Anda di halaman 1dari 6

HASIL DISKUSI

Sejarah Indonesia

KELAS : 12 MIPA 4
KELOMPOK 2

- Bunga Lestari S.
- Erina Sasmita
- M. Afnan Alaydrus
- M. Ghulam Fadhil
- Nayla Rahatansya
- Zalfa Az Zahra

A. Kronologi Peristiwa G30S PKI


Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung
dianggap sebagai dalang dalam peristiwa G30S. Akibat peristiwa tersebut, mereka
menjadi target pembasmian yang berujung pada genosida (pembunuhan massal).
Namun, menurut sejarawan Benedict Anderson dan Ruth McVey, ada hubungan yang
kompleks antara Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Militer dalam
peristiwa pemberontakan ini.
Pada saat masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) hubungan antara Presiden
Soekarno dan militer semakin menguat. Menguatnya hubungan ini membuat
Soekarno was-was untuk tidak terlalu bergantung kepada militer. Karena kedudukan
militer yang terlalu kuat mampu mengurangi pengaruh Soekarno. Atas dasar itulah
kemudian Soekarno mulai mencari fraksi baru yang lebih setia dengannya, yang dapat
menyeimbangi pengaruh militer. Maka dipilihlah Partai Komunis Indonesia (PKI),
yang memiliki kemampuan untuk menggalang dukungan massa, terutama bagi
pekerja dan petani. Dalam menjalankan aksinya, PKI lebih memilih jalan damai untuk
mengambil kekuasaan, dan ideologi yang lebih fleksibel untuk diterapkan di kondisi
sosial Indonesia. Memiliki hubungan yang baik dengan Soekarno juga berpengaruh
pada meningkatnya status PKI di mata masyarakat. Namun PKI juga harus
menghadapi konflik-konflik seperti memperkuat basis dukungannya dengan
mempersatukan kelas buruh, kaum tani, borjuis kecil kota dan borjuis nasional yang
bersendikan persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh.
PKI dan militer memiliki ideologi yang berbeda, hal ini membuat persaingan mereka
semakin sengit. Inilah kondisi politik Indonesia pada masa itu. Soekarno memiliki dua
pilar yang tidak dapat dipisahkan. Militer yang merupakan alat pertahanan bangsa
Indonesia dan aktor dalam politik dan ekonomi Indonesia. Selain itu, PKI juga
memiliki basis organisasi dan dukungan massa yang memperkuat posisi Soekarno
kala itu. Soekarno yang merupakan pemimpin, harus berusaha untuk
menyeimbangkan peran keduanya. Karena apabila salah satunya lebih kuat dibanding
seharusnya, maka bisa saja posisi Soekarno sebagai pemimpin dapat tersingkirkan.
Pada tahun 1964 beredar kabar bahwa Soekarno sakit parah, ketika kesehatannya
semakin jatuh, PKI khawatir bahwa tanpa Soekarno, militer Indonesia dapat
mengambil alih pemerintahan. Maka dari itu, PKI membentuk Biro Khusus yang
diketuai oleh Sjam untuk mencari informasi mengenai gerak-gerik yang dilakukan
oleh militer dan menarik simpati tentara Indonesia pada teori marxisme dan
komunisme. PKI juga mengusulkan membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari
para pekerja dan petani untuk operasi militer ini. Usulan ini mendapat dukungan dari
Republik Rakyat Tiongkok, pihak ini menjanjikan akan memberi 100.000 senjata
untuk Angkatan Kelima. Sayangnya, gerakan ini mendapat kecaman dari pihak militer
hingga membuat pertentangan antara keduanya semakin sengit. Ketegangan antara
kedua belah pihak ini semakin memuncak saat munculnya kabar dari Biro Khusus
bahwa akan ada kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965 yang dilakukan oleh sebuah
Dewan Jenderal. Peristiwa inilah yang memicu gerakan 30S/PKI.
Pada tengah malam pergantian Kamis, 30 September menuju Jum’at, 1 Oktober
1965 pasukan aksi bersenjata yang diketuai oleh Komandan Batalyon I Kawal
Resimen Cakrabirawa Letnal Kolenel Untung yang merupakan pasukan khusus
pengawal presiden pergi meninggalkan daerah Lubang Buaya untuk melakukan aksi
bersenjata di Jakarta.
Aksi yang awalnya dinamakan Operasi Takari berubah menjadi G30S/PKI. Para
petinggi Angkatan Darat disiksa dan dibunuh secara kejam oleh G30S/PKI yang
kemudian dibawa ke Desa Lubang Buaya, Jakarta.
Peristiwa ini menyebabkan tujuh perwira TNI-AD meninggal dunia. Tiga diantaranya
dibunuh langsung di kediamannya, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Harjono,
dan Brigjen D.I. Pandjaitan. Sedangkan Empat lainnya diculik dari rumahnya dan
dibawa dalam keadaan masih hidup. Mata mereka ditutup dengan kain berwarna
merah dan kedua tangan mereka diikat ke belakang. Keempatnya dianiaya lalu
dibunuh dengan kejam di sebuah rumah berukuran 8 m x 15,5 m. Mereka itu adalah
Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Lettu P.A. Tendean.
Setelah PKI puas dengan segala kekejamannya, seluruh jenazah diseret dan
dimasukkan ke dalam lubang berdiameter 75 cm dan kedalaman 12 m. Para jenazah
itu dimasukkan dalam keadaan posisi kepala di bawah. Jenazah Mayjen R. Soeprapto
dan Mayjen S. Parman diikat menjadi satu. Setelah semua jenazah masuk ke dalam
lubang, kemudian ditembaki secara beruntun. Untuk menghilangkan jejak tersebut,
mereka menimbun lubang itu dengan tanah dan sampah.
Selain ketujuh perwira TNI-AD ini ada pula korban lainnya, yaitu Karel Satsuit
Tubun yang merupakan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I, ia terbunuh saat bertugas jaga
dan bersenjata. Saat itu K.S Tubun berupaya untuk mempertahankan senjatanya
ketika pasukan penculik berusaha untuk merebut senjatanya. Akibat perlawanan K.S.
Tubun itulah ia ditembak dari jarak dekat dan tewas seketika. Ada pula tertembaknya
Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal A.H. Nasution, yang mendapatkan
tembakan pada bagian perut dan pahanya.
Sementara itu, G30S PKI di Yogyakarta dipimpin oleh Mayor Mulyono menyebabkan
gugurnya TNI Angkatan Darat, Kolonel Katamso, dan Letnan Kolonel Sugiyono.
Kolonel Katamso adalah Komandan Korem 072/Yogyakarta, sedangkan Letnan
Kolonel Sugiyono adalah Kepala Staf Korem. Keduanya diculik dan gugur di Desa
Keuntungan, utara Yogyakarta.
B. Militer Sebagai Dalang G30S/PKI
Berdasarkan sebuah buku berjudul Cornel Paper yang ditulis oleh 2 sosok akademis
spesialis Asia Tenggara yaitu Benedict Anderson dan Ruth Mcvey yang terbitkan
pada 10 Januari 1966, menyatakan bahwa baik Presiden Soekarno maupun PKI
bukanlah aktor yang terlibat dalam merencanakan Gerakan 30 September melainkan
mereka adalah korban.
Lagi, dalam pernyataan Latief saat sedang diwawancara “Saya telah diberitahu oleh
Brigjen Soepardjo tentang adanya niat Dewan Jenderal yang akan mengadakan
kudeta, yang akan dilakukan pada hari ulang tahun ABRI 5 Oktober 1965,”
ungkapnya. Latief juga menyebutkan bahwa sebelumnya Jenderal Ahmad Yani
pernah mengadakan rapat dengan mengumpulkan para jenderal yang didampingi
Jenderal Haryono yang kemudian dalam rapat itu disahkan nama Dewan Jenderal.
Dimana Ahmad Yani sebagai brain-trust (pemikir) yang akan melakukan kudeta pada
hari ulang tahun ABRI.
Dalam ungkapan Anderson dan McVey, militer mampu mengkambinghitamkan PKI
atas kejadian G30S. “Pucuk pimpinan PKI yang benar-benar terlibat, betapapun
runyam, dan karena pihak yang berkuasa pada saat itu benar-benar ingin
mempercayainya, karena pada masa yang lampau, mereka amat menakuti
kemungkinan PKI berkuasa”, ungkapnya.
Militer pun membuat istilah “kudeta komunis” agar seolah-olah masyarakat mengira
gerakan tersebut memang benar perbuatan PKI. Yang sebenarnya militer hanyalah
berusaha membuat pemerintahan boneka yang mengendalikan PKI.
Beberapa anggota TNI AD pun mengklaim tujuan aksi itu untuk menyingkirkan para
petinggi di lembaga Staf Umum yang dicurigai bekerja sama dengan Central
Intelligence Agency (CIA) yang merupakan dinas intelijen Amerika Serikat.
Harold Crouch juga mengatakan, jelang 1965 militer terbagi menjadi dua faksi.
Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, namun memiliki perbedaan sikap dalam
menghadapi presiden Soekarno. Di Sisi lain, peristiwa G30S dianggap sebagai
pemberontakan para perwira muda militer di Jawa Tengah. Mereka muak atas gaya
hidup dan sikap politik pro-Barat para Jenderal di Jakarta. Para perwira muda juga
beranggapan bahwa adanya aksi korupsi yang dilakukan oleh staf umum di bawah
pimpinan Ahmad Yani. Tindakan para jenderal yang terus menghalangi dan
menentang kebijakan Soekarno juga faktor G30S ini terjadi.

C. Analisis
Berdasarkan data yang kelompok kami peroleh, didapatkan bahwa militer bukan
merupakan dalang dari G30S akan tetapi militer hanya menjadi perantara dalam
kejadian tersebut yang didorong dengan konflik-konflik internal militer itu sendiri.
Pada tahun 1945 setelah Soekarno secara resmi diangkat menjadi presiden, Indonesia
harus menghadapi berbagai agresi militer dan Perang Dingin yang kian marak antara
Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok Timur (Uni Soviet). Hal itu membuat
Soekarno memerlukan alat negara yang dapat dimobilisasi dengan cepat untuk
menghadapi agresi militer. Pada waktu itu militer Indonesia masih terbagi menjadi
beberapa macam. Dalam buku berjudul “Military and Politics in Indonesia” karya
Harold Crouch, disebutkan bahwa militer Indonesia terbagi menjadi tiga macam. Dua
diantaranya yaitu, mereka yang mendapatkan pendidikan militer profesional dari
kaum penjajah, seperti Belanda dan Jepang. Dan yang paling banyak jumlahnya
berasal dari kelompok gerilya yang dibentuk di daerah-daerah. Kelompok gerilyawan
ini memiliki karakteristik sesuai dengan daerahnya masing-masing. Karena
keberagaman dari latar belakang dan kurangnya persatuan ideologi yang kuat inilah
yang menyebabkan adanya konflik antara institusi, bahkan di dalam militer sekalipun.
Walaupun demikian, keberadaan militer tidak dapat dihilangkan begitu saja sebab
militer memiliki peranan penting di Indonesia. Mereka menjadi alat pertahanan yang
cukup tangguh dan memiliki hubungan erat dengan Presiden Soekarno. Apalagi,
militer Indonesia kala itu tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan negara saja, tetapi
militer juga terlibat dalam politik, baik dalam badan pemerintahan, maupun
perusahaan milik negara. Alasan militer ikut terlibat di bidang politik karena masih
lemahnya pemerintahan parlementer di Indonesia dan ketidakstabilan politik.
Adanya pertikaian antara kubu para perwira yang berlatar belakang militer Belanda
dengan para perwira eks-Peta pada tahun 1950. Hal ini timbul saat Markas Besar
mengeluarkan kebijakan untuk demobilisasi dan profesionalisasi personil.
Mengakibatkan banyak anggota eks-Peta yang terpaksa mundur dari militer. Karena
syarat kelulusan kebijakan ini yaitu terpenuhinya unsur pendidikan dan kecakapan
teknis. Hal ini lebih menguntungkan pihak yang berlatar belakang militer Belanda
dibanding eks-Peta. Hingga banyak anggota eks-Peta yang mundur menjadi anggota
TNI. Kebijakan ini tentu membuat kolonel Bambang Supeno turun tangan, ia menolak
kebijakan itu kepada Nasution, yang merupakan Kepala Staf Angkatan Darat, tetapi
