Anda di halaman 1dari 43

Home

Gen SINDO new

Nasional

Metronews

Daerah

Ekonomi Bisnis

International

Sports

Autotekno

Lifestyle

Live TV

Live Radio

Informasia

Photo

Video

Featured
Indeks Berita

Sumber Informasi Terpercaya

home cerita pagi

Cerita Pagi

Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965

Hasan Kurniawan

Minggu, 20 Desember 2015 - 05:05 WIB

Ben Anderson (foto:Istimewa/Hasan)

237Shares

BEN ANDERSON merupakan salah satu pakar sejarah dan politik Indonesia paling berpengaruh pada
abad 20. Kini, Ben telah meninggal dunia. Tetapi karyanya tentang Indonesia bagaikan sumber mata
air yang tidak ada habisnya direguk.

Sebut saja penelitiannya yang berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in
Indonesia atau Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia. Sejak pertama dipublikasikan pada
10 Januari 1966, karya ini masih dipelajari.
Melalui penelitian bersama Ruth Mcvey dan Frederick Burnell itu, pria yang bernama lengkap
Benedict Richard O'Gorman (ROG) Anderson ini menjungkir balikkan sejarah resmi versi Orde Baru
tentang Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Baca Juga:

Dalem Santri, Pemimpin yang Menjunjung Nilai-Nilai Islam

Misteri Benteng Maas, Peninggalan Raja Biya di Gorontalo Utara

Dalam suatu wawancara, pria kelahiran Kunming pada 26 Agustus 1936 ini pernah menyatakan,
logika yang dibangun Orde Baru mengenai G30S 1965 dengan menyebut Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai dalangnya sangat tidak masuk diakal.

Dengan menggunakan sumber-sumber media pada masa itu yang masuk ke Cornell University di
Ithaca, Amerika Serikat, Ben Anderson yang masih kuliah mengajak seniornya Ruth Mcvey dan adik
kelasnya Frederick Burnell melakukan penelitian singkat.

Sumber-sumber media yang digunakan adalah yang terbit di daerah-daerah dan belum dikuasai
tentara Orde Baru di Jakarta, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, dan lainnya. Hingga tiga
minggu setelah G30S, media-media itu belum dilarang.

Selain menggunakan sumber koran dan majalah yang terbit di masa itu, Ben Anderson juga
menggunakan dokumen-dokumen tentara yang masuk ke Cornell University, dan pengamatan
langsung di lapangan oleh sejumlah kenalan yang ada di daerah itu.

Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian adalah sumber media dan dokumen yang terbit
hingga pertengahan Desember 1965. Setelah itu, media sudah dikendalikan atau dilarang terbit oleh
tentara Orde Baru secara keseluruhan di Indonesia.
Selama tiga minggu waktu penulisan, akhirnya Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 rampung
dikerjakan pada 10 Januari 1966. Dari hasil penelitian yang singkat itu diketahui banyak terjadi
ketidak cocokan sejarah versi Orde Baru di lapangan.

Sedikitnya ada beberapa poin penting yang berhasil dipetik dari analisis awal itu. Pertama, Bung
Karno tidak terlibat G30S dan sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari peristiwa berdarah
ini. Sebaliknya, G30S membahayakan dirinya.

Poin kedua mengenai PKI sebagai dalang G30S tidak benar. Tudingan ini sangat tidak masuk logika,
karena PKI pada waktu itu sedang berada di atas angin dan pengaruhnya terhadap Bung Karno cukup
besar. Hal ini jelas menguntungkan posisi PKI.

Ketiga adanya perselisihan atau masalah dalam tubuh Angkatan Darat (AD). Menurut mereka, sudah
lama berkembang sikap kritis di kalangan para perwira di Kodam Diponegoro, Jawa Tengah terhadap
para perwira Diponegoro di Jakarta.

Para perwira di Semarang melihat senior mereka di Jakarta telah bertindak korup, suka bermain
perempuan, dan bermewah-mewahan. Mereka dianggap telah mengkhianati prinsip-prinsip
kerakyatan, serta kesederhanaan seorang tentara rakyat.

Selain mengungkap adanya konflik antara bawahan dengan atasan, pada kesimpulannya itu Ben
Anderson dan Ruth Mcvey juga mengungkap kedekatan para pemimpin G30S, yakni Untung dan Latif
dengan Jenderal Soeharto.

Kedekatan Soeharto dengan Untung tampak pada 1964. Saat itu, Soeharto rela pergi jauh-jauh ke
salah satu desa di Jawa Tengah untuk menghadiri perkawinan Untung. Saat menikah, usia Untung
sudah cukup tua. Dia sering diejek perjaka tua.

Begitupun dengan Latief. Soeharto dikenal sangat dekat dengan Latif. Bahkan Istri Soeharto, Ibu Tien
juga berhubungan erat dengan Istri Latief. Ben Anderson menduga, Ibu Tien yang meminta Soeharto
membebaskan Latif dari hukuman mati.

Analisis awal Ben Anderson dan Ruth Mcvey yang kemudian terkenal dengan Cornell Paper
menimbulkan kegemparan di Jakarta. Di kalangan aktivis mahasiswa dan kaum intelektual Indonesia,
tesis Ben Anderson ini sempat hangat diperbincangkan.
Pada tahun 1967, Ben Anderson sempat berkunjung ke rumah sahabatnya Soe Hok Gie, di Jalan
Kebon Jeruk, Jakarta. Saat itu, dia sempat mendiskusikan tesisnya tersebut dengan sejumlah teman-
temannya. Di antara yang hadir tampak Salim Said.

Selain mengunjungi para sahabatnya, kedatangan Ben Anderson ke Indonesia saat itu adalah untuk
mengikuti sidang Mahmilub. Saat mengikuti sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo, dia menerima
salinan fotokopi rekaman stenografis pengadilan.

Rekaman itu berisi dokumen-dokumen penting tentang lampiran-lampiran pada berkas sidang
pengadilan. Di dalamnya ternyata ada laporan yang disusun lima orang ahli kedokteran forensik yang
memeriksa mayat-mayat enam orang jendral yang dibunuh.

Keenam jenderal itu adalah Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan, serta seorang
letnan muda Tendean yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Hal ini sangat
mengejutkan Ben Anderson sekaligus membuatnya senang.

Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah dimiliki
tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat berita-berita yang disajikan oleh surat kabar dan
majalah umum berlain-lainan dan sarat kontroversi.

Dokumen penting itu kemudian dia terjemahkan. Disebutkan pada bagian atas setiap visum et
repertum (Autopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin 4 Oktober 1965 atas
perintah Mayjen Soeharto selaku Komandan KOSTRAD.

Tim terdiri dari dua orang dokter tentara, termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal, dan
tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) yang
salah satunya adalah Dr Sutomo Tjokronegoro.

Sejak mayat diangkat dari Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 siang, tim langsung bekerja selama 8
jam dari pukul 4.30 sore pada 4 Oktober 1965 sampai 12.30 lewat tengah malam pada 5 Oktober, di
Kamar Bedah RSPAD.

Siang harinya, pada Selasa 5 Oktober 1965, mayat-mayat itu langsung dimakamkan dengan upacara
militer di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Satu hal yang pasti patut diperhatikan, autopsi
dilakukan atas perintah langsung Mayjen Soeharto.
Hal itu berarti bahwa setelah tim dokter bekerja, laporan hasi autopsi segera disampaikan
kepadanya. Tim dokter melaporkan bahwa jenderal-jenderal yang mati itu karena diberondong dan
ada sebagian yang badannya rusak karena dilempar dalam sumur.

"Tapi dua hari setelah itu Ali Murtopo bikin keterangan di televisi dan di koran bahwa betapa
kejamnya PKI sehingga kemaluan si jenderal dipotong, matanya dicongkel, dan sebagainya. Mereka
tahu betul bahwa itu bohong!" kata Ben Anderson.

ADVERTISEMENT

Temuan dokumen-dokumen yang mengejutkan itu semakin meneguhkan pendirian Ben Anderson
dan Ruth Mcvey tentang analisa awal mereka bahwa PKI tidak terlibat secara langsung dalam G30S,
dan ada upaya untuk menghancurkan PKI secara sistematis.

Saat laporan Ben Anderson tentang hasil autopsi kembali dibuka ke publik, reaksi Jakarta semakin
marah. Keputusan untuk melarang Ben Anderson datang ke Indonesia pun akhirnya dikeluarkan.
Pada 1972, secara resmi Ben Anderson dicekal Soeharto.

Setelah Soeharto lengser, pada Desember 1998 Ben Anderson kembali menginjakkan kakinya di
Indonesia. Saat itu Ben terlihat sangat senang. Tampak pada wajahnya suatu kerinduan yang
mendalam bagai terpisah dari Tanah Kelahiran sendiri.

Ben Anderson memang dikenal sebagai peneliti asing yang sangat mencintai Indonesia dengan
seluruh kehidupan yang ada di dalamnya. Sejak kunjungannya yang pertama kali lagi itu, dia terus
melakukan kunjungan rutinnya ke Indonesia.

Dalam setahun, sedikitnya dua kali Ben Anderson datang ke Indonesia. Terakhir, Ben Anderson
datang ke Indonesia untuk menghadiri acara diskusi tentang buku terbarunya yang berjudul Di
Bawah Tiga Bendera, diterbitkan oleh Marjin Kiri.

Beberapa hari kemudian, Anderson meninggal pada Minggu 12 Desember 2015, di Batu, Malang,
Jawa Timur, dalam usia 79 tahun. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi mengenang wafatnya Ben
Anderson diakhiri. Semoga memberikan bermanfaat.

Sumber Tulisan

*Salim Haji Said, Gestapu 65, Mizan, 2015.


*Pambudi, Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal, Media Pressindo, 2007.

*Ben Anderson: Politisi Indonesia Main Duit, dikutip dalam wawancara Tamu Kita, Majalah D&R,
No31/XXX/15-20 Maret 1999.

*Profesor Ben Anderson tentang G30S, dikutip dalam laman Arus Bawah
arusbawah20.wordpress.com.

