Anda di halaman 1dari 32

KEIMANAN, KEISLAMAN

DAN KETAKWAAN
Pertemuan 1

Pengertian Iman
Iman secara lughawi berasal dari kata
aman,
yakni
ketenangan
atau
ketentraman hati ketika orang tersebut
percaya terhadap kekuatan gaib,
terutama Tuhan dzat yang mencipta dan
mengatur alam.
Al-Mumin ialah orang yang memiliki
kepercayaan terhadap setiap perkara
yang wajib ia percayai.

Iman sebagai institusi agama, adalah bagian


pokok dari agama itu sendiri, yaitu bentuk
kepercayaan tertinggi dalam agama, yakni
sesuatu yang diakui sebagai benar, seperti
rukun iman yang enam.
Iman sebagai sikap jiwa, merupakan anak
kunci pintu pembuka pustaka kebenaran, yaitu
sikap jiwa mempercayai dan menerima
sesuatu sebagai yang benar, yaitu sikap jiwa
sami,na wa atha,na.

Memaknai Konsep Tauhid


Rumusan kesatuan respon ilahi atas manusia
ada dalam gugusan tauhid pada hakekatnya
adalah tindakan menciptakan keadilan dalam
sistem bermasyarakat. Bukan pengakuan
formal dan percaya adanya Tuhan YME.
Alasannya: a. Secara primordial manusia
sudah bersyahadat semasa dalam kandungan
(al-Araf 172) karena Tuhan telah memberikan
potensi luhur dalam diri manusia untuk dapat
mengenalnya.

b. Tuhan Maha Besar tidak butuh pengakuan,


manusialah yang membutuhkan-Nya, maka
rumusan tentang Tuhan yang dilakukan
manusia, hanya menjadikan Tuhan itu
kurang tidak lengkap.
c. Tuhan itu sebagai entitas independen, tidak
terkena distorsi atas perumusan yang
berbeda-beda yang dilakukan manusia.
Jadi
fungsi
perentah
Tuhan
untuk
mengesakan-Nya adalah untuk menciptakan
keadilan dan melawan penindasan (Thoghut)

Karena respon Ilahi itu untuk manusia, maka


yang diperlukan dalam kerangka Tahuhid itu
adalah mengabdi kepada Tuhan dalam
pengertian berbuat baik, berbuat keadilan,
kesetaraan
dan
keseimbangan
untuk
menghilangkan bentuk-bentuk penuhanan
(kekuasaan)
yang
digunakan
untuk
menciptakan mekanisme penindasan.
Banyak ayat pengesaan terhadap Tuhan
diikuti untuk melawan penindasan, atau
semacam Thoghut (Az-zumar ayat 17, An-nahl
ayat 36)

Pengertia Islam

Islam dari asal kata assalmu, Assalaamu, dan


Assalamatu yang berarti bersih dan selamat dari
cacat lahir dan batin.Dalam hubungan horisontal harus
saling menyelematkan satu dengan yang lain.
Islam dari asal kata Assilmu yang berarti perdamaian
dan keamanan. Dalam hubungan dengan diri
menimbulkan kedamaian dan ketenangan batin
Islam dari asal kata Assalamu yang berarti
menyerahkan diri, tunduk dan patuh (Al-Istislaam).
Dalam hubungan vertikal manusia mesti berserah diri
kepada Tuhan.

Dalam al-qur,an disebut lawan dari


Syirik(Al-An,am 14), lawan daripada
Kufur (Ali Imran 80), dalam arti sama
Ikhlas kepada ALLah(An-nisa, 125) dan
dalam arti tunduk dan patuh kepada
Allah (Az-zumar 54).

Visi Agama Ibrahim: Jalan Spiritual


Al-Hanifiyyah (Al-Islam)

Agama Ibrahim disebut millah Ibrahim yang


bermakna sebagai keteguhan hati dan
kepercayaan adalah millah yang hanif.(disebut
empat kali: Al-Baqarah:135, Ali Imran:95, Annisa:125, dan An-nahl:123).
Dalam ayat diatas kata hanif dimaknai yang
sejujur-jujurnya, lurus dan cenderung pada
kebenaran. Dan semuanya diikuti dengan
kata Ibrahim tidaklah termasuk orang yang
mempersekutukan Tuhan, sebagai keyakinan
yang teguh.

Islam sebagai jalan Spiritual

Al-Hanifiyyah sebagai visi agama Ibrahim


mestilah dimaknai dalam konteks mengabdi
seteguhnya kepada Tuhan, dengan tidak
mempersekutukannya
dengan
apapun.
Sebagaimana masyarakat dimana Ibrahim
hidup,
pemimpin
mereka
telah
mempersekutukan Tuhan dengan ilah yang
lain, dengan membuat kreasiberhala-berhala
untuk disembah dan diabdi masyarakat dan
digunakan untuk mengekploitasi kelompok
lemah atas nama Tuhan mereka.

Ihsan: Dilihat dari Dua Perspektif

Ihsan atau kebajikan bisa dilihat dari dua


perspektif yaitu dari sisi yang menurunkan dan
dari sisi yang menemukan.
Pertama: Kebajikan itu mestilah dari Tuhan,
bukan dari entitas lain. Al-Quran menegaskan
apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah
dari Tuhanmu, dan apa saja keburukan yang
kamu peroleh adalah dari tanganmu sendiri
(An-nisa:79)
Kalau dikatakan kebajikan adalah kebenaran,
maka kebenaran itu kata al-Quran pasti dari
Tuhan (al-Baqarah:147)

Kedua:
Dari
sisi
yang
menemukan
kekebajikan sebagai kebenaran atau yang
memperoleh kebajikan sebagai kebenaran,
dan kemudian didikuti oleh para pengikutnya,
mestilah dikatakan dari seorang rasul (guru
moral), bukan dari siapa-siapa.
Dua argumentasi yang dapat dikemukakan: 1.
Setiap ummat oleh Allah diutus seorang
rasul(Yunus:47). 2. Setiap rasul yang diutus,
ada yang diberitakan kepada Muhammad
lewat Al-Quran ada yang tidak.(An-nisa:164)

Jadi
agama-agama
yang
mengajarkan
kebajikan, terlepas dari pemeluknya yang
didalamnya banyak pendustanya, adalah dari
seorang rasul.
Dilihat dari sisi yang menemukan: Semua
agama adalah hasil penemuan manusia, atau
hasil dari pergolakan jiwanya. Tapi dari sisi
yang menurunkan: maka semua agama
mestilah diturunkan Tuhan kepada rasul-rasulNya dimuka bumi ini.

Pandangan ini untuk menegaskan tak


ada agama yang disebut kreasi manusia
, kalau rujukan yang dipakai adalah yang
menurunkan. Sebaliknya, semua agama
adalah kreasi manusia dari pergolakan
jiwanya, kalau yang dirujuk adalah Rasul
yang melahirkan.

Kebajikan dalam Al-Quran

Dalam konteks al-quran , kebajikan disebutkan


membawahi sebagai bagian dari al-khair yang
meliputi: al-birr, al-amal ash-shalih, al-maruf, dan alkhasanat. Kesemuanya ini dilawankan dengan
perbuatan yang tidak baik dengan menggunakan
berbagai macam terminologi: al-itsmu, al-fasad atau
mufsid, al-munkarat dan as-sayyiat.
Kesemua terminologi kebajikan memiliki esensi dan
dan substansi yang sama, dimana berbuat baik
mesti ada dua entitas: mereka yang berbuat baik dan
mereka yang dijadikan sasaran kebajikan. Karena itu,
yang disebut berbuat baik bukan soal terhadap diri
pribadi, tetapi pada orang lain, kepada sesama, dan
ummat manusia.

Berbuat Kebajikan syarat mutlak


Keselamatan Beragama
Fondasi tertinggi dalam hal keselamatan
beragama, yaitu kalau orang tersebut
berbuat kebajikan, yaitu bagian dari
kewajiban sosialnya.
Ada
beberapa
argumentasi
yang
menghalangi berbuat kebajikan sebagai
icon terpenting keselamatan dalam
beragama antara lain:

1. Ada 14 Hadits shohih yang menyebutkan


bahwa orang yang masuk sorga, bukan
karena perbuatan-perbuatannya, tetapi karena
rahmat Allah. Kalu itu dipahami secara
harfiyah, sepertinya berbuat baik itu tak begitu
penting dan berguna untuk keselamatan
beragama. Maka tidak ada gunanya Tuhan
memerentahkan orang berbuat adil (Almaidah:8)), Allah melipat gandakan amal
perbuatan baik (Lukman:15), Orang berbuat
baik mendapatkan pahala ( Ali Imran:172).

Tak ada gunamya semua itu, jika hanya dikaitkan


dengan rahmat Allah, kecuali penganugrahan rahmat
Allah itu akan diberikan sesuai dengan amal
perbuatan manusia, dan inilah yang paling logis. Jadi
manusia yang berbuat kebaikan itulah yang diberi
rahmat.
2. Diktum bervariasi tentang variabel yang
menegaskan adanya keselamatan dalam al-quran.
Misalnya, iman kepada Allah, hari akhir dan berbuat
baik (tiga variabel), rukun Islam yang lima (lima
variabel) dllnya masih banyak lagi. Ayat-ayat ini mesti
dipahami ada dalam sebuah konteks.

Nah, dalam konteks inilah kita mesti mencari variabel


yang paling dasar sebagai syarat keselamatan,
sebagai batasan terpenting yang disebutkan oleh
Tuhan, dan itu adalah berbuat kebajikan.
3. Dalam upaya mencari konteks batasan yang paling
dasar inilah, kita bisa merujuk pada surat al-maun: 17 dan hadits Nabi tentang muflis: Tahukah kamu
orang yang merugi? Para sahabat menjawab: mereka
yang tidak memiliki harta dan kesenangan Rasul
membantahnya: orang yang merugi adalah mereka
yang datang pada hari akhir dengan salat, puasa dan
haji, tetapi mereka mencaci orang, merendahkan dan
memakan harta orang lain dan menumpahkan darah..

Ayat dan hadist tersebut menegaskan berbuat


kebajikan sebagai hal yang terpenting atau syarat
mutlak keselamatan dalam beragama.
4. Disebutkan juga bahwa mereka yang ingin bertemu
dengan Allah, maka jawabnya sederhana, pertemuan
itu ada dalam berbuat kebajikan (Al-Kahfi:110)
Disini menegaskan bahwa kalau hal yang bergitu
penting bertemu dengan Allah merupakan kualitas
yang begitu berharga dimata Tuhan, dan kalau
kebajikan tidak dianggap berharga, tentulah bukan
kebajikan yang dijadikan variabel dimana orang bisa
bertemu dengan Tuhan.

Kenyataannya, Tuhan memberi respons


bahwa kebajikanlah yang bisa mengantarkan
seseorang untuk melakukan pertemuan
dengan
Tuhan
dalam
arti
Tuhan
merepresentasikan
dirinya
ada
dalam
kebajikan, dan Tuhan disini adalah fakta
kebajikan itu sendiri yang harus dibela. Dan,
karenanya mereka yang berupaya mencari
ridla Tuhan, yang paling terdasar ada dalam
berbuat kebajikan

Dengan berbuat kebajikan inilah, kita


dapat membedakan siapakah mereka
yang berdusta dalam beragama dan
siapakah yang betul-betul tulus dalam
beragama (Al-Maun:1-7).

Takwa simbul kesempurnaan


beragama

Sebuah ilustrasi yang menarik tentang berbuat


kebajikan diungkapkan oleh Al-quran dengan
setting arah kiblat dimana ummat islam
menghadap ketika melaksanakan salat, yang
disebutkan dalam hadits sebagai tiang agama.
Ketika Rasulullah masih berada di makkah,
Rasul dalam melaksanakan salat selalu
mengambil posisi sebelah selatan kabah agar
dapat menghadap kabah dan ke bait almaqdis di yerussalem sekaligus.

Akan tetapi setelah Nabi berhijrah ke Madinah,


cara tersebut tidak bisa dilakukan, karena
pertentangan antara arah makkah (selatan)
dan Yerussalem (utara) dari madinah.
Kemudian Nabi punya inisiatif merubah arah
kiblat dari menghadap ke bait al-maqdis ke
kabah dengan kesadaran bahwa kabah lebih
dekat ke hati bangsa arab, lebih dari itu, dari
sudut sejarah perkembangan monoteisme,
makkah mempunyai makna yang lebih penting
daripada yerussalem, lagi pula jauh lebih tua.

Ketika Rasul atas izin dan perkenan Tuhan


merubah arah kiblat, terjadilah kegaduhan
dimasyarakat madinah, terutama masyarakat
yahudi yang melihat perubahan kiblat itu
sebagai skandal dan menunjukkan tidak
adanya kesungguhan dalam agama nabi.
Yang menarik adalah jawaban Allah melalui
firmannya dengan tegas membantah tuduhan
orang-orang yahudi mengenai makna kiblat
dalam salat, Allah berfirman:

Bukanlah kebajikan itu ialah bahwa kamu menghadap


wajahmu kearah timur atau pun barat! Tetapi
kebajikan itu ialah bahwa seseorang beriman kepada
Allah,dan kepada hari kemudian, para malaikat, kitabkitab suci, dan para nabi. Dan dia itu mendermakan
harta untuk sanak kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, orang yang dalam perjalanan, pemintaminta, dan orang yang terbelenggu. Dia juga
menegakkan salat dan melaksanakan zakat (menjaga
kesucian diri). Dan orang-orang yang memenuhi janji
jika mereka merjanji, dan orang-orang yang tabah
dalam kesusahan ataupun kemalangan, dan dalam
masa-masa sulit. Mereka itulah orang yang benar dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Surat
Al-baqarah
ayat
177
tersebut
menegaskan lambang tidaklah dimaksudkan
sebagai tujuan, firman itu mangajarkan bahwa
hakikat harus dicari, dan ditemukan dibalik
lambang-lambang
dan
bentuk-bentuk
lahiriyah. Karena itu ayat tersebut memberi
rincian tentang nilai-nilai kebajikan dan takwa
yang sebenarnya.
Nilai-nilai tersebut adalah manifestasi dari
tindakan yang disebut benar atau kebenaran,
dan atau takwa.

Takwa dalam maknanya yang serba meliputi


dan bulat, hanya dapat dipahami sebagai
kesadaran ketuhanan, yaitu kesadaran
tentang adanya Tuhan Yang Maha hadir
(Omnipresent) dalam hidup kita.
Kesadaran itu memperkuat kecenderungan
alami (fitrah) kita untuk berbuat baik
(hanifiyyah), sebagaimana hal itu disuarakan
dengan lembut oleh hati nurani atau kalbu kita.

Takwa dalam pengertian mendasar mencakup


pula sebagai kesadaran akhlaki manusia
dalam kiprah hidupnya didunia ini. Jadi ada
korelasi langsung antara takwa dan akhlak
atau budi luhur, sehingga nabi menegaskan
bahwa yang paling banyak memasukkan
seseorang kedalam sorga ialah takwa kepada
Allah
dan
budi
luhur.
Sedangkan
menyempurnakan budi luhur, ditegaskan nabi
sebagai tujuan akhir kerasulan beliau.

Sedang nilai-nilai takwa yang disebut dalam firmanNya diatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bahwa takwa mesti didasari oleh keimanan yang
konkrit dan sejati, sebagai manifestasi sebuah
kepercayaan
yang
memberi
pengharapan,
mencerahkan
dan
membebaskan
manusia
menentukan pilihan hidupnya.
2. Bahwa takwa adalah simbul dari tanggung jawab
manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tugas
suci menegakkan rasa keadilan demi kemakmuran
dan kesejahteraan bersama.
3. Takwa juga punya makna menjaga keseimbangan
dan kesinambungan hubungan vertikal (salat) dengan
yang horisontal (zakat) sebagai wujud kearifan hidup.

4. Takwa juga berarti sebuah ketabahan,


ketegaran dan kesabaran menjalani
dinamika kehidupan yang kadangkadang tidak bisa dipahami oleh
keterbatasan akal manusia, yang dalam
agama disebut juga sebagai tawakkal,
yaitu berserah diri dan bersandar kepada
Tuhan secara total.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa


takwa adalah simpul keagamaan pribadi
yang wujudnya adalah kulminasi dari
proses pencarian kesempurnaan tujuan
hidup manusia sebagai hamba sekaligus
sebagai kalifah Tuhan di bumi ini.

Anda mungkin juga menyukai