Anda di halaman 1dari 17

oleh: Alikta HS.

Aktivis KAMMI Solo, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan pembinaan adalah merupakan
napas utama dari pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis, berupaya
memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah
bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai harokatu tajnid menuntut konsekuensi
logis akan kebutuhan proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan berkesinambungan demi mewujudkan
cita-cita bersama organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.
Refleksi Sederhana
Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun
lebih ia mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat pusat hingga komisariat terjadi di depan
mata tanpa penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di komisariat maupun tingkat daerah,
kritik terhadap kaderisasi selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru diungkapkan untuk
membedah akar permasalahan kaderisasi. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa perubahan
berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara, mandul dalam praksis di lapangan.

Beberapa kali saya sempatkan membahas persoalan kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban
seragam yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni kegagalan KAMMI melakukan proses
kaderisasi mandiri. Memang, tak bisa dipungkiri, relasi kekuasaan dan politik praktis telah membawa KAMMI
dalam dilema berkepanjangan dalam merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya berimplikasi pada aksiologis
gerak KAMMI secara taktis di lapangan.
KAMMI sebagai organisasi pengkaderan memiliki instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj
Kaderisasi 1432 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah terbinanya kader KAMMI yang secara
konseptual membentuk Muslim Negarawan, yang pada gilirannya mampu memimpin di berbagai sektor
kehidupan dalam fase mihwar daulah dalam kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi menunjang hal
tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki kompetensi wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj
perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan profesionalitas,
kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri. Dengan segala macam tata
ukur tersebut, saya sering membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada haikatnya adalah manusia
super yang tanpa cela dan cacat, sebuah terminologi alay yang justru menjadi kebanggaan organisasi bernama
KAMMI. Tak masalah. Meski paradoks dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label ini
kemana-mana.
Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua sistem pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada
kader yang sama, dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu membawa problema dilematis bagi KAMMI
sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang independen. Di satu sisi, ia ingin melaksanakan secara total
aplikasi manhaj KAMMI yang telah disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki posisi sebagai wajihah
dakwah jamaah Tarbiyah yang juga memberlakukan manhaj-nya sendiri.
Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam pembenaran bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan
berupa tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jamaah, jadi buat apa lagi KAMMI kembali
mengadakan? Bukankah itu pemborosan waktu, tenaga, dan biaya?
Awalnya, saya mengamini kalimat diatas. Namun, kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam
diri saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum mandiri secara ideologi. Apakah sama
karakteristik gerak sebuah organisasi mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir gerakan mahasiswa
dengan organisasi politik-keagamaan yang menekankan pada politik praktis?
Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung menjawab pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh
dualitasnya sebagai kader KAMMI sekaligus kader jamaah, sekaligus dualitas KAMMI sebagai organisasi

mahasiswa independen dan hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya, pembongkaran dualitas peran
ini harus tuntas sebelum seorang kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti Dauroh
Marhalah1.
Menyoal Dauroh Marhalah1
Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI 1432 H, ada lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh
Marhalah1. Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam, Problematika Umat Islam, Islam
Pemuda dan Perubahan Sosial, serta Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI[3]. Selain lima materi wajib ini,
pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi,
Pengembangan Diri, serta setting dan Simulasi Aksi.
Materi tersebut semestinya diberikan oleh Instruktur yang telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps
Instruktur Daerah Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu maupun pengelola Dauroh.
Materi pertama dan kedua biasanya disampaikan oleh ustadz terpilih, materi ketiga dan selanjutnya oleh
instruktur (kader KAMMI yang berkompeten), sedang materi Pengembangan Diri yang baru sekali diuji
cobakan dalam Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer dari luar kader KAMMI.
Sangat disayangkan bahwa KIDS belum menjalankan perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI
yang secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi KAMMI Jawa Tengah. KIDS juga belum secara
konsisten melakukan pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan kader agar mampu menghasilkan kader yang
berkualitas secara moral, spiritual, maupun intelektual. Dalih yang sekali lagi muncul adalah: tujuan
menghasilkan kader yang demikian sudah diemban oleh manhaj jamaah, melakukan hal yang sama persis
merupakan pemborosan!
Namun, saya tidak ingin memperlebar pembahasan mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut.
Disini, saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu gerbang pertama bagi seorang mahasiswa
memasuki organisasi bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai dengan diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis
bagi mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh Marhalah1. Dalam pengelolaan Dauroh Marhalah 1
KAMMI UNS pada Oktober 2013, peserta diwajibkan mengikuti screening berupa tes tertulis dan wawancara.
Selain mengetahui data diri peserta, pengelola juga memberikan soal sebagai tes tertulis. Tes berupa soal essay
yang dikerjakan secara individu dan open source. Berikut soal tes tersebut:
1.
2.
3.

