Anda di halaman 1dari 42

KERUKUNAN ANTAR UMAT

BERAGAMA
Pertemuan ke 8

ISLAM AGAMA DAMAI DAN RAHMAT BAGI ALAM

Dari namanya saja Islam seseorang dapat


memahami
bahwa
Islam
mendambakan
kedamaian.
Cukup
dengan
simbul
salam
(mengucap salam) seseorang dapat menghayati
bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya
untuk diri sendiri, tapi juga untuk pihak lain. Dengan
demikian, maka tidak heran salah satu hadis Nabi
menyatakan bahwa ciri seorang muslim: man
salima al muslimuna min lisanihi wa yadihi, siapa
yang
menyelamatkan
orang
lain
(yang
mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya
dan tangannya.

Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama


Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah,
alam dan manusia.
Alam dicipta berdasar kehendak-Nya, Semua yang
dicipta adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin
kebaikan dan keserasian itu mengantar pada
kekacauan dan pertentangan.
Makhluk hidup dicipta dari satu sumber: kami
menciptakan semua yang hidup dari air. Manusia yang
merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga dicipta
dari satu sumber yakni thin (tanah yang bercampur air)
melalui seorang ayah dan ibu sehingga manusia, bukan
saja harus hidup berdampingan dan harmonis bersama
manusia lain, tapi juga dengan makhluk hidup lainnya.

Ide dasar ajaran Islam adalah keharusan adanya


kedamaian bagi seluruh makhluk, sebagaimana firmanNya: fa in janahu lis salmi fajnah laha wa tawakkal ala
Allah, Kalau mereka cenderung pada perdamaian, maka
sambutlah kecenderungan itu, dan berserahdirilah
kepada Allah( Al-anfal 8:61).
Islam juga agama rahmat bagi seluruh alam,
sebagaimana ditegaskan dalam al-quran tujuan utama
diutusnya Rasul Muhammad wa ma alsalnaka illa
rahmatan lil alamin, tidaklah kami diutus melainkan
untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Karena Islam
juga menyarankan orang mencari titiktemu dari
perbedaan yang ada sebagai dasar kehidupan bersama
di dunia yg damai.

Titiktemu itu mesti berada pada wilayah untuk manusia,


karena respon ilahi mesti didasarkan nilai-nilai untuk
manusia, bukan untuk Tuhan. Disini agama berfungsi
sebagai tindakan sosial pembebasan, bukan berfungsi
sebagai tindakan untuk Tuhan, tetapi lagi-lagi untuk
manusia. Dari nilai-nilai ini mesti kita tolak apa yang
menjadi penghalang atas kesatuan respon ilahi itu,
seperti perbedaan yang tak prinsip, sampai perumusan
nama Tuhan sekalipun.
Kesatuan respon ilahi itu mesti ada pada kebajikan
sebab semua agama mengajarkan kebajikan yang bisa
diturunkan
dalam
memperjuangkan
keadilan,
kesetaraan dan keseimbangan.

Mekanisme mekanisme tentang konsep Tuhan,


rasul, kitab suci, dan praktek ritual adalah
mekanisme
bagaimana
manusia
mesti
menciptakan kebajikan dan harus berbuat baik di
dunia ini.
Dalam alquran, bahkan secara jelas kebajikan
ini menjadi penanda diakuinya agama-agama lain,
sebagai berikut: Tuhan sanggup menjadikan umat
manusia satu umat, tetapi Allah menjadikan mereka
banyak umat dengan asumsi agar mereka
berlomba-lomba dalam hal berbuat baik . Dan
yang terpenting: Barang siapa ingin bertemu
Tuhan-Nya, maka berbuat baiklah.

Klausul

pengakuan
Tuhan
tentang
keberagaman keagamaan dan umat, asal
mereka berbuat baik, tentu saja bukan
umat Muhammad, Isa dan Musa saja, tetapi
banyak umat, semua komunitas dimuka
bumi ini.
Oleh karena itu esensi kesatuan respon
ilahi adalah kebajikan yang ada dalam
agama-agama, maka soal memilih agama
adalah
urusan
kebebasan
manusia
memeluk agama sebagaimana al-quran
menegaskan.

