadatan vector
nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue dn kondisi geografis
setempat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi dan 200 kota telah
melaporkan adnya kejadian luar biasa (KLB).
8
13

Perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, di luar faktor-faktor
lain yang mempengaruhinya.. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang
masih kurang dalam kegiatan. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan
dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD
semakin mudah dan semakin luas.
8
Case Fatality Rate (CFR). Case Fatality Rate


ukuran ini menggambarkan probabilitas kematian di kalangan kasus yang didiagnosis. CFR
untuk penyakit yang sama dapat bervariasi besarnya pada wabah yang berbeda karena
keseimbangan antara agen, pejamu dan lingkungan.
8
CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun ke tahun walaupun masih tetap
tinggi. CFR tahun 1968 sebesar 43%, tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8 %
dan tahun 1999 di atas 2%. Jumlah kasus demam berdarah dengue di Indonesia sejak januari
sampai mei 2004 mencapai 64.000. Insiden rate 29,7 per 100.000 penduduk dengan
kematian sebanyak 724 orang, case fatality rate 1,1 %. (pedomam tatalaksana klinis).
8
3. Distribusi. Jenis distribusi DBD digolongakan menurut orang, tempat, dan waktu.
8

Distribusi DBD menurut orang. DBD dapat diderita oleh semua golongan umur,
walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD
terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok
umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi
yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga
karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang
14

sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah. Pada awal terjadinya wabah di suatu
negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak
berumur kurang dari 15 tahun (86-95%) Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah
penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita
DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur
lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.
8

Distribusi DBD menurut tempat. Penyakit DBD dapat menyebar pada semua
tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena
pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak
sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per
100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD
telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia. Meningkatnya kasus serta bertambahnya
wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya saran transportasi penduduk,
adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah
air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
8

Distribusi penyakit DBD menurut waktu. Pola berjangkitnya infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka
waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat
maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
8

4. Faktor penyebaran.

Ada tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus dengue, yaitu agent (virus dengue), reservoir, host, dan lingkungan.
8
15

Agent. Agent penyebab penyakit DBD berupa virus dengue dari Genus Flavivirus
(Arbovirus Grup B) salah satu Genus Familia Togaviradae. Dikenal ada empat serotipe
virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus dengue ini memiliki masa
inkubasi yang tidak terlalu lama yaitu antara 3-7 hari, virus akan terdapat di dalam tubuh
manusia. Dalam masa tersebut penderita merupakan sumber penular penyakit DBD. Vector
utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti ( di daerah perkotaan) dan Aedes
albopictus di daerah pedesaan. Ciri-ciri nyamuk Ades aegypti adalah sayap dan badan
belang-belang atau bergaris putih, berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah
seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, barang-barang yang menampung air seperti
kaleng, ban bekas, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain-lain, jarak terbangnya
adalah 100 m, dan nyamuk ini tahan suhu panas dan kelembapan tinggi.
8
Reservoir. Reservoir adalah manusia yang sakit (viremia).
8
Host. Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Beberapa
faktor yang mempengaruhi manusia adalah umur dan jenis kelamin.
8
a) Umur. Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus dengue. Semua golongan umur dapat terserang virus
dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir. Saat pertama kali
terjadi epdemi dengue di Gorontalo kebanyakan anakanak berumur 1-5
tahun. Di Indonesia, Filipina dan Malaysia pada awal tahun terjadi epidemi
DBD penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tersebut menyerang
terutama pada anak-anak berumur antara 5-9 tahun, dan selama tahun 1968-
1973 kurang lebih 95% kasus DBD menyerang anak-anak di bawah 15
tahun.
8

b) Jenis kelamin. Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap
serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di
16

Philippines dilaporkan bahwa rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di
Thailand tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan 16 DBD
antara laki-laki dan perempuan, meskipun ditemukan angka kematian yang
lebih tinggi pada anak perempuan namun perbedaan angka tersebut tidak
signifikan. Singapura menyatakan bahwa insiden DBD pada anak laki-laki
lebih besar dari pada anak perempuan.
8