tindakan tersebut dinilai sebagai menentang pimpinan. Akhirnya Bambang Supeno
diberi sanksi. Bambang Supeno yang tidak terima juga dengan hukuman itu bekerja
sama dengan parlemen untuk mengkritik kebijakan Nasution. Dengan ikut campurnya
parlemen ke dalam masalah militer ini kemudian membuat Nasution membuat upaya
“jalan tengah” dimana pihak militer tidak terlalu mereka tidak mengambil alih seluruh
politik negara Indonesia.
Dalam beberapa kasus juga militer memiliki konflik antar institusi, contohnya saat 3
Juli 1946, beberapa perwira menculik Sutan Sjahrir karena dianggap terlalu mengalah
kepada Belanda. Lalu pada tanggal 15 Februari 1958, peristiwa PRRI/Permesta
dimana militer saling berseteru akibat rakyat merasa bahwa kebijakan pemerintah
hanya berpusat pada wilayah Jawa.
Rumor-rumor yang beredar bahwa adanya korupsi yang dilakukan oleh staf umum di
bawah kepemimpinan Ahmad Yani. Disisi lain para perwira muda merasa kecewa
terhadap sikap para jenderal di Jakarta karena gaya hidup mereka dan orientasi
pro-barat.
Lebih lagi, AD dihadapkan pada suasana dan potensi perpecahan. Akibat adanya
pengelompokkan kepemimpinan. Militer terbagi menjadi dua faksi yang dimana
mereka sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi presiden
Soekarno. Kelompok ini merupakan kelompok Nasution dan kelompok Ahmad Yani.
Kelompok Ahmad Yani yang merupakan “faksi tengah”, kelompok ini royal dengan
Soekarno dan hanya menentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.
Kelompok kedua atau “faksi kanan”, kelompok ini menentang kebijakan Ahmad
Yani yang terlalu bernafaskan Sukarnoisme, Jenderal A.H Nasution dan Mayjen TNI
Soeharto masuk kedalam faksi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict, dan Ruth McVey. 1971. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965,
Coup in Indonesia. Jakarta: Cornell Modern Indonesia Project

Aisyah, Novia. 29 September 2022. “Siapa Tokoh yang Mengemukakan Teori PKI Dalang
G30S? Ada Eks Mendikbud”. ieu.link/csmmak diakses pada 3 Agustus

Hipotesa. 2019. “Kenapa G30S Terjadi | Latar Belakang G30S PKI”.


https://youtu.be/KoEDRc2gq6c diakses pada 10 Agustus

Salim, Agus. 2009. Tragedi Fajar : Perseteruan Tentara PKI dan Peristiwa G30S. Bandung:
Nuansa

Tempo Publishing. 2019. Fakta Fakta Menarik di Sekitar Persidangan Pelaku


Pemberontakan G30S/PKI. Jakarta Selatan: Tempo Publishing

Wirayudha, Randy. 30 September 2017. “Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S”.


https://historia.id/politik/articles/lima-versi-pelaku-peristiwa-g30s-DWV0N diakses pada 10 Agustus

Anda mungkin juga menyukai