Anda di halaman 1dari 30

Pertemuan ke 14

Konflik Agama dan Budaya


Bangsa Indonesia yang majemuk bisa menjadi
sumber potensi ketegangan dan konflik sosial.
Dan yang paling potensial mengancam integrasi
nasional adalah konflik sosial yang bernuansa
keagamaan.
Maka pilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh
para pendiri bangsa, diharapkan mampu
mengayomi dan menjadi perekat kemajemukan
tersebut.

Sepanjang sejarah cara pemerintah menangani konflik

berbeda-beda. Di era demokrasi terpimpin, pendekatan yang dilakukan bersifat indoktrinasi dengan
mengembangkan budaya paternalistik dan membangun keseimbangan politik yang melahirkan
NASAKOM. Puncak konflik adalah Pembunuhan Para
jendral dan dilanjutkan penumpasan PKI.
Di era Orba penanganan konflik terkesan tanpa kompromi karena dibangun dengan tingkat kewaspadaan
yang sangat tinggi, tegas dan keras. Sayang tidak
diberengi dengan pembangunan yg merata.

Di era reformasi gelombang tuntutan demokrasi

sangat kuat, pemerintah memberi kebebasan rakyat


untuk membangun organisasi sosial dan politik,
termasuk kebebasan berpendapat dan pers.
Akibat kebebasan muncul konflik termasuk yang
bernuansa keagamaan yang sudah menjurus pada
bentuk kekerasan yang membahayakan integritas
kesatuan bangsa.
Ketegangan dan konflik antar umat beragama dan
intra umat agama makin marak dan cenderung
destruktif karena bernuansa pemaksaan pendapat.

Memang tidak mudah menyelesakan konflik yang

bernuansa keagamaan karena sepertinya mudah


menyulut pada konflik yang bersifat total dan
menyakitkan. Karena agama disamping bisa
melembutkan hati, namun terkadang mampu
memberikan perintah yang sangat tidak manusiawi
dan kejam.
Agama yang bertujuan mendatangkan kedamaian
dibumi, justru melahirkan kekerasan dan aniaya
terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

Makna Konflik
Hargyaningtyas (2001) menulis : konflik adalah

ketidak sepahaman alamiyah yang terjadi di antara


individu atau kelompok yang berbeda dalam sikap,
kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Konflik dapat juga
berasal dari persaingan dimasa lalu maupun perbedaan
individual .
Dalam masyarakat konflik dapat terjadi antara dua
orang atau lebih, antara gerakan sosial, antara
kelompok kepentingan, antara kelompok kelas sosial,
antara partai politik, antar suku bangsa, antar Ras dan
antar kelompok peganut agama.

Dari sudut fungsi, konflik bisa fungsional (positif) dan

bisa disfungsional(negatif) tergantung dari sudut


pandang mana dilihat.
Teori consensus melihat konflik sebagai suatu yang
negatif karena pada dasarnya masyarakat normal
selalu dinilai sebagai masyarakat yang stabil, harmoni
dan dalam kebersamaan. Konflik dipandangnya
sebagai gejala melemahnya organisasi sosial, atau
kurangnya kesepakatan tentang nilai-nilai inti
masyarakat.

Kontras dengan teori Pluralis, konflik

dipandang suatu yang positif, esensi


konflik menurut teori pluralis, konflik itu
suatu yang normal, alami dan bahkan
diperlukan untuk memberikan ruang
gerak
terhadap adanya kompetisi
kepentingan yang kompleks dalam
menuju perubahan masyarakat yang
lebih dinamis.

Dalam sistem demokrasi, konflik sosial dapat


dikendalikan lebih positif untuk menjadi sebuah
kompetisi yang sehat, diatur melalui aturanaturan tertentu yang memberikan ruang gerak
terhadap individu atau kelompok lebih bebas
untuk melakukan artikulasi gagasan, resolusi
konflik yang dapat mencegah terhadap kelompok
interes tertentu untuk selalu menguasai masalah
(Jary, 1991).

Konflik sosial bisa bersifat laten dan manifest

termasuk konflik yang bernuansa keagamaan.


Ciri konflik keagamaan: pertentangan antara
penganut agama yang berbeda, saling memusuhi dan
membenci identitas masing-masing karena dianggap
ancaman terhadap eksistensinya, merasa paling benar
dan cenderung menyesatkan yang lain, sikap
permusuhan sebagai sarana membangkitkan identitas
dan solidaritas kelompoknya, dan masing-masing
didukung oleh semangat doktrin jihadnya atau perang
suci yang bersifat keagamaan.

Kondisi konflik Keagamaan saat ini


Kondisi konflik dan kekerasan antar dan intra
umat agama di sebagian daerah sudah melebar
bersifat massal dan sangat memprihatinkan
bahkan sudah berpotensi merusak kesatuan
bangsa. Sementara upaya pemerintah belum
menyentuh inti permasalahan , bahkan ada
potensi melanggar undang-undang dasar negara
karena tidak tegas dan cenderung ikut memihak
pada yang mengklaim mayoritas.

Berikut gambaran ketegangan dan konflik antar dan

intra umat beragama berkembang di Indonesia:


1. Benturan antar kelompok agama radikal
2.Hubungan mayoritas dan minoritas yang tidak
harmonis karena ajaran yang intoleran.
3.Kepentingan politik sektarian yang dibalut agama.
4. Kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang
diprovokasi oleh ajaran keagamaan.
5. Bangsa ini belum siap hidup dalam rumah pluralitas

Meminimalisir Konflik dan mengatasi


kekerasan dan kerusuhan
Untuk Jangka pendek: 1. Mengefektifkan budaya lokal

(kearifan lokal), artinya penyelesaian konflik mesti melihat


kondisi obyektif lokalitasnya, mulai latarbelakang historis,
warisan sejarah hingga situasi sosial politik kontemporer
daerah itu. Mesti ada potensi lokal (modal sosial dan
kultural) yang bisa dipakai untuk membangun
perdamaian. 2. Pemerintah dan aparat keamanan perlu
bertindak proaktif untuk mencegah agar konflik tak
berlangsung. 3. Dengan cara menegakkan hukum dengan
seadil-adilnya terhadap para pihak yang terlibat. 4.
Meminta pers/media terlibat menciptakan damai di
masyarakat.

Untuk jangka panjang: 1. Memasukkan resolusi

konflik dan peacebuilding ke dalam kurikulum


pendidikan di Indonesia sejak dini. Pembelajaran ini
berguna bukan hanya untuk menumbuhkan
kesadaran tentang pentingnya perdamaian, melaikan
untuk memberikan keterampilan teknis perihal
mengatasi konflik dan membangun perdamaian.
2. Melakukan state building sesuai dengan kondisi
obyektif Indonesia dengan aneka ragam latar belakang
penduduknya.

Misalnya, menata kembali hubungan pusat dan

daerah, dan bagaimana hubungan satu daerah dengan


daerah yang lain mesti diseleggarakan. Harus
dikukuhkan kembali tentang dasar bernegara dan
berbangsa, sehingga kita tak menemukan kesimpang
siuran tentang dasar negara. Memperbaiki undangundang otonomi daerah, sehingga tak ada lagi
peraturan daerah yang cenderung menimbulkan
pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, karena
ini potensial menimbulkan konflik secara berkesinambungan.

Peacebuilding atau Pembangunan


Perdamaian
Kata Pembangunan Perdamaian biasanya
dikaitkan dengan kata konflik, karena secara
commonsense, agenda peacebuilding lahir untuk
merespon konflik kekerasan yang terjadi.
Peacebuilding bertujuan untuk mempromosikan
perdamaian dan mengkikis konflik kekerasan,
permusuhan, disharmoni sosial, dan sebagainya.
Konsep ini mencakup kerja-kerja yang luas dan
komprehensip baik pada saat konflik maupun
pasca konflik.

Selama
konflik
berlangsung,
kerja-kerja
perdamaian fokus pada intervensi konflik melalui
mediasi fasilitas atau rekonsiliasi dengan tujuan
mengelola dan melokalisir konflik, dan sedapat
mungkin meredakan.
Setelah konflik kekerasan mereda, kerja-kerja
perdamaian diarahkan kepada tujuan perubahan

sosial yang menekankan rekonstruksi damai


dalam masyarakat.

Damai bukan sekedar ketiadaan perang. Damai sejati

adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka


panjang. Ia bisa terwujud manakala nilai-nilai
kemanusiaan universal telah mengakar-menjalar di
segala lini kehidupan praktis: keluarga, sekolah,
komunitas, masyarakat dan negara.
Budaya damai harus dikembangkan dengan strategi
transformasi relasi-relasi sosial yang konfliktual
menuju hubungan kerjasama yang konstruktif
sebelum masyarakat jatuh kedalam jebakan perang
dan kehancuran.

Sementara ini, bahwa berbagai aktor peacebuilder

yang ada belum sungguh-sungguh mengnsolidasikan


potensi besar yang dimiliki guna bersama-sama
mendorong proses pembangunan perdamaian kepada
tujuan penciptaan damai yang berkelanjutan.
Agar Islam dapat memberi kontribusi esensial
terhadap pembangunan perdamaian, seperti digagas
Aboe el Fadl seharusnya hukum yang bersifat khusus
dijalankan dan dikemudikan berdasarkan hukumhukum yang universal bukan sebaliknya.

Jadi yang mesti diekplorasi, dianalisis,

dipahami dan kemudian diimplementasikan


adalah hukum-hukum moral universal,
bukan sejumlah kecil aturan atau hukumhukum khusus yang diberi bobot yang tidak
sebanding (berlebihan). Jika sebaliknya
yang terjadi maka sebagian besar ayat alquran akan menjadi tidak berlaku atau
hanya menjadi diktum belaka.

Beda Damai Positif dan Damai Negatif


Keterangan
CIRI-CIRI

PENEKANAN
STRATEGI

INTERAKSI
SOSIAL
ORGANISASI
SOSIAL
ORIENTASI
KEBIJAKAN

Damai Positif
Damai jangka panjang
Bukan sekedar ketiadaan
Perang
Mempromosikan keadilan,
Kepercayaan, dan empati

Kerjasama dan dialog


Meningkatkan hubungan
Antara kelompok (asosiatif)
Damai dimulai dari bawah
Ke atas (trickle up strategy)

Tinggi
Unit kecil, Otonom
Orientasi keragaman
Mengelola sebab-sebab
Kekerasan: sikap dan struktur

Damai Negatif
Damai sementara
Sekedar ketiadaan perang
Menyimpan bibit permusuhan

Dan saling curiga.


Kontrol dan kendali keamanan
Memutus hubungan antara
Kelompok (disasosiatif)
Damai dimulai dari atas ke bawah
(trickle down strategy)

Rendah
Unit besar, Pemusatan. orientasi
penyeragaman
Menghapus kekerasan yang
Bersifat langsung

Perdamaian dalam tradisi


Agama Lokal
Kerukukunan hidup dan saling menyelamatkan pada

dasarnya merupakan tujuan dan cita-cita bersama


umat manusia di dunia.
Kenyataan khususnya, keberagaman etnik dan religi
merupakan sebuah perbedaan yang sulit dipersatukan
di negara manapun.
Bila menilik sejarah tegaknya NKRI, bahwa semangat
kebersamaan dan toleransi telah mampu mengatasi
segala perbedaan dan pertentangan hingga mampu
mengantar kegerbang kemerdekaan.

Konsensus sila ke satu percaya kepada Tuhan Yang

Maha Esa dapat melampauhi perbedaan agama dan


etnis dalam sebuah masyarakat bangsa.
Disisi lain terjadinya konflik dan ketegangan di
beberapa kawasan republik di era reformasi membuktikan bahwa kurang hati-hatinya mengelola kemajemukan dapat membahayakan keutuhan bangsa.
Tantangannya, bagaimana kita dapat mewujudkan potensi dan simbul-simbul kebhinekaan dalam perspektif ketahaman sosial budaya tanpa mengorbankan
cita-cita reformasi.

Proses Pembelajaran melahirkan


Pandangan Hidup dan Kearifan Lokal
Proses pembentukan nilai-nilai adat dan agama terjadi

secara alamiyah dimulai dari proses pembelajaran dan


interaksi dengan alam lingkungannya, yang kemudin
manusia menyesuaikan diri dan beradabtasi dengan
alam.
Hasil pembelajaran itu membentuk karakter manusia,
selanjutnya manusia tertantang untuk melakukan
penggalian terhadap dirinya serta hubungannya
dengan alam lingkungan yang mencakup hakekat
hidup itu sendiri, sehingga lahir pandangan hidup,
nilai-nilai religius dan etika spiritual masyarakat.

Kemudian diajarkan dari generasi ke generasi yang di

implementasikan dalam kepatuhan terhadap normanorma agama dan nilai-nilai adat budaya masyarakat.
Karakteristik dan peri kehidupan manusia pada
dasarnya ditentukan oleh karakteristik alam itu
sendiri, namun karena secara kodrati diberi Tuhan
kelebihan terutama pikiran dan alat hidupnya yang
makin lama makin tinggi kemampuannya, dapat pula
mempengaruhi karakteristik dan perilaku alam yang
berdampak mengubah keseimbangan alam.

Dalam tataran normatif antropologis, kearifan lokal

merupakan sumber nilai yang penting, karena ia


merupakan perwujudan atas pemahaman nilai-nilai
spiritual keagamaan yang dimanifestasikan dalam
bentuk tatanan hidup dan sosial kemasyarakatan.
Ditinjau dari kacamata spiritual, wujud wadag
manusia merupakan saripati dari alam tempat ia
hidup, dan alam lingkungan medidik penghuninya
belajar, menyesuaikan diri dan mengambil manfaat
dari alam sehingga postur tubuh, adat, karakter dan
perilaku manusia terbentuk dan dipengaruhi alam.

Lingkungan alam yang keras/gersang, sumberdaya

alam terbatas, membentuk penghuninya bersaing


keras, dan melahirkan tipe manusia berkarakter keras,
berdaya juang tinggi, individual, bernaluri kuat
menguasai, suka berperang dan penuh kecurigaan dan
gemar menjelajah dan menjajah.
Alam lingkungan yang ramah dan subur, sumberdaya
alam melimpah, mendidik penghuninya menghargai
dan mencintai alamnya karena telah menyediakan
kebutuhan hidupnya tanpa susah payah dan tanpa
persaingan.

Alam yang subur membentuk manusia yang


berkarakter ramah, berperasaan halus, bersikap
baik dan terbuka. Rasa kepemilikan bersama lebih
menonjol dibanding sifat individual serta suka
keharmonisan, baik dalam hubungan vertikal
maupun horisontal. Citarasa seni dan hal yang
bersifat spiritual lebih menonjol, namun
kelemahannya memiliki daya juang yang rendah,
ketahanan rendah terhadap dominasi atau
penguasaan bangsa lain.

Alam Indonesia yang subur dan terletak dikawasan

tropis, dengan kekayan bentuk bentangan alam,


keaneka ragaman hayati, keanekaragaman bendabenda langit serta peristiwa astronomi yang dapat
dilihat dari bumi, merupakan elemen yang penting
dan bahan pembelajaran yang sangat kaya bagi
manusia Indonesia sejak zaman nenek moyang.
Maka tidak aneh jika leluhur bangsa sudah mengenal

penanggalan, teknologi bangunan, sistem kenegaraan dan


manajemen lingkungan dan ilmu yang terkait dengan
aspek-aspek ketuhanan yang murni lahir dari hasil
penggalian sendiri.

Proses Pembentukan Nilai-Nilai


Dasar Agama dan Adat Budaya
Alam
Lingkungan

Belajar dari alam


(interaksi)

Adaptasi
dengan alam
(internalisasi)

Penggalian diri
Dan hakekat
hidup
(internalisasi)

Pembentukan
karakter
(internalisasi)

Pandangan Hidup, Nilai-nilai riligius, Etos spiritual

AGAMA ADAT BUDAYA

Anda mungkin juga menyukai