Anda di halaman 1dari 3

ESSAY

RELEVANSI NILAI KEPEMIMPINAN PROFETIK DALAM IMPLEMENTASI


PERADABAN ISLAM YANG MODERN

Ditunjau dari aspek kebahasaan, kepemimpinan dapat diterjemahkan dalam bahasa


inggris leadership, leader yang berarti pemimpin (orang yang memimpin) atau to lead yang
artinya memimpin (John Echol: 1996:351). Dalam beberapa kajian teoritis juga disebutkan
berkenaan dengan kata kepemimpinan (leadership). Hal ini juga senada apa yang diungkapkan
Said Munirrudin (2014:338) Proses mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisir untuk
mencapai tujuan. Kemudian selain itu juga mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan
antar personal yang di dalamnya setiap anggota patuh, karena mereka ingin patuh bukan karena
harus patuh.

Menurut Fadhli (2018: 121) kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang
berarti nabi atau ramalan. Karena penggunaannya sebagai kata sifat maka kata prophet tersebut
diubah menjadi prophetic supaya menjadi kata benda. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi profetik yang berarti kenabian. Namun kepemimpinan yang baik akan terasa baik dan
efektif apabila seorang pemimpin memiliki power yang efektif. Karena melalui power
seseorang mampu menggerakan, menggali visi, menginspirasi, mentransformasi, mengangkat
hati, memerintah, menghukum, membimbing. membuat sesuatu terjadi. Semua pola tersebut
akan terlaksana apabila lima power penunjang dalam prosesi kepemimpinan tersebut diraih
diperoleh. Adapun sumber power (otoritas, kekuatan, dan kekuasaan) yang dimaksud ialah:

1. Legitimasi (Positional, Legitimate Power): menjadi pemimpin karena jabatan.


Seorang raja tau presiden memiliki kekuasaan begitu besar untuk mengatur
sebuah bangsa, karena ia secara politis telah ‘sah’ meraih kekuasaan, seperti
melalui kesepakatan atau pemilu.
2. Paksaan (Coercive Power): menjadi pemimpin karena punya kekuasaan untuk
menghukum bahkan menghakimi.
3. Imbalan (Reward Power): menjadi pemimpin karena kekayaan. Contoh dalam
peristiwa seorang majikan mampu menguasai orang-orang miskin untuk
mrnjadi pembantu di rumahnya, karena punya uang untuk membayar mereka.
4. Kepakaran (Expertise Power): menjadi pemimpin karena pengetahuan dan
kecakapan.
5. Akhlakul Karimah (Referent Power): menjadi pemimpin karena memiliki
akhlak batin (kepribadian) dan akhlak zahir (perbuatan). Secara personal pada
dirinya memiliki kualitas-kualitas yang menjadi contoh moral. (Said
Muniruddin. 2014:345).

Relevansi Nilai Kepemimpinan Profetik Terhadap Peradaban Islam yang Modern

Dalam kepemimpinan profetik tentu tidak terlepas dari sifat Shidiq, Tabligh’, amanah,
fathonah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW menjadikan kepemimpinan Profetik terlihat
baik dalam tata kelolanya. Ada beberapa tipe-tipe kepemimpinan profetik yang dibawa Nabi
Muhammad SAW.

1. Kepemimpinan Otoriter
Tipe kepemimpinan otoriter menggambarkan pemimpin yang mendikte,
membuat keputusan sepihak dan membatasi partisipasi bawahan. Perwujudan
kepemimpinan otoriter Nabi Muhammad terlihat dalam sikap tegas beliau saat
menghadapi orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan
petunjuk dan tuntunan Allah. Dalam melaksanakan aturan yang telah
diperintahkan dan diwahyukan ada beberapa ibadah yang tidak dapat ditawar-
tawar seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Dalam konteks pernyataan diatas, nabi Muhammad SAW pernah
melakukan tindakan otoriter. Namun tindakan tersebut menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi seperti contoh sikap tegas nabi Muhammad SAW dalam
memberikan hukuman kepada kaum kafir dengan cara langsung
menghukumnya tanpa adanya musyawarah. Sehingga hukuman yang diberikan
atas kesalahan kaum kafir tersebut harus terlaksana. Selain itu juga dalam hal
ibadah nabi Muhammad SAW juga tidak bisa untuk di tawar, contohnya ibadah
yang masuk ke dalam rukun islam seperti shalat, zakat, dan puasa. Namun
realitanya banyak pemimpin di era saat ini tidak memberlakukan hukum secara
tepat., sehingga tindakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin tidak adil.
Untuk mencapai peradaban islam yang modern diperlukan sifat yang
adil dan tegas bagi seorang pemimpin. Jika rasa keadilan tidak ditegakkan
makan akan runtuhlah aturan hukum yang sudah dibuat, sehingga menyebabkan
rakyat yang dipimpinnya tidak mempercayai dia selaku pemimpinnya. Hal
tersebut bisa di antisipasi apabila seorang pemimpin tetap berpegang teguh
terhadap pedoman hidupnya yaitu al-quran dan hadits.

2. Kepemimpinan Laissez Faire


Tipe kepemimpinan laissez faire menggambarkan pemimpin yang memberikan
kesempatan pada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan
pekerjaan atau masalah dengan cara apa pun yang menurut mereka pantas
(Robbins, 2014:149). Dalam menyeru umat manusia terlihat kepemimpinan
Nabi Muhammad yang bersifat laissez faire. Beliau tidak memaksa seseorang
dengan kekerasan. Dalam dakwahnya setiap manusia diberi kebebasan dalam
memilih agama yang dipeluknya. Beliau hanya diperintahkan Allah SWT untuk
memberikan seruan dan peringatan kerugian bagi yang sombong dan angkuh
menolak, serta seruan keberuntungan bagi yang mendengar seruannya. Apabila
ada yang menolak beriman kepadanya, beliau tidak memaksanya namun tetap
memberi peringatan kepada mereka (Siti Zulaikha, 2005:56). Melalui tipe
kepemimpinan laissez faire yang diterapkan, Nabi Muhammad berusaha untuk
menumbuhkan tanggung jawab dari pribadi masing-masing.
Dalam pernyataan diatas kepemimpinan Laisses Faire bisa mendorong adanya
perubahan pada peradaban Islam Modern. Kepemimpinan pada saat ini masih
banyak yang tidak memberikan kesempatan kepada anggota kelompok atau
organisasinya dalam menyelesaikan suatu perkara. Sehingga muncul adanya
tindakan memboikot pemimpinnya.

3. Kepemimpinan Demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis menggambarkan pemimpin yang melibatkan
bawahan dalam membuat suatu keputusan, mendelegasikan wewenang, dan
mengunakan umpan balik untuk melatih bawahan. Kepemimpinan Rasulullah.
yang bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan beliau menyelenggarakan
musyawarah, terutama jika menghadapi masalah yang belum ada wahyunya dari
Allah SWT. Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat,
bukan saja dinyatakan dalam sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik
kepemimpinannya. Musyawarah dijadikan sebagai sarana tukar menukar pikiran
dan di dalamnya masing-masing orang dapat mengemukakan pendapatnya serta
menyimak pendapat orang lain (Siti Zulaikha, 2005:60).

Anda mungkin juga menyukai