Anda di halaman 1dari 7

GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA PASIEN

FRAKTUR YANG MEMILIH PENGOBATAN


TRADISIONAL PATAH TULANG
Lamtiur Ritonga*, Siti Zahara Nasution**
*Mahasiswa Fak. Keperawatan Universitas Sumatera Utara
**Staf Pengajar Departemen Jiwa Komunitas Universitas Sumatera Utara
Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara
Jl. Prof. Maas No.3 Kampus USU Medan 20155
Phone: 085763264381
Email: Lamtiurritonga@yahoo.com

Abstrak
Pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memilih
pengobatan tradisional patah tulang tetap tinggi. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah tulang
Sepadan Tarigan di T.Morawa. Desain yang digunakan adalah deskripsi murni dengan sampel
sebanyak 42 responden dengan teknik sampling jenuh, menggunakan kuesioner berupa data demografi
dan pertanyaan tentang alasan keluarga pasien memilih pengobatan tradisional tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan dari 42 responden, 52,38% berusia 40-59 tahun, 40,48% suku Batak Toba,
50% beragama Kristen Protestan, 45,24% berpendidikan SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta, dan
64,28% berpenghasilan sebulan > 1.035.500. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa karakteristik
keluarga pasien yang memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan sebagian besar
berusia dewasa pertengahan, beragama Kristen Protestan dan bersuku Batak Toba, pendidikan
keluarga responden baik, pekerjaan sebagai wiraswasta, tingkat kesejahteraan keluarga cukup baik
dan 90.5% adalah fraktur tertutup. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan bagi pelayanan
kesehatan khususnya perawat komunitas agar bekerja sama dengan lintas sektoral dalam kegiatan
pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap praktik pengobatan tradisional yang ada di masyarakat
agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.

Kata kunci

: Karakteristik keluarga, Fraktur, Pengobatan Tradisional

PENDAHULUAN
Pengobatan tradisional adalah ilmu dan
seni pengobatan berdasarkan himpunan
dari pengetahuan dan pengalaman
praktek, baik yang dapat diterangkan
secara ilmiah ataupun tidak, dalam
melakukan diagnosis, prevensi dan
pengobatan terhadap ketidakseimbangan
fisik, mental, dan sosial (WHO, 1978).
Data Profil Kesehatan Indonesia tahun
2008, menunjukkan angka kesakitan
penduduk secara nasional sekitar 33,24%.
Dari jumlah tersebut sekitar 65,59%
memilih berobat sendiri (termasuk berobat
ke klinik tradisional), sisanya sekitar
34,41% memilih berobat ke pelayanan
kesehatan. Hal ini menunjukkan sekalipun
pelayanan kesehatan modern telah
berkembang di Indonesia, namun jumlah

masyarakat yang memilih pengobatan


tradisional cukup tinngi (Depkes RI,
2009).
Salah satu jenis pengobatan
tradisional
yang
diminati oleh
masyarakat saat ini adalah Pengobatan
tradisional patah tulang. Hal ini dapat
dilihat dari data selama periode Januari
2005 sampai Maret 2007 didapatkan
kasus patah tulang di RSUP HAM
Medan sejumlah 864 kasus, dimana 463
(53,6%) kasus merupakan kasus baru, 401
(46,4%) kasus lagi datang ke rumah sakit
lebih dari satu minggu setelah kecelakaan.
Dari 463 kasus baru hanya 211 (45,5% )
kasus yang bersedia dilakukan pengobatan
di RSUP HAM Medan, sedangkan 252

(54,5%) lagi menolak melakukan


pengobatan, hanya dilakukan pertolongan
pertama dan foto rontgen saja dari tungkai
yang patah. Jadi masih banyak masyarakat
kita yang menderita patah tulang tidak
mencari pertolongan ke rumah sakit,
melainkan pergi ke dukun patah atau
sinshe/pengobatan tradisional (Moesbar,
2007).
Peran keluarga sangat dibutuhkan
dalam mengambil keputusan untuk
mengatasi masalah kesehatan yang terjadi
dalam
keluarga,
termasuk
dalam
pemilihan
pengobatan.
Pengambil
keputusan adalah
seseorang yang
dianggap
mempunyai
kemampuan
memutuskan tindakan yang tepat bagi
keluarga agar masalah kesehatan dapat
dikurangi atau bahkan teratasi. (Setiadi,
2008).
Berdasarkan uraian dan fenomena di
atas, peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimana
gambaran
karakteristik
keluarga pasien fraktur yang memilih
pengobatan tradisional patah tulang
Sepadan Tarigan di Tanjung Morawa.
Adapun yang menjadi pertanyaan
dalam
penelitian
ini
adalah
bagaimanakah gambaran karakteristik
keluarga pasien fraktur yang memilih
pengobatan tradisional patah tulang
Sepadan Tarigan di Tanjung Morawa.
Adapun tujuan penelitian ini adalah
mengetahui
gambaran
karakteristik
keluarga
berdasarkan
karakteristik
demografi yang meliputi usia, suku,
agama, pendidikan, pekerjaan, dan
penghasilan keluarga.
METODE
Desain yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskripsi yang bertujuan untuk
menggambarkan karakteristik keluarga
pasien fraktur yang memilih pengobatan
tradisional patah tulang Sepadan Tarigan
di Tanjung Morawa.

