Anda di halaman 1dari 30

Surat Berharga

BAB IX
SURAT BERHARGA
A. Uraian umum surat berharga
1. Pengertian
Untuk mengetahui arti kata atau pengertian dari surat-surat berharga, kita dapat
simpulkan dari beberapa bunyi pasal dalam perundang-undangan yang tentang surat
berharga.

Dari bunyi dapat disimpulkan, bahwa arti kata Surat-surat Berharga

adalah surat-surat yang bersifat dan mempunyai nilai seperti uang tunai dan dapat
ditukarkan dengan uang tunai.
Dapat ditukarkannya dengan uang tunai bagi suatu surat berharga terutama dikarenakan
adanya fungsi utama untuk dapat diperdagangkan dan dapat dialihkan haknya dari satu
tangan ke tangan lainnya (negotiable).
Dalam suatu surat berharga tercantum suatu jumlah tertentu dan hak atau jumlah uang
tersebut mengikuti suratnya. Ini berarti bahwa hak dan surat/kertasnya terjalin satu sama
lainnya, atau dengan lain perkataan dalam suratnya mengandung suatu hak yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Pemegang/holder dari suatu surat berharga dapat atas namanya
sendiri untuk menuntut pembayarannya terhadap penarik, asal saja surat berharga itu
diperolehnya secara jujur dan berdasarkan itikad baik. Dalam hal ini pemegang yang
jujur tidak perlu hiraukan apakah pemegang sebelumnya terdapat cacad atau tidak
dalam perolehannya.
Adapun sifat dari surat-surat berharga ialah dapat diperdagangkan dan dapat dialihkan
hak tagihannya kepada lain orang. Hal ini dikarenakan adanya klausula-klausula pada
surat-surat berharga itu yang sengaja diadakan dengan tujuan agar dapat diperalihkan
kedudukan hukum dari si pemegang surat tersebut kepada lain orang yang menerima
pengalihannya.
Menurut hukum terdapat 2 macam klausula bagi surat berharga, yakni :
Klausula atas pembawa (to bearer/aantoonder)
Klausula atas nama (to order/aan order)
Memperalihkan suatu surat berharga yang berkalusula atas pembawa, si pemegang
dapat mengalihkannya hanya dengan penyerahan surat itu begitu saja. Sedangkan bagi
93

Surat Berharga
suatu surat berharga yang berklausula atas nama (surat unjuk), maka pengalihannya
dilakukan dengan cara endosemen serta penyerahan surat berharga itu.
2. Penyerahan
Penyerahan suatu surat berharga berarti bawah semua hak atas tagihan yang
disebutkan dalam surat tersebut dialihkan kepada pemegangnya yang baru.
Setiap pemegang yang jujur dari suatu surat berharga akan dilindungi haknya oleh
Undang-undang. Ini berarti bahwa pemegang suatu surat berharga yang memperolehnya
dengan suatu titel hukum yang sah dan diperolehnya secara jujur beritikad baik, maka ia
dapat mempertahankan haknya atas tagihan yang tercantum dalam surat berharga
tersebut terhadap siapapun, bahkan bilamana dikemudian hari ternyata bahwa surat
berharga tersebut diperolehnya oleh pemegang terakhir secara tidak sah (misalnya
mencuri, menipu, memungut di jalan), si pemegang dari surat berharga yang jujur/itikad
baik, tetap akan dilindungi oleh hukum.
Perlindungan terhadap pemegang yang jujur itu dapat kita lihat dalam undang-undang
misalnya untuk wesel diatur dalam pasal 115 KUHD. Dalam pasal tersebut dikatakan
bahwa barang siapa pemegang suatu surat wesel, ia pun harus dianggap sebagai
pemegangnya yang sah, apabila ia bisa membuktikan haknya dengan memperlihatkan
suatu deretan tak terputus dari segala peng-endosemen-an surat wesel itu. Bahkan dalam
ayat 3 pasal tersebut lebih lanjut dikatakan bahwa seorang pemegang yang sah dari
suatu surat wesel, ia tidak diwajibkan untuk menyerahkan kembali surat weselnya
kepada orang yang kehilangan surat wesel tersebut, kecuali jika surat wesel itu
diperolehnya dengan itikad buruk atau suatu keteledoran yang besar.
Begitupun bagi pemegang sehelai cek atas nama orang lain yang kata-kata atau
pembawanya dicoret, iapun dianggap sebagai pemegangnya yang sah, apabila ia dapat
membuktikan haknya dengan memperlihatkan deretan tak terputus dari segala pengendosemen-an cek itu, begitupun kalau endosemen terakhir dilakukan dalam blanko
(pasal 196 KUHD). Bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa bagi pemegang sehelai cek
yang kemudian ternyata berasal dari pemegang terakhir yang menyerahkan cek itu
bukan pemegang yang sah karena diperolehnya dari penemuan di jalan, maka pemegang
dari cek itu tidak diharuskan untuk mengembalikan/ melepaskannya, kecuali jika cek itu
94

Surat Berharga
diperolehnya dengan itikad buruk, atau karena suatu keteledoran yang besar (pasal 198
KUHD).
3. Endosemen
Endosemen berarti penyerahan suatu surat atas tunjuk atau onderpapier oleh seorang
yang berhak/pemegang kepada orang lain dengan disertai pernyataan mengalihkan
haknya atas surat itu yang ditulis pada surat itu juga. Asal kata endosemen adalah
berasal dari bahasa Perancis yang berarti pernyataan yang ditulis di bagian
punggung atau belakang (endos) dari suatu surat.
Biasanya dalam dunia usaha di Indonesia sehari-hari, endosemen pada cek atau wesel
tidak disertai dengan kata-kata yang menyatakan pengalihan hak atas surat itu.
Yang biasa dilakukan disini adalah endosemen dengan cara membubuhi tanda tangan
saja oleh endosemen di bagian belakang/punggung dari surat berharga itu. Endosemen
semacam itu dalam istilah hukumnya dinamakan sebagai endosemen blanko atau
Indorsement in blank. Menurut undang-undang, kalau endosemen blanko, maka si
pemegang diperbolehkan :
a) Mengisi blanko itu, baik dengan nama ia sendiri, maupun dengan nama orang lain;
b) Meng-endosemen-kan lagi surat berharga itu dalam blanko kepada orang lain;
c) Menyerahkan surat berharga itu kepada pihak ketiga dengan mengisi blanko tadi dan
tidak meng-endosemen-kannya lagi; -- pasal 113 dan 194 KUHD.
Tiap surat berharga yang dinyatakan harus dibayar kepada orang./badan yang disebut
namanya dengan atau tidak dengan klausula atau pembawa, dapat dipindah-tangankan
kepada pihak lain dengan jalan endosemen.
Dalam suatu surat berharga, kalau kata-kata atau pembawa / atau order dicoret oleh
si penarik/penerbit, maka surat berharga itu tidak bisa dipindah-tangankan kepada pihak
lain melainkan dalam bentuk cessie biasa (penyerahan suatu piutang biasa) dengan
segala akibatnya. Akan tetapi suatu endosemen yang dilakukan dalam suatu surat
berharga yang demikian, akan berlaku sebagai cessie biasa.
Tiap-tiap endosemen yang terdapat pada surat berharga harus tidak bersyarat. Setiap
syarat yang terdapat pada suatu endosemen, oleh undang-undang dianggap sebagai tidak
tertulis. Misalnya pada suatu endosemen dinyatakan bahwa surat berharga itu baru boleh
95

Surat Berharga
dibayar kalau si pemegang telah melunasi pinjamannya kjepada si penarik. Syarat
semacam ini oleh undang-undang diannggap sebagai tidak tertulis. Hal ini adalah wajar,
oleh karena kalau setiap endosemen diperbolehkan adanya suatu syarat, maka akan
hilangkah fungsi utamanya suatu surat berharga sebagai surat yang dapat
diperdagangkan.
Dengan melakukan endosemen pada suatu surat berharga, maka segaka hak yang timbul
dari surat berharga itu akan beralih ke tangan pemegang lain. Setiap endosan menurut
undang-undang harus menanggung pembayaran surat berharga itu.
Dalam hukum surat berharga berlaku satu azas, bahwa bagi setiap pemegang suatu surat
berharga, ia harus dianggap sebagai pemegangnya yang sah apabila itu bisa
membuktikan haknya dengan memperlihatkan deretan tak terputus dari segala pengendosemen-an dalam surat itu, begitu pula sekiranya endosemen yang etrakhir
dilakukan dalam blanko. Bagi si tertarik/pembayar yang membayar surat berharga itu
yang harus ia perhatikan adalah apakah endosemen yang terdapat pada surat berharga
itu teratur atau tertib urutannya. Setelah diperhatikan keteraturan endosemen yang ada
pada surat berharga itu, harus pula diperhatikan/diketahui identitas dari pemegang
tertarik. Tentang kebenaran tanda tangan endosan-endosan terdahulu, bukan merupakan
kewajiban si tertarik/pembayar untuk menyelidikinya. Bagi tertarik/ pembayar yang
penting adalah tanda tangan endosan terakhir yang sebagai pemegang surat itu.
Macam-macam Endosemen
Endosemen ada banyak macamnya, akan tetapi yang lazim dipakai dalam dunia usaha
sehari-hari adalah endosemen khusus, endosemen blanko dan endosemen inkaso.
a) Endosemen khusus (special indorsement) adalah satu endosemen yang menyebut
nama seseorang/badan kepada siapa ia dilakukannya. Misalnya ddalam suatu
endosemen, selain tanda tangan endosan, disebut pula kata-kata kepada Tuan
Mahdi atau order. Dalam hal endosemen semacam ini, bilamana Tuan Mahdi
hendak mengalihkan surat berharga itu kepada pihak lain, maka ia diharuskan
menanda tangani sebagai endosemen guna melengkapi penyerahan surat itu (lihat
pasal 112 untuk wesel dan pasal 193 KUHD untuk cek).
Endosemen blanko (indorsement in blank) adalah satu endosemen yang tidak menyebut
nama orang/badan kepada siapa ia lakukannya. Dalam hal endosemen blanko ini,
96

Surat Berharga
endosan hanya membubuhi tanda tangannya saja di bagian belakang surat itu, atau
pada secarik kertas sambungan yang dilekatkan pada surat itu.
Adapun alasan atau ratio yang mengharuskan endosemen blanko yang berupa tanda
tangan semata-mata harus ditulis di bagian belakang surat itu, karena apabila
endosemen yang berupa tanda tangan saja ditulis di bagian muka surat itu, maka ini
akan diartikan sama dengan penanda tangan sebagai tanda akseptasi, atau hal
disetujui oleh tertarik, atau tidak berbeda dengan aval / pertanggungan oleh
seorang penanggung.
Dalam hal endosemen blanko ini, maka pemegang surat berharga itu dapat
mengalihkan dan menyerahkan kepada siapa saja tanpa diharuskan endosemen lagi
dan surat berharga itu dapat dibayarkan kepada setiap pembawanya. pasal 113 (2)
dam 194 (2) KUHD.
Endosemen inkaso adalah satu endosemen yang memuat kata-kata hanya
untuk dipungut atau untuk inkaso atau dalam pemberian kuasa, atau katakata lain yang diartikan sebagai memberi perintah untuk memungut (collect)
semata-mata. Maka oleh karena itu pemegang boleh melaksanakan semua hak
yang timbul dari surat berharga tersebut, akan tetapi ia tidak boleh mengendosemen-kan lagi kepada pihak lain, melainkan dengan cara memberi kuasa
pasal 117 dan 200 KUIHD.
4. Sebagai alat bukti dan surat legitimasi
Diterbitkannya sehelai surat berharga tentunya mempunyai latar belakang perikatan
yang menyebabkan penerbitannya. Sehingga surat itu mempunyai peranan penting
sebagai alat bukti dari perikatan tersebut yang menjadi dasar diterbitkannya surat
berharga itu. Penerbitan sehelai surat berharga hanyalah bermaksud untuk melakukan
pembayaran dari suatu hutang yang telah ada sebelumnya. Sehingga fungsi dari surat
berharga adalah sebagai alat bukti terhadap hutang yang telah ada itu. Kewajiban si
penanda tangan surat berharga itu bukan saja terhadap pemegang yang menerima
surat itu melainkan juga terhadap pemegang yang menerima surat itu melainkan juga
terhadap pemegang terakhir yang menerima penyerahan surat berharga itu secara
jujur.
97

Surat Berharga
Surat berharga selain dapat berfungsi sebagai alat bukti, juga dapat berfungsi sebagai
surat legitimasi, yaitu bagi siapa yang menguasai surat berharga itu, ia berhak untuk
meminta dipenuhi atas haknya tanpa memerlukan lagi pembuktian lebih lanjut
kepada penerbitnya. Bagi pemegang suatu surat berharga, surat itu merupakan satusatunya surat legitimasi baginya. Kalau ia kehilangan surat tersbeut, maka ia tidak
lagi dapat meminta pemenuhan kembali haknya kepada penerbitnya, kecuali dalam
hal-hal yang diatur oleh undang-undang.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, Undang-undang menganggap bahwa
pemegang surat berharga harus dianggap sebagai pemegangnya yang sah (legitimasi
formeel), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Undang-undang tidak mengharuskan
Tertarik sebelum membayar surat berharga tersebut, terlebih dahulu harus
menyelidiki apakah pemegang yang menagih pembayarannya benar-benar adalah
pemegang yang sungguh-sungguh berhak (legitimasi materieel). Karena kalau setiap
kali pembayaran suatu surat berharga diharuskan terlebih dahulu memeriksa apakah
pemegangnya adalah pemegang yang sungguh-sungguh berhak, maka ini
dikhawatirkan akan menghambat kelancaran fungsi utamanya, yakni dapat
diperdagangkan.
B. Macam macam surat berharga
1. Cek
Cek adalah warkat yang berupa perintahd ari nasabah kepada banknya yang ditanda
tangani oleh nasabah yang bersangkutan sebagai penariknya, untuk membayar tanpa
syarat suatu jumlah uang tertentu kepada suatu orang/pihak tertentu atau yang
ditunjuk olehnya, atau kepada pembawa.
Seorang atau suatu badan sebagai nasabah yang membuka suatu rekening giro pada
suatu bank, setiap saat ia dapat menyimpan ke dalam dan menarik kembali dananya
dari rekening koran yang diperlihara oleh nasabah etrsebut pada bank yang
bersangkutan. Dalam hal ini tertarik harus merupakan suatu bank. Kalau perintah
untuk membayar tersebut ditujukan kepada suatu badan atau perusahaan atau
perorangan, maka perintah untuk membayar tersebut tidak dapat dinamakan
sebagai cek
98

Surat Berharga
Menurut undang-undang. tertarik dari suatu cek dapat berupa seorang bankir dan
tidak diharuskan suatu bank. Yang dimaksud dengan bankir adalah setiap orang atau
badan yang dalam pekerjaannya secara teratur memegang keuangan guna pemakaian
segera oleh orang-orang lain. Demikian penjelasan kata bankir menurut pasal 229a
bis KUHD.
Juga dalam Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan
disebutkan bahwa suatu badan atau perorangan yang melakukan usaha serupa
dengan usaha bank, wajib menamakan dirinya bank (pasal 4).
Bilamana diteliti pada ketentuan-ketentuan yang ada, maka nyatalah bahwa yang
dapat menjalankan usaha bank hanyalah suatu badan dan bukan perorangqan.
Misalnya untuk mendirikan Badan Umum milik Pemerintah harus dengan undangundang, untuk mendirikan Bank Umum Swasta harus berbentuk Badan Hukum
(Perseoran Terbatas atau PT), untuk mendirikan Bank Umum Koperasi harus
berbentuk hukum koperasi.
Ketentuan-ketentuan mengenai cek diatur dalam Kita Undang-undang Hukum
Dagang atau dalam naskah aslinya disebut Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Khusus menegnai cek diatur dalam
Buku Kesatu Bab VII Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Kesepuluh.
a) Syarat-syarat formil
Dalam pasal 178 KUHD ditentukan syarat-syarat yang ahrus dipenuhi bagi suatu
cek dan kalau salah satu syarat tersebut dalam pasal itu tidak dipenuhi, maka
kertas itu tidak dapat diberlakukan sebagai cek.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud adalah :
1) Pada setiap cek terdapat kata cek dalam bahasa cek itu ditulisn ya
2) Perintah tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah uang tertentu
3) Nama Bank (tertarik/drawee) yang harus membayar jumlah uang tersebut
4) Penunjukan tempat dimana pembayaran harus dilakukan
5) Tanggal dan tempat penarikan cek tersebut
6) Tanda-tanda penarik (drwer)

