Anda di halaman 1dari 3

SADDAM HUSSEIN KORBAN REKAYASA

Rekayasa bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Irak ketika Amerika Serikat
(AS) sedang mempersiapkan serangannya ke negara 1001 malam itu pada 20 Maret
2003.Itulah inti dari laporan Jeremy Greenstock, mantan Duta Besar untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa periode 1998 sampai Juli 2003 seusai memberikan kesaksiaan tertulis
pada sidang penyelidikan peran Inggris soal invasi ke Irak, 27 November 2009 sore di
London. “Amerika Serikat bertindak gegabah (hell bent) dalam mempersiapkan invasi ke
Irak. Bahkan, AS amat gencar menghalangi Inggris yang mencoba mendapatkan izin
internasional menjelang invasi,” ujar Jeremy Greenstock.

Greenstock juga menegaskan, Presiden AS George W Bush sama sekali tidak berniat
mendapatkan sebuah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pendukung
invasi. “Niat menginvasi Irak sudah dilakukan secara serius sejak awal 2002 dan bisa
dikatakan tidak terhentikan. Bush gencar berkampanye bahwa Presiden Irak Saddam
Hussein adalah sahabat Osama Bin Laden. Pada kenyataannya malah keluarga Bush
pernah menjalin hubungan dengan Osama Bin Laden,” tegas Greenstock.

“Saat para diplomat dunia gencar mendapatkan mandat PBB pada awal 2003 untuk izin
invasi ke Irak, orang-orang dekat Bush bahkan mempertanyakan mengapa untuk urusan
invasi saja berbagai hal yang dianggap sebagai tetek bengek harus didalami. Bahkan
Washington menggerutu. Di antara gerutu itu adalah celoteh AS soal upaya yang
dianggap hanya buang-buang waktu. Kita memerlukan perubahan rezim, mengapa kita
harus terpaku pada upaya ini, kita harus mengabaikan itu dan segera melakukan apa yang
sudah direncanakan,” kata Greenstock mengenang gerutu orang-orang dekat Bush itu.

Lanjut Greenstock lagi, menjelang invasi, beberapa negara termasuk Jerman, Perancis
dan Kanada, masih berharap invasi AS itu bisa digagalkan.Bahkan orang-orang dekat
Bush sudah sangat tidak acuh pada opini dan upaya internasional. Bahkan, Tony Blair
(Perdana Menteri Inggris waktu itu) sudah tidak bisa menghentikan niat Bush. Hanya
dalam dua minggu Blair mampu meyakinkan Bush. Momentum rencana Invasi AS sudah
matang, jauh sebelum invasi. Ini sudah sulit dibendung. Saya sudah memperingati bahaya
invasi jika tidak memiliki legitimasi. Bahkan saya pernah mengancam mundur dari
jabatan saya jika izin internasional tidak didapatkan menjelang invasi,” ujar Greenstock
yang memang tidak lagi menjabat sebagai Duta Besar pada 2003, tahun invasi ke Irak.

Lebih jauh dari itu, soal senjata pemusnah massal, pun setelah Saddam Hussein
digantung tidak ditemukan di Irak. Saya setuju, ini adalah upaya pergantian rezim di Irak.
Saddam Hussein adalah korban rekayasa. AS tidak mempersoalkan lagi apakah invasi itu
memperoleh legitimasi dari PBB atau tidak. YANG PENTING SADDAM HUSSEIN
HARUS JATUH. Sama halnya dengan peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada
Soeharto pada waktu Perang Dingin. Kedua tokoh ini terjebak dalam Perang Dingin.
Surat asli Supersemar hingga hari ini pun tidak tahu keberadaannya. Tujuannya pada
waktu itu, yang tidak mau membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) harus rela
melepas jabatannya. Jangan pertanyakan apakah pembubaran sebuah partai itu sah secara
konstitusi Indonesia atau tidak. Perlu diketahui keberadaan PKI di Indonesia diatur dalam
Maklumat Wakil Presiden No.X. Bukan tidak diatur. Tetapi AS yang memotori pihak
Barat hanya ingin satu, Indonesia jangan sampai menjadi komunis. Kembali ke serangan
AS di Irak,pertanyaan yang masih belum terjawab adalah sikap Republik Indonesia, yang
awalnya mengecam kemudian pada pertengahan jalan ikut mendukung. Kenapa ?
(Dasman Djamaluddin, penulis buku: Saddam Hussein Menghalau Tantangan
(Jakarta: PT.Penebar Swadaya, 1998). Buku ini memperoleh penghargaan dari
Sekretaris Pers Kantor Kepresidenan Irak, 24 Juni
1998/http://dasmandj.blogspot.com)

Anda mungkin juga menyukai