1. Pengertian
2. Klasifikasi
a.
3. Etiologi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol), chepalhematoma.
Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
Gangguan konjugasi bilirubin.
Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga
ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup.
Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya Hipoalbuminemia
atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat
langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma dan Siphilis.
diabetik/infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke
3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Tabel Rumus Kramer
Daerah luas ikterus kadar bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1+ badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg %
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12 mg %
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %
5. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin. Hal ini dapat ditemukan adalah
apabila terdapat penambahan beban bilirubin. Pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit. Memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sel lain, atau terdapat nya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Pada bayi dengan hipoksia/anoksia juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh,
karena apabila terjadi kadar protein-y berkurang atau pada keadaan proteinnya dan protein z
terikat oleh anion. Pada derajat tertentu, bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar air. Dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kern ikterus / ensefalopati biliaris.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar otak
ternyata tidak hanya bergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan lebih mudah melalui sawar dari otak apabila
pada bayi terdapat keadaan imaturitas, BBLR, Hipoksia, Hipoglikemia, dan kelainan susunan
saraf pusat yang terjadi karena trauma/infeksi.
6. Pathway
7. Komplikasi
a.
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar bilirubin yang
sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya disebut kern ikterus). Kern ikterus
adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi
kerusakan otak.
b. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral
(pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.
8. Pemeriksaan Penunjang
a.
b.
c.
d.
e.
f.
9. Penatalaksanaan
a. Tindakan umum
1) Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil: Mencegah truma lahir, pemberian
obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
2) Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi
baru lahir.
3) Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
b. Tindakan khusus
1) Fototerapi: Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk
menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
2) Pemberian fenobarbital: Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun
pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik
pada ibu dan bayi.
3) Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi, misalnya pemberian albumin
karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin
lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
4) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi: untuk mencegah efek cahaya berlebihan
dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan
untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga
moderat.
5) Terapi transfuse: digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Terapi obat-obatan, misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel
hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi
timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
6) Menyusui bayi dengan ASI
7) Terapi sinar matahari
c. Tindak lanjut: Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi
berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan
rehabilitasi terhadap gejala sisa.
DAFTAR PUSTAKA
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan Nasional
Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba Medika
Mansyoer, Arid dkk. 2000. Kapita Selekta KedokteranJilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : JNPKKR/POGI dan Yayasan Bina Pustaka