PENDAHULUAN
BAB II
KASUS
IDENTITAS
Nama
: Ny. E S
Umur
: 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Cilincing
Pekerjaan
Pendidikan
: SLTA
Agama
: Islam
Tanggal Pemeriksaan
: 29 September 2014
ANAMNESIS
Autoanamnesa
Tanggal 29 September 2014
Keluhan Utama
Bentol dan kemerahan kulit pada seluruh tubuh sejak 4 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Kemerahan timbul sejak 4 hari SMRS, kemerahan timbul pada seluruh tubuh. Menurut
pasien, keluhan timbul setelah makan ikan kakap. Setelah timbul kemerahan , timbul
gelembung dengan berukuran kecil, terasa panas dan gatal. Gelembung ini timbul hampir
diseluruh tubuh , kecuali ada bagian wajah.
Sudah berobat dan minum obat namun belum ada perubahan dan perbaikan. Panas badan
disangkal, terkelupasnya kulit disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki
alergi terhadap makanan laut sejak pasien SMA, namun tidak pernah timbul seperti ini.
Riwayat penyakit sistemik atau penyakit kulit lainnya disangkal. Riwayat asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal. Riwayat asma . Alergi , rhinitis disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke poliklinik umum dan meminum obat,namun keluhan dirasa
tidak membaik dan tidak ada perubahan.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Laju nadi
: 80 x/menit
Laju pernafasan
: 21 x/menit
Suhu
: Afebris
Diagnosa Kerja
Dermatitis Hepertiformis
Diagnosa Banding
PENATALAKSANAAN
Tujuan :
1. Menghilangkan bercak kemerahan
2. Menjaga Kosmetik dan Estetika
Non-Medikamentosa
Tidak mengkonsumsi kembali makanan yang telah menyebabkan gejala
Menghindari alergen yang sudah pasien ketahui
Medikamentosa
DDS 200mg/hari
CTM 1 x 1
Lot MBS
Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
: bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Dermatitis herpetiformis adalah manifestasi spesifik kulit dari coeliac disease dengan
ruam gatal yang simetris dan akibat deposit igA di kulit. Penyakit ini merupakan penyakit
autoimun dengan ruam papulovesicular yang gatal dan berlokasi pada lengan, siku, bokong,
lutut dan kepala. 4
EPIDEMIOLOGI
Penyakit Dermatitis herpetiformis sering ditemukan pada orang Amerika Utara, dan
sangat jarang ditemukan pada orang keturunan asia dan afrika. Berdasarkan penelitian di
Finlandia pada tahun 1978, penyakit Dermatitis herpetiformis ini menyerang 10,4 : 100.000
dan biasanya yang telah terjangkit adalah 1,3 : 100.000. Dermatitis herpetiformis dapat
menyerang semua umur, biasanya menyerang orang rata rata pada usia sekitar 40 tahun,
tetapi penyakit ini juga bervariasi mulai umur 2 tahun sampai 90 tahun. Remaja dan anak
anak jarang terkena. Pria lebih banyak daripada wanita, tetapi pada anak anak perempuan
lebih banyak. Terdapat 10,5% pasien dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit DH
atau coeliac disease. Penyakit ini pernah dilaporkan pada kembar monozygot.5,6
ETIOLOGI
Etiologi dari Dermatitis herpetiformis belum diketahui secara pasti, tetapi gluten,
sejenis protein yang ditemukan pada gandum, gerst, dan gandum hitam, diyakini menjadi
penyebab utama DH. Oat (havermouth) adalah sejenis gandum yang telah lama diketahui
mengandung gluten, berperan sebagai pencetus timbulnya DH dan harus dihindari agar tidak
terjadi toksisitas pada pasien pasien DH.7
Gluten-sensitif enteropati, yang dibuktikan dengan biopsi usus kecil, selalu ada, tetapi
kebanyakan pasien tidak menderita diare, sembelit atau malnutrisi sebagai enteropati yang
ringan, merata dan hanya melibatkan usus kecil proksimal. Absorbsi gluten, atau antigen dari
makanan lain, bisa terbentuk dari sirkulasi imun kompleks yang ada di kulit. Berbagai
antibodi dapat dideteksi, terutama diarahkan untuk melawan reticulin, gliadin dan komponen
endomysiuma dari otot polos. Granular deposit IgA dan C3 dalam dermis superfisial di
bawah membran zona menginduksi peradangan, yang kemudian memisahkan epidermis dari
dermis. Deposit ini menghilang perlahan setelah pengenalan diet bebas gluten.8
PATOGENESIS
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pengendapan
IgA dalam papila dermis, yang memicu reaksi imunologi, mengakibatkan datangnya neutrofil
dan aktivasi komplemen. Dermatitis herpetiformis adalah hasil dari respon imun terhadap
rangsangan kronis dari mukosa usus oleh diet gluten. Sebuah kecenderungan genetik yang
mendasari untuk pengembangan dermatitis herpetiformis telah dibuktikan. Herpetiformis
dermatitis dan penyakit celiac (CD) dikaitkan dengan peningkatan ekspresi HLA-A1, HLAB8, HLA-DR3, dan HLA-DQ2 haplotype. Faktor lingkungan juga penting, kembar
monozigot mungkin memiliki dermatitis herpetiformis, celiac disease, dan gluten-sensitif
enteropati dengan simtomatologi yang sama. Teori terkemuka untuk dermatitis herpetiformis
adalah bahwa kecenderungan genetik untuk sensitivitas gluten, ditambah dengan diet tinggi
gluten, mengarah pada pembentukan antibodi IgA terhadap gluten-jaringan transglutaminase
(t-TG), yang ditemukan dalam usus. Antibodi bereaksi silang dengan transglutaminase
epidermal (e-TG). ETG sangat homolog dengan TTG. 9,14
Serum dari pasien dengan gluten-sensitif enteropati, dengan atau tanpa penyakit kulit,
mengandung antibodi IgA pada kulit dan usus. Deposisi IgA dan kompleks TG epidermal
dalam papilla dermis menyebabkan lesi dari dermatitis herpetiformis. Pada pasien dengan
gluten-sensitif enteropati, tingkat sirkulasi antibodi terhadap jaringan dan transglutaminase
epidermal telah ditemukan berkorelasi dengan satu sama lain, dan keduanya tampaknya
berkorelasi dengan tingkat enteropati. Deposit IgA pada dermatitis herpetiformis telah
terbukti berfungsi in vitro sebagai ligan untuk migrasi neutrofil. Meskipun deposisi IgA
penting untuk penyakit, namun serum peningkat IgA tidak diperlukan untuk patogenesis,
laporan kasus menggambarkan pasien herpetiformis dermatitis dengan defisiensi IgA parsial,
neutrofil beredar memiliki tingkat yang lebih tinggi ketika penyakit aktif. CD11b dan
kemampuan meningkat untuk mengikat IgA. Temuan histologis karakteristik dermatitis
herpetiformis adalah akumulasi neutrofil di dermal epidermal junction, sering lokalisasi ke
ujung papiler dari zona membran basal. Kolagenase dan stromelysin 1 dapat diinduksi dalam
keratinosit basal baik oleh sitokin yang terlepas dari neutrofil atau kontak dengan keratin dari
membran matrix basal yang rusak. Stromelysin 1 dapat berkontribusi untuk pembentukan
blister. Satu studi menemukan kadar E-selectin ekspresi mRNA di normal-muncul kulit
pasien dengan dermatitis herpetiformis menjadi 1.271 kali lebih besar. Selain itu, pada studi
yang sama diamati peningkatan larut E-selectin, antibodi IgA transglutaminase antitissue,
tumor necrosis factor-alpha, dan interleukin 8 serum (IL-8) tingkat pada pasien dengan
dermatitis herpetiformis, memberikan bukti lebih lanjut dari aktivasi sel endotel dan respon
inflamasi sistemik sebagai bagian dari mekanisme patogen penyakit. Trauma lokal ringan
juga dapat menyebabkan pelepasan sitokin dan menarik neutrofil sebagian prima atau
diaktifkan, yang konsisten dengan lokasi khas lesi dermatitis herpetiformis pada daerah yang
sering mengalami trauma, seperti lutut dan siku. Simpanan dari C3 mungkin juga hadir dalam
pola yang sama di dermal epidermal junction. Serangan membran kompleks, C5-C9, juga
telah diidentifikasi di kulit perilesional, meskipun mungkin tidak aktif dan tidak berkontribusi
terhadap lisis sel. Faktor hormonal juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis
dermatitis herpetiformis, dan laporan menggambarkan herpetiformis dermatitis yang
disebabkan oleh pengobatan dengan asetat leuprolida, analog hormon gonadotropin-releasing.
Androgen memiliki efek penekanan pada aktivitas kekebalan tubuh, termasuk autoimunitas
menurun, dan menyatakan kekurangan androgen dapat menjadi pemicu potensial untuk
eksaserbasi dermatitis herpetiformis. 9,14
Eksaserbasi dermatitis herpetiformis oleh kontrasepsi oral juga telah dilaporkan.
Apoptosis dapat berkontribusi pada patogenesis dari perubahan epidermal pada dermatitis
herpetiformis, dan penelitian menunjukkan tingkat apoptosis meningkat tajam dalam
kompartemen epidermal pada dermatitis herpetiformis. Kebanyakan pasien dengan dermatitis
herpetiformis memiliki bukti histologis enteropati, bahkan tanpa adanya gejala dari
malabsorpsi. Dalam suatu studi, pasien dermatitis herpetiformis mengalami peningkatan
permeabilitas usus (yang diukur dengan rasio lactulose / manitol) dan up-peraturan zonulin,
regulator dari sambungan ketat, jadi peningkatan ekspresi zonulin mungkin terlibat dalam
patogenesis dari enteropati pada pasien dengan dermatitis herpetiformis.9,14
Pencernaan Gluten
di usus halus
Rangsangan Kronis
Memicu Ig A
Usus
Kulit
Ig A+ gluten jaringan
transglutaminase
Ig A+ epidermal
transglutaminase
Masuk ke sirkulasi
pembuluh darah
Tertimbun dalam
papilla dermis di kulit
GENETIK: HLA-A1,
HLA-B8, HLA-DR3, dan
HLA-DQ2 haplotype
GSE
(Gluten Sensitive Enteropaty)
Dermatitis herpetiformis
Bagan 1. Patogenesis Dermatitis herpetiformis
GEJALA KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya baik dan keluhannya sangat gatal. Rasa gatal yang
hebat seperti terbakar atau tersengat yang biasanya sering mendahului lesi sehingga cepat
menimbulkan erosi, ekskoriasi atau krusta, kemungkinan tidak akan ditemukan vesikel yang
masih utuh. Rasa gatal ini merupakan tanda DH, tetapi beratnya tidak ada hubungannya
dengan tindakan penyakitnya. Penderita dapat memperkirakan lesi baru akan muncul dengan
rasa seperti terbakar, gatal dan menyengat 8 12 jam sebelum timbulnya lesi.10,11
Lesi awal pada DH yaitu papul eritem, plak yang mirip dengan urtikaria, dan vesikel.
Bulla yang besar jarang ada. Vesikel, terutama yang berada di telapak tangan dapat menjadi
hemoragic. Lesi yang sudah sembuh dapat menjadi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Biasanya pada pasien hanya terdapat krusta dan erosi.3,7,13
Tempat predileksi biasanya simetris pada siku, lutut, bokong, bahu dan area sacrum.