TAK ADA PAKSAAN DALAM MEMILIH AGAMA


Tak ada paksaan dalam beragama, sungguh
kebenaran telah tampak nyata perbedaannya
dengan kesesatan. Maka barang siapa melawan
kekuatan setan (penindas) dan beriman kepada
Allah, maka ia betul-betul berpegang pada
pegangan yang kuat dan tak akan putus. (albaqarah 2:256).
Dalam ayat ini jelas dinyatakan bahwa tak ada
paksaan dalam memeluk komunitas agama,
khususnya dalam konteks ini adalah Islam. Makna
ini dapat dilihat dari sebab turunnya ayat ini, terkait
dengan kasus seorang anshar.

Seorang laki-laki Anshar dari bani Salam bin Auf


memiliki dua anak, dan keduanya beragama
Nasrani. Lelaki Muslim itu berkata kepada
Nabi:Sungguh saya telah memaksa pada kedua
anak saya, tapi keduanya tetap memeluk agama
Nasrani, maka turunlah ayat 256 surat al-baqarah
tersebut.
Jelas hal ini sebuah kasus yang amat penting, yang
justru terjadi di masa Nabi. Dari situ terlihat bahwa
Nabipun tak memaksakan komunitas agamanya
untuk dipeluk orang Nasrani.

Yang jelas pemaksaan agama dan pemaksaan untuk


memilih agama, kenyataannya sangat dikecam oleh alquran. Al-quran sangat bervisi pluralis, dan disinilah
sukar diingkari bahwa pemilihan agama adalah bagian
dari kebebasan seseorang.
Al-quran juga sangat elegan memberikan sikap pada
agama lain, dengan memberikan kebebasan pada
agama lain; bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Selengkapnya dalam surat al-kafirun diungkapkan:
Katakanlah (Muhammad): Hai orang kafir, saya tidak
akan menyembah Tuhan yang engkau sembah. Engkau
juga tidak akan menyembuah Tuhan yang saya sembah.
Dan aku tidak menyembah seperti cara kamu
menyembah, dan kamu juga tidaklah menyembah
seperti caraku menyembah. Bagimu agamamu dan
bagiku agamaku.

Al-quran membebaskan untuk memeluk agamanya


sendiri-sendiri dalam konteks orang kafir Mekkah
belum melakukan kekerasan fisik dan pengejaran
kepada Nabi Muhammad. Tapi Nabi mengecam
mereka karena agama ini digunakan untuk
melegimitasi penindasan terhadap orang-orang
miskin.
Ada tiga hal yang sangat penting yang dilakukan
Muhammad dalam visi kebebasan memilih agama.
Satu, Muhammad hidup dan diasuh oleh mereka
yang tidak mengikuti ajaran Muhammad dan juga
tidak menentang ajaran Muhammad. Dia tak lain
adalah pamannya sendiri yang banyak membantu
perjuangannya.

Kedua, Muhammad minta bantuan penguasa ethiopia


yang nota bena beragama kristen, bernama Negus. Hal
ini terjadi ketika Muhammad mendapat tekanan fisik dari
kafir Mekkah. Dari kasus Negus ini, jelas Muhammad
juga tak apriori terhadap agama lain.
Ketiga, Ketika di Madinah Muhammad membuat
perjanjian yang dengan jelas memberi pengakuan atas
agama-agama lain.
Dari beberapa argumentasi inilah, secara jelas Islam
tidak mengabsahkan pemaksaan dalam memilih
komunitas agama. Pemilihan agama diserahkan kepada
masing-masing individu untuk memeluknya, atau tidak
memeluk agama formal sekalipun, sebagaimana kasus
paman Muhammad (Abu Talib).

