Sejarah Indonesia
KELAS : 12 MIPA 4
KELOMPOK 2
- Bunga Lestari S.
- Erina Sasmita
- M. Afnan Alaydrus
- M. Ghulam Fadhil
- Nayla Rahatansya
- Zalfa Az Zahra
C. Analisis
Berdasarkan data yang kelompok kami peroleh, didapatkan bahwa militer bukan
merupakan dalang dari G30S akan tetapi militer hanya menjadi perantara dalam
kejadian tersebut yang didorong dengan konflik-konflik internal militer itu sendiri.
Pada tahun 1945 setelah Soekarno secara resmi diangkat menjadi presiden, Indonesia
harus menghadapi berbagai agresi militer dan Perang Dingin yang kian marak antara
Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok Timur (Uni Soviet). Hal itu membuat
Soekarno memerlukan alat negara yang dapat dimobilisasi dengan cepat untuk
menghadapi agresi militer. Pada waktu itu militer Indonesia masih terbagi menjadi
beberapa macam. Dalam buku berjudul “Military and Politics in Indonesia” karya
Harold Crouch, disebutkan bahwa militer Indonesia terbagi menjadi tiga macam. Dua
diantaranya yaitu, mereka yang mendapatkan pendidikan militer profesional dari
kaum penjajah, seperti Belanda dan Jepang. Dan yang paling banyak jumlahnya
berasal dari kelompok gerilya yang dibentuk di daerah-daerah. Kelompok gerilyawan
ini memiliki karakteristik sesuai dengan daerahnya masing-masing. Karena
keberagaman dari latar belakang dan kurangnya persatuan ideologi yang kuat inilah
yang menyebabkan adanya konflik antara institusi, bahkan di dalam militer sekalipun.
Walaupun demikian, keberadaan militer tidak dapat dihilangkan begitu saja sebab
militer memiliki peranan penting di Indonesia. Mereka menjadi alat pertahanan yang
cukup tangguh dan memiliki hubungan erat dengan Presiden Soekarno. Apalagi,
militer Indonesia kala itu tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan negara saja, tetapi
militer juga terlibat dalam politik, baik dalam badan pemerintahan, maupun
perusahaan milik negara. Alasan militer ikut terlibat di bidang politik karena masih
lemahnya pemerintahan parlementer di Indonesia dan ketidakstabilan politik.
Adanya pertikaian antara kubu para perwira yang berlatar belakang militer Belanda
dengan para perwira eks-Peta pada tahun 1950. Hal ini timbul saat Markas Besar
mengeluarkan kebijakan untuk demobilisasi dan profesionalisasi personil.
Mengakibatkan banyak anggota eks-Peta yang terpaksa mundur dari militer. Karena
syarat kelulusan kebijakan ini yaitu terpenuhinya unsur pendidikan dan kecakapan
teknis. Hal ini lebih menguntungkan pihak yang berlatar belakang militer Belanda
dibanding eks-Peta. Hingga banyak anggota eks-Peta yang mundur menjadi anggota
TNI. Kebijakan ini tentu membuat kolonel Bambang Supeno turun tangan, ia menolak
kebijakan itu kepada Nasution, yang merupakan Kepala Staf Angkatan Darat, tetapi
tindakan tersebut dinilai sebagai menentang pimpinan. Akhirnya Bambang Supeno
diberi sanksi. Bambang Supeno yang tidak terima juga dengan hukuman itu bekerja
sama dengan parlemen untuk mengkritik kebijakan Nasution. Dengan ikut campurnya
parlemen ke dalam masalah militer ini kemudian membuat Nasution membuat upaya
“jalan tengah” dimana pihak militer tidak terlalu mereka tidak mengambil alih seluruh
politik negara Indonesia.
Dalam beberapa kasus juga militer memiliki konflik antar institusi, contohnya saat 3
Juli 1946, beberapa perwira menculik Sutan Sjahrir karena dianggap terlalu mengalah
kepada Belanda. Lalu pada tanggal 15 Februari 1958, peristiwa PRRI/Permesta
dimana militer saling berseteru akibat rakyat merasa bahwa kebijakan pemerintah
hanya berpusat pada wilayah Jawa.
Rumor-rumor yang beredar bahwa adanya korupsi yang dilakukan oleh staf umum di
bawah kepemimpinan Ahmad Yani. Disisi lain para perwira muda merasa kecewa
terhadap sikap para jenderal di Jakarta karena gaya hidup mereka dan orientasi
pro-barat.
Lebih lagi, AD dihadapkan pada suasana dan potensi perpecahan. Akibat adanya
pengelompokkan kepemimpinan. Militer terbagi menjadi dua faksi yang dimana
mereka sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi presiden
Soekarno. Kelompok ini merupakan kelompok Nasution dan kelompok Ahmad Yani.
Kelompok Ahmad Yani yang merupakan “faksi tengah”, kelompok ini royal dengan
Soekarno dan hanya menentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.
Kelompok kedua atau “faksi kanan”, kelompok ini menentang kebijakan Ahmad
Yani yang terlalu bernafaskan Sukarnoisme, Jenderal A.H Nasution dan Mayjen TNI
Soeharto masuk kedalam faksi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict, dan Ruth McVey. 1971. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965,
Coup in Indonesia. Jakarta: Cornell Modern Indonesia Project
Aisyah, Novia. 29 September 2022. “Siapa Tokoh yang Mengemukakan Teori PKI Dalang
G30S? Ada Eks Mendikbud”. ieu.link/csmmak diakses pada 3 Agustus
Salim, Agus. 2009. Tragedi Fajar : Perseteruan Tentara PKI dan Peristiwa G30S. Bandung:
Nuansa