Populasi dalam penelitian ini


adalah kepala keluarga dari pasien fraktur
yang memilih pengobatan tradisional
patah tulang Sepadan Tarigan di Tanjung
Morawa.
Berdasarkan
pernyataan
pimpinan pengobatan tradisional pada
survey awal didapatkan data yaitu
populasi di pengobatan tradisional
tersebut sekitar 80 pasien setiap bulannya.
Namun kenyataannya pada saat penelitian
berlangsung selama sebulan, ternyata
populasi pada pengobatan tradisional
tersebut hanya 42 pasien. Hal ini
dikarenakan tidak adanya catatan yang
dibuat pada setiap pasien yang datang
untuk berobat. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah keseluruhan
kepala keluarga pasien fraktur baik pasien
baru, pasien rawat inap, maupun pasien
rawat jalan yang berobat ke praktek dukun
patah Sepadan Tarigan selama satu bulan
yaitu sebanyak 42 orang. Teknik
pengambilan sampel atau teknik sampling
dalam penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling dengan teknik
sampling jenuh (Sugiyono, 2011).
Setelah semua data terkumpul
kemudian dilakukan analisa data melalui
beberapa tahap, pertama editing yaitu
memeriksa kelengkapan identitas dan data
responden serta memastikan semua
jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap
kedua coding yaitu memberi kode atau
angka tertentu pada lembar kuesioner
untuk
mempermudah
mengadakan
tabulasi dan analisa data, tahap ketiga
processing yaitu memasukkan data dari
lembar kuesioner ke dalam program
komputer, tahap keempat cleaning yaitu
mengecek kembali data yang telah
dimasukkan untuk mengetahui ada
kesalahan atau tidak, tahap kelima
tabulating yaitu menganalisa data secara
deskriptif untuk setiap faktor untuk
memperoleh frekuensi dan persentase.
Hasil yang diperoleh akan
disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi
dan
persentase
dengan
menggunakan
teknik
komputerisasi.
Setelah diperoleh data dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan persentase

kemudian data tersebut dianalisa dan


diinterpretasikan dalam bentuk narasi
sehingga dapat memberikan gambaran
karakteristik yang dibutuhkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil
penelitian
berdasarkan
karakteristik responden yang dipaparkan
mencakup usia, jenis kelamin, suku,
agama, pendidikan terakhir, pekerjaan,
penghasilan kepala keluarga, ada tidaknya
keluarga dekat yang bekerja di bidang
kesehatan, penghasilan perbulan dan jenis
fraktur yang dialami.
Tabel 5.1.1 Distribusi Frekuensi dan
Persentase Data Demografi Responden
(n=42)
Data

Frekuensi

Usia
20-39 tahun
40-59ahun
>60 tahun
Mean : 34,88

Persentase(%)

