Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

ANESTESI REGIONAL
(ANESTESI SPINAL)

Disusun Oleh:

Pembimbing :
dr. Ketut Irianta, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 2 MARET 21 MARET 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN - JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
JL. TERUSAN ARJUNA NO. 6 KEBON JERUK-JAKARTA BARAT
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS PRA-ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU ANESTESI
RSUD TARAKAN
Nama: Annisa Nur Fitriani

Tanda

tangan
NIM : 11-2013-317
Dr. Pembimbing: dr. Ketut Irianta, Sp.An.

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Tanggal pemeriksaan : 09 Maret 2015
Tanggal masuk RS : 08 Maret 2015

II. ANAMNESIS

Dilakukan dengan autoanamnesis pada Tn. T, tanggal 9 Maret 2015 pada pukul 08.30 di kamar
operasi RSUD Tarakan.
1. Keluhan utama
Keluhan utama
Keluhan tambahan

: Benjolan di lipat paha sebelah kanan yang hilang timbul


: -

2. Riwayat penyakit sekarang


Pasien merasakan adanya benjolan yang hilang timbul di daerah lipat paha sebelah kanan sejak
enam bulan yang lalu. Pada awalnya benjolan tidak terlalu besar namun lama kelamaan menjadi
semakin membesar, dengan diameter kurang lebih 5 cm. Benjolan ini terutama timbul sewaktu
pasien berdiri, batuk, mengangkat benda berat dan sewaktu mengedan. Benjolan yang timbul
dirasakan berkurang ukurannya sewaktu pasien berbaring.
3. Riwayat penyakit penyerta
Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 10 tahun yang lalu. Pasien rutin mengkonsumsi obat
Amlodipine setiap hari. Pasien tidak memiliki penyakit penyerta lainnya seperti kencing manis,
asma, maupun alergi.
4. Habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan khusus seperti merokok atau mengkonsumsi alkohol.
5. Riwayat operasi sebelumnya
Pasien sudah pernah dioperasi hernia sebelumnya, ditempat yang sama pada tahun 1995.
Menurut pasien tidak terdapat kesulitan pada operasi dan selama pemulihan pada waktu tersebut.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan umum
Keadaan Umum : tampak baik
Kesadaran

: compos mentis

Tanda-tanda vital :
3

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi

Suhu

Frekuensi nafas : 20 kali per menit

: 37C

: 60 kali per menit

Kepala

: normocephali, tidak ada kelainan

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher

: tidak ditemukan kelainan

Toraks

Inspeksi

: bentuk dada normal, simetris pada keadaan statis dan dinamis,


tidak tampak pelebaran sela iga.
Palpasi
: tidak teraba retraksi sela iga, pergerakan dinding dada simetris
pada saat keadaan statis dan dinamis, vokal fremitus kanan dan
kiri simetris dan tidak mengeras, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : suara nafas vesikuler, whezing -/-, ronkhi -/-

Abdomen
:
Inspeksi

Ekstremitas

: bentuk abdomen datar, terdapat bekas luka operasi pada region


inguinalis dextra disertai dengan adanya benjolan berdiameter
kurang lebih 5 cm yang membesar ketika pasien diminta untuk
batuk atau mengejan
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen.
Auskultasi : bising usus (+) normoperistaltik

: akral hangat, nadi kuat

Edema

Motorik
-

+
+

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Hemoglobin
: 17,3 g/dl
Hematokrit
: 50,3 %
Eritrosit
: 5.25 juta/mm3
Lekosit
: 6.350 /mm3
Trombosit
: 229 ribu/mm3
BT
: 2 menit
CT
: 10 menit

V. STATUS FISIK ASA :


2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang
VI. DIAGNOSA KERJA
Hernia inguinalis medialis dextra reponible
VII. RENCANA TINDAKAN BEDAH
Tension-free hernioplasty
VIII. RENCANA TINDAKAN ANESTESI
Anestesi regional (spinal)
PREOPERASI

Memastikan identitas pasien sesuai dengan yang tertulis pada rencana operasi.

Memastikan pasien sudah mengenakan pakaian operasi dan tutup kepala.

Memastikan apakah pasien sudah puasa 6-8 jam.

Menanyakan apakah ada alergi obat atau makanan.

Menanyakan apakah ada riwayat asma

Menanyakan apakah ada riwayat penyakit kronis lainnya.

Menanyakan apakah pasien memakai gigi palsu

Lakukan pemeriksaan fisik

Memastikan atau memasang IV line yang lancar.

INTRA OPERASI
5

Mula anestesi : 09.45


Lama operasi : 10.00 10.45
Tindakan Anestesi

Alat disiapkan dan pasien dengan posisi supine, memastikan kondisi pasien stabil dengan

tanda-tanda vital dalam batas normal, memastikan cairan infus berjalan lancar.
Tindakan anestesi spinal di L3-L4 dengan pasien pada posisi duduk

Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung, yaitu L3-L4.

Mensterilkan tempat tusukan dengan menyemprotkan alkohol

Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain 2% secukupnya.

Dilakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah cranial. Stilet kemudian dicabut,
sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 15 mg dan
Fentanyl 25 mcg) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.

Tempat penyuntikkan ditutup dengan kassa dan plester.

Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya apakah kedua
tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan

Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital signs dalam batas normal.

Pasien diberikan oksegen 2L/menit menggunakan nasal canule

Obat berikut diberikan secara intravena:

1. Midazolam 2,5 mg
2. Ondansetron 8 mg
3. Ketorolac 30 mg
Observasi tanda-tanda vital selama operasi

Cairan Masuk:
HES

: 500 cc

Ringer Asetetat

: 100 cc
6

Cairan Keluar:
Perdarahan

: 50 cc

Urin

: 400 cc (spontan, urin warna kuning)

POST OPERASI
Post Anesthesi Care Unit (PACU)

Keluhan : mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri (+)

Pemeriksaan Fisik :
Aldrete Score =
Kesadaran

: 2 (sadar penuh)

Respirasi

: 2 (dapat bernafas dalam)

Sirkulasi

: 2 (Tekanan darah naik/turun berkisar 20%)

Warna kulit

: 2 (merah muda, capirally refill <3 detik)

Aktivitas

: 1 (2 anggota tubuh bergerak aktif/diperintah)

VAS = 2

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi

Suhu

Frekuensi nafas : 16 kali per menit

: 37C

: 52 kali per menit

Penatalaksanaan:
1. Monitor tanda-tanda vital, perdarahan dan urin output
2. Dapat pindah ruangan bila aldrete score > 8 dan VAS < 3
3. Bila nyeri dapat diberikan Ketorolac 30 mg

TINJAUAN PUSTAKA
PEMBAHASAN

Definisi
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi yang
aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari.
Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama untuk operasi pada
daerah di bawah umbilicus.
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah
kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal/subaraknoid
disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal
8

dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

Gambar 1. Lokasi anestesi spinal

Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek
vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang,
operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan parasimpatis,
diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade
terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis
ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan
terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar
anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian
kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat
meninggalkan cairan serebrospinal.
Kelebihan atau manfaat tehnik anestesi regional ini adalah

Pasien tetap sadar sehingga jalan nafas serta sistem respirasi tetap paten dan aspirasi isi
lambung tidak mungkin terjadi
9

Pemulihan pasca operasi lancer,tanpa komplikasi atau dengan efek sedasi yang minimal
Pengelolaan nyeri pascabedah karena blockade saraf yang dihasilkan dapat diperpanjang
Blockade saraf yg terhasil efektif mencegah perubahan metabolic dan endokrin akibat

pembedahan
Mengurangi jumlah perdarahan
Menurunkan angka komplikasi tromboemboli
Mengurangi tempoh waktu rawat inap

Indikasi anestesi regional:


1.

Bedah ekstremitas bawah

2.

Bedah panggul

3.

Tindakan sekitar rektum perineum

4.

Bedah obstetric-ginekologi

5.

Bedah urologi

6.

Bedah abdomen bawah

7.

Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:


1.

Pasien menolak

2.

Infeksi pada tempat suntikan

3.

Hipovolemia berat, syok

4.

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.

Tekanan intracranial meningkat

6.

Fasilitas resusitasi minim


10

7.

Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:


1.

Infeksi sistemik

2.

Infeksi sekitar tempat suntikan

3.

Kelainan neurologis

4.

Kelainan psikis

5.

Bedah lama

6.

Penyakit jantung

7.

Hipovolemia ringan

8.

Nyeri punggung kronik

Penilaian Prabedah
Anamnesis
Hal yang pertama harus dilakukan dalam persiapan pasien sebelum dilakukan tindakan
anestesi adalah menanyakan identitas pasien dan mencocokan dengan data pasien mengenai hari
dan bagian tubuh yang akan dioperasi untuk menghindari kesalahan tindakan anestesi dan
pembedahan.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal, atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Selain itu harus ditanyakan juga riwayat penyakit sekarang dan dahulu, riwayat alergi,
riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat sosial seperti kebiasaan merokok, minum
minuman beralkohol, kehamilan, dan obat-obatan.
Pemeriksaan Fisik
11

Bagian ini menitikberatkan pada sistem kardiovaskular dan pernafasan; sistem tubuh
yang lain diperiksa bila ditemukan adanya masalah yang relevan dengan anesthesia pada
anamnesis. Pada akhir pemeriksaan fisik, jalan nafas pasien dinilai untuk mengenali adanya
potensi masalah.
1. Sistem kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:
Aritmia;
Gagal jantung;
Hipertensi;
Penyakit katup jantung;
Penyakit vascular perifer
Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan vena perifer untuk mengidentifikasi
setiap masalah yang berpotensi pada akses IV

2. Sistem pernafasan
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut
Gagal nafas;
Ganguan ventilasi;
Kolaps, konsolidasi, efusi pleura;
Suara nafas dan gangguan pernafasan
3. Sistem saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan setiap
tanda adanya gangguan sensorik atau motorik dicatat. Harus diingat bahwa
beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardiovaskular dan pernafasan;
misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multiple.
4. Sistem muskuloskeletal
Catat setiap keterbatasan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki kelainan
jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit rheumatoid kronik sangat sering
mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan keterlibatan paru.
Vertebra servikalis dam sendi temporomandibular pasien perlu diperhatikan
secara khusus.
5. Jalan nafas
12

Jalan nafas semua pasien harus dinilai untuk mencoba memprediksi apakah pasien
akan sulit diintubasi.
Observasi anatomi pasien, amati:

Keterbatasan membuka mulut;


Mandibula yang mundur (receding mandible)
Posisi, jumlah, dan kesehatan gigi;
Ukuran lidah
Pembengkakan jaringan lunak didepan leher;
Deviasi laring atau trakea;
Keterbatasan fleksi dan ekstensi vertebra servikalis.

Temuan salah satu dari hal tersebut mengindikasikan bahwa intubasi


mungkin akan lebih sulit. Namun, harus diingat bahwa semua ini bersifat
subjektif.
Pemeriksaan bedside sederhana

Kriteria Mallampati pasien, duduk tegak, diminta untuk membuka


mulut mereka dan menjulurkan lidah semaksimal mungkin. Gambaran
struktur faring dicatat dan digolongkan sebagai kelas I-IV (gambar 1).
Kelas III dan IV mengindikasikan intubasi sulit.

Gambar 2. Kriteria Mallampati

13

Jarak Tiromental pada kepala yang diekstensikan sejauh mungkin,


diukur jarak antara puncak tulang pada dagu dan penonjolan tulang

rawan tiroid. Jarak <7cm mengisyaratkan intubasi sulit.


Skor Wilson peningkatan berat badan, berkurangnya pergerakan
kepala dan leher, berkurangnya pembukaan mulut, dan adanya
mandibula yang mundur atau gigi tonggos merupakan predisposisi

terjadinya peningkatan kesulitan intubasi


Tes Calder pasien diminta untuk memajukan mandibula sejauh
mungkin. Incisivus bagian bawah akan terletak di depan (anterior)
atau sejajar atau dibelakang (posterior) incisivus atas. Dua yang
disebut terakhir mengindikasikan berkurangnya lapan pandang
laringoskop.

Tidak satupun dari tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi semua kesulitan intubasi.
Mallampati kelas III atau IV dengan jarak tiromental <7cm akan memprediksi 80% kesulitan
intubasi. Apabila masalah sudah diantisipasi, anestesi harus direncakanan sesuai dengan
temuannya. Apabila terbukti sulit diintubasi, hal ini harus dicatat di tempat yang jelas terlihat
dalam catatan pasien dan pasien diberitahu.

Persiapan Analgesia Spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah
sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1.

Informed consent: mendapatkan persetujuan pasien untuk di anestesi

2.

Pemeriksaan fisik: tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.

Pemeriksaan laboratorium anjuran: hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, waktu


perdarahan, waktu pembekuan

14

Teknik Analgesia Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1.

Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal

kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba.Posisi lain adalah duduk. Duduk sedikit
membungkuk dalam keadaan relaks,pasien tidak mengkakukan otot, dagu rapat ke dada dengan
kaki lurus di atas meja operasi.

Gambar 3. pasien dalam posisi lateral dekubitus

15

Gambar 4. pasien dalam posisi duduk


2.

Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal L2-L3,

L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.

4.

Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

5.

Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan introduser sedalam kirakira 2cm agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelanpelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.

6.

Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.

Tinggi Blok Analgesia Spinal


Faktor yang mempengaruhi:
-

Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.


16

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan
penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat


batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiperbarik , isobarik atau hipobarik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap
sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

Obat-Obat Anestesi Spinal


Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat
butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini
bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun
196312. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan
yang lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk
analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah
banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian
bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 1520 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan
total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan
17

dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang
panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan
tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri
pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai
blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih,
sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8
jam atau lebih. Pada dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik
paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5
%. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.
Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan
sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan
untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker
adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa
sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa
efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang
lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai
dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara
bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi.
Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena
sampai

100 mcg

(0,1 mg).

puncak, dengan dosis yang

Dosis injeksi Fentanyl

lebih

rendah tidak

12,5 g menghasilkan

memiliki efek

apapun dan

efek

dosis tinggi

meningkatkan kejadian efek samping.


18

Komplikasi Anestesia Spinal


Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi
berupa gangguan pada sirkulasi,respirasi dan gastrointestinal.

Komplikasi Sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat
hipotensi.

Pencegahan

hipotensi

dilakukan

dengan

memberikan

infuse

cairan

kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi
harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 25mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat
diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
Komplikasi Respirasi
1.

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal.

2.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

3.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat
dan iskemia medulla.

4.

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak


adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi Gastrointestinal

19

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat


narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

Pencegahan
1.

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2.

Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3.

Hidrasi adekuat, intake cairan 3L selama 3 hari

Pengobatan
1.

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam,kepala tidak boleh diangkat, boleh miring
kanan kiri.

2.

Hidrasi adekuat

3.

Hindari mengejan

4.

Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien
sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Retentio Urin
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf permanen merupakan komplikasi
yang sangat jarang terjadi.
Anastetik local untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik local
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih
20

besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1.

Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (25ml)

2.

Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat


hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)

3.

Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg

4.

Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis
5-15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:


Faktor utama:

a.

Ketinggian suntikan

a.

berat jenis anestetik local(barisitas)

b.

Kecepatan suntikan/barbotase

b.

posisi pasien

c.

Ukuran jarum

c.

Dosis dan volume anestetik local

d.

Keadaan fisik pasien

e.

Tekanan intra abdominal

Faktor tambahan
Lama Kerja anestetik local tergantung:
1.

Jenis anestesi local

2.

Besarnya dosis

3.

Ada tidaknya vasokonstriktor


21

4.

Besarnya penyebaran anestetik local

Komplikasi Tindakan
1.

Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan
infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.

2.

Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2

3.

Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4.

Trauma pembuluh saraf

5.

Trauma saraf

6.

Mual-muntah

7.

Gangguan pendengaran

8.

Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi Pasca Tindakan


1.

Nyeri tempat suntikan

2.

Nyeri punggung

3.

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.

Retensio urine

5.

Meningitis

22

Daftar Pustaka
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
2. William H.E, Michael T.B, Davison J.K, Kenneth L.H, Carl Rosow et al. Clinical anesthesia
of the Massachusetts General Hospital 6th edition: Lippicott Williams and Wilkins: 2002
3. Zunilda D.S, Elysabeth. Anestetik umum. Dalam Farmakologi dan terapi edisi 5: Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
4. Ronald DM, Manuel CP. Basics of anesthesia. 6th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011.
5. G Edward M, Maged SM, Michael JM. Clinical anaesthesiology. 4th edition. USA: McGrawHill; 2006.p.187-9.

23

Anda mungkin juga menyukai