Lingkungan (environment). Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
dengue adalah lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial.
8
a) Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berhubungan dengan letak geografis dan
musim.
b) Lingkungan biologis. Sedangakan lingkungan biologis berhubungan dengan
populasi, nutrisi,
Populasi. Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya
infeksi virus dengue, karena daerah yang berpenduduk padat akan
meningkatkan jumlah insiden kasus DBD tersebut. Dengan semakin
banyaknya manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk mengigit,
sehingga penyebaran kasusu DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu
wilayah.
Nutrisi. Teori nutrisi mempengaruhi derajat berat ringan penyakit dan ada
hubungannya dengan teori imunologi, bahwa pada gizi yang baik
mempengaruhi peningkatan antibodi dan karena ada reaksi antigen dan
antibodi yang cukup baik, maka terjadi infeksi virus dengue yang berat.
c) Lingkungan sosial. Lingkungan sosial berhubungan dengan mobilitas
penduduk. Mobilitas penduduk memegang peranan penting pada transmisi
17

penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang mempengaruhi
penyebaran epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942
adalah perpindahan personil militer dan angkatan udara, karena jalur
transportasi yang dilewati merupakan jalul penyebaran virus dengue
5. Cara transmisi. Demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepti. Nyamuk
tersebut mendapat virus dari orang yang dalam darahnya terdapat virus itu. Orang itu
(carrier) tidak harus orang yang sakit Demam Berdarah. Sebab, orang yang mempunyai
kekebalan, tidak tampak sakit atau bahkan sama sekali tidak sakit, walaupun dalam
darahnya terdapat virus dengue. Dengan demikian orang ini dapat menularkan penyakit
kepada orang lain. Virus dengue akan berada dalam darah manusia selama 1 minggu.
Orang dewasa biasanya kebal terhadap virus dengue. Tempat-tempat yang mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya penularan demam berdarah ialah tempat umum (rumah sakit,
puskesmas, sekolah, hotel, atau tempat penginapan) yang kebersihan lingkungannya
tidakterjaga, khususnya kebersihan tempat-tempat penampungan air (bak mandi. WC, dsb).
8

F. Surveillance
Surveillance memiliki tujuan untuk deteksi secara dini adanya "out break" atau kasus
kasus yang endemis, sehingga dapat dilakukan usaha penanggulangan secepatnya. Selain itu
untuk mengetahui faktor-faktor terpenting yang menyebabkan atau membantu adanya
penularan-penularan atau wabah.
4
Daerah pelaksanaan surveillance tidak hanya dilaksanakan di desa-desa dimana
sudah pernah terdapat penderita atau penularan DBD saja, tetapi harus dilaksanakan juga di
daerah-daerah yang receptive, yaitu daerah-daerah dimana diketahui terdapat Aedes aegepti
saja sudah cukup untuk dinyatakan receptive.
4
Pelaksanaan surveillance adalah melalui penemuan penderita, pelaporan penderita,
serta penelitian KLB atau wabah.
4
18

Surveillance vektor untuk tingkat Puskesmas, kegiatannya membantu Tim dari Dati
II atau Dati I dalam pelaksanaannya. Kegiatan pertama adalah perlindungan perseorangan.
Memberikan anjuran untuk mencegah gigitan nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan
meniadakan sarang nyamuknya di dalam rumah, yaitu dengan melakukan penyemprotan
dengan obat anti serangga yang dapat dibeli di toko-toko seperti baygon, raid dan lain-lain.
Selain itu juga pemberantasan vektor jangka panjang (pencegahan). Satu cara pokok untuk
pemberantasan vektor jangka panjang ialah usaha peniadaan sarang nyamuk. Dalam usaha
jangka panjang untuk daerah dengan vektor tinggi dan riwayat wabah DBD, maka kegiatan
Puskesmas lebih lanjut yaitu abatesasi untuk membunuh larva dan nyamuk dan fogging
dengan malathion atau fonitrothion. Pemberantasan vektor dalam keadaan wabah membantu
Tim Propinsi/Dati II untuk survai larva dan nyamuk, dan menyiapan rumah penduduk untuk
di-fogging.
4