16
22
4

38.1
52.4
09.5

JenisKelamin
Laki-Laki
Perempuan

30
12

71.4
28.6

Suku
Batak Toba
Batak Karo
Simalungun
Mandailing
Pakpak
Jawa

17
12
1
7
1
4

40.5
28.6
02.4
16.7
02.4
09.5

Agama
Islam
Protestan
Khatolik

14
21
7

33.3
50.0
16.7

Pendidikan terakhir
PerguruanTinggi
SMA
SMP
SD
Tak Sekolah

5
19
9
8
1

11.9
45.2
21.4
19.1
02.4

Pekerjaan
PNS/TNI/POLRI
Karyawan Swasta
Wiraswasta
Bertani/Buruh

3
4
29
6

07.1
09.5
69.1
14.3

Bekerja di Bidang Kesehatan


Ya
0
Tidak
42

0
100.0

Penghasilan Perbulan
<Rp 1.035.500
>Rp 1.035.500

15
27

35.7
64.3

Jenis Fraktur
Fraktur Terbuka
Fraktur Tertutup

4
38

09.5
90.5

Pembahasan
Hasil penelitian tentang gambaran
karakteristik keluarga pasien fraktur yang
memilih pengobatan tradisional patah
tulang menunjukkan bahwa dari 42
responden, sebagian besar usia kepala
keluarga pada kelompok umur 40-59
tahun yaitu sebanyak 22 responden
(52.4%). Sesuai dengan klasifikasi WHO,
rentang usia tersebut berada pada rentang
usia dewasa pertengahan (Middleage).
Adapun ciri dari dewasa pertengahan
adalah adanya aktivitas sosial yang tinggi.
Aktivitas sosial yang tinggi akan
memudahkan
keluarga
untuk
mendapatkan informasi yang penting
mengenai pemilihan pengobatan yang
tepat melalui informasi pengalaman dari
teman, keluarga ataupun orang lain yang
pernah merasakan efektivitas pengobatan
tersebut. Informasi tersebut akan menjadi
pertimbangan keluarga dalam memilih
pengobatan tradisional. Untuk itu, Daulay
(2010) menyatakan bahwa Usia yang
semakin tinggi dapat menimbulkan
kemampuan
seseorang
mengambil
keputusan semakin bijaksana. Dalam hal
ini rentang usia dewasa pertengahan
dianggap usia yang paling baik dalam
mengambil keputusan yang bijaksana.

Termasuk dalam keputusan terhadap


pemilihan pengobatan tradisional.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien fraktur yang
datang berjenis kelamin Laki-laki yaitu
sebanyak 30 orang (71.4% ). Sesuai
dengan penelitian Purba (2009) yang
berjudul Persepsi penderita patah tulang
terhadap pengobatan pada dukun patah
tawar kem-kem di Kec Medan Sunggal
kota Medan , didapatkan hasil yaitu
pasien fraktur didominasi oleh laki-laki
(63,3%). Hal ini sesuai dengan teori pada
buku Brunner & suddart (2002) yang
menyatakan fraktur terjadi lebih sering
pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini berhubungan dengan
olah raga, pekerjaan atau kecelakaan.
Adapun
olah
raga
yang
dapat
menyebabkan fraktur adalah sepak bola,
ski, senam, volley, basket dan sepak bola,
dan berdansa diatas lantai yang licin.
Sedangkan pekerjaan yang berisiko
mengalami fraktur adalah tukang besi,
supir, bangunan, pembalap mobil, orang
dengan
penyakit
degenarif
dan
neoplasma. Dan kecelakaan yang paling
sering menjadi penyebab fraktur adalah
kecelakaan
sepeda
motor.
Dalam
penelitiannya
Moesbar
(2007)
menyatakan bahwa pengendara dan
penumpang sepeda motorlah terbanyak
mendapatkan
patah
tulang
pada
kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada
perempuan lebih sering terjadi pada usia
lanjut behubungan dengan adanya
osteoporosis
yang
terkait
dengan
perubahan hormon.
Suku merupakan bagian integral
dari budaya. Di provinsi Sumatera Utara
ini hampir seluruh masyarakat didominasi
oleh suku Batak. Sebagai bagian integral
dari budaya, suku dapat mempengaruhi
pandangan klien tentang penyebab
penyakit, persepsi keparahannya, dan
pilihan terhadap penyembuhan termasuk
dalam pilihan pengobatan. Maramis
(2006) menyatakan budaya dipengaruhi
oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika
aspek suku bangsa sangat mendominasi
maka pertimbangan untuk menerima atau
menolak pengobatan didasari pada
kecocokan suku bangsa yang dianut oleh

pengobat tradisional. Berbeda dengan


pernyataan tersebut, pada penelitian ini
didapatkan hasil bahwa suku keluarga
yang memilih pengobatan tradisional
tersebut justru beraneka ragam dan
sebagian besar adalah suku Batak Toba
yaitu sebanyak 17 responden (40.5%).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
kesamaan latar belakang budaya dengan
dukun patah tidak mempengaruhi
pemilihan
terhadap
pengobatan
tradisional.
Hasil penelitian menunjukkan
agama yang dianut responden mayoritas
adalah Kristen Protestan, yaitu sebanyak
21 responden (50%), sedangkan agama
Islam sebanyak 14 responden (33.33%),
dan Kristen Khatolik sebanyak 7
responden (16.7%). Agama berperan
penting dalam membentuk persepsi klien
tentang sehat sakit. Sebagai komponen
integral dari budaya, agama dapat
mempengaruhi penjelasan klien tentang
penyebab
penyakit,
persepsi
keparahannya, dan pilihan terhadap
penyembuhan
(pilihan
pengobatan)
(Mubarak, 2009). Hal ini berkaitan
dengan suku sebagian besar responden
yaitu suku Batak Toba. Menurut Setianto
(2011), bahwa Agama Kristen Protestan
menjadi agama yang dominan pada suku
batak Toba, sehingga agama kristen
protestanlah yang menjadi mayoritas
pemilih pengobatan tradisional Sepadan
Tarigan.
Gambaran umum pendidikan
responden berdasarkan tingkat pendidikan
formal adalah mayoritas responden
memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu
Perguruan
Tinggi
11.90%,
SMA/SMK/MAN 45.24%, SMP 21.43%,
SD 19.05% dan tidak sekolah sebanyak
2.4%. Menurut wield Herry A (1996)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan
turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap atau memahami
pengetahuan yang mereka peroleh. Foster
& Anderson (1986) menyatakan bahwa
pemilihan pengobatan alternatif biasanya
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
masyarakat yang masih rendah serta
kurangnya informasi tentang kesehatan