*Joss Wibisono, Cornell Paper: Penentang Pertama G30S versi Soeharto, seperti dikutip dalam
http://archief.wereldomroep.nl.

*Ben Anderson, Tentang Matinya Para Jendral, dikutip dalam laman newhistorian.wordpress.com.

PILIHAN

Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966

Kenapa Soeharto Tidak Mencegah G30S 1965?

Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965

Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya

(san)

237Shares

0
1

Wanita tua ini 68 tahun. Ahli kecantikan terkejut, dia "hapus" semua kWanita usia 51 tahun
terlihat seperti remaja! Setiap hari ia mengolesk

Saya berhenti membayar listrik! Saya cukup memakai...Bau mulut adalah tanda-tanda awal
parasit! Cukup segelas sebelum tidur

Topik Terkait :

cerita pagi g30s/pki komunisme

Berita Terkait

Misteri Jejak 7 Raja di Museum Simalungun

Lingga Yoni, Tempat Beribadat Era Hindu di Kota Tasikmalaya

Kisah Sembah Banda Yudha dan Nyi Dewi Windu Asih di Karang Tirta Pangandaran

Masjid Al-Mashun Medan, Peninggalan Bersejarah Kesultanan Deli

Mendoan Banyumas dan Asal-Usul Penamaannya

Penemuan 11 Artefak Bukti Kejayaan Budaya Melayu Pesisir

Masjid Agung Keraton Liya Togo Dibangun dari Batu Karang dan Putih Telur

KPK Periksa Menkumham Terkait Kasus Korupsi E-KTP

Powered By Geniee

Dokter telah menemukan penyebab bau busuk dari mulut! Baca disini

Rasa sakit di sendi akan hilang sekali dan untuk selamanya

Berita Lainnya

Dokter asal Beijing ungkap cara memulihkan persendian

Selama Buron, Mindo Pembunuh Istri Jualan Roti di Lampung

Lestarikan Perahu Tradisional Halbar melalui Lomba Dayung

Pengemudi Taksi Daring yang Ditikam saat Cekcok dengan Istri Meninggal
Toggle navigationIndoprogress.Com

Analisis, Ilmu Sosial, Intelektual, Sosok

Ben Anderson, Seorang Ilmuwan Progresif

Ben Anderson, Seorang Ilmuwan Progresif

21 December 2015

Made Supriatma

Harian IndoPROGRESS

Ben Anderson saat acara peluncuran buku ‘Indonesia Dalem Api dan Bara’ karya Tjamboek Berdoeri
alias Kwee Thiam Tjing. Foto: Edward Manik

DIHADIRI oleh keluarga, kawan dan para muridnya, abu jenazah Ben Anderson yang meninggal pada
13 Deember 2015 di Batu, Malang, Jawa Timur, akhirnya sudah di larung di Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya pada 20 Desember. Tak diragukan, kita kehilangan seorang figur besar dalam ilmu-
ilmu sosial kontemporer. Sebagai seorang ilmuwan politik, pengaruhnya tidak hanya dirasakan di
bidangnya. Karya-karyanya dibaca oleh mereka yang belajar antropologi, sejarah, kritik sastra,
sosiologi, dan kajian kebudayaan. Dia belajar, dan kemudian menjadi ahli, dari sebuah kawasan yang
paling beragam di dunia, yakni Asia Tenggara. Hampir sebagian besar hidup Ben Anderson diabdikan
untuk mempelajari kawasan ini.

Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang paling ‘majemuk’ (plural) di muka bumi ini. Kawasan ini
tidak saja memiliki aneka macam rezim pemerintahan (monarki vs. republik; otoriter vs. demokratis;
kapitalis vs. komunis), namun juga dihuni penduduk yang memeluk beragam agama (Budha, Islam,
Katolik/Kristen, dan belum lagi yang setengah beragama atau tidak beragama sama sekali), dan
kondisi geografis (daratan dan kepulauan).

Kemajemukan tersebut menawarkan kesempatan yang kaya untuk membangun terobosan dalam
ilmu-ilmu sosial. Beberapa karya ilmu sosial terkemuka dibangun dari kawasan ini. Yang pertama-
tama adalah karya J.C. Furnivall tentang konsep masyarakat majemuk (the plural society). Karya
monumental Furnivall dibangun dengan berdasarkan perbandingan antara Birma dan Hindia Belanda
pada masa kolonial. Kemudian, Clifford Geertz membangun pemahaman tentang Islam dan ideologi
politik yang berkembang jauh dari kebudayaan Arab. James C. Scott membangun teorinya tentang
moral ekonomi petani lewat studinya di pedesaan Malaysia. Pada akhirnya, Ben Anderson
membangun teorinya tentang nasionalisme karena tergelitik oleh Indonesia, sebuah negara dengan
penduduk yang sangat majemuk namun bisa membangun sebuah bangsa.

Posisi Ben agak unik dalam kajian Asia Tenggara. Dia tidak berangkat hanya dari satu negara.

Ben menjelajah dan mempelajari secara mendalam tiga negara sekaligus: Indonesia, Thailand, dan
Filipina. Dia tidak saja mampu mengakses tulisan-tulisan tentang ketiga negara ini namun dia juga
mampu berkomunikasi dengan penduduk lokal. Ben adalah seorang polyglot, seseorang yang
memiliki kemampuan berbicara dalam banyak bahasa. Dia bisa membaca teks dalam bahasa
Belanda, Jerman, Spanyol, Perancis dan Russia, serta bisa membaca dan berbicara dalam bahasa
Indonesia dan Thai. Dia paham bahasa Jawa dan Tagalog.

Kemampuan berbahasa ini menjadi modalnya untuk memahami tidak saja teks namun juga, yang
lebih penting, berdialog dengan orang kebanyakan di luar lapisan elit yang menguasai dunia teks.
Akses terhadap dunia orang kebanyakan itulah yang memungkinkannya untuk menangkap nuansa
yang jauh lebih kompleks, sekaligus jauh lebih menarik ketimbang yang direpresentasikan lewat
teks.

***

“Persoalannya dengan Ben Anderson adalah karena dia selalu berpihak pada yang under-dog(yang
lebih lemah dan kalah),” demikian kata seorang kolega saya. Dia agak merasa terganggu karena Ben
selalu punya ‘bias’ dalam memandang kaum elit dan mereka yang punya kekuasaan. Pengamatan ini
tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Ben juga bergaul dengan mereka yang
berkuasa. Tetapi para penguasa ini tidak menarik perhatiannya. Dia tertarik pada kekuasaan untuk
menelanjanginya, bukan untuk berada didalamnya. Sikap inilah yang kemudian menjadikannya
mendapat celaka ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru dan yang membuatnya dilarang masuk
ke Indonesia selama 27 tahun. Di samping itu, Ben adalah seorang yang dengan sadar memilih jalan
Kiri sebagai sikap politik.

Yang jelas dia punya lebih banyak kawan baik dari kalangan aktivis, intelektual, maupun dari
kalangan orang biasa-biasa saja. Di Indonesia, misalnya, dia berkawan karib dengan almarhum
Ongokham. Dia juga bersahabat dengan baik Soe Hok Gie, mahasiswa pemberontak tahun 1966 itu.
Sekalipun baru bertemu muka dengan sastrawan terkemuka Indonesia, Pramodeya Ananta Toer,
setelah tumbangnya Orde Baru, dia menjalin persahabatan lewat korespondensi. Hampir di semua
negara dia juga punya sahabat dari kalangan orang biasa, yang menjadi temannya untuk jalan-jalan
ke pelosok-pelosok.

Apakah yang membentuk sikap politik, yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi karya
akademisnya? Mungkin latar belakangnya bisa sedikit memberi gambaran.

Benedict Richard O’Gorman Anderson lahir di Propinsi Kunming, Cina, pada 26 Agustus 1936.
Ayahnya bekerja di sana sebagai petugas pajak Kerajaan Inggris dan Cina. Ben Anderson
menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah. Tahun 1941, keluarganya pindah ke
California. Pada 1945, keluarga ini pindah lagi ke Irlandia sebelum kemudian pindah ke Inggris. Dan
dari sejak kecil, Ben dibesarkan dengan beraneka ragam dialek dan bahasa. Dia pernah bercerita
bahwa kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata dari bahasa Vietnam. Itu
karena amahyang mengasuhnya adalah seorang gadis dari Vietnam. Ayahnya sendiri, yang berdinas
selama 30 tahun di Cina, adalah seorang yang fasih berbahasa Cina. Demikianlah, Ben dibesarkan
sesudah berkenalan dengan kebudayaan yang sama sekali lain dari kebudayaan Inggris dan Irlandia
dari keluarga besarnya.

Dia mulai bersekolah di Denver sebelum pindah ke Irlandia. Sesudah ayahnya meninggal, Ben pindah
ke London. Dia diterima di sekolah elit Inggris, Eton College. Kemudian dia belajar sastra klasik di
Universitas Cambrigde. Tahun 1957, Ben meneruskan kuliah paska-sarjananya di Universitas Cornell,
Ithaca, New York. Di sana dia belajar dari salah seorang sarjana yang menjadi pionir dalam
mempelajari Indonesia, yakni George McT. Kahin.

Kesadaran politiknya dimulai tidak sengaja. Suatu sore pada bulan November 1956, saat masih
bersekolah di Cambridge, dia secara tidak sengaja berhampiran dengan sekelompok mahasiswa yang
tampaknya seperti berasal dari Pakistan atau India. Para mahasiswa ini sedang mengelilingi
seseorang yang berpidato menentang intervensi Inggris di Terusan Suez. Persis ketika itu datanglah
kelompok lain yang lebih besar, yang menurutnya adalah ‘para kolonial’ dari lapisan kelas atas
Inggris, yang dengan segera menyerang kelompok kecil pemrotes ini. Melihat itu, dia berusaha
mencegahnya. Namun apa daya, mereka menyerangnya hingga kacamatanya terpental dari
mukanya. Itulah pengalaman pertamanya berhadapan dengan politik.