G. Pencegahan DBD

Secara garis besar kegiatan ini meliputi pembersihan jentik dan pencegahan gigitan
nyamuk. Pembersihan jentik dapat dilakukan dengan cara pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), larvasidasi, dan menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat). Sedangkan
pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan cara menggunakan kelambu,
menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang,
menggantung baju), serta penyemprotan.
8
Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit menular lainnya
didasarkan pada usaha pemutusan rantai penularannya. Pada penyakit DBD yang merupakan
komponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk Aedes aegypti dan
manusia. Oleh karena sampai saat ini belum terdapat vaksin atau obat yang efektif untuk
virus dengue, maka pemberantasan ditujukan terutama pada manusia dan vektornya. Yang
sakit diusahakan agar sembuh guna menurunkan angka kematian, sedangkan yang sehat
terutama pada kelompok yang paling tinggi terkena resiko, diusahakan agar jangan
mendapatkan infeksi penyakit DBD dengan cara memberantas vektornya.
8

Sampai saat ini pemberantasan vector masih merupakan pilihan yang terbaik untuk
mengurangi jumlah penderita DBD. Strategi pemberantasan vektor ini pada prinsipnya sama
dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO dengan diadakan penyesuaian
19

tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri atas perlindungan
perseorangan, pemberantasan vektor dalam wabah dan pemberantasan vektor untuk
pencegahan wabah, dan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Untuk mencapai sasaran
sebaik-baiknya perlu diperhatikan empat prinsip dalam membuat perencanaan
pemberantasan vektor, yaitu:
8
1. Mengambil manfaat dari adanya perubahan musiman keadaan nyamuk oleh
pengaruh alam, dengan melakukan pemberantasan vektor pada saat kasus penyakit
DBD paling rendah.
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan cara menahan kepadatan vector pada
tingkat yang rendah untuk memungkinkan penderita-penderita pada masa viremia
sembuh sendiri.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah dengan potensi penularan
tinggi, yaitu daerah padat penduduknya dengan kepadatan nyamuk cukup tinggi.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat-pusat penyebaran seperti sekolah,
Rumah Sakit, serta daerah penyangga sekitarnya. Pemberantasan vektor dapat
dilakukan pada stadium dewasa maupun stadium jentik.

Pemberantasan vektor stadium dewasa. Pemberantasan vektor penyakit DBD
pada waktu terjadi wabah sering dilakukan fogging atau penyemprotan lingkungan rumah
dengan insektisida malathion yang ditujukan pada nyamuk dewasa. Caranya adalah dengan
menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan mesin pengasap yang dapat dilakukan
melalui darat maupun udara. interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua
nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan naymuk-nyamuk lainnya
akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru diantaranya akan mengisap
darah penderita viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan
kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan siklus kedua. Penyemprotan yang
kedua dilakukan satu minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang
infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain (Depkes RI,
2005: 13).
8
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasapan rumah dengan malathion
sangat efektif untuk pemberantasan vektor. Namun kegiatan ini tanpa didukung dengan
aplikasi abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya,
karena jentik yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa, untuk itu dalam
pemberantasan vektor stadium dewasa perlu disertai aplikasi abatisasi.
8
20

