Anda di halaman 1dari 24

Pengabdian

Compang-camping

Sentuhan Sahabat

TERAS

A M A N A T U R

Penerbit:
Unit Kegiatan Mahasiswa
Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT
IAIN Walisongo Semarang
Izin Terbit:
SK Rektor IAIN Walisongo Semarang
No. 026 Tahun 1984
International Standart Serial Number (ISSN):
0853-487X

DEMA kedatangan orang-orang baru


Kerjaannya pasti kayak yang lama.
Bocah diadili gara-gara curi sandal polisi
Sandal jepit betul-betul menjepit.
IAIN molor jadi UIN ya, Pak?
Allah swt belum meridhai, Nak.
Aparat bantai rakyat Mesuji dan Bima
Beraninya sama rakyat. Kelabakan kalo sama
penjahat.
Kuliah kok sering kosong ya?
Maklum, dosennya lagi banyak proyek.
Siswa SMK bisa bikin mobil
Ya, begitulah adanya, yang muda berkreasi
yang tua korupsi, eh keceplosan.
Banyak gedung baru
Cihuy... laris manis.

Bang Aman yang kadang pakewuh

SURAT PEMBACA

SALAM REDAKSI

Redaksi menerima saran dan kritik mengenai kampus maupun SKM AMANAT. Surat dikirim melalui jasa pos/ kurir/ e-mail. Atau ke dapur redaksi
SKM AMANAT di Student Centre Kampus 3
IAIN Walisongo. Surat harus dilengkapi KTM,
KTP, SIM atau identitas lainnya.

Layaknya Kisah Pohon Apel

Komunikasi Antar UKM


Setiap UKM memiliki potensi dan orientasi
sendiri-sendiri. Namun begitu tak bisa lepas dari
interaksi antar UKM. Saat menggelar hajat misalnya, perlu bantuan dari UKM lain. Meminjam
peralatan atau lainnya.
Akan tetapi masing-masing UKM seolah-olah
berdiri dan hidup sendiri. Begitu juga DEMA. Tidak ada keharmonisan. Meskipun ada, toh hanya
beberapa UKM saja.
Padahal, di fakultas maupun institut, sekretariat UKM berada dalam satu atap. Saya berharap
setiap UKM perlu manjalin komunikasi yang
lebih intim dengan UKM lainnya. Dalam hal ini
DEMA harus menjadi pelopor. Oke?
--M. Rizka I,
Aktivis UKM

Kemandirian untuk memapar informasi kepada publik salah satunya diperlukan media on
line. Selama ini LPM Idea telah memiliki website
http://ideastudies.com, tapi belum maksimal
karena tidak ada fasilitas untuk koneksi internet
di PKM.
Padahal di IAIN ada lima LPM dan sangat butuh fasilitas itu. Kami berharap Pusat Komputer
IAIN Walisongo mengupayakan fasilitas hotspot
area di setiap PKM. Terima kasih.
--M. Zulfa,
Pegiat Idea Studies

Papan Informasi Terpencil


Letak Gedung Dekanat Fakultas Tarbiyah
terpencil. Di gedung itulah, informasi-informasi
penting terpampang.
Yang saya keluhkan adalah, ketika ada informasi penting, terkadang saya tidak tahu. Tidak
mungkin, setiap hari saya ke Dekanat hanya untuk melihat papan informasi.
Ke depan, saya berharap, jika ada informasi
penting, tidak hanya ditempel di Dekanat. tapi
juga di papan informasi yang dekat ruang kuliah.
--Muhammad,
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah

Pohon apel itu bagai dalam pesakitan. Daun-daunnya terus meranggas. Hama menyerang di mana-mana.
Sekilas, buahnya memang nampak
segar. Padahal banyak penyakit bersarang. Nahas, pemiliknya tak tahu.
Setiap hari apel tak sehat itu dipetik
kemudian dihidangkan kepada anak
isterinya.
Sampai suatu ketika, beberapa
pemuda berpakaian rapi datang. Kepada pemilik pohon itu, mereka menawarkan diri melakukan penelitian dan
pengobatan untuk pohon tersebut.
Permintaan dikabulkan. Beberapa pemuda itu mengambil beberapa
sampel dari apel busuk. Apel yang sudah membusuk itu kemudian dikorekkorek sampai bagian dalam.
Pemilik pohon menggeleng heran.
Pikirnya, buat apa apel busuk itu terus
dikorek-korek. Pertanyaan itu akhirnya terjawab.
Beberapa pemuda itu datang
membawa apel busuk yag sudah dikorek. Kepada pemiliknya, mereka menjelaskan, banyak penyakit merundung
pohon apel itu. Hanya dengan cara
mengorek itulah dapat diketemukan
apa saja penyakitnya, bagaimana penyakit itu menyerang, serta bagaimana
mengobatinya.

Kisah itu tak beda dengan Kampus


IAIN Walisongo. Banyak apel mulus,
namun busuk bagian dalamnya. Parahnya, mahasiswa tak mengerti dan tetap
mengkonsumsi apel itu.
Bisa karena pemiliknya tak tahu. Bisa
juga karena disengaja. Bisa juga karena
hama menyerang tanpa sepengetahuan
pemilik. Bisa juga, hama itu tumbuh
karena perbuatan pemilik, tapi pemilik
tak sadar.
Untuk itulah, Amanat melakukan
upaya. Seperti dilakukan beberapa
pemuda dalam kisah tadi. Mengorek memang bagian tak terlewatkan. Maksudnya
sekadar mencari tahu apa saja penyebab
penyakit dalam apel itu. Agar semua
tahu dan segera mencarikan obatnya.
Salah satunya, kisah Kuliah Kerja
Nyata (KKN). Tak banyak menyadari,
bermacam ketimpangan bersarang di
dalam KKN.
Kepada sesuatu yang telanjur dianggap apel dan telanjur menjadi konsumsi wajib itu, redaksi melakukan penelusuran.
Tak terkecuali, pada apel-apel lainnya. Prinsip redaksi adalah; jika itu apel,
kenapa tak membuatnya benar-benar
layak konsumsi?
Redaksi

Redaksi menerima artikel, resensi, dan puisi, maksimal 5.000 karakter (termasuk spasi), sedang cerpen maksimal 8.000 karakter (termasuk spasi). Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sederhana, yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai perangko
balasan. Redaksi berhak mengedit tulisan selama tidak mengubah isi. Tulisan dapat dikirim melalui email: skmamanat@yahoo.com

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

KKN compang-camping
Bukane tura-turu?

Koneksi Internet untuk


PKM

SURAT KABAR MAHASISWA

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

PELINDUNG
Rektor IAIN Walisongo
PENANGGUNG JAWAB
Pembantu Rektor III IAIN Walisongo
PEMBINA
Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan
Dosen Bina SKK
PEMIMPIN UMUM
Khoirul Muzakki
BENDAHARA
Nazilatun Nihlah
Yestik Arum
PEMIMPIN REDAKSI
Hammidun Nafi Syifauddin
SEKRETARIS REDAKSI
Abdul Arif
DESK BERITA
Shodiqin
DESK ARTIKEL
Ngabidin
DESK SASTRA BUDAYA
Eny Rifaatul M
LAYOUTER
Akhmad Baihaqi Arsyad
Rohman Kusriyono
ILUSTRATOR
Aufal Marom
FOTOGRAFER
Slamet Tridadi
KOORDINATOR REPORTER
Alfian Guntur A
REPORTER
Ahmad Munib, Siswo Ari Wibowo, Siti
Nur Anisah, Dita Kurniawati, Lailatul
Fadilah, Nur Aziroh, Yulianti, Zulaikhah,
Azid Fitriyah, Irma Muflikhah, M
Mufid, M Faizun, Anik Sukhaifah, Ulfa
Mutmainnah, Nanang Taufiq M, Lailatus
Syarifah, Ani rosidah
PEMIMPIN USAHA
Fathul Jamil
PUSAT DOKUMENTASI
Afiyati Badriyah
PERIKLANAN
Nur Ayu Rizqiya
SIRKULASI
M Izzudin
HUMAN RESOURCES DEPARTMENT
Amin Fauzi, Farih Lidinillah, Musyafak,
Munaseh, Suhardiman, Fani
Setyaningrum, Nanik Kurniawati, Farid
Helmi.
STAF AHLI
Joko Tri Haryanto, Ajang ZA, Sohirin,
Siti Alfiah, Nur Budi Handayani, Ingwuri
Handayani, Lutfil Kirom, Heri Nugroho,
Abdul Hakim, Muallim, Khusnul Huda,
Ali Romdhoni, Muh Slamet, Rosidi,
Siswanto, Ali Mustofa, Fakhrudin
Karmani, Wahyu Agung, Edi Purnomo,
Pujianto, M Olis.

Ilustrasi Abdul Arif


Desain Hammidun Nafi S

Pengabdian
Compang-camping

L APORAN U TAMA
Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Pengabdian Compang-camping

Amanat.Hammidun Na i S

Misi pengabdian yang dicitakan dari awal kabur. Mahasiswa gagal menerjemahkan
makna pengabdian di setiap kegiatannya.

Peserta KKN angkatan ke-57 tengah mengikuti upacara pelepasan di pelataran samping Gedung Auditorium I kampus 1 IAIN
Walisongo Semarang.

ermintaan itu disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi (Dikti)


kepada tiga kampus besar di Indonesia, empat puluh tahun silam.
Dikti menginginkan mahasiswa melakukan
kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Pada 1971, Universitas Gajah Mada
(UGM), bersama Universitas Andalas dan
Universitas Hasanuddin mengawali langkahnya dengan merintis program pengabdian tersebut. Program itu dinamai Kuliah
Kerja Nyata (KKN).
Mulanya KKN bersifat suka rela bagi
mahasiswa. Baru pada 1979 statusnya beralih menjadi kegiatan wajib. Praktis, KKN
menjadi syarat kelulusan. Ketika itu hampir semua perguruan tinggi di Indonesia
menyelenggarakan KKN.
Tak berselang lama, IAIN Walisongo
merapat dalam barisan. Kampus hijau ini
memasukkan KKN dalam daftar kurikukum.
Walhasil, mahasiswa IAIN harus menempuh KKN demi menyandang titel sarjana.
Sebagaimana termaktub dalam Buku
Pedoman KKN, tujuan kegiatan ini tak
lain demi menumbuhkan dan mematangkan jiwa pengabdian mahasiswa kepada
masyarakat.
Program Tiruan
Wakil ketua Pusat Pengabdian kepada
Masyarakat (PPM) Ilyas Supena mengatakan, mahasiswa harus bisa mengaktualisasikan ilmu yang diperoleh di bangku
kuliah melalui pengabdian masyarakat.
Merealisasikan itu, lanjut Ilyas, mahasiswa diberi kebebasan menentukan program kerja. Program kerjanya apa saja boleh,
sesuai basis keilmuan yang dikembangkan
di fakultas masing-masing.
Namun di lapangan, mahasiswa masih
mengalami kesulitan dalam menyusun program kerja. Kebanyakan mahasiswa hanya
menjadi partisipan. Kegiatan mereka, ikutikutan agenda masyarakat yang sudah ada.
Hal itu dibenarkan Muhammad Husni
Sodikin. Salah satu peserta KKN di Kecamatan Bandungan itu mengatakan, kegiatan mahasiswa di lapangan hanya tahlilan,
yasinan, dan berbagai kegiatan lain yang

sudah rutin dijalani masyarakat.


Tak ada kegiatan baru yang menonjolkan kreatifitas mahasiswa, katanya.
Senada Husni, Koordinator Kecamatan Bergas Khoirul Huda mengungkapkan,
banyak posko KKN tak kreatif dalam menyusun program kerja. Mereka mencari titik
aman dengan hanya aktif dalam rutinitas
masyarakat.
Agar tak terlihat menganggur, ujarnya.
Keadaan itu berulang secara turuntemurun. Huda menceritakan, dalam
menyusun program kerja, kebanyakan teman-temannya meniru program kerja KKN
lalu. Polanya hampir sama, mahasiswa sebagai partisipan.

Program KKN harus jelas,


tindakan mahasiswa di lapangan
harus terarah, termasuk kejelasan
parameter pengukur kesuksesan
tindakan mahasiswa.
Prof. Dr. Rasdi Ekosiswoyo, M.Sc
Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang

Parahnya lagi, banyak program kerja


tak jelas tetap mereka adopsi. Kegiatannya
banyak, namun tak memiliki tujuan jelas.
Mereka terkesan memamerkan kinerja.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang Rasdi Ekosiswoyo mengatakan, seharusnya mahasiswa lebih mengutamakan
kreatifitas. Tak asal ikut-ikutan. Mengingat
tujuan KKN tak lain untuk mendidik mahasiswa agar terbiasa menghadapi persoalan
masyarakat.
Menjadi bagian masyarakat nantinya
mahasiswa diharapkan bisa memberi kontribusi. Jangan hanya jadi mercusuar!
Proses belajar menuju itu ialah KKN.

Setelah menimba ilmu sekitar tujuh semester, mahasiswa harus terbiasa melibatkan
diri dalam masyarakat. Bekalnya, ilmu yang
diperoleh selama kuliah. Dengan bekal itu,
mahasiswa diharapkan mampu menghadirkan inovasi. Bukan sekadar ikut-ikutan,
apalagi kehilangan kreatifitas.
Kalau hanya ikut-ikutan, nothing! tegas Rasdi.
Khoirul Huda menengarai, kegiatan yang
hanya ikut-ikutan itu, selain karena kesalahan
mahasiswa, juga karena kesalahan kampus.
Kampus kurang berperan dalam melakukan
kontrol. Sebelum KKN mustinya kampus
bisa mengukur sejauh mana pengetahuan
mahasiswa terkait pengabdian.
Paling tidak, menurut Huda, kampus bisa
memberi penjelasan terkait KKN dengan
mengacu pengalaman-pengalaman KKN
sebelumnya. Mana program kerja yang baik,
mana yang tidak. Kampus harus benar-benar
membimbing.
Kepala Desa Wringinputih, Sugiyanto
membenarkan itu. Kampus, kata Sugiyanto,
kurang memberikan bimbingan dan arahan.
Bahkan, kampus terkesan menelantarkan
mahasiswa.
Mahasiswa dilepas sendiri, katanya.
Ketika datang saja, mahasiswa hanya diantar sampai kantor kecamatan. Mereka datang sendiri menuju lokasi. Setidaknya kampus menitipkan ke Desa, tandasnya.
Peran Kampus
Dalam lingkup pembangunan nasional,
posisi kampus sangat strategis. Rasdi mengatakan, banyak masalah di masyarakat
yang sebenarnya bisa ditangani kampus sesuai bidang dan konsentrasi keilmuannya.
Bahkan, lanjut Rasdi, kampus harusnya
berani menawarkan diri untuk turut menangani permasalahan nasional. Kerja sama
bisa dijalin antara kampus dengan pemerintah. Tindak lanjutnya, memberdayakan mahasiswa KKN untuk menangani permasalahan tersebut.
Melalui kerja sama itu, KKN kemudian
dikhususkan pada satu tujuan. Memperhatikan konsentrasi IAIN Walisongo yang lebih
mengarah bidang agama, Rasdi menilai, akan

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

lebih baik jika KKN diarahkan pada permasalahan masyarakat dalam hal keagamaan.
Seperti misalnya, ada daerah yang masih
membudayakan kawin cerai. Di sana, mahasiswa bisa diterjunkan untuk membangun
kesadaran masyarakat. Begitu juga hal lain
yang masih berkaitan dengan pengetahuan
keagamaan. Bisa juga, mahasiswa difokuskan
pada masalah moral para remaja. Seperti
misalnya, anak jalanan dan geng-geng remaja yang rentan perselisihan.
Intinya, kampus harus punya desain
kegiatan jelas. Bidang apa yang akan ditangani, bekal apa yang musti dimiliki mahasiswa,
sampai pada parameter untuk mengukur
kesuksesan, semua harus jelas.
Sukses dilihat dari berapa besar perubahan, jelas Rasdi.
Menggunakan desain itu, kampus harus
benar-benar membuat perancangan. Fokus
masalah yang akan dibidik harus jelas dari
awal. Kemampuan mahasiswa yang akan
mengurusi masalah itu harus memadai.
Selama ini kampus kurang memperhatikan itu. Ketika memilih tempat KKN saja,
kampus tidak proaktif mencari lokasi sendiri.
Lokasi dipilih atas dasar permintaan Kepala
Daerah.
Sebagaimana dijelaskan Ilyas, kampus
melakukan pemerataan ke semua daerah
yang mengajukan permohonan KKN. Mereka yang meminta, katanya.
Untuk memberikan gambaran jelas lokasi
KKN, saat pembekalan kampus menghadirkan instansi daerah terkait. Namun, menurut
kesaksian Husni, materi yang dipaparkan
kurang. Penjelasan masih sebatas potensi
wisata dan lain-lain, bukan permasalahanpermasalahan yang harus dipecahkan mahasiswa.
Kampus juga tak memberi gambaran
kepada mahasiswa terkait apa yang harus
dilakukan. Salah satu sumber Amanat yang
enggan disebutkan identitasnya menceritakan, ketika ia bertanya bagaimana harus menghadapi masyarakat (dalam hal ini
bandungan yang identik dengan lokalisasi
tuna susila), pihak kampus justru meminta
mahasiswa untuk tak mengambil sikap.
Tak ada bimbingan bagaimana menghadapi masyarakat, katanya.
Kejar Nilai
Jangan heran jika kemudian mahasiswa
menganggap KKN sebatas formalitas kuliah.
Fokus mereka tak lagi pada pengabdian. Di
balik semua kegiatan, ada ambisi mengejar
nilai.
Sugiyanto, ditemui di kediamannya menceritakan, hampir semua mahasiswa hanya
mengincar nilai. Mereka seperti menganggap KKN sebatas formalitas kuliah. Mereka
tak peduli sudah berkontribusi sebesar apa.
Yang penting nilai keluar, katanya.
Rasdi menjelaskan, KKN sebenarnya bukan sekadar formalitas, apalagi ajang mencari nilai. Jika di lapangan melenceng, yang
bertanggung jawab memperbaiki adalah
kampus. Kampus harus bisa merubah paradigma itu.
Setidaknya ada desain kegiatan yang
jelas. Sebagaimana dijelaskan di awal. Program KKN harus jelas, tindakan mahasiswa di
lapangan harus terarah, termasuk kejelasan
parameter pengukur kesuksesan tindakan
mahasiswa.
Kalau hanya mengincar nilai mereka
akan rugi. Tidak dikenang! tegas Rasdi.
Hammidun Nafi S, Abdul Arif

Pengabdian
Compang-camping

L APORAN U TAMA
Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Ritus Menuju Lulus


Persiapan kurang matang. Di lapangan, mahasiswa miskin orientasi.

Dok.Amanat

uhammad Zulfa sibuk mengurus barang bawaan. Beberapa pakaian ganti dijejal
dalam sebuah ransel besar.
Menggendong ransel itu, Zulfa berjalan
agak lamban menyusul teman-temannya
yang sudah berkerumun di sekitar Gedung
Auditorium I Kampus 1 IAIN Walisongo
Semarang.
Pagi itu (11/10/2011), Zulfa bersama
sekitar 380 mahasiswa lainnya mengikuti
upacara pelepasan KKN angkatan ke-57.
Usai itu, mereka akan disebar ke beberapa
kecamatan di Semarang.
Sampai detik keberangkatan, Zulfa beserta teman-temannya masih ragu. Terus
terang, mereka belum tahu akan melakukan apa di tempat KKN. Bahkan, mereka
belum tahu gambaran keadaan masyarakat.
Kami belum tahu apa-apa, kata peserta KKN Desa Jetis itu.
Sebelum KKN, sebenarnya mahasiswa
sudah diberi waktu khusus untuk observasi. Wakil Ketua PPM Ilyas Supena menjelaskan, observasi itu sebagai langkah
awal peserta untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan di daerah yang akan
mereka tempati.
Praktiknya, observasi kurang bisa dimaksimalkan. Kendalanya, menurut Zulfa,
waktu yang terlalu singkat. Ia menjelaskan,
mahasiswa hanya diberi waktu satu hari
untuk observasi. Jaraknya dengan hari
pelaksanaan KKN pun terlalu singkat.
Enam hari menjelang keberangkatan.
Terlalu mepet dan singkat, ujarnya.
Padahal, lanjut Zulfa, banyak yang harus dicari. Termasuk mencari tempat tinggal sementara. Tak jarang, dalam observasi
mahasiswa justru mengutamakan mencari
tempat tinggal dibanding mencari informasi terkait permasalahan masyarakat.
Hal serupa dialami Attabik Basyir. Wakil
Koodinator Desa Wujil itu menceritakan,
waktu observasi habis untuk mencari tempat tinggal. Menuju lokasi KKN, informasi
yang mereka kantongi adalah, posko berada di Desa Munding. Ketika didatangi,
ternyata lokasi dipindah ke Wujil. Praktis,
waktu observasi habis untuk mondarmandir.
Sudah waktu singkat, pasca observasi
kampus tak melakukan tindak lanjut. Data
yang diperoleh masih mentah, bagaimana
mengolah data menjadi program kerja, apa
garis besar kegiatan mahasiswa untuk merealisasikan program kerja itu, dari kesemuanya itu, kata Zulfa, tak ada kejelasan.
Minim Bekal
Tercantum dalam buku pedoman KKN,
mahasiswa diharap bisa melatih kemampuannya untuk menerapkan teori yang sudah diperoleh kepada masyarakat melalui
rangkaian kegiatan KKN.
Mempraktikkan itu, kata Zulfa, bukan hal mudah. Terlebih, mahasiswa tak
memiliki cara merealisasikan teori yang
diperoleh selama kuliah. Dalam pembekalan hal-hal seperti itu tak diajarkan.
Waktu pembekalan juga terlalu singkat.
Hanya sehari.
Ilyas menjelaskan, pembekalan sebenarnya adalah upaya mengkomunikasikan
apa yang sudah diperoleh mahasiswa di
fakultas dengan kemungkinan data-data
yang berkembang di masyarakat. Asumsi yang digunakan, mahasiswa sudah
dibekali selama tujuh semester. Sehingga,
pembekalan sehari cukup.

Seorang mahasiswi KKN tengah mengajar di depan kelas.

Faktanya, ilmu yang diperoleh selama


tujuh semester itu tak lantas bisa diaplikasikan. Kuliah itu hanya teori. Yang mahasiswa butuhkan adalah cara mengaplikasikannya. Menurut Zulfa, pembekalan
satu hari bisa saja cukup, asalkan dalam
pembekalan itu mahasiswa benar-benar
diajari cara mengaplikasikan teori.

Waktu efektif mereka banyak


terbuang di awal. Datang tanpa
persiapan, observasi satu
minggu tidak selesai, menyusun
proposal butuh satu minggu,
belum yang lain.
Sugiyanto
Kepala Desa Wringinputih

Pada praktiknya, jauh dari yang diharapkan. Basyir menceritakan, dalam


pembekalan kebanyakan acaranya hanya
sambutan-sambutan. Sebagian mahasiswa tak memperhatikan. Mereka justru
membuat forum sendiri di belakang.
Hasilnya, sebagaimana disaksikan
Kepala Desa Wringinputih, Sugiyanto,
mahasiswa datang ke lokasi kurang persiapan. Perencanaan kacau, skedul waktu

tidak jalan, belum tahu permasalahan, dan


lain-lain.
Waktu efektif mereka banyak terbuang
di awal. Mahasiswa datang tanpa persiapan, observasi satu minggu tidak selesai,
menyusun proposal butuh satu minggu,
belum yang lain, urainya.
Mustinya, lanjut Sugiyanto, persiapanpersiapan semacam itu sudah rampung di
kampus. Semua bisa dilakukan saat pembekalan. Pembekalan dari kampus harus
sudah menyusun skedul waktu, tegasnya.
Yang mahasiswa butuhkan sebenarnya
hanya persiapan. Mahasiswa harus diberi
ancang-ancang. Tak ada salahnya diadakan pra KKN. Sehingga begitu mereka
datang semuanya sudah siap. Proposal
siap, pendanaan siap, termasuk sudah
mengantongi calon permasalahan yang
akan dibidik dan diselesaikan semasa
KKN.
Sugiyanto prihatin. Apalagi kampus
terkesan menelantarkan mahasiswa. Kampus kurang memberi bimbingan dan arahan. Dosen Pembimbing Lapangan (DPL)
pun kurang berkontribusi. Peran mereka
tak kelihatan. Mahasiswa dilepas tanpa
arahan.
Mustinya DPL berperan aktif di sana,
kata Sugiyanto.
Mengacu buku pedoman KKN, DPL
sebenarnya memiliki kewajiban mendampingi dan mengarahkan peserta KKN
sewaktu melaksanakan observasi dan
menyusun program kerja.
Kewajiban itu belum sepenuhnya
dijalankan. Dalam beberapa hal yang
mustinya membutuhkan campur tangan
mereka, justru mahasiswa sendiri lah yang

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

harus mencari pemecahannya.


