Anda di halaman 1dari 3

“MENGUAK TABIR SULTAN HAMID II

DALAM PERJALANAN SEJARAH BANGSA”

Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia

Sultan Hamid II adalah Sang Perancang Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila (Elang Rajawali – Garuda Pancasila). Dan ia, adalah salah seorang pencetus Federalisme
Indonesia, dalam konsep, bentuk, serta sistem Negara. Sultan Hamid II adalah seorang “Federalis
100%”, begitupula dengan beberapa tokoh bangsa lainnya. Prinsip itulah yang kemudian membuatnya
berbentur dengan kalangan Unitaris, para penganut paham negara Kesatuan yang menginginkan adanya
negara yang integral, integrasi bangsa. Sedangkan di sisi lain, muncul paradoks sistem negara. Jelas,
tercantum pada Sila ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan “Kesatuan
Indonesia” (Unitarisme). Federalisme merupakan wacana pemikiran politik yang diusung Sultan
Hamid II dalam kemerdekaan Indonesia. Ide politik ini sebetulnya juga bertujuan menciptakan sistem
negara yang mengandung makna keadilan dan kesejahteraan, serta dianggap lebih mampu untuk
memakmurkan rakyatnya. Pemerintahan wilayah sendiri yang otonom melalui independensi
pengelolaan internal dari setiap negara-negara bagian yang ada melalui sistem federasi, dianggap lebih
dapat menjawab berbagai macam persoalan. Sama halnya yang terjadi hari ini di Indonesia, dengan
diberlakukannya otonomi daerah, itulah esensi dari federasi.

Sultan Hamid II adalah Sultan Ke-7 Kesultanan Pontianak (1945-1978), dengan gelar: Sri
Paduka Duli Y.M. Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie. Dia adalah keturunan dari pendiri Negeri Pontianak
(Kesultanan Pontianak) bernama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Sultan Hamid II dilahirkan di
Pontianak pada 12 Juli 1913 M, bertepatan dengan 7 Sya’ban 1331 H, dari kedua orangtuanya, yaitu
Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (ayah)/Sultan Ke-6 dan Syecha Jamilah Syarwani (ibu).

Pada tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro (dari Yogyakarta) mengirimkan balasan
surat kepada Sultan Hamid II melalui sekretaris Dewan Menteri RIS (Z. Yahya) yang isinya menunjuk
Muhammad Yamin untuk memberikan masukan mewakili beliau kepada Panitia Lambang Negara dan
surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950
No XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara. Salah satu Isi surat balasan Ki Hajar Dewantara
kepada Sultan Hamid II itu sebagai berikut: “ Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud
atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke
Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada
Paduka Tuan: Bahwa kalaulah benar saya diangkat menjadi anggota dari pada "Panitia Lambang
Negara RIS" sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan
penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah
Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin
duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih
mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya
sendiri. Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia
1
ANA WIJAYANTI, S.Pd (SMAN 1 GENDING_Probolinggo, Jawa Timur)
lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau
anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya
hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta.Dalam hal ini
alangkah baiknya, jika Panitia mengirimkan pertanyaan-pertanyaan yang tertentu kepada saya untuk
saya jawab.

Patut diketahui Sultan Hamid II dalam membuat lambang negara diawali dengan membuat
rencana Perisai Pancasila, sebagaimana dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967:
Perlu saja jelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tetap untuk
melambangkan ide Pantja-Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai
dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai yang menempel pada figur burung garuda,
karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada
tameng/perisai di tengahnja. Pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima
ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai yang dibuat Mr. M. Jamin, kemudian
saja buat dua buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk
melambangkan garis equator (khatulistiwa) di perisai itu.

Sultan Hamid II menyatakan dalam transkripnya, bahwa dia membuat sketsa berdasarkan
masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi yang dikumpulkan oleh beliau dari
beberapa candi di Pulau Jawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan Sultan Hamid II juga
membandingkan salah satu simbol Garuda yang dipakai sebagai Lambang Kerajaan Sintang,
Kalimantan Barat, tetapi hanya merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk Burung
Garuda jang berada di candi-candi di Jawa dengan luar Jawa.Karena secara historis Kerajaan Sintang
masih ada hubungan dengan Kerajaan Majapahit, seperti di dalam Legenda Daradjuanti dengan Patih
Lohgender.

