Anda di halaman 1dari 8

BAB V

PEMBAHASAN

Emulsi adalah suatu sistem yang secara termadinamik tidak stabil,


terdiri dari paling sedikit dua fasa sebagai globul-globul dalam fasa cair
yang lainnya. Sistem ini biasanya distabilkan dengan adanya emulsi.
Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air.
Berdasarkan fase terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu
1. Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fase minyak terdispersi di dalam
fase air.
2.

Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fase air terdispersi


di dalam fase minyak

Apabila menggunkan surfaktan sebagai emulgator dsapat pula terjadi


emulsi dengan sistem yang kompleks (multiple emulsion). Sistem ini
merupakan jenis emulsi air-minyak-air atau sebaliknya.
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan suatu emulgator
merupakan faktor yang penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi
banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator
yang yang banyak digunakan adalah zat aktif permukaan atau lebih
dikenal dengan surfaktan. Mekanisme kerja emulgator ini adalah
menurunkan tegangan antar permukaan air dan minyak serta membentuk
lapisan film pada permukaan globul-globul fase terdisperisnya.Tipe emulsi

dapat ditentukan dari jenis surfaktan digunakan. Secara kimia, molekul


surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila surfaktan
dimasukkan ke dalam sistem yang dari air dan minyak, maka guugus
polar akan terarah ke fasa air sedangkan gugus non polar terarah ke fasa
minyak. Surfaktan yang mempunyai gugus polar lebih kuat akan
cenderung membentuk emulsi minyak dalam air, sedangkan bila gugus
non polar yang lebih kuat maka akan cenderung membentuk emulsi air
dalam minyak.
Berbagai tipe bahan telah digunakan dalam farmasi sebagai zat
pengemulasi jumlahnya ratusan bahkan, ribuan yang telah dites
kemampuan emulsifikasinya. Walaupun dalam hal ini tidak ada maksud
untuk membicarakan masing-masing zat ini dalam emulasi farmasi, tapi
baik untuk dicatat tipe bahan-bahan yang umumnya digunakan sebagai
zat pengemulsi secara umum. Di antara zat pengemulsi dan zat penstabil
untuk sistem farmasi adalah sebagai berikut :
1. Bahan-bahan karbohidrat seperti zat-zat yang terjadi secara alami :
aksia (gom) tragakan, agar, kondrus, dan paktin. Bahan-bahan ini
membentuk koloida hidrofilik bila ditambahkan ke dalam air dan
mumumnya menghasilkan emulsi m/a. Gom mungkin merupakan
zat pengemulsi yang paling sering digunakan dalam preparat
emulasi yang dibuat baru (r.p) oleh ahli farmasi di apotek. Tragakan
dan agar umumnya digunakan sebagai zat pengental dalam
produk-produk yang dihasilkan dengan gom.

2. Zat-zat protein seperti : gelatin, kuning telur,dan kasein. Zat-zat ini


manghasilkan emulasi m/a. Kerugian gelatin sebagai suatu zat
pengemulasi adalah bahwa emulasi yang disiapkan dari gelatin
seringkali terlalu cair pada pendiaman.
3. Alkohol dengan bobot molekul tingi seperti: stearil alkohol, setil
alkohol, dan gliseril monostearat. Bahan-bahan ini digunakan
terutama sebagai zat pengantal dan penstabil untuk emulasi m/a
dari latio dan salep tertentu dan digunakan sebagai obat luar .
kolesterol dan turunan kolesterol bisa juga digunakan sebagai
emulasi untuk obat luar dan menghasilkan emulasi a/m.
4. Zat-zat pembasah,yang bisa bersifat

kationik, anionik, dan

nonionik. Zat-zat ini mengandung gugus-gugus hidrofilik dan


lipofilik, dengan bagian lipopilik dari molekul menyebabkan aktivitas
permukaan

dari

molekul tersebut. Dalam zat anionik, bagian

lipofilik ini bermuatan negatif, tapi dalam zat kationik bagian lipofilk
ini bermuatan positif. Lantaran muatan ini ionnya yang berlawanan,
zat anionik dan zat kationik cenderung untuk saling menetralkan
jika ada dalam sistem yang sama, jadi kedua bahan ini tidak
tercampurkan satu dengan yang lainnya. Zat pengemulsi nonionik
menunjukkan

tidak

adanya

kecenderungan

untuk

mengion.

