Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Emulsi
1.1.1 Definisi Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika yang mengandung
paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai
globul dalam fase cair lain. Sistem ini dibuat stabil dengan bantuan suatu zat pengemulsi
atau emulgator (Martin, 1993). Pada emulsi farmasetik, fasa yang digunakan biasanya air
dan fasa yang lainnya adalah minyak, lemak, atau zat-zat seperti lilin (Lund, 1994).
Sistem emulsi minyak dalam air (M/A) adalah sistem dengan fasa terdispersinya (fasa
diskontinyu) adalah minyak dan fasa pendispersinya (fasa kontinyu) adalah air. Sebaliknya,
emulsi air dalam minyak (A/M) adalah emulsi dengan air sebagai fasa terdispersi dan
minyak sebagai fasa pendispersinya. Selain dua tipe emulsi yang telah disebutkan
sebelumnya, ada suatu sistem emulsi yang lebih kompleks yang dikenal dengan emulsi
ganda misalnya pada emulsi M/A, di dalam globul minyak yang terdispersi dalam fase air
terdapat globul air sehingga membentuk emulsi A/M/A. Sebaliknya, apabila terdapat
globul minyak di dalam air pada emulsi A/M akan membentuk emulsi M/A/M. Pembuatan
emulsi ganda ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk memperpanjang kerja obat, untuk
makanan, dan untuk kosmetik.
Emulsi memiliki viskositas yang bervariasi dari cairan hingga semi solida. Secara umum,
istilah emulsi lebih dikenal sebagai sediaan cair yang ditujukan untuk pemberian oral.
Emulsi yang ditujukan untuk penggunaan eksternal biasanya lebih dikenal dengan nama
krim, losion, atau obat gosok.
Emulsi yang diberikan dengan cara topikal memiliki diameter ukuran globul yang berkisar
antara 0,1 100 m (Lund, 1994).

1.1.2 Teori Emulsifikasi


Bila dua buah cairan yang saling tidak bercampur dimasukkan bersama dalam suatu
wadah, maka akan terbentuk dua lapisan yang terpisah. Hal ini disebabkan karena gaya
2

3
kohesi antara molekul-molekul dari tiap cairan yang memisah lebih besar daripada gaya
adhesi antara kedua cairan (Martin, 1993). Proses pengadukan akan menyebabkan suatu
fasa terdispersi dalam fasa yang lain dan akan memperluas permukaan globul sehingga
energi bebasnya semakin besar. Fenomena inilah yang menyebabkan sistem ini tidak stabil
secara termodinamika. Stabilisasi sistem emulsi dapat dicapai dengan suatu zat pengemulsi
(emulsifying agent). Fasa mana yang akan menjadi fasa terdispersi dan fasa pendispersi
yang akan terbentuk tergantung dari komposisinya dalam sistem. Fasa yang memiliki
komposisi lebih banyak daripada yang lainnya akan menjadi fasa pendispersi (Lund, 1994).
Usaha stabilisasi globul-globul kecil fasa terdispersi dalam emulsi dapat dilakukan dengan
cara

mencegah

kontak

antara

sesama

globul

dengan

menggunakan

zat

pengemulsi/emulgator. Ada beberapa mekanisme kerja zat pengemulsi dalam pembentukan


emulsi, yaitu menurunkan tegangan antara muka air dan minyak, pembentukan film antar
muka yang menjadi halangan mekanik untuk mencegah koalesensi, pembentukan lapisan
rangkap elektrik yang menjadi halangan elektrik pada waktu partikel berdekatan sehingga
tidak akan bergabung, dan melapisi lapisan minyak dengan partikel mineral.
Zat pengemulsi yang lazim digunakan untuk pembentukan emulsi dibagi menjadi 4
kelompok yaitu elektrolit, surfaktan, koloid hidrofil, dan partikel padat halus. Pemilihan zat
pengemulsi dalam suatu formulasi emulsi biasanya didasarkan pada pertimbangan
stabilitas selama penyimpanan, jenis emulsi yang akan dihasilkan, dan harga zat
pengemulsi tersebut dari segi ekonomisnya (Agoes, 1990).
a. Elektrolit
Zat pengemulsi yang termasuk kelompok elektrolit merupakan zat pengemulsi yang
kurang efektif. Beberapa elektrolit anorganik sederhana seperti KCNS jika
ditambahkan ke dalam air dalam konsentrasi rendah akan memungkinkan terbentuknya
dispersi encer minyak dalam air (M/A) yang lebih dikenal sebagai oil hydrosol. Ion
CNS- menimbulkan potensial negatif minyak pada antar muka.
b. Surfaktan
Senyawa ini memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan antar muka minyak dan
air dengan membentuk lapisan film monomolekuler pada permukaan globul fase
terdispersi. Ada beberapa jenis surfaktan berdasarkan muatan ionnya, yaitu surfaktan
anionik, surfaktan kationik, dan surfaktan non ionik.

4
Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofil anion, contohnya
Na-lauril sulfat, Na-oleat, dan Na-stearat. Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang
memiliki gugus hidrofil kation, contohnya Zehiran klorida dan setil trimetil amonium
bromida. Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang gugus hidrofilnya non ionik,
contohnya Tween 80 dan Span 80.
c. Koloid Hidrofil
Zat pengemulsi ini diadsorpsi pada antar muka minyak-air dan membentuk lapisan film
multimolekuler di sekeliling globul terdispersi. Beberapa contoh kelompok ini adalah
protein, gom, amilum dan turunan dari zat sejenis dekstrin, metil selulosa, dan beberapa
polimer sintetik seperti polivinil alkohol.
d. Partikel Padat Halus Tidak Larut
Zat pengemulsi ini akan teradsorpsi pada antar muka minyak-air dan akan membentuk
lapisan film mono dan multimolekuler oleh adanya partikel halus yang teradsorpsi pada
antar muka minyak-air. Contohnya adalah bentonit dan veegum.

