DAFTAR ISI...........................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................3
BAB II INFEKSI PRIMER AIDS..........................................................................................4
2.1 EPIDEMIOLOGI..........................................................................................................4
2.2 INFEKSI VIRUS HIV..................................................................................................4
2.3 KELAINAN NEUROLOGI PADA INFEKSI HIV......................................................7
2.4 PENATALAKSANAAN HIV/AIDS............................................................................8
BAB III INFEKSI SEKUNDER PADA PASIEN AIDS........................................................9
3.1 INFEKSI VIRAL SEKUNDER..................................................................................11
3.1.1 ENSEFALITIS SITOMEGALOVIRUS...............................................................11
3.1.2 RABIES................................................................................................................12
3.1.3 LEUKOENSEFALITIS MULTIFOKAL PROGRESIF.......................................13
3.2 INFEKSI NON VIRAL SEKUNDER........................................................................16
3.2.1 ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (TOKSOPLASMOSIS OTAK)....................16
3.2.2 MENINGITIS KRIPTOKOKUS.........................................................................17
3.2.2.1 Etiologi..............................................................................................................17
3.3. DIAGNOSIS BANDING INFEKSI OPORTUNISTIK SSP PADA PASIEN AIDS.19
BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara
di seluruh dunia. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS
menyebabkan krisis dalam berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan,
krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan2.
Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization
(WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS
lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk
kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi3.
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak menyerang sel saraf
secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang
diakibatkan dapat merusak otak dan saraf tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa
infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam proses
belajar dan pengelolaan informasi.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan kerusakan
neurologis. 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan
sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi
opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi
HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi
ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan
oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan1,4,5.
Dalam referat ini, akan dibahas secara singkat mengenai beberapa jenis infeksi oportunistik
susunan saraf pusat pada pasien AIDS yang disebabkan oleh patogen viral : ensefalitis
sitomegalovirus dan leukoensefalopati multifokal progresif, serta yang disebabkan oleh patogen
non-viral : ensefalitis toksoplasma dan meningitis kriptokokus.
BAB II
INFEKSI PRIMER AIDS
2.1 EPIDEMIOLOGI
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun
1981, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diketahui sebagai penyebab pada tahun
1984. Desember 2002, WHO (World Health Organization) memperkirakan sebanyak 42 juta
penduduk mengidap HIV. Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh
lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia.
Di Indonesia, kasus pertama HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987. Hingga Maret 2010
tercatat terjadi 20.564 kasus AIDS dengan 3.936 orang korban meninggal dunia. Jumlah tersebut
semakin bertambah seiring dengan banyaknya faktor dan sarana penularan HIV/AIDS yaitu
penggunaan narkotika jenis suntik (Injection Drug User/IUD)2,3,4,7.
2.2 INFEKSI VIRUS HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA
(Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi
genetik. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan
mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA). Enzim ini
adalah
polimerase
DNA yang
mampu
bergabung
Sekali
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem
saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa fase :
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita muncul dalam
bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam, nyeri kepala, mialgia,
malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik makulopapular. Infeksi akut
ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari
limfosit darah perifer dan level serum antigen virus yang tinggi.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrome atau
kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV3,4,7.
(b)
perifer.
Infeksi Oportunistik SSP
Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi
konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati tmultifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ
targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar darah otak melalui
aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport intraseluler
melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus bebas pada
leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium
vaskular.
Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan dengan
herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga muncul kembali
sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya
melemah.
Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih sering dan
lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat menyebabkan degenerasi
secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa informasi sensori ke otak
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS juga
infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap penyakit HIVnya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell mediated immunity), maka
penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran penyakit primer klasik seperti pada orang
dewasa yakni dengan adanya infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana tes tuberkulin
biasanya akan positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated immunity akan rusak
disertai gejala non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan dan fatigue (kelelahan), dengan
atau tanpa adanya gejala batuk.
2.4 PENATALAKSANAAN HIV/AIDS
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi.
Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat
antiretroviral), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan
suportif.
Obat-obat antiretroviral dapat memperbaiki morbiditas pada HIV dan dapat
memperpanjang survival. Sesuai perkembangan pada terapi HIV terdapat tiga kelas obat
antiretroviral yang telah diakui penggunaannya yaitu: nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NRTIs), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan protease inhibitors (PIs).
Agar tercapainya penggunaan obat secara potensial maka digunakan paling sedikit tiga jenis obat
dari paling sedikit dua kelas obat antiretroviral. Secara khusus meliputi dua obat NRTIs dan
lainnya satu NNRTIs atau PIs.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik dan kanker sekunder bergantung pada penyakit
infeksi atau kanker apa yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan
menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan
menambah jumlah limfosit3,6,7,8,9,10.
BAB III
INFEKSI SEKUNDER PADA PASIEN AIDS
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang masuk ke
dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 14001500 sel/L. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat
(jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3)3,4.
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara umum) :
JUMLAH SEL
CD4
200-500/mcl
100-200/mcl
PATOGEN
50-100/mcl
<50/mcl
MANIFESTASI
Pneumonia(CAP)
TB paru
Sariawan, candida vagina
Herpes orolabial, genital, perirectal
Ruam pada saraf
Oral hairy leukoplakia
Sarkoma Kaposi
Pneumonia
Diare kronik
Ensefalitis
Ensefalitis
Meningitis
Penyakit diseminata
Diare kronik
TB diseminata/
R.equi
HSV 1 dan 2
Virus Varicella-Zoster
Virus Epstein-Barr
Ekstrapulmoner
Pneumonia
HSV diseminata
VZV diseminata
Limfoma primer SSP
MAC diseminata
Cytomegalovirus
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari proses
immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Dapat dibedakan
menjadi
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
Hasil pemeriksaan cairan menunjukkan cairan yang jernih, tekanannya tinggi, banyak
mengandung sel darah putih dan protein, kadar gulanya normal.
2. Elektroensefalografi (EEG)
Hasil EEG yang abnormal, kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil EEG yang
normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis ensefalitis.
3. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI dikerjakan untuk memastikan bahwa penyebab dari timbulnya gejala
bukan karena abscess otak, stroke, atau kelainan struktural (tumor, hematoma, aneurisma)
Jika diduga suatu ensefalitis, CT Scan / MRI ini dikerjakan sebelum pungsi lumbal untuk
mengetahui adanya peningkatan intrakranial.
4. Biopsi otak
5. Pemeriksaan darah : Pemeriksaan serologis untuk mengukur kadar antibodi terhadap virus.
3.1.1.4 Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS membutuhkan obat
khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan melalui penggunaan terapi anti retroviral
(ART). Untuk virus CMV nya dapat diberikan asiklovir (5mg/kgBB 2 kali sehari parenteral
selama 14-21 hari, selanjutnya 5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml).
Sedangkan pengobatan kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi kejang,
dan dapat pula diberikan manitol 20% untuk anti udem serebri3,4,5,6,7.
3.1.2 Rabies
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang ditularkan oleh gigitan
hewan yang sudah terserang virus rabies.
3.1.2.1 Etiologi
Rabies merupakan penyakit infeksi pada system saraf pusat yang disebabkan oleh virus
RNA yang tergolong dalam family Rhabdoviridae. Virus rabies bersifat sangat neurotropic. Virus
akan memperbanyak diri dan menyebar melalui sel saraf motoric dan sensorik. Di saraf pusat
virus akan menyebar dan bertanggung jawab pada infeksi di kelenjar ludah, kornea, kulit,
jantung, pancreas, medulla adrenalis dan organ lain yang menimbulkan infiltrate dan nekrosis
seluler.
3.1.2.2 Tanda dan Gejala
Stadium Prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual, dan rasa nyeri di tenggorokan selama
beberapa hari
Stadium sensoris
Nyeri dan rasa panas di sertai kesemutan pada tempat bekas luka. Disusul dengan
Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktibitas simpatis menjadi meninngi dengan gejala hyperhidrosis,
Stadium Paralysis
Sebagian besar penderita meninggal pada stadium eksitasi. Kadang ditemukan juga
kasus tanpa gejala eksitasi, melainkan paresis otot yang bersifat progresif.
3.1.2.3 Pemeriksaan Penunjang
Deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan reserve transcriptase
polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus dalam jaringan kultur.
Pemeriksaan histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan yang terinfeksi dan
diberi pewarnaan. Dengan pewarnaan rutin akan terlihat gambaran infiltrasi mononuklear,
adanya cuffing dari limfosit, babes nodules dari sel glia dan adanya negri bodies.
Dengan MRI tampak adanya hipersignal ringan pada T2 dibatang otak, hipokampus,
hipotalamus, pada bagian dalam dan subkorteks sustatia alba dan substansia grisea.
3.1.2.4 Penatalaksanaan
Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan vaksin antirabies
(VAR) saja atau dengan serum antirabies (SAR). VAR diberikan bila ada gigitan dengan luka
yang tidak berbahaya (jilatan,eskoriasi,lecet) disekitar tangan atau kaki. VAR dan SAR diberikan
jika luka berbahaya (luka pada muka, kepala, bahu).
termasuk delirium, hilangnya kemampuan kognitif, sikap yang labil atau psikosis, dan perubahan
kepribadian.
3.1.3.3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pencitraan CT scan terdapat lesi berwarna putih pada parenkim otak. Terdapat
demielinisasi pada MRI, dan mendeteksi virus JC melalui polymerase chain reaction (PCR)
dalam cairan serebrospinal. Pada pasien yang PCR-negatif, biopsi otak umumnya dianjurkan bila
PML dicurigai.
3.1.3.4.Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan ART umumnya
dianjurkan. Bukti mengesankan bahwa ART mungkin merupakan pengobatan untuk dan juga
melindungi terhadap Progresif Multifokal Leukoensefalopati, tetapi juga ada bukti yang
bertentangan; pasien dengan Progresif Multifokal Leukoensefalopati yang mengalami perbaikan
kekebalan dengan ART tidak mengalami perbaikan secara neurologi. Penatalaksanaan ini bersifat
mengurangi gejala.
3.2.1.3 Diagnosis
Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan
dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian
bertahan seumur hidup.
CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik
pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau
tanpa lesi.
Biopsi otak
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
3.2.1.4 Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat
ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup.
Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per
hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia.
Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk
mencegah anemia.
Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang
menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya
terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang
mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4
naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat
dihentikan.
positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin
(+).
3.2.2.4 Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai
flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin.
Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.
Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat
bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan
karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction
inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan
sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara
cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.
3.2.2.5 Pencegahan
Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis
kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya:
Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti
kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal
(resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan
amfoterisin B3,6,7.
IMAGING
PEM.PENUNJANG LAIN
Lesi massamultipel/kdg-kdg single IgG serum terhadap toksoplasmosis (+)
criptokokus,
CD4<100
kultur (+)
Lainnya : antigen serum biasanya juga
(+)
Meningitis
Tuberkulosis
Nonspesifik
edema, focal haemorrhage
Sifilis
Ensefalitis
HSV
biasanya
Ensefalopati
temporal/inferior frontal
Normal pada awalnya,
LCS: Nonspesifik
BAB IV
KESIMPULAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara
di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health
Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh
lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005
saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang
semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan
sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi
opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi
HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi
ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan
oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang
ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents,
diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.
Penatalaksanaan
HIV/AIDS
bersifat
menyeluruh
terdiri
dari
pengobatan,
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
3.
Sylvia
Price
dan
Lorraine
Wilson.
Human
Immunodeficiency
(HIV)/Acquired
Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006
5.
6.
Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
7.
8.
9.
Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 2001
10.
HIV
and
Hepatitis.
2008.
Di
unduh
dari
http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html
11.
12.
Yayasan
Spirita.
2014.
Neuropati
Perifer.
Diunduh
dari
http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf
13.
Yayasan Spirita. 2014. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke.
Diunduh dari http://www.spirita.or.id
14.