Tergantung pada sifatnya masing-masing, beberapa dari grup ini


membentuk emulsi a/m.

5.

Zat padat yang terbagi halus, seperti tanah liat koloid termasuk
bentonit, magnesium hidroksida dan alminium hidroksida. Ini
umumnya membentuk emulsi m/a bila bahan yang tidak larut
ditambahkan ke fase air jika ada sejumlah volume pase air lebih
besar dari pada fase minyaknya. Tetapi, jika serbuk padat yang
halus ditambahkan kedalam minyak lebih besar, suatu zat seperti
bentonit sanggup membentuk suatu emlsi a/m.

Kestabilan suatu emulsi adalah kemampuan suatu emulsi untuk


mempertahankan distribusi yang teratur

dari fase terdispersi dalam

jangka waktu yang lama. Penurunan stabilitas dapat dilihat jika terjadi
campuran (Bj fase terdispersi lebih kecil dari Bj fase pendispersi ). Hal ini
menyebabkan pemisahan dari kedua fase emulsi.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kestabilan yaitu :
1. Teknik pembuatan
2. Penambahan garam atau elektrolit lemah dalam konsentrasi besar
mempengaruhi kestabilan emulsi.
3. Pengocokan yang keras, apabila emulsi dikocok keras-keras maka
partikel-partikel kecil akan mengadakan kontak menjadi partikel yang
lebih besar sehingga emulsi akan pecah.
4. Penyimpanan

Pada percobaan ini mula-mula dilakukan adalah menentukan


jumlah span dan tween yang akan digunakan dan bahan yang lainnya.
Pencampuran bahan berdasarkan dari sifat bahan itu tujuannya bahan
yang berfase air dicampur dengan fase air itu sendiri dan untuk fase
minyak juga pada fase minyak itu sendiri.
Jadi pada percobaan ini untuk fase air yaitu tween 80 dan air,fase
air terdiri dari (Sukrosa+ Na siklamat larutkan dengan air hangat kemudian propil
dan metil paraben dicampurkan dan Na bisulfit dicampurkan sambil diaduk diatas
penangas air) sedangkan untuk fase minyak yaitu span 80 dan minyak ikan
pada cawan porselen. Kemudian pencampuran

dilakukan pada suhu

70oC. Alasannya, kedua fase tersebut memiliki suhu lebur yang sama yaitu
pada suhu 70oC sehingga dapat diperoleh emulsi yang baik dan tidak
pecah.
Pada fase air dilakukan pengaturan suhu, yaitu suhu dilebihkan
sedikit dari suhu rata-rata kedua fase minyak dan air sebab pada fase ini
dapat

terjadi penurunan suhu yang cepat. Lalu campuran dikocok,

dengan menggunakan mikser selama 5 menit.dan diistirahatkan setiap 20


detik. Pengocokan intermitten dilakukan untuk memberikan kesempatan
pada minyak untuk terdispersi ke dalam air dengan baik serta emulgator
dapat membentuk lapisan film pada permukaan fase terdispersi.
Pengamatan emulsi dilakukan selama 5 hari tujuannya untuk
melihat pemisahan antara fase air dan fase minyak, perubahan warna dari
kedua fase tersebut, dan volume dari emulsi setelah 5 hari kemudian.

Penyimpanan emulsi dilakukan pada suhu yang dipaksakan (stress


coindition) perlakuan ini dimaksudkan untuk mengetahui kestabilan emulsi
dimana terjadi penurunan suhu secara drastis, kondisi ini akan lebih
mempercepat pengamatan kita terhadap stabil atau tidaknya suatu emulsi.
Berdasarkan pengamatan selama lima hari berturut-turut dapat
dilihat bahwa hasil yang diperoleh stabil.