Hal itu diamini Zulfa. Di poskonya peran DPL belum maksimal. Sumbangsihnya
minim. Datang hanya beberapa kali. Sekali
datang, tak lebih sebatas berkunjung. Tak
memberikan apa-apa, katanya.
Meski tak dipungkiri, ada beberapa
DPL yang bertanggung jawab. Zulfa menceritakan, ada DPL salah satu posko yang
benar-benar membimbing. Bahkan, DPL
tersebut sempat menginap di posko tersebut.
Mustinya, lanjut Zulfa, semua DPL bisa
seperti itu, meski tak harus menginap.
Campur tangan DPL sangat dibutuhkan,
terutama untuk menumbuhkan semangat
mahasiswa. Lebih dari sekadar pembimbing, mereka adalah contoh.
Penelitian dan PAR
Penting, dalam melaksanakan KKN,
mahasiswa paham penelitian. Dalam Buku
Pedoman KKN jelas disebutkan, penelitian
dilakukan sebagai awal bagi mahasiswa
untuk menyusun program kerja.
Praktis, program kerja mustahil tersusun tanpa terlebih dahulu melakukan
penelitian. Sebagaimana dialami Zulfa
dan teman-temannya. Satu minggu di
tempat KKN belum ada program kerja.
Satu minggu, kami masih meraba-raba,
katanya.
Beruntung, menjelang akhir mereka
bisa menemukan kebutuhan masyarakat.
Sedikit sisa waktu itu kemudian mereka
gunakan untuk mengejar target. Programnya, kata Zulfa, membangun rumah baca.
Namun sayang, waktu terburu habis, padahal rumah baca baru diresmikan. Kami
belum sempat memantau.

Pengabdian
Compang-camping

Dok.Tim KKN Desa Jetis

L APORAN U TAMA

Sosialisasi perpustakaan kecamatan oleh tim KKN Desa Jetis Kecamatan Bandungan.

Sesuai peraturan KKN, setelah jangka


waktu pelaksanaan KKN habis, tepatnya
usai upacara penarikan, mahasiswa tak
lagi memiliki tanggung jawab. Dengan kata
lain, mahasiswa dibebas tugaskan.
Dari situ, muncul satu kekhawatiran.
Sebagaimana disampaikan Sugiyanto. Ia
khawatir program yang baru saja dirampungkan itu akan hilang begitu saja setelah ditinggal mahasiswa. Baginya, sangat
penting adanya kesinambungan. Paling
tidak, ketika mereka pergi, mereka sudah
meninggalkan solusi. Solusi itu bisa dengan memberi pembinaan kepada masyarakat terkait kelangsungan program mereka.
Ketua Pusat Penelitian (Puslit) IAIN
Walisongo Mukhsin Jamil menilai, dalam
KKN selama ini, mahasiswalah yang lebih aktif melakukan. Artinya, mahasiswa
bergerak sendiri. Tak ada upaya melibatkan masyarakat.
Partisipasi menggerakkan masyarakat
minim, kata Mukhsin.

Padahal kemampuan masyarakat tak


menjamin keberlanjutan program yang
ditinggalkan mahasiswa. Melihat kenyataan itu, menurut Mukhsin, sangat perlu
melibatkan masyarakat secara aktif dari
awal sampai akhir. Mulai dari menggali
potensi, mencari masalah, mencari penyelesaian, serta melakukan tindak lanjut.
Langkah yang ditempuh PPM sebenarnya sudah bagus. Menggandeng Puslit, melakukan uji coba penelitian model
Participatory Action Research (PAR).
Menggunakan model itu, jelas Mukhsin,
mahasiswa dan masyarakat bisa saling
berpartisipasi.
Semua orang punya kapasitas untuk
memberdayakan dirinya sendiri, jelasnya.
PAR, lanjut Mukhsin, merupakan
upaya melakukan perubahan bersama
masyarakat, seberapapun terbatasnya
pengetahuan mereka. Intinya, masyarakat
mencari tahu sendiri apa yang mereka bu-

tuhkan. Mereka juga harus tahu apa yang


musti mereka ubah.
Tak mungkin mengubah masyarakat
dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Namun, sayang, dalam mempersiapkan itu, PPM belum maksimal. Untuk
menjelaskan banyak hal, Puslit hanya dijatah waktu satu hari. Bertindak sebagai
pemateri, Mukhsin merasa, waktu terlalu
singkat. Padahal, banyak permasalahan
teknis yang musti dipahami mahasiswa.
Satu hari saja, otomatis tak cukup.
Permasalahan teknis yang musti disampaikan itu diantaranya, pengetahuan
mahasiswa terkait bagaimana melakukan
pengorganisasian masyarakat. Kemampuan itu, menurut Mukhsin, lebih penting
dipahami ketimbang kemampuan mengumpulkan informasi-informasi yang
bersifat normatif.
Mahasiswa juga kudu dibekali pengetahuan terkait cara memfasilitasi masya-

rakat, merancang kegiatan, menyusun


kegiatan bersama masyarakat, sampai
pada tahap melakukan refleksi.
Keterbatasan waktu menyebabkan
mahasiswa tak mencerna secara sempurna. Koordinator Desa Gondoriyo, yang kebetulan poskonya menjalani program uji
coba PAR, Imam Edi Subkhi mengatakan,
persiapan untuk PAR terlalu mepet. Ditambah lagi, pemantauan PPM di lapangan
kurang. Setidaknya, PPM memantau sekali
dalam seminggu.
Mahasiswa masih perlu dituntun, katanya.
Edi mengakui, program PAR memang
sangat baik. Mereka lebih diberi kesempatan mempraktikkan ilmu yang sudah diperoleh selama kuliah. Hubungan dengan
masyarakat pun lebih baik. Mahasiswa tak
bergerak sendiri. Ada saling kerja sama.
Beda dengan biasanya, mahasiswa seperti
diperalat.
Maksimalkan
Semua berakhir begitu saja seusai
KKN. Mahasiswa kembali ke kampus. Semula datang tak membawa apa-apa, pergi
tak meninggalkan apa-apa. Ada dan tiada
mereka, tak memberi pengaruh. Begitulah
kesan masyarakat tentang KKN selama
ini.
Tak ada pengaruhnya, ujar Suriyah,
warga desa Wujil.
Karena itulah, kedepan, PPM harus
memaksimalkan KKN. Namun sayang,
ketika Amanat mencoba mencari tahu
bagaimana rencana PPM ke depan terkait
KKN, Ketua PPM belum bersedia memberi keterangan. Alasannya, akhir-akhir
ini dia jarang aktif, jadi kurang tahu permasalahan. Kemarin saya pergi Haji,
kata Darmuin.
Namun, secara pasti, Mukhsin menawarkan solusi. Itu tak lain, memaksimalkan program PAR. Puslit selalu siap memfasilitasi, asal dilakukan dengan serius.
Artinya, pembekalan harus lebih lama.
Persiapan itu bisa dilakukan sejak
kuliah. Paling tidak, ada satu mata kuliah
khusus yang di dalamnya benar-benar
membahas PAR sampai tuntas. Tak hanya
mahasiswa, bekal materi terkait PAR juga
harus diberikan kepada DPL.
Keduanya harus bersinergi, tegas
Mukhsin.
Akhmad Baihaqi Arsyad, Jamil

Prof. Dr. Rasdi Ekosiswoyo, M.Sc.

Agar Mahasiswa Peduli


Sebenarnya KKN itu apa?
Pada dasarnya, kampus memiliki tiga
kewajiban, atau yang sering disebut tri
darma; darma pendidikan, darma penelitian, dan darma pengabdian kepada
masyarakat. Darma pendidikan diwujudkan melalui kuliah dan seminar, penelitian bisa melalui penelitian. Keduanya
itu sering dilakukan, dan memang harus
dilakukan.
Adapun darma pengabdian kepada
masyarakat bisa dilakukan oleh dosen secara mandiri. Sedangkan yang dilakukan
lembaga bisa bermacam-macam. Salah
satunya KKN.
Wujud Kegiatannya?
Banyak. Intinya mahasiswa diterjunkan ke masyarakat untuk membantu
menyelesaikan permasalahan masyarakat.

Ketua Dewan Pendidikan


Kota Semarang

Tujuannya?
Agar mahasiswa mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakat. Diharapkan, ketika mereka jadi sarjana, mereka
memiliki kepedulian kepada masyarakat.
Jangan sampai hanya jadi mercusuar.

Bagaimana jika di lapangan mahasiswa


hanya menjadi partisipan?
Kalau ikut-ikutan rutinitas masyarakat
itu sebatas strategi mendekati masyarakat, bagus. Tapi kalau itu menjadi agenda utama, bukan itu yang diharapkan.
Mengingat tujuan KKN tak lain untuk
menumbuhkan kepedulian mahasiswa
kepada masyarakat, mahasiswa harus
bisa membuat agenda yang inovatif.
Jika mahasiswa terpaku pada nilai
akademik?
Kalau seperti itu, kampus bertanggung
jawab memperbaiki. Kampus berkewajiban meluruskan paradigma mahasiswa.
KKN harus didesain lebih serius. Semua
harus jelas. Pengawasan harus ketat. Jika
memang harus memberi nilai, parameter
itu juga harus jelas. Kalau hanya mengincar nilai, mahasiswa akan rugi.
Objek KKN yang baik?
Negeri ini punya banyak permasalahan, tak hanya di desa terpencil. Masalah
di kota-kota juga banyak, seperti anak
jalanan, geng-geng remaja yang rentan
perselisihan, dan lain-lain. Semua itu juga
butuh sentuhan mahasiswa. Kaitannya

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

dengan basis keilmuan IAIN, sebenarnya


mahasiswa IAIN bisa dikerahkan untuk
menangani masalah itu. Mahasiswa bisa
memberikan pendidikan moral dan agama kepada mereka.
Ke depan saya sangat mengusulkan,
IAIN menerjunkan mahasiswa KKN-nya
untuk mengurusi permasalahan tersebut.
Haruskah yang seperti itu?
Karena kampus memiliki sumber daya
untuk melakukan itu. Bahkan seharusnya
kampus berani menawarkan diri kepada
pemerintah.
Misalnya, khusus untuk wilayah Semarang IAIN menawarkan diri kepada
pemerintah untuk menangani masalah
moral, pendidikan keagamaan, dan lainlain.
Selama ini, kerja sama semacam itu
belum terjalin.
Abdul Arif

Pengabdian
Compang-camping

L APORAN P ENDUKUNG
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)

Dari Mahasiswa, Untuk Siapa?


DEMA tak mampu menjalankan fungsi. Mahasiswa menggugat.

Kinerja Minim
Fungsi DEMA sangat signifikan. Di
antaranya, sebagai lembaga perwakilan mahasiswa untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi mahasiswa (SK
Dirjen Pendidikan Islam Depag RI No
Dj.I/253/2007).
Namun, fungsi itu tak banyak dirasakan
mahasiswa. Mahasiswa masih kesulit-an
dalam menyalurkan aspirasi. Hal itu diakui
Busro Asmuni. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) ini mengaku belum merasakan fungsi tersebut. Menurutnya, seharusnya DEMA bisa menampung aspirasi
dan memihak kepentingan mahasiswa.
DEMA dibutuhkan terutama untuk menjembatani mahasiswa dengan birokrasi.
DEMA harus pro mahasiswa, tambahnya.
Hal serupa dikatakan Ketua Walisongo Sport Club (WSC), Muhamad Anik.
Alih-alih menyalurkan aspirasi, menjalin
komunikasi dengan DEMA pun ia merasa
kesulitan. Sebab, pengurus DEMA tak pernah ngantor.
Ketemu saja susah, keluhnya.
DEMA memiliki tugas melakukan
pengembangan potensi mahasiswa. Termasuk, menjalin kerja sama serta koordinasi dengan lembaga kemahasiswaan lain,
semisal UKM.
Fungsi tersebut belum terlaksana secara maksimal. Salah seorang pengurus
UKM Nafilah, Abdurrahman membenarkan hal tersebut. Menurutnya, DEMA
jarang melakukan koordinasi dan konsolidasi terhadap UKM. Padahal, tambahnya,
salah satu tugas DEMA adalah melakukan
koordinasi dengan UKM.
Boro-boro koordinasi, kantor saja
dibiarkan kosong, ujar mahasiswa yang
kerap disapa Gusdur ini.
Padahal, dalam Proker DEMA 2011, rapat koordinasi dengan UKM diagendakan
bulanan, tiap tanggal 10, disertai alokasi
dana rapat. Sebagaimana penuturan Abdurrahman, DEMA hanya melakukan
koordinasi kurang lebih tiga kali dalam
setahun.
Kenyataan itu diakui Idris. Ia mengatakan, hanya beberapa kali mengadakan
rapat koordinasi dengan UKM.
Pria yang selalu memakai peci ini mengakui, kinerja DEMA tahun ini belum

Amanat.Hamid

ampir tiga bulan, sejak pertengahan Juli 2011. Ruangan 4x7


meter itu kosong tak berpenghuni. Lantai kotor berdebu,
kertas-kertas berserakan. Beberapa barang
inventaris, seperti almari dan komputer
mangkrak. Itulah pemandangan Kantor Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)
menjelang akhir kepengurusan.
Pemandangan itulah yang kerap dilihat mahasiswa yang beraktivitas di Pusat
Kegiatan Mahasiswa (PKM). Hal itu diakui
Waliudin, salah seorang aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Walisongo English
Club (WEC).
Kantor DEMA selalu kosong, katanya.
Menanggapi kantor yang acap kosong,
Ketua Dema 2011, Idris berkilah, pengurus
DEMA kebanyakan semester IX yang ingin
merampungkan skripsi. Banyak juga di
antara pengurus sedang KKN.
Mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris itu menyinggung prestasi DEMA.
Yaitu, pada tahun 2011 DEMA menjadi
Ketua BEM PTAI Se-Indonesia.

Kantor DEMA yang beberapa waktu lalu sempat dijadikan musholla oleh para penghuni PKM lantaran kosong.

maksimal. Terutama, program pengembangan UKM.


Hanya beberapa persen saja program
yang kami laksanakan, akunya.
Idris mengatakan, program kerja
DEMA pada periode 2011 terlalu banyak,
sehingga tak semua program terlaksana.

Dema seharusnya dapat


menjalankan amanat
demokrasi. Menampung
aspirasi dan memihak
kepentingan mahasiswa.
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag
Mantan PR III

Waktu satu tahun tak cukup untuk


menjalankan semua program, tandasnya.
DEMA sebenarnya memiliki beberapa
badan (kementerian) yang bertugas membantu DEMA dalam menjalankan fungsinya. Di antaranya, Kementrian Dalam
Negeri, Kementrian Pemberdayaan UKM,
Kementrian Advokasi dan Pengembangan
Masyarakat, Kementrian Luar Negeri, dan
Kementrian Hukum dan Perundangan.
Untuk merumuskan, Program Kerja
(Proker) pun dibentuk. Masing-masing
kementerian mengagendakan program
dalam setahun. Alokasi dana untuk mendukung program tersebut pun tak sedikit.
Berdasarkan Proker DEMA 2011, DEMA
mendapatkan alokasi Dana Isian Penga-

juan Anggaran (DIPA) sekitar tiga puluh


juta rupiah.
Dana sebesar itu menimbulkan pertanyaan di kalangan mahasiswa. Anik,
misalnya, dia menganggap ada kesenjangan alokasi dana antara DEMA dengan
UKM. Rata-rata UKM hanya mendapatkan
alokasi dana 2-6 juta pertahun. Dana itu
tak mencukupi kebutuhan UKM.
Dana sebesar itu bukan masalah bagi
Anik, jika sesuai dengan kinerja DEMA. Ia
menyayangkan, besarnya dana tak diimbangi dengan kinerja yang maksimal.
Dana besar kinerja nol, katanya.
Berdasarkan laporan penggunaan dana
DEMA. Kebanyakan alokasi dana, sekitar
28 juta hanya dipergunakan untuk rapat,
delegasi, dan seminar.
Hal itu diamini Anik, ia melihat DEMA
lebih banyak menghabiskan dana untuk
keperluan yang tak bersinggungan dengan
kepentingan mahasiswa.
DEMA banyak acara jalan-jalan, paparnya.
(Bukan) untuk Mahasiswa
DEMA dipilih melalui Pemilihan
Umum Mahasiswa (Pemilwa). Model
pemilihan itu sebagai media pembelajaran demokrasi di kampus. Sebagaimana
prinsip demokrasi, ia menganut asas dari
mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk
mahasiswa. Hal itu disampaikan mantan PR III Erfan Soebahar. Dengan prinsip tersebut, menurut Erfan, seharusnya
dapat menjalankan amanat demokrasi.
Yaitu, menampung aspirasi dan memihak
kepentingan mahasiswa.
Dipilih rakyat, untuk rakyat, katanya.
Erfan menyayangkan, prinsip itu tak
sepenuhnya dijalankan DEMA. Melihat
kenyataan itu, Erfan menyimpulkan, hasil
kinerja DEMA dengan model pemilihan
Musyawarah Mahasiswa Jurusan (Musmaju) lebih baik dibanding Pemilwa.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Kinerja DEMA hasil Musmaju lebih


terasa bagi mahasiswa.
Erfan juga menilai, kekacauan kinerja
DEMA juga disebabkan karena peran yang
dimainkan Senat Mahasiswa Institut (SMI)
kurang maksimal. SMI yang bertugas
melakukan pengawalan dan pengawasan
terhadap DEMA justru menghadapi kemelut sendiri.
Ketua SMI malah mundur di tengah
jalan.
Pasca pengunduran itu, Muhammad
Ali menggantikan posisi Nursahid sebagai
ketua SMI.
Saya menggantikan setengah periode, kata Ali.
Di akhir periode, SMI melakukan sidang evaluasi terhadap kinerja DEMA. Ali
menuturkan, dari hasil evaluasi itu disimpulkan, kinerja DEMA selama satu periode
tak maksimal.
Puncaknya (31/12/11), sebelum purna
jabatan, diselenggarakan rapat Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) DEMA. Hasil
LPJ itu semakin menegaskan keburukan
kinerja DEMA.
Beberapa fraksi yang hadir dalam rapat menolak LPJ DEMA dengan berbagai
pertimbangan. Fraksi dari Partai Mahasiswa Demokrat (PMD) menolak dengan
alasan, di antaranya, DEMA tak mampu
membangun hubungan harmonis dengan
UKM. Partai Insan Cita (PIC) menganggap DEMA tak mampu menyejahterakan
kampus. Salah satunya dibuktikan dengan
minimnya kegiatan yang diselenggarakan
DEMA. Terutama, kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan mahasiswa.
Hanya fraksi dari Partai Pembaharuan
Mahasiswa (PPM) yang menerima LPJ
tersebut.
DEMA 2011 gagal, tegas Ali.
Shodiqin

Pengabdian
Compang-camping

L APORAN P ENDUKUNG
Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa)

Mendadak Pemilwa
Pemilwa berlangsung singkat. Tidak transparan.

Seleksi KPM
Mengacu Surat Keputusan (SK) Rektor
No 8 tahun 2011. Wewenang pembentukan
KPM mutlak di tangan DEMA. Dengan landasan itulah, pada 5 Desember 2011, DEMA
secara tertutup menunjuk Muhammad
Irham Fakhuludin sebagai ketua KPM.
Irham mengambil langkah. Segera ia
merekrut anggota KPM dari empat fakultas.
Setiap fakultas diambil 10 orang. Semua
dilakukan secara tertutup, jelas mahasiswa
asal Kendal itu.
Setelah semua nama terkumpul, formasi KPM disetorkan ke Pembantu Rektor (PR)
III dan disahkan oleh Rektor.
Melihat persiapan Pemilwa kali ini, PR
III, Darori Amin menilai, persiapan kurang.
Pembentukan anggota KPM terlalu singkat.
Dia khawatir, anggota KPM yang terpilih
kurang berkualitas.
Doktor alumnus UIN Sunan Kalijaga Yog-

Amanat.Akhmad Baihaqi A

ejak jadwal Pemilwa diumumkan,


mahasiswa simpatisan partai mulai
memasang kuda-kuda. Tepatnya
pada 22 Desember 2011, mereka
mengarak calon Presiden dan Wakil Presiden keliling kampus IAIN Walisongo. Suara
sirine dan kendaraan bermotor mengusik
kampus hijau itu.
Semua berlangsung tiba-tiba. Spanduk besar bertulis nama dan foto calon
terpampang di banyak tempat. Tak banyak
mengira, pemilwa hampir digelar. Seperti
diceritakan Asrori. Mahasiswa Bimbingan
Konseling Islam (BPI) Fakultas Dakwah ini
mengaku terkejut, tiba-tiba ada spanduk di
mana-mana.
Menyaksikan itu, Asrori menilai,
pemilwa tidak transparan. Dari awal pembentukan Komisi Pemilihan Mahasiswa
(KPM) saja sudah tak ada kejelasan.
Saya tidak tahu soal perekrutan anggota KPM, kata pemuda asal Demak itu.
Ahmad Qosim, mahasiswa Fakultas
Syariah turut mengamini. Membandingkan dengan Pemilwa tahun lalu, menurutnya, Pemilwa kali ini sangat tidak transparan.
Seharusnya ada sosialisasi mengenai pemilihan anggota KPM, kata Qosim.

Beberapa mahasiswa tengah melihat foto para calon.


yakarta ini berharap, di Pemilwa berikutnya, pembentukan KPM tidak terburu-buru.
Harapannya, anggota KPM yang terpilih benar-benar kompeten.
Menanggapi pembentukan KPM yang
terlalu terburu, Irham menjelaskan, waktu
yang disediakan DEMA juga sangat singkat.
Irham mengaku mulai mendapat perintah
pada 5 Desember, padahal Pemilwa digelar 29 Desember. Secepat mungkin, Irham
menunjuk anggota KPM.
Ayis Mukholik menyayangkan tertutupnya pembentukan KPM. Menurutnya,
perekrutan anggota KPM tak cukup di
lingkup DEMA saja. Meski itu wewenang
DEMA, mahasiswa harus tahu, tegasnya.
Tak hanya KPM, pendaftaran bakal
calon DEMA, SMI, BEM, dan yang lainnya
juga tidak transparan. Hal itu dikatakan

Muhammad Rizka. Mahasiswa Tarbiyah


angkatan 2008 itu terkejut melihat sudah
banyak nama calon terpampang di spanduk besar. Padahal sebelumnya tak ada informasi apapun terkait pencalonan.
Jangan-jangan, informasi hanya disebar ke orang-orang tertentu, katanya.
Irham menepis kecurigaan itu. Ia mengaku, sudah menyebar informasi ke setiap
fakultas terkait syarat dan tata cara pencalonan. Informasi itu disebar dalam bentuk
lembaran yang ditempel di papan informasi.
Rizka merasa, itu masih kurang. Sebab,
belum tentu semua mahasiswa melihat papan informasi. Mustinya informasi itu dipajang di tempat yang lebih mungkin dilihat
mahasiswa.
Bisa dengan memajang spanduk besar,
katanya mengusulkan.

Bukan Sekadar Gerakan

Khoirul Anam
Ketua DEMA 2012 Terpilih

Setelah anda dilantik, mau dibawa kemana DEMA setahun ke depan?


Kita punya jargon progresif, aktif, dan
inklusif. Jargon ini sebagai penyemangat
untuk mewujudkan IAIN bersatu. Selama
ini mahasiswa IAIN terkotak-kotak oleh
kepentingan masing-masing. Untuk itu, ke
depan kami melakukan perbaikan baik internal lembaga kemahasiswaan maupun
mahasiswa pada umumnya. Juga perbaikan
eksternal kampus.
Perbaikan internal dan eksternal kampus seperti apa?
Untuk perbaikan internal, kami akan
memperkuat kerjasama dengan stake
holder di kampus, baik itu rektorat maupun
mahasiswa. Kemudian untuk perbaikan
eksternal dengan mensolidkan jejaring
alumni IAIN baik dari kalangan akademikus
maupun yang berkecimpung di bidang
lainnya. Selain itu, kami perlu mensolidkan
jejaring mahasiswa lintas perguruan tinggi
di dataran BEM regional Jateng maupun
nasional.

Prioritas dalam waktu terdekat?


Peningkatan kualitas kabinet dengan
membentuk menteri-menteri baru yang
sesuai dengan kondisi saat ini. Kami juga
akan mengajak mahasiswa untuk menciptakan gerakan bersama untuk rakyat.
Mahasiswa harus peka terhadap isu-isu kemasyarakatan sebagai wujud sosial responsibility. Tentunya gerakan ini atas dasar
kajian, riset, dan analisis yang mendalam.
Sehingga benar-benar tepat sasaran.
Tanggapan anda mengenai kondisi kampus/ mahasiswa saat ini?
Ada dua problem mendasar yang melanda mahasiswa. Pertama, ketika masih
kuliah mereka menganggap kegiatan kemahasiswaan tidak penting. Padahal kegiatan
kemahasiswaan sebagai pengembangan
diri yang menjadi bekal mahasiswa setelah
lulus. Kedua, ketika mahasiswa IAIN lulus
mereka harus menghadapi persaingan kerja yang ketat.
Solusi yang ditawarkan DEMA?