Sejauh mana anda mengetahui Aqidah Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan seharihari?
Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI? Mengapa anda ikut DM1?
Menurut anda permasalahan apa yang paling krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan
untuk mengatasi permasalahan tersebut?

Selain tes tertulis, pengelola juga melakukan wawancara dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta
mengenai kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di Indonesia, kondisi sosio-politikbudaya Negara Indonesia, pemahaman peserta terhadap ajaran Islam, serta pengetahuannya mengenai KAMMI
dan alasan peserta mengikuti Dauroh Marhalah 1.
1.
2.
3.
4.
5.

Peserta lurus aqidahnya, tidak percaya tahayul, dll.


Peserta mengetahui semua gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui perbedaan
masing-masing.
Peserta memahami kondisi di Indonesia.
Mengetahui pemahaman peserta terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).
Mengetahui tentang KAMMI dan tahu alasan mengapa ikut DM1.

Secara teknis, saya tidak begitu mempersoalkan mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa
janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai pengetahuan peserta mengenai gerakan
mahasiswa di Indonesia. Menurut saya pribadi, tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan dalam pelaksanaan
wawancara (tanpa menafikan hal yang lain) adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang telah tercakup dalam tes
tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan 4, (2) Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal
tertulis poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan Kemahasiswaan yang tercakup dalam lembar biodata
peserta.

Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya KAMMI, juga
mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya
singgung di muka, dualitas kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi maupun yang dialami oleh
kader KAMMI sendiri semestinya membuat kita melakukan refleksi kritis terhadap segmentasi peserta DM1.
Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1 akan memberikan jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti
DM1. Ada yang menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi kader Tarbiyah, ada yang
karena desakan/ paksaan murobbi, ada yang hanya sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain
sebagainya. Motif awal ini semestinya menjadi data berharga bagi pengelola dalam melakukan proses
pengelolaan data base calon peserta DM1.
Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki
kepahaman saklek bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader Tarbiyah membutuhkan
penanganan yang berbeda dengan peserta lain yang menganggap bahwa KAMMI adalah sebuah entitas
pergerakan mahasiswa ekstra kampus yang independen dan bebas kepentingan golongan/partai manapun.
Ini merupakan tantangan awal yang harus dijawab oleh pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan
selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan onggokan kertas belaka, atau menjadi instrumen
pendukung vital dalam pengelolaan dauroh yang sebenarnya.
Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska screening dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat
essay dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal problematika umat, sedang buku bacaan wajib
di KAMMI UNS adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari Gerakan ke Negara. Evaluasi
dari penugasan ini, sekali lagi, hanya menjadi onggokan kertas yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa essay
tersebut merupakan plagiasi dari tulisan yang dengan mudah didapat di internet, tanpa penghargaan bahwa
tulisan tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat yang luar biasa. Buku referensi yang
diwajibkan pun hanya menjadi bacaan yang mengawang di angan-angan, tak ada pembacaan kritis mengenai
buku-buku tersebut. Ya, kita baru sampai sebatas itu.
Pasca pengelola melakukan screening, selanjutnya diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang
dilaksanakan sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya adalah mengenalkan KAMMI pada
mahasiswa sekaligus meyakinkan mereka bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1 merupakan hal yang benar, tepat,
dan memang seharusnya mereka lakukan. Tidak ada kritik mendasar mengenai pengelolaan Pra-DM1 sampai
sejauh ini oleh saya.
Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang selalu dirayakan dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud
di depan mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias (mungkin ditambah ekspektasi berlebih).
Hal ini membuat perasaan saya sebagai OC dalam empat Dauroh Marhalah 1 terakhir di UNS berdebar. Apakah
KAMMI mampu menjawab ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di hari pertama Dauroh?
Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka dapat karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja?
Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya
bahwa DM1 itu payah dan begitu-begitu saja. Mungkinkah pengelolaan DM1 selama ini memang luar bisa
sempurna, atau kader KAMMI yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas dasar ikut-ikutan?
Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1 adalah agenda yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI.
Disinilah, untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan,
paradigma, ideologi KAMMI dan bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang berkembang di
masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI mengejawantahkan nilai-nilaisyahadatain dan syumuliyatul
Islam dalam langkah gerak organisasinya.
Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen
mengenai bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa menafikan bahwa kultur yang
dibangun di HMI tak selalu tepat dan relevan untuk diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun memiliki
karakter khas yang harus selalu dipertahankan. Namun demikian, penulis berusaha mensarikan kritik mendasar
terhadap pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI.
Pertama, Segi Peserta

Sesuai dengan Panduan Kerja Nasional yang digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan
yang secara nasional dijadikan parameter dalam mengukur keberhasilan kaderisasi. Efeknya, di tingkat
komisariat pengejaran kuantitas menjadi hal yang otomatis dominan terasa. Dalam empat DM1 yang penulis
ketahui di UNS, jumlah peserta DM1 selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang sesi selalu mengambil
pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola yang efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun
sama kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila jumlah peserta membludak, tak akan jauh
beda dengan seminar.
Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan penanganan serius. Apabila instruktur memang menginginkan
keidealan dan kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi jumlah peserta atau membuat kelaskelas tersendiri yang maksimal hanya diperuntukkan untuk 20-25 orang.
Kedua, Metode Penyampaian
Metode penyampaian materi pun terkesan indoktrinatif. Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan
pengantar, waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan, peserta berbicara saat sesi tanya jawab.
Ini menyebabkan peserta sebatas tahu dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan hal tersebut dalam
sebuah metodologi pikir yang utuh dan integral.
Dampaknya, peserta akan gagap menarik benang merah yang menghubungkan antara satu materi ke materi
lainnya, sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah kepahaman yang parsial, tidak utuh dan
padu.
Ketiga, Gagalnya Ideologisasi
Yang terparah dari semua permasalahan yang saya kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1
mencetak kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran wacana, utamanya terkait dengan tafsir
paradigma gerakan KAMMI. Dauroh Marhalah 1 mestinya menjadi gerbang utama bagi kader untuk mengenal
KAMMI, akan tetapi tidak ada materi ideologisasi yang cukup relevan didalamnya. Peserta hanya dituntut untuk
tahu dan paham dengan sejarah gerakan KAMMI. Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif
mengenai ideologi KAMMI.
Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam, materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar),
Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga, Struktur Organisasi, Pedoman Atribut, Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI, Tafsir
Tujuan serta Tafsir Independensi), kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada saat dipaparkan
mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai Dasar Perjuangan.
Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang mencakup banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter,
unsur-unsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi penyampaian materi yang sama dengan materi
lainnya. Menurut hemat saya, porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang, karena disinilah kader bisa
mengkontruksi pemikirannya sebagai kader KAMMI yang memiliki identitas jelas, jelas dalam platform
gerakan maupun karakter pribadi.
Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI
Adalah hal yang sangat wajar, manakala penulis berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks
materi DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus merupakan perangkat utama dalam
pelaksanaan Dauroh Marhalah 1. Setidaknya dengan modul tersebut, kita berharap peserta memiliki kesiapan
dalam menghadapi materi yang akan diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis sebelum materi, artinya ia
tidak datang dari suatu ruang kosong, melainkan dari argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun
pengalaman empiris yang pernah dilaluinya.
Modul tersebut akan memuat materi Dauroh Marhalah 1 yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi
KAMMI atau tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain dansyumuliyatul Islam akan
menjadi bab awal di modul ini dengan judul Tafsir Paradigma Islam KAMMI. Disini, KAMMI akan melakukan
penafsiran secara qurani dengan dilengkapi pisau analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh
mengenai bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islammenjadi muara dari semangat penggerak yang dijiwai
kader KAMMI dalam setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam melakukan perubahan
sosial.
Materi ketiga mengenai Problematika Umat Islam tidak akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi
wajib diskusi. Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat screening diberikan pada kader

KAMMI. Tugas tersebut berupa analisa kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa berupa isu
kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena sosial yang peserta lihat di kesehariannya. Disini, instruktur
dapat mulai memahami bagaimana peserta memposisikan dirinya dalam dinamika kelompok, pola pikir, serta
pandangannya akan hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya, ini akan menjadi data awal dalam pengelolaan
kaderisasi saat mereka dikelompokkan dalam kelompok diskusi.
Materi keempat mengenai Islam, Pemuda, dan Perubahan Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul
KAMMI dan Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan sosial macam apa yang akan
dilakukan KAMMI sebagai entitas yang lahir dari rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok organisasi
kepemudaan milik Bangsa Indonesia. Dalam kerangka tersebut, instruktur akan mengambil benang merah dari
problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI tawarkan sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi
dikotomi bagi kader KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader bangsa. Akan dibahas pula
Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil dari perubahan sosial yang coba dilakukan oleh kalangan mahasiswa
muslim di Indonesia dalam perannya sebagai kader bangsa Indonesia.
Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI akan dibahas dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang
dirumuskan secara nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam menjelaskan tafsir paradigmatik
ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi Gerakan ini akan mirip dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI yang
menjadi dasar teoritis penjelasan ideologi HMI. Jika dalam Nilai Dasar Perjuangan terdapat tujuh bab berisi :
Dasar-Dasar Kepercayaan, Pengertian-Pengertian tentang Dasar Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar)
dan Keharusan Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat,
Keadilan Sosial dan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup.
Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan KAMMI nantinya akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi
Gerakan, Prinsip Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur Perjuangan, serta Kredo
Gerakan.
Sementara, materi-materi yang merupakan inisiasi dari tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian
tersendiri dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi.
Keseriusan instruktur untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari itikad baiknya menuliskan
tujuan dari penyampaian materi pada peserta Dm1.
Tafsir dan Kemandirian
Merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI adalah PR besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu
dekat ini membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema besar itu. Sebab, dalam tingkat yang
paling sederhana Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI merupakan landasan normatif dalam perjuangan organisasi.
Ia merupakan etos yang menjiwai spirit perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam aksiologisnya, ketiadaan
tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana mungkin dibentuk Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi
Gerakan apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi kaderisasi Jamaah yang menancapkan
pengaruhnya dengan begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir hanyalah sekedar tafsir, berhenti di ruang-ruang diskusi
dalam dauroh maupun diskusi. Setelah itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan pembenaran atas nama
efisiensi dan efektifitas.
Ya, mau bagaimana lagi?

Menurut data dari bank dunia, ada 100 juta penduduk Indonesia
yang dapat dikategorikan rakyat miskin. Artinya, hampir separuh
rakyat Indonesia masih kesulitan untuk mencari makan dan
melanjutkan kehidupannya dengan layak. Bahkan dari sekian
banyak rakyat miskin itu, yang terkelola oleh Negara hanya
sebagian kecil saja, baik dalam bidang pendidikan maupun
kesehatan. Sisanya menjadi kaum hina yang hampir bisa dikatakan
tidak mempunyai motivasi lagi untuk hidup. Sementara di satu sisi,
para pejabat kita malah hidup dalam kemewahan dan kelimpahan
harta. Inilah potret buruk dari bangsa kita saat ini.
Puisi para bedebah karya adhie masardi nampaknya menjadi
relevan ketika kita kontekskan dalam fenomena yang terjadi di
bangsa ini. Carut marutnya pengelolaan Negara menjadikan
banyak rakyat yang menjadi pengemis bukan hanya di negeri
sendiri, melainkan juga di negeri orang lain. Rakyat yang miskin
menjadi tidak bermartabat lagi. Dalam kondisi seperti ini, tidak
salah ketika pendidikan menjadi solusi permasalahan ini. Oleh
karena itu, pendidikan kita sebaiknya mengajarkan mlarat ning
ningrat (miskin tapi bermartabat) bukan mengajarkan orang
yang sugeh nanging gemedhe (kaya tapi besar kepala). Konsep
pendidikan seperti ini akan meningkatkan karakter masyarakat
Indonesia yang ketika miskin tidak menjadi terbelakang dan kaya
pun tidak menjadi sewenang-wenang dengan jabatan dan pangkat
yang dimiliki.
Zaman penjajahan menjadi cermin kita betapa pendidikan menjadi
suatu hal yang begitu sakral yang hanya bisa dinikmati oleh
kalangan bangsawan. Di masa reformasi ini, pendidikan juga masih
menjadi hal sakral yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan orang

berduit. Sehingga pepatah orang miskin semakin miskin, orang


kaya semakin kaya sangat relevan jika di kontekskan dalam
kehidupan bernegara kita saat ini. Orang yang bisa menikmati
pendidikan akan lebih punya peluang besar untuk melawan arus
globalisasi. Sehingga lagi-lagi, akses pendidikan kita masih
terbatas pada beberapa golongan. Padahal seharusnya, pendidikan
menjadi public goods yang bisa menjadi penerang bagi gelapnya
masa depan rakyat kita.
Dalam hal ini, coba kita kontekskan pendidikan ideal itu dengan
konsep Dauroh Marhalah yang dilakukan oleh KAMMI sebagai
pintu masuk menjadi anggota KAMMI. Dauroh juga bisa di katakan
sebagai salah satu instrument pendidikan karena mengandung
konsep transfer ilmu pengetahuan. Artinya, sesuai konsep di atas,
dauroh juga masuk sebagai public goods. Nah yang menjadi
pertanyaan adalah, sudahkah dauroh KAMMI mencakup semua
kalangan yang seharusnya bisa menikmati pendidikan karakter
yang di terapkan?
Keresahan ini mulai muncul karena yang saya saksikan adalah
dauroh KAMMI itu malah menjadikan KAMMI terlihat lebih eksklusif.
KAMMI yang seharusnya bisa memberikan manfaat yang besar
bagi masyarakat ternyata malah keberadaannya menjadi menara
gading di tengah realitas masyarakat kit. Apakah ini gara-gara
sistem kaderisasinya?ataukah syiar yang dilakukan tidak dengan
penuh totalitas?
Oleh karena itu, paradigma berpikir bahwa Dauroh Marhalah itu
semata-mata menjadi pintu masuk KAMMI perlu di rekonstruksi.
Bahkan saya mulai berpikir, semua orang bisa mengikuti dauroh
marhalah KAMMI. Akan tetapi, orang itu bisa menjadi anggota

KAMMI ketika sertifikasinya lolos. Sehingga orang yang ingin


mendapatan ilmu pengetahuan melalui Dauroh ini bisa tercapai
tanpa menjadi sebuah keterpaksaan menjadi anggota KAMMI.
Karena keanggotaan dalam organisasi itu seharusnya menjadi
sebuah kebebasan dari sikap seseorang.

RUMUSAN PERMASALAHAN
Mengingat pentingnya sebuah kaderisasi dalam kepengurusan
sebuah organisasi tak terkecuali KAMMI, maka konsep dauroh
yang menjadi basis ideologi dan gerakan mahasiswa perlu
dipikirkan secara matang. Beberapa permasalahan yang coba saya
angkat pada tulisan kali ini antara lain :
1. Bagaimanakah peran pendidikan dalam menjawab solusi
permasalahan bangsa?
2. Bagaimanakah esensi adanya gerakan mahasiswa dengan perbaikan
di negeri ini?
3. Apakah Dauroh KAMMI bisa menjadi forum terbuka untuk semua
kalangan menikmati pendidikan bahkan mempersatukan antar
gerakan?
4. Bagaimanakah seharusnya konsep Dauroh di KAMMI agar bisa
terintegrasikan dalam peningkatan kapasitas kader?
5. Mampukah sosok Muslim Negarawan yang dilahirkan dari dauroh
KAMMI membantu menjawab permasalahan bangsa ini?
Beberapa permasalahan di atas yang coba akan saya kaji untuk
menemukan seperti apa sebaiknya proses kaderisasi yang bisa
melahirkan sosok muslim negarawan di negeri ini.

ANALISIS PEMBAHASAN
Esensi Pendidikan Indonesia
Perbaikan bangsa ini akan bisa dilakukan dengan pendidikan yang
mengutamakan akses seluas-luasnya dan kualitas yang terjaga.
Sudah jelas dalam kontitusi Negara kita bahwa salah satu tujuan
Negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. hal itu
dilakukan melalui pendidikan. Artinya di sini tidak ada pandang bulu,
semua orang berhak memperoleh pendidikan yang baik. Bukan
hanya orang kaya saja, bukan hanya kaum bangsawan saja, tapi
semua rakyat Indonesia dari sabang sampai merauke.
Dalam UUD 1945 pasal 28C ayat (1) ditetapkan setiap orang
berhak mengembagkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia. Hak warga Negara atas pendidikan tersebut dipertegas
kembali dalam pasal 31 Ayat (1) yang menetapkan Setiap warga
Negara berhak mendapat pendidikan. Dari sini kita lihat betapa
pentingnya proses pendidikan untuk meningkatkan kualitas rakyat
Indonesia.
Kenapa Malaysia bisa semena-mena mencuri kebudayaan
Indonesia? Karena pendidikan Malaysia lebih maju dari Indonesia.
Kenapa Amerika bisa dengan mudah mengambil tambang
Indonesia melalui PT Freeeport? Karena mereka memiliki kekuatan
ekonomi sebagai daya tawar terhadap Indonesia. Indonesia seakan
sudah menjadi Negara yang tidak memiliki martabat lagi.

Rendahnya pendidikan Indonesia menjadikan bangsa ini tidak


memiliki bargain position yang tinggi di dunia internasional.
Kita tentu sering mendengar sebuah pernyataan pendidikan yang
buruk akan menghasilkan pemerintahan yang buruk dan
pemerintah yang buruk akan melahirkan sistem pendidikan yang
buruk juga. Kalimat ini mungkin sudah terlalu sering terlontar tanpa
ada pemecahan masalah yang konkret. Sekarang lah saatnya
masalah ini kita pecahkan melalui konsep dauroh yang akan di
kembangkan oleh rekan-rekan KAMMI. Dauroh yang ikut
membentuk karakter mahasiswa yang menjadi Director of
Change dalam perubahan yang terjadi di negeri ini. Karena dauroh
juga merupakan salah satu instrument dalam dunia pendidikan.
Munculnya KAMMI di era reformasi
Di saat kondisi bangsan ini cukup bergejolak dengan adanya krisis
ekonomi yang kemudian menjalar ke krisis multidimensional.
KAMMI lahir dengan membawa agenda reformasi para pejuang
dakwah kampus saat itu. Jaringan aktivis dakwah yang tersebar di
seluruh kampus negeri menjadikan gerakan yang dibangung pun
segera meluas menjadi sebuah gerakan besar. Aksi-aksi yang
dilakukanpun penuh totalitas dengan membawa agenda reformasi
total di negeri ini. Konsolidasi pun di banging dengan semua
gerakan lain untuk memberikan gebrakan besar dalam mengusung
agenda reformasi.
KAMMI yang ikut menjadi pengusung agenda reformasi tentu juga
memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengeluarkan bangsa
ini dari keterpurukan. Setelah reformasi berlangsung 12 tahun,
lantas apa yang salah ketika masih saja banyak rakyat miskin yang
sengsara dan para pejabat yang terlibat koruptor. Di sinilah peran

pendidikan yang mengajarkan kita untuk memiliki rasa empati


terhadap sesama, sikap jujur, totalitas dalam berkarya, serta
keikhlasan dalam berjuang.
Coba kita telisik apa yang masih kurang dari proses kaderisasi
yang telah di bangun oleh KAMMI. Sudahkah dauroh yang
diselenggarakan oleh KAMMI ini menjadi instrument pendidikan
yang bisa di rasakan oleh banyak kalangan? Di titik inilah saya
mencoba mengangkat ini sebagai permasalahan utama. Dauroh
KAMMI menjadi sebuah forum pertemuan semua kalangan
mahasiswa lebih mengenal ideologi KAMMI. Akankah dauroh
KAMMI menjadi pintu unutk perbaikan negeri melalui sosok muslim
negarawannya.
Esensi Dauroh KAMMI
Orientasi kaderisasi di KAMMI adalah melahirkan sosok
seorang Muslim Negarawan untuk mengisi pos-pos penting dalam
pemerintahan negeri ini. KAMMI sesuai visinya melahirkan
pemimpin-pemimpin yang tangguh berupaya bersikap bijak bahwa
kebobrokan pemerintahan yang terjadi sekarang ini harus di
selesaikan dengan upaya-upaya perbaikan dan tawaran solusi
konkret. Kebobrokan sistem pemerintahan yang terjadi sekarang ini
merupakan wajah buruk dari pendidikan yang dialami oleh para
pejabat kita. Oleh karena itulah, kemunculan KAMMI pun menjadi
jawaban untuk menjawab krisis multidimensi yang terjadi di
Indonesia dengan mencetak para muslim negarawan.
Ada banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa KAMMI
menggagas muslim Negarawan. Istilah ini bukanlah sebuah istilah
hampa tanpa makna, tapi

terlahir dalam sebuah proses diskusi

yang panjang untuk menjadi tujuan penkaderan dalam KAMMI.


Menurut Rijalul Imam, setidaknya ada empat dimensi penting
mengapa gagasan muslim negarawan muncul. Pertama, Dalam visi
gerakan KAMMI terpaparkan dengan jelas visi melahirkan
pemimpin masa depan yang tangguh di Indonesia. Naluri kita
langsung mengarah kepada sosok seorang negarawan yang
bekerja demi kepentingan bangsa dan negaranya. Jadi, adanya
tokoh-tokoh KAMMI yang menjadi pemimpin baik dalam ranah
kampus maupun masyarakat seharusnya bisa menjadi seorang
negarawan. Pemimpin yang tidak lagi berpikir hanya untuk
menyelamatkan kepentingan pribadi maupun golongan, tapi
kepentingan bangsa dan Negara.
Kedua, Al-Quran juga mengapresiasi sosok ideal yang dapat
memimpin dirinya sendiri dan masyarakat. Setidaknya, seorang
kader KAMMI itu memiliki beberapa kualitas inti yang di idealkan AlQuran.Tradisi pengetahuan yang kuat yang merujuk pada sosok
Nabi Yahya a.s yang memulai risalahnya dengan tradisi membaca
yang tekun.Mentalitas yang kuat merujuk pada keberanian Nabi
Musa melawan tirani kekuasaan Firaun yang mengaku sebagai
Tuhan. Tubuh yang kuat merujuk pada sosok Thalut, panglima
yang berwawasan dan bertubuh kuat. Keunggulan
spesialisasi merujuk pada nabi Yusuf yang ketika ditawari menjadi
pejabat mesir, dia menaikkan bargaining position dengan
menawarkan keunggulan spesialisasinya menjadi bendaharawan.
Kemampuan kepemimpinan yang kuat merujuk pada kepemimpinan
nabi Daud a.s yang amat taat pada Allah dan memilikii kekuatan
besar dalam memimpin. dan yang terakhir adalahperformance yang
kuat merujuk pada keperkasaan Jibril.

Dimensi ketiga dalam realitas sosial politik, kita membutuhkan


seorang pemimpin yang muslim negarawan dalam menjawab
permasalahan bangsa ini. Muslim yang tidak hanya sibuk dengan
dirinya tapi juga mengurusi umat dan bangsa ini. Begitu pula
negarawan yang tidak hanya disibukkan dengan tugas
kenegaraannya, tapi juga memiliki karakter kepemimpinan islami
yang menegakkan ajaran Islam di negaranya.
Keempat, konstitusi UUD 45 telah menerangkan kepada kita akan
tugas dan tujuan Negara. KAMMI sebagai salah satu
gerakan mahasiswa tentu saat ini belum diberikan amanah untuk
mengurusi rakyat dan Negara, tapi bagaimana ke depannya
KAMMI memiliki tanggung jawab untuk melahirkan sosok mulim
negarawan yang akan mengurusi bangsa ini.
Di negeri ini, kita sering mendengar dikotomi kekuasaan politik
antara island an nasionalis bahkan ada yang tengah-tengah.
Bahkan ada klaim bahwa yang bisa memimpin Negara hanyalah
seorang negarawan dan seorang muslim cukup untuk belajar dan
mengajarkan Islam. Padahal orang yang mengaku negarawan itu
juga muslim. Kalo kedua konsep ini digabungkan, tentu akan bisa
menjadi kekuatan besar dalam kemajuan Indonesia.
Konsep Dauroh
Mengacu pada tujuan dauroh di atas yang di integralisasikan dalam
konsep sosok negarawan, lantas konsep dauroh seperti apa yang
ideal untuk mencapai tujuan di atas?

Pertama, paradigma Dauroh Marhalah yang menjadi pintu


masuknya mahasiswa ke dalam gerakan KAMMI harus sedikit di
modifikasi. Tanggapan dari mahasiswa bermacam-macam ketika
mereka di ajak mengikuti DM1. Ada yang mau mengikuti DM1, tapi
tidak mau menjadi anggota KAMMI. Saya asumsikan pemikiran ini
muncul karena mahasiswa yang kadang dikategorikan bukan
kader merasa KAMMI itu sangat eksklusiv dengan sistem
pengkaderannya. Padahal, di dalam DM1, kita di ajarkan banyak
ilmu-ilmu dasar islam dan politik. Nah, apakah ilmu ini hanya bisa di
dapatkan oleh orang yang mau masuk KAMMI? Lantas bagaimana
dengan orang yang meu belajar tetapi tidak mau masuk KAMMI?
Kita kembalikan ke konteks esensi kaderisasi yang dibangun oleh
KAMMI. Targetan dalam proses kaderisasi ini adalah penyebaran
fikroh muslim negarawan, bukanlah hanya sarana rekruitmen kader.
Ketika kita hanya berpikir bagaimana menambah kader sebanyakbanyaknya melalui DM1, maka sudah ada paradigma yang salah
oleh kader KAMMI. Paradigma yang harus di bangun adalah DM1
itu bagian dari pendidikan yang harus bisa di akses seluas-luasnya
oleh siapapun itu. Bahkan, ketika kader gerakan lain baik itu HMI,
GMNI, FMN, dan sebagainya mau ikut DM1 bukankah itu sebuah
kemajuan? Mereka aktif di gerakan mereka masing-masing dengan
membawa fikroh Muslim Negarawan.
Artinya, DM1 tidak lagi menjadi pintu masuknya kader ke dalam
KAMMI, tapi menjadi sarana berbagi fikroh ke semua kalangan
mahasiswa, baik yang mau masuk KAMMI ataupun tidak.
Pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana seseorang bisa di sebut
kader KAMMI? Keanggotaan di KAMMI bisa di mulai ketika dia

lolos sertifikasi AB1. Karena fenomena yang ada, kita sering kali
bangga dengan klaim banyaknya kader KAMMI dari banyaknya
yang ikut DM1, padahal sebagian besar dari mereka kecewa
dengan sistem yang ada di KAMMI sehingga memutuskan unutk
tidak lagi mau peduli dengan KAMMI. Seberapa banyak kader yang
ikut turun ketika KAMMI melakukan aksi?hanya segelintir saja. Jadi,
keanggotaanpun menjadi berkualitas dan berdasarkan kepahaman
akan pentingnya mereka di KAMMI.
Kemudian, selain sistem tersebut, materi-materi dalam dauroh pun
perlu diperhatikan. Kader perlu dipahamkan akan pentingnya ruh
historis dari pergerakan lahirnya KAMMI. Banyak kader yang
ahistoris dengan sejarah lahirnya KAMMI. Lagi-lagi kata bung karno
yang sangat menggugah kembali terngiang dengan JAS
MERAHnya (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Dengan
memahami sejarah, rasa kecintaan terhadap KAMMI pun akan
semakin kuat dengan memahami perjuangan heroik yang dilakukan
oleh pelopor KAMMI. Nuansa perjuangan pun akan menjadi
semangat baru dalam berjuang di era KAMMI saat ini.
Selain itu, kader perlu di dekatkan dengan realitas yang ada di
masyarakat. Seringkali kader terkungkung pada basis dialektika,
tetapi lumpuh ketika harus terjun pada ranah realitas di masyarakat.
Jadi, dari awal kader sudah dibiasakan untuk menyelesaikan
problema yang ada di masyarakat. Militansi kader teruji ketika
mereka aktif dalam menghadapi problema di masyarakat. Intelegsia
muslim negarawan pun bisa lahir dari dalam rahim kadersisasi
KAMMI yang tidak lagi menjadi sebuah angan dan cita-cita. Insya
Allah.

KESIMPULAN
Pendidikan menjadi suatu hal yang sangat esensil dan sakral
bagi pembangunna di Indonesia.Melalui pendidikan, harkat dan
martabat bangsa di mata internasional pun bisa semakin tinggi.
Oleh karena itu, jika ingin memperbaiki pemerintahan ini, maka
perbaikilah sistem pendidikan yang ada. Pendidikan yang bisa
dinikmati oleh semua kalangan masyarakat dengan kualitas yang
baik. Sudah saatnya pemerintah dapat fokus pada pendidikan,
sehingga tidak ada lagi rakyat yang tidak bisa menikmati
pendidikan.
Mengacu pada pentingnya esensi pendidikan tersebut, KAMMI
sebagai salah satu gerakan mahasiswa besar di Indonesia juga
harus mengambil andil dalam pembangunan di Indonesia.
Kaderisasi yang dibangun pun haru mulai mengarah pada
bagaimana melahirkan sosok muslim negarawan untuk mengurusi
masalah umat. Pemimpin yang memiliki tradisi pengetahuan yang
kuat, mentalitas yang kuat, tubuh yang kuat, keunggulan
spesialisasi, kemampuan kepemimpinan yang kuat,
serta performance yang kuat. Hal inilah yang harapannya bisa
menjadikan bangsa ini keluar dari keterpurukannya sehingga
memiliki martabat yang tinggi di dunia internasional.
Sosok Muslim Negarawan di atas itu tentu saja dibangun melalui
proses kaderisasi yang panjang. Dauroh Marhalah merupakan
salah satu instrument kaderisasi di KAMMI dan menjadi pintu
masuk kader di KAMMI. Akan tetap, sebagai bagian dari pendidikan,
DM1 tidak bisa di rasakan oleh semua kalangan. Sehingga ilmu
yang di berikan saat dauroh bisa dirasakan oleh sebagian besar
mahasiswa. Artinya ideologi islam pun bisa menyebar melalui
dauroh yang di bangun.Selain itu, Dauroh pun dirancang

sedemikian rupa sehingga nuansa historis dan perjuangan heroik


bisa merasuk dalam jiwa kader KAMMI.
Semoga dengan lahirnya sosok muslim negarawan ini bisa
membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya. Dan pendidikan
menjadi solusi konkret akan carut marutnya pengelolaan negeri ini.
Pendidikan karakter yang membuat rakyat miskin memiliki martabat.
Pendidikan yang mengajarkan mlarat ning ningrat, bukan sugeh
nanging gemedhe.

Anda mungkin juga menyukai