Transkrip Sultan Hamid II, kepada wartawan Solichin Salam, yang disalin kembali oleh
sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967, halaman 4: Akhirnya setelah
penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang
negara luar, khususnya negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternyata menggunakan
figur burung Elang Rajawali, duga seperti Negara Polandia yang sudah sejak ratusan tahun duga
menggunakan burung Elang Rajawali seperti yang saja jelaskan di atas dalam kemeliterannya. Karena
sosoknya lebih besar/gagah dari burung elang yang ada di Jawa dan ini simbolisasi lambang tenaga
pembangunan/ creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
menjadi negara yang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah menjadi kewajarawan
dan demikian seharusnya. Selanjutnya gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota
Panitia Lambang Negara, demikian juga lambang negara rancangan Mr Mohammad Yamin yang
kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke
Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rancangan saja yang
diterima, 10 Februari 1950 dan esoknya untuk pertama kali diperkenalkan kepada kalayak ramai di
Hotel Des Indes, yang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen
RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.”

2
ANA WIJAYANTI, S.Pd (SMAN 1 GENDING_Probolinggo, Jawa Timur)
Soekarno membentuk semboyan Negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” semboyan itu
kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan
pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.

Tenggelamnya nama Sultan Hamid II saat ini, disebabkan oleh kasus yang dituduhkan
kepadanya,‘keterlibatannya’ atas kasus pemberontakan Westerling di Pasundan (Bandung) pada tahun
1950. Namun, tuduhan tersebut di sidang pengadilan tidak memperoleh bukti yang sah dan meyakinkan
tentang kesalahannya atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya dalam bagian “primair” dari surat
tuntutan; Membebaskan terdakwa dari tuduhan tersebut; Mempersalahkan terdakwa melakukan
kejahatan; “Dengan maksud untuk mempersiapkan kejahatan pemberontakan, mencoba menggerakkan
orang lain untuk melakukan kejahatan pemberontakan itu, dilakukan dalam keadaan perang”;
Menghukum terdakwa oleh karenanya menjalani hukuman penjara selama SEPULUH TAHUN
Menentukan, bahwa hukuman itu akan dikurangi dengan waktu selama terhukum berada di dalam
tahanan; Jelas dalam dakwaan primair (tuduhan pokok), terkait dengan aksi Westerling di Bandung,
Sultan Hamid II tidak bersalah secara hukum. Namun, vonis hukuman itu dijatuhkan atas “Niat” dan
“Persiapan” melakukan kejahatan yang tidak sampai jadi dilakukannya (dakwaan lebih subsidair lagi).

Sultan Hamid tidak berada pada posisi pelaku, namun sebagai korban, tentu atas
kesewenangwenangan penguasa. Sejarah kelam dalam kasus ini mengubur dalam-dalam nama Sultan
Hamid II sebagai pemersatu bangsa, sebagai pahlawan bangsa, dan sebagai perancang lambang negara.
Di sisi lain, negara lebih memilih diam membisu, dan tak menjawab fakta sebenarnya bahwa siapa dan
apa peran Sultan Hamid II terhadap Indonesia. Kasus Hamid ini dapat dibaca sebagai kebijakan hukum
dan politik yang bertaut pada hukum Belanda. Penetapan kebijakan politik (kemudian menjadi sebuah
undang-undang/hukum) jelas memiliki sejarah perjalanannya yang panjang. Hukum pidana Indonesia
memang masih menggunakan hukum pidana (warisan) Belanda yang pernah berkuasa atau
bekerjasama dengan negeri-negeri di wilayah Kepulauan Melayu (Indonesia hari ini). Pemberlakuan
hukum pidana yang berasal dari negara asing ini, yang secara geografis amat kecil dan homogen, jelas
menimbulkan problem tersendiri bagi masyarakat yang ada di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan amat
paradoks karena dalam narasinya Indonesia memposisikan Belanda sebagai musuh. Jika Indonesia
mengaku sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, sudah selayaknya hukum pidana yang digunakan
adalah produk asli dari bangsa yang hidup di negara ini. Dan sudah sepatutnya pula bahwa hukum itu
tumbuh dan timbul dari masyarakat itu sendiri, dan tidak hanya bergantung pada penafsiran bahwa
semata-mata hukum adalah buatan penguasa. Penggunaan hukum (warisan) Belanda hanya akan
menampilkan kesan sebagai pengganti posisi negeri dari Eropa tersebut pada bangsa-bangsa serumpun.

3
ANA WIJAYANTI, S.Pd (SMAN 1 GENDING_Probolinggo, Jawa Timur)

Anda mungkin juga menyukai