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Kampanye Berisik
Agus Salim, mahasiswa Siyasah Jinayah
tidak bisa konsentrasi ketika sedang kuliah
di kelas. Saya terganggu gara-gara kampanye Pemilwa, keluhnya.
Untuk pemilihan seperti itu, lanjut Salim, tak perlu diadakan kampanye. Apalagi
sampai mengusik kuliah.
Irham tak sependapat. Menurutnya, kampanye tetap penting dilaksanakan.
Kampanye adalah rangkaian
agenda Pemilwa. Agenda itu untuk mensosialisasikan visi-misi calon. Kampanye
dan orasi politik untuk mensosialisasikan
pemilwa, jelasnya.
Bagaimanapun Irham tetap mengacu
aturan yang berlaku. Ia menunjukkan UU
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) No
1 tahun 2010 pasal 13 tentang tahapan
penyelenggara pemilwa. Dalam peraturan
tersebut, menggelar kampanye ialah kewajiban yang harus dilaksanakan KPM.
Meski kampanye menjadi kewajiban,
tak sepatutnya kegiatan itu dilaksanakan
dengan berisik. KPM semestinya bisa mencari cara yang lebih ramah.
Darori Amin mengamini itu. Dosen
Filsafat ini merasa terganggu saat mengisi
kuliah. Tak seharusnya kampanye pengusungan calon dilaksanakan seperti itu.
Kampanye bisa dengan seminar atau
sosialisasi langsung kepada mahasiswa,
usulnya.
Minat Menurun
Tibalah hari Rabu di pekan keempat
bulan Desember, pemilwa digelar. Diikuti
tujuh partai mahasiswa yang lolos verifikasi.
Dari seleksi KPM, terpilih tiga pasang
calon presiden dan wakil presiden. Misbahul Ulum-Koirul Waro dari Partai Insan
Cita, Khoirul Anam-Siswoyo dari Partai
Pembaharuan Mahasiswa koalisi Partai
Mahasiswa Demokrat, dan Ayis MukholikSiti Nur Malikha perwakilan Partai Kebangkitan Mahasiswa.
Dari hasil perhitungan KPM, Pasangan
Anam mendapat 1340 suara, mengungguli
kedua lawannya, pasangan Misbahul Ulum
103 suara, dan pasangan Ayis 421 suara.
Berdasar perhitungan KPM, minat mahasiswa mengalami penurunan. Prosentase pemilih hanya mencapai 38,67%. Beda
dengan tahun lalu yang bisa mencapai
angka 42,83%.
Terjadi pernurunan 4,16%, jelas
Irham.
Alfian Guntur A

DEMA hanya memfasilitasi saja. Mahasiswa sangat beragam dengan potensi


dan kelebihannya. Kami hanya mendukungnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang mewadahi potensi
mereka di bidang akademik, politik,
seni, budaya, serta bakat-bakat lainnya.
Kami memberi apresiasi sebagai motivasi dalam peningkatan prestasi mahasiswa.
Bentuk penyaluran aspirasi mahasiswa kepada rektorat seperti apa?
Jika mahasiswa terbelit urusan
akademik atau lainnya, DEMA akan
berada di garda terdepan menyuarakan aspirasi mahasiswa. Kami akan
mengadakan dialog antara mahasiswa
dengan rektorat. Sudah menjadi tugas
DEMA untuk mengawal mahasiswa.
Bagaimana DEMA menjalin komunikasi dengan UKM?
Selama ini komunikasi DEMA dengan UKM lainnya memang lemah. Ke
depan kami perlu menjalin komunikasi
yang lebih intim dengan mereka. Kita
berharap antara DEMA dan UKM saling
mengerti dan satu persepsi.
Abdul Arif

Pengabdian
Compang-camping

K AJIAN
Organisasi Keagamaan

Terbuai Doktrin Adogmatik


Banyak masyarakat salah
memposisikan organisasi
keagamaan. Keyakinan
terhadap organisasi
menggeser nilai
persaudaraan sesama
Muslim.

Oleh Hammidun Nafi S

antunan ayat suci Al-Quran terpancar dari pengeras suara masjid.


Itu suara Rasyid beserta jamaahnyamelantunkan Surat Yasin.
Usai Surat Yasin dibaca, Rasyid melanjutkan ritual ibadahnya dengan Istighfar beberapa kali, shalawat, tasbih dan kalimah
tayyibah lain. Semua jamaah mengikuti
dengan khusyuk.
Sementara di lain tempat, terdengar
nada-nada pendek di antara kerumunan
orang. Bidah! kata salah seorang di kerumunan itu.
Ya, amalan yang tengah dikerjakan Rasyid itu adalah kemasan ibadah yang hanya ada di organisasi keagamaan tertentu.
Oleh Rasyid, ibadah itu disebut tahlilan.
Sementara orang yang mengklaim bidah
tadi adalah kelompok organisasi lain yang
kurang sependapat. Bagi mereka, kegiatan
semacam itu tidak perlu dikerjakan.
Justifikasi-justifikasi seperti itu kerap
membuntutkan ketegangan. Kejadian itu
dialami Imam Suprayogo di kampung
kelahirannya masa dulu. Ritus peribadatan
yang diterapkan organisasi keagamaan
Imam kerap mendapat justifikasi sebagai
amalan berbau syirik, tahayul, bidah dan
khurafat.
Dari sikap itu kemudian lahir antipati
dan kebencian di antara masyarakat. Mereka terpecah. Pengalaman pribadi Rektor
UIN Malang itu diceritakannya dalam sebuah tulisan di website-nya.
Beragam
Organisasi keagamaan sebenarnya
hanyalah representasi dari apa yang
berkembang di masyarakat. Karena masyarakat ini beragam, maka organisasi itu
turut beragam. Keberagaman itu dapat
dilihat dari banyaknya jumlah organisasi
keagamaan di Indonesia.
Saat ini, di Indonesia sudah ada sekitar
63 organisasi keagamaan (sumber: MUI).
Masing-masing itu memiliki pandangan
berbeda. Perbedaan itulah yang kemudian
menjadi ciri khas antara organisasi satu
dengan yang lain.
Abdul Muti mengamati, letak perbedaan itu hanyalah pada aspek strategisnya

saja, bukan madzhabnya. Seperti misalnya Nahdlatul Ulama (NU) mendasarkan


fikihnya pada empat madzhab, kemudian
Muhammadiyah tidak menganut tapi tidak menolak madzhab. Ada juga Al-Ashlawiyah yang mirip dengan NU.
Dalam hal prinsip mereka tidak berbeda. Yang berbeda hanyalah praktik ibadahnya. Dengan kata lain, secara ushuliyah mereka sama. Secara furuiyah mereka berbeda tergantung pada kondisi dan
tingkat keyakinan mereka pada sebuah
dalil. Termasuk perbedaan penafsiran.
Seperti misalnya, perbedaan jumlah
rakaat dalam sholat tarawih, menggunakan kunut atau tidak, menggunakan usholli
dalam mengawali sholat atau tidak, sholat
hari raya di masjid atau di lapangan, sholat jumat menggunakan adzan sekali atau
dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain
lagi macamnya.
Namun, bukan berarti perbedaan yang
hanya dalam tataran furu itu kemudian
bersih dari perselisihan. Sebagaimana
dikisahkan di awal, bahwa justifikasi dan
klaim oleh kelompok lain masih kerap
ditemukan.
Sikap itu muncul akibat adanya fanatisme. Sederhanyanya, anggota kelompok
tertentu memandang sempit suatu perbedaan. Sempitnya cara pandang itu akibat dari kurang luasnya pengetahuan. Itu
disebabkan pengetahuan mereka terkait
agama diperoleh melaui doktrin.
Doktrin
Pola-pola berdakwah dengan metode
doktriner sedikit banyak memberi pengaruh terhadap sikap pengikutnya. Dicontohkan Muti, sekarang banyak kelompok
kecil eksklusif yang mengeluarkan doktrin bahwa semua kelompok di luar organisasinya adalah kafir. Padahal mereka
sama-sama mengaku Ahlu Sunnah, tapi
tetap saja menyerang Ahlu Sunnah lain.
Doktrin itulah yang kemudian membuat seseorang terkurung dalam satu pemikiran. Akibatnya, pemikiran mereka
tak berkembang. Tak ada proses analisis.
Mereka hanya menerima dan meyakini,
tak peduli benar atau salah. Karena itulah

ketika bertemu pemikiran yang berbeda,


serta-merta dia menolak, bahkan mengklaim salah.
Di daerah-daerah, praktik pengajaran
semacam itu masih terjadi. Di beberapa
tempat mengaji, tak sedikit guru-guru
mengajarkan tata cara beribadah tanpa
memaparkan dasar dalilnya. Jika ada kelompok lain yang menerapkan tata cara
berbeda, guru itu lantas berkata, Ini yang
benar, mereka salah. Padahal jika dikaji,
keduanya itu sama-sama memiliki dasar
dalil yang belum tentu salah. Sayang, kepada murid-muridnya dia tidak memaparkan itu.
Mustinya, ketika guru mengajarkan
amalan kepada muridnya, guru itu memberitahukan dasar dalilnya. Begitu juga
ketika ada perbedaan penggunaan dalil.
Guru harus berlapang dada menjelaskan
dalil yang digunakan mereka yang berbeda
itu, bukan malah mengklaim salah padahal aslinya benar.
Kasus lain misalnya, jumlah rakaat
dalam shalat tarawih. Muhammadiyah
menggunakan dalil yang menganjurkan
delapan rakaat. Sedangkan NU meyakini dalil yang menganjurkan dua puluh
rakaat.
Perbedaan jumlah rakaat itu, oleh masing-masing pihak yang berhak menjelaskan alasan dan dasar dalilnya, rupanya
luput melakukan itu. Mereka hanya menebar doktrin bahwa yang benar adalah yang
tengah mereka kerjakan. Masyarakat awam
yang tak mengerti apa-apa kemudian ikut
menganggap salah yang lain.
Karena itulah, menurut Muti perlu
adanya pola-pola pendidikan agama yang
terbuka dan mencerahkan masyarakat.
Pemahaman yang diberikan harus komprehensif. Tujuannya, agar seseorang jadi
lebih mengerti apa itu paham, mengerti
dalil, kapan boleh berbeda, dan kapan harus sama.
Konvergensi
Di samping itu, menurut Muti perlu
adanya rekayasa sosial yang memungkinkan terjadinya proses saling memahami
orang lain. Karena, kunci agar pemikiran

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

masyarakat bisa terbuka adalah interaksi.


Semakin luas pergaulan seseorang, akan
semakin luas pula ilmunya.
Dari interaksi itu kemudian lahir tiga
kemungkinan. Pertama, terjadi proses
saling mengenal orang lain. Dari situ seseorang akan memahami perbedaan-perbedaan. Kedua, terjadinya proses dialog,
baik secara alamiah maupun terencana.
Dialog itu menjadi sarana untuk saling
bertukar pandangan.
Ketiga, lahirnya pemikiran dan pandangan baru sebagai hasil konvergensi.
Interaksi seperti itulah yang saat ini belum terjadi, khususnya di desa-desa yang
mayoritas masyarakatnya masih fanatik.
Gejolak pemikiran mereka terkurung oleh
ruang dan lingkungan pemikiran yang
sempit.
Observasi Kuntowijoyo sejak 90-an
menemukan adanya konvergensi antara
kaum santri dan abangan. Disitu disebutkan, konvergensi itu adalah pengaruh dari
pendidikan.
Faktor lain yang mempengaruhi konvergensi menurut Muti adalah proses mobilitas sosial. Kondisi masyarakat yang semakin terbuka dan mudah berpindah-pindah memungkinkan adanya interaksi. Pada
muaranya, konvergensi akan melahirkan
pemikiran yang lebih luas.
Itu sudah terbukti, terutama dalam kondisi masyarakat yang heterogen. Di sana
perselisihan atas dasar perbedaan mulai
surut. Seperti misalnya, fenomena shalat
tarawih di Masjid Istiklal Jakarta. Setelah
rakaat ke delapan jamaah di masjid itu
terbagi menjadi dua. Yang satu langsung
berlanjut ke witir, yang satu lagi menunggu
untuk melanjutkan sampai rakaat kedua
puluh. Perbedaan jumlah rakaat tak lagi
menjadi soal.
Sikap saling mengerti seperti itulah
yang harusnya dikembangkan. Bukan tidak mungkin, organisasi keagamaan yang
jumlahnya sekian banyak itu saling bekerja
sama untuk satu tujuan baik, sampai pada
tataran perbaikan negeri.

WACANA

Pengabdian
Compang-camping

Nikah Siri

Mempertegas Hukum Nikah Siri


Nikah siri merupakan bentuk
penjajahan seks yang kian
memperkukuh dominansi
laki-laki terhadap perempuan.
Hukum perlu direkonstruksi ke
arah yang lebih emansipatif.

Oleh Khoirul Muzakki

ecara etimologis, nikah siri berarti


nikah yang dilakukan secara sembunyi atau rahasia. Pengertian lebih
luas, nikah siri merupakan pernikahan yang dinyatakan sah menurut ketentuan agama Islam karena telah memenuhi
syarat dan rukun pernikahan, namun tidak
dicatat dan diawasi oleh pejabat negara
(KUA). Ketentuan sah menurut agama
ini ternyata berlawanan ketentuan hukum
nasional. Pernikahan siri dinyatakan tidak
sah karena menyimpang dari UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan.
Persoalannya adalah, ada pertentangan antara hukum Islam dengan hukum
nasional yang dalam perjalanannya melahirkan ketegangan. Mengingat mayoritas
penduduk Indonesia adalah Islam, hukum Islam berpengaruh kuat dalam menuntun praktik keberagamaan umat. Fiqh
merupakan kenyataan operasional dalam
beragama. Ia adalah hukum yang hidup
di masyarakat. Hukum nasional dan hukum
Islam, keduanya sama-sama menuntut
ketaatan dan kepatuhan. Keduanya mesti
dikembangkan secara searah, serasi, dan
seimbang. Tanpa pertentangan.
Jika ditarik ke ranah lebih luas, negara
dan agama, keduanya bertolak pada satu
tujuan, mewujudkan kemaslahatan bagi
warga atau umat. Atau dalam bahasa Aristoteles, negara dibentuk untuk kebaikan
umum. Terutama dalam kebijakan hukum,
aspek tersebut tak boleh diabaikan.
Dalam pembahasan fiqh, maslahat
(maqasid asy-syariah) menjadi kendali
hukum, meski harus bertentangan dengan
teks. Menurut Ath-Thufi, maslahat adalah
dalil syariat paling kuat. Bila terjadi pertentangan antara keduanya, maslahatlah yang
dikedepankan. (Jamal al Banna :1997)
Nikah siri bertentangan dengan prinsip
tujuan tersebut. Nikah siri dalam praktiknya banyak menimbulkan persoalan.
Pada akhirnya, menjurus pada kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Antara lain,
kekerasan psikologis. Misalnya, istri mendapat stigma istri simpanan sehingga sulit untuk bersosialisasi. Istri juga sewaktuwatu bisa ditinggal sang suami pergi begitu
saja, atau menikah lagi, karena tidak adanya
ikatan hukum. Atau, kekerasan ekonomi,
misal, istri tidak dinafkahi. Di samping, kekerasan fisik atau seksual yang biasa terjadi.
Belum termasuk konskuensi hukum
yang bakal diterima. Sebab menurut UU,
istri dari pernikahan siri bukan merupakan
istri sah. Karenanya, istri tidak berhak atas

nafkah dan warisan dari suami, serta tidak


berhak atas harta gono-gini. Begitu juga
dengan anak hasil perkawinan siri, ia bukan
merupakan anak sah. Statusnya sama dengan anak luar kawin, atau anak hasil zina.
Ia hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan tak berhak atas nafkah,
biaya pendidikan, atau warisan dari ayahnya.
Langkah negara sudah tepat, meski belum tegas dalam menindak pelaku nikah
siri. Yaitu, dalam rangka penertiban umum
untuk mencapai kebaikan bersama. Juga
untuk melindungi kaum perempuan dari
praktik perkawinan yang tak bertanggungjawab.
Wajib Catat
Perdebatan hukum nikah siri berpangkal pada masalah pencatatan perkawinan.
Fiqh tidak mengharuskan adanya pencatatan, sebab itu tidak termasuk syarat atau
rukun pernikahan. Pun, di zaman rasulullah tidak ada istilah pencatatan perkawinan.
Sosialisasi hukum Islam kepada masyarakat
penting. Bukan hanya bentuk rumusan hukum normatifnya saja, namun, terutama
tentang aspek tujuan hukum (maqasid asysyariah). Secara teoritis, hukum Islam dirumuskan perumusnya (Allah SWT). Secara
umum, tidak lain bertujuan untuk meraih
kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.
Berpijak dari tujuan meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan,
maka pencatatan perkawinan wajib hukumnya.
Fungsi pencatatan di samping untuk
mencapai ketertiban umum, sekaligus
memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Jika suatu saat
terjadi pengingkaran perkawinan, negara
bisa memberikan sanksi hukum bagi yang
bersangkutan. Pencatatan sebagai bukti
pertanggungjawaban dalam perkawinan.
Di tengah terjadinya desakralisasi, serta
merosotnya kualitas keagamaan umat Islam saat ini, saksi saja tidak cukup. Perlu
bukti otentik untuk menjamin kelangsungan perkawinan itu dapat dipertanggungjawabkan.
Allah sendiri memerintahkan untuk
mencatatkan setiap transaksi (hutang piutang) yang dilakukan oleh hambanya. (Q.S.
Al Baqarah:282).
Menurut teori Mariage Market yang
dikemukakan Collins (Sociology of Marriege
and the Family: 1987), perkawinan merupakan proses transaksi, semacam perdagan-

gan permanen antara sepasangan laki-laki


dan perempuan. Masing-masing memiliki
sumber daya personal untuk diperdagangkan kepada lawan pasangannya.
Jika dalam transaksi hutang piutang saja
wajib dicatatkan, apalagi dalam pernikahan yang bukan sekadar transaksi biasa.
Ia merupakan ritus sakral yang di dalam
Al Quran disebut sebagai suatu akad atau
perjanjian yang kuat mitsaqan ghalidzan
(an nisa:21).
Di tengah kemudahan pengurusan administrasi perkawinan saat ini, tak ada alasan bagi setiap warga untuk tidak mencatatkan perkawinannya.
Hasrat Poligami
Motivasi seorang melakukan nikah siri
memang dilatarbelakangi banyak faktor.
Namun, kebanyakan kasus, ada korelasi
antara nikah siri dengan hasrat poligami.
Seorang melakukan perkawinan siri untuk
menghindari kerumitan prosedur administrasi, atau karena tidak mendapatkan izin
dari istri pertama. Sebab, peraturan perundang-undangan ketat dalam mengatur masalah poligami.
Banyak yang tidak memenuhi syarat
poligami menurut Undang-undang, lantas
mengambil jalan pintas dengan melakukan nikah siri. Ketatnya prosedur poligami
justru membuka celah bagi warga negara
untuk melakukan nikah siri. Maka, aturan
itu perlu diimbangi dengan peraturan tegas terhadap pelaku nikah siri. Sebab UU
yang ada belum memadai untuk menindak
pelaku nikah siri.
UU perkawinan menentukan, asas yang
dianut negara adalah asas monogami. Tertuang dalam rumusan perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami istri. Maka, untuk membentuk keluarga yang bahagia, konsekuensinya,
seorang suami hanya memiliki seorang istri. Perhatian dan kasih sayang suami dapat
maksimal karena tak terbagi. Dengan begitu
tujuan perkawinan tercapai.
Demikian juga, asas Islam adalah
monogami. QS. 4:3 yang secara eksplisit
membolehkan laki-laki untuk poligami harus dipahami secara kontekstual. Ayat itu
diturunkan selepas tragedi perang uhud
(tahun 3H). 70 orang muslin mati syahid
dan ledakan jumlah anak yatim menjadi
masalah serius bagi masyarakat kecil madinah. Maka diperbolehkan untuk menikahi
janda korban perang dalam konteks untuk
menyelamatkan anak yatim. Itupun di-

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

batasi secara ketat dengan syarat keadilan. Padahal, di ayat lain Allah menegaskan
bahwa manusia sekali-kali tidak akan bisa
berbuat adil terhadap istri-istrinya meskipun ia menghendakinya (QS. 4:129)
Pada umumnya, para fuqaha klasik
seperti imam Syafii dan Abu Hanifah
cenderung memahami ayat tersebut secara
tekstual. Tidak banyak disinggung tentang
keadilan maupun hak istri. Keadilan lebih
ditekankan pada masalah lahiriah, misal
nafkah, penggiliran istri, dan warisan.
Keadilan batin, misal kepuasan psikologis
tidak disinggung. Perempuan, lagi-lagi dipandang sebagai objek untuk memenuhi
kepuasan lelaki.
Dalam keadaan normal, tidak ada alasan bagi kaum pria untuk mengambil istri kedua. Dalam Hadis Sahih dijelaskan,
ketika Rasulullah mendengar Ali ibn Abi
Thalib ingin mengambil istri kedua sementara ia sudah menikah dengan Fatimah
r.a, Rasulullah menentang keras dan naik
di atas mimbar seraya berkata, aku tidak
mengizinkannya, sekali lagi aku tidak mengizinkannya. Putriku adalah bagian dari
hidupku. Apa saja yang meyusahkannya
adalah menyusahkanku dan apa saja yang
menyakitinya adalah menyakitiku. (Shahih
Al-Bukhari).
Ideologi Gender
Gender merupakan cerminan cara
pandang dan tuntutan masyarakat tentang
bagaimana laki-laki dan perempuan harus
berpikir dan berperilaku. Semua itu ditentukan oleh konstruksi sosial yang dihayati
sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah,
dianggap sebagai kodrat, bahkan menjadi
semacam ideologi. Penghayatan seperti
itu ditanamkan melalui proses sosialisasi
dan internalisasi sehingga tercermin dalam
sistem tata nilai yang ada. (Wardah Hafidz:
1995)
Pada kenyataannya, pembedaan gender
itu menimbulkan berbagai masalah karena
sarat diskriminasi dan ketidakadilan gender pada jenis kelamin tertentu, terutama
perempuan. Diskriminasi baik secara langsung, atau tak langsung, seperti melalui aturan, atau kebijakan diskriminatif terhadap
jenis kelamin tertentu. Atau diskriminasi
sistemik, karena sudah mengakar dalam sejarah, adat, norma, dan struktur masyarakat
yang mewariskan keadaan diskriminatif.
(Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial: 1996)
Menurut Masdar Masudi, dalam Islam dan Hak Reproduksi Perempuan:1997,
ketidakadilan dan diskriminasi gender
berawal dari pelabelan sifat-sifat tertentu
(stereotype) pada kaum perempuan yang
cenderung merendahkan. Karena stereotip
tersebut, perempuan sering dimanfaatkan
laki-laki. Antara lain, perlakuan seksual
yang menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Laki-laki selalu berusaha untuk melestarikan kekuasaannya melalui berbagai
cara, termasuk melalui seks. Seks menjadi
wilayah penting untuk berlangsungnya
hubungan kekuasaan laki-laki terhadap
perempuan.
Kehidupan seks yang pada dasarnya
dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan, kenyataannya dimanipulasi manusia
melalui lembaga untuk menaikkan status sosial. Misal, memiliki istri dua, tiga,
atau empat untuk gengsi. Fungsinya pun
berubah menjadi pemuas naluri dasar di
luar perkawinan, dan pemuas nafsu seks
belaka. (Gani Abdullah, Seks, Gender dan
Reproduksi Perempuan :2001).

Pengabdian
Compang-camping

ARTIKEL

Mental Buruh Kaum Intelektual

atak kaum intelektual di Indonesia


terolah dalam semangat buruh. Buntut
strategi pendidikan kolonial yang
diancang sebagai sistem perburuh-an. Kerja sekolah mencetak kalangan berakal-pikir, tapi sekaligus
dibebat mental kebergantungan:
kebaikan penguasa mengangkatnya sebagai abdi.
Wacana itu terbetik pada 1942.
Rapat Umum PNI di Bandung dan
Jakarta, ketika itu, pidato Bung Karno bertajuk Kewadjiban Kaoem
Intellectueel seolah timah panas
yang ditembakkan ke tubuh kaum
intelektual pribumi. Pidato itu disarikan dalam buku Aku Pemuda
Kemarin di Hari Esok suntingan A
Zainoel Ihsan dan Pitoet Soeharto
(1981). Jamak intelektual pribumi
yang bermental buruh: mereka
yang menggantungkan diri atas
pekerjaan yang diberikan oleh
pemerintah kolonial; menikmati
jeratan kekuasaan; enggan berpal-

ing pada barisan pergerakan rakyat


yang menghasrati kemerdekaan republik. Mustinya, kaum intelektual,
tak mangkir dari panggilan perjuangan yang diagendakan rakyat
bersama para intelektual-pejuang.
Taktik Imperial
Saat itu, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial yang ditanam Belanda masih mekar di
Indonesia. Meski dominasi politik
kolonial berangsur-angsur melemah. Kerja mengeruk rempahrempah, juga perusahaan-perusahaan yang dibangun kolonial, terus
berjalan, menggemukkan timbunan untung dan jarahan.
Sebagaimana tinjauan Bung
Karno, yang merujuk gagasan
Spreker, imperialisme-kapitalisme
bercorak industrial menandaskan
kuasa politik pengetahuan yang
memengaruhi genealogi kaum intelektual Indonesia. Imperialisme
industrial memerlukan banyak
pekerja. Riwayat bangsa Indonesia
terlarat sebagai buruh kasar dalam
kerja paksa atau buruh industri
yang berupah murah. Kaum intelektualyang oleh Bung Karno
dimaknakan sebagai kalangan
yang akal-pikirannya mendapat
didikanmenjadi sasaran untuk
diperburuhkan sebagai buruh lemas (buruh halus). Mental daulat
tuanku membuat orang-orang
pengenyam sekolahan itu justru
menikmati pendisiplinan tubuh

10

Oleh Musyafak
dan pikiran. Sikap itu terlalu mahal
untuk menebus masa depan sebagai buruh halus di lembaga-lembaga atau perusahaan kolonial.
Lain lubuk lain belalang.
Kondisi kaum intelektual di India
berbeda, meski sama-sama negeri
jajahan. Kolonialisme Inggris bercorak imperialisme dagang. Inggris memproyeksikan masyarakat
jajahan sebagai konsumen barangbarang yang diproduksi dari negerinya. Hasrat belanja dipacu dengan memberi pendidikan seluas
mungkin kepada warga pribumi.
Meningginya kadar pengetahuan
otomatis meningkatkan tingkat kebutuhan. Modernisasi pikiran jadi
pijakan untuk melesatkan hasrat
konsumsi. Meski begitu, pola pendidikan kolonial Inggris yang maju
dan relatif terbuka, menyebabkan
kaum intelektual di India lebih progresif. Kaum terdidik kala itu memi-

liki cukup gairah untuk bergandeng


tangan di barisan perjuangan.
Wicara-kritik Bung Karno tentang kewajiban kaum intelektual
untuk memihaki gerakan perubahan bangsa itu sudah tujuh dekade
dilalui waktu. Sejauh itu, watak buruh di tubuh kaum intelektual sudahkah meluruh?
Nada pertanyaan tersebut bisa
jadi polifonik: kecemasan, kegemasan, kengenasan, penyangsian,
juga penyangkalan.
Kampus menjadi titik bidik segala gugat dan kritik. Sebab lembaga pendidikan tinggi itulah yang
paling nyaring mendaku diri sebagai rahim sekaligus rumah kaum
intelektual. Sarjana tingkat lanjut,
juga calon sarjana, hidup berkerumun di lingkungan ilmiah yang
diorganisasikan dengan aturan
birokrasi. Obsesi profesionalitas,
di sisi lain, menyusupkan agenda
pendisiplinan pikiran. Tak jarang
kampus menjadi ruang yang kontraproduktif bagi perkembangan
pemikiran dan gagasan-gagasan
yang bisa ditransformasikan ke
dalam praktik-praktik kehidupan
masyarakat. Pengulangan gagasan
dengan tehnik pengutipan atau
kompilasi gagasan orang lain tumbuh lebih subur.
Ironi Profesionalitas
Ironi kaum intelektual terbentang: dosen yang sekadar sibuk di
ruang kelas; akademisi yang dibe-

bani amanat birokrasi sehingga


duduk terpuruk di meja kerja.
Profesionalisme
memfungsikan
dosen dan akademisi sekadar alat
mencapai target dari program-program yang direncanakan oleh perguruan. Di bawah kaki profesionalisme, kaum intelektual melakukan
kerja-kerja sesuai target dan imbalan. Laku intelektualitas berjalan di atas perhitungan produksipemikiran dan penghasilan. Hari
ini, kita memafhumi, bahkan memaklumi, banyak kerja penelitian
para akademisi kampus tereduksi
sekadar menjadi obyek proyek yang
berefek uang.
Jauh hari Edward W Said
meyerukan kegentingan intelektual
(Representations of the Intellectual,
1994). Bahaya jika kaum intelektual
sekadar menjadi kalangan profesional, bahkan cuma menjadi tokoh
dalam tren sosial. Intelektual profesional seolah pekerja harian yang
mengejar sokongan penghidupan
dan kemapanan sosial.
Said lebih menumpukan harapan kepada intelektual amatir. Intelektual amatir bergerak karena
rasa, cinta dan obsesi, atas pengetahuan yang lebih besar yang mampu
memuaskan dirinya. Intelektual
amatir melintasi batas-batas pengkhususan ranah pemikiran dengan
menjalin hubungan lintas batas di
dalam pengembangan ide-ide dan
gagasannya.
Pemburuhan Hari Ini
Diskursus Said menghadiahi
generasi hari ini satu cermin untuk
mengacai wajah intelektual kampus. Dalil profesionalisme, tanpa
disadari, pun menanam semangat
pemburuhan. Memang, sebagian
kecil intelektual kampus kini, selain
punya rasa cinta pengetahuan yang
besar, juga terlibat dalam proses
transformasi sosial, menjawab dan
mengatasi perkara-perkara bangsa
yang tak makin berkurang. Namun
lebih banyak yang sibuk di dalam
akrobat-akrobat birokratis-profesionalitas: mereka yang masih saja
merasa dunia ini baik-baik saja;
mereka yang sibuk mengurusi
pamrih keuntungan dari posisi dan
gelarnya sebagai intelektual.
Mafhumlah kita, semangat
pemburuhan itu telah menjelmakan jamak dosen di kampus tak
ubahnya juragan kecil. Berkacak
pinggang di pelbagai kesempatan
seraya mendistribusikan perintah dan instruksi. Dosen berhak
menukar ketidakhadirannya dengan penugasan. Alih-alih sadar
kehilangan banyak waktu untuk
mengerjakan tugas, mahasiswa
justru senang tak bertatap muka
dengan dosen. Model ujian take
home jadi tren. Waktu yang mustinya didayagunakan faedahnya agar
mahasiswa lebih berswasembada
dengan berkegiatan di ranah intra/ekstrakulikuler, terenggut oleh
kewajiban tugas. Kita pun menjadi
bebal untuk sekadar heran terhadap mahasiswa-mahasiswa hari
ini yang lebih banyak mengerjakan
tugas-tugas kuliah, dan memar menatap buku-buku diktat.
Betapa pendisiplinan itu perlahan mematikan. Akan jadi apa intelektual kampus hari esok?
--Musyafak,
esais, mantan pengelola SKM
Amanat
AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

TAJUK

Integrasikan Tri Darma

ekali dalam satu semester IAIN menggelar KKN. Sejak mula


dicetuskan, kegiatan itu memang untuk merealisasikan tri
darma perguruan tinggi. Namun praktiknya, terdapat jarak
amat nyata antara tiga unsur tri darma itu. Kegiatan yang diagendakan mahasiswa lebih cenderung pada pengabdian. Dua unsur
lainnyapendidikan dan penelitianbelum tersentuh.
Pun, pengabdian itu rupanya masih hambar. Tak sedikit mahasiswa di lapangan hanya ikut-nurut dengan apa yang di masyarakat sudah ada. Pada akhirnya, mahasiswa hanya menjadi pesuruh. Bedanya, pangkat kepesuruhan itu tertutupi oleh bingkai
kegiatan pengabdianKKN.
Bagi mereka, keadaan itu tak menjadi soal. Sebab mereka
masih punya satu imbalan. Itu tak lain adalah nilai. Bagaimanapun
keadaannya tak menjadi masalah, yang terpenting nilai keluar. Toh
kegiatan ikut-ikutan itu oleh pemberi nilai sudah termasuk pengabdian.
Tentu bukan pengabdian semacam itu yang diinginkan. Misi
pengabdian yang diusung dari awal pada akhirnya karam dalam
ketidak mampuan mahasiswa untuk memberi peran. Terang saja,
bagaimana mahasiswa bisa berperan lebih jika sedari awal tak
tahu di ranah mana mereka harus berperan.
Di sinilah kampus sebagai pihak penyelenggara musti berkaca.
Sudah sejauh manakah kampus memberi bekal mahasiswa. Sebab,
ketika mahasiswa di lapangan hanya menjad pesuruh, itu tak lepas dari ketidak waspadaan kampus dalam mengenali kemampuan
mahasiswanya.
Mengikuti proses belajar selama kurang lebih tujuh semester
tak dapat dijadikan rujukan bahwa mereka sudah siap diterjunkan.
Harus diingat, bahwa selama kurun waktu kuliah itu yang mereka
pelajari hanya teori-teori. Sementara keadaan masyarakat terlalu
kompleks untuk dijadikan tempat menerjemahkan teori yang telah didapat.
Maka kemudian menjadi penting adanya persiapan khusus
untuk membekali mahasiswa terkait bagaimana cara mereka mengaplikasikan teori itu, serta membuat mereka mengerti di bagian
mana saja dalam masyarakat yang membutuhkan teori atau pengetahuan mereka.
Kecakapan untuk menelisik keadaan masyarakat juga dibutuhkan. Kemampuan itu berada satu paket dengan ilmu penelitian.

Harus ada satu program yang jelas. Dalam program itu, mahasiswa diharapkan bisa mengaplikasikan
penelitian, pengabdian sekaligus pendidikan. Ragam
kegiatan dalam satu bingkai kegiatan itu setidaknya
bisa ditemukan dalam penelitian model participatory
action research. Melalui itu, mahasiswa bisa meneliti
sekaligus mengajar masyarakat.
Keadaan masyarakat yang bagi meraka baru itu terlebih dahulu harus diteliti. Masalah apa yang ada, bagaimana cara memecahkannya, apa solusinya, teori (ilmu) mana yang cocok untuk
menyelesaikan permasalahan itu.
Runtutan atau prosedur semacam itu tidak serta-merta dimiliki mahasiswa setelah semester tujuh. Artinya, mahasiswa harus
benar-benar digembleng dengan metodologi penelitian yang sebenarnya. Bukan penelitian untuk skripsi seperti yang sekarang
sudah ada.
Di lapangan, mahasiswa kerap membuat agenda yang kurang
tepat. Kegiatan itu adalah mengajar, baik di lembaga formal maupun non formal. Sayang, kegiatan itu, ditengarai sebatas pelarian.
Sekali lagi, mereka melakukan itu supaya tak terlihat tak punya
agenda.
Ketika mengajar di sekolah misalnya, mustinya jika program itu
seriusbukan pelarianmereka harus mengikuti koridor pembelajaran formal yang telah ditetapkan. Mereka harus mengerti apa
itu model pembelajaran, mengerti silabus, bisa membuat Rencana
Proses Pembelajaran (RPP), dll. Karena itu lah, nampaknya mustahil menerapkan unsur pendidikan di sekolah formal. Kecuali bagi
mahasiswa jurusan pendidikan (tarbiyah).
Untuk itu, harus ada satu program yang jelas. Dalam program
itu, mahasiswa diharapkan bisa mengaplikasikan penelitian, pengabdian sekaligus pendidikan. Ragam kegiatan dalam satu bingkai
kegiatan itu setidaknya bisa ditemukan dalam penelitian model
participatory action research. Melalui itu, mahasiswa bisa meneliti
sekaligus mengajar masyarakat.
Integrasi semacam itulah yang ke depan musti tercapai. Tinggal
bagaimana kampus sebagai penyelenggara bisa mempersiapkan
itu. Mutlak pembekalan yang serius harus mahasiswa dapatkan.
Tujuannya agar mahasiswa tidak menjadi pesuruh yang diberi
imbalan nilai.
Redaksi

ARTIKEL

KOLOM

Sampean Sukses?

Pengabdian
Compang-camping

Konvergensi Belajar Agama

Suhardiman

etiap menginjak kalender baru masehi, di kota-kota besar,


momentum itu acap kali dirayakan dengan gegap gempita. Riuh rendah selebrasi yang identik dengan hiburan
dan kembang api bisa sekadar kosmetik jika tak memberi nilai
pada pemaknaan waktu dan refleksi laku diri. Tahun baru menjadi ajang introspeksi, setelah itu mencanangkan resolusi. Dengan harapan, kegagalan tahun lalu tak terulang, syukur-syukur
berganti kesuksesan.
Setiap manusia normal, tentu menginginkan itu. Entah
apapun profesi yang diperankan. Petani, pedagang asongan,
tukang kayu, tukang becak, kuli bangunan, pegawai negeri,
pegawai swasta, mahasiswa, pengemis, dan sebagainya. Sukses
yang menurut KBBI berarti berhasil atau beruntung ternyata
rumit juga jika diterjemahkan dalam realitas. Kesuksesan kerap
didefinisikan dalam wilayah kasat mata; rumah megah, mobil
mewah, pekerjaan mentereng, dan harta melimpah.
Bahkan, kesuksesan kerap menjadi alat untuk menginterogasi seseorang. Kisah itu kerap dialami siapa saja. Termasuk
saya.
Suhardiman, kamu sekarang kerja di mana, sudah nikah
belum, anakmu berapa, sekarang kok semakin ganteng, sampean sudah sukses ya? Pertanyaan klise itu dilontarkan beberapa kawan dalam sebuah reuni SMA pasca lebaran tahun lalu,
setelah hampir satu dekade tak bersua. Saya yang selama ini
hobinya keluyuran tidak jelas, dengan tersipu menjawab belum sukses.
Saya tidak berani menjawab tidak sukses karena takut
kualat. Bisa saja, jawaban saya itu menjadi doa manjur. Saya
lebih memilih belum sukses karena dalam kosakata belum
mengandung harapan untuk bisa mewujudkannya tanpa ada
indikasi putus asa. Artinya, masih dalam proses berkelanjutan
dan berkesinambungan yang terus diujicobakan.
Mewujudkan kesuksesan materi bukan perkara mudah.
Terutama bagi orang yang bernasab bukan dari orang sukses.
Butuh perjuangan ekstra. Nasab tidak jelas, nasib pun melas.
Bandingkan dengan mereka yang sejak lahir sudah menjadi bin
atau binti anak konglomerat atau pejabat.
Alkisah, ada seorang pemuda yang mendatangi Socrates guna mencari tahu apa rahasia sukses. Socrates menyuruh pemuda tersebut untuk menemuinya di pinggir sungai
pada keesokan harinya. Setelah bertemu, Socrates mengajak
si pemuda nyemplung ke sungai yang airnya hanya setinggi

Kalau semangat dan usahamu menginginkan sukses


sama dengan ketika kamu menginginkan udara, kamu
pasti akan sukses. Tidak ada rahasia lain.
dada. Tanpa diduga, Socrates menekan dan menenggelamkan
kepala si pemuda ke dalam air. Sekonyong-konyong si pemuda
megap-megap dan berontak. Akhirnya Socrates melepaskan
kepala si pemuda.
Si pemuda yang nafasnya tersengal-sengal ditanya oleh
Socrates,apa yang sangat kau inginkan ketika kepalamu di
dalam air? Si pemuda menjawab dengan tegas, udara. Maka
Socrates pun mengatakan,Nah, kalau semangat dan usahamu
menginginkan sukses sama dengan ketika kamu menginginkan
udara, kamu pasti akan sukses. Tidak ada rahasia lain.
Permasalahannya, dalam menggapai kesuksesan materi,
setiap orang memiliki cara pandang berbeda-beda. Jika sudut
pandangnya dari sisi materi saja, bukan tidak mungkin seseorang akan menghalalkan segala cara. Melanggar hukum,
mencuri, merampok, korupsi dan segenap kosakata kriminal
denotatif lainnya.
Bagaimana mungkin, kesuksesan yang demikian dianggap
sebagai kesuksesan? Apa artinya kebahagiaan diri jika harus
banyak yang menderita? Apa indahnya popularitas yang diperoleh dengan mencari muka (pencitraan), menyudutkan dan
menghinakan yang lain? Lho, Suhardiman, kamu iri ya dengan orang yang sukses? Kamu kok curiga dengan orang-orang
kaya?
Tidak, ada orang kaya yang memang berusaha dengan jalan halal. Ada pejabat yang tidak korupsi (mungkin). Ada orang
miskin yang membanting tulang, kepala jadi kaki dan kaki jadi
kepala, begitu siang malam lalu jadi orang kaya.
Saya hanya merangkum hasil interpretasi saya terhadap
para motivator baik Mario Teguh, Andrie Wongso, Tung Desem
Waringin, Tommy Siawira, Anthony Dio Martin, Gede Prama,
bahwa kesuksesan sejati adalah kebahagiaan hati, ketenangan
jiwa dan kedamaian pikiran. Saya juga sepakat dengan Nabi
Muhammad bahwa sukses adalah jika hari ini lebih baik dari
hari kemarin.

gama seringkali dijadikan api pemantik


konflik. Sikap demikian
muncul akibat pemahaman keagamaan yang tidak
sempurna. Pemahaman agama
yang tidak sempurna berawal dari
keparsialan pengetahuan agama
yang didapatkan.
Berita tentang buruknya harmoni agama selalu menghiasi layar kaca. Hampir tiap bulan kita
saksikan konflik kepentingan
agama justru bermula dari hal
sepele. Misalnya perbedaan ritual
keagamaan, perbedaan madzhab
hingga persoalan rebutan tempat
ibadah. Lebih ekstrim lagi, perusakan rumah ibadah, pembakaran rumah tokoh agama, bahkan
penghalalan pembunuhan.
Perilaku binal itu sama sekali
tidak mencerminkan kesucian
Islam. Agama Islam dilahirkan
bukan untuk memusuhi kelompok lain. Islam lahir di tengah
kehidupan manusia mengajarkan
tatanan sosial yang harmonis dan
saling menghargai.
Lalu kenapa agama selalu dijadikan alat untuk bermusuhan?
Apakah ada kesalahan dalam pendidikan agama?
Persatuan Agama
Ada benarnya jika urusan
agama hingga hari ini tidak diotonomikan pengelolaannya. Sebab
agama selalu menjadi problematika sosial yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Salah satu upaya
dalam proses pemahaman keagamaan adalah dengan persatuan
agama, bukan penyatuan agama.
Maksudnya adalah, usaha bersama mempersatukan tokoh agama untuk melakukan pembinaan
keagamaan.
Negara memang memberikan
kebebasan beragama. Tetapi kebebasan itu masih dalam koridor
tata aturan berkebangsaan. Praktiknya, belum mencerminkan
kebebasan. Padahal di Indonesia
banyak ragam keyakinan agama.
Peraturan itu wajib dihargai bersama.
Di titik inilah terjadi kontradiksi. Di dalam doktrin agama mengajarkan: agama kita yang paling
benar. Namun dalam kehidupan
sosial dirubah: semua agama benar. Maka butuh wawasan yang
luas dalam memahami agama
sebagai doktrin individual dan
agama sebagai perilaku sosial. Keluasan wawasan inilah yang akan
dibahas dalam materi pendidikan
agama dan keagamaan.
Semestinya negara kita telah
mempunyai aturan khusus mengenai hal ini. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan yang disahkan 5 Oktober
2007 telah memberikan tawaran
tentang model pendidikan agama
dan keagamaan. PP ini lahir atas
respon terhadap UU Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003 terutama
pasal 12, 30 dan 37.
Di
dalamnya
dibedakan
antara arti pendidikan agama dan
keagamaan. Pendidikan agama
diartikan sebagai pendidikan
yang memberikan pengetahuan
AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Oleh M. Rikza Chamami


dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta
didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata
pelajaran di semua jalur atau tingkatan.
Sementara pendidikan keagamaan merupakan pendidikan
yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut pengua-

saan pengetahuan tentang ajaran


agama agar menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajarannya.
Pendidikan Tutup-Buka
Dalam konteks membangun
masyarakat Indonesia yang bermartabat dan berakhlak mulia,
maka perlu reformasi pendidikan
keagamaan. Langkah ini dimulai
dari mengembalian fungsi pendidikan keagamaan sesuai arah
pendidikan nasional.
Fungsi pendidikan keagamaan
ada dua macam. Pertama, mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai agamanya dan/atau menjadi
ahli agama. Kedua, untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya agar menjadi
ahli agama yang berwawasan luas,
kritis, kreatif, inovatif dan dinamis.
Itu semua dilakukan agar terwujud kecerdasan kehidupan bangsa
dengan landasan iman, takwa dan
akhlak mulia.
Salah satu model pendidikan
agama yang perlu diterapkan
adalah dengan tutup-buka. Maksudnya, kita harus mempelajari
agama secara tertutup. Selain itu,
kita juga harus terbuka mempelajari agama.
Pertama, ajaran agama yang
bersifat doktrin disampaikan
dalam rangka menguatkan dasar
agamanya. Penjelasan harus rinci
beserta dalil teks agama bahwa
doktrin adalah untuk kehidupan
intern beragama. Ini yang disebut
sebagai sistem pendidikan agama
yang tertutup.

Kedua, ajaran agama yang


bersifat sosial juga disampaikan
secara rinci termasuk di dalamnya dikenalkan bagaimana agamanya juga mengajarkan hidup
berdampingan dengan agama
lain. Ini sebagai modal sosial bagi
umat beragama agar tidak mudah
tersulut konflik. Pola yang kedua
dilakukan secara terbuka agar jiwa
sosial terbangun kuat.
Ketiga, penganut agama diajak melakukan studi lintas agama
(dalam rangka pengenalan). Studi
perbandingan ini akan semakin

mempermudah lahirnya toleransi


beragama dan terbentuknya sikap
solidaritas antar agama. Selama
ini pola yang ketiga jarang dilakukan. Pola ini sangat penting untuk
membentuk karakter bangsa yang
beragam tetapi tetap menampakkan persatuan.
Keempat, perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai perangkat pembelajaran (kurikulum),
bahan ajar, media pembelajaran
hingga strategi pembelajaran.
Jika ditemukan bias disharmoni
agama dalam materi pendidikan
agama, maka sudah saatnya hal
itu disesuaikan.
Usaha membuat model pendidikan keagamaan yang ideal
seringkali dilakukan, namun seringkali gagal. Maka, pendidikan
agama model tutup-buka ini harus
dilakukan dengan konsep BERSAHABAT: bersatu padu, harmonis
dan bermartabat. Artinya antara
satu dan lainnya mempunyai niat
tulus menjadikan agama sebagai
modal ketakwaan individual dan
kesalehan sosial.
Dengan itu diharapkan, pendidikan keagamaan dapat mewujudkan ahli agama yang santun
dan peduli kerukunan. Sebab
Indonesia tidak akan maju kalau
persoalan agama masih terus tarik menarik. Satukan Indonesia
dengan memformat pendidikan
keagamaan tutup-buka.

--M. Rikza Chamami, MSI

Dosen Fakultas Tarbiyah


IAIN Walisongo Semarang

11

Pengabdian
Compang-camping

HUMANIORA
Sikep Samin

Samin di Tengah Badai Modernitas


Godaan modernitas tak membuat komunitas samin goyang. Konsistensi dalam
memegang ajaran membuat eksistensi mereka semakin kuat.

Amanat.Internet

tuk keluar dari tradisi bertani wajar. Mengingat, kondisi lahan di Blora tidak mendukung untuk mengembangkan pertanian,
terutama saat kemarau tiba.
Cari air saja sulit, kata mbah Lasio.
Kondisi masyarakat Samin di dukuh
Karangpace, menurut Jayadi, masih terbelakang. Terutama, dalam hal perekonomian. Minimnya akses pendidikan dan
ekonomi menyebabkan komunitas Samin
semakin tertinggal.
Di sisi lain, Jayadi menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap
komunitas Samin. Padahal, tambahnya,
Samin memiliki kebudayaan unik yang
merupakan bagian dari kekayaan budaya
nasional. Dibutuhkan peran dan tanggungjawab pemerintah untuk melestarikannya.
Masyarakat Samin perlu disentuh, tuturnya.

Rumah salah satu pemuka kaum samin.

ngin kemarau bertiup menembus sela-sela gubuk Mbah


Lasio, sesepuh Samin Blora.
Pohon jati berjajar memagari
kampung. Tak jauh mata memandang, beberapa perempuan tua tengah
sibuk mengupas kulit jagung yang telah
mengering.
Namun, pemandangan gersang itu
tak nampak pada wajah Lasio. Senyumnya meneduhkan hati saat menyapa
reporter Amanat di rumahnya. Padahal siang itu ia semestinya menggembalakan sapi di ladang. Pekerjaan itu ia
tinggal lantaran kedatangan tamu.
Kalian sedulur jauh, masak ditinggal.
Meski, ia mengaku letih melayani
tamu yang hampir tiap hari datang dengan keperluan yang sama, wawancara atau meneliti. Itu salah satu sikap
masyarakat Samin terhadap tamu yang
mereka anggap sebagai sedulur jauh,
meski belum saling mengenal.
Kata sedulur sangat lekat dengan
kehidupan masyarakat Samin. Bahkan,
mereka menyebut komunitas mereka
sebagai Sedulur Sikep. Sejalan dengan
prinsip kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat Samin. Nama
Samin sendiri, menurut Mbah Lasio,
diambil dari kata sami-sami yang artinya sama-sama.
Masyarakat Samin menganggap semua sebagai sedulur (saudara). Itulah
mereka selalu menjaga keharmonisan
dengan siapapun. Termasuk, alasan
mereka yang enggan memakai alas kaki
demi harmonisasi mereka terhadap
alam.
Tanah, bagi mereka adalah ibu.
Ada proses saling menjaga. Tak perlu
mebuat jarak, apalagi memasang sekat
(alas kaki) yang dapat memisahkan
manusia dengan ibu mereka (tanah).
Tanah ibu kita sendiri, dia menjaga

12

kita, kita menjaga mereka, jangan dijauhi,


tutur Lasio.
Samin bukan agama. Melainkan laku
hidup. Sesepuh Samin Pati, mbah Badi
mengungkapkan, ajaran Samin adalah tentang kebaikan.
Jujur, ojo srei, ojo ngumbar tumindak,
ojo ngumbar omongan, (jujur, jangan dengki, jangan berperilaku jelek, jangan berbicara jelek), papar Badi.
Ajaran kebaikan itu mengilhami laku
hidup masyarakat Samin. Bahkan, untuk
menjaga kejujuran itu, masyarakat Samin
enggan berdagang. Sebab, berdagang menurut mereka rentan terhadap perilaku
tidak jujur.
Berbicara Samin, tak lepas dari sepak
terjang tokoh Samin Surosentiko (18591914). Oleh pemerintah Hindia Belanda,
tokoh bernama asli Raden Kohar itu dianggap musuh. Sebab, ajarannya dapat
mengancam stabilitas pemerintahan Hindia Belanda. Bentuk perlawanan Samin
Surosentiko terhadap pemerintah Hindia
Belanda salah satunya diwujudkan dengan
tak mau membayar pajak. Dalam waktu
singkat ajarannya tersebar hingga ke jalur
pantai utara.
Bahkan, sampai saat ini, beberapa kalangan menilai, sikap pembangkangan
terhadap pemerintah Hindia Belanda terwariskan sampai saat ini. Itu tampak dari
pesimisme masyarakat Samin terhadap
pemerintah. Meski tidak diwujudkan dalam
bentuk pemberontakan fisik, perlawanan
Samin lebih bersifat kultural. Misal, menolak bantuan yang diberikan pemerintah.
Seperti, terjadi pada masyarakat Samin
Pati.
Selain di Blora, komunitas Samin tersebar di berbagai daerah di pulau Jawa. Seperti, Pati, Kudus, dan Purwodadi.
Di Blora, misalnya, sekitar 20 Kelompok Keluarga (KK) masyarakat Samin mendiami dukuh Karangpace, Blora. Mereka
masih memegang teguh ajaran Samin yang

diusung oleh leluhur mereka, Samin Surosentiko.


Samin Blora
Lha wong kerjanya cuma duduk kok
dibayar.
Itu adalah kalimat sindiran Mbah Lasio
terhadap mata pencaharian PNS. Dalam
bermatapencaharian, masyarakat Samin
pun memiliki prinsip. Masyarakat Samin
enggan menjadi pegawai yang berhubungan dengan pemerintahan (PNS). Bertani merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat Samin yang diwariskan secara
turun-temurun. Bagi mereka, apa yang
mereka tanam, itulah yang mereka makan.
Kalau ingin makan jagung, ya harus
menanam jagung, kata Mbah Lasio.
Namun, di era industrialisasi saat ini,
masyarakat Samin mendapatkan tantangan.
Penyempitan lahan pertanian dan godaan
modernisasi menjadi tantangan tersendiri
bagi masyarakat Samin. Mereka dihadapkan pada situasi paradoksal. Antara, menjaga tradisi bertani atau keluar mengikuti
arus budaya luar.
Maka, dalam beberapa kasus, masyarakat Samin keluar dari tradisi. Komunitas Samin di dukuh Karangpace, Blora
misalnya. Anak-anak Samin di komunitas
tersebut sudah mulai bersekolah. Bahkan,
putra mbah Lasio ada yang menempuh
pendidikan sampai tingkat SLTA. Pun,
mereka diberi kebebasan untuk mencari
mata pencaharian di luar bertani.
Meskipun begitu, masyarakat Samin
tetap enggan untuk bekerja di jalur pemerintahan (PNS).
Asal tidak jadi pegawai, boleh, tutur
mbah lasio.
Seorang pemerhati Samin Blora, Jayadi
mengatakan, komunitas Samin di dukuh
Karangpace sudah tak total dalam memegang tradisi Samin.
Samin di sini sudah nasionalis, kata
Jayadi.
Keputusan masyarakat Samin Blora un-

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Samin Pati
Berbeda dengan Samin Blora, komunitas Samin di kecamatan Sukolilo, Pati lebih
total dalam memegang tradisi Samin. Misalnya, anak-anak masyarakat Samin tidak
diperbolehkan menempuh pendidikan formal.
Sekolah orang sikep ya di sawah, kata
mbah Badi, sesepuh Samin Pati.
Meski tak menempuh jalur pendidikan
formal, bukan berarti anak-anak Samin
buta aksara. Anak-anak Samin masih mendapatkan pendidikan non formal dari orang
tua mereka.
Anak Samin bisa baca tulis semua, kata
mbah Badi.
Soal mata pencahariaan, masyarakat
Samin pati masih melestarikan tradisi bertani. Konsistensi masyarakat Samin Pati
dalam bertani mendorong mereka untuk
mengembangkan sistem pertanian. Bahkan,
beberapa diantara mereka sudah mampu
mengembangkan pertanian organik.
Salah seorang tokoh Samin, Gunritno,
mengatakan, pengelolaan pertanian organik didorong atas sikap mereka yang
tak mau bergantung dengan pemerintah.
Apalagi, menurutnya, pupuk yang disuplai
dari pemerintah tidak baik untuk pertanian
karena mengandung bahan kimia. Bahkan,
bisa merusak kesuburan tanah.
Ia menyayangkan sikap petani di Indonesia yang terlalu bergantung dengan
pemerintah. Sikap kebergantungan itu
membuat petani tak mampu mandiri. Padahal, menurutnya, petani dapat mengelola pertanian mereka secara mandiri tanpa
mengandalkan bantuan dari pemerintah.
Salah satunya dengan menerapkan sistem
pertanian organik dengan menggunakan
pupuk organik buatan sendiri.
Pupuk organik bisa dibuat sendiri, lebih hemat, anjurnya.
Konsistensi masyarakat Samin Pati
dalam bertani kentara. Terutama, ketika di
kecamatan Sukolilo, beberapa tahun lalu,
akan didirikan pabrik semen oleh PT. Semen Gresik. Masyarakat Samin menentang dan melakukan perlawanan terhadap
pendirian pabrik tersebut, sebelum akhirnya pabrik gagal didirikan. Sikap penentangan itu karena pendirian pabrik semen
akan mengancam kelangsungan hidup bertani mereka.
Pendirian pabrik akan mengancam
sumber air warga, tutur Gunritno.
Aufal Marom

HUMANIORA

Pengabdian
Compang-camping

Anak Jalanan

Terjebak Lingkaran Kemiskinan


Orang tua terbelit kemiskinan. Anak-anak terpaksa turun ke jalanan.

Amanat.Yestik Arum

Bocah kecil menjajakan koran di tengah-tengah kendaraan bermotor. Dia hanya satu dari beberapa anak di Semarang yang
bernasib serupa.
Aspirasi
Anak jalanan punya segudang mimpi.
Aku ingin jadi Polisi, pekik Joko penuh
semangat. Joko adalah siswa kelas empat
SD. Ia mengemis di jalan untuk uang saku
di sekolah.
Joko rela turun ke jalanan untuk mengais rupiah atas inisiatif sendiri. Lain kisah
dialami Riska. Ia mengaku, turun ke jalan
atas dorongan orang tua. Ibu yang menyuruh minta-minta di jalan, aku gadis kecil
yang masih duduk di kelas satu SD itu.
Prihatin melihat nasib anak jalanan itu,
beberapa pemuda yang tergabung dalam
Setara mencoba melakukan upaya pendampingan. Setara adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang memberikan
perhatian terhadap hak-hak anak di Semarang. Lembaga ini berdiri sejak 1996.
Kami sebatas partner pemerintah
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, jelas Ira Nita Wijayanti salah satu
pengelola Setara.
Ira mengatakan, lebih dari seratus anak
jalanan berada dalam naungan lembaganya. Kebanyakan mereka adalah anak-anak

Amanat.Kompasiana

ore itu langit mendung. Pemandangan di kawasan Pasar Johar


begitu buram. Beberapa anak kecil
bergerombolan di pinggir jalan.
Mereka segera beranjak ketika sebuah bus
kota datang dan berhenti. Lalu salah satu
di antara mereka masuk ke dalam bus. Di
bus itu ia berkeliling mendekati para penumpang. Dengan menengadahkan tangan anak itu mengharap uluran tangan
para penumpang.
Anak itu bernama Dika. Ia tidak sendiri.
Ia bersama ibunya, Darwati. Mereka menggantungkan hidup dengan mengemis di
jalan. Dalam sehari Darwati beroperasi selama delapan jam, mulai pukul 08.00 sampai 16.00. Ia mengaku, dalam jangka waktu
itu dapat mengumpulkan Rp. 20.000 lebih.
Jumlah itu tidak tentu, kadang kurang, kadang lebih, katanya.
Suaminya yang bekerja sebagai tukang
becak tak mampu membiayai sekolah anakanaknya. Meskipun ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ia tetap tak mampu
menanggung biaya buku dan alat sekolah
lainnya.
Selama ini ia hanya pasrah. Tak ada
jalan selain meminta-minta di jalanan.
Pikirnya, kalau mencari kerja pasti akan ditolak. Pasalnya, ia hanya berijazah Sekolah
Dasar (SD). Mending mengemis saja, katanya pasrah.
Namun begitu Darwati masih bersyukur. Ia bersama anak-anaknya tak pernah
kena razia. Meski ia tak tahu secara pasti
jadwal razia. Seingatnya, jadwal razia tak
tentu. Setiap saat kami harus waspada,
katanya.
Ia takut jika sampai terjaring razia. Kepada Darwati, beberapa teman yang pernah
kena razia bercerita, Kena razia tidak enak,
di kantor polisi kami dijadikan satu dengan
orang-orang gila.
Darwati tak bisa membayangkan jika
sampai ia dan anak-anaknya terjaring razia.
Dari lubuk paling dalam, ia ingin hidup lebih baik. Jika ada modal, saya akan jualan
sayuran lagi, ujarnya penuh harap.
Selain Darwati dan anak-anaknya,
masih banyak aktor jalanan di Kota Semarang. Catatan Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Semarang menunjukkan
perkembangan kuantitas anak jalanan sejak
2000 mengalami fluktuasi. Data terakhir sebagaimana disampaikan kepala Dinas Sosial Jateng Adi Karsidi, jumlah anak jalanan
Kota semarang pada 2011 mencapai 233
anak.

Kepada pengendara mobil, satu dari tiga bocah menyodorkan kemasan bekas minuman
sekadar meminta rupiah.

dari keluarga tidak mampu. Ada juga dari


keluarga mampu, jelas Ira saat ditemui
Amanat di kantornya, Sampangan Baru
Blok A/14 Semarang.
Kegiatan Setara lebih fokus pada agenda pendidikan. Yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan nonformal untuk anak
jalanan. Ira menuturkan ada 20 tutor yang
turut membantu. Mereka bekerja lima hari
dalam seminggu, yaitu Senin-Jumat. Soal
jadwal belajar kondisional, jelasnya.
Fasilitas yang diberikan Setara pun
cukup memadai. Anak-anak disediakan alat
tulis dan perpustakaan. Selain pelajaran sekolah seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan lainnya, anak-anak
juga diajari bermain alat musik dan menjahit. Setiap kamis mereka berlajar main
gitar, tutur Ira.
Setara hanya mampu mendampingi
anak-anak jalanan sampai usia 18 tahun.
Harapannya, upaya itu dapat membantu
anak jalanan menggapai mimpi dan masa
depan lebih baik.
Sindikat
Di tengah upaya pemerintah mengentaskan anak jalanan, kuantitas mereka tetap
besar. Ketua Pusat Studi Gender dan Anak
(PSGA) IAIN Walisongo Semarang, Mohammad Fauzi menengarai ada sindikat
yang terlibat dalam kasus anak jalanan.
Mereka dipekerjakan, duganya.
Menurutnya, ada orang yang sengaja
mengeksploitasi anak-anak untuk turun ke
jalanan. Anak-anak didrop di jalanan, ketika sore dijemput lagi dengan mobil, terang
dosen Fakultas Dakwah itu.
Fauzi menduga berdasarkan asumsi
masyarakat umum. Ia sendiri juga pernah
menyaksikan, di sebuah lampu trafik ada
seorang yang menjadi koordinator anakanak jalanan.
Kasus semacam itu pernah diungkap
dalam sebuah investigasi di salah satu setasiun televisi. Di situ ditayangkan ada ibuibu membawa seorang anak. Setelah ditelusuri, ternyata bukan anaknya sendiri. Dia
anak sewaan.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Selain itu, Fauzi menambahi, ada


juga anak yang terpaksa turun ke jalanan
karena faktor keluarga tidak mampu. Hal
itu diakui Darwati. Ia mencari nafkah dari
jalanan sejak lima tahun lalu. Tepatnya
pada 2007 silam. Tak ada lagi modal untuk dagang sayuran, aku ibu enam anak
itu sambil mengenang masa lalunya.
Hasil penelitian Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Semarang pada 2008 menunjukkan, sebagian besar anak jalanan di Semarang
berusia 13 tahun dan tidak bersekolah
(60,79%). Mereka menjadi pengamen
dan berasal dari keluarga berpendidikan
rendah dengan penghasilan kurang.
Penelitian itu membeberkan, mayoritas orang tua anak jalanan memiliki
penghasilan rata-rata Rp. 625.000,- perbulan. Hasil penelitian itu semakin memperkuat pendapat kemiskinan sebagai
penyebab utama anak turun ke jalanan.
Angka prosentasenya mencapai 83,33%.
Jika penelitian itu benar, Fauzi menuding pemerintah harus berada di
garda terdepan untuk mengurangi angka
kemiskinan tersebut. Komponen bangsa yang lain hanya bisa membantu sesuai bidangnya, jelasnya.
Sementara itu dalam reportase TVKU
Juni lalu kepala Dinas Sosial Jateng Adi
Karsidi mengatakan, 2013 mendatang
Jateng akan bebas dari anak jalanan. Ia
mengimbau masyarakat agar mendukung target tersebut dengan tidak memberikan uang kepada anak jalanan. Dengan upaya tersebut ia yakin, anak jalanan
tidak lagi menggantungkan hidup dengan mengemis dan mengamen di jalan.
Namun Fauzi merasa pesimistis terhadap langkah itu. Menurutnya langkah
untuk mengentaskan anak jalanan pada
2013 omong kosong belaka. Ia menilai,
larangan memberi uang di jalan kepada
anak jalanan tidak bisa menyelesaikan
masalah.
Anak jalanan akan berkurang jika
ada penyadaran mental dan dukungan
ekonomi dari negara, katanya tegas.
Yuliyanti

13

Pengabdian
Compang-camping

POLING
DEMA

Jangan Omong Kosong, Tak Perlu Muluk-muluk

etiap tahun mahasiswa disibukkan


agenda Pemilihan Umum Mahasiswa
(Pemilwa). Konvoi dan kampanye pengusungan calon berjalan luarbiasa ramainya.
Tak ketinggalan, janji manis dan program kerja muluk-muluk mereka kampanyekan. Menyaksikan itu, seolah-olah lembaga mahasiswa
itu adalah lembaga yang krusial.
DEMA 2011 memungkasi kepengurusannya. DEMA baru terbentuk. Catatan selama
setahun kepengurusan lalu mengisyaratkan
DEMA minim kinerja. Hal itu sangat kontras
dengan janji-janji politik yang disampaikan
ketika kampanye.
Sungguh disayangkan, mengingat tanggung jawab mereka adalah kepada sekian
banyak mahasiswa yang turut memilih. Mustinya, dengan proses pemilihan yang melibatkan hampir seluruh mahasiswa itu, paling
tidak kinerja mereka dapat dirasakan mahasiswa kebanyakan.
Kecurigaan yang muncul kemudian

mata mahasiswa, dalam melaksanakan kegiatan, DEMA masih jauh dari yang diharapkan.
Sepanjang pengamatan mahasiswa, kegiatan
yang dilaksanakan DEMA masih jauh dari
menyentuh kepentingan mahasiswa.
Terhitung, sebanyak 86,1% berpendapat,
kegiatan yang diselenggarakan DEMA belum
menyentuh kepentingan mahasiswa. Hanya
13,3% mengatakan DEMA sudah memihak
kepentingan mahasiswa. Sisanya, 0,6% abstain.
Dalam beberapa kegiatan, DEMA belum
bisa memenuhi janji-janjinya dulu. Kepada
Amanat DEMA 2011 pernah menyampaikan,
dengan wewenang yang di miliki, DEMA akan
mengembangkan SDM di IAIN Walisongo.
Merealisasikan itu, DEMA hanya mencatatkan kegiatan seminar empat kali. itu pun tak
semua mahasiswa mengikuti.
Mahasiswa berpendapat seragam. Dalam
hal intelektual, kegiatan yang diselenggarakan
DEMA kurang berpengaruh bagi mahasiswa.

adalah, apakah lembaga-lembaga itu bukan


sesuatu yang penting? Dalam bahasa yang
lebih sederhana, ada dan tiadanya lembaga
itu, tak berpengaruh bagi mahasiswa?
Yang sejatinya berhak memberi jawaban
adalah mahasiswa. Untuk itulah, Amanat
mengadakan jajak pendapat. Dengan metode
cluster random sampling, angket berisi beberapa pertanyaan disebar kepada 90 mahasiswa
Tarbiyah, 90 Syariah, Dakwah dan Ushuluddin masing-masing 60. Kategori responden
yang kami ambil ialah mahasiswa semester 5
ke atas. Asumsi redaksi, mereka sudah berkali-kali menyaksikan kepengurusan DEMA.
Pandangan mereka hampir seragam.
DEMA cukup esensial, keberadaan DEMA
masih dirasa penting. Hasil perhitungan kami
menunjukkan, 77,2% pada pilihan itu. Hanya
21,5% responden yang mengatakan DEMA
tidak penting. Lebihnya, 1,3% tidak berkomentar.
Namun, betapapun penting DEMA di

1. Menurut anda, apakah lembaga seperti


Dema adalah sesuatu yang krusial (penting)?
a. Penting
b. Tidak penting
c =1,3%
c. Abstain

4. Dalam hal organisasi, kegiatan yang diselenggarakan Dema berpengaruh bagi mahasiswa?
a. Berpengaruh
b. Tidak berpengaruh
c. Abstain

62% mengatakan itu, hanya 37,3% mengatakan berpengaruh.


Meski begitu, mahasiswa masih menyandangkan harapan kepada DEMA. Ketika
diminta pendapat, apakah DEMA harus ditiadakan, mereka kebanyakan menyarankan
untuk diperbaiki saja.
Banyak saran mereka sampaikan untuk DEMA ke depan. Jangan muluk-muluk,
jangan omong kosong,dan lain-lain. Intinya
mereka butuh tindakan nyata.
Di samping itu, DEMA harus mensosialisasikan program kerjanya. Dipilih oleh mahasiswa, jangan sampai lupa kepada mahasiswa.
Mahasiswa berhak tahu, apakah kegiatan
yang direncanakan DEMA sudah sesuai dengan fungsi DEMA sebenarnya. Tentu sebelum
itu DEMA kudu mensosialisasikan apa fungsi
mereka. Terakhir, kegiatan yang diselenggarakan DEMA harus bisa dirasakan semua mahasiswa. Redaksi

5. Haruskah Dema ditiadakan? Atau cukup


diperbaiki kinerjanya?
a. Ditiadakan
b. Diperbaiki
c. Abstain
c =1,9%

c =0,6%

a =8,9%

b =21,5%

a =41,8%

b =57,6%
b =89,2%

a = 77,2%

2. Kegiatan yang diselenggarakan Dema selama ini, sudahkah menyentuh kepentingan


mahasiswa?
c =0,6%
a. Sudah
b. Belum
a =13,3%
c. Abstain

3. Dalam hal intelektual, kegiatan yang diselenggarakan Dema berpengaruh bagi


mahasiswa?
c=0,6%
a. Berpengaruh
b. Tidak berpengaruh
c. Abstain
b =62,0%

b =86,1%

Varia Kampus

Jajak pendapat ini diambil dengan metode Cluster Random


Sampling. Sampel yang diambil,
mahasiswa semester 5 ke atas.
Tingkat kepercayaan 95%.

Leak Pukau Mahasiswa

Turnamen
Tenis, Rekatkan
Ukhuwah

Budaya Lokal
sebagai Nafas
Pendidikan

Jumat (23/12), Tarbiyah Sport Club


(TSC) mengadakan Turnamen Tenis Meja
Se-IAIN Walisongo Semarang dalam rangka Gebyar Purna Bakti TSC 2011. Kegiatan
ini dilaksanakan di Auditorium II Kampus 3
IAIN Walisongo Semarang.
Turnamen diikuti 40 peserta, terdiri
dari pegawai, dosen dan mahasiswa. Ketua Panitia Gebyar Purna Bakti TSC Bagus
Yusmanto mengatakan, salah satu tujuan
diadakannya turnamen ini untuk mempererat ukhuwah islamiyah di antara pegawai,
dosen maupun mahasiswa.
Sekaligus untuk melatih mental peserta tenis meja, melihat ke depan akan diadakan turnamen se-kota Semarang, tambah
Bagus.
Turnamen yang dipersipakan sejak
November ini merupakan kerja sama dengan Bravo Olah Raga dan Beswan, dengan
diberikannya bola tenis meja. Dikatakan
Ketua TSC Siti Nurul Afifah, adanya kerja
sama tersebut turnamen tenis meja dapat
dilaksanakan dengan baik tanpa adanya
suatu halangan.
Shodiqin

Selasa (13/12/2011), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kependidikan Islam


(KI) menyelenggarakan seminar nasional.
Seminar tersebut bertajuk Manajemen
Pendidikan Berbasis Local Wisdom.
Dalam acara tersebut, HMJ KI menggandeng Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Blora
(IMPARA).
Seminar berlangsung di Gedung Auditorium I kampus 1 IAIN Walisongo Semarang. Rektor IAIN Walisongo, Muhibbin hadir untuk membuka acara tersebut. Ratusan
mahasiswa pun turut memadati Gedung
tersebut. Hadir pula Eko Budiharjo, Fatah
syukur dan Rofiudin sebagi narasumber.
Eko Budiharjo berpesan, menjaga dan
melestarikan budaya sendiri, tak perlu bermalu-malu.
Ahmad Habibi selaku panitia mengatakan, seminar budaya tersebut sebagi
upaya mengajak masyarakat kampus untuk
menjaga budaya lokal melalui pendidikan.
Budaya lokal sebagai nafas pendidikan,
terangnya.

14

a=37,3%

Aufal Marom

ligus lucu pernah ia alami.


Saya sempat diledek teman
gara-gara puisi berjudul Aku
Tulis Puisi. Ketika saya berjalan di depan Kantin, teman
saya ada menirukan puisi
saya dengan lantang; Aku
Tulis Puisi, karena Aku tidak
bisa menulis skripsi. Sontak
penonton terpingkal-pingkal.
Usai membaca puisi, Seniman kelahiran 23 September
1967 itu juga menjadi pemateri dalam bedah buku Antologi Puisi Fragmen Rindu.
Antologi puisi itu diterbitkan
Amanat.Akhmad Baihaqi Arsyad
Leak tengah membaca puisi di Auditorium 1 Kampus I IAIN oleh Devisi Sastra Beta.
Beberapa karya dimuat
Walisongo Semarang.
dalam buku tersebut. Antara
Rabu malam, 7 Desember 2011, Sosiaw- lain; puisi Misbakhul Munir (Komeng), Istiwan Leak turut ramaikan peringatan 26 tahun rohah Roro, Abdul Wahib, Faiz Urhanul Hilal
kelahiran Kelompok Pekerja Teater [KPT] beta. (Toples), Dwi Royanto, dan Devi Masfiyatus
Dengan aksi panggung dan gaya khasnya, Leak Saadah.
membacakan beberapa puisi; Negri Kadal, Aku
Acara bedah buku itu dimoderatori Abas
Tulis Puisi, Dunia Bogambola, Pejantan Babi, Efendy, pegiat media yang juga sesepuh Beta.
Phobia, dan beberapa puisi lain.
Dalam diskusi itu, Leak mengulas secara
Setiap sela-sela pembacaan puisi, Leak umum puisi-puisi penulis dalam Antologi Puisi
menceritakan muasal puisi itu dicipta.
Beta tersebut.
Selesainya acara bedah buku itu, Leak tak
Seperti misalnya puisi berjudul Negri Kadal.
Melalui puisi itu, Leak menggambarkan kead- langsung mengakhiri perjumpaannya dengan
aan negeri ini. Semua sifat-sifat kadal, anatomi beta. Obrolan kecil masih berlangsung usai diskadal mulai dari ekor, sisik, serta segala hal ten- kusi, hingga larut malam. Leak dan warga Beta
saling bertukar pengalaman hingga sekitar
tang kadal, begitulah negeri ini menurut Leak.
Gara-gara puisi, pengalaman pahit seka- pukul 01:00 WIB. Akhmad Baihaqi Arsyad

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian
Compang-camping

REHAT
Kuis Asah Otak (KAO ) 05/2012
1

8
4

10

11

12

13
14
15

16
17
18

19
22

23

20
21
27

24
25

26
28

Mendatar:
1. Surat Kabar Mahasiswa IAIN Walisongo
2. Manis, asam, pahit, pedas
4. (.....) Palsu (Ayu ting-ting)
5. Timbangan
6. Sarjana Ekonomi
7. Upah/bayaran
8. Parah (penyakit)
15. Orang ketiga
16. Peti besar tempat menyimpan sesuatu
17. Sesuatu untuk memancing
18. Giat/ulet
20. Balasan perbuatan di masa lalu
21. Orang-orang berilmu (arab)
22. Lawan dari berbeda
24. Kependidikan Islam
25. Gangguan jiwa
26. Lawan surga
27. Sistem Informasi Akademik
28. Permohonan untuk datang
Menurun:
1. Untuk diminum
3. Huruf
5. Sesuatu yg sudah ditentukan oleh Tuhan
atas diri seseorang
8. Perbuatan baik/buruk
9. Bahari
10. Tidak memberikan suara/tidak memilih
11. Persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
12. Tidak sebentar
13. (....) Ashor
14. Menjadi lemah (hati)
19. Pengetahuan
23. Jenuh dan jijik
25. Fungsi, manfaat
27. Tempat ibadat dan mengaji

Kupon KAO
(KAO) 05/2012

Ketentuan Menebak:
1. Tulis jawaban di kertas, cantumkan
nama, alamat, foto kopi KTM/KTP
dan nomor HP yang bisa dihubungi.
2. Masukkan ke dalam amplop, tempel
kupon di sampul luar.
3. Kirim jawaban ke alamat redaksi:
Gedung PKM Lantai 1 Kampus 3 IAIN
Walisongo Semarang Jl. Boja-Ngaliyan Km. 2 Semarang 50185.
4. Jawaban ditunggu paling lambat 30
Maret 2012.
5. Pemenang akan diumumkan di Tabloid Amanat edisi berikutnya.
6. Diambil 2 pemenang. Masing-masing
mendapat buku menarik.

Pemenang KAO 04/2011


1. Siti Daimatun
Ringinwok No. 10
2. Sofyan Efendi (Fakultas Ushuluddin)
Perumahan Permata Puri Blok E4
Para pemenang dapat mengambil
hadiah di Kantor Redaksi SKM Amanat
dengan menunjukkan bukti identitas
diri. Pengambilan hadiah paling lambat
29 Maret 2012.

Cerita Mini

Universitas Facebook
#1
Farah, terima kasih selama ini telah
memotivasiku. Kini aku benar-benar senang sebentar lagi mimpiku terwujud. Aku
masih ingat betul kalimat terakhir yang kau
ucap sebelum kita berpisah.
Ya, kukira tiga tahun sangatlah cukup
untuk sekadar merajut persahabatan.
Bangku SMA yang mempertemukan kita
ternyata menciptakan jalinan yang tak bisa
kita tinggalkan. Dan kau telah menyatu di
hatiku. Kau tahu, betapa ngilu dadaku usai
wisuda SMA saat itu.
Namamu dan teman-teman lainnya disebut-sebut kepala sekolah saat pidatonya.
Kau pasti senang telah diterima di universitas ternama di negeri ini. Aku juga masih
ingat, kau menyambut dengan tawa histeris
saat namaku juga disebut kepala sekolah.
Lalu aku hanya menyunggingkan bibir
dengan terpaksa. Aha, mungkin kau senang aku juga diterima di universitas kota
ini meski tak lagi bersamamu. Tapi kau tak
melihat bukan, tatapan ayah dan ibuku di
pojok sana. Wajahnya seketika mendung.
Entahlah, sejurus kemudian kulihat hujan
merintik di pipinya.
Di antara tawamu, aku mencuri waktu
untuk menangis. Tangis yang barangkali
muncul tiba-tiba. Padahal jauh-jauh benar
telah kupersiapkan menyambut wisuda.
Sambutan bukan dengan tangisan, tapi persiapan itu mungkin belum matang.
#2
Farah, kau punya facebook ndak?
begitu tanyamu suatu pagi lewat sms. Aku
yang baru saja mencuci piring tergagap
membaca pesanmu. Lama tak kubalas.
Kuabaikan saja pesanmu. Lantas kuta-

nyakan kepada anak majikan, Vina perihal


facebook. Ia masih SMA. Dan bersyukurlah
aku, ternyata ia punya facebook. Kumohon
ia membuatkan facebook untukku.
Ya aku punya,masih di bawa Vina, kujawab pesanmu. Kau tahu, tiap kali kau bertanya sesuatu, aku bingung menjawabnya.
Kau tahu sendiri bukan, aku orang desa tak
tahu apa-apa. Tapi mungkin kau kira aku
sedang membaca buku di bangku universitas.
Seminggu lalu kau bertanya statistika.
Untung saja ingatan SMAku masih segar.
Lantas kujawab sebisanya. Kau malah ketawa ketika kau tanya berapa IPku. Aku hanya
menjawab Rp. 700.000 perbulan dan masih
dibawa juragan. Jangan bercanda ah, begitulah kau menutup perbincangan kita lewat sms.
#3
Farah, kau di sini?, kau terkejut melihatku. Aku biasa-biasa saja. Aku tahu, pasti
kau ke rumahku lantas ibuku memberimu
alamat rumah ini.
Maafkan aku selama ini telah berbohong kepadamu. Sekarang kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak kuliah di universitas.
Aku seorang pembantu. Dan terima kasih
kau telah mengajariku banyak hal. Jika kau
tak menanyaiku ini-itu, aku takkan belajar
banyak. Terima kasih, Tin.
Lantas kau memeluk tubuhku. Kau menangis. Aku juga. Haru. Seperti SMA dulu.
Aku kuliah di Universitas Facebook,
kataku. Dan tangismu tiba-tiba menjadi
tawa.
Arif Srabi Lor

Selamat Kepada
Suudut Tasdiq, M. Priyo Manfaat, K. Rohmah Safitri, M. Abdul
Nafi, Siti Maemunah, Intan Nur Asih, Muhammad Iqbal, Nur Faidatun Naimah, Arif Khoirudin, Lusi Eka Sari, Hartiningsih, Miftahul Arifin, Khoirul Umam, Mahya Afiyati Ulya, Ahmad Muhlisin,
Muqoyyimah, Abdul Aziz, Nur Alawiyah, Evi Riani, Abdul latif

Atas diterimanya sebagai kru magang

SKM AMANAT 2011-2012

Genggam penamu !
Toreh sejarah dengan caramu.
AMANAT bukan segalanya tapi segalanya bisa berawal dari AMANAT

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

15

Pengabdian
Compang-camping

RESENSI

Mengabdikan Diri di
Pelosok Negeri
Judul
Penulis
Penyunting
Penerbit
Cetakan
Resensator

etiap anak yang tak terdidik


menjadi beban dosa bagi
yang terdidik. Kata itulah
yang menginspirasi Anis
Baswedan untuk mendirikan Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Yayasan ini berusaha mengumpulkan anak muda terdidik
untuk melunasi janji kemerdekaan
negeri ini. Mereka dikenal sebagai
Pengajar Muda. Mereka disebar
ke pelosok negeri yang notabene
belum menyandang kata lunas
atas hak didiknya. Mulai dari Aceh
sampai Papua.
Tepatnya 10 November 2010,
sebanyak 51 Pengajar Muda dilepas
di Bandara Soekarno menuju 5 kabupaten: Bengkalis (Riau), Halmahera Selatan (Maluku Utara),
Majene (Sulawesi Barat), Paser
(Kalimantan Timur), dan Tulang
Bawang Barat (Lampung). Hanya
bermodal ketulusan pengabdi
dan semangat juang yang tinggi,
tanpa mengharap apa-apa. Dengan setahun mengajar, seumur
hidup menginspirasi, begitu jargon mereka.
Setahun berselang, mereka
telah benar-benar mengabdi.
Sedikit demi sedikit janji kemerdekaan terlunasi; mencerdaskan
anak bangsa. Bahkan mereka telah menginspirasi 18.000 anak
negeri. Mereka membangun pribadi-pribadi ajaib.
Sejujurnya, mengajar bukan
pekerjaan mudah. Mereka tidak
hanya dituntut menyampaikan
materi, lebih penting bagaimana
mereka membuat anak didik
haus akan materi. Mereka juga
harus nyaman untuk berangkat ke
sekolahan.
Para Pengajar Muda berhasil
mewujudkannya. Bahkan, di lokasi yang terbilang minim kemauan
anak untuk belajar, mereka berhasil membuktikan bahwa mereka mampu mengatasinya. Mereka
telah menghilangkan budaya tak
nyaman di sekolah dan menanamkan kepercayaan pentingnya
bersekolah.
Indonesia Mengajar, adalah
buku yang memuat kisah-kisah
hasil rekaman para Pengajar Muda
saat bertualang dalam medanmedan pengabdian. Berisikan catatan penting yang dikemas dalam
catatan harian.
Seperti Erwin Puspaningtyas,
seorang Pengajar Muda yang juga
pemilik novel bets seller Sebuah
Penantian dan Hati yang Terluka
sempat mematung kagum ketika
mendapati coretan kertas milik
Rizki Ramlan, bocah sembilan

16

: Indonesia Mengajar ;
Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
: Pengajar Muda
: Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
: Bentang, Yogyakarta
: Cetakan 1, November 2011
: Muhammad Faizun

tahunyang sempat berhenti


sekolah selama 4 bulan lantaran
tidak ada yang mengajarinya
Matematikadilihatnya mampu
mengerjakan soal yang pernah ia
ajarkan di kelas 4 dan 6. Padahal
ia baru kelas 3. Juga dilihatnya
dalam kertas-kertas lain tentang
soal yang Rizki buat sendiri, dan
80 % betul. Lalu ia pun mengajak
Rizki menemukan hal baru di sekolah.
Bayu Adi Persada mengisahkan tentang Munarsih, anak Helmahera. Ia tak jago Matematika,
namun kemampuannya membaca
cepat melebihi anak SMP. Sehingga tak ragu Bayu mengikutkannya
dalam peserta Olimpiade Kuark.
Waktu sore pun ia luangkan untuk menemaninya membaca di
tepi pantai, dan waktu istirahat tak
pernah ia sia-siakan sebagaimana
tak ingin menyia-siakan bakat Munarsih. Bagi Bayu, bertemu anak
seperti Munarsih seperti sebuah
cahaya kecil di tengah hamparan
pasir pantai penuh sampah di
depan rumah. Bahkan ia percaya
kalau suatu saat, ia akan dikabarinya, Pak Guru, saya telah lulus
doktor! atau, Pak, saya mendapatkan beasiswa ke Amerika (hal.
67).
Para Pengajar Muda tak pernah melupakan bagaimana melewatkan hari-hari bersama mereka.
Agus Rachmanto di Hutan Samak,
setiap hari harus sarapan Ubi atau
pisang, dengan lauk ikan, yang
dipancing terlebih dulu di sungai
atau burung Punai.
Rusli Saleh, berdasar pengalamannya, mengingatkan pembaca
untuk tak mengumpat saat mati
lampu, sebab di Tulang Bawang
Barat, masyarakat selalu bersyukur
meski menikmati listrik hanya 4,5
jam sehari. Bahkan banyak daerah
yang tak tersentuh listrik. Hal yang
pasti dirasakan adalah, jalan licin
dan becek, sekolah tak kalah reot
dengan gubuk.
Meski demikian, motivasi demi
motivasi terus terbangun seiring
lika-liku masalah yang mereka
hadapi. Terutama masalah siswa.
Tak jarang, banyak di antara murid
saling berkelahi, berisik saat diajar, enggan masuk sekolah, susah
memahamimungkin hasil peninggalan kebiasaan.
Budaya hukum fisik tak hilang
di daerah itu. Sehingga tak heran
banyak siswa yang terkadang pulang dengan kaki pincang hanya
sebab gaduh atau berkelahi. Ini
yang membuat keprihatinan para
Pengajar Muda.

Yang dilakukan Adhi Nugroho,


di antaranya membuat peraturan
kelas terlebih dulu dengan kesepakatan bersama siswa. Apa
bila dilanggar, maka ia pun harus
dihukum. Tetapi yang jelas hukuman fisik sudah ditiadakan. Di
depan kelas tersedia satu buah
meja lengkap dengan kursi, yang
disebut dengan kursi hukuman.
Bagi siapa yang melanggar, siapsiap menduduki kursi yang telah
diatur menghadap teman-teman
sekelas. Lamanya duduk tergantung apa yang dilanggar. Biasanya paling lama dua jam. Sedangkan hukuman yang paling berat,
yaitu dikeluarkan dari kelas dan
diharuskan mengikuti pelajaran
kelas 1, jelas dia akan malu, dianggap aneh dan ditertawakan
(hal. 150).
Senyum mengembang, terkadang hadir dari hal tak disadari.
Seperti cerita Mansyur Ridho,
ketika meminta siswanya untuk
menggambar ekspresi. Maka dia
terkejut ketika sebagian besar
siswa menggambar ekspresi wajah senyum dan bertuliskan, Aku
senang punya guru baru karena
dia baik sekali.
Ada juga siswa yang suatu ketika berkata,Pak, kata Wati dia
ingin sekolah lagi karena gurunya
baik sekali. Tentu dia sangat terharu (hal. 268).
Diah Setiawaty menyembunyikan tangisnya dalam hati,
saat ia mendapat surat ucapan
selamat dari siswa-siswanya
pada Hari Guru, ada yang menuliskan, Cinta saya kepada Ibu
lebih dari uang saku. Bisa dibayangkan seberapa berharga uang
saku di mata anak-anak, apalagi
mereka yang jarang diberi uang
saku. Ia terharu, banyak yang
mengucapkan terima kasih dan
ada lagi yang menuliskan puisi
yang membuat decak kagum
bagi Diah. Dalam hati Diah bergumam, Saya membayangkan
penerus-penerus Chairil Anwar.
Dibacanya sebait puisi dari salah
seorang siswa kelas 4 SD: Dari guru
saya banyak belajar, tetapi Ibu guru
juga banyak belajar dari saya.
Setidaknya buku ini adalah
bukti cerita dari kesuksesan Pengajar Muda yang menenggelamkan
diri dalam pelosok-pelosok negeri untuk menemukan bibit ajaib.
Sebab bangsa ini telah berjanji atas
pendidikan setiap warganya. Maka
siapa lagi yang akan memenuhi?
Inilah bukti bahwa darah pemuda
masih andil dalam perjuangan
bangsa.
AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Menggali Hubungan
Pancasila-Syariat Islam

Judul Buku: Pancasila 1 Juni


dan Syariah Islam
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Haq, M. A.
Penerbit: RM BOOKS
Tebal Buku: 237 Halaman
Cetakan: Pertama, Mei 2011
Eksistensi suatu bangsa dalam
semesta dunia ditentukan oleh
kesadaran bangsa akan hakikat
jati dirinya. Bangsa bukan sekadar
sekelompok orang, atau komunitas yang diakui keberadaannya
karena hidup bersama. Lebih dari
itu, mereka harus mempunyai
identitas. Identitas itu tercermin
dari suatu pandangan hidup. Pandangan hidup itu, oleh bangsa Indonesia telah dirangkum dalam
Pancasila.
Berawal dari topik itu, melalui buku ini, Hamka Haq Mencoba
memberi wacana tambahan terkait
Pancasila dan Islam.
Perdebatan penafsiran Pancasila terjadi sejak sebelum Bung
Karno memproklamasikan kemerdekaan negeri ini. Penyebabnya
tak lain adalah pidato Bung Karno
pada 1 Juni 1945 yang menempatkan sila kebangsaan pada urut-

an pertama.
Kejadian itu memunculkan
banyak reaksi, bahkan sampai
sekarang. Ada kecenderungan
oleh beberapa kelompok untuk
melakukan upaya Desoekarnoisasi
secara sistematis. Kelompok itu
selalu menistakan Bung Karno.
Mereka menilai, menempatkan
sila Kebangsaan sebagai sila pertama adalah kesalahan besar. Apalagi menempatkan sila Ketuhanan
pada urutan terakhir.
Pada dasarnya, kebangsaan
atau nasionalisme Indonesia sama
sekali tidak bertentangan dengan
Syariat Islam, nasionalisme dalam
artinya yang luhur justru disyariatkan oleh Allah SWT.
Sebaliknya, secara filosofis,
penempatan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa pada urutan terakhir tak
dapat dikatakan sebagai penistaan
keyakinan terhadap agama. Dalam
Syariat Islam, secara tekstual dan
kontekstual, adalah sangat kuat
dasarnya untuk menempatkan sila
itu pada urutan terakhir. Dalam AlQuran, nama Allah tak selalu disebutkan di awal.
Hubungan Kultural
Indonesia bukanlah Negara
Agama, dan tak satu pun Agama di
Indonesia menjadi Agama Negara.
Dengan kata lain antara Agama
dan Negara tidak terdapat hubungan struktural.
Maka dalam sila ketuhanan,
bukan berarti bahwa agama yang
transendental itu menjadi aspek
yang tunduk dalam aturan Negara.
Sila tersebut hanyalah pernyataan
penegasan dan komitmen bangsa
Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa yang berketuhanan.
Antara negara dan agama terdapat hubungan kultural, bahwa
negara Indonesia dibangun oleh
bangsa yang beragama.
M. Izzudin

Film

Politik Kentut
Judul : Kentut
Produser : Deddy Mizwar, Zairin Zain
Sutradara : Aria Kusumadewa
Penulis : Aria Kusumadewa
Pemeran : Deddy Mizwar, Ira Wibowo,
Keke Soeryo, Cok Simbara
Tanggal edar : Rabu, 01 Juni 2011
Film ini diawali dengan kampanye pilkada. Jasmera (Dedy Miswar)
adalah salah satu kandidat pilkada
kabupaten yang disebut Kuncup Mekar didampingi Delarosa (Iis Dahlia),
penyanyi dangdut terkenal. Sangat
jelas Jasmera memilih Delarosa
sebagai pasangannya, sebab, ketenaran Delarosa adalah senjata ampuh penarik masa.
Jasmera selalu berkampanye
dengan arak-arakan yang terlihat
mencolok di sepanjang jalan, Jasmera adalah kandidat pilkada yang
dianggap kontroversial dengan ideidenya yang konyol dan tidak masuk
akal tanpa menunjukkan kemampuannya memajukan kabupaten
Kuncup Mekar.
Di lain pihak, Patiwa (Keke Soeryo) juga salah satu kandidat, didampingi tim kampanyenya Irma (Ira
Wibowo). Beda dengan Jasmera,
Patiwa berkampanye tidak dengan
arak-arakan. Ia memilih cara yang
lebih bermanfaat bagi rakyat. Membantu mengembangkan sektor pertanian, kesehatan dan peternakan.

Namun, hal itu dikecam Jasmera,


Patiwa orang yang munafik dengan
janji-janjinya.
Suasana berubah setelah tibatiba peluru meluncur dan bersarang
di dada Patiwa. Dokter (Cok Birawa)
yang melakukan operasi terhadap
Patiwa mengatakan, Patiwa tidak
bisa mengikuti pilkada di putaran ke
dua jika belum bisa kentut.
Seketika, kentut menjadi bahan
pembicaraan banyak orang. Banyak
orang datang ke rumah sakit sekadar mendoakan Patiwa agar bisa
kentut.
Seperti itulah kiranya panggung
perpolitikan negeri ini. Pesan yang
disampaikan mungkin, ketika ingin
mencalonkan diri, tak ada lain yang
dibutuhkan kecuali kentut. Percuma
memiliki kemampuan, toh yang dibutuhkan cuma kentut.
Satu hal yang disayangkan, kemasan humor yang terlalu mencolok
membuat kritik-kritik pedas yang disampaikan kabur. Penonton mungkin
akan mengira, film ini humor semata.
M. Izzudin

MONUMEN

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian
Compang-camping

2011

17

Pengabdian
Compang-camping

SKETSA
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)

Membesarkan UKM

Dok.KSMW

UKM minim peminat. Potensi besar di dalamnya terabaikan.

Beberapa mahasiswa yang tergabung dalam UKM KSMW tengah berdiskusi.

iskusi sore itu tampak sepi. Perkumpulan itu hanya diikuti tak
lebih dari lima orang. Padahal,
jika berangkat semua, peserta
diskusi mencapai tiga puluhan orang. Itu
adalah suasana diskusi salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diadakan
saban minggu.
Itu salah satu gambaran kegiatan UKM
yang semakin lesu sebab penurunan anggota.
Minat mahasiswa dalam mengikuti organisasi dirasakan sebagian pengurus UKM
semakin menurun. Pengurus UKM Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW)
Khoirul Anam mengamini penurunan itu.
Mula pendaftaran, diakuinya, jumlah
pendaftar cukup banyak, sekitar empat puluh anggota. Namun, dalam perkembangannya, jumlah itu terus mengalami penurunan.
Yang aktif tak lebih dari sepuluh orang.
Hal senada dialami UKM Nafilah. Melihat jumlah pendaftar anggota baru, cukup
menggembirakan. Mulanya, ungkap ketua
UKM Nafilah Fatmawati Ningsih, pendaftar
anggota baru mencapai ratusan orang. Namun, dalam perjalanannya, jumlah anggota
yang aktif hanya tersisa belasan orang.
Semakin lama semakin menurun.
Hal serupa dialami UKM Mimbar. Ketua
UKM Mimbar Ahmad Nasiudin mengungkapkan, minat mahasiswa dalam mengikuti
UKM sangat kurang. Pada tahun 2011 misalnya, UKM Mimbar hanya mampu merekrut
16 anggota baru.
Yang aktif sekarang tinggal 6.
Fenomena serupa terjadi di setiap UKM.
Terutama, UKM yang bergerak di bidang
pengembangan intelektual mahasiswa
(UKM Penalaran). Semisal, Nafilah, WEC,
AMANAT, An-Niswa, dan KSMW.

18

Pragmatis
Gejala penurunan minat mahasiswa sebenarnya sudah dirasakan sejak lama. Penurunan itu disebabkan banyak faktor. Salah
satunya, seperti dituturkan mantan Pembantu Rektor III, Erfan Soebahar, disebabkan oleh perubahan paradigma mahasiswa.
Menurutnya, pragmatisme menjadi sebab
utama penurunan antusiasme mahasiswa
dalam mengikuti organisasi.
Mahasiswa sekarang lebih pragmatis.

UKM merupakan wadah efektif


bagi mahasiswa untuk menempa
dan mengembangkan potensi diri,
baik dalam keterampilan maupun
intelektual.
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag
Mantan Pembantu Rektor III

Mahasiswa, tambah Erfan, cenderung


menyukai hal yang bersifat praktis. Organisasi, termasuk UKM di dalamnya, tidak
menjalankan prinsip praktis tersebut.
Sebab, di dalamya membutuhkan ketekunan dan proses belajar lama untuk mencapai harapan yang diinginkan.
Ibnu Thalhah membenarkan hal tersebut. Alumnus Surat Kabar Mahasiswa
(SKM) AMANAT yang kini bekerja sebagai
redaktur Tabloid Cempaka menilai, mahasiswa kini lebih berpikir pragmatis. Mahasiswa lebih berorientasi pada pengejaran

nilai kuliah sehingga mengabaikan organisasi. Pengejaran itu tak lain demi memenuhi hasrat pragmatis.
Kuliah cepet lulus, cepet kerja, itu praktis.
Beberapa mahasiswa lebih memilih
berfokus pada kuliah, atau bekerja paruh
waktu, di banding aktif di UKM. Keduanya
dianggap lebih menjanjikan kepraktisan
ketimbang mengikuti organisasi.
Mahasiswa Fakultas Syariah, Wahyudi
misalnya, mengaku tidak mengikuti UKM
lantaran alasan sibuk kuliah. Beban tugas
perkuliahan menuntutnya untuk fokus terhadap kuliah.
Saya pilih fokus kuliah saja.
Pembantu Rektor III, Darori Amin menyayangkan sikap mahasiswa yang mengabaikan UKM. Menurutnya, untuk mencapai
tujuan pendidikan, kuliah saja tak cukup.
Mahasiswa dituntut dapat mengembangkan keilmuan dan keterampilan lewat
jalur lain. Salah satunya dengan mengikuti
UKM.
Waktu luang dimanfaatkan ikut UKM,
sarannya.
Stagnasi
Minimnya animo mahasiswa mengikuti
UKM tak hanya dipengaruhi faktor eksternal. Menurut Ibnu Thalhah, faktor internal
juga turut mempengaruhi kemunduran
UKM. Semisal, UKM tak memiliki nilai
jual untuk menarik mahasiswa. Sehingga,
mahasiswa lebih memilih mengikuti lembaga atau aktivitas lain yang lebih menjanjikan.
UKM mengalami kemandekan.
Mantan ilustrator harian Suara Merdeka itu menilai, UKM tidak mengalami
perkembangan. Padahal, agar mampu bersaing, UKM harus mampu meningkatkan
citra. Makanya, UKM perlu membangun
kreativitas untuk mendongkrak citra di

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

mata mahasiswa.
UKM harus berinovasi.
Hal itu diamini Pembantu Dekan III
Fakultas Tarbiyah, Muhammad Ridwan.
UKM memiliki peran penting dalam menggait mahasiswa. Menurutnya, tertarik tidaknya mahasiswa dalam mengikuti UKM
bergantung dari seberapa besar peran dan
manfaat UKM bagi mahasiswa.
Terkait hal itu, Kepala Bagian (Kabag)
Kemahasiswaan, Priyono mengimbau, UKM
perlu melakukan evaluasi agar ke depannya
lebih baik.
UKM seharusnya melakukan evaluasi
tahunan, imbau Priyono.
Terhambat Dana
Di sisi lain, UKM sulit mengembangkan
diri karena beberapa sebab. Di antaranya,
seperti dituturkan ketua UKM Mimbar Nasiudin, karena terhambat dana. Menurutnya,
dana yang diberikan pihak birokrasi belum
mencukupi kebutuhan UKM. Sering kali,
UKM terbentur masalah pembiayaan dalam
mengagendakan kegiatan.
Gimana mau berkembang, dananya
tidak cukup.
Tak hanya masalah dana. Minimnya
fasilitas turut menghambat UKM dalam
mengembangkan diri. Menurut Nasiudin,
birokrasi kurang memberikan perhatian terhadap fasilitas UKM.
Fasilitasnya hanya seperti ini, keluhnya sembari menunjuk gitar yang sudah bopeng.
Sependapat diungkapkan ketua UKM
Nafilah, Fatmawati Ningsih. Baginya, dana
operasional organisasi dari Dana Isian Pengajuan Anggaran (DIPA) sebesar 4,5 juta
yang diterima UKM Nafilah tak mencukupi
kebutuhan organisasi tersebut selama setahun. Untuk menambal kekurangan dana,
UKM Nafilah biasa mencari dana tambahan
dari luar (sponsorship).
Alokasi dana UKM mesti ditambah,
harapnya.
Banyak Manfaat
Mengikuti UKM bukan merupakan keharusan. Tidak ada peraturan dari kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa
mengikuti UKM. Mahasiswa punya hak untuk tidak atau aktif mengikuti UKM.
Meskipun begitu, Muhammad Ridwan
menganjurkan pada mahasiswa untuk terlibat dan aktif di dalam UKM.
Ikut UKM banyak manfaatnya, sarannya.
Sependapat dengan Erfan Soebahar.
Guru Besar Ilmu Hadits ini menerangkan,
UKM merupakan wadah efektif bagi mahasiswa untuk menempa dan mengembangkan potensi diri, baik dalam keterampilan
maupun intelektual.
Aktif di UKM kan gratis, sayang jika tak
dimanfaatkan, kata Erfan.
Di samping itu, banyak manfaat lain yang
bakal dirasakan mahasiswa ketika mengikuti
UKM. Seperti diungkapkan Ibnu Thalhah.
Mahasiswa akan mendapatkan ilmu dan
pengalaman yang tak didapatkan di bangku
kuliah. Di dalam UKM, tambahnya, mahasiswa dapat belajar tentang organisasi yang
meliputi, kepemimpinan, kerja tim, dan
komunikasi.
Di samping itu, soft skill yang didapatkan
dari UKM dapat digunakan ketika terjun
di masyarakat. Misal, untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang
didapat dari UKM.
Mahasiswa harus multitalenta, karena
di era persaingan ini, mengandalkan ijasah
saja tak cukup, tutupnya.
Rohman Kusriyono,
Ulfa Mutmainnah

Pengabdian
Compang-camping

SKETSA
Auditorium

Satu untuk Banyak Keperluan


Demi melayani masyarakat umum, kepentingan mahasiswa dikesampingkan.

Amanat.Hamid

rif berjalan setengah tergesa


menuju halaman Gedung Auditorium II Kampus 3. Siang sekitar
pukul dua itu ada rapat persiapan
Olahraga, Seni, dan Intelektual (Orsenik).
Beberapa panitia sudah menunggu di sana.
Orsenik harus diundur! kata Arif tegas. Semua terperangah.
Sebelumnya, Koordinator Orsenik yang
bernama lengkap Arif Kurnia Rahman itu
mendapat kabar dari Kepala Sub Bagian
Rumah Tangga, Saidun, bahwa pada hari
digelarnya Orsenik, Auditorium II digunakan untuk acara pernikahan.
Seketika peserta rapat memasang raut
kecewa. Apa pasal, Orsenik yang akan diselenggarakan 17-18 September 2011 itu
sudah susah payah dipersiapkan. Panitia
sudah menyewa peralatan lomba. Jadwal
kehadiran juri pun sudah ditetapkan.
Kami telah mempersiapkan segala sesuatu untuk Orsenik, tetapi tiba-tiba dibatalkan dengan alasan Auditorium digunakan
untuk pernikahan, keluh Arif.
Arif mengatakan, seharusnya fasilitas
kampus menjadi hak penuh mahasiswa.
Diundurnya Orsenik menunjukkan seakanakan birokrasi menomorduakan kepentingan mahasiswa.
Padahal, tambahnya, sebulan sebelum
Orsenik panitia telah melayangkan surat
peminjaman Auditorium kepada Bagian
Rumah Tangga. Ganjilnya, seminggu sebelum Orsenik digelar, pihak Rumah Tangga
mengabarkan, Auditorium telah disewa
untuk acara pernikahan.
Saidun menjelaskan, benturan jadwal
itu terjadi karena kesalahpahaman. Pada
saat panitia mengajukan surat peminjaman, sebenarnya Auditorium sudah terlebih dahulu disewa orang.
Yang lebih dulu memesanlah yang dapat menggunakan, tegasnya.
Alih-alih menjelaskan kesalahpahaman

Beberapa pekerja tengah mendekorasi Gedung Auditorium II untuk acara pernikahan.


Selain pernikahan, gedung itu kerap disewakan untuk berbagai acara.
tersebut, Saidun malah mengkritik persiapan Orsenik yang terburu-buru dan kurang
matang. Katanya, waktu persiapan terlalu
singkat.
Buntut BLU
Sejak 5 Maret 2009 IAIN Walisongo
menjalankan sistem Badan Layanan Umun
(BLU). BLU memberi wewenang kepada
lembaga untuk mengelola keuangannya secara fleksibel.
Bendahara BLU IAIN Walisongo Mahin
Arianto menerangkan, BLU fleksibel karena
semua uang masuk dikelola langsung oleh
perguruan tinggi. Sedang pengeluaran tetap
di bawah pengawasan Menteri Keuangan,
serta mengacu pada program kerja yang te-

lah direncanakan.
Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2005, tujuan BLU untuk meningkatkan pelayanan lembaga kepada masyarakat luas. Salah satunya menyediakan akses
bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan fasilitas lembaga.
Pembisnisan fasilitas kampus pun disahkan. Sejak BLU diterapkan, berbagai fasilitas kampus dapat dikomersilkan kepada
masyarakat. Bukan cuma Auditorium yang
dipinjamkan, tapi juga bus, mobil elf, kursi,
lapangan sepak bola, lapangan tenis, asrama, dan kantin.
Meski begitu, BLU mengembangkan
bisnis tanpa keuntungan, ujar Mahin.

Untuk dapat menggunakan fasilitas


itu, ada prosedur peminjaman yang harus
dipenuhi.
Salah satunya biaya sewa. Untuk Auditorium I sebesar Rp. 3.000.000 dan Rp.
5.000.000 untuk Auditorium II per 4 jam
dari pukul 10.00-13.00. Lebih dari itu, biaya
sewa ditambah Rp 60.000 per jam.
Dana tersebut langsung masuk ke bendahara BLU. Selanjutnya dialokasikan untuk pembiayaan kegiatan mahasiswa, non
mahasiswa dan tenaga kontrak yang ada di
IAIN.
Biaya penyewaan itu tidak berlaku bagi
mahasiswa. Hanya saja mahasiswa harus
meminjam minimal satu bulan sebelum
kegiatan. Sedangkan untuk umum, lima
bulan sebelum acara.
Jika terjadi tabrakan, yang diutamakan
adalah yang lebih dulu menyewa, terang
Saidun.
Penambahan dan pembenahan
Untuk menghindari benturan jadwal
pemakaian, perlu adanya penambahan Auditorium. Sebagaimana dikatakan Saidun,
mahasiswa harus disediakan tempat sendiri untuk melakukan aktivitas dan kegiatan.
Penambahan fasilitas itu juga harus
dibarengi perbaikan manajemen. Ruswan
melihat masih banyak ketimpangan terkait
pengelolaan fasilitas. Salah satunya, ada
UKM yang mengelola fasilitas kampus.
Hal ini perlu pembenahan karena tidak
ada satu UKM yang diberi wewenang untuk mengelola fasilitas infrastruktur, jelas
Ruswan.
Ruswan menambahkan, perencanaan
menjadi kata kunci utama. Sebab, dengan
adanya perencanaan, baik dari Rumah
Tangga maupun mahasiswa sebagai pengguna, tabrakan jadwal dipastikan tak terjadi
lagi.
Irma Muflihah, Yestik Arum

Amanat.Hamid

Tambah Ruang Kuliah

Proses pembangunan gedung baru Fakultas Tarbiyah.

Kuantitas mahasiswa melampaui


ketersediaan ruang. Tak terelakkan,
benturan jadwal kuliah. Sebagai
solusi, penambahan ruang.

eringat Suatmi basah mengalir.


Dua ember berisi adukan semen
dijinjing dengan kedua tangan.
Bersama sekitar seratus lima puluh pekerja bangunan lainnya, mereka
berkeras juang mendirikan bangunan. Hari
demi hari berlalu, buah usaha mereka mulai nampak. Bangunan megah kini kokoh
berdiri.

Sebelumnya, lahan itu hanyalah kebun


singkong. Keadaan perlahan berubah ketika beberapa alat berat memasuki kompleks
Kampus 2 IAIN Walisongo pada 11 juli 2011.
Ya, bangunan megah yang berdiri di tanah
itu nantinya akan dimanfaatkan sebagai
ruang kuliah Fakultas Tarbiyah.
Gedung itu dibangun melalui lelang.
Sebanyak 62 perusahaan telah tercantum
dalam daftar peserta lelang pembangunan.
Melalui berbagai pertimbangan, panitia
menetapkan, lelang pembangunan dimenangkan oleh CV. Wahyu Nugraha dengan
penawaran harga Rp. 3.559.659.000.
Dengan nominal rupiah lebih dari tiga
milyar itu, panitia lelang berharap mendapatkan kualitas gedung yang baik.

Kebutuhan
Secara kuantitas, mahasiswa Fakultas
Tarbiyah tergolong banyak. Sementara,
banyaknya jumlah mahasiswa tak sebanding jumlah ruang. Tarbiyah hanya memiliki tiga ruang kuliah. Jumlah itu sangat
kurang.
Hal itu dibenarkan Pembantu Dekan
II Fakultas Tarbiyah, Abdul Wahid. Menurutnya, keterbatasan ruang kuliah kerap
menghadirkan persoalan. Seperti misalnya
benturan jadwal. Ditambah lagi Tarbiyah
memiliki mahasiswa non reguler yang aktif
kuliah pada hari jumat, sabtu dan minggu.
Tentu dibutuhkan ruang lebih.
Keterbatasan jumlah ruang kuliah dirasakan benar oleh mahasiswa. Apalagi jika
beberapa dosen mengganti jadwal kuliah.
Hal itu dirasakan sendiri oleh Ibnu Wahid.
Mahasiswa Tadris Matematika angkatan
2008 itu kerap berkeliling kampus hanya
sekadar mencari ruang kosong.
Sulit menemukan ruang kosong, katanya.
Keterbatasan ruang, sebenarnya oleh
fakultas sudah disiasati dengan mengatur
jadwal kuliah sampaipukul 18.00. Beda
dengan fakultas lain yang hanya sampai
pukul 16.00. Namun, benturan jadwal
masih saja terjadi.
Ibnu berharap, dengan semakin ban-

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

yaknya ruang kuliah mahasiswa bisa lebih


leluasa. Tak akan ada lagi kekhawatiran
terkait benturan jadwal kuliah.
Abdul Wahid turut menambahkan,
dengan semakin bertambahnya jumlah
gedung, diharapkan animo masyarakat
terhadap IAIN Walisongo semakin meningkat. Namun itu bukan berarti Tarbiyah
berencana menambah jumlah mahasiswa.
Fakultas masih mempertimbangkannya
dengan memperhatikan kuantitas gedung
dan jumlah mata kuliah.
Di samping itu, Yuliana Puji Hestyaningtyas berharap, penambahan gedung itu
diiringi peningkatan kualitas pelayanan
fakultas. Baik pelayanan fasilitas maupun
pendidikan.
Mahasiswi Tadris Fisika semester 3 ini
menambahkan, semakin bertambahnya
ruang kuliah harus dibarengi peningkatan
kualitas pendidikan. Tak terkecuali, kualitas tenaga pengajar.
Gedungnya bagus, kualitas pendidikan juga harus bagus.
Anik Sukhaifah, Azid Fitriyah,
Zulaikha

19

Pengabdian
Compang-camping

CERITA
ERITA P ENDEK
ENDEK

Jembatan Alas Tua


Cerpen Farid Helmi

ak ada yang membantah atau


meragukan cerita itu. Satu
cerita yang jika mendengarnya
bulu kudukmu berdiri tibatiba, atau setidaknya mimpi buruk bakal
menghantui tidurmu pada malam-malam
berikutnya.
Orang-orang percaya ihwal cerita itu,
jika di jembatan yang seluruh bagiannya bercat merah itu berhuni ribuan
roh. Mereka percaya roh-roh itu banyak
berhuni di sana: di bawah pohon randu
atau diantara semak-semak di sekitar
tiang penyangga.
Maka tak heran jika banyak orang
lalu menyebutnya jembatan hantu atau
sebutan-sebutan lain yang membuat kita
ngeri mendengarnya. Tapi sebagian lain
menamainya jembatan alas tua, sesuai
dukuh kami, Alas Tua.
Kakek berkisah bahwa sebagian
mereka adalah roh pekerja yang dulu
meninggal ketika membangun jembatan.
Diantara mereka ada yang meninggal
karena terjatuh masuk jurang, sebagian
lagi mendadak mati tanpa diketahui
sebab pasti.
Jika ada pekerja yang celaka atau
mati, mandor dan pengawas proyek
hanya berkilah, mengatakan itu lumrah.
Mencoba meyakinkan jika itu kecelakaan
biasa, bisa menimpa siapa saja. Namun
keganjilan yang terus berulang jamak
melahirkan prasangka.
Mereka dijadikan tumbal kata kakek
Ah, kakek mengada-ada
Sungguh!
Lalu buat apa tumbal-tumbal itu,
kek?
Kakek tak menjawab. Hanya diam
lalu pergi dengan sepeda yang sama tua
dengan usianya.
Satu cerita yang juga akrab di telinga
orang-orang dukuh alas tua adalah
cerita puluhan anak-anak kecil yang juga
bernasib serupa. Mereka bocah-bocah
nakal yang gemar keluyuran, diculik dan
dimasukkan dalam karung besar lalu
dibawa ke sebuah gudang. Sesampai di
gudang bocah-bocah itu dihabisi satupersatu. Kepala mereka digunduli, lalu
dipenggal dan ditanam di balik tanah di
bawah kaki-kaki konstruksi.
Konon, kematian yang tak wajar
itulah yang membuat roh mereka tak
diterima di surga atau neraka, telantar
hingga kini di sepanjang jembatan.
*
Waktu berselang, tragedi berulang.
Sebuah tragedi mengenaskan kembali
mengingatkan kami pada cerita-cerita
itu. Sebulan lalu, pagi hari di mulut
jembatan, tepat ketika jalanan telah
ramai oleh hilir-mudik para kuli pemanen
tebu, Nyi Dasimah serta dua anaknya
yang masih kecil, Togop dan Soman
nekat mengakhiri hidup. Mengadang laju
kereta, tubuh mereka hancur ditindas
gerbong sarat batubara.
Persis sepersekian detik sebelum
roda baja menggilas mereka, sempat
kulihat beribu rasa yang memendar dari
sorot mata ketiganya. Beribu rasa: perih,
pedih, serta pahit getir kehidupan hanyut
bersama kematian mereka. Kematian
yang seolah menjadi lorong sempit yang
membebaskan dari jerih kehidupan.
Kehidupan yang mungkin hanya menyisakan perih dan luka.
Tidak ada yang menduga Nyi

20

ayam dan kicau prenjak yang mulai


nyaring beradu, memecah kesunyian
langit dukuh alas tua.
Kini Dukuh Alas Tua mulai terbangun, bukan atas hasrat dirinya, tapi
oleh suara dentuman benda besar yang
diikuti teriakan dari arah yang entah.
Suara itu serupa lindu, yang menggetarkan dipan, tempat orang-orang
sedang menggauli malam. Seketika
berhampuran orang-orang keluar rumah hendak mencari tahu muasal bunyi
yang telah membangunkan mereka.
Di pelataran rumah, mereka hanya
beradu pandang dengan air muka yang
tampak kebingungan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Hingga pada
akhirnya terdengar dentuman yang
kedua, seperti bunyi dua benda besar
yang saling beradu, keras dan nyaring.
Diikuti teriakan, kali ini lebih kencang.
Tersadar, aku bergegas mengejar
asal suara itu, yang pekat tersembunyi
di balik kebun bambu. Di sana jembatan alas tua sudah rubuh, kereta
penumpang yang sedang melintas
sebagian gerbongnya masih menggantung, sebagian lagi ringsek masuk
ke dalam jurang. Jeritan orang-orang
makin kencang berharap bantuan segera datang, sementara lainnya panik
berusaha menyelamatkan diri.
Sementara itu, di tepi jurang dekat
jembatan, aku melihat serombongan
makhluk aneh dan menjijikan. Mereka
ada yang kakinya pengkor, ada yang
mulutnya lebar, dengan liur selalu
menetes dan berbau amis. Ada pula
yang tinggi jangkung, bermata besar
dan bertanduk. Sebagian lagi berambut
panjang hingga ke pinggul, dengan
punggung berlubang, penuh ulat dan
kelabang.
Diantara mereka aku juga melihat
Jamin, Sanah, serta Nyi Dasimah dan
kedua anaknya sedang melompat-lompat, seperti sedang merayakan sesuatu.
Selintas pandangan mereka mengarah
kepadaku, dan memanggilku, kang
Pardi, mari ikut pesta bersama kami!
Dasimah akan senekat itu. Orangorang lantas menyangka keputusannya
mengakhiri hidup karena kemiskinan
dan jerat hutang yang tak terbayar, serta
penyakit kusta yang tak kunjung sembuh. Persangkaan itulah yang membuat
orang-orang paham atas keputusan
yang diambil Nyi Dasimah.
Lepas tiga hari setelah kematian Nyi
dasimah dan kedua anaknya, dukuh alas
tua kembali geger. Sepasang mudamudi, Jamin dan Sanah nekat terjun ke
jurang dekat jembatan. Menjalin kasih
selama delapan tahun tapi tak lantas
menemu kata restu, mendorong keduanya untuk mengakhiri kisah pilu di tempat
itu, jurang curam dekat jembatan. Jamin
tewas seketika, sementara Sanah meninggal di perjalanan ketika akan dibawa
ke rumah sakit.
Mencoba meraba maksud keduanya,
aku menduga-duga barangkali di ujung
kesadaran yang terakhir, terselip asa di
benak mereka kelak beroleh nasib baik
di kehidupan berikutnya. Asa kelabu
tentunya oleh Tuhan mereka dihidupkan
kembali, bukan lagi sebagai manusia,
tapi sebagai sepasang merpati yang ditakdirkan selalu bersama. Mungkin saja!
Lantas bagaimana dengan Nyi
Dasimah dan kedua anaknya. Benarkah

kemiskinan yang telah melahirkan keputusasaan dan hasrat untuk mengakhiri


hidup. Ah, barangkali mereka sudah
jenuh mengakrabi segala kepahitan,
hingga kematian menjelma takdir yang
dipilihkan sebagai pembebasan bagi
ketiganya.
Bagi sebagian orang, kematian mereka justru tak lain adalah karena ulah rohroh itu. Seperti hendak mencari teman,
mereka membisiki, semacam pulung
suara halus itu menyusupi telinga orangorang yang sedang kalap dilimbung masalah. Bisikan halus yang membujuk dan
merayu orang-orang untuk menuntaskan
beban hidup di jembatan itu.
Lengkap sudah cerita-cerita yang
turut mewarnai keberadaan jembatan
itu, jembatan alas tua yang menyimpan
banyak cerita.
*
Hari masih terlalu pagi, sang fajar
pun masih malu-malu, hanya kabut
kemuning yang telah membentang di
langit timur. Dedaunan masih basah oleh
air embun yang menggelantung di pucuk
daun. Dukuh alas tua masih tertidur, belum ada tanda-tanda orang-orang telah
terjaga. Sunyi masih menyelimuti rumahrumah warga, hanya sesautan kokok

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

*
Keesokan hari. Di televisi, di radio
dan di koran-koran semua ramai memberitakan ambruknya jembatan alas
tua. Salah satu saluran televisi secara
langsung menayangkan proses evakuasi korban, sementara saluran lain mempertontonkan drama dua orang yang
sedang berdebat saling menyalahkan.
Satu pihak berpendapat ambruknya
jembatan lantaran murni kecelakaan,
namun pihak lain menjelaskan jika
jembatan sudah tak layak digunakan,
mendesak diperbaiki. Ia menyalahkan
pihak-pihak yang tetap mengijinkan
kereta tetap melaju di atas jembatan.
Siang menjelang, perdebatan masih
panjang, bahkan seru. Tentu saja, dengan logika dan bahasa yang rumit khas
kaum elit. Sementara di luar rumah,
orang-orang dukuh alas tua sedang
berkumpul, membincangkan penyebab
ambruknya jembatan. Orang-orang
mengira ambruknya jembatan alas tua
karena butuh tumbal untuk menyangga
kokohnya jembatan.
Semarang, 12 Januari 2012

Pengabdian
Compang-camping

SASTRA
ASTRA B UDAYA
UDAYA
Dolanan Anak

Adiluhung yang Terlupakan


Dolanan tradisional anak-anak kian menjauh dari peradaban. Kepergiannya
membuat anak-anak kehilangan pertemanan.
Oleh Afiyati Badriyah

asinah bingung mencari


anaknya, Wawan. Anak itu
biasanya bermain petak
umpet, atau kalau tidak
bersepeda di sekitar rumah. Tapi
kini tak terlihat batang hidungnya.
Hingga sore menjelang, ia baru pulang. Seharian dicari tak ketemu,
ternyata Wawan dan teman-temannya bermain play station (PS) di
rental dekat sekolah. Ia pulang setelah beberapa lembar uang sakunya
ludes untuk main PS.
Siswa kelas enam Sekolah Dasar
(SD) itu menghilang usai pulang sekolah. Ya, sepulang dari sekolah ia
terus menanggalkan seragam lantas
pergi lagi.
Demam PS yang dialami Wawan itu membuat ibunya khawatir.
Akhir-akhir ini uang jajannya selalu
habis dipakai bermain PS. Semenjak
rental PS berdiri di desanya, anak itu
enggan bermain-main di sekitar rumah.
Kehadiran PS dan mainan modern lain menggusur keberadaan
dolanan tradisional. Anak-anak,
seperti dilakukan Wawan dan teman-temannya, lebih memilih
mainan modern dibanding dolanan
tradisional.
Guru Besar Fakultas Seni dan
Bahasa Universitas Negeri Semarang (UNNES) Muhammad Jazuli
prihatin melihat hal tersebut. Ia
menilai beberapa tahun terakhir
perkembangan dolanan tradisional
anak kian tergusur oleh berbagai
media maupun permainan modern
saat ini.
Mamang, saat ini beberapa
komunitas dan instansi pemerintah
ramai-ramai mengangkat kembali
dolanan anak tradisional. Upaya itu
mereka kemas dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk festival dan
pertunjukan. Dolanan anak dipentaskan di atas panggung diiringi
nyanyi-nyanyian.
Tetapi Jazuli menilai, ikhtiar
semacam itu kurang efektif. Usaha
semacam itu hanya melestarikan
dari sisi apa yang tampak, belum bisa
menjamin esensi dolanan anak, tegas lelaki yang suka wayang itu.

Ia
menjelaskan,
substansi
dolanan anak tradisional adalah
agar anak-anak bisa berkumpul,
bekerjasama, serta mampu bersosialisasi dengan teman-temannya.
Jazuli meyakini dolanan anak tradisional memiliki misi tertentu. Ia
mencontohkan lagu lir-ilir sebagai
dakwah Sunan Kalijogo. Lagu lir-ilir
diciptakan untuk menggiring perhatian masyarakat agar tertarik dengan
Islam, jelas Jazuli.
Kroeber dalam Sukirman Dharmamulya (2008) berpendapat bahwa
seandainya nenek moyang manusia
tidak mempunyai gairah bermain,
barangkali kita akan mewarisi kebudayaan yang miskin akan keindahan
ataupun miskin dengan kecendikiawan.
Dolanan tradisional anak-anak
sarat akan nilai. Sebagaimana yang
dikatakan Tashadi (1993), permainan tradisional anak-anak di Jawa
mengandung nilai-nilai budaya tertentu. Di samping itu dolanan memiliki fungsi melatih pemainnya untuk
melakukan hal-hal yang berguna
untuk kehidupan mereka di tengah
masyarakat nantinya.
Nilai-nilai itu akan tertanam
sejak dini dan ketika dewasa tinggal
dikembangkan, Jazuli menambahi.
Permainan modern, seperti dikatakan Sumintarsih (2008), semakin
menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan, dari komunalistik
ke individualistik.
Alternatif
Jazuli mengakui, setiap zaman
memiliki warna tersendiri. Anakanak yang lahir pada zaman tertentu diikuti dengan dolanan yang
berkembang pada zaman itu. Tidak
menutup kemungkinan, generasi
sekarang menciptakan permainan
baru yang bisa membungkus nilainilai sosial, tuturnya.
Sementara itu sebuah komunitas
yang berjuluk Toys Design Center
(TDC) mencoba inovasi terhadap
mainan anak. Komunitas yang didalangi mahasiswa UNDIP ini berhasil
menciptakan berbagai permainan
anak.

Pada pemeran Caraka Fest 2011


yang digelar di hotel Gumaya Semarang, karya mereka selalu dilirik
pengunjung. Karya yang kami buat
memanfaatkan bahan bekas, kata
koordinator TDC, Bhekti Haryo Suyono saat ditemui Amanat.
Menurut Bhekti, TDC dibentuk
karena keprihatinan melihat serbuan
mainan luar negeri yang murah tapi
minim edukasi. Ia pun beberapa kali
menggelar pelatihan dan mengajak
masyarakat untuk kreatif membuat
mainan sendiri.
Kehadiran mainan semacam itu
dianggap Jazuli sebagai alternatif
dari dolanan tradisional anak yang
kian tersingkir. Ia tidak bisa menjamin permainan itu mampu menggantikan esensi dolanan tradisional.
Yang terpenting adalah dolanan itu
bisa mengumpulkan anak-anak,
tandas Jazuli.
Namun, pada kenyataannya
anak-anak zaman sekarang tidak
memikirkan apakah permainan itu
bernilai atau tidak. Mereka lebih
suka pada permainan yang menarik. Sebagaimana Wawan yang lebih
suka bermain PS. Bermain PS lebih
asyik. Permainannya sangat seru!
aku siswa kelas 6 SD itu.
Apapun kalau fungsional akan
digemari masyarakat, tutur Jazuli. Ia
mencontohkan pagelaran ketoprak
di beberapa daerah di Jawa Tengah
yang masih eksis. Ketoprak itu
masih hidup karena didukung dan
digemari oleh masyarakat, meskipun
hanya sedikit, Ia melanjutkan,
Sama halnya dengan dolanan anak,
jika anak-anak mendukungnya, akan
tetap ada.
Dolanan anak adalah adiluhung
yang harus dipertahankan. Jazuli
menyarankan, upaya untuk melestarikan dolanan anak harus dimulai dari keluarga. Kalau keluarga
mendukung, dengan sendirinya
akan muncul gairah anak terhadap
dolanan tradisional.
Begitu juga sekolah. Bagi Jazuli,
sekolah memiliki peran strategis
dalam melestarikan dolanan tradisional anak-anak. Ia berharap agar di
sekolah-sekolah tingkat dasar dikenalkan dolanan tradisional anak-anak
tempo dulu. Bisa melalui bukubuku atau video.
Namun sayang, tak banyak sekolah menyadari itu. Seorang guru
SD di Kecamatan Ngaliyan Semarang mengaku, di sekolahnya hanya
mengajarkan sesuai kurikulum dari
pemerintah. Kami tidak mengajarkan dolanan tradisional karena di
kurikulum tidak ada, kata guru yang
tidak mau disebut namanya itu.
Jazuli menyayangkan sikap
guru sekarang yang minim kreativitas. Padahal kurikulum hanya
pedoman. Bisa dikreasikan dan
dikembangkan, tuturnya. Ia menambahkan, pemerintah juga harus
tanggap dan proaktif menggerakkan
lembaga-lembaganya untuk mempertahankan budaya.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Sajak-sajak Akhmad Baihaqi Arsyad

Seper i,
Seperti daun,
Tumbuh, tambah
Meranggas dan jatuh
Bersetubuh dengan tanah,
Menyisakan tangkai
Seperti bunga,
Kuncup, mekar,
Kelopak jatuh mengering,
Bersetubuh dengan tanah,
Menyisakan buah
Seperti manusia,
...
Semarang, 04.2011

Bulan di per engahan Oktober


Bulan bulat, bulat putih susu. Bintang
bersanding di tenggara tepat. Menakar jarak
dengan perkiraan mataku yang kututup satu,
satu sentimeter. Gerimis malam, kecil titik,
meletik. Kutungkupkan tangan, tiupkan udara,
hangat. Memandang bintang titik di tenggara
bulan bundar putih. Saling bercumbu. Kali tiga,
tengah malam. Dan rindu.
Semarang, 15-17.10.2011

Udara dan Jarak


Jika jarak memisah pijakmu dan ku,
maka ijinkan aku jadi udaramu,
Bagi udara, jarak tak kuasa mencipta tabir
di antara kita.
Jarak tak ada daya, tak ada, mati.
Kau masih bernapas bukan?
dan anggaplah itu aku, udaramu,
lantas kuanggap kau butuh, butuh yang candu
Saat rinduku mengudara,
Pun ku ijinkan pula kau,
Saat kau rindu,
Semarang, 10.2011

Kut lis namamu pada sebaris


kalimat dalam buku catatanku,
Ada jejak-jejak yang berpijak, tertinggal
bersama tanggal-tanggal ajal. Hujan selalu
datangkanku cerita tentang kita. Cerita ketika
kita rapatkan jarak mata, lantas kau katakan;
aku melihat diriku di pupilmu. Tanpa kau
tanyakan tentang apa yang kulihat.
Sesekali aku datang, menjajaki tempat-tempat
pencil yang sempat memanggil ingin. Seketika
itu datang namamu, bersama tangis, tawa juga
iba.
Lantas kutulis namamu pada sebaris kalimat
dalam buku catatanku, agar suatu saat bisa
kubaca, kukirimkan kembali, kuhapus lagi atau
bahkan kubuang berikut catatanku itu.
Semarang, 29.11.2011
Akhmad Baihaqi Arsyad, Lahir di Salatiga, 11 Juni 1991,
Aktif di Komunitas Sastra
Soeket Teki Semarang dan
Kelompok Pekerja Teater [KPT]
beta Semarang,

21

Pengabdian
Compang-camping

CERMIN

Amanat.Slamet Tridadi

Patung monumen Rangga


warsita di Museum Jawa
Tengah Ranggawarsita.

Ranggawarsita

Berpetuah lewat Serat


Ranggawarsita bukan sekadar nama Museum. Petuahnya mengenai laku hidup dan kerusakan zaman
digulirkannya melalui serat-serat (syair).
Oleh Slamet Tridadi dan Nazilatun Nihlah

edung empat lantai itu nampak


tenang di pagi hari. Beberapa
pemuda berpakaian rapi masuk
melalui pintu gerbang. Berjalan
beberapa langkah, pandangan mereka
tertuju pada sebuah patung. Itu tak lain
adalah patung monumen Ranggawarsita.
Di sebelah kiri patung itu terukir Serat
Kalatidha dalam aksara latin, dan sebelah
kanan beraksara jawa.
Melihat itu, mereka paham, Ranggawarsita bukanlah sekadar nama museum.
Dia adalah seorang pujangga, kata Sugiarto, salah seorang dari rombongan itu.
Ya, ranggawarsita adalah seorang pujangga. Dia lahir pada Senin Legi, tanggal
10 Dzulkaidah, tahun 1728, pukul 12.00,
waktu sunggang, atau 15 Maret 1802 M di
Kampung Yasadipura Surakarta. Nama
aslinya adalah Bagus Burham.
Dia adalah putra sulung Mas Panjangswara (Ranggawarsita II) yang berpangkat
Jajar yang kemudian naik menjadi Carik
(Juru Tulis) di kadipaten anom Surakarta.
Mas Panjangswara sendiriyang sangat terkenal dengan suara merdunya
merupakan putra sulung Sastranegara
(Ranggawarsita I), abdi dalem Bupati
kadipaten Anom yang juga sebagai pujangga Surakarta Hadiningrat.
Ibunya bernama Mas Ajeng Ranggawarsita sebuah nama yang dinisbatkan
kepada nama suaminya, Ranggawarsita
II. Ibu Bagus Burham adalah putri dari
Sudiradirja Gantang yang mahir dalam
seni. Terutama sekar Macapat cengok lagu
palaransebuah cengok lagu Macapatan
yang dinisbatkan dari desa kelahiranya di
Desa Palar, Trucuk, Klaten.
Ketika masih kecil, Bagus Burham
diasuh oleh Yasadipura kakek buyutnya.
Dialah yang meramalkan bahwa Bagus
Burham akan menjadi pujangga besar.
Setelah berusia empat tahun, Bagus Burhan diserahkan oleh Sastranegara kepada
Ki Tanujaya, seorang abdi kepercayaan
Sastranegara.
Di usianya yang ke 12, Bagus Burham
dikirim ke Ponorogo untuk berguru kepada Kyai Imam Besari, di pondok pesantren

22

Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo


Awalnya, Bagus Burham sangat malas
dan tidak menunjukkan kemajuan sedikitpun. Dia bahkan lebih senang berjudi
dibanding belajar. Perbuatannya itu mempengaruhi santri lain.
Akibat perbuatannya, Bagus Burham
diusir dari pesantren. dia pergi bersama
pengasuhnya Ki Tanujaya.
Sesaat setelah pergi. Kyai Imam Besari
menyuruh abdinya bernama Ki Kramaleya dan Ki Jasana untuk mencari Bagus
Burham dan Ki Tanujaya. Setelah bertemu
di Kediri, mereka berdua diajak kembali
ke Pondok Gebag Tinar. Namun rupanya
kenakalan Bagus Burham tak berkurang.
Karena itulah kemudian Kyai Imam Besari
marah habis-habisan.
Kemarahan itu ternyata menghadirkan
suasana mencekam bagi Bagus Burham. Ia
menjadi takut dan mengalami diseksistensi
jiwa yang luar biasa. Pelan-pelan Bagus
Burham insaf dan mulai rajin belajar.
Bahkan dia kerap melakukan puasa,
bertapa, semadi, dan perbuatan tirakat lain.
Kepandaian bagus burham mulai tampak,
bahkan melampaui teman-temannya. Setelah beberapa tahun dan dipandang cukup
menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lain,
Bagus Burham pulang ke Surakarta. Di
surakarta pendidikannya ditangani langsung oleh Sastranegara kakeknya.
Beranjak dewasa, pada 21 Mei 1815,
Bagus Burham diserahkan kepada panemban Buminata untuk mempelajari jaya
kajiwayan(pendidikan untuk mendapatkan
kesaktian), dan olah fisik. Setelah tamat berguru, Bagus Burham dipanggil Sri Paduka
Pakubuwana IV dan diangkat sebagai
pegawai istana.
Keluarga Pujangga
Silsilah kepujanggaan Bagus Burham
dari garis keturunan ayah bermula dari Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang. Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran
Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya. Sepuluh keturunan dari Pangeran
Benawa berakhir pada Bagus Burham.
Secara turun temurun, kakek buyutnya

Raden Yasadipura I adalah pujangga istana.


Kemudian kakeknya Sastranegara (Raden
Ngabehi Ranggawarsita I) juga seorang
pujangga pengganti ayahnya . Pajangswara
ayahnya juga seorang carik kliwon (juru
tulis)dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita II. Nama Ranggawarsita sendiri
sebenarnya merupakan nama pemberian
raja, sehubungan dengan jabatan sebagai
carik kliwon.
Jenjang kepangkatan yang pernah
dilalui Bagus Burham ialah, menjadi carik
di kadipaten Anom dengan gelar Mas Panjanganom pada 1819. Kemudian pada 1822
dinaikkan menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Kemudian pada
1830 ia diangkat menjadi carik kliwon.
Sejak saat itu, Bagus Burham lebih populer
dengan sebutan Pujangga Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Oleh raja, pada 1845 Ranggawarsita dinobatkan menjadi pujangga
istana menggantikan kakeknya.
Manjadi seorang pujangga bukan hal
mudah. Sebagaimana tertulis dalam Serat
Wirid Hidayat Jati, dengan gelar pujangga,
berarti Ranggawarsita adalah orang yang
mahir dalam hal sastra, menguasai bahasa
kawi (kesusastraan), pandai mengolah
kata-kata, menguasai dan mampu memperindah irama lagu, kaya dan mahir
bercerita, kaya akan segala ilmu dan
kepandaian lahir batin, tajam penglihatan
mata batinnya, serta memiliki daya ingat
yang kuat.
Otto Sukanto Cr, 2006, mengatakan,
kepiawaian Ranggawarsita dalam bersastra tak diragukan lagi. Karyanya sangat
banyak. Bahkan sampai sekarang belum
ditemukan jumlah pastinya. Kisarannya
adalah 60 buah, bahkan lebih. Meski secara
kuantitas belum ada kepastian, secara
kualitas sudah lebih dari cukup.
Zaman Edan
Ratune ratu utama, Patihe patih
linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare
becik-becik, paranedene tan dadi, paliyasing kala bendu, mandar mangkin andadra,
rubeda angrebedi, beda-beda ardaning
wong saknegara.
Rajanya raja yang utama, patihnya

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

memiliki banyak kelebihan, semua anak


buahnya sejahtera, pemuka masyarakatnya
baik, tapi segalanya itu tak menciptakan
kebaikan, oleh karena daya zaman
kalabendu, bahkan kerepotan-kerepotan
makin menjadi-jadi, lain orang lain pikiran
dan maksudnya.
Itulah potongan serat kalatida. Serat
yang dikategorikan dalam Serat jangka
karya sastra yang bersifat ramalan. Dalam
serat itu Ranggawarsita bercerita tentang
zaman edan.
Jika kita menarik garis ke zaman sekarang ini, syair itu akan berbunyi, Presidennya
orang berpendidikan, menterinya memiliki
banyak kelebihan, jajaran pemerintahan
dibawahnya sejahtera, namun segala
kelebihan itu tak membekaskan kebaikan.
Justru yang terjadi adalah berbagai pelanggaran.
Begitulah keadaan bangsa kita saat
ini. Di media masa banyak dikabarkan
berita korupsi oleh pemerintah, kriminal,
serta kasus-kasus lain. Kehidupan masyarakat menjadi morat-marit dan memprihatinkan.
Sulit mencari orang baik. Tercantum
dalam syair Ranggawarsita. Orang-orang
dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi,
kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat, melanggar peraturan yang benar,
kesetiaan sudah tiada terlihat. Bagi orang
yang tahu akan kebenaran, dalam hati
terasa bingung, apabila tidak turut berbuat
sesat, hidupnya akan merana, kalau ikut,
menjadi rendah budi pekertinya (Purwadi, 2004).
Pesan Ranggawarsita itu tentu bukan
main-main. Bahkan, zaman ini mungkin
akan menjadi semakin edan jika generasi
bangsa ini tak benar-benar merenungi pesan itu. Dan nampaknya perenungan itulah
yang saat ini luput dilakukan.
Otto Sukanto mengatakan, agaknya
generasi bangsa ini sedang dan telah
melupakan pesan, amanat serta nilai-nilai sosial budaya yang diamanatkan oleh
leluhur bangsa ini.

Pengabdian
Compang-camping

MIMBAR

Peran Perguruan Tinggi


Mencegah Bunuh Diri Ekologis

stilah Bunuh diri Ekologis (Ecological Suicide) digaungkan oleh John


Ormsbee Simonds dalm bukunya
Earthscape (1978). Jadi sudah semenjak lebih dari 3 dekade yang silam Simonds mengungkapkan kekhawatirannya
terhadap gejala perusakan planet bumi ini
oleh keserakahan manusia.
Konon, planet bumi ini cukup bagi seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup bagi
seorang mahluk berpredikat manusia yang
serakah. Padahal menurut ajaran agama,
tugas utama manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia adalah rahmatan lil
alamin, atau memberi rahmat bagi alam
semesta.
Namum kenyataannya justru banyak
anak manusia yang malah merusak alam.
Pantai diurug untuk pembangunan hotel.
Bukit-bukit dikepras ditanami rumah mewah. Pohon-pohon ditebang untuk permukiman dan kota baru. Isi laut dikuras.
Hutan dijarah. Bumi dikeruk. Dan yang
melakukan semua itu adalah notabene
mereka yang mendapat amanah untuk
membangun republik ini.
Nah, dimana peran perguruan tinggi untuk mencegah kecenderungan bunuh diri

gan pembangunan berkelanjutan, masih


belum banyak dipahami oleh pejabatpejabat tinggi. Memang boleh dikatakan
ilmu lingkungan di tanah air kita relatif
merupakan ilmu baru.
Kecuali itu, kendala yang cukup merisaukan adalah kendala finansial dan adminstratif, karena memang boleh dikata
tidak ada dana khusus yang cukup signifikan untuk pelestarian lingkungan kampus
agar betul-betul bisa berkelanjutan.

Oleh Eko Budihardjo

ekologis semacam itu. Apa pula masalah


dan kendala yang dihadapi. Dan bagaimana cara untuk menanggulanginya. Mari kita
coba untuk mengupasnya.
Masalah dan Kendala
Sebagai sumber ilmu, barang tentu perguruan tinggi menempati posisi kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan
menyebarluaskan teori dan ilmu tentang
pengelolaan planet bumi ini dengan landasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Batasan pengertian tentang istilah pembangunan berkelanjutan yang sudah diterima secara luas adalah Pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan
sendiri (Brundtland Commission, 1987).
Masalahnya, sebagaimana dikemukakan
oleh Leal Filho dalam tulisannya berjudul
About the Role of Universities and Their
Contribution to Sustainable Development
(2011) adalah sebagai berikut.
Pertama, pengertian tentang berkelanjutan terlalu abstrak, jauh dari kenyataan
hidup sehari-hari.
Kedua, cakupan atau ruang lingkup keberlanjutan terlalu luas dan tak ada ukuran
yang jelas.
Ketiga, kurangnya tenaga ahli yang kompeten untuk menerapkan kaidah keberlanjutan dalam tindak nyata.
Keempat, terbatasnya dana yang tersedia untuk program atau proyek keseimbangan ekologis atau pelestarian lingkungan.
Kelima, agenda untuk pembangunan
berkelanjutan bukan merupakan prioritas
atau belum menjadi arus utama (mainstream) dalam benak para penentu kebijakan.
Kendala yang dihadapi, khususnya di
perguruan tinggi-perguruan tinggi juga tidak kalah banyaknya.
Antara lain kenyataan bahwa ilmu-ilmu
lingkungan, termasuk yang berkaitan den-

Sebagai sumber ilmu, barang tentu


perguruan tinggi menempati posisi
kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan menyebarluaskan teori dan ilmu tentang
pengelolaan planet bumi ini
dengan landasan pembangunan
berkelanjutan.
Penanggulangan
Guna mencegah merebaknya kecenderungan bunuh diri ekologis, para
pimpinan perguruan tinggi (Rektor dan
para Pembantu Rektor), pimpinan Fakultas (Dekan dan para Pembantu Dekan),
pimpinan Jurusan (Ketua dan Sekretaris
Jurusan) dan pimpinan program-program
studi mesti memberi contoh keteladanan
terlebih dulu.
Tatkala saya menjadi Rektor Perguruan
tinggi Diponegoro dan mengawalinya dengan bedhol kampus dari Pleburan (luas
8 hektar) ke Tembalang (luas 213 hektar),
pertama-tama saya canangkan gerakan
Kampus Hijau. Ditetapkan bahwa Koe-

fisien Dasar Bangunan (KDB) di Kampus


Tembalang adalah 30%. Maksudnya hanya
30% lahan yang boleh digunakan untuk
bangunan dan 70% untuk Ruang Terbuka
Hijau (RTH).
Agar rencana penghijauan kampus lebih profesional, khusus saya mengundang
Prof. Dr. Soehardi, mantan Dekan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada sebagai konsultan.
Dirancangnya penghijauan kampus
yang tidak sekadar berorientasi pada keteduhan atau kerindangan tetapi juga member manfaat ekonomis, menyejahterakan
dan membahagiakan masyarakat.
Jenis pohon yang dipilih termasuk
hortikultura, dan juga tanaman yang bisa
menjadi pakan ternak. Soalnya di kampus
Tembalang banyak berkeliaran sapi-sapi
milik penduduk. Nah rencananya semua
sapi itu dikandangkan dan pakannya dipasok dari tanaman yang ditanam di kampus
Tembalang.
Selain itu dipilih jenis tanaman yang
bisa menarik kedatangan burung-burung.
Alangkah indahnya bila sambil belajar di
kelas para mahasiswa juga mendengar kicau burung. Saya ingat pendapat arsitek
lansekap dari negara Barat bahwa Park is
Urban Paradise. Taman adalah sorganya
perkotaan. Bila mahasiswa sudah merasa
sumpek di dalam kelas, lantas keluar ke
taman kampus, serasa menikmati surga.
Mendengar kicau burung, desir angin dan
dedauanan, syukur juga gemericiknya air.
Di rumah serasa di surga (Baiti Jamnati) di
taman kampus pun merasa di surga pula.
Langkah ke Depan
Langkah ke depan yang perlu dilakukan
oleh sivitas akademika Perguruan tinggi
adalah;
Pertama, Menyusun pandaun praktis
bagi segenap pemangku kepentingan tentang berbagai aras (level) pembanganan
berkelanjutan, mencegah terjadinya bunuh
diri ekologis.
Kedua, Menerapkan aturan prosedur
dan mekanisme yang jelas dengan prinsip insentif dan disinsentif, perharagaan
dan sanksi, atau sistem meritokrasi dalam
pengelolaan lingkungan.
Ketiga, Memotivasi segenap pihak agar
lebih ramah lingkungan dalam setiap kegiatannya, hemat energi dan kian efisien dalam
pemanfaatan sumbernya.
Ketiga, Mendirikan dan mengembangkan pusat-pusat studi lingkungan, penelitian tentang kursus-kursus tentang lingkungan bagi kalangan, baik di luar maupun di
dalam kalangan Perguruan tinggi itu sendiri.
Keempat, Membuat rencana, program
dan pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan
di kampus maupun di luar kampus.
Melalui langkah-langkah tersebut diatas, peran Perguruan tinggi akan amat strategis dan menonjol sebagai garda depan pelestari lingkungan dan pengemban kaidah
pembangunan berkelanjutan dalam aksi
nyata.
Insya Allah, dengan demikian maka
bencana atau musibah bunuh diri ekologis
akan dapat dicegah.
-- Prof.Ir.H. Eko Budihardjo, MSc,
Guru Besar Arsitektur,
Mantan Rektor Universitas Diponegoro

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

23

Pengabdian
Compang-camping

SOSOK

Abdul Muti

Cari Saja Titik Temunya


B

ukankah Islam dan Hindu samasama menyembah batu? tanya


seorang kawan beragama Hindu
kepada Muti. Ia tak lekas menjawab. Yang
ia pikirkan ketika itu ialah, bagaimana
memberi penjelasan dengan bahasa yang
bisa diterima kawannya, tapi tak bertentangan dengan keyakinannya sendiri.
Sama ketika di Australia. Kawan Muti
yang kebetulan aktifis Hak Binatang mengatakan, Islam itu agama kanibal. Hampir
di setiap ritual keagamaan ada prosesi penyembelihan.
Bukankah binatang punya hak hidup? tanya kawan itu.
Muti menjawab berdasar keyakinannya. Karena binatang tak punya akal, katanya.
Kalau yang setiap tak punya akal boleh dibunuh, apakah orang gila dan idiot
juga boleh dibunuh? balas kawan Muti
lagi.
Muti bisa saja membantah, bahkan
memusuhi, tapi itu urung dilakukan. Ia
tetap menghormati keyakinan kawannya
yang berbeda itu.
Sikap semacam itulah yang menurut
Muti harus ditanamkan pada setiap diri,
terutama bagi masyarakat multi kultural
seperti Indonesia. Banyak sekali perbedaan yang harus disikapi dengan bijaksana, mulai dari keberagaman suku, ras,
budaya, agama, bahkan paham agama.
Selama ini, menurut Muti, keberagaman itu belum diformulasikan menjadi
gerakan kultural yang khas Indonesia. Masyarakat melihat perbedaan lebih sebagai
kenyataan sosial dibanding sebagai proses
rekayasa sosial.

24

Misal, pertemuan seseorang dengan


orang lain yang beda paham, itu lebih karena kebetulan. Bukan karena kesengajaan
atau rekayasa pertemuan. Di balik ketidak
sengajaan itu, mereka tidak memiliki dasar
filosofis bagaimana harus menyikapi perbedaan. Padahal mereka yang berbeda itu
tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Berangkat dari kenyataan itu, Muti
merasa tertarik untuk membangun kegiatan kultural. Langkahnya, dengan membangun kesadaran masyarakat akan adanya kemajemukan. Masyarakat diharapkan
memiliki kearifan untuk menyikapi segala
perbedaan dengan sikap saling memahami.
Dalam setiap perbedaan, menurutnya,
ada satu titik temu. Misalnya NU dan Muhammadiyah. Meskipun praktik ibadah
mereka berbeda, mereka punya satu visi
yang sama. Mereka sama-sama konsen untuk memberantas terorisme dan korupsi.
Keduanya bisa bekerja sama membangun gerakan moral anti korupsi, katanya.
Itulah yang musti disadari. Sebab berbagai perselisihan di negeri ini terjadi
kebanyakan karena masyarakat salah menyikapi perbedaan. Yang mereka cari bukan titik temu, melainkan jurang pemisah.
Aktifis Kemanusiaan
Secara pribadi, Muti adalah sosok
yang peduli soal kemanusiaan. Langkah
yang ditempuh, salah satunya dengan
bergabung dalam Forum Kemanusiaan Indonesia. Melalui forum itu, ia bisa melakukan banyak hal menyangkut kemanusiaan,
seperti menghimpun dana kemanusiaan,
melakukan penyuluhan, dan lain-lain.

Perhatiannya terhadap masalah kemanusiaan membuatnya dipercaya menjadi


tim seleksi anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNASHAM).
Ia juga kerap terbang ke luar negeri untuk mengisi beberapa seminar. Bagi kalangan intelektual, namanya sudah tak asing.
Bahkan ketika masih di Australia, nama
Abdul Muti melambung lantaran jabatan
yang disandangnya sebagai Presiden Islamic Assosiation The Flinders University di
Australia Selatan.
Meski begitu, sosoknya tetap mengutamakan kesederhanaan. Itu yang dipesankan orangtua saya, katanya. Dalam segala hal, ia mencoba tampil sederhana.
Namun, ada satu hal yang baginya
tak boleh sederhana. Yaitu soal buku. Kebiasaan itu sudah ditanamkannya sejak
kuliah. Ceritanya, ketika masih semester
tiga dulu, ia masih memakai celana abuabu seragamnya SMA. Ketika punya uang,
ia lebih memilih membeli buku dibanding
membeli celana.
Pakaian bisa sederhana, tapi buku tidak! katanya.
Hammidun Nafi S

Nama: Dr. H. Abdul Muti, M.Ed


Pendidikan: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang (1991), Master
of Education (MEd) School of Education, the Flinders University Of South
Australia (1997), Program Doktor UIN
Syarif Hidayatullah Ciputat (2008)
Organisasi: Surat Kabar Mahasiswa
Amanat (1991), Ketua Umum Dewan
Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah
1993-1994,

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Presiden Islamic Association The


Flinders University of South Australia
1995-1997, Wakil Sekretaris Tim Penanggulangan Terorisme Depag RI 2006.
Karya: Hak Azasi Pendidikan murah
Manusia (2008), Muhammadiyah Progresif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda
Muhammadiyah (2007), Muhammadiyah
Politik Islam Inklusif murah (2006), Paradigma Pendidikan Islam (2001), Deformalisasi Islam (2004), Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim Kristen
Dalam Pendidikan (Juni, 2009), Inkulturasi Islam (September 2009).

Anda mungkin juga menyukai