Anda di halaman 1dari 32

BAB Vl

CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB

SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam laporannya dengan
mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central
Intelligence Agency) mengenai debat tentang peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30
September 1965 di Indonesia, mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan
dan berbeda sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang
digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S., Lindon B.
Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang keterlibatan CIA di
Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di A.S.

Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpinnya,
sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956
Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri A.S., John Foster Dulles, dasar
politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau
mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak
akan menjadi satelit dari salah satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles.

Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya menyukai
apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak sependirian dengan dia,
secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni Sovyet.

Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat global.
Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral (tidak
bermoral)," katanya.

Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :

Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang mengaku
kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam.

Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu dan yang
disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan biografi.

Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat memahami
masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan. Seluruh benua itu
merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat. Jadi, tolonglah sampaikan
kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau suatu bangsa selama hidupnya menderita
kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia
tidak akan melepaskan kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya.

"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat, itu bisa!
Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan kapitalisme dan
demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mernpunyai keinginan untuk memakai sistim
itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia
bukanlah barang yang bisa diekspor ke luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa
menerima bararig impor berupa ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno.

32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410


Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di Indonesia, sudah
nampak. Mulamula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB yang arsiteknya Amerika,
dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.

Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika berkepentingan untuk
membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang telah diakui sebagai penyebab
langsung yang merangsang Sukarno untuk pada tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem
Parlementer di Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta
memasukkan korps perwira secara legal ke dalam kehidupan politik.

Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada Duta
Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara tidak bisa menarik
kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan Indonesia. Dipeliharanya persatuan
sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya, sebagai contohnya: Cina. 33)

Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi telah
disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan agen-agen CIA
sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh sebelum itu. 34)

Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah mempertimbangkan
latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh Amerika Serikat, walau pun
usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai politik moderat sayap kanan, khususnya
MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA
kepada kedua partai itu dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas
peristiwa 1965, di mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai
otaknya G30S/PKI. 35)

Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah menginfiltrasikan
senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan regional PRRI/PERMESTA
melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S. (B25) ditembak jatuh oleh APRI di
Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini
didukung oleh sebuah task force lepas pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)

33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.

34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal. 1: Indonesia 22 (Oktober
1976) hal. 168.

35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979) hal. 203.

Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah
menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam rencana
hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu pemeriksaan awal atas
usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk menghentikan pemeriksaanya. 36)

Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci dari laporan-
laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang sering membocorkan
rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering disebut oleh Bung Karno sebagai
salah satu sumber informasinya.

Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno
menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-
sia". 37)
36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti yang dikutip oleh Peter Dale
Scott

37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.

Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia diundang
mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah terasa, ketika Bung
Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden Eisenhower tidak datang
menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol kenegaraan yang berlakù waktu itu.
Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan
mengira bahwa Eisenhower akan menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga.
Terhadap periakuan ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk
dan tidak bisa meninggalkan tempatnya.

Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, Bung Karno
merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam, dengan tajam ia
menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau harus
begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu pucat mukanya dan berkata: "Saya
mohon dengan sangat kiranya tuan dapat menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia
berlari ke dalam. Kemudian keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.

Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun 1961 yang
berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu gembira", kata Bung Karno,
"sehingga aku membentuk satu team arsitek dan insinyur untuk membangun Gedung Tamu
Agung, siap menyambut kedatangannya, terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".

Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan negara-negara Asia
yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu merupakan pasar yang baik
untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya. Kedua, Amerika takut negara-negara itu
menjadi komunis. Oleh karena itu, ia mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut
kepadanya, dengan membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan
diteruskan lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik".

Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel Quezon dari
Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, dari pada pergi ke
sorga bersama dia".

Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara Sukarno
dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah RRT meledakkan
bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat Atom Device dalam tahun
1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia sesudah pertemuan Nopember
antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam perjalanan dari Korea Utara), juga
membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake,
mengatakan bahwa semuanya tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai
ahli- ahli untuk membuat atom. 33)

Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli Indonesia
bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5 Oktober 1965 (Hari
Angkatan Perang).

38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23 Desember 1964.


Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi Atom RRT, tiba
di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro sebagai Menteri Riset
Nasional. 39)

Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan kenyataan
lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow, ditugaskan
menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang Non Proliferation Nuclear
(tidak mengembang-biakkan senjata nuklir).

Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau Mentawai,
40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut ditandatangani oleh Prof. Soedjono.

39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335. 40) Ibid, hal. 328.

Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak terhadap
Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya.

Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965, juga
dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba terjadi ledakan di
gedung konperensi.

Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap peristiwa
internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan memerlukan mengunjungi
Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah berada di Aljir untuk ambil bagian dalam
konperensi sebagai anggota delegasi Rl. Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk
memantau KAA-II secara langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)

41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.

Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang
memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung mengusulkan supaya
konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul
ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh
3 kepala Negara/Pemerintahan yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno,
Perdana Menteri Chou Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.

Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah siap
dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa Indonesia
mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan serangan militer terhadap
Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh Subandrio hanya diberikan interview
kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana
Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak itu ketegangan makin terasa mencekam.

Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat seluruh
Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah memperingatkan
kemungkinan yang bakal terjadi.

la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo kolonialisme/imperialisme)


untuk memukul revolusi Indonesia, sambil memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada
kaki- tangan yang mereka tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut:

Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan Moskow, mereka
mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi Moskow, melainkan kita:
Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution naik aktivitas dan gengsinya, bahkan
sesudah revolusi Indonesia benar-benar universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa-
bangsa lain.

Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan Asia-Afrika,
sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965) Indonesia tidak
tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan Indonesia oleh beberapa negara
AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi
AA-II di Aljazair lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan
CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat
sambutan yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan mengatakan: Here in
Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus di-contain.

Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah yang
pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada waktu itu segala
usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.

Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya "Mein
Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran dari lima jurusan.
Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas
Besarnya di gerbong Kereta Api.

Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka mengadakan
international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa apa pun yang anti
imperialis, dicap komunis.

Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In Nederlandsch


Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka
komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the communist danger in Indonesia "

Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin dengan
noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua dikatakannya komunis, di
samping PKI.

Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan mempertahankan
revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh
mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya, oleh karena Indonesia is going
communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin mempertahankan kemerdekaannya, hanya
ingin menggabungkan semua tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang
berhasrat menentang imperialisme.

Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one - musuh
nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada menghancurkan
kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in the centre -kita berada di
pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan, dengan macam-
macam jalan.

Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata bisa
dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang nyata en jullie moet
het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata ada untuk mengadakan
propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita
tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang
karena Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.

Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari mereka untuk
menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk membunuh beberapa pemimpin
Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau
bisa, sebelum Konperensi AA - II di Alzajair (April 1965).

Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on Indonesia-gempuran
terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada limited attack, maka seperti
disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan mereka (di dalam negeri) akan bertindak
membantu menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio.

Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani dan
Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia
hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak terhadap Sukarno, Yani dan
Subandrio.

Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to kill Sukarno,
Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on Indonesia. They have the*
friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap Indonesia. Mereka mencoba hendak
membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio. Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap
Indonesia. Dan mereka mempunyai teman-teman di sini "

Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah ditranskrip terdiri
dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).

Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen State
Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai peneliti sejarah
seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat di atas.

Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh
Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang
diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili tokoh-tokoh G30S/PKI,
membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G30S/PKI dalam pidato
"Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang
mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu
ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:

1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.

2. Kelihaian subversi Nekolim.

3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana Menteri/Menteri
Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI) dan karenanya tentu
lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan Intel, pada tanggai 3 Januari 1965
dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat" sudah menyatakan bahwa tahun 1965,
memang merupakan tahun gawat. Gawat bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah
gencarnya sorangan dan rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal
lainnya, sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan
"Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh Indonesia.
Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki perekonomian
kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap perbaikan ekonomi Indonesia
itu dan akan terus menghalang-halanginya.

Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari kekuatan-kekuatan dalam
revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini
kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi
dapat mengikuti jalannya revolusi. Untuk meninggalkan kawan-kawan yang tadinya merupakan
kawan-kawan seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan,
demi keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.

Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya selain usaha
kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada tanda-tanda ke arah itu.
Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah terdengar pula adanya rnulti-milyarder yang
hanya menggunakan ludah, lidah dan dengkul sebagai modalnya.

Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi kemudian dirubah
menjadi hukuman seumur hidup.

Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi revolusi
Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia berhadapan dengan
kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja dari luar, tapi sudah di dalam
tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah- tengah kita ada saudara-saudara yang ikut
serta membantu rongrongan kaum Nekolim itu.42)

42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.

Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.

Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan Juni 1965,
setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green diangkat menjadi Duta
Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard Jones yang sudah 7 tahun
bertugas.

Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP, supaya
menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung Karno
mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan dalam
penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang menasionalisasi
perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan dalam penggulingan
Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.

Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung Karno
supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia khawatir akibatnya
yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba menampakkan diri di Teluk Jakarta.

Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran Marshall Green
di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya tidak menolak Marshall
Green.

Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones di Jakarta
kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu Washington,43)
menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan Jendral A.H. Nasution
selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa ia datang membawa semangat
yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia melihat badai sedang nampak di cakrawala
dan oleh karenanya baik diperhatikan peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih
baik dari mengharapkan sekali penyembuhan.

43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA mengenai debat tentang
peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965, 13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B.
Johnson Library.

Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang situasi
ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius kalaupembicaraan
Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal. Keadaan yang demikian- akan
berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil langkah-langkah yang bisa berakibat
putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia Bebas", tèrutama Amerika.

Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan terpaksa
dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS {Australia, New Zealand
dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan Selandia Baru terlibat di dalamnya.

Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai keadaan dalam
dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu ia telah menyatakan
pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah Malaysia dan kemungkinan bahwa
pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan
jujur bahwa konfrontasi dengan Malaysia, menyakitkan.

Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada penyelesaian
politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan konfrontasi, tapi dengan hati-
hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar. Bagaimana pun akan diusahakan lewat
penyelesaian politik. Nasution setidaknya sadar akan bahaya komunis dan karenanya
mementingkan pembinaan ke dalam, agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang.
Tentara Indonesia dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan
keras tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah menjadi
issue".

Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution
menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang.

"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang pertama
dengan Jenderal Yani"

Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones, "secara
rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana istimewa untuk
mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".

Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2 minggu
kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya bahwa militer
Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI.

Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan Jenderal Parman,
ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan, sekali pun sudah ada rencana
sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat memang tumbuh di antara golongan
penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal.
Kapan hal ini terjadi, tergantung dari perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-
tekanan yang saling bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman,
Angkatan Darat mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk
menghalangi kegiatan PKI.

Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai kekuatan
itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu untuk menjalankan
isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik bertindak sudah tiba.

Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak terhadap
Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup akan dilakukan
sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno. Mereka yang mengeritik
kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan akan
berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih dicintai oleh rakyat.

Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada tanggal 3 Juni
1964.

Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia tidak perlu
terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya".

Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh Marshall Green
sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti Amerika yang dikobarkan
oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965. Sebelumnya, pada awal tahun 1965,
Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan
RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara. Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng-
galang persatuan negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis.

44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara Pembaruan" Jakarta berturut-
turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991 yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon.
Kemudian terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti". Jakarta, 1992.

Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program USAID
(United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan perusahaan Amerika
Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide. Pada saat-saat seperti itulah
Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di Indonesia, menggantikan Howard Jones yang
pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh,
mendampingi sahabatnya sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri
untuk wilayah Tirnur Jauh. .

Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal langkah
Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan hubungan Jones dengan
Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi buruknya hubungan antara Rl dengan
Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green
sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan
kepada pers bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging
Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA.

Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil sumpahnya di
Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965.

Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14), berangkat ke
Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.
Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke Washington, agar
keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta sedang berlangsung
demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall Green. Kabar itu diterima oleh Green
di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian
melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam. Pesawat
tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang menunggunya sudah
menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan Marshall Green dikawal sampai
kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng. Poster-poster, menentang kehadiran Green masih
tampak di berbagai tempat dalam perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat
kediamannya di Jakarta Pusat kediamannya di Jakarta Pusat.

Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan, yaitu Wakil
Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan
Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.

Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa berpeluang besar
menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya sebagai pejuang yang
menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan politisi dan diplomat pendukung
Sukarno, namun melihat betapa PKI menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno.

Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito mempunyai jalur
khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita Jepang) ketiga Sukarno, Saito
sempat membantu Green pada awal penugasannya sebagai Duta Besar AS di Indonesia.

Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke hatinya.
Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari Presiden AS kepada
Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26 Juli 1965, lima hari setelah
rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato sambutannya menyerang kebijaksanaan
politik luar negeri Pemerintah

AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu saja
upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non grata.

Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat tinggi
Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green mengatakan betapa Ny.
Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki daya tarik yang sangat hebat,
sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sukarno.
Maksudnya, bagian yang menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan
dengan suara yang sangat keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh
hadirin. Tentu saja suasana jadi tegang.

Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran berkumpul di
dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima oleh Green mengemukakan
banyak hal mengenai imperialise Amerika Serikat, CIA dan berbagai hal lainnya yang mengecam
Amerika Serikat.

Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia dikata-katai
sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force (Marsekal Udara).
Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali menyebut Green sebagai Marshall
of CIA (Marsekal Intelligen AS).
Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk, terutama
dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di
Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada Indonesia. Isi ultimatum
dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk pengrusakan terhadap harta diplomatik
dan konsuler AS, akan mengakibatkan ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta
tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat
Jenderal Rl di New York, karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet
Indonesia ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang
keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang dari 24 jam.
Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September 1965.

Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan hal-hal apa yang
bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia.

Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir 1965.

Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di Jakarta


mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai kesehatan Sukarno yang
memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi lawan-lawannya di lingkungan
Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari
kepemimpinan negara, PKI berasumsi bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk
menyaingi komunis.

Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran Sukarno
dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan oleh munculnya
Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana coup d'état. Green
menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para perwira tinggi AD, dimungkinkan
karena merekalah yang sejauh ini menghalangi Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.

Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis. Pihak Cina
tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1 Oktober 1965, satu jam
sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang diperoleh Cina, terdapat nama
Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh, sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang
akan dijadikan sasaran, sebenarnya sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.

Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan Presiden Lyndon
Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk, tepatnya 7 Maret 1966,
Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan Marshall Green akan di usir dari
Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar AS di jalan Merdeka Selatan diserbu
demonstran yang pro Sukarno.

Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI) merupakan


realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert Barnett pada awal tahun
1966.

Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation 1965-1968" di


Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green mengatakan bahwa tujuannya
menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk membantah tuduhan sebagian pihak
mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali
tidak ikut campur dalam soal itu. Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya
sendiri", kata Green.

Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang bekerja
untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya Green itu, seorang
rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green, Asisten Menlu AS, William P. Bundy,
mengakui bahwa Green pernah bekerja di lingkungan CIA.

Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang dituliskan
dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson. Disekitar meletusnya
G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di lingkungan Kedutaan Besar AS yang
mempunyai hubungan khusus dengan beberapa tokoh militer Indonesia. Green cuma
mengatakan, salah seorang atasenya yang bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa
dengan ajudan Jenderal A.H. Nasution.

Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja diperlukan
kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon (Wartawan "Suara
Pembaruan"), menutup tulisannya.

Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.

Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan Bung Karno
bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam negeri Indonesia dengan
tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang terlalu anti imperialisme dan kapitalisme
yang justru menjadi strategi dasar politik global Amerika Serikat.

Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green, kemudian
merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang dikemudian hari
menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran Subandrio itu, yang sangat
kuat mendesak Bung Karno supaya jangan. menolak Marshall Green?

Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya, sebagaimana
umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan masih berpikir dapat
merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan konsesi. Padahal konsesi itu
terbukti tidak menolong apa-apa.

Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak
PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di Ambon,
akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak prerogatipnya sebagai Presiden,
meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang dengan subversi AS di Indonesia, adalah
sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika
Serikat terhadap Indonesia. Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin
nunjukkan bahwa ia ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi
politik Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.

Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus Allan Pope.

"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika, Allan Pope,
yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan serangan terhadap pulau
Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur, yang di dalamnya jama'at sedang
melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan
semua awak kapal mengalami nasib yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat
yang tak berdosa.

Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang sudah tua
menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di pohon kelapa. Sebelah
kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena jiwanya diselamatkan oleh Republik,
ia diangkut ke rumah sakit.
Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang itu
memerangi kami?

Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak
menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme".

Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang penerbang
yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya untuk menggunakan
lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.

Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti yang tertulis.
Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya.

Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika banyak
berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung Karno.

Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American Airways
datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan, seluruh
kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak dapat memandangi
air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing. Kemudian ibu dan saudara
perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang melebihi dari perasaan yang dapat
ditahankan oleh Bung Karno.

Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia
menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan rumah
menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati.

Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden Republik Indonesia,
engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam. Saya tidak menghendaki
propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan
diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika
Serikat dengan diam-diam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat
pernyataan-pernyataan. Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang
telah terjadi".45)

45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402

Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak prerogatipnya
mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan rakyat Indonesia dan
menenggelamkan banyak kapal Republik.

Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno dengan
menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan kegiatannya
hendak menggulingkan Bung Karno.

Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen VIII Dinas
Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan curang-yang
kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana. 46) Digambarkannya
bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen Uni Sovyet), pada saat- saat
pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung memancing di air keruh.

46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.


Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang beroperasi di
Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada pejabatpejabat Indonesia, pimpinan
partai-partai politik dan pers, yang langsung memper- cayainya. Adegan dimulai dengan
menyampaikan informasi palsu kepada Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya),
mengenai apa yang dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga
seorang perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan
meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui oleh
Subandrio dan Bung Karno.

Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps" Amerika yang
banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA, diusir dàri Indonesia.

Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke Indonesia,
Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara Amerika dengan Indonesia.
Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan terhadap AS makin menjadi-jadi.

Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut
dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak banyak menarik perhatian
orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala Departemen Berita berita Palsu KGB
yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil
yang dicapai oleh "Operasi Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf
yang sangat kritis.

Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika didapat dari
Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran luar negeri Radio
Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan siaran-siarannya dengan komentar-
komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3
Juni 1965, merupakan contoh yang dinilai baik.

Kutipannya sebagai berikut:

"Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang kegiatan-keg


atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency (Dinas Intelligen AS).
Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh dunia Dalam mempekerjakan
agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai "pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of
cloak and dagger), ahli-ahli subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke
negara-negara Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik
di negara-negara tersebut dengan subversi.

Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di seluruh


duriia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam, Laos dan Konggo.

Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang sama di
Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang kerkemuka, Bill Palmer, telah
tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan komplotan baru Palmer adalah seorang agen
rahasia kawakan la menyamar sebagai wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in
Indonesia). Selama 19 tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut
berita-berita pers, Palmer memelihara hubungan-hubungan yang luas di Indonesia la
menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari pemutaran film-
film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan imperialisme dan aspek-
aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen rahasia Indonesia dan Amerika dan
untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner yang merencanakan komplotan-komplotan.
Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakan- pemberontakan di
Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan hilangnya banyak harta benda dan
ribuan jiwa orang Indonesia

Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti Simbolon,


Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah menyerahkan uang kepada
mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya juga telah mengatur sebuah pertemuan
antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka
merencanakan komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan orang-orang kontra-
revolisioner di Indonesia untuk merencanakan petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia
merongrong perkembangan ekonomi Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase.
Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia dengan gerakan
subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak
subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret dan awal
bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan Gedung Putih,
Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP (Agency France Press)
menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu dengan kunjungan Forrestal.
Sangat besar kemungkinannya, Forrestal mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu
sebagai alasan untuk melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa
Presiden Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan
asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS di Indonesia.

Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak pantas, yang di
lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti diketahui, Howard Jones telah
dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk menghapus kegiatan-kegiatannya yang ilegal
Jones telah menterapkan kolonialisme AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah
ikut serta mengorganisasi pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan
memelihara kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka

Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The Invisible
Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil bagian dalam
komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat C/A untuk memberikan
senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa. Ia sendiri juga terlibat dalam
pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan subversif yang dilakukan agenagen C/A di
bawah pimpinan Palmer, yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini,
telah mendapat persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai
keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk Sulawesi

Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall Green. Jones
akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai. Palmer telah meninggalkan
Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga akan meninggalkan Indonesia, tetapi
jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal
AS dan kegiatan-kegiatan CIA di Indonesia di hentikan "

Demikian siaran radio Moskow.

Buku "The deception game" juga mengatakan bahwa dokumen Gillchrist, Duta Besar Inggris di
Jakarta, yang terkenal itu, katanya diproduksi oleh Dinas Rahasia Blok Sovyet, berupa sebuah
surat kepada Kementerian Luar Negeri di London, yang dialamatkan kepada Sir Harold Cassia,
Sekertaris Muda Kementrian Luar Negeri di London bertanggal 24 Maret 1965.
Dokumen itu katanya, diteruskan kepada Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri Dr.
Subandrio dan Presiden Sukarno. Antara lain isinya seperti yang dikutip oleh Ladislav Bittman
sebagai berikut:

Saya telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Duta Besar Jones mengenai


masalah yang tersebut dalam surat No. 67785/65. Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat
dengan pendirian kita. Akan tetapi ia meminta lebih banyak waktu untuk mempelajari persoalan
itu dari berbagai segi.

