Anda di halaman 1dari 8

Makalah

“Peristiwa G30S/PKI”
Diajukan untuk memenuhi tugas PKN semester genap tahun ajaran 2020-2021

Disusun oleh:
Rani Yasmin Azzahra
XII MIPA 6

SMAN 1 Karawang
Tahun 2021
A. Faktor Penyebab Terjadinya Peristiwa G30S/PKI
1. Faktor Angkatan Kelima
Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran
perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri
sendiri terlepas dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan
hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer.
PKI kemudian mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan
kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah
berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit
menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi"
angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk
menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan
aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI
masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
2. Isu Sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit
tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan
alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
3. Isu Masalah Tanah dan Bagi Hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia
Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai
ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun
undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga
menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten yang
disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer
untuk membersihkannya.
4. Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[3]. Konfrontasi Indonesia-
Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan
PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan
G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI
melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Soekarno yang murka karena demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur
mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[4] dan
ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan
sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan
Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal
pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak
memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala
Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia
mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat
posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka
tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para
pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa
kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya
kepada Malaysia. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan
"ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI
juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif
PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin
menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan
Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-
Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan
untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk
konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di
lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965). Dari
pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika
banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa
kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang
hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno.
Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk
membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
5. Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan
badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50
juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan
kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini
dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh
Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal
ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington
pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan
propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak
berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober,
agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak
masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka,
dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan
bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar
Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk
dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak
bukti-bukti fisik.
6. Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka
tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia. Inflasi yang mencapai 650% membuat
harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras,
minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang
berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab
kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat
adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota
PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

B. Pihak yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Peristiwa Tersebut


Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu
PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing terutama
CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat).
1. PKI
Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan
Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup
G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama
ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film
Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Selain itu, rezim Orde Baru
membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah
Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-
sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini
mencantumkan “/PKI” di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan
menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau
“G30S”. Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak
terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi
partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung
hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari
Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui
sama sekali adanya rencana itu.
2. Konflik Internal Angkatan Darat
Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey
mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in
Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S
merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat. Dalam Army and Politics in
Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965,
Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini
sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.
Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno,
dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang
persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi
kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan
Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI
Soeharto. Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta
Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah”
untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan
Angkatan Darat. Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam
Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai
Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N.
Aidit dan Angkatan Darat.
3. Soekarno
Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam
peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965
(2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat
(2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So
Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan
Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar
Kejatuhan Bung Karno.
Menurut Asvi sebagai penulis artikel histroria, ketiga buku tersebut “mengarah
kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang
peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta
berdarah itu.” Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File
(2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan
karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung
Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat
bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen
Tjakrabirawa.
4. Soeharto
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel
Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999)
mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di
kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari
sebelum operasi dijalankan.
Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30
September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi
menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1
Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi
tersebut.
5. CIA
Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan
negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar
Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa
opsi terkait situasi politik di Indonesia.
Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy,
opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan,
menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan,
merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan
Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih.
Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika
Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber.
Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the
Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan
Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para
perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat).
Salah satu perwiranya adalah Soeharto.
Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya
wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari
Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan
Baskara T. Wardaya.
Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika
Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke
Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan
investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi
Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah
memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.
CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah
diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara,
dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim
ke Washington. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi
bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya,
mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk
membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”
Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar
$10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan
September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-
nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.
C. Dugaan Terjadinya Pelanggaran HAM atas Peristiwa G30S/PKI
Setelah lebih dari empat dekade, kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang
sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia akhirnya
dibuka kembali. Akhirnya pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyatakan peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500
ribu jiwa itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Sembilan pelanggaran HAM itu
adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-
wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan
penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan hak asasi manusia
berat.

D. Pengaruh Peristiwa G30S/PKI terhadap Kesatuan dan Persatuan


Bangsa
1. Kondisi politik bangsa menjadi tidak stabil karena adanya pertentangan di para
penyelenggara dan lembaga negara.
2. Bersatunya TNI dan kaum agama untuk membalas PKI.
3. Timbulnya demonstrasi besar yang dilakukan oleh rakyat, mahasiswa, KAMI dan
KAPPI. Dimana demonstrasi ini mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura.
Tritura berisi tiga hal. Pertama permintaan agar PKI dibubarkan, kedua
pembersihan kabinet Dwikora dan unsur-unsur PKI dan ketiga adalah turunkan
harga.

E. Upaya yang Dilakukan oleh Pemerintah pada Waktu Itu Untuk


Menangani Permasalahan Tersebut
1. Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100
Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya
masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI.
2. Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa
waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”,
dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun
tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan
Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek
“British Malaysia”.
3. Penandatangan SUPERSEMAR (Surat Perintah 11 Maret) yang dibuat Soeharto.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah
menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta
organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di
seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
4. Letjen. Soeharto menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke
sekolah.
5. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Keputusan
Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang
diduga terkait dengan pemberontakan G 30 S/PKI ataupun dianggap
memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu.

F. Bukti Keberhasilan Upaya yang Dilakukan Pemerintah untuk


Menghilangkan Ideologis Komunis
1. Terhapusnya partai komunis satu-satunya di Indonesia
2. Tidak terbentuknya lagi partai berhaluan komunis di Indonesia
3. Sistem pemerintahan Indonesia yang berpedoman Pancasila

Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
https://historia.id/politik/articles/lima-versi-pelaku-peristiwa-g30s-DWV0N/
https://nasional.tempo.co/read/418811/komnas-ham-pembantaian-pki-adalah-pelanggaran-
ham-berat/full&view=ok
https://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/dampak-g30s-pki
Abdurakhman, dkk. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. Buku Siswa
Sejarah Indonesia Kelas 12 Edidi Revisi 2018.

Anda mungkin juga menyukai