1.1.3 Ketidakstabilan Emulsi


Emulsi yang secara termodinamika tidak stabil umumnya disebabkan oleh tingginya energi
bebas permukaan yang terbentuk. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatannya luas
permukaan salah satu fase akan bertambah berlipat ganda, sedangkan seluruh sistem
umumnya cenderung kembali kepada posisinya yang paling stabil, yaitu pada saat energi
bebasnya paling rendah. Oleh karena itu, globul-globul akan bergabung sampai akhirnya
sistem memisah kembali. Berdasarkan fenomena tersebut dikenal beberapa peristiwa
ketidakstabilan emulsi yaitu flokulasi, creaming, koalesen, dan demulsifikasi.
Flokulasi dan creaming terjadi karena penggabungan kembali globul terdispersi yang
disebabkan oleh adanya energi bebas permukaan. Flokulasi adalah suatu peristiwa
terbentuknya kelompok-kelompok globul yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi,
sedangkan creaming merupakan suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan
konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi. Lapisan-lapisan tersebut terjadi karena
pengaruh faktor gravitasi. Pada kedua peristiwa tersebut, emulsi masih dapat diperbaiki
melalui pengocokan.
Koalesen dan demulsifikasi terjadi bukan semata-mata karena energi bebas pemukaan,
tetapi juga disebabkan oleh ketidaksempurnaan pelapisan globul. Koalesen adalah

5
peristiwa terjadinya penggabungan globul-globul menjadi lebih besar, sedangkan
demulsifikasi terjadi akibat proses lanjutan dari koalesen. Untuk kedua peristiwa ini,
emulsi tidak dapat diperbaiki melalui pengocokan.
Ketidakstabilan emulsi yang lain adalah terjadinya inversi fasa. Inversi fasa terjadi bila
emulsi yang semula merupakan emulsi minyak dalam air berubah menjadi emulsi air dalam
minyak. Inversi fasa dapat terjadi karena jumlah fasa terdispersi ditingkatkan hingga
mencapai atau melebihi batas maksimum yaitu 74% dari volume total, perubahan suhu,
atau penambahan bahan yang dapat mengganggu kestabilan emulsi. Inversi fasa juga dapat
terjadi karena penggunaan peralatan yang kotor atau prosedur pencampuran yang salah
(Lund, 1994).

1.1.4 Evaluasi Emulsi


Stabilitas dan ketahanan suatu emulsi dapat diuji melalui beberapa tahapan evaluasi.
Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan emulsi antara lain pemeriksaan organoleptik,
penentuan tipe emulsi, ukuran globul, viskositas sediaan, dan uji stabilita dengan metode
freeze-thaw. Evaluasi penampilan/organoleptik emulsi dilakukan dengan mengamati
terjadinya pemisahan fasa atau pecahnya emulsi, bau tengik, dan perubahan warna.
Penentuan tipe emulsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu uji kelarutan zat warna dan uji
pengenceran (Martin, 1990). Uji kelarutan zat warna dilakukan dengan menggunakan zat
warna larut air seperti metilen biru atau biru brillian CFC yang diteteskan pada permukaan
emulsi. Jika zat warna terlarut dan berdifusi homogen pada fase eksternal yang berupa air,
maka tipe emulsi adalah M/A. Jika zat warna tampak sebagai tetesan di fase internal, maka
tipe emulsi adalah A/M. Hal yang terjadi adalah sebaliknya jika digunakan zat warna larut
minyak (Sudan III). Uji pengenceran (Martin, 1990) dilakukan dengan cara mengencerkan
emulsi dengan air. Jika emulsi tercampur baik dengan air, maka tipe emulsi adalah M/A.
Sebaliknya jika air yang ditambahkan membentuk globul pada emulsi maka tipe emulsi
adalah A/M. Stabilitas emulsi dapat dilihat dengan uji stabilita pada kondisi freeze and
thaw. Emulsi harus tetap stabil tanpa adanya pemisahan pada suhu 45oC atau 50oC selama
60 hingga 90 hari, pada suhu 37oC selama 5 hingga 6 bulan, dan pada suhu kamar selama
12 hingga 18 bulan. Evaluasi ini dapat juga dilakukan dengan menyimpan sediaan pada
dua suhu yang berbeda yaitu 4oC dan 40oC selama 6-8 siklus. Satu siklus terdiri dari
penyimpanan selama 48 jam pada suhu 4oC dan 48 jam pada suhu 40oC.

6
1.2 Mikroemulsi
1.2.1 Definisi Mikroemulsi
Mikroemulsi didefinisikan sebagai sistem yang terdiri dari air, minyak, dan ampifil yang
isotropik optik tunggal (single optically isotropic) dan secara termodinamika merupakan
larutan cair yang stabil (Lieberman, 1988).
Mikroemulsi terdiri dari globul-globul yang berdiameter 10 200 nm (Prince, 1977).
Globul seperti ini tidak dapat membiaskan cahaya dan tidak dapat dilihat secara kasat mata
sehingga mikroemulsi merupakan sistem yang transparan (Lund, 1994). Globul pada
mikroemulsi dilapisi oleh film pada batas antarmuka yang berasal dari surfaktan dan
alkohol (sebagai kosurfaktan). Evaluasi stabilita dengan metode freeze thaw yang
dilakukan berulang kali dapat membedakan antara mikroemulsi dengan emulsi biasa.
Mikroemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamika sehingga bila dilakukan
evaluasi stabilita dengan metode freeze and thaw sediaan akan tetap jernih dan tidak
mengalami pemisahan fasa, sedangkan pada emulsi akan terjadi pemisahan fasa karena
sistemnya yang tidak stabil secara termodinamika.

1.2.2 Sifat fisika mikroemulsi


Jika dibandingkan dengan sistem emulsi biasa, mikroemulsi dapat dibedakan karena globul
fase terdispersi mempunyai ukuran yang sangat kecil. Mikroemulsi dan larutan miselar
tidak terlihat putih susu, melainkan translusen atau transparan dan tidak mengalami
pemisahan. Selain itu, mikroemulsi juga memberikan efek Tyndall. Metode pengukuran
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroemulsi adalah dengan penghamburan
cahaya (light scattering), pengukuran berdasarkan perbedaan indeks bias (optical
birefringence), sedimentasi, sentrifugasi, rheology, konduktivitas, dan resonansi magnetik
inti (RMI). Mikroskop cahaya tidak dapat digunakan dalam pengukuran mikroemulsi
karena hanya dapat digunakan untuk melihat partikel dengan ukuran lebih besar dari 0,2
m. Stabilitas mikroemulsi dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap terjadinya
sedimentasi dan koalesen. Ada tiga cara untuk mengukur kecepatan sedimentasi yaitu
dengan mengukur kecepatan sedimentasi akibat pengaruh gravitasi dengan menyimpan
sediaan pada kondisi normal (tidak diberi perlakuan apapun), cara sentrifugasi,

atau

dengan ultrasentrifugasi. Jika sampel emulsi tidak menunjukkan pemisahan setelah


disentrifugasi beberapa menit dengan kecepatan sentrifugasi 100 G, dapat dikatakan bahwa
telah terbentuk mikroemulsi. Mikroemulsi tidak akan mengalami koalesen karena adanya

7
gerakan Brown dalam sistem yang mencegah globul-globul mikroemulsi bersatu
menghasilkan creaming. Efektivitas gerakan Brown dapat diuji dengan cara melakukan
ultrasentrifugasi pada 130,000 G. Meskipun setelah proses sentrifugasi dihasilkan globulglobul yang mengendap, namun globul-globul ini tidak berkoalesen dan akan kembali ke
kondisi awalnya jika didiamkan (Lissant, 1984).

1.2.3 Formulasi mikroemulsi


Suatu mikroemulsi umumnya dibentuk dari kombinasi oleh tiga sampai lima komponen,
terdiri dari fase eksternal, fase internal, dan fase interfasial (Swarbrick, 1995). Fase
eksternal atau fase pendispersi umumnya merupakan bagian cairan dengan jumlah lebih
banyak, sedangkan cairan yang kedua akan terdispersi dalam bentuk globul-globul halus.
Dalam hal-hal tertentu mungkin dapat menjadi fase dalam atau sebaliknya. Misalnya
sistem mikroemulsi tersebut adalah M/A, akan dapat diubah menjadi A/M atau sebaliknya
mikroemulsi A/M menjadi M/A, tergantung jumlah fase terdispersi dan pendispersi. Fase
internal atau fase terdispersi terdiri dari globul-globul cairan yang terdispersi dalam fase
luar. Fase interfasial terdiri dari surfaktan primer, terkadang dibantu dengan surfaktan
sekunder (dapat disebut sebagai kosurfaktan). Peranan utama komponen interfasial ini
adalah sebagai penstabil mikroemulsi.
Sistem mikroemulsi umumnya lebih sulit untuk diformulasi dibandingkan dengan emulsi
biasa, karena pembentukan sistem ini merupakan proses yang sangat spesifik yang
melibatkan interaksi spontan antara molekul-molekul penyusunnya. Struktur asosiasi yang
dihasilkan dari komponen-komponen ini pada suhu tertentu tergantung tidak hanya dari
struktur kimia komponen penyusun namun juga dari konsentrasi yang digunakan.
Tahap yang paling menentukan dalam pembuatan mikroemulsi adalah pemilihan surfaktan
dan kosurfaktan yang sesuai dengan fase minyak yang digunakan. Surfaktan yang dipilih
harus mampu menurunkan tegangan antarmuka kedua fase sampai nilai yang sangat
rendah, sehingga memudahkan proses dispersi pada pembuatan mikroemulsi dan dapat
membuat lapisan film tipis yang akan melapisi globul-globul yang terbentuk. Lapisan tipis
dari surfaktan yang digunakan harus memiliki nilai hidrofilik-lipofilik yang sesuai pada
daerah antarmuka supaya dihasilkan mikroemulsi tipe A/M ataupun M/A yang diinginkan
(Swarbrick, 1995).

8
Penggunaan surfaktan tunggal terkadang tidak dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka
antara fase minyak-air sampai nilai yang mencukupi untuk dihasilkan mikroemulsi. Oleh
sebab itu, dapat dilakukan penambahan kosurfaktan yang membantu menurunkan nilai
tegangan antarmuka fase minyak dan fase air sehingga menjadi lebih rendah.

1.2.4 Teori pembentukan mikroemulsi


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme pembentukan
mikroemulsi dan stabilitas yang dimiliki oleh sistem tersebut. Salah satu teori yang
menjelaskan mekanisme pembentukan mikroemulsi adalah teori film campuran (mixedfilm), yang menyatakan bahwa mikroemulsi dapat terbentuk karena adanya pembentukan
lapisan film campuran pada daerah antar muka dan tegangan antar muka yang dihasilkan
sangat rendah. Namun ada juga teori yang menyatakan bahwa sistem mikroemulsi adalah
sistem yang secara alami merupakan sistem fase tunggal (teori solubilisasi). Namun tidak
semua teori tersebut dapat menjelaskan secara keseluruhan aspek struktur dan stabilitas
mikroemulsi yang terbentuk (Swarbrick, 1995).
Teori film campuran mengatakan bahwa pembentukan spontan globul mikroemulsi terjadi
karena pembentukan film kompleks pada antarmuka air-minyak oleh surfaktan dan
kosurfaktan. Hal ini menyebabkan penurunan tegangan antarmuka air-minyak hingga nilai
paling rendah (dari nol hingga negatif). Persamaan yang digunakan untuk menjelaskan
teori tersebut adalah:

i = o/w - i
dengan o/w adalah tegangan antar muka minyak-air tanpa adanya lapisan film. Ketika ada
penambahan surfaktan dan kosurfaktan yang teradsorpsi kemudian terbentuk lapisan antar
muka sehingga menyebabkan tekanan sebar (spreading pressure/i) akan menjadi lebih
besar dari o/w, sehingga dihasilkan nilai tegangan antar muka yang negatif. Energi yang
dihasilkan karena pemanasan dan pengadukan terhadap sistem akan meningkatkan luas
permukaan globul sehingga ukuran globul dapat semakin diperkecil. Nilai tegangan antar
muka yang negatif dihasilkan karena adanya pengadukan, namun fenomena ini hanya
terjadi dalam waktu yang singkat. Setelah kesetimbangan tercapai, nilai tegangan antar
muka akan menjadi nol atau memiliki nilai positif yang sangat kecil. Penambahan alkohol
yang berpartisi pada lapisan antarmuka dapat menyebabkan penurunan o/w secara

9
signifikan dari besaran normalnya sekitar 50 mN m-1 ke nilai (o/w) sekitar 15 mN m-1
(Swarbrick, 1995).
Teori lain yang menjelaskan teori pembentukan mikroemulsi adalah teori solubilisasi
(Solubilization Theories) yang mengatakan bahwa mikroemulsi merupakan larutan
monofasa dari misel-misel sferis dalam air (water-swollen (w/o)) atau dalam minyak (oilswollen (o/w)) dan stabil secara termodinamika.

1.2.5 Keuntungan mikroemulsi


Mikroemulsi dibuat menggunakan zat tambahan yang sesuai untuk formulasi obat yang
kelarutannya sangat kecil atau tidak larut di dalam air. Mikroemulsi memiliki kemampuan
untuk melarutkan lebih tinggi dibandingkan dengan solubilisasi miselar. Stabilitas
termodinamika mikroemulsi lebih stabil bila dibandingkan dengan emulsi dan suspensi,
karena mikroemulsi dapat dibuat dengan menggunakan input energi yang lebih kecil
(seperti pemanasan atau pengadukan) namun memiliki usia simpan (shelf life) yang
panjang. Selain itu, sediaan dalam bentuk mikroemulsi umumnya lebih disukai karena
sifatnya yang transparan sehingga lebih menarik minat dari konsumen (Swarbrick, 1995).
Beberapa sediaan mikroemulsi yang sudah ada di pasaran yaitu mikroemulsi CarnaubaWax, minyak pelumas, parfum, cairan pembersih, formula antiseptik, kosmetik dan
toiletries, dan sediaan farmasi.

1.3 Kulit
Kulit merupakan salah satu organ karena terdiri dari jaringan yang bergabung secara
struktural dan membentuk fungsi spesifik. Kulit merupakan salah satu organ terbesar tubuh
yang berkaitan dengan luas permukaan tubuh. Pada orang dewasa, luas permukaan kulitnya
kurang lebih 2 m2 dan menerima sekitar sepertiga peredaran darah dalam tubuh. Kulit
memiliki ketebalan sekitar 2,97 0,28 mm dan berfungsi untuk melindungi jaringan
sirkulasi darah dan organ-organ penting dalam tubuh dari pengaruh lingkungan luar.

1.3.1 Anatomi kulit


Kulit terdiri dari dua bagian utama. Lapisan yang terluar adalah lapisan epidermis, yaitu
lapisan tipis yang tersusun dari sel-sel epitelium. Epidermis dihubungkan ke bagian yang
lebih dalam dan lebih tebal, yaitu jaringan penghubung yang disebut dermis. Di bawah

10
dermis adalah lapisan subkutan yang disebut hipodermis yang terdiri dari jaringan areolar
dan jaringan adiposa (Martini, 2001).
Lapisan epidermis merupakan lapisan epitel terluar yang terdiri dari 5 lapisan dan
berfungsi sebagai pelindung terhadap pengaruh luar. Urutan lapisan tersebut dari dalam ke
luar adalah stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan
stratum korneum.
Stratum basal/stratum germinativum merupakan lapisan terdalam yang terdiri dari sel-sel
berbentuk kolumnar dan kuboid yang mampu mengalami pembelahan sel-sel. Sel pada
lapisan ini mampu membelah dan bermultiplikasi untuk memperbaharui lapisan epidermis
secara berkesinambungan. Ketika sel-sel ini bermultiplikasi, sel-sel ini akan terdorong ke
permukaan dan menjadi bagian dari lapisan selanjutnya. Pada lapisan ini terdapat pigmen
melanin yang berperan dalam memberikan warna pada kulit dan sel-sel Merkel yang peka
terhadap sentuhan. Selain itu, lapisan ini juga membentuk jalinan-jalinan epidermal dengan
pola tertentu yang kita kenal sebagai sidik jari (Martini, 2001).
Stratum spinosum merupakan lapisan epidermis yang terdiri dari 8-10 sel polihedral yang
tersusun berdekatan satu sama lain. Di antara sel tersebut terdapat jembatan antar sel yang
disebut desmosom yang dapat pecah sehingga melanosit dan leukosit dapat bermigrasi.
Permukaan sel ini mengandung penonjolan yang berbentuk seperti duri.
Stratum granulosum merupakan tempat terjadinya aktivitas biokimia dan perubahan
morfologi sel, sehingga pada zona ini terdapat campuran sel yang hidup dengan sel keratin
yang mati. Lapisan ini mengandung 3-5 deret sel-sel yang pipih. Pada lapisan ini terdapat
keratohialin yang menghasilkan keratin, yaitu suatu protein yang tidak tembus air.
Stratum lusidum secara normal hanya ditemukan pada kulit yang tebal pada telapak tangan
dan telapak kaki. Lapisan ini tidak terdapat pada kulit yang tipis. Stratum lusidum terdiri
dari 3-5 baris sel-sel yang bening, rata dan telah mati yang mengandung senyawa yang
disebut eleidin. Eleidin ini dibentuk dari keratohialin dan akhirnya diubah menjadi keratin.
Stratum lusidum merupakan lapisan transparan dengan kandungan hialin minimum.
Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang sangat menentukan penetrasi perkutan.
Lapisan ini terdiri dari 15-30 lapisan sel-sel yang kompak, rata, kering dan mengandung
keratin datar dan sel mati. Sel-sel ini dilepaskan dan digantikan terus-menerus oleh sel dari
lapisan di bawahnya. Kadar air lapisan stratum korneum hanya sekitar 20% dibandingkan
terhadap kadar air normal standar fisiologi sebanyak 70% pada lapisan stratum
germinativum yang aktif yang merupakan lapisan regeneratif dari keseluruhan lapisan

11
epidermis. Kulit manusia terdiri dari 10-70 folikel rambut dan 200-250 kelenjar keringat
untuk setiap cm2 luas permukaan tubuh. Stratum korneum merupakan penyangga yang
efektif untuk melawan gelombang panas dan cahaya, serangan mikroorganisme dan
senyawa kimia. Fungsi stratum korneum sebagai penyangga ditentukan oleh tiga faktor,
yaitu lokalisasi dari penyangga tersebut, model dua kompartemen stratum korneum, dan
hubungan antara struktur lemak dan fungsi penyangga. Stratum korneum masih dapat
ditembus oleh air meskipun lapisan ini resisten terhadap air. Air yang berasal dari cairan
intestinal dapat berpenetrasi secara perlahan ke permukaan kulit dan menguap ke udara.
Proses ini disebut dengan perspirasi (penguapan). Setiap harinya, sebanyak 500 ml air
dapat keluar dari tubuh manusia melalui penguapan ini (Martini, 2001). Gangguan pada
stratum korneum dapat disebabkan antara lain oleh defisiensi asam lemak esensial, kulit
yang kering dan penyakit pada lapisan epidermis yang akan mengganggu penetrasi obat
melalui kulit.
Lapisan dermis disusun oleh jaringan konektif yang mengandung serabut kolagen dan
elastis. Satu perlima bagian atas dermis dinamakan lapisan papila yang permukaan atasnya
diperluas oleh dermal papila sehingga disebut dermal papila yang mengandung kapiler dan
korpuskel sentuhan yang disebut korpuskel Meisner, yaitu ujung saraf yang sensitif
terhadap sentuhan (Martini, 2001).
Lapisan subkutan (hipodermis) terletak di bawah dermis dan mengandung jaringan adiposa
dalam jumlah besar, membentuk agregat dengan jaringan kolagen membentuk ikatan yang
lentur antara struktur kulit pada lapisan dalam dengan lapisan permukaan.

1.3.2 Fisiologi kulit


Kulit memiliki permeabilitas yang sangat terbatas terhadap air. Penyangga yang mengatur
pelepasan lembab air dan penetrasi lembab ke dalam tubuh tidak langsung terdapat pada
permukaan kulit, tetapi berada di bawah lapisan korneal dan disebut membran Rein
(Reins barrier). Jaringan yang terletak di bawah membran ini tersambungkan dengan
kapiler-kapiler darah pada kulit, memiliki aliran darah normal, dan memiliki kadar air
sekitar 70-80%. Sedangkan kadar air pada lapisan korneal yang terletak di atas membran
ini sekitar 10%. Keringnya lapisan kulit terluar ini secara fisiologi sangat berarti karena
berguna dalam sistem pertahanan. Selain itu, kadar air yang rendah pada permukaan kulit
akan menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Kadar air pada lapisan korneal juga

12
tidak boleh terlalu rendah, karena elastisitas lapisan korneal terantung pada kadar air. Jika
terlalu kering, kulit akan menjadi rapuh. Kadar air pada lapisan korneal ditentukan oleh
kecepatan pemasukan dan pengeluaran air. Walaupun membran Rein bersifat tidak
permeabel terhadap cairan, tetapi uap air masih dapat meresap ke dalam lapisan ini.
Hilangnya air dari kulit dipengaruhi oleh kelembaban udara. Permukaan lapisan korneal
mengandung senyawa hidrofilik dan lapisan sebaseus, sehingga lapisan korneal tidak akan
mengalami kekeringan walaupun kelembaban atmosfer sangat rendah. Seperti jaringan
hidup lainnya, kulit juga membutuhkan oksigen dan melepaskan karbon dioksida. Kulit
mengambil oksigen dari lingkungan sekitarnya hanya dalam jumlah sedikit, sedangkan
oksigen terbanyak diperoleh dari aliran darah. Karbon dioksida yang dihasilkan juga hanya
sedikit yang dilepaskan ke atmosfer, sedangkan sisanya akan dilepaskan melalui darah.
Pernafasan yang dilakukan oleh kulit terbatas jika dibandingkan dengan pernafasan yang
dilakukan paru-paru, namun kulit tetap membutuhkan oksigen yang diperoleh langsung
dari udara walaupun jumlahnya hanya sedikit. Kulit yang sehat mempunyai pH asam
lemah. Hasil penelitian menunjukkan pH dari cairan di sekitar permukaan kulit umumnya
berkisar antara 4-6. Nilai ini bervariasi untuk setiap individu. Mantel asam berperan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Istilah mantel asam diberikan bukan karena
harga pH yang rendah, tetapi karena adanya senyawa spesifik yang memproduksi asam.
Hal ini didukung oleh hasil penemuan yang menunjukkan bahwa lemak pada kulit juga
mengandung asam yang memiliki efek fungisidal (asam jenuh) dan bakterisidal (asam tak
jenuh). Selain itu, kapasitas dapar dan kemampuan mantel asam untuk beregenerasi juga
berperan penting dalam memberikan perlindungan (Martini, 2001).

1.3.3 Fungsi kulit


Kulit atau sistem peliput berfungsi antara lain sebagai pengatur suhu tubuh, pelindung,
penerima rangsang, ekskresi, dan sintesis vitamin D. Dalam mengatur suhu, jika suhu
lingkungan lebih tinggi dari suhu tubuh, maka hipothalamus akan memberikan tanggapan
dengan menstimulasi pengeluaran keringat melalui kelenjar sudoriferus yang akan
menurunkan suhu tubuh ke suhu normal kembali. Perubahan aliran darah ke kulit juga
merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh.
Dalam fungsi perlindungan dan penerima rangsang, kulit menutupi seluruh permukaan
tubuh dan merupakan penyangga fisik yang melindungi jaringan di bawahnya dari gesekan
fisik, serangan bakteri, dehidrasi dan radiasi ultraviolet. Kulit juga banyak mengandung

13
syaraf-syaraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan suhu,
sentuhan, tekanan dan nyeri. Selain memroduksi keringat yang membantu menurunkan
suhu tubuh, kulit juga membantu mengekskresikan sejumlah kecil air, garam-garam, dan
senyawa organik tertentu. Kulit juga berperan penting dalam sintesis vitamin D. Dalam
kulit, senyawa prekursor 7-dehidrokolesterol diubah menjadi kolekalsiferol (vitamin D3)
dengan adanya radiasi UV. Kolekalsiferol diubah menjadi 25-hidroksikolekalsiferol di
dalam hati. Senyawa ini kemudian diubah menjadi 1,25-hidroksikolekalsiferol (kalsitriol)
di ginjal, bentuk paling aktif dari vitamin D3 yang menstimulasi absorpsi kalsium dan
fosfor dari makanan (Martini, 2001).

1.3.4 Absorpsi obat melalui kulit


Absorpsi senyawa obat melalui kulit dapat menjadi suatu cara yang efektif. Pertahanan
utama terhadap penetrasi senyawa obat adalah stratum korneum. Apabila keadaan stratum
korneum tersebut utuh, maka penetrasi obat ke dalam kulit akan berlangsung secara
perlahan-lahan, sedangkan bila dalam keadaan terganggu, seperti terbakar atau terluka,
permeabilitas stratum korneum akan meningkat.
Obat berpenetrasi ke dalam epidermis melalui rute transepidermal dan komponen obat
tersebut dapat melewati sel-sel epidermal dengan cara menembus ataupun dengan cara
melewati ruang-ruang di antara sel-sel epidermis. Selain rute transepidermal, senyawa obat
dapat berpenetrasi melalui rute transapendageal, seperti folikel-folikel rambut atau
kelenjar-kelenjar sebasea. Walaupun rute transapendageal lebih efektif, rute transepidermal
tetap lebih penting karena permukaan kulit hanya mengandung sejumlah kecil folikelfolikel rambut dan kelenjar-kelenjar keringat (Swarbrick, 1995).
Faktor fisiologik yang mempengaruhi absorpsi obat melalui kulit adalah keadaan dan umur
kulit, aliran darah, tempat pengolesan, serta kelembaban dan suhu.
a. Keadaan dan umur kulit
Kulit dalam keadaan utuh merupakan suatu sawar difusi yang efektif dan efektivitasnya
akan berkurang apabila terjadi kerusakan pada stratum korneum. Pada keadaan
patologis yang ditandai oleh perubahan sifat stratum korneum, maka permeabilitas kulit
akan meningkat. Proses difusi obat ke dalam kulit pun tergantung pada umur subyek
dengan ketentuan kulit anak-anak lebih permeabel dibandingkan kulit orang dewasa.

14
b. Aliran darah
Perubahan debit darah ke kulit secara nyata dapat mengubah kecepatan penembusan
molekul. Apabila kulit dalam keadaan luka, maka jumlah yang menembus jauh lebih
banyak dan peranan debit darah menjadi faktor penentu.
c. Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama akan berbeda tergantung pada
anatomi tempat pengolesan. Perbedaan ketebalan terutama disebabkan oleh ketebalan
stratum korneum yang berbeda pada setiap bagian tubuh. Permeabilitas kulit terhadap
suatu senyawa akan meningkat secara berurutan setelah pengolesan pada kulit telapak
tangan dan telapak kaki, di atas kulit lengan, kulit perut, dan akhirnya kulit rambut atau
kulit buah zakar.
d. Kelembaban dan suhu
Stratum korneum yang lembab memiliki afinitas yang sama terhadap senyawa-senyawa
yang larut dalam air atau dalam lemak. Secara in vivo, suhu kulit yang diukur pada
keadaan normal relatif tetap dan tidak berpengaruh terhadap proses absorpsi.
Sebaliknya, secara in vitro pengaruh suhu dapat dengan mudah diatur. Blank dan
Schuplein membuktikan bahwa alkohol alifatik pada suhu antara 0oC dan 50oC, laju
penyerapannya meningkat sebagai fungsi dari suhu.

1.4 Jamur
Berdasarkan tipe selnya, organisme terdiri dari organisme prokariotik dan organisme
eukariotik. Sel eukariotik memiliki deoxyribonucleic acid (DNA) di dalam inti selnya
dengan kromosom sebagai unit strukturalnya dan juga memiliki dinding sel. Salah satu
organisme yang termasuk eukariotik adalah jamur.
Seperti halnya bakteri, jamur juga dapat menyerap nutrisi dalam larutan, meskipun
sebagian besar dari kebutuhan jamur diperoleh dari sumber-sumber yang sederhana. Jamur
bersifat nonfotosintesis sehingga tidak dapat mengubah karbon dioksida menjadi sumber
karbon yang lebih kompleks seperti glukosa. Jamur tumbuh pada pH 5,5 sampai 6,0 dan
pada suhu 20o-30oC serta merupakan aerob obligat.
Jamur dapat dibedakan menjadi jamur (mould) dan ragi (yeast) berdasarkan penampakan
dan cara pertumbuhannya. Jamur menyerupai ragi (yeast-like fungi) yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi meliputi Blastomyces dermatitidis, Candida spp,

15
Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii, dan jamur
penginfeksi Chromoblastomycosis. Beberapa contoh jamur yang patogen adalah
Aspergillus spp, Dermatophyta, dan jamur Mucorales. Beberapa jamur adalah patogen
sejati dan dapat menyebabkan penyakit pada seorang individu.
Infeksi karena jamur dapat diklasifikasikan menjadi infeksi yang terjadi pada permukaan,
yang hanya mempengaruhi kulit, rambut, kuku, atau membran mukus, dan infeksi sistemik
yang mempengaruhi tubuh secara keseluruhan. Infeksi jamur dapat juga diklasifikasikan
sebagai infeksi lokal bila menyerang salah satu bagian tubuh, infeksi invasif bila tersebar
ke jaringan, dan infeksi tersebar (disseminated infection) bila infeksinya menyebar dari sisi
primer infeksi ke organ lain diseluruh tubuh.
Idealnya, perawatan antijamur dilakukan setelah jamur penginfeksi dapat diidentifikasi.
Namun, perawatan juga perlu dimulai sebelum patogen penginfeksi bertambah banyak
khususnya pada pasien yang sistem imunnya lemah dimana infeksi biasanya dapat terjadi
dengan cepat (Martindale, 2002).

1.5 Ketokonazol
Ketokonazol adalah zat antijamur sintetik golongan azol dan merupakan turunan imidazol.

1.5.1 Monografi
Ketokonazol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C26H28Cl2N4O4, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Rumus molekulnya adalah C26H28Cl2N4O4

dan memiliki bobot molekul 531,44

(Farmakope Indonesia IV, 1995).


Karakter ketokonazol adalah serbuk putih atau hampir putih, praktis tidak larut dalam air,
mudah larut dalam metilen klorida, larut dalam metanol, dan agak sukar larut dalam etanol
(British Pharmacopoeia, 2002).
Ketokonazol memiliki titik lebur antara 148oC 152oC, rotasi jenis antara -1o dan +1o,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Farmakope Indonesia IV, 1995).
Absorbansi maksimum pada panjang gelombang 220 nm.

16

Gambar 1.1 Struktur ketokonazol

1.5.2 Aspek farmakokinetika


Ketokonazol tidak diabsorpsi sistemik bila diberikan secara topikal. Pada uji in vitro
menggunakan kulit manusia, ketokonazol tertahan di dalam stratum korneum dan
perbatasan antara stratum korneum dan stratum granulosum setelah 16 jam dengan
pemberian secara topikal menggunakan krim ketokonazol yang diberi radio label, dan
sedikit sekali atau bahkan tidak ada obat yang berpenetrasi ke lapisan bagian dalam
epidermis. Ketokonazol diabsorpsi dalam jumlah yang sedikit bila obat diberikan
intravagina (AHFS, 2005).

1.5.3 Stabilitas dalam sediaan


Ketokonazol dalam bentuk krim topikal sebaiknya disimpan pada suhu kurang dari 25oC
dan tidak boleh dibekukan. Tidak boleh disimpan pada suhu tinggi (lebih dari 37oC)
karena pada suhu tinggi akan terjadi pemisahan fasa (AHFS, 2005).

1.5.4 Aspek farmakologi


Ketokonazol adalah suatu antijamur golongan imidazol yang mempengaruhi sintesis
ergosterol dan dengan demikian mengubah permeabilitas membran sel dari jamur yang
sensitif terhadap ketokonazol. Telah ada penelitian yang mengatakan bahwa ketokonazol
bersifat fungistatik pada konsentrasi terapetiknya.
Ketokonazol dapat bersifat fungisida bila digunakan dalam konsentrasi yang tinggi atau
terhadap organisme yang sangat peka. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) untuk
dermatophyta adalah 0,25 2 mcg/ml, sedangkan KHM untuk Candida albicans, Candida
parapsilosis, dan Candida tropicalis adalah 1 16 mcg/ml (AHFS, 2005).
Ketokonazol digunakan secara topikal untuk pengobatan Tinea corporis (infeksi jamur
pada kulit tak berambut seperti wajah, badan lengan, tungkai), Tinea cruris (infeksi jamur

17
di sekitar tangan, pergelangan atau sela-sela jari), dan Tinea pedis (infeksi jamur di sekitar
kaki) yang disebabkan oleh Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes,
atau Tricophyton rubrum. Juga digunakan secara topikal untuk pengobatan cutaneous
candidiasis yang disebabkan oleh Candida albicans.

1.5.5 Spektrum kerja


Ketokonazol merupakan antimikroba spektrum luas yang kerjanya mencakup aktivitas
terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spp., Coccidioides immitis, Epidermophyton
floccosum,

Histoplasma

capsulatum,

Malassezia

spp.,

Microsporum

canis,

Paracoccidioides brasiliensis, Trichophyton metagrophytes, dan Tricophyton rubrum.


Beberapa galur Aspergillus spp., Cryptococcus neoformans, dan Sporothrix schenckii juga
sensitif terhadap ketokonazol. Ketokonazol juga memiliki aktivitas terhadap beberapa
bakteri gram positif dan aktivitas antiprotozoa terhadap Leishmania spp (Martindale, 2002;
AHFS, 2005).

1.5.6 Dosis
Dalam sediaan topikal, dosis ketokonazol yang umum digunakan adalah 1-2%. (AHFS,
2005).

1.5.7 Efek samping


Ketokonazol yang diberikan secara topikal memiliki toksisitas yang kecil dan biasanya
dapat ditoleransi. Efek samping yang biasanya terjadi adalah reaksi lokal yang meliputi
iritasi, pruritus, dan rasa seperti tersengat.
Bila diberikan secara oral, efek samping yang ditimbulkan oleh ketokonazol adalah
hepatotoksik. Namun dengan penggunaan secara topikal efek samping ini dapat dihindari
karena ketokonazol tidak diabsorpsi secara sistemik (AHFS, 2005).

1.6 Tinjauan Preformulasi Eksipien


Tinjauan preformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui
pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia dari bahan aktif dan eksipien yang penting dalam
menyusun formula sediaan.
1.6.1 Minyak zaitun (olive oil)
Minyak zaitun adalah minyak lemak yang diperoleh dari buah masak Olea europaea Linne
(Familia Oleaceae). Karakteristiknya adalah cairan kuning pucat atau kuning kehijauan

18
terang, bau dan rasa khas lemah dengan rasa ikutan agak pedas, dan pada suhu rendah
sebagian atau seluruhnya membeku. Minyak zaitun sukar larut di dalam etanol 95%,
bercampur dengan eter, dengan kloroform dan dengan karbon disulfida; memiliki bobot
jenis antara 0,910 g sampai 0,915 g; indeks bias 1,468 sampai 1,471; bilangan iodium 79
sampai 88; dan bilangan asam tidak lebih dari 2,0. (Farmakope Indonesia III, 1979;
Farmakope Indonesia IV, 1995).

1.6.2 Polysorbat 80
Polysorbat 80 dikenal juga dengan nama Tween 80, adalah suatu surfaktan non ionik yang
banyak digunakan untuk formulasi sediaan emulsi minyak dalam air. Tween 80 berbentuk
cairan kental yang berwarna kuning pada suhu di atas 25C dan memiliki HLB 15 (Rowe,
2003).

1.6.3 Etanol
Etanol atau disebut juga alkohol merupakan larutan yang jernih, mudah menguap yang
memiliki bau yang khas. Memiliki titik didih 78,15 C dan berat jenis 0,8119-0,8139 pada
suhu 20 C (Rowe, 2003).

1.6.4 Gliserin
Gliserin merupakan zat larut air yang berfungsi sebagai emolien sekaligus antimikroba
pada konsentrasi tertentu. Gliserin merupakan cairan yang bening, tak berwarna, tidak
berbau, kental, dan higroskopis. Titik didihnya adalah 290oC yang disertai dekomposisi
dan titik lelehnya 17,8oC (Rowe, 2003).

Anda mungkin juga menyukai