Menjawab sebuah pertanyaan, pengaruh apa yang akan timbul dari kunjungan Bunker, utusan
istimewa Presiden Johnson ke Jakarta untuk membicarakan masalah perbaikan hubungan
Amerika-lndonesia, Duta Besar Jones mengatakan, bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan
untuk memperbaiki keadaan, dan bahwa hal itu akan memberikan waktu kepada kita untuk
membuat persiapanpersiapan yang lebih mantap. Duta Besar Jones juga mengingatkan perlunya
mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dan ia
mengatakan, tidak perlu menekankan keharusan membuat rencana itu menjadi sukses. Saya
telah berjanji akan membuat persiapan- persiapan yang diperlukan dan saya akan melaporkan
pendapat saya mengenai masalah ini dalam waktu yang tidak begitu lama. 47)

Yang dimaksud ialah serangan bersama terhadap Indonesia dari pangkalan-pangkalan di


Malaysia.

Surat itu disangkal oleh Inggris.

47) Baca: Ladislav Bittman, Permainan Curang, bab: Bumerang Indonesia, hal. 123-141. 197

Dari pengakuan Ladislav Bittman, menunjukkan bahwa Dinas Rahasia Cekoslowakia dan KGB
(Sovyet) juga ikut terlibat mendorong meletusnya G30S/PKI, meski pun diakui kemudian bahwa
tindakan itu menjadi bumerang, karena akibatnya melampaui apa yang direncanakan. Rencana
mereka hanyalah hendak menunggangi situasi anti Amerika yang meningkat di Indonesia untuk
menghancurkan sama sekali pengaruh AS di negara tersebut.

Akibat yang tidak mereka perhitungkan, justru yang hancur Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tapi seorang cendekiawan Inggris, Neville Haxwell, menemukan sepucuk surat dari seorang
Duta Besar Pakistan di Paris yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Pakistan waktu itu,
Zulfikar Ali Bhuttho, yang melaporkan ucapan seorang pejabat Belanda di Nato pada bulan
Desember 1964 yang mengatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel
busuk. Agen- agen intelligen Barat punya rencana untuk mengorganisasi "premature communist
coup" (kup komunis pradini), untuk memberi peluang kepada Angkatan Darat menumpas PKI dan
menjadikan Sukarno sebagai sandera.48)

48) New York Review of Books, Juni 1978

Seorang peneliti, Geofrey Robinson (Boston, AS) dalam makalahnya "Some Arguments
Concerning S. Influence and Complicity in Indonesia coup of October 1, 1965" (1990) mencatat
bahwa surat Gillchrist yang kesohor itu terlihat sebagai dokumen yang tidak mengherankan dan
akibat-akibatnya sama sekali bukan tak masuk akal. Apa yang dinamakan surat Duta Besar
Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Departemen Luar Negerinya, dilaporkan berisi
alinea:
.........Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di dalam Angkatan
Darat, (our local army friends, pen.) bahwa kehati-hatian yang paling seksama, disiplin dan
koordinasi, adalah esensial dari suksesnya usaha. 49)

49) New York Review of Books, Mei 1978

Orang-orang Inggris dan Amerika menyatakan bahwa surat ini palsu dan memang barangkali
begitu. Tapi siapa yang memalsunya? Pada umumnya diperkirakan bahwa surat ini dimasak oleh
jaringan Intelligen Subandrio yang akan digunakan dalam pertarungan politik di dalam negeri
menghadapi Angkatan Darat dan sudah tentu juga menghadapi Inggris (dalam rangka
konfrontasi dengan Malaysia). Tapi surat itu juga berguna (meski pun dikatakan palsu) untuk
mempolarisasi politik Indonesia dan membuat PKI waspada terhadap desas-desus kemungkinan
kudeta tentara. Sampai sejauh itu, ia juga agak berguna bagi tujuan-tujuan politik AS dalam
menenangkan krisis politik ke arah yang tak terhindarkannya bentrokan antara Angkatan Darat
dan PKI.

Tapi jika dokumen Gillchrist itu di balik menjadi pemalsuan CIA dan sengaja diedarkan untuk
menghasut PKI dan Sukarno, kita akan punya bukti yang meyakinkan bahwa usul-usul
pemerintah AS dan CIA, telah benar-benar dilaksanakan dengan atau melalui dokumen itu.

Nyatanya, kita tidak punya bukti bahwa dokumen Gillchrist adalah produk CIA. Yang ada hanya
bukti-bukti lingkungan keadaan dari upaya-upaya intelligen luar negeri untuk menggerakkan
polarisasi dan saling curigamencurigai di kalangan pengomplot-pengomplot kudeta, bulan
dimana surat Duta Besar Pakistan beredar, Chaerul Saleh dianggap taruhan anti komunis yang
baik oleh CIA, karena ia membongkar dokumen adanya rencana kudeta PKI 50)

50) Ruth McVey, Korespondensi pribadi dengan George Kahin, Benedict Anderson dan Prederick
Bunnel. Namun "Harian Rakyat" (harian PKI 2 Januari 1965, mengatakan bahwa dokumen yang
dimaksud adalah palsu.

Ini dapat dimengerti karena kerjaan Chaerul Saleh itu, dianggap sebagai gerak awal dari
Intelligen Barat untuk mengembangkan suasana curiga-mencurigai sehubungan dengan tanda-
tanda bahaya dari "kiri" yang direncanakan untuk membangkitkan dan mempercepat reaksi
Angkatan Darat. Surat Gillchrist dan kemudian desas-desus tentang akan adanya kup "Dewan
Jenderal", kedua- duanya telah sengaja diedarkan untuk menghasut PKI masuk ke dalam
komplotan mengadakan "kup pradini" atau apa yang dikenal dengan "kup Untung". Apa pun
nilainya, suratsurat ini bersama- sama dengan bukti-bukti yang menyangkut CIA dan usul-usul
pemerintah AS mengenai ancaman komunis, telah memberikan sejumlah kepercayaan kepada
interpretasi yang memasukkan kegiatan AS dan asing lainnya, sebagai kegiatan sengaja
menghasut atau memprovokasi suatu pertarungan terbuka antara "kiri" dan "kanan" dengan
asumsi bahwa yang "kanan" dapat menang. Ralp McGehee mengatakan, strategi ini telah
menjadi semacam trade mark dari CIA semenjak 1965.5l)

51) Ralp McGehee, wawancara pribadi dengan Geofrey Robinson, Nop. 1983

Namun perlu dicatat bahwa bertahun-tahun sebelum itu, AS dengan ClA-nya sudah bekerja
keras untuk menggulingkan Sukarno, seperti secara terperinci diuraikan di atas.

Amerika Serikat memang sudah lama menghendaki supaya Indonesia mengikuti petunjuknya,
jangan anti imperialis mau pun kapitalis. Bahkan pemberontakkan PRRI/ PERMESTA yang
dibantu oleh Amerika Serikat, adalah untuk menggulingkan Pemerintah Pusat di Jakarta yang
dianggap radikal bersama dengan Sukarno yang anti imperialis dan anti kapitalis.
Sesudah itu masih bertahun-tahun lagi Amerika Serikat memamerkan dukungannya terhadap
Belanda di PBB, dengan menolak Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia.

Setelah Indonesia mulai menerjunkan gerilyawannya di daratan Irian Barat, dibantu kapal-kapal
selam yang bertebaran diperairan sekitarnya dan bomber-bomber jarak jauh menyerang sasaran
tertentu di Irian Barat, barulah Amerika Serikat mendesak Belanda supaya menyerahkan saja
Irian Barat kepada Indonesia, karena khawatir sengketa itu akan meluas menjadi konflik
internasional.