Ben memulai risetnya di Indonesia pada tahun 1961. Dia mengatakan bahwa itulah saat-saat yang
paling menyenangkannya. Indonesia memang sedang dalam keadaan darurat dengan
pemberontakan yang masih berkobar di Sumatera dan Sulawesi. Namun, toh dia terkesan dengan
betapa egaliternya masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan masyarakat di Inggris,
Irlandia, atau Amerika. Dia juga terkesan dengan Sukarno, presiden Indonesia saat itu, yang sangat
mudah ditemui di istana negara. Dia bisa menikmati pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di
istana dimana presiden, menteri dan para pejabat pemerintahan serta rakyat jelata semua ikut
menonton.

Namun keadaan berubah sesudah tahun 1965. Percobaan kudeta oleh beberapa perwira muda TNI-
Angkatan Darat yang tergabung dalam Gerakan 30 September (G30S), yang berakibat terbunuhnya
enam jenderal dan satu perwira TNI-AD, mengubah segala-galanya. TNI-AD dibawah pimpinan
Mayjen Soeharto dengan segera menuduh bahwa G30S didalangi oleh PKI. Tiga minggu sesudahnya,
mulailah pembantaian massal yang berlangsung hingga bulan Januari 1966.

Lebih dari setengah juta rakyat dibantai oleh milisi-milisi yang diciptakan oleh militer. Tentu tidak
mudah membasmi sedemikian banyak orang hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Tentara
dengan cerdik memanfaatkan antagonisme dalam masyarakat untuk melakukan pembunuhan itu.
Organisasi pemuda, kesatuan-kesatuan aksi, mahasiswa, dan bahkan siswa SMA dimanfaatkan
sebagai bagian dari mesin pembantaian ini.

Ben Anderson sudah kembali ke Cornell ketika pembantaian itu terjadi. Namun, bersama dengan
dua orang teman lainnya (Ruth McVey dan Frederick Bunnel), dia tidak tinggal diam. Mereka
melakukan studi untuk mendalami apa yang sesungguhnya terjadi. Berbekal informasi dari yang
tersedia, mereka mengkaji Gerakan 30 September ini. Mereka menemukan bahwa para perwira
yang terlibat dalam Gerakan ini sebagian besar berasal dari Kodam Diponegoro, dimana Mayjen
Soeharto pernah menjadi panglimanya. Beberapa perwira bahkan dikenal dekat dengan Soeharto.
Studi ini berkesimpulan bahwa percobaan kudeta ini terjadi karena persoalan ketidakpuasan di
kalangan perwira muda Angkatan Darat terhadap jenderal-jenderal mereka.

Studi yang diberi judul ‘Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup in Indonesia’ pada awalnya
memang dimaksudkan hanya sebagai kajian sementara karena keterbatasan informasi yang mereka
peroleh. Mereka membagikannya kepada beberapa kolega untuk mendapatkan komentar dengan
catatan hanya dipakai untuk kepentingan sendiri dan tidak disebarluaskan. Mereka
mengkhawatirkan keselamatan banyak kawan di Indonesia, yang sekalipun tidak tahu akan adanya
dokumen ini, namun bisa jadi akan dikaitkan oleh pemerintahan militer Soeharto.

Namun, entah mengapa, analisis ini bocor keluar dan beredar dari tangan ke tangan. Prof. Kahin
memberikan analisis ini kepada William Bundy, seorang asisten untuk Urusan Timur Jauh di
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Diduga, dari sanalah dokumen ini menyebar kemana-
mana dan akhirnya sampai juga ke tangan penguasa militer Orde Baru. Jurnalis konservatif Arnold
Brackman menuduh bahwa analisis ini disusupi kepentingan ideologis pengarangnya. Nama-nama
pengarang dari dokumen yang kemudian terkenal dengan nama ‘Cornell Paper’ itu memang tidak
disebutkan. Akan tetapi, semua orang tahu siapa yang ada dibaliknya.

Sekalipun analisisnya menuai kontroversi, Ben Anderson masih bisa pergi ke Indonesia walaupun
kecurigaan terhadap dirinya mulai tumbuh. Sebuah dokumen dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Jakarta pada tahun 1967 mengatakan bahwa dia adalah ‘seorang Komunis atau paling tidak
simpatisannya.’ Saat itu Ben masih bisa bebas melakukan perjalanan. Dia juga hadir dalam
pengadilan Sudisman, seorang dari lima ketua Komite Sentral PKI yang tersisa. Empat ketua lainnya
sudah dibunuh oleh tentara tanpa diadili. Sikap Sudisman yang tenang dan bermartabat di
pengadilan, meninggalkan kesan yang mendalam untuk Ben. Dia akhirnya menerjemahkan pidato
pembelaan Sudisman yang berjudul ‘Uraian Tanggung-Djawab’[1] ke dalam bahasa Inggris.

Pada tahun 1971, ‘Cornell Paper’ resmi terbit. Pada April 1972, Ben kembali mengunjungi Indonesia.
Saat itu dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Paspornya ditahan. Dia hanya melancong-lancong
seputaran Jakarta. Usaha untuk kembali ke Indonesia diulang lagi pada tahun 1980. Kedutaan Besar
Indonesia di Bangkok mengeluarkan visa untuknya. Namun malang, sesampainya di Bandara, dia
langsung diusir keluar dengan pesawat pertama.

Sejak saat itu, Ben hanya bisa memandang Indonesia dari kejauhan. Pengalaman ini, membuat dia
merasa kehilangan Indonesia yang pernah dikenalnya. Rasa kehilangan ini bertambah dalam karena
menyaksikan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh militer yang memerintah pada Orde
Baru. Banyak di antara mereka yang terbunuh atau hilang adalah kawan-kawan yang dikenalnya
secara pribadi. Tentang hal ini, Ben mengatakan, “… rasanya seperti tiba-tiba mendapati bahwa
orang yang Anda cintai adalah seorang pembunuh.”

Namun bagaimana pun juga Ben telah memperlihatkan sikapnya. Dia menjadi pengritik terkemuka
Orde Baru. Dia beberapa kali memberi kesaksian di dalam dengar pendapat (hearing) di Congress
(DPR dan Senat) di Amerika.

Tanpa tedeng aling-aling dia memperlihatkan simpati dan pembelaannya terhadap Timor Leste, yang
diinvasi oleh Indonesia pada tahun 1975 dan dijajah oleh Indonesia selama kurang lebih 24 tahun.
Timor Leste, katanya, adalah ‘negeri kecil yang pemberani.’ Negeri yang penduduknya kira-kira 0.5
persen dari penduduk Indonesia ini melawan tentara pendudukan Indonesia yang kuat dan
bersenjata lengkap dengan gagah berani. Sekali lagi, Ben Anderson memperlihatkan pemihakan dan
pembelaannya kepada yang under-dog.

***

Banyak orang memberi julukan Ben Anderson adalah seorang ‘Indonesianis.’ Dia pun tidak pernah
menolak itu. Indonesia, khususnya Jawa, adalah negeri pertama yang dipelajarinya. Dalam banyak
hal, Indonesia mempengaruhi caranya memandang sesuatu. Setelah dilarang masuk ke Indonesia,
yang disebutnya sebagai ‘pengasingan,’ Ben memang mengalihkan perhatiannya ke Thailand. Itu
rupanya terjadi pada saat yang tepat. Pada Oktober 1973, demonstrasi besar telah menjatuhkan
rezim diktator militer Thanom-Phrapat. Thailand menjadi sedikit terbuka karena buruh kembali
diijinkan berserikat, liga-liga petani dibentuk, pers menjadi lebih bebas, dan kalangan mahasiswa
serta kaum intelektual lantang menyerukan reformasi dalam bidang kesejahteraan.

Banyak di antara mereka yang mengorganisasi keruntuhan kediktatoran militer tersebut adalah
kawan-kawannya Ben dan sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan intelektual yang
berhaluan Kiri. Dia mulai belajar bahasa, sejarah, kebudayaan, dan politik Thailand. Namun hantu
pembantaian besar-besaran pun rupanya tidak mau pergi dari Ben.

Selama kurang lebih dua setengah tahun, para mahasiswa dan intelektual mengalami kebebasan.
Sampailah pada bulan Oktober 1976, para mahasiswa berkumpul di Thammasat University untuk
berdemonstrasi menentang kepulangan bekas diktator militer Thanom Kittikachorn dari Singapura.
Unjuk rasa ini berujung pada pembantaian para demonstran. Sehari sebelum pembantaian tersebut,
pers Thailand memberitakan adanya sebuah drama yang dimainkan oleh para pendemo yang
menggambarkan penggantungan patung putra mahkota kerajaan, Pangeran Vajiralongkorn. Drama
tersebut memancing kemarahan dan dengan segera tentara, polisi, serta milisi-milisi pro militer
mengepung Kampus. Pada 6 Oktober pagi, gabungan kekuatan ini menyerbu kampus. Angka resmi
menyebutkan 46 orang meninggal dan ratusan luka-luka. Angka tidak resmi menyebutkan jumlah
korban meninggal lebih dari seratusan.

Ben menganalisis semua kejadian itu dalam sebuah esei yang diterbitkan oleh Bulletin of Concerned
Asian Scholars. Esai yang berjudul ‘Withdrawl Symptoms’ itu menjadi satu sumbangan penting untuk
studi tentang Siam. Esai ini mengupas basis kekuatan sosial yang menumbangkan kediktatoran
militer tahun 1973. Pertanyaan yang diajukannya sangat menarik: Mengapa kelas menengah dan
para borjuis kecil Thailand mendukung para mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan militer
namun tidak mau mendukung dan mempertahankan demokrasi? Ben menjawab persoalan ini
dengan melihat perubahan-perubahan struktural dan ideologis yang terjadi di Thailand pada masa
itu. Kelas menengah dan para borjuis kecil ini dilahirkan oleh modernisasi Amerika dan Jepang sejak
tahun 1960an, terutama di bidang pendidikan. Namun pada tahun 1970an, mereka mulai merasakan
bahwa mereka justru tidak bisa masuk ke dalam politik yang secara ketat berada dalam kekuasaan
‘bureaucratic polity’, yakni birokrat dan militer. Itulah sebabnya mereka mendukung para mahasiswa
meruntuhkan kediktatoran militer.

Runtuhnya kediktatoran ini diganti dengan ‘demokrasi kacau balau.’ Kelas menengah dan borjuis
kecil yang terbiasa dengan stabilitas dan ketenangan ini pun tidak tahan akan demokrasi sehingga
mereka tidak membela ketika pada tahun 1976 militer kembali berkuasa. Ben menyebut ini sebagai
‘gejala-gejala penarikan diri’ (withdrawal symptoms) dari kelas menengah dan borjuis kecil Thailand
pada masa itu.

Di Thailand, Ben Anderson juga menerbitkan sebuah antologi cerita pendek, “In The Mirror.”Ini
adalah kumpulan cerita pendek politik pada era Amerika. Era ini ditandai dengan kediktatoran
militer dan modernisasi seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Filipina adalah negara berikutnya yang menjadi sasaran Ben Anderson. Pada awal tahun 1980an
ketika dia mulai melakukan studi, Filipina juga dikuasai oleh diktator Ferdinand Marcos. Sama seperti
kediktatoran militer di Thailand, kediktatoran Filipina menarik untuk dibandingkan dengan
Indonesia. Namun, dengan segara perhatian Ben teralih kepada sastra Filipina. Dia dengan cepat
mendapati karya-karya Jose Rizal, bapak bangsa Filipina.
Satu tulisan penting yang dikeluarkan oleh Ben Anderson tentang Filipina adalah tentang demokrasi
‘cacique’ di negeri ini. Dia berargumen bahwa demokrasi di negeri ini dikuasai oleh para ‘cacique’
atau ‘bos-bos politik’ yang berkuasa di propinsi-propinsi dan dari cengkeramannya di provinsi ini
menguasai Manila. Ben pun mengurutkan sejarah terjadinya cacique ini. Mulai dari merosotnya
kekuasaan imperium Spanyol, pembukaan ekonomi Filipina yang mendorong migrasi orang-orang
Cina ke sana. Ketika Amerika masuk menggantikan Spanyol sebagai penguasa di Filipina, ia
memperkenalkan sistem demokrasi. Ketika itu imigran-imigran Cina sudah menjadi kuat dan
menguasai ekonomi. Dengan cepat, pengusaha-pengusaha Cina ini menguasi lembaga-lembaga
demokrasi di tingkat lokal dan kemudian nasional. Dari kekuasaan politik ini, mereka memperkuat
ekonomi sehingga mereka menjadi ‘cacique’. Mereka menguasai faktor produksi ekonomi yang
sangat besar dan dari kekuatan ini mengontrol kekuasaan politik.

Ben Anderson juga menulis beberapa artikel tentang nasionalisme Filipina. Namun karya yang paling
besar tentang Filipina lahir setelah dia pensiun dari tugas mengajar di Universitas Cornell. Tahun
2006, terbit buku ‘Under The Three Flags’[2] yang mengkaji bagaimana ide-ide anarkis dari Eropa
dan Amerika menjelajah dan mengilhami pemberontakan anti-imperialisme di banyak negara.
Dengan mengambil contoh dua novel karya bapak bangsa Filipina, Jose Rizal, dia menunjukkan
globalisasi gerakan anti-kolonial, tarik menarik antara penyebaran ide-ide anarkis dan kebangkitan
revolusi dan nasionalisme di daerah-daerah pinggiran (periphery). Buku ini memperkuat semua tesis
yang sudah dibangun oleh Ben didalam karyanya yang paling mashyur, Imagined Communities, yakni
bahwa kapitalisme media cetak memiliki peranan besar dalam pergerakan ide ini.

Pada tahun 1998, Ben Anderson mengumpulkan semua esei yang ditulisnya tentang tiga negara di
Asia Tenggara ini ke dalam sebuah buku, “The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia,
and the World.” Buku ini, selain merupakan hasil perbandingan antara tiga negara Asia Tenggara
yang selama ini dia pelajari, juga merinci kembali semua pikiran-pikiran dia tentang nasionalisme.

Foto oleh Fildzah Izzati

***

Tidak ada negara yang menyedot sebagian besar perhatian Ben Anderson selain Indonesia. Dia
mengakui bahwa dia mengalami saat-saat terbaik dalam hidupnya ketika dia melakukan riset di
Indonesia antara 1961-64. Pada masa-masa setelah itu, sekalipun dilarang untuk berkunjung ke
negeri ini selama hampir seperempat abad, dia tidak kehilangan gairah untuk memperhatikan
Indonesia.

Karya pertamanya tentang Indonesia adalah ‘Java in a Time of Revolution.’ Ini adalah sebuah kajian
tentang revolusi Indonesia di Jawa. Berbeda dengan gurunya, George Kahin, yang
menulis ‘Nationalism and Revolution in Indonesia’ yang mengupas dinamika revolusi di kalangan elit-
elit politiknya, Ben Anderson melihat dinamika di bawah. Dia memunculkan satu kategori sosiologis
yang menjadi kekuatan penggerak revolusi, yaitu golongan pemuda. Sangat berbeda dengan kaum
Marxis tradisional yang menganalisis kelas sosial, pemuda jelas bukan kategori kelas. Satu-satunya
kategori adalah umur dan status pemuda ini adalah status sementara dalam perjalanan hidup
manusia. Ini adalah status ketika orang belum menjadi ‘dewasa’ namun tidak lagi ‘anak-anak.’ (Ingat,
konsep pemuda ini sangat berbeda dengan konsep pemuda Orde Baru yang kebanyakan berumur 40
tahun ke atas!).
Status pemuda adalah sesuatu yang baru yang terjadi karena perubahan sosial. Konsep ini hanya
muncul ketika konsep pendidikan diperkenalkan ke dalam masyarakat. Secara tradisional, orang lahir
dan sejak usia dini sudah dipersiapkan untuk bekerja. Namun itu berubah setelah diperkenalkan
pendidikan. Sekalipun demikian, konsep ini tidak juga tidak terlalu asing untuk masyarakat Jawa yang
mengenal ‘satria lelana’ sebagai salah satu konsep orang muda yang berkelana menimba ilmu. Ini
adalah transisi sebelum dia menetap dan menjadi dewasa.

Buku ini diterjemahkan ke Indonesia pada tahun 1990an dengan judul ‘Revolusi Pemoeda.’ Judul
terjemahan yang saya rasa lebih pas. Di kemudian hari, Ben Anderson mengingatkan bahwa apa
yang namanya revolusi ini sesungguhnya memang pernah ada. Selain revolusi menentang
pendudukan kolonial asing, antara tahun 1945-1949 juga berlangsung revolusi sosial populis, yakni
revolusi “melawan birokrat kolaborator Belanda, monarki dan aristokrasi lokal yang menindas,
kepala-kepala desa yang dibenci, mata-mata Belanda, dan kadang-kadang juga golongan
‘pengkhianat’ (yang umumnya orang Kristen-Indonesia), dan tentu saja golongan yang paling tidak
disukai, yakni para pedagang keturunan Cina, para pembunga uang, dan lain sebagainya.”[3]

Revolusi semacam ini terjadi hampir merata di Indonesia yakni di Aceh, Sumatra Utara, Pantai utara
Jawa, Banten, dan Surakarta. Namun, dengan berkuasanya pemerintahan militer Suharto, kata
Revolusi ini dihilangkan dan diganti dengan ‘Perang Kemerdekaan.’ Kalau pun ada ingatan sejarah
ditinggalkan maka ia direkonstruksi menjadi ‘Pemberontakan Komunis’ seperti peristiwa Madiun
1948. Kata massa dan rakyat pun menghilang menjadi masyarakat. Kata pemuda lebih parah lagi
diturunkan tingkatnya menjadi manusia mapan setengah tua yang memang dipersiapkan untuk
menjadi antek-antek penguasa militer.

Bahasa dan sastra selalu menarik perhatian Ben Anderson. Seringkali dia melihat politik dan
kehidupan sosial lainnya lewat kacamata bahasa dan sastra (juga di kemudian hari, film). Itulah yang
melatarbelakangi keluarnya buku “Language and Power.” Sebagian besar esai dari buku ini ditulis
saat Ben mengalami ‘pengasingan’ dari Indonesia. Pengasingan itu memaksanya untuk membaca
berbagai macam terbitan dan berkala yang datang dari Indonesia. Juga mengorek sedemikian
banyak arsip di perpustakaan Universitas Cornell. Dia beruntung karena Cornell memiliki koleksi
tentang Asia Tenggara yang termasuk yang terlengkap di dunia.

Hampir semua esai dalam buku berusaha untuk menunjukkan kontradiksi antara masyarakat
Indonesia yang baru terbentuk pada awal abad ke-20 dengan ide-ide tradisional yang masih hidup
dalam dalam masyarakat. Sementara politik Indonesia modern dilakukan sepenuhnya dalam bahasa
Indonesia yang egaliter – sebuah proyek yang dimulai oleh para nasionalis – namun isinya tidak
sepenuhnya sejalan dengan egaliterisme proyek nasionalis ini. Dalam konsep kekuasaan, misalnya,
baik Soekarno dan terlebih lagi Soeharto, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang
membesarkan mereka.

Kontradiksi semakin mencolok ketika membandingkan bahasa (lewat kartun dan monumen,
misalnya) revolusi pada jaman Soekarno yang masih kuat dipengaruhi oleh kaum nasionalis dengan
bahasa Orde Baru. Egaliterisme dalam bahasa terasa sangat kuat pada masa Soekarno, sementara
Orde Baru sangat bercorak hirarkis. Ben Anderson dengan jeli melihat semua perubahan-perubahan
ini. Meskipun orang juga bisa mempertanyakan cakupan Indonesia yang dikaji oleh Ben, karena yang
dikaji hanyalah Jawa. Sekali pun tidak bisa disangkal bahwa kebudayaan Jawa memiliki pengaruh
yang amat besar terhadap seluruh politik Indonesia.

Karya terpenting Ben Anderson tentulah ‘Imagined Communities.’ Karya ini sama sekali tidak
bersangkutan dengan Indonesia, namun jelas bahwa pengalaman dengan Indonesia dan negara-
negara Asia Tenggara sangat mempengaruhi pikiran dalam buku ini. Dalam pengakuan Ben sendiri,
buku ini adalah semacam ‘inverted orientalism’ (orientalisme terbalik) dimana seorang yang berasal
dari kebudayaan Barat melihat fenomena besar yang tumbuh (pada awalnya) di Barat namun
dengan kacamata dari Timur, dari pinggiran.

Imagined Communities berangkat dari pertanyaan mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa
terikat dalam satu perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah komunitas yang disebut
bangsa? Apa yang membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa?
Mengapa orang mau mati untuk sebuah bangsa, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya?
Nasionalisme, demikian tulis Ben Anderson, juga memunculkan kecintaan dan bahkan
membutuhkan pengorbanan untuk memenuhi rasa cinta itu.

Contoh yang digemari oleh Ben adalah bagaimana masyarakat terikat satu sama lain karena
nasionalisme. Jika tanpa nasionalisme, demikian katanya, orang Amerika akan saling membunuh
satu sama lain dalam lima menit karena begitu banyaknya orang yang punya senjata. Namun itu
tidak terjadi karena orang merasa terikat satu sama lain sebagai bangsa.

Namun itu juga tidak dengan serta merta menjadikan korupsi tidak penting. Sama sekali tidak.
Korupsi tidak akan terjadi jika orang memiliki nasionalisme. Orang tidak akan mencuri dari milik
bersama sebagai bangsa karena punya perasaan senasib dan sepenanggungan. Orang Jepang, yang
terkenal memiliki nasionalisme amat tinggi, akan membunuh dirinya sendiri kalau mereka ketahuan
mencuri dari milik bersama.

Hal yang sama juga bisa diterapkan terhadap kritik terhadap jalannya kehidupan bersama sebagai
bangsa. Mereka yang mempersoalkan segala macam ketidakberesan di dalam negara tidak bisa
dituduh tidak nasionalis. Kebanyakan orang mempersoalkan ketidakberesan ini karena perhatian
dan rasa rasa cintanya pada negara. Kita harus sangat waspada pada orang yang mengatakan
pengritik jalannya hidup bersama sebagai bangsa adalah pengkhianat bangsa. Biasanya penuduh itu
memiliki maksud-maksud tertentu yang bermotif penyelewengan.

Ben Anderson menelusuri sejarah munculnya nasionalisme ini. Dia menemukan bahwa kehadiran
nasionalisme itu banyak berkaitan dengan kemunculan kapitalisme media cetak (print-capitalism).
Hadirnya suratkabar dan buku-buku itu menciptakan perubahan mental yang amat mendasar dalam
masyarakat. Terlebih lagi, kapitalisme media cetak melayani pembacanya dalam bahasa-bahasa
lokal (vernaculars). Sebagai akibatnya, orang memiliki kemampuan untuk
membayangkan (imagined) dalam posisi orang lain (emphaty).

Penjelasan melalui lahirnya kapitalisme media cetak sebagai basis material dari nasionalisme ini
sesungguhnya adalah penjelasan Marxian. Seluruh proses ini digerakkan oleh kapitalisme.
Bagaimanapun juga media-media cetak adalah juga komoditi yang diproses oleh kapitalisme,
dipertukarkan dalam mekanisme pasar sama seperti pertukaran komoditi lainnya. Namun, tidak
seperti analisis kapitalisme yang konvensional, Ben Anderson cenderung melihat efek yang agak
positif dari kapitalisme media cetak ini, yakni dengan lahirnya nasionalisme dan komunitas bangsa.

***

Survey yang teramat singkat dari perjalanan intelektual Ben Anderson di atas memperlihatkan
perjalanannya sebagai ahli sebuah wilayah (area studies) dan kemudian memberikan sumbangan
kepada dunia teori ilmu-ilmu sosial. Ben melakukannya dengan sangat kreatif dan inovatif. Dia
memakai pendekatan Marxian tanpa sedikitpun terjebak pada jargon-jargon Marxian. Penjelasannya
tentang munculnya nasionalisme lahir dari keluasan dan kedalaman pengetahuannya akan sejarah
dunia, namun sekaligus juga keahliannya dalam studi Asia Tenggara. Baik di dalam Imagined
Communities, Spectre of Comparisons, dan Under Three Flags kita mendapati fakta-fakta yang
dicomot dari berbagai belahan dunia. Ben Anderson adalah seorang comparativist sejati dan dia
menjadi demikian karena terbantu oleh kemampuannya untuk belajar bahasa dengan cepat.

Ketika hendak menulis obituari ini (kalaupun bisa disebut demikian!) saya bertanya pada diri saya
sendiri, seandainya ada keharusan untuk memasukkan Ben Anderson ke dalam sebuah kotak
kategori maka kategori apakah itu? Dia jelas bukan orang yang liberal dalam pengertian orang yang
percaya pada sistem pasar bebas dan kehadiran kelas menengah yang akan membawa demokrasi.

Namun dia juga bukan seorang Marxist yang dogmatis. Dia memakai prinsip dasar Marxian untuk
melihat dan menganalisis banyak hal. Seperti analisisnya dalam Withdrawal Syndrome, misalnya.
Dia memblejeti kelas menengah dan borjuis kecil Thailand yang tidak mau mengambil resiko untuk
berubah. Dia melihatnya dari pembentukan kelas menengah dan para borjuis kecil ini, yakni lewat
pendidikan massal, dan kemudian kontradiksi-kontradiksi yang muncul sebagai akibat dari
pendidikan massal tersebut.

Di Indonesia pun Ben Anderson cepat melihat kontradiksi-kontradiksi itu. Ketika melakukan riset
lapangan pada awal tahun 1960an, dia terkaget-kaget melihat masyarakat Jakarta yang begitu cair.
Rakyat jelata bisa berbaur dengan Paduka Jang Mulia Presiden untuk menonton wayang di istana.
Namun, lagi-lagi, ketika melihat kenyataan politik dia juga melihat kontradiksi yang amat kuat antara
kaum reaksioner Kanan dengan kekuatan revolusioner Kiri.

Mungkin satu-satunya kotak yang tepat untuk mendudukkan Ben adalah kotak progresif. Kotak
itupun rasanya kekecilan. Dia progresif dengan pengertian bahwa dia tidak suka dengan hirarki,
dominasi, penaklukan, dan yang terpenting sangat tidak suka dengan kekuasaan. Rasa-rasanya,
dimana pun Ben berada dia tidak pernah berdamai dengan kekuasaan. Itu mungkin menjelaskan
mengapa dia memilih Irlandia sebagai kewarganegaraannya dan bukannya Inggris. Dalam satu
wawancara, dia mengatakan bahwa dalam buku Imagined Communities dia menyebut semua raja
dan kaisar Eropa dengan sebutan resminya. Namun tidak demikian halnya dengan Raja/Ratu
Kerajaan Inggris. Dia memberi sebutan seolah-oleh mereka adalah orang biasa atau orang
kebanyakan, dengan menyebut langsung namanya seperti Victoria von Saxe-Coburg-Gotha, atau
hanya Anne Stuart saja. Itu dilakukannya untuk memprovokasi orang Inggris.

Ben adalah juga seorang penjelajah. Dia tidak hanya tahu sesuatu dari buku atau tulisan, namun juga
dengan mengunjungi sendiri tempat-tempat yang pernah dibacanya. Ketika kembali ke Indonesia
sesudah Orde Baru jatuh, hal pertama yang dia lakukan adalah mengunjungi candi-candi yang
sempat dia kunjungi di era 1960an. Dia memiliki kelompok anak-anak muda yang diajak menjelajah
ke candi-candi itu. Banyak di antara candi-candi itu tidak diketahui keberadaannya oleh publik di
Indonesia, kecuali oleh orang-orang berdiam disekitarnya. Sehari sebelum dia meninggal pun dia
mengunjungi candi Jolotundo, di Mojokerto, Jawa Timur.

Dalam hidup sehari-harinya, Ben sangat gandrung dengan teka-teki silang (TTS). Dia tinggal sekitar
30 kilometer diluaran kota Ithaca. Karena koran tidak diantar kerumahnya maka setiap hari dia harus
menyetir ke pusat kota Ithaca untuk mengambil koran The New York Times. Sebelum ada email dan
internet, dia mengikuti perkembangan dunia lewat koran ini, yang disebutnya koran terbaik karena
berita internasional diletakkan di halaman 1. Namun yang lebih penting adalah TTS.

Agaknya, TTS adalah cara relaksasi untuknya. Dengan cerutu di bibir, dia akan mengisi TTS itu
dengan tekun. Hanya saja, dia tidak mengisi dengan cara konvensional. Dia akan menulis jawaban
TTS tersebut di kertas apa saja yang dia bisa dapati. Seringkali halaman kosong di balik draft disertasi
mahasiswanya menjadi korban TTS. Dia akan menulis angka-angka jawaban TTS itu. Hingga saat ini,
cara menjawab TTS dengan mengkonversikannya menjadi angka itu tetap menjadi misteri bagi saya.

Kecanduannya dengan TTS pun dibawa ke mana-mana. Dalam satu obituari di koran Filipina,
diceritakan bahwa dia hadir di satu diskusi di University of Philippines (UP). Ketika sesi tanya jawab,
moderator memanggil namanya, “Prof. Anderson, ada pertanyaan?” Ben ketika itu sedang asyik
dengan TTS ditangannya, mengangkat muka, dan bertanya dengan serius, “Apa kata Filipino untuk
orgasme?”[4]

Kini, ilmuwan dengan banyak keahlian ini sudah tiada. Sumbangannya untuk studi Indonesia, Asia
Tenggara, dan ilmu-ilmu sosial sungguh sulit ditakar. Ben Anderson adalah sebuah figur unik yang
sulit dicari padanannya.

Selain itu, kecintaannya kepada Indonesia juga teramat besar. Saya selalu ingat kata-katanya tentang
nasionalisme yang rasanya sangat relevan dengan Indonesia, “Menjadi satu bangsa itu memerlukan
pengorbanan, namun bukan dengan mengorbankan orang lain.” Apalagi dengan mengorbankan
sesama saudara sebangsa. Saya sendiri merasa bahwa sebagai bangsa kita terlalu banyak
mengorbankan hidup sesama warga bangsa kita, terutama mereka yang lemah dan tidak berdaya.

Ketika kembali dari Indonesia pertama kali tahun 1999, Ben mengeluh tentang perilaku orang-orang
yang mengaku menjadi penggerak reformasi. Mereka sibuk mempersoalkan berapa banyak yang
dicuri oleh Soeharto dan para kroninya. Namun tidak ada satu pun orang mempersoalkan berapa
banyak orang yang dibunuh dan dibikin menderita hidupnya oleh Soeharto dan militernya.

Hidup Ben Anderson sudah selesai. Namun dia meninggalkan warisan yang demikian besar terhadap
dunia intelektual dan pemikiran ilmu-ilmu sosial. Tanpa menjadi terlalu sentimental, salah satu cara
menghormatinya adalah dengan mengambil inspirasi dari karya-karya Ben Anderson ini. Inspirasi
bisa berarti meneruskan agenda-agenda penelitian yang dirasakan kurang. Inspirasi juga bisa berarti
melahirkan kritik dari karya-karya Ben ini dan membuat karya yang sama sekali baru.

Untuk itu, kita hanya mampu mengucapkan terima kasih. Selamat jalan, Oom Ben!***

———–

[1]https://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm

[2] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Di Bawah Tiga Bendera:
Sebaran Anarkisme Global dan Imajinasi Anti-Kolonial di Asia Tenggara, Jakarta: Marjin Kiri, 2015.

[3] Lihat resensi Ben Anderson atas buku ‘Rifle Reports: A Story of Indonesian Independence oleh
Mary Margaret Steedly’, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 30, Number 3,
November 2015, p. 861.

[4] http://opinion.inquirer.net/91207/benedict-anderson-in-memoriam

Share the knowledge!

9
Shares

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip
jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-
hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan,
semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa
memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan
Anda.

Jika Anda merasa situs ini bermanfaat, silakan menyumbang melalui PayPal:
redaksi.indoprogress@gmail.com; atau melalui rekening BNI 0291791065. Terima kasih.

Kirim Donasi

Tentang IndoPROGRESS

IndoPROGRESS adalah media pemikiran progresif yang menawarkan ruang untuk bertukar gagasan
dan pengalaman politik praktis...» Selengkapnya

Kirim Donasi

Dukung kami menyajikan konten situs yang lebih baik lagi bagi publik. Salurkan donasi dan support
sebagai bukti dukungan...» Selengkapnya

Kirim Tulisan

Jadilah bagian dari perubahan dengan ikut berdiskusi dan berdebat di IndoPROGRESS. Kirim tulisan,
podcast dan video karya...» Selengkapnya

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami


Subscribe!

Redaksi - Tentang - Donasi - Kontak - Kontribusi - IP Press - Laporan Keuangan

Konten dikelola oleh IndoPROGRESS @ 2006 – 2019

TOTAL0

Agama

Asal Usul

Ekonomi

Histeria

Historiografis

Kultur

Kuno

Militer

Olahraga
Politik

Sains

Urban

Masuk

Daftar

Trivia

Jepret

Majalah

Poinku

Tentang Kami

Pedoman

Kontak

Syarat & Ketentuan

Channel

Opini

Bolalob
Kaskus

Womantalk

Beritagar

Kincir

Garasi

Kurio

Bobotoh

Home •

Politik

POLITIK

Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

Banyak penelitian yang mengungkap bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal sebagaimana versi
Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu.

Randy Wirayudha

30 September 2017
Sekarang share article bisa

dapat poin! Cari tahu

Presiden Sukarno menerima Batalyon 454 pada perayaan veteran pembebasan Irian Barat di Istana
Negara, 19 Januari 1963. Di belakang Sukarno Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan Mayor Untung,
komandan Batalyon 454.

BEBERAPA kali warganet mention ke akun twitter Historia menyoal mengapa tidak mencantumkan
/PKI pada G30S. Sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI,
kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI. Hal ini karena banyak penelitian yang
mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal, sebagaimana versi Orde Baru yang
menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu.

“Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan
pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim dan oknum yang tidak
bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri
dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu PKI, konflik internal
Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat).
PKI

Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan
Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya
menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan
pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Baca juga: Kekecewaan sutradara Arifin C. Noer terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI

Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara
dan Sejarah Nasional Indonesiasuntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah
semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang
G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi
sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.

Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan
September Tigapuluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang
kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Presiden Sukarno mengajukan
penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.” Menurutnya,
Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal
dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini
hari.

Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di
balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI. Penamaan
peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi
yang ada. Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut
pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu
melewati sebuah penyelidikan.

Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana
semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana
gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari
Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya
rencana itu.

Baca juga: Meringkus Brigjen Supardjo di hari lebaran

“Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan
pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan)
Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang
betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya
itu,” kata Asvi.

Konflik Internal Angkatan Darat


Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A
Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell
Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.

Baca juga: Ben Anderson, pakar Asia Tenggara penutur banyak bahasa

Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang
tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama
anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.

Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI
Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk
di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang
bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.

Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya
ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan
kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim
menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putihterbitkan Sekretariat Negara disebut
sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N. Aidit dan
Angkatan Darat.

Baca juga: Alasan Sarwo Edhie Memimpin Operasi Pembunuhan Massal PKI

Sukarno

Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M.
Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File,
1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang:
Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan
Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.

Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI
pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala
dampak kudeta berdarah itu.”

Baca juga: Maulwi Saelan bersaksi bahwa Sukarno tak terlibat G30S

Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras
dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku
tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua
memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.

Soeharto

Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief
dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia
melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta
pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief
kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal
akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau
mencegah operasi tersebut.

Baca juga: Setelah peristiwa G30S, Soeharto tak kunjung pulang, Ibu Tien bikin sesajen

Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun
tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis
“kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara
lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan
kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.

Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1
Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat
tahap: menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965;
membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Sukarno; menangkap 15
menteri yang loyal kepada Presiden Sukarno; dan mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.

CIA

Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat
seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.

Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah
membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong
Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI
sekaligus menjatuhkan Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih.

Baca juga: Soeharto menugaskan seorang jenderal untuk meminta bantuan CIA

Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa
G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University
of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan
judul CIA dan Penggulingan Sukarno(2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para
perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu
perwiranya adalah Soeharto.

Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem
Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga
G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya.

Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan
perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan
markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para
mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah
memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.

Baca juga: Benarkah Adam Malik agen CIA?

CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh
National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran
radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil
sadapan itu kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil
bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya,
mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-
tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”

Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk
membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu.
Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.

G30SPKIADCIASukarnoSoeharto

BAGIKAN

Sekarang share article bisa

dapat poin! Cari tahu

1 Suka
BOOKMARK

KOMENTAR ( 0 )

Berikan tanggapanmu di sini

COMMENT

Belum ada komentar

ARTIKEL TERKAIT

POLITIK

Razia Homoseksual Zaman Kolonial

Razia besar-besaran kaum homoseksual. Ada motif politik di balik gerakan antihomoseksual.

8

13

POLITIK
Perempuan dalam Pemilu Pertama

Mulanya hanya untuk mendulang suara namun bisa jadi jalan perempuan masuk ke politik praktis.

5

7

POLITIK

Monumen yang Ternoda

Dibangun lewat permintaan Soeharto, Monumen Serangan Umum menjadi medium politis untuk
menceritakan kisah gerilya.

7

5

POLITIK

Kisah Bowo Anak Kebayoran

Sejak bocah, dia sudah tumbuh menjadi sosok yang cerdas sekaligus keras.

8

Cornell Paper adalah sebuah kumpulan makalah tentang peristiwa G-30-S/PKI yang ditulis oleh para
peneliti dari Cornell University, Benedict R O’G Anderson dan Ruth McVey.

Prof Hermawan Sulistyo: Ben Anderson Pernah Akui Kesimpulan Cornell Paper Salah

Senin, 25 September 2017 09:05 AM

GARDANASIONAL.ID - Menarik disimak diskusi Dua Sisi, pada Jumat (22/9/2017). Diskusi bertajuk "G-
30-S/PKI Jalan Buntu Rekonsiliasi" ini menghadirkan narasumber Ilham Aidit, anak Ketua CC PKI DN
Aidit, Mayjen (Purn) Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Kostrad, Rusdi Husein, sejarawan dari Yayasan
Bung Karno, dan Prof. Hermawan Sulistyo.

Penulis berpendapat yang menjadi bintang dalam diskusi Dua Sisi itu adalah Prof Hermawan Sulistyo.
Sebab, dia membuka beberapa informasi yang selama ini belum pernah dibuka. Terutama soal
Cornell Paper.

Cornell Paper adalah sebuah kumpulan makalah tentang peristiwa G-30-S/PKI yang ditulis oleh para
peneliti dari Cornell University, Benedict R O’G Anderson dan Ruth McVey, serta dibantu oleh
Frederick Bunnel. Kumpulan makalah berjudul The Coup of October 1 1965 itu diterbitkan setahun
setelah peristiwa G-30-S/PKI.

Kesimpulan dari Cornell Paper adalah peristiwa G-30-S/PKI merupakan sebuah persoalan internal di
kalangan TNI Angkatan Darat (TNI AD). Menurut mereka, ada sejumlah kolonel pembangkang yang
frustrasi dari Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, yang memberontak terhadap para Jenderal Angkatan
Darat yang bergelimang kemewahan di Jakarta. Namun pada saat-saat terakhir ada pihak yang
memancing supaya PKI terseret.