Pengukuran pH
Dilakukan dengan mencelupkan pH indicator ke dalam sediaan
kemudian dibandingkan dengan tabel perubahan warna. Setelah
dilakukan pengukuran, pH emulsi yang dibuat adalah 3.

Penentuan Tipe Emulsi


2. Dengan menggunakan kertas saring
Dilakukan dengan meneteskan sedikit emulsi ke atas kertas
saring. Setelah dilakukan, didapatkan hasil emulsi membentuk
noda seperti air pada kertas saring. Hal ini menunjukan bahwa
emulsi mempunyai tipe M/A (minyak dalam air)

Adapun parameter ketidakstabilan suatu emulsi dalam percobaan


ini adalah terjadinya :
a. Flokulasi dan Creaming
Fenomena ini terjadi karena penggabungan partikel yang disebabkan
oleh adanya energi permukaan bebas saja. Flokulasi adalah terjadinya
kelompok-kelompok globul yang letaknya tidak beraturan di dalam
suatu emulsi. Creaming adalah terjadinya lapisan-lapisan dengan
kosentrasi yang berbeda-beda di dalam suatu emulsi. Lapisan dengan

konsentrasi yang paling pekat akan berada di sebelah atas atau di


sebelah bawah tergantung dari bobot jenis fasa yang terdispersi.
b. Koalesen dan demulsifikasi
Fenomena ini tejadi bukan semata-mata karena energi bebas
permukaan tetapi juga karena tidak semua globul terlapis oleh film
antar permukaan. Koalesen adalah terjadinya penggabungan globulglobul menjadi lebih besar, sedangkan demulsifikasi adalah proses
lebih lanjut pada keadaan koalesen dimana kedua fasa ini terpisah
kembali menjadi dau cairan yang tidak bercampur. Kedua fenomena ini
tidak dapat diperbaiki kembali dengan pengocokan.
Pada sediaan kami setelah 5 hari tidak terbentuk flokulasi ataupun
koalesen emulsi tetap stabil artinya sediaan emulsi kami memenuhi
standar produk pasaran.

KESIMPULAN

Pada pembuatan emulsi pemilihan emulgator


yang tepat sangat berpengaruh pada hasil akhir emulsi. Pemilihan
emulgator yang kurang tepat dan dengan perbandingan yang salah
(terutama Tween dan Span) akan menyebabkan emulsi kurang stabil
dan mudah pecah (fase air dan fase minyak terpisah)

Untuk

mengetahui

tipe

emulsi

dapat

dilakukan dengan kertas saring. Dengan kertas saring adalah dengan


cara meneteskan sedikit emulsi ke atas kertas saring. Emulsi tipe M/A
akan meninggalkan noda seperti air, sedangkan tipe A/M akan
meninggalkan noda seperti minyak.

Suhu pada saat pembuatan maupun pada saat


penyimpanan sangat berpengaruh pada kestabilan emulsi. Hal ini juga
dapat digunakan untuk mengetahui kesatbilan emulsi, dengan cara
memanaskannya pada suhu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Asisten.,(2008)., Penuntun Praktikum Farmasi fisika, Jurusan


Farmasi, UNHAS, Makassar, 30.
2. Jenkins, G.L., (1957), Scovilles ; The Art Of Compounding, Ninth
Edition, McGraw-Hill Book Company,Inc., New York, Toronto, 314, 315.
3. Parrot, L.E., (1970), Pharmaceutical technology, Burgess Publishing
Company. Mineneapolis, 335.
4. Ditjen POM., (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI,
Jakarta, 474, 509.
5. Ansel, H.C., (1989), Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV,
Terjemahan Farida Ibrahim, UI Press, Jakarta.
6. Anief, Moh., (2005)., Ilmu Meracik Obat, cetakan XII, Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.143, 147.

Anda mungkin juga menyukai