Anda di halaman 1dari 116

DIAH KAROMAH PUTRI

2009730011

PEMBIMBING:
DR. DIAN NURUL AL-AMINI, SP.THT
KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL RSIJ
SUKAPURA
FKK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan
telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda
yang bersifat cepat dan singkat.
(Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8
th
ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.)


1. A. DEFINISI OMA


1. B. STADIUM OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu:

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
3. Stadium Supurasi
4. Stadium Perforasi
5. Stadium Resolusi
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,



1. C. STADIUM OMA
Retraksi membran timpani terjadi
posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang
membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat
1. Stadium Oklusi Tuba
Eustachius
membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa
adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
otalgia, telinga rasa penuh dan demam.
2. Stadium Hiperemis atau
Stadium Pre-supurasi
sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di
sel-sel mastoid.
edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel
epitel superfisial terhancur.
membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
3. Stadium Supurasi
ruptur membran timpani
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
4. Stadium Perforasi
perforasi membran timpani menutup kembali
sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal.
5. Stadium Resolusi
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,



1. D. TATALAKSANA SESUAI STADIUM OMA
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun
HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur
atas 12 tahun pada orang dewasa.
Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin.
Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hariyang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi
dalam 3 dosis
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,



1. D. TATALAKSANA SESUAI STADIUM OMA
3. Stadium Supurasi
selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila
membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur
4. Stadium Perforasi
Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari ruptur membran timpani.
5. Stadium Resolusi
Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir diliang telinga luar melalui perforasi di
membran timpani.
Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut Otitis
Media Perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari adalah
congek.
Otitis Media Supuratif Kronik ialah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang
keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.
Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.


2. A. DEFINISI OMSK
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2. B. TIPE OMSK
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

OMSK
Benigna
Aktif
Tenang
Maligna
Proses peradangannya terbatas pada
mukosa saja, dan biasanya tidak
mengenai tulang.
Perforasi terletak di sentral.
Pada OMSK tipe benigna tidak
terdapat kolesteatoma.
Jarang timbulkan komplikasi
berbahaya
TIPE BENIGNA
Merupakan OMSK yang disertai
dengan kolesteatoma.
Kolesteatoma adalah suatu kista
epiterial yang berisi deskuamasi
epitel (keratin).
OMSK tipe maligna dikenal juga
dengan OMSK tipe berbahaya atau
OMSK tipe tulang.
Perforasi pada OMSK tipe maligna
letaknya di atik,
TIPE
MALIGNA
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

OMSK aktifsekret yang keluar
dari kavum timpani secara aktif.
Pada jenis ini terdapat sekret
pada telinga dan tuli. Biasanya
didahului oleh perluasan infeksi
saluran nafas atas melalui tuba
eutachius, atau setelah berenang
dimana kuman masuk melalui
liang telinga luar. Sekret
bervariasi dari mukoid sampai
mukopurulen
OMSK tenang kavum timpani
terlihat basah atau kering.Pada
pemeriksaan telinga dijumpai
perforasi total yang kering dengan
mukosa telinga tengah yang
pucat. Gejala yang dijumpai
berupa tuli konduktif ringan.
Gejala lain yang dijumpai seperti
vertigo, tinitus,atau suatu rasa
penuh dalam telinga.
Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar :
Telinga Berair
(Otorrhoe)
Gangguan
Pendengaran
Otalgia
(Nyeri
Telinga)
Vertigo
2. C. GAMBARAN KLINIS OMSK
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

SKEMA TATALAKSANA OMSK
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

MT utuh
Otoskopi
MT perforasi
Otitis difus, otomikosis,
dermatitis/eksim, otitis
eksterna maligna, miringitis
granulomatosa
Onset, Progresifitas,
predisposisi, fokus
infeksi, riwayat
pengobatan, tanda
komplikasi
Komplikasi (+)
OMSK
Kolesteatom (-)
Komplikasi (-)
Otorea kronis
Algoritma 2
Kolesteatom (+)
Algoritma 1
Omsk benigna (kolesteatom
(-) )
Omsk
tenang
Perforasi menutup
tuli konduktif
Tuli konduktif (+)
Ideal, timpanoplasti
tanpa/dg
mastoidektomi.
Omsk
aktif
Cuci telinga, antibiotik sistemik, lini
1= amoksisilin, antibiotik topikal
Otorea menetap >
1 minggu
Antibiotik
Otorea menetap >1
bulan
Ideal : mastoidektomi
+ timpanoplasti
Omsk benigna
Kolesteatom (+)


Atikotomi anterior
Timpanoplasti dinding utuh
Timpanoplasti dinding
runtuh
Atikoantroplasti
Timpanoplasti buka tutup


Algoritma 1
Algoritma 2
Omsk +
komplikasi
Komplikasi
intratemporal
Abses subperiosteal,
labirinitis, paresis
facial, petrositis
Antibiotik dosis tinggi,
mastoidektomi,
dekompresi N.VII,
petrosektomi
Komplikasi
intrakranial
Abses ekstradura, abses perisinus,
tromboflebitis sinus lateral,
meningitis, abses otak, meningitis
otikus
Rawat inap, periksa sekret telinga,
antibiotik IV dosis tinggi 7-15 hari, konsul
spesialis saraf, mastoidektomi, operasi
bedah saraf.
Rhinosinusitis adalah bentuk peradangan pada mukosa
hidung dan satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit
rinosinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah
kompleks osteomeatal, oleh infeksi, obstruksi mekanis atau
alergi dan biasanya oleh karena penyebaran infeksi gigi.
Dalam beberapa kasus rhinosinusitis dapat terjadi karena
adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga
sinus.

.


3. A. DEFINISI RHINOSINUSITIS
3. B. KLASIFIKASI RHINOSINUSITIS
SINUSITIS
Akut (<4minggu)
Subakut (4-
12minggu)
Kronis (>12
minggu)
3. C. KRITERIA DIAGNOSIS EPOS
Rinosinusitis (termasuk polip hidung) di definisikan sebagai :
Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan
adanya dua atau lebih gejala. Salah satunya termasuk hisdung
tersumbat/obstruksi/kongestif atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior)
nyeri wajah/ rasa tertekan
penurunan/ hilangnya penghidu
Dan salah satu dari
Temuan nasoendoskopi:
Polip dan/atau
Sekret mukopurulen dari meatus dan/atau
Edema /obstruksi mukosa di meatus medius
Dan/atau
Gambaran tomografi di komputer
Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

Skema Manajemen Untuk Perawatan Primer Untuk Orang Dewasa
Dengan Rhinosinusitis Akut
Gejala dua atau lebih dan salah satunya harus berupa:
Hidung tersumbat / obstruksi/kongesti/nasal discharge :
anterior/posterior nasal drip
-Terdapat nyeri tekan pada wajah
- Penurunan penciuman / hilang
Pemeriksaan rhinoskopi anterior
Xray / CT Scan tidak dianjurkan
Pada setiap titik langsung rujuk /
rawat inap:
-Edema periorbital
- Optalmioplegia
- Penurunan ketajaman visual
- Sakit kepala berat di frontal
unilateral / bilateral
- pembengakakn frontal
-Tanda-tanda meningitis / tanda
neurologis fokal
Gejala kurang dari 5 hari /
meningkat setelahnya
Gejala bertahan / meningkat
setelah 5 hari
Common cold
-Mengurangi gejala-gejala
-Tidak ada perbaikan setelah 14
hari dari pengobatan
-Pertimbangkan rujuk ke dokter
spesialis untuk 7 14 hari
Moderate
-Steroid topikal
- Efek dalam 48 jam
- Teruskan pengobatan
Parah
-Antibiotik
-Steriod topikal
-Tidak ada efek dalam 48
jam
-Merujuk ke spesialis
*Demam > 38
0
C, sakit parah
Skema manajemen Rhinosinusitis Kronik dengan atau tanpa
Polip Nasal
Gejala > 12 minggu
dua atau lebih gejala, satu diantaranya
memiliki gejala hidung tersumbat atau
discharge hidung :
- Nyeri wajah / tertekan
- Penciuman berkurang /
menghilang
Endoskopi
Tidak ada endoskopi
LIHAT SKEMA
spesialis THT
untuk NASAL
POLIP
Polip
Tidak ada
polip
LIHAT SKEMA
spesialis THT
untuk
Rhinosinusitis
kronik
Rujuk Spesialis THT jika Operasi
diperlukan
Pem : Rhinoskopi anterior
Diberikan steroid topikal
+ antihistamin jika ada
alergi
Lanjutkan
terapi
Perbaikan
Tidak ada
perbaikan
Rujuk spesialis
THT
Evaluasi setelah 4 minggu
Manajemen Untuk Spesialis THT Untuk Orang Dewasa Dengan CRS
Tanpa Polip Hidung
Dua gejala: salah satunya sumbatan
hidung atau perubahan warna
nyeri frontal, sakit kepala
gangguan bau
Pemeriksaan THT termasuk endoskopi
Pertimbangkan CT scan
Periksa alergi
Pertimbangkan diagnosis dan pengobatan
penyakit penyerta, misalnya asma
Pertimbangkan diagnosis
gejala unilateral lainnya
Pendarahan Cacosmia
Crusting
Gejala Orbital:
Periorbital edema
berkurang optalmoplegia
Parah sakit kepala frontal
Tanda meningitis atau
pembengkakan fokal
tanda neurologis
RINGAN
VAS 3-0
Perbaikan
Gagal setelah 3
bulan
Topical steroid
Kultur
Makrodila jangka
panjang
PEMBEDAHAN
CT SCAN
Gagal setelah 3
bulan
Urgent investigation
and intervention
SEDANG/BERAT
VAS > 3-10
Steroid topikal
Menindaklanjuti
dengan steroid
topikal dengan
jangka panjang
Manajemen Untuk Spesialis THT Untuk Orang Dewasa Dengan CRS
Dengan Polip Hidung
Dua gejala: salah satunya harus sumbatan hidung atau terdapat
perubahan warna
nyeri frontal, sakit kepala, gangguan bau
Pemeriksaan THT termasuk endoskopi (ukuran polip),
Pertimbangkan CT scan, Pertimbangkan diagnosis dan
pengobatan penyakit penyerta, misalnya, ASA
Pertimbangkan diagnosis lain
gejala unilateral, pendarahan
Krusta, Cacosmia,
Gejala Orbital:
periorbital edema
Penglihatan ganda atau
optalmoplegia
Sakit kepala frontal parah
frontal pembengkakan
Tanda-tanda meningitis atau fokal
T anda-tanda neurologis
Perbaikan
Diulang setelah 3
bulan
PEMBEDAHAN
CT SCAN
Diulang setelah 1 bulan
Urgent investigation
and intervention
Steroid
topikal spray
RINGAN
VAS 0-3
SEDANG
VAS> 3-7
BERAT
VAS > 7-10
Steroid
topikal drops
Steroid oral
(jangka panjang)
Steroid topikal
Tidak ada
Perbaikan
Perbaikan
Tidak ada
Perbaikan
Tindak lanjut, douching
steroid topikal, oral,
antibiotik jangka panjang
Lanjutkan dengan
topikal steroid
Diulang setiap 6
bulan
Gejala salah satunya hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti/ meler/ post nasal drip: nyeri
frontal, hiposmia, rinoskopi anterior, X Ray tidak
di rekomendasi
Rawat inap:
Bila ada:
-Edema periorbital
-Optalmoplegia
-Penglihatan ganda
Gejala < 5 hari/
meningkat setelahnya
Gejala persisten/
meningkat setelah 5 hari
Common cold
Perbaikan gejala
Tidak
Perbaikan gejala
Parah Sedang
Asma, bronkitis
kronik
Ya
Amoxicilin oral
Non toksik
Antibiotik oral
Tidak ada efek
dalam 48 jam
Dirawat
Demam
> 38
0
C
TOKSISK, PARAH
Rawat,
Antibiotik IV
Rawat:
Endoskopi nasal,
kultur
Antibiotik IV
Operasi
Manajemen Rhinosinusitis Akut Pada Anak
Manajemen Rhinosinusitis Kronis Pada Anak
Gejala salah satunya hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti/ meler/ post nasal drip: nyeri
frontal, hiposmia, rinoskopi anterior, X Ray tidak
di rekomendasi
Pertimbangkan diagnosis bila:
-Gejala unilateral:
-Perdarahan
-Krusta
-Caeosmia
-Gejala orbita:
periorbital edema,
penglihatan ganda,
optalmoplegia, sakit
kepala frontal, tanda-
tanda meningitis, tanda-
tanda neurologis.
Tidak parah
Eksasebasi
Tidak perlu
pengobatan
Tidak ada
perbaikan
Teruskan
pengobatan
Tidak ada peny.
sistemik
Alergi
Steroid topikal,
pencucian hidung,
antihistamin
Tinjau setelah 4
minggu
perbaikan
Antibiotik 2-
6 minggu
Tidak ada
perbaikan
imunodefisiensi
Perawatan
penyakit sistemik
Anjuran
operasi
AB empirik (2x24 jam) Lini I: Amoksil 3x500mg
/ Cotrimoxazol 2x480mg + Terapi tambahan
ANAMNESIS
Rinore purulen > 7 hari (Sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, demam
dll)
RINOSKOPI ANTERIOR
Polip? Tumor? Komplikasi Sinusitis?
TIDAK
Lama gejala > 8 minggu? Episode serangan akut > 4
YA
Lakukan pentalaksanaan yang
sesuai
TIDAK
YA
SINUSITIS AKUT Rinoskopi
Anterior (RA)
SINUSITIS
RA / Naso-endoskopi Ro polos / CT scan Pungsi &
Irigasi sinus/ Sinuskopi
Faktor Predisposisi?
TIDAK
YA
Tatalaksana yang
sesuai
Faktor predisposisi
1.Deviasi septum
2.Konka bulosa, Hipertrofi
Adenoid
Perbaikan?
TIDAK
Lini II AB (7 hari) Amoks.klav/
Ampi.sulbaktam Cephalosporin gen.keII
Makrolid + Terapi tambahan
Perbaikan?
TIDAK
Terapi sesuai pada episode akut lini
II +Terapi tambahan
Lakukan YA Kelainan
teruskan YA
Ro.polos/CT scan dan / Naso-endoskopi (NE)
Perbaikan?
Perbaikan
Evaluasi kembali: NE,Sinuskopi (Irigasi 5x
tidak membaik) Obstruksi KOM?
TIDAK
Perbaikan
TIDAK
AB alternatif 7 hari Atau buat kultur
Teruskan
YA
Terapi tambahan: Dekongest. oral, Kortikost.oral dan
atau topikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi)
Diatermi, Proet, Irigasi sinus
Evaluasi diagnosis kembali 1.Evaluasi komprehensif alergi 2.Kultur
dari pungsi sinus
YA
TINDAKAN BEDAH: BSEF atau Bedah Konvensional
TIDAK
Cari alur diagnostik lain
3. D. Penatalaksanaan Rhinosinusitis
AKUT
Diberikan antibiotik selama 10-
14 hari golongan penisilin.
Diberikan dekongestan hidung
dan
Analgetik untuk anti nyeri.
SUB AKUT
Terapinya diberikan antibiotik
spektrum luas atau yang sesuai
dengan tes resistensi kuman,
selama 10-14 hari.
Dekongestan
Obat tetes hidung hanya
diberikan terbatas 5-
10haririnitis
medikamentosa.
Diberikan analgetik,
Antihistamin
Mukolitik.
KRONIS
Terapinya diberikan antibiotik
sekurang-kurangnya 2 minggu.
Dapat dibantu dengan diatermi
gelombang pendek selama 10
hari pada daerah yang sakit.
Bila tidak ada perubahan
pembedahan
Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF)
Indikasi sinusitis kronik yang
tidak membaik setelah terapi
adekuat; sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan
yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur.
Prinsipnya dengan membuka
dan membersihkan daerah
kompleks ostiomeatal.
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yg disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE

.


4. A. DEFINISI RINITIS ALERGI
4. B Klasifikasi Rinitis Alergi
Diagnosis
Ana
mne
sis
Pemeriks
aan Fisik
Pemeriks
aan
Penunjan
g
4.C Kriteria Diagnosis Rinitis Alergi
Anamnesis
Bersin berulang
Gejala rinitis alergi yang
khas
keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar
(lakrimasi). Rinitis alergi sering
disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi
Gejala lain
Pemeriksaan Fisik
mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya sekret
encer yang banyak.
Rinoskopi anterior
Bayangan gelap di bawah mata
karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidungallergic shiner.
Menggosok hidung, karena gatal
allergic salute
Menggosok lama kelamaan
timbulnya garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawahallergic
crease
Gejala spesifik lain pada anak
adalah
allergic
shiner
allergic
salute
allergic
crease
facies adenoid
Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi geligi
geographic tongue
Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral
faring menebal.
Pemeriksaan Penunjang
In Vitro
In Vivo
Hitung eosinofil dalam darah tepi
dapat normal atau meningkat
In vitro
Alergen penyebab dapat dicari
dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET).
In Vivo
Terapi yang paling ideal adalah dengan
menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya
Medikamentosa
Antihistamin
Dekongestan
Antikolinergik
Kortikosteroid
Operatif
Imunoterapi
4. D Penatalaksanaan Rinitis Alergi
ALGORITMA PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGI MENURUT WHO
INITIATIVE ARIA 2001(DEWASA)
KS topikal +
AH
Kaustik
konka/konkotomi
Gagal
Dekongestan (3-5 hari) atau KS
oral (jangka pendek)
rinore
Gatal hidung
KS topikal
ditingkatkan
Sumbatan hidung
menetap
Pertimbangkan
imunoterapi
Salah diagnosis
Nilai kepatuhan
pasien
Komplikasi/infeksi
Faktor kelainan
anatomis
Th/mundur 1 langkah dan
th/diteruskan untuk 1 bulan
Tidak ada
membaik
Evaluasi setelah
2-4 minggu
Gejala persisten
AH oral/topikal atau
AH +dekongestan oral
Sedang/berat
ringan
Persisten/menetap
intermiten
Penghindaran alergen
Diagnosis Rinitis Alergi
(Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)
ringan
Sedang/berat
KS topikal
AH oral/topikal atau
AH +dekongestan oral atau
KS topikal atau
(Na kromoglikat)
Evaluasi setelah
2-4 minggu
Bila gagal: maju 1 langkah
bila th/ berhasil : lanjutkan 1 bulan
Ipratoprium
bromida
5.A Pembagian Gejala Ca.Nasofaring

GEJALA KLINIS
Gejala telinga

1.Rasa penuh pada telinga
2.Tinitus
3.Gangguan pendengaran

Gejala hidung

1.Epistaksis
2.Hidung tersumbat

Gejala mata dan saraf

1.Diplopia
2.Gerakan bola mata terbatas

Gejala lanjut

1.Limfadenopati servikal
2.Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan
sekitar
3.Gejala akibat metastase jauh.

5.B Stadium Ca.Nasofaring
Kriteria WHO :

Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma
(Karsinoma sel skuamosa berkeratin)
Tipe 2a : Non-keratinizing squamous cell carcinoma
(Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin)
Tipe 2b : Undifferentiated carcinoma
(Karsinoma tidak berdiffrensiasi)
Stadium TUMOR

T4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b. Invasi ke fosa pterigoid.
c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila
kontralateral.
d. Invasi ke lamina pterigoid.
e. Invasi ke selule etmoid posterior.
f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.
N1 : Klinis teraba kelenjar, dapat
digerakkan.
N2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.
M1 : Stadium dini, tumor terbatas di
sinus.
M2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke
struktur yang berdekatan.

T : Tumor.
T1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai
otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai
orbita.
T3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa
mengenai lamina kribrosa.
d. Invasi ke dinding anterior dan kulit
diatasnya.
Pembagian sistem TNM menurut
Simson sebagai berikut:


Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1
T2a
T2b
N1
N1
N0,N1
M0
M0
M0
Stadium III T1
T2a,T2b
T3
N2
N2
N2
M0
M0
M0
Stadium IV a T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IV b Semua T N3 M0
Stadium IV c Semua T Semua N M1
Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu
stadium dini (stadium 1 dan 2), stadium lanjut (stadium 3 dan
4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan
sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh
hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.
Stadium :

5.C. TATALAKSANA CA NASOFARING
Stadim 1 :
Radioterapi
Stadium II &
III :
Kemoradiasi
Stadium IV
dengan N < 6
cm :
Kemoradiasi
Stadium IV
dg N > 6cm :
Kemoterapi
dosis penuh
dilanjutkan
kemoradiasi
Pada daerah leher
terdapat beberapa ruang
potensial yang dibatasi
oleh fasia servikal. Fasia
servikal dibagi menjadi
dua yaitu fasia superfisial
dan fasia profunda.
6. RUANG LEHER DALAM
RUANG POTENSIAL LEHER DALAM
RUANG YANG MELIBATKAN
SEPANJANG LEHER TERDIRI DARI :
Ruang Retrofaring
Ruang Bahaya (Danger Space)
Ruang Prevertebra
RUANG SUPRAHIOID TERDIRI DARI :
Ruang Submandibula
Ruang Parafaring
Ruang Parotis
Ruang Mastikator
Ruang Peritonsil
Ruang Temporalis
RUANG INFRAHIOID
Ruang Pretrakeal
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang
melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid
dan ruang infrahioid.

Ruang prevertebra
Ruang prevertebra
merupakan ruang silindris
dari lapisan yang
mengelilingi columna
vertebralis dan otot.
Terletak diantara otot-otot
prevertebra dan fasia
pravertebra. Infeksi disini
dapat menerobos ke lateral
atau inferior ke dalam
mediastinum posterior.
Ruang
prevertebra
Ruang prevertebra
Ruang
prevertebra
Lingkaran tersebut meliputi :
Anterior : Melekat pada bagian
dasar tulang occipital,
area foramen jugularis
dan canalis carotis
Lateral : Melekat pada prosesus
mastoideus
Posterior : Sepanjang superior garis
akhir nuchal pada
protuberance occiput
eksterna yang
berhubungan dengan sisi
lawannya.
Ruang pravertebra melekat pada vertebra
Ci sampai dengan CVII
Ruang Submandibula
Batas inferior : lapisan superficial fascia
leher dalam memanjang dari hyoid ke
mandibula

batas lateral : dibentuk oleh mandibula itu
sendiri

Batas superior : mukosa dari dasar mulut.

Ruang submandibula terdiri atas ruang
sublingual dan submaksila yang
dipisahkan m.mylohyoid.

N.hipoglosus & duktus warthon yg
berhubungan dg ruang submaksila melalui
batas posterior m.mylohyoid, disekitar
inilah pus dengan mudah terkumpul.
Ruang
submandibula
Ruang Peritonsil
Batas medial : kapsul tonsila
palatina
Batas lateral : m.konstriktor faring
superior
Batas anterior : pilar anterior
Batas posterior : pilar posterior
Akumulasi nodus berlokasi
diantara kapsul tonsil palatina dan
otot2 konstriktor faring
Pilar anterior & posterior, torus
tubarius (superior), dan sinus
piriformis membentuk batas2
peritonsillar space.
Ruang
peritonsil
Ruang Suprahioid
Terletak diatas tulang hioid
antara lapisan selubung dan
pembungkus m. milohioid.

Infeksi disini dapat meluas
keruang submental atau
submaksila atau dapat meluas
ke bawah ke dalam ruang
visera.
Ruang
suprahioid
Ruang Parafaring
Merupakan rongga segitiga
besar dipenuhi dengan
jaringan lemak longgar,
terletak lateral dari faring

Dikenal sebagai
faringomaksila, perifaring
atau ruang faring lateral
terdiri dari dua bagian,
anterior (prastiloid) dan
posterior (retrostiloid)
Ruang
parafaring
Ruang Pretrakeal
Berisi kumpulan fasia yang
mengelilingi trakhea dan
gland tiroid.
Bagian Anterior : Berisi
lapisan pratrakea yang
melewai leher, hanya
posterior otot infrahioid dan
menutupi trachea adan
kelenjar tiroid
ABSES
LEHER
DALAM
Abses
Retrofaring
AbsesParafaring
Abses
submandibula
Abses
Peritonsil
Angina
Ludovici
Radang di jaringan ikat longgar peritonsil yang mengakibatkan
pembentukan nanah di jaringan peritonsil.

Etiologi
komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari
tonsil biasanya kuman penyebab sama dengan tonsillitis
dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.




ABSES PERITONSIL
Gejala tonsilitis
akut
Odinofagia
Trismus
Otalgia
Regurgitasi
Mulut berbau
Hipersalivasi
Pembengkakan &
nyeri tekan KGB
submandibula
GEJALA ABSES PERITONSIL
Pemeriksaan fisik
Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol
ke depan
Uvula bengkak, terdorong
kesisi kontralateral
Tonsil bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus
dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah.
Stadium infiltrasi :
- Antibiotika gol. Penisilin/klindamisin
- Obat simtomatik
- Kumur- kumur dengan cairan hangat dan
kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses :
- Pungsiinsisi
- Kemudian pasien dianjurkan operasi tonsilektomi
(sesudah infeksi tenang 2-3 minggu setelah drainase
abses)

Tempat insisi : daerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan gerahan atas
terakhir pada sisi yang sakit
TATALAKSANA ABSES PERITONSIL
Suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
retrofaring.
Etiologi
Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda asing
seperti tulang ikan atau tidakan medis seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi,
tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)



ABSES RETROFARING
Rasa
nyeri dan
sukar
menelan
Demam,
leher
kaku dan
nyeri
Sesak
napas
Stridor
Perubah
an suara
Terdapat
benjolan
pada
dinding
belakang
faring
Mukosa
bengkak
dan
hiperemis
GEJALA ABSES RETROFARING
TATALAKSANA ABSES RETROFARING
Medikamentosa
Antibiotik parenteral
Simtomatis
Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki
keseimbangan cairan
elektrolit
Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
Mempertahankan jalan nafas yang adekuat
Posisi pasien supine dengan leher ekstensi
Pemberian O2
Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber
optik
Trakeostomi / krikotirotomi
Operatif
Aspirasi pus (needle
aspiration)
Insisi dan drainase
Etiologi
Langsung: tusukan jarum
Supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid, vertebra servikal
Penjalaran infeksi ruang peritonsil, retrofaring, submandibula.

Gejala dan tanda
Trismus
Pembengkakan sekitar angulus mandibula
Demam tinggi
Pembengkakan dinding lateral faring menonjol ke medial






ABSES PARAFARING
Diagnosis
Riwayat
penyakit
Gejala dan
tanda klinik
Foto jaringan
lunak AP
atau CT scan
Terapi
Antibiotik
spektrum
luas dosis
tinggi
parenteral
Evakuasi
abses
Insisi
Komplikasi
Peradangan
intrakranial
Perdarahan
hebat
Septikemia
2 jari dibawah dan sejajar mandibula
Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas
anterior m. Sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula
dan m. Pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosessus stiloid
Pus dalam selubung karotid insisi dilanjutkan
vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m. sternokleidomastoideus

INSISI ABSES PARAFARING
Etiologi
Infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kelenjar
limfa submandibula
Kuman: campuran aerob & anaerob


Gejala dan tanda
Trismus
Pembengkakan dibawah mandibula/lidah
Demam dan nyeri leher






ABSES SUBMANDIBULA
Tatalaksana
Antibiotik dosis tinggi
terhadap kuman
aeroab dan anaerob
secara parenteral
Evakuasi abses :
abses yg
dangkal/terlokalisasi
dalam anastesi lokal
Abses yang dalam dan
luas
Insisi abses
submandibula: Dibuat
pada tempat yang
paling berfluktuasi
atau setinggi os. Hioid,
tergantung letak dan
luas abses
Gejala dan tanda (angina ludovici)
Nyeri tenggorok dan leher
Pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak
hiperemis dan keras pada perabaan
Dasar mulut membengkak mengakibatkan : dapat mendorong
lidah ke atas belakang, jalan napas tersumbat dan
mengakibatkan sesak napas
Riwayat sakit gigi

Antibiotik dosis tinggi spektrum luas secara
parenteral
Lakukan eksplorasi yang dilakukan untuk
tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan)
Evakuasi pus atau jaringan nekrosis
Insisi di garis tengah secara horizontal
setinggi os hioid (3-4 jari dibawah mandibula)
Lakukan pengobatan terhadap sumber infeksi
untuk mencegah kekambuhan

Penatalaksanaan Angina Ludovici
7.A Macam-macam Pemeriksaan Penala
RINNE
WEBER
SWABACH
7.B Prinsip Pemeriksaan Penala
Membandingkan hantaran
udara dan hantaran tulang
pada satu telinga penderita
Tes
Rinne
Uji webber
membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga penderita
Meletakkan kaki penala pada garis tengah wajah
atau kepala
Telinga mana terdengar > keras
Tes Scwabach
Membanding hantaran lewat tulang antara
penderita dan pemeriksa
Normal : rinne positif
Tuli konduksi : rinne negatif
Tuli sensori neural : rinne positif
Normal : tidak ada lateralisasi
Tuli konduksi : mendengar lebih keras di telinga yang sakit
Tuli sensori neural : mendengar lebih keras di telinga yang sehat
Normal : schwabach normal
Tuli konduksi : schwabach memanjang
Tuli sensori neural : schwabach memendek
Rinne
Webber
Scwabach
7.C Hasil dan Interpretasi Pemeriksaan Penala
Tuli konduktif TES Tuli sensorineural
Negatif Rinne Positif
False positif/
negatif
Laterilasi kesisi
sakit
Weber Lateralisasi kesisi
sehat
Memanjang Schwabach Memendek
Ringkasan Hasil dan Interpretasi Pemeriksaan Penala
Adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba.

Menurut para ahli definisi tuli mendadak adalah
penurunan pendengaran sensorineural 30dB
atau lebih paling sedikit 3 frekuensi berturut-
turut pada pemeriksaan audiometri dan
berlangsung dalam waktu < 3 hari.



8.A Definisi Sudden Deafness



8.B Gambaran Klinis Sudden Deafness
Tuli dapat
sementara
atau
berulang
dalam
serangan,
biasanya
menetap
Jika
menetap
terjadinya
sangat
cepat.
Dapat
unilateral /
bilateral
Dapat
disertai
tinnitus,
vertigo
Kemungkin
an gejala
lain
penyakit
virusunil
ateral,
tinnitus,
vertigo
Pada
pemeriksaan
klinis tidak
terdapat
kelainan
telinga.



8.C Penatalaksanaan Sudden Deafness
Hiperbarik O2 terapi
Inhalasi O2 4x15 menit (2liter/menit)
Diet rendah garam & kolesterol
Neurobion 3x1 / hari
Vit.C 500mg 1x1 tab/hari
Prednison 4x10mg (2tab), tappering off tiap 3 hari
Vasodilatansia Complamin Injeksi, disertai vasodilator oral (nimodipim) tiap hari
Bed rest (2 minggu)
Ototoksisitas adalah kerusakan struktur telinga bagian
dalam seperti koklea atau saraf pendengaran dan
organ vestibuler yang berfungsi mengirimkan
informasi keseimbangan dan pendengaran dari labirin
ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toksik
(obat-obatan).


9. A Definisi Ototoksisitas


9.B Macam-macam Obat Ototoksik
AMINOGLIKOSIDA
Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin, Tobramisis,
Amikasin, Netilmisisn dan Sisomisin.
ERITROMISIN
LOOP DIURETIK Ethycrynic acid, furosemid dan bumetanide
OBAT ANTI INFLAMASI Aspirin
OBAT ANTI MALARIA Kina dan Klorokuin
OBAT ANTI TUMOR
OBAT TETES TELINGA Neomisisn dan Polimiksin B.


9. C Faktor Resiko Obat Ototoksik
Kelainan genetika gangguan pendengaran
Pemberian erapi dosis tinggi
Konsentrasi serum tinggi
Pemnerian terapi dalam waktu lama
Insufisiensi ginjal
Riwayat keluarga yang mengalami
ototoksisitas
a. Tinitus
- Biasanya
menyertai
segala jenis tuli
sensorineural.
- Ciri : Kuat dan
bernada tinggi,
berkisar antara
4 KHz sampai 6
KHz.
b. Gangguan
pendengaran.
c. Vertigo
d. Gangguan
vestibuler
e. Tuli
sensorineural, Tuli
bilateral dan
bernada tinggi,
dapat unilateral
9. D Gambaran Klinis Ototoksisitas
Tuli yang diakibatkan oleh obat obat ototoksik tidak
dapat diobati.
Bila pada waktu pemberian obat obat ototoksik
terjadi gangguan pada telinga dalam (audiometri
)pengobatan dihentikan.
Apabila ketulian sudah terjadi rehabilitasi dengan :
alat bantu dengar,
psikoterapi,
audiotory training,
belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa
isyarat.
Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan
pemasangan implant koklea ( Cochlear implant ).


9. E Tatalaksana Ototoksisitas
getaran suara
ditangkap daun
telinga
dialirkan ke liang
telinga & MT bergetar
tulang-tulang
pendengaran
stapes menggerakkan
foramen ovale
membran Reissner
mendorong endolimf
& membran basal ke
arah bawah
foramen rotundum
terdorong ke arah
luar
menggerakkan
perilimf pada skala
timpani
rangsangan fisik
diubah perbedaan ion
K & Na
diteruskan ke cabang-
n.VII
pusat sensorik
pendengaran di otak
( area 39-40)
10. A FISIOLOGI PENDENGARAN
10.B Fisiologi Keseimbangan
KESEIMBANGAN STATIS
keseimbangan
yang
berhubungan
dengan orientasi
letak kepala
(badan) terhadap
gravitasi bumi.
Yang berperan
pada
keseimbangan
statis ini adalah
sakulus dan
ultrikulus( pada
kanalis semi
sirkularis).
Bila kepala
miring ke satu
arah, otolith
yang berat akan
tertauk ke
bawah oleh
gravitasi bumi
hal ini akan
menarik lapisan
gelatin ke bwah
yang kemudin
merangsang sel-
sel rambut.
Impuls
keseimbangan
ini kemudian
dijalarkan
melalui bagian
vetibularis dari
syaraf ke VIII
medulake
korteks otak.
KESEIMBANGAN
DINAMIS
Bila kepala bergerak kesegala
arah, maka cairan didalam
canalis semi sirkularis akan
bergerak ke arah sebaliknya
sehingga akan menekukan
cupula.
Sel-sel rambut terangsang dan
timbul ilmpuls menuju syaraf ke
VIII. Karena ketiga canalis
semisircularis ini letaknya saling
tegak lurus maka gerakan kepala
kesegala arah dapat terkontrol
oleh alat keseimbangan.

Suatu upaya
pertahanan
keseimbangan
tubuh terhadap
gerakan-gerakan
berbagai arah,
misalnya berputar,
jatuh, percepatan,
dsb.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
adalah gangguan vestibuler yang paling sering
ditemui,
dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual
muntah dan keringat dingin, yang dipicu oleh
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa
adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat.
Vertigo ialah adanya sensasi gerakan
atau rasa gerak dari tubuh seperti
rotasi (memutar) tanpa sensasi
perputaran yang sebenarnya, dapat
sekelilingnya terasa berputar (vertigo
objektif) atau badan yang berputar
(vertigo subjektif).
11. A Definisi Benign Paroxysmal Positional Vertigo
BPPV dikenal juga dengan nama
vertigo postural atau kupulolitiasis, merupak
an gangguan keseimbangan perifer yang
sering dijumpai.
11.B Patofisiologi Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Pada tahun 1962 Horald
Schuknecht mengemukakan teori
ini untuk menerangkan BPPV.
Dia menemukan partikel-partikel
basofilik yang berisi kalsiurn
karbonat dari fragmen otokonia
(otolith) yang terlepas dari
macula utriculus yang sudah
berdegenerasi, menernpel pada
permukaan kupula.
Dia menerangkan bahwa kanalis
semisirkularis posterior menjadi
sensitif akan gravitasi akibat
partikel yang melekat pada
kupula.
Hal ini analog dengan keadaan
benda berat diletakkan di puncak
tiang, bobot ekstra ini
menyebabkan tiang sulit untuk
tetap stabil, malah cenderung
miring.
Pada saat miring partikel tadi
mencegah tiang ke posisi netral.
Ini digambarkan oleh nistagmus
dan rasa pusing ketika kepala
penderita dijatuhkan ke belakang
posisi tergantung (seperti pada
tes Dix-Hallpike).
KSS posterior berubah posisi dari
inferior ke superior, kupula
bergerak secara utrikulofugal,
dengan demikian timbul
nistagmus dan keluhan pusing
(vertigo).
Perpindahan partikel otolith
tersebut membutuhkan waktu,
hal ini yang menyebabkan adanya
masa laten sebelum timbulnya
pusing dan nistagmus.
Teori Cupulolithiasis
11.B Patofisiologi Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Tahun1980 Epley
mengemukakan teori
canalithiasis, partikel otolith
bergerak bebas di dalam
KSS.
Ketika kepala dalam posisi
tegak, endapan partikel ini
berada pada posisi yang
sesuai dengan gaya gravitasi
yang paling bawah.
Ketika kepala direbahkan ke
belakang partikel ini
berotasi ke atas sarnpai
900 di sepanjang lengkung
KSS.
menyebabkan cairan
endolimfe mengalir
menjauhi ampula dan
menyebabkan kupula
membelok (deflected), hal
ini menimbulkan nistagmus
dan pusing.
Pembalikan rotasi waktu
kepala ditegakkan kernbali,
terjadi pembalikan
pembelokan kupula, muncul
pusing dan nistagmus yang
bergerak ke arah
berlawanan.
Model gerakan partikel
begini seolah-olah seperti
kerikil yang berada dalam
ban, ketika ban bergulir,
kerikil terangkat sebentar
lalu jatuh kembali karena
gaya gravitasi.
Jatuhnya kerikil tersebut
memicu organ saraf dan
menimbulkan pusing.
Dibanding dengan teori
cupulolithiasis teori ini lebih
dapat menerangkan
keterlambatan "delay"
(latency) nistagmus
transient, karena partikel
butuh waktu untuk mulai
bergerak.
Ketika mengulangi manuver
kepala, otolith menjadi
tersebar dan semakin
kurang efektif dalam
menimbulkan vertigo serta
nistagmus.
Hal inilah yag dapat
menerangkan konsep
kelelahan "fatigability" dari
gejala pusing.
Teori Canalithiasis
Pasien BPPV akan mengeluh jika kepala berubah pada suatu keadaan tertentu.
Pasien akan merasa berputar atau merasa sekelilingnya berputar jika akan ke
tempat tidur, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di
pagi hari, mencapai sesuatu yang tinggi atau jika kepala digerakkan ke belakang.
Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik. Kadang-kadang disertai rasa
mual dan seringkali pasien merasa cemas.
Vertigo tidak akan terjadi jika kepala tegak lurus atau berputar secara aksial
tanpa ekstensi, pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang
dalam frekuensi dan intensitasnya dan akhirnya berhenti secara spontan dalam
beberapa hari atau beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat juga sampai
beberapa tahun.
Pada BPPV tidak didapatkan gangguan pendengaran.
11.C Gambaran Klinis Benign Paroxysmal Positional Vertigo
11. D Penatalaksanaan Benign Paroxysmal Positional Vertigo
FARMAKOLOGI
NON- FARMAKOLOGI
OPERASI
manuver reposisi
partikel/ Particle
Repositioning
Maneuver (PRM)
Brandt-
Daroff exercise
Manuver
Semont
Manuver
Lempert
Manuver
Epley
Forced
Prolonged
Position
Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan
suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam,
clonazepam) dan antihistamine (meclizine, dipenhidramin).
indikasi untuk melakukan operasi
adalah pada intractable BPPV, yang biasanya
mempunyai klinis penyakit neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa.
teknik operasi yang dapat
dipilih, yaitu
singular
neurectomy (transeksi saraf
ampula posterior) dan oklusi
kanal posterior
semisirkular.
Manuver Epley
Manuver
Semont
Manuver
Lempert
12. Cabang dan perjalanan N. Facialis
Segmen Lokasi Panjang
Supranuklear Korteks Serebri
Batang otak
Nukleus Motoris N.VII
dan Nukleus
Salivatorius Superior
(traktus solitarius)
Meatal Batang otak s/d CAI 13-15
Labirin
Fundus CAI s/d Hiatus
Fasialis
3-4
Timpani
Ganglion Genikulatum
s/d Eminensia
Piramidalis
8-11
Mastoid
Eminensia piramidalis
s/d Foramen
Stylomastoid
10-14
Ekstratemporal
Foramen stylomastoid
s/d Pes Anserinus
15-20
Dalam perjalanannya nervus fasialis terdiri dari 6
segmen mulai dari intrakranial sampai ekstrakranial.
12.B Otot yang dipersarafi N. Facialis
M. Frontalis M.Sourcilier M.Piramidalis
M.Orbikularis
okuli
M.
Zigomatikus
M. Reveler
Komunis
M. Businator
M.Orbikularis
Oris
M.
Triangularis
M.Mentalis
12.C Pemeriksaan Otot Wajah
Mengangkat alis keatas
M. Frontalis
Mengerutkan alis
M.Sourcilier
Mengangkat dan mengerutkan hidung keatas
M.Piramidalis
Memejamkan mata kuat-kuat
M.Orbikularis okuli
Tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
M. Zigomatikus
Memoncongkan mulut ke depan sambi; memperlihatkan gigi
M. Reveler Komunis
Menggembungkan kedua pipi
M. Businator
Bersiul
M.Orbikularis Oris
Menarik kedua sudut bibir kebawah
M. Triangularis
Memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan
M.Mentalis
10.D Derajat Klasifikasi Parese
House Brackman
a. Grade I otot bagian muka dapat berfungsi secara normal.
b. Grade II otot bagian muka menunjukkan sedikit kelemahan
dan tidak berfungsi.
c. Grade III otot muka menampakkan kelemahan yang jelas dan
terjadi sedikit pergerakan wajah.
d. Grade IV penderita tidak dapat menaikkan kening, synkinesis
yang tampak, dan kelemahan bagian muka yang jelas.
e. Grade V otot muka hampir tidak berfungsi.
f. Grade VI otot muka tidak dapat berfungsi atau lumpuh
13. A Definisi Polip Hidung
Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa
hidung dan sinus paranasi yang ditandai dengan adanya
massa yang edematous pada rongga hidung.Polip nasi dapat
pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema,
jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan
kelenjar
Berdasarkan penemuan histopatologi, Hellquist HB
mengklassifikasikan polip nasi menjadi 4 tipe yaitu :
(I) Eosinophilic edematous type (stroma edematous
dengan eosinofil yang banyak),
(II) Chronic inflammatory or fibrotic type
(mengandung banyak sel inflamasi terutama
limfosit dan neutrofil dengan sedikit eosinofil),
(III) Seromucinous gland type (tipe I+hiperplasia
kelenjar seromucous),
(IV) Atypical stromal type
13. B Jenis2 polip hidung
13.C Gambaran Klinis Polip Hidung
Hidung tersumbat
ringan-berat
Rinore jernih-purulen
Hiposmia/anosmia
Bersin2
Nyeri kepala
Post nasal drip
Suara sengau
Nafas mel mulut
Halitosis
Gangguan tidur
Anamnesis
Hidung tampak mekar
Massa pucat dari meatus
media, mudah digerakan
PemFis
13. D Penatalaksanaan Polip Hidung
Tujuan menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi,
mencegah rekurensi
Kortikosteroid (Polipektomi medikamentosa)
topikal/sistemik
Polip eosinofilik kortikosteroid intranasal > baik dibanding polip
neutrofilik
Polipektomi
Senar polip atau cunam dengan anestesi lokal
Etmoidektomi intranasal/ekstranasal
Caldwell-Luc
FESS
14.A Jenis Tonsilitis
T
o
n
s
i
l
l
i
t
i
s


Akut
Viral
Bakterial
Membranosa
Tonsillitis difteri
Tonsillitis septik
Angina plaut vincent
Penyakit kelainan darah
Kronik
14. B Perbedaan masing2 tonsilitis
Tonsilitis
Akut
Anamnesa : Nyeri
tenggorok, nyeri
menelan, demam
tinggi, lesu, nyeri
sendi, otalgia, nafsu
makan
PF : Tonsil bengkak,
hiperemis, detritus
folikel, KGB
submandibula
bengkak dan nyeri
tekan
Tonsilitis
Membranosa
Anamnesa: subfebris,
nyeri kepala, nafsu
makan , lemas, nyeri
telan
PF: tonsil
membengkak, ditutupi
membran semu,
(eksotoksin)
miokarditis,
kelumpuhan otot
palatum dan
pernapasan,
albuminuria
Tonsilitis
Kronis
Anamnesis : Rasa
ada yang mengganjal
di tenggorok,
tenggorok dirasakan
kering dan napas
berbau.
tampak tonsil
membesar dengan
permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar,
dan beberapa kripti
terisi oleh detritus.
14.C Patofisiologi
Perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Kripti melebar dan menembus kapsul tonsil
Pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan
parut
Epitel dan jaringan limfoid terkikis
Proses radang berulang
Detritus
Reaksi radang (leukosit, PMN)
Lapisan epitel jaringan tonsil
Infiltrasi bakteri
14.D Derajat Pembesaran Tonsil
T0 : Post
Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih
terbatas dalam Fossa
Tonsilaris
T2 : Sudah melewati
pillar posterior
belum melewati garis
paramedian
T3 : Sudah melewati
garis paramedian,
belum melewati garis
median
T4 : Sudah melewati
garis median
15. Fraktur Maksilofasialis
FRAKTUR TULANG HIDUNG
Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain (Robinstein,2000) :
Fraktur lateral terjadi pada salah satu sisi saja, kerusakan tidak
begitu parah.
Fraktur bilateral disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya
tulang nasal dengan tulang maksilaris.
Fraktur direct frontal fraktur os nasal dan os frontal sehingga
menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis. Pada
fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.
Fraktur comminuted fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa
fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari hidung
yang tampak jelas.
Tulang yang dislokasi tampak tidak simetris. Dapat disertai fraktur
septum nasi
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan
fraktur wajah.

Operatif Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan
bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering
dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu seiring dengan
perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan rhinoplasty.
Rhinoplasty adalah operasi plastik pada hidung. Ada 2 macam :
Augmentasi rhinoplasty : penambahan pada hidung.
Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
TATALAKSANA FRAKTUR TULANG
HIDUNG
FRAKTUR MAKSILA
Jenis fraktur:
A. Le Fort I : terbatas pada alveolus
B. Le Fort II : pemisahan bagian tengah muka
dengan tulang kranium
C. Le Fort III : pemisahan seluruh tulang muka
dengan basis kranii cranio facial disjunction
FRAKTUR MAKSILA
Gejala:
Le Fort I : edema facial dan mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan
gigi
Le Fort II : Edem Facial, Tele canthus, pendarahan subconjunctival, mobilitas
maxilla, pada sutura nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF
Le Fort III : Edema massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da
mendatar, Epitaxis, rhinorrea CSF, dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi
gigi, dan palatum durum
X-rays AP, latero lateral dan waters
FRAKTUR MAKSILA
Tujuan utama terapi keadaan oklusi
seperti sebelum fraktur dengan fragmen
terfiksasi
Terapi:
Barton bandage pertolongan pertama
Terapi definitif:
Pengikatan fragmen dengan tulang
tengkorak/tulang disebelahnya
Fraktur Mandibula
Ciri umum:
Maloklusi
Perdarahan dari
rongga mulut
Inspeksi:
Asimetris
Fraktur teraba
Umumnya fraktur
terbuka jaga
higiene mulut
Jenis fraktur:
Menurut letaknya:
Apakah didaerah simetris,
korpus, angulus ramus,
prosessus kondiloideus dan
koronoideus
Menurut ada tidaknya gigi
Kedua sisi terdapat gigi kelas
I
Hanya satu sisi kelas II
Tidak ada gigi di kedua sisi
kelas III
Reposisi fiksasi sebaiknya sebelum hari ke-7 (sebelum terjadi
konsolidasi)
Reposisi dan fiksasi sederhana ikat rahang atas dan bawah
sesuai kedudukan seperti sebelum operasi
Pengikatan rahang atas dan bawah:
Pengikatan langsung (antara gigi di mandibula & di maksila)
Pengikatan dua gigi yang berdekatan dengan kawat di leher
gigi (ivy loop) diikatkan dengan ikatan kawat pada gigi di
maksila diatasnya
Gigi di rahang atas/bawah diikat di arch bar
Fiksasi interna plate and screw
Fraktur Mandibula
16. Definisi Ca. Laring
Keganasan pada laring, keganasan pada
pita suara, kotak suara (laring) atau
daerah lainnya di tenggorokan
16. B Stadium Ca.Laring
Subglotis
Tis : Karsinoma insitu.
T1 : Tumor terbatas
pada daerah
subglotis.
T2 : Tumor sudah
meluas ke pita, pita
suara masih dapat
bergerak atau sudah
terfiksir.
T3 : Tumor sudah
mengenai laring dan
pita suara sudah
terfiksir.
T4 : Tumor yang luas
dengan destruksi
tulang rawan atau
perluasan ke luar
laring atau dua
duanya.


Tumor primer ( T )
Supraglotis
Tis : karsinoma insitu
T1 : tumor terdapat pada satu sisi suara / pita suara palsu ( gerakan
masih baik ).
T2 : Tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan
glotis masih bisa bergerak ( tidak terfiksir ).
T3 :tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke
daerah ke krikod bagian belakang, dinding medial dari sinus
piriformis, dan kearah rongga preepiglotis.
T4 : Tumor sudah meluas keluar laring, menginfiltrasi orofaring
jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.



Glotis
Tis : karsinoma insitu.
T1 : Tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan
pita suara masih baik, atau tumor sudah terdapat pada kommisura
anterior atau posterior.
T2 : Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara
masih dapat bergerak atau sudah terfiksir ( impaired mobility ).
T3 : Tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir.
T4 : Tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau
sudah keluar dari laring.

Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)
Nx: kelenjar tidak dapat dinilai
N0: secara klinis tidak ada kelenjar
N1: klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter <3cm
N2; klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3-<6cm
atau klinis terdapat kelenjar homolateral multiple dengan diameter
<6cm
N2a: klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter
>3cm - <6 cm
N2b: klinis terdapat kelenjar homolateral multiple dengan diameter
<6cm
N3: kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral, atau kontra
lateral
N3a: klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >6 cm
N3b: klinis terdapat kelenjar bilateral
N3c: klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral
Metastase jauh (m)
M0: tidak ada metastase jauh
M1: terdapat metastase jauh
Stadium
Stadium 1 : T1 N0 M0
Stadium 2; T2 N0 M0
Stadium 3: T3 N0 M0
T1 T2 T3 N1 M0
Stadium 4: T4 N0 M0
setiap T, N2 M0 setiap T N M1
16.C Gejala Klinis
Serak
Rasa
mengganjal
di
tenggorokan
suara
bergumam
Dispnea
&
stridor
Nyeri
tenggorok
Disfagia
Batuk &
hemopti
sis
16.D Penatalaksanaan Ca.Laring
Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan, yakni
pembedahan, radiasi, obat sitostatika ataupun kombinasi
daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan
umum pasien.
Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk
mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan
operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi, bila
masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomia totalis atau pun parsial,
tergantung lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga
diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar limf leher.
17.A Sumbatan Jalan Napas Atas
Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang
tampak tegang, dan terkadang gagal napas.
Jackson III Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal,
epigastrium, dan sianosis lebih jelas.
Jackson II gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi
supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah.
Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi
suprasternal, tanpa sianosis
17.B Gejala Klinis
Stridor inspiratore ortopne
Pernapasan
cuping hidung
Cekung daerah
jugularis
supraklavikula-
interkostal
Sesak napas
17.C Penatalaksanaan
prinsipnya penanggulangan pada obstruksi
atau obstruksi salurannapas atas diusahakan
supaya jalan napas lancar kembali
Pemberian antiinflamasi, antialergi,
antibiotika serta pemberian oksigen
intermiten, yang dilakukan pada
obstruksi laring stadium I
Tindakan
konservatif :
Memasukan pipa endotrakea
melewati mulut (intubasi orotrakea)
atau melalui hidung (nasotrakea)
Tindakan
operatif/
resusitasi :

Anda mungkin juga menyukai

  • Dermatitis Atopik
    Dermatitis Atopik
    Dokumen21 halaman
    Dermatitis Atopik
    def_10
    100% (2)
  • Insect Bite
    Insect Bite
    Dokumen29 halaman
    Insect Bite
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Dapus
    Anestesi Dapus
    Dokumen1 halaman
    Anestesi Dapus
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Telinga
    Anatomi Telinga
    Dokumen60 halaman
    Anatomi Telinga
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Neuroimaging Head CT Scan
    Neuroimaging Head CT Scan
    Dokumen6 halaman
    Neuroimaging Head CT Scan
    dr nuriel anwar
    Belum ada peringkat
  • Neuroanatomi
    Neuroanatomi
    Dokumen48 halaman
    Neuroanatomi
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Cycyn
    Cycyn
    Dokumen12 halaman
    Cycyn
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Ileus Obstruktif
    Ileus Obstruktif
    Dokumen32 halaman
    Ileus Obstruktif
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • BAB I Tugas ANI
    BAB I Tugas ANI
    Dokumen4 halaman
    BAB I Tugas ANI
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Diare
    Leaflet Diare
    Dokumen3 halaman
    Leaflet Diare
    Cyntia Meitha Chulies
    0% (1)
  • Panduan Pernikahan Sintia - Rizki
    Panduan Pernikahan Sintia - Rizki
    Dokumen3 halaman
    Panduan Pernikahan Sintia - Rizki
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Hipertensi
    Penyuluhan Hipertensi
    Dokumen22 halaman
    Penyuluhan Hipertensi
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Amalan Ramadhan
    Amalan Ramadhan
    Dokumen7 halaman
    Amalan Ramadhan
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Hipertensi
    Leaflet Hipertensi
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Hipertensi
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Ptiriasis Rosea
    Ptiriasis Rosea
    Dokumen32 halaman
    Ptiriasis Rosea
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Referat - Eritroderma
    Referat - Eritroderma
    Dokumen31 halaman
    Referat - Eritroderma
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Kelamin
    Anatomi Kelamin
    Dokumen14 halaman
    Anatomi Kelamin
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Laporan Refreshing
    Laporan Refreshing
    Dokumen43 halaman
    Laporan Refreshing
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Kortikosteroid
    Kortikosteroid
    Dokumen28 halaman
    Kortikosteroid
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Laporan Refreshing
    Laporan Refreshing
    Dokumen43 halaman
    Laporan Refreshing
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KASUS Kulit DR Rizqa
    LAPORAN KASUS Kulit DR Rizqa
    Dokumen39 halaman
    LAPORAN KASUS Kulit DR Rizqa
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Lapsus DR - Hery
    Lapsus DR - Hery
    Dokumen17 halaman
    Lapsus DR - Hery
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Mini C - EX
    Mini C - EX
    Dokumen23 halaman
    Mini C - EX
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Referat Eritroderma
    Referat Eritroderma
    Dokumen16 halaman
    Referat Eritroderma
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Mini CX 2
    Mini CX 2
    Dokumen34 halaman
    Mini CX 2
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Mini C-Ex 3
    Mini C-Ex 3
    Dokumen36 halaman
    Mini C-Ex 3
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Baruu
    Baruu
    Dokumen116 halaman
    Baruu
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Omsk
    Lapkas Omsk
    Dokumen47 halaman
    Lapkas Omsk
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Journal Kulit
    Journal Kulit
    Dokumen23 halaman
    Journal Kulit
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat
  • Judul
    Judul
    Dokumen2 halaman
    Judul
    Cyntia Meitha Chulies
    Belum ada peringkat