Beberapa ahli tambang telah melakukan klasifikasi metoda penambangan terbuka dan bawah tanah
antara lain : Peele (1941), Young (1946), Lewis dan Clark (1964). Dasar dari pembagian metoda ini
adalah beberapa kombinasi subyektif dari spasial, geologi dan faktor geoteknik. Sedangkan beberapa
skema saat ini dikenalkan lebih kuantitatif atau memiliki pendekatan sistem tetapi menggunakan dasar
pendekatan yang sama seperti Peele adalah Morrison dan Russel (1973), Boshkov dan Wright (1973),
Thomas (1978), Nicholas (1981) dan Hamrin (1982). Secara garis besar, metode penambangan dapat
digolongkan menjadi 3, yaitu :
1. Tambang terbuka (surface mining)
2. Tambang dalam / bawah tanah (underground mining)
3. Tambang bawah air (underwater mining / marine mine)
Tambang terbuka adalah metoda penambangan yang segala aktivitas penambangannya dilakukan
diatas atau relatif dekat dengan permukaan bumi, dan tempat kerjanya berhubungan langsung dengan
udara bebas. Tambang bawah tanah adalah metoda penambangan yang segala kegiatan atau
aktivitasnya dilakukan di bawah permukaan bumi, dan tempat kerjanya tidak langsung berhubungan
dengan udara luar. Tambang bawah air adalah metoda penambangan yang kegiatan penggaliannya
dilakukan di bawah permukaan air atau endapan mineral berharganya terletak dibawah permukaan air.
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta diaplikasikannya
berbagai cara baru dalam usaha mengambil bahan galian, saat ini yang diperlukan suatu klasifikasi
metoda penambangan yang mempunyai ciri (Hart man, 1987) :
1. Umum (dapat diaplikasikan pada tambang terbuka atau bawah tanah, untuk semua komoditi tambang,
batubara atau non batubara).
2. Meliputi metoda yang sedang berjalan dan metoda baru (novel) yang sedang dikembangkan tetapi
belum dapat dibuktikan secara keseluruhan.
3. Mengenali perbedaan kelas metoda yang besar dan biaya relatif. Kategori yang digunakan oleh
Hartman adalah :
- dapat diterima (acceptance) : tradisional atau baru
- lokal untuk tambang terbuka (atau tambang bawah tanah)
- kelas dan sub kelas
- metoda
BLASTING
Peledakan (blasting ; explosion) merupakan Kegiatan pemecahan suatu material (batuan) dengan
menggunakan bahan peledak atau Proses terjadinya ledakan. Beberapa istilah dalam peledakan :
1. Peledakan bias (refraction shooting) merupakan Peledakan di dalam lubang atau sumur dangkal
untuk menimbulkan getaran guna penyelidikan geofisika cara seismik bias.
2. Peledakan bongkah (block holing) merupakan Peledakan sekunder untuk pengecilan ukuran bongkah
batuan dengan cara membuat lobang tembak berdiatemeter kecil dan diisi sedikit bahan peledak
3. Peledakan di udara (air shooting) merupakan Cara menimbulkan energi seismik di permukaan bumi
dengan meledakkan bahan peledak di udara
4. Peledakan lepas gilir (off-shift blasting) merupakan Peledakan yang dilakukan di luar jam gilir kerja
5. Peledakan lubang dalam (deep hole blasting) merupakan Cara peledakan jenjang kuari atau tambang
terbuka dengan menggunakan lubang tembak yang dalam disesuaikan dengan tinggi jenjang
6. Peledakan parit (ditch blasting) merupakan Proses peledakan dalam pembuatan parit
7. Peledakan teredam (cushion blasting)merupakan Cara peledakan dengan membuat rongga udara
antara bahan peledak dan sumbat ledak atau membuat lubang tembak yang lebih besar dari diameter
dodol sehingga menghasilkan getaran yang relatif lembut
Pengenalan Bahan Peledak
1. Bahan peledak
Bahan peledak yang dimaksudkan adalah bahan peledak kimia yang didefinisikan sebagai suatu bahan
kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk padat, cair, atau campurannya yang apabila diberi aksi
panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat
cepat dan hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk gas disertai panas dan tekanan sangat
tinggi yang secara kimia lebih stabil.