Masih menurut mereka, PKI tidak punya motif untuk terlibat dalam upaya kudeta. Sebab, PKI
mendapat keuntungan besar di bawah sistem politik Presiden Soekarno yang condong ke kiri. Jadi,
strategi terbaik bagi mereka adalah mempertahankan status quo, dari pada merusaknya dengan
mendukung kudeta. Karena itu, menurut Cornell Paper, keterlibatan PKI hanya kebetulan belaka.

Analisa Cornell Paper hampir sama dengan penjelasan versi PKI, dan agak sejalan dengan suara-
suara dari kelompok-kelompok kiri di Eropa. Kemiripan versi itu dapat dimaklumi karena baik
Anderson maupun McVey memang dekat dengan kalangan kiri. Ruth McVey bahkan sempat
mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham milik PKI di Jakarta. Dalam Kata Pengantar untuk buku
Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, John O. Sutter menceritakan tentang pertemuannya dengan
Ruth T. Mc.Vey di Manila sebelum peristiwa G 30 S. Saat itu, McVey menceritakan kegembiraannya
mengajar di Akademi Ilmu Sosial Ali Archam milik PKI di Jakarta, di mana kadernya sedang dilatih
dalam administrasi pemerintahan sebagai persiapan untuk menjalankan pemerintahan setelah PKI
merebut kekuasaan.

Salim Said dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi", juga mengatakan bahwa Ben Anderson
punya hubungan baik dengan sejumlah tokoh Pemuda Rakyat dan CGMI (Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia), dua organisasi pemuda dan mahasiswa onderbouw PKI. Hubungan mereka
terbina ketika Ben Anderson mulai menyusun disertasi dan meneliti gerakan pemuda Indonesia pada
masa Demokrasi Terpimpin.

Kehadiran di Indonesia serta penelitiannya itu membawa Anderson pada kesimpulan tentang adanya
kesamaan aktivitas para pemuda komunis pada masa itu dengan kegiatan pemuda kiri pada masa
Revolusi. Kesimpulannya itulah yang mendorong Ben Anderson bersimpati kepada para pemuda
Komunis di masa Demokrasi Terpimpin, sebagaimana dia bersimpati kepada para pemuda kiri di
masa Revolusi. Ben Anderson pun mengaku sedih atas terbantainya banyak temannya di kalangan
muda PKI pada masa pasca Gestapu.

Tapi entah mengapa, Cornell Paper ini kemudian seolah menjadi sebuah dokumen rahasia milik
pemerintah Amerika Serikat. Kumpulan makalah itu kemudian mendapat stempel Strictly
Confidential. Masing-masing copy hanya untuk dibaca oleh para penerima yang telah dipilih secara
teliti, dengan memberikan nomor kode tersendiri. Tapi anehnya –tapi sekaligus juga sangat
menarik— pada awalnya para penulis Cornell Paper mendorong para pembaca untuk menggunakan
informasi yang mereka muat di dalam paper itu seluas-luasnya, tapi juga memperingatkan para
pembaca untuk tidak mengutip sumber atau merujuk alam bentuk apapaun juga kepada paper itu.

Bagi orang awam (termasuk para pakar) yang tidak mempelajari masalah G30S secara mendalam,
namun mungkin perlu memberikan kuliah atau menulis tentang masalah-masalah Indonesia, maka
sebuah versi yang lebih pendek dari Cornell Paper kemudian diterbitkan. Banyak orang mengira
bahwa makalah versi pendek berjudul A Preliminary Analysis of the September Movement adalah
versi awal dari buku The Coup of October 1, 1965. Namun, menurut John O. Sutter, pada
kenyataannya versi yang lebih pendek ini berfungsi lebih jauh untuk mengaburkan fakta bahwa PKI-
lah yang telah menjadi dalang percobaan kudeta 1 Oktober 1965 itu.

Secara berangsur-angsur keberadaan Cornell Paper mulai bocor. Pada tahun 1967, Profesor George
McTurnan Kahin datang ke Indonesia dan menemui Nugroho Notosusanto yang pernah menyebut
bahwa Cornell Paper telah didanai Modern Indonesia Project kepunyaan Kahin. Namun, Kahin
mengatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan buku itu. Sambil tertawa-tawa Kahin
mengatakan kepada Nugroho Notosusanto bahwa hal itu hanyalah sebuah kinderachtigheid
(kekanak-kanakan atau sophomoric). Meskipun demikian, Kahin menolak permintaan Nugroho
untuk membuat sebuah pernyataan pers guna mengklarifikasi masalah itu.

Prof Hermawan Sulistyo yang akrab disapa Kikiek bercerita, bahwa Ben Anderson pernah
mengatakan kepada Nugroho Notosusanto bahwa ia akan mengubah kesimpulan Cornell Paper jika
ada data yang dapat meyakinkan dia. Maka, pasca Mahmillub terhadap para tokoh PKI, sekitar tahun
1970-an awal, Nugroho Notosususnto, Ali Moertopo dan LB Moerdani kemudian membawa empat
koper besar berisi dokumen, bahan-bahan interograsi, risalah sidang Mahmillub dan pengakuan para
tokoh PKI ke Cornell untuk dibaca dan diteliti Ben Anderson dan kawan-kawan.

Selanjutnya, dari korespondensi dengan Ben Anderson, terungkap bahwa setelah membaca semua
data yang detail dan terbuka itu, Ben mengakui bahwa kesimpulan awal Cornell Paper bahwa G-30-
S/PKI adalah persoalan internal TNI AD adalah salah. Dia akhirnya bisa menyimpulkan bahwa PKI
memang benar-benar terlibat dan memakai Biro khusus yang telah membina para perwira
revolusioner untuk melancarkan G-30-S/PKI.

Namun, kata Kikiek, setelah membaca semua data dan mendapatkan kesimpulan baru itu, Ben dan
kawan-kawan justru menutup semua data itu dan tak pernah merevisi Cornell Paper dengan data
baru itu. Dialah (Kikiek) orang pertama yang membaca kembali data-data itu di Universitas Cornell.

Kikiek memang melakukan riset di universitas itu. Tadinya, ia akan mencantumkan


korespondensinya dengan Ben Anderson di buku hasil disertasinya "Palu Arit di ladang Tebu" tapi
dilarang Ben. Nah pada diskusi Dua Sisis, Kikiek membongkar cerita ini dan membolehkan penulis
mengutipnya, karena menurut dia "Sekarang kan Ben sudah meninggal."

Soal versi Sejarawan Asvi Warman Adam

Menurut Kikiek, sebenarnya bahan-bahan yang selalu diungkap oleh koleganya di LIPI itu berasal dari
dia. Malah menurutnya, Asvi pernah dua kali memplagiasi tulisan dia. "Suruh dia datang ke sini, kita
buka-bukaan," ujarnya ketika saya tanya untuk memastikannya. Tapi mengapa kesimpulan mas
Kikiek dan Asvi bisa berbeda, "Ya begitulah, kalau kepingin populer ya tinggal pilih mau pro versi PKI,
atau anti. Kalau jadi peneliti yang netral dan mengungkap apa adanya kayak saya gini kan harus siap
nggak populer. Sama yang pro PKI saya dimusuhi, sama yang anti PKI saya juga dimusuhi," ujarnya.

Pembunuhan masal pasca PKI

Kikiek mengatakan, angka-angka yang muncul, termasuk angka paling kecil, 78 ribu orang terbunuh
adalah angka-angka yang dibesar-besarkan. Sempat dibantah Ilham Aidit, Kikik berkata, "coba mana
buktinya, paling dari Robert Cribb. Saya 20 tahun meneliti soal PKI ini, sampai saya bosen
sebenarnya, nggak pernah ada data yang sebanyak itu, itu dibesar-besarkan sama komandan Banser
Ansor Jawa Timur (dia menyebutkan nama tapi penulis lupa, kayaknya ada di buku Mas Kikiek)."

Menurut Kikiek, pembunuhan massal di Jawa Timur dan Bali lebih pada konflik horisontal antara
orang-orang PKI dan simpatisannya dengan masyarakat, terutama Anshor, PNI, yang sebelumnya
terus diteror PKI. "Ini semua aksi saling balas. Langkah TNI AD/RPKAD terhenti sampai di Ngawi.
Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Barat, ia mengakui bahwa peran TNI cukup besar untuk
memberangus PKI. Kan di Jawa Tengah ada operasi militer," ujarnya. Tapi sekali lagi menurut dia
angka pembunuhan besar-besaran yang biasanya mengacu Fact Finding Menteri Oey Tjoe Tat juga
sudah dilebih-lebihkan. "Kata Si Komandan Ansor itu seolah-olah kalau nggak dibesar-besarkan,
kurang hebat kurang pahlawan," kata Kikiek.

Kikiek juga mengaku ketika menyusun disertasinya itu John Rossa menelpon dan marah-marah.
Padahal dirinya tak pernah mengenal dan bertemu sama sekali. Rupanya John Rossa sedang menulis
disertasinya "Pretext of the Mass Murder". Jhon tahu, Kikiek sedang menulis Thesis juga dengan
data yang pasti akan mementahkan disertasinya itu.

Yang menarik lainnya, dalam diskuti tersebut Ilham Aidit mau mengakui secara terbuka bahwa
dalam hal tertentu PKI memang terlibat. Ini untuk pertama kalinya. Akhirnya Ilham dan Kivlan pun
bersalaman gaya Komando dengan Mayjen Kivlan Zein.
Semuanya sepakat tentang perlunya rekonsiliasi, namun sejarah tidak bisa dilupakan. "Forgiven, But
Not Forgetten."