Walaupun area tersebut paling sering terkena, kebanyakan pasien memiliki lesi di kulit
kepala dan pada area posterior nuchal. Area yang juga paling sering terkena adalah pada
wajah. Lesi pada mukosa jarang terjadi, seperti juga pada telapak tangan dan telapak kaki.
Distribusinya akut, simetris dan polimorf .2,7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Histopatologi
Perubahan awal, dijelaskan oleh MacVicar dkk, yang terjadi pada ujung papilla dermis
dimana edema dan eksudat netrofil serta eusinofil muncul untuk pemisahan subepidermis.
Inilah yang menyebabkan timbulnya bulla. Kemudian terjadi degenerasi dari ujung papilla,
lapisan epidermis membelah, serta ujung lapisan dermis memanjang dan menghasilkan
vesikel vesikel. Infiltrasi sel sel ini mengandung banyak netrofil dan sedikit eosinofil. 7
Perubahan histopatologi yang khas tidak tampak pada 20 - 40% spesimen biopsi dan
ekskoriasi yang sudah ada sebelumnya, mungkin saja menyulitkan untuk menemukan lesi
yang tepat untuk di biopsi, sehingga biopsi yang dilakukan sebaiknya mengambil sedikit
bagian yang masih normal di sekeliling lesi eritematous yang tidak tampak adanya vesikel
dan mungkin saja vesikel terbentuk dari area ini.1
Gambar
Mikroabses
3.Dermatitis
neutrofil
herpertiformis.
dalam
papilla
dermal.1
2. Serologi
Pemeriksaan serologik spesifik yaitu tampak antibodi Ig-A antiendomisium (EMA), yang
mengikat substansi otot polos (endomisium). Sardy et al menunjukkan bahwa IgA
autoantibodi memiliki spesifilitas terhadap TGase. Tes serologi dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dermatitis herpetiformis dan untuk memantau aktivitas
penyakit.3,6,12
a.
Imunoflouresensi
Direct immunofluorescence (DIF) didapatkan deposit granula IgA pada papilla dermis, dan
IgA muncul dalam jumlah yang banyak pada dekat lesi aktif, oleh karena itu, daerah yang
disukai untuk biopsi untuk immunofluorosence adalah daerah yang tampak normal atau
sedikit eritamatosa yang berdekatan pada lesi aktif. Pengendapan IgA biasanya dihancurkan
di dalam lesi aktif selama proses peradangan. Lebih dari 90% pasien dengan DH memiliki
endapan IgA granular atau fibrilar pada papilla dermis.11,13,15
DIAGNOSIS BANDING
DH dibedakan dengan pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, dan Chronic Bullous
Diseases of Chilhood (CBDC).9
1. Pemfigus Vulgaris
Pada pemfigus vulgaris, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, kelainan utama ialah bula
yang berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau tidak. 10
2. Pemfigoid Bullosa
Pemfigoid Bullosa ditandai dengan adanya bulla subepidermal yang besar dan berdinding
tegang dan pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG dan C3 tersusun seperti pita di
B.M.Z (Basement Membran Zone).10
Gambar
Childhood
6.Chronic
Bullous
Disease
of
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada DH
adalah dapsone dan sulfaridin. Sulfon yang paling efektif adalah diaminodyphenylsulfone
(dapsone). 1,3
1. Dapson
Dapson merupakan obat pilihan untuk DH. Dosis dimulai dari 100 150 mg/hari, tetapi
beberapa penderita mungkin memerlukan 300 400 mg/hari. Biasanya dimakan 1
kali/hari. Peningkatan dosis dilakukan secara bertahap hingga dapat menekan gejalanya
dan tanpa menimbulkan efek samping yang berarti dan gejalanya menghilang dalam waktu
3 jam atau beberapa hari setelah pil pertama ditelan kemudian dosis diturunkan hingga
mencapai dosis pemeliharaan 25 50 mg/ hari yang dapat diberikan selama beberapa
tahun.10
Meskipun dapson dapat menekan manifestasi kulit tetapi tidak mengurangi gejala
gastrointestinal dan tidak mengembalikan perubahan bentuk didalam usus. Penyerapan
dapson tidak terpengaruh dengan enteropati dan aman untuk kehamilan.10
2. Sulfapiridin
Sulfapiridin jarang didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih banyak
dibandingkan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan akan menyebabkan
terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air. Khasiatnya kurang dibandingkan
dapson dan dosisnya antara 1-4 gr sehari.9
3. Kortikosteroid
Saat ini penggunaan kortikosteroid oral tidak memberikan hasil yang baik. Penggunaan
steroid kuat atau paling kuat secara topikal (khususnya clobetasol propionate) dapat
berguna untuk menurunkan gatal.13
4. Anti-histamin
Walaupun keampuhannya tidak terlalu baik pada pengobatan dermatitis herpetiformis,
antihistamin generasi ketiga dengan aktivitas yang spesifik pada granulosit eosinofil,
digolongkan pada pilihan pengobatan level ketiga, dapat diberguna untuk mengontrol
gatal. Obat anti-histamin yang dapat digunakan adalah Diphenhydramine (Benadryl) ,
Chlorpheniramine, Loratadine (Claritin) Cetirizine (Zyrtec). 13
kangkung, dandelion, dan kubis, buah-buahan seperti apel, kiwi, ceri, jambu, pisang,
blueberry, blackberry, delima, jeruk, dan mangga, berbagai produk susu yakni keju,
mentega, susu, dan yoghurt, serta tepung bebas gluten yaitu tepung amaranth , tepung
garut, tepung beras merah, tepung soba, tepung kacang ayam, tepung jagung, tepung
jagung, tepung millet, tepung kentang, tepung quinoa, tepung sorgum , tepung kedelai,
tepung tapioka, tepung teff, tepung beras putih.8,9
PROGNOSIS
Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif, dan sekitar
10% dari penderita akan mengalami remisi.10,11
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrew GC. Chronic Bullous Dermatoses. in: Andrew GC,eds Diseases of The Skin
Clinical Dermatology 7th edition. Florida : American Association; 1990. p.552-5
2. Sunarko Martodihardjo. Hari Sukanto. M.Yulianto Listyawan.Duhring Disease.
Pedoman Diagnosis Dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi
3. Surabaya: FK UNAIR; 2005. p. 89-93.
3. Rose
C,
Zillikens
D.
Autoimmune
diseases
of
the
skin
pathogenesis,
Collin P, Holm K,
PubMed. 1998.
5. Herron MD and Zone JJ. Dermatitis Herpetiformis and Linear IgA Bullous
Dermatosis. In : Bolognia JL, J orizzo JL, Rapini RP eds. Dermatology 2 nd Edition ,
Volume 1. London : Mosby;2008. P. 479-84
6. Burns Tony,et al. Rooks textbook of Dermatology 7th edition, volume 1-4. United
States : Blackwell Science;2004. P.41.54-9
7. Hall PH, Katz SI. Dermatitis herpetiformis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. 7th ed: McGraw-Hill; 2008 p: 500-504.
8. John Hunter, John Savin, Mark Dahl. clinical Dermatology. 3thed. Blackwell; 2003.
p. 81-86
9. MD, Miller. L.Jami. Dermatitis herpetiformis. Emedicine Dermatology. 2012
10. Benny E. Wiryadi. Dermatosis Vesikubulosa Kronik. in : Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2010. p. 211-13
11. Amiruddin DM. Dermatitis herpetiformis. In : Amiruddin DM ed. Ilmu Penyakit
Kulit. Makassar: LKISS;2003. P.337-43
12. Habif TP. Clinical dermatology a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004 p:554-558.
13. Caproni M et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of dermatitis
herpetiformis.Journal
of
VenereologyVolume 23.2009
the
European
Academy
of
Dermatology
and