Anda di halaman 1dari 3

CATATAN OBJEKTIF KOMISARIAT

Oleh:
Wisnu Aditya Pratama
Untuk memulai catatan objektif komisariat dewasa ini, yang perlu untuk saya
katakan adalah bahwa kita mesti jujur sekaligus memberikan jalan keluar terhadap
problematika yang terjadi di Komisariat. Bahwa internalisasi nilai-nilai Ke-Islaman
dan Ke-Indonesian berikut paradigm PMII belum terselenggara secara baik.
Sekalipun kemudian dilaksanakan, tetap saja konsistensi belum dapat di jaga.
Dilain sisi, factor eksternal juga sangat mempengaruhi kondisi objektif internal
komisariat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya opini-opini yang berkembang di
masyarakat bahwa PMII adalah organisasi yang cenderung “apatis” terhadap
kondisi aktual bangsa saat ini.

Bicara soal kondisi objektif komisariat, tentu tidak terlepas dari proses tumbuh
kembangnya kaderisasi, baik formal, informal maupun non formal, dan persoalan
tersebutlah yang dewasa ini terjadi pada Komisariat asal saya, yaitu Komisariat
Perguruan Tinggi Al-Khairiyah Citangkil, Cabang Cilegon.

Tentunya kita tau bahwa kaderisasi menjadi faktor yang sangat vital dalam
proses organisasi, rasanya tanpa kaderisasi, PMII menjadi organisasi yang
terbelakang. Oleh sebab itu, yang patut kita perhatikan betul adalah kaderisasi.
Kurang lebih itulah yang terjadi dalam internal Komisariat Perguruan Tinggi Al-
Khairiyah Citangkil.

Yang kedua, persoalan kepemimpinan yang memiliki peran penting dalam


organisasi. Kebijakan pemimpin dalam organisasi adalah penentu bagi berjalannya
kaderisasi. Sehingga antara kepemimpinan dan kaderisasi merupakan dua hal yang
berbeda namun saling berkesinambungan. Berikut uraian kongkrit terkait kondisi
objektif.

Masalah Kaderisasi Di Komisariat Beserta Solusi

Masalah kaderisasi yang ada di komisariat hari ini sepanjang perhatian saya,
bahwa komisariat dalam hal ini sebagai ujung tombak kaderisasi masih belum
maksimal dalam menjalankan visi organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari para
anggota dan kader yang mengalami defisit kebanggaan terhadap organisasinya
sendiri, senada dengan itu, mereka juga tidak begitu memahami nilai-nilai yang
terkandung di dalam PMII sebagai refleksi dari implementasi ke-organisasian.

Secara kaderisasi formal semacam MAPABA, pada tahun 2017 lalu,


Komisariat Perguruan Tinggi Al-Khairiyah Citangkil memecahkan kebuntuan
dengan merekrut sekurang-kurangnya sekitar tiga puluh anggota baru selama dua
kali MAPABA (sekiranya bagi ukuran Cilegon, angka tersebut termasuk relatif
besar). Memang, jika ingin dibandingkan pelaksanaan kaderisasi formal lebih
relatif sulit daripada kaderisasi non formal.Hal demikian tidak ditinjau dari segi
teknisnya, melainkan dari proses konsolidasinya. Bahwa mengumpulkan anggota
dan kader untuk mengikuti sebuah agenda dipandang (setidaknya menurut saya)
lebih sulit. Apalagi tenggang waktu dari kaderisasi formal menuju kaderisasi non
formal di laksanakan agak lama.

Bahwa secara Terang saya katakana bahwa proses follow up yang menjadi
upaya pengembangan basis intelektual anggota dan kader belum maksimal, yang
sebenarnya merupakan efek domino dari faktor”defisit kebanggaan”tadi.

Sehingga dalam kesempatan ini saya merasa perlu untuk memberikan solusi
terhadap persoalan tersebut.

Pertama, persoalan tersebut berangkat dari penyusunan format kepengurusan


Komisariat. Dimana tiap-tiap kader yang ditempatkan pada posisinya sebagai
pengurus seyogiyanya memahami kinerjanya sesuai dengan jabatan yang di
emban. Seragam dengan Problematika tersebut, secara terbuka dapat saya katakan
sebagai asumsi bahwa yang menjadi jantung persoalan terletak dari bidang Kajian
Komisariat, bagaimana bisa kader yang domainnya bukan pada soal kajian, yang
diperparah dengan mereka yang belum melek literatur (yang menjadi fondasi
kajian) ditempatkan pada posisi yang bertentangan dengan basis pemikirannya.
Sehingga apabila upaya resafel dianggap terlalu ekstrim, maka pengalihan tupoksi
kinerja yang perlu untuk dilakukan. Contohnya, pengurus sebenarnya punya
kemampuan untuk mengakomodir kajian Komisariat bisa untuk secara sadar
mengalihkan perhatiannya untuk turut membantu terlaksananya kajian dan follow
up. Lebih dari itu kader dan anggota, khususnya para pengurus Komisariat mesti
(wajib) mendalami produk hukum PMII berikut stratak kaderisasi yang telah
dikodifikasi secara terarah didalam AD/ART dan Peraturan Organisasi, kalau
dimungkinkan perlu juga untuk memahami secara kontekstual berdasarkan kondisi
lokal Komisariat untuk kemudian disesuaikan dengan format yang telah dirancang
secara berkelanjutan oleh struktur organisasi di atas semacam Pengurus Cabang
(PC), Pengurus Kordinator Cabang(PKC) dan juga Pengurus Besar(PB).
Mengutip pendapat beberapa pendahulu Komisariat dalam menyikapi
fenomena kepemimpinan Komisariat hari ini, bahwa Ketua Komisariat hari ini
secara filosofi tidak memiliki karakter kepemimpinan, walaupun pendapat tersebut
bisa dikatakan hanya sebuah asumsi, saya cenderung sepakat.

Lebih spesifik dapat dibaca bahwa kepemimpinannya sekarang mengalami


dilema, singkatnya apa yang menjadi prioritas (preferensi). Sebab, selain Ia sebagai
Ketua Komisariat, Ia juga sedang menjalankan tugas akhir(skripsi), artinya yang
dipersoalkan adalah soal manajemen waktu yang Ia jalani secara stimulan.

Selain kepemimpinan ditafsirkan sebagai kepala, didalam internal Komisariat,


kita memiliki penafsiran sendiri terkait posisi kepemimpinan di dalam organisasi.
Berangkat dari beberapa fakta yang terjadi di internal Komisariat membuktikan
bahwa seorang pemimpin lebih cocok ditempatkan (analogi) sebagai pinggang. Ia
harus menginduksikan dirinya kebawah, artinya tidak mesti melulu mengkonsolidir
dirinya untuk menyambung koneksi ke atas, ke senior dst, dan untuk
menyeimbangkan pola kaderisasinya, Ia juga mengindusikan dirinya untuk
memperhatikan pola serta konsepsi kaderisasi internal, yang pada gilirannya akan
menjadi dasar implementatif.

Anda mungkin juga menyukai