PLURALITAS ALIRAN DAN MADZHAB


Terkait dengan pluralitas pemahaman internal
dalam ummat beragama (Islam) sejak zaman
sahabat sudah terjadi seperti antara kelompok
Umari dengan kelompok Ali ra.
Memang sejak zaman masih ada Nabi sudah ada
beda pemahaman keagamaan (Fiqih) antara para
sahabat, seperti tentang kasus Umar yang dalam
keadaan junub berpendapat jangan salat sampai
engkau mendapatkan air, sementara Amar bin
Yasir berguling-gulig diatas tanah. Ketika peristiwa
ini disampaikan kepada Rasulullah, Nabi berkata:
cukuplah bagi kamu berbuat demikian.

Jawaban Nabi yang terkesan netral ini, direspon para


sahabat sah-sah saja beda pemahaman dalam ber
tafaqqahu fid dieni, Seperti diketahui Umar tetap
dengan pendapatnya, sedang sahabat yang lain
memegangi dalil jika kamu tak mendapatkan air,
hendaklah tayamum dengan tanah yang baik.
Ada pelajaran penting yang dapat dicatat dari peristiwa
tersebut. Pertama, memang terjadi beda paham
diantara sahabat dalam masalah fiqh. Kedua, lewat
kekuasaan Umar menghendaki pembakuan dan
mengeliminasi pendapat yang berlainan. Ketiga, ada
sikap hiperkritis dalam menerima dan menyampaikan
riwayat. Keempat, perbedaan itu berpengaruh besar
terhadap ikhtilaf kaum muslimin.

PENYEBAB IKHTILAF DIKALANGAN SAHABAT


Sebab utama terjadinya ikhtilaf sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalahmasalah baru yang tidak terjadi pada zaman
Rasulullah Saw. Sementara setelah Rasul wafat
putuslah masa tasyri.
Muncul
dua pandangan: Kelompok pertama,
otoritas untuk menetapkan hukum Tuhan dan
menjelaskan makna al-quran dipegang ahlul bait
menurut nash rasul, karena mereka adalah
mashumun.
Kelompok kedua, memandang tak ada orang
tertentu yang ditunjuk Rasul untuk menafsirkan dan
menetapkan perintah Ilahi. Al-quran dan sunnah
adalah sumber untuk menarik hukum.

Semua

khalifah al-rasyidin termasuk


kelompok kedua (kecuali Ali bin Abi Thalib)
yang
dalam
prakteknya
banyak
menggunakan
rayu
(akal),
sedang
kelompok
pertama
lebih
banyak
menggunakan dalil naqli.
Dua cara prosedur penetapan hukum ini,
melahirkan dua madzhab yaitu madzhab
alawy dan madzhab umari yang akhirnya
mewariskan kepada kita sekarang sebagai
syiah dan ahlus sunnah.

UKHUWWAH(PERSAUDARAAN)

Makna Ukhuwwah pada mulanya berarti persamaan


dan keserasian dalam banyak hal. Ahmad Yusuf dalam
bukunya al-qiyam menjelaskan: interaksi manusia
dengan sesamanya harus didasari keyakinan bahwa
semua manusia adalah bersaudara dan bahwa anggota
masyarakat muslim juga bersaudara.
Kata akh dalam bentuk tunggal disebut 52 kali,
sebagian dalam arti saudara kandung, sebagian dalam
arti saudara sebangsa (Qs.7:65).
Ada dua macam bentuk jamak dari kata akh yaitu
ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan
dalam arti tidak sekandung dan ikhwah
yang
kesemuanya digunakan untuk makna persaudaraan
seketurunan kecuali satu ayat innama al-muminuna
ikhwah (al-hujurat:10).

MAKNA UKHUWWAH ISLAMIYAH


Menurut Quraish Shihab ukhuwwah islamiyah
berarti persaudaraan yang bersifat islam atau
persaudaraan secara islam, yang menurut beliau
tercermin dalam empat hal :
1.
Ukhuwwah fi al-ubudiyyah,bahwa seluruh
makhluk bersaudara dalam arti memiliki persamaan
dalam arti ciptaan dan ketundukan kepada Allah.
2. Ukhuwwah fi al- insaniyah, dalam arti seluruh
umat manusia bersaudara, karena mereka
bersumber dari ayah dan ibu yang satu.

3. Ukhuwwah fi al-wathaniyah wa al-nasab,


persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan
seperti yang diisyaratkan ayat wa ila ad akhahum
hud, dan lain-lain ayat.
4. Ukhuwwah fi din al-Islam, persaudaraan antar
sesama muslim, seperti bunyi surat al-ahzab 33:5
fa ikhwanukum fiddini wa muwalikum.
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti
luas atau sempit adalah persamaan, semakin
banyak
persamaan
semakin
kokoh
pula
persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita
merupakan faktor dominan yang mendahului
lahirnya persaudaraan hakiki.

Keberadaan

manusia sebagai makhluk


sosial, perasaan senang dan tenang ketika
berada dalam lingkungan sosialnya, dan
dorongan
kebutuhan
ekonomi,
juga
merupakan faktor penunjang lahirnya rasa
persaudaraan
itu.
Islam
datang
menekankan
hal-hal
tersebut
dan
menganjurkan untuk mencari titik temu (ali
Imran:64, saba:24-25).

KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWWAH

Para Ulama telah mengenalkan konsep dasar


pemantapan
ukhuwah
menyangkut
perbedaan
pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
1. Konsep tanawwu al-ibadah, yaitu pengakuan adanya
keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam bidang
pengamalan agama, yang mengantarkan pengakuan
akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama
merujuk pada Rasulullah.
2. Konsep al-mukhtiu fi al-ijtihad lahu ajr (yang salah
dalam ijtihadpun mendapat pahala). Ini berarti selama
seseorang mengikuti pendapat ulama, ia tidak berdosa.
Soal siapa yang menentukan salah atau benar, itu
bukan wewenang makhluk, tapi hak preogatif Tuhan.

3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid


(Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum
upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid), ini
berarti hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil
ijtihadnya berbeda-beda.
Memang
al-quran dan hadis tidak selalu
memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak.
Yang mutlak adalah Tuhan dan firmannya, sedang
interpretasinya sedikit sekali yang bersifat pasti
ataupun mutlak, bahkan hampir tidak ada.

Oleh karena itu ulama dahulu sering bersikap


rendah hati dengan menyebutkan pendapat kami
benar, tapi boleh jadi keliru, dan pendapat anda
menurut hemat kami keliru, tapi mungkin saja
benar. Menghadapi teks-teks wahyu mereka
menyadari keterbatasannya sebagai manusia, tak
mungkin seseorang mampu menguasai atau
memastikan bahwa interpretasinya yang paling
benar.
Oleh karena itu dalam praktek seorang muslim
harus selalu melakukan islah ketika terjadi
perbedaan/perselisihan dalam pengamalan agama.

KASUS FATWA SESATNYA AHMADIYAH


Dasar yang digunakan MUI adalah ijma para
Ulama se dunia atas ajaran Ahmadiyah yang
mengakui adanya kenabian setelah kenabian
Muhammad Saw, yaitu Nabi Mirza Ghulam Ahmad.
Sehingga Ahmadiyah di anggap telah menodai
kesucian aqidah Islam dan diputus sebagai ajaran
yang sesat dan menyesatkan, karena bertentangan
dengan aqidah Islam yang menetapkan bahwa
Muhammad sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah.
Dasar Ijma Ulama tersebut adalah surat al-ahzab
ayat 40 ma kana muhammadun aba ahadin min
rijalikum wa lakin rasulullahi wa khatamin nabiyyin

Muhammad itu bukanlah ayah dari siapapun


diantara seorang laki-laki, tetapi Dia adalah utusan
Allah dan penutup atau pengabsah nabi-nabi.
Penggunaan kata khatam dalam bahasa arab
memiliki arti: cincin pengesah dokumen dan
penutup, bahkan ada yang memaknai memulai.
Jika menggunakan
makna pengabsah, maka
Muhammad adalah pengabsah para Nabi,
Muhammad menjadi saksi atas kebenaran para
Nabi yang menyampaikan seruan sama, yaitu
berbuat kebajikan.

Menurut Nur halik Ridwan, jika menggunakan makna


penutup, maka Muhammad adalah penutup para Nabi,
yang berarti bukan penutup para rasul, karena ayatnya
mengatakan Dia adalah utusan Allah dan penutup nabinabi. Tanpaknya ini sangat signifikan jika dihubungkan
surat yunus 10:47 yang menyebutkan bahwa setiap
umat diutus seorang rasul. Artinya masih dimungkinkan
adanya kerasulan setelah Muhammad Saw.
Jadi, kalau khatam diartikan penutup problemnya dua:
justru alquran mengabsahkan terbukanya rasul, karena
yang tertutup hanyalah nabi. Dan juga kontras dengan
diri nabi Muhammad yang disebut dalam al-quran
sebagai nabi dan juga rasul.

Apalagi

jika
dilihat
dari
makna
gramatikalnya, yaitu nabi adalah pembawa
kabar, dan rasul adalah utusan Allah,
dengan makna ini, konteks makna penutup
tidak memiliki pijakan kuat. Sebab, justru
Muhammad adalah utusan dan pengabsah
para nabi lain.
Juga, ayat ini tidak bicara dalam konteks
kenabian dan kerasulan melainkan bicara
masalah tabanni (anak angkat yang
dianggap sebagai anak sendiri). Islam
membatalkan konsep tabanni ini.

Walhasil, terjemahan khatam sebagai penutup


memiliki kelemahan mendasar, baik dari sisi
interpretasi, logika dan fenomena realnya. Oleh
karena itu ayat tersebut tidak memiliki signifikansi
ketika dimaknai dengan konsep penutup.
Sebaliknya mesti dimaknai sebagai pengabsah
atas nabi-nabi yang lain, bahkan diluar dan
sesudah
Muhammad
dalam
pengertian
gramatikalnya: utusan Tuhan dan pembawa kabar.
Persoalannya, apakah ada nabi dan rasul setelah
Muhammad Saw, adalah soal lain. Sebab hal ini
adalah persoalan seleksi sejarah, pegakuan
komunitas tertentu kepada guru moral tertentu.

SEJARAH KENABIAN MUHAMMAD

Dalam fragmen sejarah kenabian Muhammad


justru diketahui lebih dahulu oleh pendeta kristen
Bukhaira. Ketika pendeta tersebut bertemu dengan
Muhammad (saat masih umur 12 tahun) dia
mengatakan kepada Abu Thalib hati hati jaga dia
baik-baik, dia akan menjadi nabi. Dua puluh
delapan tahun kemudian, tepatnya setelah
Muhammad Saw berumur 40 tahun , sejarah
membuktikan kembali keterlibatan pendeta kristen
dalam menerangkan kenabian Muhammad. Ketika
Muhammad menerima wahyu pertama di gua hira,

Jibril datang berwujud makhluk aneh merangkulrangkul sambil berkata iqra Muhammad
menjawab aku tak bisa membaca. Muhammad
mengigil ketakutan, lalu lari keluar gua bergegas
menemui khadijah dan menceritakan kejadian
tersebut kepada istri tercintanya. Dengan tenang
istrinya menjawab: wahai suamiku kau orang baik
tak pernah menyakiti orang dan suka menolong
orang, karena itu aku yakin yang datang kepadamu
pasti bermaksud baik, besok ikutlah aku menemui
sepupuku Waraqah bin Naufal seorang kristen
yang buta. Aku mencoba mencari keterangan
tentang peristiwa yang kau alami.