Karena terlampau kasarnya campur tangan Amerika Serikat terhadap persoalan dalam negeri
Indonesia, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu membalas dengan menasionalisasi
perusahaan-perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya.

Alasan Amerika Serikat bahwa "Sosialisme Indonesia" yang dicanangkan oleh Bung Karno,
dikhawatirkan akan merubah Indonesia menjadi komunis, sangat tidak realistis. Syarat-syarat
untuk menjadi negara sosialis, sama sekali tidak tersedia. Disamping itu meski pun PKI dikatakan
makin kuat dan makin agresif, tapi kekuatan yang anti PKI jauh lebih besar dan lebih kuat,
termasuk ABRI.

Seperti yang ditulis oleh Gabriel Kolko, kontroversi mengenai peran CIA dalam pergolakan politik
di Indonesia Oktober 1965, telah menimbulkan perhatian yang lebih mendalam oleh adanya
dokumen- dokumen rahasia yang terungkap di Amerika yang memastikan bahwa memang
Amerika campur tangan dalam persoalan dalam negeri Indonesia.

Hanya tuduhan Letnan Kolonel Untung tentang adanya "Dewan Jenderal" yang disponsori oleh
CIA yang akan meng-kup Presiden Sukarno, adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan di muka
persidangan MAHMILLUB. Juga PKI yang menuduh seperti itu, tidak bisa membuktikan
kebenaran tuduhannya.

Tapi 20 Januari 1965, CIA sudah menyampaikan sebuah memorandum kepada


Pemerintahannya, yang menyatakan bahwa "kita sekarang menghadapi bukan saja bahaya dari
Sukarno, tapi juga ketidak-pastian suatu kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno".

Apa yang dicatat diatas, hanyalah untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat dengan ClA-nya
memang selalu terlibat dalam setiap pergolakan dan mencampuri persoalan dalam negeri
Indonesia.

Namun yang cukup menarik bahwa di luar negeri, terus saja terbit banyak buku atau makalah
mengenai G30S/PKI dan hubungannya dengan gerakan menggulingkan Sukarno, bahkan
sesudah seperempat abad peristiwa itu, pembahasannya masih berjalan terus. Sementara di
Indonesia sendiri hal ini malah menjadi tabu, kecuali jika sekedar mencaci maki PKI dan
mendiskreditkan Bung Karno tanpa me- ngaitkannya dengan ulasan yang berpandangan lain.

Terakhir ada lagi makalah yang terbit di luar negeri (1990) mengenai G30S/PKI dan Keterlibatan
Amerika dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, sebagian besarnya memuat pembahasan
seberapa jauh keterlibatan PKI dalam apa yang dinamakan kudeta Untung. Masalah ini tetap
penting, karena adanya pembenaran yang bersandar pada penerimaan kalangan politik yang
menganggap PKI sebagai partai terlibat, dan anggapan keterlibatan PKI ini digunakan sebagai
dalih membasmi kaum komunis, bahkan pendukung Sukarno, dan semua anggota organisasi
yang berafiliasi dengan PKI. Dalam waktu kurang lebih 6 bulan sesudah kudeta Untung, antara
500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh dan mendekati 75.000 yang ditangkap dan ditahan.52)

52) Angka yang dikutip di sini berasal dari Amnesti Internasional Report, The New York Review
of Books, 24 Nopember 1977.
Isu keterlibatan PKI ternyata mempunyai arti lebih luas, karena tampaknya dijadikan tameng agar
orang tidak melihat keterlibatan pelaku lain yang lebih penting, yaitu Pemerintah A.S. dan
berbagai agennya.

Makalah ini dimaksudkan untuk membuka dengan sebuah gambaran singkat mengenai bukti-
bukti "domestik" dan "internal" yang mendukung berbagai penjelasan alternatif dari kudeta itu.
Dengan bahan-bahan tersebut akan tampak lebih terang pengaruh dari pasang surutnya
hubungan AS - RI. Pendekatan yang demikian diharapkan akan memberikan gambaran yang
lebih lengkap, karena akan menarik perhatian kita kepada akibat-akibat komplementer dari
sejumlah faktor dalam negeri dan internasional, yang memungkinkan kita lebih baik menilai watak
dan seberapa jauh keterlibatan AS dalam peristiwa itu. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan
dengan bantuan militer dan ekonomi dari CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA 1958,
telah lama ada upaya AS menggulingkan Pemerintahan Sukarno.

Pemberontakan daerah-daerah di luar Jawa merupakan hal yang penting bagi Amerika untuk
menetapkan kembali politik dan strateginya terhadap komunisme di Indonesia. Beberapa
Departemen melihat dalam pemberontakan itu, terbuka kesempatan baik untuk menjatuhkan
Pemerintahan Sukarno dan dengan begitu, menghancurkan komunisme di Indonesia.

Satu catatan lain yang dimuat dalam "The Journal of American History", tulisan H.W. Brands,
dikatakan bahwa dalam pemberontakan di Sumatera (maksudnya: PRRI/PERMESTA, PEN.),
CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari orang-orang Amerika, Filipina dan Cina
Taiwan, serta beberapa pesawat terbang transport dan beberapa bomber B-26. 53)

53) H.W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno, The
Journal of American History, published by The Organisation of Historians, Vol. 76 No.3, Des.
1989, hal. 790.

Tahun berbahaya, menurut Geofrey Robinson, ialah tahun terakhir sebelum kudeta Untung
ditandai oleh mengentalnya tiga kecenderungan politik Indonesia yang kait-mengait. Pertama,
politik luar negeri Sukarno yang makin bergeser ke kiri ini mencerminkan pertumbuhan polarisasi
kekuatan politik di negeri itu.54) Kedua, perjuangan politik yang semakin berlangsung di luar
lembaga dan jalur politik "normal". Ini sebagian besar karena reaksi atas kegiatan Sukarno dan
PKI. Ketiga, selaku musuh utama, Sukarno dan PKI telah semakin menjadi titik peradikalan dan
polarisasi pertarungan politik dalam negeri. AS disini menjadi semacam wakil dari negara asing
lainnya, termasuk Inggris. Ia juga menjadi sasaran ancaman kekerasan politik yang serius dari
kaum kiri.

54) Suasana ini dilukiskan oleh Mortimer sebagai satu "krisis dan histeria" serta sikap kekerasan
yang sudah dipolarisasi dari segmen penduduk yang sudah dipolarisasikan, hal. 387.

Serangan langsung terhadap Amerika, dimulai oleh Sukarno ketika mengeritik politik Amerika di
Vietnam dan Malaysia dalam pidato 17 Agustus 1964. Kritik-kritik Sukarno ini telah membuka
tutup bendungan banjir dan sikap anti Amerika menjadi pusat logika politik dalam negeri
Indonesia. Misalnya AS dituduh terlibat dalam komplotan hendak membunuh Sukarno.

Nasehat yang disampaikan oleh Washington kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta sehubungan
dengan tuduhan itu berbunyi:

"Hasil yang baik mungkin akan tumbuh dengan sangkalan formal terhadap keterlibatan AS dalam
komplotan pembunuhan. Bagaimana pun juga, kita ingin menghindar dari tuduhan berat yang tak
pantas diucapkan oleh seorang Presiden".
Duta Besar Howard Palfrey Jones diinstruksikan supaya mengemukakan kepada Sukarno reaksi
Presiden Johnson dengan mengatakan bahwa Presiden Johnson merasa terganggu oleh
tuduhan itu dan bahwa ada unsur-unsur jahat yang sengaja berupaya meracuni suasana
kemajuan hubungan antara Indonesia- Amerika yang telah ditegakkan oleh Kominike Bersama
Sukarno dengan Duta Besar Keliling, Bunker.55)

Dalam konteks pertarungan politik yang demikian, harus dinilai arti penting berbagai macam
desas-desus akan adanya kudeta militer yang didukung AS, CIA dan Inggris dengan dibantu
intervensi militer langsung terhadap Indonesia.

55) Departement of State: Telegram kepada Kedutaan Besar AS . di Jakarta, 3 Juni 1965,
National Security Files, Indonesia, jilid III.

Politik anti Amerika yang langsung dan keras telah memaksa pembuat politik di Amerika
mempertimbangkan atau menilai kembali tujuan dan caranya Arnerika bertindak. Sebuah
dokumen CIA bertanggal 26 Januari 1965, terang-terangan mengatakan bahwa kepentingan
Amerika dan Sukarno bertabrakan di hampir setiap lapangan.56)

56) ClA-Office of National Estimates Special Memorandum No. 4-65 Principle Problems and
Prospects in Indonesia", 26 Januari 1965 (Jones File)

Walau pun ada perbedaan mengenai usul berbagai Departemen dan agen-agen, terdapat
pengakuan yang meningkat sepanjang tahun 1965, mengenai sudah waktunya untuk mengurangi
kepercayaan mengenai kemungkinan mempengaruhi Sukarno dan supaya memulai perencanaan
yang serius bagi pemecahan krisis untuk keuntungan kekuatan-kekuatan anti komunis dan anti
konfrontasi.

Tapi sebuah telaah CIA yang lain (Office of National Estimates, 26 Januari 1965), memberikan
perhatian yang lebih besar pada kurangnya persatuan di kalangan kekuatan non komunis yang
diharapkan bisa menjadi sekutu Amerika.

Sedang dokumen CIA lainnya menyimpulkan satu perkiraan yang suram terhadap alternatif dari
krisis yang ada bahwa momentum dan arah yang telah ditanam Sukarno pada kecenderungan-
kecenderungan yang- ada sekarang, telah membawanya ke arah kemungkinan perang dengan
Inggris dan Amerika Serikat di mana Sukarno mengharapkan bantuan Cina (RRT) atau
pengambil-alihan kekuasaan oleh PKI.

Geofrey Robinson mengatakan bahwa fakta intervensi AS sesudah kudeta 1 Oktober 1965,
dapat dibenarkan menjadi subjek studi yang terpisah dan berjilid-jilid, sambil menyimpulkan, ia di
sini hanya membuat sketsa kasar, mengenai kemungkinan keterlibatan AS.

Dikatakannya, tindakan AS mengambil tiga bentuk. Pertama, pengakuan politik langsung kepada
pihak yang menumpas kudeta Untung, tanpa intervensi langsung. Kedua, memberikan bantuan
militer dan ekonomi terselubung, sesuai dengan kebutuhan mendesak, untuk menghindari
penampilan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. 57) Ketiga, bantuan propaganda
tentang perkembangan Indonesia, di luar negeri.

57) Mengutip: Van Langenberg (1967) hal 8

Jadi, Amerika Serikat berkepentingan menjauhkan diri dari setiap campur tangan terang-terangan
atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Segala bantuan harus disalurkan melalui saluran
tertutup.
Bulan-bulan sesudah kudeta Untung, walau pun Sukarno masih tetap Presiden, Amerika secara
efektif menggeser pangakuan politiknya dari de jure Kepala Negara, kepada yang de facto
berkuasa, politik yang memberikan keuntungan luar biasa bagi penentang Presiden Sukarno di
tengah-tengah satu perubahan politik yang terus menerus.

Secara publik, Administrasi Johnson jarang menyatakan kegirangannya atas "perubahan" di


Indonesia, bahkan ia membentuk satu citra toleran non-intervensi, terhadap masalah "dalam
negeri" negeri itu.

Sebuah dokumen DOS (Department of State) menyatakan: "Sampai akhir Maret 1966, politik kita
atas perkembangan di Indonesia, adalah diam 58)

58) Department of State: Post Mortem dari Kudeta, 1966, (D.D.1981).

Tapi sambil melanjutkan posisi ini di hadapan umum, seluruhnya telah jelas bahwa pada waktu
yang tepat, Amerika Serikat siap memberikan sumbangan materi untuk membantu tegaknya
kepemimpinan baru.59). Inilah satu penyamaran yang mulia, liberal dan efektif, kata Geofrey
Robinson.

59) Ibid hal. 4

Para pejabat Kedutaan Besat AS tampil menyerupai tokoh-tokoh dalam lukisan goa-goa Romawi,
di mana mereka mengamati pertarungan di pinggir ring sambil mencatat "menjadijadinya
perkembangan" sebagai berikut:

1) PKI sekarang sudah melarikan diri untuk pertama kalinya dan Aidit bersembunyi, organisasi
Partai rontok, dokumen-dokumen bertebaran dan Markas Besar-nya dibakar.

2) Angkatan Darat telah memegang momentum pembasmiannya terhadap PKI dan menangkap
beberapa ribu aktivis Partai.60)

60) Department of State: Laporan Situasi Kelompok Kerja Indonesia, 9 Oktober 1965.

Geofrey Robinson menutup makalahnya dengan mengatakan bahwa atas dasar fakta yang
dikemukakan, kita sungguh dapat memastikan bahwa Amerika Serikat telah berbuat apa yang
dapat dilakukannya untuk memiliki kekuatan-kekuatan disertai peluang yang menguntungkan
untuk bertindak (di Indonesia) dengan jaminan bahwa mereka dapat berbuat begitu dengan
bebas dari hukuman.

(bersambung)
BAB VII

SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG "TlDAK


BENAR"

SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung saja sejak
suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil rnenjadikan Bung Karno
pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang mengkhawatirkan Amerika.

Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution
menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang mencabut semua kekuasaan
pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya melakukan kegiatan
politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.

Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan,
sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII, tidak diindahkan lagi,
karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan mencairkan kembali sasaran
pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan pencabutan semua kekuasaan pemerintahan
negara dan larangan melakukan kegiatan politik terhadap diri Bung Karno.

Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh MPRS
menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965, karena alasan-
alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di muka sidang pengadilan.

Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana Kusumah misalnya,
daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap sebagai salah satu bukti
keterlibatannya.

Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang
membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu diambil sesuai
dengan ketentuan "Operating Standing Procedure" (OSP) Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan
darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah
dipertimbangkan dengan seksama, diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu
standby pesawat terbang Kepresidenan "Jet Star" yang setiap saat dapat menerbangkan
Presiden ke tempat lain yang lebih aman.

Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden, seperti yang
sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) setebal
90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) atas diri mantan Ajudan
Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel (KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang
menerangkan bahwa Presiden Sukarno pada malam 30 September menerima surat dari letnan
kolonel Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan
30 September, di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik
yang dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.

Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel
Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas pengawalan dan keselamatan Presiden,
yang memastikan bahwa sama sekali tidak ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko.
Maulwi Saelan selama acara berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden.

Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno
dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH., bersifat audita, artinya
sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat
bukti lain, sehingga pembuktiannya mengambang.61)

61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454

Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang "adanya
oknum-oknum yang tidak benar" bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai
sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif mengenai sikapnya. Hubungan
Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang kurang baik, sehingga dalam menentukan
sikap, emosi masing-masing dimungkinkan sekali ikut berperan.

Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution memberikan
keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang
Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah memerintahkan supaya Jenderal
A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden
Sukarno tidak mengetahui sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan
demikian tidak mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang
Buaya.62)

62) Ibid, hal. 455.

Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa dia saja
yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan Menteri Koordinator
Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution?

Lalu Presiden Sukarno bertanya:

"Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa Idul Adha di
halaman Istana Jakarta?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas dirinya (di
Istana Jakarta) oleh Maukar?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat gedung
Stanvac (Jakarta) ?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di Selatan Cisalak
(antara Jakarta-Bogor) ?"

Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa yang harus
dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti lain mengenai "adanya
oknumoknum yang tidak benar".

Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah telegram
dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada Department of State (DOS) di
Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru saja diadakan antara seorang pejabat
Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman, yang mengungkapkan kuatnya "perasaan dalam
Angkatan Darat" terhadap pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.

Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk membangun
Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung untuk "mengimbangi
gerakan PKI". Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana pun, tidak ada kup terhadap
Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan supaya kup dilakukan demikian rupa,
seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno tetap utuh.63)

63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari Kedutaan Besar Amerika
di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File).

Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia dengan mengutip
dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak dirahasiakan lagi mengenai
debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965, mengatakan tentang adanya telegram
dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan
menghilangkan nama orangnya dalam telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta
Besar) berita yang sangat rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk
megambil alih kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari
pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia berkata,
sekali pun telah ada rencanarencana tentang contingency (kemungkinan) basis dengan perhatian
kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di antara segment top military command
untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno turun.

Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima laporan


mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan baginya untuk
mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30 September, karena "adanya oknum-
oknum yang tidak benar".

Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi ke Istana
(dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada Bung Karno supaya
tidak sepenuhnya mem- percayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno meneruskan saja percaya
kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa Subandrio lah yang membakar-bakar Bung
Karno mengenai konfrontasi terhadap Malaysia.

William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal yang
menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan Washington untuk
meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya menaruhkan kartunya pada Tentara,
karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi Presiden dan Bung Karno akan diturunkan.
Dikatakan, gerakan internasional dari Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961.
"Permainan ini berjalan terus dan Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel
Sutikno yang mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA
bernama Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap
hidup dan Verrips terbunuh".64)

64) Resensi Willem Oltmans atas buku "Otobiografi Soeharto", edisi bahasa Belanda.
Amsterdam 24 Maret 1991.

Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia dalam
rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers.

Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya sudah
mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington atas rencana
hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui dan dikhawatirkan akan
melaporkannya kepada Sukarno.

Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem Oltmans kepada
Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh begitu saja tanpa alasan yang
kuat tentang "adanya oknumoknum yang tidak benar".
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan sengketa
Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan wakil Amerika di PBB,
E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak perlu lagi membebaskan Irian Barat
dengan kekuatan militer, secara serius ia berbicara dengan seseorang yang dipercayainya,
bahwa dengan prestasinya itu, pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden,
yang waktu itu memang lowong.

Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan tugasnya,
maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya.

Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio manjadi
buyar.

Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966
yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang ditahan, ABRI sudah
merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena menganggap dia termasuk biang
keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966) ditujukan
kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut:

1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green untuk .... (tidak dikutip, pen.)
sedang kita sudah tentu tidak dalam kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita
sebenarnya harus di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan saya
anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.

2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember yang lalu (1965) bahwa
Tentara akan "mengambil" Subandrio. Ini ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa
lebih putus asa. Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk sesuatu bentuk
tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan
tindakan lanjut dengan kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula
laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih bersatu dari pada sebelumnya
dalam keputusan untuk menyingkirkan Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan
tetapi Tentara pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu cara, kalau
memang mempunyai kemauan untuk melakukannya.

3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah kecenderungan sekarang di


Indonesia. Tentara masih harus menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan
tetapi, tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih banyak kesulitan
untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta
tentara bertindak terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan kepadanya
dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan kalau ia akan mencoba menyerang
tentara sebagai pembalasan, kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan
memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri.

4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan tetapi menurut perkiraan
pendahuluan kami, Tentara mempunyai kemampuan untuk melakukannya tanpa me- nimbulkan
perang saudara atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap
Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh unit-unit militer yang lain,
teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan
yang tidak diduga atau ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orang-
orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan mengambil tindakan
selanjutnya untuk memperketat keamanan perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak
perlu ada tindakan lebih lanjut pada waktu ini.
CP-1

Lydman

BT

Catatan:

Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37 pagi,
2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika "untuk berdiam diri" kalau
Tentara Indonesia "mengambil" Subandrio, 65)

65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D, 26 Pebruari 1966.
Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis dalam "Dokumen-dokumen pilihan tentang
politik luar negeri Amerika Serikat di Asia", hal. 177-179.

Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak menangkap
sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden menolaknya. Menurut Jenderal
Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan K.H.) "Soemitro, Dari PANGDAM
Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB" (terbit April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat
staf SUAD yang dipimpin oleh Pak Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan
sampai pada keputusan hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut " Durno- durno"-
nya. Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD pada saat
ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.

Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten Operasi
MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD untuk pelaksanaannya.

Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak Harto kepada
Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat Perintah Penangkapan dicabut
kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan tidak mungkin dilaksanakan, karena
pasukan sudah bergerak.

Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan Kepala


Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio, tapi ditolaknya,
dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet.

Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.

Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru ditangkap di
Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah Presiden Sukarno lebih
dulu disingkirkan oleh "Tjakrabirawa", dibawa ke Istana Bogor. Tjakrabirawa menolak
penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden
Sukarno sendiri tidak berusaha menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.

Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh Letnan Jederal
(purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan "Tempo" (20 Oktober 1990) bahwa sehari sebelum
sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam statusnya sebagai Kepala Staf
KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk
menangkap Subandrio yang dianggap salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-
lah yang memerintahkan penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden, Brigadir
Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang tidak dikenal me-
ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu. Oleh karena itu Presiden
Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan Helicopter yang tersedia di halaman depan
Istana. Subandrio yang menjadi sasaran hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor.
Hari itu usaha menangkap Subandrio, gagal.

Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan "Forum Keadilan" 66) bahwa
Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang menempatkan
pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata Kemal Idris, dia memang
yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan, sedang Amirmachmud sebagai
Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas teritorialnya.

66) "Forum Keadilan", 22 Juni 1993

Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan itu. Yang
memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden Panggabean (Pejabat
Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak
mau melaksanakannya. " Kalau pasukan saya tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?", kata Kemal
Idris.

Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung Karno kabur ke
Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada Bung Karno yang dibawa oleh
3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amirmachmud), isinya kira-kira menyatakan tidak
bisa bertanggungjawab mengenai keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan
untuk menumpas G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan.

Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan kepada Bung
Karno?, Kemal Idris menjawab: "Iya, cuma sampai di situ saja, tidak berarti dia (Soeharto) me-
ngambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa dipulihkan, kekuasaan itu harus
dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS menghendaki lain".

Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amirmachmud, apakah
situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab "bisa", sambil
memberikan jaminan: AMAN!

Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno di Bogor,
sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud, bagaimana situasi sebenarnya, yang
dijawab oleh Amirmachmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia dibentak oleh Bung Karno
sambil mengatakan "Kau bilang aman, aman, tapi demonstrasi jalan terus".67)

67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56.

Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak Harto
menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi MEN/ PANGAD
Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang menyebabkan SUPERSEMAR keluar,
melainkan karena RPKAD mengepung Istana.

Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk disampaikan
kepada Pak Harto, Amirmachmud mengatakan: "Koq ini penyerahan kekuasaan".68)

Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah SWT kepada
rakyat dan bangsa Indonesia. 69)
68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59.

69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amirmachmud di sini, adalah istilah
agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).
Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.

Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu, pertama-tama


dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15 Menteri. Tindakan ini sangat
mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan dulu dengan Prèsiden/Panglima Tertinggi
ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan
memanggil Sidang Umum IV MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang
menteri- menterinya sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret 1967, yang
mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena Presiden Sukarno sudah
divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan No.XXXIII/1967 yang mencabut semua
kekuasaannya dari Pemerintahan Negara. Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari
SUPERSEMAR.70)

70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61.

Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi
situasi secara tepat.

Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan situasi yang
diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 7 Agustus 1966. Bung Karno berkata:

" .......Tahun 1966 ini, - kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden Sukarno telah
dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup; Presiden Sukarno telah dipreteli
segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah ditelikung oleh satu "triumvirat" yang terdiri dari
Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik. Dan " Perintah 11 Maret" kata
mereka: "Bukankah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?"

Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka - reaksi musuh-musuh kita -
mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang MPRS itu
sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno sampai gundul sama sekali,
atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari kedudukannya semula?

Kata mereka dalam bahasa mereka, "The MPRS session will be the final setlement with
Sukarno", artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir - laatste afrekening -
terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat
mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu
penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu "transfer of authority".
Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan .......bukan penyerahan
pemerintahan. Bukan transfer of authority.

Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang
ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih
Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini! 71)
71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu Press bekerjasama dengan
Yayasan Pendidikan Soekarno, hal. 199-200.

Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian mana
meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh Bung Karno.

Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak membuktikan
kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno.

Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar mengenai
sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena ada oknum- oknum
yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.

(bersambung)

BAB Xl

CATATAN AKHIR:

SEBERKAS TEKA-TEKI

SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada penilaian
tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya menjadi tanggung
jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian.

Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut
bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan kekuasaannya sendiri
(coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa.

Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih lamanya.
Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar NU, penerima
Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa tregedi 1965 itu tidak pernah
muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa mengungkapkannya secara utuh dan lebih
transparan.

33) "Kompas" 21 Oktober 1993

Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan dilupakannya
pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30 September 1965 sama sekali tidak
sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga tidak ada pula tindakan preventif untuk
menangkalnya?

Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita, karena
persiapan gerakan, cukup transparan.

Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang menyatakan
bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk menolong kelahiran bayi
yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel ABRI, apa yang tersirat di balik
kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu panas.

Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan PKI,
28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan kepada CGMI yang menuntut
pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya membubarkannya sendiri saja, karena
Pemerintah tidak mau melakukannya, seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan
terbuka.

Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan HAN KAM,
seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang mengintrogasinya, juga sudah
mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari
sebelum peristiwa. Dengan keterangan ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus.

Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama didesas-desuskan di
masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan desas-desus itu.

Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan bahwa ada
sesuatu yang akan terjadi.

Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun dengan
mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika?

Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut
dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu, sangat
mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik (1964-1969),
William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan buku karya Marshall Green, "Dari
Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak
pertengahan tahun 1965 hingga 1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green
mengenai pendekatan pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan
pendekatan itu. Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia"
menjadi kisah keberhasilan yang sejati".84)

84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164

Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia menulis: "Apa yang
terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan dalam bulan Oktober 1965,
mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia sejak Mao bangkit berkuasa di daratan
Cina pada 1949" 85).

85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1

Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak terlibat di
Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di negeri itu. Ia
mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A & M University dalam Journal of
American History (Desember 1989) bahwa Amerika Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak
bertanggungjawab terhadap ratusan ribu jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh
karenanya, kata Green, "kita tidak punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau".

Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam dokumen-
dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah diumumkan di Amerika, justru
mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia.

Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States Policy (hal.
404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di Indonesia, antara 1959-
1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya mengadakan 7 kali pertemuan. Council on
Foreign Relations mendirikan apa yang dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S.
Policy. Itulah rancangan awal berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian
diresmikan pada bulan Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya.

Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua umum PB NU
ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui bahwa orang Islam membantai
500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak masuk "Orang Islam".
Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa
dimengerti.

86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993

87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings and "disappearances" in
the 1990s, Amnesty International Publications, London

Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar korbannya, tidak
ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah mereka mencari keteduhan
jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk agama lain.

Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan Bung Karno.
Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam keadaan terdesak,
Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang terkenal itu.
Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah
disulap menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966, berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr.
Ismail Suny, SH. MCL., Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh
K.H. Achmad Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H.
Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan segala
implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara pada keluarnya
Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo sebagai Presiden R.l.

88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum Keadilan", 11 Nopember 1993.

Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap
militer G30S/PKI justru Bung Kamo sendirii dengan dikeluarkannya Perintah Lisan sebagai
Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan militer G30S/PKI di Halim
pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua operasi militer, pada saat G30S/PKI
secara militer dalam posisi memegang inisiatif. Perintah Usan Panglima Tertinggi ini mempunyai
akibat langsung, di mana operasi militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan
para militer yang berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya
dikumpulkan dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak
menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer lainnya. Dengan
demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan G30S/PKI tanpa menemui
perlawanan.

Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung memastikan
bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang berada di Halim pada
tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang berada di Sentral Komando G30S
Halim begitu mendengar ada perintah supaya menghentikan operasi militer dan mencegah
pertempuran, memberikan reaksi marah sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo
yang waktu itu komandan Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri
ucapan Soepardjo yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil
duduk di atas ubin.
Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan menuding Bung
Karno terlibat G30S/PKI.

Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki. Setidaknya tiga
pertanyaan besar memerlukan jawaban.

1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum terjadi, padahal ada
kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu, begitu transparan.

2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua Operasi Militer dan ditaati,
tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama yang menggagalkan G30S/PKI?

3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden Sukarno, secara
mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa persetujuan pembuat Surat Perintah itu
yang kemudian digunakan untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu
terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulinglan Bung Karno.

Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat menjawab
dengan tepat, jika saatnya telah tiba.

Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi makam Bung
Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya.

Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan sekaligus
kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil mereka bukan gambar
Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini tidak memerlukan jawaban karena
sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu
nama yang sinonim dengan Indonesia yaitu SUKARNO.

Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden Sukarno
dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan, karena akibat ke-tata-
negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi
untuk memperlemah secara berangsur- angsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya:

1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan bersama Bung Hatta.

2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21 Juni 1979, sebagai
Makam Pahlawan.

3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi "Bandar Udara Sukarno-
Hatta".

Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni sebagai Hari
Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali.

Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan.

Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.

Anda mungkin juga menyukai