Penulis : Hanibal W Y Wijayanta (sedikit edit dari redaksi)

Tags:

PKIG30SCornell PaperTNITNI ADDN Aidit

Share:

Artikel Terkait:

Mengatasi Tantangan Operasional UNTSO, UNDOF, dan Misi

Jumat, 29 Mar 2019

Kerukunan Umat Beragama Perekat Persatuan Bangsa

Selasa, 13 Mar 2018

Tentara dan Anak TK

Minggu, 11 Mar 2018


Jurnalis Indonesia Harus Menjadi Agen Persatuan Nasiona

Jumat, 9 Mar 2018

Terpopuler

Trending

Indonesia Siap Beli 50 Unit Kendaraan Lapis Baja BTR-80 Rusia

Rabu, 15 Feb 2017 | 12:01 PM

Kemenpar Promosikan Indonesia Lewat Olahraga

Jumat, 3 Mar 2017 | 06:48 AM

Rapim TNI di Istana Tanpa Panglima TNI, Kapuspen: Itu Hoax

Kamis, 16 Feb 2017 | 10:40 AM

Demi Pariwisata Tiga Desa Adat Batak Bersatu


Selasa, 14 Feb 2017 | 02:54 PM

Polri Beri Catatan Positif Pelaksaan Pilkada Serentak 2017

Kamis, 16 Feb 2017 | 08:25 AM

TAG TERPOPULER

GardanasionalTniMenteri Pariwisata Arief YahyaGarda NasionalTniMenpar Arief YahyaMenpar Arief


YahyaMiliterTerorismeTni AlWonderful IndonesiaBnptPolriMiliterTni AdTerorismePanglima
TniPariwisata IndonesiaAmerika SerikatRadikalisme

Copyrights © 2019 Garda Nasional.

Tentang Kami DisclaimerPedoman Media Siber

Peristiwa G-30-S

DEC

26

9 Teori Konspirasi Dibalik G-30-S

Siapa sesungguhnya dalang dibalik tragedi berdarah Gerakan 30 September atau G-30-S?Butuh
penjelasan panjang untuk menjawab pertanyaan itu.Sepanjang sejarah,ada sejumlah teori konspirasi
yang muncul berkaitan dengan tragedi tersebut.Masing-masing punya pendapat yang
berbeda,bahkan bertentangan.Berikut sejumlah teori yang dikemukakan oleh beberapa pengamat
politik kaliber internasional.
1.PKI Dalang G-30-S

Teori Arnold Brackman

Jurnalis dan penulis Amerika Arnold Brackman berpendapat bahwa G-30-S didalangi oleh Partai
Komunis Indonesia(PKI) beserta biro khususnya yang dengan sengaja melakukan rekayasa di tubuh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia(ABRI).Teori ini dikemukakan dalam buku The Communist
Collapse in Indonesia yang terbit tahun 1969,empat tahun setelah tragedi itu meletus.

Motif dari PKI adalah menguasai pemerintahan Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai
negara komunis seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet.Di buku ini,Arnold Brackman juga
memuat bantahan Soeharto bahwa dirinya dirinya terlibat dalam tragedi tersebut.

2.TNI AD Otak G-30-S

Teori Cornell Paper

Teori ini dikemukakan oleh Benedict Anderson dan Ruth Mcvey.Dikenal dengan nama Cornell
Paper sebab mereka adalah alumni Universitas Cornell.Judul lengkap buku ini adalah A Preliminary
Analysis of the October 1,1965,Coup in Indonesia.Di sini dikemukakan bahwa baik PKI maupun
Soekarno tidak terlibat dalam tragedi G-30-S.Dalang sesungguhnya adalah ABRI alias TNI,terutama
Angkatan Darat,yang memiliki konflik internal.


Publikasi ini sebenarnya bersifat rahasia sebab sebagian orang khawatir disalahgunakan.Namun
akhirnya Cornell Paper bocor pada 5 Maret 1966,dengan munculnya artikel di The Washington
Post.Pendukung teori ini adalah Wertheim,Coen Hotzapperl,dan MR Siregar.

3.CIA Sutradara G-30-S

Teori Peter Dale Scott

Dalang tragedi G-30-S adalah Central Intelligence Agency(CIA) alias Amerika Serikat.Motifnya
adalah menjatuhkan Soekarno yang berhaluan terlalu kiri.CIA dianggap memiliki hubungan dekat
dengan Angkatan Darat Republik Indonesia sehingga bisa dengan mudah merekayasa konflik internal
mereka dan menjadikannya sebagai pemicu G-30-S.

Peter Dale Scott beranggapan,Amerika Serikat tidak suka dengan haluan kiri dan adanya
komunisme di Indonesia.Terlebih lagi Soekarno membina hubungan baik dengan Uni Soviet,musuh
bebuyutannya di Perang Dingin.Maka,G-30-S pun didesain sedemikian rupa sehingga PKI menjadi
kambing hitamnya.

4.CIA dan Inggris Desainer G-30-S

Teori Greg Poulgrain

Sama dengan Peter Dale Scott,Greg Poulgrain menuding CIA ada dibalik tragedi G-30-S.Hanya
Greg berpendapat bahwa CIA dibantu Inggris berusaha melengserkan Soekarno demi melindungi
aset-aset mereka di Indonesia.Soekarno yang dikenal terlalu vokal terhadap neo imperialisme
seperti Amerika Serikat dan Inggris,dianggap mempersulit dua negara itu berinvestasi di Indonesia.


Teori ini dikemukakan Greg Poulgrain dalam bukunya,The Genesis of Konfrontasi:Malaysia,Brunei
dan Indonesia,1945-1965,terbitan 1993.Selain mengancam kepentingan Amerika dan Inggris di
Indonesia,Soekarno juga menjadi ancaman kepentingan mereka di Malaysia dan Brunei.

5.TNI dan PKI Penyulut G-30-S

Teori Bung Karno

Menurut teori ini,tragedi G-30-S tidak mempunyai dalang tunggal.Pelakunya merupakan


konspirasi antara unsur-unsur neokolonialisme dan imperialisme yang biasa disingkat Nekolim oleh
Bung Karno.Unsur-unsur itu ingin menggagalkan jalannya revolusi Indonesia.Sebagian dari PKI juga
diduga olehnya mendukung terjadinya tragedi tersebut,terutama sebagian pemimpin dan oknum
Angkatan Darat di tubuh ABRI alias TNI.

Teori ini disampaikan Soekarno dalam pidato yang dikenal sebagai pidato Nawaksara.Dalam
pidato itu Soekarno menyebut G-30-S sebagai Gerakan 1 Oktober atau Gestok.Oei Tjoe Tat,Manai
Sophiaan,dan para Soekarnois lain meyakini teori semacam ini.

6.Soeharto Komandan G-30-S

Teori W.F.Wertheim

Profesor asal Belanda ini menamini Teori Cornell Paper tentang ABRI alias TNI sebagai otak dari
tragedi G-30-S.Hanya saja W.F.Wertheim secara mendetail menyebut tentang keterlibatan
Soeharto.Wertheim memaparkan teori ini dalam artikelnya,Soeharto and the Untung Coup-The
Missing Link,terbitan 1970.


Mantan guru besar pada Rechtshogeschool di Batavia(sekarang Fakultas Hukum Universitas
Indonesia) ini menulis bahwa pada malam 1 Oktober 1965 terjadi pertemuan antara Soeharto
dengan Latief dan Letkol Untung,pimpinan tim penculik ketujuh jenderal.Pertemuan tersebut
dicurigai sebagai suatu komando untuk menjalankan G-30-S.

7.Soekarno Dalang G-30-S

Teori John Hughes dan Antonie C.Dake

Presiden Soekarno dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas tragedi berdarah G-30-
S.Letkol Untung,komandan tim penculik 7 jenderal,bisa melaksanakan operasinya sudah pasti atas
izin dari Soekarno.Demikian menurut John Hughes dalam bukunya,The End of Soekarno,terbitan
1967.

Teori Hughes itu diamini oleh Antonie Dake yang menulis Soekarno File,Berkas-berkas Soekarno
1965-1967,Kronologi Suatu Keruntuhan.Dibuku itu Dake menuding Soekarno sebagai dalang dari G-
30-S.Rupanya,teori ini mendapat kecaman keras dari keluarga Soekarno.

8.Syam Kamaruzaman Pemicu G-30-S

Teori John Roosa

Ada 2 kubu berseberangan dalam PKI,yaitu kubu Militer dan kubu Biro Khusus.Kubu Biro Khusus
bersifat seperti intelijen,tidak banayak terlihat.Di kubu ini ada Syam Kamaruzaman,sang ketua,yang
berperan penting sebagai penghubung antara Letkol Untung dan D.N.Aidit.


Sayangnya Syam dinilai terlalu arogan sehingga banyak laporan di lapangan tak disampaikan ke
Aidit.Akibatnya,terjadi keterlambatan komunikasi,termasuk penggagalan Dewan Jenderal yang
disampaikan ke Soekarno.Inilah pemicu utama terjadinya penculikan atas 7 jenderal,yang kemudian
dikenal sebagai G-30-S.

9.Mao Zedong Terlibat G-30-S

Teori Victor Miroslav Vic

Ilmuwan asal Ceko,Victor Miroslav Vic,menyebutkan bahwa Mao Ze Dong,Aidit, dan Soekarno
dalang atas G-30-S.Teori itu dikemukakan Victor dalam bukunya dihalaman 447,bab"Kudeta 1
Oktober 1965".Buku terbitan tahun 2004 tersebut memaparkan bagaimana keterlibatan Ketua Partai
Komunis China Mao Zedong dalam peristiwa berdarah di Indonesia.

Konspirasi antara Mao,Aidit,dan Soekarno itu ternyata meleset alias tidak berjalan sesuai
rencana.Akibatnya,menjatuhkan kekuasaan Soekarno dan menghancurkan PKI itu sendiri.Motif dari
konspirasi ini adalah Soekarno merasa kesal dengan dukungan Angkatan Darat yang dinilainya tidak
sepenuh hati.***

Diposting 26th December 2015 oleh Unknown

4
Lihat komentar

ALIF-E wirausaha17 Mei 2016 07.50

Good article

Balas

fajarnindyo24 September 2017 06.09

Ada sejumlah versi tentang siapa di balik peristiwa G30S 1965 :


http://www.mylifejourneystory.com/2017/09/siapa-dalang-dibalik-peristiwa-g30s-1965.html

Balas

Unknown22 Juli 2018 22.55

Good bro untuk mengurangi buts sejarah

Balas

Unknown9 November 2018 00.45

Teori mana yang paling benar.?

Balas
Memuat

Anda mungkin juga menyukai