Sesampainya
dirumah
Waraqah
Muhammad
menceritakan peristiwa itu secara runtut kemudian
Waraqah menjawab: yang datang kepadamu semalan
adalah Namusu al-akbar (malaikat senior), yang dulu
pernah datang ke Musa, jangan takut karena engkau
akan menjadi orang mulia. Mudah-mudahan umur saya
sampai ketika umatmu mengusir kamu, mudahmudahan saya tahu. Begitu jawab Waraqah. apakah
mereka akan mengusir saya, Tanya Muhammad
dengan nada tidak percaya, setelah mendengar
ramalan itu. Waraqah menjawab: setiap nabi akan
mendapatkan tantangan dari kaumnya sendiri, dari
familinya dan juga orang sekelilingnya.

INDONESIA NEGARA HUKUM

Setiap orang boleh tak setuju terhadap tafsir dan


keyakinan
orang
lain,
termasuk
terhadap
Ahmadiyah. Tapi dalam konteks negara hukum
seperti Indonesia, ketidak setujuan tak bisa
membenarkan tindakan penghancuran atas orang
lain. Sebagaimana madzhab-madzhab lain boleh
tumbuh dinegeri ini, selama sebuah madzhab tak
mengajarkan dan menganjurkan
tindakan
kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, maka negara harus
memberikan perlindungan kepadanya, utamanya
terhadap sekte-sekte kecil yang rentan mengalami
kedzaliman dan ketidakadilan.

PERLU DIBUDAYAKAN DIALOG DIAKAR


RUMPUT

Budaya dialog diantara umat beragama baru ada


ditingkat elit dan bersifat elitis sehingga kurang
menyentuh persoalan intinya, dan karena bersifat elitis
tidak memberi dampak yang signifikan terhadap sikap
toleran yang tumbuh dimasyarakat bawah. Oleh karena
itu perlu dikembangkan dialog dikalangan akar rumput
(masyarakat bawah).
Bagaimanapun dialog itu penting bagi masyarakat
bawah. Orang mau masuk neraka saja harus dialog
dengan malaikat ma salakakum fi saqr, qalu lam naku
minal mushallin. Ini orang sudah mati dan di neraka
saja masih bisa dialog, sedang kita masih hidup di dunia
kok sudah tidak ada dialog, kan naif.

PRINSIP TOLERANSI DALAM DAKWAH


Adanya nuansa dakwah yang menebar kebencian
dan
kekerasan
di
sebagian
masyarakat
membuktikan adanya persoalan dalam hal
memahami paradigma dan etika dakwah dalam
Islam. Maka surat al-nahl ayat 125 yang sangat
terkenal itu perlu dihayati kembali maknanya.
Ayat diatas relevan dijadikan acuan memahami
tujuan, metode sekaligus etika dakwah. Inti dakwah
sejatinya mampu menyampaikan pesan-pesan
universal agama sembari mengajak ummat untuk
memahami ajaran, tradisi dan konteks keummatan
dengan baik, tepat dan benar.

Ayat diatas turun, kata Al-Qurthubi, saat nabi


melakukan gencatan senjata dengan kaum kafir
quraisy. Pada saat itu Tuhan menurunkan
firmannya agar Nabi mengajak orang quraisy ke
jalan Tuhan dengan cara yang lemah lembut tanpa
pertumpahan darah dan kekerasan.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada empat hal
penting yang patut dijadikan etika berdakwah:
1.
Dakwah dengan hikmah, artinya hikmah
merupakan unsur determinan dan dominan dalam
dakwah. Tanpa pendekatan hikmah, dakwah tak
dapat mengungkap kebaikan dan kebenaran,
bahkan bisa menjadi pemicu tindakan anarkis.
Maka Nabi dibekali Hikmah.

MAKNA HIKMAH
Al-Zamakhsyari, menafsirkan al-hikmah pendapat
yang arif dan argumentatif diperkuat pendapat
Imam Al-Razy bahwa argumentasi dan eksplanasi
menjadi penting dalam dakwah karena dua alasan
penting yaitu: dalam rangka meneguhkan
pemahaman pada hati para pendengar dan untuk
mendebat dan mengalahkan pendapat lawan.
Tuhan membedakan makna al-kitab dengan alhikmah, maka Inbu Rusy berpendapat , bahwa
hikmah itu karib syariat, bahkan saudara
sesusuan. Jamal al-Banna menyebut akal budi.

