Anda di halaman 1dari 5

Nama : Tar.

Zidan Mushajid

Course: OBU 18 Charlie

NIT : 15112210071

SOAL

Anda dipersilakan untuk menggali sumber politis tentang Burung Garuda Pancasila sebagai
simbol negara.
Diskusikan dengan teman kelompok Anda faktor penyebab nama
Sultan Hamid II kurang dikenal dalam sejarah sebagai perancang simbol
Garuda Pancasila, kemudian laporkan secara tertulis CLASS WORK

JAWABAN
Tidak banyak yang tahu perancang lambang Garuda Pancasila. Namanya dilupakan karena
dianggap terlibat upaya kudeta Westerling 1950.

PENJELASAN

Sultan Hamid II
perancang lambang Garuda Pancasila

Tidak banyak yang tahu perancang lambang Garuda Pancasila. Namanya dilupakan
karena dianggap terlibat upaya kudeta Westerling 1950. Kini ada upaya untuk
membersihkan namanya

Dalam sejarah kontemporer Indonesia, sosok Sultan Hamid II -yang pernah menjabat
menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama- barangkali
termasuk kategori yang kalah.

Jasanya dalam merancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila,


seperti dilupakan begitu saja setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait
rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.

"Dia dilupakan, karena dituduh terlibat peristiwa Westerling, termasuk ingin membunuh
Sultan Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat itu)," kata sejarahwan Taufik Abdullah
kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (02/06).
Setelah upaya kudeta kelompok Westerling digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan
Sultan Hamid "telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak sebagai
senjata militernya."

Pada 22 Januari 1950, sekitar 800 orang pasukan KNIL pimpinan Westerling
menduduki sejumlah tempat penting di Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara
RIS. Mereka kemudian berhasil diusir dari Bandung.

Di Jakarta, empat hari kemudian, pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta,


tetapi berhasil digagalkan karena lebih dulu bocor. Disebutkan, pasukannya berencana
membunuh beberapa tokoh Republik, termasuk Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwono IX.

Walaupun Sultan Hamid II membantah terlibat dalam upaya kudeta Westerling, pengadilan MA
menyatakan dirinya bersalah. Kemudian dia dihukum penjara sepuluh tahun.

Dalam buku Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952), George Mc Turnan Kahin,
menulis setelah upaya kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan
Sultan Hamid "telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak
sebagai senjata militernya."

Walaupun membantah terlibat dalam kasus itu, pengadilan menyatakan dirinya


bersalah. Kemudian dia dihukum penjara sepuluh tahun.
"Di situlah namanya habis. Dia dianggap pengkhianat," kata Taufik Abdullah.

Perancang lambang negara


Sejarah resmi Indonesia kemudian melupakannya. Ketika pria kelahiran 1913 ini
meninggal dunia lebih dari 35 tahun silam, jasadnya bahkan tidak dikubur di makam
pahlawan.
Sosok penyokong konsep negara Federal ini seperti dihilangkan, walaupun dia adalah
perancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila.

Perjalanan rancangan lambang Garuda Pancasila hingga kini, termasuk rancangan awal Sultan
Hamid II (kiri bawah).
"Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda,"
kata peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin kepada BBC
Indonesia, Jumat (05/06).
Sebagai Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno
untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan
panitia yang diketuainya.
Belakangan, konsep rancangan Sultan Hamid yang terpilih, menyisihkan rancangan
Muhammad Yamin.
Sebagai Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk
merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang
diketuainya.
"Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas
pita) masih terbalik," kata Rusdi Hoesin.
Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang
negara itu menjadi pesakitan.

Bukan 'dalang' kudeta Westerling


Setelah reformasi bergulir, sejumlah intelektual muda Kota Pontianak, Kalimantan Barat
-tempat kelahiran Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai kebohongan
sejarah.

Sultan Hamid II (kanan), Ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ikut
berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.
Anshari Dimyati, yang juga Ketua Yayasan Sultan Hamid II, melalui penelitian tesis
master di Universitas Indonesia, menyimpulkan Ketua Majelis permusyawaratan
negara-negara Federal (BFO) ini tidak bersalah dalam peristiwa Westerling awal 1950.
"Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan
membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak
terjadi. Itu yang harus diluruskan," kata Anshari Dimyati, Selasa (02/06).
Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer
Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.
"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan
Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.

Menurutnya, peradilan tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid


dalam kasus itu.
"Dia didakwa telah bersalah oleh opini dan statement media massa yang memberitakan
tentang kasus ini... peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor
politik," jelas Anshari.

Menemukan sketsa asli


Alumni Universitas Indonesia lainnya, Turiman Fachturrahman -juga melalui tesis
masternya. menemukan bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan
Hamid II sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.
Selama empat tahun, Turiman mengaku melakukan penelitian dengan menemui
sejumlah pihak.

Sketsa awal rancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II.
"Dan saya menemukan sketsa-sketsa dokumen (perancangan logo burung Garuda)
yang diberikan Sultan Hamid kepada Mas Agung," ungkap Turiman kepada BBC
Indonesia, Selasa (02/06).
Salah-satunya adalah sketsa rancangan lambang negara karya Sultan Hamid dan
Muhammad Yamin, katanya.
Berdasarkan hasil liputan aktivis pers mahasiswa Nur Iskandar dalam tabloid Mimbar
Untan, Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman kemudian berhasil menemukan
naskah asli rancangan lambang negara karya Sultan Hamid.
"Kami menelusuri lagi ke keluarga Kadriyah, dan kebetulan didapatkan naskah aslinya,"
kata Turiman.

Korban 'kampanye hitam'


Hasil penelitian Anshari dan Turiman ini kemudian diterbitkan dalam buku 'Sultan
Hamid II, sang perancang lambang negara' pada pertengahan 2013 lalu.
"Buku ini salah-satu langkah awal publikasi sehingga nama Sultan hamid II tidak perlu
harus ditutup atau samar-samar dalam parade sejarah Indonesia," demikian prolog
buku tersebut.

Seorang anggota pasukan eks KNIL pimpinan Westerling ketika berada di depan markas
Siliwangi, Bandung, 1950.
"Dia bukanlah pengkhianat negara seperti black campaign pada masa kehidupannya,
namun pahlawan negara yang karya ciptanya menduduki peringkat tertinggi di dalam
struktur negara, yaitu lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila," tulis mereka.
Kampanye terbuka, melalui pameran dan diskusi di berbagai forum, pun digelar oleh
masyarakat Kalimantan Barat untuk apa yang mereka sebut sebagai pelurusan sejarah.
Lebih lanjut Turiman mengharap agar negara mengakui jasa pria yang bernama asli
Syarif Hamid Alqadrie ini sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.

Diskriminasi hukum
"Karena di dalam UU hak cipta, nama perancang harus disebutkan namanya, sama
seperti perancang lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman," kata Turiman.
Dalam UU nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan, nama WR Supratman disebut dengan jelas, tetapi tidak ada nama
Sultan Hamid II, katanya.
Ada harapan agar negara mengakui jasa Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara,
Garuda Pancasila.
"Di sinilah ada diskriminasi hukum. Tidak satu pun pasal yang menyatakan bahwa
lambang negara adalah rancangan Sultan Hamid II," ujar Turiman.
Bagaimanapun, Sultan Hamid II hidup dalam masa-masa gelap revolusi Indonesia,
ketika banyak kelompok yang masih bersemangat membawa Indonesia ke arah yang
sesuai persepsinya masing-masing.
Sejarah memang bukan matematika yang terukur jelas dan acapkali hanya dimiliki para
pemenang. Namun tak semestinya sejarah meniadakan jasa para pesakitan.

Anda mungkin juga menyukai