Panas dari gas yang dihasilkan reaksi peledakan tersebut sekitar 4000 C. Adapun tekanannya, menurut
Langerfors dan Kihlstrom (1978), bisa mencapai lebih dari 100.000 atm setara dengan 101.500 kg/cm
atau 9.850 MPa ( 10.000 MPa). Sedangkan energi per satuan waktu yang ditimbulkan sekitar 25.000
MW atau 5.950.000 kcal/s. Perlu difahami bahwa energi yang sedemikian besar itu bukan merefleksikan
jumlah energi yang memang tersimpan di dalam bahan peledak begitu besar, namun kondisi ini terjadi
akibat reaksi peledakan yang sangat cepat, yaitu berkisar antara 2500 - 7500 meter per second (m/s).
Oleh sebab itu kekuatan energi tersebut hanya terjadi beberapa detik saja yang lambat laun berkurang
seiring dengan perkembangan keruntuhan batuan.
2. Reaksi dan produk peledakan
Peledakan akan memberikan hasil yang berbeda dari yang diharapkan karena tergantung pada kondisi
eksternal saat pekerjaan tersebut dilakukan yang mempengaruhi kualitas bahan kimia pembentuk bahan
peledak tersebut. Panas merupakan awal terjadinya proses dekomposisi bahan kimia pembentuk bahan
peledak yang menimbulkan pembakaran, dilanjutkan dengan deflragrasi dan terakhir detonasi. Proses
dekomposisi bahan peledak diuraikan sebagai berikut:
a) Pembakaran adalah reaksi permukaan yang eksotermis dan dijaga keberlangsungannya oleh panas
yang dihasilkan dari reaksi itu sendiri dan produknya berupa pelepasan gas-gas. Reaksi pembakaran
memerlukan unsur oksigen (O2) baik yang terdapat di alam bebas maupun dari ikatan molekuler bahan
atau material yang terbakar. Untuk menghentikan kebakaran cukup dengan mengisolasi material yang
terbakar dari oksigen. Contoh reaksi minyak disel (diesel oil) yang terbakar sebagai berikut:
CH3(CH2)10CH3 + 18 O2 12 CO2 + 13 H2O
b) Deflagrasi adalah proses kimia eksotermis di mana transmisi dari reaksi dekomposisi didasarkan
pada konduktivitas termal (panas). Deflagrasi merupakan fenomena reaksi permukaan yang reaksinya
meningkat menjadi ledakan dan menimbulkan gelombang kejut shock wave) dengan kecepatan rambat
rendah, yaitu antara 300 1000 m/s atau lebih rendah dari kecep suara (subsonic). Contohnya pada
reaksi peledakan low explosive (black powder)sebagai bagai berikut:
+ Potassium nitrat + charcoal + sulfur
20NaNO3 + 30C + 10S ------> 6Na2CO3 + Na2SO4 + 3Na2S +14CO2 + 10CO + 10N2
+ Sodium nitrat + charcoal + sulfur
20KNO3 + 30C + 10S ------> 6K2CO3 + K2SO4 + 3K2S +14CO2 +10CO + 10N2
c) Ledakan, menurut Berthelot, adalah ekspansi seketika yang cepat dari gas menjadi bervolume lebih
besar dari sebelumnya diiringi suara keras dan efek mekanis yang merusak. Dari definisi tersebut dapat
tersirat bahwa ledakan tidak melibatkan reaksi kimia, tapi kemunculannya disebabkan oleh transfer
energi ke gerakan massa yang menimbulkan efek mekanis merusak disertai panas dan bunyi yang
keras. Contoh ledakan antara lain balon karet ditiup terus akhirnya meledak, tangki BBM terkena panas
terus menerus bisa meledak, dan lain-lain.
d) Detonasi adalah proses kimia-fisika yang mempunyai kecepatan reaksi sangat tinggi, sehingga
menghasilkan gas dan temperature sangat besar yang semuanya membangun ekspansi gaya yang
sangat besar pula. Kecepatan reaksi yang sangat tinggi tersebut menyebarkan tekanan panas ke
seluruh zona peledakan dalam bentuk gelombang tekan kejut (shock compression wave) dan proses ini
berlangsung terus menerus untuk membebaskan energi hingga berakhir dengan ekspansi hasil
reaksinya. Kecepatan rambat reaksi pada proses detonasi ini berkisar antara 3000 7500 m/s. Contoh
kecepatan reaksi ANFO sekitar 4500 m/s. Sementara itu shock compression wave mempunyai daya
dorong sangat tinggi dan mampu merobek retakan yang sudah ada sebelumnya menjadi retakan yang
lebih besar. Disamping itu shock wave dapat menimbulkan symphatetic detonation, oleh sebab itu
peranannya sangat penting di dalam menentukan jarak aman (safety distance) antar lubang. Contoh
proses detonasi terjadi pada jenis bahan peledakan antara lain:
+ TNT : C7H5N3O6 ------> 1,75 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 5,25 C
+ ANFO : 3 NH4NO3 + CH2 ------> CO2 + 7 H2O + 3 N2
+ NG : C3H5N3O9 ------> 3 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 0,25 O2
+ NG + AN : 2 C3H5N3O9 + NH4NO3 ------> 6 CO2 + 7 H2O + 4 N4 + O2
Dengan mengenal reaksi kimia pada peledakan diharapkan peserta akan lebih hati-hati dalam
menangani bahan peledak kimia dan mengetahui nama-nama gas hasil peledakan dan bahayanya.
3. Klasifikasi bahan peledak
Bahan peledak diklasifikasikan berdasarkan sumber energinya menjadi bahan peledak mekanik, kimia
dan nuklir. Karena pemakaian bahan peledak dari sumber kimia lebih luas dibanding dari sumber energi
lainnya, maka pengklasifikasian bahan peledak kimia lebih intensif diperkenalkan. Pertimbangan
pemakaiannya antara lain, harga relatif murah, penanganan teknis lebih mudah, lebih banyak variasi
waktu tunda (delay time) dan dibanding nuklir tingkat bahayanya lebih rendah. Bahan peledak
permissible dalam klasifikasi di atas perlu dikoreksi karena tidak semua merupakan bahan peledak
lemah. Bahan peledak permissible digunakan khusus untuk memberaikan batubara ditambang batubara
bawah tanah dan jenisnya adalah blasting agent yang tergolong bahan peledak kuat.
Sampai saat ini terdapat berbagai cara pengklasifikasian bahan peledak kimia, namun pada umumnya
kecepatan reaksi merupakan dasar pengklasifikasian tersebut.
yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang
menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan sebagai berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
F < 1,0 : lereng tidak mantap
Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan perhitungan untuk
mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kemantapan lereng, antara lain :
Penyebaran batuan
Penyebaran dan keragaman jenis batuan sangat berkaitan dengan kemantapan lereng, ini karena
kekuatan, sifat fisik dan teknis suatu jenis batuan berbeda dengan batuan lainnya. Penyamarataan jenis
batuan akan mengakibatkan kesalahan hasil analisis. Misalnya : kemiringan lereng yang terdiri dari pasir
tentu akan berbeda dengan lereng yang terdiri dari lempung atau campurannya.
Struktur geologi
Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng dan perlu diperhatikan dalam analisis adalah
struktur regional dan lokal. Struktur ini mencakup sesar, kekar, bidang perlapisan, sinklin dan antiklin,
ketidakselarasan, liniasi, dll. Struktur ini sangat mempengaruhi kekuatan batuan karena umumnya
merupakan bidang lemah pada batuan tersebut, dan merupakan tempat rembesan air yang
mempercepat proses pelapukan.
Morfologi
Keadaan morfologi suatu daerah akan sangat mempengaruhi kemantapan lereng didaerah tersebut.
Morfologi yang terdiri dari keadaan fisik, karakteristik dan bentuk permukaan bumi, sangat menentukan
laju erosi dan pengendapan yang terjadi, menent ukan arah aliran air permukaan maupun air tanah dan
proses pelapukan batuan.
Iklim
Iklim mempengaruhi temperatur dan jumlah hujan, sehingga berpengaruh pula pada proses pelapukan.
Daerah tropis yang panas, lembab dengan curah hujan tinggi akan menyebabkan proses pelapukan
batuan jauh lebih cepat daripada daerah sub-tropis. Karena itu ketebalan tanah di daerah tropis lebih
tebal dan kekuatannya lebih rendah dari batuan segarnya.
Tingkat pelapukan
Tingkat pelapukan mempengaruhi sifat-sifat asli dari batuan, misalnya angka kohesi, besarnya sudut
geser dalam, bobot isi, dll. Semakin tinggi tingkat pelapukan, maka kekuatan batuan akan menurun.
Hasil kerja manusia
Selain faktor alamiah, manusia juga memberikan andil yang tidak kecil. Misalnya, suatu lereng yang
awalnya mantap, karena manusia menebangi pohon pelindung, pengolahan tanah yang tidak baik,
saluran air yang tidak baik, penggalian / tambang, dan lainnya menyebabkan lereng tersebut menjadi
tidak mantap, sehingga erosi dan longsoran mudah terjadi.
Pada dasarnya longsoran akan terjadi karena dua sebab, yaitu naiknya tegangan geser (she ar st ree s)
dan menurunnya kekuatan geser (shear strenght). Adapun faktor yang dapat menaikkan tegangan geser
adalah :
Pengurangan penyanggaan lateral, antara lain karena erosi, longsoran terdahulu yang menghasilkan
lereng baru dan kegiatan manusia.
Pertambahan tegangan, antara lain karena penambahan beban, tekanan air rembesan, dan
penumpukan.
Gaya dinamik, yang disebabkan oleh gempa dan getaran lainnya.
Pengangkatan atau penurunan regional, yang disebabkan oleh gerakan pembentukan pegunungan
dan perubahan sudut kemiringan lereng.
Pemindahan penyangga, yang disebabkan oleh pemotongan tebing oleh sungai, pelapukan dan erosi
di bawah permukaan, kegiatan pertambangan dan terowongan, berkurangnya/hancurnya material
dibagian dasar.
Tegangan lateral, yang ditimbulkan oleh adanya air di rekahan serta pembekuan air, penggembungan
lapisan lempung dan perpindahan sisa tegangan.
Sedangkan faktor yang mengurangi kekuatan geser adalah :
Keadaan atau rona awal, memang sudah rendah dari awal disebabkan oleh komposisi, tekstur, struktur
dan geometri lereng.
Perubahan karena pelapukan dan reaksi kimia fisik, yang menyebabkan lempung berposi menjadi
lunak, disinteggrasi batuan granular, turunnya kohesi, pengggembungan lapisan lempung, pelarutan
material penyemen batuan
Perubahan gaya antara butiran karena pengaruh kandungan air dan tekanan air pori.
Perubahan struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang terdapat di tebing / lereng.
Geometri Jenjang (Bench Dimension)
Sebelum mengetahui beberapa pendapat mengenai dimensi jenjang, perlu diketahui istilah pada jenjang
seperti terlihat di bawah ini. Dalam penentuan gometri jenjang, beberapa hal yang dipertimbangkan,
antara lain :
o Sasaran produksi harian dan tahunan
o Ukuran alat mekanis yang digunakan
o Sesuai dengan ultimate pit slope
o Sesuai dengan kriteria slope stability
Elemen-elemen suatu jenjang terdiri dari tinggi, lebar dan kemiringan yang penentuan dimensinya
dipengaruhi oleh: (1) alat-alat berat yang dipakai (terutama alat gali dan angkut), (2) kondisi geologi, (3)
sifat fisik batuan, (4) selektifitas pemisahan yang diharapkan antara bijih dan buangan, (5) laju produksi
dan (6) iklim. Tinggi jenjang adalah jarak vertikal diantara level horisontal pada pit; lebar jenjang adalah
jarak horisontal lantai tempat di mana seluruh aktifitas penggalian, pemuatan dan pengeboranpeledakan dilaksanakan; dan kemiringan jenjang adalah sudut lereng jenjang. Batas ketinggian jenjang
diupayakan sesuai dertgan tipe alat muat yang dipakai agar bagian puncaknya terjangkau oleh boom
alat muat. Disamping itu batas ketinggian jenjang pun harus mempertimbangkan aspek kestabilan
lereng, yaitu tidak longsor karena getaran peledakan atau akibat hujan. Tinggi pada tambang terbuka
dan quarry batu andesit dan granit sekitar 15 m, sedangkan pada tambang uranium hanya sekitar 1,0 m.
Hubunngan antara permeabilitas dengan sistem penyaliran dapat dilihat pada tabel berikut :
Dalam merancang batas tambang, seorang engineer akan memberi nilai pada parameter fisik dan
parameter ekonomi. Batas tambang utama merupakan batas maksimum seluruh material yang
memenuhi kriteria fisik dan ekonomi. Material yang terkandung dalam tambang tersebut mempunyai dua
sasaran :
1) Material dalam blok harus mampu membayar seluruh biaya untuk penambangan, proses, pemasaran,
maupun pengupasan material di atas blok tersebut.
2) Untuk konservasi dari sumber daya alam, maka material dalam blok harus termanfaatkan secara
optimal.
Hasil dari sasaran-sasaran ini adalah rancangan yang akan meningkatkan keuntungan total tambang
berdasarkan parameter fisik dan ekonomi yang digunakan. Perubahan parameter-parameter ini di masa
yang akan datang, akan mengakibatkan perubahan pada rancangan tambang. Karena nilai dari
parameter tidak diketahui pada saat merancang, seorang enginer diharapkan dapat merancang tambang
untuk berbagai nilai untuk menentukan faktor yang paling penting maupun efeknya terhadap batas
tambang.
Gambar 3.3 Pembuatan Bench cara US Army Engineer (Pit & Quaries, No. 5-332,
1967)
2. Jalan tambang
Salah satu pertimbangan geometri adalah pembuatan jalan tambang baik itu jalan masuk ke dalam
tambang untuk pengangkutan batubara/endapan bahan galian yang ditambang ataupun juga jalan yang
digunakan untuk penimbunan lapisan penutup. Geometri dari jalan akan mempengaruhi bentuk geometri
daerah penambangan secara umum. Geometri dari jalan tersebut meliputi lebar dan kemiringan jalan
(biasanya dipengaruhi oleh jenis alat yang digunakan dalam operasi penambangan).
Gambar 3.4 Batasan penambangan berdasarkan nilai Stripping Ratio dan BESR
3.2.2 Aspek geometri pada tambang bawah tanah
Cadangan batubara yang akan ditambang dengan cara teknik tambang bawah tanah sangat dipengaruhi
oleh beberapa aspek meliputi ukuran, bentuk, orientasi dan faktor kedalaman dari permukaan dari
cadangan batubara tersebut. Oleh karena itu terdapat beberapa pertimbangan geometri yang harus
diperhatikan.
Adapun pertimbangan geometri yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Geometri pilar
Pertimbangan tegangan insitu dan kemantapan lubang bukaan menyebabkan harus meninggalkan pilarpilar batubara dengan ukuran tertentu. Ratio luas beban yang harus ditanggung oleh sebuah pilar
batubara dapat dilihat pada Gambar 3.5.