2. Dakwah dengan nasehat yang santun (bilmauidzat al-hasanah), prinsip kedua ini lebih
merupakan metode penyampaian yang santun dan
elegan. Pentingnya metode sudah menjadi satu
kesepakan para pelaku dakwah dan pendidikan.
Prinsip ini mesti dijadikan etika yang penting dalam
dakwah.
Al-Zamakhsyari
menyebutnya sebagai pesan
dengan tujuan memberikan manfaat pada mereka.
Dakwah bertujuan menciptakan kemaslahatan,
mengajak
kepada
kebaikan
bukan
untuk
memprovokasi ummat melakukan tindakan yang
tidak sejalan dengan misi agama.

Imam al-Razy menyebutnya sebagai bentuk dalil


skunder
yang
posisinya
berada
dibawah
argumentasi yang kuat. Artinya dibutuhkan
mempertimbangkan aspek audiens dan konteks
karena setiap wilayah mempunyai lokalitasnya
sendiri. Seperti ketika Nabi berdakwah dimekah
materinya bersifat universal, tapi ketika di Madinah
beliau menyampaikan tentang syariat Islam.
3. Debat yang konstruktif dan inovatif (wajadilhum
bi allati hiya ahsan). Ini merupakan pesan untuk
menghidupkan
budaya
debat(dialog)
yang
konstruktif dan inovatif.

Berbeda dengan dakwah, maka debat merupakan


domein yang rentan dengan perpecahan, apalagi
jika itu masalah teologis dan ideologis yang
didasari klaim kebenaran. Oleh karena itu al-quran
berpesan agar debat harus konstruktif dan inovatif,
dengan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan
yang
terbaik.
Dalam
debat
harus
mempertimbangkan kebaikan, karena debat identik
dengan pertarungan dan pergulatan pemikiran
yang ingin mempertahankan posisi masing-masing.

Kata al-Zamakhsyari, debat yang kreatif dan


inovatif yaitu memilih cara terbaik dalam debat,
yang diantara cirinya identik dengan apresiasi
terhadap pendapat orang lain, lemah lembut dan
tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak
pantas, terutama kata-kata yang memancing
tindakan kekerasan. Seperti diungkapkan dalam
firman Tuhan janganlah kalian berdebat dengan
ahlul kitab kecuali dengan cara yang terbaik (alankabut 29: 46).
4.Teologi Tuhan Mahatahu atas jalan yang sesat
dan yang benar. Teologi ini merupakan puncak dari
dakwah dan debat. Yaitu sebagai cara memahami
hakekat pesan Tuhan.

Jalan munuju Tuhan harus dilakukan dengan cara


yang terbaik: argumentatif, elegan dan konstruktif.
Sebaliknya, bila dilakukan dengan serampangan,
emosional dan destruktif, maka akan menimbulkan
masalah besar, yaitu konflik sosial. Maka dari itu,
pada akhirnya dakwah dan debat harus direm
dengan sebuah pandangan teologis, bahwa Tuhan
Mahatahu dan Dialh yang menentukan hidayah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Imam
al-Razy
berpendapat,
manusia
sesungguhnya diberi tanggung jawab untuk
melakukan dakwah dan debat. Tapi perlu dicatat,
yang menentukan hidayah hanya Tuhan semata.
Karenanya, upaya menyesatkan, memurtadkan dan
mengeklusi orang dan kelompok lain karena alasan
perbedaan pemahaman merupakan sebuah
tindakan yang tidak disayangi Tuhan. Bahkan pada
tahap tertentu mereka telah mengambil peran yang
semestinya dilakukan Tuhan sebagai penentu
kesesatan dan kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai