TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Emulsi
1.1.1 Definisi Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika yang mengandung
paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai
globul dalam fase cair lain. Sistem ini dibuat stabil dengan bantuan suatu zat pengemulsi
atau emulgator (Martin, 1993). Pada emulsi farmasetik, fasa yang digunakan biasanya air
dan fasa yang lainnya adalah minyak, lemak, atau zat-zat seperti lilin (Lund, 1994).
Sistem emulsi minyak dalam air (M/A) adalah sistem dengan fasa terdispersinya (fasa
diskontinyu) adalah minyak dan fasa pendispersinya (fasa kontinyu) adalah air. Sebaliknya,
emulsi air dalam minyak (A/M) adalah emulsi dengan air sebagai fasa terdispersi dan
minyak sebagai fasa pendispersinya. Selain dua tipe emulsi yang telah disebutkan
sebelumnya, ada suatu sistem emulsi yang lebih kompleks yang dikenal dengan emulsi
ganda misalnya pada emulsi M/A, di dalam globul minyak yang terdispersi dalam fase air
terdapat globul air sehingga membentuk emulsi A/M/A. Sebaliknya, apabila terdapat
globul minyak di dalam air pada emulsi A/M akan membentuk emulsi M/A/M. Pembuatan
emulsi ganda ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk memperpanjang kerja obat, untuk
makanan, dan untuk kosmetik.
Emulsi memiliki viskositas yang bervariasi dari cairan hingga semi solida. Secara umum,
istilah emulsi lebih dikenal sebagai sediaan cair yang ditujukan untuk pemberian oral.
Emulsi yang ditujukan untuk penggunaan eksternal biasanya lebih dikenal dengan nama
krim, losion, atau obat gosok.
Emulsi yang diberikan dengan cara topikal memiliki diameter ukuran globul yang berkisar
antara 0,1 100 m (Lund, 1994).
3
kohesi antara molekul-molekul dari tiap cairan yang memisah lebih besar daripada gaya
adhesi antara kedua cairan (Martin, 1993). Proses pengadukan akan menyebabkan suatu
fasa terdispersi dalam fasa yang lain dan akan memperluas permukaan globul sehingga
energi bebasnya semakin besar. Fenomena inilah yang menyebabkan sistem ini tidak stabil
secara termodinamika. Stabilisasi sistem emulsi dapat dicapai dengan suatu zat pengemulsi
(emulsifying agent). Fasa mana yang akan menjadi fasa terdispersi dan fasa pendispersi
yang akan terbentuk tergantung dari komposisinya dalam sistem. Fasa yang memiliki
komposisi lebih banyak daripada yang lainnya akan menjadi fasa pendispersi (Lund, 1994).
Usaha stabilisasi globul-globul kecil fasa terdispersi dalam emulsi dapat dilakukan dengan
cara
mencegah
kontak
antara
sesama
globul
dengan
menggunakan
zat
4
Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofil anion, contohnya
Na-lauril sulfat, Na-oleat, dan Na-stearat. Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang
memiliki gugus hidrofil kation, contohnya Zehiran klorida dan setil trimetil amonium
bromida. Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang gugus hidrofilnya non ionik,
contohnya Tween 80 dan Span 80.
c. Koloid Hidrofil
Zat pengemulsi ini diadsorpsi pada antar muka minyak-air dan membentuk lapisan film
multimolekuler di sekeliling globul terdispersi. Beberapa contoh kelompok ini adalah
protein, gom, amilum dan turunan dari zat sejenis dekstrin, metil selulosa, dan beberapa
polimer sintetik seperti polivinil alkohol.
d. Partikel Padat Halus Tidak Larut
Zat pengemulsi ini akan teradsorpsi pada antar muka minyak-air dan akan membentuk
lapisan film mono dan multimolekuler oleh adanya partikel halus yang teradsorpsi pada
antar muka minyak-air. Contohnya adalah bentonit dan veegum.
5
peristiwa terjadinya penggabungan globul-globul menjadi lebih besar, sedangkan
demulsifikasi terjadi akibat proses lanjutan dari koalesen. Untuk kedua peristiwa ini,
emulsi tidak dapat diperbaiki melalui pengocokan.
Ketidakstabilan emulsi yang lain adalah terjadinya inversi fasa. Inversi fasa terjadi bila
emulsi yang semula merupakan emulsi minyak dalam air berubah menjadi emulsi air dalam
minyak. Inversi fasa dapat terjadi karena jumlah fasa terdispersi ditingkatkan hingga
mencapai atau melebihi batas maksimum yaitu 74% dari volume total, perubahan suhu,
atau penambahan bahan yang dapat mengganggu kestabilan emulsi. Inversi fasa juga dapat
terjadi karena penggunaan peralatan yang kotor atau prosedur pencampuran yang salah
(Lund, 1994).
6
1.2 Mikroemulsi
1.2.1 Definisi Mikroemulsi
Mikroemulsi didefinisikan sebagai sistem yang terdiri dari air, minyak, dan ampifil yang
isotropik optik tunggal (single optically isotropic) dan secara termodinamika merupakan
larutan cair yang stabil (Lieberman, 1988).
Mikroemulsi terdiri dari globul-globul yang berdiameter 10 200 nm (Prince, 1977).
Globul seperti ini tidak dapat membiaskan cahaya dan tidak dapat dilihat secara kasat mata
sehingga mikroemulsi merupakan sistem yang transparan (Lund, 1994). Globul pada
mikroemulsi dilapisi oleh film pada batas antarmuka yang berasal dari surfaktan dan
alkohol (sebagai kosurfaktan). Evaluasi stabilita dengan metode freeze thaw yang
dilakukan berulang kali dapat membedakan antara mikroemulsi dengan emulsi biasa.
Mikroemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamika sehingga bila dilakukan
evaluasi stabilita dengan metode freeze and thaw sediaan akan tetap jernih dan tidak
mengalami pemisahan fasa, sedangkan pada emulsi akan terjadi pemisahan fasa karena
sistemnya yang tidak stabil secara termodinamika.
atau
7
gerakan Brown dalam sistem yang mencegah globul-globul mikroemulsi bersatu
menghasilkan creaming. Efektivitas gerakan Brown dapat diuji dengan cara melakukan
ultrasentrifugasi pada 130,000 G. Meskipun setelah proses sentrifugasi dihasilkan globulglobul yang mengendap, namun globul-globul ini tidak berkoalesen dan akan kembali ke
kondisi awalnya jika didiamkan (Lissant, 1984).
8
Penggunaan surfaktan tunggal terkadang tidak dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka
antara fase minyak-air sampai nilai yang mencukupi untuk dihasilkan mikroemulsi. Oleh
sebab itu, dapat dilakukan penambahan kosurfaktan yang membantu menurunkan nilai
tegangan antarmuka fase minyak dan fase air sehingga menjadi lebih rendah.
i = o/w - i
dengan o/w adalah tegangan antar muka minyak-air tanpa adanya lapisan film. Ketika ada
penambahan surfaktan dan kosurfaktan yang teradsorpsi kemudian terbentuk lapisan antar
muka sehingga menyebabkan tekanan sebar (spreading pressure/i) akan menjadi lebih
besar dari o/w, sehingga dihasilkan nilai tegangan antar muka yang negatif. Energi yang
dihasilkan karena pemanasan dan pengadukan terhadap sistem akan meningkatkan luas
permukaan globul sehingga ukuran globul dapat semakin diperkecil. Nilai tegangan antar
muka yang negatif dihasilkan karena adanya pengadukan, namun fenomena ini hanya
terjadi dalam waktu yang singkat. Setelah kesetimbangan tercapai, nilai tegangan antar
muka akan menjadi nol atau memiliki nilai positif yang sangat kecil. Penambahan alkohol
yang berpartisi pada lapisan antarmuka dapat menyebabkan penurunan o/w secara
9
signifikan dari besaran normalnya sekitar 50 mN m-1 ke nilai (o/w) sekitar 15 mN m-1
(Swarbrick, 1995).
Teori lain yang menjelaskan teori pembentukan mikroemulsi adalah teori solubilisasi
(Solubilization Theories) yang mengatakan bahwa mikroemulsi merupakan larutan
monofasa dari misel-misel sferis dalam air (water-swollen (w/o)) atau dalam minyak (oilswollen (o/w)) dan stabil secara termodinamika.
1.3 Kulit
Kulit merupakan salah satu organ karena terdiri dari jaringan yang bergabung secara
struktural dan membentuk fungsi spesifik. Kulit merupakan salah satu organ terbesar tubuh
yang berkaitan dengan luas permukaan tubuh. Pada orang dewasa, luas permukaan kulitnya
kurang lebih 2 m2 dan menerima sekitar sepertiga peredaran darah dalam tubuh. Kulit
memiliki ketebalan sekitar 2,97 0,28 mm dan berfungsi untuk melindungi jaringan
sirkulasi darah dan organ-organ penting dalam tubuh dari pengaruh lingkungan luar.
10
dermis adalah lapisan subkutan yang disebut hipodermis yang terdiri dari jaringan areolar
dan jaringan adiposa (Martini, 2001).
Lapisan epidermis merupakan lapisan epitel terluar yang terdiri dari 5 lapisan dan
berfungsi sebagai pelindung terhadap pengaruh luar. Urutan lapisan tersebut dari dalam ke
luar adalah stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan
stratum korneum.
Stratum basal/stratum germinativum merupakan lapisan terdalam yang terdiri dari sel-sel
berbentuk kolumnar dan kuboid yang mampu mengalami pembelahan sel-sel. Sel pada
lapisan ini mampu membelah dan bermultiplikasi untuk memperbaharui lapisan epidermis
secara berkesinambungan. Ketika sel-sel ini bermultiplikasi, sel-sel ini akan terdorong ke
permukaan dan menjadi bagian dari lapisan selanjutnya. Pada lapisan ini terdapat pigmen
melanin yang berperan dalam memberikan warna pada kulit dan sel-sel Merkel yang peka
terhadap sentuhan. Selain itu, lapisan ini juga membentuk jalinan-jalinan epidermal dengan
pola tertentu yang kita kenal sebagai sidik jari (Martini, 2001).
Stratum spinosum merupakan lapisan epidermis yang terdiri dari 8-10 sel polihedral yang
tersusun berdekatan satu sama lain. Di antara sel tersebut terdapat jembatan antar sel yang
disebut desmosom yang dapat pecah sehingga melanosit dan leukosit dapat bermigrasi.
Permukaan sel ini mengandung penonjolan yang berbentuk seperti duri.
Stratum granulosum merupakan tempat terjadinya aktivitas biokimia dan perubahan
morfologi sel, sehingga pada zona ini terdapat campuran sel yang hidup dengan sel keratin
yang mati. Lapisan ini mengandung 3-5 deret sel-sel yang pipih. Pada lapisan ini terdapat
keratohialin yang menghasilkan keratin, yaitu suatu protein yang tidak tembus air.
Stratum lusidum secara normal hanya ditemukan pada kulit yang tebal pada telapak tangan
dan telapak kaki. Lapisan ini tidak terdapat pada kulit yang tipis. Stratum lusidum terdiri
dari 3-5 baris sel-sel yang bening, rata dan telah mati yang mengandung senyawa yang
disebut eleidin. Eleidin ini dibentuk dari keratohialin dan akhirnya diubah menjadi keratin.
Stratum lusidum merupakan lapisan transparan dengan kandungan hialin minimum.
Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang sangat menentukan penetrasi perkutan.
Lapisan ini terdiri dari 15-30 lapisan sel-sel yang kompak, rata, kering dan mengandung
keratin datar dan sel mati. Sel-sel ini dilepaskan dan digantikan terus-menerus oleh sel dari
lapisan di bawahnya. Kadar air lapisan stratum korneum hanya sekitar 20% dibandingkan
terhadap kadar air normal standar fisiologi sebanyak 70% pada lapisan stratum
germinativum yang aktif yang merupakan lapisan regeneratif dari keseluruhan lapisan
11
epidermis. Kulit manusia terdiri dari 10-70 folikel rambut dan 200-250 kelenjar keringat
untuk setiap cm2 luas permukaan tubuh. Stratum korneum merupakan penyangga yang
efektif untuk melawan gelombang panas dan cahaya, serangan mikroorganisme dan
senyawa kimia. Fungsi stratum korneum sebagai penyangga ditentukan oleh tiga faktor,
yaitu lokalisasi dari penyangga tersebut, model dua kompartemen stratum korneum, dan
hubungan antara struktur lemak dan fungsi penyangga. Stratum korneum masih dapat
ditembus oleh air meskipun lapisan ini resisten terhadap air. Air yang berasal dari cairan
intestinal dapat berpenetrasi secara perlahan ke permukaan kulit dan menguap ke udara.
Proses ini disebut dengan perspirasi (penguapan). Setiap harinya, sebanyak 500 ml air
dapat keluar dari tubuh manusia melalui penguapan ini (Martini, 2001). Gangguan pada
stratum korneum dapat disebabkan antara lain oleh defisiensi asam lemak esensial, kulit
yang kering dan penyakit pada lapisan epidermis yang akan mengganggu penetrasi obat
melalui kulit.
Lapisan dermis disusun oleh jaringan konektif yang mengandung serabut kolagen dan
elastis. Satu perlima bagian atas dermis dinamakan lapisan papila yang permukaan atasnya
diperluas oleh dermal papila sehingga disebut dermal papila yang mengandung kapiler dan
korpuskel sentuhan yang disebut korpuskel Meisner, yaitu ujung saraf yang sensitif
terhadap sentuhan (Martini, 2001).
Lapisan subkutan (hipodermis) terletak di bawah dermis dan mengandung jaringan adiposa
dalam jumlah besar, membentuk agregat dengan jaringan kolagen membentuk ikatan yang
lentur antara struktur kulit pada lapisan dalam dengan lapisan permukaan.
12
tidak boleh terlalu rendah, karena elastisitas lapisan korneal terantung pada kadar air. Jika
terlalu kering, kulit akan menjadi rapuh. Kadar air pada lapisan korneal ditentukan oleh
kecepatan pemasukan dan pengeluaran air. Walaupun membran Rein bersifat tidak
permeabel terhadap cairan, tetapi uap air masih dapat meresap ke dalam lapisan ini.
Hilangnya air dari kulit dipengaruhi oleh kelembaban udara. Permukaan lapisan korneal
mengandung senyawa hidrofilik dan lapisan sebaseus, sehingga lapisan korneal tidak akan
mengalami kekeringan walaupun kelembaban atmosfer sangat rendah. Seperti jaringan
hidup lainnya, kulit juga membutuhkan oksigen dan melepaskan karbon dioksida. Kulit
mengambil oksigen dari lingkungan sekitarnya hanya dalam jumlah sedikit, sedangkan
oksigen terbanyak diperoleh dari aliran darah. Karbon dioksida yang dihasilkan juga hanya
sedikit yang dilepaskan ke atmosfer, sedangkan sisanya akan dilepaskan melalui darah.
Pernafasan yang dilakukan oleh kulit terbatas jika dibandingkan dengan pernafasan yang
dilakukan paru-paru, namun kulit tetap membutuhkan oksigen yang diperoleh langsung
dari udara walaupun jumlahnya hanya sedikit. Kulit yang sehat mempunyai pH asam
lemah. Hasil penelitian menunjukkan pH dari cairan di sekitar permukaan kulit umumnya
berkisar antara 4-6. Nilai ini bervariasi untuk setiap individu. Mantel asam berperan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Istilah mantel asam diberikan bukan karena
harga pH yang rendah, tetapi karena adanya senyawa spesifik yang memproduksi asam.
Hal ini didukung oleh hasil penemuan yang menunjukkan bahwa lemak pada kulit juga
mengandung asam yang memiliki efek fungisidal (asam jenuh) dan bakterisidal (asam tak
jenuh). Selain itu, kapasitas dapar dan kemampuan mantel asam untuk beregenerasi juga
berperan penting dalam memberikan perlindungan (Martini, 2001).
13
syaraf-syaraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan suhu,
sentuhan, tekanan dan nyeri. Selain memroduksi keringat yang membantu menurunkan
suhu tubuh, kulit juga membantu mengekskresikan sejumlah kecil air, garam-garam, dan
senyawa organik tertentu. Kulit juga berperan penting dalam sintesis vitamin D. Dalam
kulit, senyawa prekursor 7-dehidrokolesterol diubah menjadi kolekalsiferol (vitamin D3)
dengan adanya radiasi UV. Kolekalsiferol diubah menjadi 25-hidroksikolekalsiferol di
dalam hati. Senyawa ini kemudian diubah menjadi 1,25-hidroksikolekalsiferol (kalsitriol)
di ginjal, bentuk paling aktif dari vitamin D3 yang menstimulasi absorpsi kalsium dan
fosfor dari makanan (Martini, 2001).
14
b. Aliran darah
Perubahan debit darah ke kulit secara nyata dapat mengubah kecepatan penembusan
molekul. Apabila kulit dalam keadaan luka, maka jumlah yang menembus jauh lebih
banyak dan peranan debit darah menjadi faktor penentu.
c. Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama akan berbeda tergantung pada
anatomi tempat pengolesan. Perbedaan ketebalan terutama disebabkan oleh ketebalan
stratum korneum yang berbeda pada setiap bagian tubuh. Permeabilitas kulit terhadap
suatu senyawa akan meningkat secara berurutan setelah pengolesan pada kulit telapak
tangan dan telapak kaki, di atas kulit lengan, kulit perut, dan akhirnya kulit rambut atau
kulit buah zakar.
d. Kelembaban dan suhu
Stratum korneum yang lembab memiliki afinitas yang sama terhadap senyawa-senyawa
yang larut dalam air atau dalam lemak. Secara in vivo, suhu kulit yang diukur pada
keadaan normal relatif tetap dan tidak berpengaruh terhadap proses absorpsi.
Sebaliknya, secara in vitro pengaruh suhu dapat dengan mudah diatur. Blank dan
Schuplein membuktikan bahwa alkohol alifatik pada suhu antara 0oC dan 50oC, laju
penyerapannya meningkat sebagai fungsi dari suhu.
1.4 Jamur
Berdasarkan tipe selnya, organisme terdiri dari organisme prokariotik dan organisme
eukariotik. Sel eukariotik memiliki deoxyribonucleic acid (DNA) di dalam inti selnya
dengan kromosom sebagai unit strukturalnya dan juga memiliki dinding sel. Salah satu
organisme yang termasuk eukariotik adalah jamur.
Seperti halnya bakteri, jamur juga dapat menyerap nutrisi dalam larutan, meskipun
sebagian besar dari kebutuhan jamur diperoleh dari sumber-sumber yang sederhana. Jamur
bersifat nonfotosintesis sehingga tidak dapat mengubah karbon dioksida menjadi sumber
karbon yang lebih kompleks seperti glukosa. Jamur tumbuh pada pH 5,5 sampai 6,0 dan
pada suhu 20o-30oC serta merupakan aerob obligat.
Jamur dapat dibedakan menjadi jamur (mould) dan ragi (yeast) berdasarkan penampakan
dan cara pertumbuhannya. Jamur menyerupai ragi (yeast-like fungi) yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi meliputi Blastomyces dermatitidis, Candida spp,
15
Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii, dan jamur
penginfeksi Chromoblastomycosis. Beberapa contoh jamur yang patogen adalah
Aspergillus spp, Dermatophyta, dan jamur Mucorales. Beberapa jamur adalah patogen
sejati dan dapat menyebabkan penyakit pada seorang individu.
Infeksi karena jamur dapat diklasifikasikan menjadi infeksi yang terjadi pada permukaan,
yang hanya mempengaruhi kulit, rambut, kuku, atau membran mukus, dan infeksi sistemik
yang mempengaruhi tubuh secara keseluruhan. Infeksi jamur dapat juga diklasifikasikan
sebagai infeksi lokal bila menyerang salah satu bagian tubuh, infeksi invasif bila tersebar
ke jaringan, dan infeksi tersebar (disseminated infection) bila infeksinya menyebar dari sisi
primer infeksi ke organ lain diseluruh tubuh.
Idealnya, perawatan antijamur dilakukan setelah jamur penginfeksi dapat diidentifikasi.
Namun, perawatan juga perlu dimulai sebelum patogen penginfeksi bertambah banyak
khususnya pada pasien yang sistem imunnya lemah dimana infeksi biasanya dapat terjadi
dengan cepat (Martindale, 2002).
1.5 Ketokonazol
Ketokonazol adalah zat antijamur sintetik golongan azol dan merupakan turunan imidazol.
1.5.1 Monografi
Ketokonazol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C26H28Cl2N4O4, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Rumus molekulnya adalah C26H28Cl2N4O4
16
17
di sekitar tangan, pergelangan atau sela-sela jari), dan Tinea pedis (infeksi jamur di sekitar
kaki) yang disebabkan oleh Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes,
atau Tricophyton rubrum. Juga digunakan secara topikal untuk pengobatan cutaneous
candidiasis yang disebabkan oleh Candida albicans.
Histoplasma
capsulatum,
Malassezia
spp.,
Microsporum
canis,
1.5.6 Dosis
Dalam sediaan topikal, dosis ketokonazol yang umum digunakan adalah 1-2%. (AHFS,
2005).
18
terang, bau dan rasa khas lemah dengan rasa ikutan agak pedas, dan pada suhu rendah
sebagian atau seluruhnya membeku. Minyak zaitun sukar larut di dalam etanol 95%,
bercampur dengan eter, dengan kloroform dan dengan karbon disulfida; memiliki bobot
jenis antara 0,910 g sampai 0,915 g; indeks bias 1,468 sampai 1,471; bilangan iodium 79
sampai 88; dan bilangan asam tidak lebih dari 2,0. (Farmakope Indonesia III, 1979;
Farmakope Indonesia IV, 1995).
1.6.2 Polysorbat 80
Polysorbat 80 dikenal juga dengan nama Tween 80, adalah suatu surfaktan non ionik yang
banyak digunakan untuk formulasi sediaan emulsi minyak dalam air. Tween 80 berbentuk
cairan kental yang berwarna kuning pada suhu di atas 25C dan memiliki HLB 15 (Rowe,
2003).
1.6.3 Etanol
Etanol atau disebut juga alkohol merupakan larutan yang jernih, mudah menguap yang
memiliki bau yang khas. Memiliki titik didih 78,15 C dan berat jenis 0,8119-0,8139 pada
suhu 20 C (Rowe, 2003).
1.6.4 Gliserin
Gliserin merupakan zat larut air yang berfungsi sebagai emolien sekaligus antimikroba
pada konsentrasi tertentu. Gliserin merupakan cairan yang bening, tak berwarna, tidak
berbau, kental, dan higroskopis. Titik didihnya adalah 290oC yang disertai dekomposisi
dan titik lelehnya 17,8oC (Rowe, 2003).