99

Surat Berharga
Suatu cek tanpa adanya penyebutan kata cek, maka lembaran itu bukan
merupakan cek dalam arti kata menurut undang-undang. Penyebutan kata cek
(chedque clausule) harus terdapat pada setiap lembar cek. Hal ini bukan saja untuk
menunjukkan sifat dari kertas berharga itu, melainkan juga untuik membedakan
kertas berharga itu dengan kertas-kertas berharga lainnya, misalnya dengan wesel,
promissory notes.
Cek merupakan suatu perintah tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah uang
tertentu. Setiap klausula mengenai pembayaran bunga yang dimuat dalam suatu
cek, dianggap sebagai tidak tertulis. Demikian bunyi pasal 184 KUHD.
Tertarik (drawee) atau pihak yang harus membayar suatu cek haruslah suatu bank
yang mempunyai dana di bawah pengawasannya guna kepentingan penarik. Dana
menurut persetujuannya, tegas atau diam-diam, penarik berhak menggunakannya
dengan menarik cek.
b) Jumlah nominal
Dalam suatu cek harus disebutkan suatu jumlah uang tertentu dan jumlah itu
ditulis bukan saja dengan huruf selengkap-lengkapnya, melainkan juga harus
ditulis dengan angka.
Dalam hal terdapat adanya selisih antara jumlah yang ditulis dengan huruf
berbeda dengan jumlah yang ditulis dengan angka, maka yang berlaku adalah
jumlah yang ditulis dengan huruf slengkap-lengkaontya. Selanjutnya kalau dalam
sehelai cek terdapat penulisan huruf maupun angka berulang-ulang dan terdapat
selisih satu dengan lainnya, maka yang berlaku adalah jumlah uang yang terkecil.
Demikian bunyi pasal 186 KUHD.
Dalam praktek sehari-hari, biasanya kalau terdapat selisih/perbedaan dalam
penulisannya antara huruf dengan angka, maka bank pembayar (tertarik) akan
menolak cek etrsebut dengan alasan huruf dan angka berbeda. Begitupun kalau
terdapat penulisan angka berulang-ulang, maka bank pembayar juga akan menolak
pembayaran cek tersebut dengan alasan perubahan/penambahan harus ada tanda
tangan si penarik.

100

Surat Berharga

c) Tempat pembayaran
Walaupun dalam undang-undang dinyatakan bahwa setiap cek bilamana di
dalamnya tidak etrdapat salah satu syarat formil sebagaimana yang disyaratkan di
atas, maka cek itu tidak berlaku sebagai cek, akan tetapi undang-undang telah
memberikan pengecualian dalam hal tempat pembayaran sebagai berikut :
1) Apabila tempat pembayaran tidak disebutkan secara tegas, maka sebagai
tempat pembayaran dianggap tempat yang disebutkan disamping nama
tertarik/bank pembayar. Sebaliknya jika disamping mana tertarik disebut lebih
dari satu tempat, maka cek itu harus dibayar di tempat yang disebut pertama
2) Apabila disamping mana tertarik tidak disebut suatupun nama tempat, maka
cek itu harus dibayar di tempat dimana kantor pusat dari tertarik berada/kantor
pusat bank yang bersangkutan
d) Kewajiban penarik
Menurut undang-undang, setiap penarik dari suatu cek berkewajiban untuk
mengusahakan agar pada hari bayarnya, pada si tertarik (bank) telah tersedia dana
yang cukup guna pembayaran cek tersebut. Demikian bunyi pasal 190a KUHD.
Walaupun menurut Undang-undang si penarik dari suatu cek berkewajiban untuk
menyediakan dananya pada bank pembayar agar pada saat cek itu diungkapkan,
dapat dibayar oleh bank. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa dana tersebut harus
terus menerus berada atau disimpan pada bank pembayar. Si penarik hanya
berkewajiban untuk menyediakan dana dari cek yang ditariknya itu selama 70 hari
(tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal cek tersebut ditariknya. Masa 70 harua
ini adalah jangka waktu untuk meminta pembayaran dari suatu cek (persentment
for payment) kepada bank pembayar (tertarik). Bilana jangka waktu ini telah lewat
sedangkan cek tersebut belum dicairkan/diuangkan, maka penarik dari cek tersebut
sudah tidak lagi berkewajiban untujk menyediakan dananya dan ia berhak untuk
menarik kembali cek yang telah dikeluarkannya itu. Demikian bunyi pasal 209 (1)
KUHD.

101

Surat Berharga
Kewajiban lainnya dari penarik suatu cek adalah kewajiban regres (regresplicht),
yaitu menjamin pembayarannya. Penarik harus bertanggung jawab atas
pembayaran cek yang ditariknya. Setiap klausula yang bermaksud untuk
mengenyampingkan kewajiban/tanggung jawab tersebut harus dianggap tidak
tertulis/tidak ada. Pasal 189 KUHD.
e) Tenggang waktu 70 hari
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa suatu cek yang dikeluarkan ataupun
yang harus dibayar di Indonesia, harus diajukan untuk pembayarannya dalam
tenggang waktu 70 hari. Tenggang waktu berjalan mulai dari hari yang disebut
sebagai tanggal penarikannya (pasal 206 KUHD).
Jika tidak ada penarikan kembali cek itu oleh penariknya, maka bank pembayar
boleh membayar cek itu walaupun telah lewat tenggan waktu 70 hari (tentunya
setelah pemegang cek tersebut memenuhi/membayar bea-meterainya) pasal 209
(2) KUHD.
Berhubung dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa bank pembayar boleh
membayarnya (bukan wajib!), maka sebaiknya terhadap cek yang telah daluwarsa
atau lewat 70 hari (walaupun bea-meterainya telah dipenuhi), jangan dibayar dan
tetap ditolak pembayarannya dengan alasan cek telah daluwarsa. Tindakan ini
adalah untuk menghindarkan akbat-akibat yang tidak kita ingini di kemudian hari,
terkecuali apabila penarik sendiri yang menghendaki pembayarannya.
f) Cek-silang (crossed cheque)
Cek-silang atau Crossed cheque adalah sehelai cek yang diberi dua garis miring
yang sejajar pada bagian muka cek itu.
Tanda silang pada suatu cek memberi petunjuk kepada bank pembayar, bahwa cek
tersebut hanya dapat dibayar kepada sesuatu bank dan kalau nama suatu bank
disebut di antara kedua garis silang, maka hanya kepada bank yang disebut
namanya itu. Cara ini adalah untuk menjamin keamanan dari pada pembayaran
cek etrsebut. Pembawa/pemegang/holder dari cek itu tidak diperkenankan untuk
mengambil tunai dari bank pembayar. Dengan demikian cara ini bermanfaat sekali
102

Surat Berharga
untuk melindungi cek itu dari pencurian maupun kecurangan-kecurangan lainnya.
Adapun maksud dari pada cek silang/crosses cheque ialah untuk membatasi pihakpihak yang akan mempoeroleh pembayaran atas cek itu.
Ketentuan-ketentuan tentang cek silang diatur dalam Buku Kesatu Bab VII Bagian
Kelima pasal 214 dan pasal 215 KUHD.
Dalam pasal 214 ayat 2 KUHD disebutkan ada 2 macam cek silang/crossed
cheque, yakni :

Cek silang Umum (General Crossing/Algemene kruising)

Cek silang Khusus (Special Crossing/Bijzondere kruising)

1) Cek-silang Umum
Suatu cek-silang umum adalah sehelai cek yang diberi tanda berupa dua garis
sejajar pada bagian muka cek itu dan di antara dua garis itu tidak terdapat/tidak
dimuat suatu petunjuk atau nama sesuatu bank. Jadi hanya semata-mata diberi
dua garis yang sejajar saja tanpa ada suatu kata apapun.
Dalam kebiasaan sehari-hari di masyarakat kita, kadang-kadang ada orang
yang memberi tanda silang pada suatu cek hanya dengan dua coretan kecil di
bagian kanan atas muka cek itu. Kalau sepintas lalu dilihat tidak akan kita
duga adanya dua garis yang dimaksud oleh penariknya/pemegang sebagai ceksilang.
Dapatkah dua coretan kecil semacam itu diartikan sebagai tanda
silang/cross ?
Dalam pasal 214 ayat 2 KUHD dikatakan bahwa penyilangan itu dilakukan
dengan membubuhi dua garis sejajar pada belah muka dari pada cek itu.
Jelasnya yang dimaksud oleh undang-undang penyilangan itu dilakukan
dengan membubuhi dua garis sejajar dan

bukan dua coretan kecil

sebagaimana yang sering dilakukan oleh penarik/pemegang cek pada


umumnya. Lagi pula kalau hanya dengan dua coretan kecil yang
dimaksudkan sebagai tanda silang, maka bagaimana dapat menulis nama suatu
bank atau suatu perusahaan di antara kedua coretan kecil itu ?

103

Surat Berharga
Suatu cek-silang umum mempunyai akibat hukum bahwa cek itu hanya dapat
dibayar oleh bank pembayar kepada :
a) Setiap bank yang menyerahkannya, atau
b) Kepada nasabah bank pembayar yang menyerahkan cek itu.
Bagi pemegang suatu cek-silang umum yang bukan bankir atau nasabah bank
pembayar, ia hanya dapat mencairkan dananya cek itu melalui suatu bank
dimana ia menjadi nasabahnya.
2) Cek-silang Khusus
Suatu cek-silang khusus adalah sehelai cek yang diberi tanda berupa dua haris
sejajar pada bagian muka cek itu dan di antara dua garis itu terdapat nama suatu
bank.
Dalam hal cek-silang khusus, bank pembayar hanya dapat membayar dananya
dari pada cek itu kepada bank yang disebut namanya di antara kedua garis
sejajar itu. Bilamana bank yang dimaksud adalah bank pembayar sendiri, maka
pembayaran hanya dapat dilakukan kepada nasabah bank yang bersangkutan
yang menyeahkan cek-silang khusus itu.
Ada sebagian beasr orang yang beranggapan bahwa kalau suatu cek telah
diberi tanda silang/cross, baik silang umum maupun silang khusus, maka atas
cek itu tidak dapat diambil tunai dan hanya dapat dituangkan melalui kliring
atau pemindah-bukuan . Anggapan smacam ini menurut KUHD kita jelas tidak
benar dan tidak sesuai dengan maksud serta tujuan dari dibuatnya cek-silang
itu.
Adapun maksud pemberian tanda silang/cross sebagaimana telah diterapkan
di atas ialah untuk membatasi pihak-pihak yang dapat mencairkan dana atas
cek yang disilang itu. Sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil
tunai bagi suatu cek-silang. Bagi suatu cek-silang umum, maka yang dapat
mengambil tunai atas cek itu adalah setiap bank yang memegangnya, atau
setiap nasabah dari bank pembayar. Dan bagi suatu cek-silang khusus, maka
yang dapat mengambil tunai atas cek itu adalah bank yang disebut namanya di
antara kedua garis silang atau nasabah yang disebut namanya dalam garis
104

Surat Berharga
silang. Kecuali di atas tanda silang (bank umum maupun khusus) ada kata-kata
untuk rekening atau account payes, maka atas cek sialng semacam ini
tidak diperkenankan untuk diambil tunai (pasal 216 KUHD).
Biasanya pada cek-silang umum maupun silang khusus, kalau pemegangnya
adalah suatu bank dan bank yang bersangkutan bukan nasabah dari bank
pembayar, maka cek-silang itu untuk mudahnya diuangkan melalui kliring.
Sedangkan bagi cek-silang yang pemegangnya adalah nasabah bank pembayar
biaanya cek itu disetorkan ke dalam rekening nasabah yang bersangkutan dan
bilmana ia membutuhkan tunainya, iapun akan menarim lagi dananya itu
dengan menarik cek atas banknya (bank pembayar).
Siapa-siapa saja yang dapat memberikan tanda silang atau cross pada suatu
cek?
Dalam undang-undang dikatakan bahwa penarik maupun pemegang dari suatu
cek dapat memberi tanda sulang/cross pada suatu cek (pasal 214 ayat 1
KUHD).
Suatu cek dapat diberi tanda silang umum maupun khusus oleh penariknya.
Bilamana suatu cek belum diberi tanda silang/cross, maka pemegangnya dapat
menyilang atau memberi tanda cross pada cek itu dengan silang umum
maupun silang khusus. Bagi suatu cek yang telah diberi tanda silang umum,
maka pemegangnya dapat merubah silang umum itu menjadi silang khsusu
dengan jalan mengisi nama suatu bank di antara kedua garis silang itu.
Bagi suatu cek yang telah diberi tanda silang/cross, maka kita tidak dapat
menghapuskan lagi tanda silang itu. Setiap pencoretan atas tanda silang atau
pencoretan atas nama bank yang terdapat di antara kedua garis silang itu,
dianggap sebagai tidak tertulis/tidak ada pencoretan, demikian bunyi ayat 5
pasal 214 KUHD.
Walaupun menurut undang-undang pencoretan atas tanda silang tidak
diperkenankan, akan tetapi kenyataannya dalam kebiasaan sehari-hari, sering
terjadi pencoretan atas tanda silang oleh pebnariknya dan hal ini diterima oleh
bank pembayar. Adapun alasannya ialah bahwa menurut kebiasaan dalam
dunia perbankan kita, setiap perubahan pada suatu cek dalam teks-nya, hanya
105

Surat Berharga
dibenarkan kalau si-penarik membubuhi lagi tanda tanda tangannya disamping
perubahan itu. Alasan mereka ialah bahwa pencoretan tanda silang dianggap
sama dengan perubahan pada suatu cek dalam teks-nya, sehingga kalau atas
perubahan itu sudah ada tanda tangan dari penariknya, maka perubahan itu
sudah dianggap sah.
Hanya si penarik sendiri yang mempunyai hak untuk mencoret/membuka
tanda silang di atas suatu cek dengan menulis kata-kata harap dibayar tunai,
dan membubuhi tanda tangannya lagi disamping pencoretan itu. Harus
diperhatikan disini, bahwa cara pencoretan atas tanda silang itu tidak ada
undang-undang yang mengaturnya. Ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang
dilakukan oleh para bankir.
Bagi bank pembayar yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan mengenai
cek-silang sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, maka ia-pun harus
bertanggung jawab atas kerugian sebesar jumlah uang yang disebut di dalam
cek itu, demikian bunyai ayat 5 pasal 215 KUHD. Jadi kalau terjadi ada suatu
cek-silang yang dibayar tunai oleh bank pembayar kepada seseorang yang
bukan bankir atau bukan nasabahnya, atau kalau ada suatu cek silang khusus
atas nama sesuatu bank, akan tetapi bank pembayar membayarnya kepada lain
bank yang bukan bank yang dimaksud dalam kedua garis silang itu, maka bank
pembayar menurut undang-undang harus bertanggung jawab atas kelalaiannya
itu, sehingga bilamana dikemudian hari ternyata ada pihak-pihak yang
dirugikan karenanya, maka bank pembayar diharuskan membayar kerugian
sebesar jumlah uang yang disebut dalam cek itu.
Bilamana atas suatu cek terdapat lebih dari satyu silangan khusus, maka bank
pembayar tidak dibenarkan untuk membayarnya cek itu. Akan tetapi dalam hal
atas suatu cek terdapat tidak lebih dari 2 silangan khusus, sedangkan satu di
antaranya menguangkan melalui kliring, maka bank pembayar dapat
membayarnya kepada bank pemegang yang mengkliringkan cek itu. Demikian
bunyi ayat 4 pasal 215 KUHD. Adapun ratio daripada ketentuan ini kiranya
dapat kita hubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam ayat 2 pasal 215
KUHD, yang antara alin dinyatakan bahwa dalam hal cek-silang khusus,
106

Surat Berharga
bankir yang ditunjuk diperolehkan menyerahkan cek itu kepada bankir lain
untuk dipungut (ter-incasseering/collection).
g)

Post-date cheque
Post-date cheque atau cek yang diberi tanggal kemudian (dalam dunia
perbankan di Indonesia umumnya disebut sebagai cek-tanggal) adalah
sehelsai cek yang ditarik oleh penariknya dengan diberi tanggal yang akan
datang, dengan maksud agar cek itu diuangkan pada tanggal yang telah
ditentukan dalam cek tersebut.

Dalam unsang-unsang di negara kita, cek tanggal tidak dibenarkan, hal mana
dapat dilihat pada pasal 205 KUHD yang berbunyi sebagai berikut :

Tiap-tiap cek harus dibayar pada waktu diunjukkannya (atas unjuk Tiap-tiap
penetapan akan kebalikannya diangga tidak tertulis

Cek yang diunjukkan untuk pembayarannya sebelum hari yang disebut


sebagai hari tanggal dikeluarkannya, cek itupun harus dibayar pada hari
pengunjukan

Cek harus dibayar pada saat diunjukkannya, kecuali ada alasan-alasan lain yang
dapat mengakibatkan tidak dapat dibayarnya cek itu, misalnya dananya tidak ada
atau tidak mencukupi, atau ada laporan kehilangan atas cek itu. Akan tetapi
penolakan dengan alasan tanggalnya belum sampai, tidak dapat dibenarkan oleh
undang-undang. Walaupun cek tanggal itu diajukan sebelum tanggal yang
tertulis di atas cek itu, bank pembayar tetap berkewajiban untuk membayarnya
kecualia ada alasan-alasan sebagaimana yang disebut di atas tadi.
Biasanya penarikan cek tanggal terjadi dalam hal seorang pedagang diberi
kelonggaran untuk membayar barang yang dibelinya untuk suatu jangka waktu
tertentu. Untuk mudahnya transaksi, maka pada saat diserahkan barang dagangan
yang dibelinya, pembeli lalu menarik sehelai cek yang diberi tanggal kemudian
dengan maksud agar cek itu tidak diuangkan sebelum tanggal yang tertulis di atas
cek tersebut. Untuk maksud ini antara penjual dengan pembeii tentunya sudah ada
kata sepakat, yakni disatu pihak oleh penjual diberi kelonggaran waktu
pembayaran harga barang yang dijualnya itu, sedangkan dilain pihak si pembeli
107

Surat Berharga
percaya bahwa penjual tuidak akan menguangkan ceknya itu sebelum tanggal
yang telah disetujuinya/ A Post-date cheque is a negotiable instrument. Akan
tetapi dalam kenyatannya, mungkin dikarenakan nakalnya si penjual yang
memegang cek itu, atau karena kelalainnya, atau juga karena keadaan yang
memaksanya, maka ia menguangkan cek itu sebelum tanggal yang ditentukan.
Dan kalau ternyatga ada dananya, bank pembayar harus membayarnya; Sehingga
penarik cek mungkin akan mengalami kekacauan dalam perhitungan rekening
banknya karena sebagai akibat diuangkan cek-tanggal itu yang menurut
perhituangannya tidak akan masuk sebelum tanggal yang ditentukan.
Kalau di Indonesia lembaga cek tanggal tidak dibenarkan adanya, sebaliknya di
Inggris yang mempunyai sistim perbankan tertua dan terkenal di dunia, lembaga
cek tanggal atau Post-date cheque mala dilindungi oleh undang-undang.
Post-date cheque dianggap sebagai suatu alat pembayaran yang istimewa,. Bagi
suatu bank, bilamana ia membayar suatu cek tanggal sebelum tanggal yang
tertulis di atas cek itu, maka untuk pembayarannya itu, bank yang bersangkutan
akan hilang haknya untuk mendapatkan perlindungan menurut Hukum.
Misalnya ada seorang menemukan sehelai cek tanggal dan kemudian ia
menguangkan cek itu kepada bank pembayar sebelum jatuhnya tanggal yang
tertulis di atas cek itu, bilamana bank pembayar membayar cek tanggal tersebut,
maka ia bertanggung jawab terhadap penarik cek sejumlah uang tersebut karena
bank pembayar dianggap tidak mematuhi perintah dan kuasa yang diberikan oleh
nasabahnya.
h) Cek hilang
Bagi pemegang yang kehilangan suatu cek, ia tidak dapat meminta
pembayarannya kepada tertarik/bank pembayar, kecuali bilamana :
1) ia dapat memberikan jaminan kepada bank yang bersangkutan (tertarik) suatu
jaminan untuk waktu selama 30 tahun
2) tentunya kalau dalam hal ini bank pembayar bersedia untuk membayarnya dan
bank yang bersangkutan telah pula menerima pernyataan dari penarik
(nasabah) bahwa cek tersebut memang telah ditarik olehnya
108

Surat Berharga
Sebaliknya pemegang yang kehilangan cek itu, kalau ia tidak dapat meminta
pembayarannya dari bank pembayar sebagaimana yang dikatakan di atas, maka ia
dapat pula melakasnakan haknya kepada penarik dengan memberikan jaminan
untuk waktu selama 30 tahun. Tentunya pula kalau penarik bersedia menggantinya
dan penarik telah menerima pernyataan dari pemegang pertama yang langsung
menerima cek tersebut dari penarik, bahwa cek tersebut memang telah diterima
olehnya lihat pasal 227 a KUHD.
Kesemua tindakan di atas tentunya harus disertai dengan surat Laporan
Kehilangan yang dibuat oleh kepolisian setempat dan pemberitahuan secara
tertulis oleh pemegangnya kepada bank pembayar.
Kadang-kadang dapat kita lihat dalam surat kabar ada iklan pengumuman dari
pemegang yang kehilangan suatu cek dengan pemberitahuan bahwa cek tersebut
tidak berlaku lagbi. Pemberitahuan semacam ini tidak dapat dibenarkan menurut
hukum, oleh karena cek sebagai surat berhaga, tidak dapat begitu saja dinyatakan
tidak berlaku oleh pemegang atau penariknya. Suatu cek yang belum lampau
jangka waktu pengunjukan untuk pembayarannya (70 hari), menurut hukum tidak
boleh ditarik kembali/dinyatakan tidak berlaku baik oleh penariknya maupun oleh
pemegangnya. Maka setiap usaha untuk menarik kembali/menyatakan tidak
berlakunya suatu cek yang hilang, yang jangka waktu pengunjukannya belum
lampau, bank pembayar tidak perlu melayaninya.
i) Cek sebagai jaminan kredit
Adapun alasannya ialah bahwa cek-cek yang dijaminkan itu pada hakekatnya
dalah post-date, sedangkan bank menyadari bahwa cek itu pada saat diterimanya
belum tersedia dananya (cek kosong).
Memang sebenarnya kalau cek dijadikan sebagai jaminan kredit adalah kurang
tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Sebagaimana
diketahui bahwa post-date cek tidak dibenarkan oleh undang-undang, karena
pada hakekatnya suatu cek harus dibayar pada saat diunjukannya dan tiap-tiap
penetapan akan kebalikannya tidak tertulis. Sedangkan cek-cek yang diterima
sebagai jaminan oleh bank-bank tentunya berupa cek-cek yang post-date. Karena
109

Surat Berharga
kalau bukan post-date, untuk apa dijadikan sebagai jaminan dan pemegang cek
dapat langsung saja mencairkannya.
2. Bilyet Giro
a)

Pengertian
Lembaga Bilyet-giro di Indonesia belum lama dikenal oleh umum, hal mana
dapat dilihat dan dapat disimpulkan dalam surat-surat edaran Menteri urusan
Penerbitan Bank dan Modal Swasta No. 158/UPMBS/64 tertanggal 1-9-1964
dan No. 261/UPBMS/64 tertanggal 24-12-1964 mengenai anjuran menggunakan
sistim pembayaran secara giral.

Sistim giral pada saat itu belum umum digunakan oleh para pengusaha, begitupun
dikalangan perbankan di Indonesia. Kenyataan ini diakui oleh Pemerintah
sebagaimana dapat dilihat dalam surat edaran Menteri urusan Penerbitan Bank dan
Modal Swasta No. 091/DUPMBS/66 tertanggal 16-7-1966. Pemerintah mengakui
kurangnya perhatian dari Bank-bank Umum Swasta untuk melaksanakan
pembayaran-pembayaran dengan cara pemindah-bukuan, karena masih banyak di
antara Bank-bank Umum Swasta yang sama sekali tidak mengeluarkan bilyet-giro.
Sehingga mulai saat itu kepada setiap bank Umum Swasta diwajibkan untuk
mengeluarkan bilyet-giro disamping alat-alat perintah membayar lainnya serta
sejauh mungkin mengusahakan agar permintaan-permintaan pembayaran dilakukan
secara giral/pemindah-bukuan serta diminta pula menganjurkan nasabahnasabahnya agar membiasakan diri dengan menggunakan sistim tersebut.
Mungkin dikarenakan bahwa bilyet-giro tidak dapat diuangkan dan tidak dapat
dipindah-tangankan / di endos, maka para pengusaha tidak berminat untuk
menggunakan alat tersebut sebagai alat pembayaran dalam transaksi-transaksi
perdagangan mereka. Akan tetapi berhubungan pada saat itu tuntutan hukuman
terhadap penarik-penarik cek kosong makin gencar, sedangkan bagi penarik
bilyet-giro kosong tidak terkena sanksi/penuntutan seperti penarik cek kosong,
maka para pengusaha mulai berangsur-angsur menggunakan bilyet-giro sebagai
pengganti cek. Sehingga tanpa dianjurkan lagi mereka sudah beramai-ramai
menggunakannya.

110

Surat Berharga
Bilyet-giro adalah tidak lain daripada surat perintah nasabah yang telah di
standadisir bentuknya, kepada bank penyimpan dana untuk memindah-bukukan
sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima yang
disebutkan namanya pada bank yang sama atau bank lainnya. Demikian definisi
bilyet-giro yang disebut dalam S.E.B.I. No. 4/670 UPPB/PbB, tanggal 24-1-1972.
Dari definisi tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa pembayaran dana bilyetgiro tidak dapat dilakukan dengan uang tunai dan tidak dapat dipindah-tangankan
melalui endosemen.
Dalam bilyet-giro tidak terdapat kedua macam klausula sebagaimana yang kita
jumpai dalam setiap surat berharga, baik klausula kepada pembawa atau order
bearer, maupun klausula kepada order atau or order. Dengan tidak adanya
salah satu klausula tersebut maka bilyet-giro tidak dapat dialihkan baik secara
penyerahan begitu saja (kepada pembawa) atau dengan cara endosemen serta
penyerahan surat itu (kepada order).
Selain itu bilyet-giro sesuai dengan sifatnya sebagai surat perintah pemindahbukuan dana kepada bank, maka surat itu dapat dibatalkan oleh penariknya
sepanjang pada waktu penerimaan pemberitahuan tertulis oleh bank yang
bersangkutan, amanat dalam bilyet-giro tersebut belum dilaksanakan.
Kalau satu surat semacam bilyet-giro yang pembayaran dananya tidak dapat
dilakukan dengan uang tunai dan juga tidak dipindah-tangankan haknya, serta dapat
pula dibatalkan oleh penariknya sepanjang pada waktu penerimaan pemberitahuan
tertulis oleh bank yang bersangkutan, amanat dalam bilyet-giro tersebut belum
dilaksanakan, maka sifat-sifat tersebut jelaskan bertentangan dengan sifat umum
dari suatu surat berharga, yakni dapat diperdagangkan.
Walaupun menurut sifatnya satu bilyet-giro tidak dapat dialihkan haknya kepada
pihak lain, akan tetapi kenyataannya dalam dunia usaha sehari-hari, penarik suatu
bilyet-giro pada umumnya tidak mencantumkan nama si penerima dana dan nama
bank dimana si penerima dana, maka bilyet-giro tersebut kenyataannya sering
dialihkan oleh pemegangnya, bahkan ada yang berturut-turut beberapa kali
berpindah tangan kepada pihak lain tanpa disertai endosemen (karena endosemen
dalam hal bilyet-giro tidak dibenarkan).
111

Surat Berharga

b) Kelebihan Bilyet Giro dibanding Cek


Setelah lembaga bilyet-giro dikenal oleh umum, maka kini pada umumnya para
pengusaha lebih sering menggunakan bilyet-giro daripada cek. Adapun alasanalasan yang dikemukakan mereka ialah :
1) Bilyet-giro dapat dibatalkan setiap saat selama surat itu belum jatuh tanggal
efektip atau belum dilaksanakan amanatnya oleh bank pembayar
2) Bilyet-giro bisa post-dated. Artinya bahwa selama tanggal efektipnya belum
sampai, maka surat itu tidak dapat dicairkan oleh pemegangnya
3) Sebagaimana diketahui, bahwa pada bilyet-giro disamping ada tanggal
penarikan terdapat pula tanggal efektip, yaitu tanggal mulai berlakunya perintah
yang termaktub dalam surat perintah itu. Bilmana tanggal efektip tidak
dicantumkan, maka tanggal penarikan berlaku sebagai tanggal efektip.
Sebaliknya jika tanggal penarikan tidak dicantumkan, maka tanggal efektip
dianggap sebagai tanggal penarikan surat perintah itu.
4) Karena formulir bilyet-giro telah di standardisir bentuknya oleh Bank Indonesia
sehingga kalau dilihat sepintas lalu bentuknya seperti cek (bahkan ada orang
awam menyebutnya sebagai giro cek), alhasil dalam dunia usaha pada
umumnya dapat menerima surat itu sebagai alat pembayaran
5) Walaupun menurut ketentuannya bilyet-giro tidak dapat dipindah tangankan
atau dialihkan haknya keapda pihak lain, akan tetapi kenyatannya penarik suatu
bilyet-giro seringkali tidak mencantumkan nama si penerima dana dan nama
baik dimana si penerima dana memelihara rekeningnya, sehingga bilyet-giro itu
sering dialihkan haknya oleh pemegang yang satu kepada pemegang lainnya
tanpa disertai endosemen (karena endosemen tidak dibenarkan oleh
peraturannya)
Nampaknya banyak pemegang bilyet-giro tidak menyadari besarnya risiko kalau
ia bukan menerima surat itu langsung dari penariknya. Oleh karena bilyet-giro
bukan surat berharga, sehingga pemegangnya tidak mendapat perlindungan
hukum sebagaimana yang terdapat pada wesel, cek atau surat promes

112

Surat Berharga
Pemegang dari suatu bilyet-giro yang diperolehnya karena penyerahan dari
pemegang lainnya, tidak dapat mempertahankan haknya atas tagihan yang
tercantum dalam surat itu kepada pihak ketiga. Karena bilyet-giro tidak dapat
dipindah tangankan haknya, maka menurut hukum perolehan surat itu adalah tidak
sah dan tidak mempunyai akibat hukumnya
Bilyet-giro sebagai warket kliring, berarti bahwa surat itu dapat diperhitungkan
melalui kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, sehingga memudahkan
bagi pemegang untuk mencairkan dananya
Oleh karena adanya keuntungan-keuntungan dan keistimewaan-keistimewaan
tersebut di atas, maka beredarlah bilyet-giro dalam masyarakat sebagai alat
pembayaran seperti surat-surat berharga lainnya. Walaupun sifatnya bukan seperti
yang

dimiliki

surat-surat

berharga,

akan

tetapi

kenyatannya

bilyet-giro

dipergunakan oleh umum seolah-olah sebagai surat berharga yang dapat dialihkan
haknya kepada pihak lain dan sebagai alat pembayaran dalam transaksi
perdagangan.
Atas dasar keistimewaan itulah maka bilyet-giro kiranya dapat kita golongkan
sebagai quasi surat berharga atau semi surat berharga.
c) Beberapa alasan Penolakan Cek/Bilyet Giro oleh Bank
1) Saldo tidak cukup
2) Rekening telah ditutup
3) Bea meterai belum terpenuhi
4) Endosemen tidak menurut peraturan yang ditetapkan
5) Tanda tangan tidak cocok dengan speciment atau tidak ada
6) Melampaui tenggang penawaran
7) Sudah kadaluwarsa
8) Pembayaran diblokir oleh Kepolisian/Kejaksaan
9) Jumlah huruf dan angka tidak cocok
10) Tanda penerimaan buku cek/bilyet giro belum dikembalikan
11) Coretan atau perubahan tidak ditanda tangani oleh penarik
12) Tanggal efektif bilyet giro belum sampai
113

Surat Berharga
13) Bilyet giro dibatalkan pemilik
14) (selain yang tersebut diatas)
3. Wesel
Ketentuan mengenai wesel diatur dalam Buku 1 Bab VI Kita Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD).
Wesel digunakan sebagai alat pembayaran dimulai sejak abad menengah di Benus
Eropa bagian Barat. Pada saat itu sedang ramai-ramainya perdagangan antara
pedagang-pedagang dari berbagai negara yang bertempat tinggal berjauhan satu sama
yang lain. Untuk pembayaran oleh satu pedagang kepada pedagang lainnya yang
berdiam di lain negara, terpaks dilakukan dengan cara membawa uang sendiri yang
tentunya banyak risikonya, terutama risiko perampokan di jalan. Untuk pengiriman
uang melalui suatu badan usaha pada saat itu juga memerlukan pembayaran biaya
pengiriman yang cukup besar, oleh karena perusahaan yang mengurus pengiriman
uang tersebut juga harus menanggung risiko seperti tersebut di atas tadi.
Kesulitan-kesulitan inilah lalu timbul pemikiran oleh para pedagang untuk mencari
jalan yang aman dan murah guna terlaksananya pengiriman uang tersebut. Maka pada
saat itu timbullah gagasan yang diatur dengan mendapat bantuan dari para pedagang
penukar uang (money changer) dengan cara sebagai berikut :
Seorang pedagang (A) yang hendak membayar hutangnya kepada pedagang (B) di
lain tempat, tidak lagi mengirim uang tunai kepada pedagang (B) melainkan membeli
wesel dari pedagang penukar uang (C) di daerahnya, lalu mengirim surat wesel itu
kepada pedagang (B) untuk ditukarkannya dengan uang tunai kepada pedagang
penukar uang (D) di daerahnya. Antara pedagang penukar uang (C) dan (D) tentunya
sudah diadakan perjanjian atau kerja sama, atau antara kedua pedagang penukar uang
itu ada hubungan sebagai kantor pusat dengan kantor cabangnya. Untuk jasa itu
pedagang penukar uanng akan membebankan biaya pengiriman uang kepada
pedagang (A) yang membeli surat wesel itu, sehingga pedagang (A) harus membayar
sejumlah uang yang lebih besar dari jumlah uang yang ia harus bayar kepada
pedagang (B) sebagai biaya pengiriman uangnya.

114

Surat Berharga
a) Syarat-syarat formil bagi wesel
Menurut Undang-undang bahwa setiap surat wesel harus memuat hal-hal sebagai
berikut :
1) Nama wesel disebut dalam teksnya sendiri dan disitilahkan dalam bahasa
surat itu ditulisnya
2) Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
3) Nama pembayar/tertarik
4) Penetapan hari bayar
5) Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan
6) Nama orang/pihak kepada siapa atau pihak lain yang ditunjuk olehnya,
pembayaran harus dilakukan
7) Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya
8) Tanda tangan pihak yang mengeluarkannya (penarik)
Kedelapan syarat itu harus selalu tercantum dalam setiap surat wesel. Tidak
dipenuhinya salah satu syarat tersebut di atas, maka surat itu tidak berlaku sebagai
surat wesel, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut :
1) kalau tidak ditetapkan hari bayarnya, maka wesel itu dianggap harus dibayar
pada hari diunjukkannya (wesel unjuk)
2) kalau tidak ditetapkan tempat pembayaran, maka tempat yang ditulis
disamping nama tertarik, dianggap sebagai tempat pembayaran dan tempat
dimana tertarik berdomisili
3) kalau tidak disebut tempat surat wesel itu ditarik, maka tempat yang disebut
disamping nama penarik, dianggap sebagai tempat wesel itu ditariknya
b) Macam wesel
Berdasarkan penentuan hari bayarnya suatu surat wesel, oleh undang-undang
telah ditentukan 4 macam surat wesel yang mengatur hari bayarnya yang
berlainan, yakni :
1) Wesel yang harus dibayar pada saat diunjukkannya (wesel unjuk atau sight
draft);

115

Surat Berharga
2) Wesel yang harus dibayar pada suatu waktu setelah diunjukkannya (wesel
setelah unjuk atau after draft. Ada beberapa bank yang mengeluarkan wesel
dengan ketentuan one day a after sight);
3) Wesel yang harus dibayar pada suatu waktu terhitung sejak tanggal
penarikannya;
4) Wesel yang harus dibayar pada suatu hari tertentuyang tertera dalam surat
weselnya
Untuk

menghindarkan

kesimpang-siuran

dan

ketidak

seragaman

dalam

pengeluaran surat wesel oleh bank-bank, maka Bank Indonesia melalu Surat
Edarannya No. 4/996 UPPB/PbB tertanggal 13 Desember 1968, telah memberi
contoh-contoh surat wesel agar dapat dipergunakan oleh bank-bank.
Wesel-wesel yang hari bayarnya ditentukan dengan cara lain selain keempat cara
di atas, atau menetapkan pembayarannya dengan cara diangsur, adalah batal demik
hukum. Demiki bunyi pasal 132 (2) KUHD.
Suatu surat wesel yang harus dibayar pada saat diunjukkannya (wesel unjuk/sight
draft), harus diunjukkan untuk diminta pembayarannya dalam tenggan waktu 1
(satu) ahun terhitung sejak tangal penarikannya. Penarik boleh memperpanjang
tenggan waktu tersebut, sedangkan para endosan boleh memperpendeknya.
Bagi surat-surat wesel yang sudah ditentukan waktunya sebagai hari bayar, maka
tenggan waktu untuk pengunjukkannya terhitung sejak waktu yang ditentukan.
c) Wesel sebagai surat order
Kadangkala dalam peredaran dapat kita lihat ada surat wesel yang dikeluarkan
atas pembawa, cara pengeluaran surat wesel semacam ini jelas adalah keliru dan
bertentangan dengan ketentuan yang ada.
Sebagaimana dapat dilihat pada syarat-syarat formil bagi surat wesel yang tersebut
di atas, bahwa dalam suatu surat wesel harus tercantum nama pihak/orang yang
kepada siapa atau pihak lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
Dengan demikian surat wesel harus dikeluarkan atas orderdan tidak boleh atas
unjuk.

116

Surat Berharga
d) Akseptasi
Menurut undang-undang bahwa setiap penarik suatu surat wesel diwajibkan
menanggung akseptasi dan pembayarannya.
Akseptasi adalah satu pernyataan sanggup untuk membayar dari tertarik/pembayar
yang ditulis di atas w\surat wesel itu serta ditanda tanganinya. Yang ditulis di atas
surat wesel yang bersangkutan adalah kata-kata sanggup atau kata-kata lain
yang mempunyai maksud yang sama. Suatu tanda tangan saja dari tertarik yang
dibubuhi di bagian muka surat wesel, sudah berlakulah sebagai akseptasi.
Pada beberapa tahun yang lalu pernah terjadi keleliruan dalam dunia perbankan di
Indonesia dimana suatu cek dapat di-fiat pembayarannya oleh bank pembayar.
Maksud daripada fiat bayar itu tidak lain daripada suatu pernyataan dari bank
pembayar bahwa bank menyanggupi untuk membayar jumlah yang etrtera dalam
cek tersebut. Fiat pembayaran atas sehelai cek oleh bank mirip dengan pemberian
akseptasi oleh tertarik atas suatu surat wesel.
Fiat atas cek jelas menyalahi undang-undang. Bahkan Bank Indonesia sendiri
dalam beberapa surat edarannya yang mengatur ketentuan-ketentuan mengenai
cek fiat, menyatakan bahwa pemberian fiat atas cek sebenarnya tidak diatur
ketentuan-ketentuannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, sehingga
tidakd apat dibenarkan adanya pemberian fiat atas cek, oleh karena menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku, bahwa cek harus dibayar atas unjuk dan tidak
diperlukan adanya fiat bayar atau akseptasi semacam wesel. Akan tetapi untuk
menghindarkan dilakukannya praktek-praktek yang tidak wajar yang dapat
membawa akibat-akibat buruk bagi bank itu sendiri maupun bagi seluruh
perbankan di Indonesia, maka Bank Indonesia terpaksa mengatur pula cara-cara
pemberian fiat atas cek. Untunglah kemudian selang beberapa tahun setelah
diaturnya pemberian fiat cek. Bank Indonesia pada tahun 1975 tela melarang
pemberian fiat atas cek oleh bank-bank.
Setiap pemegang suatu surat wesel dapat mengunjukkan kepada tertarik untuk
mendapatkan akseptasinya. Pemegang tidak wajib untujk meminta akseptasi dari
tertarik, kecuali keharusan untuk dimintakan akseptasi ditentukan dalam surat
wesel yang bersangkutan; Misalnya pebarik menentukan bahwa surat wesel yang
117

Surat Berharga
bersangkujtan

harus

diunjukan

untuk

akseptasi

sebelum

dilakukan

pembayarannya. Sebaliknya penarik juga dapat melarang pengunjukan untuk


akseptasi tidak boleh dilakukan sebelum tanggal yang ditentukan. Para endosan
juga dapat menetapkan keharusan pengunjukkan untuk akseptasi dari suatu wesel
yang ia alihkan haknya.
Surat-surat wesel yang harus dibayar pada suatu waktu setelah diunjukkannya,
harus diunjukkan untuk akseptasi dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal penarikannya. Penarik boleh memperpendek atau memperpanjang tenggan
waktu itu, sedangkan para endosan boleh memperpendeknya.
Tertarik dengan memberikan akseptasinya pada suatu surat wesel, berarti bahwa ia
telah mengikatkan dirinya untuk membayar surat wesel itu pada saat ia harus
bayar. Jadi, tertarik baru terikat untuk pembayarannya kalau ia telah
mengakseptasi surat wesel itu. Tiap-tiap akseptasi yang diberikan oleh tertarik
tidak boleh bersyarat, namun menurut undang-undang tertarik berhak untuk
membatasi pembayarannya atas suatu wesel sampai sebahagian jumlahnya saja.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi, bahwa pada umumnya pemegang suatu
wesel tidak wajib untuk meminta akseptasi dari tertarik, kecuali dalam hal-hal
yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya penarik sendiri yang menentukan
keharusan untuk dimintakan akseptasi (pasal 121 ayat 1 KUHD), atau dalam hal
wesel yang harus dibayar beberapa waktu setelah diperlihatkan (pasal 122 ayat 1
KUHD).
Sebaliknya begitupun si tertarik tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan
akseptasi, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, yakni
dalam hal diperuntukkan guna bayar surat wesel yang telah ditarik atasnya (pasal
127a KUHD), atau dalam hal si tertarik telah menyanggupi untuk menyetujui
wesel tersebut (pasal 127b KUHD).
Pada setiap ada penarikan suatu surat wesel, penarik berkewajiban untuk
memberitahukan atau memberi advies kepada tertarik tentang telah ditariknya
surat wesel untuk dibatar olehnya. Apabila penarik lalai melakukan pemberiathuan
tersebut, maka ia wajib mengganti kerugian biaya sebagai akibat penolakan
akseptasi atau penolakan pembayaran surat wesel tersebut.
118

Surat Berharga

e) Hak regres
Kalau tertarik menolak melakukan

akseptasi atau menolak untuk menyetujui

pembayaran wesel tersebut, maka pemegang wesel dapat menegur si penarik,


walaupun hari pembayarannya belum tiba. Hak menegur semacam ini dari si
pemegang surat wesel disebut sebagai hak regres.
Dalam menegur kepada si penarik atau kepada para endosan, si pemegang terlebih
dahulu harus mengadakan protes, yaitu mengadakan pernyataan yang dibuat
secara otentik (oleh Notaris atau seorang Juru-sita). Protes-non-akseptasi ini harus
dilakukan dalam tenggan wkatu yang ditentukan guna pengunjukan untuk
akseptasi. Bilamana protes-non-akseptasi tidak dilakukan dalam tenggang waktu
yang ditentukan, maka gugurlah hak pemegang terhadap para endosan, penarik
dan para yang berhutang lainnya.
Begitupun kalau tertarik menolak pembayaran suatu wesel, maka pemegang harus
menyatakan penolakan itu dalam suatu protes (protes-non-pembayaran). Protes itu
harus dilakukan pada salah satu dari dua hari kerja setelah hari pembayaran bagi
wesel-wesel dengan hari pembayaran tertentu.
Pemegang harus memberitahukan non-akseptasi atau non-pembayaran itu kepada
endosannya dan kepada penarik dalam waktu 4 (empat) hari kerja berikut hari
protes. Dan setiap endosan, iapun dalam waktu 2 (dua) hari kerja berikut hari
pemberitahuan tersebut diterimanya, harus memberitahukan pemberitahuan itu
kepada endosan lainnya dengan menyebutkan nama-nama dan alamat-alamat
sekalian mereka yang telah memberikan pemberitahuan. Demikian seterusnya
sampai kembali pada penarik wesel itu. Pasal 144 KUHD.
4. Surat Promes (Promissory note)
Surat promes (promissory note) adalah surat kesanggyupan tanpa syarat yang ditanda
tangani oleh pihak/orang yang mengeluarkannya surat itu, untuk membayar suatu
jumlah uang tertentu kepada seseorang/pihak atau orang/pihak lain yang ditunjuk
olehnya, pada hari yang telah ditetapkan dalam surat itu.
a) Syarat formal promes :
119

Surat Berharga
Syarat formal promes yaitu :
1) Kata-kata Surat Promes dan klausula kepada order yang dimuatkan di
dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya
2) Kesanggupan tidak berysrat untuk membayar suatu jumlah uang tertentu
3) Penetapan hari bayarnya
4) Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan
5) Nama pihak yang kepadanya atau kepada pihak lain yang ditunjuk olehnya,
pembayaran itu harus dilakukan
6) Tanggal dan tempat surat itu ditanda tanganinya
7) Tanda tangan pihak yang mengeluarkan surat itu
Dalam Kita Undang-Undang Hukum Dagang kita, suatu promes yang
dimaksudkan di atas disebut dengan nama Surat sanggup atau Orderbriefje.
Dalam dunia perbankan kita, suatu promes juga kadang kala disebut sebagai surat
aksep sebagaimana dapat dilihat dalam beberapa Surat Edaran Bank Indonesia,
antara lain S.E.B.I. Nomor SE. 6/22/UPUM tanggal 28-2-1974.
Surat Promes (atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Promissory note, bahasa
Perancisnya disebut Billet a ordre, bahasa Jermannya disebut Inhaberpapier)
adalah tagihan hutang yang berintikan kesanggupan atau janji untuk membayar
suatu jumlah uang (betalingsbelofte). Disini letak perbedaannya dengan surat
wesel dan cek yang berupa surat tagihan hutang yang berintikan perintah untuk
membayar atau jumlah tertentu (betalingsopdracht).
Sehubungan dengan sifatnya surat promes sebagai surat pengakuan hutang yang
dibuat oleh si penanda tangan promes, maka dalam hal surat promes, kita hanya
jumpai 2 (dua) pihak yang tersangkut, yakni si penanda tangan promes dan si
penerima promes.
Sebagaimana telah dikatakan di atas tadi bahwa karena adanya perbedaan sifat di
antara surat promes dengan surat wesel, dimana surat promes adalah sebagai surat
kesanggupan atau janji untuk membayar, sedangkan surat wesel adalah surat
perintah untuk membayar, maka ini membawa akibat bahwa beberapa ketentuan
wesel tidak dapat dipakai pada surat promes., Kedudukan si penanda tangan
promes sejak semula sudah sama dengan kedudukan akseptan pada surat wesel.
120

Surat Berharga
Karena kedudukan itulah maka pada surat promes tidak diperlukan lagi lembaga
akseptasi.
Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai surat wesel tentang endosemen, hari bayar,
hak regres dalam hal non pembayaran, daluwarsa, surat wesel yang hilang,
perubahan dan lain sebagainya berlaku pula bagi surat promes.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang selain surat promes yang
dimaksudkan di atas (promes atas order), juga ada diatur Surat Promes atas
pembawa (pasal 229c s/d pasal 229k). Perbedaan antara surat promes atas order
dengan surat promes atas pembawa adalah bahwa surat promes atas pembawa ini
memberi hak kepada setiap pembawa yang memperlihatkan surat itu (toonder),
untuk menerima pembayaran uang. Sedangkan dalam surat promses atas order,
yang berhak menerima uang hanya orang/pihak yang diberi kuasa (order) sejak
semula yang berhak menerima uangnya.
Pemegang promses atas pembawa harus menagih pembayarannya dalam waktu 6
hari setelah surat itu diterimanya sebagai pembayaran. Apabila dalam promses atas
pembawa itu disebutkan tanggal tertentu bagi pembayaran uangnya, maka
tenggang waktu 6 hari dari hari berikutnya tanggal tertentu itu.
b) Pasar uang antar bank
Dalam transaksi di pasr Uang antar Bank, bank penerima pinjaman (borrowing
bank) mengeluarkan suatu surat promes (promissory note) yang diberikan kepada
bank yang meminjamkan uang (lending bank) yang berisikan pernyataan/janji
akan membayar kembali dana transaksi tersebut pada waktu yang disebutkan
dalam surat promses itu. Berhubung dana yang diperdagangkan dalam Pasa uang
antar bank itu pda dasarnya adalah dana yang sifatnya pendek yang harus dapat
dibayar kembali setelah lewat satu atau beberapa hari saja, maka dalam hubungan
ini oleh Bank Indonesia telah ditetapkan melalui Surat Edarannya Nomor SE.
6/22/UPUM tertanggal 28-2-1974, bahwa jangka waktu pelunasan kembali dana
yang diperoleh harus dalam jangka waktu selambat-lambatnya (ternasuk transaksi
perpanjangan 7 (tujuh) hari terhitung sejak hari penutupan transaksi yang pertama.

121

Surat Berharga
Apabila setelah lewat 7 (tujuh) hari dana tersebut belum juga dibayar kembali oleh
bank penerima pinjaman, maka pinjaman itu harus diperlakukan sebagai
pemberian kredit biasa dan untuk itu harus dipenuhi ketentuan-ketentuan formil
mengenai pemberian kredit, antara lain dengan melengkapi akad kredit,
pembayaran bea meterai kredit dari pengikatan jaminan serta hal-hal lain yang
lazimnya berlaku di bidang perkreditan.
Surat Promes yang dikeluarkan oleh bank-bank dalam transaksi interbank call
money ini, oleh bank yang meminjamkan uang (lending bank) pada saat hari
jatuhnya (due date) surat promes itu dapat langsung menagihnya dengan cara
memperhitungkannya sebagai warkat kliring sepanjang surat promes itu
diperhitungkan atas dasar face value dan dinyatakan dalam Rupiah.
Agar surat promes yang dipakai dalam transaksi :interbank call money ini dapat
benar-benar memenuhi ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
kita dan keseragaman bentuknya, maka oleh Lembaga Kliring Jakrta waktu itu
melalui surat edarannya No. Peng. 6/102/LPG/CL tertanggal 27-3-1974, telah
ditentukan bentu, ukuran, susunan teks dan lay-outnya menurut contoh yang
dilampirkan dalam Surat Edaran tersebut.

122

Anda mungkin juga menyukai