yang diterima. Namun pernyataan terbaru


yang dikemukakan oleh Kasnodiharjo
(2005) menyatakan bahwa pendidikan
rmasyarakat yang memilih pengobatan
tradisional tidak hanya berpendidikan
rendah
saja
tetapi
masyarakat
berpendidikan atas bahkan sarjana yang
memiliki tingkat rasional yang cukup
tinggi mengambil jalan pintas ke arah
pengobatan tradisional. Hal ini diperkuat
dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Pakpahan (2011) dan Purba (2006) yaitu
ternyata pendidikan masyarakat yang
memilih pengobatan tradisional patah
tulang mayoritas adalah SMA dan
Perguruan tinggi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat yang memilih pengobatan
tradisional adalah baik.
Pekerjaan responden mayoritas
wiraswasta
69.1%
dan
mayoritas
penghasilan responden perbulan > Rp
1.035.000 sebanyak 64.3% , hal ini sesuai
dengan Upah Minimum Provinsi (UMP)
SUMUT tahun 2011 yaitu sebesar Rp
1.035.500. Ini menunjukkan tingkat
kesejahteraan responden cukup baik.
Pakpahan (2011), menyatakan bahwa
pengobatan alternatif dipilih karena alasan
murah. Mahalnya obat-obatan modern dan
tingginya biaya fasilitas kedokteran
canggih menjadi alasan masyarakat
mencari jenis pengobatan alternatif,
pengobatan
modern
mengisyaratkan
adanya kemampuan ekonomi yang
memadai. Namun dalam surat kabar
Analisa (2011) menyatakan bahwa
maraknya
masyarakat
berobat
ke
pengobatan alternatif tidak selamanya
karena biaya yang tinggi berobat ke
dokter. Sekarang ini pemerintah telah
memberikan jaminan kesehatan kepada
masyarakat berupa jamkesmas, jamkesda
dan lain sebagainya. Program kesehatan
masyarakat yang diberikan pemerintah
dapat dimanfaatkan masyarakat untuk
berobat ke rumah sakit. Jadi, tidak ada
alasan lagi karena persoalan biaya.
Berdasarkan uraian responden
terhadap alasan memilih pengobatan
tradisional didapatkan data bahwa
mayoritas responden menyatakan alasan

memilih pengobatan tradisional patah


tulang Sepadan Tarigan karena faktor
kepercayaan akan
manfaat dan
keberhasilan
pengobatan
tradisional
dibanding dengan pengobatan medis. Jadi
bukan karena faktor ekonomi yang
mendominasi keluarga pasien memilih
pengobatan tradisional, melainkan karena
faktor kepercayaan akan pengobatan
tradisional Sepadan Tarigan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian ini dilakukan selama satu
bulan yaitu selama bulan Februari 2012.
Dari 42 responden didapatkan hasil yaitu :
52,38% berusia 40-59 tahun, 71,43%
berjenis kelamin Laki-laki, 40,48% suku
Batak Toba, 50% beragama Kristen
Protestan,
45,24%
berpendidikan
SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta,
100% responden tidak bekerja dibidang
kesehatan,
64,28%
berpenghasilan
sebulan > 1.035.500, 90,48% adalah
fraktur tertutup, dan 50% mendapatkan
informasi dari sanak keluarga (family).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka
penting diberikan rekomendasi kepada
beberapa pihak yaitu:
Pelayanan Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan khususnya
perawat komunitas agar bekerja sama
dengan lintas sektoral dalam kegiatan
pembinaan, pengawasan dan evaluasi
terhadap praktik pengobatan tradisional
yang ada di masyarakat agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang
optimal.
Penelitian Selanjutnya
1. Peneliti menyarankan agar penelitian
selanjutnya melakukan uji validitas
dan
reabilitas
pada
quetioner
penelitian.
2. Peneliti menyarankan bagi penelitian
selanjutnya agar meneliti faktor lain
yang
mempercepat
proses
penyembuhan tulang yang patah.