Pemberantasan vektor stadium jentik. Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang
dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah (PSN DBD).
8
1. Fisik. Untuk mencegah dan membatasi penyebaran penyakit Demam Berdarah,
setiap keluarga perlu melakukan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)
dengan cara 3M yaitu:
8
a) Menguras dengan menyikat dinding tempat penampungan air
(tempayan,drum, bak mandi, dan lain-lain) atau menaburkan bubuk abate
atau altosid bila tempat-tempat tersebut tidak bisa dikuras
b) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapatmasuk
dan berkembang biak di dalamnya
c) Mengubur atau membuang barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan misalnya ban bekas, kaleng bekas, tempat minuman mineral dan
lain-lain.
Gerakan 3 M Plus adalah kegiatan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat
untuk memutuskan rantai kehidupan (daur hidup) nyamuk Aedes aegypti penular penyakit.
Daur hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari telur, jentik, kepompong hidup dalam air
yang tidak beralaskan tanah dan akan mati bilaairnya dibuang. Agar telur, jentik dan
kepompong tersebut tidak menjadi naymuk,maka perlu dilakukan 3M Plus secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali dengan gerakan 3M Plus. Yang dimaksud Plus
yaitu:
8
a) Mengganti air vas bunga,tempat minum burung, atau tempat tempat
lainnyasejenis seminggu sekali
b) Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak
c) Menutup lubang lubang pada potongan bamboo atau pohon dan lain lain
d) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya ditempat tempat yang sulit
dikurasatau didaerah yang sulit air
e) Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak-bak penampungan air
f) Memasang kawat kasa
g) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
h) Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
i) Menggunakan kelambu
j) Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
2. Kimia. Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan
21

insektisida pembasmi jentik (larvasida) ini antara lain dikenal istilah larvasidasi. Larvasida
yang biasa digunakan antara lain adalah bubuk abate (temephos). Formulasi temephos yang
digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10gram ( 1
sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai
efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator.
Teknik penggunaan temefos:
8

a) Aplikasi I dilakukan 2 bulan sebelum musim penularan di suatu daerah atau
pada daerah yang belum pernah terjangkit DBD.
b) Aplikasi II dilakukan 2-2
1
/
2
bulan berikutnya (pada masa penularan/populasi
Aedes yang tertinggi)
c) Aplikasi III dapat dilakukan 2-2
1
/
2
bulan setelah aplikasi II.
Menggunakan Altosid 1,3 G (bahan aktif: Metopren 1,3%) Takaran penggunaan
Altosid 1,3 G adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan 2,5 gram bubuk
Altosid 1,3 G atau 5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran khusus yang sudah tersedia
dalam setiap kantong Altosid 1,3 G. Bila tidak ada - alat penakar, gunakan sendok teh, satu
sendok teh peres (yang diratakan atasnya) berisi 5 gram Altosid 1,3 G. Selanjutnya tinggal
membagikan atau menambahkannya sesuai dengan banyaknya air. Takaran tidak perlu tepat
betul.
8

Menggunakan Sumilarv 0,5 G (DBD) (bahan aktif:piriproksifen 0,5%) Takaran
penggunaan Sumilarv 0,5 G (DBD) adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup
dengan 0,25 gram bubuk Sumilarv 0,5 G (DBD) atau 0.5 gram untuk 200 liter air. Gunakan
takaran khusus yang tersedia (sendok kecil ukuran kurang lebih 0,5 gram). Takaran tidak
perlu tepat betul.
8

3. Biologi. Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi,
ikan cupang atau tempalo dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringensisvar,
Israeliensis (Bti) (Depkes RI, 2005: 14).
8

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.27773.
2. Ryan YS. Evaluasi program pemberantasan demam berdarah dengue di Puskesmas
Tomang periode Oktober 2007 sampai dengan September 2008. Kepaniteraan Ilmu
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Jakarta; 2008.
22

3. Hadisantoso. Modul latihan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue
(PSN DBD). Cetakan IV. Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta.
4. Keputusan MenKes RI. Kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat. Jakarta:
Depkes RI; 2004.h.5,7, 15-8, 20-31.
5. Azwar A. Perencanaan program kesehatan. Pengantar administrasi kesehatan. edisi
ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.hl 200-6.
6. Revisi Buku Pedoman Kerja Puskesmas Tim. Kesehatan Lingkungan Pemukiman.
Pedoman Kerja Puskesmas. Jilid 3. Jakarta: Departeman Kesehatan RI; 1991.h.1-80.
7. World Health Organization. Demam berdarah dengue: diagnosis, pengobatan,
pencegahan dan pengendalian. Edisi ke-5. Jakarta: EGC;2004.h.72-105.
8. Widoyono. Demam berdarah dengue. Penyakit tropis, epidemiologi, penularan,
pencegahan dan pemberantasan. Jakarta: Erlangga; 2008.h.59-70.

Anda mungkin juga menyukai