Bagi pengobatan Tradisional


Adapun yang menjadi saran peneliti
bagi pengobatan tradisional Sepadan
Tarigan agar membuat catatan terhadap
pasien yang berobat ke pengobatan
tersebut
sehingga
dapat
terlihat
perkembangan pasien setiap bulannya.

Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia.
(2011).
Integrasi
Pengobatan Tradisional dalam
Sistem
Kesehatan Nasional.
Diunduh 31 Oktober 2011 dari
http://www.depkes.go.id

DAFTAR PUSTAKA

King & Bewes. (2001). Bedah Primer


Trauma. Jakarta: EGC

Analisa. (2011).Dinas Kesehatan


lakukan pembinaan dan
Pengawasan.
www.analisa.co.id

Maramis, W.P. (2006). Ilmu Perilaku


dalam pelayanan Kesehatan.
Surabaya : Airlangga University
Press.

Armansyah.(2010).PembagianUsiaMe
nurutMenkes.http://repository.u
su.ac.id
Bruner & Suddarth. (2001). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah.
(Vol 3). Jakarta : EGC.
Daulay, NM. (2011). Faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat dalam
memilih pengobatan alternatif
akupuntur. Di unduh tanggal 13
mei2011.http://repository.usu.ac.i
Dinas

Kesehatan Provinsi Sumatera


Utara. (2007). Profil Pengobatan
Tradisional di Provinsi Sumatra
Utara Tahun 2007. Diunduh 18
oktober
2010
dari
http://www.dinkesprovsu.go.id

Dirjen

Depkes.

BUK,
Kemenkes
RI.(2011).Pengobatan
komplementer
TradisionalAlternatif.
Diunduh
www.depkes.go.id/
(2008).
Undang-Undang
Kesehatan. Diunduh 1 September
2010
dari
http://www.hukor.depkes.go.id.

Erna, M. (2003). Karakteristik Lanjut


usia di propinsi sumtera utara.
http://repository.usu.ac.id.

Menkes RI. (2003). Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
1076/MENKES/SK/VII/2003
tentang
Penyelenggaraan
Pengobatan Tradisional. Diunduh
20
Oktober
dari
http://www.hukor.depkes.go.id
Moesbar, N (2007). Pengendara dan
Penumpang
sepeda
motor
terbanyak mendapat patah tulang.
Diunduh tanggal 30 Agustus 2008
http://repository.usu.ac.id.
Mubarak, W, dkk. (2009). ilmu
keperawatan komunitas.Jakarta:
Salemba Medika.

Mubarak, WI. (2009). Sosiologi Untuk


Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi
Kesehatan & Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
. (2010). Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Pakpahan, Rut J. (2010). Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penderita
Fraktur Memilih Pengobatan
Tradisional
di
Pengobatan
Tradisional
Patah
Tulang

P.Gurusinga Kecamatan Medan


Tuntungan. Medan: USU Press.
Purba, Penni. (2006). Persepsi penderita
Patah
Tulang
terhadap
pengobatan pada Dukun Patah
Tawar Kem-kem di Kec Medan
Sunggal Kota Medan. Diunduh
tanggal
24
Februari2009
http://repository.usu.ac.id
Ratna,

W. (20110). Sosiologi dan


Antropologi Kesehatan Dalam
Perspektif Ilmu Keperawatan.
(cetakan Pertama). Yogyakarta:
Pustaka Rihama

Setiadi.

(2008). Konsep
Keperawatan
Jakarta: Graha ilmu

& Proses
Komunitas.

Setianto. (2011). Islam di Tarutung


tahun 1962-2000. Diunduh
tanggal 7 oktober 2011.
http://repository.usu.ac.id
Sudarma, Momon. (2008). Sosiologi
untuk Kesehatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
(cetakan ke 13). Bandung.
Alfabeta.
Syafrudin. (2009). Sosialisasi Budaya
Dasar. Jakarta: TIM
Turana, Yuda. (2003). Seberapa Besar
Manfaat Pengobatan Alternatif.
Diunduh tanggal 31 Agustus 2010
dari http://medicaholistic.com
WHO.

(2002). Traditional Medicine


strategi 2002-2005. Diunduh 10
oktober
2010
dari
http://whqlibdoc.who.int.

Zulkifli. (2004). Pengobatan Tradisional


sebagai Pengobatan Alternatif
harus Dilestarikan. Diunduh

tanggal 01 September 2010 dari


http://repository.usu.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai